jejeuniverse

just my imagination ✨

#94. Be a lover

##ps: ini lumayan panjang jadi selamat membaca. Awas mleyot author tidak bertanggung jawab kalau kalian mleyot.


“Caca!! Bawa opor ayam nya kesini, keburu ada tamu nanti.”

“Iya bentar.”

Caca yang sedang berbaring setelah tadi tetangganya ramai-ramai mampir untuk bersilahturahmi beranjak menuju dapur, membawa opor ayam yang Ibunya suruh. Mendapati Ayah beserta Ibunya yang menata kembali ruang tamu yang penuh makanan, dibantu Asha yang ada disana sejak tadi.

“Kebiasaan banget anjir, bukannya bantuin malah asik push rank. Cancelled banget lo jadi calon suami kak Asha.” Cibir Caca melihat sang kakak yang asik bermain ponsel.

“Berisik ahh, tadi gue udah bantuin Papah cuci piring ya.”

“Hush! Udah jangan berantem, baru tadi maaf-maafan masa udah berantem lagi.” Lerai sang Ibu melihat kedua anaknya beradu mulut.

“Gak gelud gak asik Mah.” Celetukan sang Ayah mengundang gelak tawa penghuni ruang tamu rumah itu.

“Assalamualaikum!! Cacaa!! Bang Jeff!! Hendrik yang ganteng dateng nih.”

Seruan dari luar membuat Caca menghampiri Hendrik yang sudah berdiri didepan pagar rumahnya.

“Gantengan juga gebetan gue, ayo masuk.” Cibir Caca yang di dengar oleh Hendrik.

“Wahh songong, baru juga gebetan belom jadian.”

“Bodo amat dih, daripada lo gak punya gebetan.”

“Sembarang aja lo kalo ngomong, gini-gini gue punya pacar ye enak aja.”

“Boong pantat lo kelap-kelip kek Shinchan.”

“Anying beneran elahh, nih liat.”

Hendrik memberikan ponselnya pada Caca yang berisikan chatting Hendrik dengan seorang perempuan yang Caca kenal.

“LAHH ANYING SI NINGSIH?! DEMI APA??” Heboh Caca membuat sang Ibu terkejut.

“Apa sih ca, heboh amat.”

“Nih si Hendrik jadian sama si Ningsih kagak bilang-bilang, tau-tau jadian aja. Jahat banget lo.”

“Widihhhh udah gak jomblo lagi nih brother? Keren.” Jeffrian nimbrung setelah menyelesaikan push rank nya.

“Iya dong, jomblo in public bucin in private. Gak kayak Caca, gebetan mulu jadian kagak.” Ledek Hendrik mengundang gelak tawa jeffrian. Melihat Caca bermuka masam, Asha menyikut perut jeffrian pelan.

“Kok gebetan sih? Kenapa gak jadian aja? Gak mau ya dia sama kamu?” Tanya sang Ibu, jujur Caca ingin ngamuk tapi ya masa ngamuk sama Mamah tambah dosa nanti Caca.

“Loh Caca punya gebetan? Kenapa gak di bawa kesini? Kenalin sama Papah Mamah.” Ujar sang Ayah yang membuat Caca makin bete.

“Gak tau ahh, sebel.”

Caca merajuk, berjalan menuju kamarnya sembari menghentakkan kakinya sebal. Sementara semua yang berada di ruang tamu itu agak merasa bersalah pada gadis itu. Caca membaringkan kembali tubuhnya dikasur, mencoba untuk menghilangkan dongkolnya dengan memejamkan mata sejenak agar dirinya relax.

Baru sekejap memejamkan mata, ponselnya berdering, menandakan adanya panggilan masuk. Begitu melihat nama yang tertera di ponselnya, Caca langsung bangkit dan mengangkat panghilan itu.

“Halo?”

“Halo Caca, assalamualaikum.”

“Wa'alaikumsalam mas.”

“Caca lagi apa?”

“Lagi rebahan aja nih mas, mas lagi apa?”

“Loh? Emang gakak ada tamu atau tetangga gitu yang main kerumah?”

“Udah tadi, sekarang cuma ada Mamah Papah, Abang, kak Asha sama Hendrik aja.”

“Kenapa gak nimbrung?”

“Males aku diledekin terus.”

“Diledek gimana hmm?”

Caca hampir menjerit beritu mendengar suara Joni yang serak dan dalam. Kalem Ca, jangan mleyot.

Tapi Caca udah mleyot dari tadi.

“Gara-gara Caca gak punya pacar.”

“Terus?”

“Ya diledek lah.”

“Kenapa gak bilang udah punya gebetan.”

“Hah, apaan aku gak gebetan.”

“Loh, terus mas apa? Bukannya mas gebetan kamu?”

“HAH.”

“Kata Abang kamu, kamu suka bilang kalo mas gebetan kamu.”

Caca menahan nafasnya, mulut abangnya ini memang ember. Ingin rasanya Caca menyumpal mulut sang Abang dengan sendal jepit buluk milik sang Abang.

“ABANG JEFF IIHHHH AWAS LO YA GUE PUKUL PALA LO, PUNYA MULUT LEMES BANGET KAYAK IBU-IBU LAGI BELANJA SAYUR!!” Caca berteriak keras dari dalam kamar membuat semua orang yang ada di ruang tamu terkejut, termasuk Joni.

Namun lelaki di sebrang telepon itu terkekeh, membayangkan wajah tersipu Caca yang menurutnya sangat menggemaskan.

“Jadi gimana ca? Gak mau jadian aja? Daripada cuma jadi gebetan doang kan?”

“DIEM, JANGAN NGOMONG.”

Sambungan diputus sepihak oleh Caca, gadis itu tidak bisa terus-terusan dalam situasi ini. Ia malu, sangat-sangat malu.

“Caca kamu kenapa hey teriak-teriak gitu?” Tanya sang Ibu dari depan pintu kamarnya.

Gadis itu bergegas keluar dari kamarnya menghampiri sang kakak yang sedang nge bucin.

“Abang lo rese banget anjir, ngomong apa aja lo ke mas Joni?” Tanya Caca sewot, Jeffrian yang sedang asik bersama Asha menatap Caca setengah meledek.

“Semuanya.” Jawan Jeffrian enteng.

“Anying ahh gue malu, Mamah mulut Abang lemes banget sumpah ish!”

“Lagian kamu kenapa sih ca? Abang ngomong apa, sama siapa?”

“Temen SMA Jeffrian yang sekarang kuliah di Chicago, inget kan?”

“Oh yang itu, iya Mamah inget. Kenapa dia?”

Sebelum Jeffrian menjawab, ponsel Caca kembali berdering. Kali ini sambungan video call yang membuat gadis itu uring-uringan, Caca akhirnya kembali masuk kedalam kamarnya. Menenangkan diri sebelum mengangkat video call itu.

“Halo ca? Kenapa dimatiin?”

“Aku abis labrak Abang.”

“Loh kenapa dilabrak?”

“Abis Abang nyebelin, mulutnya lemes.”

“Kalo Abang kamu gak lemes, mas gak bakal tau kalo Caca suka sama mas.”

“Ihh udah dong Caca malu.” Ucap Caca yang menyembunyikan wajahnya di bantal karena malu.

“Loh ngapain malu? Mas juga suka kok sama Caca.”

“HAH?!!”

“CACA YA ALLAH JANGAN BERISIK.”

Seruan sang Ibu tak diindahkan oleh Caca, yang jadi fokusnya saat ini adalah ucapan lelaki disebrang sana. Ini Caca gak halu kan?

“Mas lagi gak nge prank kan?”

“Ngapain mas nge prank?”

“Kirain gitu.”

*“Serius Caca, gak boong. Tapi mas mau tanya sama Caca.”

“Apa mas?”

“Kalo Caca mau terima mas jadi pacar Caca, Caca siap gak kalo mas tinggal ke Chicago?”

“Eh— mas mesti balik ke Chicago lagi ya?”

“Iya, kuliah mas belum selesai disana.”

“Berapa lama mas?”

“Kurang lebih setahun lagi, kalo semua berjalan sesuai rencana.”

Gadis itu nampak berfikir, apa bisa ia ldr dengan jarak yang sangat jauh serta perbedaan waktu yang cukup besar.

“Gapapa semisal Caca gak ma— “

“Kalo Caca bilang mau, boleh gak?”

Hening.

Tak ada yang membuka suara setelah Caca berujar barusan. Hanya ada deru nafas keduanya yang terdengar saling bersahutan, serta ekspresi wajah yang tak terbaca.

“Ca.”

“Tapi nanti mas bakal jarang punya waktu buat Caca gapapa?”

“Kedengarannya naif sih tapi Caca gapapa, seminggu dua atau tiga kali kasih kabar udah cukup. Caca juga gak suka kalo harus kasih kabar tiap hari, ribet. Luangin waktu mas buat Caca kalo mas sempet, kan mas disana belajar bukan main.”

Joni terdiam disebrang sana, hendak menjerit senang namun tertahan gengsi. Tak sia-sia pulang ke Surabaya, pikirnya.

“Hmm, jadi Caca mau jadi pacar mas?”

“Jangan tanya lagi, kan mas udah tau jawabannya.”

“Emang kenapa?”

“Caca malu ihh.”

“Ya ampun gemes banget, jadi pengen ketemu.”

“Nanti kalo mas udah sembuh.”

“Mas sembuh mau langsung berangkat lagi.”

“Iya kah?”

“Huum.”

“Yaahhhhhh.”

“Mau ikut anter?”

“Boleh?”

“Boleh dong masa enggak, nanti bilang Abang kamu dulu.”

“Oke deh.”

“Ya udah, mas mau minum obat dulu ya. Nanti mas chat atau telpon lagi.”

“Iya mas, sok minum obat dulu.”

Setelah berpamitan, Caca menutup sambungannya. Keluar dari kamarnya dengan wajah berseri.

“Ciee yang jadian.” Celetuk jeffrian saat Caca duduk ditengah-tengah keluarganya.

“Pj dong pj, diem-diem bae.” Timbrung Hendrik.

“Dih u spa y?”

“Jadi adek punya pacar nih?” Tanya sang Ayah, Caca mengangguk.

“Ldr an dong dek?”

“Gakpapa, Caca stong.”

“Halahh ntar uring-uringan jangan lari ke gue awas aja.” Cibir Hendrik yang disetujui oleh Jeffrian.

