hyukies

Pernyataan.

slight!yoshijae

Dalam hubungan persahabatan mustahil bila salah satunya tak menyimpan rasa lebih. Apalagi jika persahabatan hanya antara dua insan. Seperti Jihoon Aciel yang menyimpan rasa lebih dari sekedar sahabat pada Yoonbin Raditya.

Layaknya kebanyakan cerita fiksi yang dibaca, Jihoon memilih tuk menghiraukan serta menghilangkan rasa tersebut. Namun, hasilnya nihil. Bukannya menghilang, rasa itu justru semakin bertambah. Ya, bagaimana mau move on kalau orang yang disukai selalu menempel setiap hari. Jalan akhir yang dipilih ya.. menyukai dalam diam.

“Oit, nanti ikut?” Pertanyaan Yoonbin seketika membuat Jihoon kembali sadar pada dunia.

“Iyalah. Yakali dapet gratisan nolak.”

“Bareng mau?”

“Mau banget. Haduh, tentram banget idup gue hari ini. Gak keluar duit tapi perut kenyang, jalan juga oke.” Ucapan Jihoon membuat Yoonbin bergeming sebal. Tetapi, akhirnya ia hanya diam saja tak berkomentar. Malas mencari gara-gara, katanya.

Oh, omong-omong mereka diundang oleh Yoshi untuk acara makan-makan kecil guna memperingati hari jadi hubungannya dengan Jaehyuk yang ke-3.

“Pengen deh cowok gue nanti modelnya kayak Yoshi. Pasti tentram idup gue,” celetuk Jihoon.

“Gak modelan Yoshi juga bisa bikin lo hidup tentram kali. Sama gue contohnya.” Yoonbin menggerakkan alis naik-turun, bermaksud menggoda Jihoon.

“Beda lagi kalo lo mah.”

“Sialan lo Yoonbin, kalo ngomong gak mikir dulu,” batin Jihoon. Omongan sama isi hati emang beda begitu ya.

“Eh, tapi nanti berangkatnya agak duluan. Mau jalan dulu gitu. Lo oke?” Tawar Yoonbin.

“Yaelah. Jalan sama siapa lagi lo kali ini?”

“Sama lo lah dodol. Yakali gue ngajak lo bareng tapi gue tinggal jalan bareng orang lain. Gini-gini gue tau perasaan orang lain.”

Iye dah, lo emang paling ngerti.”

Yoonbin menepuk-nepuk pelan kepala Jihoon, “anjing pintar.”

“Sialan. SINI LO!”

“AMPUNNN.”

Dan terjadilah aksi kejar-kejaran antara keduanya. Salah satu alasan mengapa Jihoon memilih memendam daripada mengungkapkan adalah takut jika Yoonbinnya berubah. Memang beberapa perubahan dapat membuat bahagia. Namun, jika perubahan itu terjadi pada oranh terdekat maka rasanya akan aneh. Perlu beberapa waktu untuk kita dapat beradaptasi dengan situasi dan sikap baru tersebut.


Pukul 13.00 WIB dua sejoli pengagum bintang sedang duduk di depan minimarket dengan eskrim cornetto oreo dimasing-masing tangan. Entah apa tujuan utamanya, yang pasti mereka hanya ingin menikmati keindahan langit siang dengan tangan bertaut serta makanan manis yang menghiasi lidah mereka.

“Hoon,”

“Hm?” Jihoon memutuskan pandangan kagum pada langit biru, dan beralih pada lelaki Raditya di sampingnya.

“SSK-D'Bagindas 1:37.”

“SSK? SSK apaan dah? Susuk? Lo mau guna-guna gue?”

Rencananya, Yoonbin ingin menyatakan perasaan ditengah kegiatan memakan eskrim. Tetapi, melihat Jihoon memandangnya lekat, serta senyum tipis yang menambah kesan manis membuat semua kata yang telah disusunnya pudar begitu saja. Gagal sudah kalau begini cerita.

“Gak. Gak jadi. Tuh, eskrim nya cepet dihabisin sebelum mencair.”

Jihoon hanya mengendikkan bahu tak acuh dan kembali melanjutkan aktivitas. Sedang Yoonbin sibuk menyusun kembali kata serta menetralkan detak jantung. Memang betul lirik lagu dari Suka Sama Kamu karya D'Bagindas yang berbunyi, ..jantungku berdebar saat kau menatapku. Bibirku terbungkam melihat senyummu.

“Ji,”

“Apalagi sih? Gak lihat gue lagi menikmati eskrim?” Jawab Jihoon sebal.

“Hehe sorry. Menurut lo suka sama temen itu salah gak sih?”

“Ya.. enggak? Kan rasa suka nggak bisa di-request jatuh ke siapa. Kalaupun bisa, pasti ada syarat ketentuan berlaku,” ujar Jihoon.

“Hmm.”

Jemari Yoonbin kini mulai berselancar ria pada ponsel miliknya. Membuka aplikasi hijau andalan lalu memainkan sebuah lagu. Suka Sama Kamu – D'Bagindas.

Dahi Jihoon mengernyit. Dalam hati bertanya-tanya, ada apa dengan sahabatnya ini? Namun lisannya enggan mengajukan pertanyaan. Jadi, ia hanya menikmati alunan lagu dari ponsel Yoonbin.

“Lo kenapa deh? Lagi suka sama orang apa gimana?” Akhirnya setelah beberapa menit, Jihoon bertanya.

Yoonbin mengangguk. “Iya. Suka sama lo.”

Mendadak pikirannya kosong. Otaknya tak dapat memproses. Raut terkejut ia suguhkan. Bahkan eskrim di tangan tak lagi ia pedulikan. Sebab pernyataan dari sang karib yang terlalu tiba-tiba baginya-

“Hah?” -dan berakhir mengeluarkan reaksi singkat seperti kebanyakan orang.

“Gak usah sok-sok an nggak ngerti gitu deh. Gue tau tingkat kepekaan lo dua ratus persen lebih tinggi dari orang-orang.”

“Bercanda ah. Masa iya lo suka gue?” Tanya Jihoon memastikan.

“Gue beneran.”

“Gini aja deh. Lo suka gue gak?” Lanjut Yoonbin.

“Ya.. suka...”

“Bagus. Sekarang gak usah pacaran, ribet. Yang penting kita tahu saling sayang, saling suka yang bener-bener suka. Nanti kalo abis lulus kuliah langsung lamaran, nikahnya kapan-kapan.” Jelas Yoonbin rinci.

“Dih, emang gue mau nikah sama lo?”

“Jelas mau. Kalo gak mau ya tinggal dipaksa,” jawab Yoonbin ringan.

“Enak aja main paksa-paksa.”

“Tapi, Bin,”

“Apalagi?”

“Bedanya suka yang bener-bener, sayang, sama cinta itu apa?” Jihoon mengajukan pertanyaan yang mengelilingi pikirannya sedari tadi.

“Gatau gue. Puyeng. Terserah lo mau anggap mereka sama, beda, saudara-an, kakak-adik, ataupun sama. Mendingan sekarang cepet abisin eskrim terus kita jalan ke tempat Yoshi. Udah jam setengah dua, loh,” ajak Yoonbin.

Jihoon bangkit lalu membuang bungkus eskrim di tong sampah minimarket. “Yuk!”

Duk.

Teng teng.

“Hoon! Tolongin!”

Jihoon berbalik saat mendengar namanya disebut. Terlihat bahwa Yoonbin sedang tidur tengkurap dengan kepala terbentur badan tong sampah alumunium.

“Haha kok bisa sih hahaha. Aduh, gue hahaha gak bisa berhenti hahaha. Lo haha kocak banget hahahahahaha.” Jihoon merupakan tipikal teman yang tertawa dulu baru menolong.

“Tolongin elah, sakit ini. Jangan ketawa mulu,” pinta Yoonbin sekali lagi.

Akhirnya Jihoon menuntaskan tawanya, dan bergerak mendekat kearah Yoonbin. Ia pinggirkan sedikit kursi dimana Yoonbin dan dirinya duduk tadi, sebab kaki sang karib tersangkut disana.

“Gimana bisa jatuh sih haha?” Tanya Jihoon masih dengan tawa.

“Kesandung. Diem lo, gausah ketawa lagi.”

Yoonbin segera membersihkan bagian pakaian yang sekiranya kotor. Dan kembali menautkan tangannya dengan Jihoon. Memasangkan Jihoon helm dan menyuruhnya naik ke atas motor. Keduanya pergi ke tempat Yoshi dengan perasaan gembira yang membuncah.

“Bin, love you.”

“Apaan tiba-tiba banget. Diatas motor lagi,” protes Yoonbin.

“Gapapa. Sengaja.”

“Jawab dong,” pinta Jihoon.

Love yoo too. Aish, geli.”

Pernyataan.

slight!yoshijae

Dalam hubungan persahabatan mustahil bila salah satunya tak menyimpan rasa lebih. Apalagi jika persahabatan hanya antara dua insan. Seperti Jihoon Aciel yang menyimpan rasa lebih dari sekedar sahabat pada Yoonbin Raditya.

Layaknya kebanyakan cerita fiksi yang dibaca, Jihoon memilih tuk menghiraukan serta menghilangkan rasa tersebut. Namun, hasilnya nihil. Bukannya menghilang, rasa itu justru semakin bertambah. Ya, bagaimana mau move on kalau orang yang disukai selalu menempel setiap hari. Jalan akhir yang dipilih ya.. menyukai dalam diam.

“Oit, nanti ikut?” Pertanyaan Yoonbin seketika membuat Jihoon kembali sadar pada dunia.

“Iyalah. Yakali dapet gratisan nolak.”

