hyukies

Ngantuk.

Jeangga mematikan ponselnya setelah puas mengeluh diakun twitter miliknya. Menikmati semilir angin hasil benda listrik berkincir yang ada didekatnya. Kalau begini, bukannya pergi kantuk justru menghantui Jeangga, menyuruh si manis berperawakan tinggi untuk tidur.

“Ya tuhan, lama banget ini acara. Kalo gue ketiduran disini bisa-bisa nggak pulang nanti,” gumam Jeangga sedikit keras.

Ia mengusap-usap matanya, berharap dapat mengurangi rasa kantuknya. Sungguh rasanya Jeangga ingin segera kabur keluar dan menyalakan motor lalu pergi ke rumah membuka kamar dilanjut dengan menjatuhkan diri ke kasur empuk miliknya. Namun sayangnya Jeangga tak bisa melakukan itu seenaknya.

“Berapa lama sih ini acara whoam..” Entah sudah berapa kali Jeangga menguap siang ini.

“Seger banget anginnya. Emang rezeki anak sholeh ya Wut,” celetuk orang disebelah Jeangga.

Seperti orang disebelahnya sedang sangat kepanasan. Sedari acara dimulai ia selalu mengipas-ipas jas nya, guna mencari angin segar. Beruntung sekali bagi orang disebelahnya ini, tapi tak untung bagi Jeangga.

“Demi Tuhan gue ngantuk bangetttt,” dumel Jeangga yang entah ke berapa.

Tanpa sadar Jeangga mulai menutup mata dan terlelap dalam sekejap. Kepalanya miring ke kanan dan ke kiri tak menentu, karena tak ada bantalan yang menumpu kepala Jengga.

Beberapa menit kemudian entah sadar atau tidak kepala Jeangga sudah berada di pundak lebar milik pria rupawan bernama Hanawut Roruto.

SUNDATE.

Sunday date with Theyo and Ghiyo

Theyo segera berlari setelah selesai mengikat tali sepatu miliknya. Entahlah, jantung nya berdetak sangat cepat saat ini. Padahal ia hanya akak bertemu dengan masinis menyebalkan itu? Mengapa segugup ini?

Calm down They, you can do it!

Theyo melihat mobil Avanza putih di depan kos nya. Pasti itu milik Ghiyo. Segera saja Theyo berlari menghampiri mobil tersebut.

Theyo mengetuk kaca nya pelan, takut jika ternyata dirinya salah mengira.

“Gotcha! Untung nggak salah orang.” Satu kalimat yang keluar dari mulut Theyo setelah melihat orang yang membuka kaca adalah Ghiyo.

“Masuk sini, panas diluar.”

“Iya.”

Dengan cekatan tangan mungil Theyo meraih knop pintu mobil milik Ghiyo dan segera masuk ke dalam mobil roda empat itu.

“Mau kemana They?” tanya Ghiyo sesudah melihat Theyo duduk dikursi sebelah kemudi.

“Jalan-jalan. Ke taman, atau semacamnya gitu, mau gak? Asal tempatnya adem aja, jangan panas-panas. Takut haus.” Jelas Theyo sembari mencari tempat nyaman dikursinya.

Ghiyo menganggukkan kepala, tangannya bergerak menyalakan mesin mobil Avanza miliknya.

“Taman Surya atau Taman Flora Brantang?” tawar Ghiyo.

“Flora Brantang ajaa, mau liat hewan!” Seru Theyo semangat.

“Dasar anak kecil.”

Ghiyo segera melajukan mobilnya menuju jalan Bratang Binangun, guna menuruti permintaan anak kecil disampingnya.

“Coba panggil saya mas Jeje sekarang,” suruh Ghiyo tiba-tiba.

“Hah? Gamau. Bapak nggak cocok dipanggil mas,” tolak Theyo.

“Sekali aja They.”

Theyo menatap sinis Ghiyo, “mas Jeje.”

“ALLAHUAKBAR. KENAPA PAKE NADA MANJA BEGITU THEYO???!” batin Ghiyo berteriak.

“Khem. Okey, makasih.”

Theyo menggeram kesal. “Gitu doang? Hih.”

“Saya nggak jadi manggil bapak pake sebutan mas deh. Nggak cocok didenger. Lebih enak dipanggil bapak.”

“Kenapa nggak manggil pake nama aja? Kayaknya umur kita nggak jauh jaraknya,” tanya sekaligus saran keluar dari mulut Ghiyo.

“Nggak enak.”

“Loh, kenapa kok nggak enak?” Ekor mata Ghiyo sedikit melirik kearah si kecil.

“Bapak udah dapet pekerjaan yang mantap, jadi masinis. Sedangkan saya masih kuliah. Agak nggak enak kalo saya panggil pake nama langsung tanpa embel-embel, meskipun umur saya dan bapak nggak jauh-jauh banget.” Theyo menjelaskan alasannya, tapi matanya tak berani menatap sang lawan bicara. Takut.

“Hey, jangan mikir begitu. Saya sama kamu itu sama. Bukan berarti saya udah kerja berarti saya ada satu tingkat diatas kamu, bukan They. Saya juga masih belajar, sama kayak kamu. Kamu juga pasti sekarang lagi cari-cari kerja, yakan?”

Theyo mengangguk sebagai jawaban.

“Nggak ada yang harus kamu takutin dan ngerasa nggak enak. Saya santai aja kok. Mau kamu manggil saya bapak, adek, mas, kakak, pakdhe, paklik, ataupun nama langsung juga nggak papa. Apapun itu asal kamu nyaman saya oke aja,” lanjut Ghiyo.

Mendengar tuturan kalimat dari Ghiyo membuat hati Theyo sedikit menghangat. Padahal mereka berdua bertemu secara tidak sengaja, dan menjadi sedikit lebih dekat karena kepentingan Theyo, tapi serasa sudah sangat dekat antara satu sama lain. Inikah yang disebut kenyamanan?

“Hmm, kalo gitu manggil bapak aja deh, udah enak pake panggilan itu. Pak Jeje, keren gak?”

“Keren.”

“Omong-omong, kenapa kamu manggil saya Jeje? Biasanya orang-orang manggil saya pakai nama Ghiyo, kamu beda.” Komentar Ghiyo.

“Ghiyo ribet, enakan Jeje hehe. Itung-itung panggilan spesial haha.” Tawa ringan Theyo mampu membuat Ghiyo turut serta menyunggingkan senyum manisnya. Lucu sekali.

“Oh ya, pak. Saya mau tanya dong. Kemarin bapak bilang lihat jadwal libur dulu kan sebelum nentuin hari jalannya, emangnya setiap weekend nggak libur kah?”

Mata Ghiyo terpaku pada jalanan saja, namun telinganya senantiasa mendengarkan pertanyaan juga berbagai celotehan dari anak manis disebelahnya. Sebelum menjawab pertanyaan tadi, Ghiyo sempat melirik tempat dimana Theyo duduk, ia melihat mata bulat berbinar milik Theyo sedang menatap dirinya sepenuhnya.

“Tatapannya biasa aja kali,” celetuk Ghiyo.

“Ish, dasar! Jawab pertanyaan saya cepettt,” suruh Theyo dengan wajah garangnya.

“Iya iya. Liburnya itu nggak tentu dapet weekend, bisa aja kebagian dihari hari biasa. Tergantung jadwalnya aja. Lagian kalo misal semua masinis libur waktu weekend, siapa yang nyetirin kereta kalo masyarakat mau berpergian waktu weekend? Jadi, ada beberapa yang libur ada juga yang tetep kerja.”

“Ohh, gitu ya. Jadi masinis berat gak pak?”

“Ya berat sih berat They. Libur cuman dapet 1 hari, waktu hari besar kadang nggak libur, belum lagi nyetirin kereta yang super ribet dan perlu hati-hati. Kelihatan nya jadi masinis emang ringan, tapi nyatanya nggak semudah itu. Perlu perhitungan sama ketepatan waktu. Tapi, asal enjoy aja sama pekerjaan jadi nggak berat-berat banget lah ya.”

Theyo memandang Ghiyo dengan tatapan kagum. Matanya tak bisa berhenti menatap pria tampan nan menawan dihadapannya ini.

“Kenapa natap nya gitu banget sih They? Saya nanti salting loh,” goda Ghiyo.

“Kagum aja. Diumur bapak yang segini udah dapet kerjaan lumayan berat, huhu keren bangett!” Seru Theyo menggebu-gebu.

“Kamu lucu banget They.”

“Makasih. Udah cepet nyetirnya,aku nggak sabar liat hewan hewan disana!” perintah Theyo dengan senyum manisnya.

“Iya anak kecil, sabar.”

“They, semoga kedepannya kita bisa makin deket ya. Jadi temen deket ataupun lebih juga nggak papa. Kamu lucu, asik, nyambung sama saya, jangan sedih ya anak kecil.” Ghiyo menatap dalam kearag Theyo sebelum kembali menatap jalan.

Tentang mereka, yang sedang diberi pelajaran oleh sang pencipta.

Alam menyediakan banyak hal untuk manusia. Begitu juga dengan hutan seisinya. Ada begitu banyak fauna diluar sana yang hampir punah, bahkan beberapa sudah tak dapat ditemui lagi karena ulah tangan jahat manusia. Perlahan populasi hewan dan tumbuhan mulai menipis, hutan serta pohon hijau yang memberikan mereka oksigen juga akan ikut menghilangkan.

Setelah semuanya hilang, apa yang akan mereka lakukan? Hanya menyesalinya lalu kembali merusak mereka. Sang pencipta mulai geram dengan tingkah mereka, hingga akhirnya memberi pelajaran kepada salah satu ciptaan nya. Haruto.

Haruto dulunya adalah pemburu yang sangat kejam. Semua yang ada dihadapannya akan habis dalam sekejap, begitu juga dengan nyawa fauna. Haruto diberi pelajaran dengan cara diubah menjadi singa putih, hewan terakhir yang ia bunuh sebelum berubah. Hanya raga nya yang diubah, jiwanya tetap sama.

Pada saat penukaran raga tak ada yang melihat ataupun menyadari, bahkan Haruto sekalipun tak tau bagaimana dirinya bisa berada ditubuh raja rimba berkulit putih ini. Tau-tau saat ia bangun dari alam mimpi sekitarnya bukan lagi kasur dan barang-barang nya, melainkan rerumputan hijau segar nan lebat.

Pada detik itu juga kehidupannya sebagai singa telah dimulai. Ia harus beradaptasi dengan lingkungan baru, belajar bagaimana cara mencari makan, tempat tinggal, dan menghindari serangan dari para pemburu. Ternyata, menghindari senapan para pemburu tak semudah yang ia bayangkan. Ia harus berlari kesana-kemari sekuat tenaga, lengah sedikit saja sudah pasti tertembak. Jika tau seperti ini, Haruto tidak akan pernah lagi memburu para satwa. Ia berjanji pada dirinya sendiri juga pada sang pencipta, setelah raga nya kembali ia tak akan menyakiti dan memburu hewan lagi, ia akan menjaga mereka seperti menjaga tubuhnya sendiri. Haruto berjanji.

Hari ini, hewan besar bersampul putih itu mempunyai rencana untuk berkeliling hutan. Ia sudah mulai bosan dengan lingkungannya, mungkin ia akan mencari tempat tinggal baru disisi hutan yang lain. Dikelilingi oleh banyak tanaman cantik juga satwa berdaging lezat, sepertinya menyenangkan hidup dilingkungan seperti itu.

