ismura

KLUB BODOH

BAB 6: PERSIAPAN LOMBA PUISI

Seminggu setelah kami menjadi anggota Klub Bodoh, pengumuman tugas besar untuk nilai pelajaran Seni Budaya telah diumumkan saat apel pagi tadi. Setiap kelas harus menyiapkan satu penampilan yang bisa dipilih, yaitu penampilan musik, drama musikal atau menari.

Ayato selaku ketua kelas—walaupun dia menunjuk dirinya sendiri tanpa persetujuan orang lain, memutuskan untuk mengadakan rapat awal diluar jam sekolah, karena hari ini kami belajar seperti biasa dengan Bu Amber yang masih bingung kenapa bisa menjadi pengurus Klub Bodoh.

“Jangan lupa, Guys. Nanti sore kita ngumpul di DcM,” ucap Ayato sambil membereskan buku-bukunya, imbauannya tidak kami gubris, kami dengan sangat terpaksa menyetujuinya, karena kalau bukan dia yang memulai, tidak akan ada yang memulai nanti.

**

Aku memutuskan untuk pulang dulu kerumah untuk ganti baju, aku juga harus meminta uang jajan sama Ibu karena nanti sepertinya tidak ada yang bayarin makanan seperti Ayah.

Aku berjalan menuju parkiran didepan sekolah, tapi Ganyu mengikutiku terus dari belakang.

“Kenapa, Nyu?” tanyaku lembut. Sederhananya, aku membalas apa yang orang perbuat kepadaku, kalau dia baik, aku akan balas lebih baik, kalau buruk, aku belum kepikiran mau balasnya gimana.

“Ga-gapapa. Kebetulan aku juga dijemput di gerbang sekolah.” Jawab Ganyu, ternyata aku hanya kepedean.

Aku berjalan menuju motorku, kali ini melihat Ajax yang sudah duduk diatas motorku.

“Kenapa, Jax? Mau nebeng? Gue pulang dulu tapi.” Tanya dan ajakku ke Ajax, dia hanya membalas dengan senyuman, sambil beranjak dari motorku.

“Gue salah motor, Ther. Hehe.” Keteledoran Ajax saja bisa membuatku bingung, anak ini kenapa sebenarnya? Ternyata motor kami sama-sama Satria FU, tipe dan keluaran tahun 2013, hanya plat nomornya saja yang berbeda.

“Ntar jangan lupa, ya, Ther.” Ingat Ajax kepadaku, aku hanya mengangguk. Aku merasa sedikit aneh hari ini, karena banyak sekali sesuatu yang terjadi secara kebetulan seperti ini, atau aku saja yang terlalu pede.

**

Setelah sampai dirumah, aku tidak menemui siapapun dirumah, masih sangat sepi, padahal pintu tidak dikunci. Aku melihat secarik kertas terbaring diatas meja makan, aku membuka dan membaca surat tangan dari Ayah.

“Ayah, Ibu sama Lumine mau pergi ke DcM. Uang jajan tadi tertinggal, ya. Ambil saja dilaci meja kamu.” Begitu kira-kira surat yang Ayah tuliskan.

Aku berjalan menuju kamarku dan membuka laci meja belajarku. “Mayan, gocap.” Gumamku dalam hati. Aku mulai membersihkan diriku dan mengganti bajuku.

“Dubidu pam pam, dubidu pam pam, yea yea”

“Yuhu yehee yeaah”

Setelah bersiap-siap, aku yang sambil bersiul berjalan menuju motorku, ntah kenapa setelah mandi, aku jadi sedikit lebih bersemangat, sudah lama tidak makan burger DcM.

Setelah menghidupkan motor dan memakai helm, aku teringat sesuatu.

“Mereka ke DcM juga?!”

**

Setelah sampai di DcM, aku berjalan sedikit menunduk, supaya tidak ketahuan oleh Ibu, Ayah dan Lumine. Ayato dan yang lainnya sudah berkumpul, mereka menyuruhku bergerak lebih cepat lagi karena aku yang paling telat datangnya. Aku melihat ke kiri dan kanan, kulihat saja, banyak pengunjung mesan.

Kiri, kanan kulihat saja, mereka ngumpul semua.

Ayato, Sara, Ganyu, Itto, Ajax, Ibu, Ayah, dan Lumine sudah duduk dimeja yang sama, dari 4 meja yang telah disatukan.

“Abangg! Sini!” lambai Lumine penuh semangat. Sepertinya baru kali ini Lumine berkumpul seramai ini. Semua makanan sudah tersedia dimeja, dan aku curiga ini semua karena ulah Ayato lagi.

Ayah dan Ibu tampak tidak nyaman duduk bersama mereka, aku duduk sambil bertanya kepada mereka dengan isyarat, Ibu hanya menggelengkan kepala, sementara Ayah hanya bisa menatap makanan yang sudah dipesan dengan tatapan kosong.

“Ayato brengsek” ucapku kesal dalam hati.

Bidadari Pencabut Nyawa

Ending Chapter 7: Perang Adeptus

Diluc tiba di medan perang, saat dalam perjalanan menuju Teyvat Pusat ia kehilangan Venti yang pergi tanpa pamit. Pria bersurai merah itu mendecih kesal karena Celestia yang bernama Barbatos itu, Diluc mengira bahwa Venti sedang mengerjainya dengan mengatakan bahwa garis takdir Diluc telah diubah oleh Kaeya.

“Kenapa kau diam saja?! Cepat bantu kami!” seru seorang perempuan bersurai pirang dengan baju zirah kebanggaan Mondstadt.

Jelas, Diluc mengenal suara dan sosok yang membentaknya barusan. Jean masih berjibaku dengan serangan Pasukan Abyss Order yang menyerangnya dari berbagai sisi. Banyak goresan di sekitar baju perangnya, begitu pula dengan paras indahnya kini dibubuhi dengan luka baret dari pedang musuh.

Apa dia benar-benar tidak mengenalku? gumam Diluc dalam hati.

Diluc mulai membantu Jean untuk mengalahkan Pasukan Abyss Order dengan segala kemampuannya, rombongan manusia berjubah hitam itu datang tanpa henti menerobos benteng pertahanan yang dibuat oleh Knight of Favonius.

Beberapa saat setelah Diluc tiba di medan perang, jumlah Pasukan Abyss Order yang menyerang mulai berkurang hingga habis tak bersisa. Kekuatan dan kemampuan berperang Diluc Ragnvindr tidak bisa dipungkiri lagi, ia hanya maju seorang diri di saat pasukan lain berpikir untuk mundur dan menyerah saat melihat pasukan berjubah hitam itu datang membabi buta tanpa memedulikan nyawa.

Diluc menyeret mayat-mayat Pasukan Abyss Order dan menumpuknya di suatu tempat, ini adalah tradisi dari Keluarga Ragnvindr yang menurun kepada Diluc, saat sudah menumpuk seperti gunung, ia akan berdiri di atasnya lalu menancapkan pedang kebanggaannya di atas tumpukan mayat itu.

Dengan senyum lebarnya Jean datang menghampiri Diluc, “Kau tidak menggunakan atribut Mondstadt, apakah aku boleh mengetahui identitasmu?”

Diluc berdeham lalu membuang wajahnya dari pandangan Jean. Hatinya benar-benar sakit ketika sang istri tidak mengenali sosoknya saat ini.

“Aku,” ujar Diluc terbata-bata.

“Panggil saja aku Dark Knight,” lanjutnya pelan.

Sontak Jean menunduk dan menurunkan satu kakinya di hadapan Diluc, ratusan pasukan Knight of Favonius mengikuti perintah Jean tanpa suara. Mereka semua menunjukkan rasa terima kasihnya kepada Dark Knight yang telah membantu selama peperangan melawan Pasukan Abyss Order.

“Kami berterima kasih kepadamu, Dark Knight. Tanpa bantuanmu, kami tidak akan bisa mengalahkan pasukan misterius ini dengan mudah seperti apa yang kau lakukan,” ucap Jean Gunnhildr yang masih menundukkan kepalanya dengan tulus.

Tak terasa air mata Diluc menetes, semakin ia mendengar suara yang keluar dari mulut Jean, semakin perih hatinya setelah mengetahui bahwa garis takdirnya benar-benar sudah diubah oleh Kaeya Alberich.

Bajingan, kenapa hujan malah turun di saat berbahagia ini!

Dari kejauhan ia melihat seorang gadis bersurai pirang melambaikan tangan ke arahnya lalu berlari menghampiri.

Klee?

“Master Jean!”

“Master Jean! Klee sudah menghabisi Pasukan Abyss Order di sisi Barat!”

Melihat Jean masih menunduk ke arah Diluc masih belum menyadarkan Klee dengan apa yang telah terjadi, sampai saat Klee melihat ke arah seorang pria bertopeng dan bersurai merah itu masih berdiri gagah di atas tumpukan mayat barulah ia menyadari bahwa Knight of Favonius sedang memberikan penghormatan kepada sang penyelamat bangsa.

“Maafkan saya, Tuan. Saya tidak bermaksud memotong upacara seremonial perang ini,” ucap Klee seraya menundukkan kepalanya.

Bahkan Klee juga—

Satu orang lagi datang dari arah yang berlawanan, seorang perempuan dengan rambut pirang cerah ikut menunduk dan memberikan penghormatannya kepada Diluc.

“Kami benar-benar berutang budi kepadamu, Dark Knight.”

Jean menoleh perlahan, melihat perempuan itu menunduk justru membuatnya kaget bukan main.

“Nyonya Alice! Terima kasih telah datang dan membantu,”

Alice tersenyum tipis, matanya mengarah kepada Klee, saat netra mereka bertemu ibu dan anak itu saling melemparkan senyum bahagianya. Di sanalah Diluc sadar bahwa Klee memang bukanlah buah hati yang ia kenal, Klee bukanlah putrinya dan Jean Gunnhildr.

**

Satu persatu pejuang dari Sumeru berhasil ditaklukan oleh Columbine seorang diri, perempuan bersurai hitam itu menari bersama percikan darah yang keluar dari tubuh Al Haitham dan Nilou. Mereka bahkan tak sempat diberikan waktu untuk memikirkan strategi untuk mengalahkan orang terkuat ketiga di Harbingers tersebut.

“Nilou—”

SLASH

“Sudah kubilang jangan terlalu banyak bergerak, nanti lukanya semakin terbuka,” bisik Columbine pelan.

Al Haitham menjerit kesakitan, luka di punggung dan perutnya terbuka secara bersamaan. Entah bagaimana Columbine bisa membuka luka di tubuhnya hanya dengan sekali serangan.

Sementara Pierro dan Il Dottore sedang berhadapan dengan Ganyu dan Albedo. Pria bersurai biru muda itu mulai melayangkan serangan ke arah replika buatan Albedo tanpa memedulikan pekikan dan sekrup yang keluar dari tubuh Albedo.

“Ah, bukan yang asli!” sentak Il Dottore tak puas.

Saat Albedo tumbang, tatapannya langsung mengarah ke Ganyu yang sudah terlihat ketakutan.

“Oh, Adeptus. Apakah hanya Zhongli Adeptus yang berguna untuk Yang Maha Satu?”

Tubuh replika milik Albedo mulai bereaksi, getaran yang terasa di tanah tak terlalu dipedulikan oleh Il Dottore dan Pierro, namun saat benda itu meledak dan hancur sebuah portal hitam mulai terbentuk lalu menyerap mereka bertiga masuk ke dalamnya.

“Nah, sekarang dunia kita sudah sama,” ujar pria berambut gondrong dengan tongkat besi kesayangannya.

Arataki Itto duduk bersila menunggu kedatangan musuhnya sejak lama, setelah mengalahkan Zhongli di Sumeru, Itto dijemput oleh Albedo untuk melancarkan rencananya. Saat Albedo mengetahui bahwa gerbang di Alam Baka kembali rusak, di situlah rencananya mulai berhasil. Albedo menggunakan cara yang sama ketika para Celestia mengalahkan Sang Pemangku Bumi beberapa saat yang lalu.

Tubuh Pierro dan Il Dottore tidak sekuat saat mereka berada di Teyvat, karena mereka berada di dimensi lain buatan Albedo, di mana Itto adalah orang terkuat di dalamnya.

Itto berlari dengan kencang lalu memukul jauh keduanya dengan mudah, ia bahkan belum menggunakan tongkatnya untuk mengalahkan Pierro dan Il Dottore.