“Bareng mau?”

“Mau banget. Haduh, tentram banget idup gue hari ini. Gak keluar duit tapi perut kenyang, jalan juga oke.” Ucapan Jihoon membuat Yoonbin bergeming sebal. Tetapi, akhirnya ia hanya diam saja tak berkomentar. Malas mencari gara-gara, katanya.

Oh, omong-omong mereka diundang oleh Yoshi untuk acara makan-makan kecil guna memperingati hari jadi hubungannya dengan Jaehyuk yang ke-3.

“Pengen deh cowok gue nanti modelnya kayak Yoshi. Pasti tentram idup gue,” celetuk Jihoon.

“Gak modelan Yoshi juga bisa bikin lo hidup tentram kali. Sama gue contohnya.” Yoonbin menggerakkan alis naik-turun, bermaksud menggoda Jihoon.

“Beda lagi kalo lo mah.”

“Sialan lo Yoonbin, ngomong gak mikir dulu.” Omongan sama isi hati emang beda begitu ya.

“Eh, tapi nanti berangkatnya agak duluan. Mau jalan dulu gitu. Lo oke?” Tawar Yoonbin.

“Yaelah. Jalan sama siapa lagi lo kali ini?”

“Sama lo lah dodol. Yakali gue ngajak lo bareng tapi gue tinggal jalan bareng orang lain. Gini-gini gue tau perasaan orang lain.”

Iye dah, lo emang paling ngerti.”

Yoonbin menepuk-nepuk pelan kepala Jihoon, “anjing pintar.”

“Sialan. SINI LO!”

“AMPUNNN.”

Dan terjadilah aksi kejar-kejaran antara keduanya. Salah satu alasan mengapa Jihoon memilih memendam daripada mengungkapkan adalah takut jika Yoonbinnya berubah. Memang beberapa perubahan dapat membuat bahagia. Namun, jika perubahan itu terjadi pada oranh terdekat maka rasanya akan aneh. Perlu beberapa waktu untuk kita dapat beradaptasi dengan situasi dan sikap baru tersebut.


Pukul 13.00 WIB dua sejoli pengagum bintang sedang duduk di depan minimarket dengan eskrim cornetto oreo dimasing-masing tangan. Entah apa tujuan utamanya, yang pasti mereka hanya ingin menikmati keindahan langit siang dengan tangan bertaut serta makanan manis yang menghiasi lidah mereka.

“Hoon,”

“Hm?” Jihoon memutuskan pandangan kagum pada langit biru, dan beralih pada lelaki Raditya di sampingnya.

“SSK-D'Bagindas 1:37.”

“SSK? SSK apaan dah? Susuk? Lo mau guna-guna gue?”

Rencananya, Yoonbin ingin menyatakan perasaan ditengah kegiatan memakan eskrim. Tetapi, melihat Jihoon memandangnya lekat, serta senyum tipis yang menambah kesan manis membuat semua kata yang telah disusunnya pudar begitu saja. Gagal sudah kalau begini cerita.

“Gak. Gak jadi. Tuh, eskrim nya cepet dihabisin sebelum mencair.”

Jihoon hanya mengendikkan bahu tak acuh dan kembali melanjutkan aktivitas. Sedang Yoonbin sibuk menyusun kembali kata serta menetralkan detak jantung. Memang betul lirik lagu dari Suka Sama Kamu karya D'Bagindas yang berbunyi, ..jantungku berdebar saat kau menatapku. Bibirku terbungkam melihat senyummu.

“Ji,”

“Apalagi sih? Gak lihat gue lagi menikmati eskrim?” Jawab Jihoon sebal.

“Hehe sorry. Menurut lo suka sama temen itu salah gak sih?”

“Ya.. enggak? Kan rasa suka nggak bisa di-request jatuh ke siapa. Kalaupun bisa, pasti ada syarat ketentuan berlaku,” ujar Jihoon.

“Hmm.”

Jemari Yoonbin kini mulai berselancar ria pada ponsel miliknya. Membuka aplikasi hijau andalan lalu memainkan sebuah lagu. Suka Sama Kamu – D'Bagindas.

Dahi Jihoon mengernyit. Dalam hati bertanya-tanya, ada apa dengan sahabatnya ini? Namun lisannya enggan mengajukan pertanyaan. Jadi, ia hanya menikmati alunan lagu dari ponsel Yoonbin.

“Lo kenapa deh? Lagi suka sama orang apa gimana?” Akhirnya setelah beberapa menit, Jihoon bertanya.

Yoonbin mengangguk. “Iya. Suka sama lo.”

Mendadak pikirannya kosong. Otaknya tak dapat memproses. Raut terkejut ia suguhkan. Bahkan eskrim di tangan tak lagi ia pedulikan. Sebab pernyataan dari sang karib yang terlalu tiba-tiba baginya-

“Hah?” -dan berakhir mengeluarkan reaksi singkat seperti kebanyakan orang.

“Gak usah sok-sok an nggak ngerti gitu deh. Gue tau tingkat kepekaan lo dua ratus persen lebih tinggi dari orang-orang.”

“Bercanda ah. Masa iya lo suka gue?” Tanya Jihoon memastikan.

“Gue beneran.”

“Gini aja deh. Lo suka gue gak?” Lanjut Yoonbin.

“Ya.. suka...”

“Bagus. Sekarang gak usah pacaran, ribet. Yang penting kita tahu saling sayang, saling suka yang bener-bener suka. Nanti kalo abis lulus kuliah langsung lamaran, nikahnya kapan-kapan.” Jelas Yoonbin rinci.

“Dih, emang gue mau nikah sama lo?”

“Jelas mau. Kalo gak mau ya tinggal dipaksa,” jawab Yoonbin ringan.

“Enak aja main paksa-paksa.”

“Tapi, Bin,”

“Apalagi?”

“Bedanya suka yang bener-bener, sayang, sama cinta itu apa?” Jihoon mengajukan pertanyaan yang mengelilingi pikirannya sedari tadi.

“Gatau gue. Puyeng. Terserah lo mau anggap mereka sama, beda, saudara-an, kakak-adik, ataupun sama. Mendingan sekarang cepet abisin eskrim terus kita jalan ke tempat Yoshi. Udah jam setengah dua, loh,” ajak Yoonbin.

Jihoon bangkit lalu membuang bungkus eskrim di tong sampah minimarket. “Yuk!”

Duk.

Teng teng.

“Hoon! Tolongin!”

Jihoon berbalik saat mendengar namanya disebut. Terlihat bahwa Yoonbin sedang tidur tengkurap dengan kepala terbentur badan tong sampah alumunium.

“Haha kok bisa sih hahaha. Aduh, gue hahaha gak bisa berhenti hahaha. Lo haha kocak banget hahahahahaha.” Jihoon merupakan tipikal teman yang tertawa dulu baru menolong.

“Tolongin elah, sakit ini. Jangan ketawa mulu,” pinta Yoonbin sekali lagi.

Akhirnya Jihoon menuntaskan tawanya, dan bergerak mendekat kearah Yoonbin. Ia pinggirkan sedikit kursi dimana Yoonbin dan dirinya duduk tadi, sebab kaki sang karib tersangkut disana.

“Gimana bisa jatuh sih haha?” Tanya Jihoon masih dengan tawa.

“Kesandung. Diem lo, gausah ketawa lagi.”

Yoonbin segera membersihkan bagian pakaian yang sekiranya kotor. Dan kembali menautkan tangannya dengan Jihoon. Memasangkan Jihoon helm dan menyuruhnya naik ke atas motor. Keduanya pergi ke tempat Yoshi dengan perasaan gembira yang membuncah.

“Bin, love you.”

“Apaan tiba-tiba banget. Diatas motor lagi,” protes Yoonbin.

“Gapapa. Sengaja.”

“Jawab dong,” pinta Jihoon.

Love yoo too. Aish, geli.”

Pernyataan.

Dalam hubungan persahabatan mustahil bila salah satunya tak menyimpan rasa lebih. Apalagi jika persahabatan hanya antara dua insan. Seperti Jihoon Aciel yang menyimpan rasa lebih dari sekedar sahabat pada Yoonbin Raditya.

Layaknya kebanyakan cerita fiksi yang dibaca, Jihoon memilih tuk menghiraukan serta menghilangkan rasa tersebut. Namun, hasilnya nihil. Bukannya menghilang, rasa itu justru semakin bertambah. Ya, bagaimana mau move on kalau orang yang disukai selalu menempel setiap hari. Jalan akhir yang dipilih ya.. menyukai dalam diam.

“Oit, nanti ikut?” Pertanyaan Yoonbin seketika membuat Jihoon kembali sadar pada dunia.

“Iyalah. Yakali dapet gratisan nolak.”

“Bareng mau?”

“Mau banget. Haduh, tentram banget idup gue hari ini. Gak keluar duit tapi perut kenyang, jalan juga oke.” Ucapan Jihoon membuat Yoonbin bergeming sebal. Tetapi, akhirnya ia hanya diam saja tak berkomentar. Malas mencari gara-gara, katanya.

Oh, omong-omong mereka diundang oleh Yoshi untuk acara makan-makan kecil guna memperingati hari jadi hubungannya dengan Jaehyuk yang ke-3.

“Gue pengen cowok gue nanti modelnya kayak Yoshi. Tentram idup gue,” celetuk Jihoon.

“Gak modelan Yoshi juga bisa bikin lo hidup tentram kali. Sama gue contohnya.” Yoonbin menggerakkan alis naik-turun, bermaksud menggoda Jihoon.

“Beda lagi kalo lo mah.”

“Sialan lo Yoonbin, ngomong gak mikir dulu.” Omongan sama isi hati emang beda begitu ya.