“Ayo mencari kehidupan yang baru,” semangatnya pada diri sendiri.

Kaki singa nya perlahan bergerak maju, menyusuri hutan lebat guna mencari suasana baru. Ditengah perjalanannya, Haruto melihat sebuah bunga terompet berwarna ungu. Cantik. Haruto memutuskan untuk mendekati tumbuhan tersebut, memandang nya dengan cermat, menikmati indahnya ciptaan Tuhan.

Tiba-tiba ada sesuatu keluar dari kelopak bunga tersebut. Seperti semut, tapi berbentuk manusia, apakah itu kurcaci? Oh, tidak, kurcaci tidak memiliki sayap. Lalu, apa makhluk kecil itu?

Dengan segenap rasa penasaran, Haruto menggerakkan tubuh singa nya mendekat. Mata lebarnya menatap tajam gerak-gerik makhluk kecil mencurigakan. Otaknya mencoba berfikir, sebenarnya dia itu apa? Seperti kupu-kupu berbentuk manusia, aneh.

“Tubuhnya sangat kecil, aku tak bisa melihatnya dengan jelas,” keluh Haruto.

“Oh, astaga!” Kurcaci bersayap menyerukan kalimat lantang, pertanda bahwa ia terkejut.

Sang kurcaci terbang mendekati Haruto, “ya! Jangan mengejutkan ku seperti itu!”

“Huh? Padahal aku hanya ingin mengetahui dia ini sebenarnya apa, mengapa dia memarahiku?” batin Haruto kesal.

“Maaf maaf, aku tidak bermaksud memarahi mu, aku hanya terkejut melihat hewan buas berkeliaran disekitar sini,” kurcaci itu mengelus surai Haruto perlahan.

“Kau.. bisa mendengar suara batin ku?”

“Ya. Hanya batinmu saja yang bisa kudengar, hewan lain tidak.”

“Hm, begitu ya. Lalu, sebenarnya kau ini apa? Kurcaci terbang? Siluman kupu-kupu? Atau apa?” tanyanya penasaran.

“Bukan kurcaci maupun kupu-kupu, aku ini seorang peri.”

“Jangan berbohong. Mana ada peri di dunia ini,” bantah Haruto.

“Aku tidak berbohong singa. Aku memang peri!”

“Yayayaya. Kau memiliki nama?”

“Tentu! Namaku Jeongwoo!” Sahut sang peri bersemangat.

“Salam kenal Jeongwoo, aku Haruto.”

“Eoh? Singa memiliki nama juga?” Dahi kecil Jeongwoo mengernyit.

Baru saja batin Haruto ingin berbincang, si kecil sudah menyela dahulu,

“Sebentar, jawabnya nanti dulu.” Jeongwoo terbang keatas dan mendudukkan tubuhnya di atas kepala berbulu milik Haruto. “Antarkan aku jalan-jalan cari madu, sekalian bercerita, hehe.”

“Cari madu? Untuk apa?” Haruto meluncurkan pertanyaan sekaligus menggerakkan kakinya maju.

“Untuk dimakan lah, laper tauu.”

“Tadi mau cerita apa? Lanjutin aja, aku dengerin.” Suruh Jeongwoo.

“Hm. Percaya tidak, kalau aku manusia?”

“Percaya.”

Haruto mulai menceritakan kisah hidupnya, mulai dari bagaimana kejamnya dirinya pada binatang, hingga pada akhirnya ia diberi hukuman. Jeongwoo hanya mendengarkan, tak berniat menyela. Matanya sibuk melihat sekeliling, mencari sesuatu yang bisa ia makan.

“Sudah selesai?” tanyanya setelah merasa batin sang singa tak lagi berbicara.

“Sudah.”

“Oke, jad— EH! HARUTO KESANA CEPAT! ADA BUAH!” seru Jeongwoo heboh.

“Aish, kau ini, tidak bisakah pelan-pelan saja,” gerutu Haruto. Meskipun menggerutu Haruto tetap menuruti perintah peri kecil itu.

Jeongwoo tidak menanggapi ucapan Haruto, ia segera terbang ke atas menuju buah cantik yang menggantung.

“Hati-hati, buah itu besar bagimu. Kau akan pingsan dan tak bangun lagi jika tertimpa buah itu,” ingat Haruto.

“Yayaya, terimakasih sudah mengingatkan,” balas Jeongwoo dengan nada sedikit nyaring.

“Mengapa mengambil buah itu? Katanya kau ingin mencari madu?”

“Tidak perlu madu, yang penting perutku terisi saja sudah cukup.” Sahut Jeongwoo dengan berteriak.

“Ya. Cepatlah, bisa-bisa telinga ku sakit mendengar teriakkan mu,” protes Haruto.

“Lagipula jika aku berteriak kau tidak akan terganggu, suara ku 'kan kecil, tidak besae seperti auman mu.” Jeongwoo menjawab protesan Haruto. Ditangannya sudah ada buah murbei bercorak ungu tua.

Bukannya menjawab Jeongwoo, Haruto justru menyuruhnya untuk terbang dengan segera, “Jeongwoo ayo cepat kemari! atau ku tinggalkan kau disini sendirian.”

“Sabar, buahnya berat tau.”

Sang singa hanya dapat menghela napas panjang. Ia merasa sedang di intai oleh seseorang, maka dari itu ia menyuruh Jeongwoo agar lebih cepat sedikit.

Semak-semak disekitarnya mulai mengeluarkan suara, raja rimba berkulit putih itu semakin cemas. Alih-alih berlari meninggalkan peri kecil, ia kembali menyuruhnya semakin cepat. Ia tak tega jika meninggalkan peri itu sendirian disini.

“Jeongwoo cepatlah! Sepertinya ada yang mengincar ku disekitar sini.”

“Hah? Tunggu sebentar, aku sedang berusaha,” Jeongwoo mengepakkan sayap peri nya lebih cepat. Syukur saja satu menit kemudian ia sudah mendarat tepat diatas kepala sang singa. Dengan cekatan Haruto berlari kencang meninggalkan area tersebut. Tubuh gempal nya menyelinap ke tempat yang menurutnya aman.

“Disini sudah aman belum kira-kira?”

Jeongwoo melihat sekelilingnya sebentar, “sudah seperti nya, sudah lumayan jauh juga.”

“Huft, untung saja. Tadi mau cerita apa? Lanjutkan saja, aku akan mendengarkan,” pinta Haruto sembari mengistirahatkan kakinya.

“Ah itu! Sebenernya aku dulu juga manusia.”

Haruto terperanjat mendengar fakta mengenai peri mungil itu. “Benarkah?”

“Ya.. benar. Dulunya aku manusia penuh amarah, setiap terjadi masalah aku akan datang mengunjungi taman bunga dan merusak beberapa bunga disana. Uh.. perilaku ku sangat buruk. Mungkin itu sebabnya Tuhan menjadikan ku peri penjaga petunia violacea.” Jelas Jeongwoo.

“Bukankah bunga petunia sama saja dengan bunga yang lain?”

“Memang. Tapi, kata ibu peri yang menjagaku selama ini, petunia melambangkan dua makna yang berlawanan.”

“Oh ya? Apa saja itu?” tanya Haruto penasaran.

“Disatu sisi bunga ini melambangkan kenyamanan dengan seseorang. Disisi yang lain, ia melambangkan kemarahan dan kebencian. Jadi, ya, tidak heran kalau aku disuruh menjaga bunga ini.” Jeongwoo mulai menggigit buah murbei yang dipetiknya tadi, perutnya sudah lapar.

“Bagaimana bisa kau menjadi kecil dan berada didalam bunga?”

“Kisahnya tak jauh berbeda dari kisahmu. 98% mirip dengan ceritamu,” jawabnya dengan mulut penuh murbei.

“Kira-kira kapan masa hukuman ini berakhir? Jujur saja aku rindu menjadi manusia kembali.”

“Entahlah. Aku pun tidak tahu-menahu. Berdoa saja semoga dalam waktu dekat kita sudah diperbolehkan menjadi manusia kembali. Lagipula, kita sudah menyadari kesalahan masing-masing 'kan? Pasti tidak lama lagi Tuhan akan mengampuni kita.”

“Betul juga.”

Jeongwoo mengusap mulutnya sebentar, “Haruto, selama kita masih menjadi hewan dan peri, kau.. mau menjadi temanku tidak?

“Tentu saja aku mau! Nanti kalau sudah sama-sama menjadi manusia, jangan lupain satu sama lain ya,” timpal Haruto.

“Tentu!”

“Yasudah, ayo kembali ke bunga mu. Aku juga akan mencari tempat tinggal disekitar mu saja,” ajak Haruto.

“Wah, aku merasa dilindungi oleh raja rimba, haha. Raja rimba versi langka lagi,” goda Jeongwoo.

“Ya! Tak usah menggoda seperti itu. Aku hanya manusia bertubuh singa putih. Bukan singa asli.” Haruto membantah dengan nada kesal.

“Aku bercandaaa. Jangan marah, nanti aku akan membantumu berburu,” tawar Jeongwoo.

“Yayaya. Sudah diam, pegangan yang erat, aku akan berlari.”

Kisah hidup mereka dimulai semenjak saat itu. Mereka mencari makan, bermain, juga berbagi kisah hidup satu sama lain. Juga mempelajari bagaimana baiknya alam kepada manusia. Setelah berubah nanti, mereka berjanji tidak akan melupakan kenangan indah ini, bahkan jika bisa, mereka berharap agar bisa bertemu kembali dengan wujud manusia. Haruto dan Jeongwoo juga berjanji tidak akan merusak alam bagaimanapun keadaannya. Hidup tanpa hewan dan tumbuhan pasti akan sulit. Keduanya tidak ingin hal ini sampai terjadi, baik Haruto dan Jeongwoo akan berusaha menjaga flora dan fauna seperti mereka menjaga diri sendiri.

Selesai.

Tentang mereka, yang sedang diberi pelajaran oleh sang pencipta.

Alam menyediakan banyak hal untuk manusia. Begitu juga dengan hutan seisinya. Ada begitu banyak fauna diluar sana yang hampir punah, bahkan beberapa sudah tak dapat ditemui lagi karena ulah tangan jahat manusia. Perlahan populasi hewan dan tumbuhan mulai menipis, hutan serta pohon hijau yang memberikan mereka oksigen juga akan ikut menghilangkan.

Setelah semuanya hilang, apa yang akan mereka lakukan? Hanya menyesalinya lalu kembali merusak mereka. Sang pencipta mulai geram dengan tingkah mereka, hingga akhirnya memberi pelajaran kepada salah satu ciptaan nya. Haruto.

Haruto dulunya adalah pemburu yang sangat kejam. Semua yang ada dihadapannya akan habis dalam sekejap, begitu juga dengan nyawa fauna. Haruto diberi pelajaran dengan cara diubah menjadi singa putih, hewan terakhir yang ia bunuh sebelum berubah. Hanya raga nya yang diubah, jiwanya tetap sama.

Pada saat penukaran raga tak ada yang melihat ataupun menyadari, bahkan Haruto sekalipun tak tau bagaimana dirinya bisa berada ditubuh raja rimba berkulit putih ini. Tau-tau saat ia bangun dari alam mimpi sekitarnya bukan lagi kasur dan barang-barang nya, melainkan rerumputan hijau segar nan lebat.

