jejeuniverse

just my imagination ✨

Hasan Rara 🔞

Syarat


Dor!!

Cup

“Nghhh.”

Suara decapan antara bibir yang bertaut itu terdengar lagi, untuk kesekian kalinya dalam waktu satu setengah jam terakhir. Rara mendorong bahu Hasan agar menjauh, ia hampir kehabisan nafas.

“San— “

DOR!!

Cup

“Mmhhh...san plis— udah dulu.” Mohon Rara yang kewalahan mengimbangi permainan bibir Hasan.

“Kamu yang nantangin masa kamu yang nyerah sih?” Ucap Hasan setengah meledek pada Rara.

Gadis itu mencebik, “Ya aku mana tau banyak banget suara tembakannya.”

Tapi Hasan tidak peduli, lelaki itu kembali melumat bibir ranum Rara yang sudah membengkak akibat perbuatannya. Sedangkan Rara hanya bisa memukul dada Hasan beberapa kali guna membuat Hasan menghentikan ciumannya, namun sepertinya yang kita tahu itu tidak akan berhasil.

“Haahhhh...udah ahh gak mau lagi bibir aku kebas gara-gara kamu isep terus.” Protes Rara yang di balas tawa renyah dari Hasan.

“Ya udah deh kalo gitu, tapi sebagai gantinya kita taruhan mau gak?” Tawar Hasan.

“Taruhannya apa dulu?” Tanya Rara was-was.

“Menurut kamu kira-kira siapa yang bakal menang di film ini?” Ujar Hasan sembari menatap layar laptop Rara yang menampilkan serial yang sedang mereka tonton.

“Kalo kamu menang, kamu mau apa aja aku tirutin. Tapi kalo kamu kalah, harus nurut apa yang aku mau hari ini. Gimana?” Sambung Hasan.

Rara diam sembari menimbang-nimbang tawaran dari Hasan, boleh juga— pikirnya.

“Oke deal! Aku pilih kakek-kakek itu yang nomer satu.” Ucap Rara yakin. Peran utama selalu jadi nomor satu kan?

“Aku yang nomer 456.” Ujar Hasan sembari menunjuk aktor dengan jaket hijau bernomor 456.

“Kita liat siapa yang menang nanti.”


“TUH LIAT!! DIBILANG YANG NOMER 456 YANG MENANG, NGEYEL BANGET DIKASIH TAUNYA.”

“KAMU UDAH TAU KAN SEBENERNYA SIAPA YANG MENANG, AYO NGAKU!!”

Perdebatan antara Hasan dan Rara terjadi setelah kemenangan 456, yang artinya Hasan lah pemenang taruhan kali ini. Rara sudah menggerutu setelah tahu si kakek yang ia pilih ternyata mati di episode 6 namun tidak mau menyerah begitu saja. Ia harus memastikan bahwa nomer 456 yang memenangkan game gila itu, dan ya— Rara makin menggerutu setelah tau siapa pemenangnya hingga akhirnya berdebat dengan Hasan.

“Aku emang dikasih spoiler sama Reno— “

“Tuh kan!! Gak asih ahh kamu udah tau duluan— LAH KOK ITU KAKEKNYA MASIH IDUP?!”

Rara memekik sembari menunjuk layar di depannya, Hasan pun mengikuti Rara menatap laptop yang masih memutar serial yang tadi mereka tonton.

“Lahh iya kok bisa?” Tanya Hasan heran. Akhirnya keduanya kembali fokus pada laptop Rara.

“Ihh kok endingnya gitu sih?” Protes Rara.

“Protes mulu kamu, udah ayo sini kamu harus nurut apa yang aku bilang.” Ucap Hasan menarik pelan tangan Rara untuk mendekat.

“Eh apaan? Itu kan kakeknya gak mati, baru mati tadi.”

“Tapi tetep kalah kan? Udah sini cepetan.”

Hasan membalikkan badan ramping Rara agar menghadapnya, lalu mengisyaratkan agar Rara membuka bajunya. Sembari mencebik Rara membuka baju atasnya, menyisakan bra berwarna nude yang begitu pas menampung payudaranya. Hasan kemudian menatap celana pendek yang Rara kenakan— menyuruhnya untuk menanggalkan celana pendek yang melekat di tubuh bagian bawahnya.

Setelah melepas celananya, Rara kembali duduk menghadap Hasan. Wajah cantiknya agak ditekuk, sebal pada Hasan yang saat ini sedang memasang wajah tengilnya.

“Yuk olahraga, kasian dari kemaren udah tegangan tinggi.” Ujar Hasan menatap celananya yang menggembung entah sejak kapan, Rara yang melihat itu hanya bisa menahan tawanya.

Cup

Lelaki itu kembali mencium bibir Rara, mengecap kembali bibir yang menjadi candu untuknya. Tangannya tak tinggal diam, beranjak naik menuju payudara sekal Rara yang begitu pas ditangan besar Hasan. Meremasnya gemas sesekali menggoyangkannya naik turun.

Rara yang menerima perlakuan itu hanya bisa mendesah tertahan akibat ciuman Hasan, lelaki itu masih enggan melepaskan bibirnya dari bibir Rara.

“Mmhhh...san...hhhhhh.”

Bibir Hasan kini beralih pada leher jenjang Rara, mengecup hingga menjilati hingga basah. Makin turun dan bertemu dengan gunung kembar milik Rara, dinaikannya bra berwarna nude itu tanpa melepaskan pengaitnya. Mengecup tepat di puncak payudara hingga membuat sang empunya menggeliat dan melenguh kegelian.

AKKHHHH!! Jangan di gigit.”

Tak menghiraukan pekikan Rara, Hasan malah makin menggigit puting mungil itu. Rara merasakan ngilu luar biasa pada putingnya namun begitu Hasan menghisapnya, gadis itu kehilangan kendali. Menarik rambut Hasan pelan guna menyalurkan rasa nikmat luar biasa pada putingnya, Rara bahkan beberapa kali menekan kepala Hasan agar makin tenggelam di dadanya.

Puas dengan kedua payudara Rara, bibir Hasan turun menuju perut ramping itu. Terus turun sembari menjilat sesekali memberi tanda disana. Hingga akhirnya sampai di pusat tubuh Rara, tangan Hasan menyentuh bagian luar celana dalam yang dipakai Rara. Sudah basah, gadis itu sudah siap.

“69 Ra.” Ujar Hasan yang langsung mengubah posisi berlawanan arah.

Rara berbaring dengan penis Hasan tepat di depan mulutnya, sedangkan wajah Hasan sudah siap untuk memuaskan lubang surgawi milik Rara. Hasan mulai mengecup vagina Rara, di elusnya dari atas ke bawah dan begitu seterusnya. Sesekali menekan benjolan kecil penuh syaraf hinggak membuat Rara menggelinjang kegelian. Sedangkan Rara mulai mengocok batang tegang milik Hasan, menyentuh kepala penis yang seperti jamur itu memancing cairan percum untuk keluar.

“*Aarrghhhh”...mulut kamu anget banget Ra shhh.”

Mendengar itu Rara makin semangat untuk memasukan penis Hasan lebih dalam lagi kedalam mulutnya. Sementara itu Hasan mulai memasukan jarinya ke dalam lubang basah Rara, mengocoknya dengan tempo acak serta menjilat dan menghisap klitoris Rara hingga membengkak karena terangsang.

“Hhmmmppp...ahh...mmhhhh.”

Hasan dengan sengaja menekan pantatnya kebawah hingga membuat penisnya makin masuk kedalam mulut Rara hingga menyentuh kerongkongan. Sensasi yang Hasan dapatkan membuatnya makin tak bisa menahan diri lagi untuk memasuki vagina Rara, maka dari itu Hasan melepaskan penisnya dari mulut Rara dan mengarahkannya ke lubang surgawi milik Rara. Meletakkan kedua kaki Rara dipundaknya sebelum akhirnya bergerak.

“Sshhhh...ahh...masih sempit...ah.”

“Pelan san— aahhhh...ahh...nghhh.”

Desahan Rara makin menjadi saat Hasan menggerakkan pinggulnya naik turun tanpa ampun, suara desahan serta kulit yang beradu memenuhi kamar milik gadis cantik itu.

“Ahhng...ahh Ra...akhhh.”

“AHHH...AAHHH...NGHHH...AKU— AKU MAU AAAHHHHHH.”

Rara orgasme untuk pertama kalinya, namun Hasan sama sekali tidak memberi jeda untuknya menikmati sisa kenikmatan yang baru saja ia raih membuat Rara kewalahan menerima genjotan Hasan yang makin lama makin cepat.

“Sebentar lagi— tunggu...aahhhh.

“Hasan ahhh...udah plishh...ahh...aahhh.”

“HHNGGG...AAHHH...OUHHH...AAAAHHHHHH.”

“AARRGHHHH!!”

Baik Hasan maupun Rara, keduanya masih sibuk mengatur nafas setelah pergumulan panas tadi. Hasan masih sedikit menggerakkan pinggulnya untuk mengeluarkan semua cairan miliknya agar masuk ke dalam lubang Rara. Sedangkan Rara hampir menangis karena dua kali orgasme diwaktu yang berdekatan, itu benar-benar nikmat meskipun sangat menguras tenaga.

“Bobo yuk, capek.” Ajak Hasan yang hanya diangguki oleh Rara. Hasan mendekap erat tubuh telanjang Rara lalu memakai selimut guna menutupi seluruh tubuh mereka berdua.


