Colored
Chapter 7: The Lucky Number
Malam yang dingin terasa sangat panjang apabila mendengar seseorang yang terus merepeti tentang ikatan pernikahan sejak awal Kujou Sara memijakkan kaki ke atas mobil minibus pemerintah Inazuma yang digunakan Raiden Ei untuk memburu Arataki Itto. Xiao sudah mematung saat orang nomor satu di Inazuma itu melontarkan kalimat menggelikan seperti 'memangnya saya saja—' atau 'bagaimana kamu bisa—' tepat di depan wajah anaknya tersebut.
“Tapi, Bunda? Sara—”
“Tidak ada tapi-tapi! Sudah dari awal saya katakan kepada kamu, Nak! Pernikahan bukan ajang untuk mencari siapa yang menang dan siapa yang kalah! Lihat saya! Sekarang sudah berhasil menjadi 'orang', karena saya tahu pernikahan bukanlah ajang siapa cepat dia bahagia!” potong sang ibu sebelum Sara membela dirinya sendiri.
Yae Miko hanya terkekeh melihat sepupunya terus menceramahi Sara tanpa henti, belum lagi Scaramouche yang merengek karena suara berisik terus terdengar di belakang (tempat di mana Ei, Sara, Yae Miko, dan Xiao duduk).
“Sudahlah, Ei. Lagi pula apa yang harus dipermalukan? Toh, pernikahan mereka juga tanpa resepsi. Orang-orang tidak akan tahu kalau Sara menikah, suruh saja dia kembali hidup di Inazuma karena masyarakat di Liyue tahu status Sara sebagai istrinya orang itu,” balas perempuan itu dengan sinisnya.
Satu hal yang tidak disukai oleh Xiao dari Yae Miko, ia selalu membandingkan tingkat kebahagiaan seseorang lewat apa yang sudah dicapai. Memang pernikahannya dengan Kamisato Ayato terlampau mewah sampai mengadakan resepsi selama 3 hari 2 malam, tamu yang datang ke acara pernikahan mereka juga tak ada yang sama karena semua sudah terjadwalkan mengingat kedua orang itu adalah tokoh penting di Inazuma.
“Ya, kan? Sara? Dijawab, dong?” desak Yae Miko ingin membuktikan pengalamannya.
Sara tertunduk malu, mungkin ini yang harus ia terima sebelum semuanya kembali seperti biasa setelah perceraiannya dengan Itto. Tak ada yang bisa Xiao lakukan selain mengumpat tantenya dalam hati, rasa kesalnya terus menumpuk di setiap kata yang keluar dari bibir tajamnya itu.
“Lagi pula, kalau kamu ikuti kata saya saat menjodohkanmu dengan Shikanion Heizou, pasti kamu sudah menjadi istri seorang polisi, hidupmu tak harus menggatung seperti sekarang. Apa, sih, kerjanya Itto? Hanya penjaga kebun anggur?” lanjut Yae Miko sambil tertawa lepas.
Raiden Ei hanya mengangguk selama Yae Miko berbicara, ia juga setuju dengan semua yang dikatakan oleh sepupunya itu karena dasar 'orang tua tahu yang terbaik untuk anaknya'. Yae Miko mengedip sesekali ke arah Xiao, berharap bahwa petuahnya bisa sampai kepada lelaki bersurai hitam itu, ia ingin Xiao memiliki pendamping yang sepadan dengannya, mungkin?
“Sejak awal, sejak saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, saya tahu Itto adalah orang dari keluarga yang gak jelas. Dia bahkan tidak tahu bibit, bebet, dan bobotnya sendiri. Ya, Xiao?” kini pedang itu diarahkan kepada Xiao.
Sambil mengepalkan tangan, Xiao mengangguk ragu dengan argumen Yae Miko. Ia sudah tak betah berlama-lama di mobil itu, namun jarak yang ditempuh masih cukup jauh, karena sudah biasa bersabar pula Xiao hanya mengeluarkan semua ocehan tantenya lewat telinga kiri.
