hyukies

Waktunya tiba.

“Tumben ngajak ketemu? Biasanya kalo diajak sibuk terus.” Sapa Haruto yang baru mendudukkan badannya di kursi depan Yedam, kasih hatinya.

“Emang nggak boleh ya? Lagian aku kangen kamu tau,” balas Yedam dengan senyuman manis.

“Cie kangen aku cieee, sini dong, peluk kalo kangen,” suruh Haruto. Ia membuka lebar kedua tangannya, dan dengan senang hati Yedam masuk dalam dekapan hangat Haruto. Ada rasa bahagia yang menghampiri Haruto, rindu yang selama ini ia tahan akhirnya sekarang keluar dan menghempas jauh.

Namun, apa benar hanya karena 'rindu' Yedam mengajaknya bertemu? Atau ada maksud lain yang terselubung?

Pelukannya terlepas. Haruto memandang sejenak paras indah kasihnya; diusap pelan pipinya dan diberi cubitan guna menyalurkan kegemasan dirinya.

“Aih, kebiasaan cubit-cubit,” protes Yedam. “Sakit tau, merah nih!”

“Hehe maaf. Abisnya kamu gemes banget, lagian berapa bulan kamu nggak aku cubit, gak kangen emang?” Godanya dengan alis naik turun.

“Enggak. Duduk cepetan, ayo ngobrol serius,” suruh Yedam.

Serius? Jadi, ini maksud utamanya?

Haruto menurut. Ia menyiapkan jiwa serta raganya, kalau-kalau ucapan menyakitkan keluar dari mulut Yedam. Namun, tetap senyum indah ia pasang di wajah tampannya.

“Kamu udah libur atau lagi ngelibur?”

“Lagi libur. Mangkanya aku ngajak kamu ke sini, mumpung ada waktu,” jawab Yedam.

Senyumnya perlahan menipis. Kini ia bukan lagi alasan utama Yedam, namun hanya sekedar pengisi luangnya. Buru-buru ia tepis pemikiran tersebut, ia tak boleh egois. Lagipula, dia ini siapa? Hanya pacar. Ia pun tak dapat menjamin kapan mereka akan berpisah, wajar saja Yedam lebih mementingkan urusannya daripada dirinya.

“Mau ngobrol apa?” Tanya Haruto lagi.

Yedam mengalihkan pandang dan menarik napas perlahan. Ia rangkai semua kata dalam otak, ia mantapkan hati , dan bibirnya mulai mengucap. “Semingguan ini aku sering mikir tentang kamu, tentang hubungan kita.”

“Tiap pagi aku dilanda rasa gelisah. Bingung sama keadaan ku sekarang ini. Waktu itu pula kenangan masa lalu kita keinget, persis kayak scene flashback di film-film.” Yedam berhenti sejenak guna melihat reaksi Haruto. Haruto hanya diam dan terus memajang senyum, mendengarkan berbicara, Yedam tak kuasa memandangnya lebih lama, sebab menyakitkan baginya.

Dengan sekuat tenaga ia lanjutkan perkataanya, “aku nggak tau apa yang salah sama diriku. Aku ngerasa aku aneh, aku beda dari yang dulu. Sampai akhirnya tadi pagi, betul-betul pagi jam dua dini hari tepat, aku punya rencana buat mengakhiri hubungan kita.”

Senyumnya tak luntur, namun hatinya hancur lebur. Walaupun ia sudah menduga hal ini akan datang, tapi mengapa rasanya sesakit ini? Dadanya sesak luar biasa. Ia ingin menangis, berteriak sekuat tenaga, bertanya apa salahnya, meminta penjelasan lebih rinci, namun mulutnya seperti dikunci. Pada akhirnya Haruto hanya diam, menatap lekat lawan bicaranya yang kini menunduk dalam.

Ia tarik panjang napasnya. “Boleh kasih aku satu alasan yang bikin kamu mutusin buat pisah?”

Yedam mengangguk pelan. “Aku pikir kita udah nggak cocok. Rasanya beda, semuanya hambar. Aku.. aku nggak yakin kita bisa lebih lama lagi kayak gini.”

“Pertama kita ketemu rasanya gimana sih kak? Canggung dan hambar juga kan ya? Terus kita akhirnya kenalan dan buat kenangan bareng bahkan ngejalin hubungan yang udah jalan hampir 4 tahunan.” Haruto mati-matian menahan lelehan air matanya jatuh, ia dongakkan dan menatap lama langit-langit tempat mereka bertemu.

“Rasa hambar itu perlahan terkikis sama rasa manis, pahit, asin, dan semacamnya. Dan hari ini kakak bilang rasa hambar itu kembali. Rasa itu kembali bukan karena kita udah nggak cocok, enggak kak. Rasa itu hinggap lagi karena jarak antara kita terlalu tebal. Kakak yang sibuk luar biasa sampai nggak ada waktu buat sama aku. Oke lah, aku paham, kakak begitu buat masa depan kakak. Tapi apa iya, kakak nggak bisa balas ucapan selamat pagi ku di chat sekali aja? Walaupun sedikit setidaknya kita tetep berkomunikasi.”

“Aku juga sama kayak kakak, tiap malem selalu kepikiran. Nggak seminggu, sebulan ataupun dua bulan, aku udah mulai kepikiran semenjak kakak sibuk sendiri. Tiap malem aku nggak bisa tidur, pikiranku jalan-jalan tanpa arah. Mikir, gimana kalo kakak selingkuh, gimana kalo Kak Yedam nyaman sama orang, Kak Yedam kecapekan enggak, hari kakak gimana, Kak Yedam istirahat enggak. Sampai-sampai satu pertanyaan ini bersarang dipikiran ku terus-menerus, 'Kak Yedam bakal mutusin aku nggak ya di keadaan kayak gini?'. Dan, ya, hari ini pertanyaan itu jadi kenyataan,” ujar Haruto panjang lebar.

Yedam tak berkutik, ia hanya mendengarkan dan menghapus air matanya perlahan. Perasaan bersalah mengerubunginya, namun ia sendiri tak mengerti ada apa dengan dirinya sekarang.

“Inget nggak sih kak, kalo hubungan kita tuh rintangannya banyak banget haha,” tawa menyedihkan Haruto suguhkan untuk Yedam. Bersamaan dengan itu, air mata yang sedari tadi ditahan akhirnya terjun juga.

“Mulai dari Kak Yedam yang nolak aku dan aku yang cari pelarian sana-sini. Terus aku yang bosen terus berani mendua dari kakak. Asli, ini sih yang paling aku inget. Kakak nggak kayak kebanyakan orang, kakak bilang ke aku, nasehatin aku baik-baik nggak pake amarah sama sekali. Kakak bilang, 'ayo kita buat kenangan baru lagi, kali ini aku jamin nggak bakal bikin kamu bosen,' haha rasanya aku mau nangis terus kalo keinget itu. Mulai saat itu aku janji ke diri sendiri buat nggak bakal mendua dan nyakitin kakak. Aku bakal belajar terus buat... Hah, nggak kuat.” Haruto menelungkupkan wajahnya ke meja, menumpahkan tangisnya. Ia lupakan fakta bahwa mereka berada di tempat umum, tempat ramai. Yang terpenting dadanya tidak sesak serta pernapasannya normal kembali.

Lagi-lagi Yedam menghindari Haruto dari penglihatannya. Diusapnya air mata di pipi, lalu berucap dengan kalimat sumbang khas orang habis menangis. “Aku sendiri juga gak paham sama diriku yang sekarang. Aku ngerasa ganjel sama perasaan sama pemikiran sendiri. Bingung Ru..”

Haruto terdiam beberapa menit, menumpahkan segala sakitnya sebentar. “Karena komunikasi kita kurang, mangkanya rasanya hambar, beda, asing. Dinding diantara kita udah tebel, ngebuat kita jadi kayak orang asing lagi.”

Yedam setuju. Ia mengaku ia salah akan hal tersebut. Ia tak pernah menyempatkan diri untuk sekedar membalas sapaan singkat Haruto. Ia terlalu sibuk dengan dunianya, hingga ia lupa akan pasangannya.

“Aku pengen banget kalo kakak udah agak senggang nanti kita jalan-jalan bareng. Entah ke pantai, ke hutan antah-berantah, ataupun main sama binatang. Aku mau kita sama-sama masang senyum dengan alasan satu sama lain. Aku juga pengen loh, jadi support system kakak. Maka dari itu setiap pagi aku selalu ngirim pesan ke kakak biar semangat, ya walaupun nggak dibaca sih haha.” Curah Haruto lagi.

“Kalo udah gini, mending aku pergi aja ya kak?”

“Sebentar ya Ruto. Biar aku kasih waktu buat pikiran dan hati mutusin gimana nantinya. Sebentar kok, 5 menit aja, biar nantinya aku nggak salah ambil keputusan,” izin Yedam.

“Iya, silahkan,” jawab Haruto dengan senyum tipis.

Yedam hari ini sangat tampan. Rambutnya berganti hitam legam, baju yang dipakai adalah baju hadiah darinya saat Yedam berulang tahun setahun lalu. Matanya memerah, hidungnya kesusahan bernapas, namun senyuman manis selalu ia suguhkan untuk Yedam seorang.

“Ruto,”

“Udah?”

“Iya, udah.”

“Gimana?”

“Aku.. aku mutusin buat pisah dulu, boleh? Aku mau memperbaiki diri dulu, cari dimana letak kesalahan ku sendiri. Boleh kan?” Tanya Yedam takut-takut.

“Boleh dong. Kalo itu bikin kakak bahagia, emang bisa aku nolak?”

“Walaupun ini berat banget rasanya buat aku, tapi aku juga nggak boleh egois kan ya. Jadi, aku bakal pergi, dengan harapan kakak selalu dirundung rasa bahagia. Meskipun nggak bareng ataupun karena aku,” ucap Haruto lagi.

Can i get hug before we officially break?” Pintanya.

Sure.”

