hyukies

Waktunya tiba.

“Tumben ngajak ketemu? Biasanya kalo diajak sibuk terus.” Sapa Haruto yang baru mendudukkan badannya di kursi depan Yedam, kasih hatinya.

“Emang nggak boleh ya? Lagian aku kangen kamu tau,” balas Yedam dengan senyuman manis.

“Cie kangen aku cieee, sini dong, peluk kalo kangen,” suruh Haruto. Ia membuka lebar kedua tangannya, dan dengan senang hati Yedam masuk dalam dekapan hangat Haruto. Ada rasa bahagia yang menghampiri Haruto, rindu yang selama ini ia tahan akhirnya sekarang keluar dan menghempas jauh.

Namun, apa benar hanya karena 'rindu' Yedam mengajaknya bertemu? Atau ada maksud lain yang terselubung?

Pelukannya terlepas. Haruto memandang sejenak paras indah kasihnya; diusap pelan pipinya dan diberi cubitan guna menyalurkan kegemasan dirinya.

“Aih, kebiasaan cubit-cubit,” protes Yedam. “Sakit tau, merah nih!”

“Hehe maaf. Abisnya kamu gemes banget, lagian berapa bulan kamu nggak aku cubit, gak kangen emang?” Godanya dengan alis naik turun.

“Enggak. Duduk cepetan, ayo ngobrol serius,” suruh Yedam.

Serius? Jadi, ini maksud utamanya?

Haruto menurut. Ia menyiapkan jiwa serta raganya, kalau-kalau ucapan menyakitkan keluar dari mulut Yedam. Namun, tetap senyum indah ia pasang di wajah tampannya.

“Kamu udah libur atau lagi ngelibur?”

“Lagi libur. Mangkanya aku ngajak kamu ke sini, mumpung ada waktu,” jawab Yedam.

Senyumnya perlahan menipis. Kini ia bukan lagi alasan utama Yedam, namun hanya sekedar pengisi luangnya. Buru-buru ia tepis pemikiran tersebut, ia tak boleh egois. Lagipula, dia ini siapa? Hanya pacar. Ia pun tak dapat menjamin kapan mereka akan berpisah, wajar saja Yedam lebih mementingkan urusannya daripada dirinya.

“Mau ngobrol apa?” Tanya Haruto lagi.

Yedam mengalihkan pandang dan menarik napas perlahan. Ia rangkai semua kata dalam otak, ia mantapkan hati, dan bibirnya mulai mengucap. “Semingguan ini aku sering mikir tentang kamu, tentang hubungan kita.”

“Tiap pagi aku dilanda rasa gelisah. Bingung sama keadaan ku sekarang ini. Waktu itu pula kenangan masa lalu kita keinget, persis kayak scene flashback di film-film.” Yedam berhenti sejenak guna melihat reaksi Haruto. Haruto hanya diam dan terus memajang senyum, mendengarnya berbicara, Yedam tak kuasa memandangnya lebih lama, sebab menyakitkan baginya.

Dengan sekuat tenaga ia lanjutkan perkataanya, “aku nggak tau apa yang salah sama diriku. Aku ngerasa aku aneh, aku beda dari yang dulu. Sampai akhirnya tadi pagi, betul-betul pagi jam dua dini hari tepat, aku punya rencana buat mengakhiri hubungan kita.”

Senyumnya tak luntur, namun hatinya hancur lebur. Walaupun ia sudah menduga hal ini akan datang, tapi mengapa rasanya sesakit ini? Dadanya sesak luar biasa. Ia ingin menangis, berteriak sekuat tenaga, bertanya apa salahnya, meminta penjelasan lebih rinci, namun mulutnya seperti dikunci. Pada akhirnya Haruto hanya diam, menatap lekat lawan bicara yang kini menunduk dalam.

Ia tarik panjang napasnya. “Boleh kasih aku satu alasan yang bikin kamu mutusin buat pisah?”

Yedam mengangguk pelan. “Aku pikir kita udah nggak cocok. Rasanya beda, semuanya hambar. Aku.. aku nggak yakin kita bisa lebih lama lagi kayak gini.”

“Pertama kita ketemu rasanya gimana sih kak? Canggung dan hambar juga kan ya? Terus kita akhirnya kenalan dan buat kenangan bareng bahkan ngejalin hubungan yang udah jalan hampir 4 tahunan.” Haruto mati-matian menahan lelehan air matanya jatuh, ia mendongak dan menatap lama langit-langit tempat mereka bertemu.

“Rasa hambar itu perlahan terkikis sama rasa manis, pahit, asin, dan semacamnya. Dan hari ini kakak bilang rasa hambar itu kembali. Rasa itu kembali bukan karena kita udah nggak cocok, enggak kak. Rasa itu hinggap lagi karena jarak antara kita terlalu tebal. Kakak yang sibuk luar biasa sampai nggak ada waktu buat sama aku. Oke lah, aku paham, kakak begitu buat masa depan kakak. Tapi apa iya, kakak nggak bisa balas ucapan selamat pagi ku di chat sekali aja? Walaupun sedikit, setidaknya kita tetep berkomunikasi.”

“Aku juga sama kayak kakak, tiap malem selalu kepikiran. Nggak seminggu, sebulan ataupun dua bulan, aku udah mulai kepikiran semenjak kakak sibuk sendiri. Tiap malem aku nggak bisa tidur, pikiranku jalan-jalan tanpa arah. Mikir, gimana kalo kakak selingkuh, gimana kalo Kak Yedam nyaman sama orang, Kak Yedam kecapekan enggak, hari kakak gimana, Kak Yedam istirahat enggak. Sampai-sampai satu pertanyaan ini bersarang dipikiran ku terus-menerus, 'Kak Yedam bakal mutusin aku nggak ya di keadaan kayak gini?'. Dan, ya, hari ini pertanyaan itu jadi kenyataan,” ujar Haruto panjang lebar.

Yedam tak berkutik, ia hanya mendengarkan dan menghapus air matanya perlahan. Perasaan bersalah mengerubunginya, namun ia sendiri tak mengerti ada apa dengan dirinya sekarang.

“Inget nggak sih kak, kalo hubungan kita tuh rintangannya banyak banget haha,” tawa menyedihkan Haruto suguhkan untuk Yedam. Bersamaan dengan itu, air mata yang sedari tadi ditahan akhirnya terjun juga.

“Mulai dari Kak Yedam yang nolak aku dan aku yang cari pelarian sana-sini. Terus aku yang bosen dan berani mendua dari kakak. Asli, ini sih yang paling aku inget. Kakak nggak kayak kebanyakan orang, kakak bilang ke aku, nasehatin aku baik-baik nggak pake amarah sama sekali. Kakak bilang, 'ayo kita buat kenangan baru lagi, kali ini aku jamin nggak bakal bikin kamu bosen,' haha rasanya aku mau nangis terus kalo keinget itu. Mulai saat itu aku janji ke diri sendiri buat nggak bakal mendua dan nyakitin kakak. Aku bakal belajar terus buat... Hah, nggak kuat.” Haruto menelungkupkan wajahnya ke meja, menumpahkan tangisnya. Ia lupakan fakta bahwa mereka berada di tempat umum, tempat ramai. Yang terpenting dadanya tidak sesak serta pernapasannya normal kembali.

Lagi-lagi Yedam menghindari Haruto dari penglihatannya. Diusapnya air mata di pipi, lalu berucap dengan kalimat sumbang khas orang habis menangis. “Aku sendiri juga gak paham sama diriku yang sekarang. Aku ngerasa ganjel sama perasaan dan pemikiran sendiri. Bingung Ru..”

Haruto terdiam beberapa menit, menumpahkan segala sakitnya sebentar. “Karena komunikasi kita kurang, mangkanya rasanya hambar, beda, asing. Dinding diantara kita udah tebel, ngebuat kita jadi kayak orang asing lagi.”

Yedam setuju. Ia mengaku ia salah akan hal tersebut. Ia tak pernah menyempatkan diri untuk sekedar membalas sapaan singkat Haruto. Ia terlalu sibuk dengan dunianya, hingga ia lupa akan pasangannya.

“Aku pengen banget kalo kakak udah agak senggang nanti kita jalan-jalan bareng. Entah ke pantai, ke hutan antah-berantah, ataupun main sama binatang. Aku mau kita sama-sama masang senyum dengan alasan satu sama lain. Aku juga pengen loh, jadi support system kakak. Maka dari itu setiap pagi aku selalu ngirim pesan ke kakak biar semangat, ya walaupun nggak dibaca sih haha.” Curah Haruto lagi.

“Kalo udah gini, mending aku pergi aja gak sih kak?”

“Sebentar ya Ruto. Biar aku kasih waktu buat pikiran dan hati mutusin gimana nantinya. Sebentar kok, 5 menit aja, biar nantinya aku nggak salah ambil keputusan,” izin Yedam.

“Iya, silahkan,” jawab Haruto dengan senyum tipis.

Yedam hari ini sangat tampan. Rambutnya berganti hitam legam, baju yang dipakai adalah baju hadiah darinya saat Yedam berulang tahun setahun lalu. Matanya memerah, hidungnya kesusahan bernapas, namun senyuman manis selalu ia suguhkan untuk Yedam seorang.

“Ruto,”

“Udah?”

“Iya, udah.”

“Gimana?”

“Aku.. aku mutusin buat pisah dulu, boleh? Aku mau memperbaiki diri dulu, cari dimana letak kesalahan ku sendiri. Boleh kan?” Tanya Yedam takut-takut.

“Boleh dong. Kalo itu bikin kakak bahagia, emang bisa aku nolak?”

“Walaupun ini berat banget rasanya buat aku, tapi aku juga nggak boleh egois kan ya. Jadi, aku bakal pergi, dengan harapan kakak selalu dirundung rasa bahagia. Meskipun nggak bareng ataupun karena aku,” ucap Haruto lagi.

Can i get hug before we officially break?” Pintanya.

Sure.”

Lalu Haruto berhambur dalam pelukan Yedam. Menghirup lama parfum kesayangannya, menumpahkan lagi tangisnya pada bahu sang kesayangan, dan mengelus-elus punggung kesayangannya. Ia akan merindukan pelukan hangat ini.

“Haruto,”

“Iya, ada lagi?”

Yedam menggeleng pelan dalam pelukan. “Enggak ada. Aku cuman mau minta maaf ke kamu. Gara-gara aku kamu jadi nangis terus kesusahan napas gini. Maaf ya, aku sering abai sama pesan kamu. Terus nyakitin kamu dengan pernyataan dan permintaan tiba-tiba ku..”

“Dimaafin.” Haruto mengusap pelan rambut Yedam. “Lagipula ini nggak sepenuhnya salah kakak. Kakak sibuk juga buat keperluan hidup kakak, kan? Santai aja sih kak.”

“Mungkin ini emang waktunya aku tersakiti setelah bertahun-tahun lamanya Kak Yedam terus yang tersakiti.”

Yedam tertawa, “haha iya kali ya. Gantian gitu hahaha.”

“Ya semoga aja kalo kita ngejalin hubungan lagi bisa sama-sama bahagia dan nggak ada yang tersakiti.”

“Iya, semoga.”

Setidaknya, buku kisah mereka ditutup dengan baik, walau banyak air mata berderai dalam tiap detiknya. Namun, mereka juga akan selalu mengenang kejadian hari ini.

Rasa hambar dan bosan cepatlah pergi, agar kita dapat kembali membuat buku baru untuk kisah kita yang baru lagi.

Waktunya tiba.

“Tumben ngajak ketemu? Biasanya kalo diajak sibuk terus.” Sapa Haruto yang baru mendudukkan badannya di kursi depan Yedam, kasih hatinya.

“Emang nggak boleh ya? Lagian aku kangen kamu tau,” balas Yedam dengan senyuman manis.

“Cie kangen aku cieee, sini dong, peluk kalo kangen,” suruh Haruto. Ia membuka lebar kedua tangannya, dan dengan senang hati Yedam masuk dalam dekapan hangat Haruto. Ada rasa bahagia yang menghampiri Haruto, rindu yang selama ini ia tahan akhirnya sekarang keluar dan menghempas jauh.

Namun, apa benar hanya karena 'rindu' Yedam mengajaknya bertemu? Atau ada maksud lain yang terselubung?

Pelukannya terlepas. Haruto memandang sejenak paras indah kasihnya; diusap pelan pipinya dan diberi cubitan guna menyalurkan kegemasan dirinya.

“Aih, kebiasaan cubit-cubit,” protes Yedam. “Sakit tau, merah nih!”

“Hehe maaf. Abisnya kamu gemes banget, lagian berapa bulan kamu nggak aku cubit, gak kangen emang?” Godanya dengan alis naik turun.

“Enggak. Duduk cepetan, ayo ngobrol serius,” suruh Yedam.

Serius? Jadi, ini maksud utamanya?

Haruto menurut. Ia menyiapkan jiwa serta raganya, kalau-kalau ucapan menyakitkan keluar dari mulut Yedam. Namun, tetap senyum indah ia pasang di wajah tampannya.

“Kamu udah libur atau lagi ngelibur?”

“Lagi libur. Mangkanya aku ngajak kamu ke sini, mumpung ada waktu,” jawab Yedam.

