ismura

Bidadari Pencabut Nyawa

Ending Chapter 9: Singkat

Well, that's just lazy writing,

Tubuh Kaeya Alberich diselimuti kabut putih hingga menutupi pandangan Yanfei dan Baizhu yang berusaha membobol dimensi milik sang putra mahkota Primordial Ones. Sejak Yanfei menghilang secara misterius beberapa saat yang lalu, Baizhu menemukan celah di kala pria bersurai hijau panjang itu sedang meneliti pergerakan target sesungguhnya masyarakat Teyvat. Menghilangnya Baizhu pasca Cataclysm merupakan bukti cinta untuk kampung halamannya yang berkali-kali dihancurkan saat peperangan.

“Apa yang terjadi?!” sentak Yanfei saat dataran yang ia pijak bergetar tanpa henti.

Baizhu tidak menjawab pertanyaan Yanfei saat itu, baginya dimensi milik Kaeya adalah hal yang belum pernah ia ketahui sebelumnya.

Berhasilnya mereka memasuki dunia milik pria bersurai biru tua itu adalah sebuah keberuntungan, namun yang terjadi setelahnya jauh di luar nalarnya.

Beberapa saat kemudian Baizhu dan Yanfei terlempar jauh ke udara, tekanan angin yang begitu kuat membuat tubuhnya terasa terkikis secara tidak langsung. Tubuh mereka terhempas kuat kembali ke Inazuma, di mana semuanya tengah berkumpul dan bertarung satu sama lain.

“Tenang! Aku akan membantumu!”

Barbatos mulai melesat ke arah Baizhu dan Yanfei, telat beberapa detik saja mungkin tubuh mereka sudah hancur mengingat kerasnya hempasan yang diciptakan oleh Kaeya setelah kalah secara mendadak di dunianya sendiri.

Portal milik Raiden bersaudara terbuka lebar, keduanya masih bertarung memperebutkan harga diri yang sudah habis dimakan oleh jiwanya, dentingan pedang dan tombak sakti itu terus beradu, tidak ada yang mau mengalah.

“Sebentar, ke mana perginya tawanan kita?” tanya Pierro kepada Arlecchino.

Kazuha, Xiao, dan Dainsleif sudah menghilang dari tempatnya, hanya menyisakan tali yang mengikat tubuhnya di setiap tiang panjang tersebut.

Kaeya muncul di antara para Harbingers, disusul oleh Kamisato Ayaka di belakangnya. Anggota Harbingers lain kecuali Ajax yang sudah dibunuh oleh Columbine ikut hadir satu persatu, namun tetap saja keluarganya tidak bisa reuni seperti dulu karena La Signora dan Scaramouche bukan lagi bagian dari sekutu haram tersebut.

“Jadi untuk ini kami dihidupkan kembali?” tanya Pantalone kepada pria bersurai biru tua sambil terkekeh.

“Ya, ini akan menjadi akhir,” jawabnya singkat.

Pasukan Sumeru kembali hadir dari akar yang muncul dari tanah, membawa Zhongli yang sudah diikat oleh kekuatan milik Kusanali, pria itu mengaung keras hingga sekali lagi langit Inazuma mengutuknya dengan hina. Hujan lebat dibubuhi kilat dan guntur terus menyerang dirinya, pengkhianatannya akan cinta sejati Zhongli memang sudah tercatat dalam sejarah, tetapi kekuatannya perlahan memudar diiringi oleh rasa penyesalan.

Tighnari dan Cyno tiba di medan tempur, disusul oleh Dehya yang sudah mengevakuasi Nilou serta Al Haitham karena sudah babak belur melawan Columbine.

“Collei, cepat berikan penanganan medis!” seru Cyno dari depan, ratusan unit penyelamat Sumeru langsung mengobati luka seluruh pasukan yang terluka.

Kusanali berdiri paling depan memimpin perang yang sebentar lagi akan terjadi, dengan tatapan tajamnya ia menghentakkan kaki hingga pepohonan mulai tubuh dari bawah.

“Di saat yang sedang genting seperti ini, aku penasaran di mana pemimpin Inazuma itu sekarang,” gumam Kusanali pelan.

Kamisato Ayaka menundukkan kepalanya, tak sedikit pun raut wajah khawatir terlihat di wajahnya. Entah apa yang merasuki Putri Inazuma itu hingga memihak kepada Kaeya, muncul banyak pertanyaan mengingat hanya ia satu-satunya orang dari kalangan Kaeya yang tak terduga oleh orang lain.

Dari kejauhan, seorang perempuan bersurai putih berjalan dengan pelan sambil membopong orang yang selama ini dicari oleh Inazuma. Kamisato Ayato tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya, tubuhnya terluka namun tak mendapatkan pengobatan dengan cepat, sehingga luka di sekitar tubuhnya membusuk begitu saja.

“Sebentar lagi sampai,” ujar La Signora kepada Ayato.

Pasukan Knight of Favonius dan Millelith muncul secara bersamaan, Scaramouche dan Yelan pun hadir di tengah-tengah pertempuran. Luka yang mereka bawa saat kemarahan Kaeya pun belum sembuh sampai saat ini.

“Jangan nyusahin,” ujar Scaramouche kepada Yelan.

“Jangan ganggu urusan gue,” balas Yelan tak terima.

Kaeya Alberich berjalan beberapa langkah ke depan, ia membusungkan dadanya lalu berteriak dengan lantang bahwa sebentar lagi kiamat akan datang.

Tubuh Kusanali tersenggol oleh pria bersurai merah api dengan topeng yang unik, sebutan 'Darknight Hero' itu kini melekat sebagai identitasnya. Raut wajahnya sudah tak terkendali, tatapannya tajam mengarah ke saudaranya.

Kau sudah hancurkan hidupku, kau hilangkan keluargaku, dan sekarang aku harus mengkhianati Ayah Crepus untuk menjatuhkanmu ke neraka,

Satu hal yang pasti, tidak akan ada yang bisa mengalahkan Teyvat. Kami akan selalu bersatu untuk menumpas kebengisanmu, tunggu saja sampai waktunya tiba,

Darknight Hero mengangkat pedang panjangnya, disusul oleh ribuan teriakan lantang tanda perang akan kembali dimulai. Dari atas Venti melemparkan angin kencang untuk membuka jalan kepada Darknight Hero (Diluc) agar lebih cepat menuju Kaeya.

“Ayo, Master Jean! Pahlawan kita sudah memberi aba-aba!” seru Klee setelah menyiapkan bomnya.

Ada yang aneh, pikir Jean Gunnhildr.

Suaranya mirip dengan seseorang, batinnya gelisah.

Pertarungan terakhir, tanpa bantuan dari Albedo dan Hu Tao seperti era Cataclysm, tanpa adanya titik kelemahan yang ditunjukkan oleh Kaeya Alberich, dan tanpa strategi apa-apa, doa seluruh warga Teyvat akan menggema di seluruh penjuru bumi untuk kemenangannya atas sang antagonis.

“Demi Teyvat!”

-to be continued

Bidadari Pencabut Nyawa

Chapter 9: Singkat

Di saat semua orang berpikir bahwa Cataclysm selesai setelah semuanya kembali seperti semula, namun tidak sesederhana ini, setidaknya bagi Kaeya Alberich.

Ia berdiri di atas ruang kosong yang membentang luas di suatu tempat, tidak dikelilingi apa pun, tidak ada siapa pun, hanya dia, pria bersurai biru tua itu sendiri.

“Apa aku berhasil?”

“Inikah yang Kau mau?”

“Terlaksanakah seluruh tugasku?”

Pria itu duduk bersimpuh sambil merenung, menunggu waktu yang abadi tanpa gangguan dari luar. Senyumnya terukir indah saat menyaksikan banyak pembantaian di mana-mana, terkadang ia terkekeh melihat Celestia saling bahu membahu untuk mengalahkan sesuatu yang tidak mungkin.

“Celestia,” gumamnya.

Lantunan lagu yang tak tersusun keluar begitu saja, Kaeya hanya mengikuti apa yang pikirannya katakan, setiap detiknya bumi yang disebut Teyvat itu hancur oleh manusia itu sendiri.

“Ayah, aku sudah mengorbankan hidupku untukmu, apa balasannya?” tanya Kaeya mendongak ke langit.

“Ayah?”

“Berengsek!”

Raut wajah Kaeya berubah seketika, kini sisi kiri wajahnya yang memberontak, hati kecil Kaeya tak terima dengan semua yang masih terjadi. Penyiksaan dan pembantaian itu memenuhi pikirannya.

Pria itu berseteru dengan dirinya yang lain, belum sempat ia menyadarkan diri, jiwanya sudah kembali seperti semula.

“Inilah yang terjadi kalau Kau meminta seorang manusia untuk menyelesaikan tugas kotormu,”

SLASH

Sebelah mata Kaeya terbelalak, sebuah pisau seukuran lengannya menembus tubuhnya, darah yang mengalir di sekitar dada bidangnya tak cukup untuk membuatnya merintih kesakitan.

“Menurutku ini hal yang paling menyakitkan dalam hidupmu, tetapi hal itu baru saja akan dimulai,”

Pisau itu ditarik paksa, sang pemilik berpindah ke depannya lalu mencongkel mata kanan Kaeya hingga terlepas.

“Kau terkejut? Tentu. Aku pun begitu,”

Tubuh kekar yang ia kira akan terus abadi itu jatuh tanpa perlawanan, diambilnya biang kerusuhan itu lalu dihancurkan hingga tak bersisa.

“Mungkin aku terlambat, tapi tak sepenuhnya, kan?”

Orang ketiga mulai muncul dari sisi berlawanan, pria bersurai hijau dengan ular yang melilit di bagian lehernya tersenyum puas.

“Setidaknya ini akan menjadi titik balik untuk Teyvat, Yanfei.” ujar Baizhu penuh percaya diri.

Colored

Chapter 7: The Lucky Number

Malam yang dingin terasa sangat panjang apabila mendengar seseorang yang terus merepeti tentang ikatan pernikahan sejak awal Kujou Sara memijakkan kaki ke atas mobil minibus pemerintah Inazuma yang digunakan Raiden Ei untuk memburu Arataki Itto. Xiao sudah mematung saat orang nomor satu di Inazuma itu melontarkan kalimat menggelikan seperti 'memangnya saya saja—' atau 'bagaimana kamu bisa—' tepat di depan wajah anaknya tersebut.

“Tapi, Bunda? Sara—”

“Tidak ada tapi-tapi! Sudah dari awal saya katakan kepada kamu, Nak! Pernikahan bukan ajang untuk mencari siapa yang menang dan siapa yang kalah! Lihat saya! Sekarang sudah berhasil menjadi 'orang', karena saya tahu pernikahan bukanlah ajang siapa cepat dia bahagia!” potong sang ibu sebelum Sara membela dirinya sendiri.

Yae Miko hanya terkekeh melihat sepupunya terus menceramahi Sara tanpa henti, belum lagi Scaramouche yang merengek karena suara berisik terus terdengar di belakang (tempat di mana Ei, Sara, Yae Miko, dan Xiao duduk).

“Sudahlah, Ei. Lagi pula apa yang harus dipermalukan? Toh, pernikahan mereka juga tanpa resepsi. Orang-orang tidak akan tahu kalau Sara menikah, suruh saja dia kembali hidup di Inazuma karena masyarakat di Liyue tahu status Sara sebagai istrinya orang itu,” balas perempuan itu dengan sinisnya.

Satu hal yang tidak disukai oleh Xiao dari Yae Miko, ia selalu membandingkan tingkat kebahagiaan seseorang lewat apa yang sudah dicapai. Memang pernikahannya dengan Kamisato Ayato terlampau mewah sampai mengadakan resepsi selama 3 hari 2 malam, tamu yang datang ke acara pernikahan mereka juga tak ada yang sama karena semua sudah terjadwalkan mengingat kedua orang itu adalah tokoh penting di Inazuma.

“Ya, kan? Sara? Dijawab, dong?” desak Yae Miko ingin membuktikan pengalamannya.

Sara tertunduk malu, mungkin ini yang harus ia terima sebelum semuanya kembali seperti biasa setelah perceraiannya dengan Itto. Tak ada yang bisa Xiao lakukan selain mengumpat tantenya dalam hati, rasa kesalnya terus menumpuk di setiap kata yang keluar dari bibir tajamnya itu.

“Lagi pula, kalau kamu ikuti kata saya saat menjodohkanmu dengan Shikanion Heizou, pasti kamu sudah menjadi istri seorang polisi, hidupmu tak harus menggatung seperti sekarang. Apa, sih, kerjanya Itto? Hanya penjaga kebun anggur?” lanjut Yae Miko sambil tertawa lepas.

Raiden Ei hanya mengangguk selama Yae Miko berbicara, ia juga setuju dengan semua yang dikatakan oleh sepupunya itu karena dasar 'orang tua tahu yang terbaik untuk anaknya'. Yae Miko mengedip sesekali ke arah Xiao, berharap bahwa petuahnya bisa sampai kepada lelaki bersurai hitam itu, ia ingin Xiao memiliki pendamping yang sepadan dengannya, mungkin?

“Sejak awal, sejak saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, saya tahu Itto adalah orang dari keluarga yang gak jelas. Dia bahkan tidak tahu bibit, bebet, dan bobotnya sendiri. Ya, Xiao?” kini pedang itu diarahkan kepada Xiao.

