hyukies

Perbaikan Hubungan

Pernikahan merupakan keinginan semua insan yang sedang merajut kasih, bukan? Sama halnya dengan Yoonbin dan Jihoon. Mereka mengidam-idamkan ikatan itu sedari dulu. Hubungan keduanya sudah lebih dari 4 tahun kurang lebih, jadi, Yoonbin memberanikan diri tuk berbicara pada orangtuanya juga dari pihak Jihoon. Kedua belah pihak setuju. Yoonbin bernapas lega, akhirnya sebentar lagi hal itu akan datang.

Namun, setiap jalan pasti ada suatu masalah tertentu, 'kan? Kali ini hubungan keduanya sedang diuji. Jihoonnya bosan padanya, dan ia yang selalu berusaha agar Jihoon-nya kembali. Berkali-kali dirinya menyuarakan isi hati, dan berkali-kali pula Jihoon bersikap tak acuh pada kekasih hatinya.

“Jihoon, aku capek.” Satu kata yang mampu membuat mulut Jihoon berhenti mengunyah. Memang hari ini keduanya bertemu, atas permintaan Yoonbin tentunya.

“Hatimu sekarang udah beda Hoon. Aku nggak bisa maksain perasaan kamu buat aku, hatimu masih stuck di masa lalu kamu,” Yoonbin menyuarakan pendapatnya, lagi.

“Bukan kayak gitu Bin. Aku cuma lagi bosen sama kamu, rasa ku ke kamu masih sama, nggak berubah. Kasih aku waktu ya.. boleh?” pinta Jihoon.

“Kalo kamu bosen, jangan malah menjauh. Itu bakal bikin rasa yang ada di sini,” Yoonbin menunjuk bagian dada Jihoon, “hilang. Rasamu ke aku tinggal dikit loh, Hoon.”

“Seberapa jauh aku pergi dari kamu, kamu itu tetep rumahku. Tempat ku pulang,” bantah Jihoon.

“Aku cuma punya tempatmu, dan dia punya perasaanmu.”

“Jihoon, kalo kamu aja udah bosen sama aku diusia empat tahun, gimana seterusnya? Gimana kalo kita udah jalin hubungan rumah tangga nanti, apa bakal awet selamanya? Aku ya tetep aku, aku nggak bakal berubah, sayang. Apa kamu yakin nantinya nggak bakal bosen sama aku, lagi?” aju Yoonbin.

Jihoon tak suka bahasan yang seperti ini, tapi mau bagaimanapun ia menghindar, Yoonbin akan selalu mengembalikan topik. Jadi, kali ini Jihoon harus berani menjawab.

“Bin, hubungan kita isinya penuh sama pertengkaran. Aku juga capek, bukan kamu aja. Aku cuma butuh hiburan juga pelarian dari keributan yang buat kepalaku sakit. Nggak peduli berapa kali aku jatuh ke orang lain belakangan ini, seberapa jauh aku dari kamu, aku bakal inget terus sama yang namanya Ha Yoonbin. Hati, pikiran, dan perasaanku itu semuanya udah keisi sama kamu Bin. Aku cuma jenuh tengkar terus sama kamu, nggak ada maksud lain kok, serius.”

“Masalah itu kuncinya cuma satu, kita. Bukan adu mulut dan yang lainnya. Kalo kamu sreg, aku sreg, udah, habis itu masalah. Tapi, kita nggak pernah bicara pake kepala dingin, kita selalu debat dengan kepala panas. Kali ini kita coba bicara pelan-pelan dulu, ya? Disini kita sama-sama salah.” Lanjutnya dengan senyuman manis.

“Maafin aku yang gampang marah..”

“Aku juga minta maaf karena milih lari dari semuanya.”

“Kalo kamu tanya, gimana perasaan ku buat kamu sekarang, jawabannya masih sama. Kamu punya tempat khusus di hati sama pikiranku.” Jihoon berterus-terang.

“Iya. Maafin aku, yang kemarin sempet ngeraguin kamu..” sesalnya.

“Nggak papa, kalo aku diposisi kamu juga bakal gitu kok. Udah ya, sekarang kita instrospeksi diri aja. Kedepannya kita harus baik-baik pokoknya!” Seru Jihoon semangat.

“Heem. Kita coba lagi bareng-bareng buat perbaiki hubungan kita, setujuu?”

“SETUJUUUU!”

“Pacarku gemes banget deh,” tangannya mengacak surai lebat Jihoon.

“Hoon, inget terus ya. Kamu punya aku buat tempat cerita, aku bakal berusaha buat selalu jadi pendengar dan pemberi saran yang baik buat kamu. Aku juga janji bakal selalu ada di samping kamu,”

“Aku sayang kamu pake banget, Hoon.”

Jihoon tertawa sebentar, “kamu juga mulai sekarang harus percaya sama aku. Jangan berspekulasi sendiri. Hubungan itu dijalani berdua, kita coba sekali lagi ya?”

“Iya ganteng.”

Keduanya berjanji dalam batin; untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan kali ini. Mereka harus bersama, selama-lamanya.

Pantas

Manager hyung, boleh aku izin keluar sendirian? Aku berjanji akan kembali sebelum dini hari tiba,” izin Yeosang kepada sang manager saat latihan diistirahatkan.

“Tentu. Lagipula kalian sedang diberi waktu istirahat. Apa perlu aku temani?” Tawar sang manager.

“Tidak perlu. Aku butuh waktu sendiri. Jangan khawatir, aku sudah besar, dan bisa menjaga diri.”

“Baiklah. Kembali sebelum pagi hari ya!”

Yeosang hanya menanggapinya dengan anggukan. Perlahan kakinya mulai melangkah menjauh dari ruang berlatih, lalu keluar dari perusahaan tempat ia bekerja. Tujuannya kini hanya ke satu tempat, Taman Yeouido Hangang. Tetapi, kali ini Yeosang hanya akan berjalan santai disana, tidak bersepeda.

Sesudah menempuh beberapa menit dalam perjalanan, akhirnya ia sampai juga. Mengunjungi tempat ini selama musim semi akan selalu membuatnya terpana. Lampu-lampu dari jembatan menghiasi indra penglihatannya, disusul dengan cantiknya bunga-bunga disekitar, juga rembulan serta bintang yang dapat memanjakan mata indahnya.

Yeosang berhenti di dekat pohon berukuran sedang, lalu mengadahkan kepala keatas. Sesi bercerita dengan bintang akan dimulai sebentar lagi.

“Bintang, kenapa perasaanku milih San buat jadi tempat dia berlabuh?”

“Kenapa harus San?” ujarnya lagi. Memiliki perasaan pada sang sahabat membuatnya pusing bukan main. Ia merasa dirinya sedikit berubah. Canggung jika berada pada ruangan yang sama, merupakan masalah besar bagi pemuda Kang itu.

Selesai mencurahkan sedikit perasaannya pada benda langit bercahaya, Yeosang kembali melanjutkan perjalanannya. Namun, tak disangka ia malah bertemu dengan Jeongin.

“Eoh, hai Yeosang hyung!”

“Hai..”

Hyung ngapain malem-malem gini? Sendirian lagi,” tanyanya.

“Uh.. cuma jalan-jalan aja, mumpung lagi istirahat latihan.”

“Bener? Kok mukanya kusut banget, pasti ada masalah ya?”

Yeosang bungkam.

“Mau cerita..?” Tawar Jeongin ragu-ragu.

Yeosang menimang-nimang tawaran itu sebentar, “hm, boleh deh.”

“Kesitu aja hyung, sepi,” Jeongin meraih dan menarik tangan Yeosang dengan segera.

“Jadi, soal apa?”

“Percintaan, mungkin..? Huh, hyung juga nggak tahu.”

“Coba ceritain pelan-pelan, siapa tau aku bisa bantu sedikit. Soalnya aku juga nggak terlalu paham sama percintaan,” pinta Jeongin dengan lembut.

“Uh.. baiklah.”

Yeosang mulai menceritakan tentang rasa dan sikapnya pada San akhir-akhir ini. Mulai dari rasa nyaman hingga perasaannya seperti sekarang. Ia takut sekaligus bingung. Choi San bukanlah orang yang pantas jika disandingkan dengannya. Tidak, bukan berarti San jelek. Hanya saja, ia yang merasa tak pantas bersanding dengan Choi San. San, punya segalanya. San hebat. Sedangkan ia tidak. Entahlah, akhir-akhir ini ia lebih suka merendahkan dirinya sendiri daripada membanggakannya.

Hyung sedang ragu. Agar bisa yakin dengan perasaan, hyung juga harus percaya sama diri sendiri dulu. Hyung pantas kok. Jangan merasa seperti itu,”

“Karena hyung, sangat pantas untuk bersama dengan San hyung.”

Senyum tipis muncul dalam wajah pangeran Yeosang. Jeongin memberinya semangat. Benar kata Jeongin, ia tak boleh ragu dengan dirinya. Yeosang juga hebat. Dan Yeosang pantas.

“Akan ku coba. Terimakasih atas saran dan semangatnya,” tangannya bergerak maju untuk memeluk sang lawan bicara.

Dengan senang hati Jeongin menerima pelukan itu. “Berjuanglah. Buktikan ke diri sendiri kalau hyung itu bisa.”

