Serenity
Kim Junkyu, sosok pria tinggi penuh emosi, kini ia sedang berada di depan pintu gerbang rumahnya. Pukul 23.45 tepat, Junkyu baru memiliki niat untuk kembali pulang ke rumahnya. Sebelumnya, dirinya berada dirumah sang sahabat, Park Jihoon. Selama ber jam-jam ia berdiam di rumah Jihoon, untuk menenangkan diri dari kekacauan keluarganya. Pulang ke rumah adalah hal paling menyeramkan bagi Junkyu.
Kebanyakan orang berfikir bahwa rumah adalah tempat paling nyaman dari seluruh tempat di dunia ini. Tapi, bagi Junkyu tidak. Rumah adalah tempat terburuk dari yang paling buruk di dunia ini. Di rumah, ia selalu mendengarkan dan melihat kejadian tidak mengenakkan. Setelah berpikir beberapa menit, akhirnya Junkyu memberanikan diri membuka pintu gerbang rumah miliknya.
“Lo pasti bisa, Junkyu,” ucapnya menyemangati dirinya sendiri.
Perlahan namun pasti, langkah lebarnya mulai bergerak maju, menuju pintu masuk rumahnya. Harapannya hanya satu, semoga kondisi rumahnya sedang baik-baik saja.
“Sudah ku bilang itu bukan salah ku!” bentakan ayah Junkyu menyambut kedatangannya.
Ah, sepertinya keputusan untuk pulang bukanlah keputusan yang tepat bagi Junkyu. Pasalnya, kedua orangtuanya kembali bertengkar untuk kesekian kalinya. Junkyu tidak tahu-menahu tentang awal mula dan sebab-sebab datangnya pertengkaran antara kedua orangtuanya. Awalnya, mereka hanya beradu mulut saja, lalu keesokan harinya sudah berbaikan. Tapi, lama-kelamaan pertengkaran itu semakin parah. Bahkan mereka tidak segan-segan bermain tangan satu sama lain.
Junkyu lelah dengan semua ini, dua tahun ia memendam semuanya sendiri. Mencoba memahami keadaan, selalu bersabar juga berdoa. Namun, untuk kali ini dirinya tidak akan diam lagi, ia akan mencoba melerai pertikaian kedua orangtuanya.
“Mama, papa, stop!”
Mama dan papa Junkyu terkejut mendengar teriakkan anak sulung mereka, terlihat dari ekspresi yang dikeluarkan keduanya.
“Junkyu, kemana saja kamu nak? Ini sudah jam berapa? Kenapa baru pulang?” Papa Junkyu menyerang dengan berbagai pertanyaan, tak lupa wajah garang sebagai pelengkap.
“Satu, Junkyu habis dari rumah Jihoon. Dua, jam sebelas lebih lima puluh menit larut malam. Tiga, karena kalo Junkyu pulang, ya gini. Bukannya disambut sama kehangatan malah disambut sama peperangan,” jawab Junkyu rinci.
“Ini semua itu salah papa kamu, Jun! Coba aja waktu itu papa kamu nggak nyuri 70% harta nenek kamu, terus dibawa lari buat bayar hutangnya, pasti nggak bakal kayak gini akhirnya. Mana waktu ditanya nggak ngaku lagi,” mama Junkyu mulai membela diri.
“Enak aja! Kamu disini juga salah ya. Kakak kamu bikin Ibu saya meninggal, jadi ini semua itu salah kamu! Gara-gara kamu saya kehilangan Ibu satu-satunya!” Papa Junkyu mulai tersulut emosi.
“Gara-gara kamu juga, anak mu itu suka kelayapan dan pulang malam,” lanjut papa Junkyu.
prang
“STOP. JUNKYU BILANG STOP.”
Junkyu memecahkan sebuah guci berukuran sedang yang berada di ruang tamu. Amarah Junkyu kini mulai menguasai dirinya, padahal tadi ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk menyelesaikan masalah ini tanpa amarah. Tapi, ya mau bagaimana lagi, Junkyu tidak dapat menahan ataupun menguasai amarah dalam dirinya. Amarah adalah salah satu kelemahan dan musuh terbesar bagi Junkyu.