Sambil mengepalkan tangan, Xiao mengangguk ragu dengan argumen Yae Miko. Ia sudah tak betah berlama-lama di mobil itu, namun jarak yang ditempuh masih cukup jauh, karena sudah biasa bersabar pula Xiao hanya mengeluarkan semua ocehan tantenya lewat telinga kiri.

“Dengar kata Kakak kamu, Sara. Dia ada benarnya, atau setidaknya kalau laki-laki itu tak punya harta, berjuanglah jangan mau ongkang kaki saja seperti bapak-bapak di warung kopi, gak jelas hidupnya,” kini Raiden Makoto pun ikut angkat bicara.

Kepala kembaran Ei itu menoleh ke belakang saat Scaramouche sudah berhasil terlelap, ucapannya tak sepedas dan tajam Yae Miko, namun sama sekali tidak membantu mental Sara yang sudah hancur lebur menjadi abu.

Xiao menoleh pelan ke arah Sara, ternyata perempuan itu sudah menangis sejak tadi. Ingin rasanya ia memenang tangan iparnya hanya sekadar untuk menguatkan, namun lagi-lagi Xiao dikalahkan oleh ego-nya sendiri. Niatnya otomatis terkurung karena otak super rasionalnya berhasil mengalahkan hatinya.

Mereka tiba di perbatasan Liyue pukul 5 pagi, sementara Thoma mengisi bensin mobil, Xiao berjalan jauh ke luar SPBU untuk merokok. Raiden Ei sudah mengizinkannya karena mereka akan istirahat dulu sebelum melanjutkan perjalanan yang kiranya akan ditempuh lagi selama 3 jam. Sambil menunggu, banyak hal yang dilakukan Raiden Ei untuk memantau seluruh bawahannya di pemerintahan. Walaupun dirinya sekarang sudah di Liyue, namun Ei tidak tinggal diam jika ada satu karyawannya malah mangkir saat bosnya sedang di luar kota.

Sara mengikuti Xiao menjauh dari area SPBU, perempuan bersurai ungu itu terus mengusap tangannya yang sudah membeku seperti batinnya. Air matanya terus mengalir sejak pertama kali ia dicerahami oleh sang ibu, entah karena menyesal sudah menalak suaminya atau karena hatinya sudah terlanjur sakit saat butuh penguatan.

“Kakak minta rokok kamu, ya?”

Xiao terkejut mendengar pertanyaan Sara, selama mereka hidup bersama belum pernah sekali pun Xiao melihat iparnya merokok. Sara mengambil satu batang tembakau milik Xiao itu lalu menghidupkannya, dihirupnya nikotin itu dalam-dalam lalu menghembuskan ke udara lepas.

Ini bukan pertama kalinya Kakak merokok, batin Xiao.

Tak sengaja netra mereka bertemu, terlihat sebuah teriakan minta tolong saat netra ungu itu menatap iparnya. Memang bukan kali pertama Sara merokok, dan itu karena ia selalu pandai menyembunyikannya di depan orang banyak.

“Kaget, ya?” ujar Sara memecah lamunan Xiao.

Xiao tak bisa menjawabnya dengan kata melainkan anggukan, mereka tak berbicara apa pun setelah itu. Hanya dua asap yang mengepul dari kepala yang berbeda.

“Kak?” panggil Xiao pelan.

Sara tak kunjung menjawab, perempuan itu sudah jatuh jauh ke dalam lamunannya. Xiao ikut menundukkan kepala, jujur ia tak bisa berbuat apa-apa saat iparnya itu ditusuk oleh tiga jenis pisau dengan ketajaman yang berbeda pula. Perlahan tangan kirinya mendekati punggung rapuh Sara, menepuknya pelan berharap perempuan itu dapat kuat oleh energi yang ia berikan.

“Maafin kami, ya?” gumam Xiao pelan.

“Bukan salah kalian, kok. Ini, kan, pilihan Kakak sendiri, Cho.” jawab Sara sedikit lebih santai, terdengar dari nada bicaranya.

“Ini salah satu konsekuensi yang harus Kakak terima saat memilih Itto sebagai pasangan hidup,” lanjutnya.

“Kakak sendiri gak tahu, apa pilihan Kakak ini salah? Mungkin kami terlalu muda untuk memutuskan, sampai akhirnya kenaifan itu yang menjerumuskan kami,”

Xiao menelan ludahnya paksa, bahkan rokok yang ada di tangan kanannya sudah tak ada rasanya lagi. Ia ikut merasakan hancurnya hati Sara, walaupun ia tak memiliki niat untuk menikah, tapi ini adalah salah satu alasannya untuk tidak berhubungan dengan orang lain. Takut dirinya tidak bisa memenuhi ekspektasi orang-orang.

“Beruntungnya aku!” teriak seseorang dari kejauhan.

Pria berambut gondrong itu kembali melaju dengan kaki yang sudah mati rasa, Itto berlari dari Inazuma menuju Liyue tanpa jeda, berharap mereka belum sampai betul di rumah. Terdengar tidak masuk akal, tapi mungkin ini yang dinamakan dengan kekuatan cinta.

Sara beranjak dari kursinya lalu berlari menghampiri Itto, memeluknya erat sampai air matanya tumpah untuk kesekian kalinya. Sang Oni pun begitu, ia benar-benar lelah, akal sehatnya sudah hilang sejak ditinggal oleh istrinya untuk kembali ke kampungnya.

Di balik senyum puas Xiao, ia mengumpati Raiden Makoto yang berbicara tentang perjuangan seorang lelaki. Mata Xiao melebar mencari sosok Makoto, saat ia mendapatkan perempuan itu, di sisi lain Makoto sudah tahu kalau Itto adalah orang berisik yang mengganggu tidurnya. Senyum tipisnya terbentuk, namun Xiao tidak menyadari hal itu.

“Maafin gue, Sar! Gue janji bakal jadi lebih baik lagi!” seru Itto lantang.

“Maafin gue juga, To! Gue gak bisa seenaknya ngomong itu saat sedang emosi!” balas Sara sama kerasnya.

Namun istilah 'nasi sudah jadi bubur' itu masih berlaku di kalangan Raiden Ei, dengan cepat perempuan itu berjalan ke arah mereka lalu memisahkan Itto dan Sara yang masih berpelukan.

“Berani-beraninya kau menyentuh anakku!” sentak Raiden Ei kasar.

Itto tersungkur ke tanah karena kekuatan milik Ei, tatapan bengisnya sudah tak terelakkan lagi, sekuat apa pun pria gondrong itu meminta ampun, tubuhnya sudah diinjak berkali-kali oleh perempuan bersurai ungu tersebut.

“Memang benar seharusnya kalian tidak kurestui sejak awal!” hina Raiden Ei tanpa henti.

“Saya berjanji, Bunda! Saya berjanji akan bahagiakan Sara!”

“Dengan apa?! Burung besarmu itu?! Kami tidak butuh pria modal burung saja!”

“Saya masih ingat, ya! Bagaimana suara berisik kalian saat berhubungan badan! Bukannya merestui saya malah semakin jijik! Masih ada orang yang ingin melamar anak saya hanya bermodalkan burung! Dan kamu, Sara! Sama menjijikkannya seperti suamimu itu!”

Mendengar hal itu sudah cukup bagi Xiao untuk bergerak melerai pertengkaran hebat tersebut, ia membelakangi Itto dan Sara, menatap Raiden Ei dengan tajam. Rasa takutnya sudah dibuang jauh-jauh, mau mati pun Xiao pasti akan membela abangnya sampai akhir.

“Keluarga saya memang tidak punya bibit, bebet, dan bobot seperti kalian! Tapi keluarga kami tidak pernah mengingkari janjinya!” balas Xiao tegas.

Raiden Ei terkekeh mendengar ucapan bocah tengik itu, ia menampar Xiao dengan keras hingga bibirnya mengeluarkan darah segar dari sobekan bibirnya.

“Janji katamu?” tanya Ei dengan suara berat.

“Memang orang-orang tak tahu diri,”

Mendengar suara berat Ei berhasil melemahkan kedua kaki Xiao, belum pernah sekali pun ia merasakan ketakutan sebesar ini. Kalau saja Ei menamparnya sekali lagi pasti ia sudah ikut tersungkur seperti Itto.

“Kalau memang gak punya otak, setidaknya punya harga diri,” lanjut Ei tegas.

“Ini terakhir kalinya saya lihat wajahmu, Itto. Dan kamu, Sara. Kalau kamu berani memijakkan kaki lagi di Euthymia, kamu akan saya pasung sampai mati,”

Raiden Ei membalikkan badannya, menyuruh Thoma menyiapkan kendaraannya udah kembali ke Inazuma. Tanpa pikir panjang Thoma pun mengikuti perintah perempuan itu, beberapa saat kemudian mobil itu melaju meninggalkan tiga orang yang tersesat dalam dunianya sendiri.

**

Hu Tao berjalan menuju ke sebuah kuil, tempat yang biasanya disambangi Zhongli setelah selesai ziarah ke makam Ningguang, kekasihnya. Gadis itu sengaja bersikap acuh tak acuh kalau abangnya sudah berbicara tentang Ningguang, tapi jauh di lubuk hatinya yang paling dalam Hu Tao khawatir jika Zhongli tiba-tiba kehilangan akal sehatnya saat mengunjungi tempat peristirahatan terakhir Ningguang.

Alasan demi alasan selalu dibuat oleh sang adik supaya abangnya percaya kalau pertemuan mereka setiap bulannya di kuil itu tidak disengaja, entah Zhongli yang percaya atau berpura-pura bodoh saat melihat senyum jahil Hu Tao saat tiba-tiba ada di depannya.

Pandangan gadis itu tertuju pada suatu gubuk kayu sebelum tiba di area kuil, baru pertama kali ia melihat ada tempat meramal masa depan di perbatasan Liyue itu. Walaupun ragu, Hu Tao tetap berkunjung ke sana untuk membuktikan betapa bodohnya ramalan masa depan di jaman yang serba modern ini.

“Halo, Anak Gadis!” sapa seorang pria berjubah hitam dengan dandanan sedikit memaksa, setidaknya itu di pikiran Hu Tao.

“Mau coba peruntungan?” tanyanya setelah itu.

Hu Tao mengernyitkan alisnya, tulisan 'dijamin terkabul' cukup menarik perhatiannya. Namun logikanya mengalahkan rasa penasaran di hati, saat gadis itu mundur dua langkah untuk meninggalkan gubuk tadi pria itu membuka tudung jubahnya hingga wajahnya terlihat jelas oleh Hu Tao.

“Aku tidak main-main dengan masa depan,” ujarnya sambil tersenyum.

“Maaf, ya! Masa depan itu hanya Tuhan yang tahu, kalau mau nyari bisnis yang lain aja, deh!” sindir Hu Tao sambil terkekeh.

Pria tadi mengambil sebuah wadah yang berisikan 7 buah kayu yang terukir aneh lalu meminta Hu Tao untuk mengambil salah satu kayu untuk dibacakan olehnya.

“Kalau kamu berhasil mendapatkan angka keberuntungan di kayu ini, maka akan aku gratiskan biaya konsultasinya,” tantang pria misterius itu.

“Berapa angkanya?” tanya Hu Tao yang sudah jatuh ke dalam permainannya.

“Angka tujuh,” jawabnya menyeringai.

Tanpa pikir panjang Hu Tao mengambil salah satu kayu yang sudah diacak oleh lelaki jangkung bersurai hitam itu. Sebelumnya ia menutup mata agar timbul kesan yang membuat jantungnya berdebar, walaupun sambil tertawa Hu Tao lama-lama percaya dengan omongan pria tadi.

“Hah?” gumam pria itu tak percaya.

Padahal kayu yang bertuliskan angka 7 itu ada di balik bajunya, namun Hu Tao juga mengambil kayu dengan ukiran angka keberuntungan itu di tangannya. Melihat wajah syok si peramal membuat Hu Tao terkekeh karena saat ia melihat angka itu ternyata angka keberuntungan yang dimaksud.

“Gratis, nih? Kok syok banget?” ledek Hu Tao dengan nada menggoda.

Pria itu mendecih pelan, “Minta telapak tangan kamu,” balasnya terpaksa.

Hu Tao memberikan tangannya untuk diramal, saat telapaknya disentuh, Hu Tao merasakan getaran yang cukup untuk menggoncang hatinya. Sensasi magis yang ia terima berhasil membuatnya setengah percaya bahwa pria yang ada di depannya bukan orang sembarangan.

Yang meramalnya ikut tersenyum, wajah kesalnya sudah tak lagi tampak di mata Hu Tao, beberapa detik setelahnya ia melepaskan tangan Hu Tao sambil berdeham beberapa kali.

“Mau dijelasin masalah apa dulu? Karir? Cinta?” tanya pria jangkung itu.

“Yang rasanya lebih kuat aja,” jawab Hu Tao antusias, akhirnya gadis itu terperangkap dalam euforia ramalan ini.

“Cinta kalau begitu,”

“Saya hanya bisa bilang sedikit—”

“Katanya diramal?! Kok setengah-setengah gini?!” potong Hu Tao kesal.

“Soalnya karir kamu sudah bagus dan lagi naik, kan?” jawabnya tepat sasaran.

