ismura

Archon FamILY

Ending Episode 5: Baby Blues

Yunjin menatap ke arah jam di lengannya, hanya ada Nilou, Al Haitham, dan sepupunya Nahida di tempat pernikahannya. Setelah mendapat kabar tentang kecelakaan mobil di perbatasan Sumeru, Yunjin pasrah jika acara pernikahannya akan gagal sama seperti acara tunangan pertamanya karena diserobot oleh keluarga Raiden Ei.

“Semoga mereka cepat sampai, ya?” kata Nilou menenangkan.

Setidaknya Ningguang, Zhongli, dan Albedo ada di venue saat ini. Namun si bungsu Noelle terjebak dengan masalah yang dibuat oleh Itto karena harus membawa banyak barang hantaran untuk pernikahan Yunjin.

Tamu undangan satu persatu mulai muncul, Al Haitham terlihat kewalahan saat menjaga stand penerima tamu seorang diri. Nilou terus menelepon saudaranya yang lain karena sudah ikutan panik melihat Yunjin menangis di sudut ruangan.

“Halo? Kalian masih di mana?” tanya Nilou khawatir.

Sebentar, Kak! Ini udah jalan! Kami naik pemadam kebakaran! jawab Noelle terdengar di ujung telepon Nilou.

Bang Scaramouche dan Kak Lumine naik mobil polisi bawa beberapa barang hantaran, pokoknya ruwet masalahnya, lanjut Noelle sedikit terisak.

Siapa itu, Dek?! suara itu terdengar familiar.

Kak Nilou, Bang.

Siniin teleponnya!

Halo, Kak?! Suara gue denger gak?!

“Aduh! Jangan teriak-teriak kenapa? Denger, kok, denger!” omel Nilou kepada iparnya.

He-he! Maaf, ini lagi di jalan! Kokomi sudah sampai belum?

Nilou melihat ke sekelilingnya, mencari si surai krem atas permintaan Itto, namun Nilou tak menemuinya di mana pun. Karena Itto terus rewel minta kekasihnya untuk dicarikan, perempuan bersurai merah itu keluar dari venue setelah izin dengan Yunjin bersama Nahida.

Tepat beberapa saat setelah Nilou keluar dari venue, sosok yang dicari-cari itu pun hadir di hadapannya.

“Ini, Itto mau ngomong katanya,” ujar Nilou kepada Kokomi.

Gadis itu menelan ludahnya perlahan, sebenarnya ia sudah gusar karena takut terlambat. Kecelakaan di perbatasan Sumeru memberi dampak cukup besar di sekitar jalanan Teyvat, untung saja petugas pemadam kebakaran dan unit gawat darurat bisa cepat tanggap menghadapi situasi ini, lebih beruntung lagi para saksi hanya melihat mobil sedan milik Scaramouche meledak dengan sendirinya, bukan karena campur tangan Itto.

Mi! Miko Miko Mi! seperti biasa, kalimat itu selalu menenangkan Kokomi sejak hari pertama Itto memanggilnya seperti itu.

“Kenapa, Sayang?” jawab Kokomi pelan.

Aku naik mobil pemadam kebakaran! 5 menit lagi sampai!

Nilou menyenggol lengan Kokomi, menyuruhnya untuk ikut bersembunyi lewat belakang untuk membantu kawanan Ningguang membuat (ulang) kue pernikahan Yunjin.

“Sayang, udah dulu, ya? Aku mau bantu Bunda disuruh Mba Nilou,” tutup Kokomi sebelum memberikan ponselnya kepada sang pemilik.

Nilou kembali meletakkan ponselnya di telinga, memohon dengan sangat agar petugas itu mengendarai mobilnya sedikit lebih cepat agar semuanya bisa hadir walau sudah terlambat.

Suara sirine mobil pemadam kebakaran mulai terdengar beradu dengan sirine milik polisi, suara itu jelas menarik perhatian orang-orang di sekitar. Yunjin pun sama, gadis bersurai ungu itu keluar dari venue untuk melihat apa yang sedang terjadi di luar area pesta pernikahannya.

Astagfirullah!

3 mobil polisi dan 1 mobil pemadam kebakaran parkir tepat di hadapan Yunjin yang sudah mematung. Itto dan yang lainnya bahu membahu membawa barang-barang kebutuhan pesta pernikahan adiknya dengan penuh semangat, saat ini Yunjin sudah tidak bisa bereaksi apa-apa. Ia sudah tak bisa marah, ia sudah terlanjur kecewa, tapi dia tetap bahagia (hampir) semuanya bisa berkumpul di hari bahagia ini.

Sosok pria bersurai hitam kehijauan berpakaian besar ikut menyelonong di belakang petugas kepolisian, namun ia begitu dikenali oleh perempuan bersurai pirang yang sudah berdiri di depan pintu venue.

“Venti! Mana anak gue—”

Ya Allah!

Barbara langsung mengambil Sayu dari Venti, buah hatinya sudah tertidur karena terlalu lelah menangis namun tubuhnya masih berwarna biru karena Venti tidak tahu harus berbuat apa kepada si kecil.

“Maaf—”

“Lo diam!” potong Barbara lalu pergi meninggalkan Venti.

Sesuai perintah, Venti hanya berdiri terdiam di tempat terakhirnya. Meskipun banyak orang yang memakinya karena tak mau bergerak dan menghalangi jalan, ia masih tetap setia mendengarkan perintah sang istri sampai akhir.

Di dapur restoran, beruntung Ningguang dibantu oleh staff wedding organizer, Zhongli terus kena repetan sang istri sambil tersenyum ketir. Tak ada yang bisa dilakukan oleh orang nomor satu di Teyvat itu ketika sudah berurusan dengan istrinya. Orang-orang di sekitar mereka bahkan segan untuk tertawa karena kini topik bahasan Ningguang sudah sampai di adik kelas Zhongli ketika masih SMA.

Ponsel milik Albedo bergetar di saku celananya, sebuah nomor tak dikenal muncul di layar si surai coklat. Pikirannya belum selesai dari Mona, jadi apa pun itu ia selalu berharap bahwa nomor (baru) ini berasal dari mantan kekasihnya.

“Halo? Mona?” sapa Albedo.

Iya, benar. Ini saya Mona dari Teyvat Finance ingin menawarkan Bapak kartu kredit yang bisa diurus dalam waktu kurang lebih—

“Bangsat,” tutup Albedo lalu kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku celana.

Cepat namun tepat, akhirnya kue pernikahan Yunjin selesai. Seluruh staf langsung mendorong kue itu ke tempat pernikahannya. Zhongli masih meminta maaf kepada Ningguang atas apa yang telah terjadi, perempuan bersurai putih itu hanya bisa menghela nafas berat sebelum memaafkan sang suami.

“Al, ayo ke tempat Cece,” ajak Ningguang tanpa memedulikan keberadaan Zhongli.

Albedo membisu, seharusnya ia bisa menahan perasaannya di hari bahagia kakaknya namun rasanya cukup berat mengingat sulitnya melupakan Mona, mantan kekasihnya.

“Kamu kenapa, Al?” tanya Ningguang lembut, ia masih menepis lengan Zhongli ketika sedang berusaha merangkulnya.

“Udah Ayah pergi keluar duluan aja!” sentak Ningguang kesal, Zhongli hanya mangut-mangut saat itu.

Albedo masih tak menjawab, ia takut jika mengeluarkan sedikit suara saja air matanya bisa tumpah. Melihat sang anak terlihat sedih, Ningguang langsung memeluk Albedo erat.

“Al, kalau mau menangis jangan ditahan. Hidup memang kejam seperti itu, kamu tahu sendiri, kan?”

Albedo hanya mengangguk dalam pelukan sang ibu.

“Gak apa-apa, menangislah. Mumpung cuma kita berdua di sini,”

Setelah mendengar itu, Albedo mulai terisak pelan karena masih menahan perasaannya. Ningguang mengeratkan pelukannya sambil mengelus kepala Albedo penuh kasih sayang.

“Bunda gak akan bilang 'masih banyak ikan di laut' atau 'mati satu tumbuh seribu' seperti Ayah. Bunda juga gak akan menyalahkan Mona atas apa yang telah terjadi, tapi seperti itulah dunia ini, mau tak mau kamu harus siap dan terus maju melewatinya,”

“Setelah itu, kamu akan bertemu dengan tempat baru dan orang-orang baru, perjalanan kamu masih panjang,”

“Bunda akan selalu sayang sama kamu,”

Tangisnya pecah, Albedo membalas pelukan Ningguang sama eratnya. Saat Zhongli kembali ke dapur, Ningguang hanya mengisyaratkan suaminya untuk tak ikut dalam kesedihan di ruangan ini.

Nanti kami menyusul, gumam Ningguang tanpa suara.

Zhongli mengangguk, lalu pergi meninggalkan istri dan anaknya di dapur restoran.

Barbara menyusul Venti di depan venue, sang suami hanya bisa menunduk karena merasa bersalah. Rasa kecewa Barbara tak pernah sebanding dengan rasa sayangnya kepada Venti, mau bagaimanapun juga ini adalah pengalaman pertama mereka menjadi orang tua.

“Sayang, maafin aku,” Barbara menggenggam tangan Venti dengan lembut.

Venti hanya mengangguk lalu mengikuti ke mana pun Barbara menuntunnya.

“Sayu udah bersih, kok. Tadi udah aku mandiin,” hibur Barbara sambil tersenyum.

Suara teriakan mulai terdengar dari dapur, Albedo berteriak histeris setelah air ketuban Ningguang pecah. Semuanya seolah baik-baik saja karena Ningguang tak pernah mengeluh kesakitan selama ia mengandung, namun saat ini situasi genting itu tak lagi dapat ditahan oleh perempuan bersurai putih tersebut.

“Ayah! Ketuban Bunda pecah!”

Yunjin panik bukan kepalang, padahal tangan Aether sudah menjabat si penghulu dan hendak memulai ijab kabul.

“Nanti aja nikahnya, bisa, kan?!” ujar Yunjin panik lalu berlari ke dapur restoran.

Aether menyusul kekasihnya setelah meminta maaf kepada penghulu. Seluruh Keluarga Archon ikut menyusul Yunjin dan Aether ke dapur.

“Waduh, mana yang mau nikah ini?” tanya Raiden Ei ketika ia baru saja masuk ke venue.

Setelah dijelaskan oleh beberapa tamu undangan, perempuan paruh baya itu ikut berteriak histeris lalu menyusul keluarganya ke tempat Ningguang dan yang lainnya.

Ningguang dilarikan ke salah satu kamar hotel yang memiliki bath tub, pergi ke rumah sakit tak akan lagi sempat, apalagi ide Itto ketika menelepon seorang dukun beranak kenalannya langsung mendapat hardikan keras dari Raiden Ei.

“Maafin, Bunda!” seru Ningguang histeris saat tubuhnya dibaringkan ke bath tub.

“Gak apa-apa, Bunda! Gak apa-apa!” balas Yunjin sama histerisnya dengan sang ibu.

Tidak ada yang berbakat dalam urusan persalinan, sembari menunggu salah satu teman Ningguang menuju venue, tak ada lagi yang bisa dilakukan selain memaksa buah hatinya untuk keluar tanpa bantuan profesional.

Selang beberapa menit momen hidup mati itu, tangisan seorang bayi laki-laki mulai terdengar keras. Zhongli menggendong buah hatinya sambil menangis akan mukjizat Tuhan ini.

“Bayinya laki-laki!”

Momen haru ini masih berlanjut, hingga salah satu kenalan Ningguang yang merupakan seorang bidan hadir di tempat. Proses bersalin Ningguang memang di luar rencana, sang ibu tak bisa berada di samping Yunjin karena sudah kelelahan dan hanya bisa beristirahat di kamar (tempat bulan madu Yunjin dan Aether) pengantin baru.

“Saya nikahkan engkau, Aether Viator dengan anak saya Yunjin Xu binti Morax Zhongli Celesti dengan maskawin seperangkat alat salat dan uang tunai sebesar 100 juta Mora dibayar tunai!”

“Saya terima nikahnya Yunjin Xu binti Morax Zhongli Celesti dengan maskawin tersebut tunai!”

“SAH!” seru Itto dengan lantang.

Dua kejadian terjadi dalam satu tempat dan waktu yang hampir bersamaan, kini Zhongli harus melepas putri pertamanya Yunjin kepada Aether, namun di sisi lain ia dikaruniai seorang bayi laki-laki yang diberi nama Gorou atas permintaan Itto.

Kehidupan Keluarga Archon akan terus berlanjut, semuanya berjalan sebagaimana mestinya meskipun akan selalu ada kekacauan di dalamnya.

End of season one.

WHY 18?

Chapter 7: Pertaruhan Harga Diri cw: violence, bloods, sexual harassment, gore

John Lee dan Yelan tiba di markas secret service, lokasinya terpencil di sudut wilayah Sumeru. Gurun pasir yang berterbangan membuat mata lelaki bersurai hitam itu kerap kelilipan, sudah lama sekali ia tak bertandang ke tempat rahasia ini. Seluruh anggota secret service yang telah dilantik diberikan tugas dan langsung digantikan oleh anggota baru, mereka tidak perlu kembali ke markas atau memberikan laporan selama pekerjaan mereka selesai, limpahan dana akan terus mengalir karena pasukan khusus ini bekerja di balik bayangan.

“Kita bisa mencari tahu kenapa kau menjadi seperti ini,” ujar Yelan setelah menutup pintu mobilnya lalu berjalan lebih dulu ke dalam.

John Lee hanya mengikuti perempuan itu dari belakang, banyak sekali wajah baru yang tak dikenal, namun mereka tetap menyapa John Lee dan Yelan saat sedang menyusuri koridor markas besar tersebut.

SLASH

“Tahan emosimu, Cyno.” ujar Yelan dengan suara beratnya.

Tubuh Cyno terlilit oleh benang tipis milik si surai pendek, perlahan kulitnya mulai terkelupas karena ia tak mendengarkan ucapan Yelan. Pandangan Cyno tetap terfokus kepada John Lee, ia takut kalau orang yang ada di depannya akan membawa masalah bagi secret service.

“Dia anak baru, belum ditugaskan, biarkan saja,”

John Lee mengangguk lalu kembali mengikuti Yelan sampai tiba di sebuah ruangan, saat mereka masuk, John Lee melihat seorang pria bertubuh besar sedang meninju samsak di dalam ruangannya.

“Oh, kau kembali!” ujar Varka sambil tersenyum.

Varka mengambil handuk kering di dekat sofa ruang kerjanya, sebelum berjabat tangan dengan John Lee, pria itu mengelap beberapa bagian tubuhnya hingga kering. John Lee tentu ingat siapa orang yang ada di hadapannya, Varka adalah orang yang menugaskan Zhongli untuk mengintai pergerakan salah satu anggota Harbingers yang bernama La Signora, namun sampai saat ini ia hanya mendapatkan sedikit bukti tentang kasus perdagangan manusia yang dilakukan oleh La Signora.

“Aku tak paham, kenapa kau begitu awet muda?” tanya Varka sembari mengernyitkan dahinya.

“Saya juga tak tahu, terakhir yang saya ingat saat itu saya terlibat kecelakaan di Liyue,” jawab Zhongli saat dipersilakan duduk oleh Varka.

Yelan pergi dari ruangan Varka beberapa saat setelah keduanya mulai berbicara serius. Perempuan itu menggelengkan kepalanya saat melihat Cyno berlumuran darah karena berusaha melepas paksa benang tipis perangkap Yelan.

“Kau ini ada-ada saja, pangkat dia lebih tinggi darimu!” sentak Yelan kesal.

“Wajahnya saja masih seperti anak sekolahan, bagaimana bisa dia lebih tinggi pangkatnya dariku?!” balas Cyno sama kesalnya.