Yeosang mengangguk. “Omong-omong, kamu kesini sendirian?”

“Oh, tidak! Maaf hyung, aku harus pergi. Minho hyung pasti sudah mengira aku hilang. Berjuanglah, aku menyayangimu! Ceritakan saja padaku jika ada kesulitan lain. Aku pergi dulu, daaah!” Jeongin segera berlari dengan tergesa-gesa meninggalkan Yeosang. Lucu sekali anak itu.

“Aku juga menyayangimu Yang Jeongin. Aku akan berjuang, sesuai dengan pesanmu tadi.”


“Yeosang-ie bangunlah. Latihan akan dimulai 10 menit lagi.”

Matanya mulai dibuka secara perlahan. Pemandangan pertama yang dilihatnya setelah membuka mata adalah Choi San.

“H-huh?”

“Mimpi apa tadi kok sampai keringatan begini?” Dielusnya rambut halus milik Yeosang sembari mengelap cucuran keringat pada dahi kesayangannya.

“Mimpi?”

San mengangguk. “Iya. 'kan, tadi kamu langsung tidur waktu latihan selesai.”

“O-oh, begitu..”

Mimpi ya.. tapi kenapa rasanya begitu nyata? Jeongin, Yeouido Hangang, serta indahnya cahaya bintang, semuanya terasa sangat nyata. Bahkan, ia masih mengingat semua saran Jeongin. Membingungkan sekali.

“Heh, kok malah ngelamun,” pipinya ditepuk-tepuk pelan dengan tangan besar San. “Cuci muka sana, habis ini latihan lagi, lho.”

Yeosang tak menyahut suruhan San. Namun, ia tetap berjalan menuju tempat mencuci muka dengan kepala penuh pertanyaan.

“Mereka ini memang tak sadar atau hanya berpura-pura saja, sih.” Komentar Wooyoung setelah melihat kejadian tadi.

“Sadar perasaan sendiri aja nggak Woo, gimana mau sadar perasaan lawan mainnya,” Seonghwa ikut menyambung.

“Kalian ngomongin apa?” San bertanya dengan wajah malas andalannya.

Beberapa saat setelah pertengkaran kecil, Yeosang muncul dengan wajah yang lebih segar dari sebelumnya. Tangan San dibuka hingga selebar bahu, bermaksud menyambut Yeosangnya; dengan cara berpelukan. Yeosang paham itu, dengan senang hati ia masuk kedalam pelukan hangat milik pemuda Choi tersebut. San memilih untuk memberi bumbu kecupan kecil pada puncak kepala Yeosang, lalu mengeratkan pelukan keduanya sebelum akhirnya dihentikan oleh sang manager.

Member lain hanya mengawasi menggunakan mata malas, sembari terus berharap agar keduanya cepat sadar akan perasaan satu sama lain. Dengan begitu mereka tak perlu lagi takut dan merendahkan diri untuk kesekian kalinya.

Yang terpenting, keduanya kini telah sadar bahwa mereka pantas untuk memiliki satu sama lain. Semuanya hanya dapat berharap semoga mereka memilih langkah yang terbaik nantinya.

Lembar baru, orang baru

Memulai lembaran baru mungkin menjadi suatu pilihan banyak orang setelah mengalami suatu masalah. Tapi, bagi Jihoon memulai lembaran baru tidaklah mudah. Jihoon lebih memilih melanjutkan lembaran lamanya hingga tuntas apapun resikonya daripada memulai awalan baru. Awalan baru, orang baru, kisah baru, dan kesakitan baru lagi. Jihoon tidak suka itu.

Sayangnya, sang ibu menyuruh Jihoon untuk membuka lembaran baru dan meninggalkan lembar kelam itu. Ingin hati menolak namun takut durhaka. Jihoon hanya bisa menerima dan menjalani dengan berat hati.

Ha Yoonbin. Lelaki yang sepertinya akan menghiasi lembaran baru Jihoon. Tentu saja lelaki ini dikenalkan oleh ibunya. Dengan terpaksa Jihoon mulai menjalani hari barunya, bersama Yoonbin. Hingga akhirnya rasa nyaman dan sayang mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. Yoonbin tidak seburuk yang ia bayangkan.

Itu kisah Jihoon 3 bulan yang lalu. Masa dimana Jihoon penuh dengan keraguan juga pemikiran buruk. Kali ini Jihoon akan berusaha menjaga lembar barunya selalu berwarna putih tanpa adanya goresan warna lain.

________

Ahad ini Yoonbin mengajak Jihoon untuk bertemu. Tentu saja Jihoon dengan semangat menyetujuinya. Mereka sudah lama tidak bertemu tatap. Ia rindu.

Jihoon sudah berada ditempat temu keduanya pada pukul 10.00 tepat. Dirinya kini hanya perlu menunggu pemuda Ha itu tiba. Ah, tak sabar rasanya melihat wajah tampan Ha Yoonbin.

“Udah lama Hoon?” sapa Yoonbin yang baru saja datang.

“Ha? Oh, belum. Gue juga baru dateng kok,” jawabnya.

“Bagus deh.”

Setelahnya hening. Baik Jihoon maupun Yoonbin sibuk dengan ponsel masing-masing. Lalu apa tujuan mereka bertemu jika akhirnya hanya memperhatikan ponsel masing-masing? Huh.

“Lo.. kenapa tiba-tiba ngajak ketemu?”

Yoonbin mengangkat kepalanya, lalu meletakkan ponsel genggam nya. “Kangen aja sih.”

“Ew, oke lo begitu?” Bukannya malu-malu, Jihoon justru menjawab dengan sinis.

“Oke lah. Dari sisi mana Ha Yoonbin nggak oke,” canda Yoonbin.

“Buset, pd banget dah.”

“Seriusan. Ada apa? Dilihat-lihat tampang lo kurang mengenakkan soalnya,” tanya Jihoon sekali lagi.

“Merhatiin gue banget dah, haha,” bukannya jawaban tetapi malah tertawaan Jihoon dapatkan.

“Gue pulang aja kali ya.”

“Jangan dong. Emang siap dengernya?” Yoonbin ragu-ragu.

“Siap-siap aja.”

“Gue mau pindah deh Hoon kayaknya.”

Otak Jihoon mencoba memproses 6 kata yang baru saja diucapkan Yoonbin. Pindah? Artinya ia akan ditinggalkan, lagi? Apa usahanya untuk menjaga lembar barunya tetap putih akan gagal hari ini juga?

“Pindah gimana maksudnya?”

“Ya, pindah rumah. Pindah tempat tinggal lah.”

“Lo bakal ninggalin gue?” Matanya mulai sedikit berkaca-kaca. Jihoon benci ditinggalkan.

“Iya.. Maaf banget, tapi gue harus,” ujar Yoonbin tanpa menatap Jihoon.

“Setiap pertemuan bakal ada perpisahan Hoon. Itu udah kodratnya, lo nggak bisa nolak. Sebenci apapun lo sama perpisahan, lo harus tetep nerima itu,” tutur Yoonbin.

“Kenapa harus ada perpisahan di dunia ini?”

“Biar makhluk hidup kayak kita bisa ngehargai keberadaan seseorang sama waktu yang berputar.”

Jihoon setuju dengan itu. Tapi tetap saja, perpisahan dan kehilangan selalu menyakitkan.

“Yaudah kalo itu keputusan lo, gue bisa apa selain nerima aja. Baik-baik ya,” pesannya.

Inilah mengapa Jihoon tidak suka membuka lembaran baru, akan ada sebuah duka yang dialaminya nanti. Jihoon benci kesedihan, tapi ia tak akan pernah bisa menolak itu.

“Iya. Lo juga jangan sedih-sedih gitu etdah. Jelek,” ejek Yoonbin.

“Emang ngeselin banget lo anjir. Pindah sana cepet-cepet,” kesal Jihoon.

“Nanti nangis kalo gue pindah.”

“Mana ada. Gue cuma kaget aja dikasih tau tiba-tiba gini.” Halah, bohong kamu Ji.

“Ya deh, percaya gue.” Berdebat dengan Jihoon tidak akan ada habisnya, jadi ia lebih memilih untuk mengalah saja.

“Emang lo mau pindah kemana sih?” tanya Jihoon penasaran.

“Di depan rumah lo.”

Hening. Jihoon sibuk berpikir dan Yoonbin sibuk menahan tawa.

ANJING??? LO BOHONGIN GUE YA??!” teriak Jihoon marah.

“Nggak lah. Kan gue pindahan beneran,” jawab Yoonbin diiringi tawa.

“Kenapa lo nggak bilang dulu kalo pindahan ke situ hah???”

“Ya lo nggak tanya.”

Jihoon kesal bukan main. Diraihnya tangan kanan Yoonbin lalu dicubit hingga ia puas.

“Hoon sakit anjir, udahan dong,” pinta Yoonbin.

“Sukurin. Salah siapa bikin anak orang kesel.”

Setelahnya hanya ada canda tawa dan perkelahian tanpa akhir. Mulai dari Yoonbin yang menjahili Jihoon, dilanjut dengan tingkah usil Jihoon dan lontaran lelucon oleh keduanya.