Hebat juga cecenguk ini, gumam Hu Tao setengah malu.

“Orang pertama yang akan bertemu denganmu adalah orang yang harus diperhitungkan,”

“Hmm, abang gue? Soalnya gue mau ke kuil buat ketemu dia,” sindir Hu Tao sinis.

“Bukan, bukan abangmu yang akan pertama kali,”

“Kamu lupa ada jalan besar sebelum tiba di area kuil itu?”

Hati gadis bersurai hitam itu mulai goyah, tak terbesit di pikirannya akan bertemu dengan sang jodoh di pagi hari. Pikirannya mulai melayang ke mana-mana apalagi jika jodohnya adalah sebuah pangeran berkuda atau prajurit kebanggan negara, memikirkannya saja sudah berhasil melebarkan senyum Hu Tao saat itu.

“Saya tak bisa bilang dia jodohmu—”

“Tapi di sini tulisannya dijamin terkabul?” potong Hu Tao lagi.

“Ya, iya, sih.”

Mereka malah tertawa setelahnya, Hu Tao terus menanyakan hal-hal yang tidak penting perihal jodohnya, tentu pria itu kesal karena pertanyaan gadis itu sudah masuk ke bagian ukuran sepatu.

“Sudahlah! Pokoknya orang pertama yang akan bertemu denganmu itu jodohmu! Capek saya jadi misterius kayak gini! Bentar lagi pindah saya!” rengeknya kesal.

Tawa Hu Tao menghiasi wajah manisnya, aura yang dipancarkan gadis itu cukup menenangkan hati si peramal, yang membuatnya yakin bahwa sebentar lagi orang pelanggan pertamanya itu memang disiapkan Tuhan untuk bertemu dengan jodohnya hari ini.

“Terima kasih, ya! Jumpa atau tidaknya aku dengan jodohku tak terlalu kupusingkan, aku mendapat hiburan pagi ini,” ujar Hu Tao sambil tersenyum.

Gadis bersurai hitam itu melanjutkan perjalanannya menuju kuil, setelah menyebrangi jalan besar itu Hu Tao singgah sebentar untuk merapikan soleknya. Dengan penuh keyakinan diri, ia tahu bahwa jodohnya pasti belum lahir. Saat masih berkaca, ia melihat seorang perempuan bersurai pendek warna ungu baru keluar dari toilet, rasanya tak asing baginya saat menatap wajah sendu itu.

Begitu Hu Tao keluar dari toilet, perempuan tadi terlihat sedang menunggu seseorang dengan lelakinya. Rasa takut kembali menyerang dirinya, ternyata bukan pria itu jodohnya melihat sebuah cincin yang melingkar sempurna di jari manisnya.

“Xiao!”

BRUK

Tubuh mereka bertabrakan, lelaki bersurai hitam kehijauan itu menahan Hu Tao agar tidak terjatuh. Netra mereka bertatapan, seraya tak percaya Hu Tao terdiam beberapa detik saat orang yang dimaksud peramal tadi adalah jodohnya merupakan orang yang ia benci selama ini.

“Kau tidak apa-apa?” tanya Xiao memastikan.

“Kenapa?” gumam Hu Tao pelan.

“Maksudmu?”

“Kenapa kita bertemu lagi?” tak peduli dengan pertanyaan lelaki yang hanya berjarak sejengkal tangan, Hu Tao terus menggumamkan kalimat tak percaya dari mulutnya.

Colored

Chapter 6: Jingga nan Nelangsa

Belum sampai lima menit kedatangan Kujou Sara dan Xiao sudah berhasil membuat Raiden Ei mengamuk, ia masih belum bisa menerima kenyataan bahwa bukan Itto orang yang (jika memang ingin bercerai) mengantarkan anaknya itu pulang. Perempuan bersurai ungu itu mengemas beberapa bajunya yang akan ia bawa menuju Liyue, tempat mereka tinggal.

Xiao sudah lama tak mengunjungi Inazuma, terakhir kali saat festival kembang api yang bahkan tak lagi ia ingat. Malam sudah semakin pekat, angin yang menghembus juga tak bisa diajak kompromi, tubuhnya menggigil menerima serbuan angin malam itu. Hanya Sara yang masih bisa berdiri tegak sambil menenteng ranselnya, karena pundaknya sudah cukup lelah, lagi pula ia tak ingin menyusahkan Xiao yang sejak tadi bersikeras untuk menolongnya.

Jika bukan karena rokoknya, mungkin Xiao sudah tumbang di tengah jalan. Tidak ada satu pun transportasi umum melewati tempat mereka berjalan saat ini. Kelopak Bunga Sakura bertebaran di mana-mana, sesekali Sara tersenyum saat bunga khas Inazuma itu jatuh tepat di atas hidungnya. Xiao kadang menatapnya aneh, kenapa banyak orang yang menyukai bunga warna putih itu? Sayangnya lelaki itu tak tahu, betapa indahnya warna dan kehangatan yang disampaikan oleh bunga tersebut.

“Kita masih lama, lho? Kamu mau duduk sebentar?” tanya Sara kepada iparnya.

“Gak perlu, aku masih kuat,” jawab Xiao meremehkan kata 'sebentar' yang terucap oleh Sara._

Xiao selalu merasa diremehkan saat mendengar kalimat itu, seakan ia hanyalah bocah berumur 14 tahun yang hanya bisa merengek minta istirahat ketika sedang mudik, dirinya tak selemah itu. Hati, otak, dan fisiknya berbenturan, harga diri yang tak bisa jatuh begitu saja, rasa sakit yang menusuk di belakang kepalanya hingga badan yang bisa saja ambruk ditiup angin. Mereka melanjutkan perjalanannya menuju rumah si empunya Euthymia, Raiden Ei.

Sara pun begitu, kadang ia heran kenapa Xiao selalu merasa diremehkan saat ia berusaha ingin perhatian kepada iparnyna itu. Perempuan bersurai ungu itu menepuk lembut punggung bidang Xiao lalu berjalan lebih dulu meninggalkannya, karena tenaganya masih banyak, di lihat dari betis kakinya saja Sara jauh lebih besar dari Xiao. Sara sudah terbiasa berjalan kaki, berbeda dengan Xiao yang sebenarnya jalan seratus meter saja sudah menghidupkan rokoknya lagi.

“Oh, ya. Nanti kalau kita sudah sampai, bilang saja mau mudik, ya?” ucap Sara memecah heningnya malam.

“Memangnya Bunda akan percaya? Aku ragu, ragu sekali,”

Sejatinya, Sara jauh lebih bimbang dari Xiao. Rasanya ia ingin balik badan dan berlari mengejar kereta terakhir bersama sang ipar. Setiap langkah kakinya, Sara terus teringat pada Itto, ia sadar bahwa yang dilakukannya salah besar, sebenarnya ia tak perlu sampai semarah itu bahkan menalaknya. Egonya jauh lebih besar, harga dirinya tak lagi bisa ia ambil karena sudah ditinggalkan di Liyue. Sara menggumam pelan memikirkan apa yang harus dikatakan olehnya kepada sang ibu.

Suara deruan mesin mobil perlahan terdengar oleh dua pasang telinga orang yang dirundung kegelisahan, mobil hitam itu menepi lalu keluarlah seorang perempuan yang masih menggunakan baju dinasnya lalu menghardik keberadaan Sara dan keponakannya itu. Ya, dia adalah Raiden Ei yang ditakuti oleh semua orang, Walikota Inazuma yang tak kenal ampun kepada siapa pun, manusia paling keras dan menyeramkan semasa hidup Xiao.

Alasan apa pun yang keluar dari ujung bibir Sara tak lagi dipedulikan oleh Raiden Ei, ia bahkan sudah menelepon saudari kembarnya serta sepupunya untuk datang ke kediamannya itu. Tak lama setelahnya, mereka sudah tiba di depan rumah bersama Scara yang masih setengah tertidur tanpa pasangan masing-masing.

“Keponakanku!” seru Yae Miko berlari lalu memeluk Xiao erat.

Xiao benci dengan sentuhan berlebihan dari perempuan bersurai merah muda itu, ia sedang lengah karena sibuk memijat engkel kakinya yang pegal. Dicubitnya kedua pipi Xiao, walaupun sudah mengerang kesakitan Yae Miko tak memedulikan rasa sakit keponakan kesayangannya itu.

Raiden Makoto tengah membopong Scaramouche, walaupun badannya sudah lebih besar sejak terakhir kali mereka bertemu, tetapi sifat manjanya belum—tak pernah—berubah sampai saat ini. Raut wajah Makoto sama seramnya dengan Ei, mungkin karena mereka kembar? Xiao sudah pasrah dengan nasib Itto setibanya mereka di Liyue besok pagi.

“Kita berangkat sekarang,” ujar Raiden Ei setelah semua anggota pembunuhan berantai itu lengkap.

“Kenapa gak besok pagi saja, Ei?” balas Yae Miko heran.

“Dia pasti masih memikirkan cara untuk kabur jika kita tiba di sana besok pagi,”

“Aku ingin membunuhnya di sekarang juga,” lanjut Raiden Ei tegas.

Sara memilih untuk bungkam, tak ada lagi yang dapat ia ucapkan untuk mencegah kedatangan ibu dan saudaranya itu. Memang seperti ini satu-satunya perjanjian pra-nikah Itto dan Sara, kalau saja mereka hendak bercerai Raiden Ei memastikan akan membunuh mereka berdua, karena Euthymia tidak membenarkan adanya perpisahan jika sudah diikat oleh sebuah pernikahan.

“Kita naik minibus saja, sebentar lagi Thoma pasti sampai, saya sudah meneleponnya,” Raiden Ei berjalan lebih dulu meninggalkan manusia yang masih sibuk dengan pikirannya masing-masing.

“Kasihan sekali abangmu, Nak. Tapi saya punya firasat baik kalau Itto tidak jadi mati malam ini,” canda Yae Miko sambil menggandeng lengan padat milik Xiao.

Tapi gak usah sentuh-sentuh juga kali?! batin Xiao, tentu ia tak berani mengucapkannya, karena Yae Miko sama saja seperti yang lain, menyeramkan dengan cara yang berbeda.

Akhirnya yang ditunggu datang juga, Thoma tak sempat memarkirkan kendaraan milik negara itu, Raiden Ei sudah menggedor pintu mobil hingga penyok. Dengan sigap pria bersurai pirang itu turun lalu membukakan pintunya agar Raiden Ei dapat masuk sebelum mobil itu benar-benar terbalik dibuatnya.

Mereka berbondong-bondong masuk lalu berangkat dalam sekejap, perjalanan panjang Xiao menuju Liyue akan membuat telinganya panas karena mendengar ocehan Raiden Ei malam ini.

Seorang pria berlari sekuat tenaga sampai di depan Euthymia, nafasnya terengah-engah, ia hampir pingsan malam itu. Namun harga dirinya tak bisa lagi diinjak-injak. Rambut gondrongnya tergerai bebas, sehingga angin mana pun pasti dengan senang hati memainkan si abu-abu.

“Anjing!”

“Anjing!”

“Anjing!”

“Gue telat! Berengsek!” pekik Itto, ia tiba namun tak ada siapa pun di sana.

**

Hu Tao menghempaskan tubuhnya ke pulau pribadi milik gadis mungil itu. Matanya terasa sakit karena cahaya penerangan yang lupa ia matikan sebelum dirinya kembali istirahat.

Zhongli sudah pergi 15 menit setelah sarapan, padahal ayam saja belum keluar dari kandangnya, namun pria itu sudah pergi dari sarang dengan gagah.

“Pasti abis bangun tidur udah kepikiran mau ngapain,” gumam Hu Tao pelan, sesaat setelahnya ia sudah terlelap.

10 tahun yang lalu

Zhongli menggenggam erat kedua tangan kekasihnya, padahal Ningguang sedang cantik-cantiknya malam ini. Hanya senyum tipis yang ia dapat dari gadis bersurai putih itu kepada lelakinya, suara batuk yang tak kunjung berhenti ikut menorehkan luka di hati Zhongli. Sementara Hu Tao kecil masih sibuk mengira apakah air yang ia masak sudah matang atau belum, tangan mungilnya ia angkat ke atas panci mendidih untuk merasakan panasnya.

“Oh, sudah!”

Dengan hati-hati Hu Tao menuangkan air panas ke dalam cangkir kecil berisi teh hijau khas Liyue, mengaduknya pelan lalu meletakkannya di atas nampan.

Saya hanya sakit flu, tidak perlu khawatir, Kalimat itu sudah cukup menenangkan hati Hu Tao, tetapi Zhongli tak percaya sama sekali dengan ucapan sang kekasih. Ia tahu persis riwayat penyakit misterius yang diderita oleh Ningguang, hampir semua rumah sakit di Teyvat mengatakan hal yang sama, Ningguang hanya flu musiman.

Suara serak Ningguang memanggil-manggil nama Zhongli hanya akan membuat air mata lelaki itu terus mengalir. Zhongli tak dapat mengeluarkan suaranya, genggaman eratnya masih dibalas sama kuatnya oleh Ningguang, seakan energi yang diberikan oleh kekasihnya itu lebih dari cukup, namun Tuhan tak main-main saat menentukan ajal hamba-Nya. Perlahan genggaman itu melemah, seiring jatuhnya kedua tangan lentik Ningguang saat itu juga.