Pada detik itu juga kehidupannya sebagai singa telah dimulai. Ia harus beradaptasi dengan lingkungan baru, belajar bagaimana cara mencari makan, tempat tinggal, dan menghindari serangan dari para pemburu. Ternyata, menghindari senapan para pemburu tak semudah yang ia bayangkan. Ia harus berlari kesana-kemari sekuat tenaga, lengah sedikit saja sudah pasti tertembak. Jika tau seperti ini, Haruto tidak akan pernah lagi memburu para satwa. Ia berjanji pada dirinya sendiri juga pada sang pencipta, setelah raga nya kembali ia tak akan menyakiti dan memburu hewan lagi, ia akan menjaga mereka seperti menjaga tubuhnya sendiri. Haruto berjanji.

Hari ini hewan besar bersampul putih itu mempunyai rencana untuk berkeliling hutan. Ia sudah mulai bosan dengan lingkungannya, mungkin ia akan mencari tempat tinggal baru disisi hutan yang lain. Dikelilingi oleh banyak tanaman cantik juga satwa berdaging lezat, sepertinya menyenangkan hidup dilingkungan seperti itu.

“Ayo mencari kehidupan yang baru,” semangatnya pada dirinya sendiri.

Kaki singa nya perlahan bergerak maju, menyusuri hutan lebat guna mencari suasana baru. Ditengah perjalanannya, Haruto melihat sebuah bunga terompet berwarna ungu. Sangat cantik. Haruto memutuskan untuk mendekati tumbuhan tersebut, memandang nya dengan cermat, menikmati indahnya ciptaan Tuhan.

Tiba-tiba ada sesuatu keluar dari kelopak bunga tersebut. Seperti semut, tapi berbentuk manusia, apakah itu kurcaci? Oh, tidak, kurcaci tidak memiliki sayap. Lalu, apa makhluk kecil itu?

Dengan segenap rasa penasaran, Haruto menggerakkan tubuh singa nya mendekat. Mata lebarnya menatap tajam gerak-gerik makhluk kecil mencurigakan. Otaknya mencoba berfikir, sebenarnya dia itu apa? Seperti kupu-kupu berbentuk manusia, aneh.

“Tubuhnya sangat kecil, aku tak bisa melihatnya dengan jelas,” keluh Haruto.

“Oh, astaga!” Kurcaci bersayap menyerukan kalimat lantang, pertanda bahwa ia terkejut.

Sang kurcaci terbang mendekati Haruto, “ya! Jangan mengejutkan ku seperti itu!”

“Huh? Padahal aku hanya ingin mengetahui dia ini sebenarnya apa, mengapa dia memarahiku?” batin Haruto kesal.

“Maaf maaf, aku tidak bermaksud memarahi mu, aku hanya terkejut melihat hewan buas berkeliaran disekitar sini,” kurcaci itu mengelus surai Haruto perlahan.

“Kau.. bisa mendengar suara batin ku?”

“Ya. Hanya batinmu saja yang bisa kudengar, hewan lain tidak.”

“Hm, begitu ya. Lalu, sebenarnya kau ini apa? Kurcaci terbang? Siluman kupu-kupu? Atau apa?” tanyanya penasaran.

“Bukan kurcaci maupun kupu-kupu, aku ini seorang peri.”

“Jangan berbohong. Mana ada peri di dunia ini,” bantah Haruto.

“Aku tidak berbohong singa. Aku memang peri!”

“Yayayaya. Kau memiliki nama?”

“Tentu! Namaku Jeongwoo!” Sahut sang peri bersemangat.

“Salam kenal Jeongwoo, aku Haruto.”

“Eoh? Singa memiliki nama juga?” Dahi kecil Jeongwoo mengernyit.

Baru saja batin Haruto ingin berbincang, si kecil sudah menyela dahulu,

“Sebentar, jawabnya nanti dulu.” Jeongwoo terbang keatas dan mendudukkan tubuhnya di atas kepala berbulu milik Haruto. “Anterin jalan-jalan cari madu, sekalian cerita, hehe.”

“Cari madu? Buat apa?” Haruto meluncurkan pertanyaan sekaligus menggerakkan kakinya maju.

“Buat makan lah, laper tauu.”

“Oh ya, tadi mau cerita apa? Lanjutin aja, aku dengerin.” Suruh Jeongwoo.

“Hm. Percaya tidak, kalau aku manusia?”

“Percaya.”

Haruto mulai menceritakan kisah hidupnya, mulai dari bagaimana kejamnya dirinya pada binatang, hingga pada akhirnya ia diberi hukuman. Jeongwoo hanya mendengarkan, tak berniat menyela. Matanya sibuk melihat sekeliling, mencari sesuatu yang bisa ia makan.

“Sudah selesai?” tanyanya setelah merasa batin sang singa tak lagu berbicara.

“Sudah.”

“Oke, jad— EH! HARUTO KESANA CEPAT! ADA BUAH!” seru Jeongwoo heboh.

“Aish, kau ini, tidak bisakah pelan-pelan saja,” gerutu Haruto. Meskipun menggerutu Haruto tetap menuruti perintah peri kecil itu.

Jeongwoo tidak menanggapi ucapan Haruto, ia segera terbang ke atas menuju buah cantik yang menggantung.

“Hati-hati, buah itu besar bagimu. Kau akan pingsan dan tak bangun lagi jika tertimpa buah itu,” ingat Haruto.

“Yayaya, terimakasih sudah mengingatkan,” balas Jeongwoo dengan nada sedikit nyaring.

“Lagipula jika aku berteriak kau tidak akan terganggu, suara ku 'kan kecil.” Jeongwoo menjawab gerutuan Haruto sebelumnya. Ditangannya sudah ada buah murbei bercorak ungu tua.

Bukannya menjawab protesan Jeongwoo, Haruto justru menyuruhnya untuk terbang dengan segera, “Jeongwoo ayo cepat kemari atau ku tinggalkan kau disini sendirian.”

“Sabar, buahnya berat tau.”

Sang singa hanya dapat menghela napas panjang. Ia merasa sedang di intai oleh seseorang, maka dari itu ia menyuruh Jeongwoo agar lebih cepat sedikit.

Semak-semak disekitarnya mulai mengeluarkan suara, raja rimba berkulit putih itu semakin cemas. Alih-alih berlari meninggalkan peri kecil, ia kembali menyuruhnya semakin cepat. Tidak tega katanya.

“Jeongwoo cepatlah! Sepertinya ada yang mengincar ku disekitar sini.”

“Hah? Tunggu sebentar, aku sedang berusaha,” Jeongwoo mengepakkan sayap peri nya lebih cepat. Syukur saja satu menit kemudian ia sudah mendarat diatas kepala sang singa. Dengan cekatan Haruto berlari kencang meninggalkan area tersebut. Tubuh gempal nya menyelinap ke tempat yang menurutnya aman.

“Disini sudah aman belum kira-kira?”

Jeongwoo melihat sekelilingnya sebentar, “sudah seperti nya, sudah lumayan jauh juga.”

“Huft, untung saja. Tadi mau cerita apa? Lanjutin dong,” pinta Haruto sembari mengistirahatkan kakinya.

“Ah itu! Sebenernya aku dulu juga manusia.”

Haruto terperanjat mendengar fakta mengenai peri mungil itu. “Benarkah?”

“Ya.. benar. Dulunya aku manusia penuh amarah, setiap terjadi masalah aku akan datang mengunjungi taman bunga dan merusak beberapa bunga disana. Uh.. perilaku ku sangat buruk. Mungkin itu sebabnya Tuhan menjadikan ku peri penjaga petunia violacea.” Jelas Jeongwoo.

“Bukankah bunga petunia sama saja dengan bunga yang lain?”

“Memang. Tapi, kata ibu peri yang menjagaku selama ini, petunia melambangkan dua makna yang berlawanan.”

“Oh ya? Apa saja itu?” tanya Haruto penasaran.

“Disatu sisi bunga ini melambangkan kenyamanan dengan seseorang. Disisi yang lain, ia melambangkan kemarahan dan kebencian. Jadi, ya, tidak heran kalau aku disuruh menjaga bunga ini.” Jeongwoo mulai menggigit buah murbei yang dipetiknya tadi, perutnya sudah lapar.

“Bagaimana bisa kau menjadi kecil dan berada didalam bunga?”

“Kisahnya tak jauh berbeda dari kisahmu. 98% mirip dengan ceritamu,” jawabnya dengan mulut penuh murbei.

“Kira-kira kapan masa hukuman ini berakhir? Jujur saja aku rindu menjadi manusia kembali.”

“Entahlah. Aku pun tidak tahu-menahu. Berdoa saja semoga dalam waktu dekat kita sudah diperbolehkan menjadi manusia kembali. Lagipula, kita sudah menyadari kesalahan masing-masing 'kan? Pasti tidak lama lagi Tuhan akan mengampuni kita.”

“Betul juga.”

Jeongwoo mengusap mulutnya sebentar, “Haruto, selama kita masih menjadi hewan dan peri, mau temenan gak?”

“Boleh. Nanti kalau udah sama-sama udah jadi manusia, jangan lupain satu sama lain ya,” timpal Haruto.

“Tentu!”

“Yaudah ayo kembali ke bunga mu. Aku juga akan mencari tempat tinggal disekitar mu saja,” ajak Haruto.

“Wah, aku merasa dilindungi oleh raja rimba, haha. Raja rimba versi langka lagi,” goda Jeongwoo.

“Ya! Tak usah menggoda seperti itu. Aku hanya manusia bertubuh singa putih. Bukan singa asli.” Haruto membantah dengan nada kesal.

“Aku bercandaaa. Jangan marah, nanti aku akan membantumu berburu,” tawar Jeongwoo.

“Yayaya. Sudah diam, pegangan yang erat, aku akan berlari.”

Kisah hidup mereka dimulai semenjak saat itu. Mereka mencari makan, bermain, juga berbagi kisah hidup satu sama lain. Juga mempelajari bagaimana baiknya alam kepada manusia. Setelah berubah nanti, mereka berjanji tidak akan melupakan kenangan indah ini, bahkan jika bisa, mereka berharap agar bisa bertemu kembali dengan wujud manusia. Haruto dan Jeongwoo juga berjanji tidak akan merusak alam bagaimanapun keadaannya. Hidup tanpa hewan dan tumbuhan pasti akan sulit. Keduanya tidak ingin hal ini sampai terjadi, baik Haruto dan Jeongwoo akan berusaha menjaga flora dan fauna seperti mereka diri sendiri.

selesai.

telponan.

“halo?”

Suara serak khas bangun tidur menyapa indra pendengaran Jihoon setelah menjawab panggilan yang berasal dari Ben tadi.

“lo baru bangun tidur?”

“kok tau?”

“dari suara kelihatan tau.”

“hehe iya, tadi ketiduran, ngantuk banget.”

“gaboleh tau tidur sore. kata mama gue, nanti matinya cepet.”

“udah terlanjur ji, yaudah, gue trobos aja.”

“ngebantah aja ya, lo. bentar, gue cari posisi yang enak dulu,” izin Jihoon.

“ya. gue juga mau cuci muka dulu bentaran.”

“jangan lama-lama.”

“iya bawell.”

Jihoon membaringkan tubuhnya dikasur kesayangan, tangannya meraih dan memeluk guling hitam buntal, ponselnya ia taruh disamping kanannya. Jihoon sudah siap untuk bercakap-cakap dengan pacar sewaannya.