Jika tahu begini kisah barunya, Jihoon yang dulu mungkin tidak akan ragu untuk mengambil langkah. Harapannya sekarang hanya satu, semoga lembar barunya akan selalu putih tanpa goresan merah dan hitam. Terimakasih untuk Ha Yoonbin yang membantu Park Jihoon untuk menjaga lembar baru tersebut. Dan semoga selalu begitu.

Pengganti

Boneka beruang coklat berbulu yang berukuran sedang merupakan boneka tersayang Yoshinori. Telinganya mendengar seluruh kisah baik dan buruknya. Tubuhnya selalu memberi kekuatan berupa pelukan. Dahinya menjadi penampungan air mata secara sukarela setiap malamnya. Kedua tangannya pasti diusapkan pada pipi, mata, dan tangan miliknya. Juga ditepuk-tepuk 'kan pada kepala seraya berucap: “you did your best, Yoshi!”

Tagashi namanya. Taga berasal dari sebuah kata bahasa Filipino, tagapakinig yang berarti pendengar. Shi berarti Yoshi. Jika digabungkan maka artinya menjadi pendengar Yoshi. Tagashi sudah menemaninya kurang lebih 3 tahun. Hanya Tagashi yang mengetahui sisi lain seorang Yoshinori. Yoshi selalu menjadi pribadi yang ceria, menyenangkan, nan penyemangat orang lain. Namun, dibalik semua itu ada Yoshi yang rapuh dan cengeng. Jangan menyimpulkan bahwa lelaki pemain boneka itu banci. Karena dibalik itu pasti ada suatu alasan tersembunyi. Untuk dijadikan pendengar contohnya.

Hingga akhirnya posisi Tagashi perlahan tergeser oleh sosok pemuda yang baru Yoshi temui beberapa bulan lalu. Yoon Jaehyuk.

Pemuda yang menyandang status mahasiswa itu ia temukan sedang menangis tersedu-sedu pada malam hari di Taman Yeouido Hangang. Ditepuknya pelan lalu mencoba menenangkan. Setelah itu sang lawan bicara berceloteh ria. Gagal dalam mengikuti audisi menari adalah alasan pemuda itu menangis. Lalu keduanya mulai bertukar nama, alamat, bahkan id kakaotalk. Hanya dalam sekejap mereka menjadi akrab dan terbuka satu sama lain. Padahal, keduanya merupakan pribadi yang sulit membuka diri.

Kabar baik yang Tagashi dengar hari ini adalah Jaehyuk akan berkunjung kemari! Ah, andai saja ia bernyawa, ia akan mengucap terimakasih banyak banyak kepada Jaehyuk yang mampu membuat tuannya terbuka pada makhluk bernyawa.

“Haloooo. Aish, berantakan.” Dua kalimat sapaan Jaehyuk setelah masuk ke dalam kediaman Yoshinori.

“Maaf. Duduk situ aja. Oh ya, yang warna coklat itu Tagashi namanya.” Suruh Yoshi sembari merapikan tempat tinggalnya.

“Coba aja Tagashi hidup. Pasti banyak info tentang hyung.” Tangannya mengelus kepala Tagashi dengan sayang.

“Haha, iya. Sayang banget dia nggak hidup.”

“Gimana hari ini?” tanyanya selepas membereskan kediamannya.

“Seperti biasa. Nothing special and bad lah ya. Cuman kuliah, pulang, latihan, mampir kesini numpang tidur.”

Hyung sendiri?” Pertanyaan balik diajukan oleh Jaehyuk. Menanyakan bagaimana hari masing-masing merupakan kebiasaan mereka untuk memastikan bagaimana suasana hati lawan bicaranya.

“Kelihatan banget ya?” Kekehan ringan keluar dari mulut Yoshi.

“Ya. Suram banget itu muka.”

“Hari ini baik-baik aja sih. Lagi kepikiran sesuatu aja,” mulainya.

“Mau cerita?” Jaehyuk meletakkan Tagashi di tempatnya, lalu menatap dalam mata si lawan bicara.

“Bukan masalah berat kok.”

“Soal uang aja,” lanjut Yoshi.

“Huh?” Keningnya mengernyit tanda tak mengerti.

“Nggak enak kalo minta terus-terusan sama orang tua. Ngerepotin. Ada saran usaha gitu nggak?” Yoshi berpindah tempat duduk disebelah Jaehyuk. Merebahkan kepalanya dipangkuan yang lebih muda. Nyaman.

“Em, jualan lukisan..?” Ucap Jaehyuk ragu-ragu.

“Disini laku emang? Takutnya nanti nggak laku malah rugi,”

“Modalnya juga nggak sedikit soalnya.”

“Gimana kalo hyung jualannya nggak cuma di Korea? Buka online shop gitu misalnya?”

“Oh, bener juga. Nanti deh hyung pikir-pikir lagi. Bantuin ya kalo jadi,” pintanya.

“Aku nggak bisa ngelukis loh.” Wajah terkejut Jaehyuk muncul secara tiba-tiba, menggemaskan.

“Bantuin bagian bungkus sama ngirimnya.” Tangan Yoshi bergerak mencubit pipi Jaehyuk.

“Oh, oke!”

Setelahnya hening. Keduanya sibuk memejamkan mata, menikmati suasana damai sejenak sebelum beradu kata kembali.

“Akhir-akhir ini kayaknya lagi sibuk banget ya?” Kalimat pertama dari Yoshi memecah keheningan.

“Heem. Dapet undangan buat jadi pengisi acara pentas. Jadi, sibuk latihan mulu akhir-akhir ini,” jelas si Yoon.

“Besok mau latihan di luar ruangan nggak? Biar nggak jenuh. Sekalian hyung pengen main skateboard,” ajaknya.

“Boleh bangett. Aku tanya pelatih dulu deh nanti,” seru Jaehyuk semangat.

“Oke.”

Dilanjutkan dengan curahan hati, pertanyaan, bahkan candaan dari kedua pihak hingga tak sadar waktu. Ayam pesanan keduanya beberapa menit lalu juga sudah menyisa tulang saja. Mungkin malam ini Jaehyuk akan menginap disini, lagipula ia sudah mendapatkan izin.

Mahal..

“Aku tau hyung lagi belajar bahasa asing, tapi nyoba bicaranya jangan sama aku juga. Nggak paham,” protes Jaehyuk.

Mahal itu sama kayak chagiya, Hyuk.”

“Sayang? Kenapa tiba-tiba manggil gitu deh?”

“Kalo sama kamu aku bisa jadi pendengar sekaligus pendongeng. Aku nggak perlu susah-susah nyembuyiin sesuatu, bisa numpahin semua keluh kesahku dikamu tanpa mikir diejek. Kamu, makhluk hidup pertama yang tau kisah hidupku. So, I want to say I love you, mahal.”

“Emang ya, hyung ini orangnya nggak bisa ditebak. Padahal tadi baru aja bercanda macem-macem, eh tiba-tiba ungkapin yang begituan.”

Jaehyuk tersenyum manis, “nado saranghae.”

“Matanya ilang, haha.” Ejek Yoshi saat melihat senyum Jaehyuk.

“Kan.”

“Maaf-maaf. Hyuk, tiba-tiba aku pengen pelihara sesuatu deh,”

“Hah?”

“Nggak. Nggak jadi. Bersih-bersih yuk, habis itu tidur. Capek 'kan pasti,” ajak Yoshi.

“Ayooo.” Jaehyuk lari mendahului Yoshi, seperti anak kecil.

Nyatanya tak perlu barang mewah tuk membuat senyuman terukir. Satu pendengar setia, pemberi saran, dan menjadi sosok penyemangat, sudah lebih dari cukup untuk melengkapi kehidupan Yoshinori. Boneka tidak hanya menjadi teman bermain dan pajangan saja, namun dapat pula menjadi tempat berkeluh kesah.

Baik Jaehyuk maupun Yoshi sama-sama bersyukur dapat bertemu satu sama lain. Takdir Tuhan memang terkadang buruk, tapi bagi mereka, bertemu satu sama lain merupakan rencana Tuhan yang sangat mereka syukuri karena dapat melengkapi satu sama lain.

Pipi mbul

• bxb. • Yedam sebagai Damiel Rayiman dan Doyoung sebagai Dirga Prayoga. • cw // cium pipi , baby

Akhir pekan ini Damiel berubah menjadi baby sitter dadakan. Keponakannya yang baru berumur 7 bulan akan dititipkan padanya untuk satu hari penuh. Sebab sang orang tua ingin bermesraan berdua setelah sekian lama selalu dikacaukan oleh si kecil. Namun sialnya sang kekasih juga ingin bermain ke rumahnya hari ini. Hah, ia akan mengasuh 2 bayi sekaligus hari ini.

“Titip Nala ya, susu dan lain-lainnya udah ada di tas,” pesan Tante Damiel.

“Iya Tan, tenang aja. Nala mah pasti aman sejahtera kalo sama Rayi.” Dalam keluarganya, Damiel memang sering dipanggil dengan nama Rayi.

“Dadah ganteng, mama pergi dulu ya. Baik-baik sama kak Rayi, oki?” Layaknya sudah mengerti, si bayi melambai-lambaikan tangannya di udara.

Jika kalian mengira Ragnala berjenis kelamin perempuan, maka 100% kalian salah. Panggilan nya memang seperti perempuan, tapi gendernya tetaplah lelaki.