Lalu Haruto berhambur dalam pelukan Yedam. Menghirup lama parfum kesayangannya, menumpahkan tangisnya pada bahu sang kesayangan, dan mengelus-elus punggung kesayangannya. Ia akan merindukan pelukan hangat ini.

Setidaknya, buku kisah mereka ditutup dengan baik, walau banyak air mata berderai dalam tiap detiknya.

Semoga hambarnya cepat pergi, agar kita dapat kembali membuat buku baru untuk kisah kita yang baru lagi.

Waktunya tiba.

“Tumben ngajak ketemu? Biasanya kalo diajak sibuk terus.” Sapa Haruto yang baru mendudukkan badannya di kursi depan Yedam, kasih hatinya.

“Emang nggak boleh ya? Lagian aku kangen kamu tau,” balas Yedam dengan senyuman manis.

“Cie kangen aku cieee, sini dong, peluk kalo kangen,” suruh Haruto. Ia membuka lebar kedua tangannya, dan dengan senang hati Yedam masuk dalam dekapan hangat Haruto. Ada rasa bahagia yang menghampiri Haruto, rindu yang selama ini ia tahan akhirnya sekarang keluar dan menghempas jauh.

Namun, apa benar hanya karena 'rindu' Yedam mengajaknya bertemu? Atau ada maksud lain yang terselubung?

Pelukannya terlepas. Haruto memandang sejenak paras indah kasihnya; diusap pelan pipinya dan diberi cubitan guna menyalurkan kegemasan dirinya.

“Aih, kebiasaan cubit-cubit,” protes Yedam. “Sakit tau, merah nih!”

“Hehe maaf. Abisnya kamu gemes banget, lagian berapa bulan kamu nggak aku cubit, gak kangen emang?” Godanya dengan alis naik turun.

“Enggak. Duduk cepetan, ayo ngobrol serius,” suruh Yedam.

Serius? Jadi, ini maksud utamanya?

Haruto menurut. Ia menyiapkan jiwa serta raganya, kalau-kalau ucapan menyakitkan keluar dari mulut Yedam. Namun, tetap senyum indah ia pasang di wajah tampannya.

“Kamu udah libur atau lagi ngelibur?”

“Lagi libur. Mangkanya aku ngajak kamu ke sini, mumpung ada waktu,” jawab Yedam.

Senyumnya perlahan menipis. Kini ia bukan lagi alasan utama Yedam, namun hanya sekedar pengisi luangnya. Buru-buru ia tepis pemikiran tersebut, ia tak boleh egois. Lagipula, dia ini siapa? Hanya pacar. Ia pun tak dapat menjamin kapan mereka akan berpisah, wajar saja Yedam lebih mementingkan urusannya daripada dirinya.

“Mau ngobrol apa?” Tanya Haruto lagi.

Yedam mengalihkan pandang dan menarik napas perlahan. Ia rangkai dengan semua katanya dalam otak, ia mantapkan hatinya, dan bibirnya mulai terucap. “Semingguan ini aku sering mikir tentang kamu, tentang hubungan kita.”

“Tiap pagi aku dilanda rasa gelisah. Bingung sama keadaan ku sekarang ini. Waktu itu pula kenangan masa lalu kita keinget, persis kayak scene flashback di film-film.” Yedam berhenti sejenak guna melihat reaksi Haruto. Haruto hanya diam dan terus memajang senyum, mendengarkan berbicara, Yedam tak kuasa memandangnya lebih lama, sebab menyakitkan baginya.

Dengan sekuat tenaga ia lanjutkan perkataanya, “aku nggak tau apa yang salah sama diriku. Aku ngerasa aku aneh, aku beda dari yang dulu. Sampai akhirnya tadi pagi, betul-betul pagi jam dua dini hari tepat, aku punya rencana buat mengakhiri hubungan kita.”

Senyumnya tak luntur, namun hatinya hancur lebur. Walaupun ia sudah menduga hal ini akan datang, tapi mengapa rasanya sesakit ini? Dadanya sesak luar biasa. Ia ingin menangis, berteriak sekuat tenaga, bertanya apa salahnya, meminta penjelasan lebih rinci, namun mulutnya seperti dikunci. Pada akhirnya Haruto hanya diam, menatap lekat lawan bicaranya yang kini menunduk dalam.

Ia tarik panjang napasnya. “Boleh kasih aku satu alasan yang bikin kamu mutusin buat pisah?”

Yedam mengangguk pelan. “Aku pikir kita udah nggak cocok. Rasanya beda, semuanya hambar. Aku.. aku nggak yakin kita bisa lebih lama lagi kayak gini.”

“Pertama kita ketemu rasanya gimana sih kak? Canggung dan hambar juga kan ya? Terus kita akhirnya kenalan dan buat kenangan bareng bahkan ngejalin hubungan yang udah jalan hampir 4 tahunan.” Haruto mati-matian menahan lelehan air matanya jatuh, ia dongakkan dan menatap lama langit-langit tempat mereka bertemu.

“Rasa hambar itu perlahan terkikis sama rasa manis, pahit, asin, dan semacamnya. Dan hari ini kakak bilang rasa hambar itu kembali. Rasa itu kembali bukan karena kita udah nggak cocok, enggak kak. Rasa itu hinggap lagi karena jarak antara kita terlalu tebal. Kakak yang sibuk luar biasa sampai nggak ada waktu buat sama aku. Oke lah, aku paham, kakak begitu buat masa depan kakak. Tapi apa iya, kakak nggak bisa balas ucapan selamat pagi ku di chat sekali aja? Walaupun sedikit setidaknya kita tetep berkomunikasi.”

“Aku juga sama kayak kakak, tiap malem selalu kepikiran. Nggak seminggu, sebulan ataupun dua bulan, aku udah mulai kepikiran semenjak kakak sibuk sendiri. Tiap malem aku nggak bisa tidur, pikiranku jalan-jalan tanpa arah. Mikir, gimana kalo kakak selingkuh, gimana kalo Kak Yedam nyaman sama orang, Kak Yedam kecapekan enggak, hari kakak gimana, Kak Yedam istirahat enggak. Sampai-sampai satu pertanyaan ini bersarang dipikiran ku terus-menerus, 'Kak Yedam bakal mutusin aku nggak ya di keadaan kayak gini?'. Dan, ya, hari ini pertanyaan itu jadi kenyataan,” ujar Haruto panjang lebar.

Yedam tak berkutik, ia hanya mendengarkan dan menghapus air matanya perlahan. Perasaan bersalah mengerubunginya, namun ia sendiri tak mengerti ada apa dengan dirinya sekarang.

“Inget nggak sih kak, kalo hubungan kita tuh rintangannya banyak banget haha,” tawa menyedihkan Haruto suguhkan untuk Yedam. Bersamaan dengan itu, air mata yang sedari tadi ditahan akhirnya terjun juga.

“Mulai dari Kak Yedam yang nolak aku dan aku yang cari pelarian sana-sini. Terus aku yang bosen terus berani mendua dari kakak. Asli, ini sih yang paling aku inget. Kakak nggak kayak kebanyakan orang, kakak bilang ke aku, nasehatin aku baik-baik nggak pake amarah sama sekali. Kakak bilang, 'ayo kita buat kenangan baru lagi, kali ini aku jamin nggak bakal bikin kamu bosen,' haha rasanya aku mau nangis terus kalo keinget itu. Mulai saat itu aku janji ke diri sendiri buat nggak bakal mendua dan nyakitin kakak. Aku bakal belajar terus buat... Hah, nggak kuat.” Haruto menelungkupkan wajahnya ke meja, menumpahkan tangisnya. Ia lupakan fakta bahwa mereka berada di tempat umum, tempat ramai. Yang terpenting dadanya tidak sesak serta pernapasannya normal kembali.

Lagi-lagi Yedam menghindari Haruto dari penglihatannya. Diusapnya air mata di pipi, lalu berucap dengan kalimat sumbang khas orang habis menangis. “Aku sendiri juga gak paham sama diriku yang sekarang. Aku ngerasa ganjel sama perasaan sama pemikiran sendiri. Bingung Ru..”

Haruto terdiam beberapa menit, menumpahkan segala sakitnya sebentar. “Karena komunikasi kita kurang, mangkanya rasanya hambar, beda, asing. Dinding diantara kita udah tebel, ngebuat kita jadi kayak orang asing lagi.”

Yedam setuju. Ia mengaku ia salah akan hal tersebut. Ia tak pernah menyempatkan diri untuk sekedar membalas sapaan singkat Haruto. Ia terlalu sibuk dengan dunianya, hingga ia lupa akan pasangannya.

“Aku pengen banget kalo kakak udah agak senggang nanti kita jalan-jalan bareng. Entah ke pantai, ke hutan antah-berantah, ataupun main sama binatang. Aku mau kita sama-sama masang senyum dengan alasan satu sama lain. Aku juga pengen loh, jadi support system kakak. Maka dari itu setiap pagi aku selalu ngirim pesan ke kakak biar semangat, ya walaupun nggak dibaca sih haha.” Curah Haruto lagi.

“Kalo udah gini, mending aku pergi aja ya kak?”

“Sebentar ya Ruto. Biar aku kasih waktu buat pikiran dan hati mutusin gimana nantinya. Sebentar kok, 5 menit aja, biar nantinya aku nggak salah ambil keputusan,” izin Yedam.

“Iya, silahkan,” jawab Haruto dengan senyum tipis.

Yedam hari ini sangat tampan. Rambutnya berganti hitam legam, baju yang dipakai adalah baju hadiah darinya saat Yedam berulang tahun setahun lalu. Matanya memerah, hidungnya kesusahan bernapas, namun senyuman manis selalu ia suguhkan untuk Yedam seorang.

“Ruto,”

“Udah?”

“Iya, udah.”

“Gimana?”

“Aku.. aku mutusin buat pisah dulu, boleh? Aku mau memperbaiki diri dulu, cari dimana letak kesalahan ku sendiri. Boleh kan?” Tanya Yedam takut-takut.

“Boleh dong. Kalo itu bikin kakak bahagia, emang bisa aku nolak?”