Aura yang dipancarkan oleh Itto cukup mengguncang mental kedua bersaudara itu, lagi-lagi peristiwa aneh terjadi saat itu terpental jauh saat akan memukul Pierro dengan tongkat besinya.

“Ada apa ini?!” pekik Ganyu heran.

Mereka kembali ke Teyvat saat tubuh Itto menghancurkan portal hitam itu, sehingga dimensi yang diciptakan oleh Albedo buyar dan hancur seketika.

“Yaaaah, mau bagaimanapun tetap saja kau tidak bisa melawan Primordial One,” gumam Kaeya tepat di belakang Albedo di sebuah ruangan kecil nan sempit.

Darah segar yang keluar perut Albedo membuat dirinya tak lagi berkutik, pedang emas milik Kaeya menembus dengan mudah, darahnya mendidih ketika bersentuhan dengan senjata milik titisan Primordial One tersebut.

Things are going to get crazy right now,” bisik Kaeya sambil terkekeh.

Sejauh ini, pahlawan dari Teyvat telah dikalahkan dengan mudah oleh Kaeya Alberich. Albedo dan Hu Tao telah gugur dalam pertempuran di masa Cataclysm.

-to be continued

Colored

Chapter 3: Pertemuan Yang Tidak Disengaja

Xiao dan Klee duduk di sebuah taman di samping sekolahnya, hari ini gadis rambut pirang itu sedikit terlambat dijemput oleh orang tuanya karena masalah pekerjaan yang belum bisa ditinggalkan. Klee melanjutkan sekolahnya di Teyvat Academy karena adanya Xiao kala itu, banyak cerita yang terjadi saat Klee masih duduk di bangku SD sebelum Xiao bekerja di sana.

Klee sempat menjadi korban perundungan oleh kakak kelasnya yang sudah SMP, karena statusnya sebagai putri dari Jean Gunnhildr yang merupakan salah satu petinggi Mondstadt di Knight of Favonius, Klee kerap mendapatkan perlakuan yang tidak pantas mengingat dengan statusnya sebagai anak pejabat Klee bisa bersekolah di tempat lain yang 'lebih layak' katanya, namun entah kenapa Diluc memutuskan untuk menyekolahkan anaknya di pesisir Liyue seperti sekarang ini.

“Kalau lagi berdua gini, Klee boleh manggil abang?” tanya Klee memecahkan keheningan mereka.

Xiao mengangguk pelan, lamunannya akan masa lalu seketika buyar ketika Klee memanggilnya dengan sebutan 'abang', ini merupakan hal yang cukup langka mengingat Xiao merupakan putra satu-satunya dan garis keturunan terakhir dari keluarganya.

“Boleh, kok. Cuma kalau di sekolah tetap panggil Bapak aja, biar yang lain gak merasa iri sama kamu,” canda Xiao sambil mengelus kepala Klee, lebih tepatnya mengacak-acak rambut tipis bocah ingusan itu.

Klee bersin beberapa kali, anak itu alergi dengan debu. Tingkah anehnya beberapa kali berhasil membuat Xiao tak bisa menahan ketawanya, ia tak pernah menyangka bahwa garis takdirnya yang terlukis di surga adalah menjadi seorang guru, padahal Xiao sama sekali tidak pernah berinteraksi dengan anak-anak sebelum ia masuk ke Teyvat Academy.

“Klee boleh cerita, Bang?”

“Mau cerita apa?”

“Kenapa, ya? Orang tua Klee kalau di rumah itu sibuk banget, kadang kalau lagi makan malam, Mama selalu lihat ke laptop, sementara Papa diam aja. Klee bingung harus bagaimana kalau lagi kayak gitu,” ungkap Klee pelan.

Sembari menghela nafas beberapa kali, Klee melanjutkan ceritanya dengan mata yang berkaca-kaca.

“Terus, kalau malam-malam juga, Klee sengaja pura-pura takut biar bisa tidur sama Papa dan Mama. Tapi ternyata Papa tidurnya di ruang tamu, nggak tidur sama Mama. Memang ada, ya, Bang? Orang tua seperti Papa dan Mama?”

Xiao berdeham, jelas ia bingung bagaimana harus menjawab pertanyaan polos itu. Ia hanya mengetahui sedikit tentang Jean dan Diluc, itu pun dari sepupunya yang bekerja sebagai penjaga restoran milik Diluc, salah satu cabang usaha milik Keluarga Ragnvindr.

“Mungkin ada pekerjaan Ibu Jean yang belum selesai, dan terpaksa harus diselesaikan karena ada batas waktunya. Kamu, kan, juga seperti itu? Kalau misalnya dikasih tugas sama gurunya harus dikumpulkan di hari apa? Nah, Ibu Jean juga seperti itu,” jawab Xiao dengan lembut.

Jawaban Xiao masih belum bisa menenangkan hati Klee, gadis itu masih berusaha menahan tangisnya karena apa yang ia lihat selama ini berdampak buruk bagi mentalnya.

“Pernah juga, waktu Klee olimpiade kemarin, ingat, kan?”

Xiao mengangguk.

“Klee juara, Bang! Abang ingat, kan?”

Lagi-lagi Xiao mengangguk.

“Seremoni penghargaan untuk Klee juga udah dikasih tahu jauh-jauh hari, Papa sama Mama udah janji buat datang ke acaranya, tapi gak jadi. Eh, malah minta tolong Abang untuk mewakilkan,” runtuk Klee kesal dengan ingatannya.

“Bukan begitu, Klee. Sebenarnya aku juga gak bisa memihak kepada siapa pun, tapi suatu saat kamu pasti sadar ketika sudah menjadi orang tua. Mau bagaimanapun, enggak akan ada orang tua yang rela meninggalkan momen bersejarah anaknya karena suatu urusan, tapi di sisi lain emang ada kewajiban yang harus diselesaikan. Misalnya kalau tidak dilakukan, kamu jadi gak bisa bayar uang sekolah, deh.”

“Berat sebenarnya, Klee. Kamu sedih karena orang tua kamu tidak bisa datang ke acara penghargaan kamu, dan orang tua kamu juga pasti sedih karena tidak bisa hadir menemani kamu saat itu,”

Klee tertunduk, wajahnya sangat kelihatan sedang lesu. Ia masih samar-samar mencerna apa yang dijelaskan oleh Xiao, gadis itu masih belum bisa menerima ketidakhadiran orang tuanya di momen pentingnya.

“Coba aja orang tua Klee itu kayak abangnya Teucer. Udahlah ganteng, kayak bule, kayak artis gitu! Abang tahu, kan, orangnya?”

Xiao terkekeh setelah mendengar penggambaran Klee tentang Ajax, salah satu wali murid yang merupakan teman sekolahnya dulu.

“Iya, iya. Tapi kamu gak bisa langsung ambil kesimpulan kalau abangnya Teucer tidak seperti orang tua kamu, lho!” jelas Xiao sambil menopang dagunya.

“Ih, enggak! Soalnya Abang itu kasih Klee es krim setelah nemenin Teucer cari-cari tempat les! Itu artinya Bang Ajax baik!”

“Terus? Kalau Papa atau Mama kamu kasih es krim, kamu bisa memaafkan mereka?”

Klee mengangguk setuju, memang ada-ada saja permintaan anak ini. Xiao langsung berdiri dan mengajaknya untuk jajan di super market yang letaknya tak jauh dari sekolah.

Setibanya di super market, Xiao membebaskan Klee untuk memilih satu es krim yang akan dibeli. Ia melihat pesan singkat yang dikirimkan oleh Jean di gawainya, meminta maaf karena akan sedikit lebih lama lagi untuk menjemput Klee. Jean berpesan untuk menitipkan Klee kepada penjaga sekolahnya jika jam kerja Xiao sudah habis di sekolah, namun lelaki bersurai hijau itu tak tega meninggalkan Klee seorang diri di sekolah.

“Bang! Boleh beli dua, gak?” tanya Klee dengan wajah memelas.

Mata Xiao tertuju pada katalog harga yang tertempel di atas mesin pendingin es krim itu, lalu mengingat kembali jumlah uang yang ada di dompetnya.

Kalau beli dua berarti 15 Mora, uangku masih ada 20 Mora lagi tapi untuk beli rokok, gumam Xiao dalam hati.

“Ya udah, tapi jangan langsung dihabisin, ya?” jawab Xiao sambil tersenyum.

Klee mengangguk lalu berlari ke kasir dengan cepat, takut mengantri panjang karena pengunjung sedang ramai-ramainya di super market itu.

“Ayo, Bang! Klee udah ambil spot!” ajak Klee sambil melambaikan kedua es krim yang sedang ia pegang.

“Maaf, ya, Dek. Kakak ini dulu tadi,” ucap kasir kepada Klee.

Tampak surai hitam panjang milik Hu Tao mengalihkan pandangan Klee, ia tertegun dengan wajah manis milik gadis berusia 23 tahun itu. Hu Tao melemparkan senyumnya ke arah Klee hingga membuat gadis itu salah tingkah.

“Kakak duluan aja! Klee bisa mengantri, kok.” suruh Klee namun mulutnya terbata-bata.

“Kamu cuma beli es krim aja? Ih, kita beli es krim yang sama!” seru Hu Tao dengan ramah.

Xiao tak terlalu memedulikan keberadaan orang yang sedang berbicara dengan Klee, ia melihat refleksi dirinya di kaca supermarket, dingin dan kaku, hanya itu yang terucap di hatinya.

“Kamu beli dua emangnya bisa habis? Enggak takut cair?” tanya Hu Tao sambil menepuk lembut pundak Klee.

“Enggak, Klee gak bisa habisin sendiri, es krim yang ini mau Klee kasih ke Abang!”

Klee menunjuk ke arah Xiao yang masih melamun, pandangan Hu Tao saat melihat ke arah lelaki bersurai hijau itu membuatnya teringat pada saat seminar nasional 3 tahun yang lalu. Hu Tao ingat betul sosok yang menghalangi pandangannya ketika sedang menyorakkan nama Zhongli yang saat itu menjadi salah satu narasumber di acara tersebut.

Oalah, ternyata ini adeknya, runtuk Hu Tao dalam hati.

Anehnya, Xiao masih bergeming di depan kaca supermarket. Tenggelam dalam lamunanya saat melihat pantulan dirinya dari kaca bening itu.

Setelah Hu Tao membayar jajanannya, ia berpamitan kepada Klee sebelum meninggalkan super market. Tatapan sinisnya kepada Xiao tak digubris sama sekali oleh lelaki tak berperasaan itu sampai Hu Tao kesal sendiri karena keberadaannya tidak dianggap oleh Xiao.

“Untuk es krim ini lagi promo, ya, Dek. Jadi beli satu gratis satu!” jelas kasirnya kepada Klee.

Xiao langsung bernafas lega setelah mendengar kalimat 'satu gratis satu', ia masih bisa membeli rokoknya karena kejadian langka ini, padahal di belakang meja kasir jelas tertulis di bagian promo tentang es krim yang sedang dibeli oleh Klee.

“Terima kasih, selamat berbelanja kembali!”

Ada yang aneh saat Xiao menerima struk belanjanya, sebuah pouch berwarna merah muda tergeletak begitu saja di meja kasir.

**

Hu Tao merebahkan tubuhnya di pulau pribadinya, setidaknya ia menyebut kasur kesayangannya dengan sebutan itu. Pekerjaan yang menguras pikiran dan tenaganya memang tak pernah ada habisnya. Ia berselancar di internet untuk melihat apa yang sedang tren di sosial media.

“Ih lucu!”

Dengan cepat jari mungilnya itu menambahkan video yang baru saja ia lihat ke dalam video favoritnya. Sudah ada ratusan bahkan ribuan video yang ia simpan, mulai dari barang-barang tak penting yang secara tidak sengaja dibeli hingga video tentang couple goals yang tak pernah bisa ia lakukan bersama pasangannya.

Hu Tao masih dalam transisi setelah hubungannya berakhir setengah tahun yang lalu, memulai hubungan baru juga masih belum terpikirkan olehnya karena ia baru saja lepas dari jeratan toxic relationship.

Layarnya seketika beralih ke bagian notes di gawainya, mencatat wishlist baru yang akan ia lakukan apabila gadis itu sudah memiliki pasangan baru nantinya.