14-10-2021

187.


Tring~

Bel yang berada di atas pintu itu berbunyi, menandakan seseorang baru saja memasuki coffee shop yang cukup ramai pengunjung sore ini. Berjalan menuju kasir untuk memesan kopi dan sepotong kue, namun dahi nya berkerut bingung melihat tidak ada perempuan yang ia cari disana.

“Lagi ke toilet kali.” Pikirannya.

Xabilla melanjutkan langkahnya, dan menghampiri seorang laki-laki yang sedang menjaga kasir.

“Selamat sore, mau pesan apa kak?” Tanya Jevan yang tengah menjaga kasir.

Ice Americano satu sama Lemon Mascarpone Crepe Cake satu.” Ujar Xabilla yang langsung diangguki oleh Jevano.

“Eh, udah dateng?” Tanya lelaki yang baru saja turun dari lantai dua coffee shop, itu Johnny— kakak sepupu Xabilla sekaligus pemilik coffee shop ini.

“Baru datang kok kak, nih baru pesen kopi.” Ucap Xabilla pada Johnny.

“Oh oke, ngobrolnya mau di office kakak atau mau di sini aja?” Tanyanya lagi, Xabilla seperti menimbang-nimbang sebelum menjawab pertanyaan Johnny.

“Di sini aja deh sekalian mau ketemu Nadia, dia masuk kerja kan?”

Lelaki disamping Xabilla itu mengerutkan keningnya bingung, “Loh? Emang Nadia gak bilang ke kamu?” Tanya lelaki jangkung itu.

“Hah? Bilang apa?” Xabilla terdiam sejenak, apalagi yang Nadia sembunyikan darinya.

“Ya udah kita ngobrol di office kakak aja kalo gitu.” Ajak Johnny yang melihat perubahan ekspresi adik sepupunya itu lalu menggiring Xabilla menuju kantornya.


Langkah kaki Xabilla begitu terburu-buru, ingin segera sampai di unit apartemennya dimana Nadia dan Lili berada. Nafasnya memburu karena berjalan terburu-buru serta menahan amarah yang hampir meledak.

Setelah sampai didepan pintu, ia menekan tombol guna memasukan password agar pintu itu terbuka. Begitu terbuka ia berjalan santai kedalam unit itu, mendapati Lili yang tengah menonton televisi sembari memakai sheet mask.

Astagfirullah— ish ngagetin kirain siapa.” Cebik gadis itu yang terkejut melihat kedatangan Xabilla. Sedangkan Xabilla hanya tersenyum menanggapi cebikan Lili.

“Tumben kesini gak chat dulu.” Ucap Lili yang masih sibuk dengan maskernya.

“Pengen aja sih, lagian ini apart gue.”

Mendengar itu Lili mendelik, “Iye tau iye, orang kaya mah bebas.”

“Udah makan belum? Mau gue masakin gak? Sekalian buat Nanad.” Tanya Lili yang diangguki oleh Xabilla.

“Nanad mana?”

“Ada dikamar, baru balik tadi.”

Sesudah mengucapkan itu, Lili beranjak menuju dapur setelah melepaskan sheet mask dari wajah cantiknya. Sementara itu Xabilla tengah menahan amarahnya untuk tidak meledak begitu saja.

Beberapa menit kemudian, Nadia keluar dari dalam kamarnya dan turun menuju lantai bawah mendapati Xabilla tengah duduk di sofa ruang tengah seorang diri.

“Loh, sejak kapan ada disini? Tumben gak bilang di grup chat kalo mau kesini.” Tanya Nadia pada Xabilla namun tak di gubris oleh perempuan itu.

Melihat pertanyaannya tak diindahkan, Nadia memilih diam tak bertanya lagi. Duduk di sebrang sofa yang Xabilla duduki lalu memperhatikan sahabatnya itu.

“Bibil kenapa ya?” Tanya Nadia dalam hati, menerka-nerka apa ada yang salah dengannya.

Menit berlalu begitu saja tanpa adanya percakapan dari kedua gadis yang berada di ruang tengah itu, hingga akhirnya Lili kembali dari dapur untuk memanggil Xabilla karena makanan sudah siap. Gadis itu menghentikan langkahnya begitu melihat kesunyian diantara kedua sahabatnya.

“Heh kok pada diem sih? Biasanya juga rame. Ada apa?” Tanya Lili heran.

Namun tak ada satupun suara yang menjawab pertanyaan Lili, sampai akhirnya Xabilla mendengus lalu menatap tajam Nadia.

“Gak ada yang mau lo kasih tau ke gue sama Lili gitu?” Tanya Xabilla sarkas. Nadia bergeming, ia bingung dengan maksud pertanyaan Xabilla.

“Maksud lo apa Bil?”

“Hah? Kenap— “

“Beneran gak ada yang mau lo kasih tau ke kita? Harus banget gitu gue tau dari orang lain, bukan dari lo sendiri? Harus banget gitu gue tau dari adek lo, bukan dari lo sendiri?!” Tanya Xabilla yang terlihat sangat marah pada Nadia.

Sedangkan Lili hanya bisa terdiam tak mengerti apa yang dibicarakan Xabilla pada Nadia.

“Ada apa sih sebenarnya?”

“Lo tanya nih sama dia, dapet dari mana duit buat operasi mamahnya. Bukan dari sodara lo kan? Lo bilang ke kita lo dapet duit dari sodara lo sedangkan lo bilang ke keluarga lo dapet duit itu dari gue.” Tutur Xabilla dengan emosi yang makin menjadi saat mengatakan apa yang ia pendam selama dua minggu lebih.

Lili menatap Nadia dengan tatapan meminta penjelasan, “Nad jujur, bener apa yang di bilang Bibil?” Tanya Lili yang mencoba untuk mengontrol emosinya agar tidak meledak seperti Xabilla.

Nadia hanya diam tak bisa menjawab pertanyaan Lili maupun Xabilla, ia tak tau harus menjawab apa. Apalagi mendengar Xabilla membentaknya, Nadia makin ciut. Sedari dulu gadis itu memang tak bisa dibentak sedikit saja.

Kesabaran Xabilla mulai habis, menatap tajam Nadia yang sedang menunduk. Sementara itu Lili yang masih syok mengetahui kebenaran ini hanya terdiam mencerna semua perkataan Xabilla.

“Udah berapa kali sih gue bilang kalo lo butuh sesuatu bilang ke gue atau Lili, siapa tau kita bisa bantu. Gak usah sungkan emang kita sahabatan udah berapa tahun sih? Kalo lo bohong kayak gini lo bukan cuma nyakitin orang tua lo tapi juga kita berdua sebagai sahabat lo. Ngerasa gak berguna banget gue gak bisa nolong sahabat sendiri pas lagi susah.” Jelas Xabilla dengan emosi setengah mati.

Xabilla bukan ingin dianggap kaya raya atau ingin Nadia bisa membalas budinya dengan melalukan apapun yang ia mau. Tidak. Xabilla hanya ingin membatu sahabatnya itu, entah Nadia akan mengembalikan uangnya yang sudah dipinjamnya atau tidak, ia tidak peduli. Ia hanya ingin berguna untuk orang yang selalu ada untuknya ketika tak ada yang mau menjadi sandaran untuknya kala Xabilla merasa terpuruk oleh kehidupannya yang menurutnya seperti bajingan.

“Sekarang gue tanya dari mana lo dapet uang sebanyak itu? Kenapa lo berhenti kerja di cafe kak Jo, kerja dimana lo sekarang?”

Nihil, Nadia tak menjawab pertanyaan Xabilla. Bukannya tak mau memberitahu, ia hanya bingung harus mulai bercerita dari mana.

“JAWAB GUE NADIA, PUNYA MULUT KAN LO?!” Ucap Xabilla murka, membuat Nadia mati-matian menahan tangisnya agar tidak keluar.

Lili menahan Xabilla yang hampir mendorong tubuh Nadia, gadis itu memang marah pada Nadia namun mencoba untuk tidak melakukan tindakan diluar kendalinya.

“Bil udah, jangan sampe main kasar. Gue juga marah sama Nadia tapi jangan kasar.” Ucap Lili pada Xabilla lalu beralih menatap Nadia dengan tatapan kecewa.

“Nad gue selalu cerita semua masalah gue ke lo, karena gue percaya sama lo. Terus kenapa masalah kayak gini lo gak cerita ke gue padahal lo tinggal sama gue.”

“M-maaf....” Ucap Nadia lirih. Suaranya bergetar, mulai terisak karena tak bisa menahan tangisnya yang memaksa untuk keluar.

“Ayo Lil, lo ikut gue. Gue gak mau ketemu sama lo sampe lo jelasin semuanya ke gue sama Lili.” Ujar Xabilla sembari manarik lengan Lili untuk pergi dari apartemen itu.

Meninggalkan Nadia sendiri di apartemen itu dengan perasaan bersalah. Harusnya ia tahu ketika Sigit bertanya pada Xabilla, dirinya harus segera menjelaskan semuanya. Namun perasaannya saat itu kalut memikirkan bagaimana cara untuk mendapatkan uang sebanyak itu tanpa merepotkan Xabilla, sudah terlalu sering Nadia merepotkan sahabatnya itu. Ia tak enak hati.