“Kak Ning! Ini Hu Tao bawakan—”

CRANG

Nampan itu jatuh saat Hu Tao mendapati Zhongli teriak histeris menangisi kepergian kekasihnya. Hujan deras yang menerpa Liyue saat itu tak dapat menyamakan rintihan rasa sakit Zhongli, suaranya sama kuat namun rasanya tak berarti. Gadis berusia 13 tahun itu juga tak menyangka hanya dua kali bertemu dengan Ningguang, saat Hu Tao mendekati Zhongli dan tubuh Ningguang yang perlahan membeku, air matanya ikut tumpah mengingat orang sekuat Zhongli saja bisa menangis histeris melebihi tangisnya saat ditinggal kedua orang tuanya.

“Saya gagal menyelamatkanmu, Ning!” seru Zhongli tak terkendali.

Ia sibuk memukul dadanya dibantu oleh tangan rapuh Ningguang, kepalanya ia benturkan ke kayu tua penopang kasur tempat kekasihnya terbaring. Hu Tao ikut mematung, gadis itu tak tahu harus berbuat apa sementara langit terus mengutuk rumah itu dengan guntur yang tak ada habisnya.

Padahal ramalan cuaca bilang malam ini langit akan secerah jingga di sore hari, gumam Hu Tao dalam hati.

Sayangnya jingga itu membawa nelangsa untuk keluarga Zhongli, tak ada yang bisa mereka lakukan selain menunggu redanya amarah Tuhan yang menghujani Negeri Seribu Kontrak itu.

Colored

Chapter 5: Hitamku Juga

Sebenarnya Xiao tak ingin merepotkan dirinya lebih jauh lagi, apalagi jika hal ini menyangkut urusan rumah tangga orang. Namun pikiran itu berubah saat ia mendengar isak tangis Itto yang sudah susah payah ditahan olehnya.

Peristiwa 30 menit yang lalu

“Kalau nanti Bunda Ei marah gimana?” tanya Xiao memastikan, ia tahu bukan saatnya untuk menanyakan hal itu, namun bayangannya kepada Raiden Ei tak bisa lagi dielakkan dari otaknya.

Raiden Ei, adalah ibu angkat Kujou Sara sebelum ditinggalkan oleh orang tua kandungnya di usia yang masih belia, 7 tahun. Saat itu kondisi Sara sangat terpuruk dengan kepergian ibu dan ayahnya secara tiba-tiba akibat kecelakaan beruntuk di pusat kota Inazuma. Menganggap ibu Kujou Sara panutan sekaligus terbaik dalam hidupnya, tentu Raiden Ei tidak sampai berpikir panjang untuk mengajak Sara tinggal di kediamannya bersama si kembar, Makoto. Walaupun umurnya terbilang cukup muda saat itu, baru saja lulus sekolah menengah atas.

Sara juga dekat dengan Yae Miko, sepupu dari si kembar Ei dan Makoto. Sebagai yang paling bungsu, hidup Sara penuh dengan kecukupan, bahkan ia dilayani dengan baik mengingat ketiga saudaranya itu belum berkeluarga hingga saat itu. Beberapa tahun sebelum Sara bertemu dengan Itto, Makoto menikah lebih dulu dengan pria jangkung bersurai pirang bernama Tomo. Mereka dikaruniai anak yang diberi nama Scaramouche, bocah tengik itu sekarang baru saja duduk di bangku sekolah dasar, namun karena sudah terbiasa hidup melebihi kecukupan membuat Scaramouche menjadi lebih manja dari Sara. Bagi Scara, hidupnya tak akan puas jika tidak top up gim kesayangannya, Teyblox.

Yae Miko pun sama, ia menikahi pria nomor satu di Keluarga Kamisato. Pesta pernikahannya terlampau megah, melebihi ekspektasi hingga membuat Sara kadang iri saat mengingat bagaimana pesta pernikahannya dengan Itto, tidak ada acara sama sekali. Meski belum memiliki momongan, hidup mereka masih tenang dan damai sampai saat ini.

Tinggal Raiden Ei seorang, yang belum berkeluarga. Dirinya masih disibukkan oleh tugasnya sebagai Walikota Inazuma, dia adalah perempuan pertama yang menjadi seorang walikota di Kota Keabadian tersebut. Namun siapa makam yang ingin diurus Sara? Makam yang disinggung oleh Itto tadi? Xiao memang tak tahu, tapi itu satu-satunya cara Itto agar adiknya mengerti bahwa Sara memang ingin cerai dengannya secara tidak langsung. Sara tak pernah memiliki adik, ia anak tunggal di keluarga lamanya, dan memiliki satu saudara di keluarga barunya.

Kini Xiao sedang menunggu kereta di Stasiun Liyue, jarak antara Liyue dan Inazuma cukup jauh. Padahal seharusnya sekarang jadwal kedatangan kereta itu sudah tiba, tapi belum terdengar suara mesin itu sedikit pun di telinga Xiao.

“Kenapa dia gak bilang aja, sih? Tentang perasaannya?” omel Xiao pelan.

Ia menghentakkan kakinya ringan berkali-kali sembari menunggu datangnya kereta. Melihat Itto saat sedang terpuruk seperti sekarang ini membuat ia tak bisa tinggal diam, Xiao tak bisa tidak merasakan sakit ketika melihat abangnya sehancur itu. Lelaki bersurai hitam kehijauan itu tak henti-hentinya mengabari Itto lewat pesan singkat, bahkan ia sudah seperti orang TMI saat ini, jarang bahkan tak pernah ia mengirimkan 5 pesan sekaligus dalam waktu yang singkat.

Jelas Itto tak membacanya, pikirannya sudah kalut membayangkan kemarahan Raiden Ei ketika datang ke Liyue dengan koper-koper ungu bersama keluarganya yang lain. Memaksa untuk tinggal bersama untuk menghargai indahnya pernikahan, setidaknya itu yang ditekankan oleh Raiden Ei yang disambut dengan penuh percaya diri oleh Sang Oni.

Itto berjanji tidak akan memulangkan Sara atau Sara yang pulang sendiri ke rumah. Xiao juga mendengar kalimat itu keluar dari mulut ringan Itto. Pernikahan mereka sebenarnya lucu, di saat Itto tidak direstui—bahkan presensinya tidak dianggap ada oleh mertuanya-Raiden Ei, Itto meminta Sara untuk berhubungan badan dengannya supaya kekasihnya bisa hamil di luar nikah. Memang berengsek pria satu itu, tapi dengan cepat Sara mengiyakan rencananya karena rasa cintanya yang sudah tak tertolong lagi. Mereka kedapatan berhubungan badan karena ganasnya Itto di atas ranjang, rintihan nikmat yang keluar dari mulut Sara terdengar jelas oleh Raiden Ei yang baru saja tiba di rumah sepulang kerja.

Habis seluruh tubuh Itto diinjak oleh heels berukuran 15cm milik Raiden Ei, salah satu lukanya yang mungkin sukar untuk tertutup kembali ada di bagian lengan kanannya karena sudah bolong setengah oleh kekuatan Raiden Ei. Namun Sara tetap memperjuangkan cinta mereka sampai Ei pun terpaksa merestui hubungan dua sejoli gila tersebut.

Bunyi bel di pelantang stasiun mulai terdengar, begitu pun kereta yang kini sudah berada tepat di depan Xiao bertengger dengan apiknya. Xiao melangkahkan kakinya masuk ke dalam kuda besi tersebut, memikirkan skenario terburuk di dalam otaknya jika Raiden Ei marah karena bukan Itto yang menjemput Sara pulang.

Selama perjalanan menuju Inazuma pun tubuh Xiao masih bergetar hebat, tak peduli hari sudah malam dan besok harus kembali mengajar, ia harus mencegah Sara setidaknya memijakkan kaki kembali ke Euthymia. Bisa bahaya jika Raiden Ei mendengar kata 'talak' yang keluar dari mulut Sara.

Beberapa detik berselang, perempuan yang selama ini ia khawatirkan duduk tepat di sampingnya sambil meletakkan ranselnya.

“Kamu ngapain, Cho?” tanya Sara heran.

Kepala Xiao spontan terangkat setelah mendengar suara yang familiar itu, lelaki itu langsung bernafas lega saat tahu Sara satu kereta dengannya.

“Kakak mau balik ke Inazuma?”

Justru kalimat panjang itu mengundang kekehan kecil dari Kujou Sara, tak pernah ia menyangka dirinya akan ditanya seperti itu oleh Xiao, karena selama ia menikah dengan Itto ia hanya mendengar kata 'iya', 'tidak', dan 'mau beli rokok'. Nah, hanya 3 kata yang keluar dari mulutnya selama ini.

“Iya, Kakak mau balik,” jawab Sara sambil menghela nafasnya.

“Kakak beneran mau talak Bang Itto?”

Sara mengangguk, walaupun sedikit ragu. Ia harus memantapkan diri setidaknya untuk membuat suaminya gentar dengan keteguhan hatinya.

“Mau bagaimana lagi? Dia udah gak tertolong?”

Xiao mendengus kesal mendengar perkataan Sara, namun helaan nafasnya diperuntukkan kepada Itto, bukan iparnya.

“Terus? Kenapa kamu naik kereta ke Inazuma?” selang beberapa menit mereka dirundung keheningan, Sara akhirnya membuka suara.

“Aku takut Bunda Ei marah dan membunuh Abang,” jawab Xiao polos.

Lagi-lagi tingkah menggemaskan Xiao membuat Sara terkekeh sedikit lebih keras dari sebelumnya. Ia merangkul tubuh dingin milik iparnya lalu menyenderkan kepalanya di pundak Xiao.

“Coba aja Itto berjuang seperti kamu, pasti Kakak bakal mengurungkan niat untuk pulang,”

Belum sempat Xiao angkat bicara, Sara langsung memotongnya dengan kalimat selanjutnya.

“Kakak tahu, kamu mau memperbaiki hubungan Kakak dengan Itto. Kamu punya inisiatif sendiri untuk membantu abangmu. Dan Kakak juga tahu kalau sekarang harga diri Itto sudah hancur lebih melihat kepergian Kakak, tapi tolong hargai keputusan Kakak, ya?”

“Kakak capek,”

Hati Xiao ikut hancur mendengar isak tangis yang tak sengaja keluar dari mulut Sara. Namun benteng hatinya seketika kembali terbentuk sehingga dirinya bisa menahan tangis selagi Sara mengungkapkan perasaannya.

“Walaupun Kakak gak tahu kamu punya pacar atau enggak, berniat untuk menikah atau enggak, tapi tolong jangan ikuti jalan Abang, ya?”

Xiao mengangguk kaku, takut Sara ambruk ketika ia terlalu kencang mengayunkan kepalanya.

“Kamu kalau ngangguk emang seperti ini, ya?” goda Sara setelah mengangkat kepala lalu menghapus air matanya.

“Aku takut Kakak jatuh kalau kepalaku bergerak lebih luas,” jawab Xiao dengan polosnya.

Iparnya yang menggemaskan itu membuat Kujou Sara langsung memeluk erat tubuh Xiao, ia rindu merasakan kehangatan seperti ini, walaupun sebenarnya dialah yang butuh pelukan, tapi ia tak bisa meminta Xiao untuk memeluknya balik, sampai akhirnya Xiao menepuk lembut pundaknya dari samping, membuat dirinya tersenyum haru melihat tingkah adiknya.

Get a room, moron!

He's my brother, you dumbass!” balas Sara dengan nada tinggi.

Xiao terkekeh mendengar suara keras Sara, itu adalah kali pertamanya dirinya tertawa seingat lelaki bersurai hitam itu.

**

Hu Tao terbangun dari tidurnya dengan paksa, sialnya gadis itu kembali mimpi buruk. Ia mengambil kalender kecil yang ada di dalam nakas, mencoret tanggal hari ini dengan spidol merah untuk menandakan ketakutannya.

Aku terbunuh lagi malam ini, batin Hu Tao dengan bibir pucat dan peluh yang membasahi seluruh tubuhnya.

03.49

Anehnya, tubuh Hu Tao terasa segar malam ini. Ia langsung beranjak dari kasurnya lalu merapikan tempat tidurnya, dengan senandung kecil ia sibuk tenggelam dalam dunianya, dunia milik dirinya seorang.

Sabtu, adalah hari liburnya dengan Zhongli. Karena Hu Tao bekerja di bagian office, di penghujung minggu ini memang sengaja diliburkan oleh Zhongli, padahal menurut undang-undang ketenagakerjaan karyawan diwajibkan masuk oleh pemerintah. Namun Zhongli tak mengindahkan peraturan itu, ia menginginkan kesejahteraan mental untuk rekan kerjanya. Ditambah lagi hari ini adalah hari yang bersejarah dalam hidup abangnya, setiap bulan Zhongli selalu berkunjung ke Wangsheng Funeral Parlor untuk mengunjungi kekasihnya yang sudah lama pergi dari dunia fana ini.

Melihat Zhongli tertidur di atas sofa membuat Hu Tao menggelengkan kepalanya berkali-kali, ia membereskan kaleng bir bekas minum Zhongli lalu membuangnya ke tempat sampah. Di saat seperti ini, maksudnya kala lelah Zhongli memang suka minum alkohol untuk menghilangkan rasa penatnya. Hebatnya sang abang tidak memiliki kebiasaan buruk saat mabuk, bahkan jauh dari ekspektasi Hu Tao, Zhongli tidak bisa mabuk setelah minum 100 kaleng pun. Hu Tao pernah menantangnya, namun tantangannya itu merugikan gaji bulanannya karena dipotong Zhongli.