“Aku nggak suka kalian berantem terus. Aku udah berusaha buat nggak ikut marah, aku udah berusaha diem selama ini. Tapi, kali ini aku nggak bakal diem. Aku capek pa, ma. Capek denger kalian ribut mulu kerjaannya, capek tiap pulang ke rumah bukannya disambut ketawa bahagia, malah disambut kalian yang lagi adu mulut. Capek.”
Junkyu mulai membicarakan apa yang selama ini ingin ia bicarakan. Tentang bagaimana lelahnya dirinya, lelah akan fisik juga batin. Junkyu sudah lelah mengejar pendidikan diluar sana, berniat pulang kerumah untuk mendinginkan pikiran juga mengistirahatkan badan, tapi kedua orangtuanya menghancurkan keinginan Junkyu selama bertahun-tahun.
Masalah tentang neneknya yang meninggal itu sudah sangat lama, terhitung 4 tahun lamanya. Kenapa papanya masih memperdebatkan itu? Kenapa tidak sedari dulu saja mereka ribut? Kenapa baru dua tahun terakhir ini mereka mengungkit kejadian ini?
Dulu, memang sempat terjadi perang dingin antara papa dan mama Junkyu. Disini, keduanya sama-sama bersalah, jadi, pada saat itu Junkyu memilih diiam dan tidak bertindak apapun. Namun, semakin Junkyu biarkan, semakin parah juga pertikaian keduanya. Padahal, jika dilihat-lihat masalahnya tidak terlalu besar, jikalau mereka menyelesaikan dengan cara kekeluargaan, pasti masalah itu sudah selesai dari satu tahun yang lalu.
“Dia itu didikan kamu, suka kelayapan, emosian, persis banget sama kamu,” sang mama kembali memancing perkelahian.
Junkyu mendengarnya, ingin rasanya ia menancapkan serpihan guci yang dipecahkannya tadi di mulut mama dan papanya. Tetapi, Junkyu tidak sejahat itu. Ia masih memiliki rasa belas kasih.
Seperti mengambil kesempatan dalam kesempitan, orangtua Junkyu kembali bertengkar saat Junkyu sedang melamun. Saling menyalahkan, menuduh, juga menghina satu sama lain. Bahkan tak jarang kalimat menyakitkan tentang Junkyu keluar dari mulut keduanya. Sudah cukup. Junkyu tidak tahan lagi. Segera ia mengambil satu serpihan guci, lalu ditodongkan kedepan muka papanya.
“Junkyu udah bilangkan, berhenti, tapi kenapa kalian masih bertengkar?”
“Dan lagi, disini Junkyu nggak ada kaitannya sama masalah kalian, stop ngejelek jelekin Junkyu. Junkyu kayak gini bukan karena mama ataupun papa, tapi karena kalian berdua, garis bawahi, kalian berdua. Jadi, Junkyu begini itu SALAH KALIAN BERDUA. INGAT, BERDUA.”
Junkyu berusaha menahan amarahnya. Ia menggenggam erat serpihan guci yang diambilnya tadi guna menahan amarahnya yang siap meledak kapan saja. Tidak peduli tangannya mengeluarkan banyak darah atau apa nantinya, yang terpenting sekarang ia dapat menahan ledakan amarahnya sendiri. Ia tidak ingin hal buruk terjadi karena amarahnya.
Mama Junkyu memandang Junkyu remeh, “kamu emosian, pemarah, egois. Sikap buruk dari papa mu itu yang turun ke kamu. Kamu itu buruk, Junkyu.”
Mata Junkyu terbuka lebar, terkejut akan kalimat yang keluar dari mulut mama kandungnya. Seburuk itukah Junkyu dihadapannya? Ya, siap-siap saja, mamanya telah membangunkan singa lapar yang sedang tertidur.
“Junkyu buruk? Iya, saya memang buruk karena didikan anda. Dan ini, satu peringatan dari saya,” Junkyu menggoreskan serpihan guci ke area leher mamanya, tidak dalam namun cukup menyakitkan.
“Sudah cukup? Ah, atau malah ingin menambah lagi, Nyonya Kim?”
Nyonya Kim tidak menjawab, dirinya sibuk merintih kesakitan akibat luka gores yang dibuat oleh Junkyu. Hanya satu goresan, tapi entahlah, rasanya sangat sakit bagi Nyonya Kim. Sedangkan dibelakang Junkyu, ada Tuan Kim lengkap dengan wajah terkejutnya, beliau terkejut terheran-heran dengan tingkah laku putranya yang satu ini.