“Walaupun ini berat banget rasanya buat aku, tapi aku juga nggak boleh egois kan ya. Jadi, aku bakal pergi, dengan harapan kakak selalu dirundung rasa bahagia. Meskipun nggak bareng ataupun karena aku,” ucap Haruto lagi.

Can i get hug before we officially break?” Pintanya.

Sure.”

Lalu Haruto berhambur dalam pelukan Yedam. Menghirup lama parfum kesayangannya, menumpahkan tangisnya pada bahu sang kesayangan, dan mengelus-elus punggung kesayangannya. Ia akan merindukan pelukan hangat ini.

Setidaknya, buku kisah mereka ditutup dengan baik, walau banyak air mata berderai dalam tiap detiknya.

Semoga hambarnya cepat pergi, agar kita dapat kembali membuat buku baru untuk kisah kita yang baru lagi.

Kincir Angin.

Yoshi as Yudanta Arsenio. Jaehyuk as Julio Abian.

“Kak, liat deh, itu tempat waktu kita ketemu buat pertama kali!” Abian menunjuk tempat penjual berbagai mainan anak.

“Haha iya. Kalo diinget lucu juga ya awal kita ketemu,” jawab Yudanta dengan iringan tawa.

“Lucu banget lah! Aku ketemu kakak waktu lagi ngelamun deket penjual situ, gara-gara kepengen beli kincir tapi duitnya abis HAHA!” Abian menertawakan kisah lampau mereka.

“Yaelah, kenapa harus itu yang diingat sih.”

“Gimana gak diingat, lucu dan paling membekas itu. Apalagi muka kakak melas banget kayak anak kepisah dari orangtuanya,” Abian belum puas mengejek Yudan.

“Mau nostalgia nggak?” Tawarnya.

“Boleh.”


Kini keduanya tengah duduk di hamparan rumput sekitar, dengan tangan masing-masing memegang kincir angin plastik.

“Asli, inimah persis kayak dua tahun lalu,” komentar Yudan.

“Iya ya. Bedanya status doang sih haha,” lagi-lagi gelak tawa keluar dari mulut Abian.

“Bian, jangan ketawa terus, nanti sakit tenggorokannya,” tegur Yudan.

“Iya, maaf.”

“Kalau udah gini, enaknya flashback gak sih kak?” Tanyanya lagi.

“Gak deh. Menguak kenangan lama yang 85% memalukan.”

“Emang iya? Banyak manisnya juga padahal.”

“Nggak kerasa ya, udah jalan dua tahun aja kita kenal,” lanjut Abian.

“Halah, males, pasti menyedihkan habis ini,” ucap Yudan sebal.

“Haha, habisnya suasana mendukung.”

“Bi,”

“Iya?”

“Dua tahun kita bareng, selama itu juga jalan kita masih mulus, belum bergelombang. Mungkin besok, minggu depan, atau kapan lah itu, kita bakal ngehadapin jalan gelombang itu. Harapanku sih, semoga kita sama-sama bisa ngendaliin emosi, terutama amarah nantinya,” curah Yudan.

“Ya, semoga aja kak. Soalnya kadang ada waktunya manusia lupa dunia,” sahut Abian.

“Hah, jangan sampai deh ambil keputusan waktu lupa dunia, nyesel hasilnya. Otak kita lagi nggak bisa berpikir jernih, ditambah keadaan yang buruk, jadi nya nggak bakal bisa mikirin resiko selanjutnya,” ujar Yudan lagi.

“Aku pernah sekali ambil keputusan waktu mabok. Bukan mabok sih, ya waktu kacau lah lebih tepatnya. Dan bener, sampai sekarang pun kalau keinget rasanya nyesel banget.”

“Mending tenangin diri aja sebelum ambil tindakan lebih lanjut,” lanjut Abian.

“Ya, semoga aja, kita sama-sama bisa ngendaliin diri dan pikiran,” jawab Yudan.

“Udah yuk bahas giniannya. Mending kita main kincir,” ajak Yudan.

“Ayo! Siapa takut. Lomba lari ke sana sambil muterin kincir ya!” Abian menunjuk arah Timur yang dimaksudnya. “Yang kalah harus mau disuruh-suruh!”

Lalu keduanya berlarian ke arah Timur. Tangan yang memegang kincir mereka angkat setinggi mungkin, kincir pun berputar dengan riangnya. Penat yang tadinya hinggap, kini menguap ke langit lepas. Sederhana, namun selalu luar biasa bagi mereka.

“Yes! Kakak menang wleeee,” ejek Yudan pada pemuda kelahiran Juli itu.

“Alah, kakak pake jurus seribu bayangan sih larinya.”

“Mana ada jurus begituan, ngawur aja kamu mah.”

Mata Abian tak sengaja menangkap penjual es krim roti, camilan favoritnya sepanjang masa. Ia segera berseru lantang, “KAK YUDAN! ADA ES ROTI TONG-TONG, AYO BELIIIII!” Lalu berlari secepat kilat, bak dikejar oleh anjing galak.

Yudanta hanya tersenyum maklum melihat Abian kini sudah kembali padanya dengan dua tangan berisi es krim berbalut roti.

“Baru aja mau disusul.”

“Kakak lelet, kayak siput.”

“Nih, aku beliin,” Abian menyerahkan satu es krim pada Yudan.

“Makasih.”

“Kak, tau nggak persamaan kakak sama es roti ini?” Yudan berdecak sebal ketika mengetahui Abian mulai masuk ke mode ini.

“Nggak.”

“Sama-sama jadi favorit Julio Abian.”

“Oh? Makasih.”

Merasa tak mendapat respon yang diinginkan, Abian merengek seperti anak bayi pada Yudanta. “Responnya kenapa gitu deh,” lengkap dengan bibir melengkung ke bawah.

Yudanta tak merespon, sibuk menikmati es krim yang mulai mencair. Abian pun turut serta. Kincir yang tadinya mereka pegang, kini tertancap sempurna di tanah depan keduanya duduk. Baling-baling kincir terus berputar, layaknya nasib hidup seseorang.

“Kak Yudan pernah ngerasa gak sih, kayak kakak pengen banget maju atau menyuarakan sesuatu. Tapi, ragu, mikir nanti respon orang gimana. Ya, walaupun udah berkali-kali berpikir 'omongan orang cuman angin,' ujung-ujungnya juga bakal kepikiran, walaupun dikiiiit aja. Syukur-syukur kalo responnya positif, lah kalo negatif?”

“Pernah.”

“Ngatasinnya gimana?”

“Aku coba buat percaya ke diri sendiri aja. Emang omongan orang itu nyelekit kalo udah komentar negatif, tapi di situ juga kadang ngasih aku pembelajaran. Jadi ya, aku coba aja tahan sakit hatinya dan petik pelajarannya.”

“Kalau kamu nggak bisa, jangan dipaksa. Cari jalan pakai cara mu sendiri, cara yang bikin kamu nggak terbebani. Aku yakin kamu lagi ngehadapi situasi itu sekarang,” lanjut Yudan.

“Emang peramal ini orang.”

“Semangat Julio!”

“Semangat juga Kak Seno!”

“Hahaha, lama banget aku nggak dipanggil Seno sama kamu,” lalu Yudan merengkuh pundak kesayangannya.

“Bian, semua pasti ada jalannya. Entah itu jalan raya ataupun jalan tikus. Kalau kamu capek, lari ke kakak aja ya? Nanti kita main kincir bareng lagi kayak sekarang,” ucapnya sambil mengelus surai Abian.

Kincir Angin.

Yoshi as Yudanta Arsenio. Jaehyuk as Julio Abian.

Pernyataan.

slight!yoshijae

Dalam hubungan persahabatan mustahil bila salah satunya tak menyimpan rasa lebih. Apalagi jika persahabatan hanya antara dua insan. Seperti Jihoon Aciel yang menyimpan rasa lebih dari sekedar sahabat pada Yoonbin Raditya.

Layaknya kebanyakan cerita fiksi yang dibaca, Jihoon memilih tuk menghiraukan serta menghilangkan rasa tersebut. Namun, hasilnya nihil. Bukannya menghilang, rasa itu justru semakin bertambah. Ya, bagaimana mau move on kalau orang yang disukai selalu menempel setiap hari. Jalan akhir yang dipilih ya.. menyukai dalam diam.

“Oit, nanti ikut?” Pertanyaan Yoonbin seketika membuat Jihoon kembali sadar pada dunia.

“Iyalah. Yakali dapet gratisan nolak.”

“Bareng mau?”

“Mau banget. Haduh, tentram banget idup gue hari ini. Gak keluar duit tapi perut kenyang, jalan juga oke.” Ucapan Jihoon membuat Yoonbin bergeming sebal. Tetapi, akhirnya ia hanya diam saja tak berkomentar. Malas mencari gara-gara, katanya.

Oh, omong-omong mereka diundang oleh Yoshi untuk acara makan-makan kecil guna memperingati hari jadi hubungannya dengan Jaehyuk yang ke-3.

“Pengen deh cowok gue nanti modelnya kayak Yoshi. Pasti tentram idup gue,” celetuk Jihoon.

“Gak modelan Yoshi juga bisa bikin lo hidup tentram kali. Sama gue contohnya.” Yoonbin menggerakkan alis naik-turun, bermaksud menggoda Jihoon.

“Beda lagi kalo lo mah.”

“Sialan lo Yoonbin, kalo ngomong gak mikir dulu,” batin Jihoon. Omongan sama isi hati emang beda begitu ya.

“Eh, tapi nanti berangkatnya agak duluan. Mau jalan dulu gitu. Lo oke?” Tawar Yoonbin.

“Yaelah. Jalan sama siapa lagi lo kali ini?”

“Sama lo lah dodol. Yakali gue ngajak lo bareng tapi gue tinggal jalan bareng orang lain. Gini-gini gue juga menghargai perasaan sesama.”

Iye dah, lo emang paling ngerti.”

Yoonbin menepuk-nepuk pelan kepala Jihoon, “anjing pintar.”