“ben? lama banget dah,” keluhnya.

“bentarrr, nyari jajan,” sahut Ben diseberang.

“lo belom makan?”

“ya lo pikir aja. orang baru bangun tidur udah makan apa belom.”

“lo makan dulu sana, gue tungguin.”

“gak ah, gue lagi males makan, ntar aja.”

“sakit mampus lo.”

“nggak akan. udah, lo diem. gue mau ngobrol sama pacar gue dulu, sebelum beberapa jam kedepan bakal pisah.”

“apa deh, nanti juga masih temenan,” protes Jihoon.

“udah beda status bro, kriuk, kan nggak kriuk jadi pacar kriuk gue lagi kriuk bro.”

“yayayaya. telen dulu itu yang dimulut, awas keselek.”

“perhatian banget deh, jadi makin sayang.”

“gitu lagi gue matiin nih,” ancam Jihoon.

“jiakh salting.”

“gak.”

“oke-oke, ayo serius dulu manis.”

“jangan serius serius, gue takut,” canda Jihoon.

“kalo di seriusin, takut gak?”

“makin ngelantur, ayo serius dulu, ben.”

“dih, kabur dari topik.”

“lo duluan aja deh yang mulai pembicaraan serius ini, ntar kalo gue malah nggak jadi serius, lawak terus.” Ben mempersilakan

“ok. pertama mari kita ucapkan syukur kepada tuhan yang maha esa karena—”

“bukan serius yang gitu maksud gue, ah. ngeselin juga ya lo, lama-lama.”

“maaf maaf, ulang, action!”

“anak aneh.”

“pertama-tama, gue mau ngucapin makasih banyak ke lo. dari lo, gue ngerti gimana caranya pake bf rent. dapet temen baru, asik lagi. makasih juga udah perhatiin gue, ya, pokoknya makasih deh ya. bingung gue mau ngomong apa lagi. mohon maaf juga kalo selama 7 hari ini ada sikap maupun sifat gue yang bikin lo risih, maapin ye bro. semoga kedepannya kita bakal jadi temen baik selama-lamanya. gue sayang banget sama lo, hehe.”

“sama-sama, gue maafin, aamiin, gue juga sayang lo.”

“udah??? gitu doang????”

“nggak lah. ini baru mau ngomong, dengerin ya.”

“oke.”

“ji gemes, anak manis, makasih juga udah mau nemenin gue, merhatiin gue layak nya pacar beneran. beneran, makasih banget. selama ini temen gue nggak ada yang jenisnya mirip kayak lo, gue seneng banget ketemu lo. gue harap lo nggak ninggalin gue ya. jujur aja, gue udah nyaman deket sama lo. kapan-kapan gue bakal main ke rumah lo deh, nanti jangan lupa bikinin kue yaa,”

“sekalian liat angbul.”

“yeh, ujung-ujungnya bakal tetep angbul,” kesal Jihoon.

“haha, iya, maaf deh. sekali lagi, terimakasih banyak ya, anak manis. maaf juga kalo gue masih banyak kurangnya, maklum, gue manusia.”

“iyaa, dimaafiin.”

“tetep jadi temen gue ya, bro.”

“yaiyalah, mau temenan sama siapa lagi gue kalo bukan sama lo.”

“ciri-ciri kalimat kebohongan. temen lo diluar sana pasti banyak ji, kelihatan dari cara bergaul lo.”

“iya banyak, tapi nggak ada yang sealiran kayak lo gini.”

“iya dah.”

“ada yang mau diomongin lagi gaak? ngantuk nih.”

“gaada sih. oh, ada satu.”

“apaa?”

“tetep jadi temen gue sampek kakek nenek, ya,”

“atau mau lebih dari temen juga gapapa sih.”

“ngelantur. udah sana, tidur.”

“gue baru bangun, yakali tidur lagi.”

“mangkanya jangan tidur sore, nanti tidurnya jadi larut 'kan.”

“iya-iya, gue salah. cepet sana tidur, katanya ngantuk.”

“ya. gue tutup ya, bye, good night, ben.”

“selamat malam juga, anak manis.”

Puncak keputusan.

Setiap pasangan di dunia pasti pernah mengalami permasalahan juga keraguan dalam menjalankan hubungan. Sama halnya dengan pasangan Dirga dan Damiel saat ini. Keduanya kini sedang dipisahkan oleh jarak yang terbilang cukup jauh, demi memenuhi impian mereka masing-masing. Dirga berada di Surabaya, sedangkan Damiel berada di Yogyakarta.

Disini, Dirga adalah pihak yang diacuhkan oleh Damiel selama kurang lebih satu minggu. Mulai dari chat tak dibalas, mention twitter hanya di beri like, dan yang lain.

“DEK, OPO SALAH, SALAHKU IKIIIII”

Sembari menemani waktu galaunya, lagu-lagu galau mulai dari bahasa Indonesia, Inggris, bahkan bahasa Jawa selalu ia putar setiap harinya. Hingga Wuto, temannya jengah mendengar ucapan lirik lagu yang keluar dari mulut Dirga.

“Lo bisa diem gak, Dir? Udah lebih dari 10 kali lo nyanyi lagu itu hari ini,” protes Wuto.

“Coba lo yang ada diposisi gue, Wut. Chat gak dibales semingguan, bahkan dibaca aja nggak. Sedih gak lo kalo gitu?”

“Susul dia kesana, gausah galau-galau gitu. Mumpung besok lo nggak ada matkul kan,” celetuk Jeangga, teman Dirga yang lainnya.

“Nggak mau, Ngga. Gue takut kejadian lama keulang lagi..” keluh Dirga.

Dahulu, Dirga pernah berkunjung ke kota gudeg guna menemui sang kekasih. Namun, bukannya senyuman manis yang menyambut nya, tetapi malah rangkulan hangat antara sang kekasih dengan pria lainnya. Dirga tau mereka hanya sebatas teman kuliah, Dirga tau itu. Tapi, setidaknya tidak bisakah kehadirannya sedikit dihargai? Dari situlah perang dingin Dirga dan Damiel dimulai.

Hingga saat ini, Dirga tak berani mengunjungi kekasihnya lagi. Takut akan mengalami hal yang menyakitkan, lagi.

“Jangan mikir gitu terus, dicoba aja dulu, Dir,” nasehat Wuto.

“Bener kata Wuto. Siapa tau dia lagi sakit atau gimana gitu, masa iya lo nggak mau jenguk?” Timpal Jeangga.

“Hah, nanti deh, gue pikir-pikir lagi,” putus Dirga.

Bisa saja omongan Jeangga tentang Miel yang sakit itu benar, ia harus berani menanggung resiko, ia akan pergi kesana untuk memastikan keadaan tambatan hatinya baik-baik saja.

“Yaudah, gue masuk kamar dulu ya. Makasih buat sarannya,” pamit Dirga.

“Yoi.”

Didalam kamar, jari Dirga berselancar dengan cepat diatas ponselnya, segera membuka aplikasi KIA, mencari-cari tiket dengan jadwal waktu yang cocok. Ah, sepertinya tidak ada pemberangkatan pagi untuk tujuan Surabaya – Yogyakarta. Sepertinya, ia harus absen mata kuliah lusa jika ingin menjenguk kekasihnya.

“Gapapa kali ya, absen sekali aja. Daripada nanti kepikiran terus malah bahaya,” gumam Dirga sembari berpikir.

Alhasil, Dirga mengambil tiket pemberangkatan pukul 09:15 WIB. Semoga tidak ada kendala apapun sebelum, dalam, maupun sesudah perjalanannya nanti.

Dirga meletakkan ponselnya, memutuskan untuk berkunjung sebentar ke alam mimpi di siang hari yang cerah ini. Namun, dering telepon menggagalkan rencana nikmatnya. Terlihat '🧸💗' sebagai nama penelpon di ponsel genggam milik Dirga. Dengan cekatan Dirga mengambil ponselnya, lalu menggeser tombol hijau guna menjawab panggilan telepon dari sang tambatan hati.

“Halo?” sapa Dirga setelah menerima panggilan.

“Dirga..”

Oh, ayolah, yang Dirga inginkan kali ini hanya sampaan riang bukan panggilan lirih dari jantung hatinya. Dan Dirga membenci ketika Damiel memanggil namanya menggunakan nada lirih, karena itu merupakan pertanda buruk, bagi dirinya, ataupun hubungannya.

“Sebelumnya, maaf aku motong niat kakak. Aku tau ini bakal panjang, jangan potong aku dulu ya,” pinta Dirga sebelum mengucapkan beberapa kalimat.

“Pertama, aku sayang banget sama kakak. Walaupun kita jauh dan sempet hampir pecah, percaya deh, rasa sayang ku ke kakak nggak berkurang sedikitpun, oke, ini agak dangdut. Kedua, jaga kesehatan ya, makan yang teratur, pasti kakak lagi banyak tugas banyak pikiran juga kan? Jangan sampek lupa makan, ya. Ketiga, maaf kalo semisal aku punya salah sama kakak, bener bener minta maaf. Kadang aku suka nggak bisa ngontrol amarah, maaf ya..”

Damiel terdiam. Kata-kata yang sedari tadi ia rancang dan akan ia tunjukkan pada Dirga hilang begitu saja dari otak nya. Kata-kata Dirga membuatnya kembali ragu dalam mengambil langkah. Dirga benar-benar kelemahan Damiel, untuk saat ini.

“Dirga, aku lagi ragu. Ayo yakinin aku,” dari seberang sana Damiel meminta bantuan.

Kekehan kecil keluar dari mulut Dirga. “Udah aku duga, pasti kamu kebanyakan tugas terus jadi ragu, berakhir nganggurin chat aku selama hampir satu minggu lebih, betul?”

“ya.. betul..”

“Kak Miel, denger. Ragu dan bosan itu wajar buat setiap pasangan, tergantung gimana usaha mereka buat ngeyakinin dan ngebuat hubungan itu lebih menarik biar bisa awet. Kakak ragu itu karena kakak lagi kepikiran banyak hal. Kalo kakak mulai ragu, coba inget-inget momen yang menurut kakak paling bahagia selama sama aku. Lihat kebelakang, waktu kita saling dukung juga saling menguatkan kalo salah satu dari kita lagi kena masalah. Inget-inget gimana sensasi hangatnya pelukan seorang Dirga Prayoga, dijamin kakak nggak ragu lagi.”

“Dirga, udah, berhenti. Nanti aku nangis kalo diterusin.”

“Loh? Kan kamu yang minta kak, gimana deh..” ujar Dirga bingung.

“Iya, tapi udahan ya, aku nggak ragu lagi kok, beneran.”

“Kalaupun masih ragu juga nggak papa sih, mungkin nanti break dulu sebentar kali ya. Itung-itung memperbaiki diri,” usul Dirga.

“Nggak. Gamau break.”

“Kenapa?”

“Gapapa. Jangan break, aku janji nggak bakal ragu lagi kayak tadi. Janji juga nggak bakal ngacuhin chat kamu. Tapi, kalo tugasku lagi banyak aku nggak bisa ngabarin sering-sering..” Damiel diseberang sana mengucapkan kalimat tersebut dengan mata berkaca-kaca.

“Aku nggak nuntut kamu selalu ngasih kabar ke aku, aku paham kok, akhir-akhir ini kamu pasti lagi banyak tugas, jadi aku nggak ganggu kamu. Jangan nangis, suaranya kedengeran, loh,” ejek Dirga diakhir katanya.