“Junkyu berhenti!”
“Ya? Ada apa Tuan Kim?”
Tuan Kim hanya menggeleng sebagai jawaban, wajah Junkyu saat ini sangat menyeramkan, ia tidak berani menatap wajah anaknya itu.
Mencoba memberanikan diri, Tuan Kim kembali membuka suara, “Junkyu, harusnya kamu tidak melakukan hal berbahaya seperti itu.”
Junkyu yang sedari tadi memandang mamanya, menolehkan kepala ke arah sang papa, “lalu apa yang harus saya lakukan? Melihat kalian bertengkar dan membiarkan mulut kotor perempuan ini mengatai saya, begitu?”
“Bukan gitu, Jun. Gimanapun juga dia itu mama kamu, dia yang melahirkan kamu ke dunia. Harusnya kamu menjaganya, bukan melukainya.”
Senyum remeh muncul diwajah Junkyu, “bukankah selama ini saya sudah menjaganya? Bukankah selama ini saya tetap diam walaupun perempuan ini menjelek-jelekkan saya? Bukankah selama ini ia yang TIDAK MENGANGGAP SAYA SEBAGAI ANAKNYA? Jadi, tidak ada salahnya saya memberi sedikit pelajaran kepada istri anda, Tuan Kim yang terhormat.”
“Setidaknya bersikaplah baik kepadanya bagaimanapun kondisinya!” bentak Tuan Kim kepada anaknya. Benar-benar mencari masalah kepada singa yang sedang kelaparan.
Sret
Goresan kecil cukup dalam tercipta ditangan kanannya, tentu saja ini ulah putranya, Junkyu Kim. Junkyu menatap papanya penuh amarah, selama ini ia sudah bersabar dan berusaha tidak ikut campur, tapi mengapa selalu ia yang disalahkan?
“Saya harap satu goresan itu dapat memberi pelajaran serta peringatan untuk kalian berdua. Saya izin pamit, jika saya masih bertahan disini, kemungkinan kalian mati dalam waktu dekat sangat besar. Jadi, saya memberikan waktu kepada kalian untuk menyelesaikan masalah ini dengan cara kekeluargaan tanpa ada adu mulut serta main tangan. Selesaikan dengan baik jika kalian masih ingin melihat putra kalian merubah sikap dan bertemu pasangan hidupnya, juga melihat indahnya dunia di masa depan. Saya permisi.”
Setelah mengucapkan beberapa kalimat panjang, Junkyu melangkahkan kakinya pergi. Entah kemana ia akan pergi, yang terpenting sementara ini ia harus menjauh dari kedua orangtuanya. Berbekal sebuah ponsel dan dompet, kaki panjangnya menyusuri gelapnya malam.
Hingga pukul 01.42 Junkyu masih berjalan menelusuri jalan dengan mata basah sebab air mata. Sepanjang perjalanan tadi ia menangis menyesali perbuatannya. Junkyu selalu melakukan hal tak terduga ketika ia marah, dan akan menyesali perbuatannya setelah amarahnya hilang, itu sudah menjadi kebiasaan bagi Junkyu.
Kakinya mulai lelah berjalan selama berjam-jam. Junkyu memilih beristirahat sebentar didepan sebuah rumah, tentu masih dengan mata yang mengeluarkan air mata penyesalan. Semakin diingat-ingat semakin deras pula tangis Junkyu.
“Jahat, lo jahat Junkyu. Harusnya lo ngejaga orang tua lo, bukannya ngelukain kayak tadi. Kim Junkyu lo kurang ajar.” Maki Junkyu kepada dirinya sendiri dengan lirih.
Sementara itu, ditempat lain ada sosok manusia yang terbangun dari tidurnya dan tak dapat kembali menutup mata. Ia adalah Mashiho. Padahal tadinya ia berencana tidur lebih awal agar esok bisa bangun lebih pagi, nyatanya ia terbangun pukul 02.00 pagi dan tak dapat tertidur kembali. Bukan pagi seperti ini yang dimaksud oleh Mashiho. Menyebalkan.
“Gak lagi deh tidur sore, bangunnya kepagian banget ini mah,” sesal Mashiho.