Sementara Caca mencebik lucu, membuat semua tertawa melihat ekspresi Caca.

222.


“Ini kita sebenarnya mau kemana sih?” Tanya Nadia heran saat dirinya diajak entah kemana oleh Doni. Pertanyaan tadi pun entah sudah berapa kali Nadia tanyakan tapi jawaban Doni selalu saja—

“Nanti juga tau.”

Ya sudah, Nadia lebih memilih untuk tidak bertanya lagi. Lebih tepatnya malas mendengar jawaban itu-itu saja.

Sedangkan Doni tersenyum tipis, lelaki itu tahu betul bahwa gadis yang duduk disampingnya itu sedang kesal. Sengaja, sesekali iseng pada Nadia tak ada salahnya.

Mobil yang membawa mereka berdua berbelok masuk menuju rumah sakit besar. Nadia menyerit bingung, untuk apa Doni membawanya ke rumah sakit? Dirinya sedang tidak sakit, Doni juga terlihat baik-baik saja. Belum sempat bertanya pintu disampingnya terbuka, menampakkan Doni yang sudah diluar membukakan pintu untuknya.

“Ayo turun.” Titah Doni. Nadia mengangguk, melepaskan seatbelt nya dan beranjak keluar.

Suasana parkiran rumah sakit cukup ramai, Nadia berjalan sejajar disamping Doni. Begitu memasuki rumah sakit keduanya langsung menaiki lift, menuju lantai 4. Sesampainya di lantai 4, Doni berjalan menelusuri lorong dan berhenti di depan salah satu pintu kamar rawat inap.

“Nah, udah sampe.” Ucap Doni, Nadia masih bertanya-tanya sampai akhirnya Nadia dapat melihat ke dalam kamar dari kaca kecil di pintu kamar rawat inap itu.

Didalam sana, seseorang terbaring dengan berbagai alat menempel pada tubuhnya yang Nadia tak tau apa namanya. Nadia mengira-ngira kalau itu seorang perempuan, terlihat dari rambutnya yang panjang dan hitam, bulu matanya yang lentik, wajah tirus, serta berkulit putih. Cantik, satu kata yang langsung terlintas dibenak Nadia begitu melihat sosok yang sedang terbaring di ranjang rumah sakit itu.

“Dia siapa?” Tanya Nadia penasaran, gadis itu tak bisa menunggu Doni untuk menjelaskannya sendiri sedangkan sedari tadi lelaki itu hanya terdiam didepan pintu itu.

“Jihan. Itu Jihan.” Ucap Doni pelan.

Nadia bergeming, tatapannya kembali pada sosok perempuan cantik itu. Pantas saja mirip seperti Doni, perempuan yang sedang terbaring itu ternyata adalah adik kandung Doni.

“Yuk, masuk. Didalem juga ada Mamah gue.” Ajak Doni sembari membuka pintu didepannya. Nadia terkejut, apa? Bertemu dengan Ibu bosnya? Dengan penampilan seperti ini? Tidak, tidak. Nadia tidak siap.

“Eh, tunggu— gue...”

Belum sempat menyelesaikan ucapannya, Doni sudah lebih dulu memasuki kamar itu. Menghampiri wanita paruh bapiya yang tengah duduk di sofa sembari membaca buku, mendapati seseorang memasuki kamar, wanita paruh baya itu mengalihkan perhatiannya dan menemukan sang anak sulung. Doni menghambur ke dalam pelukan hangat sang Ibu, merengkuhnya guna menyalurkan rasa sayang serta rindu.

“Maaf baru kesini lagi, di kantor lagi sibuk projek baru.” Jelas Doni pada Ibunya yang langsung diangguki oleh sang Ibu, “Iya gakpapa, oh iya, katanya mau bawa seseorang. Mana?” Tanya sang Ibu.

Doni yang mendengar itu langsung menoleh ke arah pintu— dimana tadi Nadia berdiri, namun gadis itu tak ada disana. “Sebentar.” Lelaki itu lantas beranjak keluar kamar rawat inap adiknya, dan menemukan Nadia yang berdiri disamping pintu.

“Nad, kenapa gak masuk?” Tanya Doni menghampiri Nadia, gadis itu menggeleng.

“Kok lo gak bilang sih mau ketemu Mamah lo? Kalo lo bilang gue pasti bakal pake baju yang lebih rapih lagi, gak berantakan kayak gini.” Ujar Nadia, sembari menatap kembali penampilannya. Celana jeans, kaos, sweater rajut, serta sepatu Converse Chuck Taylor 70 low berwana hitam yang sudah lusuh sangat tidak cocok untuk bertemu dengan orang tua bosnya itu.

“Apa yang salah? Gak berantakan kok, berantakan dari mana coba?”

“Berantakan Doni.”

“Enggak, lo cantik pake baju apapun. Ayo masuk, Mamah gue udah nungguin lo.”

“Tapi— “

“Gak ada tapi tapi an Nadia, ayo masuk.” Ucap Doni final, lalu tangannya meraih tangan kurus Nadia. Membawanya masuk untuk bertemu dengan Ibunya.

Nadia memasuki ruangan itu, menatap kagum pada wanita paruh baya yang tengah duduk di sofa. Meskipun sudah berumur, Ibu Doni tetap terlihat cantik dan anggun. Beliau tersenyum begitu melihat Nadia yang berada di belakang Doni.

“Nah— Mamah, kenalin ini Nadia. Asistennya Doni.” Ucap Doni memperkenalkan Nadia pada Ibunya.

Nadia menunduk sebentar lalu memperkenalkan diri, “H-halo, nama saya Nadia. Senang bertemu dengan anda.” Ucap Nadia terbata-bata dan kaku, Ibu Doni tersenyum ramah.

“Halo Nadia, seneng bisa ketemu kamu. Santai aja, panggil Tante atau Mamah aja ya cantik.” Ujar Ibu Doni ramah, senyumannya tak luntur kala meraih tangan Nadia untuk bersalaman.

“Udah lama kerja sama Doni?” Tanyanya, lalu memberi isyarat agar Nadia duduk di sofa yang ada di dalam ruangan itu.

“Baru tiga Minggu Tante.” Jawab Nadia pelan. Ibu Doni mengangguk sambil menatap Doni jahil.

“Kirain mau ngenalin pacar ke Mamah.” Tutur Ibu Doni.

“Kalo itu nanti aja kapan-kapan.” Sahut Doni pelan.

“Terus kenapa kalian berdua gak pacaran aja?”

Pertanyaan itu membuat Doni maupun Nadia bergeming, suasana yang sudah canggung bertambah makin canggung. Melihat itu Ibu Doni tertawa pelan, “Bercanda, tapi kalo beneran juga gakpapa sih.” Katanya usil.

Nadia hanya tersenyum canggung, bingung hendak memberi reaksi seperti apa. Doni yang sama canggungnya berdeham, “Mamah udah makan? Makan dulu gih, atau pulang aja dulu biar Doni yang jaga disini.”

“Nanti dulu ihh, mau ngobrol dulu sama Nadia.” Protes sang Ibu yang mendapat kekehan dari Doni.

“Ya udah kalo gitu kalian berdua makan bareng gih, kebetulan Nadia juga belum makan siang, sekalian ngobrol.” Usul Doni, sang Ibu mengangguk setuju sedangkan Nadia terlihat berfikir.

“Lo juga belum makan siang, kenapa gak makan bareng aja?” Tanya Nadia, Doni tersenyum. “Gampang nanti mesen lewat ojol, udah lo temenin Mamah gue ya. Mamah gue baik kok— kecuali kalo lo nakal sih.” Ujar Doni santai.

Melihat itu Ibu Doni makin tersenyum, bersyukur karena anaknya bertemu dengan orang yang tepat.

“Boleh nih Mamah pinjem Nadia nya?”

“Ya boleh lah masa enggak.”

“Ya udah kalo gitu, ayo Nadia kita pergi.” Ajak Ibu Doni pada Nadia. Gadis itu mengangguk lalu beranjak dari duduknya dan berjalan mengikuti Ibu Doni.

“Dadah. Have fun ya.” Ucap Doni antusias yang mendapat anggukan dari kedua perempuan cantik itu.

222.


“Ini kita sebenarnya mau kemana sih?” Tanya Nadia heran saat dirinya diajak entah kemana oleh Doni. Pertanyaan tadi pun entah sudah berapa kali Nadia tanyakan tapi jawaban Doni selalu saja—

“Nanti juga tau.”

Ya sudah, Nadia lebih memilih untuk tidak bertanya lagi. Lebih tepatnya malas mendengar jawaban itu-itu saja.

Sedangkan Doni tersenyum tipis, lelaki itu tahu betul bahwa gadis yang duduk disampingnya itu sedang kesal. Sengaja, sesekali iseng pada Nadia tak ada salahnya.

Mobil yang membawa mereka berdua berbelok masuk menuju rumah sakit besar. Nadia menyerit bingung, untuk apa Doni membawanya ke rumah sakit? Dirinya sedang tidak sakit, Doni juga terlihat baik-baik saja. Belum sempat bertanya pintu disampingnya terbuka, menampakkan Doni yang sudah diluar membukakan pintu untuknya.

“Ayo turun.” Titah Doni. Nadia mengangguk, melepaskan seatbelt nya dan beranjak keluar.

Suasana parkiran rumah sakit cukup ramai, Nadia berjalan sejajar disamping Doni. Begitu memasuki rumah sakit keduanya langsung menaiki lift, menuju lantai 4. Sesampainya di lantai 4, Doni berjalan menelusuri lorong dan berhenti di depan salah satu pintu kamar rawat inap.

“Nah, udah sampe.” Ucap Doni, Nadia masih bertanya-tanya sampai akhirnya Nadia dapat melihat ke dalam kamar dari kaca kecil di pintu kamar rawat inap itu.

Didalam sana, seseorang terbaring dengan berbagai alat menempel pada tubuhnya yang Nadia tak tau apa namanya. Nadia mengira-ngira kalau itu seorang perempuan, terlihat dari rambutnya yang panjang dan hitam, bulu matanya yang lentik, wajah tirus, serta berkulit putih. Cantik, satu kata yang langsung terlintas dibenak Nadia begitu melihat sosok yang sedang terbaring di ranjang rumah sakit itu.

“Dia siapa?” Tanya Nadia penasaran, gadis itu tak bisa menunggu Doni untuk menjelaskannya sendiri sedangkan sedari tadi lelaki itu hanya terdiam didepan pintu itu.