Peringatan baterai gawainya yang sudah hampir habis membuatnya kesal sendiri, padahal sosial media merupakan salah satu cara untuk melupakan masalah hidupnya. Seakan tidak bisa hidup tanpa gawai, Hu Tao mengambil kabel pengisi daya baterai lalu menancapkan gawainya namun suara yang biasanya ia berbunyi ketika baterainya sedang diisi tak kunjung terdengar.

“Lah? Kepala charger-nya mana?!”

“Astaga!”

Ia ingat betul saat berbelanja tadi ia meletakkan asal pouch miliknya yang merupakan salah satu bagian dari hidup Hu Tao, di sana berisi dompet dan surat-surat penting miliknya dan sekarang kotak itu belum tentu terselamatkan.

“Aduh! Separuh jiwaku pergi!” runtuknya kesal.

“Pasti sama orang itu! Tapi dia siapa?! Rumahnya di mana?! Aku cuma tahu adeknya aja!”

Hu Tao beranjak dari kasurnya setelah melihat jam di gawainya, “Masih jam 5 sore,”

Tanpa pikir panjang, ia bersiap-siap untuk menuju ke super market yang ia sambangi tadi siang. Pikirannya melayang ke sana kemari, kalau bukan lelaki itu yang mengamankan 'nyawanya', lantas siapa lagi?

Baru saja Hu Tao membuka pintu rumahnya, sosok yang ia pikirkan sejak tadi sudah berdiri di depan pintunya dengan tegap.

“Hah?” sentak Hu Tao kaget.

“Hah?” balas Xiao heran.

Colored

Chapter 2: Dua Warna

Audit yang dilakukan oleh Zhongli Enterprise berjalan dengan lancar, seluruh karyawan yang sudah berjibaku menyelesaikan dokumen penting perusahaan kini bisa bernafas lega setelah diacungi jempol oleh si pemilik perusahaan. Hu Tao pun begitu, gadis bersurai hitam itu terus mengelus dadanya hingga air matanya bercucuran, banyak yang terjadi hari ini, ungkapnya dalam hati.

“Kita selesaikan waktu kerja hari ini, terima kasih semuanya yang sudah berusaha yang terbaik untuk perusahaan kita!” ujar Zhongli sambil tersenyum.

“Oh, ya! Jikalau kalian ingin—”

“Gak usah terlalu formal, Pak! Auditornya, kan, sudah pulang!” ledek salah satu karyawan pria berusia 28 tahun tersebut.

Seketika mereka tertawa bahagia, disusul dengan Zhongli setelah melihat adiknya ikut tersenyum walaupun air matanya masih bercucuran.

“Baiklah, sebagai penutup hari ini, saya akan traktir kalian semua untuk makan di Wanmin Restaurant!” ajak Zhongli yang kemudian disanggupi oleh seluruh karyawannya.

Setelah berkemas, rombongan Zhongli Enterprise (ZE) berangkat menuju Wanmin Restaurant dengan penuh sukacita, Hu Tao masih sibuk mengirim pesan kepada Xiangling tentang kedatangannya bersama rekan kerjanya, namun anehnya Xiangling tak kunjung membalas pesan sahabatnya itu.

Biasanya langsung dibaca? Hmm, mungkin lagi sibuk, gumamnya dalam hati.

Benar saja, Wanmin Restaurant sedang ramai, Xiangling masih lalu-lalang mengantarkan pesanan pelanggan setia restoran milik ayahnya, Mao. Makanan yang tersedia di atas meja begitu memanjakan mata, apalagi saat disantap di kala masih hangat, melihatnya saja sudah berhasil membuat air liur Hu Tao jatuh dengan sendirinya.

“Pesan saja yang kamu mau,” senggol Zhongli pelan saat berjalan menuju meja kasir.

Di salah satu meja panjang restoran sudah terletak sebuah tulisan Reserved, ternyata Zhongli memang sudah memesan tempat jauh-jauh hari sebelum auditing dimulai.

Setelah makanan dihidangkan, seluruh karyawan ZE mulai menyantap hidangan tersebut tanpa menunggu kata sambutan dari Zhongli. Pria bersurai hitam itu hanya bisa terkekeh melihat tingkah karyawannya, raut wajah bahagia mereka begitu menyentuh hati pria berwajah datar itu.

Hu Tao hanya bisa memandangi Zhongli dengan tatapan kagumnya, ia sengaja menjauh dari kursi Zhongli walaupun sudah beberapa kali abangnya mengisyaratkan untuk duduk di sampingnya. Gadis itu masih takut menjadi bahan pembicaraan rekan kerja lainnya kalau mereka sampai tahu hubungan antara dirinya dengan Zhongli.

“Sambil kalian makan, saya akan memberikan kata sambutan yang sangat singkat,” Zhongli mulai membuka suara.

Serempak karyawannya yang sudah mulai makan meletakkan kembali sendok dan garpu mereka di atas meja. Menunggu Zhongli mengucapkan sambutannya.

“Perusahaan saya ini baru berdiri 3 tahun, namun saya sudah berhasil mencapai banyak hal sampai saat ini. Itu bukan hanya karena saya, namun karena kerja keras dan doa dari seluruh karyawan Zhongli Enterprise. Saya masih ingat sekali waktu itu karyawan saya hanya satu orang, yaitu Hu Tao,”

Sontak beberapa pasang mata mulai menoleh ke arah Hu Tao yang masih melamun. Memang benar, Hu Tao adalah karyawan pertama Zhongli kala itu, namun statusnya sebagai karyawan magang membuat dirinya tidak terlalu dilihat oleh orang-orang yang masuk setelahnya. Sebenarnya Zhongli tidak sembarangan dalam memilih karyawan, namun melihat riwayat kerja Hu Tao yang saat itu belum tertulis membuat beberapa orang memandangnya rendah.

“Sebagai perusahaan yang menjadi pionir di bidang digital marketing, ini merupakan kebanggaan bagi saya. Jujur, setelah auditor tadi meminta saya untuk tanda tangan berkas terakhir, hati saya sangat deg-dengan namun bukan karena cinta,”

Guyonan Zhongli disambut meriah oleh karyawan perempuan, memang pria itu bisa mencairkan suasana dengan candaan recehnya, tidak sedikit karyawan di ZE yang jatuh hati padanya. Namun Hu Tao tahu persis siapa yang dicari oleh Zhongli, namun sayangnya perempuan idamannya itu sudah tak lagi hidup di dunia ini.

“Eh, Pak!” sahut salah satu karyawan perempuan Zhongli.

“Ya?”

“Dengar-dengar, setelah audit selesai, Bapak mau menikah?”

Seruan dan godaan mulai dilemparkan ke arah Zhongli, beberapa pasang mata yang tadinya masih memandang aneh Hu Tao sudah teralihkan dengan wajah merah Zhongli yang kebingungan dengan pertanyaan yang dilontarkan ke arahnya.

“Ah, menikah, ya?”

“Apa jangan-jangan Bapak maunya sama Hu Tao?”

Mendengar namanya disebut membuat Hu Tao tersadar dari lamunannya.

“Enggak! Enggak! Gak mungkin!” bantah Hu Tao sedikit keras.

Zhongli terkekeh melihat ekspresi adiknya, ia menggelengkan kepala beberapa kali dengan anggun. Ia memperbaiki posisi duduknya lalu berdeham.

“Tidak mungkin, kan, saya menikahi adik kandung saya sendiri?” jawab Zhongli dengan nada bercanda.

Rona wajah Hu Tao merah pekat, semua masih tak percaya dengan jawaban yang diberikan oleh Zhongli. Untungnya situasi itu diselamatkan oleh minuman berbentuk tower yang diantarkan oleh koki nomor satu dari Wanmin Restaurant itu sendiri, Chef Mao.

“Silakan! Ini adalah minuman spesial yang bisa membuat kalian semangat sampai tahun depan!” seru Chef Mao penuh antusias.

Sepasang mata Hu Tao menatap Zhongli tajam, ia benar-benar marah namun menggunakan bahasa mata yang hanya dipahami oleh mereka berdua. Zhongli malah tertawa terbahak-bahak setelah melihat adiknya menggerutu tak jelas.

“Ya, intinya hari ini tidak akan terjadi tanpa usaha dari adik saya juga. Jadi, saya mohon untuk semuanya, terima kehadiran adik saya dengan baik, dan jangan sampai ada gunjingan yang tidak perlu untuknya. Kita sama-sama belajar dan berusaha di perusahaan ini, kita semua sama dan saya tidak akan membeda-bedakan satu pun karyawan saya di Zhongli Enterprise,” tutup Zhongli dengan suara beratnya.

Suasana yang awalnya canggung bagi Hu Tao, kini mulai mencair. Ia mulai diterima oleh rekan kerjanya, butuh waktu 3 tahun untuk itu, kini Hu Tao justru berterima kasih kepada abangnya yang telah meluruskan gosip miring yang sudah mengakar sejak 3 tahun yang lalu.

Sama-sama, Adikku.

**

Xiao terbangun dari tidurnya, ia harus menjalani rutinitasnya seperti biasa. Bertemu dengan anak-anak yang haus akan ilmu yang akan diberikan olehnya, perjalanan Xiao menjadi seorang guru tentu tak disetujui begitu saja, terutama oleh mendiang ayahnya yang melarang keras lelaki bersurai hijau itu untuk meneruskan langkahnya menjadi pejuang pendidikan.

Dari luar kamarnya, ia sudah mendengar Sara merepeti suaminya yang tak kunjung bangun. Itto dan Sara adalah love-hate relationship paling memusingkan bagi Xiao. Mereka berdua memaksa untuk menikah walaupun tidak mendapatkan restu dari kedua orang tuanya, sebelum Xiao ditinggal oleh ayahnya, Itto dipesankan oleh sang ayah untuk tinggal bersama Xiao. Awalnya Xiao tidak setuju dengan wasiat terakhirnya, namun ada suatu kejadian yang membuat dirinya mulai membuka hati untuk menerima keberadaan Itto hingga mereka akhirnya tinggal di satu atap satu minggu sebelum pernikahan Arataki Itto dan Kujou Sara.

“Bangun, Itto! Lo itu kerja hari ini!” seru Sara sambil menggedor pintu kamar mandi.

Itto bisa tidur di mana saja, termasuk kamar mandi, walaupun air di baknya sudah penuh dan tumpah, pria berambut gondrong itu masih tertidur pulas sambil terduduk di atas closet kamar mandinya.

Saat Xiao keluar dari kamarnya, ia melihat wajah Sara sudah memerah karena sibuk meredam amarahnya. Ia masih memakai celemek dan memegang sendok nasi di tangan kirinya.

“Biar gue aja,” ujar Xiao datar.

Tanpa aba-aba ia langsung menendang pintu kamar mandinya sampai ambruk, saat itu juga Itto terbangun, itu pun karena tubuhnya tertimpa pintu kamar mandi.

“Anjing lo, Dek! Gue masih tidur—”

Melihat tatapan tajam Sara spontan membuat Itto langsung mengangkat pintu kamar mandi yang sudah ambruk. Xiao masuk ke dalam kamar mandi lalu membasuh wajahnya untuk lebih menyadarkannya akan kehidupan berat yang sudah menanti.

“Awas kalau gue ditelepon lagi sama Diluc kalau lo mangkir lagi di tempat kerja!” sentak Sara keras lalu kembali menuju dapur.

Itto terkekeh setelah meletakkan pintu kamar mandi itu, ia membisikkan sesuatu kepada Xiao sebelum akhirnya pergi menuju kamarnya untuk bersiap-siap.

Xiao ingat persis apa yang dikatakan oleh Itto, namun ia berusaha untuk melupakan kalimat tak senonoh yang masih berputar di kepalanya.

Dia begitu emang kalau kalah di ranjang sama gue, bisik Itto sambil terkekeh barusan.

Lelaki bersurai hijau itu menggosok giginya dengan keras, ia terus menatap pantulan wajahnya di cermin, mengumpati dirinya tanpa ampun sampai ia merasakan ada luka di gusinya.

Itto bangsat! Ngapain juga gue harus tahu urusan ranjang kalian?!

**

Xiao tiba di sekolah sedikit terlambat, tidak sedikit, ia terlambat lebih setengah jam. Seluruh aktivitas sekolah sudah berjalan seperti biasa, lagi-lagi karena motor miliknya yang mogok di tengah jalan, Xiao terpaksa mendorong kendaraan bekas peninggalan ayahnya sampai gerbang sekolah.