“Anak baru sepertimu seharusnya kubiarkan saja di jalanan,” runtuk Yelan sambil berjalan meninggalkan Cyno seorang diri di koridor.

Varka mendengar seluruh cerita Zhongli, ia hanya bisa mangut-mangut karena tak percaya dengan mukjizat yang ia lihat. Zhongli kini berseragam SMA, tubuh dan wajahnya jauh terlihat lebih muda dari saat mereka terakhir bertemu 7 tahun lalu.

“Lalu bagaimana dengan istrimu? Kau sudah bertemu dengannya?”

“Sudah, tapi Ei tidak mengenal saya,”

Varka berdeham, ia tahu apa yang harus ia lakukan selanjutnya.

“Biarkan saya kirim orang-orang untuk menjaga rumah sakit dan juga istrimu, kamu bisa lakukan tugasmu lebih leluasa sekarang,” ujar Varka sambil membakar cerutunya.

Varka memberikan satu cerutu lagi kepada Zhongli, namun dengan halus ditolak olehnya, Varka kembali terkekeh karena sadar bahwa Zhongli tidak merokok sejak pertemuan pertama mereka.

“Apakah ada lagi yang mengganjal?” tanya Varka.

“Ya,”

“Beberapa anggota Harbingers berusaha membunuh saya di rumah sakit, bukan tubuh saya saat ini tetapi saya yang sedang koma,”

“Siapa?”

“Saya hanya ingat Pierro dan Arlecchino,”

Varka beranjak dari sofa lalu berjalan ke meja kerjanya, ia menghidupkan proyektor yang sudah tersambung di laptopnya. Sebuah gambar anggota keluarga Harbingers lengkap terpampang di layar proyektor.

“Berarti saya melihat Pierro, Arlecchino, Columbina, dan Dottore,” lanjut Zhongli pelan.

“Mereka patut diwaspadai, namun Pierro dan Arlecchino tidak akan bisa bergerak bebas jika dikelilingi oleh polisi, mengingat mereka adalah pejabat di negeri ini,”

“Dottore juga sama, dia hanya bisa bergerak di area rumah sakit namun tak bisa berbuat banyak jika ada polisi,”

“Tapi Columbina—”

**

Seorang perempuan bersurai hitam bersenandung merdu sambil menatap tubuh tak berdaya Childe, si bungsu. Columbina tersenyum lebar melihat selang infus yang menempel di lengan adiknya, sesekali Columbina mengelus rambut oranye milik Childe sambil berharap Childe bisa bangun sebelum perempuan itu mengumumkan ajalnya.

“Anak baik...”

“Anak ganteng...”

“Bangun, dong...”

Childe perlahan membuka matanya setelah mendengar suara yang familiar, ia terkejut saat mendapati Columbina sudah ada di hadapannya. Columbina langsung menduduki tubuh lemah Childe, ia menyekap mulutnya dengan lakban hitam dan masih terus bersenandung sesukanya.

“Anak ganteng ini adikku, ya? Kok lemah?” ujar Columbina, ia mengelus lembut pipi kasar milik Childe.

Hanya erangan yang terdengar di telinga Columbina, karena tertutup lakban, Childe tak bisa berbuat apa-apa, tubuhnya juga sudah dikunci oleh borgol saat Columbina masuk sekitar 30 menit lalu.

“Sebenarnya Kakak tidak peduli dengan reputasi keluarga kita, tapi kalau saham kita turun karena kamu, itu tak bisa dibiarkan, Dek.”

SLASH

Childe kembali menjerit kesakitan, Columbina mencabut paksa selang infus itu sampai darahnya menyembur ke wajah perempuan bersurai hitam tersebut.

“Hmm? Begini ternyata darah anak haram,” gumam Columbina dengan suara beratnya.

“Kakak tidak menyangka, Arlecchino melahirkan anak laki-laki lemah seperti kamu,”

Columbina terus menggumam setelah mengambil sebuah pistol dari belakang jaketnya, ia memasang peredam senjata sebelum memainkan benda itu di depan mata Childe.

Tak ada yang bisa dilakukan Childe selain memberontak sebisanya, Columbina merasa sangat bergairah saat muncratan darah Childe terus mengenai wajahnya, ia menjilat rona merah itu sambil tersenyum lalu meletakkan ujung pistolnya ke dahi Childe.

“Bercanda!” kata Columbina sambil tertawa.

DOR

Columbina menembakkan peluru pertamanya di samping kepala Childe, keringat lelaki bersurai oranye itu bercucuran setelah mendengar suara pistol milik Columbina, telinganya berdengung sampai ia tak dapat lagi mendengar apa yang dikatakan oleh sang kakak.

Columbina merasakan ada yang janggal di selangkangannya, perempuan itu langsung mencengkram pelir adiknya sampai Childe kembali memekik kesakitan.

“Katanya sakit? Kok masih bisa tegang?”

Semakin keras cengkraman Columbina, semakin keras pula teriakan Childe walau tertahan. Perempuan itu menendang penis Childe hingga miliknya layu, lelaki itu pingsan setelahnya.

“Masa bisa, sih, nafsu sama kakaknya sendiri? Heran,” ujar Columbina sembari beranjak dari tubuh Childe.

Dibiarkannya darah Childe mengalir membasahi ranjang rawatnya, Columbina mengelap darah yang masih mengalir di sekitar wajahnya lalu beralih ke senjatanya.

“Kakak tahu kamu masih bisa mendengar Kakak, tiba-tiba gak mood tahu, Dek. Kamu bisa-bisanya tegang di sela-sela waktu kematianmu,”

“Kalau kamu bukan darah dagingku, mungkin kepalamu sudah bolong dari tadi,”

Columbina pergi dari ruang rawat Childe setelah memberitahu suster rumah sakit kalau selang infusnya terlepas sambil histeris. Perempuan itu memang gila, namun kata 'keluarga' masih mampu menahannya, lagi-lagi nyawa Childe selamat malam itu.

**

Berita kehilangan John Lee mulai tersebar bahkan sampai ke telinga Ei, melihat selembaran yang berserakan di jalanan berhasil menarik perhatian perempuan bersurai ungu tersebut.

“Ini, kan?” gumam Ei saat melihat foto John Lee di kertas itu.

Seminggu sudah pertemuan John Lee dan Ei di rumah sakit, penjagaan ketat dari Millelith kini bertubrukan dengan pasukan misterius kiriman Varka. Orang-orang yang lalu-lalang di dekat ICU harus diperiksa oleh Yelan, pemimpin pasukan khusus kiriman bosnya.

“Ei, sekarang belum jam besuk,” ujar Yelan datar.

“Kenapa saya juga harus mengikuti jam besuk? Saya ini istrinya!” sentak Ei kesal.

Ei mengangkat kedua tangannya untuk diperiksa, Yelan menggeledah tubuh Ei dengan teliti, kertas yang ada di saku celana Ei mulai menjadi perhatian Yelan saat ini.

“Poster ini?”

“Ya, anak hilang dari SMA Teyvat,” jawab Ei acuh.

Berarti dia belum tahu tentang Zhongli, gumam Yelan dalam hati.

Yelan mempersilakan Raiden Ei untuk masuk ke dalam, istri dari Zhongli itu mendengus kesal karena protokol ketat yang diberlakukan oleh Yelan. Padahal ia setiap hari berkunjung ke rumah sakit namun tak pernah sekali pun ia bebas dari penggeledahan.

Perut si surai ungu mulai membesar, hatinya selalu sakit jika melihat Zhongli terbaring kaku di atas ranjangnya. Ei mengecup lembut kening suaminya sambil menangis, sesering apa pun ia berdoa tetapi Tuhan seolah tak pernah mendengar penderitaannya.

“Padahal semuanya sudah normal,” ujar Ei pelan.

Tidak ada yang aneh lagi saat pemeriksaan terakhir, namun dokter terus menyarankan untuk menunggu Zhongli hingga sadar di rumah sakit. Ei tak dapat membantah perintah dokter, bagaimana ia akan merawat Zhongli nanti kalau misalnya rawat jalan, lagi pula tidak ada rawat jalan untuk orang yang koma di Teyvat.

“Cepatlah sadar, Sayang.” rintih Ei, tatapan sendu ke arah suaminya sungguh menyayat hati John Lee saat melihat istrinya dari luar ruang rawat.

John Lee hanya diberi waktu 3 menit oleh Yelan untuk melihat keadaan istrinya, setelah itu ia diusir dari area ICU. Di luar, John Lee diperlakukan seperti anak sekolahan oleh Yelan dengan alasan penyamaran.

Setelah keluar dari rumah sakit, John Lee melihat Hu Tao berjalan mendekatinya penuh kekesalan. Perempuan bersurai hitam itu menampar pipi sepupunya dengan keras.

“Lo ke mana aja, sih?! Hobi banget keluar masuk rumah sakit?!”

John Lee hanya mengelus pipinya yang perih, tak memberikan jawaban atas kerisauan hati Hu Tao.

Suara langkah kaki mulai terdengar dari belakang mereka, semakin cepat mendekati Hu Tao dan John Lee.

“Ayo tanding,” suara itu cukup familiar di telinga John Lee.

Mereka berdua menoleh ke sumber suara, Xiao sudah berdiri tegak dengan tangan mengepal. Ia ingin membalaskan dendamnya kepada John Lee setelah kalah tarung di sekolah beberapa minggu lalu.

“Sabar, Bro! Gue ada urusan sama dia duluan,”

Dari arah yang berbeda, kawanan Itto ikut mendekati John Lee dan Hu Tao. Dengan tongkat besi kesayangannya Itto mengarahkan benda itu ke wajah John Lee.

“Setelah urusan gue sama Childe selesai, gue harus bantai lo berdua supaya bisa jadi jawara sekolah!”

John Lee menghela nafasnya berat, ia mengangguk tanda setuju atas ajakan Xiao dan Itto.

“Cari tempat sepi,” ujar John Lee dengan suara berat.

Xiao berjalan lebih dulu meninggalkan mereka, disusul oleh John Lee dan Arataki Gang serta Hu Tao di belakangnya.

Saat mereka tiba di gang kecil dekat pusat kota, John Lee memasang kuda-kudanya sebelum berkelahi dengan Xiao dan Itto sekaligus.

“Pakai saja senjatamu,” kata John Lee saat Itto memberikan tongkatnya kepada Kuki Shinobu.

Itto tertawa terbahak-bahak sambil mengayunkan tongkatnya, ia langsung memukul Xiao dengan senjatanya lalu berlari menerjang John Lee.

Xiao tersungkur ke tanah, serangan mendadak ini di luar ekspektasinya. Kemarahannya memuncak saat ia kalah start dengan Itto. Pertarungan mereka tidak bisa dibilang sengit. Saat Itto menyerang, John Lee dengan mudah menghindari seluruh pukulan pria gondrong itu.

“Perkelahian anak sekolah memang seru untuk ditonton, ya?”

Hu Tao terperanjat saat melihat sosok lelaki bersurai hitam dengan banyak cincin di tangannya. Ia hanya tersenyum ke arah Hu Tao sebelum kembali fokus menonton pertarungan John Lee, Xiao, dan Itto.

Serangan demi serangan mampu ditepis dengan mudah oleh John Lee, ia sudah terlatih bela diri sejak masa pendidikannya di pasukan khusus. Anak-anak sekolahan seperti mereka bukanlah lawan yang sepadan bagi John Lee.

Saat Itto melayangkan pukulannya, John Lee mengarahkan tangan Itto kepada Xiao sampai ia kembali tersungkur untuk kedua kalinya. Kerasnya tangan Itto berhasil membuat Xiao hilang kesadaran, saat itu juga John Lee melayangkan pukulan pertamanya tepat di hidung Itto hingga tulang hidungnya patah.

“Anjing!”

John Lee bergerak seperti angin, ia menendang Itto dari belakang sampai bocah raksasa itu terjatuh dan tak sadarkan diri pula.

Pertandingan ini dimenangkan oleh John Lee, lelaki itu menang telak dari kedua jawara sekolah yang sedang berusaha naik ke posisi pertama.

Suara tepuk tangan terdengar dari pria misterius itu, ia pergi dari gang kecil itu setelah puas menonton pertandingan anak-anak tadi. Hu Tao hanya bisa bertanya-tanya sosok misterius itu di benaknya, tanpa sadar John Lee sudah menarik lengannya untuk menjauh dari area pertarungan.

“Kapan saya bisa kembali sekolah?” tanya John Lee.

“Dari kemarin juga udah bisa! Lo aja yang ngilang!” balas Hu Tao kesal.

Namun, ada yang aneh ketika Hu Tao menatap wajah John Lee dari samping. Raut wajah John Lee tidak seperti biasanya, John Lee terlihat seperti hewan buas yang kecewa dengan mangsanya. Hu Tao tak lagi berani bersuara sampai John Lee kembali menjadi sosok yang ia kenal.

Mereka tiba di halte bus, sembari menunggu, John Lee menyenderkan tubuhnya di kursi halte sambil memejamkan matanya. Uap yang keluar dari kepalanya membuat Hu Tao semakin ketakutan, ia bukanlah John Lee yang Hu Tao kenal.

Sebenarnya lo itu siapa?! gumam Hu Tao dalam hati.

-to be continued

Archon FamILY

Episode 5: Baby Blues

Setelah selesai dengan dunia per-agensi-an beberapa minggu yang lalu, kini Yunjin dan Aether berencana untuk menyelenggarakan acara tunangan karena sempat terhalang oleh Raiden Ei yang memaksa ikut di acara tersebut. Seluruh dekorasi dan makanan telah disiapkan oleh Ningguang dan Zhongli, sementara Albedo dan Noelle membantu mengarahkan petugas katering dan dekorasi sesuai permintaan sang kakak.

Yunjin menyambut calon suami penuh suka cita, Aether ditemani oleh Tsaritsa, bundanya. Lumine mungkin akan menyusul jika date-nya dengan Scaramouche telah selesai, mengingat Raiden Ei akhir-akhir ini sering rewel meminta cucu kepada mereka berdua.

“Bunda!” sapa Yunjin lalu memeluk Tsaritsa.

“Udah lama kita gak ketemu, ya, Nak.” jawab Tsaritsa lembut.

Ningguang tergopoh-gopoh menyusul ke luar karena mendengar suara Yunjin, kata 'Bunda' merupakan kode yang telah direncanakan oleh Yunjin kepada Keluarga Geo.

“Halo Ibu Tsaritsa! Apa kabar?” ujar Ningguang sambil cipika cipiki.

Tsaritsa pun membalas Ningguang sama, mereka terkekeh setelah itu lalu Zhongli pun ke luar untuk menyambut calon besannya.

“Ini sudah kedua kali saya ke sini, kok dekorasinya makin mewah saja, ya, Pak?” tanya Tsaritsa kagum dengan seluruh ornamen dan bunga-bunga di sepanjang ruang tamu menuju taman belakang rumah Zhongli.

“Ya, ini permintaan Yunjin, Bu. Kami hanya menuruti saja,” jawab Zhongli sambil tersenyum.

“Biarin ajalah, Ma. Yunjin juga punya dream engagement-nya,” bisik Aether pelan.

Melihat Yunjin menggandeng lengan kanan Tsaritsa berhasil menaikkan garis bibir si pirang, Aether tak menyangka bahwa orang yang ia temui saat menonton opera di Liyue ternyata merupakan jodohnya. Jika dilihat ke belakang, interaksi Aether dan Yunjin terbilang sedikit, hal itu dikarenakan mereka tidak ingin seluruh dunia harus tahu tentang hubungannya. Di akhir nanti, Yunjin ingin mengejutkan semuanya dengan pernikahannya.

“Iya, iya,” balas Tsaritsa berjalan menuju taman belakang rumah.