“Sialan. SINI LO!”

“AMPUNNN.”

Dan terjadilah aksi kejar-kejaran antara keduanya. Salah satu alasan mengapa Jihoon memilih memendam daripada mengungkapkan adalah takut jika Yoonbinnya berubah. Memang beberapa perubahan dapat membuat bahagia. Namun, jika perubahan itu terjadi pada orang terdekat maka rasanya akan aneh. Perlu beberapa waktu untuk kita dapat beradaptasi dengan situasi dan sikap baru tersebut.


Pukul 13.00 WIB dua sejoli pengagum bintang sedang duduk di depan minimarket dengan eskrim cornetto oreo dimasing-masing tangan. Entah apa tujuan utamanya, yang pasti mereka hanya ingin menikmati keindahan langit siang dengan tangan bertaut serta makanan manis yang menghiasi lidah mereka.

“Hoon,”

“Hm?” Jihoon memutuskan pandangan kagum pada langit biru, dan beralih pada lelaki Raditya di sampingnya.

“SSK-D'Bagindas 1:37.”

“SSK? SSK apaan dah? Susuk? Lo mau guna-guna gue?”

Rencananya, Yoonbin ingin menyatakan perasaan ditengah kegiatan memakan eskrim. Tetapi, melihat Jihoon memandangnya lekat, serta senyum tipis yang menambah kesan manis membuat semua kata yang telah disusunnya pudar begitu saja. Gagal sudah kalau begini cerita.

“Gak. Gak jadi. Tuh, eskrim nya cepet dihabisin sebelum mencair.”

Jihoon hanya mengendikkan bahu tak acuh dan kembali melanjutkan aktivitas. Sedang Yoonbin sibuk menyusun kembali kata serta menetralkan detak jantung. Memang betul lirik lagu dari Suka Sama Kamu karya D'Bagindas yang berbunyi, ..jantungku berdebar saat kau menatapku. Bibirku terbungkam melihat senyummu.

“Ji,”

“Apalagi sih? Gak lihat gue lagi menikmati eskrim?” Jawab Jihoon sebal.

“Hehe sorry. Menurut lo suka sama temen itu salah gak sih?”

“Ya.. enggak? Kan rasa suka nggak bisa di-request jatuh ke siapa. Kalaupun bisa, pasti ada syarat ketentuan berlaku,” ujar Jihoon.

“Hmm.”

Jemari Yoonbin kini mulai berselancar ria pada ponsel miliknya. Membuka aplikasi hijau andalan lalu memainkan sebuah lagu. Suka Sama Kamu – D'Bagindas.

Dahi Jihoon mengernyit. Dalam hati bertanya-tanya, ada apa dengan sahabatnya ini? Namun lisannya enggan mengajukan pertanyaan. Jadi, ia hanya menikmati alunan lagu dari ponsel Yoonbin.

“Lo kenapa deh? Lagi suka sama orang apa gimana?” Akhirnya setelah beberapa menit, Jihoon bertanya.

Yoonbin mengangguk. “Iya. Suka sama lo.”

Mendadak pikirannya kosong. Otaknya tak dapat memproses. Raut terkejut ia suguhkan. Bahkan eskrim di tangan tak lagi ia pedulikan. Sebab pernyataan dari sang karib yang terlalu tiba-tiba baginya-

“Hah?” -dan berakhir mengeluarkan reaksi singkat seperti kebanyakan orang.

“Gak usah sok-sok an nggak ngerti gitu deh. Gue tau tingkat kepekaan lo dua ratus persen lebih tinggi dari orang-orang.”

“Bercanda ah. Masa iya lo suka gue?” Tanya Jihoon memastikan.

“Gue beneran.”

“Gini aja deh. Lo suka gue gak?” Lanjut Yoonbin.

“Ya.. suka...”

“Bagus. Sekarang gak usah pacaran, ribet. Yang penting kita tahu saling sayang, saling suka yang bener-bener suka. Nanti kalo abis lulus kuliah langsung lamaran, nikahnya kapan-kapan.” Jelas Yoonbin rinci.

“Dih, emang gue mau nikah sama lo?”

“Jelas mau. Kalo gak mau ya tinggal dipaksa,” jawab Yoonbin ringan.

“Enak aja main paksa-paksa.”

“Tapi, Bin,”

“Apalagi?”

“Bedanya suka yang bener-bener, sayang, sama cinta itu apa?” Jihoon mengajukan pertanyaan yang mengelilingi pikirannya sedari tadi.

“Gatau gue. Puyeng. Terserah lo mau anggap mereka sama, beda, saudara-an, kakak-adik, ataupun sama. Mendingan sekarang cepet abisin eskrim terus kita jalan ke tempat Yoshi. Udah jam setengah dua, loh,” ajak Yoonbin.

Jihoon bangkit lalu membuang bungkus eskrim di tong sampah minimarket. “Yuk!”

Duk.

Teng teng.

“Hoon! Tolongin!”

Jihoon berbalik saat mendengar namanya disebut. Terlihat bahwa Yoonbin sedang tidur tengkurap dengan kepala terbentur badan tong sampah alumunium.

“Haha kok bisa sih hahaha. Aduh, gue hahaha gak bisa berhenti hahaha. Lo haha kocak banget hahahahahaha.” Jihoon merupakan tipikal teman yang tertawa dulu baru menolong.

“Tolongin elah, sakit ini. Jangan ketawa mulu,” pinta Yoonbin sekali lagi.

Akhirnya Jihoon menuntaskan tawanya, dan bergerak mendekat kearah Yoonbin. Ia pinggirkan sedikit kursi dimana Yoonbin dan dirinya duduk tadi, sebab kaki sang karib tersangkut disana.

“Gimana bisa jatuh sih haha?” Tanya Jihoon masih dengan tawa.

“Kesandung. Diem lo, gausah ketawa lagi.”

Yoonbin segera membersihkan bagian pakaian yang sekiranya kotor. Dan kembali menautkan tangannya dengan Jihoon. Memasangkan Jihoon helm dan menyuruhnya naik ke atas motor. Keduanya pergi ke tempat Yoshi dengan perasaan gembira yang membuncah.

“Bin, love you.”

“Apaan tiba-tiba banget. Diatas motor lagi,” protes Yoonbin.

“Gapapa. Sengaja.”

“Jawab dong,” pinta Jihoon.

Love yoo too. Aish, geli.”

Pernyataan.

slight!yoshijae

Dalam hubungan persahabatan mustahil bila salah satunya tak menyimpan rasa lebih. Apalagi jika persahabatan hanya antara dua insan. Seperti Jihoon Aciel yang menyimpan rasa lebih dari sekedar sahabat pada Yoonbin Raditya.

Layaknya kebanyakan cerita fiksi yang dibaca, Jihoon memilih tuk menghiraukan serta menghilangkan rasa tersebut. Namun, hasilnya nihil. Bukannya menghilang, rasa itu justru semakin bertambah. Ya, bagaimana mau move on kalau orang yang disukai selalu menempel setiap hari. Jalan akhir yang dipilih ya.. menyukai dalam diam.

“Oit, nanti ikut?” Pertanyaan Yoonbin seketika membuat Jihoon kembali sadar pada dunia.

“Iyalah. Yakali dapet gratisan nolak.”

“Bareng mau?”

“Mau banget. Haduh, tentram banget idup gue hari ini. Gak keluar duit tapi perut kenyang, jalan juga oke.” Ucapan Jihoon membuat Yoonbin bergeming sebal. Tetapi, akhirnya ia hanya diam saja tak berkomentar. Malas mencari gara-gara, katanya.

Oh, omong-omong mereka diundang oleh Yoshi untuk acara makan-makan kecil guna memperingati hari jadi hubungannya dengan Jaehyuk yang ke-3.

“Pengen deh cowok gue nanti modelnya kayak Yoshi. Pasti tentram idup gue,” celetuk Jihoon.

“Gak modelan Yoshi juga bisa bikin lo hidup tentram kali. Sama gue contohnya.” Yoonbin menggerakkan alis naik-turun, bermaksud menggoda Jihoon.

“Beda lagi kalo lo mah.”

“Sialan lo Yoonbin, kalo ngomong gak mikir dulu,” batin Jihoon. Omongan sama isi hati emang beda begitu ya.

“Eh, tapi nanti berangkatnya agak duluan. Mau jalan dulu gitu. Lo oke?” Tawar Yoonbin.

“Yaelah. Jalan sama siapa lagi lo kali ini?”

“Sama lo lah dodol. Yakali gue ngajak lo bareng tapi gue tinggal jalan bareng orang lain. Gini-gini gue juga menghargai perasaan sesama.”

Iye dah, lo emang paling ngerti.”

Yoonbin menepuk-nepuk pelan kepala Jihoon, “anjing pintar.”

“Sialan. SINI LO!”

“AMPUNNN.”

Dan terjadilah aksi kejar-kejaran antara keduanya. Salah satu alasan mengapa Jihoon memilih memendam daripada mengungkapkan adalah takut jika Yoonbinnya berubah. Memang beberapa perubahan dapat membuat bahagia. Namun, jika perubahan itu terjadi pada orang terdekat maka rasanya akan aneh. Perlu beberapa waktu untuk kita dapat beradaptasi dengan situasi dan sikap baru tersebut. <—more!—>


Pukul 13.00 WIB dua sejoli pengagum bintang sedang duduk di depan minimarket dengan eskrim cornetto oreo dimasing-masing tangan. Entah apa tujuan utamanya, yang pasti mereka hanya ingin menikmati keindahan langit siang dengan tangan bertaut serta makanan manis yang menghiasi lidah mereka.

“Hoon,”

“Hm?” Jihoon memutuskan pandangan kagum pada langit biru, dan beralih pada lelaki Raditya di sampingnya.

“SSK-D'Bagindas 1:37.”

“SSK? SSK apaan dah? Susuk? Lo mau guna-guna gue?”