Senyumnya perlahan menipis. Kini ia bukan lagi alasan utama Yedam, namun hanya sekedar pengisi luangnya. Buru-buru ia tepis pemikiran tersebut, ia tak boleh egois. Lagipula, dia ini siapa? Hanya pacar. Ia pun tak dapat menjamin kapan mereka akan berpisah, wajar saja Yedam lebih mementingkan urusannya daripada dirinya.

“Mau ngobrol apa?” Tanya Haruto lagi.

Yedam mengalihkan pandang dan menarik napas perlahan. Ia rangkai semua kata dalam otak, ia mantapkan hati, dan bibirnya mulai mengucap. “Semingguan ini aku sering mikir tentang kamu, tentang hubungan kita.”

“Tiap pagi aku dilanda rasa gelisah. Bingung sama keadaan ku sekarang ini. Waktu itu pula kenangan masa lalu kita keinget, persis kayak scene flashback di film-film.” Yedam berhenti sejenak guna melihat reaksi Haruto. Haruto hanya diam dan terus memajang senyum, mendengarnya berbicara, Yedam tak kuasa memandangnya lebih lama, sebab menyakitkan baginya.

Dengan sekuat tenaga ia lanjutkan perkataanya, “aku nggak tau apa yang salah sama diriku. Aku ngerasa aku aneh, aku beda dari yang dulu. Sampai akhirnya tadi pagi, betul-betul pagi jam dua dini hari tepat, aku punya rencana buat mengakhiri hubungan kita.”

Senyumnya tak luntur, namun hatinya hancur lebur. Walaupun ia sudah menduga hal ini akan datang, tapi mengapa rasanya sesakit ini? Dadanya sesak luar biasa. Ia ingin menangis, berteriak sekuat tenaga, bertanya apa salahnya, meminta penjelasan lebih rinci, namun mulutnya seperti dikunci. Pada akhirnya Haruto hanya diam, menatap lekat lawan bicara yang kini menunduk dalam.

Ia tarik panjang napasnya. “Boleh kasih aku satu alasan yang bikin kamu mutusin buat pisah?”

Yedam mengangguk pelan. “Aku pikir kita udah nggak cocok. Rasanya beda, semuanya hambar. Aku.. aku nggak yakin kita bisa lebih lama lagi kayak gini.”

“Pertama kita ketemu rasanya gimana sih kak? Canggung dan hambar juga kan ya? Terus kita akhirnya kenalan dan buat kenangan bareng bahkan ngejalin hubungan yang udah jalan hampir 4 tahunan.” Haruto mati-matian menahan lelehan air matanya jatuh, ia mendongak dan menatap lama langit-langit tempat mereka bertemu.

“Rasa hambar itu perlahan terkikis sama rasa manis, pahit, asin, dan semacamnya. Dan hari ini kakak bilang rasa hambar itu kembali. Rasa itu kembali bukan karena kita udah nggak cocok, enggak kak. Rasa itu hinggap lagi karena jarak antara kita terlalu tebal. Kakak yang sibuk luar biasa sampai nggak ada waktu buat sama aku. Oke lah, aku paham, kakak begitu buat masa depan kakak. Tapi apa iya, kakak nggak bisa balas ucapan selamat pagi ku di chat sekali aja? Walaupun sedikit, setidaknya kita tetep berkomunikasi.”

“Aku juga sama kayak kakak, tiap malem selalu kepikiran. Nggak seminggu, sebulan ataupun dua bulan, aku udah mulai kepikiran semenjak kakak sibuk sendiri. Tiap malem aku nggak bisa tidur, pikiranku jalan-jalan tanpa arah. Mikir, gimana kalo kakak selingkuh, gimana kalo Kak Yedam nyaman sama orang, Kak Yedam kecapekan enggak, hari kakak gimana, Kak Yedam istirahat enggak. Sampai-sampai satu pertanyaan ini bersarang dipikiran ku terus-menerus, 'Kak Yedam bakal mutusin aku nggak ya di keadaan kayak gini?'. Dan, ya, hari ini pertanyaan itu jadi kenyataan,” ujar Haruto panjang lebar.

Yedam tak berkutik, ia hanya mendengarkan dan menghapus air matanya perlahan. Perasaan bersalah mengerubunginya, namun ia sendiri tak mengerti ada apa dengan dirinya sekarang.

“Inget nggak sih kak, kalo hubungan kita tuh rintangannya banyak banget haha,” tawa menyedihkan Haruto suguhkan untuk Yedam. Bersamaan dengan itu, air mata yang sedari tadi ditahan akhirnya terjun juga.

“Mulai dari Kak Yedam yang nolak aku dan aku yang cari pelarian sana-sini. Terus aku yang bosen dan berani mendua dari kakak. Asli, ini sih yang paling aku inget. Kakak nggak kayak kebanyakan orang, kakak bilang ke aku, nasehatin aku baik-baik nggak pake amarah sama sekali. Kakak bilang, 'ayo kita buat kenangan baru lagi, kali ini aku jamin nggak bakal bikin kamu bosen,' haha rasanya aku mau nangis terus kalo keinget itu. Mulai saat itu aku janji ke diri sendiri buat nggak bakal mendua dan nyakitin kakak. Aku bakal belajar terus buat... Hah, nggak kuat.” Haruto menelungkupkan wajahnya ke meja, menumpahkan tangisnya. Ia lupakan fakta bahwa mereka berada di tempat umum, tempat ramai. Yang terpenting dadanya tidak sesak serta pernapasannya normal kembali.

Lagi-lagi Yedam menghindari Haruto dari penglihatannya. Diusapnya air mata di pipi, lalu berucap dengan kalimat sumbang khas orang habis menangis. “Aku sendiri juga gak paham sama diriku yang sekarang. Aku ngerasa ganjel sama perasaan dan pemikiran sendiri. Bingung Ru..”

Haruto terdiam beberapa menit, menumpahkan segala sakitnya sebentar. “Karena komunikasi kita kurang, mangkanya rasanya hambar, beda, asing. Dinding diantara kita udah tebel, ngebuat kita jadi kayak orang asing lagi.”

Yedam setuju. Ia mengaku ia salah akan hal tersebut. Ia tak pernah menyempatkan diri untuk sekedar membalas sapaan singkat Haruto. Ia terlalu sibuk dengan dunianya, hingga ia lupa akan pasangannya.

“Aku pengen banget kalo kakak udah agak senggang nanti kita jalan-jalan bareng. Entah ke pantai, ke hutan antah-berantah, ataupun main sama binatang. Aku mau kita sama-sama masang senyum dengan alasan satu sama lain. Aku juga pengen loh, jadi support system kakak. Maka dari itu setiap pagi aku selalu ngirim pesan ke kakak biar semangat, ya walaupun nggak dibaca sih haha.” Curah Haruto lagi.

“Kalo udah gini, mending aku pergi aja gak sih kak?”

“Sebentar ya Ruto. Biar aku kasih waktu buat pikiran dan hati mutusin gimana nantinya. Sebentar kok, 5 menit aja, biar nantinya aku nggak salah ambil keputusan,” izin Yedam.

“Iya, silahkan,” jawab Haruto dengan senyum tipis.

Yedam hari ini sangat tampan. Rambutnya berganti hitam legam, baju yang dipakai adalah baju hadiah darinya saat Yedam berulang tahun setahun lalu. Matanya memerah, hidungnya kesusahan bernapas, namun senyuman manis selalu ia suguhkan untuk Yedam seorang.

“Ruto,”

“Udah?”

“Iya, udah.”

“Gimana?”

“Aku.. aku mutusin buat pisah dulu, boleh? Aku mau memperbaiki diri dulu, cari dimana letak kesalahan ku sendiri. Boleh kan?” Tanya Yedam takut-takut.

“Boleh dong. Kalo itu bikin kakak bahagia, emang bisa aku nolak?”

“Walaupun ini berat banget rasanya buat aku, tapi aku juga nggak boleh egois kan ya. Jadi, aku bakal pergi, dengan harapan kakak selalu dirundung rasa bahagia. Meskipun nggak bareng ataupun karena aku,” ucap Haruto lagi.

Can i get hug before we officially break?” Pintanya.

Sure.”

Lalu Haruto berhambur dalam pelukan Yedam. Menghirup lama parfum kesayangannya, menumpahkan lagi tangisnya pada bahu sang kesayangan, dan mengelus-elus punggung kesayangannya. Ia akan merindukan pelukan hangat ini.

“Haruto,”

“Iya, ada lagi?”

Yedam menggeleng pelan dalam pelukan. “Enggak ada. Aku cuman mau minta maaf ke kamu. Gara-gara aku kamu jadi nangis terud kesusahan napas gini. Maaf ya, aku sering abai sama pesan kamu. Terus nyakitin kamu dengan pernyataan dan permintaan tiba-tiba ku..”

“Dimaafin.” Haruto mengusap pelan rambut Yedam. “Lagipula ini nggak sepenuhnya salah kakak. Kakak sibuk juga buat keperluan hidup kakak, kan? Santai aja sih kak.”

“Ini mungkin emang waktunya aku tersakiti setelah bertahun-tahun lamanya Kak Yedam terus yang tersakiti.”

Yedam tertawa, “haha iya kali ya. Gantian gitu hahaha.”

“Ya semoga aja kalo kita ngejalin hubungan lagi bisa sama-sama bahagia dan nggak ada yang tersakiti.”

“Iya, semoga.”

Setidaknya, buku kisah mereka ditutup dengan baik, walau banyak air mata berderai dalam tiap detiknya. Namun, mereka juga akan selalu mengenang kejadian hari ini.

Rasa hambar dan bosan cepatlah pergi, agar kita dapat kembali membuat buku baru untuk kisah kita yang baru lagi.

Waktunya tiba.

“Tumben ngajak ketemu? Biasanya kalo diajak sibuk terus.” Sapa Haruto yang baru mendudukkan badannya di kursi depan Yedam, kasih hatinya.

“Emang nggak boleh ya? Lagian aku kangen kamu tau,” balas Yedam dengan senyuman manis.

“Cie kangen aku cieee, sini dong, peluk kalo kangen,” suruh Haruto. Ia membuka lebar kedua tangannya, dan dengan senang hati Yedam masuk dalam dekapan hangat Haruto. Ada rasa bahagia yang menghampiri Haruto, rindu yang selama ini ia tahan akhirnya sekarang keluar dan menghempas jauh.

Namun, apa benar hanya karena 'rindu' Yedam mengajaknya bertemu? Atau ada maksud lain yang terselubung?

Pelukannya terlepas. Haruto memandang sejenak paras indah kasihnya; diusap pelan pipinya dan diberi cubitan guna menyalurkan kegemasan dirinya.

“Aih, kebiasaan cubit-cubit,” protes Yedam. “Sakit tau, merah nih!”

“Hehe maaf. Abisnya kamu gemes banget, lagian berapa bulan kamu nggak aku cubit, gak kangen emang?” Godanya dengan alis naik turun.

“Enggak. Duduk cepetan, ayo ngobrol serius,” suruh Yedam.

Serius? Jadi, ini maksud utamanya?

Haruto menurut. Ia menyiapkan jiwa serta raganya, kalau-kalau ucapan menyakitkan keluar dari mulut Yedam. Namun, tetap senyum indah ia pasang di wajah tampannya.

“Kamu udah libur atau lagi ngelibur?”

“Lagi libur. Mangkanya aku ngajak kamu ke sini, mumpung ada waktu,” jawab Yedam.

Senyumnya perlahan menipis. Kini ia bukan lagi alasan utama Yedam, namun hanya sekedar pengisi luangnya. Buru-buru ia tepis pemikiran tersebut, ia tak boleh egois. Lagipula, dia ini siapa? Hanya pacar. Ia pun tak dapat menjamin kapan mereka akan berpisah, wajar saja Yedam lebih mementingkan urusannya daripada dirinya.

“Mau ngobrol apa?” Tanya Haruto lagi.

Yedam mengalihkan pandang dan menarik napas perlahan. Ia rangkai semua kata dalam otak, ia mantapkan hati, dan bibirnya mulai mengucap. “Semingguan ini aku sering mikir tentang kamu, tentang hubungan kita.”

“Tiap pagi aku dilanda rasa gelisah. Bingung sama keadaan ku sekarang ini. Waktu itu pula kenangan masa lalu kita keinget, persis kayak scene flashback di film-film.” Yedam berhenti sejenak guna melihat reaksi Haruto. Haruto hanya diam dan terus memajang senyum, mendengarnya berbicara, Yedam tak kuasa memandangnya lebih lama, sebab menyakitkan baginya.

Dengan sekuat tenaga ia lanjutkan perkataanya, “aku nggak tau apa yang salah sama diriku. Aku ngerasa aku aneh, aku beda dari yang dulu. Sampai akhirnya tadi pagi, betul-betul pagi jam dua dini hari tepat, aku punya rencana buat mengakhiri hubungan kita.”

Senyumnya tak luntur, namun hatinya hancur lebur. Walaupun ia sudah menduga hal ini akan datang, tapi mengapa rasanya sesakit ini? Dadanya sesak luar biasa. Ia ingin menangis, berteriak sekuat tenaga, bertanya apa salahnya, meminta penjelasan lebih rinci, namun mulutnya seperti dikunci. Pada akhirnya Haruto hanya diam, menatap lekat lawan bicara yang kini menunduk dalam.