Belum lagi ngajar udah keringatan gini, runtuknya dalam hati.

“Abang! Eh, maksudnya Bapak Xiao!” panggil Klee sambil melambaikan tangannya dengan penuh semangat.

Klee adalah anak dari Jean dan Diluc, ia baru saja duduk di bangku SMP, kedekatan Xiao dan Klee sudah terjalin saat gadis bersurai pirang itu datang bersama sang ayah saat daftar ulang sekolah. Xiao adalah wali kelasnya di kelas 7.

Xiao tersenyum tipis sambil membalas lambaian tangan Klee yang sedang berlari mengelilingi lapangan bersama teman-temannya, keceriaan gadis itu benar-benar menyembuhkan luka di hati Xiao. Melihat anak-anak yang datang ke sekolah dengan niat sungguh-sungguh untuk belajar dari hatinya membuat Xiao bisa sedikit melupakan rasa sakit di dadanya.

Ah, sialan gue belum ngerokok hari ini,

Pria bersurai hijau itu berjalan ke belakang sekolah setelah memberi arahan kepada muridnya untuk berolahraga bebas, selain pelajaran olahraga, Xiao juga mengajar sejarah di tingkat SMP.

Xiao membuka bungkus rokoknya lalu mengambil satu batang tembakau yang sudah ia simpan dua hari lalu. Walaupun di dalam peraturan sudah jelas bahwa Teyvat Academy melarang keras adanya asap rokok di lingkungan sekolah, Xiao tidak mengindahkan peraturan itu.

Setelah nafasnya mulai teratur sehabis merokok, Xiao sudah sedikit bertenaga lalu berlari ke lapangan untuk ikut berolahraga dengan murid-muridnya.

“Bapak! Ayo main bola voli sama kami!” ajak murid-muridnya yang baru saja selesai melakukan pemanasan.

Bagi Xiao, masa depan muridnya adalah prioritas utama, ia tak ingin masa lalunya juga akan menjadi masa lalu murid-murid kesayangannya. Karena itulah, Xiao berusaha sekuat tenaga untuk mendidik mereka dengan hati yang ikhlas.

Xiao menangkap bola voli yang dilemparkan oleh salah satu muridnya, lelaki itu masih tenggelam dalam lamunannya. Tak ayal pikiran-pikiran negatif tentang masa lalunya kembali terngiang, namun secepat kilat kekosongan di kepalanya terisi oleh seruan murid-muridnya yang sudah menunggu bola dari sang guru.

Cerita hidupku benar-benar tidak ada menariknya, gumam Xiao sebelum melakukan servis pertamanya untuk memulai pelajaran olahraga.

Colored

Chapter 1: Canvas

3 tahun kemudian

Hu Tao hampir gila karena ban motornya bocor di tengah jalan, sudah 15 menit gadis itu melambaikan tangan ke arah seluruh pengguna jalan namun tidak ada seorang pun yang menepi untuk membantunya atau bahkan sekadar memelankan kendaraan mereka karena tingkah aneh yang dibuat oleh Hu Tao.

“Tolong! Tolongin gue! Elaaaah!” seru Hu Tao putus asa.

Gadis bersurai hitam itu mulai menuntun motornya menuju tempat ia bekerja, Hu Tao adalah seorang admin di perusahaan milik Zhongli, abang kandungnya. Zhongli sengaja tidak menunjukkan identitas atau ikatannya dengan Hu Tao karena takut menjadi omongan karyawan lainnya, tentu itu akan merusak suasana di tempat kerja mereka karena sempat beberapa kali Zhongli terlihat lebih mementingkan saudaranya dibandingkan dengan karyawannya.

Andai aja ada pangeran berkuda datang bawa kereta kencana, gumam Hu Tao dalam hati, jelas ia semalam baru saja menonton film Cinderella.

Pikiran Hu Tao sudah kalang kabut, sejauh apa pun ia menuntun motornya ia rasa tidak akan sampai tepat waktu. Ia sedikit menyesal karena menolak ajakan Zhongli untuk berangkat kerja bareng tadi pagi.

Tahu gitu gue ikut Abang aja tadi,

Tak lama setelah lamunan Hu Tao mulai ngelantur, ada sebuah mobil coklat menepi dan mengklakson beberapa kali ke arah Hu Tao, di sanalah harapan Hu Tao mulai naik saat kaca mobil coklat itu perlahan turun hingga menunjukkan wajah seorang perempuan paruh baya yang sedang kebingungan.

“Mba, numpang nanya, kalau mau ke Mondstadt lewat mana, ya?” tanya perempuan paruh baya itu.

“Kalau mau ke Mondstadt, Ibu harus putar balik karena salah arah!” jawab Hu Tao penuh semangat sambil berharap akan mendapat bantuan dari perempuan itu.

“Oh, salah, ya? Terima kasih!”

Kaca mobil itu perlahan naik, namun tidak dengan harapan Hu Tao yang sudah hancur berkeping-keping. Baru kali ini gadis itu menyesal karena telah berbuat baik kepada orang lain, bahkan dalam pikiran jahatnya ia seharusnya memberikan informasi yang salah kepada perempuan paruh baya tadi.

“Sial! Kenapa, sih, gak ada yang mau nolongin gue?!” sentak Hu Tao ke atas, mengumpat kepada matahari yang menyinarinya pagi ini.

Menyesal karena apa yang ia lakukan adalah suatu kebodohan, Hu Tao melanjutkan perjalanannya menuntun sepeda motornya menuju tempat kerja. Sambil menggumamkan lagu-lagu yang terpikirkan di kepalanya, garis bibir Hu Tao perlahan naik mengingat hari ini adalah hari gajiannya.

Mau beli apa nanti, ya? Pengen jajan! gumam Hu Tao sambil menyeringai.

Sekitar 20 menit kemudian, Hu Tao tiba di kantornya. Ia terlambat satu jam, suasana kantornya cukup menjengkelkan saat Hu Tao baru saja memijakkan kakinya ke dalam ruangan.

“Lo ke mana aja, sih?! Niat mangkir, ya?” sentak salah satu rekan kerja Hu Tao.

Ibarat canvas dengan sedikit warna cerah di dalamnya, tuduhan seperti tadi mulai mengacaukan seisi canvas dengan warna yang gelap. Perasaannya yang sedang tidak enak karena kejadian pagi ini ditambah dengan beban yang tiba-tiba menusuknya dengan tajam membuat Hu Tao mulai menitikkan air mata.

“Maaf,” hanya itu yang keluar dari bibir gadis bersurai hitam itu.

“Maaf? Lo pikir ini perusahaan abang lo?! Mikir pakai otak! Kita semua kerja dan datang malah lebih cepat dari jamnya! Lo lupa kalau hari ini bakal ada auditor yang datang ke kantor?!” sentak karyawan lainnya.

Kalimat demi kalimat yang terus dilontarkan oleh rekannya membuat air mata Hu Tao mulai mengalir dengan deras, ia mematung dan tak bisa mengucap sepatah kata pun.

Pintu ruangan Zhongli terbuka dengan keras, pria berusia 28 tahun itu langsung menarik Hu Tao sedikit paksa dan menjauh dari kerumunan orang-orang haus akan pelampiasan.

Zhongli menarik lengan Hu Tao dengan kekuatan yang sedikit beda dari biasanya, hingga menyisakan bekas memar di pergelangan tangan kirinya.

“Sudah, tidak usah dipikirkan. Maaf tadi Abang lihat kamu dorong motor dari jauh, tapi karena sedang meeting jadi tidak—”

“Gak apa-apa, Bang. Salahku juga karena gak ngecek ban dulu, kemarin itu sempat nabrak lubang pas jalan pulang,” potong Hu Tao tak mau memperpanjang masalah.

Zhongli berdeham, ia menggaruk bagian atas kepalanya karena bingung harus berbuat apa.

Pucuk kepala Hu Tao terasa nyaman ketika Zhongli menepuknya beberapa kali, saat gadis itu mendongak ke arahnya ia mendapati abangnya sedang tersenyum ke arah Hu Tao.

“Kamu harus semangat, hari ini kita kerja keras!” ucap Zhongli dengan senyum manisnya.

Mata Hu Tao terlihat membara saat netra mereka beradu tatap, ia kembali mengingat masa-masa sulit keduanya saat baru saja ditinggal oleh orang tuanya sekitar 7 tahun yang lalu. Zhongli hampir putus sekolah karena mereka tidak mendapat warisan dari ayahnya, sementara uang ibunya sudah habis untuk perawatan di rumah sakit, sampai akhirnya ibu mereka menyusul sang ayah karena tidak kuat dengan tekanan setelah ditinggal pergi oleh orang terkasih.

“Ayo, Bang! Kita lanjut kerja!”

**

Di balik koin bertuliskan nominal amgka 10 Mora, Xiao mendapati gambar sebuah harpa yang merupakan salah satu simbol wilayah Mondstadt. Sudah 15 menit lelaki bersurai hijau itu melemparkan koin perak itu ke udara, wajahnya yang datar namun sering kali membuat orang salah paham, itulah impresi semua orang terhadap Xiao.

Itto ke mana, sih? runtuknya dalam hati.

15 menit kembali berlalu, Xiao masih duduk di depan rumahnya dengan wajah masam. Bagaimana tidak? Rokoknya sudah habis ia bakar, padahal baru saja ia beli saat istirahat pulang dari sekolah. Ya, Xiao adalah seorang guru di sebuah sekolah kecil di seberang Liyue.

Xiao terus memukul-mukul dinding rumahnya karena tak tahan menunggu kehadiran Itto, sepupu jauhnya yang sudah tinggal bersamanya sejak Xiao masih duduk di bangku SMP. Walaupun usia mereka hanya terpaut satu tahun, namun Xiao tidak pernah memanggil Itto dengan sebutan “Abang”, ia memang dingin seperti itu.

Di balik topengnya yang selalu menjadi kebanggaan para murid di sekolah, Xiao menyimpan luka dalam yang belum pernah dikorek oleh siapa pun. Ia menyimpan luka itu rapat-rapat, mengubur mimpi itu dalam-dalam, hingga lelaki bersurai hijau itu memilih untuk menjadi guru sebagai pelariannya dari kehidupan yang keras ini.

Suara klakson mobil berbunyi beberapa kali ke arahnya, tampak Itto sedang memarkir mobil putihnya ke dalam rumah mereka beserta Kujou Sara yang turun dengan wajah yang tidak enak dipandang.

“Bego banget, sih, jadi cowok!” runtuknya kesal.

Xiao tentu tidak memedulikan apa yang diucapkan oleh iparnya, Sara membuka kunci rumahnya dan masuk tanpa memedulikan keberadaan Xiao yang sibuk menundukkan kepalanya agar mereka tidak berinteraksi hari ini.

Itto menekan tombol kunci mobilnya hingga beberapa detik lampunya menyala, tanda mobil sudah terkunci. Senyum lebarnya menghiasi netra Xiao yang ingin marah kepada sepupunya itu.

“Gue gagal lagi jadi ayah,” ujar Itto sebelum Xiao mulai menaikkan nada suaranya.

Pria bertubuh besar itu memang seperti itu, ia selalu tersenyum dan tertawa bahkan di titik terendahnya. Sudah berkali-kali Itto dan Sara mengecek kandungannya ke dokter, namun mereka tidak pernah mendapatkan kabar baik.

“Lo candain apa lagi Kak Sara?” tanya Xiao sedikit iba melihat senyum Itto.

“Gue bilang bikin lagi aja! Ha-ha-ha!” jawab Itto penuh semangat.

“Ini mau bikin, lo jangan masuk dulu!” halau Itto ketika Xiao mulai melangkahkan kakinya setelah mendengar jawaban nyeleneh dari sepupunya.

“Gue mau ambil rokok, terus makan di luar,” jawab Xiao singkat.

“Duit lo ada?”

“Ada,”

Bohong, Xiao terpaksa harus berbohong lagi kepada Itto. Sudah 3 minggu gaji Xiao tak kunjung cair, terpaksa ia harus mengorek lagi celengan babi pemberian Itto saat ulang tahun ke-17-nya. Untung saja Xiao tidak pernah belanja berlebihan dulu, namun karena candunya dengan rokok membuat celengan miliknya semakin hari semakin ringan, namun beban yang ada di pundaknya mulai berat.