Karena bingung akan melakukan apa dihari yang terlalu pagi baginya, Mashiho memutuskan untuk bermain ponsel dan berselancar di aplikasi burung biru.
“Tapi asik juga bangun jam segini, bisa lanjutin baca au. Nangisin au jam segini enak kali ya, haha.”
Akhirnya ia kembali berbaring dengan tangan memegang ponsel juga kacamata anti radiasi yang bertengger di hidungnya. Memeluk erat guling kesayangannya, langsung saja matanya kembali membaca ketikan indah dari author favoritnya.
“TUHAN, INI GEMES BANGET ADUH GUE GAKUAT MAU PINGSAN AJA. KENAPA AD— mampus, kelepasan teriak..”
“Duh, dasar. Gara-gara kalian berdua pokoknya kalo ibu sampek bangun terus marahin aku. Salah kalian, awas aja kalo aku dimarahin.” Mashiho menunjuk-nunjuk ponselnya serta memarahi tokoh didalam cerita yang ia baca seakan-akan tokohnya itu hidup, padahal itu hanya sebatas fiksi. Makhluk tak kasat mata di kamar Mashiho pasti jengah melihat tingkah lakunya.
“Oke lanjut. Awas aja kalo kalian bikin aku teriak gemes lagi, aku bak—”
Ucapan Mashiho berhenti ketika ia mendengar suara tangis yang tidak terlalu keras namun sedikit menyakitkan baginya. Sepertinya suaranya berasal dari depan rumah Mashiho, haruskah ia mengecek nya?
“Cek nggak ya enaknya? Nanti kalo aku cek tiba-tiba kosong nggak ada orang 'kan gak lucu..”
“Halah nanti kalo misal hantu atau semacamnya tinggal tak bacain do'a juga hilang. Tapi, ya semoga aja orang, jangan hantu.” Mashiho menyakinkan dan menyemangati dirinya sendiri agar tidak takut pergi keluar.
Klek
Bunyi handle pintu depan rumah Mashiho ketika sang penghuni memberanikan diri membuka pintu. Hal pertama yang dilakukan Mashiho adalah melihat sisi kanan rumahnya, karena tadi ia mendengar suara dari kamarnya. Fyi, kamar Mashiho berada disebelah kanan depan Rumahnya. Dan benar! Ada seseorang yang sedang menangis dengan kepala menunduk.
Tanpa berpikir panjang, Mashiho menghampiri orang tersebut. Menepuk pundaknya pelan, lalu duduk disamping orang tersebut. Orang yang sedang menangis didepan rumah Mashiho adalah Junkyu.
“Maaf, lehermu nanti sakit kalo nangisnya nunduk gitu. Mau pinjem pundak ku sebentar nggak? Kalo nggak mau gapapa sih, tapi nangisnya jangan nunduk nanti leher mu bakal sakit,” ucap sekaligus tawar Mashiho kepada orang asing didepannya.
Junkyu mendongak menatap mata Mashiho sebentar, lalu menganggukkan menyetujui tawaran Mashiho.
Mashiho bergegas duduk di sampingnya, “maaf, sini kepalanya.” Dengan lembut Mashiho mengarahkan kepala Junkyu menuju ke arah pundaknya.
Oh, tunggu. Mata Mashiho menatap cairan merah yang sudah agak kering di kedua tangan Junkyu.
“Tanganmu terluka? Sebentar, nyender nya bentar dulu ya, aku ambilin kotak P3K dulu biar tangannya enggak infeksi. Bentar ya, kamu nyender tembok dulu aja. Bentar,” ujar Mashiho panik, lalu meninggalkan Junkyu diluar sendirian untuk mengambil kotak P3K di kamarnya.
Mashiho mengacak-acak kamarnya, ia mencoba mengingat juga mencari dimana terakhir kali ia menyimpan kotak kesehatan itu. Tubuh mungilnya naik keatas kasur, ketemu! Segera ia turun dari kasur dan berlari secepat kilat menemui orang asing di depan rumahnya tadi.
“Hah, hah, maaf ya lama. Aku lupa naruhnya dimana tadi.”
