Colored
Chapter 3: Pertemuan Yang Tidak Disengaja
Xiao dan Klee duduk di sebuah taman di samping sekolahnya, hari ini gadis rambut pirang itu sedikit terlambat dijemput oleh orang tuanya karena masalah pekerjaan yang belum bisa ditinggalkan. Klee melanjutkan sekolahnya di Teyvat Academy karena adanya Xiao kala itu, banyak cerita yang terjadi saat Klee masih duduk di bangku SD sebelum Xiao bekerja di sana.
Klee sempat menjadi korban perundungan oleh kakak kelasnya yang sudah SMP, karena statusnya sebagai putri dari Jean Gunnhildr yang merupakan salah satu petinggi Mondstadt di Knight of Favonius, Klee kerap mendapatkan perlakuan yang tidak pantas mengingat dengan statusnya sebagai anak pejabat Klee bisa bersekolah di tempat lain yang 'lebih layak' katanya, namun entah kenapa Diluc memutuskan untuk menyekolahkan anaknya di pesisir Liyue seperti sekarang ini.
“Kalau lagi berdua gini, Klee boleh manggil abang?” tanya Klee memecahkan keheningan mereka.
Xiao mengangguk pelan, lamunannya akan masa lalu seketika buyar ketika Klee memanggilnya dengan sebutan 'abang', ini merupakan hal yang cukup langka mengingat Xiao merupakan putra satu-satunya dan garis keturunan terakhir dari keluarganya.
“Boleh, kok. Cuma kalau di sekolah tetap panggil Bapak aja, biar yang lain gak merasa iri sama kamu,” canda Xiao sambil mengelus kepala Klee, lebih tepatnya mengacak-acak rambut tipis bocah ingusan itu.
Klee bersin beberapa kali, anak itu alergi dengan debu. Tingkah anehnya beberapa kali berhasil membuat Xiao tak bisa menahan ketawanya, ia tak pernah menyangka bahwa garis takdirnya yang terlukis di surga adalah menjadi seorang guru, padahal Xiao sama sekali tidak pernah berinteraksi dengan anak-anak sebelum ia masuk ke Teyvat Academy.
“Klee boleh cerita, Bang?”
“Mau cerita apa?”
“Kenapa, ya? Orang tua Klee kalau di rumah itu sibuk banget, kadang kalau lagi makan malam, Mama selalu lihat ke laptop, sementara Papa diam aja. Klee bingung harus bagaimana kalau lagi kayak gitu,” ungkap Klee pelan.
Sembari menghela nafas beberapa kali, Klee melanjutkan ceritanya dengan mata yang berkaca-kaca.
“Terus, kalau malam-malam juga, Klee sengaja pura-pura takut biar bisa tidur sama Papa dan Mama. Tapi ternyata Papa tidurnya di ruang tamu, nggak tidur sama Mama. Memang ada, ya, Bang? Orang tua seperti Papa dan Mama?”
Xiao berdeham, jelas ia bingung bagaimana harus menjawab pertanyaan polos itu. Ia hanya mengetahui sedikit tentang Jean dan Diluc, itu pun dari sepupunya yang bekerja sebagai penjaga restoran milik Diluc, salah satu cabang usaha milik Keluarga Ragnvindr.
“Mungkin ada pekerjaan Ibu Jean yang belum selesai, dan terpaksa harus diselesaikan karena ada batas waktunya. Kamu, kan, juga seperti itu? Kalau misalnya dikasih tugas sama gurunya harus dikumpulkan di hari apa? Nah, Ibu Jean juga seperti itu,” jawab Xiao dengan lembut.
Jawaban Xiao masih belum bisa menenangkan hati Klee, gadis itu masih berusaha menahan tangisnya karena apa yang ia lihat selama ini berdampak buruk bagi mentalnya.
“Pernah juga, waktu Klee olimpiade kemarin, ingat, kan?”
Xiao mengangguk.
“Klee juara, Bang! Abang ingat, kan?”
Lagi-lagi Xiao mengangguk.
“Seremoni penghargaan untuk Klee juga udah dikasih tahu jauh-jauh hari, Papa sama Mama udah janji buat datang ke acaranya, tapi gak jadi. Eh, malah minta tolong Abang untuk mewakilkan,” runtuk Klee kesal dengan ingatannya.