“Jihan. Itu Jihan.” Ucap Doni pelan.

Nadia bergeming, tatapannya kembali pada sosok perempuan cantik itu. Pantas saja mirip seperti Doni, perempuan yang sedang terbaring itu ternyata adalah adik kandung Doni.

“Yuk, masuk. Didalem juga ada Mamah gue.” Ajak Doni sembari membuka pintu didepannya. Nadia terkejut, apa? Bertemu dengan Ibu bosnya? Dengan penampilan seperti ini? Tidak, tidak. Nadia tidak siap.

“Eh, tunggu— gue...”

Belum sempat menyelesaikan ucapannya, Doni sudah lebih dulu memasuki kamar itu. Menghampiri wanita paruh bapiya yang tengah duduk di sofa sembari membaca buku, mendapati seseorang memasuki kamar, wanita paruh baya itu mengalihkan perhatiannya dan menemukan sang anak sulung. Doni menghambur ke dalam pelukan hangat sang Ibu, merengkuhnya guna menyalurkan rasa sayang serta rindu.

“Maaf baru kesini lagi, di kantor lagi sibuk projek baru.” Jelas Doni pada Ibunya yang langsung diangguki oleh sang Ibu, “Iya gakpapa, oh iya, katanya mau bawa seseorang. Mana?” Tanya sang Ibu.

Doni yang mendengar itu langsung menoleh ke arah pintu— dimana tadi Nadia berdiri, namun gadis itu tak ada disana. “Sebentar.” Lelaki itu lantas beranjak keluar kamar rawat inap adiknya, dan menemukan Nadia yang berdiri disamping pintu.

“Nad, kenapa gak masuk?” Tanya Doni menghampiri Nadia, gadis itu menggeleng.

“Kok lo gak bilang sih mau ketemu Mamah lo? Kalo lo bilang gue pasti bakal pake baju yang lebih rapih lagi, gak berantakan kayak gini.” Ujar Nadia, sembari menatap kembali penampilannya. Celana jeans, kaos, sweater rajut, serta sepatu Converse Chuck Taylor 70 low berwana hitam yang sudah lusuh sangat tidak cocok untuk bertemu dengan orang tua bosnya itu.

“Apa yang salah? Gak berantakan kok, berantakan dari mana coba?”

“Berantakan Doni.”

“Enggak, lo cantik pake baju apapun. Ayo masuk, Mamah gue udah nungguin lo.”

“Tapi— “

“Gak ada tapi tapi an Nadia, ayo masuk.” Ucap Doni final, lalu tangannya meraih tangan kurus Nadia. Membawanya masuk untuk bertemu dengan Ibunya.

Nadia memasuki ruangan itu, menatap kagum pada wanita paruh baya yang tengah duduk di sofa. Meskipun sudah berumur, Ibu Doni tetap terlihat cantik dan anggun. Beliau tersenyum begitu melihat Nadia yang berada di belakang Doni.

“Nah— Mamah, kenalin ini Nadia. Asistennya Doni.” Ucap Doni memperkenalkan Nadia pada Ibunya.

Nadia menunduk sebentar lalu memperkenalkan diri, “H-halo, nama saya Nadia. Senang bertemu dengan anda.” Ucap Nadia terbata-bata dan kaku, Ibu Doni tersenyum ramah.

“Halo Nadia, seneng bisa ketemu kamu. Santai aja, panggil Tante atau Mamah aja ya cantik.” Ujar Ibu Doni ramah, senyumannya tak luntur kala meraih tangan Nadia untuk bersalaman.

“Udah lama kerja sama Doni?” Tanyanya, lalu memberi isyarat agar Nadia duduk di sofa yang ada di dalam ruangan itu.

“Baru tiga Minggu Tante.” Jawab Nadia pelan. Ibu Doni mengangguk sambil menatap Doni jahil.

“Kirain mau ngenalin pacar ke Mamah.” Tutur Ibu Doni.

“Kalo itu nanti aja kapan-kapan.” Sahut Doni pelan.

“Terus kenapa kalian berdua gak pacaran aja?”

Pertanyaan itu membuat Doni maupun Nadia bergeming, suasana yang sudah canggung bertambah makin canggung. Melihat itu Ibu Doni tertawa pelan, “Bercanda, tapi kalo beneran juga gakpapa sih.” Katanya usil.

Nadia hanya tersenyum canggung, bingung hendak memberi reaksi seperti apa. Doni yang sama canggungnya berdeham, “Mamah udah makan? Makan dulu gih, atau pulang aja dulu biar Doni yang jaga disini.”

“Nanti dulu ihh, mau ngobrol dulu sama Nadia.” Protes sang Ibu yang mendapat kekehan dari Doni.

“Ya udah kalo gitu kalian berdua makan bareng gih, kebetulan Nadia juga belum makan siang, sekalian ngobrol.” Usul Doni, sang Ibu mengangguk setuju sedangkan Nadia terlihat berfikir.

“Lo juga belum makan siang, kenapa gak makan bareng aja?” Tanya Nadia, Doni tersenyum. “Gampang nanti mesen lewat ojol, udah lo temenin Mamah gue ya. Mamah gue baik kok— kecuali kalo lo nakal sih.” Ujar Doni santai.

Melihat itu Ibu Doni makin tersenyum, bersyukur karena anaknya bertemu dengan orang yang tepat.

“Boleh nih Mamah pinjem Nadia nya?”

“Ya boleh lah masa enggak.”

“Ya udah kalo gitu, ayo Nadia kita pergi.” Ajak Ibu Doni pada Nadia. Gadis itu mengangguk lalu beranjak dari duduknya dan berjalan mengikuti Ibu Doni.

“Dadah. Have fun ya.” Ucap Doni antusias yang mendapat anggukan dari kedua perempuan cantik itu.

PS : bacanya sambil dengerin lagu RAN – Pandangan Pertama

Saat ini Caca sudah berada di barisan perempuan untuk menunaikan shalat Isya sekaligus tarawih, beruntung teman perempuannya menyisakan tempat untuknya.

“Imam nya siapa Sis?” Tanya Caca pada temannya, Siska.

Gadis disebelah Caca mengedikkan bahu, “Jare ustad jamal, tapi yo gaero maneh.” *(Katanya ustad Jamal, tapi gak tau deh.

Waduh— dee dadi imam yo suwi pol iki marine.” Protes Caca membuat Siska hanya menggeleng, “Ya kalo mau cepet sholat sendiri dirumah.” Balas Siska. *(Waduh— kalo dia yang jadi imam lama banget beresnya.

Setelah itu sholat Isya pun di mulai, lalu di lanjutkan dengan sholat Tarawih.


Sholat telah selesai, namun Caca masih tertahan di dalam masjid. Dirinya dimintai tolong untuk membereskan karpet bekas sholat tadi bersama beberapa ibu-ibu dan 2 perempuan seusianya.

Nah wis mari kabeh, ayo ca moleh.” Ajak tetangganya— Ningsih. *(Nah udah beres, ayok Ca pulang.

“Iya ayok.”

Caca dan Ningsih pun berjalan beriringan keluar masjid, ternyata sudah lumayan sepi. Hanya ada beberapa bapak-bapak yang masih mengobrol bersama pak ustad serta pengurus masjid. Caca sempat misuh karena Hendrik meninggalkannya terlebih dahulu dengan alasan sakit perut, efek terlalu banyak makan saat berbuka tadi.

Saat hampir tiba di tempat menyimpan sendal, pandangan Caca tertuju pada sosok jangkung yang juga tengah berjalan kearahnya— ralat, ke tempat menyimpan sendal.

Gadis cebol itu terpana, sosok jangkung yang menarik perhatiannya itu begitu berkarisma dan tampan tentu saja. Sangat.

Wahhhh berkah banget gue liat cogan dari segala cogan jam segini, batin Caca.

Namun rasa kagum itu tak berlangsung lama karena sosok jangkung itu memakai sendalnya, sendal sang kakak.

“Anjirrr mampus gue.”

“Ca, ayok pulang kok diem aja sih?”

“Duluan aja gih,” Panik Caca bergegas mencsei sendal lelaki jangkung itu, dan menemukan satu sendal lelaki yang sama dengan milik sang kakak namun terlihat masih baru. “Dah ya gue ada urusan.”

Caca langsung berlari mengejar lelaki yang memakai sendal kakaknya, sekalian ingin tau dimana letak rumah lelaki jangkung itu. Meskipun begitu ia masih sempat-sempatnya membuat cuitan di akun Twitter miliknya yang tentu saja membuat sang kakak mengetahui kejadia tertukarnya sendal kesayangan sang kakak.

Bodohnya sama ke tulang, kalau kata Hendrik.

Setelah menemukan sosok jangkung yang memakai sendal kakaknya, Caca diam-diam mengikutinya dari belakang. Ia tak berani menyapa atau menegur karena telah salah memakai sendal, tidak, dirinya tidak sanggup. Bisa-bisanya pingsan karena salah tingkah berhadapan dengan makhluk Tuhan yang paling tampan itu.

“Anjirrr ini gimana dong? Bang Jeff udah misuh-misuh.” Gerutu Caca pelan sembari membalas pesan singkat sang kakak yang tentu saja isinya hanya misuhan untuk Caca karena sudah memakai sendal kesayangan dari kekasihnya.

“Ribet banget lagian cuma sendal butut juga— aduh!”

Suara tubrukan terdengar disusul dengan Caca yang mengaduh karena kepalanya bertubrukan dengan sesuatu yang keras, itu dada seseorang. Begitu keras dan bidang, sangat cocok untuk dijadikan sandaran—

“Aduh maaf, sakit gak?” Tanya orang yang tadi Caca tabrak.

“Enggak kok, gakpapa, maaf ya mas...” Ucapan Caca menggantung di udara begitu melihat sosok dihadapannya.

Yap betul, itu adalah orang yang sedang Caca ikuti. Lelaki tampan yang menarik perhatian Caca, serta memakai sendal kesayangan abangnya.

“Maaf ya tiba-tiba berhenti jalan, kamu mau kemana? Kesasar ta?” Tanyanya yang langsung mendapat gelengan kepala dari Caca.

Gadis itu tak bisa berbicara, mendadak lidahnya kelu. Keringat dingin mulai keluar dari pelipisnya, bibirnya juga beberapa kali terbuka hendak mengatakan apa yang harusnya ia katakan namun tertelan kembali karena gugup setengah mati.