“Eh, tapi nanti berangkatnya agak duluan. Mau jalan dulu gitu. Lo oke?” Tawar Yoonbin.

“Yaelah. Jalan sama siapa lagi lo kali ini?”

“Sama lo lah dodol. Yakali gue ngajak lo bareng tapi gue tinggal jalan bareng orang lain. Gini-gini gue tau perasaan orang lain.”

Iye dah, lo emang paling ngerti.”

Yoonbin menepuk-nepuk pelan kepala Jihoon, “anjing pintar.”

“Sialan. SINI LO!”

“AMPUNNN.”

Dan terjadilah aksi kejar-kejaran antara keduanya. Salah satu alasan mengapa Jihoon memilih memendam daripada mengungkapkan adalah takut jika Yoonbinnya berubah. Memang beberapa perubahan dapat membuat bahagia. Namun, jika perubahan itu terjadi pada oranh terdekat maka rasanya akan aneh. Perlu beberapa waktu untuk kita dapat beradaptasi dengan situasi dan sikap baru tersebut.


Pukul 13.00 WIB dua sejoli pengagum bintang sedang duduk di depan minimarket dengan eskrim cornetto oreo dimasing-masing tangan. Entah apa tujuan utamanya, yang pasti mereka hanya ingin menikmati keindahan langit siang dengan tangan bertaut serta makanan manis yang menghiasi lidah mereka.

“Hoon,”

“Hm?” Jihoon memutuskan pandangan kagum pada langit biru, dan beralih pada lelaki Raditya di sampingnya.

“SSK-D'Bagindas 1:37.”

“SSK? SSK apaan dah? Susuk? Lo mau guna-guna gue?”

Rencananya, Yoonbin ingin menyatakan perasaan ditengah kegiatan memakan eskrim. Tetapi, melihat Jihoon memandangnya lekat, serta senyum tipis yang menambah kesan manis membuat semua kata yang telah disusunnya pudar begitu saja. Gagal sudah kalau begini cerita.

“Gak. Gak jadi. Tuh, eskrim nya cepet dihabisin sebelum mencair.”

Jihoon hanya mengendikkan bahu tak acuh dan kembali melanjutkan aktivitas. Sedang Yoonbin sibuk menyusun kembali kata serta menetralkan detak jantung. Memang betul lirik lagu dari Suka Sama Kamu karya D'Bagindas yang berbunyi, ..jantungku berdebar saat kau menatapku. Bibirku terbungkam melihat senyummu.

“Ji,”

“Apalagi sih? Gak lihat gue lagi menikmati eskrim?” Jawab Jihoon sebal.

“Hehe sorry. Menurut lo suka sama temen itu salah gak sih?”

“Ya.. enggak? Kan rasa suka nggak bisa di-request jatuh ke siapa. Kalaupun bisa, pasti ada syarat ketentuan berlaku,” ujar Jihoon.

“Hmm.”

Jemari Yoonbin kini mulai berselancar ria pada ponsel miliknya. Membuka aplikasi hijau andalan lalu memainkan sebuah lagu. Suka Sama Kamu – D'Bagindas.

Dahi Jihoon mengernyit. Dalam hati bertanya-tanya, ada apa dengan sahabatnya ini? Namun lisannya enggan mengajukan pertanyaan. Jadi, ia hanya menikmati alunan lagu dari ponsel Yoonbin.

“Lo kenapa deh? Lagi suka sama orang apa gimana?” Akhirnya setelah beberapa menit, Jihoon bertanya.

Yoonbin mengangguk. “Iya. Suka sama lo.”

Mendadak pikirannya kosong. Otaknya tak dapat memproses. Raut terkejut ia suguhkan. Bahkan eskrim di tangan tak lagi ia pedulikan. Sebab pernyataan dari sang karib yang terlalu tiba-tiba baginya-

“Hah?” -dan berakhir mengeluarkan reaksi singkat seperti kebanyakan orang.

“Gak usah sok-sok an nggak ngerti gitu deh. Gue tau tingkat kepekaan lo dua ratus persen lebih tinggi dari orang-orang.”

“Bercanda ah. Masa iya lo suka gue?” Tanya Jihoon memastikan.

“Gue beneran.”

“Gini aja deh. Lo suka gue gak?” Lanjut Yoonbin.

“Ya.. suka...”

“Bagus. Sekarang gak usah pacaran, ribet. Yang penting kita tahu saling sayang, saling suka yang bener-bener suka. Nanti kalo abis lulus kuliah langsung lamaran, nikahnya kapan-kapan.” Jelas Yoonbin rinci.

“Dih, emang gue mau nikah sama lo?”

“Jelas mau. Kalo gak mau ya tinggal dipaksa,” jawab Yoonbin ringan.

“Enak aja main paksa-paksa.”

“Tapi, Bin,”

“Apalagi?”

“Bedanya suka yang bener-bener, sayang, sama cinta itu apa?” Jihoon mengajukan pertanyaan yang mengelilingi pikirannya sedari tadi.

“Gatau gue. Puyeng. Terserah lo mau anggap mereka sama, beda, saudara-an, kakak-adik, ataupun sama. Mendingan sekarang cepet abisin eskrim terus kita jalan ke tempat Yoshi. Udah jam setengah dua, loh,” ajak Yoonbin.

Jihoon bangkit lalu membuang bungkus eskrim di tong sampah minimarket. “Yuk!”

Duk.

Teng teng.

“Hoon! Tolongin!”

Jihoon berbalik saat mendengar namanya disebut. Terlihat bahwa Yoonbin sedang tidur tengkurap dengan kepala terbentur badan tong sampah alumunium.

“Haha kok bisa sih hahaha. Aduh, gue hahaha gak bisa berhenti hahaha. Lo haha kocak banget hahahahahaha.” Jihoon merupakan tipikal teman yang tertawa dulu baru menolong.

“Tolongin elah, sakit ini. Jangan ketawa mulu,” pinta Yoonbin sekali lagi.

Akhirnya Jihoon menuntaskan tawanya, dan bergerak mendekat kearah Yoonbin. Ia pinggirkan sedikit kursi dimana Yoonbin dan dirinya duduk tadi, sebab kaki sang karib tersangkut disana.

“Gimana bisa jatuh sih haha?” Tanya Jihoon masih dengan tawa.

“Kesandung. Diem lo, gausah ketawa lagi.”

Yoonbin segera membersihkan bagian pakaian yang sekiranya kotor. Dan kembali menautkan tangannya dengan Jihoon. Memasangkan Jihoon helm dan menyuruhnya naik ke atas motor. Keduanya pergi ke tempat Yoshi dengan perasaan gembira yang membuncah.

“Bin, love you.”

“Apaan tiba-tiba banget. Diatas motor lagi,” protes Yoonbin.

“Gapapa. Sengaja.”

“Jawab dong,” pinta Jihoon.

Love yoo too. Aish, geli.”

Pernyataan.

Dalam hubungan persahabatan mustahil bila salah satunya tak menyimpan rasa lebih. Apalagi jika persahabatan hanya antara dua insan. Seperti Jihoon Aciel yang menyimpan rasa lebih dari sekedar sahabat pada Raditya Yoonbin.

Layaknya kebanyakan cerita fiksi yang dibaca, Jihoon memilih tuk menghiraukan serta menghilangkan rasa tersebut. Namun, hasilnya nihil. Bukannya menghilang, rasa itu justru semakin bertambah. Ya, bagaimana mau move on kalau orang yang disukai selalu menempel setiap hari. Jalan akhir yang dipilih ya.. menyukai dalam diam.

“Oit, nanti ikut?” Pertanyaan Yoonbin seketika membuat Jihoon kembali sadar pada dunia.

“Iyalah. Yakali dapet gratisan nolak.”

“Bareng mau?”

“Mau banget. Haduh, tentram banget idup gue hari ini. Gak keluar duit tapi perut kenyang, jalan juga oke.” Ucapan Jihoon membuat Yoonbin bergeming sebal. Tetapi, akhirnya ia hanya diam saja tak berkomentar. Malas mencari gara-gara, katanya.

Oh, omong-omong mereka diundang oleh Yoshi untuk acara makan-makan kecil guna memperingati hari jadi hubungannya dengan Jaehyuk yang ke-3.

“Gue pengen cowok gue nanti modelnya kayak Yoshi. Tentram idup gue,” celetuk Jihoon.

“Gak modelan Yoshi juga bisa bikin lo hidup tentram kali. Sama gue contohnya.” Yoonbin menggerakkan alis naik-turun, bermaksud menggoda Jihoon.

“Beda lagi kalo lo mah.”

“Sialan lo Yoonbin, ngomong gak mikir dulu.” Omongan sama isi hati emang beda begitu ya.

“Eh, tapi nanti berangkatnya agak duluan. Mau jalan dulu gitu. Lo oke?” Tawar Yoonbin.

“Yaelah. Jalan sama siapa lagi lo kali ini?”

“Sama lo lah dodol. Yakali gue ngajak lo bareng tapi gue tinggal jalan bareng orang lain. Gini-gini gue tau perasaan orang lain.”

Iye dah, lo emang paling ngerti.”

Yoonbin menepuk-nepuk pelan kepala Jihoon, “anjing pintar.”

“Sialan. SINI LO!”

“AMPUNNN.”

Dan terjadilah aksi kejar-kejaran antara keduanya. Salah satu alasan mengapa Jihoon memilih memendam daripada mengungkapkan adalah takut jika Yoonbinnya berubah. Memang beberapa perubahan dapat membuat bahagia. Namun, jika perubahan itu terjadi pada oranh terdekat maka rasanya akan aneh. Perlu beberapa waktu untuk kita dapat beradaptasi dengan situasi dan sikap baru tersebut.