Itto mengeluarkan selembar uang kertas namun tak dihiraukan oleh Xiao, ia langsung masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil rokok terakhir di laci meja kerjanya.

“Gue cabut,” ujar Xiao tanpa menoleh ke arah Itto.

“Oke, hati-hati,” balas pria berambut gondrong itu sambil menutup pintu rumahnya.

Perut Xiao kembali berbunyi untuk kesekian kalinya, ia membuka paksa bungkus rokoknya lalu membakar tembakau favoritnya itu sambil berjalan kembali ke sekolah.

Kayaknya gue harus hemat rokok mulai sekarang,

Colored

PROLOG

Di ruangan seminar nasional yang berisi ribuan peserta dengan beraneka ragam karakter di dalamnya, Hu Tao tampak sibuk mencatat seluruh materi yang disampaikan oleh narasumber hari ini. Gadis bersurai hitam itu sangat antusias karena hari ini adalah hari yang sudah lama ditunggu-tunggu olehnya. Baru kali ini Hu Tao terlihat bersemangat saat mengikuti seminar—yang sebenarnya untuk memenuhi syarat untuk sidang skripsinya—karena topik kali ini benar-benar ia minati.

“Baik, cukup sekian yang dapat saya sampaikan. Saya kembalikan ke Moderator,” ucap lelaki bersurai hitam itu dengan gagahnya saat mengembalikan pelantang itu ke tangan sang moderator acara.

Tak lupa seluruh peserta seminar memberikan tepuk tangan meriah karena ini adalah kali pertamanya seminar tentang digital marketing hadir di Teyvat. Apalagi Hu Tao, ia sampai berteriak histeris dan melambaikan tangannya dari jauh agar dilihat oleh idola sekaligus abang kandungnya, Zhongli, yang usianya terpaut 5 tahun.

“Lo kenapa hype banget, sih, sama dia?” senggol Xiangling sedikit keras, malu dengan gelagat temannya yang terlihat overreacting.

Ah, iya. Xiangling gak tahu kalau Zhongli abang gue, ujar Hu Tao dalam hati saat menoleh ke arah Xiangling.

“Dia itu orang pertama dan satu-satunya yang ada di jurusan digital marketing, tahu! Lo tahu sendiri cuma dia yang ada di jurusan itu!” balas Hu Tao antusias.

“Hah? Beneran? Dia satu kampus sama kita? Tapi, kok? Keliatan agak tua, ya?” ujar Xiangling sambil menopang dagunya.

Sontak Hu Tao menepuk pundak Xiangling karena tak terima dengan perkataan sahabatnya, “Enak aja! Dia masih muda dan ganteng, kok! Paling dia telat masuk kuliah aja!”

Xiangling terkekeh melihat Hu Tao tak habis-habisnya membela panelis idolanya tersebut, gadis bersurai pendek dengan pita beruang di kepalanya itu mengangguk beberapa kali sambil tersenyum menunjuk ke arah para panelis.

Hu Tao mengikuti arah telunjuk Xiangling, netra mereka bertatapan, mata Hu Tao berkaca-kaca saat mendapati Zhongli yang berhasil mencari kepala adik perempuannya di mana-mana.

Abaaaaaaang, rengek Hu Tao, dalam hati.

Hu Tao membalas lambaian tangan Zhongli sekuat tenaga, namun tiba-tiba pandangannya tertutup oleh seorang lelaki bersurai hijau yang sedang mencari tempat duduknya.

“Apa, sih?!” gumam Hu Tao kesal karena lelaki itu terus menghalanginya ketika sedang melambaikan tangan ke arah Zhongli.

Merasa diperhatikan, lelaki itu menoleh ke arahnya dengan tatapan dingin. Raut wajahnya terlihat lebih kesal dari Hu Tao, namun berhasil membuatnya kicep saat menatap netra hijau miliknya.

Hu Tao duduk di kursinya dengan garis bibir yang terbalik, biasanya gadis itu selalu tersenyum bahkan tertawa akan hal-hal random, namun kali ini harinya seolah dihancurkan oleh kehadiran 'orang itu'.

“Tadi semangat, sekarang malah ciut, lo kenapa, sih?”

“Lo lihat laki-laki yang ngalangin gue tadi? Ngeselin banget! Gak tahu orang lagi eye contact sama idolanya?!” runtuk Hu Tao kesal.

“Lihat, tapi gue gak kenal dia siapa, bukan dari kampus kita kali?” jawab Xiangling bingung.

“Bukan kampus kita tapi kenapa ada di tempat duduk kita?!” balas Hu Tao makin tak terima dengan kenyataan.

“Udah, gak usah dipikirin, nanti—”

“Diem gak?! Gak akan ada cerita ala-ala Wattpad antara gue dan dia dalam hidup gue!” potong Hu Tao cepat.

“Lah? Gue gak bilang itu kali? Nanti lo cepat lapar kalau kesel, waktu istirahat masih lama! Kudapan juga lo yang habisin! Dih jangan-jangan lo kepikiran sama dia? Cie!” goda Xiangling kepada Hu Tao.

“Diem gak?!”

Hanya Hu Tao dan Xiangling yang bersuara saat itu, sehingga semua kepala menoleh ke arahnya, saat mereka berdua sadar semua langsung melemparkan tawanya hingga membuat dua sejoli itu menundukkan kepala karena malu, namun tidak dengan lelaki bersurai hijau itu, ia masih sibuk dengan dunianya, walaupun tatapannya kosong namun ada api yang membara di balik bola matanya.

Sialan, kenapa gue harus ikut seminar bodoh ini?! runtuk Xiao dalam hati.

Bidadari Pencabut Nyawa

Ending Chapter 3: Bingkisan Hitam

Upacara pemakaman Crepus Ragnvindr tidak dihadiri siapa pun kecuali anak sulungnya, Diluc Ragnvindr. Berita kehilangan Vennessa Ragnvindr pun tak dijamah oleh masyarakat Mondstadt karena kabar itu mendadak hilang begitu saja.

Lelaki bersurai merah itu hanya duduk diam di depan kepala ayahnya, tubuhnya tidak ditemukan di mana pun. Pria yang bertugas sebagai kurir pengantar kepala ayahnya juga tak diketahui keberadaannya, Diluc meremas pangkal pahanya sekuat tenaga, ia sangat ingin menangis saat itu namun semuanya tertutupi oleh perasaan bencinya kepada semua orang.

Sehina itukah keluarga kita, Yah? gumam Diluc dalam hati.

Suara pintu geser rumahnya terdengar, begitu pula dengan hentak kaki yang lembut mulai mendekati tubuh kekar namun rapuh milik Diluc, seorang perempuan bersurai coklat menepuk pundaknya dengan senyuman hangat namun tak mampu mengobati luka yang terlanjur dalam.

“Kak, aku dengar kabar bahwa Pak Crepus—” ucap perempuan itu dari belakang, namun ia tak bisa menyelesaikan kalimatnya karena tangisnya lebih terdengar daripada ucapannya.

Tak sekali pun Diluc menoleh ke belakang walaupun berkali-kali perempuan itu menggoyangkan pundaknya agar Diluc tahu bahwa ada orang yang benar-benar peduli dengannya.

“Kau tak perlu mengasihani diriku, Lisa.” ujar Diluc dengan suara yang tertekan.

“Aku datang ke sini bukan untuk mengasihanimu,” balas Lisa pelan.

Lisa adalah kolega Diluc di kampus, walaupun terpaut satu tahun namun Diluc sama sekali tak pernah memedulikan keberadaan Lisa.

“Aku datang karena ada sesuatu yang terjadi saat kematian Pak Crepus, dan aku tahu akan hal itu,” lanjut Lisa saat Diluc tak lagi bersuara.

“Ya, sepertinya keberadaan Abyss Order memang benar adanya. Mereka nyata, tak seperti kata orang-orang,” balas Diluc memotong Lisa saat perempuan itu akan kembali bersuara.

Mereka tak lagi berbicara setelah itu, bahkan saat Lisa pergi pun Diluc masih mematung menghadap kepala ayahnya. Saat kakinya sudah terlanjur mati rasa, Diluc bangkit untuk mengangkat potongan jasad sang ayah untuk menguburnya.

BRUK

Diluc terjatuh di samping kepala ayahnya, melihat potongan tubuh ayahnya yang sudah membeku dan tak berdaya berhasil membuat air mata lelaki bersurai merah itu mengalir deras untuk kesekian kalinya. Ia memeluk satu-satunya harta yang ia miliki saat ini sebelum darah di kakinya kembali mengalir dan menguatkan lelaki itu untuk bangkit.

Diluc beranjak ke dapur untuk mengambil sebuah plastik hitam yang awalnya ia beli untuk mengumpulkan sampah di rumahnya. Ia membungkus jasad Crepus ke dalam plastik hitam itu lalu mengikatnya dengan kuat.

Maafkan aku, Yah. Kami tidak bisa bersama menemani di saat terakhirmu. Aku tahu kita adalah keluarga yang kuat, aku sendiri tahu jasamu sungguh besar untuk negeri ini. Maka dari itu izinkan aku untuk membalas semua perlakuan yang telah orang berikan kepadamu,

Diluc membawa bingkisan hitam itu ke daerah Windrise, di sana ia menggali tanah di antara rerumputan hijau dan satu pohon besar yang bertengger kokoh. Diluc mengubur sisa tubuh ayahnya dengan perasaan yang tak karuan, seberapa kuat ia menahan tangis, sederas itu pula air matanya terus mengalir.

Pesan terakhirmu akan selalu kukenang. Aku kan mencari Vennessa dan menjaga Kaeya sekuat dan semampuku, tak peduli aku harus berkali-kali mati di dunia ini, aku tahu kekuatanku yang sebenarnya dan aku juga tahu bagaimana cara mengendalikannya, Yah.

Hembusan angin yang meniup surai panjang Diluc seketika menenangkan hatinya, di balik pohon besar di Windrise ia mendengar suara nafas seorang perempuan yang sedang berderu keras serta rintihan penuh kesakitan yang menyayat hati.

“Hey! Kau! Ragnvindr!” seru perempuan dengan perut yang besar.

Diluc berlari ke arah perempuan yang tampak sedang melahirkan itu dengan cepat, raut wajahnya tak lagi bisa ia kendalikan, perempuan itu menggenggam erat tangan perempuan itu sampai akhirnya ia sendiri yang melepaskan genggamannya.

Suara tangisan bayi yang keluar dari perut perempuan itu berhasil menciptakan badai besar di Mondstadt, dedaunan yang ada di pohon besar Windrise itu berterbangan ke sana kemari hingga tak menyisakan apa pun di rantingnya.

Bayi yang ada di dekapan Diluc berhenti menangis saat matahari menyinari dirinya dan sang bayi di antara kabut yang gelap dan badai yang besar.

“Kenapa aku harus terlibat dengan hal ini?!” sentak Diluc kesal, namun ia masih tak berani meletakkan bayi itu di hamparan rumput.

Setiap yang bernyawa pasti akan menemui kematiannya, karena sejatinya tunangan hidup adalah mati,

Diluc menoleh ke sekelilingnya namun ia tak mendapati siapa pun, suara yang ia dengar menusuk kepalanya hingga berdengung. Rasa sakit di kepalanya membuat Diluc perlahan melepaskan bayi yang baru saja lahir itu.

Petir mulai menyambar dengan hebat, hujan mulai turun sederas-derasnya sampai Diluc melupakan bayi yang ada di dekapannya.

Celestia baru telah hadir di dunia ini,

Diluc memegangi kepalanya sekuat tenaga, ia mulai kehilangan kesadarannya sebelum ia membenturkan kepalanya ke pohon besar di Windrise itu. Netra merahnya berkobar hingga tubuhnya mengeras, sarung tangan peninggalan Crepus yang ia pakai hangus terbakar oleh kekuatan misterius yang menyelimutinya, kobaran api yang tercipta dari rambutnya membuat Diluc memekik kesakitan.

Jauh di seberang danau dekat Windrise, seorang anak bersurai biru tua bersembunyi di balik batu terus menatap Diluc tajam dengan sinar putih di mata kanannya. Ia tersenyum di sisi wajah sebelah kirinya namun di bagian kanan wajahnya menunjukkan sebaliknya.