Perempuan paruh baya itu celingak-celinguk mencari sosok berambut ungu, berharap ada putrinya di sekitar, apa yang mau diharapkan? Tsaritsa dan Lumine baru saja saling komunikasi lewat telepon sebelum turun dari mobil Aether. Lumine dan Scaramouche tengah berupaya untuk memiliki buah hati, ide itu tentu didukung penuh oleh sang ibu, mengingat dirinya pun menginginkan hal yang sama.

“Hari ini Ei tidak hadir dulu, Bu. Karena urusan di Inazuma lagi banyak,” ujar Ningguang sembari mempersilakan Tsaritsa untuk duduk di tengah taman, sudah ada beberapa kursi dengan hiasan pita putih merah di belakangnya, berkat Yunjin suasana taman rumah Keluarga Geo terasa lebih adem dari biasanya.

Lagi-lagi, ada yang menjanggal di benak Tsaritsa, ia mencari sosok pria berambut gondrong ke sana kemari, suara dan perangainya cukup dirindukan olehnya. Apalagi saat Zhongli menikahkan Lumine dan Scaramouche, Itto tampak seperti anak polos yang tidak tahu apa-apa soal pernikahan.

“Mana yang gondrong itu, Bu?” tanya Tsaritsa kebingungan.

**

Itto tiba di Puspa Cafe, di sanalah janji temunya dengan Kokomi. Memang jauh, namun pria berambut gondrong itu telah memikirkan matang-matang rencananya dibantu oleh Venti dan Scaramouche, namun lebih tepatnya karena Al Haitham sedang berada di Sumeru, biar dia bisa nebeng pulang nantinya.

“Mi!” sapa Itto dari depan pintu.

Gadis pujaan hatinya itu melambaikan tangannya sambil tersenyum. Selama perjalanannya menuju tempat duduk, Itto sudah membayangkan tentang pernikahan dan baju adat mana yang akan dipakai serta akan melangsungkan pernikahan outdoor atau indoor, semua terbayang selama Itto berjalan ke arah Kokomi.

Sama seperti Itto, sebenarnya Kokomi juga memikirkan hal yang sama. Gadis bersurai krem itu tak sabar untuk memperkenalkan Itto kepada keluarganya, berkat Itto pula skripsinya bisa rampung dalam sekejap mata.

Itto kerap menemani Kokomi via panggilan video walaupun si gondrong itu cepat tertidur karena latihan kerasnya sebelum debut UNCLES beberapa minggu lalu. Kokomi hanya bisa tertawa kecil karena takut membangunkan Si Oni, sebutan Itto. Seiring berjalannya waktu, Kokomi merasakan hal yang berbeda dari biasanya, ia cukup menyayangkan kenapa Kujou Sara tidak menerima cinta tulus dari Itto, namun hal tersebut bukan lagi urusannya, karena Itto sebentar lagi akan menjadi miliknya seorang.

“Maaf, aku kebelet banget tadi!” ujar Itto sambil menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal, ia hanya grogi.

“Gak apa-apa, kok!” balas Kokomi tersenyum, lalu menyuruh Itto untuk duduk di depannya.

Suasana canggung mulai terasa di antara mereka, Itto menggoyangkan kakinya karena cemas, ia tak menemukan Haitham di mana pun. Berkali-kali ia menelepon sepupunya itu, ponsel yang terletak di bawah kursinya semakin keras ditekan namun jawaban dari Haitham tak kunjung tiba.

“Kenapa, To?” tanya Kokomi bingung.

“Eh? Enggak! Gak ada apa-apa!” jawabnya canggung.

“Omong-omong, aku udah pesanin makanan, ya. Pasti kamu suka sama pilihanku,” cerita si surai krem kepada lelaki idamannya.

Manis wajahnya Kokomi terekam jelas di benak Itto, tak terasa bibirnya perlahan naik karena tak kuasa menahan perasaannya. Tanpa ia sadari, kini Itto tengah memegang kedua tangan Kokomi, si gadis sontak terkejut dengan serangan mendadak itu namun tak memberikan perlawanan.

Berarti dia suka! Kalau cewek tangannya dipegang terus gak risih berarti dia suka kata Bang Venti, gumam Itto dalam hati, ia menelan paksa ludahnya karena kalimat itu tak kunjung lepas dari ujung lidahnya.

“Aku mau ngomong sesuatu,” ujar mereka bersamaan.

“Hah? Kamu duluan aja,” lagi-lagi sama.

Itto dan Kokomi terkekeh karena setiap kata yang terucap selalu sama dan senada. Itto memberi isyarat agar Kokomi duluan yang bicara, namun si gadis juga meminta hal yang sama kepada Itto.

“Ya udah, aku dulu, ya?”

Kokomi mengangguk pelan, rasa sesak mulai muncul di dadanya karena Itto bukanlah orang yang mudah untuk ditebak. Ia terus meyakinkan diri agar lelakinya itu akan mengatakan hal yang selama ini ia inginkan.

“Jadi gini, Mi. Sebenarnya—”

Suara ledakan muncul menembakkan konfeti ke arah Itto dan Kokomi, alunan lagu ulang tahun mulai terdengar pula setelahnya. Haitham datang membawa kue ulang tahun, besarnya hampir sama dengan tubuhnya dan Itto. Para pelayan kafe mulai menyanyikan lagu “Selamat Ulang Tahun” kepada Kokomi, gadis itu terperanjat karena terkejut namun lagi-lagi bukan ini yang ia mau.

Hari ini!

Hari yang kau tunggu!

Bertambah satu tahun, usiamu—

Kokomi terus menjernihkan pikirannya di setiap bait lagu yang dinyanyikan. Itto sudah kalang kabut memberikan kode kepada Haitham namun si surai hijau tak menyadari saking semangatnya menyanyikan lagu bersama pelayan kafe.

“Mi! Bukan ini maksudku!” ujar Itto melambaikan tangannya ke arah Kokomi yang sudah memejam.

Ia tak bisa mendengar suara keras dan keramaian, energinya akan terkuras habis dengan cepat jika berada di situasi seperti ini. Sadar dengan situasi, Itto langsung menarik Kokomi untuk menjauh dari keramaian. Mereka berdua tiba di area outdoor kafe, ternyata di sanalah kejutan sebenarnya.

“Hah?” gumam Itto tak percaya.

Kokomi mengedarkan pandangannya, di sana sudah ada ibu dan ayahnya menunggu. Air mata haru mulai menetes di pelupuk mata si gadis, Kokomi langsung berlari memeluk orang tuanya meninggalkan Itto yang masih kebingungan dengan situasi saat ini.

Sorry, To. Saya gak bisa ikutin rencana kamu, dari tadi saya sibuk ngebut bawa orang tua Kokomi dari Watatsumi ke Sumeru. Lihat aja, tuh, tangan bapaknya aja masih bergetar,” bisik Haitham dari belakang.

Haitham memberikan satu buket bunga ke tangan Itto, namun si gondrong masih belum sadar dari lamunannya. Namun saat Haitham mendorong tubuhnya, saat itu Itto sadar bahwa kehidupan selanjutnya akan segera dimulai.

Itto merendahkan badannya, ditatapnya Kokomi dalam-dalam saat itu, walaupun bergetar hebat tetapi bunga di tangannya sampai ke hadapan Kokomi.

“Mi, pertemuan kita memang terbilang cepat. Aku tahu, kamu juga tahu, semua orang pun tahu. Tapi aku sadar akan satu hal, perlahan aku sadar kalau aku harus mengakhiri hidupku bersamamu,”

Kokomi mengangguk pelan saat ada jeda di antara kalimat Itto, ia tak lagi dapat menahan air mata yang telah menetes deras membasahi pipinya. Kedua orang tua Kokomi pun sama, setiap gadisnya pulang dari kampus atau setelah melakukan penelitiannya bersama Itto, Kokomi selalu menceritakan tentang si gondrong, rasa penasaran mereka kini terbayarkan setelah melihat tingkah manis Itto di depan mereka.

Scaramouche dan Lumine datang dari arah berlawanan sambil membawakan sebuah kotak kecil di kedua tangan mereka. Pasutri ini ikut dalam arus rencana Haitham, tak sengaja bertemu di daerah Sumeru membuat mereka ikut mendukung rencana lelaki bersurai hijau itu tanpa penolakan, padahal biasanya Scaramouche tak pernah mau berurusan jika ada nama Itto di dalamnya.

“Nih,” ujar Scaramouche kepada Itto.

Itto membuka kotak cincin itu lalu menyematkannya ke jari manis Kokomi, cincin itu terlihat bersinar di bawah rembulan, saat menatapnya Kokomi pun sadar bahwa kehidupan selanjutnya akan segera dimulai, bersama Itto.

“Maukah kamu menikah denganku?”

**

Acara tunangan Aether dan Yunjin berjalan dengan khidmat, setelah itu Albedo menelepon Haitham untuk melihat situasi terkini di Sumeru. Untung mereka semua sempat menonton Itto melamar Kokomi di saat yang tepat, Ningguang menangis paling histeris karena si sulung ternyata bisa bersikap manis, selama ini perempuan bersurai putih itu tak pernah mengira bahwa Itto akan menikah karena tingkahnya masih seperti anak-anak.

Begitu pula dengan Yunjin, seolah seluruh rasa kesalnya kepada abangnya sirna seketika. Namun ada satu hal yang cukup janggal di matanya.

“Ini kok bunganya sama kayak di rumah?” bisik Yunjin kepada Zhongli.

Sang ayah hanya terkekeh mendengar pertanyaan Yunjin, “Iya, Nak. Sebenarnya dekorasi tunangan kamu sebagian besar dari uangnya Abang. Ayah gak berani ngomong karena pasti kamu bakal marah, uang kamu gak terlalu cukup untuk dekorasi semegah ini,”

“Kenapa gak bilang, sih?!” sentak Yunjin sedikit kesal, tak terasa air matanya ikut mengalir setelah mengetahui kebenarannya.

Zhongli merangkul Yunjin lalu mengecup pucuk kepalanya, hari ini dua anaknya telah menjadi orang dewasa. Yunjin dengan Aether sementara Itto dan Kokomi, sejujurnya ia belum siap dengan hal ini, namun life goes well seperti kata Venti, bukan?

Archon FamILY

Ending Episode 4: The Big Plan

Keluarga Archon satu persatu mulai muncul di venue khusus awak media milik Teyvat Entertainment, Zhongli dan Ningguang menyapa para wartawan dengan wajah setengah kesal karena kawanan Venti datang tanpa melakukan penyamaran, memang sebenarnya tidak ada brief lebih lanjut. Venti hanya meminta waktu sekitar 4 menit untuk debut dadakan boyband last minute buatannya itu.

“Kalau gini ketahuan gak, sih, Yah?” bisik Ningguang sambil meremas lengan sang suami.

Suaminya mengeluarkan rintihan kecil dari mulutnya, namun kilat yang selalu muncul setiap detiknya dari ratusan kamera itu memaksanya tetap tersenyum sambil melambaikan tangan.

Lumine tiba bersama Scaramouche dan Raiden Ei, sorak para fans dari BURST mengisi venue hingga getaran di lantai agensi nomor satu di Teyvat itu seperti sedang gempa bumi. Hari ini, Lumine akan menjawab seluruh pertanyaan dari fans dan wartawan tentang masa depannya di BURST. Berita pernikahannya yang terbilang 'mendadak' itu masih hangat apalagi sebelumnya pentolan dari HYDROS yaitu Barbara memutuskan untuk pensiun setelah menikah dengan musisi nomor satu seantero Teyvat, Venti Al-Celesti yang juga merupakan saudara dari Morax Zhongli Celesti.

“Lihat ke sini!”

“Lumine! Suruh suami kamu buka maskernya!”

“Kenapa pakai topi pantai seperti itu?!”

“Kenapa harus ditutup-tutupi lagi suamimu?”

Pertanyaan-pertanyaan itu malah membuat Raiden Ei kesal, ia beberapa kali mencoba membuka masker yang dikenakan oleh Scaramouche namun berhasil dihindari oleh si tunggal. Setelah sesi foto, Lumine dan lainnya masuk ke dalam ruangan khusus untuk para tamu konferensi pers malam ini.

“Kamu gak apa-apa, Nak?” tanya Raiden Ei khawatir.

Melihat Lumine bertingkah tidak seperti biasanya, Scaramouche mengelus punggung sang istri hingga lamunannya pecah. Raiden Ei pun tak tega melihat menantunya itu seperti sedang dirundung masalah besar.

“Bukannya kalau sama-sama idol, bakal lebih diterima, ya?” tanya Raiden Ei sekali lagi.

Lumine hanya tersenyum tipis mendengar pertanyaan Ei, sebenarnya ia tak pernah berpikir akan terjadi hal seperti ini. Ia sangat mencintai Scaramouche, namun Lumine tak menyangka berita pernikahannya akan sebesar ini, mengingat grupnya baru saja debut 4 bulan lalu.

“Mama jangan sok tahu, deh!” balas Scaramouche, ia masih berusaha menenangkan Lumine sambil meminumkan air mineral ke mulut istrinya.

“Kan tumpah! Udah biar Mama saja!”

Ei menegakkan air mineral itu sampai botolnya berada di atas kepala Lumine. Bukannya minum, Lumine justru terlihat seperti sedang mandi saat ini, Yunjin dan Noelle berteriak panik karena hanya itu baju satu-satunya Lumine, mereka tidak membawa baju ganti, wardrobe pun tidak disiapkan karena niatnya hanya sebentar.

Perdebatan Ei dan Scaramouche memenuhi ruangan tersebut, beberapa detik kemudian suara tangisan Sayu ikut terdengar di telinga mereka, lagi-lagi karena ulah Venti. Pria bersurai hitam kehijauan itu lupa membawa kompeng favorit putrinya, Barbara sudah ketar-ketir karena tidak ada lagi orang yang ada akan menyusul mereka ke venue.

“Tanggung jawab, Bang!” goda Albedo sambil menepuk tangannya berkali-kali.

“Diem lo! Biar gue balik aja—”

“Jangan! Jangan gila lo, ya!” potong Barbara kesal.

Nilou dan Nahida masuk ke dalam ruangan setelah menjemput Al Haitham dari pintu belakang. Suasana di sana sudah terlanjur keruh sehingga mereka tidak dapat berbuat apa-apa lagi.

“Kita panggil Om Zhongli aja gimana?” bisik Nilou kepada sang suami.

Tanpa suara, Haitham keluar dari ruangan untuk menjemput Zhongli ke ruangan konferensi.

Saat pria bersurai hijau itu tiba, tubuhnya bergetar sendiri saat melihat luasnya venue yang akan digunakan untuk klarifikasi. Ningguang menghampiri Haitham saat pria itu mengisyaratkannya agar Zhongli bisa bertemu dengannya walau hanya sebentar.

“Ayah lagi sibuk menahan pertanyaan, ada apa, Tham?” tanya Ningguang sedikit gelisah.

“Itu... Apa namanya... Sayu nangis, kompengnya ketinggalan. Terus Tante Ei sama Scaramouche juga berdebat lagi,” adu Haitham kepada Ningguang.

Ningguang mengusap dahinya penuh kepasrahan, karena tak ingin mengganggu sang suami, ia dan Haitham pergi ke ruangan khusus itu untuk menyelesaikan masalah di dalamnya.

“Kalian kenapa, sih, selalu ribut—”

Tidak ada satu pun orang di ruangan itu, tak hanya Ningguang namun Al Haitham ikut menganga. Namun suara keributan malah terdengar di tempat lain.

“Kita gak salah ruangan, kan?” tanya Ningguang.

“Enggak, bener, Tante!” balas Haitham panik.

Suara berisik itu sudah tak lagi terdengar, itu berarti kawanan pembuat onar sudah jauh dari area sekitar Ningguang dan Haitham.