Mashiho segera duduk disamping Junkyu dengan napas yang masih memburu, menarik kepala Junkyu pelan lalu ia sandarkan di pundaknya. Tangannya menarik kedua tangan milik Junkyu dan mulai mengobatinya.
“Nama kakak siapa? Biar aku gampang nyebutnya, hehe,” tanya Mashiho disela-sela kegiatannya.
“Junkyu.”
“Oke, Kak Junkyu. Kakak pasti lagi ada masalah berat ya? Nangis aja nggak papa kak, tumpahin semuanya disini biar lega sekalian.”
Menuruti suruhan Mashiho, Junkyu kembali menangis. Kali ini tangisannya lebih keras dan lebih menyakitkan. Pikirannya kembali memikirkan perkataan serta perbuatannya yang kurang ajar terhadap kedua orangtuanya tadi. Semakin ia memikirkan semakin deras pula air mata berjatuhan.
Mashiho rasanya ingin ikut menangis mendengar tangisan penyesalan Junkyu. Apalagi dirinya adalah orang yang cengeng dan tak tegaan. Setelah mengobati dan memastikan luka pada tangan Junkyu tertutup, Mashiho memberikan pelukan hangat kepada Junkyu.
“Maaf kalo aku kurang sopan karena meluk tanpa izin, tapi aku rasa Kak Junkyu butuh pelukan. Jadi, aku ngasih pelukan ini ke kakak, kalo semisal kakak kurang nyaman bilang ya, kak.”
Junkyu hanya diam mendengar ucapan Mashiho. Pelukan Mashiho nyaman, sangat nyaman baginya. Ia tidak akan merasa terganggu jika Mashiho memeluknya seperti ini selama berjam-jam, pelukan Mashiho benar-benar sangat hangat juga nyaman. Junkyu mencari posisi nyaman dalam pelukan Mashiho dan melanjutkan acara menangisnya.
“Kak, berat ya?” Mashiho mulai membuka suara.
Mashiho mengelus punggung Junkyu dahulu untuk menenangkan nya sebelum melanjutkan ucapannya. “Hidup itu kayak cerita, Kak. Bedanya yang jadi penulis itu yang diatas, bukan manusia. Di kehidupan juga ada yang namanya orientasi, komplikasi, klimaks, resolusi, juga koda. Kali ini, Kak Junkyu lagi berada di puncaknya cerita, yaitu klimaks atau konflik. Aku nggak tau sebesar atau seberat apa masalah yang lagi Kak Junkyu lalui sampek rela pergi dari rumah.”
Air mata Junkyu perlahan mulai berhenti, masih dengan posisi memeluk Mashiho, Junkyu dengan seksama menyimak tiap kata yang keluar dari mulut orang baik nan hangat itu.
“Saranku, kakak harus berusaha nyari solusi dari masalah kakak ini. Jangan terus-terusan sedih, nanti air matanya habis! Gimana pun solusi yang bakal kakak dapet nanti, disyukurin aja ya, jangan makin sedihhh. Hidup nggak selalu bahagia juga nggak selalu sedih. Ada kalanya kakak ngerasa bahagia bangetttt, tapi tiba-tiba sepuluh menit kemudian ada kesedihan yang dateng ke hidup kakak. Begitu juga dengan solusi. Bisa jadi nanti solusi itu bikin hidup kakak lebih bahagia dari sebelumnya, tapi bisa juga bikin kakak sedih. Pokoknya, apapun hasilnya nanti kakak harus terus bahagia juga bersyukur!”
“Sebelumnya, namaku Mashiho kalo kakak pengen tau,” ucap Mashiho sesaat sebelum Junkyu mengeluarkan kata-katanya.
“Gue capek hidup nggak bahagia terus, Shi. Gimana kalo nantinya solusi itu malah bikin hidup gue makin gelap? Gue juga pengen bahagia kayak orang lain..” Junkyu mencurahkan sedikit isi hatinya.