Aku tak bisa berbuat apa-apa selain ini, ujar Kaeya dalam hatinya.

Maafkan aku karena memang seperti inilah takdir ayah, lanjutnya lirih.

Sekarang kau paham, kan, penderitaan yang kualami?

Namun lupakanlah, biarkan penderitaan itu bersemayam di dalam tubuhmu hingga waktunya tiba,

Sinar putih di mata kanan Kaeya perlahan meredup, begitu pula dengan sinar putih yang hanya menyorot ke arah Diluc tadi. Badai besar yang menggoncang Mondstadt pun hilang dengan sendirinya, tubuh hangus saudaranya terlempar jauh ke depan pintu gerbang Negeri Kebebasan itu.

Kaeya berjalan ke arah pohon besar Windrise dengan tatapan sendu, bayi yang masih tergeletak dan menangis di sana tak sedikit pun membuatnya iba. Ia mengelus lembut wajah bayi tak berdosa itu sembari menutup matanya perlahan.

Barbatos. Ya, namamu adalah Barbatos,

Garis takdirmu adalah untuk mencegah terjadinya Cataclysm yang akan terjadi 35 tahun dari sekarang, kau adalah salah satu dari banyaknya Celestia di bumi ini, temani saudaraku hingga maut tak berani lagi datang kepadanya,

Dari belakang Kaeya, terdapat 3 pria bertubuh besar dan satu pria bertopeng setengah dengan gigi taring yang muncul dengan ganasnya menunduk kepada bocah bersurai biru tua itu.

“Kami menunggu perintah selanjutnya darimu,” ujar Il Capitano.

“Bisa-bisanya aku tunduk sama bocah titisan Primordial Ones,” keluh Il Dottore sambil mengalihkan pandangannya dari Kaeya.

Kaeya menoleh ke belakang, ia tersenyum lebar lalu terkekeh melihat petinggi Harbingers itu menundukkan kepalanya.

“Mari kita lanjutkan sandiwara Teyvat hingga Cataclysm datang!” seru Kaeya yang masih terkekeh geli melihat gelagat para Harbingers.

Bidadari Pencabut Nyawa

Chapter 3: Bingkisan Hitam

Kilas balik 34 tahun yang lalu

Crepus Ragnvindr baru saja menutup pintu kantornya di sore hari yang cerah, awan-awan yang menghiasi langit Teyvat cukup memanjakan mata hari ini. Semua orang yang melihat ke atas pasti tersenyum dengan keindahan alam yang diciptakan oleh Tuhan.

Hari ini adalah hari ulang tahun Vannessa, ia tidak ingin singgah ke mana pun kecuali pulang untuk menemui putri satu-satunya dari Keluarga Ragnvindr. Crepus sudah menyiapkan kado yang dibungkus oleh plastik hitam dan pita kecil berbentuk elang di tengahnya.

Vannessa pasti suka boneka ini, gumam Crepus dalam hati sambil tersenyum.

Saat ia masuk ke dalam mobil, Crepus meletakkan bungkusan hitam itu di sampingnya. Senyumnya masih merekah setelah membayangkan raut wajah putrinya ketika mendapat hadiah ulang tahun ini, Crepus rela tidak pulang hingga larut malam untuk bermain permainan capit di salah satu gelanggang permainan di Mondstadt. Boneka ini memiliki arti yang sangat mendalam bagi Crepus, karena ini adalah permintaan pertama Vannessa sejak ia masih berumur 3 tahun. Kini gadis itu telah berusia 10 tahun, kurang lebih selama 7 tahun Crepus berusaha mendapatkan boneka itu sampai akhirnya ia benar-benar puas ketika ia membungkus sendiri hadiah untuk putrinya.

“Kau mau ke mana?” tanya seseorang dari belakang mobilnya.

Tiba-tiba suara ayunan pisau melayang ke arah Crepus namun ia masih bisa menghindari serangan mendadak itu, senderan kepala di mobilnya habis ditebas oleh seseorang yang misterius.

Crepus menghadap ke belakang lalu mendapati bahwa lelaki bersurai biru muda dengan topeng badut yang menutupi sebagian wajahnya tersenyum hingga menampakkan gigi-gigi tajamnya.

“Untuk seorang bapak-bapak, reflekmu cukup bagus,” ujar Il Dottore sambil tertawa.

Mata Crepus terbelalak ketika melihat kriminal dari Snezhnaya itu ada di belakang mobilnya sejak tadi, nama Il Dottore cukup terkenal sejak 5 tahun yang lalu. Lelaki bersurai biru muda itu adalah buronan kelas kakap setelah berhasil menginvasi setengah wilayah Liyue yang saat ini masih berada di bawah kepemimpinan Madame Ping.

Di depan mobilnya, Il Capitano dan Pierro berdiri sambil memegang senjata api yang cukup besar di kedua tangannya.

“Kau gak akan bisa kabur lagi, Crepus Ragnvindr.”

Mata Crepus hanya tertuju pada bingkisan hitam itu, raut wajahnya terlihat khawatir karena hadiah yang telah susah payah ia dapatkan sangat rawan untuk dihancurkan saat ini.

“Kalian benar-benar membuatku mati gaya,” ledek Crepus pelan-pelan menekan pedal gas mobilnya.

Perlahan mobil merahnya berjalan ke arah Il Capitano dan Pierro, mereka berdua belum sadar saat itu karena masih asik mendebatkan hal-hal remeh. Tanpa pikir panjang Crepus menekan lebih keras lagi pedal gas itu hingga menabrak dua pilar utama Keluarga Harbingers.

Satu lagi,

SLASH

Goresan di pipi Crepus mengeluarkan darah yang cukup deras setelah mengenai pisau kecil milik Il Dottore. Mereka berdua terombang-ambing di dalam mobil milik Crepus karena ia sendiri lebih memilih untuk mengamankan hadiah untuk Vannessa ketimbang memegang kendali stirnya.

“Jangan gila, Crepus!” seru Il Dottore yang sibuk melindungi kepalanya.

Dottore terus menerus menendang jok mobil bagian depan agar Crepus lebih tersudut, namun setelah ia berhasil mengamankan hadiahnya, Crepus membuka pintu mobilnya lalu terjun meninggalkan mobil dengan kecepatan tinggi.

Dari belakang Pulcinella mengayunkan pedangnya saat Crepus masih mendekap bungkusan hitam itu. Namun tubuh mereka bertabrakan karena Crepus terpelanting jauh setelah keluar dari mobilnya meninggalkan Il Dottore yang sudah memekik di dalam mobil.

“Kau benar-benar gila, Crepus.” ujar Pulcinella sambil membangkitkan dirinya dari tanah.

Argh! Sial! Crepus tidak bisa bangkit, kaki kanannya patah karena terlindas oleh ban mobil saat berusaha untuk kabur barusan.

Begitu pula dengan Pulcinella, salah satu tangannya bergoyang tanpa izin dari pemiliknya karena terkena arus tubuh Crepus saat jatuh tadi.

“Sekarang kau tidak akan bisa ke mana-mana lagi,”

Di belakang Crepus, Il Dottore sudah berlumuran darah akibat ledakan mobil, senyumnya melebar sambil menjilat darah yang bercucuran dari kepalanya. Pierro dan Il Capitano berdiri di antara Pulcinella, mata mereka tertuju pada bungkusan hitam yang masih didekap oleh pria bersurai merah itu.

“Biar kami saja yang mengantarkan hadiah itu untuk anakmu,” ujar Pierro sambil terkekeh.

Crepus menajamkan tatapannya, ia tahu bahwa sebentar lagi akan ada serangan dari salah satu anggota Harbingers itu dalam waktu dekat.

SLASH

Benar saja, bingkisan hitam itu sobek setelah Il Dottore menyerangnya dari belakang, busa-busa boneka itu bertebaran ke udara, Crepus terus mengumpati dirinya karena gagal menjaga benda berharga itu.

“Ternyata cuma boneka,” ujar Pierro dengan nada kecewa.

“Setelah kematian Crepus, kita bisa mengambil alih Mondstadt,” lanjut Il Capitano menimpali ucapan Pierro.

“Kau yakin? Di sana masih ada Varka, belum lagi rumor tentang Barbatos, kau jangan seenaknya berpikir tanpa menggunakan otak!” seru Pierro kembali membuat panas kepala Il Capitano.

“Itu semua hanya rumor, tidak ada lagi Celestia di Mondstadt!” balas Il Capitano tak mau kalah.

Crepus masih sibuk mengumpulkan busa-busa boneka yang berceceran di atas tanah, ia terseok-seok karena salah satu kakinya sudah tak lagi berfungsi.

Dari belakang Il Dottore menarik rambutnya lalu menebas kepala Crepus dengan cepat.

**

“Permisi! Paket!”

Vannessa berlari menuju pintu depan rumahnya, setelah ia membukanya gadis itu mendapati seorang pria dewasa dengan senyum yang lebar membawa satu kotak berwarna coklat dengan pita kecil berbentuk elang di tengahnya.

“Selamat ulang tahun, ya! Ini titipan dari ayah kamu, katanya dia lembur hari ini,” ujarnya.

“Wah! Makasih banyak, Om! Ini hadiah ulang tahun dari Ayah?” tanya Vannessa polos.

Diluc yang baru saja pulang dari tempat latihan bela dirinya menyusul Vannessa dan seorang kurir yang masih bertengger di depan rumahnya.

“Apa ini, Sa?” tanya Diluc heran.

“Hadiah ulang tahun gue lah! Hari ini, kan, gue ulang tahun!”

“Kalau begitu saya pamit dulu, ya! Masih banyak barang yang harus diantarkan,” ujar kurir tadi.

“Terima kasih banyak, ya, Om!” seru Vannessa sambil melambaikan tangannya ke arah kurir itu.

Vannessa tidak sadar bahwa bagian belakang kotak coklat itu basah karena sesuatu, namun firasat Diluc sudah tidak enak saat ia pulang tidak ada kendaraan kurir itu di depan rumahnya.

“Ayo kita buka! Ambilin pisau,” seru Vannessa saat Diluc meletakkan tasnya di ruang tamu.

“Bawel! Gue juga ada hadiah kali buat lo,”

“Oh, ya? Ayah ke mana?” tanya Diluc khawatir.

“Kata Oom tadi Ayah lembur hari ini,”

“Lo tahu dari mana kalau dia kenal sama Ayah?”

Mereka berdua terdiam sejenak, bagian bawah bungkusan hadiah Vannessa mulai robek karena sudah terlalu lama mengendap dengan air.

“Katanya Ayah mau beliin ice cream cake, kayaknya udah meleleh, ya?” gumam Vannessa kebingungan.

Saat Diluc membuka bagian atas kotak coklat itu, Vannessa berteriak histeris setelah mendapati potongan kepala Crepus di dalamnya. Diluc tidak bisa berkata apa-apalagi saat itu, yang ada di dalam pikirannya adalah bagaimana bisa seorang pahlawan Mondstadt ini bisa dikalahkan oleh orang lain.

“I-Ini bukan kue!” pekik Vannessa keras.

Crepus Ragnvindr gugur dari pertempurannya melawan Harbingers, hadiah ulang tahun Vannessa gagal ia selamatkan, namun bagi Pierro hadiah ganti yang diberikan oleh mereka lebih berharga untuk Vannessa agar bisa lebih kuat lagi dalam menjalani hidup.

Telepon rumahnya berbunyi, Diluc dengan cepat mengangkat telepon yang baru saja masuk.

“Halo?” sapa Diluc terbata-bata.

“Bagaimana? Suka dengan hadiahnya?”

“Kau siapa?”

“Kau tak perlu tahu aku siapa, kami hanya bertugas untuk mengantarkan hadiah terakhir yang bisa Crepus kasih untuk kalian,”

Mata Diluc semakin membara setelah sadar bahwa ayahnya mati di tangan Harbingers, namun suara pekikan Vannessa sudah hilang dari pendengarannya. Gadis itu hilang dalam sekejap mata, menyisakan Diluc dan potongan kepala Crepus Ragnvindr yang sudah mulai meleleh.

“Apa ini? Apa yang terjadi?!”

Pita rambut Vannessa Ragnvindr tergeletak di atas tanah, di depannya terdapat gambar aneh yang membentuk portal memenuhi dinding rumahnya.

“Vannessa,” gumam Diluc pelan.