“Sudah bangun?” Mata Zhongli terbelalak setelah mendengar bunyi kaleng bir yang jatuh ke dalam bak sampah.

Hu Tao hanya mengangguk tanpa menghiraukan abangnya, mungkin Zhongli setengah sadar saat menanyakan hal itu. Ia tahu seberapa penatnya pria bersurai hitam itu karena disibukkan oleh pekerjaan, sehingga Hu Tao tak mau ambil pusing untuk menemaninya berbicara.

“Mau sarapan apa?” tanya Zhongli lagi, ia sudah duduk sekarang.

“Sarapan atau sahur? Masih jam 4 ini, Bang.” jawab Hu Tao asal. Gadis itu mencuci piring bekas makannya dan Zhongli semalam, saat Hu Tao tertidur Zhongli juga makan masakannya untuk sekadar mengisi usus panjangnya.

“Sahur juga gak apa-apa,” canda Zhongli sambil menghidupkan televisi.

Hanya balok warna-warni yang menghiasi layar itu, memang jam segini belum ada program pagi di setiap stasiun televisi, kecuali berita penting yang hanya akan tampil di saat-saat genting seperti pemilu atau kematian mendadak pejabat negara, selebihnya Teyvat aman tentram terkendali di bawah kepemimpinan Celestia.

“Aku malas masak, nanti Abang sarapan di luar aja sebelum pergi, ya?”

Zhongli mengangguk setuju lalu pergi ke kamar mandi, mau tidur jam berapa pun pria itu akan selalu terbangun pukul empat tepat. Namun ia cepat 10 menit saat ini karena Hu Tao sudah bangun lebih dulu, ia membasuh mukanya lalu menyikat gigi dengan mata sedikit tertutup.

Hu Tao hanya menyiapkan kopi hitam untuk Zhongli, mereka sudah terbiasa akan hal itu. Alasan Zhongli tidur di atas sofa juga karena kamarnya tak berani ia buka sama sekali, hanya akan mengingatkannya kepada Ningguang, mantan kekasihnya. Membuka pintu itu sama saja seperti membuka luka lamanya ketika Ningguang jatuh sakit dan cuaca sedang tak baik-baik saja malam itu, di sanalah Ningguang menghembuskan nafas terakhirnya, tepat di samping Zhongli dan di depan Hu Tao yang sedang membawakan secangkir teh hangat untuk perempuan bersurai putih itu.

Penyakit misterius yang didera Ningguang membuat dirinya pergi sehari sebelum upacara kelulusan sekolahnya. Karena rumahnya jauh dari sekolah, Ningguang yang merupakan seorang yatim piatu meminta izin kepada pengurus panti asuhan untuk menginap semalam di kediaman Zhongli, karena ia sudah kenal dekat dengan lelaki tampan nan gagah itu, dengan sepenuh hati Madame Ping mengizinkan Ningguang dengan syarat harus tidur dengan adiknya.

Hu Tao yang masih duduk di bangku SMP dengan penuh semangat membayangkan akan seperti apa serunya malam ketika kekasih abangnya tidur di sampingnya, namun fantasi indahnya harus dihantam oleh pahitnya realita yang terjadi. Sejak hari itu, Hu Tao pindah ke kamar sebelah, kamar itu hanya milik Zhongli sekarang, namun sayang kenop pintunya sudah dicabut dan disemen oleh sang pemilik agar ia tak harus pusing membuka kamarnya di kala kepalanya sedang kacau.

“Kamu mau ngapain hari ini, Tao?” tanya Zhongli setelah keluar dari kamar mandi.

Hu Tao menggelengkan kepalanya, masih terlalu pagi untuk memikirkan bagaimana caranya menghabiskan dua hari liburnya.

“Tidur? Mungkin?” jawab Hu Tao asal, ia sudah bersiap untuk mendapatkan ceramah singkat yang akan disampaikan oleh Yang Mulia Zhongli karena mendengar alasan adiknya terdengar malas.

“Ya sudah, istirahat saja. Jam 7 tepat saya berangkat ke Wangsheng,”

“Pagi banget?”

“Ah, kamu lupa kalau ada yang tidak memasak sarapan hari ini?” sindir Zhongli disambut oleh tawa paksa Hu Tao.

“Mau makan apa?” tanya Hu Tao kesal, berusaha mengalah saat melihat wajah manis abang kandungnya.

Hangover soup,”

“Tapi, kan, Abang gak pernah mabuk?”

“Emang?”

Hu Tao tak lagi memedulikan kekehan Zhongli, ia menghidupkan kompor setelah meletakkan panci silver itu di atasnya. Ia memasang earphone di kedua telinganya agar gadis itu tak digoda oleh Zhongli yang berusaha merusak khusyuknya acara masak Hu Tao.

“15 menit,” ujar Hu Tao saat Zhongli mengambil baju di lemarinya di ruang tengah.

“Baik, Putri Kecil.” jawab Zhongli manis.

Colored

Chapter 4: Hitamnya

Walaupun dua pasang mata itu saling melempar tatap, namun tak ada yang berani angkat bicara. Hu Tao masih memandang aneh lelaki yang ada tepat di depan mukanya, kantung matanya terlihat cukup lebar bagi lelaki bersurai hitam kehijauan tersebut. Lagi-lagi Xiao ikut mematung karena ia tidak tahu harus bicara apa, padahal agendanya bertandang ke rumah gadis yang ia temui siang tadi hanya untuk mengembalikan barang milik Hutao.

Kok jadi kayak sinetron beneran, sih?

Hu Tao memecahkan sendiri lamunannya, ia berterima kasih kepada Xiao karena telah mengembalikan pouch-nya. Respon lelaki itu sesuai dugaannya, dingin dan tak berperasaan.

“Gak mau masuk dulu?” tanya Hu Tao basa basi.

Benar sekali dugaan gadis berambut hitam itu, Xiao menggelengkan kepalanya sepersekian detik—bahkan saat Hu Tao belum dapat menyelesaikan kalimatnya.

“Gue gak pernah masuk ke rumah orang tak dikenal,” jawabnya datar.

Tcih! Siapa juga yang pengen lo masuk ke rumah gue?!

Xiao menundukkan kepalanya lalu berbalik arah meninggalkan Hu Tao yang masih bengong melihat sifat manusia satu itu. Gadis itu sibuk mengumpat keberadaan lelaki yang tak ingin ia lihat lagi di masa depan. Terlihat sebuah motor skuter melaju ke arah yang berlawanan dari jalan menuju supermarket tempat Hu Tao belanja, namun sayangnya rasa heran Hu Tao sudah tertutup oleh kesalnya kepada orang yang bahkan belum ia ketahui namanya itu.

Selama perjalanan Xiao menuju rumah, pikiran lelaki itu sudah mengawang ke mana-mana. Tentu saja, ia tidak merasa bodoh karena menolak basa basi remeh yang dilontarkan oleh gadis nyentrik itu. Imajinasinya memudar saat lampu merah yang bertengger di atas tiang besi tersebut menunjukkan tajinya.

Xiao tidak tahu warna apa yang ia lihat saat ini, namun Xiao tahu tentang dasar-dasar berkendara di jalan raya. Kapan waktu harus berhenti, kapan waktu untuk bersiap, dan kapan saatnya berjalan. Semuanya tersusun indah sesuai warnanya, tetapi Xiao tak bisa melihat warna lain kecuali hitam dan putih.

Jangan sampai ada orang yang merepotkan hidup gue lagi,

**

Sesampainya di rumah, lagi-lagi Xiao harus disuguhkan oleh pertengkaran pasutri yang tinggal di zona nyamannya. Kali ini Itto dan Sara bertengkar masalah remot televisi—untuk kesekian kalinya—dibeli oleh Itto.

“Kenapa masalah beginian bisa ribut, sih?!” sentak Xiao sedikit keras.

Sara memalingkan wajahnya dari sang ipar, hanya Itto yang tertawa melihat ekspresi datar Xiao saat itu.

“Biasalah, polemik rumah tangga, Cho!”

Cho, panggilan itu dibuat oleh Itto ketika dirinya selalu berusaha untuk bersikap manis di kala ia tahu Xiao sedang memasang wajah masam favoritnya di rumah. Pria berambut gondrong itu sudah pasti tahu isi hati saudaranya walaupun ia memilih untuk bungkam.

“Gimana sekolah?” tanya Sara saat hatinya sudah sedikit lebih tenang.

Mereka bertiga duduk di atas sofa yang baru saja ditumpahi oleh saus tomat oleh Itto, berkali-kali Sara membasuhnya dengan kain basah, bau yang tercium oleh indera penciuman Xiao tak dapat membohongi sang pemilik.

Tak menjawab pertanyaan Sara, Xiao langsung mengambil sebungkus rokok yang ada di saku kemejanya, menyalakan tembakau favoritnya itu sampai ujungnya terbakar sempurna lalu ditarik oleh paru-parunya yang sudah siap menyambut nikotin untuk menenangkan otaknya.

Itto mengisyaratkan Sara untuk tak mengganggunya, padahal perempuan rambut ungu itu sudah berniat baik untuk mencairkan suasana hatinya yang sudah terlanjur beku. Ia jarang berbicara dengan Xiao, bahkan jauh sebelum pernikahannya dengan Itto. Tak ada satu pun di dunia ini yang pernah berbicara lebih dari satu kalimat dengan Xiao selain Itto dan Klee, selebihnya mungkin murid-muridnya, namun itu masalah pekerjaan. Untuk hidupnya sendiri? Hampir bisa dibilang tidak pernah.

“Gue minta, ya?”

Xiao mengangguk saat tangan Itto hampir menyentuh bungkus rokok terakhirnya yang ia beli tadi siang. Rokok itu disinyalir akan menjadi rokok terakhirnya bulan ini, karena hilal untuk gajiannya masih belum terlihat, sebenarnya Xiao harus menghemat rokoknya sebisa mungkin. Namun sudah menjadi peraturan tak tertulis bagi sesama perokok jika benda itu sudah berada di atas meja, maka siapa pun boleh mengambilnya tanpa izin sang pemilik terlebih dahulu.

Netra Sara melekat erat memandang Itto yang baru saja menyalakan rokoknya, sebenarnya ia tak ingin berdebat dengan suami bodohnya itu masalah rokok. Selama perjuangannya untuk memiliki buah hati, dokter kandungannya selalu mewanti-wanti Itto untuk berhenti merokok jika ingin memiliki momongan. Sayang sekali, kalimat yang dokter itu ucapkan kepada Itto sudah lewat dari telinga kirinya, Itto sama sekali tak mengindahkan nasehat sang dokter.

“Cho, gue dikasih surat peringatan sama Diluc! Lihat, deh!” ujar Itto sembari mengeluarkan secarik kertas kusam dari saku celana kirinya.

“Hah? Surat lagi?!” sentak Sara, emosinya kembali tersulut akibat kalimat yang setidaknya ia dengar sebulan sekali.

“Iya, katanya gue terlambat datang kerja hari ini,” jawab Itto namun wajahnya masih meninginkan tolehan dari sang adik.

“Oh,” begitulah yang selalu keluar dari mulut Xiao ketika Itto mengajaknya berbicara.

Ia baca sekilas surat peringatan yang diberikan oleh bos abangnya, namun kali ini bukan seperti dugaannya. Dalam satu bulan Itto pernah mendapat surat peringatan lebih dari delapan kali, mungkin sekarang Diluc sudah naik pitam karena penjualannya turun akibat leletnya Itto dalam bekerja, di samping tubuhnya yang kekar dan gagah, otak Itto jarang bisa mencerna apa yang dikatakan oleh Diluc Ragnvindr, juragan anggur terkenal seantero Teyvat.

“Bang, ini surat pemecatan,” Xiao sedikit bergidik setelah mengatakan hal itu di depan Sara.

Namun bukan ocehan yang keluar dari mulut Sara, perempuan itu beranjak dari sofa lalu pergi meninggalkan mereka di ruang tamu.

“Hah? Gue dipecat?” gumam Itto tak percaya

Xiao mengangguk, betapa bodohnya Itto.

Lelaki bernetra emas itu mematikan rokoknya di asbak, belum sempat ia berdiri dari sofa itu, kedua bola matanya disibukkan oleh gelagat Sara yang sedang berjalan keluar rumah dengan sebuah tas ransel di punggungnya.

Lagi?

Ketika Sara sudah muak dengan sikap Itto, ia selalu memaksa dirinya untuk pulang ke kampung halamannya. Menurut Xiao itu rasional, mengingat saudaranya tak pernah ada kemauan untuk berubah. Namun di satu sisi dirinya khawatir, karena mertua Itto lebih garang dari siapa pun yang pernah ia hadapi semasa hidupnya. Hebatnya, Itto tak memedulikan Sara sedikit pun, ia justru menyenderkan tubuhnya agar sedikit nyaman menopangkan badannya ke bantal empuk yang susah payah menahan berat badannya.

Sara menghentikan langkahnya, bukan berharap agar dihentikan oleh sang suami, perempuan itu memberikan ultimatum kepada orang yang akan ia sebut sebagai mantan suaminya.