Setelah kepergian Lili dan Xabilla, gadis itu tak bisa menahan tangisnya. Nadia berjongkok dan menundukkan kepalanya pada lutut guna meredam suara tangisannya, namun nihil suara memilukan itu tetap terdengar di ruangan kosong ini.

Cukup lama diposisi seperti itu, Nadia akhirnya bangkit. Berjalan menuju balkon apartemen dan duduk sembari memeluk lututnya.

Didalam begitu sesak, ia butuh udara segar. Tak peduli dinginnya malam yang begitu menusuk kulitnya, ia hanya akan masuk angin atau paling parah demam, mengingat rambutnya masih basah karena habis mandi tadi.

“Maaf...”

“Maafin gue...hiks...”

“Maaf...”

Tak henti-hentinya Nadia mengucapkan kata maaf dengan air mata yang masih mengalir, gadis itu berantakan. Luar dan dalam. Yang hanya bisa ia lakukan hanya menangis untuk saat ini, merutuki dirinya sendiri karena sudah melukai perasaan orang-orang yang mempercayainya.

Yang tanpa disadari Nadia ada seseorang yang memperhatikannya sedari tadi, hanya bisa diam tanpa bisa melakukan apapun ketika melihat mata indah itu mengeluarkan cairan bening penuh penyesalan. Lalu bergumam pelan tanpa disadari dan menjadi sebuah janji yang harus dirinya tepati nanti.

“Jangan nangis Nad, gue gak akan biarin lo nangis lagi kayak malem ini. Gue janji.”

187.


Tring~

Bel yang berada di atas pintu itu berbunyi, menandakan seseorang baru saja memasuki coffee shop yang cukup ramai pengunjung sore ini. Berjalan menuju kasir untuk memesan kopi dan sepotong kue, namun dahi nya berkerut bingung melihat tidak ada perempuan yang ia cari disana.

“Lagi ke toilet kali.” Pikirannya.

Xabilla melanjutkan langkahnya, dan menghampiri seorang laki-laki yang sedang menjaga kasir.

“Selamat sore, mau pesan apa kak?” Tanya Jevan yang tengah menjaga kasir.

Ice Americano satu sama Lemon Mascarpone Crepe Cake satu.” Ujar Xabilla yang langsung diangguki oleh Jevano.

“Eh, udah dateng?” Tanya lelaki yang baru saja turun dari lantai dua coffee shop, itu Johnny— kakak sepupu Xabilla sekaligus pemilik coffee shop ini.

“Baru datang kok kak, nih baru pesen kopi.” Ucap Xabilla pada Johnny.

“Oh oke, ngobrolnya mau di office kakak atau mau di sini aja?” Tanyanya lagi, Xabilla seperti menimbang-nimbang sebelum menjawab pertanyaan Johnny.

“Di sini aja deh sekalian mau ketemu Nadia, dia masuk kerja kan?”

Lelaki disamping Xabilla itu mengerutkan keningnya bingung, “Loh? Emang Nadia gak bilang ke kamu?” Tanya lelaki jangkung itu.

“Hah? Bilang apa?” Xabilla terdiam sejenak, apalagi yang Nadia sembunyikan darinya.

“Ya udah kita ngobrol di office kakak aja kalo gitu.” Ajak Johnny yang melihat perubahan ekspresi adik sepupunya itu lalu menggiring Xabilla menuju kantornya.


Langkah kaki Xabilla begitu terburu-buru, ingin segera sampai di unit apartemennya dimana Nadia dan Lili berada. Nafasnya memburu karena berjalan terburu-buru serta menahan amarah yang hampir meledak.

Setelah sampai didepan pintu, ia menekan tombol guna memasukan password agar pintu itu terbuka. Begitu terbuka ia berjalan santai kedalam unit itu, mendapati Lili yang tengah menonton televisi sembari memakai sheet mask.

Astagfirullah— ish ngagetin kirain siapa.” Cebik gadis itu yang terkejut melihat kedatangan Xabilla. Sedangkan Xabilla hanya tersenyum menanggapi cebikan Lili.

“Tumben kesini gak chat dulu.” Ucap Lili yang masih sibuk dengan maskernya.

“Pengen aja sih, lagian ini apart gue.”

Mendengar itu Lili mendelik, “Iye tau iye, orang kaya mah bebas.”

“Udah makan belum? Mau gue masakin gak? Sekalian buat Nanad.” Tanya Lili yang diangguki oleh Xabilla.

“Nanad mana?”

“Ada dikamar, baru balik tadi.”

Sesudah mengucapkan itu, Lili beranjak menuju dapur setelah melepaskan sheet mask dari wajah cantiknya. Sementara itu Xabilla tengah menahan amarahnya untuk tidak meledak begitu saja.

Beberapa menit kemudian, Nadia keluar dari dalam kamarnya dan turun menuju lantai bawah mendapati Xabilla tengah duduk di sofa ruang tengah seorang diri.

“Loh, sejak kapan ada disini? Tumben gak bilang di grup chat kalo mau kesini.” Tanya Nadia pada Xabilla namun tak di gubris oleh perempuan itu.

Melihat pertanyaannya tak diindahkan, Nadia memilih diam tak bertanya lagi. Duduk di sebrang sofa yang Xabilla duduki lalu memperhatikan sahabatnya itu.

“Bibil kenapa ya?” Tanya Nadia dalam hati, menerka-nerka apa ada yang salah dengannya.

Menit berlalu begitu saja tanpa adanya percakapan dari kedua gadis yang berada di ruang tengah itu, hingga akhirnya Lili kembali dari dapur untuk memanggil Xabilla karena makanan sudah siap. Gadis itu menghentikan langkahnya begitu melihat kesunyian diantara kedua sahabatnya.

“Heh kok pada diem sih? Biasanya juga rame. Ada apa?” Tanya Lili heran.

Namun tak ada satupun suara yang menjawab pertanyaan Lili, sampai akhirnya Xabilla mendengus lalu menatap tajam Nadia.

“Gak ada yang mau lo kasih tau ke gue sama Lili gitu?” Tanya Xabilla sarkas. Nadia bergeming, ia bingung dengan maksud pertanyaan Xabilla.

“Maksud lo apa Bil?”

“Hah? Kenap— “

“Beneran gak ada yang mau lo kasih tau ke kita? Harus banget gitu gue tau dari orang lain, bukan dari lo sendiri? Harus banget gitu gue tau dari adek lo, bukan dari lo sendiri?!” Tanya Xabilla yang terlihat sangat marah pada Nadia.

Sedangkan Lili hanya bisa terdiam tak mengerti apa yang dibicarakan Xabilla pada Nadia.

“Ada apa sih sebenarnya?”

“Lo tanya nih sama dia, dapet dari mana duit buat operasi mamahnya. Bukan dari sodara lo kan? Lo bilang ke kita lo dapet duit dari sodara lo sedangkan lo bilang ke keluarga lo dapet duit itu dari gue.” Tutur Xabilla dengan emosi yang makin menjadi saat mengatakan apa yang ia pendam selama dua minggu lebih.

Lili menatap Nadia dengan tatapan meminta penjelasan, “Nad jujur, bener apa yang di bilang Bibil?” Tanya Lili yang mencoba untuk mengontrol emosinya agar tidak meledak seperti Xabilla.

Nadia hanya diam tak bisa menjawab pertanyaan Lili maupun Xabilla, ia tak tau harus menjawab apa. Apalagi mendengar Xabilla membentaknya, Nadia makin ciut. Sedari dulu gadis itu memang tak bisa dibentak sedikit saja.

Kesabaran Xabilla mulai habis, menatap tajam Nadia yang sedang menunduk. Sementara itu Lili yang masih syok mengetahui kebenaran ini hanya terdiam mencerna semua perkataan Xabilla.

“Udah berapa kali sih gue bilang kalo lo butuh sesuatu bilang ke gue atau Lili, siapa tau kita bisa bantu. Gak usah sungkan emang kita sahabatan udah berapa tahun sih? Kalo lo bohong kayak gini lo bukan cuma nyakitin orang tua lo tapi juga kita berdua sebagai sahabat lo. Ngerasa gak berguna banget gue gak bisa nolong sahabat sendiri pas lagi susah.” Jelas Xabilla dengan emosi setengah mati.

Xabilla bukan ingin dianggap kaya raya atau ingin Nadia bisa membalas budinya dengan melalukan apapun yang ia mau. Tidak. Xabilla hanya ingin membatu sahabatnya itu, entah Nadia akan mengembalikan uangnya yang sudah dipinjamnya atau tidak, ia tidak peduli. Ia hanya ingin berguna untuk orang yang selalu ada untuknya ketika tak ada yang mau menjadi sandaran untuknya kala Xabilla merasa terpuruk oleh kehidupannya yang menurutnya seperti bajingan.

“Sekarang gue tanya dari mana lo dapet uang sebanyak itu? Kenapa lo berhenti kerja di cafe kak Jo, kerja dimana lo sekarang?”

Nihil, Nadia tak menjawab pertanyaan Xabilla. Bukannya tak mau memberitahu, ia hanya bingung harus mulai bercerita dari mana.

“JAWAB GUE NADIA, PUNYA MULUT KAN LO?!” Ucap Xabilla murka, membuat Nadia mati-matian menahan tangisnya agar tidak keluar.

Lili menahan Xabilla yang hampir mendorong tubuh Nadia, gadis itu memang marah pada Nadia namun mencoba untuk tidak melakukan tindakan diluar kendalinya.