Pukul 13.00 WIB dua sejoli pengagum bintang sedang duduk di depan minimarket dengan eskrim cornetto oreo dimasing-masing tangan. Entah apa tujuan utamanya, yang pasti mereka hanya ingin menikmati keindahan langit siang dengan tangan bertaut serta makanan manis yang menghiasi lidah mereka.

“Hoon,”

“Hm?” Jihoon memutuskan pandangan kagum pada langit biru, dan beralih pada lelaki Raditya di sampingnya.

“SSK-D'Bagindas 1:37.”

“SSK? SSK apaan dah? Susuk? Lo mau guna-guna gue?”

Rencananya, Yoonbin ingin menyatakan perasaan ditengah kegiatan memakan eskrim. Tetapi, melihat Jihoon memandangnya lekat, serta senyum tipis yang menambah kesan manis membuat semua kata yang telah disusunnya pudar begitu saja. Gagal sudah kalau begini cerita.

“Gak. Gak jadi. Tuh, eskrim nya cepet dihabisin sebelum mencair.”

Jihoon hanya mengendikkan bahu tak acuh dan kembali melanjutkan aktivitas. Sedang Yoonbin sibuk menyusun kembali kata serta menetralkan detak jantung. Memang betul lirik lagu dari Suka Sama Kamu karya D'Bagindas yang berbunyi, ..jantungku berdebar saat kau menatapku. Bibirku terbungkam melihat senyummu.

“Ji,”

“Apalagi sih? Gak lihat gue lagi menikmati eskrim?” Jawab Jihoon sebal.

“Hehe sorry. Menurut lo suka sama temen itu salah gak sih?”

“Ya.. enggak? Kan rasa suka nggak bisa di-request jatuh ke siapa. Kalaupun bisa, pasti ada syarat ketentuan berlaku,” ujar Jihoon.

“Hmm.”

Jemari Yoonbin kini mulai berselancar ria pada ponsel miliknya. Membuka aplikasi hijau andalan lalu memainkan sebuah lagu. Suka Sama Kamu – D'Bagindas.

Dahi Jihoon mengernyit. Dalam hati bertanya-tanya, ada apa dengan sahabatnya ini? Namun lisannya enggan mengajukan pertanyaan. Jadi, ia hanya menikmati alunan lagu dari ponsel Yoonbin.

“Lo kenapa deh? Lagi suka sama orang apa gimana?” Akhirnya setelah beberapa menit, Jihoon bertanya.

Yoonbin mengangguk. “Iya. Suka sama lo.”

Mendadak pikirannya kosong. Otaknya tak dapat memproses. Raut terkejut ia suguhkan. Bahkan eskrim di tangan tak lagi ia pedulikan. Sebab pernyataan dari sang karib yang terlalu tiba-tiba baginya-

“Hah?” -dan berakhir mengeluarkan reaksi singkat seperti kebanyakan orang.

“Gak usah sok-sok an nggak ngerti gitu deh. Gue tau tingkat kepekaan lo dua ratus persen lebih tinggi dari orang-orang.”

“Bercanda ah. Masa iya lo suka gue?” Tanya Jihoon memastikan.

“Gue beneran.”

“Gini aja deh. Lo suka gue gak?” Lanjut Yoonbin.

“Ya.. suka...”

“Bagus. Sekarang gak usah pacaran, ribet. Yang penting kita tahu saling sayang, saling suka yang bener-bener suka. Nanti kalo abis lulus kuliah langsung lamaran, nikahnya kapan-kapan.” Jelas Yoonbin rinci.

“Dih, emang gue mau nikah sama lo?”

“Jelas mau. Kalo gak mau ya tinggal dipaksa,” jawab Yoonbin ringan.

“Enak aja main paksa-paksa.”

“Tapi, Bin,”

“Apalagi?”

“Bedanya suka yang bener-bener, sayang, sama cinta itu apa?” Jihoon mengajukan pertanyaan yang mengelilingi pikirannya sedari tadi.

“Gatau gue. Puyeng. Terserah lo mau anggap mereka sama, beda, saudara-an, kakak-adik, ataupun sama. Mendingan sekarang cepet abisin eskrim terus kita jalan ke tempat Yoshi. Udah jam setengah dua, loh,” ajak Yoonbin.

Jihoon bangkit lalu membuang bungkus eskrim di tong sampah minimarket. “Yuk!”

Duk.

Teng teng.

“Hoon! Tolongin!”

Jihoon berbalik saat mendengar namanya disebut. Terlihat bahwa Yoonbin sedang tidur tengkurap dengan kepala terbentur badan tong sampah alumunium.

“Haha kok bisa sih hahaha. Aduh, gue hahaha gak bisa berhenti hahaha. Lo haha kocak banget hahahahahaha.” Jihoon merupakan tipikal teman yang tertawa dulu baru menolong.

“Tolongin elah, sakit ini. Jangan ketawa mulu,” pinta Yoonbin sekali lagi.

Akhirnya Jihoon menuntaskan tawanya, dan bergerak mendekat kearah Yoonbin. Ia pinggirkan sedikit kursi dimana Yoonbin dan dirinya duduk tadi, sebab kaki sang karib tersangkut disana.

“Gimana bisa jatuh sih haha?” Tanya Jihoon masih dengan tawa.

“Kesandung. Diem lo, gausah ketawa lagi.”

Yoonbin segera membersihkan bagian pakaian yang sekiranya kotor. Dan kembali menautkan tangannya dengan Jihoon. Memasangkan Jihoon helm dan menyuruhnya naik ke atas motor. Keduanya pergi ke tempat Yoshi dengan perasaan gembira yang membuncah.

“Bin, love you.”

“Apaan tiba-tiba banget. Diatas motor lagi,” protes Yoonbin.

“Gapapa. Sengaja.”

“Jawab dong,” pinta Jihoon.

Love yoo too. Aish, geli.”

Jalan.

Seminggu ini Yunanda lagi libur dari kerjaan. Jadi, dia mutusin hari ketiga ini buat jalan-jalan bareng Jenan, si kesayangan. Yunan udah rapi, kaos lengan panjang, celana jeans sobek-sobek, masker sama topi jadi pelengkap ketampanannya. Mereka milih kebun binatang buat jadi tempat jalan-jalan, katanya Jenan kangen sama kawanannya. Omong-omong, Yunan sengaja nggak jemput Jenan dulu, mereka emang janjian di parkiran. Jenan juga setuju-setuju aja.

Belum ada 10 menit akhirnya yang ditunggu dateng juga. Jenan dengan hoodie abu-abu, celana jeans sobek-sobek, plus masker juga topi.

“Udah lama?”

Yunan geleng-geleng, “belum ada 10 menitan kok. Ayo beli tiket.”

Jenan iya-iya aja. Dia inisiatif buat gandeng tangan Yunan, katanya sih biar nggak hilang. Padahal dalam hati bilangnya, biar orang-orang tahu kalo cowok ganteng ini udah ada yang punya.

“Mau kemana dulu, Je?” Pertanyaan Yunan ngebikin Jenan kembali sadar ke dunia lagi.

“Lurus aja, mau nggak?”

Yunanda ngangguk, “mau.”

Mereka mulai keliling kebun binatang. Perjalanannya selalu diisi sama candaan ataupun gombalan satu sama lain. Tangan Yunan kadang kala nangkring diatas kepala Jenan: ngepuk-puk. Kadang juga ada tengkar gara-gara hal kecil yang berakhir cubit cubitan. Orang-orang yang lewat pasti ngebatin kalo mereka ini nggak tahu malu.

Yunan berhentiin langkahnya di kandang kuda. Otomatis Jenan yang ngegandeng dia ikutan berhenti. Dia ngamatin kuda lumayan lama, gatau apa yang lagi dia lihat.

“Kak, ada apa?” Jenan akhirnya ngeluarin suara.

“Nggak papa. Udah lama aja nggak ngelihat kuda.”

“Oh ya?”

“Heem. Apalagi kuda hewan favoritku sedari dulu. Mangkanya seneng aja gitu bisa ngelihat kuda lagi, apalagi lihatnya bareng kamu,” jelas Yunan.

Lagi-lagi Jenan cuma bisa ngangguk. Tangannya sibuk cari gawai, dia ngebuka aplikasi kamera, ngarahin gawai-nya ke arah Yunan sama hewan favoritnya.

“Kak, pose sana. Mau aku foto, biar kakak sering-sering liat kuda,” suruhnya.

Yunanda senyum, langsung aja dia ngelepas tautan tangan mereka, pose dua jari di depan kandang kuda dan pasang senyum lebar. Cekrek! bunyi dari gawai Jenan ngebuat dia mendekat ke arah pacarnya, buat ngecek gimana hasilnya.

“Cakep ih,” seru Jenan semangat.

“Makasih, aku emang cakep kok.”

“Males banget kalo udah ke-pd an gini.”

“Hahaha. Yuk, lanjut,” ajak Yunan.

Yunan balik lagi nautin tangan mereka. Dia bawa kesayangannya itu keliling lagi. Tiba di depan kandang merak dia nge-rem mendadak, lagi.

“Bisa gak, kalo mau berhenti bilang-bilang dulu. Suka banget ngagetin,” omel Jenan.

“Ya maaf..”

“Je, coba berdiri di depan daun-daun itu deh. Nanti aku foto,” kali ini Yunan yang nyuruh. Jenan yang awalnya kurang paham langsung nurut aja.

“Disini?” tanya Jenan sambil nunjuk tempat dia berdiri. “Iya, cantik disitu, cepetan pose!”