“Gue talak lo,”

Tiga kata itu sama sekali tak membuat Itto bergerak, tubuhnya sudah nyaman dengan halusnya kain sofa yang berisi busa tebal miliknya, sebenarnya lebih tepat milik Sara.

“Baik, Nyonya Arataki.” jawab Itto santai.

Sara benar-benar meninggalkan mereka saat itu juga, Xiao menggelengkan kepalanya saat ia mendapati Itto sudah tertidur pulas di sofa itu.

“Padahal lo dulu ngejar-ngejar dia, kenapa lo biarin dia pergi tanpa lo kejar lagi?” gumam Xiao pelan.

“Gue sengaja,” balas Itto, ternyata ia tak benar-benar tidur.

“Maksud lo?”

Itto membuka matanya perlahan, jelas Xiao tidak akan menyadari betapa merahnya sklera milik Itto.

“Akhirnya tembok hati istri gue runtuh,”

Xiao masih belum mengerti betapa lelahnya Itto saat ini. Pria bersurai abu-abu itu menegakkan posisi duduknya, kepalanya ia pijit dengan kedua tangan kekar milik Sang Oni (julukan Itto semasa sekolah).

“Dia selalu pengen pulang ke Inazuma untuk mengurusi makam adiknya, tapi gak pernah jadi karena harus ngurusin hidup gue yang berantakan ini,”

“Terus? Padahal keluarganya di sana masih banyak, kenapa dia yang ngurus?”

“Salah ngomong gue, maksud gue ziarah, Cho.”

“Ya, sama ajalah itu. Dia sampai nalak lo, Bang.”

Itto tersenyum tipis di balik kedua telapaknya yang masih menutup parasnya. Air matanya sudah mengalir sejak tadi, namun ia sengaja menutupinya dari Xiao. Ia sendiri tak tahu kenapa dirinya harus menyembunyikan rasa sedihnya dari Xiao, mungkin ia harus selalu menjadi orang terkuat di depannya sampai Xiao mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya.

“Soal itu, di luar dugaan gue,” jawab Itto singkat.

**

Zhongli meletakkan sepatu pantofelnya ke dalam rak kayu yang masih terlihat mengkilap bahkan di saat benda itu sudah berumur. Ia pulang larut malam hari ini, pekerjaan yang datang tanpa henti memaksa pria itu mengeluarkan sedikit lebih banyak energi semenjak selesainya proses auditing.

Di ruang tengah, suara televisi masih terdengar di telinganya, walaupun suara tawa yang terdengar dari sumber hiburan itu, tak ada suara nyata yang menyahut.

Pasti Hu Tao sudah tertidur,

Benar, tubuh gadis bersurai hitam itu sudah melanglang buana ke dunia mimpi, raut wajahnya masih terlihat jahil bahkan dalam tidur, membuat Zhongli terkekeh gemas melihat gadis kecilnya.

Zhongli mengangkat tubuh Hu Tao lalu memindahkannya ke kamar tidurnya, kamar yang dulunya berisikan boneka-boneka lucu dengan wallpaper merah muda menyelimuti seisi ruangan, kini sudah berubah menjadi biru laut yang memanjakan mata setiap kali dirinya bertandang ke ruang paling aman milik sang adik.

Setelah menempatkan Hu Tao di pulau pribadinya, Zhongli ikut duduk di samping kaki Hu Tao yang sudah dibungkus oleh kain tebal nan hangat. Ia menyalakan pendingin ruangan agar adiknya dapat tidur lebih nyenyak lagi, sampai dering ponselnya bergetar di dada bagian kirinya.

“Halo?” sapa Zhongli dari ujung telepon.

“Baik,” tutupnya singkat lalu menyelesaikan panggilan itu.

Untung besok adalah hari liburnya, sesuai rencana, ia sudah memesan tempat khusus untuk menenangkan dirinya. Agenda ini rutin ia lakukan setiap bulan, tak jarang Hu Tao menemaninya untuk bepergian sedikit jauh dari tempat mereka tinggal.

Seperti kebetulan yang sebenarnya tidak, ponsel milik Hu Tao ikut berbunyi saat daya baterainya sedang ia isi. Sebuah alarm pengingat untuknya agar memberitahu Zhongli untuk segera memesan tempat langganannya itu.

Suruh Abang pesan tempat di Wangsheng! URGENT

Sontak Zhongli mematikan alarm tersebut, takut membangunkan adik satu-satunya itu dari mimpinya. Kembali ia menoleh ke arah Hu Tao yang sudah mulai mengigau, namun kali ini ia dikejutkan oleh nama yang disebut adiknya saat ia terlelap.

“Kak Ning! Kak Ning!”

Tak sengaja, walaupun tak sengaja terucap, luka di hati Zhongli terbuka lebar saat ia mendengar nama yang sebenarnya sulit dilupakan namun teralihkan oleh sibuknya pekerjaan.

Ningguang, kekasihnya yang mati dengan naas 10 tahun lalu.

Colored

Chapter 4: Hitamnya

Walaupun dua pasang mata itu saling melempar tatap, namun tak ada yang berani angkat bicara. Hu Tao masih memandang aneh lelaki yang ada tepat di depan mukanya, kantung matanya terlihat cukup lebar bagi lelaki bersurai hitam kehijauan tersebut. Lagi-lagi Xiao ikut mematung karena ia tidak tahu harus bicara apa, padahal agendanya bertandang ke rumah gadis yang ia temui siang tadi hanya untuk mengembalikan barang milik Hutao.

Kok jadi kayak sinetron beneran, sih?

Hu Tao memecahkan sendiri lamunannya, ia berterima kasih kepada Xiao karena telah mengembalikan pouch-nya. Respon lelaki itu sesuai dugaannya, dingin dan tak berperasaan.

“Gak mau masuk dulu?” tanya Hu Tao basa basi.

Benar sekali dugaan gadis berambut hitam itu, Xiao menggelengkan kepalanya sepersekian detik—bahkan saat Hu Tao belum dapat menyelesaikan kalimatnya.

“Gue gak pernah masuk ke rumah orang tak dikenal,” jawabnya datar.

Tcih! Siapa juga yang pengen lo masuk ke rumah gue?!

Xiao menundukkan kepalanya lalu berbalik arah meninggalkan Hu Tao yang masih bengong melihat sifat manusia satu itu. Gadis itu sibuk mengumpat keberadaan lelaki yang tak ingin ia lihat lagi di masa depan. Terlihat sebuah motor skuter melaju ke arah yang berlawanan dari jalan menuju supermarket tempat Hu Tao belanja, namun sayangnya rasa heran Hu Tao sudah tertutup oleh kesalnya kepada orang yang bahkan belum ia ketahui namanya itu.

Selama perjalanan Xiao menuju rumah, pikiran lelaki itu sudah mengawang ke mana-mana. Tentu saja, ia tidak merasa bodoh karena menolak basa basi remeh yang dilontarkan oleh gadis nyentrik itu. Imajinasinya memudar saat lampu merah yang bertengger di atas tiang besi tersebut menunjukkan tajinya.

Xiao tidak tahu warna apa yang ia lihat saat ini, namun Xiao tahu tentang dasar-dasar berkendara di jalan raya. Kapan waktu harus berhenti, kapan waktu untuk bersiap, dan kapan saatnya berjalan. Semuanya tersusun indah sesuai warnanya, tetapi Xiao tak bisa melihat warna lain kecuali hitam dan putih.

Jangan sampai ada orang yang merepotkan hidup gue lagi,

**

Sesampainya di rumah, lagi-lagi Xiao harus disuguhkan oleh pertengkaran pasutri yang tinggal di zona nyamannya. Kali ini Itto dan Sara bertengkar masalah remot televisi—untuk kesekian kalinya—dibeli oleh Itto.

“Kenapa masalah beginian bisa ribut, sih?!” sentak Xiao sedikit keras.

Sara memalingkan wajahnya dari sang ipar, hanya Itto yang tertawa melihat ekspresi datar Xiao saat itu.

“Biasalah, polemik rumah tangga, Cho!”

Cho, panggilan itu dibuat oleh Itto ketika dirinya selalu berusaha untuk bersikap manis di kala ia tahu Xiao sedang memasang wajah masam favoritnya di rumah. Pria berambut gondrong itu sudah pasti tahu isi hati saudaranya walaupun ia memilih untuk bungkam.

“Gimana sekolah?” tanya Sara saat hatinya sudah sedikit lebih tenang.

Mereka bertiga duduk di atas sofa yang baru saja ditumpahi oleh saus tomat oleh Itto, berkali-kali Sara membasuhnya dengan kain basah, bau yang tercium oleh indera penciuman Xiao tak dapat membohongi sang pemilik.

Tak menjawab pertanyaan Sara, Xiao langsung mengambil sebungkus rokok yang ada di saku kemejanya, menyalakan tembakau favoritnya itu sampai ujungnya terbakar sempurna lalu ditarik oleh paru-parunya yang sudah siap menyambut nikotin untuk menenangkan otaknya.

Itto mengisyaratkan Sara untuk tak mengganggunya, padahal perempuan rambut ungu itu sudah berniat baik untuk mencairkan suasana hatinya yang sudah terlanjur beku. Ia jarang berbicara dengan Xiao, bahkan jauh sebelum pernikahannya dengan Itto. Tak ada satu pun di dunia ini yang pernah berbicara lebih dari satu kalimat dengan Xiao selain Itto dan Klee, selebihnya mungkin murid-muridnya, namun itu masalah pekerjaan. Untuk hidupnya sendiri? Hampir bisa dibilang tidak pernah.

“Gue minta, ya?”

Xiao mengangguk saat tangan Itto hampir menyentuh bungkus rokok terakhirnya yang ia beli tadi siang. Rokok itu disinyalir akan menjadi rokok terakhirnya bulan ini, karena hilal untuk gajiannya masih belum terlihat, sebenarnya Xiao harus menghemat rokoknya sebisa mungkin. Namun sudah menjadi peraturan tak tertulis bagi sesama perokok jika benda itu sudah berada di atas meja, maka siapa pun boleh mengambilnya tanpa izin sang pemilik terlebih dahulu.

Netra Sara melekat erat memandang Itto yang baru saja menyalakan rokoknya, sebenarnya ia tak ingin berdebat dengan suami bodohnya itu masalah rokok. Selama perjuangannya untuk memiliki buah hati, dokter kandungannya selalu mewanti-wanti Itto untuk berhenti merokok jika ingin memiliki momongan. Sayang sekali, kalimat yang dokter itu ucapkan kepada Itto sudah lewat dari telinga kirinya, Itto sama sekali tak mengindahkan nasehat sang dokter.

“Cho, gue dikasih surat peringatan sama Diluc! Lihat, deh!” ujar Itto sembari mengeluarkan secarik kertas kusam dari saku celana kirinya.

“Hah? Surat lagi?!” sentak Sara, emosinya kembali tersulut akibat kalimat yang setidaknya ia dengar sebulan sekali.

“Iya, katanya gue terlambat datang kerja hari ini,” jawab Itto namun wajahnya masih meninginkan tolehan dari sang adik.

“Oh,” begitulah yang selalu keluar dari mulut Xiao ketika Itto mengajaknya berbicara.

Ia baca sekilas surat peringatan yang diberikan oleh bos abangnya, namun kali ini bukan seperti dugaannya. Dalam satu bulan Itto pernah mendapat surat peringatan lebih dari delapan kali, mungkin sekarang Diluc sudah naik pitam karena penjualannya turun akibat leletnya Itto dalam bekerja, di samping tubuhnya yang kekar dan gagah, otak Itto jarang bisa mencerna apa yang dikatakan oleh Diluc Ragnvindr, juragan anggur terkenal seantero Teyvat.

“Bang, ini surat pemecatan,” Xiao sedikit bergidik setelah mengatakan hal itu di depan Sara.

Namun bukan ocehan yang keluar dari mulut Sara, perempuan itu beranjak dari sofa lalu pergi meninggalkan mereka di ruang tamu.

“Hah? Gue dipecat?” gumam Itto tak percaya

Xiao mengangguk, betapa bodohnya Itto.

Lelaki bernetra emas itu mematikan rokoknya di asbak, belum sempat ia berdiri dari sofa itu, kedua bola matanya disibukkan oleh gelagat Sara yang sedang berjalan keluar rumah dengan sebuah tas ransel di punggungnya.

Lagi?

Ketika Sara sudah muak dengan sikap Itto, ia selalu memaksa dirinya untuk pulang ke kampung halamannya. Menurut Xiao itu rasional, mengingat saudaranya tak pernah ada kemauan untuk berubah. Namun di satu sisi dirinya khawatir, karena mertua Itto lebih garang dari siapa pun yang pernah ia hadapi semasa hidupnya. Hebatnya, Itto tak memedulikan Sara sedikit pun, ia justru menyenderkan tubuhnya agar sedikit nyaman menopangkan badannya ke bantal empuk yang susah payah menahan berat badannya.

Sara menghentikan langkahnya, bukan berharap agar dihentikan oleh sang suami, perempuan itu memberikan ultimatum kepada orang yang akan ia sebut sebagai mantan suaminya.

“Gue talak lo,”

Tiga kata itu sama sekali tak membuat Itto bergerak, tubuhnya sudah nyaman dengan halusnya kain sofa yang berisi busa tebal miliknya, sebenarnya lebih tepat milik Sara.