“Bil udah, jangan sampe main kasar. Gue juga marah sama Nadia tapi jangan kasar.” Ucap Lili pada Xabilla lalu beralih menatap Nadia dengan tatapan kecewa.

“Nad gue selalu cerita semua masalah gue ke lo, karena gue percaya sama lo. Terus kenapa masalah kayak gini lo gak cerita ke gue padahal lo tinggal sama gue.”

“M-maaf....” Ucap Nadia lirih. Suaranya bergetar, mulai terisak karena tak bisa menahan tangisnya yang memaksa untuk keluar.

“Ayo Lil, lo ikut gue. Gue gak mau ketemu sama lo sampe lo jelasin semuanya ke gue sama Lili.” Ujar Xabilla sembari manarik lengan Lili untuk pergi dari apartemen itu.

Meninggalkan Nadia sendiri di apartemen itu dengan perasaan bersalah. Harusnya ia tahu ketika Sigit bertanya pada Xabilla, dirinya harus segera menjelaskan semuanya. Namun perasaannya saat itu kalut memikirkan bagaimana cara untuk mendapatkan uang sebanyak itu tanpa merepotkan Xabilla, sudah terlalu sering Nadia merepotkan sahabatnya itu. Ia tak enak hati.

Setelah kepergian Lili dan Xabilla, gadis itu tak bisa menahan tangisnya. Nadia berjongkok dan menundukkan kepalanya pada lutut guna meredam suara tangisannya, namun nihil suara memilukan itu tetap terdengar di ruangan kosong ini.

Cukup lama diposisi seperti itu, Nadia akhirnya bangkit. Berjalan menuju balkon apartemen dan duduk sembari memeluk lututnya.

Didalam begitu sesak, ia butuh udara segar. Tak peduli dinginnya malam yang begitu menusuk kulitnya, ia hanya akan masuk angin atau paling parah demam, mengingat rambutnya masih basah karena habis mandi tadi.

“Maaf...”

“Maafin gue...hiks...”

“Maaf...”

Tak henti-hentinya Nadia mengucapkan kata maaf dengan air mata yang masih mengalir, gadis itu berantakan. Luar dan dalam. Yang hanya bisa ia lakukan hanya menangis untuk saat ini, merutuki dirinya sendiri karena sudah melukai perasaan orang-orang yang mempercayainya.

Yang tanpa disadari Nadia ada seseorang yang memperhatikannya sedari tadi, hanya bisa diam tanpa bisa melakukan apapun ketika melihat mata indah itu mengeluarkan cairan bening penuh penyesalan. Lalu bergumam pelan tanpa disadari dan menjadi sebuah janji yang harus dirinya tepati nanti.

“Jangan nangis Nad, gue gak akan biarin lo nangis lagi kayak malem ini. Gue janji.”

[]!(https://i.imgur.com/86K3pat.jpg)

184.


Nadia kembali memeriksa bawaannya sebelum keluar dari taksi online yang ia pesan untuk membawa makan siang Doni.

“Makasih ya pak.” Ucapnya sebelum menutup pintu mobil lalu pergi menuju gedung dihadapannya.

Gadis itu berjalan menenteng tote bag berisi makan siang Doni, air putih serta buah. Nadia menghentikan langkahnya saat sampai di resepsionis, membalas senyuman sang resepsionis yang tersenyum begitu ramah.

“Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?” Tanya resepsionis itu pada Nadia.

“Saya mau bertemu Doni.” Jawab Nadia.

“Bapak Doni Sagara?” Tanya si resepsionis lagi yang dijawab anggukan kepala oleh Nadia.

“Sudah membuat janji sebelumnya?”

“Iya sudah.”

“Atas nama siapa?”

“Nadia.”

“Baik, tunggu sebentar.”

Resepsionis itu lalu beralih mengangkat telepon dan menekan angka satu, tak lama sambungan terhubung. Resepsionis cantik dengan rambut coklat disanggul rapi itu menyampaikan hal yang membuat dirinya harus menelpon orang diseberang sana.

“Baik pak, maaf mengganggu waktu anda. Selamat siang, terimakasih.” Telpon di tutup, lalu sang resepsionis kembali menatap Nadia, “Silahkan ke lantai 9, ruangan bapak Sagara ada disana.” Ucapnya mempersilahkan Nadia untuk pergi menuju lift.

“Terimakasih.”

Nadia masuk kedalam lift, menekan angka 9 sebagai mana arahan resepsionis tadi. Didalam lift, kegugupan melingkupi Nadia. Ia takut Doni tidak suka masakannya, sebenarnya gadis itu sudah mencoba beef teriyaki buatannya, tidak buruk namun tetap saja dirinya khawatir. Bisa saja Doni tidak suka, lelaki itu biasa makan makanan mahal.

Tanpa Nadia sadari, ia sudah sampai di lantai 9. Bergegas berjalan menuju meja di sebelah pintu besar, meja itu terdapat satu orang lelaki tampan yang tengah berkutat dengan komputer yang menyala dihadapannya.

“Permisi.” Sapa Nadia perlahan, membuat atensi si lelaki itu teralihkan. Pantas tak mendengar langkah kaki Nadia, ternyata lelaki itu tengah memakai headset.

Lelaki itu menatap Nadia dengan tatapan mengintimidasi, menatapnya dari atas hingga bawah. Dahinya mengerut bingung, seperti pernah melihat perempuan dihadapannya namun lupa dimana.

Paham dengan kebingungan lelaki di depannya Nadia membuka suara, “Saya Nadia, saya— “.

“Oh! Nadia. Hai, cari Doni? Ada di dalem kok dia, masuk aja.” Potong lelaki itu ramah mempersilahkan Nadia masuk.

“Oke, terimakasih.”

Tok, tok, tok

“Masuk.”

Setelah mendengar balasan dari dalam, Nadia membuka pintu ruangan Doni. Menemukan lelaki itu tengah berkutat dengan beberapa berkas yang tergeletak di atas meja, penampilannya agak berantakan menurut Nadia.

Rambut sedikit acak-acakan, kemeja yang digelung sebatas siku, serta dasi yang sengaja dilonggarkan oleh pemakainya. Begitu berbeda saat tadi pagi ketika Doni berangkat kerja.

“Hai.” Sapa Nadia pada Doni yang disambut senyuman unik milik Doni. Orang bilang itu gummy smile namanya.

“Kirain datengnya masih lama, duduk dulu gue nge check berkas sebentar lagi beres.” Ucap Doni mempersilahkan Nadia untuk duduk di sofa yang ada diruangan itu.

Ruang kerja Doni tak jauh beda dengan apartemennya, begitu rapi dan bersih. Beberapa bingkai foto terpasang di dinding, ada juga di meja kerja Doni dan di bufet tempat dimana buku-buku tersusun rapi. Di belakang kursi yang tengah Doni duduki terdapat kaca besar yang menampakkan kota Jakarta timur yang tengah sibuk siang ini.

“Suka sama ruangannya?” Tanya Doni tiba-tiba membuat Nadia terkesiap, dirinya begitu larut dalam menscan setiap sudut ruangan ini sampai melupakan sang empunya ruangan.

“Hehehe sorry, eh ini makan siangnya.”

Nadia mengeluarkan isi tote bag bawaannya, membuat Doni makin tidak sabar untuk segera memakan masakan Nadia.

“Wahh kayaknya enak.” Ucap Doni saat Nadia membuka kotak bekal dua tingkat itu, berisi nasi, beef teriyaki, telur rebus serta brokoli rebus.

“Jangan berekspektasi dulu, gue gak pede masakan gue bakal enak.” Ujar Nadia memberikan sendok dan garpu pada Doni.

Lelaki itu mengangkat bahunya acuh, “Belum dicoba ya belum tau.” Katanya lalu mulai menyendok kan masakan Nadia dan memakannya.

Terlihat jelas wajah was-was Nadia, dirinya benar-benar berdoa semoga Doni tidak keracunan masakan buatannya.

“Enak.” Ujar Doni singkat sembari menikmati makanan didepannya.

“Hah?!”

Doni hampir tertawa melihat ekspresi wajah Nadia, lucu —pikirnya.

“Enak Nadia, masakan lo enak.” Jelas Doni, gadis itu masih tak percaya Doni menyukai masakannya.

“Bohong ya lo?” Curiga Nadia.

“Ya masa bohong, lo sebelumnya udah nyicipin masakannya kan?” Tanya Doni yang diangguki oleh Nadia.

“Lo kali yang bohong kalo gak bisa masak, padahal enak gini makanannya.” Doni kembali menyantap makanan dihadapannya dengan lahap, memilih fokus karena ia butuh energi untuk kembali bekerja.

“Gue juga gak bohong, gue bikin itu dari resep di tiktok malah.”

” Berarti tangan lo tangan ajaib.”

Nadia mengangkat bahunya, “Syukur deh kalo lo suka.” Ucapnya lega.

Tok, tok, tok

Ketukan terdengar lalu seseorang muncul dari balik pintu, lelaki yang tadi Nadia lihat di meja depan ruangan Doni.

“File nya udah gue kirim lewat email, dah ya gue mau makan siang dulu.” Ucap lelaki itu, lalu menatap Nadia.

“Eh iya kita belum kenalan. Hai Nadia, gue Tian sekertaris nya Doni sekaligus sahabatnya.” Ucap lelaki bernama Tian itu.