“Nala, hari ini ada kakak ganteng mau main. Kamu pasti bakal langsung naksir sama dia,” Damiel mulai mengobrol acak sembari menunggu kedatangan pujaan hati.

“Permisi om, tante, mantunya mau silaturahmi. Tolong dibukain pintu!” Baru saja dibicarakan manusianya langsung berteriak tak sopan di depan rumahnya.

“Heh berisik! Bunda sama ayah lagi nggak di rumah. Malu tau sama tetangga.” Kalimat pertama yang keluar dari mulut Damiel setelah membukakan pintu.

“Hehe, maaf deh. Aduhh, ada bayi kecil. Sini-sini ikut mas.” Tangannya bergerak mengambil alih Ragnala dari gendongan Damiel. Lalu menyerobot masuk ke dalam rumah Damiel tanpa menunggu si pemilik.

“Dasar.”

Damiel melangkahkan kakinya menuju dapur, berencana membuatkan susu untuk si bayi yang kemungkinan sudah lapar. Juga menyiapkan beberapa camilan pengganjal untuk dirinya dan Dirga.

“Ajak main Nala dulu ya Dir, aku mau buatin dia susu!”

“Iya! Anaknya anteng, tenang aja!”

“Jangan dibuat nangis!”

“Iya sayang, iya. Jangan teriak-teriak lagi, suaramu habis lho nanti,” tegur Dirga.

Tidak ada sahutan dari Damiel, orangnya sibuk membuat susu. Jadi, Dirga kembali melanjutkan aktivitasnya. Menonton spongebob dan mengoceh dengan Ragnala.

“Raga nanti kalo udah besar jangan kayak plankton. Harus jadi anak baik-baik pokoknya.” Raga, panggilan khusus dari Dirga. Ragnala terlalu berbelit bagi lidah desa Dirga, jadi ia membuatkan panggilan khusus itu.

“Ngeselin banget gak sih ini ikan Rag—”

“Jajan sama minum buat kamu. Jangan nyerocos terus, Nala nggak akan ngerti.” Sela Damiel.

“Makasih. Gapapa, aku cuma berkomentar, bukan ngajarin Raga. Nggak penting juga buat didengerin.” Tangan Dirga mencomot satu cupcake coklat lezat.

“Hm.”

Ragnala kini berpindah ke pangkuan Damiel lengkap dengan dot berisi susu di mulutnya. Si bayi dengan semangat menghabiskan susu itu, terlihat sekali jika ia sedang lapar.

“Gemes banget kamuu. Laper ya, haha.” Damiel mencubit pipi gembul milik Ragnala, setelahnya ciuman lembut Ragnala dapatkan.

“Enak banget dah jadi Raga,” gumam Dirga.

“Apa?” Damiel menolehkan kepalanya saat mendengar beberapa kata samar.

“Pipi ku juga gemesin, apa nggak mau dicium juga?” Jarinya menunjuk pipi berisi nya.

“Nggak.”

“Ayolah. Masa Raga doang yang dapet? Aku juga gemes, pipiku gembul, putih, lembut. Apalagi yang kurang?” Kesal Dirga.

“Haha, sini deketan.”

Dengan secepat kilat Dirga menggeser tubuhnya untuk lebih dekat dengan kekasih hati. Setelahnya ia menyodorkan pipi kanannya, siap menerima serangan.

“Dah,” ucap Damiel setelah mencium pipi kanan dan pipi kiri Dirga. Tidak ada suara seperti cup cup atau yang lain karena ia mencium menggunakan hidung.

“Asikk. Sini gantian.” Dua untuk pipi kanan dan dua untuk pipi kiri, banyak ciuman yang Dirga berikan. Tentu saja Ragnala mendapat kecupan sayang juga dari Dirga.

“Pipiku gembul kan, enak buat disayang. Sering-sering disayang ya hehe,” cengiran menghias wajah tampan Dirga.

“Itumah mau mu,” cibir Damiel.

“Ya iya dong.”

Setelah itu dilanjutkan dengan acara ndusel-mendusel antara Dirga dan Damiel. Untuk saja Ragnala sudah mengunjungi alam mimpinya sebab terlalu kenyang meminum susu.

Pantai.

Sedari tadi Jeongwoo hanya menikmati semilir angin pantai sembari memandangi sang sahabat bermain jetski di tengah pantai. Rasanya menenangkan. Sudah lama dirinya tidak menikmati suasana seperti ini.

“Nawut kenapa makin cakep ya kalo lagi main air gitu,” protes-an Jeongwoo luncurkan secara tiba-tiba.

Penampilan Haruto kali ini memang menampakkan ketampanannya yang beribu-ribu kali lebih mempesona. Rambut basah, tawa menghiasi wajahnya, mata sipit akibat terus-menerus tertawa. Membuat siapapun yang memandang jatuh hati, termasuk Jeongwoo. Berbicara tentang jatuh hati, sebenarnya Jeongwoo memiliki perasaan lebih terhadap Haruto, sedikit sih tidak banyak.

“Pake pelet modelan apa sih lo Wut? Bisa-bisanya gue agak naksir ke lo.” Senyum tipis meriasi wajah manisnya. Memikirkan tentang rasa selalu membuat ia merenung, apakah ia pantas menaruh rasa ini terhadap Haruto yang jelas-jelas adalah sahabat nya?

“Jeangga mudah banget kebawa perasaan. Nggak mungkin Nawut suka sama lo, Angga. Bodoh banget lo.”

Jemarinya terus-menerus menari membuat lukisan acak diatas pasir. Kesal. Haruto lelaki, dirinya juga lelaki, mengharapkan hubungan lebih dari sekedar sahabat adalah hal mustahil. Cepatlah sadar sebelum dalam Jeongwoo.

“JENGGAAAAA!” teriak Haruto menggema dalam indra pendengaran Jeongwoo.

“Ngelamun aja, ayo ikutan main jetski. Seru tauuu.”

“Nggak ah, males. Gue nggak punya duit, mahal tuh pasti,” tolak Jeongwoo.

“Yaelah. Gausah galau-galau dulu, hari ini harus seneng seneng.” Haruto menarik tangan Jeongwoo ke tengah pantai, menghampiri ombak yang siap menghantam mereka kapan saja. Hari ini ia harus membuat kesayangannya tersenyum tanpa khawatir apapun.

Dan berhasil. Senyum khas Jeongwoo muncul saat ombak menerpa tubuh keduanya. Manis.

_ _ _ _

Hampir 2 jam lebih keduanya bermain dengan air. Kini sudah waktunya berpisah dengan tempat menenangkan itu.

“Gue aja yang nyetir, lo loyo gitu nanti kenapa-napa malahan.” Cegah Jeongwoo saat Haruto hendak menaiki motor bagian penyetir.

“Yakin?”

“Yakin lah. Udah sana duduk jok belakang,” suruhnya.

“Hm.”

Motor hitam milik Haruto mulai ikut meramaikan jalanan dengan Jeongwoo sebagai pengendara. Keduanya sama-sama berdiam diri, menikmati semilir angin dan sibuk dengan pemikiran masing-masing.

Rambu lalulintas berganti menjadi merah di pertigaan, Jeongwoo segera mengistirahatkan tangannya sebentar. Pegal.

“Nawut, langsung pulang?”

“Makan dulu lah Jeng, laper nih.”

“Okeee.”

Rambu berganti menjadi hijau, saatnya kembali berjalan. Namun, tiba-tiba ada sebuah truk dari arah kanan melintas dan tanpa sengaja menabrak keduanya. Jeongwoo baik, hanya luka sedikit pada bagian wajahnya. Sedangkan Haruto terpental jauh ke belakang. Dengan panik Jeongwoo berlari menghampiri sahabatnya, berteriak meminta tolong, menelpon ambulan, dan meminta Haruto untuk bertahan.

“Nawut sabar ya, ambulan nya mau kesini. Sabar, tahan dulu sakitnya. Sebentar ya,” Jeongwoo berucap disertai mata berkaca-kaca menahan tangis.

Lengannya mengeluarkan cairan merah, pipi halusnya terhias luka, Haruto yang malang. Semoga pertolongan cepat menghampiri keduanya.

Dibalik kejadian.

Mashiho menggerakkan kakinya menuju mobil dengan kesal. Seluruh rencananya harus ia batalkan sebab si Kim pertama menelpon dirinya, berkata-kata manis dan diakhiri permintaan beralasan rindu. Memalaskan. Walaupun dengan wajah tertekuk dan hati sedikit terpaksa, Mashiho tetap menuruti permintaannya. Buktinya sekarang ia sudah berada di mobil bersama sang manager menuju kearah dorm mereka.

Awalnya Mashiho dilarang kembali ke dorm terlebih dulu oleh manager karena alasan tertentu. Tetapi bayang-bayang wajah dingin kekasihnya terus terlintas dipikirannya, membuat Mashiho dengan berat hati membantah permintaan sang manager.

“Maafkan aku manager-nim. Mungkin nanti setelah urusan ku selesai aku akan kembali ke perusahaan. Namun aku tak berjanji,” ucapnya. Sang manager yang mendapat ucapan hanya mengangguk saja, sudah biasa dengan kejadian seperti ini.

“Jadi, kau tidak menerima tawaran Asahi untuk bergabung dalam acara vlive?”

“Dengan berat hati aku harus menolak tawaran itu, tolong sampaikan permohonan maaf ku kepada mereka manager-nim.”