“Baik, Nyonya Arataki.” jawab Itto santai.

Sara benar-benar meninggalkan mereka saat itu juga, Xiao menggelengkan kepalanya saat ia mendapati Itto sudah tertidur pulas di sofa itu.

“Padahal lo dulu ngejar-ngejar dia, kenapa lo biarin dia pergi tanpa lo kejar lagi?” gumam Xiao pelan.

“Gue sengaja,” balas Itto, ternyata ia tak benar-benar tidur.

“Maksud lo?”

Itto membuka matanya perlahan, jelas Xiao tidak akan menyadari betapa merahnya sklera milik Itto.

“Akhirnya tembok hati istri gue runtuh,”

Xiao masih belum mengerti betapa lelahnya Itto saat ini. Pria bersurai abu-abu itu menegakkan posisi duduknya, kepalanya ia pijit dengan kedua tangan kekar milik Sang Oni (julukan Itto semasa sekolah).

“Dia selalu pengen pulang ke Inazuma untuk mengurusi makam adiknya, tapi gak pernah jadi karena harus ngurusin hidup gue yang berantakan ini,”

“Terus? Padahal keluarganya di sana masih banyak, kenapa dia yang ngurus?”

“Salah ngomong gue, maksud gue ziarah, Cho.”

“Ya, sama ajalah itu. Dia sampai nalak lo, Bang.”

Itto tersenyum tipis di balik kedua telapaknya yang masih menutup parasnya. Air matanya sudah mengalir sejak tadi, namun ia sengaja menutupinya dari Xiao. Ia sendiri tak tahu kenapa dirinya harus menyembunyikan rasa sedihnya dari Xiao, mungkin ia harus selalu menjadi orang terkuat di depannya sampai Xiao mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya.

“Soal itu, di luar dugaan gue,” jawab Itto singkat.

**

Zhongli meletakkan sepatu pantofelnya ke dalam rak kayu yang masih terlihat mengkilap bahkan di saat benda itu sudah berumur. Ia pulang larut malam hari ini, pekerjaan yang datang tanpa henti memaksa pria itu mengeluarkan sedikit lebih banyak energi semenjak selesainya proses auditing.

Di ruang tengah, suara televisi masih terdengar di telinganya, walaupun suara tawa yang terdengar dari sumber hiburan itu, tak ada suara nyata yang menyahut.

Pasti Hu Tao sudah tertidur,

Benar, tubuh gadis bersurai hitam itu sudah melanglang buana ke dunia mimpi, raut wajahnya masih terlihat jahil bahkan dalam tidur, membuat Zhongli terkekeh gemas melihat gadis kecilnya.

Zhongli mengangkat tubuh Hu Tao lalu memindahkannya ke kamar tidurnya, kamar yang dulunya berisikan boneka-boneka lucu dengan wallpaper merah muda menyelimuti seisi ruangan, kini sudah berubah menjadi biru laut yang memanjakan mata setiap kali dirinya bertandang ke ruang paling aman milik sang adik.

Setelah menempatkan Hu Tao di pulau pribadinya, Zhongli ikut duduk di samping kaki Hu Tao yang sudah dibungkus oleh kain tebal nan hangat. Ia menyalakan pendingin ruangan agar adiknya dapat tidur lebih nyenyak lagi, sampai dering ponselnya bergetar di dada bagian kirinya.

“Halo?” sapa Zhongli dari ujung telepon.

“Baik,” tutupnya singkat lalu menyelesaikan panggilan itu.

Untung besok adalah hari liburnya, sesuai rencana, ia sudah memesan tempat khusus untuk menenangkan dirinya. Agenda ini rutin ia lakukan setiap bulan, tak jarang Hu Tao menemaninya untuk bepergian sedikit jauh dari tempat mereka tinggal.

Seperti kebetulan yang sebenarnya tidak, ponsel milik Hu Tao ikut berbunyi saat daya baterainya sedang ia isi. Sebuah alarm pengingat untuknya agar memberitahu Zhongli untuk segera memesan tempat langganannya itu.

Suruh Abang pesan tempat di Wangsheng! URGENT

Sontak Zhongli mematikan alarm tersebut, takut membangunkan adik satu-satunya itu dari mimpinya. Kembali ia menoleh ke arah Hu Tao yang sudah mulai mengigau, namun kali ini ia dikejutkan oleh nama yang disebut adiknya saat ia terlelap.

“Kak Ning! Kak Ning!”

Tak sengaja, walaupun tak sengaja terucap, luka di hati Zhongli terbuka lebar saat ia mendengar nama yang sebenarnya sulit dilupakan namun teralihkan oleh sibuknya pekerjaan.

Ningguang, kekasihnya yang mati dengan naas 10 tahun lalu.

Bidadari Pencabut Nyawa

Chapter 8: Manipulatif

tw: angst, murder, blood, violence, major character death

FLASHBACK DI AWAL CATACLYSM

Dalam perjalanannya menjauh dari pemakaman pahlawan nasional Teyvat, mata kanan milik Kaeya berdenyut kencang, sebelum ia didapati oleh keponakannya sedang bertingkah aneh, pria itu meminta Klee untuk jalan lebih dulu.

Klee jelas tidak memedulikan sosok paman yang ia cap sebagai buaya darat itu, karena setiap hari gadis itu selalu melihat keluarga satu-satunya menggoda setiap perempuan yang masuk ke dalam lingkaran mata kirinya. Berkali-kali sudah ia katakan supaya pamannya itu cepat bertaubat dan kembali ke jalan yang lurus, namun kalimat itu selalu dipotong oleh Kaeya dengan kalimat yang sangat menyebalkan.

Tenang aja, Klee! Tuhan itu temenku! kira-kira seperti itu yang selalu diucapkan oleh Kaeya.

Mata kanan Kaeya kembali menghisap tubuhnya ke dalam, hingga ia berada di suatu tempat nan gelap dan menyeramkan. Di sana terdengar teriakan minta ampun yang tak henti-hentinya memekikkan telinga milik pria bersurai biru tua tersebut.

“Tepati janjimu!”

“Jangan bohongi kami lagi!”

“Waktunya telah tiba!”

Selama Kaeya berjalan menyusuri lorong gelap itu, ia hanya terkekeh mendengar seluruh penderitaan yang masuk ke dalam telinganya. Kini ia berada di sebuah pintu besar dengan besi panjang nan berkarat mengelilinginya, Kaeya menyapa orang-orang yang ada di dalam sana namun pandangannya tak luput dari seseorang yang selama ini menemaninya saat di Teyvat.

“Zhongli?”

Tatapan tajam Zhongli mengarah ke Kaeya, bahkan di dunianya sendiri Kaeya masih ketakutan dan kewalahan dengan aura yang dipancarkan oleh Sang Archon. Sebagai titisan Primordial Ones, Kaeya memiliki hak penuh untuk mengeluarkan ruh-ruh yang terperangkap di dalam Alam Baka. Pria itu hanya ingin menyiksa jiwa-jiwa suram untuk memuaskan hasrat dan ego-nya.

Namun seketika besi-besi panjang itu terbang dengan sendirinya, ia tak tahu apa yang terjadi namun ruh lain yang terperangkap di sana bebas dengan sendirinya tanpa perintah dari pria rambut panjang itu.

Tiba-tiba tubuhnya bersenggolan dengan seorang pria berambut gondrong, ia melemparkan senyumnya ke arah Kaeya tanpa rasa curiga sedikit pun.

“Lo datang buat nyelamatin kita, kan?” seru Itto antusias.

“Selama ini gue udah curiga sama mata kanan lo yang selalu ditutup, ternyata lo penyelamat kami, Bang!” lanjut Itto sebelum bersiap kembali ke dunia.

“Di luar sana sedang terjadi Cataclysm, kalian gue bebaskan tapi dengan syarat,”

Kaeya tersenyum tipis sebelum membiarkan sisa ruh yang belum keluar dari Alam Baka itu pergi sepenuhnya.

“Kalian akan lupa dengan apa yang terjadi di sini, dan di saat gue bilang balik, kalian harus balik,”

Itto dan yang lainnya mengangguk, tak jauh dari tempat Itto dan Kaeya berbicara, ada Diluc yang melewati mereka begitu saja tanpa memedulikan pembicaraan dua orang itu.

Tinggal satu orang yang belum beranjak dari tempat ia duduk, lelaki bersurai hitam panjang itu masih duduk tegak di atas sebuah bongkahan batu nan membara.

“Kenapa kau masih ada di sini?” sahut Kaeya, ia sendiri heran dengan apa yang dihadapinya sekarang.

“Saya gagal menjaga keluarga saya, maka dari itu biarkan saya mendekam di neraka ini selamanya,” jawab Zhongli tegas.

Kaeya menyambut jawaban Zhongli dengan tawa, ia mendekat ke arah orang terkuat di Liyue itu sambil menyilangkan kedua tangannya.

“Zhongli, bidak Celestia Kuno yang merupakan seorang Adeptus. Kau tahu, kan, di sini statusku sebagai apa?”

Zhongli hanya mengangguk tegas.

“Saya sudah tahu kamu sejak lama. Kamu bukan manusia biasa,”

Kaeya tertegun, “Lantas kenapa kau menganggapku? Mengajakku bermain? Di saat kau tahu bahwa aku adalah anak haram Yang Maha Satu?”

Zhongli terlihat menghela nafasnya sesekali, tak menyangka bahwa manusia setengah dewa seperti Kaeya masih memiliki rasa gundah di hatinya.

“Saya tidak pernah membedakan siapa pun di muka bumi ini,”

Jawaban datar Zhongli justru membuat Kaeya kesal, ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana kainnya sambil menggumamkan sesuatu.

“Aku bisa membebaskanmu dari neraka, namun ada syaratnya,”

Zhongli mendongak ke arah Kaeya, menunggu syarat yang disinggung oleh pria bersurai biru tua itu tadi.

“Setiap detiknya, rasa cintamu kepada orang yang kau sayangi akan memudar, dan kau akan mengikuti perintahku seutuhnya,”

Tanpa persetujuan darinya, Zhongli lenyap seketika dari hadapan Kaeya. Menyisakan dirinya sendiri sebelum akhirnya ia juga hilang dari dunianya, dunia milik titisan sang dewa.

KEMBALI KE CATACLYSM SAAT INI

Kujou Sara dan Venti berulang kali bergantian menyerang Zhongli yang masih berdiri kokoh di atas tanah yang ia pijak. Mereka kehabisan akal untuk mengalahkan pria yang disebut-sebut sebagai orang nomor satu di Liyue dengan titel Archon yang tersemat di belakang namanya.

Ayah,

Tatapan bengis Zhongli tertuju kepada Kujou Sara, dulu ia benar-benar terbantu oleh sosok Zhongli semenjak ditinggal oleh Arataki Itto karena mendapatkan hukuman mati. Satu-satunya pria yang dapat dipercaya saat itu sampai sekarang adalah dirinya seorang, namun hari ini semua anggapan itu perlahan hilang dari benaknya, Zhongli bukanlah ayah yang ia kenal.

“Ayo! Jangan melamun!”

Venti mulai melesat kencang ke arah Zhongli yang masih tertegun melihat usaha mereka untuk menumbangkannya. Kekuatannya jauh di atas siapa pun bahkan seorang Celestia itu sendiri.

Kujou Sara mengangkat tangan kanannya, langit Inazuma yang sudah gelap itu mengeluarkan secercah cahaya lalu ditangkap oleh perempuan bersurai ungu tersebut. Kepakan sayap di antara punggungnya membuat Sara ikut melesat menyusul Venti sambil mengarahkan guntur itu ke arah Zhongli.

Tepat sasaran?

DUAR

Tepat di sebelah kiri Zhongli, kubangan besar tercipta akibat kekuatan milik Kujou Sara. Zhongli berhasil menepis serangan menantunya itu hanya dengan tangan kirinya, mengingat tangan kanannya sudah habis dibakar oleh Celestia Natlan, Murata, saat Perang Archon Kedua 10 tahun yang lalu.

“Jangan arahkan kekuatan itu ke wajah saya, Sara.” ujar Zhongli pelan, kini tangan kirinya mencengkram keras lehernya lalu membanting Sara jatuh ke dalam kubangan itu.

Zhongli melompat ke dalamnya lalu memijak perut Sara dengan brutal sampai tubuhnya menyentuh tanah. Kubangan tanah itu semakin dalam akibat serangan mematikan dari pria bersurai hitam itu.

“Saya tahu, kamu sedang mengandung anak keduamu dengan Itto,”

Saat ia mengangkat kakinya dari tubuh Sara, Zhongli kembali mencengkram perut Sara hingga perempuan itu berteriak kesakitan.

“Sayang sekali, janinmu sudah hancur saat kaki ini menyentuh perutmu. Tak peduli sebesar apa pun kekuatan Celestia milikmu. Dia sudah mati,”

SLASH

Pekikan Sara menggelegar memenuhi langit Inazuma, Janin miliknya kini ada di tangan kiri Zhongli. Pria itu terkekeh pelan melihat wajah penderitaan Sara saat berusaha menatap netranya.