Nadia yang mendengar itu bergeming, rasa ingin mengubur diri hidup-hidup meningkat tajam. Dia orang yang Nadia kira perempuan padahal lelaki. Ya ampun Nadia bahkan tak sanggup menatap wajah Tian.

Mengerti keterdiaman Nadia, Tian mengangguk, “Santai aja gak usah takut gitu, gue gak gigit kok. Soal ngira gue cewek juga wajar sih, kebanyakan kan emang yang jadi sekertaris tuh cewek. Jadi gak usah malu gitu, lagian kalo diinget-inget lucu kok bikin ketawa.” Ucap Tian yang malah makin membuat Nadia menunduk malu.

“Udah sih pergi sana, katanya mau makan siang. Gece, bentar lagi jam kerja mulai.” Usir Doni pada Tian yang membuat Tian memasang wajah masam.

“Gue telat makan siang juga gegara lo ya kampret.” Misuh Tian lalu pergi dari ruangan itu, meninggalkan Doni dan Nadia. Yang satu tengah sibuk mengunyah daging serta nasi sedangkan satunya lagi masih menahan malu.

“Doni gue udah boleh balik belum?” Tanya Nadia.

“Mau pulang?”

Nadia mengangguk, “Dapur lo belum gue beresin, tadi abis beres masak langsung kesini.”

“Ya udah kalo gitu, bentar gue pesenin taksi online dulu. Kalo taksinya udah ada didepan gedung baru turun kebawah.” Ucap Doni sembari mengutak-atik ponselnya memesan taksi online untuk Nadia pulang ke apartemennya.

“Makasih.”

181.


“Atas nama Nadia Calista?”

“Iya pak.”

“Oke mbak, tujuan sesuai aplikasi ya mbak.”

Nadia mengangguk menanggapi supir ojek online yang akan membawanya menuju supermarket, gadis itu memakai helm lalu menaiki motor dan berangkat ke tujuannya.


Sesampainya di supermarket, Nadia bergegas memasuki gedung besar itu. Mengambil troli dan mulai menyusuri rak-rak yang menjajakan berbagai macam produk.

“Anjir ini gue beli apa aja?” Gerutunya, lalu berhenti sebentar untuk mengambil ponselnya. Mengirim pesan guna menanyakan apa saja yang sang bos suka dan tidak suka.

“Ahh gak pilih-pilih makanan ternyata, oke.”

Nadia langsung mendorong trolinya ke rak penuh berbagai jenis sayuran. Mengambil sayuran yang sekiranya cukup untuk beberapa hari kedepan, seperti wortel, bayam, tomat, sawi hijau dan lainnya. Tak lupa beberapa jenis bawang dan rempah yang lain, lalu beranjak dari tempat sayuran, Nadia beralih pada tempat daging dan ikan.

“Mau daging apa kak?” Tanya sang penjaga yang menjaga bagian daging itu.

“Sapi mas, kira-kira yang cocok buat dijadiin beef teriyaki itu bagian apa ya?” Tanya Nadia.

“Kalo mau bikin teriyaki harus pake potongan Sandung Lamur kak, itu dari bagian dada sapi.” Jawab sang penjaga.

“Hmm saya pesen yang tadi mas sebut aja, 200 gram ya mas. Sama ayamnya 500 gram.”

“Oke sebentar ya kak.”

Nadia mengangguk, menunggu sang penjaga menyiapkan pesanannya.

Selesai dengan daging, gadis itu beralih lagi pada rak berisi bumbu dapur. Mengambil minyak goreng, lada bubuk, penyedap rasa, garam, dan berbagai macam saus. Saat hendak mengambil mentega Nadia mendapat kesulitan, karena mentega itu berada di tempat tinggi sedangkan kita semua tau Nadia termasuk dalam kategori 'cebol'.

Gadis itu mendengus sebal, kenapa ia harus terlahir pendek?

“Iya ini udah aku ambil, beli apa lagi?”

Menoleh ke sebrangnya, Nadia melihat seorang laki-laki tinggi yang tengah berbicara lewat telepon. Sepertinya ia harus meminta tolong pada lelaki itu.

“Permisi.” Nadia menghampirinya yang sedang memilih bumbu sama seperti Nadia.

Lelaki itu menoleh, mengalihkan perhatian pada Nadia dengan tatapan bertanya.

“Maaf ganggu, boleh minta tolong gak?” Tanya Nadia pelan, takut lelaki itu menolak.

“Oh boleh, mau minta tolong apa?”

“Ambilin mentega itu, saya gak nyampe hehehe.” Ucap Nadia canggung sembari menunjuk mentega yang berbeda di rak paling atas.

Lelaki didepannya mengangguk lalu menghampiri rak yang Nadia tunjuk dan mengambil mentega yang Nadia inginkan dengan mudah.

“Waahhhh makasih ya kak. Makasih banyak.”

“Sama-sama, lagi belanja bulanan juga?” Tanya lelaki itu.

“Eh? I-iya hehe.”

“Sendiri atau sama mamah?”

“Sendiri kak, buat di apartemen.”

“Oh, tinggal sendiri?”

Nadia mengangguk sebagai jawaban. Lelaki itu tersenyum, “Ya udah kalo gitu, duluan ya.” Ujarnya pada Nadia.

“Iya kak, sekali lagi makasih.”

Keduanya kembali pada troli masing-masing, Nadia yang beranjak dari sana untuk mencari bahan lain. Sementara lelaki itu masih di rak yang sama, terdiam seperti mengingat sesuatu.

“Kayaknya gue pernah liat cewek itu deh tapi dimana ya?” Gumamnya.

Nak? Halo?” Terdengar suara dari telponnya yang masih terhubung.

“Eh? Halo Mah? Itu tadi ada yang minta tolong ambilin mentega, dia gak sampe soalnya ada di rak bagian paling atas.” Jelas lelaki itu pada ibunya yang berada disambungan telpon.

Oh gitu, yaudah sekarang beli daging ayam ya.

“Oke siap komandan.”

Lelaki itu lantas mendorong trolinya menuju tempat daging yang ibunya inginkan, melupakan seseorang yang terlihat familiar yang baru saja dirinya tolong.


176.


Nadia keluar dari unitnya dan bergegas menuju pintu paling ujung lantai delapan apartemen itu. Melirik handphonenya yang menunjukkan pukul 6 lewat 5 menit pagi, lalu membuka pesan berbintang di aplikasi WhatsApp nya. Memasukan password hingga pintu didepannya berbunyi dan terbuka, mempersilahkannya masuk kedalam unit yang pemiliknya masih di alam mimpi.

Begitu sampai didalam, gadis itu naik ke lantai atas namun bingung pintu mana yang harus ia masuki untuk membangunkan si empunya unit. Akhirnya ia memilih untuk turun dan membereskan wastafel dapur yang berantakan oleh beberapa piring kotor, lalu beralih membereskan yang lain.

“Ini gue gimana ngebangunin Doni? Gak sopan banget kalo gue main masuk kamar dia.”

Nadia mulai memutar otaknya, tanpa sengaja matanya menemukan sesuatu yang menurutnya akan sangat membantu. Gadis itu mendekati benda yang ternyata sebuah bluetooth speaker, mengkoneksikannya pada handphonenya lalu menaiki tangga sembari mencari suara yang menurutnya cocok untuk membangunkan seseorang.

Tak lama, muncul lah suara tawa menggelegar dari speaker itu. Tawa yang membuat siapa saja yang mendengarnya terkejut, tawa dari seseorang yang Nadia kenal— Chairil, teman Sigit.

Terdengar suara gaduh dari dalam sebuah kamar yang sepertinya adalah kamar Doni, tak lupa gerutuan yang samar Nadia dengar.

ASTAGFIRULLAH ITU SUARA SIAPA SIH— “

Doni menggantung ucapannya saat melihat Nadia berada di ruang tamunya. Menelan kembali semua sumpah serapah yang hendak keluar dari mulutnya.

“Ehh Nadia, sorry gue kira sekertaris gue.” Canggung Doni, wajahnya masih agak sayu karena baru bangun tidur. Doni sebenarnya malu menunjukkan wajah bantalnya pada Nadia, namun ia tak peduli toh kedepannya Nadia akan melihatnya seperti ini setiap hari selama gadis itu menjadi asisten nya.

“Gakpapa, maaf juga gue malah masang alarm soalnya gue gak tau dan gak enak kalo masuk kamar lo.” Ucap Nadia pelan.

“Ya udah kalo gitu, gue mau mandi. Bisa siapin jas kerja gue? Ada di dress room, bebas mau pilih yang mana. Abis itu masakin gue sarapan.” Ujar Doni, Nadia mengangguk.

“Lo mau gue masakin apa?” Tanya Nadia.

“Gue gak sempet ke supermarket, kayaknya di kulkas cuma ada telor. Coba lo liat dulu, gue bisa makan apa aja kok tenang aja.” Setelah itu Doni berbalik menuju kamarnya untuk mandi.

Sedangkan Nadia berjalan menuju kamar Doni setelah beberapa menit lelaki itu masuk kesana, memasuki ruangan yang berisi setelan jas dari berbagai jenis merk. Mengambil satu setel jas yang menurutnya cocok untuk dikenakan Doni, lalu meletakkannya di meja yang ada disana.

Selesai mencari jas, Nadia turun menuju dapur, membuka kulkas dan hanya menemukan beberapa kaleng minuman, 1 kotak susu, 1 kotak jus, 3 bungkus sosis, sebungkus roti tawar, serta 4 butir telur. Orang kaya tapi kulkasnya kosong, batin Nadia. Namun gadis itu memaklumi, orang sibuk seperti Doni tak begitu peduli soal isi kulkas, dia bisa membeli makanan enak diluar sana.