“Baiklah. Nanti akan ku sampaikan.”

Selepas percakapan itu mobil kembali hening. Hingga akhirnya tiba ditempat tujuan, tempat dimana mereka tinggal. Mashiho segera membereskan barang-barang nya, tak ingin membuat si Kim semakin menunggu.

“Selesaikan urusanmu dengan si bawel itu. Jika sudah selesai dan ingin kembali ke perusahaan telpon saja aku,” pesan si manager.

“Baik manager-nim. Sekali lagi aku minta maaf dan sampai jumpa nanti!” Mashiho melambai-lambai kan tangannya saat mobil yang dinaikinya tadi semakin menjauh.

Lalu ia berbalik dan segera menuju dorm 1 dimana sang kasihnya berada.

“Ngeselin banget Kim Junkyu, awas aja nanti kalo ujung-ujungnya nggak penting,” gerutunya ditengah jalan.

Tok tok tok

Itu suara pintu diketuk, tentu saja Mashiho pelakunya.

“Masuk aja Shiho, nggak dikunci!” Seru Junkyu dari dalam.

Tangannya bergerak membuka pintu dengan hidung mendengus sebal. Menyebalkan sekali Kim Junkyu ini.

“Sini dong, jangan cemberut gitu deh,” goda Junkyu setelah mendapati Mashiho berdiri di depan kamarnya dengan mulut mengerucut.

Hyung ngeselin.”

Yang disenggol hanya tertawa puas, “nanti aja marah-marahnya. Mending kamu lepas aksesoris, taruh tas nya, cuci kaki cuci tangan, tiduran sini,” suruhnya.

“Hm.”

Hampir 10 menit Junkyu menunggu, akhirnya yang ditunggu datang juga. Mashiho menghempaskan diri ke kasur kecil miliknya, lalu mencari posisi ternyaman dan bergerak memeluknya.

“Utututu capek, 'kan. Mangkanya aku nyuruh kamu kesini buat istirahat.” Junkyu mengelus surai lembut Mashiho.

“Iya. Makasih.”

“Sama-sama. Udahan dong cemberut nya, 'kan udah dikasih tau maksud sama tujuannya,” si Kim terus-terusan mencolek pipi putihnya, sedang membujuk rupanya.

Hyung tau nggak sih, tadi aku diajakin Asahi buat ikut live, tapi malah disuruh kesini sama hyung.” Mashiho bercerita dengan menggebu-gebu.

“Maaf deh, hyung 'kan nggak tau. Manager-nim tadi juga nggak ngasih tau ke hyung.”

“Padahal aku pengen nyapa teumes juga, hihhh,” tangan Mashiho bergerak keatas seakan-akan sedang mencakar wajah Junkyu.

“Nyapa lewat twitter atau weverse 'kan bisa. Mereka pasti ngerti kok,” bujuknya.

“Beda tau rasanya!”

“Yaudah, nanti kapan-kapan kita ngadain vlive berdua deh. Di dorm aja ngelive nya nggak usah ke perusahaan. Sekalian nanti peluk-peluk kayak jaman dulu.” Alis Junkyu bergerak naik-turun, bermaksud menggoda kekasihnya.

“Dih, alisnya kenapa gitu deh. Emang boleh ya ngelive di dorm?” Mashiho menatap Junkyu dengan tatapan bingung.

“Ya boleh dong gantenggg. Jihoon live di mobil aja boleh, masa di dorm gaboleh.”

“Bener ya, nanti bakal ajak aku ngelive. Awas aja kalo bohong,” tatapan mengintimidasi ia lemparkan pada sang lawan bicara.

“Iya manisss. Sekarang kamu istirahat dulu aja, capek 'kan pasti. Nanti kalo waktunya udah pas kita live berdua peluk-peluk, suap-suapan, atau apa aja deh. Yang penting Mashiho yang keren ini harus istirahat dulu biar nggak kecapekan.” Mashiho menatap teduh yang lebih tua, Junkyu jika sudah begini rasanya 100% lebih tampan. Mungkin efek kata-katanya tadi ya.

“Iya. Junkyu hyung juga harus istirahat. Sekarang ayo tidur.”

Keduanya saling memeluk satu sama lain, memandang paras indah kekasihnya, lalu perlahan menutup mata dan berkunjung ke dunia mimpi diwaktu yang hampir bersamaan.

Kasih yang tertunda.

#TW // mentioning animals , mentioning accident , amnesia

Yogala Abisatya, mengalami cedera pada kepala lumayan parah karena kecelakaan lalu lintas. Mengakibatkan sistem limbik pada otaknya rusak. Sistem limbik yang rusak membuat Yogala kehilangan ingatan dan mengidap amnesia retrograde, yang berarti ia tak bisa mengingat kejadian di masa lalu. Namun, dokter berkata, Yogala tidak melupakan semuanya. Yogala hanya lupa yang terjadi pada sekitar 1-2 tahun sebelum ia kecelakaan, cukup banyak kenangan yang dilupakan oleh Yogala. Termasuk kenangannya bersama Bhagawanta Abiyyu.

Bhagawanta Abiyyu Daryata, lelaki berperawakan mungil dan berparas menawan, sosok pembangkit semangat Yogala “dulu” sebelum kehilangan ingatan. Abiyyu berusaha keras membuat Yogala ingat tentang dirinya, kenangan mereka, juga status keduanya. Abiyyu sempat ingin marah pada Yogala sebab melupakan kenangan yang bagi Abiyyu sangat berharga, tetapi perlahan-lahan ia memaklumi nya. Abiyyu berjanji akan membuat Yogala ingat tentang itu, nanti.

Dan hari ini Abiyyu menepati janji itu. Ia mengajak Yogala ke Maharani Zoo, tempat bersejarah bagi Abiyyu. Pagi-pagi sekali ia sudah berada di halaman rumah Yogala sangking semangatnya untuk membuat ingatan sang kakak kembali.

“Kak Gala jalan-jalan yuk!”

“Iya Biy, sebentar, lagi ganti baju,” jawab Yogala dengan teriakan.

Mendengar jawaban itu membuat senyuman manis menghiasi wajah Abiyyu. Ia sudah membayangkan betapa indahnya hari ini, berjalan-jalan bersama Yogala, melihat-lihat banyak satwa, juga mengingat kembali kenangan indah dirinya bersama Yogala. Pasti menyenangkan.

“Ayo Biy, kok malah senyum-senyum gitu? Nanti kemasukan lho,” tegur Yogala.

“Hehe iya, lagi ngayal aja kak.” Kaki mungilnya melangkah ke arah motor Yogala berada, lalu mengantar tubuh Abiyyu untuk menaiki motor milik kakak kesayangannya.

“Ayo berangkat!!!!”

Yogala tersenyum lebar mendengar seruan semangat dari Abiyyu. Berada disekitar Abiyyu selalu membuat dirinya nyaman dan bahagia. Namun entahlah, seperti ada yang mengganjal di hatinya.

Tak sampai 20 menit, mereka sudah sampai di lokasi, Maharani Zoo & Goa. Kedua pemuda itu kini sedang menyunggingkan senyum bahagia, melihat banyak satwa adalah pembangkit semangat terbaik bagi mereka. Keduanya memang pecinta binatang. Selain itu, melihat banyak satwa membuat mereka semakin bersyukur kepada yang mahakuasa.

Tidak mau mengulur waktu lagi, Abiyyu segera menarik tangan Yogala ke lokasi pembelian tiket. Tenang saja, kali ini Abiyyu yang membayar.

“Kak Gala ayo masuk,” ajak Abiyyu sambil memamerkan 2 tiket ditangannya.

Yang diajak hanya mengikuti saja. “Biyyu, nanti uangnya aku ganti ya, nggak enak dibayarin begini.”

“Udah diterima aja, aku maksa.” Abiyyu yang mau membuka suara terpaksa diam dengan wajah cemberut ala dirinya.

“Gausah cemberut gitu, ayo masuk. Nanti keburu rame.” Yogala segera menarik tangan kecil Abiyyu. Sedangkan yang ditarik hanya diam saja, masih kesal rupanya.

Mata Abiyyu berbinar-binar kala langkah kakinya sudah sampai di depan kandang-kandang banyak satwa. Rasa kesalnya terhadap Yogala sudah menguap ditiup angin, sekarang digantikan rasa bahagia yang luar biasa.

“Woah, kak Gala liattt kudanil nya muncul!” Yogala hanya mampu memasang senyum lebar sembari mengusap rambut hitam Abiyyu.

“Kak Gala.”

“Iya?”

“Hewan kesukaan kak Gala apa?”

“Kuda. Dari kecil aku suka banget sama kuda. Bisa dibilang aku penggemar berat kuda haha.”

Masih sama ternyata. “Kak Gala inget nggak, dulu kita pernah naik delman keliling kampung gara-gara kakak kangen sama kuda. Lucu banget kalo aku diinget haha.”

“Oh ya? Wahh, asik banget dong pasti naik delman gitu. Jadi pengen lagi.” Yogala membayangkan bagaimana menyegarkan udara dan kenikmatan yang dapat ia nikmati saat menaiki delman di pagi hari.

“Kapan-kapan nanti kita naik delman lagi. Kak Gala ayo ke kandang badak!”