Musik yang tak terlalu familiar mulai berputar tanpa diminta, fokus wartawan kepada Zhongli mulai pecah saat tirai penutup berwarna merah terbuka secara pelahan.

“Waduh, mati kita,” gumam Zhongli pasrah.

THIS IS UNCLES!

Raiden Ei mendorong Scaramouche ke tengah panggung, diikuti oleh Itto dan Venti dari sisi kanan. Dandanan UNCLES terlihat norak, tak seperti tren idol jaman sekarang. Ini karena Venti masih kekeuh dengan kalimat 'jaman gue dulu!', celana lebar dan baju oversized ditambah dengan topi miring membuat para tamu dan wartawan mencibir ke arah mereka.

Zhongli hanya bisa geleng-geleng kepala, diikuti oleh Ningguang dan Haitham yang baru saja tiba di samping panggung.

Nilou menghampiri Haitham dan Ningguang dengan wajah panik, ternyata beberapa saat setelah Haitham pergi menjemput petinggi Teyvat Entertainment, Raiden Ei memaksa UNCLES untuk tampil sebelum konferensi pers dimulai, “Anggap saja acara pembuka!” kata si perempuan bersurai ungu.

Itto langsung melompat dan melakukan split sambil berteriak dengan pelantangnya, ia menunjuk ke arah langit, tak disangka pria gondrong itu sudah memiliki pekerjaan pada akhirnya.

Dari kejauhan, Itto menyadari bahwa Kokomi sudah hadir di tengah-tengah tamu undangan. Senyum manis gadis bersurai krem itu membuat jantung Si Oni berdetak lebih cepat dari biasanya. Namun karena ego si gondrong sudah terlampau tinggi, Itto langsung menari tanpa melihat anggota lainnya yang sudah terjatuh karena kelasakan Itto.

Saat Scaramouche jatuh, Raiden Ei berteriak histeris sambil berlari menghampiri anaknya, perempuan itu langsung mencengkram leher Itto karena tak terima anaknya dibuat cidera oleh keponakannya.

“Kamu bisa gak, sih, jangan bikin celaka anak saya?!” seru Raiden Ei keras, Itto sampai mundur beberapa langkah karena tak kuasa menahan kekuatan bibinya.

Ningguang lari ke atas panggung lalu melerai Itto dan Raiden Ei yang sedang konflik, semua sibuk mengabadikan momen chaos itu tanpa jeda.

Venti melihat ke arah para wartawan, reputasinya benar-benar sudah hancur sekarang. Gelarnya sebagai orang nomor satu di bidang musik bisa musnah dalam sekejap karena tingkah dua ponakan dan sang kakak.

“Papa!”

Mendengar suara kecil itu membuat Venti menoleh ke arah Barbara, sang istri ternyata sedang menimang Nahida karena Nilou sedang berusaha menenangkan Sayu.

“Anak gue ngomong 'Papa'?!” kata Venti terkejut.

Venti berlari ke arah Barbara lalu menggendong Nahida (secara tidak sadar) lalu mengangkatnya ke udara.

“ANAK GUE MANGGIL PAPA!” teriak Venti lantang.

Nahida yang awalnya tertidur, kini menangis histeris karena suara keras Venti, Barbara sontak menjitak kepala belakang Venti hingga suaminya meringis kesakitan.

“Anak lo umurnya baru sebulan masa udah bisa manggil 'Papa'?!” runtuk Barbara sambil menarik Nahida dari tangan Venti.

Tawa canggung Nilou tak terdengar karena riuhnya ruangan konferensi, namun tidak dengan Haitham, mendengar satu kata itu telah berhasil menyihir seluruh hidupnya, tak disangka Nahida akan memanggilnya duluan walaupun Nilou lebih sering bersamanya selama ini.

“Anakku!”

Al Haitham berlari ke arah Nilou lalu memeluk istrinya tanpa tahu Sayu sedang didekap oleh Nilou. Tangisan Sayu semakin kencang karena tidak sengaja terhimpit oleh tubuh kekar Haitham sebelum kerah baju si rambut hijau itu ditarik paksa oleh Barbara.

“Bang! Anak gue!”

Kini Scaramouche seorang diri di atas panggung, pelantang yang ada di tangan kanannya hanya bisa digenggam erat oleh si surai ungu. Musik terus berlanjut sampai di bagian ia harus bernyanyi.

We are family! The chaotic family!

We're making chaos and burn the house down!

Boy will always be boys and that's the job for the uncles!

Tanpa peduli dengan keadaan sekitar, Scaramouche terus menyanyikan bagiannya hingga selesai. Mendengar bagian Scaramouche akan segera berakhir, Itto langsung berlari ke atas panggung dan memulai tarian brutalnya untuk kedua kalinya.

Suasana yang awalnya kacau kini hanya terfokus ke atas panggung, entah sihir apa yang digunakan oleh UNCLES hingga berhasil membuat seluruh hadirin tepuk tangan meriah karena aksinya. Lagu hip-hop itu ditutup oleh suara merdu Venti setelah didorong oleh Barbara untuk menyusul anggotanya, setelah lagunya selesai, tepuk tangan dan sorakan kembali terdengar mengisi seluruh ruangan konferensi.

Aneh tapi nyata, UNCLES berhasil debut secara tidak sengaja. Penampilan dadakan mereka memenuhi portal berita online dan menjadi tren nomor satu di seluruh sosial media, setelah grup Venti membawakan lagunya Zhongli pun membuka acara 'gila' itu dengan apik.

Seluruh kebingungan yang dibuat oleh Lumine berhasil diselesaikan, tak disangka pula Scaramouche diterima oleh fans BURST karena suara serak-serak basahnya cukup catchy di telinga fans Lumine. Teyvat Entertainment kembali mencetak sejarah sekaligus menjadi pionir untuk para idol yang sedang menjalin hubungan asmara, Scaramouche dan Lumine kini digadang-gadangkan sebagai power couple setelahnya.

“Dunia memang aneh, bukan?” tutup Zhongli sebelum menutup acara klarifikasi Teyvat Entertainment.

-to be continued

WHY 18?

Chapter 6: Boneka, dan Harga Diri Wanita cw: mutilation, murder, bloods, drugs, fingering, sex doll

Di dalam ruangan yang redup, suara rintihan terdengar diiringi oleh gesekan besi yang nyaring mengelilingi sudut sempit itu. Hanya ada beberapa lampu penerang di langit-langit, namun sama sekali tak menutupi pandangan Sandrone ketika perempuan itu sedang menguliti kulit manusia yang sedang dalam pengaruh obat-obatan terlarang buatan Dokter Dottore. Selama ia melakukan eksperimen, Sandrone menyalakan lagu klasik untuk menemani hari-hari sepinya, gumaman kecilnya itu menandakan bahwa dirinya sedang fokus, tak peduli gumpalan darah atau saliva saat manusia-manusia tak berdaya itu mencaci maki dirinya, Sandrone tetap melakukan eksperimennya dengan tenang.

“Sabar, ya? Kalau bergerak, nanti kamu makin kesakitan,” ujar Sandrone sambil lembut.

Satu persatu nyawa manusia tak berdosa direnggut oleh putri bungsu Harbingers tersebut, ia sengaja melakukan eksperimen ini untuk membuat robot yang tampak seperti manusia pada umumnya. Sejauh ini Sandrone baru bisa membuat 3 robot dengan sempurna, perlu waktu kurang lebih 2 tahun untuk menyelesaikan ketiga benda itu sebelum dipasarkan ke Dunia Bawah.

Suara ketukan pintu mulai terdengar, layaknya besi sedang memukul kayu, bunyi engsel berkarat itu terbuka hingga menunjukkan seorang perempuan yang sedang membawakan makan malamnya.

“Waktunya makan malam, Princess.” ujar perempuan itu terbata-bata.

Sandrone menoleh ke arahnya sambil tersenyum, ia menghentikan pekerjaannya lalu menyambut asistennya dengan wajah yang riang sembari menyeka keringat dan darah di sekitar wajah manis perempuan bengis itu.

“Terima kasih banyak, Katheryne.” jawabnya sembari mengambil sandwich yang terletak di atas nampan.

“Apakah masih ada yang bisa saya bantu?”

Melihat wajah Katheryne seperti tak berekspresi membuat Sandrone tersenyum, aroma besi yang dilapisi oleh kulit manusia justru membuat birahinya naik. Sandrone mengelus lembut wajah Katheryne lalu memasukkan kedua jarinya ke dalam mulut perempuan itu.

“Apakah kamu masih bersedia membantuku?” goda Sandrone sambil menggigit bibir bagian bawahnya.

Katheryne sontak mengangguk tanpa ragu, memang dia sengaja dibuat untuk memenuhi fetish aneh Sandrone, menjadi boneka seksnya untuk memenuhi birahi perempuan bersurai coklat tersebut.

Tangan kiri Sandrone turun perlahan ke arah kemaluan Katheryne, ia mengusap kulit robot itu dengan lembut sesekali mendesah karena fantasinya. Sandrone melucuti pakaian Katheryne sampai ia tak lagi ditutupi oleh apa pun. Tubuh robot itu terlihat sempurna di mata Sandrone, setidaknya dalam pikirannya seperti itu. Sandrone menempelkan wajahnya di bekas jahitan kulit di sekitar tubuh Katheryne lalu menjilatinya penuh nafsu.

Katheryne hanya mengikuti perintah sang pemilik, suara desahan anehnya karena ia adalah sebuah robot tak sedikit pun membuat Sandrone gundah, ia mulai meremas bagian dada Katheryne dengan tangan kirinya sementara tangan kanannya sibuk menusuk bagian kemaluan robot buatannya.

“Saya-Saya-Saya tidak bisa menahannya lagi,” ujar Katheryne terbata-bata.

“Tahan dulu, saya belum ngapa-ngapain!” sentak Sandrone.

Perempuan bersurai coklat itu mendorong robotnya hingga terjatuh, ia membuka pakaiannya satu persatu sebelum duduk di atasnya. Sandrone mencium bibir dingin Katheryne penuh gairah, salivanya bertebaran di mana-mana. Akal sehat Sandrone semakin hilang ketika mendengar suara desahan Katheryne yang diprogram oleh dirinya sendiri, suara itu mengingatkannya pada seseorang, seseorang yang telah lama meninggalkan dirinya dari dunia ini.

“Ah... kamu sungguh cantik hari ini, Katheryne.” gumam Sandrone sembari melumat bibir si robot.

Air—bukan, oli yang keluar dari liang kemaluan Katheryne membuat Sandrone girang sendiri. Ini menjadi bukti bahwa programnya telah sukses dibuat, setelah menyelesaikan urusannya, Sandrone tidur dalam pelukan robot itu ditonton oleh belasan manusia yang sedang dikerangkeng di sekitar area ruang kerjanya.

**

John Lee celingak-celinguk di depan rumahnya, hari sudah menunjukkan pukul 3 dini hari. Lelaki bersurai hitam itu menyelinap keluar dari kamar Hu Tao setelah berhasil memindahkan tubuh sepupunya karena terus menimpa John Lee saat ia tidur. Ia berencana untuk menjaga tubuh aslinya di sekitar area rumah sakit. Sebelum minggat, John Lee telah menuliskan pesan perpisahan kepada Hu Tao karena tak ingin merepotkan keluarganya lagi.

Mungkin seperti ini cukup, gumam John Lee dalam hati sebelum pergi meninggalkan pekarangan rumah Keluarga Hu.

Perjalanan dari rumah menuju halte bus cukup jauh mengingat area rumah Hu Tao berada di pelosok hutan Liyue. Peluh yang bercucuran di sekitar tubuhnya tak dipedulikan oleh John Lee, nyamuk nakal yang mengisap darahnya juga tak bisa diajak kompromi. John Lee masih memakai seragam sekolahnya sambil menyandang tas berisi satu buah pakaian yang entah ia dapat dari mana.

Suara grasah-grusuh mulai terdengar di sekitar hutan, John Lee mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencari sumber suara atau mungkin sumber bahaya untuk dirinya. Karena tak sadar oleh benang tipis di dekat sebuah pohon, kakinya langsung terikat dan tubuhnya terangkat oleh ikatan benang itu hingga dirinya melayang di atas pohon.

“Apa ini?! Jebakan hewan hutan?” ujar John Lee terkejut.

“Bukan,” balas seorang perempuan.

Ia menunjukkan rupanya, seorang perempuan bersurai pendek dengan jaket bulu yang hanya menempel di pundaknya. Perempuan itu melemparkan dua buah dadu ke udara sambil berjalan ke arah John Lee.

“Ini dia, jawara baru SMA Teyvat,”

“Siapa kamu?”

Kini mereka sudah berhadapan, walaupun posisi John Lee sedang terbalik dari wajah lawannya.

“Tenang, aku bukan Fatui melainkan musuhnya,”

“Namaku Yelan,” ujar si perempuan.

“Kalau begitu, lepaskan saya,” jawab John Lee menekan suaranya karena benang tipis itu menghentikan pembuluh darah di kakinya.

Dengan cepat Yelan memotong perangkapnya sampai John Lee jatuh ke tanah. Ia membiarkan John Lee membersihkan kotoran di pakaiannya sebelum kembali membuka suara.

“Wajahmu mirip dengan seseorang, aku harus memanfaatkan momentum ini,” Yelan mulai berbicara.

“Apa yang kamu mau?”

“Seperti yang kamu ketahui, salah satu anggota kami dari Secret Service mengalami kecelakaan di Liyue. Kalau kau memang orang itu, aku juga tak akan menyangkal mukjizat ini karena kita tidak pernah bertemu sebelumnya—”

“Zhongli,” ujar Yelan dengan tatapan tajam.

John Lee berusaha menahan ekspresinya, senyum tipis yang ditunjukkan oleh Yelan sedikit membuatnya gelisah, walaupun (mungkin) perempuan itu adalah salah satu rekan kerjanya, ia tak bisa sembarang percaya dengan orang untuk saat ini.

“Saya bukan Zhongli,” ujarnya dengan suara berat.

“Ya, aku tahu. Kau hanya orang yang mirip dengan Zhongli,”

“Semua anggota Secret Service tidak mengenal satu sama lain, tapi kami memiliki kode etik yang bisa digunakan untuk interaksi satu sama lain. Dan tanganmu saat ini sedang melakukannya,”

Benar saja, John Lee tidak sadar dengan tangan kirinya yang ia simpan di belakang punggungnya dan tangan kanan yang ia kepal. Yelan tentu tahu akan hal itu karena ia juga sedang melakukan hal yang sama.

“Jujur saja, aku tak akan menampik semua alasanmu,”

John Lee menghela nafasnya, lelaki itu membenarkan posisi tubuhnya seperti biasa.

“Baiklah, apa yang harus kita lakukan sekarang?”

“Kau harus ikut aku kembali ke markas, menjelaskan semuanya—”

“Tidak, saya harus menjaga tubuh asli saya di rumah sakit,” potong John Lee tegas.

“Sudah banyak Millelith yang berjaga di sana, kau tak perlu khawatir, kejadian sore tadi juga atas perintah saya,” balas Yelan tak mau kalah.

“Juga, saya harus bertemu dengan istri saya hari ini,”

Yelan tertawa saat melihat lelaki berseragam sekolah itu mengungkapkan kata 'istri saya' di depannya. Ekspersi Yelan membuat John Lee mengernyitkan sebelah alis, mungkin karena perempuan itu mengira dirinya memang masih anak sekolahan, karena rekrutan Secret Service tidak memandang usia bahkan status.