“Aku mau nangis, kali ini beneran. Jangan diejek!”

“Yahhh, kok nangis sih, jelek tau kalo nangis. Air matanya nanti habis kalo nangis.”

“Gara-gara kamu sih!”

“Iya-iya, maaf deh. Habis ini aku matiin telponnya boleh? Mau tidur, ngantuk,” izin Dirga.

“Kok nggak bilang kalo mau tidurrr. Boleh lah, boleh banget malah. Maaf ya kalo aku ganggu kamu.”

“Ya, kamu ganggu dikit, dikit doang. Oh ya, besok aku mau ke Jogja. Aku matiin telepon nya, jangan lupa makan manis.”

Dirga benar-benar mematikan ponselnya, ia sengaja membuat kekasihnya bingung. Dengan santai Dirga memeluk guling dan berkunjung ke dunia mimpi, tanpa memikirkan bagaimana bingung nya Damiel tentang ucapannya tadi.

Di daerah lain, ada Damiel yang masih mencerna ucapan penutup dari Dirga tadi.

“Besok mau ke sini, ngarang kali ah dia, gak mungkin juga sih dia kesini,” pikir Damiel.

“Gatau deh, pusing. Dirga orangnya nggak bisa ditebak, kalo kesini ya Alhamdulillah kalo nggak ya udah,” pasrah Damiel.

Damiel pun turut serta menyusul Dirga ke dunia mimpi setelah 10 menit memikirkan ucapan penutup dari Dirga.

Bagaimanapun nantinya, Damiel dan Dirga akan terus berusaha mempertahankan hubungan mereka yang penuh lika-liku ini. Jika Dirga Prayoga masih bernapas, maka Damiel Rayiman masih menjadi miliknya seorang. Hanya Dirga, tak boleh yang lain. Dirga berjanji akan mewujudkan kalimat itu dimasa depan, bagaimanapun rintangan yang harus dihadapinya, Dirga pasti akan berjuang melewati itu semua.

selesai.

Kebahagiaan kecil.

Dirga dan Miel sekarang lagi ada dipinggir jalan, nunggu angkot yang dimaksud sama Miel dateng. Biasanya angkot bakal lewat jalan raya depan gang rumah Miel sama Dirga, kata Damiel gitu.

“Kak, minggiran dikit, nanti ketabrak loh.” Dirga narik tangan Miel, terus digandeng, biar nggak hilang katanya.

“Aku mau liat angkotnya udah deket apa belum Dirgaaaa, gak aneh-aneh kok, beneran!”

“Iya kamu nggak aneh-aneh, tapi nanti kalo tiba-tiba ada kendaraan dari sana terus kamu gak sadar, gimana?” Dirga natap Miel pake tatapan khawatir.

“Iya maaffff. Ini minggir nih, minggir udahan.”

Dirga senyum, tangannya naik keatas buat nge puk-puk kepala Damiel. “Anak pinter.”

Miel yang digituin cuman natep Dirga males, dikira dia masih anak-anak apa? Padahal dia sama Dirga itu tuaan dia, bukan Dirga!

Asik ngatain Dirga dalam hati, Miel nggak sadar kalo angkot yang mau dinaiki dia sama Dirga udah ngelewati mereka berdua.

“Kak, itu angkot yang mau dinaikin bukan sih?” Dirga nyadarin Miel sama pertanyaannya.

“Hah? Oh? LOH, DIR, ITU ANGKOTNYA. ADUH, GIMANA SIH KAMU, AYO LARI!!”

Dirga kaget sama bingung, jadi, cuman bisa ngikutin Damiel yang udah lari duluan sambil masang muka bengong.

“BANG, ANGKOT!” Miel teriak kenceng banget.

Angkotnya berhenti, Damiel cepet-cepet narik tangan Dirga buat masuk, takut ketinggalan lagi dia. Akhirnya, mereka masuk terus duduk di depan jendela kecil yang ada di angkot. Masih sama napas yang ngos-ngosan, Miel nyenderin kepalanya ke bahu Dirga.

“Bentar dulu, jangan protes. Aku capek,” cegah Miel waktu liat Dirga mau buka suara.

“Mangkanya, jangan ngelamun kalo dipinggir jalan, kena akibatnya 'kan sekarang.”

“Iya-iya, maaf. Udah diem, gausah ngomel. Mending kamu nikmatin angin sepoi-sepoi aja,” saran Damiel.

“Hm.”

“Mau kemana emang hari ini?” Dari kemarin Miel nggak mau ngasih tau rencananya ke Dirga, katanya biar surprise. Gatau aja dia, kalo semalem Dirga susah tidur gara-gara mikirin itu.

“Ke pasar! Nanti sebelum atau sesudah belanja kita cari mam duluuu,” jawab Miel sambil bisik-bisik.

“Ngebeliin titipan mama?”

“Nggak juga sih. Lebih tepatnya mau ngajak kamu keliling pasar, nanti kalo ada yang cocok tinggal comot kamu yang bayar, hehe.”

“Kan, pasti ada maksud dan tujuan tertentu,” Dirga natap Miel males.

“Hehehehe, sayang deh sama Dirgaaa.”

“Oh ya, Dir. Nanti pulangnya naik becak aja yuk, jangan yang becak motor tapi. Mau kan? Mau lah ya pasti,” pinta Damiel.

“Kenapa kok tiba-tiba minta naik becak? Kenapa nggak naik angkot aja?” Alih-alih menjawab, Dirga justru melontarkan pertanyaan juga.

“Ish, buat ngebantu bapak yang kerja jadi tukang becak. Kita nggak tau kan, apa beban yang lagi dipikul sama dia, jadi, setidaknya kita bisa bantu dia nge dapetin uang dengan cara itu.”

“Aduh, jadi makin sayang deh sama kakak.” Dirga memeluk Damiel sebentar, kalo lama-lama nanti dilihatin orang, malu.

Miel seneng banget, akhirnya keinginannya buat ngajak Dirga naik angkot sekaligus belanja ke pasar ke wujud juga. Itung-itung ngurangin polusi udara juga hemat uang. Minimarket mahal :D. Nanti, dia bakal sering-sering deh ngajakin Dirga jalan-jalan begini!

Serenity

Kim Junkyu, sosok pria tinggi penuh emosi, kini ia sedang berada di depan pintu gerbang rumahnya. Pukul 23.45 tepat, Junkyu baru memiliki niat untuk kembali pulang ke rumahnya. Sebelumnya, dirinya berada dirumah sang sahabat, Park Jihoon. Selama ber jam-jam ia berdiam di rumah Jihoon, untuk menenangkan diri dari kekacauan keluarganya. Pulang ke rumah adalah hal paling menyeramkan bagi Junkyu.

Kebanyakan orang berfikir bahwa rumah adalah tempat paling nyaman dari seluruh tempat di dunia ini. Tapi, bagi Junkyu tidak. Rumah adalah tempat terburuk dari yang paling buruk di dunia ini. Di rumah, ia selalu mendengarkan dan melihat kejadian tidak mengenakkan. Setelah berpikir beberapa menit, akhirnya Junkyu memberanikan diri membuka pintu gerbang rumah miliknya.

“Lo pasti bisa, Junkyu,” ucapnya menyemangati dirinya sendiri.

Perlahan namun pasti, langkah lebarnya mulai bergerak maju, menuju pintu masuk rumahnya. Harapannya hanya satu, semoga kondisi rumahnya sedang baik-baik saja.

“Sudah ku bilang itu bukan salah ku!” bentakan ayah Junkyu menyambut kedatangannya.

Ah, sepertinya keputusan untuk pulang bukanlah keputusan yang tepat bagi Junkyu. Pasalnya, kedua orangtuanya kembali bertengkar untuk kesekian kalinya. Junkyu tidak tahu-menahu tentang awal mula dan sebab-sebab datangnya pertengkaran antara kedua orangtuanya. Awalnya, mereka hanya beradu mulut saja, lalu keesokan harinya sudah berbaikan. Tapi, lama-kelamaan pertengkaran itu semakin parah. Bahkan mereka tidak segan-segan bermain tangan satu sama lain.

Junkyu lelah dengan semua ini, dua tahun ia memendam semuanya sendiri. Mencoba memahami keadaan, selalu bersabar juga berdoa. Namun, untuk kali ini dirinya tidak akan diam lagi, ia akan mencoba melerai pertikaian kedua orangtuanya.

“Mama, papa, stop!”

Mama dan papa Junkyu terkejut mendengar teriakkan anak sulung mereka, terlihat dari ekspresi yang dikeluarkan keduanya.

“Junkyu, kemana saja kamu nak? Ini sudah jam berapa? Kenapa baru pulang?” Papa Junkyu menyerang dengan berbagai pertanyaan, tak lupa wajah garang sebagai pelengkap.

“Satu, Junkyu habis dari rumah Jihoon. Dua, jam sebelas lebih lima puluh menit larut malam. Tiga, karena kalo Junkyu pulang, ya gini. Bukannya disambut sama kehangatan malah disambut sama peperangan,” jawab Junkyu rinci.

“Ini semua itu salah papa kamu, Jun! Coba aja waktu itu papa kamu nggak nyuri 70% harta nenek kamu, terus dibawa lari buat bayar hutangnya, pasti nggak bakal kayak gini akhirnya. Mana waktu ditanya nggak ngaku lagi,” mama Junkyu mulai membela diri.

“Enak aja! Kamu disini juga salah ya. Kakak kamu bikin Ibu saya meninggal, jadi ini semua itu salah kamu! Gara-gara kamu saya kehilangan Ibu satu-satunya!” Papa Junkyu mulai tersulut emosi.

“Gara-gara kamu juga, anak mu itu suka kelayapan dan pulang malam,” lanjut papa Junkyu.

prang

“STOP. JUNKYU BILANG STOP.”

Junkyu memecahkan sebuah guci berukuran sedang yang berada di ruang tamu. Amarah Junkyu kini mulai menguasai dirinya, padahal tadi ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk menyelesaikan masalah ini tanpa amarah. Tapi, ya mau bagaimana lagi, Junkyu tidak dapat menahan ataupun menguasai amarah dalam dirinya. Amarah adalah salah satu kelemahan dan musuh terbesar bagi Junkyu.

“Aku nggak suka kalian berantem terus. Aku udah berusaha buat nggak ikut marah, aku udah berusaha diem selama ini. Tapi, kali ini aku nggak bakal diem. Aku capek pa, ma. Capek denger kalian ribut mulu kerjaannya, capek tiap pulang ke rumah bukannya disambut ketawa bahagia, malah disambut kalian yang lagi adu mulut. Capek.”

Junkyu mulai membicarakan apa yang selama ini ingin ia bicarakan. Tentang bagaimana lelahnya dirinya, lelah akan fisik juga batin. Junkyu sudah lelah mengejar pendidikan diluar sana, berniat pulang kerumah untuk mendinginkan pikiran juga mengistirahatkan badan, tapi kedua orangtuanya menghancurkan keinginan Junkyu selama bertahun-tahun.

Masalah tentang neneknya yang meninggal itu sudah sangat lama, terhitung 4 tahun lamanya. Kenapa papanya masih memperdebatkan itu? Kenapa tidak sedari dulu saja mereka ribut? Kenapa baru dua tahun terakhir ini mereka mengungkit kejadian ini?