“Yowes, duluan ya dek.” Pamit lelaki itu memberikan sebuah senyuman manis pada Caca yang membuat gadis cebol itu makin merona merah diwajahnya.

“Oke, keep calm Caca. Lo harus bisa, lo pasti bisa. Ini antara hidup dan mati, idup lo gak bakal tenang kalo bang Jeff gak dapet sendal buluk kesayangan balik.” Batin Caca menyemangati, lalu dengan tekad kuat Caca mengangguk pasti.

“Anu— mas...”

“Ya?”

Baru beberapa langkah lelaki jangkung itu kembali berbalik menghadap ke arah Caca, menunggu gadis itu untuk berbicara ditengah kegugupannya.

“Ng...itu— emm...sendal...”

Mendengar Caca menyebut sendal, lelaki jangkung itu menunduk, memperhatikan sendal yang dirinya pakai dengan sendal Caca yang tampak sangat besar di kaki kecilnya itu.

Iyo, sendalku opo'o?” Tanyanya lagi dengan dahi berkerut. *(Iya, sendal saya kenapa?

“Sendalkitaketukermasbisabalikingaksoalnyaitusendalkesayanganabangsayanantidiangamukkalosendalbululnyagakbalik.” Ucap Caca dalam satu tarikan nafas seperti seorang rapper handal, saking cepatnya ia bicara.

“Hah?” Lelaki dihadapan Caca nampak melongo mendengar ucapan secepat kereta di Jepang, oke kejauhan.

Sedangkan gadis itu hampir menangis karena dirinya yang lemah terhadap cogan alias cowok ganteng.

“Ketuker.” Cicit Caca pelan, mendengar itu lelaki jangkung yang berdiri didepan Caca kembali memperhatikan sendal yang dipakainya.

“Sendal yang mas pake punya saya dan yang saya pake punya mas. Sama emang tapi punya saya udah buluk sedangkan punya mas masih baru.” Jelas Caca panjang.

Lelaki itu mengangguk, “Oh ngunu, gapopo sakjane sih di gowo moleh ae sendal e kan luma— “ *(Oh gitu, padahal gakpapa kalo kamu bawa pulang sendalnya kan lumayan.

“Saya juga mikirnya gitu, tapi masalahnya itu sendal kesayangan Abang saya, kado dari pacarnya kalo sampe ilang bisa ngamuk dia.” Ujar Caca memotong ucapan lelaki itu.

“Ya udah kalo gitu, nih sendalnya. Maaf ya saya salah pake kamu jadi repot ngikutin saya sampe sini.” Sesal lelaki itu memberikan sendal butut milik sang kakak.

“Makasih banyak ya mas, maaf saya ganggu. Alhamdulillah gak dimarahin Abang.”

Lelaki jangkung itu tersenyum melihat ekspresi wajah Caca yang menurutnya lucu.

“Nah, udahkan? Pulang sana udah malem gak baik cewek pulang malem-malem meskipun sekarang lagi bulan puasa.” Ucapnya pada Caca, “Saya duluan ya, atau mau saya anter kamu sampe rumah?” Tawar lelaki itu.

Mendengar itu Caca menggeleng cepat, “Gak usah mas, makasih buat tawarannya saya bisa pulang sendiri.” Tolak Caca halus, bisa-bisa dirinya pingsan karena diantar pulang oleh lelaki jangkung itu. Setelah membungkuk, Caca langsung lari pergi meninggalkan lelaki itu.


Halo mas, nomernya 08 berapa??

Ini dia sendal yang membuat Caca bertemu dengan cogan

PS : bacanya sambil dengerin lagu RAN – Pandangan Pertama

Saat ini Caca sudah berada di barisan perempuan untuk menunaikan shalat Isya sekaligus tarawih, beruntung teman perempuannya menyisakan tempat untuknya.

“Imam nya siapa Sis?” Tanya Caca pada temannya, Siska.

Gadis disebelah Caca mengedikkan bahu, “Jare ustad jamal, tapi yo gaero maneh.” *(Katanya ustad Jamal, tapi gak tau deh.

Waduh— dee dadi imam yo suwi pol iki marine.” Protes Caca membuat Siska hanya menggeleng, “Ya kalo mau cepet sholat sendiri dirumah.” Balas Siska. *(Waduh— kalo dia yang jadi imam lama banget beresnya.

Setelah itu sholat Isya pun di mulai, lalu di lanjutkan dengan sholat Tarawih.


Sholat telah selesai, namun Caca masih tertahan di dalam masjid. Dirinya dimintai tolong untuk membereskan karpet bekas sholat tadi bersama beberapa ibu-ibu dan 2 perempuan seusianya.

Nah wis mari kabeh, ayo ca moleh.” Ajak tetangganya— Ningsih. *(Nah udah beres, ayok Ca pulang.

“Iya ayok.”

Caca dan Ningsih pun berjalan beriringan keluar masjid, ternyata sudah lumayan sepi. Hanya ada beberapa bapak-bapak yang masih mengobrol bersama pak ustad serta pengurus masjid. Caca sempat misuh karena Hendrik meninggalkannya terlebih dahulu dengan alasan sakit perut, efek terlalu banyak makan saat berbuka tadi.

Saat hampir tiba di tempat menyimpan sendal, pandangan Caca tertuju pada sosok jangkung yang juga tengah berjalan kearahnya— ralat, ke tempat menyimpan sendal.

Gadis cebol itu terpana, sosok jangkung yang menarik perhatiannya itu begitu berkarisma dan tampan tentu saja. Sangat.

Wahhhh berkah banget gue liat cogan dari segala cogan jam segini, batin Caca.

Namun rasa kagum itu tak berlangsung lama karena sosok jangkung itu memakai sendalnya, sendal sang kakak.

“Anjirrr mampus gue.”

“Ca, ayok pulang kok diem aja sih?”

“Duluan aja gih,” Panik Caca bergegas mencsei sendal lelaki jangkung itu, dan menemukan satu sendal lelaki yang sama dengan milik sang kakak namun terlihat masih baru. “Dah ya gue ada urusan.”

Caca langsung berlari mengejar lelaki yang memakai sendal kakaknya, sekalian ingin tau dimana letak rumah lelaki jangkung itu. Meskipun begitu ia masih sempat-sempatnya membuat cuitan di akun Twitter miliknya yang tentu saja membuat sang kakak mengetahui kejadia tertukarnya sendal kesayangan sang kakak.

Bodohnya sama ke tulang, kalau kata Hendrik.

Setelah menemukan sosok jangkung yang memakai sendal kakaknya, Caca diam-diam mengikutinya dari belakang. Ia tak berani menyapa atau menegur karena telah salah memakai sendal, tidak, dirinya tidak sanggup. Bisa-bisanya pingsan karena salah tingkah berhadapan dengan makhluk Tuhan yang paling tampan itu.

“Anjirrr ini gimana dong? Bang Jeff udah misuh-misuh.” Gerutu Caca pelan sembari membalas pesan singkat sang kakak yang tentu saja isinya hanya misuhan untuk Caca karena sudah memakai sendal kesayangan dari kekasihnya.

“Ribet banget lagian cuma sendal butut juga— aduh!”

Suara tubrukan terdengar disusul dengan Caca yang mengaduh karena kepalanya bertubrukan dengan sesuatu yang keras, itu dada seseorang. Begitu keras dan bidang, sangat cocok untuk dijadikan sandaran—

“Aduh maaf, sakit gak?” Tanya orang yang tadi Caca tabrak.

“Enggak kok, gakpapa, maaf ya mas...” Ucapan Caca menggantung di udara begitu melihat sosok dihadapannya.

Yap betul, itu adalah orang yang sedang Caca ikuti. Lelaki tampan yang menarik perhatian Caca, serta memakai sendal kesayangan abangnya.

“Maaf ya tiba-tiba berhenti jalan, kamu mau kemana? Kesasar ta?” Tanyanya yang langsung mendapat gelengan kepala dari Caca.

Gadis itu tak bisa berbicara, mendadak lidahnya kelu. Keringat dingin mulai keluar dari pelipisnya, bibirnya juga beberapa kali terbuka hendak mengatakan apa yang harusnya ia katakan namun tertelan kembali karena gugup setengah mati.

“Yowes, duluan ya dek.” Pamit lelaki itu memberikan sebuah senyuman manis pada Caca yang membuat gadis cebol itu makin merona merah diwajahnya.

“Oke, keep calm Caca. Lo harus bisa, lo pasti bisa. Ini antara hidup dan mati, idup lo gak bakal tenang kalo bang Jeff gak dapet sendal buluk kesayangan balik.” Batin Caca menyemangati, lalu dengan tekad kuat Caca mengangguk pasti.

“Anu— mas...”

“Ya?”

Baru beberapa langkah lelaki jangkung itu kembali berbalik menghadap ke arah Caca, menunggu gadis itu untuk berbicara ditengah kegugupannya.

“Ng...itu— emm...sendal...”

Mendengar Caca menyebut sendal, lelaki jangkung itu menunduk, memperhatikan sendal yang dirinya pakai dengan sendal Caca yang tampak sangat besar di kaki kecilnya itu.

Iyo, sendalku opo'o?” Tanyanya lagi dengan dahi berkerut. *(Iya, sendal saya kenapa?

“Sendalkitaketukermasbisabalikingaksoalnyaitusendalkesayanganabangsayanantidiangamukkalosendalbululnyagakbalik.” Ucap Caca dalam satu tarikan nafas seperti seorang rapper handal, saking cepatnya ia bicara.

“Hah?” Lelaki dihadapan Caca nampak melongo mendengar ucapan secepat kereta di Jepang, oke kejauhan.

Sedangkan gadis itu hampir menangis karena dirinya yang lemah terhadap cogan alias cowok ganteng.

“Ketuker.” Cicit Caca pelan, mendengar itu lelaki jangkung yang berdiri didepan Caca kembali memperhatikan sendal yang dipakainya.

“Sendal yang mas pake punya saya dan yang saya pake punya mas. Sama emang tapi punya saya udah buluk sedangkan punya mas masih baru.” Jelas Caca panjang.

Lelaki itu mengangguk, “Oh ngunu, gapopo sakjane sih di gowo moleh ae sendal e kan luma— “ *(Oh gitu, padahal gakpapa kalo kamu bawa pulang sendalnya kan lumayan.

“Saya juga mikirnya gitu, tapi masalahnya itu sendal kesayangan Abang saya, kado dari pacarnya kalo sampe ilang bisa ngamuk dia.” Ujar Caca memotong ucapan lelaki itu.