Rencananya, Yoonbin ingin menyatakan perasaan ditengah kegiatan memakan eskrim. Tetapi, melihat Jihoon memandangnya lekat, serta senyum tipis yang menambah kesan manis membuat semua kata yang telah disusunnya pudar begitu saja. Gagal sudah kalau begini cerita.

“Gak. Gak jadi. Tuh, eskrim nya cepet dihabisin sebelum mencair.”

Jihoon hanya mengendikkan bahu tak acuh dan kembali melanjutkan aktivitas. Sedang Yoonbin sibuk menyusun kembali kata serta menetralkan detak jantung. Memang betul lirik lagu dari Suka Sama Kamu karya D'Bagindas yang berbunyi, ..jantungku berdebar saat kau menatapku. Bibirku terbungkam melihat senyummu.

“Ji,”

“Apalagi sih? Gak lihat gue lagi menikmati eskrim?” Jawab Jihoon sebal.

“Hehe sorry. Menurut lo suka sama temen itu salah gak sih?”

“Ya.. enggak? Kan rasa suka nggak bisa di-request jatuh ke siapa. Kalaupun bisa, pasti ada syarat ketentuan berlaku,” ujar Jihoon.

“Hmm.”

Jemari Yoonbin kini mulai berselancar ria pada ponsel miliknya. Membuka aplikasi hijau andalan lalu memainkan sebuah lagu. Suka Sama Kamu – D'Bagindas.

Dahi Jihoon mengernyit. Dalam hati bertanya-tanya, ada apa dengan sahabatnya ini? Namun lisannya enggan mengajukan pertanyaan. Jadi, ia hanya menikmati alunan lagu dari ponsel Yoonbin.

“Lo kenapa deh? Lagi suka sama orang apa gimana?” Akhirnya setelah beberapa menit, Jihoon bertanya.

Yoonbin mengangguk. “Iya. Suka sama lo.”

Mendadak pikirannya kosong. Otaknya tak dapat memproses. Raut terkejut ia suguhkan. Bahkan eskrim di tangan tak lagi ia pedulikan. Sebab pernyataan dari sang karib yang terlalu tiba-tiba baginya-

“Hah?” -dan berakhir mengeluarkan reaksi singkat seperti kebanyakan orang.

“Gak usah sok-sok an nggak ngerti gitu deh. Gue tau tingkat kepekaan lo dua ratus persen lebih tinggi dari orang-orang.”

“Bercanda ah. Masa iya lo suka gue?” Tanya Jihoon memastikan.

“Gue beneran.”

“Gini aja deh. Lo suka gue gak?” Lanjut Yoonbin.

“Ya.. suka...”

“Bagus. Sekarang gak usah pacaran, ribet. Yang penting kita tahu saling sayang, saling suka yang bener-bener suka. Nanti kalo abis lulus kuliah langsung lamaran, nikahnya kapan-kapan.” Jelas Yoonbin rinci.

“Dih, emang gue mau nikah sama lo?”

“Jelas mau. Kalo gak mau ya tinggal dipaksa,” jawab Yoonbin ringan.

“Enak aja main paksa-paksa.”

“Tapi, Bin,”

“Apalagi?”

“Bedanya suka yang bener-bener, sayang, sama cinta itu apa?” Jihoon mengajukan pertanyaan yang mengelilingi pikirannya sedari tadi.

“Gatau gue. Puyeng. Terserah lo mau anggap mereka sama, beda, saudara-an, kakak-adik, ataupun sama. Mendingan sekarang cepet abisin eskrim terus kita jalan ke tempat Yoshi. Udah jam setengah dua, loh,” ajak Yoonbin.

Jihoon bangkit lalu membuang bungkus eskrim di tong sampah minimarket. “Yuk!”

Duk.

Teng teng.

“Hoon! Tolongin!”

Jihoon berbalik saat mendengar namanya disebut. Terlihat bahwa Yoonbin sedang tidur tengkurap dengan kepala terbentur badan tong sampah alumunium.

“Haha kok bisa sih hahaha. Aduh, gue hahaha gak bisa berhenti hahaha. Lo haha kocak banget hahahahahaha.” Jihoon merupakan tipikal teman yang tertawa dulu baru menolong.

“Tolongin elah, sakit ini. Jangan ketawa mulu,” pinta Yoonbin sekali lagi.

Akhirnya Jihoon menuntaskan tawanya, dan bergerak mendekat kearah Yoonbin. Ia pinggirkan sedikit kursi dimana Yoonbin dan dirinya duduk tadi, sebab kaki sang karib tersangkut disana.

“Gimana bisa jatuh sih haha?” Tanya Jihoon masih dengan tawa.

“Kesandung. Diem lo, gausah ketawa lagi.”

Yoonbin segera membersihkan bagian pakaian yang sekiranya kotor. Dan kembali menautkan tangannya dengan Jihoon. Memasangkan Jihoon helm dan menyuruhnya naik ke atas motor. Keduanya pergi ke tempat Yoshi dengan perasaan gembira yang membuncah.

“Bin, love you.”

“Apaan tiba-tiba banget. Diatas motor lagi,” protes Yoonbin.

“Gapapa. Sengaja.”

“Jawab dong,” pinta Jihoon.

Love yoo too. Aish, geli.”

Pernyataan.

slight!yoshijae

Dalam hubungan persahabatan mustahil bila salah satunya tak menyimpan rasa lebih. Apalagi jika persahabatan hanya antara dua insan. Seperti Jihoon Aciel yang menyimpan rasa lebih dari sekedar sahabat pada Yoonbin Raditya.

Layaknya kebanyakan cerita fiksi yang dibaca, Jihoon memilih tuk menghiraukan serta menghilangkan rasa tersebut. Namun, hasilnya nihil. Bukannya menghilang, rasa itu justru semakin bertambah. Ya, bagaimana mau move on kalau orang yang disukai selalu menempel setiap hari. Jalan akhir yang dipilih ya.. menyukai dalam diam.

“Oit, nanti ikut?” Pertanyaan Yoonbin seketika membuat Jihoon kembali sadar pada dunia.

“Iyalah. Yakali dapet gratisan nolak.”

“Bareng mau?”

“Mau banget. Haduh, tentram banget idup gue hari ini. Gak keluar duit tapi perut kenyang, jalan juga oke.” Ucapan Jihoon membuat Yoonbin bergeming sebal. Tetapi, akhirnya ia hanya diam saja tak berkomentar. Malas mencari gara-gara, katanya.

Oh, omong-omong mereka diundang oleh Yoshi untuk acara makan-makan kecil guna memperingati hari jadi hubungannya dengan Jaehyuk yang ke-3.

“Pengen deh cowok gue nanti modelnya kayak Yoshi. Pasti tentram idup gue,” celetuk Jihoon.

“Gak modelan Yoshi juga bisa bikin lo hidup tentram kali. Sama gue contohnya.” Yoonbin menggerakkan alis naik-turun, bermaksud menggoda Jihoon.

“Beda lagi kalo lo mah.”

“Sialan lo Yoonbin, kalo ngomong gak mikir dulu,” batin Jihoon. Omongan sama isi hati emang beda begitu ya.

“Eh, tapi nanti berangkatnya agak duluan. Mau jalan dulu gitu. Lo oke?” Tawar Yoonbin.

“Yaelah. Jalan sama siapa lagi lo kali ini?”

“Sama lo lah dodol. Yakali gue ngajak lo bareng tapi gue tinggal jalan bareng orang lain. Gini-gini gue juga menghargai perasaan sesama.”

Iye dah, lo emang paling ngerti.”

Yoonbin menepuk-nepuk pelan kepala Jihoon, “anjing pintar.”

“Sialan. SINI LO!”

“AMPUNNN.”

Dan terjadilah aksi kejar-kejaran antara keduanya. Salah satu alasan mengapa Jihoon memilih memendam daripada mengungkapkan adalah takut jika Yoonbinnya berubah. Memang beberapa perubahan dapat membuat bahagia. Namun, jika perubahan itu terjadi pada orang terdekat maka rasanya akan aneh. Perlu beberapa waktu untuk kita dapat beradaptasi dengan situasi dan sikap baru tersebut.


Pukul 13.00 WIB dua sejoli pengagum bintang sedang duduk di depan minimarket dengan eskrim cornetto oreo dimasing-masing tangan. Entah apa tujuan utamanya, yang pasti mereka hanya ingin menikmati keindahan langit siang dengan tangan bertaut serta makanan manis yang menghiasi lidah mereka.

“Hoon,”

“Hm?” Jihoon memutuskan pandangan kagum pada langit biru, dan beralih pada lelaki Raditya di sampingnya.

“SSK-D'Bagindas 1:37.”

“SSK? SSK apaan dah? Susuk? Lo mau guna-guna gue?”

Rencananya, Yoonbin ingin menyatakan perasaan ditengah kegiatan memakan eskrim. Tetapi, melihat Jihoon memandangnya lekat, serta senyum tipis yang menambah kesan manis membuat semua kata yang telah disusunnya pudar begitu saja. Gagal sudah kalau begini cerita.

“Gak. Gak jadi. Tuh, eskrim nya cepet dihabisin sebelum mencair.”

Jihoon hanya mengendikkan bahu tak acuh dan kembali melanjutkan aktivitas. Sedang Yoonbin sibuk menyusun kembali kata serta menetralkan detak jantung. Memang betul lirik lagu dari Suka Sama Kamu karya D'Bagindas yang berbunyi, ..jantungku berdebar saat kau menatapku. Bibirku terbungkam melihat senyummu.

“Ji,”

“Apalagi sih? Gak lihat gue lagi menikmati eskrim?” Jawab Jihoon sebal.

“Hehe sorry. Menurut lo suka sama temen itu salah gak sih?”

“Ya.. enggak? Kan rasa suka nggak bisa di-request jatuh ke siapa. Kalaupun bisa, pasti ada syarat ketentuan berlaku,” ujar Jihoon.

“Hmm.”

Jemari Yoonbin kini mulai berselancar ria pada ponsel miliknya. Membuka aplikasi hijau andalan lalu memainkan sebuah lagu. Suka Sama Kamu – D'Bagindas.