Ia tarik panjang napasnya. “Boleh kasih aku satu alasan yang bikin kamu mutusin buat pisah?”

Yedam mengangguk pelan. “Aku pikir kita udah nggak cocok. Rasanya beda, semuanya hambar. Aku.. aku nggak yakin kita bisa lebih lama lagi kayak gini.”

“Pertama kita ketemu rasanya gimana sih kak? Canggung dan hambar juga kan ya? Terus kita akhirnya kenalan dan buat kenangan bareng bahkan ngejalin hubungan yang udah jalan hampir 4 tahunan.” Haruto mati-matian menahan lelehan air matanya jatuh, ia mendongak dan menatap lama langit-langit tempat mereka bertemu.

“Rasa hambar itu perlahan terkikis sama rasa manis, pahit, asin, dan semacamnya. Dan hari ini kakak bilang rasa hambar itu kembali. Rasa itu kembali bukan karena kita udah nggak cocok, enggak kak. Rasa itu hinggap lagi karena jarak antara kita terlalu tebal. Kakak yang sibuk luar biasa sampai nggak ada waktu buat sama aku. Oke lah, aku paham, kakak begitu buat masa depan kakak. Tapi apa iya, kakak nggak bisa balas ucapan selamat pagi ku di chat sekali aja? Walaupun sedikit, setidaknya kita tetep berkomunikasi.”

“Aku juga sama kayak kakak, tiap malem selalu kepikiran. Nggak seminggu, sebulan ataupun dua bulan, aku udah mulai kepikiran semenjak kakak sibuk sendiri. Tiap malem aku nggak bisa tidur, pikiranku jalan-jalan tanpa arah. Mikir, gimana kalo kakak selingkuh, gimana kalo Kak Yedam nyaman sama orang, Kak Yedam kecapekan enggak, hari kakak gimana, Kak Yedam istirahat enggak. Sampai-sampai satu pertanyaan ini bersarang dipikiran ku terus-menerus, 'Kak Yedam bakal mutusin aku nggak ya di keadaan kayak gini?'. Dan, ya, hari ini pertanyaan itu jadi kenyataan,” ujar Haruto panjang lebar.

Yedam tak berkutik, ia hanya mendengarkan dan menghapus air matanya perlahan. Perasaan bersalah mengerubunginya, namun ia sendiri tak mengerti ada apa dengan dirinya sekarang.

“Inget nggak sih kak, kalo hubungan kita tuh rintangannya banyak banget haha,” tawa menyedihkan Haruto suguhkan untuk Yedam. Bersamaan dengan itu, air mata yang sedari tadi ditahan akhirnya terjun juga.

“Mulai dari Kak Yedam yang nolak aku dan aku yang cari pelarian sana-sini. Terus aku yang bosen dan berani mendua dari kakak. Asli, ini sih yang paling aku inget. Kakak nggak kayak kebanyakan orang, kakak bilang ke aku, nasehatin aku baik-baik nggak pake amarah sama sekali. Kakak bilang, 'ayo kita buat kenangan baru lagi, kali ini aku jamin nggak bakal bikin kamu bosen,' haha rasanya aku mau nangis terus kalo keinget itu. Mulai saat itu aku janji ke diri sendiri buat nggak bakal mendua dan nyakitin kakak. Aku bakal belajar terus buat... Hah, nggak kuat.” Haruto menelungkupkan wajahnya ke meja, menumpahkan tangisnya. Ia lupakan fakta bahwa mereka berada di tempat umum, tempat ramai. Yang terpenting dadanya tidak sesak serta pernapasannya normal kembali.

Lagi-lagi Yedam menghindari Haruto dari penglihatannya. Diusapnya air mata di pipi, lalu berucap dengan kalimat sumbang khas orang habis menangis. “Aku sendiri juga gak paham sama diriku yang sekarang. Aku ngerasa ganjel sama perasaan dan pemikiran sendiri. Bingung Ru..”

Haruto terdiam beberapa menit, menumpahkan segala sakitnya sebentar. “Karena komunikasi kita kurang, mangkanya rasanya hambar, beda, asing. Dinding diantara kita udah tebel, ngebuat kita jadi kayak orang asing lagi.”

Yedam setuju. Ia mengaku ia salah akan hal tersebut. Ia tak pernah menyempatkan diri untuk sekedar membalas sapaan singkat Haruto. Ia terlalu sibuk dengan dunianya, hingga ia lupa akan pasangannya.

“Aku pengen banget kalo kakak udah agak senggang nanti kita jalan-jalan bareng. Entah ke pantai, ke hutan antah-berantah, ataupun main sama binatang. Aku mau kita sama-sama masang senyum dengan alasan satu sama lain. Aku juga pengen loh, jadi support system kakak. Maka dari itu setiap pagi aku selalu ngirim pesan ke kakak biar semangat, ya walaupun nggak dibaca sih haha.” Curah Haruto lagi.

“Kalo udah gini, mending aku pergi aja gak sih kak?”

“Sebentar ya Ruto. Biar aku kasih waktu buat pikiran dan hati mutusin gimana nantinya. Sebentar kok, 5 menit aja, biar nantinya aku nggak salah ambil keputusan,” izin Yedam.

“Iya, silahkan,” jawab Haruto dengan senyum tipis.

Yedam hari ini sangat tampan. Rambutnya berganti hitam legam, baju yang dipakai adalah baju hadiah darinya saat Yedam berulang tahun setahun lalu. Matanya memerah, hidungnya kesusahan bernapas, namun senyuman manis selalu ia suguhkan untuk Yedam seorang.

“Ruto,”

“Udah?”

“Iya, udah.”

“Gimana?”

“Aku.. aku mutusin buat pisah dulu, boleh? Aku mau memperbaiki diri dulu, cari dimana letak kesalahan ku sendiri. Boleh kan?” Tanya Yedam takut-takut.

“Boleh dong. Kalo itu bikin kakak bahagia, emang bisa aku nolak?”

“Walaupun ini berat banget rasanya buat aku, tapi aku juga nggak boleh egois kan ya. Jadi, aku bakal pergi, dengan harapan kakak selalu dirundung rasa bahagia. Meskipun nggak bareng ataupun karena aku,” ucap Haruto lagi.

Can i get hug before we officially break?” Pintanya.

Sure.”

Lalu Haruto berhambur dalam pelukan Yedam. Menghirup lama parfum kesayangannya, menumpahkan tangisnya pada bahu sang kesayangan, dan mengelus-elus punggung kesayangannya. Ia akan merindukan pelukan hangat ini.

Setidaknya, buku kisah mereka ditutup dengan baik, walau banyak air mata berderai dalam tiap detiknya.

Semoga hambarnya cepat pergi, agar kita dapat kembali membuat buku baru untuk kisah kita yang baru lagi.

Waktunya tiba.

“Tumben ngajak ketemu? Biasanya kalo diajak sibuk terus.” Sapa Haruto yang baru mendudukkan badannya di kursi depan Yedam, kasih hatinya.

“Emang nggak boleh ya? Lagian aku kangen kamu tau,” balas Yedam dengan senyuman manis.

“Cie kangen aku cieee, sini dong, peluk kalo kangen,” suruh Haruto. Ia membuka lebar kedua tangannya, dan dengan senang hati Yedam masuk dalam dekapan hangat Haruto. Ada rasa bahagia yang menghampiri Haruto, rindu yang selama ini ia tahan akhirnya sekarang keluar dan menghempas jauh.

Namun, apa benar hanya karena 'rindu' Yedam mengajaknya bertemu? Atau ada maksud lain yang terselubung?

Pelukannya terlepas. Haruto memandang sejenak paras indah kasihnya; diusap pelan pipinya dan diberi cubitan guna menyalurkan kegemasan dirinya.

“Aih, kebiasaan cubit-cubit,” protes Yedam. “Sakit tau, merah nih!”

“Hehe maaf. Abisnya kamu gemes banget, lagian berapa bulan kamu nggak aku cubit, gak kangen emang?” Godanya dengan alis naik turun.

“Enggak. Duduk cepetan, ayo ngobrol serius,” suruh Yedam.

Serius? Jadi, ini maksud utamanya?

Haruto menurut. Ia menyiapkan jiwa serta raganya, kalau-kalau ucapan menyakitkan keluar dari mulut Yedam. Namun, tetap senyum indah ia pasang di wajah tampannya.

“Kamu udah libur atau lagi ngelibur?”

“Lagi libur. Mangkanya aku ngajak kamu ke sini, mumpung ada waktu,” jawab Yedam.

Senyumnya perlahan menipis. Kini ia bukan lagi alasan utama Yedam, namun hanya sekedar pengisi luangnya. Buru-buru ia tepis pemikiran tersebut, ia tak boleh egois. Lagipula, dia ini siapa? Hanya pacar. Ia pun tak dapat menjamin kapan mereka akan berpisah, wajar saja Yedam lebih mementingkan urusannya daripada dirinya.

“Mau ngobrol apa?” Tanya Haruto lagi.

Yedam mengalihkan pandang dan menarik napas perlahan. Ia rangkai semua kata dalam otak, ia mantapkan hati, dan bibirnya mulai mengucap. “Semingguan ini aku sering mikir tentang kamu, tentang hubungan kita.”

“Tiap pagi aku dilanda rasa gelisah. Bingung sama keadaan ku sekarang ini. Waktu itu pula kenangan masa lalu kita keinget, persis kayak scene flashback di film-film.” Yedam berhenti sejenak guna melihat reaksi Haruto. Haruto hanya diam dan terus memajang senyum, mendengarnya berbicara, Yedam tak kuasa memandangnya lebih lama, sebab menyakitkan baginya.

Dengan sekuat tenaga ia lanjutkan perkataanya, “aku nggak tau apa yang salah sama diriku. Aku ngerasa aku aneh, aku beda dari yang dulu. Sampai akhirnya tadi pagi, betul-betul pagi jam dua dini hari tepat, aku punya rencana buat mengakhiri hubungan kita.”

Senyumnya tak luntur, namun hatinya hancur lebur. Walaupun ia sudah menduga hal ini akan datang, tapi mengapa rasanya sesakit ini? Dadanya sesak luar biasa. Ia ingin menangis, berteriak sekuat tenaga, bertanya apa salahnya, meminta penjelasan lebih rinci, namun mulutnya seperti dikunci. Pada akhirnya Haruto hanya diam, menatap lekat lawan bicara yang kini menunduk dalam.

Ia tarik panjang napasnya. “Boleh kasih aku satu alasan yang bikin kamu mutusin buat pisah?”

Yedam mengangguk pelan. “Aku pikir kita udah nggak cocok. Rasanya beda, semuanya hambar. Aku.. aku nggak yakin kita bisa lebih lama lagi kayak gini.”

“Pertama kita ketemu rasanya gimana sih kak? Canggung dan hambar juga kan ya? Terus kita akhirnya kenalan dan buat kenangan bareng bahkan ngejalin hubungan yang udah jalan hampir 4 tahunan.” Haruto mati-matian menahan lelehan air matanya jatuh, ia mendongak dan menatap lama langit-langit tempat mereka bertemu.

“Rasa hambar itu perlahan terkikis sama rasa manis, pahit, asin, dan semacamnya. Dan hari ini kakak bilang rasa hambar itu kembali. Rasa itu kembali bukan karena kita udah nggak cocok, enggak kak. Rasa itu hinggap lagi karena jarak antara kita terlalu tebal. Kakak yang sibuk luar biasa sampai nggak ada waktu buat sama aku. Oke lah, aku paham, kakak begitu buat masa depan kakak. Tapi apa iya, kakak nggak bisa balas ucapan selamat pagi ku di chat sekali aja? Walaupun sedikit, setidaknya kita tetep berkomunikasi.”

“Aku juga sama kayak kakak, tiap malem selalu kepikiran. Nggak seminggu, sebulan ataupun dua bulan, aku udah mulai kepikiran semenjak kakak sibuk sendiri. Tiap malem aku nggak bisa tidur, pikiranku jalan-jalan tanpa arah. Mikir, gimana kalo kakak selingkuh, gimana kalo Kak Yedam nyaman sama orang, Kak Yedam kecapekan enggak, hari kakak gimana, Kak Yedam istirahat enggak. Sampai-sampai satu pertanyaan ini bersarang dipikiran ku terus-menerus, 'Kak Yedam bakal mutusin aku nggak ya di keadaan kayak gini?'. Dan, ya, hari ini pertanyaan itu jadi kenyataan,” ujar Haruto panjang lebar.

Yedam tak berkutik, ia hanya mendengarkan dan menghapus air matanya perlahan. Perasaan bersalah mengerubunginya, namun ia sendiri tak mengerti ada apa dengan dirinya sekarang.

“Inget nggak sih kak, kalo hubungan kita tuh rintangannya banyak banget haha,” tawa menyedihkan Haruto suguhkan untuk Yedam. Bersamaan dengan itu, air mata yang sedari tadi ditahan akhirnya terjun juga.