“Celestia tidak akan mati, namun janin ini telah menjadi bukti,”

“Keturunan Celestia dapat mati dengan mudah,”

“Saya tak pernah segan untuk membunuh orang yang berani mengacaukan rencana saya,”

Zhongli melemparkan janin Sara tak jauh dari tempatnya tersungkur, lagi-lagi ia mengangkat kaki kanannya sebelum akhirnya memijak wajahnya dengan keras dan membabi buta.

“Penderitaan ini hanya sementara, Anakku. Kamu akan menemui surgamu sebentar lagi,” ujar Zhongli di setiap hentakan kakinya ke wajah Kujou Sara.

Langit Inazuma kembali menggelegar, ratusan kilat mulai menyambar ke arah kubangan hitam tersebut. Memaki Zhongli yang masih menyiksa tubuh Sara seenaknya. Portal hitam mulai membesar lalu mengisap mereka masuk ke dalamnya hingga akhirnya Zhongli dan Sara kembali ke Sumeru karena kekuatan misterius itu.

“Mas Zhongli?!” seru Ningguang tak percaya.

Zhongli menghentikan serangannya, menatap Ningguang tak percaya. Satu-satunya orang yang ia cintai melihat kebengisan dirinya, tak pernah sekali pun niat Zhongli menunjukkan sisi ini kepada istrinya.

“Kamu apakan anakku?!”

Ningguang berlari kecil menghampiri mereka berdua, perempuan bersurai putih itu berusaha sekuat tenaga untuk menahan kaki baja milik Zhongli agar tidak mengarahkannya ke wajah Sara.

“Kamu gila, ya, Mas?! Ini Sara! Anak kamu!”

Ingatan Zhongli yang memudar kembali ditampar oleh sentuhan hangat istrinya, namun sesuai perjanjiannya dengan titisan Yang Maha Satu itu berhasil mengalihkan rasa cintanya kepada Ningguang dengan cepat.

Zhongli mencekik leher Ningguang penuh kekuatan, wajahnya merah pekat namun hanya di bagian kepalanya saja. Peristiwa itu disaksikan langsung oleh cucunya, Yun Jin.

“Angli,” gumam Yun Jin pelan, dipenuhi oleh rasa takut. Badannya bergetar hebat melihat kepala Ningguang yang seakan pecah sebentar lagi.

“Tenang, Nak. Kamu selanjutnya,” balas Zhongli sambil tersenyum.

Kedua bola mata Ningguang telah keluar dari tempatnya, beberapa detik kemudian paras indah milik sang istri terlepas dari tubuhnya. Zhongli mengangkat kepala istrinya lalu mengarahkannya ke langit, tanda bahwa loyalitasnya kepada Kaeya tak bisa ditandingi lagi oleh siapa pun. Ia bahkan rela mengkhianati istrinya untuk menuntaskan janjinya.

Hati kecilnya tak bisa berbohong, air matanya mengalir membasahi pipinya saat darah yang jatuh dari kepala istrinya mengotori wajahnya.

“Saya tidak pernah mengingkari janji,” ujar Zhongli dengan gagahnya.

-to be continued

KLUB BODOH

BAB 8: THE LAST

The Last, adalah identitas terbaru kami, yang sebenarnya memiliki arti yang tidak jauh dari Klub Bodoh. The Last yang berarti ‘terakhir’, namun bisa juga memiliki arti lain. Tergantung orang lain yang menafsirkannya, yang jelas tidak akan jauh dari kata bodoh dan terbelakang.

Hari pertama latihan sudah diwarnai dengan tangisan Ganyu yang dimarahi oleh Sara karena suaranya tidak sesuai dengan iringan lagu. Ajax terus berusaha menenangkan Ganyu sementara Ayato sedang cek cok dengan Sara.

“Lo bisa gak, sih, sehari aja gak bikin Ganyu nangis?!” bentak Ayato.

“Lo gak lihat itu bocah nyanyi gak bener?! Fokus dong! Zero mistake!” balas Sara kesal, urat dikepalanya sudah muncul, tandanya tenaga dalamnya akan segera aktif. Masih belum diketahui kenapa Sara bisa lebih garang dari kami.

“U-u-ud-udah, Guys. Maafin a-ak-akuuu….” Ganyu masih menangis, tanpa sadar aku mulai mengecap Ganyu sebagai Ratu Drama di otakku.

“Woy! Woy! Woy!” Itto memanggil kami dari luar, dia baru balik dari toilet, takut dimarahin Sara karena ada beberapa kesalahan dalam komposisi lagu yang dibuat olehnya.

“Sini cepetan!” Itto semakin kuat melambaikan tangannya, mengajak kami keluar dari kelas dan melihat ke teras kelas 11 IPA 2.

“Lihat tuh! Mereka juga pake kostum! Panggung juga mereka dekor sendiri!” adu Itto kepada Ayato, yang membuat badan Ayato bergetar iri. Dia langsung mengajak kami rapat dadakan.

“Oke! Kita butuh kostum dan dekorasi! Kasih ide secepatnya!”

“Lo gak bisa ngelangkahin gini! Mereka rame! Kita cuma berenam! Kita harus mantepin dulu permainan kita!” jawab Sara sambil menunjuk-nunjuk Ayato, dia mulai tunduk dengan Sara.

“Gini aja, ada yang ngatur masalah kostum dan dekorasi, sisanya latihan perkusi dulu.” Usulku, aku mulai lelah dengan keadaan kelas yang tidak pernah kondusif itu.

“Yaudah, lo aja!” Kata Sara singkat.

“Kok gue?!” tanyaku panik, aku gak memiliki pengetahuan tentang itu.

“Lo yang nyaranin, lo yang punya ide, kan? Lakuin.” Jawab Sara, aku tidak bisa berbuat apa-apa kalau dia sudah memutuskan, Ayato yang mengaku ketua kelas saja tunduk dengan Sara, monster tomboy itu.

“Yaudah, biar gue yang bantuin lo, Ther. Gue sedikit ngerti kok tentang dekor dan fashion,”

Akhirnya pangeran itu datang, Ajax sang penyelamat hidupku. Sambil tersenyum, seolah dia memberikan harapan padaku.

**

“Maaf, ya, Ther. Gue salah mulu motong kertas warnanya,” ternyata dugaanku salah, Ajax tidak memiliki apa pun kecuali tampangnya yang sempurna.

“Iya, gak apa-apa.” Jawabku ketus, sudah kelima kalinya kami membeli kertas origami di koperasi sekolah.

Hari demi hari kami lewati, 3 minggu waktu yang diberikan seperti sia-sia melihat tidak ada perkembangan sedikit pun dari kami. Masalah kostum dan dekorasi panggung, Ajax meminta tolong tantenya yang merupakan seorang desainer, Ganyu yang masih menangis menjelang hari H karena Sara masih belum puas dengan performa Ganyu, Ayato yang selalu pura-pura sakit saat ditanya tentang perkembangan pentas seni oleh Bu Amber, Itto yang belum masuk sekolah selama 2 minggu tanpa kabar, dan aku yang masih harus menjadi orang normal di antara orang goblok ini.

“Si Itto kemana, sih? Udah 2 minggu gak sekolah,” omel Sara sambil memegang sapu yang patah karena habis mengamuk dikelas.

“Duh, gak tau gue, pusing banget kepala gue, demam juga ini. Hachu!” ujar Ayato sambil pura-pura menggigil, padahal saat kami latihan dia diam-diam streaming anime di gawainya.

“Gak kerasa, ya, tinggal 3 hari lagi kita tampil.” Kata Ajax lesu, dia masih merasa bersalah karena tidak sengaja menumpahkan minumannya ke latar panggung yang telah kami buat latar itu rencananya akan kami gunakan untuk pentas nanti, bahannya terbuat dari kertas yang sudah dipotong dan disusun seperti menggambarkan suasana santainya pantai.

“Gimana ini jadinya..” omel Ganyu pelan, takut ketahuan Sara.

Aku hanya bisa menyender di dinding kelas, melihat kondisi kelas yang lebih dari kapal pecah.

“PENGUMUMAN! PENGUMUMAN! DIHARAPKAN SEMUA KETUA KELAS UNTUK HADIR BESOK SAAT TECHNICAL MEETING SEBELUM ACARA PENTAS SENI! TERIMA KASIH” Pengumuman itu menutup hari kami yang melelahkan.

KLUB BODOH

BAB 7: THE MEETING

Setelah berhasil morotin duit Ayah, Ayato memulai rapat kami dengan penuh semangat, gimana gak semangat? Makan gratis, ngambil ayam orang pula. Karena tidak mau mengganggu ibaratnya, Ayah, Ibu dan Adel pamit pulang duluan. Aku dihakimi oleh Ibu dengan matanya, menyuruhku untuk tidak berteman lagi dengan Ayato si pembuat onar.

“Oke, Guys! Pertama-tama gue mau ngucapin terima kasih banyak buat Bokap lo, Ther. Udah baik banget mau traktirin kita-kita,” kata Ayato dilanjutkan oleh tepuk tangan yang diinisiasi oleh Itto.

“Makasih banget, ya, Ther.” Senyum Ajax tulus, setidaknya bisa membuatku lupa sejenak dengan masalah yang kuhadapi sore ini.

“Jadi gini, Guys. Gue udah mikirin mateng-mateng. Kita lebih cocok tampilin musik untuk pentas seni kita.” Jelas Ayato, tanpa aba-aba, tanpa babibu, tanpa persetujuan dari kami, Ayato sudah memutuskan pilihannya sendiri.

“Apa gak kita obrolin dulu? Siapa tahu ada yang berbeda pendapat.” Potongku, aku tidak mau lagi tenggelam dalam ajaran sesat. Ayato sudah kelewat keterlaluan, maaf aku sampai membawa perasaan pribadiku ke meja diskusi, tapi aku sudah muak dengan tingkah si Ayato.

“Oke, lo ada argumen apa buat gak memilih penampilan musik untuk klub kita? Kita punya Itto yang jago dalam hal musik, kita punya Sara yang bisa mainin alat musik, kita punya Ganyu yang kayaknya bisa nyanyi, kita punya Ajax sebagai visual, dan kita punya gue sebagai leader!” Ayato menjelaskan secara rinci, aku tidak tahu kalau Sara bisa memainkan alat musik.

“Lo bisa mainin alat musik apa, Sar?” tanyaku ke Sara yang sudah berlatih drum dengan kedua tangannya.

“Gue? Lo remehin gue?!” Sara langsung beranjak dari kursinya, mengangkat tangannya seperti akan menabok kepalaku. Aku kaget bukan kepalang, baru kali ini aku takut sama perempuan.

“Gue nanya doang, kok.” Jawabku sambil bermain aman, aku gak tahu kalau berurusan sama Sara akan sesusah ini.

“Lo bisa mainin alat musik, Ther?” tanya Ajax, yang masih dengan pesona pangerannya.

“Gue bisa perkusi doang,” Jawabku pelan, aku minder, karena semua sepertinya berbakat di bidang yang sudah Ayato jelaskan tadi.

“Bagus dong! Kita emang mau main perkusi!” lanjut Ajax, sambil melihat ke yang lainnya, mereka memasang wajah penuh keyakinan, yang menurutku itu buruk.

“Oke! Kita tentuin lagunya dari sekarang. Biar nanti tinggal latihan aja,” Ajak Itto, yang sudah selesai dengan gawainya, dia sudah melakukan riset dan memberi kami banyak referensi lagu untuk dimainkan.

Setelah berdiskusi panjang, akhirnya terpilih 5 lagu yang akan kami mainkan, dengan mengusung tema Around The World, kami akan memainkan 5 lagu yang sedang hits sekarang.

“Sepakat, ya? Kita pilih lagu Kill This Love, Berpisah Itu Mudah, Despacito, Bad Guy, sama I Want It That Way,” Ujar Ayato yang masih penuh semangat, baru kali ini kami beneran diskusi, melempar pendapat, beradu argument, ditampar Sara, dan suara tangisnya Ganyu.

“Oke! Nanti gue aransemen lagunya,” Kata Itto sambil mencolokkan kabel powerbank ke gawainya.

“Oh, ya. Nanti pas tampil nama kita jangan Klub Bodoh, dong.” Usul Ajax, masuk akal. Karena kami juga malu disebut-sebut sebagai anggota Klub Bodoh.

“Iya sih, benar. Apa, ya, kira-kira?” lanjutku sambil berpikir.

“Gimana kalau Stupid Club? Kan lebih keinggrisan.” Ujar Ajax, yang masih belum diketahui apakah dia ini polos atau memang goblok.

“Itu translate doang, Jax.” Jawabku.

“Kalau Stupid Percussion?” usul Itto, ia memasang wajah serius kali ini, berharap usulannya diterima.

“Gak usah pake bodoh-bodohanlah! Kita ini udah bodoh, malah bikin nama grup bodoh!” bentak Sara, yang berhasil mencuri perhatian pengunjung sekitar selama beberapa detik.

“Oke, oke. Tenang semuanya. Kita pikirin di rumah masing-masing aja, gimana?” kata Ayato sambil menenangkan, padahal kami tidak gaduh.

“Yaudah.” Jawab Sara.

“Okedeh,”

“Yowes,”

“A-ak-aku ada usul..” ujar Ganyu sambil mengangkat tangannya.

“Apa, Nyu?” tanyaku semangat, baru kali ini Ganyu berani berpendapat, setelah selalu kalah dengan tatapan mata Sara.

“Gimana kalau namanya The Last?”

“The Last?”