“Hei, nooo! Jangan berpikir gituu, gak baik. Kakak pasti bahagia, pasti. Cuma, lagi tertunda aja kebahagiaan nya sama masalah yang nimpa kakak. Jangan berpikir jelek terus, inget, pikiran sama ucapan bisa jadi kenyataan loh. Seperti yang aku bilang tadi, gimanapun hasil akhir solusinya, usahain kakak nerima dengan lapang dada. Aku tau itu sulit, tapi nggak ada salahnya mencoba hal baru dan mengikhlaskan, bukan? Dan lagi, semua orang nggak tentu bahagia, Kak. Setiap makhluk dimuka bumi tuh dikasih masalahnya sendiri, ada yang berat, ada yang ringan, tergantung yang maha kuasa aja sih. Jangan selalu ngerasa kurang sama apa yang terjadi di hidup kakak, jangan selalu ngeluh, bersyukur aja sama yang terjadi. Kakak nggak tau kan apa yang bakal terjadi selanjutnya? Apa yang bakal dateng di kehidupan kakak baik itu kebahagiaan maupun kesedihan, kakak gatau kan? Maka dari itu ayo bersyukur! Hilangin pikiran yang jelek-jelek ganti sama pikiran baik. Kalo kakak rajin bersyukur, kehidupan kakak pasti bakal lebih adem, lebih bahagia juga. Udah ah, aku capek ngomong.”
Benar kata Mashiho, selama ini Junkyu hanya mengeluh tak pernah bersyukur. Selalu merasa kurang dengan apa yang ia miliki. Selalu merasa paling tersakiti, padahal diluar sana ada yang jauh lebih tersakiti juga tersiksa daripadanya. Mashiho memberikan nasehat sekaligus pelajaran juga pelukan hangat untuknya. Sejauh ini, Junkyu tidak pernah sedekat ini dengan orang asing.
“Mashiho, gue mau cerita.”
Mashiho terkejut tentu saja. Pasalnya, mereka baru berkenalan 1 jam yang lalu, kenapa cepat sekali Junkyu mempercayainya?
“Anu kak.. bukannya gamau denger ceritanya, tapi ini kakak beneran yakin mau cerita ke aku. Maksudnya, kita kan barusan banget kenal, apa gak takut kalo nanti aku bocor atau gimana gitu?” tanya Mashiho.
Junkyu menggeleng, perlahan melepaskan diri dari pelukan hangat milik Mashiho. Netra hitam sedikit memerah itu menatap dalam indra penglihatan lawan bicaranya. “Gue yakin lo nggak bakal kayak gitu. Gue udah percaya sama lo, Mashiho.”
Mashiho mengangguk mengerti, “yaudah kalo keputusan kakak gitu. Aku bakal nyoba tutup mulut, tapi aku nggak janji, soalnya bisa aja aku khilaf.”
Junkyu mulai menceritakan kisah hidupnya. Mulai dari kejadian empat tahun yang lalu, dilanjut dengan perang dingin kedua orangtuanya. Bagaimana sikap mereka dua tahun terakhir ini. Juga perlakuan Junkyu kepada mereka malam tadi yang membuat Junkyu menangis sesal di depan rumah Mashiho.
Mashiho hanya diam mendengarkan, tak berniat untuk berbicara. Ia akan menunggu lawan bicaranya selesai bercerita, barulah dirinya menyuarakan pendapat serta beberapa saran.
Dirasa Junkyu sudah diam dan kembali memeluknya, Mashiho mencoba mengeluarkan suara. “Udah kak ceritanya?”
“Udah. Lo boleh ngomong sekarang, marahin gue juga gapapa, Shi.”
“Ini masalah keluarga, jadi aku nggak berhak ikut campur. Tapi, aku mau kasih saran buat nyari solusinya. Coba kakak kumpulin dua keluarga besar dari pihak ibu dan ayah kakak. Cari tahu siapa yang salah, dan buat mereka minta maaf. Ini bakal sulit, soalnya nggak setiap orang dengan gampang mau ngucapin kata 'maaf' secara cuma-cuma. Beberapa dari mereka pasti punya gengsi yang besar. Kunci biar lepas dari permasalahan ini sebenernya cuman minta maaf, memaafkan, sama mengikhlaskan aja. Tapi, nggak semua manusia bisa dengan mudah nerima tiga kunci yang aku sebutin tadi. Jadi, ya, setidaknya kakak harus bisa bikin beberapa dari mereka luluh.”
“Tenang aja, nanti aku bantu kalo aku bisa dan dibolehin,” tambah Mashiho.