Gadis itu kini sedang memutar otak untuk membuat sarapan apa untuk Doni, hingga teringat satu masakan yang sering ia masak dulu bersama Sigit ketika dirumah mereka hanya ada telur. Ia mulai menyiapkan bahan-bahannya dan mulai memasak.

Saat hampir matang, Doni turun dari lantai atas dan menghampiri Nadia. Dengan kemeja yang tadi Nadia siapkan, rambutnya masih sedikit basah karena belum Doni rapikan.

“Masak apa?” Tanya Doni yang sudah duduk di meja makan sembari memainkan ponselnya, mengecek pesan yang masuk.

“Sup telor plus sosis.” Jawab Nadia sembari menuangkan sup yang sudah matang kedalam mangkuk.

“Wahh kayaknya enak, lo udah makan?” Tanya Doni saat Nadia menghidangkan sup itu dihadapannya.

“Udah kok, kamar lo udah di beresin? Kalo masih berantakan gue beresin.”

“Masih berantakan, rapihin aja.”

Setelah Doni mengatakan itu, Nadia langsung beranjak dari duduknya melangkah menuju kamar Doni. Kamar yang rapi untuk seorang pria menurut Nadia, tidak terlalu banyak ornamen. Hanya ada tempat tidur, meja disamping tempat tidur, rak kayu berisi beberapa buku, bingkai foto, piringan hitam dan action figur kecil. Ada gitar dipojok ruangan, serta ada Vinyl player di meja dekat pintu masuk.

Nadia mulai membereskan kasur yang masih berantakan, menarik sisi sprei yang masih kusut lalu menyusun bantal serta guling dan merapikan bedcover. Mengambil handuk yang teronggok dibawah lantai, saat akan berbalik ia dikagetkan dengan keberadaan Doni yang tepat dibelakangnya.

Astagfirullah! Ngagetin. Lo udah beres sarapannya?” Tanya Nadia yang hanya diangguki oleh Doni.

Lelaki itu lalu membuntuti Nadia keluar, mengikuti hingga ke ruang mencuci.

“Lo ngapain dah?” Heran Nadia.

“Ini,” Doni memberikan sebuah kartu pada Nadia, membuat gadis itu mengerutkan keningnya bingung.

“Nanti belanja bulanan pake kartu itu, pin nya sama kayak password unit ini.” Sambung Doni, sedangkan Nadia hanya ber-oh-ria.

“Nanti siang bawain gue makanan.”

Nadia mengangguk, “Oke, jam berapa?”

“Jam 12:15.” Gadis itu mengangguk lagi.

“Ya udah gue berangkat dulu.”

“Iya hati-hati.”


Ps : itu denah unit Doni maupun Nadia ya, bentukannya begitu pokoknya 👍🏻

176.


Nadia keluar dari unitnya dan bergegas menuju pintu paling ujung lantai delapan apartemen itu. Melirik handphonenya yang menunjukkan pukul 6 lewat 5 menit pagi, lalu membuka pesan berbintang di aplikasi WhatsApp nya. Memasukan password hingga pintu didepannya berbunyi dan terbuka, mempersilahkannya masuk kedalam unit yang pemiliknya masih di alam mimpi.

Begitu sampai didalam, gadis itu naik ke lantai atas namun bingung pintu mana yang harus ia masuki untuk membangunkan si empunya unit. Akhirnya ia memilih untuk turun dan membereskan wastafel dapur yang berantakan oleh beberapa piring kotor, lalu beralih membereskan yang lain.

“Ini gue gimana ngebangunin Doni? Gak sopan banget kalo gue main masuk kamar dia.”

Nadia mulai memutar otaknya, tanpa sengaja matanya menemukan sesuatu yang menurutnya akan sangat membantu. Gadis itu mendekati benda yang ternyata sebuah bluetooth speaker, mengkoneksikannya pada handphonenya lalu menaiki tangga sembari mencari suara yang menurutnya cocok untuk membangunkan seseorang.

Tak lama, muncul lah suara tawa menggelegar dari speaker itu. Tawa yang membuat siapa saja yang mendengarnya terkejut, tawa dari seseorang yang Nadia kenal— Chairil, teman Sigit.

Terdengar suara gaduh dari dalam sebuah kamar yang sepertinya adalah kamar Doni, tak lupa gerutuan yang samar Nadia dengar.

ASTAGFIRULLAH ITU SUARA SIAPA SIH— “

Doni menggantung ucapannya saat melihat Nadia berada di ruang tamunya. Menelan kembali semua sumpah serapah yang hendak keluar dari mulutnya.

“Ehh Nadia, sorry gue kira sekertaris gue.” Canggung Doni, wajahnya masih agak sayu karena baru bangun tidur. Doni sebenarnya malu menunjukkan wajah bantalnya pada Nadia, namun ia tak peduli toh kedepannya Nadia akan melihatnya seperti ini setiap hari selama gadis itu menjadi asisten nya.

“Gakpapa, maaf juga gue malah masang alarm soalnya gue gak tau dan gak enak kalo masuk kamar lo.” Ucap Nadia pelan.

“Ya udah kalo gitu, gue mau mandi. Bisa siapin jas kerja gue? Ada di dress room, bebas mau pilih yang mana. Abis itu masakin gue sarapan.” Ujar Doni, Nadia mengangguk.

“Lo mau gue masakin apa?” Tanya Nadia.

“Gue gak sempet ke supermarket, kayaknya di kulkas cuma ada telor. Coba lo liat dulu, gue bisa makan apa aja kok tenang aja.” Setelah itu Doni berbalik menuju kamarnya untuk mandi.

Sedangkan Nadia berjalan menuju kamar Doni setelah beberapa menit lelaki itu masuk kesana, memasuki ruangan yang berisi setelan jas dari berbagai jenis merk. Mengambil satu setel jas yang menurutnya cocok untuk dikenakan Doni, lalu meletakkannya di meja yang ada disana.

Selesai mencari jas, Nadia turun menuju dapur, membuka kulkas dan hanya menemukan beberapa kaleng minuman, 1 kotak susu, 1 kotak jus, 3 bungkus sosis, sebungkus roti tawar, serta 4 butir telur. Orang kaya tapi kulkasnya kosong, batin Nadia. Namun gadis itu memaklumi, orang sibuk seperti Doni tak begitu peduli soal isi kulkas, dia bisa membeli makanan enak diluar sana.

Gadis itu kini sedang memutar otak untuk membuat sarapan apa untuk Doni, hingga teringat satu masakan yang sering ia masak dulu bersama Sigit ketika dirumah mereka hanya ada telur. Ia mulai menyiapkan bahan-bahannya dan mulai memasak.

Saat hampir matang, Doni turun dari lantai atas dan menghampiri Nadia. Dengan kemeja yang tadi Nadia siapkan, rambutnya masih sedikit basah karena belum Doni rapikan.

“Masak apa?” Tanya Doni yang sudah duduk di meja makan sembari memainkan ponselnya, mengecek pesan yang masuk.

“Sup telor plus sosis.” Jawab Nadia sembari menuangkan sup yang sudah matang kedalam mangkuk.

“Wahh kayaknya enak, lo udah makan?” Tanya Doni saat Nadia menghidangkan sup itu dihadapannya.

“Udah kok, kamar lo udah di beresin? Kalo masih berantakan gue beresin.”

“Masih berantakan, rapihin aja.”

Setelah Doni mengatakan itu, Nadia langsung beranjak dari duduknya melangkah menuju kamar Doni. Kamar yang rapi untuk seorang pria menurut Nadia, tidak terlalu banyak ornamen. Hanya ada tempat tidur, meja disamping tempat tidur, rak kayu berisi beberapa buku, bingkai foto, piringan hitam dan action figur kecil. Ada gitar dipojok ruangan, serta ada Vinyl player di meja dekat pintu masuk.

Nadia mulai membereskan kasur yang masih berantakan, menarik sisi sprei yang masih kusut lalu menyusun bantal serta guling dan merapikan bedcover. Mengambil handuk yang teronggok dibawah lantai, saat akan berbalik ia dikagetkan dengan keberadaan Doni yang tepat dibelakangnya.

Astagfirullah! Ngagetin. Lo udah beres sarapannya?” Tanya Nadia yang hanya diangguki oleh Doni.

Lelaki itu lalu membuntuti Nadia keluar, mengikuti hingga ke ruang mencuci.

“Lo ngapain dah?” Heran Nadia.

“Ini,” Doni memberikan sebuah kartu pada Nadia, membuat gadis itu mengerutkan keningnya bingung.

“Nanti belanja bulanan pake kartu itu, pin nya sama kayak password unit ini.” Sambung Doni, sedangkan Nadia hanya ber-oh-ria.

“Nanti siang bawain gue makanan.”

Nadia mengangguk, “Oke, jam berapa?”

“Jam 12:15.” Gadis itu mengangguk lagi.

“Ya udah gue berangkat dulu.”

“Iya hati-hati.”


“Ps : itu denah unit Doni maupun Nadia ya, bentukannya begitu pokoknya* 👍🏻

176.