“Setidaknya di markas bisa lebih aman daripada di hutan belantara ini,”

Mendengar usul Yelan, John Lee melunakkan egonya. Lelaki itu mempersilakan rekan kerjanya untuk berjalan lebih dulu ke markas. Yelan pun sama, ia percaya bahwa John Lee tidak akan kabur dan mengikutinya, mereka berdua keluar dari area hutan Liyue sampai sebuah mobil hitam tampak di depan matanya.

“Ayo pergi,”

Yelan dan John Lee pergi menuju markas Secret Service, John Lee tidak memiliki ekspektasi apa-apa tentang rencana yang akan ia buat di sana. Mungkin ia akan mendapatkan kembali peralatan tarungnya sebelum kembali ke Liyue untuk mengawasi tubuh aslinya di sana.

**

Hentakan kaki terdengar keras menyusul dua gadis yang sedang menyantap makanannya di Liuli Pavilion, Eula dengan geram mengambil air yang ada di sembarang meja lalu menyiramnya ke arah Ningguang.

“Hey?! Apa maksud lo?!” sentak Beidou tak terima dengan perlakuan Eula.

“Lo apain Childe sampai dia masuk rumah sakit lagi?!” balas Eula sama besarnya dengan Beidou.

Ningguang hanya terkekeh sambil mengelap wajahnya dengan kain putih di samping piring restoran. Tak ada perasaan bersalah sama sekali terlihat di wajah putri tunggal pemilik Jade Chambers, Madame Ping itu.

“Saya hanya memberikan komentar atas kekalahannya melawan John Lee, tidak lebih. Tetapi sikap anak itu sama berengseknya seperti pacarnya,” balas Ningguang beranjak dari kursinya.

Lidah Eula kelu saat mendengar balasan Ningguang, gadis bersurai biru itu hanya bisa mengepalkan tangannya erat-erat sambil meredam emosi.

“Tidak ada yang boleh menyentuh aset berharga Liyue ini, tetapi dia mencoba untuk melecehkan saya, apa yang bisa saya lakukan selain membela diri?” lanjut Ningguang lembut.

Beidou tersenyum tipis lalu membelakangi Ningguang, kini posisinya hanya berjarak beberapa meter saja dengan Eula, wanita yang digadang-gadangkan sebagai jawara sebenarnya di kalangan siswi SMA Teyvat.

“Kalau lo mau lawan Ningguang, langkahi dulu mayat—”

Satu pukulan keras mendarat di pipi kiri Beidou, gadis bersurai hitam itu terjatuh sampai meja Liuli Pavilion itu terbalik serta piring dan gelas yang ada di atasnya.

Para pengunjung lain mulai menaruh perhatiannya ke arah mereka, Eula kembali mengepalkan tangannya sebelum mulai menyerang Ningguang.

“Hey! Jangan buat keributan di sini!” teriak salah satu sekuriti restoran.

Mereka bertiga diusir dari area Liuli Pavilion dan bergerak menuju Liyue Harbor untuk menyelesaikan 'urusan'-nya.

Beidou melepaskan perban ditangannya, kain putih itu sudah kumuh karena terus mengikat pergelangan tangan gadis itu hingga aliran darah pun segan berkunjung ke sana. Eula menggertakkan tulang-tulangnya sebelum kembali membantai Beidou untuk kesekian kalinya.

Alasan Beidou ditunjuk sebagai jawara adalah karena gadis itu paling sering bertandang ke sekolah lain untuk menerima 'jamuan', sementara Eula memilih untuk berdiam diri di sekolah untuk fokus pada pendidikannya. Semua orang tidak tahu sisi ini dari si gadis bersurai biru muda, namun sejatinya Eula-lah yang jauh lebih kuat dari Beidou.

“Gak peduli seberapa hebat kemampuan bertarung lo, kalau lo berani mempermalukan Ningguang, gue bakal bantai lo sampai mati kalau perlu!” seru Beidou sambil berlari menyerang Eula.

Serangan demi serangan terus dilayangkan oleh kedua belah pihak, karena hari sudah gelap, aktivitas di sekitar pelabuhan pun tak seramai di pagi hari. Eula dan Beidou saling beradu dengan alasan yang berbeda, Eula hanya ingin melawan Ningguang sementara sahabatnya itu sibuk mempertahankan harga diri si surai putih.

Ningguang menatap kedua gadis itu bosan, ia tak tertarik dengan seluruh perkelahian yang pernah ia lihat sejak Ningguang kecil. Banyak pria yang sudah menunggunya dewasa untuk dinikahi, namun sayangnya Ningguang tidak tertarik dengan pernikahan karena mempersiapkan acara pewarisan Jade Chambers untuknya ketika lulus sekolah.

Keduanya tersungkur setelah serangan terakhirnya berhasil masuk ke arah mereka, Beidou dan Eula terbaring lemas karena kekuatannya sudah mencapai batas. Ningguang yang menganggap pertandingannya selesai pergi begitu saja setelah menelepon supir pribadinya 5 menit lalu.

“Aku pulang, Beidou.” ujar Ningguang pelan.

Beidou mengacungkan jempolnya sambil terbaring, ia sibuk mengatur nafasnya karena sudah lama tidak bertanding. Wajah bonyok dan darah di pelipisnya kini sudah lama menjadi ciri khas gadis bermata satu tersebut, sementara Eula beranjak lebih dulu lalu pergi meninggalkan sahabat Ningguang itu seorang diri.

“Gue bakal balas lain kali,”

Eula pun pergi meninggalkan Beidou seorang diri di bawah lampu-lampu sekitar pelabuhan. Tak disangka, air matanya menetes karena lagi-lagi ia gagal memberi impresi kepada sahabat kecilnya. Beidou berusaha menahan perasaannya karena ia menganggap dirinya telah kalah dari Eula, gadis itu menghentakkan bagian belakang kepalanya ke tanah berkali-kali sambil menangis.

“Kenapa gue lemah gini?! Kenapa?! Apa hebatnya Keluarga Lawrence itu?!” seru Beidou di tengah keheningan.

Uluran tangan mulai nampak di mata Beidou, seorang lelaki bersurai putih dengan aksen merah itu tersenyum sembari mengangkat tubuh kekasihnya.

“Kau sudah berjuang sampai akhir, tak peduli kalah atau menang, aku tetap bangga padamu, Bei.” ujar Kaedehara Kazuha.

“Diam! Gue lemah!” balas Beidou tak mau kalah, sifatnya satu itu memang sudah mendarah daging sejak lama.

Tanpa pikir panjang Kazuha memeluk sang kekasih dengan erat, mengelus lembut punggung kerasnya itu dengan penuh kasih sayang. Seketika Beidou melemah saat mendapatkan afeksi dari Kazuha, namun tangisannya semakin keras hingga mulai menarik perhatian warga sekitar yang tengah lalu lalang di area pelabuhan.

Bodoh! Laki-laki bodoh! batin Beidou dalam hati.

-to be continued

Colored

Chapter 8: Takdir Tuhan

Takdir? Aku tak pernah percaya dengan takdir. Tuhan? Apalagi, memangnya dia ada? Kalau memang Tuhan itu ada, dia pasti mendengar semua sumpah serapahku kepada-Nya. Namun dia memilih untuk acuh, betapa ruginya aku pernah percaya kepada-Nya.

Tidak ada yang namanya takdir atau pun kuasa Tuhan, kita manusia hanya diciptakan oleh-Nya untuk jadi bagian dari permainan, kesenangan, dan keisengan-Nya.

Hu Tao merapikan bajunya yang tersilap karena hembusan angin pagi di Liyue, gadis itu tak menyangka bahwa Xiao tidak mengenalinya padahal mereka sempat bertemu saat Xiao mengembalikan pouch miliknya beberapa hari yang lalu. Dua kata singkat yang diucapkan oleh Hu Tao hanya dibalas dengan anggukan pelan Xiao, lelaki bersurai hitam kehijauan itu pamit lalu pergi menghampiri kedua orang yang sedang menunggunya.

Peramal bodoh! seru Hu Tao dalam hati.

Langkah kaki Xiao terhenti, ia berbalik ke arah Hu Tao. Gadis bersurai hitam itu mengecap bibirnya karena grogi, Hu Tao tak suka dengan tatapan sendu yang dipancarkan oleh Xiao, membuatnya geli dan muak saat menatapnya.

Kalau lo datang buat minta maaf gak akan gue maafin!

Benar saja, Xiao hanya melewati Hu Tao dan kembali masuk ke dalam toilet umum, meninggalkan gadis itu berdiri mematung tanpa sepatah kata. Terlanjur kesal, Hu Tao bergegas meninggalkan Xiao dan yang lainnya lalu pergi menuju kuil. Selama perjalanannya menuju tempat di mana Zhongli berada, gadis itu masih terus mengumpat tentang kehadiran Xiao dalam hidupnya. Hu Tao tak butuh energi negatif dalam dirinya, namun ia selalu dipertemukan oleh sosok menyebalkan itu.

Saat Xiao keluar dari toilet, ia kembali mencari sosok gadis teledor itu, ternyata pouch miliknya kembali tertinggal di sana. Dari benda mati tersebut Xiao sadar, kalau ia mengenali sang pemilik. Lelaki itu berjalan ke arah Itto dan Sara yang masih duduk beristirahat di depan supermarket dekat SPBU. Saudara dan iparnya masih terlelap sambil berpelukan, momen ini terbilang aneh namun membawa haru lewat air mata Xiao, sepersekian detik kemudian ia memecahkan lamunannya sambil menyeka air yang keluar dari pelupuk matanya.

Lebay, gumam Xiao dalam hati.

**

Zhongli tengah duduk di dekat kuil, doanya telah selesai hari ini. Mengunjungi kekasihnya selama 10 tahun tak membuatnya bosan, ia masih tak ikhlas dengan kepergian Ningguang. Melihat burung berkicau di sekitar pohon yang mengelilingi area tersebut sedikit membuatnya tenang dan sadar kalau Zhongli belum bisa menyusul sang kekasih.

“Lho? Abang kok ke sini juga?” sahut seseorang, tentu ia kenal dengannya.

“Kamu yang aneh, katanya mau liburan,” jawab Zhongli sambil terkekeh.

Tentu Zhongli tahu keberadaan Hu Tao setiap kali ia berkunjung ke kuil hanya untuk menemani tubuh layunya. Dia tak sebodoh itu, namun Zhongli lebih memilih untuk bungkam daripada ia merusak momen berharganya bersama si bungsu.

Hu Tao mencibirkan lidahnya ke arah Zhongli, ia berdoa sebentar di kuil tersebut. Hal ini justru mengundang tawa sang kakak, Zhongli berusaha menahan tawanya karena cara Hu Tao berdoa itu salah.

“Aku tahu, ya, maksud Abang!” sentak Hu Tao yang masih memejamkan matanya sambil (berpura-pura) berdoa.

Zhongli beranjak dari kursi kayu panjang di bawah pohon rindang itu, lalu mengarahkan tangan Hu Tao agar ia dapat berdoa dengan benar.

“Kalau mau belajar berdoa, minta tolong, jangan asal berdoa! Nanti doamu gak dikabulin!” omelan Zhongli justru menusuk telinga Hu Tao dengan tajam.

“Ah! Udah sana nyantai! Aku beneran berdoa, kok!” elak Hu Tao ketika Zhongli menyentuh tangan mungilnya.

Zhongli mengangkat kedua tangannya, membiarkan si bungsu berdoa dengan caranya sendiri. Hu Tao bukanlah orang yang religius, tetapi lelaki berusia 28 tahun itu senang karena Hu Tao selalu mengintilinya setidaknya setahun sekali hanya untuk berpura-pura berdoa entah untuk siapa.

Setelah ia rasa cukup, Hu Tao menghampiri Zhongli saat lelaki itu sedang memejamkan matanya. Ternyata ia tertidur, wajahnya terlihat sangat lelah dan menyedihkan.

Mungkin dia berusaha untuk sabar, tetapi bukannya manusia memiliki batas?

Hu Tao duduk di samping abangnya, ikut memandangi langit biru Liyue pagi ini. Hembusan angin itu tak membuatnya mengigil seperti biasa, gadis itu tersenyum tulus saat menikmati keindahan yang diciptakan oleh Tuhan. Ia tak sadar bahwa keberadaannya di dunia adalah rencana baik dari Yang Maha Kuasa, Hu Tao lebih memilih untuk bungkam karena ia selalu merasa menderita jika sudah bicara tentang dunia. Padahal, hal baik sudah menemuinya setengah jam lalu.

Suara langkah kaki baru kini terdengar di telinganya, satu puntung rokok dijatuhkan oleh lelaki bersurai hitam kehijauan sebelum masuk ke area kuil. Nafasnya terengah-engah karena banyaknya anak tangga yang harus didaki, ia menyebarkan pandangannya untuk mencari si gadis teledor itu sampai akhirnya mereka kembali bertatap.

Pouch gue! gumam Hu Tao dalam hati.

Gadis itu beranjak dari kursinya lalu berlari kecil menghampiri Xiao, saat mereka berhadapan, lelaki itu tak memberikan benda berharga itu kepada Hu Tao seperti pertama kali.

“Lain kali hati-hati, bagaimana kalau bukan gue yang nemuin barang lo?” ujar Xiao dengan lembut, menurut Hu Tao.

Di balik raut wajahnya yang datar, ternyata suara lelaki itu cukup renyah di telinganya. Tanpa ia sadari garis bibirnya naik tanpa dipinta, Hu Tao kembali menjadi gadis kecil ketika sedang mendambakan jajanan festival, netra merahnya kini bertatapan dengan Xiao, namun lelaki itu masih memandanginya datar.

“Terima kasih,” bukan perlawanan yang ia tunjukkan, Hu Tao justru terlihat menggemaskan di benak Xiao.

Tumben? Dia gak merengek seperti kemarin? batinnya heran.

Hu Tao menerima pouch miliknya sambil tersenyum geli, gadis itu tertawa beberapa saat setelah melihat raut wajah Xiao yang terlihat aneh saat menatapnya.

“Kenapa? Aneh?” tanya Hu Tao masih terkekeh.

“Iya,” jawab Xiao singkat.

“Memang aneh! Gue aja gak nyangka lo bakal nyusul ke sini, karena pasti—”

“Gue tahu kalau lo ke sini,” potong Xiao dengan suara datar.

Hu Tao ikut terdiam saat mendengar lelaki tanpa ekspresi itu, ramalan tadi pagi kembali terngiang di kepalanya. Namun ia takut dengan rencana yang Tuhan buat untuknya, apakah Dia akan kembali bermain-main dengan bidaknya? Entahlah, gadis itu tak akan tahu.

“Karena cuma ini tempat yang didatangi sama perempuan sok mellow seperti lo,” jawab Xiao, niatnya bercanda, tapi hentakan kaki Hu Tao berhasil membuatnya meringis.

Xiao menahan sakit juga menahan umpatan yang sudah ada di ujung lidahnya, ekspresi Hu Tao sudah berubah, gadis itu bukan seperti gadis menggemaskan tadi.

“Bawel, udah pergi sana! Gue gak bakal kasih imbalan karena lo udah balikin pouch gue!” ujar Hu Tao berbalik arah membelakangi Xiao.

Tubuh mungilnya tertahan oleh tangan kanan Xiao, tanpa perlawanan Hu Tao kembali menghadap ke arah lelaki tanpa hati tersebut. Untuk kesekian kalinya netra keduanya bertatapan, Hu Tao menelan paksa ludahnya, ia tak pernah mengalami momen aneh ini sebelumnya. Mereka diam selama beberapa detik, sampai hembusan nafas Xiao terasa di wajahnya saat lelaki itu mulai berbicara.

“Maaf, gue gak mengenali lo tadi, gue susah mengingat wajah seseorang,” ujar Xiao dengan ekspresi yang sama.