“Ya udah kalo gitu, nih sendalnya. Maaf ya saya salah pake kamu jadi repot ngikutin saya sampe sini.” Sesal lelaki itu memberikan sendal butut milik sang kakak.

“Makasih banyak ya mas, maaf saya ganggu. Alhamdulillah gak dimarahin Abang.”

Lelaki jangkung itu tersenyum melihat ekspresi wajah Caca yang menurutnya lucu.

“Nah, udahkan? Pulang sana udah malem gak baik cewek pulang malem-malem meskipun sekarang lagi bulan puasa.” Ucapnya pada Caca, “Saya duluan ya, atau mau saya anter kamu sampe rumah?” Tawar lelaki itu.

Mendengar itu Caca menggeleng cepat, “Gak usah mas, makasih buat tawarannya saya bisa pulang sendiri.” Tolak Caca halus, bisa-bisa dirinya pingsan karena diantar pulang oleh lelaki jangkung itu. Setelah membungkuk, Caca langsung lari pergi meninggalkan lelaki itu.


Halo mas, nomernya 08 berapa??


Saat ini Doni dan Nadia tengah duduk di balkon apartemen milik Doni, keduanya tengah bersantai setelah selesai makan malam. Ditemani beberapa kaleng minuman, cemilan, serta lantunan lagu dari ponsel Nadia. Nadia dan Doni begitu menikmati suasana Sudirman di jam 9 malam ini.

Seperti biasa, kota Jakarta Timur yang selalu padat dan tak pernah tidur, memperlihatkan betapa sibuknya manusia-manusia yang sedang bekerja atau hendak pulang kerumah masing-masing.

“Lo kayaknya suka liat pemandangan dari atas ya?” Tanya Doni disela-sela keheningan diantara keduanya.

Nadia mengangguk, “Iya suka.” Jawabnya tanpa menoleh pada Doni.

Lelaki yang tengah memakai kacamata itu mengubah posisi duduknya menjadi menghadap pada Nadia, “Lo juga kayaknya lagi banyak pikiran ya?” Tanya Doni lagi yang membuat Nadia menunduk.

Entah semesta tengah berencana untuk membuatnya merasa sedih malam ini, bahkan lagu Runtuh dari Feby Putri dan Fiersa Besari mulai terputar. Begitu pas menggambarkan perasaan Nadia saat ini.

Kita hanyalah manusia yang terluka Terbiasa 'tuk pura-pura tertawa Namun bolehkah sekali saja ku menangis? Ku tak ingin lagi membohongi diri Ku ingin belajar menerima diri

“Nadia, gue udah pernah bilang kalo lo ada masalah dan mau cerita lo bisa cerita ke gue. Gak baik buat dipendem sendiri, tapi kalo lo masih gak mau cerita gakpapa. Gue cuma lo tau satu hal, gue bisa jadi pendengar yang baik buat lo.”

Sorry, gue bukan gak mau cerita. Gue...gue cuma gak tau harus mulai dari mana.” Ujar Nadia sembari tersenyum.

Doni mengusap pelan rambut panjang Nadia, memberinya tatapan teduh yang menenangkan untuk gadis itu.

Anyway, cewek yang tadi meeting sama lo itu sahabat gue.” Ujar Nadia menatap Doni.

“Hah?”

“Xabilla, dia sahabat gue.” Ulang Nadia, sementara Doni masih menyerit bingung.

“Bentar— kalo kalian berdua sahabatan kenapa tadi kayak orang gak kenal?” Heran Doni, dahinya mengerut.

Nadia menghela nafas berat, “Kita lagi ada masalah, sebenernya disini gue yang salah karena gak bilang ke Billa dan sahabat gue satu lagi namanya Lili.”

“Bilang apa?”

“Soal gue pinjem duit ke lo buat operasi Mamah gue.”

Lelaki dihadapannya itu sempat terkejut namun memilih untuk tetap mendengarkan cerita Nadia.

“Billa selalu bilang kalo gue butuh sesuatu untuk bilang ke dia, apapun itu selagi dia bisa bantu bakal dia bantu. Gue sangat berterima kasih perihal itu tapi gue gak bisa terus nyusahin Bibil, dia udah terlalu banyak bantu gue. Gue bisa kerja di cafe tempat gue kerja kemaren aja dia yang bawa gue kesana, bahkan unit sebelah yang gue tinggalin bareng sahabat gue satu lagi itu punya Bibil.” Tutur Nadia, gadis itu menatap lurus kedepan dengan tatapan mata yang hampa.

“Dan disini kesalahan gue, gue gak jujur sama mereka dapet darimana uang buat operasi Mamah. Gue bilang ke keluarga gue kalo gue minjem ke Bibil, sedangkan gue bilang ke Bibil kalo gue minjem ke sodara gue. Jahat banget kan gue bohongin semua orang.” Sambungnya, Nadia kembali menunduk, ia merasa sangat jahat pada semua orang.

Ini juga karena egonya yang tak ingin menyusahkan semua orang. Dirinya terbiasa menyimpan semuanya sendiri, sedari dulu.

“Gue gak tau harus cerita mulai dari mana ke mereka soal lo, gue gak mau lo di anggap jelek atau cuma mau manfaatin gue doang. Tapi gue gak mau ini jadi makin rumit, gue mau jelasin ke mereka secepatnya.”

“Ya, lo emang harus jelasin semua secepatnya. Dan gue harap mereka bisa ngerti, perlu gue bantu buat ngomong sama sahabat lo?” Tawar Doni yang mendapat gelengan dari Nadia.

“Gakpapa, gue bisa sendiri.” Yakinnya.

“Oke, cheer up Nadia! Jangan sedih lagi, lo jelek kalo sedih gitu. Mending senyum aja biar cantiknya keliatan.” Ujar Doni membuat Nadia terkikik geli mendengarnya.

“Apaan sih lo ya ampun garing banget kalo nge gombal.” Gadis itu mendorong pelan bahu Doni yang duduk di sisinya.

Doni yang mendengar itu menyerit, “Gue gak gombal, gue ngomong apa adanya kok.”

“Iya-iya gue percaya. Udah ah gue mau pulang, tidur sana gue mau beres-beres ini dulu.” Usir Nadia sembari membereskan kaleng-kaleng bekas minuman serta bungkus cemilan.

“Ya barengan aja beresinnya biar cepet, sini.”

Lalu keduanya sibuk membereskan balkon dan Nadia berpamitan untuk kembali ke unitnya.


Nadia berjalan memasuki cafe tempat dirinya bekerja beberapa waktu lalu, Jo Cafe and Eatery. Gadis itu melangkah dengan langkah tenang, lalu menghampiri seseorang yang tengah membersihkan meja bekas pengunjung.

Puk, puk.

“Hai.” Sapa Nadia pada lelaki itu.

Merasa ada yang menyapanya, lelaki itu menoleh. “Loh, Nadia? Lo ngapain disini?” Tanya orang itu yang tak lain adalah Jevan.

“Hehehe nganterin berkas bos gue yang ketinggalan.” Jawab Nadia lalu menatap sekeliling mencari teman satunya lagi, “Nares dimana?” Tanyanya.

“Lagi kebelakang buang sampah— tuh orangnya.” Ucap Jevan sembari menunjuk Nares yang baru saja kembali dari belakang.

Nadia melambai pada Nares yang kebetulan melihat kearah Nadia dan Jevan, mata lelaki itu melebar karena terkejut mendapati Nadia. Sedangkan Nadia memberi isyarat untuk bicara nanti karena dirinya harus mencari Doni. Mengambil ponselnya lalu menghubungi Doni untuk menanyakan keberadaannya.

Tak lama ponsel Nadia bergetar menandakan sebuah pesan masuk, itu dari Doni. Setelah mendapat instruksi untuk menoleh kearah kanan, Nadia menoleh kesana, tempat diujung kanan yang agak sepi. Disana sudah ada Doni yang sedang melambaikan tangannya pada Nadia.

“Bentar ya Jev gue sana dulu.” Pamit Nadia yang diangguki Jevano.

Nadia berjalan mendekati meja Doni, lelaki itu duduk bersama seorang perempuan yang tampak tak asing bagi Nadia.

“Hai, sorry harus bikin lo kesini.” Sapa Doni yang ditanggapi dengan gelengan oleh Nadia, “Santai aja kerjaan gue juga udah beres, nih berkasnya.” Kata Nadia sembari memberikan berkas pada Doni.

Thanks, oh iya kenalin ini klien gue namanya Xabilla.” Ucap Doni memperkenalkan perempuan yang ada disebrangnya. “Dan ini Nadia, asisiten gue.” Sambung Doni.

Nadia yang sedari tadi tidak memperhatikan perempuan yang sedang meeting bersama Doni terkejut, lantas langsung menoleh pada perempuan yang sedari tadi menatapnya datar. Mengetahui siapa gerangan yang duduk disana Nadia bergeming, lidahnya kelu menatap Xabilla.

“Oh, hai.” Sapa Xabilla singkat, Nadia masih bergeming tak tau harus bagaimana.

“Lo mau gabung disini Nad?” Tanya Doni yang melihat Nadia sedari tadi bergeming.

“Eh— enggak, g-gue mau disana aja ngobrol sama temen gue.” Jawab Nadia lalu berpamitan pada Doni dan Xabilla.

Gadis cantik itu lantas bergegas pergi dari sana, kembali menghampiri Jevan dan Nares di kasir. Mencoba menenangkan pikirannya yang kosong tiba-tiba.

Baiklah sepertinya Nadia harus segera memberi penjelasan Xabilla dan Lili secepatnya.

a part of Starlight


Bruukkk

“Aaaaaaaa~ akhirnya nyampe.” Ucap Naya setelah menjatuhkan diri diatas kasur tempatnya menginap bersama Jeffrey untuk lima hari kedepan, setelah perjalanan yang memakan waktu kurang lebih 6 jam.

Ya, keduanya kini tengah berbulan madu di Maldives. Jeffrey memilih Maldives sebagai tempat bulan madu karena dulu setelah menikah dengan Naya keinginannya untuk pergi kesini tak kesampaian.

“Mau makan apa istirahat dulu?” Tanya Jeffrey setelah selesai menyimpan koper mereka berdua di pojok kamar.

“Istirahat dulu, aku capek.”