“Mulai dari Kak Yedam yang nolak aku dan aku yang cari pelarian sana-sini. Terus aku yang bosen dan berani mendua dari kakak. Asli, ini sih yang paling aku inget. Kakak nggak kayak kebanyakan orang, kakak bilang ke aku, nasehatin aku baik-baik nggak pake amarah sama sekali. Kakak bilang, 'ayo kita buat kenangan baru lagi, kali ini aku jamin nggak bakal bikin kamu bosen,' haha rasanya aku mau nangis terus kalo keinget itu. Mulai saat itu aku janji ke diri sendiri buat nggak bakal mendua dan nyakitin kakak. Aku bakal belajar terus buat... Hah, nggak kuat.” Haruto menelungkupkan wajahnya ke meja, menumpahkan tangisnya. Ia lupakan fakta bahwa mereka berada di tempat umum, tempat ramai. Yang terpenting dadanya tidak sesak serta pernapasannya normal kembali.

Lagi-lagi Yedam menghindari Haruto dari penglihatannya. Diusapnya air mata di pipi, lalu berucap dengan kalimat sumbang khas orang habis menangis. “Aku sendiri juga gak paham sama diriku yang sekarang. Aku ngerasa ganjel sama perasaan dan pemikiran sendiri. Bingung Ru..”

Haruto terdiam beberapa menit, menumpahkan segala sakitnya sebentar. “Karena komunikasi kita kurang, mangkanya rasanya hambar, beda, asing. Dinding diantara kita udah tebel, ngebuat kita jadi kayak orang asing lagi.”

Yedam setuju. Ia mengaku ia salah akan hal tersebut. Ia tak pernah menyempatkan diri untuk sekedar membalas sapaan singkat Haruto. Ia terlalu sibuk dengan dunianya, hingga ia lupa akan pasangannya.

“Aku pengen banget kalo kakak udah agak senggang nanti kita jalan-jalan bareng. Entah ke pantai, ke hutan antah-berantah, ataupun main sama binatang. Aku mau kita sama-sama masang senyum dengan alasan satu sama lain. Aku juga pengen loh, jadi support system kakak. Maka dari itu setiap pagi aku selalu ngirim pesan ke kakak biar semangat, ya walaupun nggak dibaca sih haha.” Curah Haruto lagi.

“Kalo udah gini, mending aku pergi aja ya kak?”

“Sebentar ya Ruto. Biar aku kasih waktu buat pikiran dan hati mutusin gimana nantinya. Sebentar kok, 5 menit aja, biar nantinya aku nggak salah ambil keputusan,” izin Yedam.

“Iya, silahkan,” jawab Haruto dengan senyum tipis.

Yedam hari ini sangat tampan. Rambutnya berganti hitam legam, baju yang dipakai adalah baju hadiah darinya saat Yedam berulang tahun setahun lalu. Matanya memerah, hidungnya kesusahan bernapas, namun senyuman manis selalu ia suguhkan untuk Yedam seorang.

“Ruto,”

“Udah?”

“Iya, udah.”

“Gimana?”

“Aku.. aku mutusin buat pisah dulu, boleh? Aku mau memperbaiki diri dulu, cari dimana letak kesalahan ku sendiri. Boleh kan?” Tanya Yedam takut-takut.

“Boleh dong. Kalo itu bikin kakak bahagia, emang bisa aku nolak?”

“Walaupun ini berat banget rasanya buat aku, tapi aku juga nggak boleh egois kan ya. Jadi, aku bakal pergi, dengan harapan kakak selalu dirundung rasa bahagia. Meskipun nggak bareng ataupun karena aku,” ucap Haruto lagi.

Can i get hug before we officially break?” Pintanya.

Sure.”

Lalu Haruto berhambur dalam pelukan Yedam. Menghirup lama parfum kesayangannya, menumpahkan tangisnya pada bahu sang kesayangan, dan mengelus-elus punggung kesayangannya. Ia akan merindukan pelukan hangat ini.

Setidaknya, buku kisah mereka ditutup dengan baik, walau banyak air mata berderai dalam tiap detiknya.

Semoga hambarnya cepat pergi, agar kita dapat kembali membuat buku baru untuk kisah kita yang baru lagi.

Waktunya tiba.

“Tumben ngajak ketemu? Biasanya kalo diajak sibuk terus.” Sapa Haruto yang baru mendudukkan badannya di kursi depan Yedam, kasih hatinya.

“Emang nggak boleh ya? Lagian aku kangen kamu tau,” balas Yedam dengan senyuman manis.

“Cie kangen aku cieee, sini dong, peluk kalo kangen,” suruh Haruto. Ia membuka lebar kedua tangannya, dan dengan senang hati Yedam masuk dalam dekapan hangat Haruto. Ada rasa bahagia yang menghampiri Haruto, rindu yang selama ini ia tahan akhirnya sekarang keluar dan menghempas jauh.

Namun, apa benar hanya karena 'rindu' Yedam mengajaknya bertemu? Atau ada maksud lain yang terselubung?

Pelukannya terlepas. Haruto memandang sejenak paras indah kasihnya; diusap pelan pipinya dan diberi cubitan guna menyalurkan kegemasan dirinya.

“Aih, kebiasaan cubit-cubit,” protes Yedam. “Sakit tau, merah nih!”

“Hehe maaf. Abisnya kamu gemes banget, lagian berapa bulan kamu nggak aku cubit, gak kangen emang?” Godanya dengan alis naik turun.

“Enggak. Duduk cepetan, ayo ngobrol serius,” suruh Yedam.

Serius? Jadi, ini maksud utamanya?

Haruto menurut. Ia menyiapkan jiwa serta raganya, kalau-kalau ucapan menyakitkan keluar dari mulut Yedam. Namun, tetap senyum indah ia pasang di wajah tampannya.

“Kamu udah libur atau lagi ngelibur?”

“Lagi libur. Mangkanya aku ngajak kamu ke sini, mumpung ada waktu,” jawab Yedam.

Senyumnya perlahan menipis. Kini ia bukan lagi alasan utama Yedam, namun hanya sekedar pengisi luangnya. Buru-buru ia tepis pemikiran tersebut, ia tak boleh egois. Lagipula, dia ini siapa? Hanya pacar. Ia pun tak dapat menjamin kapan mereka akan berpisah, wajar saja Yedam lebih mementingkan urusannya daripada dirinya.

“Mau ngobrol apa?” Tanya Haruto lagi.

Yedam mengalihkan pandang dan menarik napas perlahan. Ia rangkai semua kata dalam otak, ia mantapkan hati, dan bibirnya mulai mengucap. “Semingguan ini aku sering mikir tentang kamu, tentang hubungan kita.”

“Tiap pagi aku dilanda rasa gelisah. Bingung sama keadaan ku sekarang ini. Waktu itu pula kenangan masa lalu kita keinget, persis kayak scene flashback di film-film.” Yedam berhenti sejenak guna melihat reaksi Haruto. Haruto hanya diam dan terus memajang senyum, mendengarnya berbicara, Yedam tak kuasa memandangnya lebih lama, sebab menyakitkan baginya.

Dengan sekuat tenaga ia lanjutkan perkataanya, “aku nggak tau apa yang salah sama diriku. Aku ngerasa aku aneh, aku beda dari yang dulu. Sampai akhirnya tadi pagi, betul-betul pagi jam dua dini hari tepat, aku punya rencana buat mengakhiri hubungan kita.”

Senyumnya tak luntur, namun hatinya hancur lebur. Walaupun ia sudah menduga hal ini akan datang, tapi mengapa rasanya sesakit ini? Dadanya sesak luar biasa. Ia ingin menangis, berteriak sekuat tenaga, bertanya apa salahnya, meminta penjelasan lebih rinci, namun mulutnya seperti dikunci. Pada akhirnya Haruto hanya diam, menatap lekat lawan bicara yang kini menunduk dalam.

Ia tarik panjang napasnya. “Boleh kasih aku satu alasan yang bikin kamu mutusin buat pisah?”

Yedam mengangguk pelan. “Aku pikir kita udah nggak cocok. Rasanya beda, semuanya hambar. Aku.. aku nggak yakin kita bisa lebih lama lagi kayak gini.”

“Pertama kita ketemu rasanya gimana sih kak? Canggung dan hambar juga kan ya? Terus kita akhirnya kenalan dan buat kenangan bareng bahkan ngejalin hubungan yang udah jalan hampir 4 tahunan.” Haruto mati-matian menahan lelehan air matanya jatuh, ia mendongak dan menatap lama langit-langit tempat mereka bertemu.

“Rasa hambar itu perlahan terkikis sama rasa manis, pahit, asin, dan semacamnya. Dan hari ini kakak bilang rasa hambar itu kembali. Rasa itu kembali bukan karena kita udah nggak cocok, enggak kak. Rasa itu hinggap lagi karena jarak antara kita terlalu tebal. Kakak yang sibuk luar biasa sampai nggak ada waktu buat sama aku. Oke lah, aku paham, kakak begitu buat masa depan kakak. Tapi apa iya, kakak nggak bisa balas ucapan selamat pagi ku di chat sekali aja? Walaupun sedikit, setidaknya kita tetep berkomunikasi.”

“Aku juga sama kayak kakak, tiap malem selalu kepikiran. Nggak seminggu, sebulan ataupun dua bulan, aku udah mulai kepikiran semenjak kakak sibuk sendiri. Tiap malem aku nggak bisa tidur, pikiranku jalan-jalan tanpa arah. Mikir, gimana kalo kakak selingkuh, gimana kalo Kak Yedam nyaman sama orang, Kak Yedam kecapekan enggak, hari kakak gimana, Kak Yedam istirahat enggak. Sampai-sampai satu pertanyaan ini bersarang dipikiran ku terus-menerus, 'Kak Yedam bakal mutusin aku nggak ya di keadaan kayak gini?'. Dan, ya, hari ini pertanyaan itu jadi kenyataan,” ujar Haruto panjang lebar.

Yedam tak berkutik, ia hanya mendengarkan dan menghapus air matanya perlahan. Perasaan bersalah mengerubunginya, namun ia sendiri tak mengerti ada apa dengan dirinya sekarang.

“Inget nggak sih kak, kalo hubungan kita tuh rintangannya banyak banget haha,” tawa menyedihkan Haruto suguhkan untuk Yedam. Bersamaan dengan itu, air mata yang sedari tadi ditahan akhirnya terjun juga.

“Mulai dari Kak Yedam yang nolak aku dan aku yang cari pelarian sana-sini. Terus aku yang bosen dan berani mendua dari kakak. Asli, ini sih yang paling aku inget. Kakak nggak kayak kebanyakan orang, kakak bilang ke aku, nasehatin aku baik-baik nggak pake amarah sama sekali. Kakak bilang, 'ayo kita buat kenangan baru lagi, kali ini aku jamin nggak bakal bikin kamu bosen,' haha rasanya aku mau nangis terus kalo keinget itu. Mulai saat itu aku janji ke diri sendiri buat nggak bakal mendua dan nyakitin kakak. Aku bakal belajar terus buat... Hah, nggak kuat.” Haruto menelungkupkan wajahnya ke meja, menumpahkan tangisnya. Ia lupakan fakta bahwa mereka berada di tempat umum, tempat ramai. Yang terpenting dadanya tidak sesak serta pernapasannya normal kembali.

Lagi-lagi Yedam menghindari Haruto dari penglihatannya. Diusapnya air mata di pipi, lalu berucap dengan kalimat sumbang khas orang habis menangis. “Aku sendiri juga gak paham sama diriku yang sekarang. Aku ngerasa ganjel sama perasaan sama pemikiran sendiri. Bingung Ru..”

Haruto terdiam beberapa menit, menumpahkan segala sakitnya sebentar. “Karena komunikasi kita kurang, mangkanya rasanya hambar, beda, asing. Dinding diantara kita udah tebel, ngebuat kita jadi kayak orang asing lagi.”

Yedam setuju. Ia mengaku ia salah akan hal tersebut. Ia tak pernah menyempatkan diri untuk sekedar membalas sapaan singkat Haruto. Ia terlalu sibuk dengan dunianya, hingga ia lupa akan pasangannya.

“Aku pengen banget kalo kakak udah agak senggang nanti kita jalan-jalan bareng. Entah ke pantai, ke hutan antah-berantah, ataupun main sama binatang. Aku mau kita sama-sama masang senyum dengan alasan satu sama lain. Aku juga pengen loh, jadi support system kakak. Maka dari itu setiap pagi aku selalu ngirim pesan ke kakak biar semangat, ya walaupun nggak dibaca sih haha.” Curah Haruto lagi.

“Kalo udah gini, mending aku pergi aja ya kak?”

“Sebentar ya Ruto. Biar aku kasih waktu buat pikiran dan hati mutusin gimana nantinya. Sebentar kok, 5 menit aja, biar nantinya aku nggak salah ambil keputusan,” izin Yedam.

“Iya, silahkan,” jawab Haruto dengan senyum tipis.

Yedam hari ini sangat tampan. Rambutnya berganti hitam legam, baju yang dipakai adalah baju hadiah darinya saat Yedam berulang tahun setahun lalu. Matanya memerah, hidungnya kesusahan bernapas, namun senyuman manis selalu ia suguhkan untuk Yedam seorang.

“Ruto,”

“Udah?”

“Iya, udah.”

“Gimana?”