“Dengar kata Kakak kamu, Sara. Dia ada benarnya, atau setidaknya kalau laki-laki itu tak punya harta, berjuanglah jangan mau ongkang kaki saja seperti bapak-bapak di warung kopi, gak jelas hidupnya,” kini Raiden Makoto pun ikut angkat bicara.
Kepala kembaran Ei itu menoleh ke belakang saat Scaramouche sudah berhasil terlelap, ucapannya tak sepedas dan tajam Yae Miko, namun sama sekali tidak membantu mental Sara yang sudah hancur lebur menjadi abu.
Xiao menoleh pelan ke arah Sara, ternyata perempuan itu sudah menangis sejak tadi. Ingin rasanya ia memenang tangan iparnya hanya sekadar untuk menguatkan, namun lagi-lagi Xiao dikalahkan oleh ego-nya sendiri. Niatnya otomatis terkurung karena otak super rasionalnya berhasil mengalahkan hatinya.
Mereka tiba di perbatasan Liyue pukul 5 pagi, sementara Thoma mengisi bensin mobil, Xiao berjalan jauh ke luar SPBU untuk merokok. Raiden Ei sudah mengizinkannya karena mereka akan istirahat dulu sebelum melanjutkan perjalanan yang kiranya akan ditempuh lagi selama 3 jam. Sambil menunggu, banyak hal yang dilakukan Raiden Ei untuk memantau seluruh bawahannya di pemerintahan. Walaupun dirinya sekarang sudah di Liyue, namun Ei tidak tinggal diam jika ada satu karyawannya malah mangkir saat bosnya sedang di luar kota.
Sara mengikuti Xiao menjauh dari area SPBU, perempuan bersurai ungu itu terus mengusap tangannya yang sudah membeku seperti batinnya. Air matanya terus mengalir sejak pertama kali ia dicerahami oleh sang ibu, entah karena menyesal sudah menalak suaminya atau karena hatinya sudah terlanjur sakit saat butuh penguatan.
“Kakak minta rokok kamu, ya?”
Xiao terkejut mendengar pertanyaan Sara, selama mereka hidup bersama belum pernah sekali pun Xiao melihat iparnya merokok. Sara mengambil satu batang tembakau milik Xiao itu lalu menghidupkannya, dihirupnya nikotin itu dalam-dalam lalu menghembuskan ke udara lepas.
Ini bukan pertama kalinya Kakak merokok, batin Xiao.
Tak sengaja netra mereka bertemu, terlihat sebuah teriakan minta tolong saat netra ungu itu menatap iparnya. Memang bukan kali pertama Sara merokok, dan itu karena ia selalu pandai menyembunyikannya di depan orang banyak.
“Kaget, ya?” ujar Sara memecah lamunan Xiao.
Xiao tak bisa menjawabnya dengan kata melainkan anggukan, mereka tak berbicara apa pun setelah itu. Hanya dua asap yang mengepul dari kepala yang berbeda.
“Kak?” panggil Xiao pelan.
Sara tak kunjung menjawab, perempuan itu sudah jatuh jauh ke dalam lamunannya. Xiao ikut menundukkan kepala, jujur ia tak bisa berbuat apa-apa saat iparnya itu ditusuk oleh tiga jenis pisau dengan ketajaman yang berbeda pula. Perlahan tangan kirinya mendekati punggung rapuh Sara, menepuknya pelan berharap perempuan itu dapat kuat oleh energi yang ia berikan.
“Maafin kami, ya?” gumam Xiao pelan.
“Bukan salah kalian, kok. Ini, kan, pilihan Kakak sendiri, Cho.” jawab Sara sedikit lebih santai, terdengar dari nada bicaranya.
“Ini salah satu konsekuensi yang harus Kakak terima saat memilih Itto sebagai pasangan hidup,” lanjutnya.
“Kakak sendiri gak tahu, apa pilihan Kakak ini salah? Mungkin kami terlalu muda untuk memutuskan, sampai akhirnya kenaifan itu yang menjerumuskan kami,”
Xiao menelan ludahnya paksa, bahkan rokok yang ada di tangan kanannya sudah tak ada rasanya lagi. Ia ikut merasakan hancurnya hati Sara, walaupun ia tak memiliki niat untuk menikah, tapi ini adalah salah satu alasannya untuk tidak berhubungan dengan orang lain. Takut dirinya tidak bisa memenuhi ekspektasi orang-orang.