Hu Tao hanya mengangguk pelan, jantungnya berdebar hebat saat menatap netra emas milik si terduga jodohnya. Pikirannya sudah melambung jauh ke mana-mana, namun lagi-lagi Hu Tao lebih memilih untuk merepeti Yang Maha Satu itu atas rencana yang telah ia buat.

“Y-Ya, gak apa-apa! Lagian lebih baik kita gak usah kenal!” potong Hu Tao saat tatapannya mulai jauh.

“Sayang sekali, gue harus mengenal lo,”

Jantung Hu Tao kian memacu, keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. Kata-kata manis itu seolah tak disangka keluar dari mulut Xiao, gadis itu perlahan berubah menjadi gadis SMP yang baru saja puber.

“Sayang kenapa?” tanya Hu Tao pelan.

“Gak apa-apa, Sayang.” canda Xiao, terdengar renyah tetapi hatinya ikut terbakar saat mengatakan hal itu.

Suara sentakan keluar dari mulut Zhongli, lelaki itu tak tahan dengan segala romansa yang ia lihat sejak tadi. Zhongli sudah tak kuat melihat interaksi mereka, ia sibuk menutup mulutnya agar tidak terdengar oleh Hu Tao, namun semuanya terlambat.

“Ih! Apa, sih?! Udah, ah! Ayo pulang!” ajak Hu Tao sambil menarik lengan Zhongli yang ia gunakan untuk menutupi mulutnya.

Zhongli tersenyum ke arah Xiao lalu pergi meninggalkan kuil itu hingga menyisakannya seorang diri. Tentu Xiao sibuk menghina dirinya karena telah menirukan adegan dari novel terakhir yang ia baca.

Tolol—Astaga! Gak boleh mengumpat di area kuil, gumam Xiao sedikit tertahan oleh kebodohannya.

Lelaki bersurai hitam kehijauan itu turun menyusul Zhongli dan Hu Tao, tetapi ia tak dapat lagi melihat keberadaan mereka yang sudah hilang dari pandangannya. Saat sudah keluar dari area kuil, Xiao kembali menyerang diri dengan kata-kata negatif untuk mengutuk eksistensinya di dunia.

Zhongli habis direpeti oleh Hu Tao karena mengganggu momen romantis pertamanya, ia sama sekali tidak merasa aneh ketika lelaki bersurai hitam kehijauan itu mengatakan kalimat renyah tersebut, justru ribuan kupu-kupu mengelilingi perutnya hingga menciptakan rasa yang belum pernah Hu Tao alami sebelumnya. Padahal gadis itu sangat membenci genre romantis baik di film atau pun novel yang dibaca, tetapi Xiao? Benar-benar mengubah pandangan itu hanya dengan 3 kata.

Aku bahkan belum tahu namanya, gumam Hu Tao dan Xiao, di tempat yang berbeda.

-to be continued

WHY 18?

Chapter 5: Kalimat Sakral

Suara mesin penjual otomatis itu terdengar nyaring di telinga Hu Tao, setelah dua buah koin ia masukkan ke dalamnya, Hu Tao menekan dua kali minuman dingin yang ia inginkan juga untuk si sepupu. Hu Tao mengambil kedua minuman itu lalu pergi meninggalkan area tempat berjejernya mesin penjual otomatis di pusat kota Liyue.

“Gue gak tau lo sukanya minuman apa, jadi gue beliin aja—”

Hu Tao tak mendapati John Lee di mana pun, ia meruntuk kesal karena sepupunya itu tak mengindahkan peringatannya untuk tidak mencolok di muka umum selama beberapa hari. Semenjak berita munculnya jawara baru di sekolah, John Lee mulai dicari oleh banyak kelompok, bukan hanya anak-anak sekolah, melainkan bawahan Keluarga Harbingers yang disebut sebagai Fatui.

Hu Tao mengambil ponselnya di saku celana, lagi-lagi ia harus menghela nafas karena perempuan itu tak memiliki nomor telepon John Lee. Hu Tao kembali membungkus minumannya lalu mencari John Lee ke setiap sudut di pusat kota Liyue.

**

John Lee tiba di Rumah Sakit Umum Liyue, dugaannya benar karena saat ia kecelakaan, seingat lelaki itu dirinya sedang berada di Negeri Seribu Kontrak tersebut. Lelaki bersurai hitam itu menelusuri setiap koridor rumah sakit, mencari keberadaan istrinya. John Lee tak bisa lagi menahan rindu serta khawatir karena telah meninggalkan Ei dan calon buah hatinya sendirian, memikirkannya saja sudah membuat hatinya gusar.

Kamu di mana, Ei? gumam John Lee sembari melihat ke sana kemari.

Kawanan pria bertubuh kekar datang dari arah berlawanan, seorang perempuan bersurai hitam dengan kacamata hitam di atas keningnya tampak memimpin bawahannya lewat langkah kakinya. Dari sisi John Lee, muncul pula kawanan dokter dengan atribut lengkap namun mencurigakan datang ke area ICU tempat Zhongli sebenarnya dirawat.

“Sudah?” tanya perempuan bersurai hitam itu.

“Kenapa kau membawa anak kecil?” tanya si dokter.

John Lee berada tepat di antara mereka, ia bingung karena mau pergi dari sana pun rasanya tidak mungkin. Saat John Lee sekilas melihat ke celah kaca ruang ICU, ia mendapati dirinya sedang terbaring seorang diri tanpa siapa pun.

Ini ruangan saya,

Perempuan bersurai hitam itu mengisyaratkan bawahannya untuk menyingkirkan John Lee dari area ruangan ICU. Tanpa perlawanan, John Lee menurut dengan perintah pria-pria besar yang sedang menggiringnya menjauh dari area tersebut. Ketika ia sampai di depan meja resepsionis, John Lee melihat Raiden Ei dan Yae Miko masuk ke dalam rumah sakit sambil terisak. Namun sayangnya langkah kaki John Lee seolah tertahan karena hatinya ikut sakit melihat penderitaan sang istri.

John Lee memaksakan tubuhnya untuk bergerak. Ada yang aneh, ia tak dapat bergerak sedikit pun entah kenapa.

Suara teriakan dari area ICU mulai terdengar, John Lee pun mendengarnya tetapi tubuhnya masih belum bisa digerakkan.

Dari belakang, seorang pria bersurai putih menyenggolnya hingga ia terjatuh. Namun pria itu sama sekali tak menggubris kondisi John Lee yang sudah seperti mayat hidup.

Raiden Ei dan Yae Miko berusaha melawan kawanan pria berjas hitam sekuat tenaga, mereka berdua berusaha untuk menerobos pintu masuk setelah mengenali bahwa dokter yang datang barusan adalah salah satu anggota Keluarga Harbingers, Dokter Dottore.

“Mau kalian apakan suami saya?!” seru Raiden Ei membabi buta, namun kekuatannya masih kalah jauh dengan sang lawan.

Yae Miko memukul tubuh kawanan berseragam lengkap itu dengan kepalan kecilnya yang tentu tidak terasa sama sekali. Karena sudah hilang kesabaran, mereka mendorong Ei dan Yae Miko hingga terhempas ke dinding rumah sakit.

“Wah, sudah ramai saja,” ujar Pierro disusul oleh Arlecchino yang baru saja tiba.

Mata Raiden Ei terbelalak karena kumpulan orang yang selama ini hanya ia dengar melalui berita kini berada di depannya secara langsung. Hawa mengerikan mulai menusuk tubuhnya, bulu kuduknya berdiri diiringi perasaan merinding hanya karena menatap wajah mereka saja.

“Siapa perempuan ini?” tanya Arlecchino bingung.

“Yang rambut ungu itu istrinya Zhongli,” jelas salah satu pria bertubuh kekar itu.

Mendengar jawaban yang memuaskan hati itu membuat Arlecchino tersenyum lebar, ia berjalan ke arah Raiden Ei yang masih tersender di dinding.

Perempuan bersurai pendek itu menggenggam erat dagu runcing Ei lalu menatapnya dalam-dalam.

“Sepertinya kamu tidak tahu pekerjaan suami kamu, ya?” tanya Arlecchino sinis.

Raiden Ei hanya menggangguk pelan, ia tak bisa bergerak bebas karena wajahnya kini dicengkram oleh Arlecchino.

“Dia memiliki utang yang belum dibayar lunas kepada keluarga kami—”

“Sudah, Arle. Tidak penting membicarakan itu sekarang,” potong Pierro lalu berjalan masuk ke dalam ruang ICU.

Arlecchino menuruti perintah sang suami, ia melepas cengkramannya lalu ikut menyusul ke dalam. Kawanan berjas hitam itu kembali menutupi pintu ruang rawat Zhongli setelah mempersilakan kedua orang penting Harbingers itu masuk.

Kalau saja kamu mengizinkanku untuk melanggar janji itu, sudah kuhabisi mereka semua, runtuk Ei dalam hati.

Yae Miko menoleh pelan ke arah saudaranya, ia tahu persis apa yang dirasakan oleh Raiden Ei saat ini. Sebagai mantan pasukan khusus militer di Inazuma, getaran yang terlihat di tubuh Ei bukanlah karena ketakutan, melainkan agar sabarnya dapat tertahan walaupun sebenarnya sulit.

John Lee berjalan perlahan ke area ruang rawatnya, tubuhnya masih sulit untuk digerakkan secara misterius. Entah apa yang sedang terjadi di dalam ruangan rawat itu, namun ia ingin berbicara dengan sang istri jika diberikan kesempatan.

“Kenapa kau ke sini lagi?!” seru salah satu pria bertubuh kekar.

Mereka berlari ke arah John Lee dengan cepat, Yae Miko dan Raiden Ei menoleh ke arah seorang lelaki berseragam sekolah itu dengan tatapan heran.

Imperatrix Umbrosa!”

Mendengar kalimat itu berhasil memacu seluruh darah di tubuh Ei hingga bergejolak, jantungnya berdetak 10 kali lebih dari biasanya. Perempuan bersurai ungu itu mengepalkan tangannya sebelum berlari menyusul kawanan yang sedang mengincar John Lee.

Dari mana bocah itu tahu tentang hal ini?! gumam Yae Miko tak percaya.

Dalam sekejap mata, kawanan berseragam lengkap itu terjatuh dan tak berdaya dengan luka di sekitar tubuhnya. Raiden Ei kini berada tepat di depan John Lee, ia menatap lelaki itu tak percaya.

“Apa yang kau bilang—”

Petinggi Harbingers keluar dari ruangan ICU setelah mendengar suara keributan di luar, tak disangka seluruh bawahannya yang berjaga kini sudah tak lagi berdaya karena seorang perempuan.

“Apa yang terjadi?!” sentak Pierro kesal.

Tubuh John Lee kembali normal setelah melihat Pierro, Arlecchino, Dottore, dan Columbine. Kini ia mampu berdiri tegak setelah perhatian para Harbingers teralihkan oleh Raiden Ei.

“Kita bicarakan nanti,” ujar John Lee dengan suara beratnya.

John Lee melangkah lebih dulu dari Raiden Ei, namun sayangnya takdir berkata lain. Belasan Pasukan Millelith datang melerai kejadian panas itu agar tidak berkelanjutan.

“Bubar! Bubar! Kalian kenapa buat keributan di rumah sakit?!” seru salah satu anggota Millelith.

Pierro menghela nafasnya berat, ia terpaksa mengikuti perintah Millelith sebelum terjadi konflik lain yang tak diinginkan. Mereka pergi ke arah berlawanan dari Raiden Ei dan John Lee. Di saat yang sama, Raiden Ei, John Lee, dan Yae Miko pun diusir dari area tersebut sampai waktu yang tak dapat ditentukan.

“Demi keamanan pasien, jam besuk akan diperketat. Biarkan kami yang menjaga saudara Zhongli sampai kepalamu dingin,”

Mau tak mau, mereka pun pergi dari rumah sakit dengan perasaan kesal.

“Kenapa kamu menyorakkan kalimat itu?” tanya Raiden Ei kepada Zhongli.

Walaupun raganya sama, tetapi istrinya tetap tak mengenali sosoknya. Di sini John Lee sadar kalau ia memang bukanlah Zhongli, suami dari Ei. Ia menggelengkan kepalanya sembari mengangkat kedua bahunya tanpa mengeluarkan kata-kata.

“Sudahlah, untung saja semuanya berhasil dicegah. Sekarang kita pulang saja, memang ide buruk memaksa kembali ke sini sore-sore begini,” ajak Yae Miko sambil menarik lengan Ei.

Mereka berdua pergi meninggalkan John Lee tanpa kata setelahnya, yang bisa dilakukan oleh John Lee saat itu hanyalah mendoakan istrinya agar tak perlu khawatir lagi, karena ia sudah tahu bagaimana caranya menjaga diri sebelum tubuh aslinya kembali normal seperti sedia kala.

Dari kejauhan, John Lee melihat Hu Tao masih mencari keberadaannya sejak tadi. Lelaki bersurai hitam itu menghampiri sepupunya sambil berlari kecil. Mungkin menurutnya kejadian tadi sedikit memberikan ruang agar dirinya bisa bebas dari tekanan Harbingers.

“Lo ke mana aja, sih?! Gue cariin ke mana-mana!” sentak Hu Tao kesal setelah John Lee tiba di depannya.

“Tadi nyari toilet, saya kebelet buang air,” jawab John Lee mencurigakan.

Hu Tao menempeleng kepala John Lee sedikit keras, ia benar-benar khawatir kalau misalnya John Lee dikepung atau malah diserang oleh kawanan yang tak diinginkan.

“Bawel banget! Udah ayo pulang!” ajak Hu Tao sambil mendorong tubuh sepupunya dari belakang.

John Lee terkekeh melihat gelagat Hu Tao, mereka berdua ikut pergi meninggalkan area rumah sakit setelah Raiden Ei dan Yae Miko hilang dari pandangannya.

**

“Baik, terima kasih,” ujar perempuan bersurai putih di depan meja kasir.

Shenhe membawa obat merah yang masih terbungkus plastik lalu berjalan ke arah Xiao, putra tunggalnya.

Xiao masih bergumam karena kejadian tadi pagi, ia masih tak percaya bahwa dirinya bisa dikalahkan oleh anak baru di sekolahnya. Walaupun sekilas ia tampak tak peduli dengan statusnya sebagai salah satu jawara sekolah, Xiao ternyata bermimpi untuk menjadi nomor satu di sana sebelum ia benar-benar lulus dari SMA Teyvat.

“Mau sampai kapan kamu berantem terus, Nak?”

Shenhe mengobati luka di wajah Xiao dengan lembut, sesekali ia meringis kesakitan karena obat merah itu, pedih rasanya.

“Kalau tahu sakit kenapa harus berantem tiap hari?” lanjut Shenhe mengomeli Xiao.

“Udahlah, Bu. Kalau gak ikhlas ngobatin biar aku aja,” balas Xiao mengambil kain kasa di tangan kanan ibunya.

Melihat putra satu-satunya itu merepet sembari menyeka darah yang masih mengalir di sekitar wajahnya membuat air mata Shenhe berlinang. Jujur saja, perempuan bersurai putih itu tak kuat melihat Xiao dalam keadaan seperti ini.

“Maaf, ya, Nak.” ujar Shenhe terbata-bata, ia berusaha menahan tangisnya di depan Xiao.

Hatinya lunak seketika, Xiao menghentikan aktivitasnya lalu memeluk Shenhe yang sedang terisak.

“Maaf,” kata lelaki bersurai hitam itu pelan.

Tak peduli orang yang lalu lalang di area klinik, Xiao merasakan hangatnya pelukan sang ibu, karena untuk saat ini hanyalah sosok Shenhe yang mampu untuk mengobati luka di hatinya. Xiao tak peduli dengan seluruh tubuhnya, tetapi kalau ia melihat Shenhe menangis, dunia seakan hancur mengikuti.