“Aku.. aku mutusin buat pisah dulu, boleh? Aku mau memperbaiki diri dulu, cari dimana letak kesalahan ku sendiri. Boleh kan?” Tanya Yedam takut-takut.

“Boleh dong. Kalo itu bikin kakak bahagia, emang bisa aku nolak?”

“Walaupun ini berat banget rasanya buat aku, tapi aku juga nggak boleh egois kan ya. Jadi, aku bakal pergi, dengan harapan kakak selalu dirundung rasa bahagia. Meskipun nggak bareng ataupun karena aku,” ucap Haruto lagi.

Can i get hug before we officially break?” Pintanya.

Sure.”

Lalu Haruto berhambur dalam pelukan Yedam. Menghirup lama parfum kesayangannya, menumpahkan tangisnya pada bahu sang kesayangan, dan mengelus-elus punggung kesayangannya. Ia akan merindukan pelukan hangat ini.

Setidaknya, buku kisah mereka ditutup dengan baik, walau banyak air mata berderai dalam tiap detiknya.

Semoga hambarnya cepat pergi, agar kita dapat kembali membuat buku baru untuk kisah kita yang baru lagi.

Waktunya tiba.

“Tumben ngajak ketemu? Biasanya kalo diajak sibuk terus.” Sapa Haruto yang baru mendudukkan badannya di kursi depan Yedam, kasih hatinya.

“Emang nggak boleh ya? Lagian aku kangen kamu tau,” balas Yedam dengan senyuman manis.

“Cie kangen aku cieee, sini dong, peluk kalo kangen,” suruh Haruto. Ia membuka lebar kedua tangannya, dan dengan senang hati Yedam masuk dalam dekapan hangat Haruto. Ada rasa bahagia yang menghampiri Haruto, rindu yang selama ini ia tahan akhirnya sekarang keluar dan menghempas jauh.

Namun, apa benar hanya karena 'rindu' Yedam mengajaknya bertemu? Atau ada maksud lain yang terselubung?

Pelukannya terlepas. Haruto memandang sejenak paras indah kasihnya; diusap pelan pipinya dan diberi cubitan guna menyalurkan kegemasan dirinya.

“Aih, kebiasaan cubit-cubit,” protes Yedam. “Sakit tau, merah nih!”

“Hehe maaf. Abisnya kamu gemes banget, lagian berapa bulan kamu nggak aku cubit, gak kangen emang?” Godanya dengan alis naik turun.

“Enggak. Duduk cepetan, ayo ngobrol serius,” suruh Yedam.

Serius? Jadi, ini maksud utamanya?

Haruto menurut. Ia menyiapkan jiwa serta raganya, kalau-kalau ucapan menyakitkan keluar dari mulut Yedam. Namun, tetap senyum indah ia pasang di wajah tampannya.

“Kamu udah libur atau lagi ngelibur?”

“Lagi libur. Mangkanya aku ngajak kamu ke sini, mumpung ada waktu,” jawab Yedam.

Senyumnya perlahan menipis. Kini ia bukan lagi alasan utama Yedam, namun hanya sekedar pengisi luangnya. Buru-buru ia tepis pemikiran tersebut, ia tak boleh egois. Lagipula, dia ini siapa? Hanya pacar. Ia pun tak dapat menjamin kapan mereka akan berpisah, wajar saja Yedam lebih mementingkan urusannya daripada dirinya.

“Mau ngobrol apa?” Tanya Haruto lagi.

Yedam mengalihkan pandang dan menarik napas perlahan. Ia rangkai semua kata dalam otak, ia mantapkan hati, dan bibirnya mulai mengucap. “Semingguan ini aku sering mikir tentang kamu, tentang hubungan kita.”

“Tiap pagi aku dilanda rasa gelisah. Bingung sama keadaan ku sekarang ini. Waktu itu pula kenangan masa lalu kita keinget, persis kayak scene flashback di film-film.” Yedam berhenti sejenak guna melihat reaksi Haruto. Haruto hanya diam dan terus memajang senyum, mendengarnya berbicara, Yedam tak kuasa memandangnya lebih lama, sebab menyakitkan baginya.

Dengan sekuat tenaga ia lanjutkan perkataanya, “aku nggak tau apa yang salah sama diriku. Aku ngerasa aku aneh, aku beda dari yang dulu. Sampai akhirnya tadi pagi, betul-betul pagi jam dua dini hari tepat, aku punya rencana buat mengakhiri hubungan kita.”

Senyumnya tak luntur, namun hatinya hancur lebur. Walaupun ia sudah menduga hal ini akan datang, tapi mengapa rasanya sesakit ini? Dadanya sesak luar biasa. Ia ingin menangis, berteriak sekuat tenaga, bertanya apa salahnya, meminta penjelasan lebih rinci, namun mulutnya seperti dikunci. Pada akhirnya Haruto hanya diam, menatap lekat lawan bicara yang kini menunduk dalam.

Ia tarik panjang napasnya. “Boleh kasih aku satu alasan yang bikin kamu mutusin buat pisah?”

Yedam mengangguk pelan. “Aku pikir kita udah nggak cocok. Rasanya beda, semuanya hambar. Aku.. aku nggak yakin kita bisa lebih lama lagi kayak gini.”

“Pertama kita ketemu rasanya gimana sih kak? Canggung dan hambar juga kan ya? Terus kita akhirnya kenalan dan buat kenangan bareng bahkan ngejalin hubungan yang udah jalan hampir 4 tahunan.” Haruto mati-matian menahan lelehan air matanya jatuh, ia mendongak dan menatap lama langit-langit tempat mereka bertemu.

“Rasa hambar itu perlahan terkikis sama rasa manis, pahit, asin, dan semacamnya. Dan hari ini kakak bilang rasa hambar itu kembali. Rasa itu kembali bukan karena kita udah nggak cocok, enggak kak. Rasa itu hinggap lagi karena jarak antara kita terlalu tebal. Kakak yang sibuk luar biasa sampai nggak ada waktu buat sama aku. Oke lah, aku paham, kakak begitu buat masa depan kakak. Tapi apa iya, kakak nggak bisa balas ucapan selamat pagi ku di chat sekali aja? Walaupun sedikit, setidaknya kita tetep berkomunikasi.”

“Aku juga sama kayak kakak, tiap malem selalu kepikiran. Nggak seminggu, sebulan ataupun dua bulan, aku udah mulai kepikiran semenjak kakak sibuk sendiri. Tiap malem aku nggak bisa tidur, pikiranku jalan-jalan tanpa arah. Mikir, gimana kalo kakak selingkuh, gimana kalo Kak Yedam nyaman sama orang, Kak Yedam kecapekan enggak, hari kakak gimana, Kak Yedam istirahat enggak. Sampai-sampai satu pertanyaan ini bersarang dipikiran ku terus-menerus, 'Kak Yedam bakal mutusin aku nggak ya di keadaan kayak gini?'. Dan, ya, hari ini pertanyaan itu jadi kenyataan,” ujar Haruto panjang lebar.

Yedam tak berkutik, ia hanya mendengarkan dan menghapus air matanya perlahan. Perasaan bersalah mengerubunginya, namun ia sendiri tak mengerti ada apa dengan dirinya sekarang.

“Inget nggak sih kak, kalo hubungan kita tuh rintangannya banyak banget haha,” tawa menyedihkan Haruto suguhkan untuk Yedam. Bersamaan dengan itu, air mata yang sedari tadi ditahan akhirnya terjun juga.

“Mulai dari Kak Yedam yang nolak aku dan aku yang cari pelarian sana-sini. Terus aku yang bosen terus berani mendua dari kakak. Asli, ini sih yang paling aku inget. Kakak nggak kayak kebanyakan orang, kakak bilang ke aku, nasehatin aku baik-baik nggak pake amarah sama sekali. Kakak bilang, 'ayo kita buat kenangan baru lagi, kali ini aku jamin nggak bakal bikin kamu bosen,' haha rasanya aku mau nangis terus kalo keinget itu. Mulai saat itu aku janji ke diri sendiri buat nggak bakal mendua dan nyakitin kakak. Aku bakal belajar terus buat... Hah, nggak kuat.” Haruto menelungkupkan wajahnya ke meja, menumpahkan tangisnya. Ia lupakan fakta bahwa mereka berada di tempat umum, tempat ramai. Yang terpenting dadanya tidak sesak serta pernapasannya normal kembali.

Lagi-lagi Yedam menghindari Haruto dari penglihatannya. Diusapnya air mata di pipi, lalu berucap dengan kalimat sumbang khas orang habis menangis. “Aku sendiri juga gak paham sama diriku yang sekarang. Aku ngerasa ganjel sama perasaan sama pemikiran sendiri. Bingung Ru..”

Haruto terdiam beberapa menit, menumpahkan segala sakitnya sebentar. “Karena komunikasi kita kurang, mangkanya rasanya hambar, beda, asing. Dinding diantara kita udah tebel, ngebuat kita jadi kayak orang asing lagi.”

Yedam setuju. Ia mengaku ia salah akan hal tersebut. Ia tak pernah menyempatkan diri untuk sekedar membalas sapaan singkat Haruto. Ia terlalu sibuk dengan dunianya, hingga ia lupa akan pasangannya.

“Aku pengen banget kalo kakak udah agak senggang nanti kita jalan-jalan bareng. Entah ke pantai, ke hutan antah-berantah, ataupun main sama binatang. Aku mau kita sama-sama masang senyum dengan alasan satu sama lain. Aku juga pengen loh, jadi support system kakak. Maka dari itu setiap pagi aku selalu ngirim pesan ke kakak biar semangat, ya walaupun nggak dibaca sih haha.” Curah Haruto lagi.

“Kalo udah gini, mending aku pergi aja ya kak?”

“Sebentar ya Ruto. Biar aku kasih waktu buat pikiran dan hati mutusin gimana nantinya. Sebentar kok, 5 menit aja, biar nantinya aku nggak salah ambil keputusan,” izin Yedam.

“Iya, silahkan,” jawab Haruto dengan senyum tipis.

Yedam hari ini sangat tampan. Rambutnya berganti hitam legam, baju yang dipakai adalah baju hadiah darinya saat Yedam berulang tahun setahun lalu. Matanya memerah, hidungnya kesusahan bernapas, namun senyuman manis selalu ia suguhkan untuk Yedam seorang.

“Ruto,”

“Udah?”

“Iya, udah.”

“Gimana?”

“Aku.. aku mutusin buat pisah dulu, boleh? Aku mau memperbaiki diri dulu, cari dimana letak kesalahan ku sendiri. Boleh kan?” Tanya Yedam takut-takut.

“Boleh dong. Kalo itu bikin kakak bahagia, emang bisa aku nolak?”

“Walaupun ini berat banget rasanya buat aku, tapi aku juga nggak boleh egois kan ya. Jadi, aku bakal pergi, dengan harapan kakak selalu dirundung rasa bahagia. Meskipun nggak bareng ataupun karena aku,” ucap Haruto lagi.

Can i get hug before we officially break?” Pintanya.

Sure.”

Lalu Haruto berhambur dalam pelukan Yedam. Menghirup lama parfum kesayangannya, menumpahkan tangisnya pada bahu sang kesayangan, dan mengelus-elus punggung kesayangannya. Ia akan merindukan pelukan hangat ini.

Setidaknya, buku kisah mereka ditutup dengan baik, walau banyak air mata berderai dalam tiap detiknya.

Semoga hambarnya cepat pergi, agar kita dapat kembali membuat buku baru untuk kisah kita yang baru lagi.

Waktunya tiba.

“Tumben ngajak ketemu? Biasanya kalo diajak sibuk terus.” Sapa Haruto yang baru mendudukkan badannya di kursi depan Yedam, kasih hatinya.

“Emang nggak boleh ya? Lagian aku kangen kamu tau,” balas Yedam dengan senyuman manis.

“Cie kangen aku cieee, sini dong, peluk kalo kangen,” suruh Haruto. Ia membuka lebar kedua tangannya, dan dengan senang hati Yedam masuk dalam dekapan hangat Haruto. Ada rasa bahagia yang menghampiri Haruto, rindu yang selama ini ia tahan akhirnya sekarang keluar dan menghempas jauh.

Namun, apa benar hanya karena 'rindu' Yedam mengajaknya bertemu? Atau ada maksud lain yang terselubung?

Pelukannya terlepas. Haruto memandang sejenak paras indah kasihnya; diusap pelan pipinya dan diberi cubitan guna menyalurkan kegemasan dirinya.

“Aih, kebiasaan cubit-cubit,” protes Yedam. “Sakit tau, merah nih!”

“Hehe maaf. Abisnya kamu gemes banget, lagian berapa bulan kamu nggak aku cubit, gak kangen emang?” Godanya dengan alis naik turun.

“Enggak. Duduk cepetan, ayo ngobrol serius,” suruh Yedam.

Serius? Jadi, ini maksud utamanya?

Haruto menurut. Ia menyiapkan jiwa serta raganya, kalau-kalau ucapan menyakitkan keluar dari mulut Yedam. Namun, tetap senyum indah ia pasang di wajah tampannya.

“Kamu udah libur atau lagi ngelibur?”

“Lagi libur. Mangkanya aku ngajak kamu ke sini, mumpung ada waktu,” jawab Yedam.