Dulu, memang sempat terjadi perang dingin antara papa dan mama Junkyu. Disini, keduanya sama-sama bersalah, jadi, pada saat itu Junkyu memilih diiam dan tidak bertindak apapun. Namun, semakin Junkyu biarkan, semakin parah juga pertikaian keduanya. Padahal, jika dilihat-lihat masalahnya tidak terlalu besar, jikalau mereka menyelesaikan dengan cara kekeluargaan, pasti masalah itu sudah selesai dari satu tahun yang lalu.

“Dia itu didikan kamu, suka kelayapan, emosian, persis banget sama kamu,” sang mama kembali memancing perkelahian.

Junkyu mendengarnya, ingin rasanya ia menancapkan serpihan guci yang dipecahkannya tadi di mulut mama dan papanya. Tetapi, Junkyu tidak sejahat itu. Ia masih memiliki rasa belas kasih.

Seperti mengambil kesempatan dalam kesempitan, orangtua Junkyu kembali bertengkar saat Junkyu sedang melamun. Saling menyalahkan, menuduh, juga menghina satu sama lain. Bahkan tak jarang kalimat menyakitkan tentang Junkyu keluar dari mulut keduanya. Sudah cukup. Junkyu tidak tahan lagi. Segera ia mengambil satu serpihan guci, lalu ditodongkan kedepan muka papanya.

“Junkyu udah bilangkan, berhenti, tapi kenapa kalian masih bertengkar?”

“Dan lagi, disini Junkyu nggak ada kaitannya sama masalah kalian, stop ngejelek jelekin Junkyu. Junkyu kayak gini bukan karena mama ataupun papa, tapi karena kalian berdua, garis bawahi, kalian berdua. Jadi, Junkyu begini itu SALAH KALIAN BERDUA. INGAT, BERDUA.”

Junkyu berusaha menahan amarahnya. Ia menggenggam erat serpihan guci yang diambilnya tadi guna menahan amarahnya yang siap meledak kapan saja. Tidak peduli tangannya mengeluarkan banyak darah atau apa nantinya, yang terpenting sekarang ia dapat menahan ledakan amarahnya sendiri. Ia tidak ingin hal buruk terjadi karena amarahnya.

Mama Junkyu memandang Junkyu remeh, “kamu emosian, pemarah, egois. Sikap buruk dari papa mu itu yang turun ke kamu. Kamu itu buruk, Junkyu.”

Mata Junkyu terbuka lebar, terkejut akan kalimat yang keluar dari mulut mama kandungnya. Seburuk itukah Junkyu dihadapannya? Ya, siap-siap saja, mamanya telah membangunkan singa lapar yang sedang tertidur.

“Junkyu buruk? Iya, saya memang buruk karena didikan anda. Dan ini, satu peringatan dari saya,” Junkyu menggoreskan serpihan guci ke area leher mamanya, tidak dalam namun cukup menyakitkan.

“Sudah cukup? Ah, atau malah ingin menambah lagi, Nyonya Kim?”

Nyonya Kim tidak menjawab, dirinya sibuk merintih kesakitan akibat luka gores yang dibuat oleh Junkyu. Hanya satu goresan, tapi entahlah, rasanya sangat sakit bagi Nyonya Kim. Sedangkan dibelakang Junkyu, ada Tuan Kim lengkap dengan wajah terkejutnya, beliau terkejut terheran-heran dengan tingkah laku putranya yang satu ini.

“Junkyu berhenti!”

“Ya? Ada apa Tuan Kim?”

Tuan Kim hanya menggeleng sebagai jawaban, wajah Junkyu saat ini sangat menyeramkan, ia tidak berani menatap wajah anaknya itu.

Mencoba memberanikan diri, Tuan Kim kembali membuka suara, “Junkyu, harusnya kamu tidak melakukan hal berbahaya seperti itu.”

Junkyu yang sedari tadi memandang mamanya, menolehkan kepala ke arah sang papa, “lalu apa yang harus saya lakukan? Melihat kalian bertengkar dan membiarkan mulut kotor perempuan ini mengatai saya, begitu?”

“Bukan gitu, Jun. Gimanapun juga dia itu mama kamu, dia yang melahirkan kamu ke dunia. Harusnya kamu menjaganya, bukan melukainya.”

Senyum remeh muncul diwajah Junkyu, “bukankah selama ini saya sudah menjaganya? Bukankah selama ini saya tetap diam walaupun perempuan ini menjelek-jelekkan saya? Bukankah selama ini ia yang TIDAK MENGANGGAP SAYA SEBAGAI ANAKNYA? Jadi, tidak ada salahnya saya memberi sedikit pelajaran kepada istri anda, Tuan Kim yang terhormat.”

“Setidaknya bersikaplah baik kepadanya bagaimanapun kondisinya!” bentak Tuan Kim kepada anaknya. Benar-benar mencari masalah kepada singa yang sedang kelaparan.

Sret

Goresan kecil cukup dalam tercipta ditangan kanannya, tentu saja ini ulah putranya, Junkyu Kim. Junkyu menatap papanya penuh amarah, selama ini ia sudah bersabar dan berusaha tidak ikut campur, tapi mengapa selalu ia yang disalahkan?

“Saya harap satu goresan itu dapat memberi pelajaran serta peringatan untuk kalian berdua. Saya izin pamit, jika saya masih bertahan disini, kemungkinan kalian mati dalam waktu dekat sangat besar. Jadi, saya memberikan waktu kepada kalian untuk menyelesaikan masalah ini dengan cara kekeluargaan tanpa ada adu mulut serta main tangan. Selesaikan dengan baik jika kalian masih ingin melihat putra kalian merubah sikap dan bertemu pasangan hidupnya, juga melihat indahnya dunia di masa depan. Saya permisi.”

Setelah mengucapkan beberapa kalimat panjang, Junkyu melangkahkan kakinya pergi. Entah kemana ia akan pergi, yang terpenting sementara ini ia harus menjauh dari kedua orangtuanya. Berbekal sebuah ponsel dan dompet, kaki panjangnya menyusuri gelapnya malam.

Hingga pukul 01.42 Junkyu masih berjalan menelusuri jalan dengan mata basah sebab air mata. Sepanjang perjalanan tadi ia menangis menyesali perbuatannya. Junkyu selalu melakukan hal tak terduga ketika ia marah, dan akan menyesali perbuatannya setelah amarahnya hilang, itu sudah menjadi kebiasaan bagi Junkyu.

Kakinya mulai lelah berjalan selama berjam-jam. Junkyu memilih beristirahat sebentar didepan sebuah rumah, tentu masih dengan mata yang mengeluarkan air mata penyesalan. Semakin diingat-ingat semakin deras pula tangis Junkyu.

“Jahat, lo jahat Junkyu. Harusnya lo ngejaga orang tua lo, bukannya ngelukain kayak tadi. Kim Junkyu lo kurang ajar.” Maki Junkyu kepada dirinya sendiri dengan lirih.

Sementara itu, ditempat lain ada sosok manusia yang terbangun dari tidurnya dan tak dapat kembali menutup mata. Ia adalah Mashiho. Padahal tadinya ia berencana tidur lebih awal agar esok bisa bangun lebih pagi, nyatanya ia terbangun pukul 02.00 pagi dan tak dapat tertidur kembali. Bukan pagi seperti ini yang dimaksud oleh Mashiho. Menyebalkan.

“Gak lagi deh tidur sore, bangunnya kepagian banget ini mah,” sesal Mashiho.

Karena bingung akan melakukan apa dihari yang terlalu pagi baginya, Mashiho memutuskan untuk bermain ponsel dan berselancar di aplikasi burung biru.

“Tapi asik juga bangun jam segini, bisa lanjutin baca au. Nangisin au jam segini enak kali ya, haha.”

Akhirnya ia kembali berbaring dengan tangan memegang ponsel juga kacamata anti radiasi yang bertengger di hidungnya. Memeluk erat guling kesayangannya, langsung saja matanya kembali membaca ketikan indah dari author favoritnya.

“TUHAN, INI GEMES BANGET ADUH GUE GAKUAT MAU PINGSAN AJA. KENAPA AD— mampus, kelepasan teriak..”

“Duh, dasar. Gara-gara kalian berdua pokoknya kalo ibu sampek bangun terus marahin aku. Salah kalian, awas aja kalo aku dimarahin.” Mashiho menunjuk-nunjuk ponselnya serta memarahi tokoh didalam cerita yang ia baca seakan-akan tokohnya itu hidup, padahal itu hanya sebatas fiksi. Makhluk tak kasat mata di kamar Mashiho pasti jengah melihat tingkah lakunya.

“Oke lanjut. Awas aja kalo kalian bikin aku teriak gemes lagi, aku bak—”

Ucapan Mashiho berhenti ketika ia mendengar suara tangis yang tidak terlalu keras namun sedikit menyakitkan baginya. Sepertinya suaranya berasal dari depan rumah Mashiho, haruskah ia mengecek nya?

“Cek nggak ya enaknya? Nanti kalo aku cek tiba-tiba kosong nggak ada orang 'kan gak lucu..”

“Halah nanti kalo misal hantu atau semacamnya tinggal tak bacain do'a juga hilang. Tapi, ya semoga aja orang, jangan hantu.” Mashiho menyakinkan dan menyemangati dirinya sendiri agar tidak takut pergi keluar.

Klek

Bunyi handle pintu depan rumah Mashiho ketika sang penghuni memberanikan diri membuka pintu. Hal pertama yang dilakukan Mashiho adalah melihat sisi kanan rumahnya, karena tadi ia mendengar suara dari kamarnya. Fyi, kamar Mashiho berada disebelah kanan depan Rumahnya. Dan benar! Ada seseorang yang sedang menangis dengan kepala menunduk.

Tanpa berpikir panjang, Mashiho menghampiri orang tersebut. Menepuk pundaknya pelan, lalu duduk disamping orang tersebut. Orang yang sedang menangis didepan rumah Mashiho adalah Junkyu.

“Maaf, lehermu nanti sakit kalo nangisnya nunduk gitu. Mau pinjem pundak ku sebentar nggak? Kalo nggak mau gapapa sih, tapi nangisnya jangan nunduk nanti leher mu bakal sakit,” ucap sekaligus tawar Mashiho kepada orang asing didepannya.

Junkyu mendongak menatap mata Mashiho sebentar, lalu menganggukkan menyetujui tawaran Mashiho.

Mashiho bergegas duduk di sampingnya, “maaf, sini kepalanya.” Dengan lembut Mashiho mengarahkan kepala Junkyu menuju ke arah pundaknya.

Oh, tunggu. Mata Mashiho menatap cairan merah yang sudah agak kering di kedua tangan Junkyu.

“Tanganmu terluka? Sebentar, nyender nya bentar dulu ya, aku ambilin kotak P3K dulu biar tangannya enggak infeksi. Bentar ya, kamu nyender tembok dulu aja. Bentar,” ujar Mashiho panik, lalu meninggalkan Junkyu diluar sendirian untuk mengambil kotak P3K di kamarnya.

Mashiho mengacak-acak kamarnya, ia mencoba mengingat juga mencari dimana terakhir kali ia menyimpan kotak kesehatan itu. Tubuh mungilnya naik keatas kasur, ketemu! Segera ia turun dari kasur dan berlari secepat kilat menemui orang asing di depan rumahnya tadi.

“Hah, hah, maaf ya lama. Aku lupa naruhnya dimana tadi.”