3 foto Yunanda dapatkan dari jepretan tiba-tiba nya. Jenan senyum puas banget habis lihat hasilnya. Dia kelihatan ganteng disitu, apalagi belakangnya daun-daun, jadi makin seger difoto.

“Kamu cocok juga jadi tukang foto,” komentar Jenan.

“Asal yang jadi model kamu, aku oke aja kalo disuruh jadi tukang foto.”

“Kamu ganteng banget disini. Cocok sama backgroundnya,” puji Yunan.

“Ya, 'kan kamu yang milih background, cakep deh jadinya,” puji Jenan balik.

“Ha.. iya deh. Tapi, tanpa latar belakang pun kamu udah ganteng. Pacarku, 'kan tampan selalu.”

Stop muji aku. Kamu ini emang suka nggak sadar diri kalo kamu juga ganteng. Mending kita lanjut jalan-jalan aja. Aku mau menyapa semua kawananku,” ajak Jenan sedikit memaksa.

Yunan diem aja. Dia lebih milih ngelus lembut tangan Jenan yang di tautin di tangan dia sambil senyum lebar. Moment seperti inilah yang selalu Yunan harapkan ketika libur. Jenan, pegangan tangan, pelukan, serta apapun yang ia lakukan bersama Jenan. Katakanlah Yunanda adalah budak cinta. Tapi, semua yang berhubungan dengan Jenan akan selalu membuatnya tersenyum lebar dan tertawa lepas. Kecuali jika kesayangannya sedang terluka, ia akan marah besar terhadap dirinya sendiri dan pelaku (apabila ada).

Ah, tolong ingatkan pada Yunan untuk meminta pelukan hangat dari Jenan selepas pulang dari kebun binatang nanti.

Peluk.

“Ngapain ngundang aku, kalo ujung-ujungnya ditinggal pacaran,” cibir Yedam waktu liat ada Jihoon di studio Hyunsuk.

“Aku juga nggak tau kalo anak ini mau kesini. Awalnya mau bilang dulu ke kamu, eh, kamu bilang udah otw. Yaudah, nggak jadi.” Jelas Hyunsuk.

Jadi, rencananya tuh Yedam diajak Hyunsuk nonton bola di studionya. Tapi, kayaknya bakal gagal. Soalnya ada Jihoon disini, yang bakal bikin dia terabaikan 100%.

“Jihoon hyung balik aja deh sana hus,” Yedam nyalinya banyak juga.

“Nggak. Nanti mau balik bareng ayang beb, lo aja yang pergi,” songong ye jawabannya.

“Tcih.”

Yedam akhirnya pasrah aja, dia duduk di tempat yang agak jauh dari pasangan penuh cinta, alias bucin. Tangannya ngerogoh saku jaketnya, dia buka aplikasi kuning berbusa coklat, kakaotalk. Langsung aja dia pencet icon telepon di nomor kesayangan. Biar gak sendiri-sendiri banget.

“Idoy, dimana?” Orang baru nerima telepon bukannya ditanya kabar malah langsung ditanya ada dimana.

“Ruang latihan. Ada apa?”

“Gapapa. Diem aja disitu, aku samper. Males banget disini ada orang mau ciuman,” matanya agak ngelirik tempat Jihoon sama Hyunsuk.

“Sirik aja lo anak kecil.” Kalo aja Jihoon bukan hyung-nya dan nggak berotot, abis dah digebukin sama Yedam.

“Ooh, Jihoon hyung sama Hyunsuk hyung?”

“Iya.”

“Kesini aja gapapa. Sekalian temenin aku latihan.”

“Oke Idoyy, meluncurrr.” Habis itu telepon dimatiin sepihak sama Yedam.

Melet-melet dia ke Jisuk: lagi ngejek ceritanya. Terus pergi dari studio Hyunsuk pake langkah kebahagiaan. Seneng dia bisa lepas dari tatapan mengintimidasi Jihoon. Jarak studio sama ruang latihan nggak jauh-jauh banget. Paling 28 langkah juga udah sampek.

“Id—loh, Yoshi hyung? Jaehyuk hyung?” Awalnya mau nyapa Doyoung pake senyuman penuh gula, tapi ketahan gara-gara lihat dua hyungnya lagi suap-suapan. Kagak jauh beda inimah, batin Yedam ngedumel.

“Iya, aku juga dijadiin pajangan doang kayak kamu. Cuma beda pasangan aja,” sahut Doyoung.

“Ooh. Yaudah, mending kita ke studioku aja, gak ada yang ganggu.” Tangan Yedam udah siap sedia buat narik tangan pacarnya, “yuk.”

“Yuk.”

Dua-duanya ninggalin ruang latihan sambil gandengan mesra.

“Mau ngapain?” Tapi, Jaehyuk tiba-tiba teriak.

“SUAP-SUAPAN!” Ini Doyoung jawabnya pake penuh tenaga.

“JANGAN NGEJEK LO ANAK KECIL!”

“DIH, GEER BENER. ORANG BENERAN MAU SUAP-SUAPAN!”

“YAUDAH, ATI-ATI KESELEK!”

“YAA. HYUNG JUGA HATI-HATI KALO ADA YANG GANGGU!”

Yedam langsung ngebekep mulut Doyoung biar gak bisa teriak-teriak lagi bareng Jaehyuk. Berisik, malu-maluin.

Akhirnya setelah perjalanan lumayan panjang yang menyesakkan-bagi Doyoung-mereka sampek juga di studio Yedam. Pintunya dibuka, wewangian khas Yedam langsung ngerumuni hidung Doyoung. Wangi banget, dia jadi pengen peluk pacarnya.

“Masuk, jangan ngelamun, nanti kesambet,” tegur Yedam.

“Hehe iyaa.”

Doyoung langsung ambil duduk di bawah, soalnya kursinya cuma satu. Dia 'kan menghormati yang lebih tua.

“Kok ikutan duduk di bawah?” Yedam yang dikasih tempat bukannya duduk di kursi, malah ikut duduk dibawah dan senderan ke bahu Doyoung.

“Ya gapapa? Aku pengen pelukan.”

“Loh, nggak jadi nonton bola?”

Yedam geleng-geleng gemes, “nggak lah. Ada Jihoon hyung.”

“Mau pelukan sama Idoy aja,” lanjutnya.

“Pulang aja deh kalo mau pelukan. Masih ada kerjaan nggak?”

“Nggak. Udah beres semua.”

“Yaudah, kamu pulang duluan sana. Aku mau beres-beres barang, mandi, makan, terus nanti langsung ke dorm kamu.”

“Beneran ya? Nggak bohong, 'kan?” Mata Yedam natap Doyoung tajem, siap nusuk kapan aja.

“Iya sayangku.”

“Huek. Bersih-bersih sana hus, aku balik duluan ya,” pamit Yedam.

“Heem. Hati-hati.”


Ini udah hampir 30 menit lebih dan Doyoung belum juga nyamperin dia. Padahal nih ya, Yedam udah cakep banget pake piyama yang dibeliin Doyoung. Mana udah wangi pula, siap buat dipeluk.

Yedam yang dari tadi udah ngomel dan nggak sabar mutusin buat nelpon si kesayangan. Tapi, kalah cepet sama bunyi pintu yang dibuka. Ah, akhirnya cowoknya dateng!

“Lama banget.

“Maafin dong, tadi disuruh makan dulu sama Shiho hyung.”

“Yuk, katanya mau pelukan,” ajak Doyoung.

Mereka udah bobo-an, hadap-hadapan, tangannya meluk satu sama lain. Yang satu sembunyi di dada cowoknya, satunya numpuin kepala diatas rambut pacarnya.

Hyung lagi capek, ya?”

“Dikit.”

Kalo kalian bingung, kenapa Doyoung tiba-tiba nanyain hal itu, maka jawabannya adalah, karena Yedam hyung jarang banget minta dipeluk, kecuali aku sendiri yang tiba-tiba meluk. Biasanya kalo udah minta, berarti harinya lagi buruk atau kecapekan, gitu katanya dulu.

“Pejamin matanya kalo gitu, alam mimpi udah nunggu tuh.”

“Nggak mau. Kasih aku semangat dulu,” Yedam ngedongak, nunjukin wajah melasnya.

“Yedam hyung udah berusaha, lagu ciptaan hyung bagus semua, keren deh pokoknya. Nyanyian hyung juga bisa ngelelehin matahari. Terus dance hyung bisa ngeguncang bumi dan seisinya. Wajah hyung ngebuat orang-orang di luar sana terpukau. Hebat banget pacarku.”

“Kalo semua itu disatuin, bisa mengguncang jiwa ragaku,” lanjut Doyoung.

“Cowok ku juga hebat. Keren, pinter, ganteng, semuanya ada di cowokku. Sayangnya tukang gombal,” Yedam ketawa geli waktu ngucapin kalimat terakhir.

“Halah. Kalo udah tak gombalin juga malu-malu gitu.”

“Iyalah. Kan, kamu cowokku.”

Dua-duanya ketawa lepas. Walaupun dimata orang-orang mereka bakal dikatain aneh, tapi itu salah satu cara mereka ngelepas penat. Pelukan, candaan, gombalan, Doyoung dan Yedam. Semuanya berarti bagi kedua individu tersebut.

Doyoung ngedeket, ngecup pelan dahi pacarnya. “Pacarku yang paling hebat, sekarang ayo tidur. Besok kerja lagi loh. Energinya harus maksimal.”

“Idoy,”

“Apa?”

Mahal kita.

“Dih?? Aneh kamu tiba-tiba nyatain perasaan. Tapi, love you too dah.”