Abiyyu berlari meninggalkan Yogala menuju kandang badak dengan girang. Seperti menemukan harta karun saja, batin Yogala berkomentar.

“Biyyu pelan-pelan nanti jatuh.”

“Iyaaaa.”

Yogala sudah berada disisi kanan Abiyyu, memperhatikan hewan besar bercula sedang berjalan kesana kemari.

“Disini kak Gala pernah bilang ke aku,” sesi cerita Abiyyu kembali dimulai.

“Bilang apa?” tanyanya.

“Kak Gala bakal jadi sosok badak yang kuat buat aku. Kak Gala bakal nonjok muka-muka orang jahat pake senjata kakak, tangan. Sama kayak badak yang nyeruduk musuhnya pake cula.” Seakan mengerti kemana arah pembicaraan Abiyyu, Yogala segera mengusap punggung tangan Abiyyu dengan halus.

“Biyyu, liat deh badak itu. Gemuk. Tapi, aku suka sama badak.” Celoteh Yogala.

“Alasannya?”

“Badak kuat. Dia bisa ngelindungi diri pake cula nya. Aku bakal jadi badak buat kamu, aku bakal nonjokin orang-orang yang jahat sama kamu. Biar kapok mereka,” Yogala bercerita dengan menggebu-gebu.

“Kakak kenapa lucu banget deh, haha iya deh iya.”

“Nanti kalo ada yang jahat sama Biyyu bilang ke kakak ya, biar kakak tonjok beneran,” Yogala mencoba menghibur adik kecilnya yang kini sedang murung, teringat kenangan terdahulu.

“Iya, pasti aku bakal bilang ke kak Gala.”

“Yaudah, pindah yuk. Mau kemana sekarang?” tanya Yogala.

“Naik, ke kandang harimau sama singa, mau nggak?”

“Mau. Semangat dong Biy, masa lagi jalan-jalan lemes gituu.” Tangan Yogala bergerak mencolek pipi si manis.

“Jangan colek colek, aku bukan sabun colek,” kesal Abiyyu.

“Iya-iya, maaf.”

Keduanya segera melanjutkan perjalanan menuju tempat dimana sang raja rimba berada. Mata mereka tak berhenti menatap kagum makhluk ciptaan Tuhan yang beragam bentuknya.

“Biyyu, ada kuda poni!” Seruan Yogala membuat mata Abiyyu beralih menatap yang lebih tua.

“Mana?”

“Ituuuu, liat deh, lucu kayak aku,” Yogala segera berlari mendekat seperti anak kecil bertemu mainan baru.

Sedangkan yang lebih muda hanya dapat menggelengkan kepala, sudah biasa dengan tingkah laku Yogala yang seperti itu.

“Kak Gala liatnya jangan lama-lama, keburu panas!” Bukan tanpa alasan Abiyyu berseru seperti itu, pasalnya Yogala selalu lupa waktu jika sudah bertemu dengan hewan berkaki empat itu.

“Iya, 5 menit lagi.”

Setelah menunggu hampir 7 menit lamanya mereka akhirnya dapat melanjutkan perjalanan. Abiyyu bersemangat, begitu juga Yogala.

“Biyyu, harimau nya mirip kamu,” tunjuk Yogala pada harimau putih kala mereka sampai di depan kaca yang mengarah pada kandang hewan buas tersebut.

“Enak aja.”

“Kak Gala mau denger cerita lagi nggak?” Abiyyu menatap dalam manik coklat sang kesayangan.

“Boleh.”

“Kak Gala jaman dulu anaknya aneh. Masa dia pernah nyuruh harimau yang tiduran itu buat senyum,” tangannya menunjuk kearah harimau benggala diujung.

“Ha? Aku pernah bilang gitu? Coba cerita lebih banyak.”

“Jadi gini..”

“Biyyu, si oren kenapa gak senyum ya? Padahal daritadi aku senyum ke dia. Sombong banget deh,” komentar Yogala kembali keluar ketika melihat harimau benggala yang terus-terusan memasang wajah garang.

“Harimau mana bisa senyum sih kak, nanti kalo senyum gempar satu dunia yang ada.”

“Bener juga. Kalo gitu kamu nggak usah temenan sama si oren itu, nanti kena virus nggak mau senyum. Jelek.”

“Mana bisa jelek, aku cakep gini,” protes Abiyyu tak terima dibilang jelek.

“Kamu kalo nggak senyum jadi jelek. Mangkanya senyum terus, jangan cemberut apalagi nangis, nanti makin jelek. Aku nggak suka.”

“Aneh banget tapi bikin terharu,” tutup Abiyyu.

Tidak ada yang bisa Yogala lakukan selain memandang paras indah Abiyyu, yang dulu selalu menjadi kesukaannya. Tidak tahu bagaimana dengan sekarang.

Merasa tak mendapat respon dari sang lawan bicara, Abiyyu dapat menyimpulkan bahwa si kesayangan mulai lelah dengan wisata kali ini. Hingga satu kalimat keluar dari bibir Abiyyu yang langsung mendapat perhatian dari Yogala.

“Kak Gala capek, ya? Satu tempat lagi yuk, habis itu kak Gala boleh pulang,” pintanya.

“Kamu nggak pulang emang?”

“Pulang, tapi nanti. Aku mau keliling dulu, hehe.” Cengiran manis membuat Yogala sedikit merasa bersalah, tapi tak tahu apa sebab penyebab rasa itu muncul.

“Yaudah, kemana?”

“Tempat gajah. Tenang aja, disana ada tempat duduknya. Kak Gala bisa sekalian istirahat bentar disana.”

“Yuk kak,” ajaknya.

Anggukkan Gala keluarkan sebagai jawaban. Dengan segera Abiyyu menggunakan langkah lebarnya supaya sang kesayangan cepat-cepat bisa duduk.

“Yeay, sampai!” Serunya senang ketika keduanya sampai ditempat bersejarah, bagi Abiyyu tentunya.

“Mau minum Biy?” tawar Gala.

“Nggak. Aku mau cerita aja. Kakak dengerin aja kalo mau, kalo nggak mau ya.. tutup aja telinganya hehe.”

“Didengerin kok. Cerita aja,” suruh Yogala.

“Disini kak Gala bilang mau jadiin aku pacar, bilang doang sih kenyataannya belum. Kejadiannya sekitar 3 bulan sebelum kak Gala kecelakaan.”

“Anak kecil, duduk situ dulu yuk, capek nih,” ajak Yogala.

“Hah, iya deh. Capek juga ya keliling setengah tempat ini, tapi asik!”

“Suka?”

“Banget! Kapan-kapan kesini lagi ya kak, kalo kakak mau hehe.”

“Nanti kalo kamu jadi jantung hati kakak pasti bakal kesini lagi,” ucap Yogala asal.

“Jantung hati apaan, aneh-aneh aja kakak mah.”

“Dih?? Jantung hati itu sinonim kekasih atau lebih gampangnya pacar. Nanti kakak bakal jadiin kamu pacar, nanti tapi.”

“Hm.”

“Beneran ini mah, bukan bercandaan. Tunggu 3 bukan lagi ya manis,” janjinya.

“Tapi sayang banget 3 bulan kemudian kakak kecelakaan. Kayaknya tuhan nggak ngasih kita restu ya.” Maniknya menatap sendu sepatu yang ia kenakan.

“Biyyu, maaf.”

“Kakak nggak salah, emang takdir aja yang nggak setuju.”

“Kak, aku mau tanya. Kakak beneran nggak inget sesuatu apapun tentang aku?” raut sedihnya perlahan menghilang digantikan dengan raut penuh ingin tahu.

Yogala menghela napas kasar, “nggak Biy. Cuma kadang ada sekelebat lewat habis itu hilang lagi. Aneh. Aku aja bingung sama ingatan sendiri.”

“Kira-kira ingatan kakak bisa balik kayak dulu lagi nggak?”

Senyuman terukir diwajah tampan Yogala. “Biyyu, dokter nggak bilang bisa balik atau nggak. Dokter cuma bilang berusaha aja. Tapi, kakak bener bener nggak bisa inget kejadian sekitar 1-2 tahun yang lalu. Maaf ya.”

“Gapapa. Kakak mau mulai semuanya dari awal nggak?” tanyanya sekali lagi.

“Biyyu, maaf. Kakak nggak tau bakal gimana kalo kamu tanya begini. Rasanya nyaman deket sama kamu, tapi ada juga perasaan buncah. Dan kakak nggak tau apa yang kakak khawatirin. Sekali lagi maaf.”

Ah, sudah berbeda rupanya. Berbekal senyum tipis dan mata menahan tangis, si manis mengeluarkan beberapa kata sebelum benar-benar berpisah dengan kesayangannya.

“Kak Gala nggak usah minta maaf terus. Aku paham kok, mungkin rasanya beda ya. Gapapa, kita masih bisa temen ataupun sekedar mengenal nama mungkin? Haha gatau deh ya, tinggal nanti aja gimana. Kak Gala ganteng sehat-sehat dan jaga diri ya. Mungkin aku bakal menghindar dari kakak selama beberapa hari atau mungkin minggu, aku izin nyembuhin luka, ya kak. Semoga kakak selalu bahagia. Abiyyu pamit, dadah kak Gala!”