“Beruntungnya aku!” teriak seseorang dari kejauhan.
Pria berambut gondrong itu kembali melaju dengan kaki yang sudah mati rasa, Itto berlari dari Inazuma menuju Liyue tanpa jeda, berharap mereka belum sampai betul di rumah. Terdengar tidak masuk akal, tapi mungkin ini yang dinamakan dengan kekuatan cinta.
Sara beranjak dari kursinya lalu berlari menghampiri Itto, memeluknya erat sampai air matanya tumpah untuk kesekian kalinya. Sang Oni pun begitu, ia benar-benar lelah, akal sehatnya sudah hilang sejak ditinggal oleh istrinya untuk kembali ke kampungnya.
Di balik senyum puas Xiao, ia mengumpati Raiden Makoto yang berbicara tentang perjuangan seorang lelaki. Mata Xiao melebar mencari sosok Makoto, saat ia mendapatkan perempuan itu, di sisi lain Makoto sudah tahu kalau Itto adalah orang berisik yang mengganggu tidurnya. Senyum tipisnya terbentuk, namun Xiao tidak menyadari hal itu.
“Maafin gue, Sar! Gue janji bakal jadi lebih baik lagi!” seru Itto lantang.
“Maafin gue juga, To! Gue gak bisa seenaknya ngomong itu saat sedang emosi!” balas Sara sama kerasnya.
Namun istilah 'nasi sudah jadi bubur' itu masih berlaku di kalangan Raiden Ei, dengan cepat perempuan itu berjalan ke arah mereka lalu memisahkan Itto dan Sara yang masih berpelukan.
“Berani-beraninya kau menyentuh anakku!” sentak Raiden Ei kasar.
Itto tersungkur ke tanah karena kekuatan milik Ei, tatapan bengisnya sudah tak terelakkan lagi, sekuat apa pun pria gondrong itu meminta ampun, tubuhnya sudah diinjak berkali-kali oleh perempuan bersurai ungu tersebut.
“Memang benar seharusnya kalian tidak kurestui sejak awal!” hina Raiden Ei tanpa henti.
“Saya berjanji, Bunda! Saya berjanji akan bahagiakan Sara!”
“Dengan apa?! Burung besarmu itu?! Kami tidak butuh pria modal burung saja!”
“Saya masih ingat, ya! Bagaimana suara berisik kalian saat berhubungan badan! Bukannya merestui saya malah semakin jijik! Masih ada orang yang ingin melamar anak saya hanya bermodalkan burung! Dan kamu, Sara! Sama menjijikkannya seperti suamimu itu!”
Mendengar hal itu sudah cukup bagi Xiao untuk bergerak melerai pertengkaran hebat tersebut, ia membelakangi Itto dan Sara, menatap Raiden Ei dengan tajam. Rasa takutnya sudah dibuang jauh-jauh, mau mati pun Xiao pasti akan membela abangnya sampai akhir.
“Keluarga saya memang tidak punya bibit, bebet, dan bobot seperti kalian! Tapi keluarga kami tidak pernah mengingkari janjinya!” balas Xiao tegas.
Raiden Ei terkekeh mendengar ucapan bocah tengik itu, ia menampar Xiao dengan keras hingga bibirnya mengeluarkan darah segar dari sobekan bibirnya.
“Janji katamu?” tanya Ei dengan suara berat.
“Memang orang-orang tak tahu diri,”
Mendengar suara berat Ei berhasil melemahkan kedua kaki Xiao, belum pernah sekali pun ia merasakan ketakutan sebesar ini. Kalau saja Ei menamparnya sekali lagi pasti ia sudah ikut tersungkur seperti Itto.
“Kalau memang gak punya otak, setidaknya punya harga diri,” lanjut Ei tegas.