Senyumnya perlahan menipis. Kini ia bukan lagi alasan utama Yedam, namun hanya sekedar pengisi luangnya. Buru-buru ia tepis pemikiran tersebut, ia tak boleh egois. Lagipula, dia ini siapa? Hanya pacar. Ia pun tak dapat menjamin kapan mereka akan berpisah, wajar saja Yedam lebih mementingkan urusannya daripada dirinya.

“Mau ngobrol apa?” Tanya Haruto lagi.

Yedam mengalihkan pandang dan menarik napas perlahan. Ia rangkai semua kata dalam otak, ia mantapkan hati, dan bibirnya mulai mengucap. “Semingguan ini aku sering mikir tentang kamu, tentang hubungan kita.”

“Tiap pagi aku dilanda rasa gelisah. Bingung sama keadaan ku sekarang ini. Waktu itu pula kenangan masa lalu kita keinget, persis kayak scene flashback di film-film.” Yedam berhenti sejenak guna melihat reaksi Haruto. Haruto hanya diam dan terus memajang senyum, mendengarnya berbicara, Yedam tak kuasa memandangnya lebih lama, sebab menyakitkan baginya.

Dengan sekuat tenaga ia lanjutkan perkataanya, “aku nggak tau apa yang salah sama diriku. Aku ngerasa aku aneh, aku beda dari yang dulu. Sampai akhirnya tadi pagi, betul-betul pagi jam dua dini hari tepat, aku punya rencana buat mengakhiri hubungan kita.”

Senyumnya tak luntur, namun hatinya hancur lebur. Walaupun ia sudah menduga hal ini akan datang, tapi mengapa rasanya sesakit ini? Dadanya sesak luar biasa. Ia ingin menangis, berteriak sekuat tenaga, bertanya apa salahnya, meminta penjelasan lebih rinci, namun mulutnya seperti dikunci. Pada akhirnya Haruto hanya diam, menatap lekat lawan bicara yang kini menunduk dalam.

Ia tarik panjang napasnya. “Boleh kasih aku satu alasan yang bikin kamu mutusin buat pisah?”

Yedam mengangguk pelan. “Aku pikir kita udah nggak cocok. Rasanya beda, semuanya hambar. Aku.. aku nggak yakin kita bisa lebih lama lagi kayak gini.”

“Pertama kita ketemu rasanya gimana sih kak? Canggung dan hambar juga kan ya? Terus kita akhirnya kenalan dan buat kenangan bareng bahkan ngejalin hubungan yang udah jalan hampir 4 tahunan.” Haruto mati-matian menahan lelehan air matanya jatuh, ia mendongak dan menatap lama langit-langit tempat mereka bertemu.

“Rasa hambar itu perlahan terkikis sama rasa manis, pahit, asin, dan semacamnya. Dan hari ini kakak bilang rasa hambar itu kembali. Rasa itu kembali bukan karena kita udah nggak cocok, enggak kak. Rasa itu hinggap lagi karena jarak antara kita terlalu tebal. Kakak yang sibuk luar biasa sampai nggak ada waktu buat sama aku. Oke lah, aku paham, kakak begitu buat masa depan kakak. Tapi apa iya, kakak nggak bisa balas ucapan selamat pagi ku di chat sekali aja? Walaupun sedikit setidaknya kita tetep berkomunikasi.”

“Aku juga sama kayak kakak, tiap malem selalu kepikiran. Nggak seminggu, sebulan ataupun dua bulan, aku udah mulai kepikiran semenjak kakak sibuk sendiri. Tiap malem aku nggak bisa tidur, pikiranku jalan-jalan tanpa arah. Mikir, gimana kalo kakak selingkuh, gimana kalo Kak Yedam nyaman sama orang, Kak Yedam kecapekan enggak, hari kakak gimana, Kak Yedam istirahat enggak. Sampai-sampai satu pertanyaan ini bersarang dipikiran ku terus-menerus, 'Kak Yedam bakal mutusin aku nggak ya di keadaan kayak gini?'. Dan, ya, hari ini pertanyaan itu jadi kenyataan,” ujar Haruto panjang lebar.

Yedam tak berkutik, ia hanya mendengarkan dan menghapus air matanya perlahan. Perasaan bersalah mengerubunginya, namun ia sendiri tak mengerti ada apa dengan dirinya sekarang.

“Inget nggak sih kak, kalo hubungan kita tuh rintangannya banyak banget haha,” tawa menyedihkan Haruto suguhkan untuk Yedam. Bersamaan dengan itu, air mata yang sedari tadi ditahan akhirnya terjun juga.

“Mulai dari Kak Yedam yang nolak aku dan aku yang cari pelarian sana-sini. Terus aku yang bosen terus berani mendua dari kakak. Asli, ini sih yang paling aku inget. Kakak nggak kayak kebanyakan orang, kakak bilang ke aku, nasehatin aku baik-baik nggak pake amarah sama sekali. Kakak bilang, 'ayo kita buat kenangan baru lagi, kali ini aku jamin nggak bakal bikin kamu bosen,' haha rasanya aku mau nangis terus kalo keinget itu. Mulai saat itu aku janji ke diri sendiri buat nggak bakal mendua dan nyakitin kakak. Aku bakal belajar terus buat... Hah, nggak kuat.” Haruto menelungkupkan wajahnya ke meja, menumpahkan tangisnya. Ia lupakan fakta bahwa mereka berada di tempat umum, tempat ramai. Yang terpenting dadanya tidak sesak serta pernapasannya normal kembali.

Lagi-lagi Yedam menghindari Haruto dari penglihatannya. Diusapnya air mata di pipi, lalu berucap dengan kalimat sumbang khas orang habis menangis. “Aku sendiri juga gak paham sama diriku yang sekarang. Aku ngerasa ganjel sama perasaan sama pemikiran sendiri. Bingung Ru..”

Haruto terdiam beberapa menit, menumpahkan segala sakitnya sebentar. “Karena komunikasi kita kurang, mangkanya rasanya hambar, beda, asing. Dinding diantara kita udah tebel, ngebuat kita jadi kayak orang asing lagi.”

Yedam setuju. Ia mengaku ia salah akan hal tersebut. Ia tak pernah menyempatkan diri untuk sekedar membalas sapaan singkat Haruto. Ia terlalu sibuk dengan dunianya, hingga ia lupa akan pasangannya.

“Aku pengen banget kalo kakak udah agak senggang nanti kita jalan-jalan bareng. Entah ke pantai, ke hutan antah-berantah, ataupun main sama binatang. Aku mau kita sama-sama masang senyum dengan alasan satu sama lain. Aku juga pengen loh, jadi support system kakak. Maka dari itu setiap pagi aku selalu ngirim pesan ke kakak biar semangat, ya walaupun nggak dibaca sih haha.” Curah Haruto lagi.

“Kalo udah gini, mending aku pergi aja ya kak?”

“Sebentar ya Ruto. Biar aku kasih waktu buat pikiran dan hati mutusin gimana nantinya. Sebentar kok, 5 menit aja, biar nantinya aku nggak salah ambil keputusan,” izin Yedam.

“Iya, silahkan,” jawab Haruto dengan senyum tipis.

Yedam hari ini sangat tampan. Rambutnya berganti hitam legam, baju yang dipakai adalah baju hadiah darinya saat Yedam berulang tahun setahun lalu. Matanya memerah, hidungnya kesusahan bernapas, namun senyuman manis selalu ia suguhkan untuk Yedam seorang.

“Ruto,”

“Udah?”

“Iya, udah.”

“Gimana?”

“Aku.. aku mutusin buat pisah dulu, boleh? Aku mau memperbaiki diri dulu, cari dimana letak kesalahan ku sendiri. Boleh kan?” Tanya Yedam takut-takut.

“Boleh dong. Kalo itu bikin kakak bahagia, emang bisa aku nolak?”

“Walaupun ini berat banget rasanya buat aku, tapi aku juga nggak boleh egois kan ya. Jadi, aku bakal pergi, dengan harapan kakak selalu dirundung rasa bahagia. Meskipun nggak bareng ataupun karena aku,” ucap Haruto lagi.

Can i get hug before we officially break?” Pintanya.

Sure.”

Lalu Haruto berhambur dalam pelukan Yedam. Menghirup lama parfum kesayangannya, menumpahkan tangisnya pada bahu sang kesayangan, dan mengelus-elus punggung kesayangannya. Ia akan merindukan pelukan hangat ini.

Setidaknya, buku kisah mereka ditutup dengan baik, walau banyak air mata berderai dalam tiap detiknya.

Semoga hambarnya cepat pergi, agar kita dapat kembali membuat buku baru untuk kisah kita yang baru lagi.

Waktunya tiba.

“Tumben ngajak ketemu? Biasanya kalo diajak sibuk terus.” Sapa Haruto yang baru mendudukkan badannya di kursi depan Yedam, kasih hatinya.

“Emang nggak boleh ya? Lagian aku kangen kamu tau,” balas Yedam dengan senyuman manis.

“Cie kangen aku cieee, sini dong, peluk kalo kangen,” suruh Haruto. Ia membuka lebar kedua tangannya, dan dengan senang hati Yedam masuk dalam dekapan hangat Haruto. Ada rasa bahagia yang menghampiri Haruto, rindu yang selama ini ia tahan akhirnya sekarang keluar dan menghempas jauh.

Namun, apa benar hanya karena 'rindu' Yedam mengajaknya bertemu? Atau ada maksud lain yang terselubung?

Pelukannya terlepas. Haruto memandang sejenak paras indah kasihnya; diusap pelan pipinya dan diberi cubitan guna menyalurkan kegemasan dirinya.

“Aih, kebiasaan cubit-cubit,” protes Yedam. “Sakit tau, merah nih!”

“Hehe maaf. Abisnya kamu gemes banget, lagian berapa bulan kamu nggak aku cubit, gak kangen emang?” Godanya dengan alis naik turun.

“Enggak. Duduk cepetan, ayo ngobrol serius,” suruh Yedam.

Serius? Jadi, ini maksud utamanya?

Haruto menurut. Ia menyiapkan jiwa serta raganya, kalau-kalau ucapan menyakitkan keluar dari mulut Yedam. Namun, tetap senyum indah ia pasang di wajah tampannya.

“Kamu udah libur atau lagi ngelibur?”

“Lagi libur. Mangkanya aku ngajak kamu ke sini, mumpung ada waktu,” jawab Yedam.

Senyumnya perlahan menipis. Kini ia bukan lagi alasan utama Yedam, namun hanya sekedar pengisi luangnya. Buru-buru ia tepis pemikiran tersebut, ia tak boleh egois. Lagipula, dia ini siapa? Hanya pacar. Ia pun tak dapat menjamin kapan mereka akan berpisah, wajar saja Yedam lebih mementingkan urusannya daripada dirinya.

“Mau ngobrol apa?” Tanya Haruto lagi.

Yedam mengalihkan pandang dan menarik napas perlahan. Ia rangkai semua kata dalam otak, ia mantapkan hati, dan bibirnya mulai mengucap. “Semingguan ini aku sering mikir tentang kamu, tentang hubungan kita.”

“Tiap pagi aku dilanda rasa gelisah. Bingung sama keadaan ku sekarang ini. Waktu itu pula kenangan masa lalu kita keinget, persis kayak scene flashback di film-film.” Yedam berhenti sejenak guna melihat reaksi Haruto. Haruto hanya diam dan terus memajang senyum, mendengarnya berbicara, Yedam tak kuasa memandangnya lebih lama, sebab menyakitkan baginya.

Dengan sekuat tenaga ia lanjutkan perkataanya, “aku nggak tau apa yang salah sama diriku. Aku ngerasa aku aneh, aku beda dari yang dulu. Sampai akhirnya tadi pagi, betul-betul pagi jam dua dini hari tepat, aku punya rencana buat mengakhiri hubungan kita.”

Senyumnya tak luntur, namun hatinya hancur lebur. Walaupun ia sudah menduga hal ini akan datang, tapi mengapa rasanya sesakit ini? Dadanya sesak luar biasa. Ia ingin menangis, berteriak sekuat tenaga, bertanya apa salahnya, meminta penjelasan lebih rinci, namun mulutnya seperti dikunci. Pada akhirnya Haruto hanya diam, menatap lekat lawan bicara yang kini menunduk dalam.

Ia tarik panjang napasnya. “Boleh kasih aku satu alasan yang bikin kamu mutusin buat pisah?”

Yedam mengangguk pelan. “Aku pikir kita udah nggak cocok. Rasanya beda, semuanya hambar. Aku.. aku nggak yakin kita bisa lebih lama lagi kayak gini.”

“Pertama kita ketemu rasanya gimana sih kak? Canggung dan hambar juga kan ya? Terus kita akhirnya kenalan dan buat kenangan bareng bahkan ngejalin hubungan yang udah jalan hampir 4 tahunan.” Haruto mati-matian menahan lelehan air matanya jatuh, ia dongakkan dan menatap lama langit-langit tempat mereka bertemu.