Sosok perempuan bersurai putih berdiri di belakang Diluc, wajahnya penuh dengan kerutan bekas ledakan namun setiap detiknya ekspresi dari perempuan itu berganti.

“Lumuri hatimu dengan kebencian, ikut aku dan adikmu menjadi bagian dari Abyss Order,” ajak perempuan bersurai putih itu.

“Kau tidak akan—”

Diluc tergeletak di samping ayahnya, Vannessa hilang bersama perempuan misterius itu entah ke mana. Hari ulang tahun Vannessa Ragnvindr adalah jurang kehancuran dari Keluarga Ragnvindr, namun tidak ada yang mengetahui di mana keberadaan Kaeya saat ini semua terjadi.

Bidadari Pencabut Nyawa

Ending Chapter 2: Separuh Jiwa

“CARI SI MATA SATU!”

“BERANI-BERANINYA DIA KABUR!”

“BABU NOMOR SATU KITA UDAH BERANI MEMBANGKANG, YA!”

Belasan anak-anak “kaya” dari Mondstadt Academic School tengah sibuk mencari keberadaan Kaeya di seluruh sudut sekolah, pasalnya Kaeya sudah lebih dari 30 menit menghilang setelah disuruh membeli jajanan untuk mereka di jam istirahat sekolah.

Kaeya bersembunyi di dalam salah satu ruangan kosong bekas ruang olahraga lama, debu dan jaring laba-laba yang bersarang di sana cukup membuat orang tidak berani masuk lebih dalam lagi, rumor yang beredar juga berhasil menyadarkan warga sekolah untuk tidak main-main ke tempat yang dibilang angker tersebut.

Tahan, Kaeya. 2 tahun lagi lulus, runtuk Kaeya dalam hati.

Saat ini Kaeya sudah masuk di kelas 4, ia sedang berusaha memberanikan dirinya untuk berangkat ke sekolah setelah dibujuk oleh Crepus Ragnvindr berkali-kali. Diluc dan Vannessa masih acuh tak acuh dengan kondisi Kaeya walaupun mereka sendiri tahu keadaan Kaeya di sekolah.

“Woy! Diluc! Sini lo!” seru salah satu murid nakal itu.

Kaeya mendengarkan seluruh percakapan mereka dari luar, suara cacian keluar dari mulut anggota geng anak sosialita tersebut. Namun belum sedikit pun suara Diluc keluar menanggapi cacian mereka.

“Mana adik lo?! Dia gak balik-balik udah sejam! Dia pasti mencuri uang kami!”

Kaeya terus menerus menggigit ujung jarinya karena ketakutan, penutup matanya sudah penuh dengan keringat yang mengucur dari atas kepalanya. Ia menundukkan kepalanya dengan kaki agar saat orang masuk ke ruangan itu ia tidak diketahui oleh siapa pun.

“Urusan lo sama dia benar-benar gak penting,” akhirnya Diluc membuka suara.

Dinding pembatas ini yang akhirnya membuat Kaeya tahu bahwa sebenarnya Diluc benar-benar perhatian dan sayang kepadanya.

“Gue mau ke ruangan OSIS, minggir!” sentak Diluc membuka baris pertahanan mereka.

BRUK

Kaeya tersentak ketika mendengar suara pukulan yang nyaring dari luar, kepala bagian belakang Diluc dipukul dengan balok kayu oleh anak-anak nakal tersebut.

“Berani-beraninya anak dari Keluarga Ragnvindr menyentuh kulit anak dari kasta tertinggi di Mondstadt,”

Diluc masih tak berdaya setelah tubuhnya ambruk, darah yang mengalir dari kepalanya cukup deras hingga membuat anak perempuan yang lewat koridor sana memekik histeris saat tahu bahwa ketua OSIS Akademi Mondstadt pingsan sambil dikeroyok oleh anak-anak nakal itu.

“Bilang si Crepus itu kalau lo anak haram! Rambut lo aja merah, tapi nyali lo gak ada!”

Saat mereka sibuk memukul tubuh Diluc yang masih tak berdaya, di ujung koridor suara teriakan yang menggelegar meneriaki sumber keributan di tengah koridor.

“Woy, Anjing! Lo apain abang gue?!” seru Vannessa sambil berlari ke arah abangnya.

“Gak usah takut! Itu anak pelacur tangan kosong!”

Vannessa Ragnvindr melompat ke udara sebelum menerjang beberapa murid nakal itu sekaligus, namun sayangnya ia terpeleset oleh darah abangnya sendiri hingga membuat musuhnya berada di posisi yang menguntungkan.

“Masih kelas 4 tapi badannya udah kayak tante-tante, Coy! Sikat ajalah di sini!”

Seragam sekolah Vannessa dirobek paksa oleh belasan siswa itu, tidak ada yang berani melaporkan kejadian ini ke majelis guru karena mereka adalah siswa dari pejabat tinggi di Mondstadt, semenjak kematian Celestia Mondstadt saat Perang Dunia Teyvat posisi pemerintahan Negeri Kebebasan ini diisi oleh pengusaha dan politikus berpengaruh di sana, maka dari itu orang dengan status sosial yang tinggi cukup berkuasa di Mondstadt.

Vannessa tidak bisa berbuat apa-apa saat tubuhnya disentuh dan dilecehkan oleh mereka, kepalanya sudah terlalu sakit setelah jatuh ke lantai dan diterjang oleh lawannya yang sudah murka karena tendangan gadis bersurai merah itu.

Ah! Gawat!

Mata kanan milik Kaeya mulai mengeluarkan sinarnya, rasa takut dan amarahnya bercampur aduk sehingga ia tak bisa mengendalikan kekuatannya dengan baik. Tangan dan kakinya bergetar hebat ditambah rasa sakit di kepalanya yang amat luar biasa.

“Kali ini giliran gue! Lo semua udah lepas perjaka, kan?! Tinggal gue, nih! Lumayan ini dari keluarga babu!”

“Gak malu lo lepasin perjaka sama anak pelacur?!”

“Ngapain malu?! Harusnya dia bangga karena perawannya gue yang pecahin!”

Kaeya mulai berdiri dengan tegap, akal sehatnya mulai hilang, mata kanannya bersinar terang hingga menyilaukan seisi ruangan. Dari luar ruangan sudah terpancar sinar putih yang berhasil membutakan mata siswa yang berada di sekitar ruangan olahraga lama.

“Kenapa tumben itu ruangan olahraga hidup lampunya?”

“Lagi dibersihin kali, udah! Gue mau hajar ini anak pelacur, lo abadikan momen ini di otak kalian,”

DUAR

Pintu ruangan olahraga itu hancur seketika, sosok bocah berambut biru tua itu keluar dengan mata yang berbinar di kedua sisi, satu berwarna putih dan satu lagi berwarna merah api.

“Jangan berani-beraninya lo sentuh lagi saudara gue,” ujar Kaeya dengan suara beratnya. Walaupun ia masih berumur 10 tahun, namun kali ini suaranya terdengar seperti seorang pria dewasa.

“Dih! Lo pikir kami takut sama softlens abal-abal itu?!”

Wajah Kaeya diludahi oleh orang yang melecehkan Vannessa, namun anehnya saliva kotor miliknya tidak mengenai Kaeya sedikit pun.

“Ka-Kaeya,” rintih Vannessa sambil menutupi bagian tubuhnya dengan tangan.

Kaeya mengepalkan tangannya dengan kuat, lantai dan dinding di sekitar bocah itu retak dan kaca-kacanya pecah mengenai orang-orang yang ada di sekitar sana.

“D-Dia kenapa?” ujar salah satu anak nakal itu mulai ketakutan dengan sosok Kaeya.

“Mau lo anak pejabat, atau pun anak Dewa sekalipun, gak akan ada apa-apanya sama gue,”

Kini tubuh mereka terasa seperti diisap oleh mata kanan Kaeya, seolah bergerak sendiri, suara jeritan dan minta ampun mulai terdengar ketika salah satu dari mereka mulai menghilang dari pandangan.

“Kaeya! Maafin kami! Kami gak akan ganggu lo lagi!”

Mata kiri milik Kaeya mengarah ke Diluc yang masih terbaring kaku, beberapa saat kemudian lelaki bersurai merah itu sadar dan terbangun setelah sadar dengan ingatan terakhirnya.

Begitu pun dengan Vannessa, seragamnya yang sudah rusak tiba-tiba kembali seperti semula, luka di sekitar tubuhnya pun ikut menghilang dengan kekuatan magis dari mata Kaeya.

“Jangan pernah kalian sakiti keluarga gue,” ujar Kaeya dengan suara beratnya.

Ternyata ini kekuatan dari titisan Primordial Ones, ujar Diluc ketakutan dalam hatinya.

Beberapa hari kemudian, muncul lah berita kehilangan 12 anak pejabat Mondstadt, seluruh aparat mulai mencari keberadaan mereka namun tidak berhasil ditemukan. Kaeya, Diluc, dan Vannessa dipindahkan ke Teyvat Academy oleh Crepus saat mengetahui kejadian ini setelah diceritakan oleh Diluc.

“Yah, kenapa kita harus pindah lagi?” tanya Diluc pelan saat mereka dalam perjalanan menuju rumah barunya.

“Kita gak pindah, hanya tinggal sementara di rumah Varka,” jawab Crepus dengan suara beratnya.

“Kamu masih ingat Jean, kan? Dia juga sekolah di Teyvat Academy,” lanjut Crepus mengalihkan pembicaraan.

“Itu si Diluc suka sama dia, Yah.” ledek Vannessa sambil bersiul.

“Diam lo!” bantah Diluc keras, namun wajahnya yang memerah berkata sebaliknya.

“Lagi pula, Yah. Aku sudah 19 tahun, masa aku harus mengulang sekolah lagi setahun? Aku sudah tidak naik kelas dulu karena—”

“Karena lo bodoh! Mainannya otot terus!” potong Vannessa geram.

“Lo masih bocah udah berani-beraninya menghina gue?! Lo itu masih kelas 4, Sa!” seru Diluc tak mau kalah.

Kaeya hanya diam tanpa ikut dalam interaksi kedua saudaranya, dari spion tengah mobil, Crepus tersenyum saat mendapati garis bibir Kaeya naik karena pertikaian kecil antara Diluc dan Vannessa selalu mewarnai hari-harinya sejak ia bergabung dengan Keluarga Ragnvindr.

“Kae, mulai sekarang lo jangan takut lagi, karena kita udah di sekolah baru,” gumam Diluc, ia sengaja memelankan suaranya karena gengsi yang tinggi.

Diluc tentu tidak ingat kejadian terakhir sebelum ia sadar dari pingsannya beberapa waktu lalu, namun Vannessa mengingat jelas kekuatan Kaeya yang sesungguhnya hingga membuat gadis bersurai merah itu sedikit takut jika sudah berurusan dengan Kaeya.

“Seharusnya begitu! Kalian ini satu keluarga! Harus saling menjaga!”

“Ada kemungkinan gak, Yah? Kalau misalnya Ragnvindr sama Gunnhildr jadi besan?” tanya Vannessa polos.

“Goblok! Gak mungkin keluarga kita sama keluarga bangsawan jadi besan!” potong Diluc kesal.

“Hey! Dunia ini penuh misteri, kamu tidak akan tahu apa yang akan terjadi di masa depan!” sentak Crepus ikut kesal dengan perkataan anak sulungnya.

Aku tahu, Yah. Aku tahu bagaimana masa depan itu, gumam Kaeya dalam hati sambil tersenyum.

Bidadari Pencabut Nyawa

Chapter 2: Separuh Jiwa

Kilas balik 35 tahun yang lalu

“Kamu tahu ada perang yang tak pernah disinggung oleh semua orang? Karena kejadian ini sungguh memalukan bagi seluruh rakyat Teyvat,” ujar Crepus Ragnvindr pada Diluc yang sudah memakai piyama elang kesukaannya menjelang bocah berambut merah itu tidur.

Diluc hanya menggelengkan kepalanya kala itu, baru kali ini ia melihat wajah ayahnya penuh keseriusan. Crepus selalu menjadi pria yang ceria di mana pun dan kapan pun, bahkan setelah kepergian istrinya, pria bersurai merah itu masih bisa tersenyum walaupun air matanya terus menetes ketika sedang menunggui makam separuh jiwanya itu.