-to be continued

Archon FamILY

Ending Episode 3: Come and Go

Scaramouche sibuk menghujani umpatan kepada kedua pamannya dalam hati, Venti dan Itto terlihat sibuk bermain gim hingga melupakan fakta bahwa keponakannya itu sudah tiba di tempat latihan mereka sekitar 30 menit lalu.

Scaramouche duduk menghadap kaca besar yang dapat menunjukkan refleksi mereka dengan jelas. Ia mengambil gawainya lalu berselancar di dunia maya sesuka hatinya, setidaknya untuk saat ini hanya kegiatan itulah yang bisa mengobati rasa suntuknya.

Tiba-tiba alarm dari ponsel salah satu pamannya berbunyi, dengan cepat Venti menutup televisinya dengan sebuah kain sementara Itto menyembunyikan console milik Venti ke dalam lemari besi.

“Cepetan!” seru Venti sedikit panik.

Scaramouche hanya memperhatikan tingkah bodoh kedua saudaranya sambil menahan tawa, karena dari kejauhan Barbara sudah nampak sedang memarkirkan mobilnya di depan ruko kosong yang rencananya akan menjadi kantor Barbatos Entertainment milik Venti.

Dasar orang-orang tolol, gumam Scaramouche dalam hati.

Ketika knop pintu itu berputar, suara musik dari speaker berukuran sedang berbunyi dengan keras. Venti menarik lengan Scaramouche karena saking paniknya. Satu hal yang tidak disadari oleh Scaramouche adalah istrinya juga ikut dengan Barbara sambil membawakan bekal makan siang untuk mereka.

“Hai, Sayang!” seru Barbara dengan riang, diikuti oleh Lumine yang masih terlihat malu-malu.

“Makan siaaaang!” teriak Itto antusias, ia sudah membasahi tubuhnya dengan air dari kamar mandi, supaya terlihat sedang bekerja keras katanya.

“Ini aku bawain buat kamu juga, titipan dari Tante Ningguang,” kata Barbara sambil membagikan kotak bekal untuk suami dan iparnya.

“Bang! Gue dapat ayam goreng! Lo apa?” ujar Itto, ia melirik-lirik kotak bekal milik Venti.

“Ehhh, jangan lihat dulu, dong! Curang!” sentak Venti dengan nada bercanda.

Mereka tertawa lepas setelahnya, Venti menyuapi sang istri dengan penuh suka cita. Itto pun sama, ia memakan masakan sang ibu dengan lahap sampai tak terasa hanya beberapa kali suapan saja lauknya sudah habis.

Lumine menarik baju suaminya pelan, kala Scaramouche melamun melihat tingkah aneh saudaranya, sejujurnya ia tertegun ketika melihat kehangatan yang lelaki itu rasakan. Pikirannya telah dibutakan oleh sikap buruk keluarganya yang sudah ia ketahui sejak Scaramouche kecil, lelaki bersurai ungu itu selalu risih ketika membahas tentang keluarga. Perlahan tapi pasti, Scaramouche sadar bahwa keluarga adalah tumpuan terakhirnya di kala dunia seakan runtuh.

“Kenapa?” tanya Scaramouche heran.

Lumine menyodorkan dua bungkus nasi kepada suaminya, yang satu ada di dalam sebuah kotak berwarna ungu, sudah jelas ini buatan ibunya, Raiden Ei. Sementara bungkus satu lagi, hanya berbalutkan kertas coklat dan sebuah karet yang mengelilinginya.

“Aku belum bisa masak, tapi aku tadi udah cobain masakan Mama, aku gak tega mau kasih ke kamu,” ujar Lumine, perutnya berbunyi beberapa kali karena sakit perut.

Scaramouche terkekeh, pandangan ini adalah yang termanis di mata Lumine. Bagaimana bisa lelaki yang ada di depannya itu menyembunyikan raut wajah menggemaskan ini sepanjang hidupnya? Bahkan saat mereka menikah pun, tak sedikit pun garis bibir Scaramouche naik di momen sakral mereka.

“Makasih, ya, Sayang.” ucap Scaramouche pelan.

Sayang sekali Lumine telah terperangkap dalam lamunannya, ia bahkan tak tahu bahwa Scaramouche telah mengulang kalimat itu beberapa kali.

CTAK

“Aduh! Sakit!” rintih Lumine sambil memegangi dahinya.

“Makanya kalau gue ngomong didenger!” sentak Scaramouche kesal. Ya, dia sudah kembali menjadi Scaramouche yang dikenal semua orang.

Interaksi Scaramouche dan Lumine cukup menarik perhatian Itto, tak ayal ia pun berimajinasi tentang hal ini. Sampai saat ini, Itto belum bisa membayangkan seorang pun di benaknya.

TRING

Itto mengambil gawainya, nama perempuan bersurai krem itu tertera di layar.

Kokomi

Itto! Kamu udah makan? Aku boleh mampir ke tempat kamu latihan?

Saat itu juga Itto sadar, bahwa ia telah jatuh cinta.

**

Albedo berdiri sembari menopang tubuhnya di sebuah tiang pondasi halte bus, hari sudah menunjukkan pukul 4 sore. Barang bawaannya saja sudah membuat orang lain gerah dibuatnya, Albedo menyandang dua ransel di posisi depan dan belakang tubuhnya, kedua tangannya juga sibuk menggenggam plastic bag. Peluh di wajahnya tak bisa lagi ia seka, beberapa hari ini Albedo menginap di kampus untuk menyelesaikan tugas akhirnya sebagai mahasiswa dengan dua jurusan.

“Mas, kenapa gak diletak dulu barang bawaannya? Jadwal bus masih sepuluh menit lagi,” ujar seorang ibu-ibu yang khawatir melihat kondisi Albedo.

Lelaki bersurai coklat itu hanya tersenyum, lalu meletakkan barangnya sesuai permintaan si ibu. Orang-orang yang duduk di kursi semen halte menggeserkan badannya agar Albedo bisa beristirahat. Berusaha sekeras itu hanya untuk melupakan seseorang yang ia cintai, itulah yang kini Albedo rasakan.

Tak terasa sepuluh menit berlalu, penumpang yang berada di dalam bus bergantian dengan penumpang yang akan masuk ke dalam transportasi umum itu. Begitu pula dengan si surai coklat, ia kembali mengangkat barang bawaannya sebelum menaiki bus.

Mona?

Seperti kerja kerasnya untuk membangun benteng pertahanan terakhir di hatinya seolah hancur tak bersisa, melihat mantan kekasihnya sedang bercanda tawa dengan pria lain membuat Albedo diam di tempat. Kakinya sudah tak lagi tegak karena urat-uratnya terlatih berdiri selama beberapa hari, pandangannya buram karena air matanya mulai berjatuhan.

Si mantan tak sengaja mengedarkan pandangannya, ia melihat Albedo dari dalam bus, menatapinya penuh sendu.

Mona...

Albedo terus menggumamkan nama mantan kekasihnya dalam diam, hatinya tergores lagi oleh pisau yang sama, sebuah pisau bertuliskan nama Mona di bilahnya. Ia tetap diam, sampai supir bus kota itu tak mampu menahan sabarnya. Albedo ditinggal sendiri, namun perasaannya masih tetap di sini.

-to be continued

WHY 18?

Chapter 4: Munculnya Jawara Baru SMA Teyvat cw: nsfw, prostitute, forced blowjob, murder

Suara hentakan kedua tubuh manusia itu terdengar nyaring di sebuah ruangan tertutup, dari belakang seorang pria terus memompa pinggulnya agar kemaluannya bisa penetrasi ke dalam liang surga itu berkali-kali. Suara desahan seorang perempuan yang sudah terdengar lemas justru membuatnya semakin bergairah untuk menggenjot tubuhnya yang sudah tak berdaya.

“Begitu ternyata,” ujar pria itu melalui telepon genggam di tangan kanannya.

Sementara itu, tangan senggangnya menjambak rambut panjang perempuan sewaannya sampai terdengar suara rintihan kenikmatan, air liurnya berjatuhan ke atas meja, berkas-berkas penting milik kepolisian sudah rusak akibat ganasnya permainan mereka di ruang kerja salah satu anggota keluarga Harbingers itu.

Merasa dirinya berada di titik klimaksnya membuat Capitano mempercepat gerakannya hingga menyemburkan semennya ke vagina milik si pelacur.

Aahh!

Capitano melepas kemaluannya lalu menyingkirkan tubuh perempuan yang sudah tersungging di meja kerjanya. Sembari menutup telepon, pria bertubuh kekar itu memainkan pelirnya yang masih berdiri tegak lalu duduk di atas meja kerjanya.

Kabar kecelakaan Zhongli kini sudah terdengar oleh Kepala Kepolisian Teyvat, Il Capitano. Rencananya terbilang gagal karena saingannya itu kini sedang mengalami koma, ia menyusun kembali berkas yang telah basah itu lalu memasukkannya ke dalam sebuah kotak berwarna coklat, Capitano menaikkan kakinya ke atas meja kemudian kembali bermain dengan dirinya sendiri.

“Hey,” sahutnya kepada si pelacur.

Perlahan perempuan panggilan itu menoleh ke arah Sang Tuan, garis bibirnya sedikit naik saat melihat pelir milik Capitano masih berdiri tegak dan gagah. Urat-urat kemaluannya terekam jelas di benaknya hingga lagi-lagi salivanya keluar dari mulutnya.

“Saya belum selesai, kenapa Anda sudah seteler itu?” lanjut Capitano beranjak dari kursinya.

“Ma-Maaf, Tuan! Saya tidak kuat menahan gempuran itu,” jawabnya sambil merangkak ke arah Capitano.

Capitano mencengkram leher si pelacur dengan erat, kini darahnya berkumpul di kepala karena tangan besar Il Capitano. Nafasnya mulai terasa sesak namun birahinya masih tetap nampak, mulut kecilnya dipaksa masuk oleh penis milik Capitano kemudian ia kembali menggenjot barangnya ke dalam mulut si perempuan sampai ke ujung walaupun ia sudah tak bisa lagi melahapnya sampai habis.

Cairan semen pria itu menetes dari liang vaginanya, tubuhnya beberapa kali bergetar karena tak sanggup menahan pompaan Capitano. Senyum simpulnya mulai terlihat saat perempuan itu mengeluarkan air mata, kini liurnya sudah membasahi sebagian kemaluan Capitano. Namun sayangnya, pupil perempuan itu kian membesar sampai jantungnya sesekali berhenti saking tak kuatnya menahan nafsu Capitano.

“Saya sudah bayar mahal untuk tubuh rapuhmu, kalau Anda tidak bisa memuaskan saya lebih baik Anda mati saja!” sentak Il Capitano sambil menampar wajah si pelacur berkali-kali.

Sekali, dua kali, dirinya masih bisa bertahan, tetapi akhirnya perempuan itu tumbang dengan sendirinya. Cengkraman kecil di paha Capitano mulai lepas, pria itu masih tak puas dengan servisnya, ia terus menusuk penisnya ke dalam tenggorokan si pelacur hingga dirinya benar-benar tak lagi bernyawa.

Perempuan itu tumbang, Capitano kembali mengeluarkan semennya ke wajah yang sudah mati itu. Setelah merasa puas, pria itu mengeluarkan ponselnya lalu membuka notes, ia menuliskan berapa kali ia ejalukasi hari ini.

Butuh 12 kali ejakulasi sampai pelirku benar-benar layu, tulisnya dengan wajah datar.

Setelah menulis diary singkat itu, Capitano menelepon cleaning service langganannya agar segera membersihkan ruang kerjanya yang sudah seperti kapal pecah.

“Sepertinya aku harus membunuh Zhongli malam ini,” ujar Capitano dengan suara berat.

**

Xiao memukul John Lee beberapa kali dengan kekuatan penuh, melihat pertarungan ekslusif ini membuat ide di kepala Hu Tao mulai bermunculan. Ia mengeluarkan gawainya lalu mengunggah siaran langsung pertandingan antara John Lee dan Xiao di akun resmi sekolahnya. Ratusan—bukan, ribuan siswa SMA Teyvat yang tengah melaksanakan apel pagi dialihkan oleh akun sosial media milik Hu Tao.

“Eh, lihat! Xiao sama anak baru!”

“Ayo pasang taruhan!”

“Gue pegang John Lee! Jawara baru sekolah kita!”

“Gak mungkin! Xiao jauh lebih hebat dari anak itu!”

Lisa Minci, kepala sekolah SMA Teyvat mendengus kesal saat melihat siswanya mulai berbicara sendiri di barisannya. Ia mengarahkan anggota OSIS untuk melakukan kroscek tentang apa yang sedang terjadi saat ini.

“Ini, Bu! Ada yang berkelahi!” bisik Keqing selaku Wakil Ketua OSIS, ia memberikan gawainya kepada Lisa. Perempuan bersurai coklat itu melihat dengan seksama apa yang sedang ia tatap di layar itu.

“Ini di dekat UKS, segera kerahkan seluruh anggotamu untuk melerai mereka!” perintah Lisa yang disanggupi oleh Keqing.

Gadis bersurai ungu itu mengarahkan beberapa anggotanya untuk ikut dengannya ke area UKS, sementara Lisa kembali berusaha menenangkan situasi yang sudah tak kondusif itu.

“Anak-anak! Perkelahian bukanlah sebuah ajang di sekolah ini! Kita tetap harus menjaga kerukunan—”

“Diam lo! Ceramah lo basi!” potong salah satu siswanya.

Tawa siswa SMA Teyvat menghiasi lapangan olahraga sekolah, mereka mulai melontarkan protesnya kepada Lisa karena sibuk menenangkan kawanan anak berseragam sekolah itu dengan pelantang suara.

“Bu! Childe tergeletak di depan ruang kelas 12 IPA 4! Kondisinya kritis!” lapor salah satu anak OSIS bagian kesehatan.

Lisa langsung berlari menyusul anak-anak bagian kesehatan dengan wajah khawatir, jabatannya sebagai kepala sekolah bisa dicopot kalau sampai orang tua putra bungsu Harbingers itu tahu bahwa Childe sedang dalam masalah. Sesampainya di lorong jurusan IPA, Lisa menyuruh salah satu siswanya untuk mengecek ke ruang CCTV untuk mendapatkan kronologis lengkap tentang kejadian yang menimpa Childe. Lelaki jangkung bersurai oranye itu digotong oleh siswa lain setelah mereka memanggil mobil ambulans.

“Kenapa semuanya bisa begini?!” runtuk Lisa sambil mengepalkan tangannya karena emosi.

Di ruangan CCTV dan interkom, anggota OSIS yang dikerahkan oleh Lisa tak bisa masuk karena dikunci dari dalam. Di balik pintu, penjaga sekolah sudah disekap oleh kawanan Geng Punk yang diketuai oleh Kaedehara Kazuha.

“Sudahlah, jangan menanis, Pak! Nyawamu tak selamat kalau kau tidak mematuhi perintahku,” ujar si ketua sambil memainkan tongkat keamanan milik si penjaga sekolah.

Fischl tengah bersiap untuk menghidupkan saklar interkom sekolah, ia hanya tinggal menunggu perintah Kazuha yang masih menatap layar gawainya sambil berharap.

“Oke, transferan sudah masuk!” seru Kazuha ke arah gadis bersurai pirang itu.

Saat pelantang pusat itu telah nyala, Fischl berdeham sebelum mengumumkan berita penting tersebut ke seluruh penjuru sekolah.

“Selamat pagi saya ucapkan untuk seluruh elemen SMA Teyvat yang sehat dan berbahagia!”

“Dengan ini, kami dari anggota Geng Punk tengah mengumumkan presentasi dan sejarah baru jawara di sekolah kita!”