Dahi Jihoon mengernyit. Dalam hati bertanya-tanya, ada apa dengan sahabatnya ini? Namun lisannya enggan mengajukan pertanyaan. Jadi, ia hanya menikmati alunan lagu dari ponsel Yoonbin.

“Lo kenapa deh? Lagi suka sama orang apa gimana?” Akhirnya setelah beberapa menit, Jihoon bertanya.

Yoonbin mengangguk. “Iya. Suka sama lo.”

Mendadak pikirannya kosong. Otaknya tak dapat memproses. Raut terkejut ia suguhkan. Bahkan eskrim di tangan tak lagi ia pedulikan. Sebab pernyataan dari sang karib yang terlalu tiba-tiba baginya-

“Hah?” -dan berakhir mengeluarkan reaksi singkat seperti kebanyakan orang.

“Gak usah sok-sok an nggak ngerti gitu deh. Gue tau tingkat kepekaan lo dua ratus persen lebih tinggi dari orang-orang.”

“Bercanda ah. Masa iya lo suka gue?” Tanya Jihoon memastikan.

“Gue beneran.”

“Gini aja deh. Lo suka gue gak?” Lanjut Yoonbin.

“Ya.. suka...”

“Bagus. Sekarang gak usah pacaran, ribet. Yang penting kita tahu saling sayang, saling suka yang bener-bener suka. Nanti kalo abis lulus kuliah langsung lamaran, nikahnya kapan-kapan.” Jelas Yoonbin rinci.

“Dih, emang gue mau nikah sama lo?”

“Jelas mau. Kalo gak mau ya tinggal dipaksa,” jawab Yoonbin ringan.

“Enak aja main paksa-paksa.”

“Tapi, Bin,”

“Apalagi?”

“Bedanya suka yang bener-bener, sayang, sama cinta itu apa?” Jihoon mengajukan pertanyaan yang mengelilingi pikirannya sedari tadi.

“Gatau gue. Puyeng. Terserah lo mau anggap mereka sama, beda, saudara-an, kakak-adik, ataupun sama. Mendingan sekarang cepet abisin eskrim terus kita jalan ke tempat Yoshi. Udah jam setengah dua, loh,” ajak Yoonbin.

Jihoon bangkit lalu membuang bungkus eskrim di tong sampah minimarket. “Yuk!”

Duk.

Teng teng.

“Hoon! Tolongin!”

Jihoon berbalik saat mendengar namanya disebut. Terlihat bahwa Yoonbin sedang tidur tengkurap dengan kepala terbentur badan tong sampah alumunium.

“Haha kok bisa sih hahaha. Aduh, gue hahaha gak bisa berhenti hahaha. Lo haha kocak banget hahahahahaha.” Jihoon merupakan tipikal teman yang tertawa dulu baru menolong.

“Tolongin elah, sakit ini. Jangan ketawa mulu,” pinta Yoonbin sekali lagi.

Akhirnya Jihoon menuntaskan tawanya, dan bergerak mendekat kearah Yoonbin. Ia pinggirkan sedikit kursi dimana Yoonbin dan dirinya duduk tadi, sebab kaki sang karib tersangkut disana.

“Gimana bisa jatuh sih haha?” Tanya Jihoon masih dengan tawa.

“Kesandung. Diem lo, gausah ketawa lagi.”

Yoonbin segera membersihkan bagian pakaian yang sekiranya kotor. Dan kembali menautkan tangannya dengan Jihoon. Memasangkan Jihoon helm dan menyuruhnya naik ke atas motor. Keduanya pergi ke tempat Yoshi dengan perasaan gembira yang membuncah.

“Bin, love you.”

“Apaan tiba-tiba banget. Diatas motor lagi,” protes Yoonbin.

“Gapapa. Sengaja.”

“Jawab dong,” pinta Jihoon.

Love yoo too. Aish, geli.”

Pernyataan.

slight!yoshijae

Dalam hubungan persahabatan mustahil bila salah satunya tak menyimpan rasa lebih. Apalagi jika persahabatan hanya antara dua insan. Seperti Jihoon Aciel yang menyimpan rasa lebih dari sekedar sahabat pada Yoonbin Raditya.

Layaknya kebanyakan cerita fiksi yang dibaca, Jihoon memilih tuk menghiraukan serta menghilangkan rasa tersebut. Namun, hasilnya nihil. Bukannya menghilang, rasa itu justru semakin bertambah. Ya, bagaimana mau move on kalau orang yang disukai selalu menempel setiap hari. Jalan akhir yang dipilih ya.. menyukai dalam diam.

“Oit, nanti ikut?” Pertanyaan Yoonbin seketika membuat Jihoon kembali sadar pada dunia.

“Iyalah. Yakali dapet gratisan nolak.”

“Bareng mau?”

“Mau banget. Haduh, tentram banget idup gue hari ini. Gak keluar duit tapi perut kenyang, jalan juga oke.” Ucapan Jihoon membuat Yoonbin bergeming sebal. Tetapi, akhirnya ia hanya diam saja tak berkomentar. Malas mencari gara-gara, katanya.

Oh, omong-omong mereka diundang oleh Yoshi untuk acara makan-makan kecil guna memperingati hari jadi hubungannya dengan Jaehyuk yang ke-3.

“Pengen deh cowok gue nanti modelnya kayak Yoshi. Pasti tentram idup gue,” celetuk Jihoon.

“Gak modelan Yoshi juga bisa bikin lo hidup tentram kali. Sama gue contohnya.” Yoonbin menggerakkan alis naik-turun, bermaksud menggoda Jihoon.

“Beda lagi kalo lo mah.”

“Sialan lo Yoonbin, kalo ngomong gak mikir dulu,” batin Jihoon. Omongan sama isi hati emang beda begitu ya.

“Eh, tapi nanti berangkatnya agak duluan. Mau jalan dulu gitu. Lo oke?” Tawar Yoonbin.

“Yaelah. Jalan sama siapa lagi lo kali ini?”

“Sama lo lah dodol. Yakali gue ngajak lo bareng tapi gue tinggal jalan bareng orang lain. Gini-gini gue juga menghargai perasaan sesama.”

Iye dah, lo emang paling ngerti.”

Yoonbin menepuk-nepuk pelan kepala Jihoon, “anjing pintar.”

“Sialan. SINI LO!”

“AMPUNNN.”

Dan terjadilah aksi kejar-kejaran antara keduanya. Salah satu alasan mengapa Jihoon memilih memendam daripada mengungkapkan adalah takut jika Yoonbinnya berubah. Memang beberapa perubahan dapat membuat bahagia. Namun, jika perubahan itu terjadi pada oranh terdekat maka rasanya akan aneh. Perlu beberapa waktu untuk kita dapat beradaptasi dengan situasi dan sikap baru tersebut.


Pukul 13.00 WIB dua sejoli pengagum bintang sedang duduk di depan minimarket dengan eskrim cornetto oreo dimasing-masing tangan. Entah apa tujuan utamanya, yang pasti mereka hanya ingin menikmati keindahan langit siang dengan tangan bertaut serta makanan manis yang menghiasi lidah mereka.

“Hoon,”

“Hm?” Jihoon memutuskan pandangan kagum pada langit biru, dan beralih pada lelaki Raditya di sampingnya.

“SSK-D'Bagindas 1:37.”

“SSK? SSK apaan dah? Susuk? Lo mau guna-guna gue?”

Rencananya, Yoonbin ingin menyatakan perasaan ditengah kegiatan memakan eskrim. Tetapi, melihat Jihoon memandangnya lekat, serta senyum tipis yang menambah kesan manis membuat semua kata yang telah disusunnya pudar begitu saja. Gagal sudah kalau begini cerita.

“Gak. Gak jadi. Tuh, eskrim nya cepet dihabisin sebelum mencair.”

Jihoon hanya mengendikkan bahu tak acuh dan kembali melanjutkan aktivitas. Sedang Yoonbin sibuk menyusun kembali kata serta menetralkan detak jantung. Memang betul lirik lagu dari Suka Sama Kamu karya D'Bagindas yang berbunyi, ..jantungku berdebar saat kau menatapku. Bibirku terbungkam melihat senyummu.

“Ji,”

“Apalagi sih? Gak lihat gue lagi menikmati eskrim?” Jawab Jihoon sebal.

“Hehe sorry. Menurut lo suka sama temen itu salah gak sih?”

“Ya.. enggak? Kan rasa suka nggak bisa di-request jatuh ke siapa. Kalaupun bisa, pasti ada syarat ketentuan berlaku,” ujar Jihoon.

“Hmm.”

Jemari Yoonbin kini mulai berselancar ria pada ponsel miliknya. Membuka aplikasi hijau andalan lalu memainkan sebuah lagu. Suka Sama Kamu – D'Bagindas.

Dahi Jihoon mengernyit. Dalam hati bertanya-tanya, ada apa dengan sahabatnya ini? Namun lisannya enggan mengajukan pertanyaan. Jadi, ia hanya menikmati alunan lagu dari ponsel Yoonbin.

“Lo kenapa deh? Lagi suka sama orang apa gimana?” Akhirnya setelah beberapa menit, Jihoon bertanya.

Yoonbin mengangguk. “Iya. Suka sama lo.”

Mendadak pikirannya kosong. Otaknya tak dapat memproses. Raut terkejut ia suguhkan. Bahkan eskrim di tangan tak lagi ia pedulikan. Sebab pernyataan dari sang karib yang terlalu tiba-tiba baginya-

“Hah?” -dan berakhir mengeluarkan reaksi singkat seperti kebanyakan orang.

“Gak usah sok-sok an nggak ngerti gitu deh. Gue tau tingkat kepekaan lo dua ratus persen lebih tinggi dari orang-orang.”

“Bercanda ah. Masa iya lo suka gue?” Tanya Jihoon memastikan.

“Gue beneran.”

“Gini aja deh. Lo suka gue gak?” Lanjut Yoonbin.

“Ya.. suka...”