Jeffrey mengangguk lalu bergabung bersama Naya merebahkan diri di kasur, “Sini deketan, mau peluk.” Tangan lelaki itu terentang menunggu sang istri bergeser ke dalam rengkuhannya dan terlelap bersama karena kelelahan.


Cup

Cup

Cup

Nghh...

Naya terbangun begitu merasakan kecupan bertubi-tubi di wajahnya, sedikit melenguh sebelum membuka mata dan mendapati sang suami yang tengah gencar menciuminya.

“Kak— kamu ngapain?” Tanya Naya heran, Jeffrey yang mendengar suara serak khas bangun tidur mendongak menatap wajah bantal Naya, lelaki itu kini beralih menuju tulang selangkanya.

“Udah bangun? Laper gak? Mau makan?” Bukannya menjawab pertanyaan Naya tadi, suaminya itu malah menanyakan rentetan pertanyaan untuk Naya.

“Kakak pengen makan kamu.” Sambung Jeffrey lalu menggigit lehernya Naya gemas, membuatnya berjengit kaget.

“Nanti dulu, aku mau mandi mau makan. Emang kamu gak laper?”

“Kan aku mau makan kamu.”

“Jeffrey.”

“Oke oke, bercanda tuan putri. Aku udah mandi tadi, kamu mandi dulu gih abis itu kita makan di restoran di pinggir pantai.” Naya mengangguk mendengar ucapan Jeffrey lalu bangkit dari tidurnya, sebelum beranjak ke kamar mandi, ia mengecup bibir Jeffrey sebentar.

Tak butuh waktu lama Naya sudah siap dengan dress putih selutut motif bunga, rambut panjangnya di biarkan tergerai begitu saja terbawa angin sore.

Baru saja Naya akan beranjak dari duduknya di meja rias, lengan kokoh Jeffrey menahannya. Mau tak mau Naya kembali terduduk di kursi itu. Belum sempat bertanya, Naya di buat tersentak kala lengan kokoh itu menyingkap dress-nya, menampakkan panty maroon yang Naya kenakan.

Jeffrey mengelus vagina Naya dari luar panty sebelum menggesernya kesamping dan memasukkan benda kedalam lubang surgawi milik Naya.

Akhhh!!” Naya meringis ngilu saat benda kecil itu masuk kedalam pusat tubuhnya, vaginanya belum basah. “Jeff itu ap— aahhhhh.” Desahan Naya keluar begitu saja saat benda kecil itu bergetar pelan di dalam tubuhnya, itu vibrator. Dari mana Jeffrey mendapatkan benda seperti ini?

“Ayo berangkat.”

“Tapi Jeff bisa berhentiin dulu gak, aku— nghhh...” Getaran vibrator itu makin cepat, membuat Naya kewalahan dan tak melanjutkan ucapannya.

“Jangan di lepas sampe pulang.” Tandas Jeffrey lalu menggenggam lengan Naya untuk berdiri dan pergi ke restoran dekat villa tempat mereka menginap. Mau tak mau Naya menurut, Jeffrey jika sudah keluar sifat nakalnya tak bisa di bantah. Naya tak mau ambil resiko.

Keduanya berjalan santai sembari menikmati pantai dan sunset yang mulai nampak di ufuk barat. Indah, Naya begitu menikmatinya meskipun ia berjalan dengan kurang nyaman. Rasanya begitu mengganjal.

Sesampainya di restoran, Jeffrey dan Naya memilih lantai dua untuk makan. Di balkon restoran yang langsung menghadap pantai, wanita cantik itu menahan desahannya bahkan saat mereka memesan makanan, Jeffrey dengan santai mempermainkan ritme getaran vibrator melalui ponselnya.

Naya dibuat terkejut karena ponselnya ikut bergetar, ada panggilan masuk. Dirinya mengatur nafas ketika tau siapa yang menelpon, “Kak, bisa berhenti dulu gak? Mama nelpon...nghhh.”

“Angkat aja.” Ucap Jeffrey santai, wajah tampannya menatap Naya jahil.

“Kaaakkkk.” Naya merengek, ia tak bisa kalau begini, bisa-bisa Jeffrey dengan tiba-tiba menaikan getaran vibrator itu saat Naya mengangkat telepon.

“Oke.”

Getaran dipusat tubuhnya berhenti, Naya menghembuskan nafas lega lalu dengan cepat mengangkat telepon dari ibu mertuanya.

“H-halo?”

“Halo, Naya? Udah sampe di Maldives?”

“Udah Mah tadi siang.”

“Bagus kalo gitu, ini Keanu nanyain kamu sama Jeff terus— “

“MAMA!! VIDEO CALL!!!”

Naya sempat terkejut begitu mendengar suara nyaring anak semata wayangnya itu, lalu menekan ikon video call. Begitu tersambung ia bisa melihat Keanu yang tengah memegang robot mainan.

“MAMA LIAT!! UNCLE JINAN TADI BELIIN AKU LOBOT.” Masih dengan suara nyaring setengah berteriak, Keanu menunjukkan robot yang dibelikan oleh Jinan.

“Pelan-pelan aja sayang gak usah teriak, Mama denger kok. Loh, tumben uncle beliin kamu mainan?”

“Hehehe tadi Nunu nangis.” Cicit Keanu pelan namun masih bisa Naya dengar.

“Nunu nangis kenapa hmm?”

“Nunu macih cebel gak diajak Mama Papa pelgi, tapi kata uncle Mama cama Papa mau kasih Nunu dedek bayi jadi Nunu gak boleh ikut. Emang iya Ma?” Tutur Keanu yang membuat Naya tak habis pikir pada mulut lemes adiknya itu.

Memang benar apa yang dikatakan Jinan, tapi mengatakan itu pada Keanu yang masih belum mengerti apa-apa membuat Naya pening. Kalau Keanu menagih saat ia pulang nanti bagaimana? Dirinya saja ragu bulan madu ini akan membuahkan hasil.

Jeffrey tiba-tiba mengambil ponsel Naya, mengarahkan ponsel itu pada wajahnya agar nampak dilayar. Tak lama suara Keanu kembali terdengar nyaring memanggil Jeffrey antusias.

“PAPA!!”

“Halo jagoan Papa, lagi apa? Udah makan?”

“Udah, aku lagi main cama Nenek.”

“Tadi Papa denger kamu nangis ya?”

“Iya, Papa cama Mama benelan mau kasih Keanu dedek bayi?” Tanya Keanu polos, Jeffrey tersenyum.

“Iya, doain ya. Tapi gak bisa langsung ada dedek bayi nya.”

“Kok gitu?”

“Kamu liat kan waktu itu Mama nya Daniel sebelum ada dedek bayi perutnya besar? Nah harus gitu dulu, lama emang tapi kalo gak gitu gak bakal bisa punya dedek bayi.” Jelas Jeffrey membuat Keanu mengangguk paham.

“Belalti Keanu waktu itu juga gitu ya?” Jeffrey mengangguk sebagai jawaban.

“Oke Keanu tungguin, pokoknya yang penting nanti punya dedek bayi.” Tandas Keanu sebelum akhirnya kembali bermain dengan robot ditangannya.

“Nah, udah kan ngomong sama Mama Papa nya? Udah ya Nenek matiin video callnya.” Keanu mengangguk lalu kembali bermain, “Ya udah kalo gitu, selamat bersenang-senang ya kalian. Mama doain pulang bawa cucu buat Mama. Daahhh.” Ujar Ibu Jeffrey lalu menutup sambungan video callnya.

“Ayo makan, kita isi tenaga dulu.” Ucap Jeffrey menatap Naya lalu mengedipkan sebelah matanya membuat Naya salah tingkah.


Naya kembali ke villa seorang diri, Jeffrey tadi bertemu dengan teman lamanya dan mengobrol. Entah saat SMA atau kuliah Naya tak tau. Perempuan itu merebahkan diri diatas kasurnya, vibrator tadi masih berada di dalam tubuhnya.

Tanpa niat melepaskan vibrator yang tak bergetar itu, Naya beranjak dari tidurnya. Jujur dirinya horny, itu akibat orgasmenya yang tertunda tadi. Jadi Naya berjalan menghampiri koper miliknya lalu membukanya, menampakkan isi koper itu. Beberapa potong baju, bikini serta lingerie. Lantas Naya mengambil satu lingerie dan bergegas mengganti pakaiannya.

Selesai mengganti baju, Naya menunggu Jeffrey pulang di belakang villa yang langsung menghadap ke laut. Di sana terdapat bangku santai dan kolam renang, Naya duduk disana sembari menatap langit malam cerah di Maldives. Matanya memejam sebentar yang tak terasa malah membawanya ke alam mimpi.


“Naya?”

“Hey, bangun. Kok tidur disini?”

Jeffrey mengelus pucuk kepala Naya, membuat istrinya itu terbangun. Mata Naya terbuka dan sedikit menyipit lalu tanpa aba-aba memeluk Jeffrey membuat lelaki itu terkejut.

“Lama banget, aku nungguin dari tadi.” Rajuk Naya yang langsung mendapat kekehan dari Jeffrey.

“Maaf tadi keasikan ngobrol, kamu dari tadi disini? Pake baju ini?” Tanya Jeffrey, Naya mengangguk sebagai jawaban.

Lelaki itu menarik Naya untuk semakin mendekat, mempersempit jarak keduanya. Jeffrey mulai mencium bibir ranum Naya, melumatnya pelan namun menuntut. Naya dengan sigap membalas ciuman Jeffrey dan mengalungkan tangannya di leher Jeffrey.

Saat membaringkan tubuh Naya di kursi santai, Naya menghentikan gerakan Jeffrey. “Di dalem aja kak, jangan disini.”

“Kenapa? Gak akan ada yang liat kok, kebetulan vila disamping kosong semua.” Ucap Jeffrey santai dan melanjutkan kembali aksinya menggerayangi tubuh Naya.

Naya menggigit bibir bawahnya, tak kuasa menerima sentuhan Jeffrey. Lelaki itu menarik turun lingerie merah yang dikenakan Naya, menampakan payudara sekal Naya yang tak terbalut bra. Tanpa ba-bi-bu Jeffrey langsung menghujani dada Naya dengan kecupan bertubi-tubi tanpa menyentuh puting Naya yang mulai menegang.

“Jeff pleasehh.”

Mendengar Naya memohon, Jeffrey mendaratkan bibirnya diputing tegang Naya. Mengecupnya, menjilati dengan gerakan memutar dan abstrak, tiba-tiba menggigitnya membuat Naya memekik kaget lalu menghisapnya seperti bayi yang kehausan.