Mashiho segera duduk disamping Junkyu dengan napas yang masih memburu, menarik kepala Junkyu pelan lalu ia sandarkan di pundaknya. Tangannya menarik kedua tangan milik Junkyu dan mulai mengobatinya.

“Nama kakak siapa? Biar aku gampang nyebutnya, hehe,” tanya Mashiho disela-sela kegiatannya.

“Junkyu.”

“Oke, Kak Junkyu. Kakak pasti lagi ada masalah berat ya? Nangis aja nggak papa kak, tumpahin semuanya disini biar lega sekalian.”

Menuruti suruhan Mashiho, Junkyu kembali menangis. Kali ini tangisannya lebih keras dan lebih menyakitkan. Pikirannya kembali memikirkan perkataan serta perbuatannya yang kurang ajar terhadap kedua orangtuanya tadi. Semakin ia memikirkan semakin deras pula air mata berjatuhan.

Mashiho rasanya ingin ikut menangis mendengar tangisan penyesalan Junkyu. Apalagi dirinya adalah orang yang cengeng dan tak tegaan. Setelah mengobati dan memastikan luka pada tangan Junkyu tertutup, Mashiho memberikan pelukan hangat kepada Junkyu.

“Maaf kalo aku kurang sopan karena meluk tanpa izin, tapi aku rasa Kak Junkyu butuh pelukan. Jadi, aku ngasih pelukan ini ke kakak, kalo semisal kakak kurang nyaman bilang ya, kak.”

Junkyu hanya diam mendengar ucapan Mashiho. Pelukan Mashiho nyaman, sangat nyaman baginya. Ia tidak akan merasa terganggu jika Mashiho memeluknya seperti ini selama berjam-jam, pelukan Mashiho benar-benar sangat hangat juga nyaman. Junkyu mencari posisi nyaman dalam pelukan Mashiho dan melanjutkan acara menangisnya.

“Kak, berat ya?” Mashiho mulai membuka suara.

Mashiho mengelus punggung Junkyu dahulu untuk menenangkan nya sebelum melanjutkan ucapannya. “Hidup itu kayak cerita, Kak. Bedanya yang jadi penulis itu yang diatas, bukan manusia. Di kehidupan juga ada yang namanya orientasi, komplikasi, klimaks, resolusi, juga koda. Kali ini, Kak Junkyu lagi berada di puncaknya cerita, yaitu klimaks atau konflik. Aku nggak tau sebesar atau seberat apa masalah yang lagi Kak Junkyu lalui sampek rela pergi dari rumah.”

Air mata Junkyu perlahan mulai berhenti, masih dengan posisi memeluk Mashiho, Junkyu dengan seksama menyimak tiap kata yang keluar dari mulut orang baik nan hangat itu.

“Saranku, kakak harus berusaha nyari solusi dari masalah kakak ini. Jangan terus-terusan sedih, nanti air matanya habis! Gimana pun solusi yang bakal kakak dapet nanti, disyukurin aja ya, jangan makin sedihhh. Hidup nggak selalu bahagia juga nggak selalu sedih. Ada kalanya kakak ngerasa bahagia bangetttt, tapi tiba-tiba sepuluh menit kemudian ada kesedihan yang dateng ke hidup kakak. Begitu juga dengan solusi. Bisa jadi nanti solusi itu bikin hidup kakak lebih bahagia dari sebelumnya, tapi bisa juga bikin kakak sedih. Pokoknya, apapun hasilnya nanti kakak harus terus bahagia juga bersyukur!”

“Sebelumnya, namaku Mashiho kalo kakak pengen tau,” ucap Mashiho sesaat sebelum Junkyu mengeluarkan kata-katanya.

“Gue capek hidup nggak bahagia terus, Shi. Gimana kalo nantinya solusi itu malah bikin hidup gue makin gelap? Gue juga pengen bahagia kayak orang lain..” Junkyu mencurahkan sedikit isi hatinya.

“Hei, nooo! Jangan berpikir gituu, gak baik. Kakak pasti bahagia, pasti. Cuma, lagi tertunda aja kebahagiaan nya sama masalah yang nimpa kakak. Jangan berpikir jelek terus, inget, pikiran sama ucapan bisa jadi kenyataan loh. Seperti yang aku bilang tadi, gimanapun hasil akhir solusinya, usahain kakak nerima dengan lapang dada. Aku tau itu sulit, tapi nggak ada salahnya mencoba hal baru dan mengikhlaskan, bukan? Dan lagi, semua orang nggak tentu bahagia, Kak. Setiap makhluk dimuka bumi tuh dikasih masalahnya sendiri, ada yang berat, ada yang ringan, tergantung yang maha kuasa aja sih. Jangan selalu ngerasa kurang sama apa yang terjadi di hidup kakak, jangan selalu ngeluh, bersyukur aja sama yang terjadi. Kakak nggak tau kan apa yang bakal terjadi selanjutnya? Apa yang bakal dateng di kehidupan kakak baik itu kebahagiaan maupun kesedihan, kakak gatau kan? Maka dari itu ayo bersyukur! Hilangin pikiran yang jelek-jelek ganti sama pikiran baik. Kalo kakak rajin bersyukur, kehidupan kakak pasti bakal lebih adem, lebih bahagia juga. Udah ah, aku capek ngomong.”

Benar kata Mashiho, selama ini Junkyu hanya mengeluh tak pernah bersyukur. Selalu merasa kurang dengan apa yang ia miliki. Selalu merasa paling tersakiti, padahal diluar sana ada yang jauh lebih tersakiti juga tersiksa daripadanya. Mashiho memberikan nasehat sekaligus pelajaran juga pelukan hangat untuknya. Sejauh ini, Junkyu tidak pernah sedekat ini dengan orang asing.

“Mashiho, gue mau cerita.”

Mashiho terkejut tentu saja. Pasalnya, mereka baru berkenalan 1 jam yang lalu, kenapa cepat sekali Junkyu mempercayainya?

“Anu kak.. bukannya gamau denger ceritanya, tapi ini kakak beneran yakin mau cerita ke aku. Maksudnya, kita kan barusan banget kenal, apa gak takut kalo nanti aku bocor atau gimana gitu?” tanya Mashiho.

Junkyu menggeleng, perlahan melepaskan diri dari pelukan hangat milik Mashiho. Netra hitam sedikit memerah itu menatap dalam indra penglihatan lawan bicaranya. “Gue yakin lo nggak bakal kayak gitu. Gue udah percaya sama lo, Mashiho.”

Mashiho mengangguk mengerti, “yaudah kalo keputusan kakak gitu. Aku bakal nyoba tutup mulut, tapi aku nggak janji, soalnya bisa aja aku khilaf.”

Junkyu mulai menceritakan kisah hidupnya. Mulai dari kejadian empat tahun yang lalu, dilanjut dengan perang dingin kedua orangtuanya. Bagaimana sikap mereka dua tahun terakhir ini. Juga perlakuan Junkyu kepada mereka malam tadi yang membuat Junkyu menangis sesal di depan rumah Mashiho.

Mashiho hanya diam mendengarkan, tak berniat untuk berbicara. Ia akan menunggu lawan bicaranya selesai bercerita, barulah dirinya menyuarakan pendapat serta beberapa saran.

Dirasa Junkyu sudah diam dan kembali memeluknya, Mashiho mencoba mengeluarkan suara. “Udah kak ceritanya?”

“Udah. Lo boleh ngomong sekarang, marahin gue juga gapapa, Shi.”

“Ini masalah keluarga, jadi aku nggak berhak ikut campur. Tapi, aku mau kasih saran buat nyari solusinya. Coba kakak kumpulin dua keluarga besar dari pihak ibu dan ayah kakak. Cari tahu siapa yang salah, dan buat mereka minta maaf. Ini bakal sulit, soalnya nggak setiap orang dengan gampang mau ngucapin kata 'maaf' secara cuma-cuma. Beberapa dari mereka pasti punya gengsi yang besar. Kunci biar lepas dari permasalahan ini sebenernya cuman minta maaf, memaafkan, sama mengikhlaskan aja. Tapi, nggak semua manusia bisa dengan mudah nerima tiga kunci yang aku sebutin tadi. Jadi, ya, setidaknya kakak harus bisa bikin beberapa dari mereka luluh.”

“Tenang aja, nanti aku bantu kalo aku bisa dan dibolehin,” tambah Mashiho.

Junkyu mencoba mencerna seluruh ucapan Mashiho tadi. Akankah ia bisa membuat kedua orangtuanya kembali seperti dulu? Atau, solusi ini nantinya akan menambah buruk keadaan? Permasalahannya, mama dan papa Junkyu adalah orang yang keras kepala serta memiliki gengsi yang tinggi. Junkyu menjadi ragu akan melangkah mengingat dua sifat orang tuanya itu.

“Istirahat yuk, nanti lagi mikirnya. Udah mau subuh loh, kakak apa nggak capek daritadi jalan sama nangis terus?” ajak Mashi.

“Capek sih. Tapi gue nggak mau pulang..” ujar Junkyu lirih.

“Mau nginep?”

“Boleh emang?”

“Boleh donggg. Kebetulan ada satu kamar tamu di rumahku, ayo masuk, istirahat,” ajak Mashiho lagi.

“Tapi, gue belum nemu solusi masalah ini. Nanti tidur gue nggak tenang,” tolak Junkyu.

Mashiho meraih kepala Junkyu, ia hadapkan tepat didepan matanya. “Kakak kecapekan. Istirahat.”

“Besok dipikir lagi, yang penting sekarang istirahat dulu. Otak, tubuh, sama batin kakak perlu istirahat,” ucap Mashiho sambil memasang wajah garang.

“Iya-iya, ayo istirahat,” pasrah Junkyu.

“Besok jalan-jalan yuk, nyari makanan, atau main-main ke pantai gituuu. Mau nggak? Biar pikiran kakak nggak stress. Kakak perlu liburan sebelum nanti nge hadapin hal berat, lagi.”

“Boleh, udah lama nggak jalan-jalan,” setuju Junkyu.

“Yeayyyy. Oke, sekarang istirahat dulu biar nanti seger,” sorak Mashiho semangat.

Agaknya memang benar saran dari Mashiho. Ia harus mencari hiburan dan menenangkan diri dahulu sebelum nantinya akan menghadapi hal berat. Satu hari atau dua hari mungkin tidak masalah. Mashiho sangat membantu dirinya malam ini, ia harus berterimakasih padanya.

“Kak junkyu, halo? Kak! Heh, jangan ngelamunnn.” Mashiho menggoyang-goyangkan badan Junkyu yang sedang melamun.

“Eh, iya, maaf tadi lagi ngelamun.”

Mashiho menggeleng-gelengkan kepalanya. “Hah, dasar. Yaudah sana masuk, itu kamarnya,” tunjuk Mashiho kepada kamar berpintu coklat gelap.

“Istirahat. Jangan banyak mikir, nanti kan mau jalan-jalan, hehe.”

“Iya, Mashiho.”

“Oh, iya! Kalo perlu apa-apa ketuk aja pintu kamar putih yang di depan, itu kamarku. Oke, bye-bye, aku mau tidurrr.” Pamit Mashiho.

“Mashiho, tunggu,” cegah Junkyu.

“Ya?”

“Makasih, ya.”

Mashiho mengerutkan keningnya, “huh? Buat?”

“Semuanya. Makasih buat nasehat, pelukan, makasih juga udah mau ngobatin tangan gue. Makasih banyak. Maaf kalo sekiranya gue ngerepotin.”