Kalimat panjang selesai terucap, kini saatnya pergi mencari toilet dan menumpahkan tangis. Lalu menghibur diri melihat para satwa, semoga kuat Bhagawanta.

“Abiyyu, maaf.” Ucap Yogala dengan nada lirih.

It's funny how a memory, turns into a bad dream

Ah, sial. Mengapa tempat ini memutar lagu dengan waktu yang sangat tidak tepat, membuat Yogala semakin bersalah saja.

Semoga si manis dapat menyembuhkan luka dan si kesayangan dapat segera menemukan apa yang membuatnya merasa gelisah. Hanya satu harapan yang mereka inginkan, kembali dekat seperti sediakala, tanpa mengingat perihnya luka, dan tak sebatas mengenal nama.

Ucapan terimakasih dan ribuan maaf mereka lantunkan dalam batin. Rasa sesal dan bersalah mulai menghantui pikiran keduanya, seperti ingin kembali memutar waktu tetapi itu mustahil. Nasi sudah menjadi bubur, keduanya kini hanya dapat menerima dan mencoba.

Semoga bahagia diakhir nanti Bhagawanta dan Abisatya.

Sebutir kenangan.

#TW // mentioning animals , mentioning accident , amnesia

Yogala Abisatya, mengalami cedera pada kepala lumayan parah karena kecelakaan lalu lintas. Mengakibatkan sistem limbik pada otaknya rusak. Sistem limbik yang rusak membuat Yogala kehilangan ingatan dan mengidap amnesia retrograde, yang berarti ia tak bisa mengingat kejadian di masa lalu. Namun, dokter berkata, Yogala tidak melupakan semuanya. Yogala hanya lupa yang terjadi pada sekitar 1-2 tahun sebelum ia kecelakaan, cukup banyak kenangan yang dilupakan oleh Yogala. Termasuk kenangannya bersama Bhagawanta Abiyyu.

Bhagawanta Abiyyu Daryata, lelaki berperawakan mungil dan berparas menawan, sosok pembangkit semangat Yogala “dulu” sebelum kehilangan ingatan. Abiyyu berusaha keras membuat Yogala ingat tentang dirinya, kenangan mereka, juga status keduanya. Abiyyu sempat ingin marah pada Yogala sebab melupakan kenangan yang bagi Abiyyu sangat berharga, tetapi perlahan-lahan ia memaklumi nya. Abiyyu berjanji akan membuat Yogala ingat tentang itu, nanti.

Dan hari ini Abiyyu menepati janji itu. Ia mengajak Yogala ke Maharani Zoo, tempat bersejarah bagi Abiyyu. Pagi-pagi sekali ia sudah berada di halaman rumah Yogala sangking semangatnya untuk membuat ingatan sang kakak kembali.

“Kak Gala jalan-jalan yuk!”

“Iya Biy, sebentar, lagi ganti baju,” jawab Yogala dengan teriakan.

Mendengar jawaban itu membuat senyuman manis menghiasi wajah Abiyyu. Ia sudah membayangkan betapa indahnya hari ini, berjalan-jalan bersama Yogala, melihat-lihat banyak satwa, juga mengingat kembali kenangan indah dirinya bersama Yogala. Pasti menyenangkan.

“Ayo Biy, kok malah senyum-senyum gitu? Nanti kemasukan lho,” tegur Yogala.

“Hehe iya, lagi ngayal aja kak.” Kaki mungilnya melangkah ke arah motor Yogala berada, lalu mengantar tubuh Abiyyu untuk menaiki motor milik kakak kesayangannya.

“Ayo berangkat!!!!”

Yogala tersenyum lebar mendengar seruan semangat dari Abiyyu. Berada disekitar Abiyyu selalu membuat dirinya nyaman dan bahagia. Namun entahlah, seperti ada yang mengganjal di hatinya.

Tak sampai 20 menit, mereka sudah sampai di lokasi, Maharani Zoo & Goa. Kedua pemuda itu kini sedang menyunggingkan senyum bahagia, melihat banyak satwa adalah pembangkit semangat terbaik bagi mereka. Keduanya memang pecinta binatang. Selain itu, melihat banyak satwa membuat mereka semakin bersyukur kepada yang mahakuasa.

Tidak mau mengulur waktu lagi, Abiyyu segera menarik tangan Yogala ke lokasi pembelian tiket. Tenang saja, kali ini Abiyyu yang membayar.

“Kak Gala ayo masuk,” ajak Abiyyu sambil memamerkan 2 tiket ditangannya.

Yang diajak hanya mengikuti saja. “Biyyu, nanti uangnya aku ganti ya, nggak enak dibayarin begini.”

“Udah diterima aja, aku maksa.” Abiyyu yang mau membuka suara terpaksa diam dengan wajah cemberut ala dirinya.

“Gausah cemberut gitu, ayo masuk. Nanti keburu rame.” Yogala segera menarik tangan kecil Abiyyu. Sedangkan yang ditarik hanya diam saja, masih kesal rupanya.

Mata Abiyyu berbinar-binar kala langkah kakinya sudah sampai di depan kandang-kandang banyak satwa. Rasa kesalnya terhadap Yogala sudah menguap ditiup angin, sekarang digantikan rasa bahagia yang luar biasa.

“Woah, kak Gala liattt kudanil nya muncul!” Yogala hanya mampu memasang senyum lebar sembari mengusap rambut hitam Abiyyu.

“Kak Gala.”

“Iya?”

“Hewan kesukaan kak Gala apa?”

“Kuda. Dari kecil aku suka banget sama kuda. Bisa dibilang aku penggemar berat kuda haha.”

Masih sama ternyata. “Kak Gala inget nggak, dulu kita pernah naik delman keliling kampung gara-gara kakak kangen sama kuda. Lucu banget kalo aku diinget haha.”

“Oh ya? Wahh, asik banget dong pasti naik delman gitu. Jadi pengen lagi.” Yogala membayangkan bagaimana menyegarkan udara dan kenikmatan yang dapat ia nikmati saat menaiki delman di pagi hari.

“Kapan-kapan nanti kita naik delman lagi. Kak Gala ayo ke kandang badak!”

Abiyyu berlari meninggalkan Yogala menuju kandang badak dengan girang. Seperti menemukan harta karun saja, batin Yogala berkomentar.

“Biyyu pelan-pelan nanti jatuh.”

“Iyaaaa.”

Yogala sudah berada disisi kanan Abiyyu, memperhatikan hewan besar bercula sedang berjalan kesana kemari.

“Disini kak Gala pernah bilang ke aku,” sesi cerita Abiyyu kembali dimulai.

“Bilang apa?” tanyanya.

“Kak Gala bakal jadi sosok badak yang kuat buat aku. Kak Gala bakal nonjok muka-muka orang jahat pake senjata kakak, tangan. Sama kayak badak yang nyeruduk musuhnya pake cula.” Seakan mengerti kemana arah pembicaraan Abiyyu, Yogala segera mengusap punggung tangan Abiyyu dengan halus.

“Biyyu, liat deh badak itu. Gemuk. Tapi, aku suka sama badak.” Celoteh Yogala.

“Alasannya?”

“Badak kuat. Dia bisa ngelindungi diri pake cula nya. Aku bakal jadi badak buat kamu, aku bakal nonjokin orang-orang yang jahat sama kamu. Biar kapok mereka,” Yogala bercerita dengan menggebu-gebu.

“Kakak kenapa lucu banget deh, haha iya deh iya.”

“Nanti kalo ada yang jahat sama Biyyu bilang ke kakak ya, biar kakak tonjok beneran,” Yogala mencoba menghibur adik kecilnya yang kini sedang murung, teringat kenangan terdahulu.

“Iya, pasti aku bakal bilang ke kak Gala.”

“Yaudah, pindah yuk. Mau kemana sekarang?” tanya Yogala.

“Naik, ke kandang harimau sama singa, mau nggak?”

“Mau. Semangat dong Biy, masa lagi jalan-jalan lemes gituu.” Tangan Yogala bergerak mencolek pipi si manis.

“Jangan colek colek, aku bukan sabun colek,” kesal Abiyyu.

“Iya-iya, maaf.”

Keduanya segera melanjutkan perjalanan menuju tempat dimana sang raja rimba berada. Mata mereka tak berhenti menatap kagum makhluk ciptaan Tuhan yang beragam bentuknya.

“Biyyu, ada kuda poni!” Seruan Yogala membuat mata Abiyyu beralih menatap yang lebih tua.

“Mana?”

“Ituuuu, liat deh, lucu kayak aku,” Yogala segera berlari mendekat seperti anak kecil bertemu mainan baru.

Sedangkan yang lebih muda hanya dapat menggelengkan kepala, sudah biasa dengan tingkah laku Yogala yang seperti itu.

“Kak Gala liatnya jangan lama-lama, keburu panas!” Bukan tanpa alasan Abiyyu berseru seperti itu, pasalnya Yogala selalu lupa waktu jika sudah bertemu dengan hewan berkaki empat itu.

“Iya, 5 menit lagi.”

Setelah menunggu hampir 7 menit lamanya mereka akhirnya dapat melanjutkan perjalanan. Abiyyu bersemangat, begitu juga Yogala.

“Biyyu, harimau nya mirip kamu,” tunjuk Yogala pada harimau putih kala mereka sampai di depan kaca yang mengarah pada kandang hewan buas tersebut.