Yedam langsung nyari posisi nyaman dipelukan Doyoung, dan wusssss dia udah nyampe di alam mimpi. Begitu juga sama Doyoung.

Hari Minggu.

“Ayanggg,” panggil Kala manja. Hari ini Tama memang sengaja mengunjungi tempat tinggal kekasihnya. Mumpung masih libur, begitu katanya. Awalnya ia sudah mengajak Kala untuk berjalan-jalan, tapi si pemalas malah mengabaikan pesannya.

Stop panggil gue gitu, geli tau gak.” Entah sudah protes keberapa yang Tama layangkan.

So, what do i call you now?”

“Ya.. Tama?”

My love? My only? My daisy? My honey?” goda Kala semakin gencar.

“Mending lo tidur aja deh Kal, daripada kumat gini,” Tama bergedik geli mendengar lontaran kalimat dari orang yang sayangnya adalah cowoknya.

“Peluk dong, ntar gue tidur,” pinta Kala memelas.

“Males. Mending jalan-jalan aja daripada meluk lo.”

“HADEH, COBA DEH, LIAT JENDELA SANA,” tangan Kala menunjuk-nunjuk kaca jendela rumahnya, “TUH, LIAT! SINAR MATAHARI LAGI KURANG BELAIAN. MAU LO JADI IKAN GOSONG?”

“YA ENGGAK. SANTAI AJA KENAPA SIH,”

“Emang pada dasarnya lo yang males aja, ye kan.” Kala terkekeh sedang Tama mendengus kesal. Sudah sangat hafal dengan kebiasaan pasangannya.

Omong-omong, mereka telah merajut kasih kurang lebih sekitar 6 bulan yang lalu. Untuk bagaimana cara tembak-menembak lebih baik tidak diceritakan saja. Biar jadi rahasia kita berdua aja, kata Kala sih begitu. Dan satu lagi, semenjak menjalin hubungan mereka memutuskan menggunakan kata ganti gue-lo, dan meninggalkan aku-kamu. Emang aneh ini pasangan.

“Yaudah, gue tidur aja lagi. Lo mau ngapain terserah deh. Bersih-bersih, ngasih makan kucing, asal jangan lompat dari lantai atas aja.” Belum sempat Kala beranjak, Tama lebih dulu menjewer telinga-nya.

“MAAF-MAAF AJA NIH, LO BARU BANGUN JAM DELAPAN. INGET, JAM DELAPAN. DAN SEKARANG BARU SETENGAH SEBELAS PAGI, LO UDAH MAU TIDUR LAGI???? ORANG ANEH.”

“Ampun dah, lepasin dulu ini jeweran. Teriaknya juga jangan kenceng-kenceng nanti dimarahin tetangga,” ujar Kala meminta ampun dengan meringis.

“Untung pacar. Coba kalo nggak, udah gue tendang keluar dari tadi,”

“Sekarang, temenin gue nonton.” Tama menatap Kala dengan tatapan mengintimidasi, yang mampu membuat siapapun membuncah. Tapi tidak dengan Endaru Nakala. Lelaki itu justru memasang wajah masam.

Iyee, gue temenin. Sambil tidur tapi.”

“Gue pulang aja kali ya,” nada bicara Tama berubah menjadi kesal. Alamat ngambek ini mah.

“Mau nonton apa?”

Spongebob.”

“Oke. Sini duduk,” Kala menepuk-nepuk tempat duduk disebelahnya, “mau jajan gak?”

“Nggak. Maunya ditemenin nonton,”

“Iya-iya.”

Sepuluh menit kemudian Kala tidak sengaja terlelap, mengakibatkan pipinya menjadi sasaran empuk pukulan sang kekasih. Tentu si pemalas tak diam saja, ia balas mencubit pipi gembil Tama hingga memerah.

“Gue tidur bentar udah kena tonjok aja. Gimana kalo ketiduran berjam-jam, masuk rumah sakit kali ya,” cibir Kala sembari mengusap-usap pipi kanannya.

“Kan udah dibilang, temenin. Eh, malah lo-nya tidur. Yaudah gue tonjok aja,” sahut Tama malas.

“Tam, sayang dong.” Tama tidak menjawab juga tak melepas pandangan dari televisi , tapi ia memajukan bibir, “sayang Tam, bukan cium.”

“Apa bedanya?” Tama yang awalnya fokus melihat si kuning berjalan kesana kemari kini mengalihkan fokusnya pada lelaki yang tiduran di paha miliknya.

“Kalo cium pake bibir, sayang pake hidung.”

“Ohhh, bilang dong.” Setelahnya Tama mengusapkan hidungnya, menghirup aroma pipi dan menikmati betapa empuknya pipi Nakala.

“Asikk. Gantian sini, mau gue olor-olor juga pipi lo,” Kala mendekat, melakukan hal yang sama.

“Kal, ini spongebob episode apa deh?”

Kala mengalihkan pandangan menuju televisi, mengamati tayangan dimana makhluk laut hidup layaknya di daratan. “Ini mah episode pretty patties. Yang tuan crab bangkrut itu loh Tam.”

“Gue lupa asli. Udah lama nggak nonton kartun.”

Endingnya tuan crab dikejar orang-orang gara-gara ngubah lidahnya jadi warna-warni. Terus spongebob jadi pemilik krusty krab, dia gosok-gosok acar dibagian akhir.” Kala menjelaskan secara hampir rinci.

“Oh, inget-inget.” Dalam sekejap mata Tama melotot, “KENAPA LO SPOILER?????”

“YA SITU YANG MINTA, GIMANA DEH? SALAH MULU GUE MAH.”

Begitulah hari Minggu dari pasangan umur enam bulan. Walaupun awalnya ribut-ribut gitu, nanti kalo udah baikan juga peluk-pelukan, sayang-sayangan.

Kamira dan Kejutan

Kala dan adiknya sepakat untuk bermain bola karet di lapangan dekat rumah. Sebab jika bermain di rumah, ibu keduanya akan mengomel tanpa henti. Alasan lain karena mereka sudah jenuh berada di rumah terus-terusan. Hidungnya perlu menghirup udara segar.

15 menit sudah mereka menyundul, melempar, juga menendang bola. Melelahkan, tapi menggembirakan. Kamira, adik Kala merengek minta dibelikan minum sedari tadi. Dengan berat hati Kala harus meninggalkan adiknya sendirian di pinggir lapangan. Tapi, sebelumnya Kala berpesan sesuatu.

“Mira, duduk disini sampek kak Kala balik, ya? Jangan main dulu. Terus kalo ada orang asing ngajak Mira bilang aja makan mu banyak. Hati-hati, oke? Tungguin kakak pokoknya.”

“Iya. Sana beli minum, haus,” usir Kamira.

Kala berdecak malas. Walau begitu, ia tetap menuruti permintaan adik manisnya.


Kali ini Tama memiliki jadwal libur selama satu minggu penuh. Hari pertama ia gunakan untuk bersantai dalam rumah. Sorenya ia berjalan santai disekitar tempat tinggalnya, sesuai rencana yang ia susun.

Alangkah terkejutnya ia saat melihat seorang anak terjatuh di tengah lapangan sana. Segera saja kakinya melangkah mendekati sosok tersebut. Tubuhnya ia samakan dengan si anak. Dituntun menuju kursi pinggir lapangan, lalu diobati sembari berbincang.

“Adek, tadi kok bisa jatuh gimana?”

“Mau ngambil bola, kesandung,” jawabnya.

“Ah, gitu. Namanya siapa? Biar aku manggilnya enak.”

“Kamira.”

Tama tersenyum, “salam kenal Kamira. Nama kakak Tama.”

“Halo kak Tama!” Seru Kamira girang.

“Iya halo Kamira. Kalo perih atau sakit bilangnya,” tutur Tama sembari mengoles minyak pada luka baret di lutut Kamira.

Namun, jawaban Kamira membuatnya kebingungan. Kamira bukannya mengangguk tetapi menggeleng. Tak mau menimbun rasa penasarannya terlalu dalam, ia pun bertanya, “kok geleng-geleng?”

“Kata Kak Kala, aku nggak boleh nunjukin rasa sakit ku atau tangisan ke orang lain. Nanti orang itu ikut sedih katanya. Kalo mau nangis sama Kak Kala aja, gitu katanya,” jelas Kamira.

“Oo. Kak Kala itu kakak mu, ta?”

Yang ditanya mengangguk semangat. “Kak Kala bukan cuma kakak buat aku. Dia udah kayak orang tuaku, haha. Dia hebat banget!”

“Oh ya? Seneng deh bisa denger cerita kayak gitu.” Tama berdiri, lalu mengambil tempat duduk disebelah Kamira. Lukanya sudah selesai dioles.

“Kak Tama tau nggak? Kak Kala sering banget lho sebut-sebut nama kakak! Tapi, aku nggak tau bener apa bukan Kak Tama yang ini..”

“Kak Kala kalo pengen cepet tidur suka dengerin suara Kak Tama yang nyanyi-nyanyi itu. Tapi, aku gak suka. Soalnya kalo udah begitu tandanya Kak Kala lagi sedih,” lanjutnya.

“Iya, bener kok. Kak Tama yang nyanyi-nyanyi itu aku.”

“Terus sekarang Kak Kala dimana? Aku juga mau dong ketemu dia,” pinta Tama.

“Pengen bilang ke dia, kalo dia hebat, dia kuat, dia keren bisa ngajarin adiknya jadi orang kuat.”

“Kak Kala tadi katanya beli minum, tapi nggak balik-balik. Padahal aku haus pake bangettt,” keluh Kamira.