“Ini terakhir kalinya saya lihat wajahmu, Itto. Dan kamu, Sara. Kalau kamu berani memijakkan kaki lagi di Euthymia, kamu akan saya pasung sampai mati,”
Raiden Ei membalikkan badannya, menyuruh Thoma menyiapkan kendaraannya udah kembali ke Inazuma. Tanpa pikir panjang Thoma pun mengikuti perintah perempuan itu, beberapa saat kemudian mobil itu melaju meninggalkan tiga orang yang tersesat dalam dunianya sendiri.
**
Hu Tao berjalan menuju ke sebuah kuil, tempat yang biasanya disambangi Zhongli setelah selesai ziarah ke makam Ningguang, kekasihnya. Gadis itu sengaja bersikap acuh tak acuh kalau abangnya sudah berbicara tentang Ningguang, tapi jauh di lubuk hatinya yang paling dalam Hu Tao khawatir jika Zhongli tiba-tiba kehilangan akal sehatnya saat mengunjungi tempat peristirahatan terakhir Ningguang.
Alasan demi alasan selalu dibuat oleh sang adik supaya abangnya percaya kalau pertemuan mereka setiap bulannya di kuil itu tidak disengaja, entah Zhongli yang percaya atau berpura-pura bodoh saat melihat senyum jahil Hu Tao saat tiba-tiba ada di depannya.
Pandangan gadis itu tertuju pada suatu gubuk kayu sebelum tiba di area kuil, baru pertama kali ia melihat ada tempat meramal masa depan di perbatasan Liyue itu. Walaupun ragu, Hu Tao tetap berkunjung ke sana untuk membuktikan betapa bodohnya ramalan masa depan di jaman yang serba modern ini.
“Halo, Anak Gadis!” sapa seorang pria berjubah hitam dengan dandanan sedikit memaksa, setidaknya itu di pikiran Hu Tao.
“Mau coba peruntungan?” tanyanya setelah itu.
Hu Tao mengernyitkan alisnya, tulisan 'dijamin terkabul' cukup menarik perhatiannya. Namun logikanya mengalahkan rasa penasaran di hati, saat gadis itu mundur dua langkah untuk meninggalkan gubuk tadi pria itu membuka tudung jubahnya hingga wajahnya terlihat jelas oleh Hu Tao.
“Aku tidak main-main dengan masa depan,” ujarnya sambil tersenyum.
“Maaf, ya! Masa depan itu hanya Tuhan yang tahu, kalau mau nyari bisnis yang lain aja, deh!” sindir Hu Tao sambil terkekeh.
Pria tadi mengambil sebuah wadah yang berisikan 7 buah kayu yang terukir aneh lalu meminta Hu Tao untuk mengambil salah satu kayu untuk dibacakan olehnya.
“Kalau kamu berhasil mendapatkan angka keberuntungan di kayu ini, maka akan aku gratiskan biaya konsultasinya,” tantang pria misterius itu.
“Berapa angkanya?” tanya Hu Tao yang sudah jatuh ke dalam permainannya.
“Angka tujuh,” jawabnya menyeringai.
Tanpa pikir panjang Hu Tao mengambil salah satu kayu yang sudah diacak oleh lelaki jangkung bersurai hitam itu. Sebelumnya ia menutup mata agar timbul kesan yang membuat jantungnya berdebar, walaupun sambil tertawa Hu Tao lama-lama percaya dengan omongan pria tadi.
“Hah?” gumam pria itu tak percaya.
Padahal kayu yang bertuliskan angka 7 itu ada di balik bajunya, namun Hu Tao juga mengambil kayu dengan ukiran angka keberuntungan itu di tangannya. Melihat wajah syok si peramal membuat Hu Tao terkekeh karena saat ia melihat angka itu ternyata angka keberuntungan yang dimaksud.
“Gratis, nih? Kok syok banget?” ledek Hu Tao dengan nada menggoda.
Pria itu mendecih pelan, “Minta telapak tangan kamu,” balasnya terpaksa.
Hu Tao memberikan tangannya untuk diramal, saat telapaknya disentuh, Hu Tao merasakan getaran yang cukup untuk menggoncang hatinya. Sensasi magis yang ia terima berhasil membuatnya setengah percaya bahwa pria yang ada di depannya bukan orang sembarangan.