“Bukan begitu, Klee. Sebenarnya aku juga gak bisa memihak kepada siapa pun, tapi suatu saat kamu pasti sadar ketika sudah menjadi orang tua. Mau bagaimanapun, enggak akan ada orang tua yang rela meninggalkan momen bersejarah anaknya karena suatu urusan, tapi di sisi lain emang ada kewajiban yang harus diselesaikan. Misalnya kalau tidak dilakukan, kamu jadi gak bisa bayar uang sekolah, deh.”
“Berat sebenarnya, Klee. Kamu sedih karena orang tua kamu tidak bisa datang ke acara penghargaan kamu, dan orang tua kamu juga pasti sedih karena tidak bisa hadir menemani kamu saat itu,”
Klee tertunduk, wajahnya sangat kelihatan sedang lesu. Ia masih samar-samar mencerna apa yang dijelaskan oleh Xiao, gadis itu masih belum bisa menerima ketidakhadiran orang tuanya di momen pentingnya.
“Coba aja orang tua Klee itu kayak abangnya Teucer. Udahlah ganteng, kayak bule, kayak artis gitu! Abang tahu, kan, orangnya?”
Xiao terkekeh setelah mendengar penggambaran Klee tentang Ajax, salah satu wali murid yang merupakan teman sekolahnya dulu.
“Iya, iya. Tapi kamu gak bisa langsung ambil kesimpulan kalau abangnya Teucer tidak seperti orang tua kamu, lho!” jelas Xiao sambil menopang dagunya.
“Ih, enggak! Soalnya Abang itu kasih Klee es krim setelah nemenin Teucer cari-cari tempat les! Itu artinya Bang Ajax baik!”
“Terus? Kalau Papa atau Mama kamu kasih es krim, kamu bisa memaafkan mereka?”
Klee mengangguk setuju, memang ada-ada saja permintaan anak ini. Xiao langsung berdiri dan mengajaknya untuk jajan di super market yang letaknya tak jauh dari sekolah.
Setibanya di super market, Xiao membebaskan Klee untuk memilih satu es krim yang akan dibeli. Ia melihat pesan singkat yang dikirimkan oleh Jean di gawainya, meminta maaf karena akan sedikit lebih lama lagi untuk menjemput Klee. Jean berpesan untuk menitipkan Klee kepada penjaga sekolahnya jika jam kerja Xiao sudah habis di sekolah, namun lelaki bersurai hijau itu tak tega meninggalkan Klee seorang diri di sekolah.
“Bang! Boleh beli dua, gak?” tanya Klee dengan wajah memelas.
Mata Xiao tertuju pada katalog harga yang tertempel di atas mesin pendingin es krim itu, lalu mengingat kembali jumlah uang yang ada di dompetnya.
Kalau beli dua berarti 15 Mora, uangku masih ada 20 Mora lagi tapi untuk beli rokok, gumam Xiao dalam hati.
“Ya udah, tapi jangan langsung dihabisin, ya?” jawab Xiao sambil tersenyum.
Klee mengangguk lalu berlari ke kasir dengan cepat, takut mengantri panjang karena pengunjung sedang ramai-ramainya di super market itu.
“Ayo, Bang! Klee udah ambil spot!” ajak Klee sambil melambaikan kedua es krim yang sedang ia pegang.
“Maaf, ya, Dek. Kakak ini dulu tadi,” ucap kasir kepada Klee.
Tampak surai hitam panjang milik Hu Tao mengalihkan pandangan Klee, ia tertegun dengan wajah manis milik gadis berusia 23 tahun itu. Hu Tao melemparkan senyumnya ke arah Klee hingga membuat gadis itu salah tingkah.
“Kakak duluan aja! Klee bisa mengantri, kok.” suruh Klee namun mulutnya terbata-bata.
“Kamu cuma beli es krim aja? Ih, kita beli es krim yang sama!” seru Hu Tao dengan ramah.
Xiao tak terlalu memedulikan keberadaan orang yang sedang berbicara dengan Klee, ia melihat refleksi dirinya di kaca supermarket, dingin dan kaku, hanya itu yang terucap di hatinya.
“Kamu beli dua emangnya bisa habis? Enggak takut cair?” tanya Hu Tao sambil menepuk lembut pundak Klee.