Naya mulai hilang akal, tubuhnya menggeliat merasakan rangsangan yang diberikan Jeffrey pada payudaranya.

Ahh.”

Aahhhh.

Kini Jeffrey menyingkap lengire Naya sebatas pinggang memperlihatkan panty senada dengan lengire. Dapat Jeffrey lihat pusat tubuh Naya sudah mulai basah, Jeffrey dengan sengaja menyentuh vagina Naya merasakan bagaimana siapnya Naya untuk Jeffrey.

“Belum di lepas huh?” Jeffrey menggeser panty Naya kesamping, menyentuh vibrator yang masih bersarang di vagina Naya. Memaju mundurkan benda kecil itu dengan tangannya, lalu mencabutnya. Menggantinya dengan jari panjang Jeffrey.

Yang Naya lakukan hanya bisa mendesah, menikmati setiap kenikmatan yang ia dapatkan dari Jeffrey.

Suaminya itu mulai membuka pakaiannya, begitu juga dengan pakaian Naya. Kini keduanya sudah tak tertutup benang sedikitpun, Jeffrey menatap Naya dengan tatapan menggoda, sorot matanya begitu mendamba Naya.

Desahan kembali terdengar saat Jeffrey kembali menggoda lubang Naya, menggosok klitorisnya sebelum akhirnya mengarahkan penis besar dan tenggangnya di depan vagina basah Naya.

Baik Naya maupun Jeffrey, keduanya mendesah saat Jeffrey berhasil memasuki lubang sempit Naya. Bergerak dengan tempo pelan, Jeffrey begitu menikmati ekspresi wajah Naya.

Nghh...Jeff...aahhh...please— hhhh...fasterhhh.”

Bukannya mempercepat gerakan pinggulnya, Jeffrey malah membalik tubuh Naya agar menungging. Memasukkan kembali penisnya kedalam lubang surgawi milik Naya dan menggerakkan pinggulnya cepat.

Nafas Naya memburu, ia kewalahan namun sangat menikmati setiap hujaman yang diberikan oleh Jeffrey. Perempuan itu sudah klimaks dua kali, berbeda dengan Jeffrey yang masih setia menggenjot tubuh Naya dengan semangat.

PLAKK!

Ahh.”

Hngg.”

PLAKK!!

Aaaahhhhhhh.”

What should you call me Naya?” Tanya Jeffrey di sela-sela genjotannya sembari sesekali menampar bokong Naya.

Aah...d-daddyhh...nghh...pleasehh...

Jeffrey kembali memutar tubuh Naya kali ini tanpa melepas tautan kelamin mereka membuat keduanya melenguh nikmat. Lalu Jeffrey membaringkan tubuhnya membiarkan Naya berada diatasnya, lalu menyuruhnya untuk bergerak naik turun.

Ahh...aahhh...hngg...ouhhh...aaahhhh.”

Naya mulai menggerakkan pinggulnya naik turun, jujur posisi ini begitu nikmat. Penis besar Jeffrey masuk sangat dalam menyentuh sweet-spot nya. Perempuan itu menambah kecepatan gerakan pinggulnya, Jeffrey membantu Naya bergerak dengan meletakkan tangannya di pinggul ramping itu.

Aahhh... sedikit lagi...arrgghhhh.”

AHH...AHH...DADDY—HHH...NGHH... AAAAHHHHHHH!!

Jeffrey mempercepat gerakan pinggulnya begitu Naya mencapai puncaknya, tak lama ia menyusul Naya orgasme. Masih dengan pinggulnya bergerak Jeffrey menukar posisi agar Naya berbaring, agar spermanya masuk kedalam rahim nya.

Cup

“Mau lanjut atau istirahat dulu?”

“Istirahat. Aku capek.”

Naya tak sanggup jika harus melanjutkan aktivitas yang banyak menguras tenaganya itu, mengingat dirinya sudah keluar lebih dari tiga kali. Belum lagi saat makan malam tadi, tidak, dirinya tidak sanggup.

“Oke.”

Mulut Jeffrey mengatakan oke namun pinggulnya malah bergerak maju mundur, membuat Naya mendesah frustasi.

Nghh..Jeff...AAAHHHHHH.”

Daddy, call me daddy sweet heart. You should get punished for calling me wrong.” Bisik Jeffrey sembari mempercepat gerakan pinggulnya membuat Naya mendesah panjang. Oke Naya, dirimu melakukan kesalahan. Bersiaplah terjaga sampai besok pagi.

Baiklah, mari kita tinggalkan kedua insan yang sedang menikmati waktu bulan madu mereka. Malam ini akan menjadi malam yang panjang untuk Jeffrey dan Naya tentu saja.


Write by :@23rosesforu

09-11-2021

Ini resort yang Jeffrey sama Naya tempatin, siapa tau kalian mau bulan madu kesini🙏🏻

See you, feedback nya jangan lupa❤️❤️❤️

202.


“Nah, jadi lo mau cerita apa?” Tanya Nadia to the point begitu mereka berdua selesai makan, tak lupa membereskan bekas makanan yang tersisa untuk dibuang ke tempat sampah nanti saat mereka hendak pulang.

Doni tak langsung menjawab pertanyaan dari Nadia, lelaki itu asik menatap sekitar. Netra selegam langit di malam hari itu menatap kearah satu keluarga yang tengah piknik sama seperti mereka berdua, sepasang suami istri serta dua anaknya yang tengah bertengkar kecil memperebutkan sesuatu. Doni tersenyum getir sebelum akhirnya menoleh, menatap Nadia lamat-lamat.

“Dulu gue bahagia banget, punya keluarga yang selalu support gue apapun yang gue pilih dalam hidup gue. Orang tua gue gak mempermasalahkan gue kalo gue gak mau lanjutin perusahaan Papah dan lebih milih buat jadi penyanyi. Beliau selalu bilang 'jadilah apa yang kamu mau, selagi gak merugikan orang lain Papah dukung. Kejar passion kamu, pesan Papah cuma satu. Jangan pernah ngeluh sama apa yang udah kamu pilih buat masa depan kamu'.”

Doni mulai bercerita dan Nadia mencoba untuk menjadi pendengar yang baik, meskipun awalnya Nadia agak terkejut karena Doni menceritakan sesuatu yang menurutnya begitu privasi.

“Gue punya adik cewek, namanya Jihan. Dia resek, nyebelin, bawel, suka bikin pusing tapi gue sayang banget sama dia. Dia satu-satunya sodara kandung yang gue punya. Masuk umur 20 an, hidup gue baik-baik aja. Kuliah, nge band, ikut himpunan, punya pacar, keluarga yang baik-baik aja, finansial terjamin. Enak kan?” Sambung Doni yang diakhiri pertanyaan retoris untuk Nadia.

“Tapi hidup gak selalu mulus, ada saat dimana gue juga punya masalah sama temen-temen, pacar atau keluarga gue. Tapi gue masih bisa handle semua itu dengan baik.”

Doni tampak menghela nafas berat beberapa kali membuat Nadia beringsut mendekat pada Doni lalu mengusap pundak Doni pelan, mencoba untuk menenangkan Doni yang tengah dilanda sesak didada.

“Kalo sakit jangan diterusin, lo gak perlu— “

“Tapi gue mau cerita, sebagai asisten gue lo bakal tau cepat atau lambat.” Ucap Doni memotong perkataan Nadia.

“Gue bisa tanya ke Tian kalo lo mau.” Ujar Nadia menatap Doni.

“Gakpapa, gue gakpapa.” Yakin Doni pada Nadia, sedangkan gadis itu akhirnya hanya bisa mengangguk.

“Waktu umur gue 23 tahun semuanya mulai berantakan. Perusahan Papah hampir bangkrut, beliau kalang kabut sampe kerja lembur terus-terusan, Papah begitu karena gak mau keluarganya sengsara nantinya. Makanya Papah berusaha keras buat perusahaan bangkit lagi. Denger hal itu orang tua pacar gue langsung nyuruh gue putusin anaknya karena gue bakal jatuh miskin.” Doni kembali bercerita dengan mata berkaca-kaca, mengingat semua makian serta hinaan dari Ayah perempuan yang ia cintai dulu.

Nadia meremat ujung dress nya untuk menyalurkan rasa sesaknya, entah kenapa cerita Doni membuatnya merasa seperti ada diposisi lelaki itu.

“Akhirnya gue backstreet sama pacar gue, gak ada yang tau kalo gue masih pacaran sama dia. Gue juga mutusin buat keluar dari band dan bantuin Papah di perusahaan sambil ngerjain skripsi gue yang selalu ditolak dosen. Setelah itu perusahaan mulai membaik, sedikit demi sedikit. Dan gue juga dapet kabar baik karena akhirnya skripsi gue di acc dan tinggal nunggu sidang terus wisuda.”

“Tapi kebahagiaan itu gak bertahan lama, Papah jatuh sakit karena terlalu sering begadang dan telat makan. Dan disaat yang bersamaan gue dapet kabar kalo pacar gue mau nikah sama cowok pilihan orang tuanya.”

Doni menunduk seraya menahan diri untuk tidak menangis, air matanya sudah keluar dari pelupuk matanya namun ia menahan isakan nya. Nadia mencoba untuk menenangkan Doni kembali, jujur ia masih tak percaya bosnya itu menceritakan tentang kisah hidupnya pada Nadia yang baru bekerja untuk lelaki itu.

“Gue marah dan kecewa sama pacar gue karena dia gak bilang apa-apa ke gue soal itu. Gue merasa dikhianati, gue gak peduli sama apa yang mau dia jelasin ke gue dan milih buat pergi. Gue hilang arah, semua mimpi-mimpi gue sama pacar gue musnah gitu aja, semua obrolan kita soal masa depan cuma jadi bualan. And then gue jadi anak nakal, sering pergi malem pulang pagi. Pergi ke club, minum alkohol, ngerokok. Padahal kondisi keuangan keluarga gue belum begitu membaik.”

Doni menghirup udara sebanyak-banyaknya guna menghilangkan sesak didada, namun sesak itu masih membelenggu dirinya.

“Selama sebulan gue terus kayak gitu, Papah udah sering marahin gue karena gue jadi anak nakal. Tapi gue gak mau denger dan malah nyalahin Papah yang bikin perusahaan bangkrut dan bikin gue gak direstui orang tua pacar gue. Papah gue kaget waktu denger hal itu, dan bilang kalo dia mau ketemu orang tua pacar gue buat bicara baik-baik soal hubungan gue dan pacar gue, tapi gue malah makin murka dan bilang kalo pacar gue udah nikah sama pilihan orang tuanya.”