“Bagus. Sekarang gak usah pacaran, ribet. Yang penting kita tahu saling sayang, saling suka yang bener-bener suka. Nanti kalo abis lulus kuliah langsung lamaran, nikahnya kapan-kapan.” Jelas Yoonbin rinci.

“Dih, emang gue mau nikah sama lo?”

“Jelas mau. Kalo gak mau ya tinggal dipaksa,” jawab Yoonbin ringan.

“Enak aja main paksa-paksa.”

“Tapi, Bin,”

“Apalagi?”

“Bedanya suka yang bener-bener, sayang, sama cinta itu apa?” Jihoon mengajukan pertanyaan yang mengelilingi pikirannya sedari tadi.

“Gatau gue. Puyeng. Terserah lo mau anggap mereka sama, beda, saudara-an, kakak-adik, ataupun sama. Mendingan sekarang cepet abisin eskrim terus kita jalan ke tempat Yoshi. Udah jam setengah dua, loh,” ajak Yoonbin.

Jihoon bangkit lalu membuang bungkus eskrim di tong sampah minimarket. “Yuk!”

Duk.

Teng teng.

“Hoon! Tolongin!”

Jihoon berbalik saat mendengar namanya disebut. Terlihat bahwa Yoonbin sedang tidur tengkurap dengan kepala terbentur badan tong sampah alumunium.

“Haha kok bisa sih hahaha. Aduh, gue hahaha gak bisa berhenti hahaha. Lo haha kocak banget hahahahahaha.” Jihoon merupakan tipikal teman yang tertawa dulu baru menolong.

“Tolongin elah, sakit ini. Jangan ketawa mulu,” pinta Yoonbin sekali lagi.

Akhirnya Jihoon menuntaskan tawanya, dan bergerak mendekat kearah Yoonbin. Ia pinggirkan sedikit kursi dimana Yoonbin dan dirinya duduk tadi, sebab kaki sang karib tersangkut disana.

“Gimana bisa jatuh sih haha?” Tanya Jihoon masih dengan tawa.

“Kesandung. Diem lo, gausah ketawa lagi.”

Yoonbin segera membersihkan bagian pakaian yang sekiranya kotor. Dan kembali menautkan tangannya dengan Jihoon. Memasangkan Jihoon helm dan menyuruhnya naik ke atas motor. Keduanya pergi ke tempat Yoshi dengan perasaan gembira yang membuncah.

“Bin, love you.”

“Apaan tiba-tiba banget. Diatas motor lagi,” protes Yoonbin.

“Gapapa. Sengaja.”

“Jawab dong,” pinta Jihoon.

Love yoo too. Aish, geli.”

Pernyataan.

slight!yoshijae

Dalam hubungan persahabatan mustahil bila salah satunya tak menyimpan rasa lebih. Apalagi jika persahabatan hanya antara dua insan. Seperti Jihoon Aciel yang menyimpan rasa lebih dari sekedar sahabat pada Yoonbin Raditya.

Layaknya kebanyakan cerita fiksi yang dibaca, Jihoon memilih tuk menghiraukan serta menghilangkan rasa tersebut. Namun, hasilnya nihil. Bukannya menghilang, rasa itu justru semakin bertambah. Ya, bagaimana mau move on kalau orang yang disukai selalu menempel setiap hari. Jalan akhir yang dipilih ya.. menyukai dalam diam.

“Oit, nanti ikut?” Pertanyaan Yoonbin seketika membuat Jihoon kembali sadar pada dunia.

“Iyalah. Yakali dapet gratisan nolak.”

“Bareng mau?”

“Mau banget. Haduh, tentram banget idup gue hari ini. Gak keluar duit tapi perut kenyang, jalan juga oke.” Ucapan Jihoon membuat Yoonbin bergeming sebal. Tetapi, akhirnya ia hanya diam saja tak berkomentar. Malas mencari gara-gara, katanya.

Oh, omong-omong mereka diundang oleh Yoshi untuk acara makan-makan kecil guna memperingati hari jadi hubungannya dengan Jaehyuk yang ke-3.

“Pengen deh cowok gue nanti modelnya kayak Yoshi. Pasti tentram idup gue,” celetuk Jihoon.

“Gak modelan Yoshi juga bisa bikin lo hidup tentram kali. Sama gue contohnya.” Yoonbin menggerakkan alis naik-turun, bermaksud menggoda Jihoon.

“Beda lagi kalo lo mah.”

“Sialan lo Yoonbin, kalo ngomong gak mikir dulu,” batin Jihoon. Omongan sama isi hati emang beda begitu ya.

“Eh, tapi nanti berangkatnya agak duluan. Mau jalan dulu gitu. Lo oke?” Tawar Yoonbin.

“Yaelah. Jalan sama siapa lagi lo kali ini?”

“Sama lo lah dodol. Yakali gue ngajak lo bareng tapi gue tinggal jalan bareng orang lain. Gini-gini gue tau perasaan orang lain.”

Iye dah, lo emang paling ngerti.”

Yoonbin menepuk-nepuk pelan kepala Jihoon, “anjing pintar.”

“Sialan. SINI LO!”

“AMPUNNN.”

Dan terjadilah aksi kejar-kejaran antara keduanya. Salah satu alasan mengapa Jihoon memilih memendam daripada mengungkapkan adalah takut jika Yoonbinnya berubah. Memang beberapa perubahan dapat membuat bahagia. Namun, jika perubahan itu terjadi pada oranh terdekat maka rasanya akan aneh. Perlu beberapa waktu untuk kita dapat beradaptasi dengan situasi dan sikap baru tersebut.


Pukul 13.00 WIB dua sejoli pengagum bintang sedang duduk di depan minimarket dengan eskrim cornetto oreo dimasing-masing tangan. Entah apa tujuan utamanya, yang pasti mereka hanya ingin menikmati keindahan langit siang dengan tangan bertaut serta makanan manis yang menghiasi lidah mereka.

“Hoon,”

“Hm?” Jihoon memutuskan pandangan kagum pada langit biru, dan beralih pada lelaki Raditya di sampingnya.

“SSK-D'Bagindas 1:37.”

“SSK? SSK apaan dah? Susuk? Lo mau guna-guna gue?”

Rencananya, Yoonbin ingin menyatakan perasaan ditengah kegiatan memakan eskrim. Tetapi, melihat Jihoon memandangnya lekat, serta senyum tipis yang menambah kesan manis membuat semua kata yang telah disusunnya pudar begitu saja. Gagal sudah kalau begini cerita.

“Gak. Gak jadi. Tuh, eskrim nya cepet dihabisin sebelum mencair.”

Jihoon hanya mengendikkan bahu tak acuh dan kembali melanjutkan aktivitas. Sedang Yoonbin sibuk menyusun kembali kata serta menetralkan detak jantung. Memang betul lirik lagu dari Suka Sama Kamu karya D'Bagindas yang berbunyi, ..jantungku berdebar saat kau menatapku. Bibirku terbungkam melihat senyummu.

“Ji,”

“Apalagi sih? Gak lihat gue lagi menikmati eskrim?” Jawab Jihoon sebal.

“Hehe sorry. Menurut lo suka sama temen itu salah gak sih?”

“Ya.. enggak? Kan rasa suka nggak bisa di-request jatuh ke siapa. Kalaupun bisa, pasti ada syarat ketentuan berlaku,” ujar Jihoon.

“Hmm.”

Jemari Yoonbin kini mulai berselancar ria pada ponsel miliknya. Membuka aplikasi hijau andalan lalu memainkan sebuah lagu. Suka Sama Kamu – D'Bagindas.

Dahi Jihoon mengernyit. Dalam hati bertanya-tanya, ada apa dengan sahabatnya ini? Namun lisannya enggan mengajukan pertanyaan. Jadi, ia hanya menikmati alunan lagu dari ponsel Yoonbin.

“Lo kenapa deh? Lagi suka sama orang apa gimana?” Akhirnya setelah beberapa menit, Jihoon bertanya.

Yoonbin mengangguk. “Iya. Suka sama lo.”

Mendadak pikirannya kosong. Otaknya tak dapat memproses. Raut terkejut ia suguhkan. Bahkan eskrim di tangan tak lagi ia pedulikan. Sebab pernyataan dari sang karib yang terlalu tiba-tiba baginya-

“Hah?” -dan berakhir mengeluarkan reaksi singkat seperti kebanyakan orang.

“Gak usah sok-sok an nggak ngerti gitu deh. Gue tau tingkat kepekaan lo dua ratus persen lebih tinggi dari orang-orang.”

“Bercanda ah. Masa iya lo suka gue?” Tanya Jihoon memastikan.

“Gue beneran.”

“Gini aja deh. Lo suka gue gak?” Lanjut Yoonbin.

“Ya.. suka...”

“Bagus. Sekarang gak usah pacaran, ribet. Yang penting kita tahu saling sayang, saling suka yang bener-bener suka. Nanti kalo abis lulus kuliah langsung lamaran, nikahnya kapan-kapan.” Jelas Yoonbin rinci.

“Dih, emang gue mau nikah sama lo?”

“Jelas mau. Kalo gak mau ya tinggal dipaksa,” jawab Yoonbin ringan.

“Enak aja main paksa-paksa.”

“Tapi, Bin,”

“Apalagi?”

“Bedanya suka yang bener-bener, sayang, sama cinta itu apa?” Jihoon mengajukan pertanyaan yang mengelilingi pikirannya sedari tadi.

“Gatau gue. Puyeng. Terserah lo mau anggap mereka sama, beda, saudara-an, kakak-adik, ataupun sama. Mendingan sekarang cepet abisin eskrim terus kita jalan ke tempat Yoshi. Udah jam setengah dua, loh,” ajak Yoonbin.

Jihoon bangkit lalu membuang bungkus eskrim di tong sampah minimarket. “Yuk!”

Duk.

Teng teng.

“Hoon! Tolongin!”

Jihoon berbalik saat mendengar namanya disebut. Terlihat bahwa Yoonbin sedang tidur tengkurap dengan kepala terbentur badan tong sampah alumunium.