Yang meramalnya ikut tersenyum, wajah kesalnya sudah tak lagi tampak di mata Hu Tao, beberapa detik setelahnya ia melepaskan tangan Hu Tao sambil berdeham beberapa kali.
“Mau dijelasin masalah apa dulu? Karir? Cinta?” tanya pria jangkung itu.
“Yang rasanya lebih kuat aja,” jawab Hu Tao antusias, akhirnya gadis itu terperangkap dalam euforia ramalan ini.
“Cinta kalau begitu,”
“Saya hanya bisa bilang sedikit—”
“Katanya diramal?! Kok setengah-setengah gini?!” potong Hu Tao kesal.
“Soalnya karir kamu sudah bagus dan lagi naik, kan?” jawabnya tepat sasaran.
Hebat juga cecenguk ini, gumam Hu Tao setengah malu.
“Orang pertama yang akan bertemu denganmu adalah orang yang harus diperhitungkan,”
“Hmm, abang gue? Soalnya gue mau ke kuil buat ketemu dia,” sindir Hu Tao sinis.
“Bukan, bukan abangmu yang akan pertama kali,”
“Kamu lupa ada jalan besar sebelum tiba di area kuil itu?”
Hati gadis bersurai hitam itu mulai goyah, tak terbesit di pikirannya akan bertemu dengan sang jodoh di pagi hari. Pikirannya mulai melayang ke mana-mana apalagi jika jodohnya adalah sebuah pangeran berkuda atau prajurit kebanggan negara, memikirkannya saja sudah berhasil melebarkan senyum Hu Tao saat itu.
“Saya tak bisa bilang dia jodohmu—”
“Tapi di sini tulisannya dijamin terkabul?” potong Hu Tao lagi.
“Ya, iya, sih.”
Mereka malah tertawa setelahnya, Hu Tao terus menanyakan hal-hal yang tidak penting perihal jodohnya, tentu pria itu kesal karena pertanyaan gadis itu sudah masuk ke bagian ukuran sepatu.
“Sudahlah! Pokoknya orang pertama yang akan bertemu denganmu itu jodohmu! Capek saya jadi misterius kayak gini! Bentar lagi pindah saya!” rengeknya kesal.
Tawa Hu Tao menghiasi wajah manisnya, aura yang dipancarkan gadis itu cukup menenangkan hati si peramal, yang membuatnya yakin bahwa sebentar lagi orang pelanggan pertamanya itu memang disiapkan Tuhan untuk bertemu dengan jodohnya hari ini.
“Terima kasih, ya! Jumpa atau tidaknya aku dengan jodohku tak terlalu kupusingkan, aku mendapat hiburan pagi ini,” ujar Hu Tao sambil tersenyum.
Gadis bersurai hitam itu melanjutkan perjalanannya menuju kuil, setelah menyebrangi jalan besar itu Hu Tao singgah sebentar untuk merapikan soleknya. Dengan penuh keyakinan diri, ia tahu bahwa jodohnya pasti belum lahir. Saat masih berkaca, ia melihat seorang perempuan bersurai pendek warna ungu baru keluar dari toilet, rasanya tak asing baginya saat menatap wajah sendu itu.
Begitu Hu Tao keluar dari toilet, perempuan tadi terlihat sedang menunggu seseorang dengan lelakinya. Rasa takut kembali menyerang dirinya, ternyata bukan pria itu jodohnya melihat sebuah cincin yang melingkar sempurna di jari manisnya.
“Xiao!”
BRUK
Tubuh mereka bertabrakan, lelaki bersurai hitam kehijauan itu menahan Hu Tao agar tidak terjatuh. Netra mereka bertatapan, seraya tak percaya Hu Tao terdiam beberapa detik saat orang yang dimaksud peramal tadi adalah jodohnya merupakan orang yang ia benci selama ini.
“Kau tidak apa-apa?” tanya Xiao memastikan.
“Kenapa?” gumam Hu Tao pelan.
“Maksudmu?”
“Kenapa kita bertemu lagi?” tak peduli dengan pertanyaan lelaki yang hanya berjarak sejengkal tangan, Hu Tao terus menggumamkan kalimat tak percaya dari mulutnya.