Nadia keluar dari unitnya dan bergegas menuju pintu paling ujung lantai delapan apartemen itu. Melirik handphonenya yang menunjukkan pukul 6 lewat 5 menit pagi, lalu membuka pesan berbintang di aplikasi WhatsApp nya. Memasukan password hingga pintu didepannya berbunyi dan terbuka, mempersilahkannya masuk kedalam unit yang pemiliknya masih di alam mimpi.

Begitu sampai didalam, gadis itu naik ke lantai atas namun bingung pintu mana yang harus ia masuki untuk membangunkan si empunya unit. Akhirnya ia memilih untuk turun dan membereskan wastafel dapur yang berantakan oleh beberapa piring kotor, lalu beralih membereskan yang lain.

“Ini gue gimana ngebangunin Doni? Gak sopan banget kalo gue main masuk kamar dia.”

Nadia mulai memutar otaknya, tanpa sengaja matanya menemukan sesuatu yang menurutnya akan sangat membantu. Gadis itu mendekati benda yang ternyata sebuah bluetooth speaker, mengkoneksikannya pada handphonenya lalu menaiki tangga sembari mencari suara yang menurutnya cocok untuk membangunkan seseorang.

Tak lama, muncul lah suara tawa menggelegar dari speaker itu. Tawa yang membuat siapa saja yang mendengarnya terkejut, tawa dari seseorang yang Nadia kenal— Chairil, teman Sigit.

Terdengar suara gaduh dari dalam sebuah kamar yang sepertinya adalah kamar Doni, tak lupa gerutuan yang samar Nadia dengar.

ASTAGFIRULLAH ITU SUARA SIAPA SIH— “

Doni menggantung ucapannya saat melihat Nadia berada di ruang tamunya. Menelan kembali semua sumpah serapah yang hendak keluar dari mulutnya.

“Ehh Nadia, sorry gue kira sekertaris gue.” Canggung Doni, wajahnya masih agak sayu karena baru bangun tidur. Doni sebenarnya malu menunjukkan wajah bantalnya pada Nadia, namun ia tak peduli toh kedepannya Nadia akan melihatnya seperti ini setiap hari selama gadis itu menjadi asisten nya.

“Gakpapa, maaf juga gue malah masang alarm soalnya gue gak tau dan gak enak kalo masuk kamar lo.” Ucap Nadia pelan.

“Ya udah kalo gitu, gue mau mandi. Bisa siapin jas kerja gue? Ada di dress room, bebas mau pilih yang mana. Abis itu masakin gue sarapan.” Ujar Doni, Nadia mengangguk.

“Lo mau gue masakin apa?” Tanya Nadia.

“Gue gak sempet ke supermarket, kayaknya di kulkas cuma ada telor. Coba lo liat dulu, gue bisa makan apa aja kok tenang aja.” Setelah itu Doni berbalik menuju kamarnya untuk mandi.

Sedangkan Nadia berjalan menuju kamar Doni setelah beberapa menit lelaki itu masuk kesana, memasuki ruangan yang berisi setelan jas dari berbagai jenis merk. Mengambil satu setel jas yang menurutnya cocok untuk dikenakan Doni, lalu meletakkannya di meja yang ada disana.

Selesai mencari jas, Nadia turun menuju dapur, membuka kulkas dan hanya menemukan beberapa kaleng minuman, 1 kotak susu, 1 kotak jus, 3 bungkus sosis, sebungkus roti tawar, serta 4 butir telur. Orang kaya tapi kulkasnya kosong, batin Nadia. Namun gadis itu memaklumi, orang sibuk seperti Doni tak begitu peduli soal isi kulkas, dia bisa membeli makanan enak diluar sana.

Gadis itu kini sedang memutar otak untuk membuat sarapan apa untuk Doni, hingga teringat satu masakan yang sering ia masak dulu bersama Sigit ketika dirumah mereka hanya ada telur. Ia mulai menyiapkan bahan-bahannya dan mulai memasak.

Saat hampir matang, Doni turun dari lantai atas dan menghampiri Nadia. Dengan kemeja yang tadi Nadia siapkan, rambutnya masih sedikit basah karena belum Doni rapikan.

“Masak apa?” Tanya Doni yang sudah duduk di meja makan sembari memainkan ponselnya, mengecek pesan yang masuk.

“Sup telor plus sosis.” Jawab Nadia sembari menuangkan sup yang sudah matang kedalam mangkuk.

“Wahh kayaknya enak, lo udah makan?” Tanya Doni saat Nadia menghidangkan sup itu dihadapannya.

“Udah kok, kamar lo udah di beresin? Kalo masih berantakan gue beresin.”

“Masih berantakan, rapihin aja.”

Setelah Doni mengatakan itu, Nadia langsung beranjak dari duduknya melangkah menuju kamar Doni. Kamar yang rapi untuk seorang pria menurut Nadia, tidak terlalu banyak ornamen. Hanya ada tempat tidur, meja disamping tempat tidur, rak kayu berisi beberapa buku, bingkai foto, piringan hitam dan action figur kecil. Ada gitar dipojok ruangan, serta ada Vinyl player di meja dekat pintu masuk.

Nadia mulai membereskan kasur yang masih berantakan, menarik sisi sprei yang masih kusut lalu menyusun bantal serta guling dan merapikan bedcover. Mengambil handuk yang teronggok dibawah lantai, saat akan berbalik ia dikagetkan dengan keberadaan Doni yang tepat dibelakangnya.

Astagfirullah! Ngagetin. Lo udah beres sarapannya?” Tanya Nadia yang hanya diangguki oleh Doni.

Lelaki itu lalu membuntuti Nadia keluar, mengikuti hingga ke ruang mencuci.

“Lo ngapain dah?” Heran Nadia.

“Ini,” Doni memberikan sebuah kartu pada Nadia, membuat gadis itu mengerutkan keningnya bingung.

“Nanti belanja bulanan pake kartu itu, pin nya sama kayak password unit ini.” Sambung Doni, sedangkan Nadia hanya ber-oh-ria.

“Nanti siang bawain gue makanan.”

Nadia mengangguk, “Oke, jam berapa?”

“Jam 12:15.” Gadis itu mengangguk lagi.

“Ya udah gue berangkat dulu.”

“Iya hati-hati.”


163.

“Lo mau ngapain ke Bogor?” Tanya Tian pada Doni, sedangkan lelaki itu tengah bersiap untuk pergi dari ruang kerjanya.

“Ketemu Nadia.” Jawab Doni singkat lalu beranjak dari tempat duduknya.

“Lah ngapain dia di Bogor? Bukannya kerja di Jakarta ya?”

“Mamahnya sakit, abis operasi kemaren lusa. Gak ada meeting lagi kan? Gue tinggal ya, jam 2 juga balik gue. Bye.”

Tanpa menunggu jawaban dari Tian, Doni melenggang pergi meninggalkan Tian di ruangannya.


Doni memarkirkan mobilnya di tempat makan cepat saji bermaskot badut kuning, tempat dimana dirinya membuat janji untuk bertemu dengan Nadia.

“Nad, lo dimana?” Tanya Doni begitu sambungan telepon tersambung.

Gue udah di McD, lantai dua.” Balas Nadia di sebrang sana.

Otomatis Doni mendongak, melihat ke arah lantai dua restoran cepat saji itu. Menelusuri setiap meja yang nampak dari luar mencari seseorang yang akan ia temui, dan dengan mudah Doni menemukan perempuan yang tengah duduk seorang diri tengah menatap keluar jendela sembari meletakkan handphone nya di telinga.

“Oke tunggu, gue kesana. Lo udah pesen makanan?”

Belum, nunggu lo dulu kan mau makan bareng.”

“Ya udah sekalian gue keatas, lo mau pesen apa?”

Cheese burger aja. Minumnya Sprite.”

“Nuget nya mau?”

Boleh.

Mcflurry? Lo kan suka eskrim.”

Udah beli sih ini, tapi gakpapa tetep di terima sama perut gue kok.

Mendengar itu Doni terkekeh geli, “Oke tunggu ya, gue pesen dulu.”

Panggilan ditutup, Doni berjalan menuju tempat dimana dirinya akan memesan makanan.

“Selamat siang, mau pesan apa kak?”

Big Mac satu, cheese burger satu. Minumnya Cola sama Sprite. Nuget nya dua, Mcflurry Oreo dua, sama Strawberry Sundae satu.”

“Ada lagi kak?”

Lelaki itu menggeleng, lalu memberikan kartu kredit nya guna membayar semua pesanannya dan menunggu semua pesanannya.

Puk, puk

Doni menoleh kala ada seorang yang menepuk pundaknya, mendapati Nadia yang sudah berada dibelakangnya.

“Kok turun?”

“Gue bantuin bawa, emang bisa bawa pesenan gue sama lo sekaligus?” Tanya Nadia.

“Kan bisa dua balik.”

“Bikin capek doang.”

Tak terasa akhirnya pesanan Doni sudah siap untuk mereka bawa, keduanya berjalan beriringan menuju lantai dua tepat dimana Nadia duduk tadi.

“Waahhhh untung belum ada yang duduk disini.” Ucap Nadia lalu duduk dan meletakkan nampan berisi makanan cepat saji itu, diikuti Doni yang duduk di sebrangnya.

Btw lo pesen makanan banyak amat.”

“Iya, kan buat lo.”

“Hah?”

Nadia menatap nampan didepannya, nampan itu berisi cheese burger dan Sprite pesanannya serta sekotak nuget dan Mcflurry Oreo. Lalu Doni meletakkan sekotak nuget dan Strawberry Sundae yang ada di nampannya pada nampan Nadia. Melihat itu Nadia melotot.