“Em.. Mashiho, gue boleh minta sesuatu nggak? Gue tau ini aneh karena kita baru banget kenalan, tapi gue rasa, ini perlu buat diungkapin. Gue boleh minta lo tetep jadi temen gue 'kan kedepannya? Jujur, pelukan lo nyaman, hangat juga. Nasehat lo bikin gue tergerak, gue.. mau lo disamping gue terus, Shiho. Gue nyaman ada di deket lo.”

Mashiho tersenyum tipis. “Aku nggak bisa janji, tapi aku bakal berusaha ada disamping kamu terus, ngasih kamu pelukan hangat, juga nasehat sama kata-kata semangat. Kamu jangan khawatir, kedepannya kita bakal sama-sama terus, kok! Udah sana masuk kamar, udah mau subuh.”

“Mashiho, gue sayang, sayanggggggggggg banget sama lo. Walaupun kenyataannya kita baru kenal beberapa jam yang lalu. Gue janji. Gue bakal jagain lo, gue janji bakal ada disamping lo terus. Gue juga janji, gue bakal berusaha nyelesain masalah ini dengan cara baik-baik tanpa amarah sedikitpun.”

selesai.

Serenity.

talk in the rain with d couple.

Kim Doyoung as Dirga Prayoga. Bang Yedam as Damiel Rayiman.

Kini Dirga terjebak dirumah sang kekasih setelah puas mengelilingi kota berdua. Awalnya Dirga berniat untuk pulang, tapi ternyata alam tidak menyetujui keputusan nya itu. Awan mendung berkumpul dan menutupi cerahnya langit, lalu menumpahkan air matanya. Ya, hujan deras datang mengguyur kota kecil tempat tinggal Dirga dan Damiel.

Ibu Miel menyuruh Dirga untuk menginap disini saja. Karena menurut perkiraan nya, hujan akan awet hingga larut nanti. Dengan senang hati Dirga menerima suruhan ibu Damiel.

Dan disinilah Dirga sekarang. Didalam kamar bernuansa abu-abu dengan langit-langit berwarna hitam gelap. Kamar milik Damiel Rayiman yang tercinta. Lebih tepatnya kamar miliknya juga. Dirga sudah berkali-kali menginap dikediaman Rayiman. Orang tua Damiel juga oke-oke saja selagi mereka tidak berbuat yang melebihi batas wajar. Bahkan, beberapa baju Dirga sengaja ditinggal dilemari milik Damiel.

Dirga membaringkan tubuhnya dikasur empuk, dilengkapi dengan Damiel disebelahnya. Segera saja ia rengkuh pinggang kakaknya, dan ia masukkan kedalam pelukannya. Hujan-hujan begini, enaknya berpelukan bukan?

“Untung aja tadi nggak pulang dulu. Coba kalo pulang, pasti kamu kehujanan sekarang” ucap Damiel membuka percakapan.

“Heem. Untung aja tadi dompet aku ketinggalan, coba kalo nggak? Besok pasti aku sakit.” Memang tadi dompet milik Dirga sempat tertinggal dimeja ruang tamu dan Dirga meminta Damiel untuk mengambilnya. Fyi, Dirga memiliki fisik yang lemah dan mudah sakit.

“Kak, hujan hujan gini enaknya flashback masa lalu sambil pelukan deh” ucap Dirga yang balas anggukan kepala oleh Damiel.

“Dulu, waktu pertama kita kenal lucu banget nggak sih? Pada saling malu malu gitu, haha gemes.”

“Bener. Sekarang malah nggak ada malu-malu nya” setuju Damiel.

“Waktu kamu nembak aku juga kocak banget tau, Dir” Miel mencoba memutar kembali ingatannya saat Dirga Prayoga menyatakan perasaan kepada dirinya.

Saat itu, Dirga adalah anak pendiam yang sangat ditakuti oleh seluruh murid sekolah. Terkecuali Damiel. Bukannya takut, Damiel justru menantang lelaki itu. Mengajaknya lomba makan oreo. Sangat kekanak-kanakan bukan? Tapi dari lomba itu lah, kisah kasih keduanya tercipta.

Semenjak lomba aneh yang diadakan oleh Damiel, Dirga menjadi pribadi lebih terbuka. Tidak sesuram dulu. Juga, mencoba menjadi lebih percaya diri. Menyatakan perasaan, contohnya.

Dua minggu pasca pertemuan aneh itu, Dirga meyakinkan diri untuk menyatakan perasaannya kepada kakak tingkat nya itu. Bermodal satu buket makanan ringan, dirinya sukses menjadi pasangan Damiel Rayiman. 21 Februari 2019, lelaki berbakat kesayangan para guru itu kini resmi menjadi miliknya.

“Aneh banget dulu kamu nembak pake jajanan gitu,” komentar Miel.

“Aneh-aneh gitu juga kamu terima.”

“Ya gimana ya, udah kelanjur suka sih. Apalagi waktu inget muka kaget mu pas aku tantang, itu lucu banget HAHA” ledek Damiel.

“Iya-iya, terserah mu” pasrah Dirga.

“Tau nggak? Kenapa orang-orang lebih suka anggur merah daripada anggur hitam? Padahal kebanyakan anggur hitam itu manis” pertanyaan aneh mulai muncul dari mulut Dirga.

Damiel memasang wajah kesal. Ia tidak suka diberi pertanyaan yang menggunakan perumpamaan seperti ini. “Nggak, emang kenapa?”

“Lagian nggak semua anggur hitam manis tau, Dir” protes Damiel.

“Kan kebanyakan sayang, bukan semuanya.”

“Yayaya. Jadi, kenapa?”

“Gatau sih, aku juga asal ngasih pertanyaan.”

Astaga, inilah kenapa dirinya sangat tidak menyukai jika Dirga sudah berbicara menggunakan perumpamaan.

“Untung aku sayang sama kamu ya, Dir. Coba kalo nggak,” balas Damiel sedikit emosi.

“Haha, maaf.”

Keheningan kembali menyelimuti mereka. Baik Dirga maupun Damiel saling larut dalam hangatnya pelukan. Terhitung hampir setiap hari mereka berpelukan seperti ini, tapi entahlah kali ini rasanya sedikit berbeda. Mungkin efek dari nostalgia mereka tentang dua tahun yang lalu tadi.

Dirga mencari kenyamanan lalu mengelus-elus punggung Damiel. “Kak, tau nggak? Dulu aku sempet pengen mutusin kamu tau.”

Seperti dugaannya, Damiel terkejut bukan main. Bahkan sampai melepas pelukan mereka. Tidak lupa mata melotot sebagai pelengkapnya.

“Kamu.. serius?”

태풍이 몰아쳐도 Bahkan jika topan melanda

Dirga mengangguk, “iya. Aku dulu sempet di ejek nggak pantes buat jadi pacarmu. Kamu terlalu emas buat aku yang alumunium, haha. Tapi aku nggak nyerah.”

비바람이 불어도 Sekalipun hujan dan angin bertiup

“Aku juga sempet dibully, sebentar doang sih. Ya, tapi tetep aja membekas banget buat aku. Mereka bilang aku itu cuman benalu buat kamu. Aku nyusahin kamu. Aku nggak pantes ada di samping kamu.”

Dirga melirik Damiel sebentar, dengan segera ia meraih tubuh mungil kekasihnya itu. Kembali dibawa ke dekapannya. Ia tahu, kakaknya ini sedang menahan tangis. Damiel tidak protes, dirinya memang membutuhkan dekapan hangat milik Dirga.

너와 나 언제나 우리일 테니 Kamu dan aku Akan selalu menjadi kami

“Awalnya aku mau nyerah, kak. Jujur aja aku capek. Banget malah. Tapi tiap aku mau nyerah aku inget senyum kakak, inget wajah bahagia kakak. Aku jadi mikir, nanti kalo aku nyerah, kakak pasti bakal sedih. Senyum kakak pasti bakal hilang. Dan aku, bakal jadi penyebab hilangnya senyum kaka, kalo misal aku beneran nyerah.”

Sekuat apapun Damiel menahan tangisnya, pada akhirnya akan jatuh juga. Damiel membayangkan betapa menyakitkan omongan orang yang Dirga terima saat itu. Pasti berat melewati masa-masa itu sendirian. Terlebih lagi, dirinya baru tahu setelah 2 tahun menjadi pacar Dirga Prayoga. Pacar macam apa dia ini.

고마워 Terima kasih

“Dirga.. makasih.”

(Thank you for being on my side) (Terima kasih telah berada di sisiku)

“Makasih udah mau bertahan. Makasih udah milih tetep bareng sama aku. Maaf, gara-gara aku kamu jadi nerima banyak komentar buruk. Sekali lagi, makasih udah mau terus disamping aku, Dirga.”

너와 함께 걸어갈 수 있어서 Aku bisa berjalan denganmu

“Hei, kamu nggak salah. Jangan minta maaf,” Dirga mengusap air mata Damiel. “Aku harusnya yang berterima kasih sama kamu. Dari kamu, aku belajar gimana kerasnya dunua pendidikan. Dari kamu, aku bisa menjadi pribadi yang terurus dan rajin. Dan dari kamu, aku nggak ngerasa sendirian lagi. Aku punya kamu buat aku ajak ngelewatin kejamnya dunia.”

(Thank you for being on my side) (Terima kasih telah berada di sisiku)

“Terimakasih juga buat kamu, Damiel. Makasih udah mau sabar ngadepin candaan aku yang garing krius nyes. Makasih udah mau ngajarin anak pemalas dan urakan ini menjadi pribadi yang lebih baik. Terimakasih sebanyak-banyaknya, dari Dirga Prayoga untuk Damiel Rayiman.”

Mata Damiel kembali menurunkan air mata. Ah, memang ya, Dirga Prayoga selalu bisa membuat dirinya menangis terharu.

힘든 세상 서로 기댈 수 있어서 Karena kita bisa bersandar pada satu sama lain di dunia yang sulit

“Udah ah, jangan nangis mulu, jelek” ledek Dirga.

“Kamu yang bikin aku nangis tauuuu” kesal Damiel, lalu dengan segera ia menghapus air matanya.

“Tetep bareng sama aku ya, Dir? Ini lebay tapi kenyataan, aku nggak tau gimana nantinya kalo nggak ada kamu disamping ku. Aku orangnya gampang kepikiran, semua yang belum aku lewati udah aku pikirin dulu. Dan berakhir aku nggak berani buat maju. Tapi, tiap aku lagi kepikiran dan takut, selalu ada kamu yang ngasih aku semangat. Ada kamu yang bilang kalo kedepannya bakal baik-baik aja, dari kamu juga aku bisa dapet kekuatan. Tetep sama aku ya, Dir. Dunia kedepannya bakal lebih kejam dari ini, dan aku butuh kamu buat ngelewatin semua itu.”

“Aku nggak janji bakal terus bareng kamu, tapi aku bakal berusaha biar aku selalu ada disamping mu” jawab Dirga.

Dirga dan Damiel, keduanya saling melengkapi dan menyayangi. Dirga membutuhkan Damiel untuk melewati kerasnya dunia seperti tanaman yang selalu membutuhkan sinar matahari. Begitu juga dengan Damiel yang juga membutuhkan Dirga dalam kehidupannya. Semoga Dirga dan Damiel tetap bersama hingga kakek-nenek serta selalu bahagia.

—end.

#nb : jika ada kritik, saran, atau yang lainnya https://curiouscat.qa/jaydenies