Tama menggeledah tas ukuran sedangnya. Lalu menyodorkan air minum botol kecil pada Kamira. “Minum punya kakak aja kalo udah haus kebangetan.”

Kamira dengan senang hati menerima, tak lupa senyuman manis ia suguhkan. “Makasih banyak kak! Pantes ya Kak Kala suka, wong Kak Tama buaik banget gini.”

*wong = orang, dalam bahasa Jawa.

“Haha, kamu bisa aja dek.”

Setelahnya dipenuhi dengan percakapan tentang Kala, gurauan, cerita acak, serta kehidupan Tama. Tak lama setelahnya ada yang memanggil Kamira, ternyata itu Kala! Kamira turun dari kursi dan berlari menuju Kala dengan cepat. Kala menyambutnya menggunakan pelukan hangat. Ah, hati Tama menghangat melihat interaksi tersebut. Sedang Kala yang tak sengaja memandang Tama terkejut bukan main.


Kala gemetar, pusing, lemas, semuanya jadi satu. Ingin berteriak juga tersenyum tapi ia tahan terus sedari tadi. Setelah tadi, adiknya selesai diobati serta diberi minum, ia merengek meminta diizinkan kembali tuk bermain. Kala bisa apa selain mengizinkan dan mengawasinya dari jauh. Jadi, disinilah Kala berada. Duduk di bangku pinggir lapangan bersama seseorang yang membuatnya bertahan dari terjangan, menjadi pribadi yang rajin serta bersemangat, bahkan yang membuatnya tenang dari sebuah masalah. Tama Biantara, sosok yang selalu Kala kagumi dalam diam.

“Kamu hebat, ya,” celetuk Tama tiba-tiba.

“H-hah?”

Tama tertawa, wajah Kala lucu sekali. Merah padam, seperti sedang kepanasan. Padahal sekarang sudah sore.

“Jangan tegang gitu mukanya, aku gak gigit,”

“Palingan cuma tak cakar aja.”

Candaan Tama sukses mendapat gelak tawa Kala. Entah apa yang lucu, yang pasti Kala sangat menggemaskan bila tertawa.

“Kenapa tiba-tiba ngomong aku-kamu? Biasanya pake lo-gue?” Tanya Kala.

“Eh? Nggak nyaman, ya? Kalo mau pake lo-gue juga gapapa kok.”

“Nyaman aja sih,”

“Omong-omong. Aku nggak sehebat kamu, aku cuma berusaha jadi orang baik aja, kayak katamu.”

“Nggak ada orang hebat di dunia ini, Tam. Semuanya sama. Tinggal gimana mereka usaha aja. Kalo males malesan, ya, nggak menjamin mereka bakal jadi orang sukses ataupun orang hebat. Aku, kamu, orang-orang di luar sana semua hebat di jalannya masing-masing,” lanjut Kala.

“Wow. Kamu keren kalo gitu. Kata-kata mu, didikan mu ke adikmu, seriusan kece badai. Pasti berat,” ujar Tama.

“Haha. Apanya yang berat? Nggak juga. Aku jalaninya santai, nggak tak bawa serius terus-menerus. Jadi, ya, nggak spaneng banget.”

“Mau jadi temen ku nggak?” Tawar Tama.

“Yo jelas mau. Apalagi kalo lebih dari temen,” canda Kala.

“Nanti semisal aku lagi libur atau nggak sibuk mau main-main sama Kamira juga. Asik anaknya. Biar bantu kamu ngurus juga. Kamu pasti punya kesibukan juga, 'kan?”

Kala mengangguk saja. Lagipula ia tak keberatan, senang malahan. Rezeki memang tidak kemana, kalo kata pepatah mah.

Kencan

cr: pinterest

“Ayo masuk sini! Tiketnya udah sama aku,” seru Yeosang saat melihat sosok San serta Doyoung di gerbang masuk.

Keduanya tak menjawab namun langkahnya semakin dekat. Kali ini mereka berempat mengunjungi taman bermain untuk yang pertama kalinya. Maksudnya, berkunjung bersama dengan 4 anggota lengkap. Yang paling bersemangat kali ini tentu saja Yeosang. Bahkan, lelaki itu tak henti-hentinya meloncat kegirangan. San saja heran.

“Mau main apa keliling dulu?” Tanya Yedam selepas masuk taman bermain. Doyoung dan San berpikir sejenak, sedang Yeosang sibuk memanjakan mata dengan ragam isi taman.

“Yeo, kamu gimana?”

Yang dipanggil menoleh, lalu menatap San sebentar. “Langsung main aja gimana? Kalo main 'kan, sekalian keliling juga.”

Mereka kecuali Yeosang mengangguk setuju. Dengan serempak langkah-nya menuju pada satu permainan. Mereka ini mungkin memang sehati dan sepemikiran, ya.

Ditengah-tengah perjalanan, Yedam membuka suara. “Tadi ngapain aja di pantai?”

“Main air, minum air sama makan kelapa, surfing, naik jetski, terus habis itu jajan mie ayam sama puding mangga!” Cerita Doyoung dengan penuh tekanan pada setiap kata: ia terlalu bersemangat. Kini dirinya tak lagi berada di samping San, melainkan berpindah pada sisi kanan sang kekasih.

“Seru banget main air,” sambung Yeosang.

“Ya kamu diajak malah milih makan-makan.”

“Lagi pengen, nanti kapan-kapan kita ke pantai lagi. Ya San, ya,” pintanya.

“Iya. Kalo ada waktu,” jawab San seadanya.

“Emang pacarku paling keren!”

“Kalo gini aja baru dipuji-puji,” sindir Doyoung.

“Sut. Jangan gitu, nanti mood-nya jelek kamu aku tonjok,” Yedam menunjukkan wajah garangnya. Kali ini betul-betul garang, tanpa bumbu kegemasan.

“Oke, aku diem.”

“Udah kenyang belum? Mau makan lagi?” tawar San.

Yang ditanya menggeleng, tanda tak mau. “Udah kenyang.”

Hari itu, mereka bersenang-senang tanpa memperdulikan hari esok. Tidak peduli orang mengatakan bahwa mereka kekanak-kanakan, yang penting semuanya merasa bahagia saja. Komentar orang hanya bumbu dalam kehidupan.

Benar adanya bahwa ketika keempatnya berkumpul bersama akan menjadi seperti perkumpulan bayi. Seperti sekarang contohnya. Mereka tak henti-hentinya mencoba berbagai permainan. Dari yang biasa hingga luar biasa. Persahabatan keempatnya sangan kental. Bahkan, orang-orang disekitar akan dengan cepat mengetahui bahwa mereka bersahabat, tanpa diberi tahu terlebih dulu. Ikatannya kuat, dan tidak palsu.


Lelah. Satu kata yang menggambarkan keadaan terkini. Walaupun lelah, semangat keempatnya masih terus berkobar. Kali ini mereka sampai pada saat terakhir. Niatnya ingin menaiki bianglala sebagai penutup hari, tetapi San berkomentar. Terlalu biasa, katanya. Akhirnya, mereka memilih bersantai bersama beberapa minuman juga kawanan kucing.

“Mau deeptalk nggak?” Celetuk Yedam.

“Nggak mau. Nanti yang ada bukannya serius malah ngelawak. Kita kalo lagi kumpul gini gak cocok ngomongin hal serius,” suara Doyoung.

“Betul juga.”

“Gimana kalo cerita awalan kita ketemu?” lanjut San.

“Kita itu maksudnya sebagai pasangan alias gimana dulu pdkt dan nembak nya, atau dalam arti persahabatan?” Yeosang menyerbu San dengan pertanyaannya.

“Terserah mau yang mana.”

“Dulu, aku nembak kak Ye pake botol kaca,” mulai Doyoung. Yedam yang mendengar terkekeh, sebab mengingat bagaimana lucunya sang pujaan hati.

“Botol kaca itu aku isi sama surat lamaran menjadi kekasih. Bener bener ku tulis pake bahasa baku, persis kayak mau ngelamar anak orang, kalo kata temenku dulu. Disitu aku kasih selembaran kecil, isinya alamat rumah sama nomor telepon. Botolnya aku kirim ke rumah kak Yedam lewat pos. Sama kak Ye dijawab. Tapi bukan lewat pos, melainkan lewat mas mas surat kabar. Jujur, aku malu banget karena si mas ini baca. Yaudah, begitu aja.”

“Aku penasaran isi suratnya,” Yeosang bermaksud meminta cerita lebih dari pihak lainnya.

“Mending kakak nggak usah tau. Itu rahasia ku kak Ye, sama pengirim surat kabar,” sahut Doyoung dengan cepat.

“Yedam kaget nggak waktu itu dikasih surat penyataan?” tanya San penasaran.

“Ya jelas kaget kak. Apalagi isinya bener bener formal, kirain itu guru ku yang lagi nyamar jadi Idoy. Tapi waktu dibaca bagian akhir aku tau, kalo itu bukan guru ku. Guru mana coba yang bakal ngasih kalimat 'semoga tersampaikan dengan baik suratnya, juga perasaan saya sekalian'. Aku waktu baca itu langsung kaget yang lebih kaget. Ketemu aja belum udah gini aja anak ini. Terus besoknya aku mulai kepoin Idoy, kepincut, kirim balasan, jadi. Udah,” jelas Yedam menjawab pertanyaan San.

“Gantian dong. Dulu kalian gimana? Padahal kalian sama-sama nggak kenal nama, di jaman dulu. Ceritain, aku penasaran,” suruh Doyoung.

“Emang dulu nggak pernah kenal sama yang namanya Choi San. Sebelum dikenalin sama Yunho, cowokku—”

“Heh!”