“Gila. Lo mau bikin gue jadi babi apa gimana?” Protes Nadia.

Doni mengangkat bahunya acuh, “Makan yang banyak, kalo gak abis nanti gue yang abisin. Kalo bisa sih lo yang abisin.”

“Udah gila.”

Mengakhiri percakapan, keduanya mulai melahap makanan di hadapan mereka. Sesekali melontarkan lelucon yang membuat mereka berdua tertawa.

“Masa ya kemaren ada bapak-bapak minta es batu tambahan di sbux buat kopinya, terus dia bilang gini 'ini es kemaren ya? Udah dingin'.” Ucap Doni yang langsung di sambut kikikan dari Nadia.

“Pffffttttt— hahahahaha ya kan es emang dingin, yakali anget hahaha.” Ujar Nadia sembari tertawa.

“Makanya, aneh banget kan. Eh gue punya tebak-tebakan. Buah, buah apa yang gak seger?” Tanya Doni, gadis dihadapannya sedikit berfikir sebelum menjawab pertanyaan Doni.

“Hmm, buah busuk?”

“Salah, yang bener alpucat hahaha.”

“HAHAHAHA— Plisss jokes lo bapack-bapack banget aduh.”

“Ya seringan ketemu bapak-bapak jadi ya gitu.”

Ditemani senda gurau, keduanya telah selesai memakan makanan mereka, hanya tersisa eskrim yang belum tersentuh.

Seketika hening menghampiri mereka, sibuk dengan pikiran masing-masing. Nadia yang menatap keluar jendela memperhatikan hiruk-pikuk jalanan di simpang empat Yasmin, tatapannya begitu fokus entah karena memikirkan sesuatu atau memang sedang asik menatap jalanan yang tengah ramai itu.

Sedangkan Doni menatap Nadia, mengamati gerak-gerik serta ekspresi wajah manis gadis itu. Terlihat lelah dan kusam namun tak menghilangkan kesan manis dan ramah pada wajah mungilnya.

“Nad...”

“Hmm?”

Nadia masih asik menatap jalanan dari lantai dua restoran ketika Doni memanggilnya, lalu menoleh kala lelaki itu masih tak bersuara. Menatap pada mata legam Doni yang tegas dan teduh disaat yang bersamaan. Mata indah yang dapat memikat siapa saja yang memandangnya.

Gadis itu terpesona, mata sebening embun itu begitu indah. Namun Nadia menyadari, dibalik mata indah itu ada kegundahan dan kesedihan pada diri Doni. Begitu kelam, sehingga Nadia ingin tau lebih dalam mengapa di mata seindah itu menyimpan banyak luka yang disembunyikan kepada semua orang.

Belum sempat menelisik lebih jauh, suara Doni memecahkan keheningan yang terjadi diantara mereka berdua. Membawa kembali Nadia pada kenyataan setelah terjebak dalam tatapan mata Doni.

“Soal kemaren, gimana? Lo mau ambil tawaran gue?”

163.

“Lo mau ngapain ke Bogor?” Tanya Tian pada Doni, sedangkan lelaki itu tengah bersiap untuk pergi dari ruang kerjanya.

“Ketemu Nadia.” Jawab Doni singkat lalu beranjak dari tempat duduknya.

“Lah ngapain dia di Bogor? Bukannya kerja di Jakarta ya?”

“Mamahnya sakit, abis operasi kemaren lusa. Gak ada meeting lagi kan? Gue tinggal ya, jam 2 juga balik gue. Bye.”

Tanpa menunggu jawaban dari Tian, Doni melenggang pergi meninggalkan Tian di ruangannya.


Doni memarkirkan mobilnya di tempat makan cepat saji bermaskot badut kuning, tempat dimana dirinya membuat janji untuk bertemu dengan Nadia.

“Nad, lo dimana?” Tanya Doni begitu sambungan telepon tersambung.

Gue udah di McD, lantai dua.” Balas Nadia di sebrang sana.

Otomatis Doni mendongak, melihat ke arah lantai dua restoran cepat saji itu. Menelusuri setiap meja yang nampak dari luar mencari seseorang yang akan ia temui, dan dengan mudah Doni menemukan perempuan yang tengah duduk seorang diri tengah menatap keluar jendela sembari meletakkan handphone nya di telinga.

“Oke tunggu, gue kesana. Lo udah pesen makanan?”

Belum, nunggu lo dulu kan mau makan bareng.”

“Ya udah sekalian gue keatas, lo mau pesen apa?”

Cheese burger aja. Minumnya Sprite.”

“Nuget nya mau?”

Boleh.

Mcflurry? Lo kan suka eskrim.”

Udah beli sih ini, tapi gakpapa tetep di terima sama perut gue kok.

Mendengar itu Doni terkekeh geli, “Oke tunggu ya, gue pesen dulu.”

Panggilan ditutup, Doni berjalan menuju tempat dimana dirinya akan memesan makanan.

“Selamat siang, mau pesan apa kak?”

Big Mac satu, cheese burger satu. Minumnya Cola sama Sprite. Nuget nya dua, Mcflurry Oreo dua, sama Strawberry Sundae satu.”

“Ada lagi kak?”

Lelaki itu menggeleng, lalu memberikan kartu kredit nya guna membayar semua pesanannya dan menunggu semua pesanannya.

Puk, puk

Doni menoleh kala ada seorang yang menepuk pundaknya, mendapati Nadia yang sudah berada dibelakangnya.

“Kok turun?”

“Gue bantuin bawa, emang bisa bawa pesenan gue sama lo sekaligus?” Tanya Nadia.

“Kan bisa dua balik.”

“Bikin capek doang.”

Tak terasa akhirnya pesanan Doni sudah siap untuk mereka bawa, keduanya berjalan beriringan menuju lantai dua tepat dimana Nadia duduk tadi.

“Waahhhh untung belum ada yang duduk disini.” Ucap Nadia lalu duduk dan meletakkan nampan berisi makanan cepat saji itu, diikuti Doni yang duduk di sebrangnya.

Btw lo pesen makanan banyak amat.”

“Iya, kan buat lo.”

“Hah?”

Nadia menatap nampan didepannya, nampan itu berisi cheese burger dan Sprite pesanannya serta sekotak nuget dan Mcflurry Oreo. Lalu Doni meletakkan sekotak nuget dan Strawberry Sundae yang ada di nampannya pada nampan Nadia. Melihat itu Nadia melotot.

“Gila. Lo mau bikin gue jadi babi apa gimana?” Protes Nadia.

Doni mengangkat bahunya acuh, “Makan yang banyak, kalo gak abis nanti gue yang abisin. Kalo bisa sih lo yang abisin.”

“Udah gila.”

Mengakhiri percakapan, keduanya mulai melahap makanan di hadapan mereka. Sesekali melontarkan lelucon yang membuat mereka berdua tertawa.

“Masa ya kemaren ada bapak-bapak minta es batu tambahan di sbux buat kopinya, terus dia bilang gini 'ini es kemaren ya? Udah dingin'.” Ucap Doni yang langsung di sambut kikikan dari Nadia.

“Pffffttttt— hahahahaha ya kan es emang dingin, yakali anget hahaha.” Ujar Nadia sembari tertawa.

“Makanya, aneh banget kan. Eh gue punya tebak-tebakan. Buah, buah apa yang gak seger?” Tanya Doni, gadis dihadapannya sedikit berfikir sebelum menjawab pertanyaan Doni.

“Hmm, buah busuk?”

“Salah, yang bener alpucat hahaha.”

“HAHAHAHA— Plisss jokes lo bapack-bapack banget aduh.”

“Ya seringan ketemu bapak-bapak jadi ya gitu.”

Ditemani senda gurau, keduanya telah selesai memakan makanan mereka, hanya tersisa eskrim yang belum tersentuh.

Seketika hening menghampiri mereka, sibuk dengan pikiran masing-masing. Nadia yang menatap keluar jendela memperhatikan hiruk-pikuk jalanan di simpang empat Yasmin, tatapannya begitu fokus entah karena memikirkan sesuatu atau memang sedang asik menatap jalanan yang tengah ramai itu.

Sedangkan Doni menatap Nadia, mengamati gerak-gerik serta ekspresi wajah manis gadis itu. Terlihat lelah dan kusam namun tak menghilangkan kesan manis dan ramah pada wajah mungilnya.

“Nad...”

“Hmm?”

Nadia masih asik menatap jalanan dari lantai dua restoran ketika Doni memanggilnya, lalu menoleh kala lelaki itu masih tak bersuara. Menatap pada mata legam Doni yang tegas dan teduh disaat yang bersamaan. Mata indah yang dapat memikat siapa saja yang memandangnya.

Gadis itu terpesona, mata sebening embun itu begitu indah. Namun Nadia menyadari, dibalik mata indah itu ada kegundahan dan kesedihan pada diri Doni. Begitu kelam, sehingga Nadia ingin tau lebih dalam mengapa di mata seindah itu menyimpan banyak luka yang disembunyikan kepada semua orang.

Belum sempat menelisik lebih jauh, suara Doni memecahkan keheningan yang terjadi diantara mereka berdua. Membawa kembali Nadia pada kenyataan setelah terjebak dalam tatapan mata Doni.

“Soal kemaren, gimana? Lo mau ambil tawaran gue?”