“Papah gue ngerasa bersalah, gue tau itu tapi gue gak peduli. Sampe akhirnya hari itu tiba, hari dimana jadi penyesalan gue seumur hidup.” Doni tercekat, tak bisa melanjutkan ucapannya namun berusaha untuk tetap terlihat tegar.

“Karena gue selalu pulang pagi, jadi Papah yang anter jemput sekolah Jihan. Sore itu gerimis, dan gue masih tidur di kasur gue dengan tenang sampe tiba-tiba Mamah buka pintu kamar gue dan bilang kalo mobil yang Papah gue bawa kecelakaan parah.”

Suara Doni semakin parau, Nadia dengan sigap memberikan sebotol air mineral untuk Doni yang diterima oleh lelaki itu dan langsung meminumnya.

“Gue sama Mamah langsung pergi ke rumah sakit, begitu sampe disana gue gak tau harus gimana. Mamah udah nangis sampe meraung-raung, takut anak sama suaminya gak selamat. Gue cuma bisa nenangin Mamah, belum 10 menit di UGD, dokter keluar dan bilang kalo Papah gue udah gak ada. Pergi ninggalin gue dan Mamah buat selama-lamanya.”

Nadia tercekat mendengar penuturan Doni, kini gadis itu mati-matian menahan air matanya agar tidak keluar. Kini akhirnya terjawab, mengapa netra indah Doni memancarkan kegundahan serta kesedihan yang tak berkesudahan. Nadia lantas memeluk lelaki yang juga sedang menahan tangisnya, merengkuhnya guna memberikan sandaran untuk Doni.

“Saat itu dunia gue runtuh Nad, pondasi hidup gue udah gak ada, hilang. Mamah makin nangis bahkan saat jenazah Papah dibawa keluar dari UGD Mamah jatuh pingsan. Perawat yang liat langsung bawa Mamah buat ditangani, sedangkan gue masih berdiri di depan pintu UGD nunggu kabar adek gue yang masih belum jelas. Sejam berlalu akhirnya dokter kasih tau kalo Jihan koma karena benturan keras dikepalanya. Gue bersyukur karena Jihan masih bertahan, tapi gue juga sedih karena Papah pergi.”

Doni akhirnya terisak dalam pelukan Nadia, gadis itu mengelus pelan punggung lebar Doni yang bergetar. Memberikan sedikit ketenangan untuk lelaki itu.

“Setelah itu perusahaan Papah gue yang pegang, Mamah mulai ikhlas Papah pergi dan fokus buat kesembuhan Jihan. Makin hari perusahaan Papah makin baik, gue juga akhirnya wisuda. Gue bertekad buat menebus kesalahan gue ke Papah dengan cara jadi anak yang baik, meskipun kadang gue masih suka ke club kalau lagi stress tapi gue berusaha untuk gak terlalu sering pergi kesana.”

Nadia mengangguk lalu menepuk beberapa kali punggung Doni pelan, “Lo hebat Doni, you did well. Verry well. Papah lo pasti bangga sama lo.” Ucap Nadia tulus. Doni melepas pelukannya dari Nadia lalu menatap gadis itu sanksi.

“Papah gue gak mungkin bangga ke gue, apalagi gue udah bikin dia sakit hati karena omongan gue waktu itu.” Doni menunduk begitu mengingat kembali sumpah serapah yang ia lontarkan pada mendiang Ayahnya.

“Doni, gue yakin Papah lo pasti bangga sama lo. Mungkin emang gak terlihat tapi beliau pasti merhatiin lo dari atas sana, ngeliat semua perjuangan lo buat bangkit dan nerusin perusahaan lo bahkan sampe rela ninggalin passion lo demi nerusin perusahaan beliau.” Tutur Nadia membuat Doni bergeming.

Mungkinkah sang Ayah bangga padanya?

Doni mengadahkan kepalanya keatas, berharap bisa melihat sang Ayah yang jauh disana. Lalu menatap kembali kepada Nadia, mata gadis itu sedikit memerah dan berair— sepertinya menahan tangis begitu mendengar ceritanya. Melihat keyakinan dimata gadis itu soal Ayahnya yang bangga pada dirinya.

Lelaki itu terkekeh pelan, “Makasih udah dengerin cerita gue dan ngasih semangat buat gue.”

Nadia mengangguk lalu mengacungkan kedua jempolnya pada Doni, “Bos Doni best boy!!”

Doni yang mendengar itu tertawa, Nadia pun sama, menertawakan diri sendiri. Lelaki itu mengelus pucuk kepala Nadia pelan, “Makasih banyak,” Ujar Doni sembari tersenyum.

“Gue harap lo selalu ada buat gue Nad. Jadi gue mohon, jangan pergi.” Monolog Doni dalam hati yang hanya bisa didengar oleh Tuhan dan dirinya sendiri.


200.


Come here, I just found a new recipe The flower, the bricks and the sea My intuition says you will like me And I don't know where should I be

And maybe you wanna be a star It may seem you wanna be in love I don't care it taking me apart But I just couldn't save you tonight

Lantunan lagu dari Ardhitho mengalun lembut di antara kedua insani yang tengah membelah jalanan tol Jagorawi, si lelaki di kursi kemudi sementara si perempuan duduk disamping kursi kemudi.

Dua insani itu— Doni dan Nadia, begitu menikmati perjalanan mereka meskipun Nadia belum tau akan dibawa kemana ia oleh bosnya itu.

“Ini kita sebenernya mau kemana?” Tanya Nadia yang sudah tak bisa membendung rasa penasarannya.

“Bogor.” Balas Doni sembari membelokkan arah mobilnya ke jalan menuju kota Bogor.

Mendengar jawaban itu, mata Nadia terbeliak. Terkejut karena tiba-tiba diajak ke tempat asalnya ia rindukan namun enggan untuk pulang.

Melihat Nadia yang terkejut membuat Doni terkekeh kecil, “Kenapa? Kita refreshing ke kebun raya, suka tempat itu kan?“.

Ekspresi Nadia berubah drastis dari terkejut menjadi berbinar. Ya, Nadia sangat suka tempat itu. Penuh pepohonan yang menjulang tinggi, serta bunga yang bermekaran. Dari seluruh penjuru kota Bogor, hanya kebun raya tempat terfavorit untuk Nadia.

Damn, I like me better when I'm with you I like me better when I'm with you I knew from the first time I'd stay for a long time 'cause I like me better when I like me better when I'm with you

Kali ini lagu dari Lauv yang terdengar di dalam mobil Doni, begitu cocok untuk suasana saat ini atau mungkin untuk perasaan keduanya— entahlah.

Mata Nadia makin berbinar begitu mereka sampai di depan pintu masuk kebun raya, Doni berhenti tepat di pembelian tiket masuk lalu kembali menjalankan mobilnya masuk ke dalam kebun raya. Mobil berhenti setelah berada di lahan parkir, Doni mengajak Nadia untuk segera turun. Tak lupa membawa bawaan yang berada di jok belakang mobil.

Nadia sempat terkejut karena Doni mempersiapkan semuanya sendiri, bahkan memasak makanan yang ada di dalam keranjang yang tengah Nadia bawa. Keranjang itu berisi sandwich, salad buah, bento serta cemilan yang mereka beli di rest area tadi.

“Tuh kita duduk disana aja.” Tunjuk Doni pada sebuah tempat dengan rumput hijau yang luas serta pohon besar di ujung, terdapat sebuah gazebo kecil dibawah pohon itu sementara dari arahnya datang terdapat sebuah lorong menyamping disertai bangku-bangku dari semen serta di payungi tumbuhan merambat disepanjang lorong. Nadia bahkan bisa melihat jalanan kota yang begitu ramai dari sini.

“Gak mau disitu aja?” Nadia menunjuk lorong yang di payungi tumbuhan merambat di sampingnya.

Doni menggeleng, “Kita kan mau piknik, udah bawa kain ala-ala piknik juga buat alas duduk. Di sana aja, lagian adem gak panas.” Ucap Doni sembari menggandeng tangan Nadia untuk segera berjalan menuju tengah-tengah rerumputan hijau yang menyejukkan mata.

Nadia hanya pasrah mengikuti Doni dari belakang, lalu memperhatikan Doni yang tengah merentangkan kain ke bawah untuk mereka duduki nanti. Nadia menaruh tote bag berisi cemilan keatas kain lalu kemudian menaruh keranjang berisi makanan yang telah Doni buat.

“Lo kayaknya niat banget ya buat piknik kesini?” Tanya Nadia heran, Doni hanya mengedikkan bahu.

“Pengen refreshing aja sih, tapi gak mau sendiri.” Ucap Doni sembari membuka Coca-Cola miliknya lalu meneguk minumam bersoda itu.

“Lagian lo suka tempat ini kan, makanya gue ajakin lo kesini. Kayaknya lo juga butuh refreshing.” Sambung Doni sedangkan Nadia hanya diam saja, entah karena suasana yang begitu tenang ini atau tak tau harus membalas apa dari pernyataan Doni barusan.

Untuk beberapa saat hanya terdengar hembusan angin yang berhembus pelan melewati keduanya, hiruk-pikuk orang-orang disekitar yang juga tengah bersantai sembari mengobrol pun tak jua menyadarkan keduanya dari pikiran masing-masing.

Nadia begitu banyak menghirup udara segar disini, merindukan bau udara yang bercampur bau tanaman serta tanah lembab yang begitu menyegarkan paru-parunya.

“Nad.”

“Hmm?”

Nadia menoleh begitu mendengar namanya dipanggil oleh lelaki di sampingnya, menunggu si pemilik gummy smile itu mengeluarkan kata-kata yang hendak ia sampaikan pada Nadia.

“Gue mau cerita,” Doni mengubah posisi duduknya menjadi berhadapan dengan Nadia. Sementara gadis itu mengangkat satu alisnya bingung sembari menunggu Doni melanjutkan ucapannya.

“Tapi nanti, kita makan dulu.” Sambung Doni membuat Nadia mencebik, mengetahui hal itu Doni terkekeh geli. Lucu —pikirnya.

Gadis itu mengangguk lalu membuka keranjang berisi makanan yang telah Doni buat untuk mereka berdua.