“Enak aja.”

“Kak Gala mau denger cerita lagi nggak?” Abiyyu menatap dalam manik coklat sang kesayangan.

“Boleh.”

“Kak Gala jaman dulu anaknya aneh. Masa dia pernah nyuruh harimau yang tiduran itu buat senyum,” tangannya menunjuk kearah harimau benggala diujung.

“Ha? Aku pernah bilang gitu? Coba cerita lebih banyak.”

“Jadi gini..”

“Biyyu, si oren kenapa gak senyum ya? Padahal daritadi aku senyum ke dia. Sombong banget deh,” komentar Yogala kembali keluar ketika melihat harimau benggala yang terus-terusan memasang wajah garang.

“Harimau mana bisa senyum sih kak, nanti kalo senyum gempar satu dunia yang ada.”

“Bener juga. Kalo gitu kamu nggak usah temenan sama si oren itu, nanti kena virus nggak mau senyum. Jelek.”

“Mana bisa jelek, aku cakep gini,” protes Abiyyu tak terima dibilang jelek.

“Kamu kalo nggak senyum jadi jelek. Mangkanya senyum terus, jangan cemberut apalagi nangis, nanti makin jelek. Aku nggak suka.”

“Aneh banget tapi bikin terharu,” tutup Abiyyu.

Tidak ada yang bisa Yogala lakukan selain memandang paras indah Abiyyu, yang dulu selalu menjadi kesukaannya. Tidak tahu bagaimana dengan sekarang.

Merasa tak mendapat respon dari sang lawan bicara, Abiyyu dapat menyimpulkan bahwa si kesayangan mulai lelah dengan wisata kali ini. Hingga satu kalimat keluar dari bibir Abiyyu yang langsung mendapat perhatian dari Yogala.

“Kak Gala capek, ya? Satu tempat lagi yuk, habis itu kak Gala boleh pulang,” pintanya.

“Kamu nggak pulang emang?”

“Pulang, tapi nanti. Aku mau keliling dulu, hehe.” Cengiran manis membuat Yogala sedikit merasa bersalah, tapi tak tahu apa sebab penyebab rasa itu muncul.

“Yaudah, kemana?”

“Tempat gajah. Tenang aja, disana ada tempat duduknya. Kak Gala bisa sekalian istirahat bentar disana.”

“Yuk kak,” ajaknya.

Anggukkan Gala keluarkan sebagai jawaban. Dengan segera Abiyyu menggunakan langkah lebarnya supaya sang kesayangan cepat-cepat bisa duduk.

“Yeay, sampai!” Serunya senang ketika keduanya sampai ditempat bersejarah, bagi Abiyyu tentunya.

“Mau minum Biy?” tawar Gala.

“Nggak. Aku mau cerita aja. Kakak dengerin aja kalo mau, kalo nggak mau ya.. tutup aja telinganya hehe.”

“Didengerin kok. Cerita aja,” suruh Yogala.

“Disini kak Gala bilang mau jadiin aku pacar, bilang doang sih kenyataannya belum. Kejadiannya sekitar 3 bulan sebelum kak Gala kecelakaan.”

“Anak kecil, duduk situ dulu yuk, capek nih,” ajak Yogala.

“Hah, iya deh. Capek juga ya keliling setengah tempat ini, tapi asik!”

“Suka?”

“Banget! Kapan-kapan kesini lagi ya kak, kalo kakak mau hehe.”

“Nanti kalo kamu jadi jantung hati kakak pasti bakal kesini lagi,” ucap Yogala asal.

“Jantung hati apaan, aneh-aneh aja kakak mah.”

“Dih?? Jantung hati itu sinonim kekasih atau lebih gampangnya pacar. Nanti kakak bakal jadiin kamu pacar, nanti tapi.”

“Hm.”

“Beneran ini mah, bukan bercandaan. Tunggu 3 bukan lagi ya manis,” janjinya.

“Tapi sayang banget 3 bulan kemudian kakak kecelakaan. Kayaknya tuhan nggak ngasih kita restu ya.” Maniknya menatap sendu sepatu yang ia kenakan.

“Biyyu, maaf.”

“Kakak nggak salah, emang takdir aja yang nggak setuju.”

“Kak, aku mau tanya. Kakak beneran nggak inget sesuatu apapun tentang aku?” raut sedihnya perlahan menghilang digantikan dengan raut penuh ingin tahu.

Yogala menghela napas kasar, “nggak Biy. Cuma kadang ada sekelebat lewat habis itu hilang lagi. Aneh. Aku aja bingung sama ingatan sendiri.”

“Kira-kira ingatan kakak bisa balik kayak dulu lagi nggak?”

Senyuman terukir diwajah tampan Yogala. “Biyyu, dokter nggak bilang bisa balik atau nggak. Dokter cuma bilang berusaha aja. Tapi, kakak bener bener nggak bisa inget kejadian sekitar 1-2 tahun yang lalu. Maaf ya.”

“Gapapa. Kakak mau mulai semuanya dari awal nggak?” tanyanya sekali lagi.

“Biyyu, maaf. Kakak nggak tau bakal gimana kalo kamu tanya begini. Rasanya nyaman deket sama kamu, tapi ada juga perasaan buncah. Dan kakak nggak tau apa yang kakak khawatirin. Sekali lagi maaf.”

Ah, sudah berbeda rupanya. Berbekal senyum tipis dan mata menahan tangis, si manis mengeluarkan beberapa kata sebelum benar-benar berpisah dengan kesayangannya.

“Kak Gala nggak usah minta maaf terus. Aku paham kok, mungkin rasanya beda ya. Gapapa, kita masih bisa temen ataupun sekedar mengenal nama mungkin? Haha gatau deh ya, tinggal nanti aja gimana. Kak Gala ganteng sehat-sehat dan jaga diri ya. Mungkin aku bakal menghindar dari kakak selama beberapa hari atau mungkin minggu, aku izin nyembuhin luka, ya kak. Semoga kakak selalu bahagia. Abiyyu pamit, dadah kak Gala!”

Kalimat panjang selesai terucap, kini saatnya pergi mencari toilet dan menumpahkan tangis. Lalu menghibur diri melihat para satwa, semoga kuat Bhagawanta.

“Abiyyu, maaf.” Ucap Yogala dengan nada lirih.

It's funny how a memory, turns into a bad dream

Ah, sial. Mengapa tempat ini memutar lagu dengan waktu yang sangat tidak tepat, membuat Yogala semakin bersalah saja.

Semoga si manis dapat menyembuhkan luka dan si kesayangan dapat segera menemukan apa yang membuatnya merasa gelisah. Hanya satu harapan yang mereka inginkan, kembali dekat seperti sediakala, tanpa mengingat perihnya luka, dan tak sebatas mengenal nama.

Ucapan terimakasih dan ribuan maaf mereka lantunkan dalam batin. Rasa sesal dan bersalah mulai menghantui pikiran keduanya, seperti ingin kembali memutar waktu tetapi itu mustahil. Nasi sudah menjadi bubur, keduanya kini hanya dapat menerima dan mencoba.

Semoga bahagia diakhir nanti Bhagawanta dan Abisatya.

Sadar.

Jeangga bangun dari bunga mimpinya sebab terusik suara musik yang sangat amat berisik. Juga sebab tumpuan pada kepalanya terus bergoyang-goyang, membuat Jeangga semakin terganggu.

Hal pertama yang dilakukan Jeangga adalah mengusap-usap matanya, lalu melihat sekeliling. Tanpa tahu bahwa ia sedang bersandar pada bahu orang tak dikenal.

“Eh, lo udah bangun. Boleh tolong bangun nggak? Pundak gue pegel soalnya,” tegur orang disebelahnya.

Loh? Eh? Jeangga masih memproses ucapan orang disebelahnya. Tunggu.. BERARTI DIA TIDUR DIPUNDAK ORANG DISEBELAHNYA??? ORANG ASING?! Astaga, rasanya Jeangga ingin mengubur diri di taman dekat rumahnya.

“Iya-iya, makasih dan maaf banget.” Ucap Jeangga lepas bangun dari sandaran nyaman.

“Santai. Kelihatannya lo ngantuk banget, nggak tidur apa gimana?”

“Tidur kok. Cuman gara-gara kena kipas aja jadi ngantuk,” sesekali Jeangga masih menguap saat mengucapkan kata-kata tersebut.

“Ohhh. Omong-omong, nama lo?”

“Jeangga.”

“Jengga, oke. Nama gue Wuto, salam kenal Jengga!” Orang disebelahnya menyapanya dengan riang.

“Jeangga. Bukan Jengga!”

“Ribet. Enakan Jengga, anggep aja panggilan kesayangan,” goda Wuto.

“Hilih.”

“Wut, ini udah boleh makan belum sih? Laperr,” tanya Jeangga selanjutnya.

Wuto melihat sekitar, “udah kayaknya. Itu yang bagian depan udah mulai dikasih makan.”

“Ohh, dibagiin. Gue kira ambil sendiri..”

Wuto hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Sabar, Jeng.”

Setelah itu mereka bercakap-cakap beragam, membahas ini itu, bahkan mereka sudah bertukar id KakaoTalk! Padahal mereka baru bertemu beberapa menit yang lalu. Memang kalau sudah nyaman dan nyambung ya begitu.