“Seperti yang kalian ketahui, kemarin Childe sudah tumbang oleh Geng Arataki yang diketuai oleh Arataki Itto. Namun kabar itu tidak hanya sampai di sini! Sekarang Childe sudah kalah telak karena siswa baru bernama John Lee dari kelas 12 IPA 4 mengalahkannya pagi ini!”

Lisa menoleh ke arah interkom di dekatnya, mencoba mengingat siapa nama anak baru yang disebutkan oleh Fischl barusan. Akal sehatnya mulai hilang, Lisa Minci langsung berlari sekuat tenaga ke ruangan CCTV dan Interkom saat itu juga.

“Dengan kalahnya Childe The Eleventh Harbingers, kini sekolah kita telah bebas dari monopoli busuk keluarga haram itu! Sekarang SMA Teyvat semakin buas karena munculnya banyak cecenguk baru di lembaga pendidikan bangsat ini!”

Sorak meriah siswa SMA Teyvat memenuhi seisi lapangan olahraga, mereka berhamburan berlari ke area CCTV walaupun sudah ditahan oleh para anggota OSIS yang tersisa dan seluruh majelis guru. Namun karena jumlah mereka terbilang sedikit, lautan siswa berseragam itu mampu menembus titik pertahanan terakhir petinggi sekolah.

“Mari kita merayakan kemerdekaan ini dengan menyaksikan pertandingan pamungkas antara The Lone Wolf Xiao Alatus dan That New Kid John Lee di sosial media kalian masing-masing!”

“Rekam layar kalian! Lalu unggah peristiwa bersejarah ini dan sebarkan ke seluruh dunia! Jangan lupa, gunakan tagar #HarbingersIsOver di caption-nya, ya!”

Di area UKS, pertarungan John Lee dan Xiao masih berlanjut. Tinggal sedikit lagi, sekolah itu akan menemukan jawara barunya, Xiao tersungkur ke belakang setelah dipukul dengan kuat oleh John Lee, lelaki bersurai hitam itu tak berkeringat sama sekali menghadapi seluruh serangan dari Xiao. Ia mendecis kesal karena akhirnya Xiao menemukan lawan sepadan selama ia bersekolah di sekolah korup ini.

“Kau memang segitu maunya, ya, menguasai sekolah ini?” ujar Xiao dengan nafas terengah-engah.

John Lee menggeleng pelan lalu berjalan ke arah Xiao, ia mengulurkan tangannya lalu membantu Xiao untuk bangkit dari tempatnya.

“Saya tidak ingin menjadi jawara sekolah,” ucap John Lee sambil tersenyum.

Bukan respon positif yang didapat oleh John Lee, dengan cepat Xiao menyapu kakinya lalu memijak kepala John Lee dengan keras berkali-kali.

“Jangan remehkan aku!” teriak Xiao lantang.

Kini sebagian besar siswa SMA Teyvat telah memenuhi area UKS sambil berteriak menyemangati kedua gladiator sekolah itu.

Sialan! Saya tidak boleh kalah sama anak sekolahan!

John Lee menghindari serangan brutal Xiao kemudian mendorongnya sampai menabrak dinding sekolah, pandangan Xiao buram seketika saat tubuhnya terhantam keras oleh dinding.

Hu Tao langsung menarik lengan John Lee lalu kabur dari kerumunan siswa yang terus menyoraki nama jawara baru SMA Teyvat itu.

“Gila! Sehari doang lo bisa nguasai sekolah ini!” seru Hu Tao sambil berlari keluar dari area sekolah bersama John Lee.

“Saya sebenarnya tidak mau jadi jawara di mana pun!” balas John Lee sedikit keras.

“Untuk sementara lo harus mengasingkan diri! Mungkin Kakek bakal dipanggil ke sekolah tapi tenang aja, semua pasti bisa diatasi sama bawahan-bawahan baru lo!” jelas Hu Tao kepada John Lee.

Status John Lee sebagai jawara sekolah sudah ditetapkan, kalahnya Xiao telah menjadi bukti bahwa lelaki bersurai hitam itu kini menjadi pujaan seluruh siswa SMA Teyvat. Kembalinya John Lee sebagai siswa SMA seolah membuahkan hasil, tanpa ia sadari pula, musuh John Lee dari Harbingers mulai turun satu persatu untuk memburunya dan juga tubuhnya yang masih terbaring lemah di rumah sakit.

-to be continued

Archon FamILY

Episode 3: Come and Go

“Maaf terlambat!” sapa Venti dan keluarga kecilnya. Venti terlihat kelelahan sembari menggendong Sayu, putri kesayangannya.

Di balik wajah lesu Venti (yang dipaksa semangat), kantung mata milik istrinya Barbara sudah sangat hitam karena kurang tidur pasca melahirkan. Berat badannya berkurang banyak karena energi yang ia kerahkan sangat terkuras. Raiden Ei sudah tiba lebih dulu padahal Venti pergi lebih dulu darinya ke Good Hunter, mungkin hari ini bukanlah momen yang tepat untuk merayakan sebuah berita bahagia, setiap keluarga memiliki titik rendahnya masing-masing di pertemuan ini.

Ningguang menyambut keluarga bungsu Archon dengan sukacita, Noelle langsung sigap membuka kursi di meja panjang tersebut agar Keluarga Venti bisa duduk dengan nyaman. Yunjin langsung memanggil pelayan restoran untuk mulai memesan makanan, sementara Itto masih berdiri di depan menunggu orang yang belum pernah ia temui sebelumnya.

“Gak jadi datang kali? Dia masih read, kan, pesan terakhir lo?” tanya Albedo menyusul si sulung.

“Enggak! Gue yakin dia pasti datang, lagian gue bukannya nungguin Kokomi,” jawab Itto curi-curi pandang ke arah kios Adventure Guild, di sana ada gadis pujaan hatinya yang baru, Katheryne.

Albedo menepuk pundak abangnya sedikit keras, namun jika seseorang sudah jatuh cinta, apa mau dikata? Perbuatan bodoh sekali pun pasti akan ia lakukan.

“Udahan kali liatinnya!” dengus kesal Albedo terdengar menyebalkan di telinga Itto.

Kawanan keluarga baru di Teapot Residence tiba-tiba muncul di depan Itto dan Albedo, bocah raksasa itu sudah ketar-ketir duluan melihat sosok orang yang sudah ia ledek tempo hari. Keluarga Adeptus datang secara lengkap ke Good Hunter.

“Mas, meja untuk empat orang,” ujar Shenhe sambil tersenyum.

“Hah? Kami bukan pelayan, Bu.” runtuk Albedo setengah kesal.

“Lho? Ini gimana karyawannya tidak dididik tata krama saat pelatihan?” Shenhe menyilangkan tangannya di dada karena ikut kesal melihat tingkah Albedo.

“Ma, mereka bukan pelayan. Itu tetangga di perumahan kita,” jelas Xiao sambil memeluk mertuanya dari samping.

Melihat kedekatan Xiao dan Shenhe berhasil mengundang senyum tulus di wajah Ganyu, istrinya. Chongyun masih disibukkan oleh gawainya hingga tak sadar sudah lebih dulu duduk di samping Noelle yang masih kewalahan menulis pesanan keluarga besarnya.

“Kamu pesan apa?” tanya Noelle tak sadar.

“Ah... aku Sweet Madame aja satu,”

“Lho? Tadi katanya gak ada yang mau Sweet Madame—”

“Kamu siapa?!” sentak Noelle kaget.

Yunjin sudah menahan tawanya sejak Chongyun duduk di samping si bungsu, Zhongli yang baru keluar dari toilet langsung menghampiri Keluarga Adeptus untuk mengajaknya bergabung di meja Keluarga Archon.

“Ibu Shenhe sama keluarganya? Ayo gabung aja sama kita, di sini lagi ramai,” ajak Zhongli dengan lembut.

Shenhe membisikkan sesuatu ke telinga Xiao, namun volume suaranya masih bisa didengar oleh Zhongli dengan jelas.

“Siapa laki-laki ini? Gak sopan sekali menggoda janda kembang Liyue seperti Mama,” bisiknya sedikit keras.

Xiao hanya bisa terkekeh malu mendengar ucapan sang mertua, raut wajah Zhongli masih terkondisikan walaupun hatinya sudah terlanjur kesal dengan ucapan perempuan bersurai putih itu.

“Ma, Bapak ini ketua RT di perumahan kita,” jawab Xiao sambil mengulurkan tangannya ke Zhongli.

“Gak usah, Pak. Kami gak enak mau mengganggu acara makan malamnya,”

“Gak apa-apa! Sini gabung aja, sudah disiapkan mejanya sama Yunjin!” ajak Ningguang masih duduk manis di meja panjang restoran.

Mau tak mau Shenhe dan yang lainnya ikut duduk di antara keluarga besar Archon, mengikuti seluruh rangkaian acara syukuran kehamilan Ningguang di usia yang cukup tua untuk mengandung.

Setelah semuanya duduk, makanan pesanan mereka satu persatu di letakkan di atas meja. Aroma hidangan spesial itu jelas membuat mereka semakin kelaparan, namun selera makan mereka seakan hilang ketika Venti berteriak kalau Sayu mengekspresikan diri lewat pipisnya.

“Sayu pipis, Yang!” teriak Venti kaget, ia merasakan ada yang hangat di sekitar bajunya.

“LAH? Kamu gak pakein dia popok dulu tadi?! Gimana, sih, Pen?!” balas Barbara kewalahan saat Venti mengangkat tubuh putrinya ke atas.

Suasana makan malam Keluarga Archon dan Adeptus kacau dalam sekejap, balada orang tua baru, Venti dan Barbara yang sudah kelelahan melupakan satu hal penting di dunia parenting, yaitu memastikan untuk membawa perlengkapan bayi ke mana pun mereka pergi.

Beberapa ratus meter dari Good Hunter, Kokomi tengah meyakinkan dirinya untuk membalas pesan Itto. Walaupun ia sudah memantapkan dirinya untuk menjadikan pria gondrong itu sebagai objek penelitiannya, rasa gundah di hati masih begitu terasa. Itto sudah memberi kabar kalau ia menunggu kehadirannya setengah jam yang lalu, Kokomi pun sudah menyadari bahwa ada pria raksasa berambut abu-abu tengah berdiri menunggunya di depan restoran.

Apa aku balik aja, ya? gumam Kokomi dalam hati.

Masa tiba-tiba datang terus makan malam sama keluarga dia? Apa kata orang nanti kalau misalnya ada teman kampusku di sana? rentetan skenario buruk Kokomi mengelilingi kepalanya.

Bak permaisuri berpakaian biru sedang mondar-mandir di dekat restoran, membuat Itto yakin bahwa orang itu adalah Kokomi yang sudah ia tunggu sejak tadi. Ia berlari kecil menghampiri Kokomi dengan penuh semangat, sudah lama ia tidak berurusan dengan dunia perkuliahan, beruntung sekali Itto bisa menyelesaikan kuliahnya sebelum dilarang untuk beraktivitas di kampus karena ulahnya saat wisuda kelulusan.

“Kokomi!” sapa Itto sambil melambaikan tangannya.

Saat Kokomi ingin mengangkat tangannya membalas sapaan Itto, tatapan bocah raksasa itu teralihkan oleh seorang gadis berambut ungu yang sedang bermesraan dengan laki-laki lain.

Melihat Itto menghentikan langkahnya membuat perasaan Kokomi campur aduk, ia ikut mengedarkan pandangannya mencari apa yang sedang dilihat oleh objek penelitiannya itu. Saat matanya tertuju pada Sara dan Heizou, gadis bersurai krem itu malah tersenyum karena akhirnya si dingin Kujou Sara akhirnya bisa mendapatkan tambatan hatinya setelah sekian lama berada di zona teman dengan lelaki pujaannya.

Akhirnya kamu jadian, ya, Sara? gumam Kokomi sambil tersenyum.

Suara klakson mobil terdengar keras sembari mengerem agar tidak menabrak lelaki berhati hello kity tersebut.

“Goblok! Punya mata gak?!” seru si pengendara mobil.

“Punya! Kenapa emang?!” balas Itto sama kerasnya.

Si pengendara mobil itu keluar dari mobilnya lalu menghampiri Itto penuh emosi, lelaki jangkung bersurai oranye tersebut masih mengeluarkan sumpah serapahnya ke hadapan Itto.

Kokomi langsung berlari saat melihat lelaki berambut oranye itu, ia kenal dengannya karena satu kampus dengannya.

“Childe! Udah-udah! Sabar!” bujuk Kokomi sambil menahan tubuh Childe.

“Mi? Lo kenal sama dia?” tanya Itto bingung.

“Iya, ini Childe, teman kampusku,” jawab Kokomi pelan.

Childe memperhatikan Kokomi dan Itto secara bergantian, raut wajahnya tak lagi terlihat emosi seperti tadi. Malah ia langsung menggoda Kokomi karena gadis itu notabene mahasiswa kupu-kupu, sekarang Kokomi terlihat sedang berkencan dengan Itto karena dandanannya sangat modis.

“Ini gebetan lo?” bisik Childe pelan, namun Itto mendengarnya.

Belum sempat Kokomi menjawab, Itto langsung menarik lengan Kokomi lalu merangkulnya erat.

“Ini pacar gue! Mau apa lo?!” balas Itto setengah teriak.

Rona wajah Kokomi berubah drastis, rasa malunya semakin bertambah ketika melihat Childe tertawa terbahak-bahak melihat Kokomi sedang salah tingkah di samping 'kekasihnya'.

“Oalah! Ya udah, lanjut dulu, Mi! Langgeng sama cowok lo, ya!” seru Childe hangat, ia bahkan sudah melupakan kejadian tadi.

“Oke, Bro! Doain kami, ya!” ujar Itto sambil mengacungkan jempolnya.

“Aman, Bro! Gue balik duluan, ya!”

“Hati-hati, Bro!”

Childe kembali ke mobilnya lalu pergi meninggalkan Itto dan Kokomi. Temannya sudah pergi, tapi detak jantung gadis itu seolah tak bisa kembali normal. Kokomi tak berani lagi menatap Itto saat lelaki itu berusaha menatap wajahnya.

“Lo kenapa?” tanya Itto lembut.

“Ke-Kenapa kamu bilang kalau aku pacar kamu?”

Itto terkekeh. Manis, di mata Kokomi.

“Insting aja! Lagian itu temen lo kayak buaya darat, jadi gue mencoba mengamankan sebelum lo terperangkap di kandang buaya,”

Kokomi tak lagi bisa berkata-kata, ia sudah lupa dengan semua kejadian yang baru saja terjadi 15 menit lalu. Sekarang gadis itu tak bisa berhenti menatap bocah raksasa yang masih tertawa terbahak-bahak.

“Gimana? Jadi sama tugas lo?”

“Ja-Jadi, dong!”

“Tapi makan dulu, ya? Gue udah pesanin untuk lo juga di dalam,”

Kokomi mengangguk setuju, ia dan Itto berjalan masuk ke dalam restoran. Setelah sampai di dalam, suasana restoran sudah seperti kapal pecah karena kekacauan yang dibuat oleh Keluarga Venti masih terus berlanjut.

Raiden Ei masih mengagumi masakan koki Good Hunter tanpa memedulikan Venti dan Barbara yang masih saling menyalahkan. Scaramouche sudah menghentakkan kakinya keras-keras sambil menahan emosinya, Lumine berusaha menenangkan suaminya saat itu. Keluarga Adeptus hanya bisa tersenyum canggung melihat tingkah keluarga tetangganya.

Kokomi tersenyum tipis melihat kelompok pembuat onar itu, ia belum pernah melihat keluarga seperti ini seumur hidupnya. Lamunannya tersadar saat Itto menepuk pundaknya beberapa kali.

“Eh? Kenapa?”

“Inilah keluarga gue!” jawab Itto sambil tersenyum bangga.