Junkyu mencoba mencerna seluruh ucapan Mashiho tadi. Akankah ia bisa membuat kedua orangtuanya kembali seperti dulu? Atau, solusi ini nantinya akan menambah buruk keadaan? Permasalahannya, mama dan papa Junkyu adalah orang yang keras kepala serta memiliki gengsi yang tinggi. Junkyu menjadi ragu akan melangkah mengingat dua sifat orang tuanya itu.
“Istirahat yuk, nanti lagi mikirnya. Udah mau subuh loh, kakak apa nggak capek daritadi jalan sama nangis terus?” ajak Mashi.
“Capek sih. Tapi gue nggak mau pulang..” ujar Junkyu lirih.
“Mau nginep?”
“Boleh emang?”
“Boleh donggg. Kebetulan ada satu kamar tamu di rumahku, ayo masuk, istirahat,” ajak Mashiho lagi.
“Tapi, gue belum nemu solusi masalah ini. Nanti tidur gue nggak tenang,” tolak Junkyu.
Mashiho meraih kepala Junkyu, ia hadapkan tepat didepan matanya. “Kakak kecapekan. Istirahat.”
“Besok dipikir lagi, yang penting sekarang istirahat dulu. Otak, tubuh, sama batin kakak perlu istirahat,” ucap Mashiho sambil memasang wajah garang.
“Iya-iya, ayo istirahat,” pasrah Junkyu.
“Besok jalan-jalan yuk, nyari makanan, atau main-main ke pantai gituuu. Mau nggak? Biar pikiran kakak nggak stress. Kakak perlu liburan sebelum nanti nge hadapin hal berat, lagi.”
“Boleh, udah lama nggak jalan-jalan,” setuju Junkyu.
“Yeayyyy. Oke, sekarang istirahat dulu biar nanti seger,” sorak Mashiho semangat.
Agaknya memang benar saran dari Mashiho. Ia harus mencari hiburan dan menenangkan diri dahulu sebelum nantinya akan menghadapi hal berat. Satu hari atau dua hari mungkin tidak masalah. Mashiho sangat membantu dirinya malam ini, ia harus berterimakasih padanya.
“Kak junkyu, halo? Kak! Heh, jangan ngelamunnn.” Mashiho menggoyang-goyangkan badan Junkyu yang sedang melamun.
“Eh, iya, maaf tadi lagi ngelamun.”
Mashiho menggeleng-gelengkan kepalanya. “Hah, dasar. Yaudah sana masuk, itu kamarnya,” tunjuk Mashiho kepada kamar berpintu coklat gelap.
“Istirahat. Jangan banyak mikir, nanti kan mau jalan-jalan, hehe.”
“Iya, Mashiho.”
“Oh, iya! Kalo perlu apa-apa ketuk aja pintu kamar putih yang di depan, itu kamarku. Oke, bye-bye, aku mau tidurrr.” Pamit Mashiho.
“Mashiho, tunggu,” cegah Junkyu.
“Ya?”
“Makasih, ya.”
Mashiho mengerutkan keningnya, “huh? Buat?”
“Semuanya. Makasih buat nasehat, pelukan, makasih juga udah mau ngobatin tangan gue. Makasih banyak. Maaf kalo sekiranya gue ngerepotin.”
“Em.. Mashiho, gue boleh minta sesuatu nggak? Gue tau ini aneh karena kita baru banget kenalan, tapi gue rasa, ini perlu buat diungkapin. Gue boleh minta lo tetep jadi temen gue 'kan kedepannya? Jujur, pelukan lo nyaman, hangat juga. Nasehat lo bikin gue tergerak, gue.. mau lo disamping gue terus, Shiho. Gue nyaman ada di deket lo.”
Mashiho tersenyum tipis. “Aku nggak bisa janji, tapi aku bakal berusaha ada disamping kamu terus, ngasih kamu pelukan hangat, juga nasehat sama kata-kata semangat. Kamu jangan khawatir, kedepannya kita bakal sama-sama terus, kok! Udah sana masuk kamar, udah mau subuh.”
“Mashiho, gue sayang, sayanggggggggggg banget sama lo. Walaupun kenyataannya kita baru kenal beberapa jam yang lalu. Gue janji. Gue bakal jagain lo, gue janji bakal ada disamping lo terus. Gue juga janji, gue bakal berusaha nyelesain masalah ini dengan cara baik-baik tanpa amarah sedikitpun.”
selesai.