“Rasa hambar itu perlahan terkikis sama rasa manis, pahit, asin, dan semacamnya. Dan hari ini kakak bilang rasa hambar itu kembali. Rasa itu kembali bukan karena kita udah nggak cocok, enggak kak. Rasa itu hinggap lagi karena jarak antara kita terlalu tebal. Kakak yang sibuk luar biasa sampai nggak ada waktu buat sama aku. Oke lah, aku paham, kakak begitu buat masa depan kakak. Tapi apa iya, kakak nggak bisa balas ucapan selamat pagi ku di chat sekali aja? Walaupun sedikit setidaknya kita tetep berkomunikasi.”

“Aku juga sama kayak kakak, tiap malem selalu kepikiran. Nggak seminggu, sebulan ataupun dua bulan, aku udah mulai kepikiran semenjak kakak sibuk sendiri. Tiap malem aku nggak bisa tidur, pikiranku jalan-jalan tanpa arah. Mikir, gimana kalo kakak selingkuh, gimana kalo Kak Yedam nyaman sama orang, Kak Yedam kecapekan enggak, hari kakak gimana, Kak Yedam istirahat enggak. Sampai-sampai satu pertanyaan ini bersarang dipikiran ku terus-menerus, 'Kak Yedam bakal mutusin aku nggak ya di keadaan kayak gini?'. Dan, ya, hari ini pertanyaan itu jadi kenyataan,” ujar Haruto panjang lebar.

Yedam tak berkutik, ia hanya mendengarkan dan menghapus air matanya perlahan. Perasaan bersalah mengerubunginya, namun ia sendiri tak mengerti ada apa dengan dirinya sekarang.

“Inget nggak sih kak, kalo hubungan kita tuh rintangannya banyak banget haha,” tawa menyedihkan Haruto suguhkan untuk Yedam. Bersamaan dengan itu, air mata yang sedari tadi ditahan akhirnya terjun juga.

“Mulai dari Kak Yedam yang nolak aku dan aku yang cari pelarian sana-sini. Terus aku yang bosen terus berani mendua dari kakak. Asli, ini sih yang paling aku inget. Kakak nggak kayak kebanyakan orang, kakak bilang ke aku, nasehatin aku baik-baik nggak pake amarah sama sekali. Kakak bilang, 'ayo kita buat kenangan baru lagi, kali ini aku jamin nggak bakal bikin kamu bosen,' haha rasanya aku mau nangis terus kalo keinget itu. Mulai saat itu aku janji ke diri sendiri buat nggak bakal mendua dan nyakitin kakak. Aku bakal belajar terus buat... Hah, nggak kuat.” Haruto menelungkupkan wajahnya ke meja, menumpahkan tangisnya. Ia lupakan fakta bahwa mereka berada di tempat umum, tempat ramai. Yang terpenting dadanya tidak sesak serta pernapasannya normal kembali.

Lagi-lagi Yedam menghindari Haruto dari penglihatannya. Diusapnya air mata di pipi, lalu berucap dengan kalimat sumbang khas orang habis menangis. “Aku sendiri juga gak paham sama diriku yang sekarang. Aku ngerasa ganjel sama perasaan sama pemikiran sendiri. Bingung Ru..”

Haruto terdiam beberapa menit, menumpahkan segala sakitnya sebentar. “Karena komunikasi kita kurang, mangkanya rasanya hambar, beda, asing. Dinding diantara kita udah tebel, ngebuat kita jadi kayak orang asing lagi.”

Yedam setuju. Ia mengaku ia salah akan hal tersebut. Ia tak pernah menyempatkan diri untuk sekedar membalas sapaan singkat Haruto. Ia terlalu sibuk dengan dunianya, hingga ia lupa akan pasangannya.

“Aku pengen banget kalo kakak udah agak senggang nanti kita jalan-jalan bareng. Entah ke pantai, ke hutan antah-berantah, ataupun main sama binatang. Aku mau kita sama-sama masang senyum dengan alasan satu sama lain. Aku juga pengen loh, jadi support system kakak. Maka dari itu setiap pagi aku selalu ngirim pesan ke kakak biar semangat, ya walaupun nggak dibaca sih haha.” Curah Haruto lagi.

“Kalo udah gini, mending aku pergi aja ya kak?”

“Sebentar ya Ruto. Biar aku kasih waktu buat pikiran dan hati mutusin gimana nantinya. Sebentar kok, 5 menit aja, biar nantinya aku nggak salah ambil keputusan,” izin Yedam.

“Iya, silahkan,” jawab Haruto dengan senyum tipis.

Yedam hari ini sangat tampan. Rambutnya berganti hitam legam, baju yang dipakai adalah baju hadiah darinya saat Yedam berulang tahun setahun lalu. Matanya memerah, hidungnya kesusahan bernapas, namun senyuman manis selalu ia suguhkan untuk Yedam seorang.

“Ruto,”

“Udah?”

“Iya, udah.”

“Gimana?”

“Aku.. aku mutusin buat pisah dulu, boleh? Aku mau memperbaiki diri dulu, cari dimana letak kesalahan ku sendiri. Boleh kan?” Tanya Yedam takut-takut.

“Boleh dong. Kalo itu bikin kakak bahagia, emang bisa aku nolak?”

“Walaupun ini berat banget rasanya buat aku, tapi aku juga nggak boleh egois kan ya. Jadi, aku bakal pergi, dengan harapan kakak selalu dirundung rasa bahagia. Meskipun nggak bareng ataupun karena aku,” ucap Haruto lagi.

Can i get hug before we officially break?” Pintanya.

Sure.”

Lalu Haruto berhambur dalam pelukan Yedam. Menghirup lama parfum kesayangannya, menumpahkan tangisnya pada bahu sang kesayangan, dan mengelus-elus punggung kesayangannya. Ia akan merindukan pelukan hangat ini.

Setidaknya, buku kisah mereka ditutup dengan baik, walau banyak air mata berderai dalam tiap detiknya.

Semoga hambarnya cepat pergi, agar kita dapat kembali membuat buku baru untuk kisah kita yang baru lagi.

Waktunya tiba.

“Tumben ngajak ketemu? Biasanya kalo diajak sibuk terus.” Sapa Haruto yang baru mendudukkan badannya di kursi depan Yedam, kasih hatinya.

“Emang nggak boleh ya? Lagian aku kangen kamu tau,” balas Yedam dengan senyuman manis.

“Cie kangen aku cieee, sini dong, peluk kalo kangen,” suruh Haruto. Ia membuka lebar kedua tangannya, dan dengan senang hati Yedam masuk dalam dekapan hangat Haruto. Ada rasa bahagia yang menghampiri Haruto, rindu yang selama ini ia tahan akhirnya sekarang keluar dan menghempas jauh.

Namun, apa benar hanya karena 'rindu' Yedam mengajaknya bertemu? Atau ada maksud lain yang terselubung?

Pelukannya terlepas. Haruto memandang sejenak paras indah kasihnya; diusap pelan pipinya dan diberi cubitan guna menyalurkan kegemasan dirinya.

“Aih, kebiasaan cubit-cubit,” protes Yedam. “Sakit tau, merah nih!”

“Hehe maaf. Abisnya kamu gemes banget, lagian berapa bulan kamu nggak aku cubit, gak kangen emang?” Godanya dengan alis naik turun.

“Enggak. Duduk cepetan, ayo ngobrol serius,” suruh Yedam.

Serius? Jadi, ini maksud utamanya?

Haruto menurut. Ia menyiapkan jiwa serta raganya, kalau-kalau ucapan menyakitkan keluar dari mulut Yedam. Namun, tetap senyum indah ia pasang di wajah tampannya.

“Kamu udah libur atau lagi ngelibur?”

“Lagi libur. Mangkanya aku ngajak kamu ke sini, mumpung ada waktu,” jawab Yedam.

Senyumnya perlahan menipis. Kini ia bukan lagi alasan utama Yedam, namun hanya sekedar pengisi luangnya. Buru-buru ia tepis pemikiran tersebut, ia tak boleh egois. Lagipula, dia ini siapa? Hanya pacar. Ia pun tak dapat menjamin kapan mereka akan berpisah, wajar saja Yedam lebih mementingkan urusannya daripada dirinya.

“Mau ngobrol apa?” Tanya Haruto lagi.

Yedam mengalihkan pandang dan menarik napas perlahan. Ia rangkai semua kata dalam otak, ia mantapkan hati, dan bibirnya mulai mengucap. “Semingguan ini aku sering mikir tentang kamu, tentang hubungan kita.”

“Tiap pagi aku dilanda rasa gelisah. Bingung sama keadaan ku sekarang ini. Waktu itu pula kenangan masa lalu kita keinget, persis kayak scene flashback di film-film.” Yedam berhenti sejenak guna melihat reaksi Haruto. Haruto hanya diam dan terus memajang senyum, mendengarnya berbicara, Yedam tak kuasa memandangnya lebih lama, sebab menyakitkan baginya.

Dengan sekuat tenaga ia lanjutkan perkataanya, “aku nggak tau apa yang salah sama diriku. Aku ngerasa aku aneh, aku beda dari yang dulu. Sampai akhirnya tadi pagi, betul-betul pagi jam dua dini hari tepat, aku punya rencana buat mengakhiri hubungan kita.”

Senyumnya tak luntur, namun hatinya hancur lebur. Walaupun ia sudah menduga hal ini akan datang, tapi mengapa rasanya sesakit ini? Dadanya sesak luar biasa. Ia ingin menangis, berteriak sekuat tenaga, bertanya apa salahnya, meminta penjelasan lebih rinci, namun mulutnya seperti dikunci. Pada akhirnya Haruto hanya diam, menatap lekat lawan bicaranya yang kini menunduk dalam.

Ia tarik panjang napasnya. “Boleh kasih aku satu alasan yang bikin kamu mutusin buat pisah?”

Yedam mengangguk pelan. “Aku pikir kita udah nggak cocok. Rasanya beda, semuanya hambar. Aku.. aku nggak yakin kita bisa lebih lama lagi kayak gini.”

“Pertama kita ketemu rasanya gimana sih kak? Canggung dan hambar juga kan ya? Terus kita akhirnya kenalan dan buat kenangan bareng bahkan ngejalin hubungan yang udah jalan hampir 4 tahunan.” Haruto mati-matian menahan lelehan air matanya jatuh, ia dongakkan dan menatap lama langit-langit tempat mereka bertemu.

“Rasa hambar itu perlahan terkikis sama rasa manis, pahit, asin, dan semacamnya. Dan hari ini kakak bilang rasa hambar itu kembali. Rasa itu kembali bukan karena kita udah nggak cocok, enggak kak. Rasa itu hinggap lagi karena jarak antara kita terlalu tebal. Kakak yang sibuk luar biasa sampai nggak ada waktu buat sama aku. Oke lah, aku paham, kakak begitu buat masa depan kakak. Tapi apa iya, kakak nggak bisa balas ucapan selamat pagi ku di chat sekali aja? Walaupun sedikit setidaknya kita tetep berkomunikasi.”

“Aku juga sama kayak kakak, tiap malem selalu kepikiran. Nggak seminggu, sebulan ataupun dua bulan, aku udah mulai kepikiran semenjak kakak sibuk sendiri. Tiap malem aku nggak bisa tidur, pikiranku jalan-jalan tanpa arah. Mikir, gimana kalo kakak selingkuh, gimana kalo Kak Yedam nyaman sama orang, Kak Yedam kecapekan enggak, hari kakak gimana, Kak Yedam istirahat enggak. Sampai-sampai satu pertanyaan ini bersarang dipikiran ku terus-menerus, 'Kak Yedam bakal mutusin aku nggak ya di keadaan kayak gini?'. Dan, ya, hari ini pertanyaan itu jadi kenyataan,” ujar Haruto panjang lebar.

Yedam tak berkutik, ia hanya mendengarkan dan menghapus air matanya perlahan. Perasaan bersalah mengerubunginya, namun ia sendiri tak mengerti ada apa dengan dirinya sekarang.

“Inget nggak sih kak, kalo hubungan kita tuh rintangannya banyak banget haha,” tawa menyedihkan Haruto suguhkan untuk Yedam. Bersamaan dengan itu, air mata yang sedari tadi ditahan akhirnya terjun juga.

“Mulai dari Kak Yedam yang nolak aku dan aku yang cari pelarian sana-sini. Terus aku yang bosen terus berani mendua dari kakak. Asli, ini sih yang paling aku inget. Kakak nggak kayak kebanyakan orang, kakak bilang ke aku, nasehatin aku baik-baik nggak pake amarah sama sekali. Kakak bilang, 'ayo kita buat kenangan baru lagi, kali ini aku jamin nggak bakal bikin kamu bosen,' haha rasanya aku mau nangis terus kalo keinget itu. Mulai saat itu aku janji ke diri sendiri buat nggak bakal mendua dan nyakitin kakak. Aku bakal belajar terus buat... Hah, nggak kuat.” Haruto menelungkupkan wajahnya ke meja, menumpahkan tangisnya. Ia lupakan fakta bahwa mereka berada di tempat umum, tempat ramai. Yang terpenting dadanya tidak sesak serta pernapasannya normal kembali.

Lagi-lagi Yedam menghindari Haruto dari penglihatannya. Diusapnya air mata di pipi, lalu berucap dengan kalimat sumbang khas orang habis menangis. “Aku sendiri juga gak paham sama diriku yang sekarang. Aku ngerasa ganjel sama perasaan sama pemikiran sendiri. Bingung Ru..”