“Haha kok bisa sih hahaha. Aduh, gue hahaha gak bisa berhenti hahaha. Lo haha kocak banget hahahahahaha.” Jihoon merupakan tipikal teman yang tertawa dulu baru menolong.

“Tolongin elah, sakit ini. Jangan ketawa mulu,” pinta Yoonbin sekali lagi.

Akhirnya Jihoon menuntaskan tawanya, dan bergerak mendekat kearah Yoonbin. Ia pinggirkan sedikit kursi dimana Yoonbin dan dirinya duduk tadi, sebab kaki sang karib tersangkut disana.

“Gimana bisa jatuh sih haha?” Tanya Jihoon masih dengan tawa.

“Kesandung. Diem lo, gausah ketawa lagi.”

Yoonbin segera membersihkan bagian pakaian yang sekiranya kotor. Dan kembali menautkan tangannya dengan Jihoon. Memasangkan Jihoon helm dan menyuruhnya naik ke atas motor. Keduanya pergi ke tempat Yoshi dengan perasaan gembira yang membuncah.

“Bin, love you.”

“Apaan tiba-tiba banget. Diatas motor lagi,” protes Yoonbin.

“Gapapa. Sengaja.”

“Jawab dong,” pinta Jihoon.

Love yoo too. Aish, geli.”

Pernyataan.

slight!yoshijae

Dalam hubungan persahabatan mustahil bila salah satunya tak menyimpan rasa lebih. Apalagi jika persahabatan hanya antara dua insan. Seperti Jihoon Aciel yang menyimpan rasa lebih dari sekedar sahabat pada Yoonbin Raditya.

Layaknya kebanyakan cerita fiksi yang dibaca, Jihoon memilih tuk menghiraukan serta menghilangkan rasa tersebut. Namun, hasilnya nihil. Bukannya menghilang, rasa itu justru semakin bertambah. Ya, bagaimana mau move on kalau orang yang disukai selalu menempel setiap hari. Jalan akhir yang dipilih ya.. menyukai dalam diam.

“Oit, nanti ikut?” Pertanyaan Yoonbin seketika membuat Jihoon kembali sadar pada dunia.

“Iyalah. Yakali dapet gratisan nolak.”

“Bareng mau?”

“Mau banget. Haduh, tentram banget idup gue hari ini. Gak keluar duit tapi perut kenyang, jalan juga oke.” Ucapan Jihoon membuat Yoonbin bergeming sebal. Tetapi, akhirnya ia hanya diam saja tak berkomentar. Malas mencari gara-gara, katanya.

Oh, omong-omong mereka diundang oleh Yoshi untuk acara makan-makan kecil guna memperingati hari jadi hubungannya dengan Jaehyuk yang ke-3.

“Pengen deh cowok gue nanti modelnya kayak Yoshi. Pasti tentram idup gue,” celetuk Jihoon.

“Gak modelan Yoshi juga bisa bikin lo hidup tentram kali. Sama gue contohnya.” Yoonbin menggerakkan alis naik-turun, bermaksud menggoda Jihoon.

“Beda lagi kalo lo mah.”

“Sialan lo Yoonbin, kalo ngomong gak mikir dulu,” batin Jihoon. Omongan sama isi hati emang beda begitu ya.

“Eh, tapi nanti berangkatnya agak duluan. Mau jalan dulu gitu. Lo oke?” Tawar Yoonbin.

“Yaelah. Jalan sama siapa lagi lo kali ini?”

“Sama lo lah dodol. Yakali gue ngajak lo bareng tapi gue tinggal jalan bareng orang lain. Gini-gini gue tau perasaan orang lain.”

Iye dah, lo emang paling ngerti.”

Yoonbin menepuk-nepuk pelan kepala Jihoon, “anjing pintar.”

“Sialan. SINI LO!”

“AMPUNNN.”

Dan terjadilah aksi kejar-kejaran antara keduanya. Salah satu alasan mengapa Jihoon memilih memendam daripada mengungkapkan adalah takut jika Yoonbinnya berubah. Memang beberapa perubahan dapat membuat bahagia. Namun, jika perubahan itu terjadi pada oranh terdekat maka rasanya akan aneh. Perlu beberapa waktu untuk kita dapat beradaptasi dengan situasi dan sikap baru tersebut.


Pukul 13.00 WIB dua sejoli pengagum bintang sedang duduk di depan minimarket dengan eskrim cornetto oreo dimasing-masing tangan. Entah apa tujuan utamanya, yang pasti mereka hanya ingin menikmati keindahan langit siang dengan tangan bertaut serta makanan manis yang menghiasi lidah mereka.

“Hoon,”

“Hm?” Jihoon memutuskan pandangan kagum pada langit biru, dan beralih pada lelaki Raditya di sampingnya.

“SSK-D'Bagindas 1:37.”

“SSK? SSK apaan dah? Susuk? Lo mau guna-guna gue?”

Rencananya, Yoonbin ingin menyatakan perasaan ditengah kegiatan memakan eskrim. Tetapi, melihat Jihoon memandangnya lekat, serta senyum tipis yang menambah kesan manis membuat semua kata yang telah disusunnya pudar begitu saja. Gagal sudah kalau begini cerita.

“Gak. Gak jadi. Tuh, eskrim nya cepet dihabisin sebelum mencair.”

Jihoon hanya mengendikkan bahu tak acuh dan kembali melanjutkan aktivitas. Sedang Yoonbin sibuk menyusun kembali kata serta menetralkan detak jantung. Memang betul lirik lagu dari Suka Sama Kamu karya D'Bagindas yang berbunyi, ..jantungku berdebar saat kau menatapku. Bibirku terbungkam melihat senyummu.

“Ji,”

“Apalagi sih? Gak lihat gue lagi menikmati eskrim?” Jawab Jihoon sebal.

“Hehe sorry. Menurut lo suka sama temen itu salah gak sih?”

“Ya.. enggak? Kan rasa suka nggak bisa di-request jatuh ke siapa. Kalaupun bisa, pasti ada syarat ketentuan berlaku,” ujar Jihoon.

“Hmm.”

Jemari Yoonbin kini mulai berselancar ria pada ponsel miliknya. Membuka aplikasi hijau andalan lalu memainkan sebuah lagu. Suka Sama Kamu – D'Bagindas.

Dahi Jihoon mengernyit. Dalam hati bertanya-tanya, ada apa dengan sahabatnya ini? Namun lisannya enggan mengajukan pertanyaan. Jadi, ia hanya menikmati alunan lagu dari ponsel Yoonbin.

“Lo kenapa deh? Lagi suka sama orang apa gimana?” Akhirnya setelah beberapa menit, Jihoon bertanya.

Yoonbin mengangguk. “Iya. Suka sama lo.”

Mendadak pikirannya kosong. Otaknya tak dapat memproses. Raut terkejut ia suguhkan. Bahkan eskrim di tangan tak lagi ia pedulikan. Sebab pernyataan dari sang karib yang terlalu tiba-tiba baginya-

“Hah?” -dan berakhir mengeluarkan reaksi singkat seperti kebanyakan orang.

“Gak usah sok-sok an nggak ngerti gitu deh. Gue tau tingkat kepekaan lo dua ratus persen lebih tinggi dari orang-orang.”

“Bercanda ah. Masa iya lo suka gue?” Tanya Jihoon memastikan.

“Gue beneran.”

“Gini aja deh. Lo suka gue gak?” Lanjut Yoonbin.

“Ya.. suka...”

“Bagus. Sekarang gak usah pacaran, ribet. Yang penting kita tahu saling sayang, saling suka yang bener-bener suka. Nanti kalo abis lulus kuliah langsung lamaran, nikahnya kapan-kapan.” Jelas Yoonbin rinci.

“Dih, emang gue mau nikah sama lo?”

“Jelas mau. Kalo gak mau ya tinggal dipaksa,” jawab Yoonbin ringan.

“Enak aja main paksa-paksa.”

“Tapi, Bin,”

“Apalagi?”

“Bedanya suka yang bener-bener, sayang, sama cinta itu apa?” Jihoon mengajukan pertanyaan yang mengelilingi pikirannya sedari tadi.

“Gatau gue. Puyeng. Terserah lo mau anggap mereka sama, beda, saudara-an, kakak-adik, ataupun sama. Mendingan sekarang cepet abisin eskrim terus kita jalan ke tempat Yoshi. Udah jam setengah dua, loh,” ajak Yoonbin.

Jihoon bangkit lalu membuang bungkus eskrim di tong sampah minimarket. “Yuk!”

Duk.

Teng teng.

“Hoon! Tolongin!”

Jihoon berbalik saat mendengar namanya disebut. Terlihat bahwa Yoonbin sedang tidur tengkurap dengan kepala terbentur badan tong sampah alumunium.

“Haha kok bisa sih hahaha. Aduh, gue hahaha gak bisa berhenti hahaha. Lo haha kocak banget hahahahahaha.” Jihoon merupakan tipikal teman yang tertawa dulu baru menolong.

“Tolongin elah, sakit ini. Jangan ketawa mulu,” pinta Yoonbin sekali lagi.

Akhirnya Jihoon menuntaskan tawanya, dan bergerak mendekat kearah Yoonbin. Ia pinggirkan sedikit kursi dimana Yoonbin dan dirinya duduk tadi, sebab kaki sang karib tersangkut disana.

“Gimana bisa jatuh sih haha?” Tanya Jihoon masih dengan tawa.

“Kesandung. Diem lo, gausah ketawa lagi.”

Yoonbin segera membersihkan bagian pakaian yang sekiranya kotor. Dan kembali menautkan tangannya dengan Jihoon. Memasangkan Jihoon helm dan menyuruhnya naik ke atas motor. Keduanya pergi ke tempat Yoshi dengan perasaan gembira yang membuncah.

“Bin, love you.”

“Apaan tiba-tiba banget. Diatas motor lagi,” protes Yoonbin.

“Gapapa. Sengaja.”

“Jawab dong,” pinta Jihoon.

Love yoo too. Aish, geli.”