“Enggak, Klee gak bisa habisin sendiri, es krim yang ini mau Klee kasih ke Abang!”
Klee menunjuk ke arah Xiao yang masih melamun, pandangan Hu Tao saat melihat ke arah lelaki bersurai hijau itu membuatnya teringat pada saat seminar nasional 3 tahun yang lalu. Hu Tao ingat betul sosok yang menghalangi pandangannya ketika sedang menyorakkan nama Zhongli yang saat itu menjadi salah satu narasumber di acara tersebut.
Oalah, ternyata ini adeknya, runtuk Hu Tao dalam hati.
Anehnya, Xiao masih bergeming di depan kaca supermarket. Tenggelam dalam lamunanya saat melihat pantulan dirinya dari kaca bening itu.
Setelah Hu Tao membayar jajanannya, ia berpamitan kepada Klee sebelum meninggalkan super market. Tatapan sinisnya kepada Xiao tak digubris sama sekali oleh lelaki tak berperasaan itu sampai Hu Tao kesal sendiri karena keberadaannya tidak dianggap oleh Xiao.
“Untuk es krim ini lagi promo, ya, Dek. Jadi beli satu gratis satu!” jelas kasirnya kepada Klee.
Xiao langsung bernafas lega setelah mendengar kalimat 'satu gratis satu', ia masih bisa membeli rokoknya karena kejadian langka ini, padahal di belakang meja kasir jelas tertulis di bagian promo tentang es krim yang sedang dibeli oleh Klee.
“Terima kasih, selamat berbelanja kembali!”
Ada yang aneh saat Xiao menerima struk belanjanya, sebuah pouch berwarna merah muda tergeletak begitu saja di meja kasir.
**
Hu Tao merebahkan tubuhnya di pulau pribadinya, setidaknya ia menyebut kasur kesayangannya dengan sebutan itu. Pekerjaan yang menguras pikiran dan tenaganya memang tak pernah ada habisnya. Ia berselancar di internet untuk melihat apa yang sedang tren di sosial media.
“Ih lucu!”
Dengan cepat jari mungilnya itu menambahkan video yang baru saja ia lihat ke dalam video favoritnya. Sudah ada ratusan bahkan ribuan video yang ia simpan, mulai dari barang-barang tak penting yang secara tidak sengaja dibeli hingga video tentang couple goals yang tak pernah bisa ia lakukan bersama pasangannya.
Hu Tao masih dalam transisi setelah hubungannya berakhir setengah tahun yang lalu, memulai hubungan baru juga masih belum terpikirkan olehnya karena ia baru saja lepas dari jeratan toxic relationship.
Layarnya seketika beralih ke bagian notes di gawainya, mencatat wishlist baru yang akan ia lakukan apabila gadis itu sudah memiliki pasangan baru nantinya.
Peringatan baterai gawainya yang sudah hampir habis membuatnya kesal sendiri, padahal sosial media merupakan salah satu cara untuk melupakan masalah hidupnya. Seakan tidak bisa hidup tanpa gawai, Hu Tao mengambil kabel pengisi daya baterai lalu menancapkan gawainya namun suara yang biasanya ia berbunyi ketika baterainya sedang diisi tak kunjung terdengar.
“Lah? Kepala charger-nya mana?!”
“Astaga!”
Ia ingat betul saat berbelanja tadi ia meletakkan asal pouch miliknya yang merupakan salah satu bagian dari hidup Hu Tao, di sana berisi dompet dan surat-surat penting miliknya dan sekarang kotak itu belum tentu terselamatkan.
“Aduh! Separuh jiwaku pergi!” runtuknya kesal.
“Pasti sama orang itu! Tapi dia siapa?! Rumahnya di mana?! Aku cuma tahu adeknya aja!”
Hu Tao beranjak dari kasurnya setelah melihat jam di gawainya, “Masih jam 5 sore,”
Tanpa pikir panjang, ia bersiap-siap untuk menuju ke super market yang ia sambangi tadi siang. Pikirannya melayang ke sana kemari, kalau bukan lelaki itu yang mengamankan 'nyawanya', lantas siapa lagi?
Baru saja Hu Tao membuka pintu rumahnya, sosok yang ia pikirkan sejak tadi sudah berdiri di depan pintunya dengan tegap.
“Hah?” sentak Hu Tao kaget.
“Hah?” balas Xiao heran.