Haruto terdiam beberapa menit, menumpahkan segala sakitnya sebentar. “Karena komunikasi kita kurang, mangkanya rasanya hambar, beda, asing. Dinding diantara kita udah tebel, ngebuat kita jadi kayak orang asing lagi.”

Yedam setuju. Ia mengaku ia salah akan hal tersebut. Ia tak pernah menyempatkan diri untuk sekedar membalas sapaan singkat Haruto. Ia terlalu sibuk dengan dunianya, hingga ia lupa akan pasangannya.

“Aku pengen banget kalo kakak udah agak senggang nanti kita jalan-jalan bareng. Entah ke pantai, ke hutan antah-berantah, ataupun main sama binatang. Aku mau kita sama-sama masang senyum dengan alasan satu sama lain. Aku juga pengen loh, jadi support system kakak. Maka dari itu setiap pagi aku selalu ngirim pesan ke kakak biar semangat, ya walaupun nggak dibaca sih haha.” Curah Haruto lagi.

“Kalo udah gini, mending aku pergi aja ya kak?”

“Sebentar ya Ruto. Biar aku kasih waktu buat pikiran dan hati mutusin gimana nantinya. Sebentar kok, 5 menit aja, biar nantinya aku nggak salah ambil keputusan,” izin Yedam.

“Iya, silahkan,” jawab Haruto dengan senyum tipis.

Yedam hari ini sangat tampan. Rambutnya berganti hitam legam, baju yang dipakai adalah baju hadiah darinya saat Yedam berulang tahun setahun lalu. Matanya memerah, hidungnya kesusahan bernapas, namun senyuman manis selalu ia suguhkan untuk Yedam seorang.

“Ruto,”

“Udah?”

“Iya, udah.”

“Gimana?”

“Aku.. aku mutusin buat pisah dulu, boleh? Aku mau memperbaiki diri dulu, cari dimana letak kesalahan ku sendiri. Boleh kan?” Tanya Yedam takut-takut.

“Boleh dong. Kalo itu bikin kakak bahagia, emang bisa aku nolak?”

“Walaupun ini berat banget rasanya buat aku, tapi aku juga nggak boleh egois kan ya. Jadi, aku bakal pergi, dengan harapan kakak selalu dirundung rasa bahagia. Meskipun nggak bareng ataupun karena aku,” ucap Haruto lagi.

Can i get hug before we officially break?” Pintanya.

Sure.”

Lalu Haruto berhambur dalam pelukan Yedam. Menghirup lama parfum kesayangannya, menumpahkan tangisnya pada bahu sang kesayangan, dan mengelus-elus punggung kesayangannya. Ia akan merindukan pelukan hangat ini.

Setidaknya, buku kisah mereka ditutup dengan baik, walau banyak air mata berderai dalam tiap detiknya.

Semoga hambarnya cepat pergi, agar kita dapat kembali membuat buku baru untuk kisah kita yang baru lagi.

Waktunya tiba.

“Tumben ngajak ketemu? Biasanya kalo diajak sibuk terus.” Sapa Haruto yang baru mendudukkan badannya di kursi depan Yedam, kasih hatinya.

“Emang nggak boleh ya? Lagian aku kangen kamu tau,” balas Yedam dengan senyuman manis.

“Cie kangen aku cieee, sini dong, peluk kalo kangen,” suruh Haruto. Ia membuka lebar kedua tangannya, dan dengan senang hati Yedam masuk dalam dekapan hangat Haruto. Ada rasa bahagia yang menghampiri Haruto, rindu yang selama ini ia tahan akhirnya sekarang keluar dan menghempas jauh.

Namun, apa benar hanya karena 'rindu' Yedam mengajaknya bertemu? Atau ada maksud lain yang terselubung?

Pelukannya terlepas. Haruto memandang sejenak paras indah kasihnya; diusap pelan pipinya dan diberi cubitan guna menyalurkan kegemasan dirinya.

“Aih, kebiasaan cubit-cubit,” protes Yedam. “Sakit tau, merah nih!”

“Hehe maaf. Abisnya kamu gemes banget, lagian berapa bulan kamu nggak aku cubit, gak kangen emang?” Godanya dengan alis naik turun.

“Enggak. Duduk cepetan, ayo ngobrol serius,” suruh Yedam.

Serius? Jadi, ini maksud utamanya?

Haruto menurut. Ia menyiapkan jiwa serta raganya, kalau-kalau ucapan menyakitkan keluar dari mulut Yedam. Namun, tetap senyum indah ia pasang di wajah tampannya.

“Kamu udah libur atau lagi ngelibur?”

“Lagi libur. Mangkanya aku ngajak kamu ke sini, mumpung ada waktu,” jawab Yedam.

Senyumnya perlahan menipis. Kini ia bukan lagi alasan utama Yedam, namun hanya sekedar pengisi luangnya. Buru-buru ia tepis pemikiran tersebut, ia tak boleh egois. Lagipula, dia ini siapa? Hanya pacar. Ia pun tak dapat menjamin kapan mereka akan berpisah, wajar saja Yedam lebih mementingkan urusannya daripada dirinya.

“Mau ngobrol apa?” Tanya Haruto lagi.

Yedam mengalihkan pandang dan menarik napas perlahan. Ia rangkai semua kata dalam otak, ia mantapkan hati, dan bibirnya mulai mengucap. “Semingguan ini aku sering mikir tentang kamu, tentang hubungan kita.”

“Tiap pagi aku dilanda rasa gelisah. Bingung sama keadaan ku sekarang ini. Waktu itu pula kenangan masa lalu kita keinget, persis kayak scene flashback di film-film.” Yedam berhenti sejenak guna melihat reaksi Haruto. Haruto hanya diam dan terus memajang senyum, mendengarkan berbicara, Yedam tak kuasa memandangnya lebih lama, sebab menyakitkan baginya.

Dengan sekuat tenaga ia lanjutkan perkataanya, “aku nggak tau apa yang salah sama diriku. Aku ngerasa aku aneh, aku beda dari yang dulu. Sampai akhirnya tadi pagi, betul-betul pagi jam dua dini hari tepat, aku punya rencana buat mengakhiri hubungan kita.”

Senyumnya tak luntur, namun hatinya hancur lebur. Walaupun ia sudah menduga hal ini akan datang, tapi mengapa rasanya sesakit ini? Dadanya sesak luar biasa. Ia ingin menangis, berteriak sekuat tenaga, bertanya apa salahnya, meminta penjelasan lebih rinci, namun mulutnya seperti dikunci. Pada akhirnya Haruto hanya diam, menatap lekat lawan bicaranya yang kini menunduk dalam.

Ia tarik panjang napasnya. “Boleh kasih aku satu alasan yang bikin kamu mutusin buat pisah?”

Yedam mengangguk pelan. “Aku pikir kita udah nggak cocok. Rasanya beda, semuanya hambar. Aku.. aku nggak yakin kita bisa lebih lama lagi kayak gini.”

“Pertama kita ketemu rasanya gimana sih kak? Canggung dan hambar juga kan ya? Terus kita akhirnya kenalan dan buat kenangan bareng bahkan ngejalin hubungan yang udah jalan hampir 4 tahunan.” Haruto mati-matian menahan lelehan air matanya jatuh, ia dongakkan dan menatap lama langit-langit tempat mereka bertemu.

“Rasa hambar itu perlahan terkikis sama rasa manis, pahit, asin, dan semacamnya. Dan hari ini kakak bilang rasa hambar itu kembali. Rasa itu kembali bukan karena kita udah nggak cocok, enggak kak. Rasa itu hinggap lagi karena jarak antara kita terlalu tebal. Kakak yang sibuk luar biasa sampai nggak ada waktu buat sama aku. Oke lah, aku paham, kakak begitu buat masa depan kakak. Tapi apa iya, kakak nggak bisa balas ucapan selamat pagi ku di chat sekali aja? Walaupun sedikit setidaknya kita tetep berkomunikasi.”

“Aku juga sama kayak kakak, tiap malem selalu kepikiran. Nggak seminggu, sebulan ataupun dua bulan, aku udah mulai kepikiran semenjak kakak sibuk sendiri. Tiap malem aku nggak bisa tidur, pikiranku jalan-jalan tanpa arah. Mikir, gimana kalo kakak selingkuh, gimana kalo Kak Yedam nyaman sama orang, Kak Yedam kecapekan enggak, hari kakak gimana, Kak Yedam istirahat enggak. Sampai-sampai satu pertanyaan ini bersarang dipikiran ku terus-menerus, 'Kak Yedam bakal mutusin aku nggak ya di keadaan kayak gini?'. Dan, ya, hari ini pertanyaan itu jadi kenyataan,” ujar Haruto panjang lebar.

Yedam tak berkutik, ia hanya mendengarkan dan menghapus air matanya perlahan. Perasaan bersalah mengerubunginya, namun ia sendiri tak mengerti ada apa dengan dirinya sekarang.

“Inget nggak sih kak, kalo hubungan kita tuh rintangannya banyak banget haha,” tawa menyedihkan Haruto suguhkan untuk Yedam. Bersamaan dengan itu, air mata yang sedari tadi ditahan akhirnya terjun juga.

“Mulai dari Kak Yedam yang nolak aku dan aku yang cari pelarian sana-sini. Terus aku yang bosen terus berani mendua dari kakak. Asli, ini sih yang paling aku inget. Kakak nggak kayak kebanyakan orang, kakak bilang ke aku, nasehatin aku baik-baik nggak pake amarah sama sekali. Kakak bilang, 'ayo kita buat kenangan baru lagi, kali ini aku jamin nggak bakal bikin kamu bosen,' haha rasanya aku mau nangis terus kalo keinget itu. Mulai saat itu aku janji ke diri sendiri buat nggak bakal mendua dan nyakitin kakak. Aku bakal belajar terus buat... Hah, nggak kuat.” Haruto menelungkupkan wajahnya ke meja, menumpahkan tangisnya. Ia lupakan fakta bahwa mereka berada di tempat umum, tempat ramai. Yang terpenting dadanya tidak sesak serta pernapasannya normal kembali.

Lagi-lagi Yedam menghindari Haruto dari penglihatannya. Diusapnya air mata di pipi, lalu berucap dengan kalimat sumbang khas orang habis menangis. “Aku sendiri juga gak paham sama diriku yang sekarang. Aku ngerasa ganjel sama perasaan sama pemikiran sendiri. Bingung Ru..”

Haruto terdiam beberapa menit, menumpahkan segala sakitnya sebentar. “Karena komunikasi kita kurang, mangkanya rasanya hambar, beda, asing. Dinding diantara kita udah tebel, ngebuat kita jadi kayak orang asing lagi.”

Yedam setuju. Ia mengaku ia salah akan hal tersebut. Ia tak pernah menyempatkan diri untuk sekedar membalas sapaan singkat Haruto. Ia terlalu sibuk dengan dunianya, hingga ia lupa akan pasangannya.

“Aku pengen banget kalo kakak udah agak senggang nanti kita jalan-jalan bareng. Entah ke pantai, ke hutan antah-berantah, ataupun main sama binatang. Aku mau kita sama-sama masang senyum dengan alasan satu sama lain. Aku juga pengen loh, jadi support system kakak. Maka dari itu setiap pagi aku selalu ngirim pesan ke kakak biar semangat, ya walaupun nggak dibaca sih haha.” Curah Haruto lagi.

“Kalo udah gini, mending aku pergi aja ya kak?”

“Sebentar ya Ruto. Biar aku kasih waktu buat pikiran dan hati mutusin gimana nantinya. Sebentar kok, 5 menit aja, biar nantinya aku nggak salah ambil keputusan,” izin Yedam.

“Iya, silahkan,” jawab Haruto dengan senyum tipis.

Yedam hari ini sangat tampan. Rambutnya berganti hitam legam, baju yang dipakai adalah baju hadiah darinya saat Yedam berulang tahun setahun lalu. Matanya memerah, hidungnya kesusahan bernapas, namun senyuman manis selalu ia suguhkan untuk Yedam seorang.

“Ruto,”

“Udah?”

“Iya, udah.”

“Gimana?”

“Aku.. aku mutusin buat pisah dulu, boleh? Aku mau memperbaiki diri dulu, cari dimana letak kesalahan ku sendiri. Boleh kan?” Tanya Yedam takut-takut.

“Boleh dong. Kalo itu bikin kakak bahagia, emang bisa aku nolak?”

“Walaupun ini berat banget rasanya buat aku, tapi aku juga nggak boleh egois kan ya. Jadi, aku bakal pergi, dengan harapan kakak selalu dirundung rasa bahagia. Meskipun nggak bareng ataupun karena aku,” ucap Haruto lagi.

Can i get hug before we officially break?” Pintanya.

Sure.”

Lalu Haruto berhambur dalam pelukan Yedam. Menghirup lama parfum kesayangannya, menumpahkan tangisnya pada bahu sang kesayangan, dan mengelus-elus punggung kesayangannya. Ia akan merindukan pelukan hangat ini.

Setidaknya, buku kisah mereka ditutup dengan baik, walau banyak air mata berderai dalam tiap detiknya.

Semoga hambarnya cepat pergi, agar kita dapat kembali membuat buku baru untuk kisah kita yang baru lagi.