“Ibumu gugur dalam perang saat sambil membopong Vennessa yang sedang menyusu, Nak. Dari sana kamu bisa menilai sendiri bagaimana kekuatan Ibumu, kan?”

“Iya, Yah.” jawab Diluc pelan.

Crepus menghela nafasnya dalam-dalam, air matanya menetes tanpa ia sadari, mungkin pria yang Diluc sebut sebagai ayah itu sedang merindukan kekasihnya setelah 10 tahun lamanya pergi meninggalkan Teyvat.

Pintu kamar Diluc diketuk beberapa kali, dari balik pintu muncullah kepala seorang bocah berambut biru tua dengan penutup mata di sebelah kanannya. Ia masih malu-malu karena ini adalah kali pertamanya ia tinggal di rumah Keluarga Ragnvindr.

“Kaeya! Ayo sini, dengarin Ayah cerita!” ajak Crepus sembari melambaikan tangannya kepada Kaeya.

Tch, ayah. Kau bukan siapa-siapa kami, kenapa dia harus memberikan matanya kepada bocah tengik itu, gumam Diluc dalam hati.

Saat Kaeya berjalan menuju Crepus dan Diluc, Diluc sudah lebih dulu menenggelamkan badannya ke dalam selimut lalu berpura-pura tidur. Melihat perangai anak sulungnya itu membuat Crepus tersenyum tipis, ia mengelus lembut tubuh Diluc dari balik selimut lalu beranjak untuk menyiapkan kasur Kaeya dari lemari kayu buatannya sendiri.

“Nah, kamu bisa tidur di samping abang kamu mulai sekarang, karena kalian adalah saudara,” ucap Crepus sambil tersenyum ke arah Kaeya.

“A-Ayah kenapa berkaca-kaca?” tanya Kaeya polos, ia tidak mengerti apa-apa tentang dunia ini karena selama 10 tahun ke belakang Kaeya menghilang bak ditelan bumi.

Sosok Kaeya tiba-tiba hadir pasca Perang Dunia Teyvat 10 tahun yang lalu, Crepus Ragnvindr menemukannya di samping danau di dekat tempat yang kini dinamakan Dawn Winery olehnya. Kaeya yang masih bayi lahir dengan satu bola mata putih yang misterius, sinar dari bola matanya bisa membelah langit saat ia mendongak ke atas, maka dari itu Crepus menutupi mata kanan Kaeya dengan penutup yang telah dirancang khusus oleh beberapa ilmuwan dari Mondstadt.

“Ah... di sini banyak debu, jadi kelilipan matanya! Ha-ha-ha!” jawab Crepus mengalihkan perhatian Kaeya sambil menyusun bantal untuk anaknya.

Kaeya mengangguk pelan, tapi ia tahu pasti bahwa Crepus sedang berusaha menyembunyikan sesuatu darinya.

Namun tiba-tiba kepalanya terasa sakit, Kaeya mulai mendengar suara makian dari sisi kirinya. Ia juga mengenali suara itu, bocah berambut merah api yang sangat membencinya.

Kenapa, sih, Ayah harus memberikan perhatian lebih ke dia?! Padahal ada aku dan Vennessa! pekik Diluc dalam hati namun diketahui oleh Kaeya.

“Maaf,” ucap Kaeya pelan.

Crepus menoleh ke belakang, namun tatapan Kaeya mengarah ke arah Diluc.

“Maaf, Diluc. Kalau misalnya Ayah memotong lagi perhatian untukmu dan Vennessa kepadaku,” lanjut Kaeya tanpa pikir panjang.

Diluc terbangun dari kasurnya, matanya terbelalak karena ketakutan.

Bagaimana bisa dia tahu apa isi hatiku?! kata Diluc ketakutan.

“Aku tahu. Aku tahu semuanya,” balas Kaeya sambil menitikkan air mata.

Crepus menarik lengan Kaeya agar bisa menjauh dari kamar Diluc, ia merintih kesakitan karena genggaman tangan pria bersurai merah itu sungguh kuat hingga melukai pergelangan tangannya.

“Maaf, Kaeya. Kenapa kamu bisa tahu isi hati Diluc?” tanya Crepus saat ia kira situasinya telah aman.

Kaeya mengurungkan niatnya untuk menjawab pertanyaan Crepus saat ia menatap netra merah milik ayah angkatnya.

“Tidak, Yah. Aku hanya merasa tidak diterima di keluarga ini. Tadi siang pun begitu, Vennessa mengejekku di sekolah. Katanya aku manusia tanpa mata, aku dituduh mencuri mata Ayah dan Ayah pasrah karena aku sudah mencuri matamu, Yah.” jawab Kaeya tersenyum paksa.

Mendengar jawaban Kaeya sontak membuat Crepus langsung memeluk erat tubuh kecil bocah berambut biru tua itu.

“Ayah tak bisa melihat seseorang yang masih suci tanpa noda memiliki kekurangan seperti itu, lagi pula Ayah sudah tua. Tidak ada lagi alasan Ayah untuk melihat keindahan dunia ini setelah ditinggal pergi oleh separuh jiwanya,”

“Ayah juga mau minta maaf karena sikap Diluc dan Vennessa yang masih belum mau menerimamu di keluarga ini, tapi lambat laun mereka akan menghargai kamu sebagai salah satu harta paling berharga dalam hidupnya,”

Kaeya terbenam dalam pelukan Crepus, air matanya tak lagi bisa ia tahan setelah mendengar perkataan ayahnya. Tubuhnya bergetar hebat setelah berusaha memendam perasaannya di depan semua orang, namun kini benteng pertahanan Kaeya sudah runtuh, ia menangis sejadi-jadinya saat itu.

Di balik kamar, Vennessa Ragnvindr terus menerus memukul boneka beruang miliknya hingga hancur. Ia masih tak terima kedatangan Kaeya yang selalu ia anggap anak haram di keluarganya. Wajahnya merah begitu juga dengan tangannya, busa yang keluar dari boneka kesayangannya ia lahap sampai habis karena ia tak ingin terdengar menangis dari dalam kamarnya.

Di sisi lain, Diluc mendengar semua percakapan Crepus dan Kaeya lewat sela-sela pintu kamarnya. Kini ia mulai memahami perasaan Kaeya, namun ia tetap tak bisa menyembunyikan perasaannya apalagi saat ia menatap wajah orang asing itu di saat-saat tertentu. Rasa bencinya kepada Kaeya kembali meluap ketika Crepus lebih mendahulukan Kaeya dibanding dirinya dan Vennessa adiknya. Diluc menutup pintu kamarnya lalu menjatuhkan tubuhnya ke kasur dan menyelimuti tubuhnya dengan selimut hangat kiriman dari teman Crepus dari Snezhnaya.

Maaf, Kaeya. Sejujurnya aku lebih takut dengan Primordial Ones ketimbang dengan kematian istriku. Aku laki-laki paling pengecut di dunia ini, aku malu dengan semua pencapaian dan penghargaan negara atas jasaku di Teyvat. Aku laki-laki yang bodoh, gumam Crepus dalam hati yang tentu diketahui oleh Kaeya.

**

“Ayah belum menyelesaikan ceritanya semalam, keburu dipotong sama Si Mata Satu!” seru Diluc saat menyendok telur dadarnya sebelum berangkat sekolah.

Kaeya hanya diam mendengar sindiran dari Diluc, bocah berambut merah itu menatap Kaeya dari samping, ia hanya menunduk sambil memegang roti bakar yang telah dibuat oleh Crepus di tangan kanannya.

“Jangan bicara seperti itu, nanti Ayah ceritakan. Kalian harus berangkat sekolah sekarang, nanti telat!” balas Crepus dengan tatapan tak enak.

“Ya sudah. Ayo, Sa. Kita berangkat,” ajak Diluc setelah meletakkan piringnya ke wastafel.

“Iya,” jawab Vennessa cuek.

Diluc dan Vennessa berangkat ke sekolah lebih dulu dari Kaeya, padahal mereka satu sekolah namun kedua kakak adik itu masih malu untuk pergi dengan Kaeya. Rumor tentang anak bermata satu yang dilahirkan oleh seorang pelacur membuat Kaeya mengurungkan niatnya untuk sekolah, namun Crepus berusaha sekuat tenaga untuk meyakinkan Kaeya bahwa itu tidak benar, Kaeya dilahirkan oleh ibu yang sempurna dan kuat namun harus gugur di medan perang saat Perang Dunia Teyvat saat itu.

“Ayo berangkat, biar Ayah antarkan kamu, Nak.” ajak Crepus lembut.

Kaeya mendongak ke arah Crepus, uluran tangannya masih menunggu setelah mereka berdiam diri selama beberapa menit.

Crepus kembali duduk di samping Kaeya lalu merangkulnya, “Kamu enggak mau sekolah hari ini?”

Kaeya menjawabnya dengan gelengan kepala.

“Kalau begitu, kamu mau mendengarkan kisah pahlawan pengecut yang berhasil menyelamatkan dunia?”

Kaeya kembali menggelengkan kepalanya, ia benar-benar tidak berminat untuk mendengarkan semua kisah yang sudah ia dengar berkali-kali dari hati Crepus.

“Jadi dulu, perang antara Celestia Kuno dengan Primordial Ones hampir meluluhlantakkan seisi bumi ini. Alasannya tidak diketahui, Yang Maha Satu itu terus mencari seseorang yang menghilang diculik oleh seseorang katanya,” cerita Crepus penuh antusias.

Itu aku, jawab Kaeya dalam hati.

“Saat itu Tsaritsa mengerahkan seluruh pasukannya dari 7 wilayah ini untuk mengalahkan Yang Maha Satu itu. Dan kamu tahu? Banyak nama-nama pahlawan nasional yang kamu tahu dari pelajaran sejarah ikut berperang melawan mereka?” lanjut Crepus sambil tertawa.

“Dulu Varka adalah teman seperjuangan Ayah saat perang, nanti Ayah kenalkan kamu dengan anaknya, manis banget, lho! Diluc aja sampai salah tingkah saat pertama kali ketemu,”

Aku tak peduli dengan hal itu, gumam Kaeya sambil menunduk.

“Nah, seluruh pasukan Tsaritsa adalah Celestia dengan kekuatan yang beragam! Tapi ada satu orang yang memimpin para Celestia untuk memerangi Yang Maha Satu,”

“Perempuan itu berasal dari Liyue, namanya Guizhong. Kekuatannya luar biasa! Bahkan ia sama seperti istri saya, ia memimpin ribuan pasukan hanya dengan jentikan jari saja! Karena dia adalah Celestia pertama yang diangkat oleh Tsaritsa di masa-masa genting saat itu,”

“Guizhong menyusun strategi sedemikian rupa lalu tangan kanannya yang menjalankan semua rencananya. Orang-orang Liyue memang pandai mengatur strategi perang asal kamu tahu, Nak!” lanjut Crepus sambil tersenyum mengingat masa-masa itu.

“Ah... sepertinya Ayah terlalu membanggakan orang lain, ya? Ha-ha-ha! Maaf!”

“Namun ada yang aneh saat peperangan itu terjadi, seakan Teyvat diberikan kekuatan magis untuk mengalahkan Yang Maha Esa itu lalu pergi meninggalkan bumi, sebuah sinar putih panjang menusuk jantungnya hingga Ia terbelah menjadi dua bagian. Kalau dipikir-pikir, semuanya terjadi begitu saja, sampai akhirnya Ayah menemukanmu di danau dekat Dawn Winery itu,”

Itu karena Bunda memberikan matanya untukku, ujar Kaeya dalam hati.

“Maka dari itu—”

Penutup mata Kaeya seolah terbakar dengan sendirinya, temuan canggih buatan ilmuwan Mondstadt itu hancur di depan mata Crepus. Kaeya berusaha menutupi sinar yang keluar dari matanya namun tidak berhasil dilakukan.

“Maka dari itu... tolonglah, Kaeya. Tetap kuat dan tegak, karena hanya kamulah satu-satunya harapan ketika Yang Maha Satu itu kembali ke Teyvat,” lanjut Crepus lirih.

Crepus mengelus pundak Kaeya dengan lembut, sinar di matanya kembali meredup setelah bocah berambut biru tua itu menenangkan dirinya.

“Kalau Ayah gagal menjagamu, Ayah yakin Diluc dan Vennessa akan melakukan semuanya untukmu,”