“—ya, maaf. Calon cowokku jaman dulu maksudnya. Mulanya cuma sekedar pendekatan sebagai teman. Kalian tau 'kan, kalo aku susah banget nyari topik pembicaraan? Nah, waku itu juga. Tapi, nggak ada angin nggak ada badai, tiba-tiba anak ini nyeletuk aneh. 'kamu cantik, jadi pacarku yuk,' kalian kalo jadi aku apa nggak langsung HAAAH?? Abis pertemuan pertama yang agak aneh bagiku, anak ini makin rajin nemuin aku, pendekatan tanpa henti, dipepet terus, dan jadi deh.” Jelas Yeosang.

“Jadiannya gimana? Nggak rinci ih penjelasannya,” cibit Doyoung.

Yedam menjitak kepalanya, “banyak minta ya kamu.”

San tertawa. Tangannya bergerak mengelus dahi adik kecilnya. Doyoung itu kalau hanya bersama San akan berubah menjadi bayi yang betul-betul bayi. Mangkanya San suka gemas, dan memanjakan si adek.

“Kasian Dam, jangan dijitak gitu ah. Makin lebar nanti dahinya,” tegur San beserta gurauan.

“Kak San mah sama aja.”

“Kalo aku bilang Yeosang yang nembak aku, kalian percaya nggak?” Secara tiba-tiba San mengalihkan topik pembicaraan.

“Nggak.”

“Yakin?”

“Iya.”

“Padahal emang bener Yeosang. Ya, walaupun waktu itu dia kepepet.”

“Siapa sih yang nggak kenal sama Yeosang? Cowok manis, imut, menggemaskan, rajin olahraga, tubuhnya bugar dan sehat karena mama memberi sakatonim abc. Sampai suatu ketika, ada cewek -kalo nggak salah ya ini- maksa Yeosang buat jadiin dia ceweknya. Yeosang jelas nolak keras. Tapi, semakin ditolak, semakin keras pula si cewek maksa. Nggak tau apa sebab penyebab si cewek ini begitu. Tanpa suruhan kayak biasa, Yeosang ngirimin aku bekal. Isinya nasi sama ayam sambal, katanya sih buatan sendiri. Di dalam itu ada timun, kemangi, dan sekawanan nya yang dipotong dan dibentuk sedemikian rupa. Cantik, kayak yang buat. Timun itu ngebentuk dua kata yang bikin aku keselek sampek mau mukok. Padahal katanya cuma ayo pacaran.” Lanjut San.

“Drama banget kisah kalian,” komentar Yedam.

“Ya nggak papa. Setidaknya dengan adanya si cewek itu aku jadi pacarnya Yeosang. Sampek sekarang malah,” ucap San bangga.

“Nggak nyangka ya kita udah jalin hubungan selama ini. Baik percintaan ataupun persahabatan. Mungkin ini terlalu tiba-tiba, aku mau bilang kalo kalian keren. Pokoknya keren deh, dalam hal apapun. Aku pengen kita seterusnya begini terus, jangan pisah. Biarin buku kenangan ku nulis tentang kita terus, sampek halamannya penuh. Atau kalau perlu, dia bisa nulis disampul nya. Ini berat, tapi, aku sayang banget sama kalian.”

“Tiba-tiba banget kak Yeosang mengubah suasana,”

“Aku juga sayang banget sama kak Yeosang, kak San, kak Yedam tentu saja.” Doyoung menyelesaikan kalimatnya lalu berlari kecil guna dapat memeluk Yeosang dengan segera. Yedam juga San turut serta dalam acara berpelukan.

Orang bilang, Doyoung itu terlalu bayi jika dipasangkan dengan Yedam yang dewasa. Nyatanya tidak seperti itu. Doyoung bertingkah sepert itu untuk menunjukkan rasa sayangnya pada orang terdekat. Dan Yedam tak sekuat itu untuk menjadi dewasa. Terkadang justru Doyoung lah yang menjadi dewasa dalam beberapa saat. Mereka itu seperti matahari dan tumbuhan, saling melengkapi satu sama lain. Jika satu tak ada, maka satu lainnya akan mati.

Lagi-lagi orang berkata bahwa San dan Yeosang tak dapat disatukan dalam suatu hubungan. Mereka berpendapat keduanya memiliki sifat yang sama dan berpikir bahwa hubungan keduanya akan dipenuhi dengan pertengkaran. Perkataan itu tidak sepenuhnya salah. San dan Yeosang memang kerap kali bertengkar. Namun, tak pernah berlebihan. Sifat itulah yang membuat mereka belajar antara satu sama lain. Jika diibaratkan, mereka seperti dua kerupuk yang digoreng bersamaan. Tetapi hasilnya satu sedikit gosong, dan satunya kurang renyah. Sama, tapi juga berbeda yang saling melengkapi rasa.

Kediaman San

Walaupun mereka berinteraksi dengan baik di twitter, namun kenyataannya, mereka masih tetap berdiam diri hingga saat ini. Ah, omong-omong, Yeosang, Yedam, dan Doyoung sedang berada di kediaman San. Lengkap dengan es krim mint choco serta roti isi coklat buatan Yedam. Mereka bertiga sengaja tidak membuka suara guna memberi waktu San tuk menenangkan diri. Sebenarnya, tadi saat Yeosang tiba San sudah ia tenangkan dengan cara sederhana. Pelukan dan menepuk-nepuk pelan kepalanya.

Tiba-tiba Doyoung beranjak dari duduknya, lalu menghampiri San yang sedang duduk di atas kasur. Tentu kegiatan itu menarik perhatian Yedam serta Yeosang.

Tangannya ia rentangkan di depan tubuh San, “katanya tadi mau peluk Idoy.”

San terkekeh. Dengan senang hati ia masuk ke dalam pelukan hangat adik kecilnya. “Iya, tadi lupa.”

“Udah puas belum tadi nangisnya?” Tanya Doyoung disela-sela pelukan.

“Belum. Kalian dateng sih, aku malu mau nangis,” tentu saja itu hanya gurauan San belaka.

“Lho, yaudah nangis lagi aja biar lega,” suruh Yedam menimpali.

“Bercanda doang kok. Tadi udang puas nangis ke Yeosang, lega juga rasanya.”

Yeosang tak mengeluarkan suara sedari tadi. Ia hanya mengangguk, menggeleng, bergumam, dan menguyah. Ia sibuk menikmati hasil karya Yedam.

“Syukur deh,”

“Kalo masih belum lega keluarin lagi nggak papa kak. Jangan malu,” saran Doyoung.

“Iya Idoyy.”

“Mungkin aku terlalu sensitif aja kali ya. Padahal sendernya mungkin cuma bercanda doang.” San melepaskan pelukan Doyoung, bergerak mendekati Yeosang: meminta disuapi roti.

“Nggak juga. Tiap orang pasti punya hal sensitif buat dibahas, wajar kok kak,” ujar Doyoung dengan mulut penuh roti.

“Betul. Sendernya juga salah karena asal ngetik nggak mikirin perasaan orang lain. Tapi, ya, karena dia nggak tahu kali ya. Mungkin kalo dia tahu nggak bakal ngetik gitu,” Yedam berucap sembari berpikir.

“Tetep salah sih. Dia doain yang nggak baik ke orang lain,” timpal Yeosang.

“Suuuutt, nggak usah berantem,” lerai San.

“Kak San sekarang gimana perasannya?”

“Udah lega sih Doy. Cuma pikiran jelek masih menuhin pikiranku, nggak mau digusur,” jawab San.

“Kasian banget dia baru mampir udah diusir aja,” gurau Yeosang.

“Kenapa harus digusur? Dinikmati aja dulu.” Ini Yedam yang berceletuk.

“Ganggu.”

“Pikiran negatif itu wajar kalo hinggap dipikiran manusia. Tinggal gimana kita nge-hadepin aja,” nasehat Doyoung.

“Perpisahan perlahan pasti bakal hampir ke kita-kita. Kuncinya cuma satu. Kakak harus jujur, yakin, dan percaya satu sama lain. Dalam hubungan tentu ada pertengkaran. Kalo kalian nyelesaiin nya pake kepala mendidih, bisa selesai hubungan itu. Kasih waktu buat diri sendiri, kalo udah siap baru omongin. Kalo pun, amit-amit salah satu dari kalian mendua, walaupun sakit kalian harus denger penjelasan pihak yang lain. Begitu juga sama pelaku, harus jujur gimanapun akibatnya nanti. Ya, kuncinya cuma tadi. Duh, ini panjang banget.” Jelas Yedam.

“Haha, tuh berbusa mulut mu sampai-an. Nih, minum,” Yeosang menyodorkan sebotol sedang air putih.

“Udahan ah bahas gituannya. Katanya besok mau double date, rencana kemana?” San membuka topik lain.

“Pantai!” “Taman bermain!”

Doyoung dan Yeosang menyuarakan pendapat pada waktu yang bersamaan dengan pilihan berbeda.

“Ih, pantai aja!”

“Panas Idoy, ke taman main aja. Lagian udah lama nggak kesana, mumpung liburrrr.”

Yedam jengah. Jika sudah perdebat begini maka tak akan ada kata berhenti sebelum salah satu mengalah. Sedangkan San sibuk tertawa juga menikmati keributan. Seru.

“Gimana kalo ke taman bermainnya waktu udah tuker pasangan? Jadi, nanti Idoy sama kak San ke pantai, aku sama kak Yeo hunting makanan. Setuju nggak?” Usul Yedam.

“Setuju!” Sekali lagi, ini Yeosang dan Doyoung yang serempak menjawab.

“Iya deh, aku ngalah aja kali ini,” ujar San pasrah.

“Bagus.”