Antara Langit dan Awan
Awan menghabiskan waktunya dengan mengulas kembali novel yang telah ia terbitkan. Hari ini tidak cerah seperti biasanya, cuacanya mendung dan terlihat akan hujan. Seketika ia khawatir dengan Langit yang hanya mengndarai sepeda motor. Takut abang kesayangannya basah karena hujan. Dalam hati, Awan berdoa semoga hujan turun ketika Langit sudah sampai dirumah sakit.
Tak lama, rinai hujan ternyata membasahi bumi. Seketika Awan langsung khawatir kalau abangnya kehujanan. Tak henti-hentinya lelaki itu memandang ke arah jendela berharap hujan mereda, juga melirik ke arah pintu berharap sosok Langit muncul disana.
Ceklek!
Daun pintu dibuka, muncullah sosok Langit yang terlihat kuyup buru-buru masuk menghampiri Awan.
“Kehujanan bang?” Tanya Awan, ada nada khawatir yang tersirat disana.
“iya nih.” jawab Langit sembari meletakkan donat pesanan Awan diatas meja.
“Katanya mau bawa kakak ipar? Mana?”
Langit tersenyum malu-malu.
“Anaknya malu ketemu sama kamu. Kayanya fans berat deh Wan.”
Awan tertawa. Ia lalu menyodorkan sebuah handuk kecil yang memang disediakan dalam buffet yang terletak disebelah ranjangnya. Langit menerima handuk tersebut lalu mengeringkan rambutnya.
“Awan, kalau suatu saat abang harus pergi jauh. Kamu jaga diri baik-baik ya? jangan makan donat terus, nanti sakit gigi, juga jangan pernah berhenti nulis. Kamu bilang kamu bahagia kan kalau nulis?”
“Emang abang mau kemana? Ke luar negeri?” Tanya Awan tidak paham.
“Ya, kan bentar lagi abang lulus kan. Mungkin abang gak kuliah disini. Takutnya ntar Awan kesepian.”
“Abang ada rencana kuliah dimana deh? Kalau enggak Awan ikut sama Abang aja, ikut ngekos, atau nanti kita sewa apartemen. Abang kuliah, nanti pas abang kuliah Awan gapapa di apartemen sendiri.” Ucapnya dengan wajah memohon.
Langit yang mendengar hal itu tersenyum, kemudian mengacak rambut Awan. “Gabisa banget jauh-jauh dari abang?”
Awan tersenyum lalu mengangguk. “Cuma abang satu-satunya yang Awan punya. Kalau abang pergi, Awan nanti main sama siapa? Awan gak punya tempat misuh-misuh lagi nanti, Awan gabisa minta saran tentang tulisan Awan sama orang lain selain abang.”
“Kan ada bunda. Nanti abang minta bunda untuk nemenin Awan selalu pokoknya, abang bilang sama bunda gaboleh ninggalin Awan meskipun satu detik. Hahaha.”
“Bakalan beda rasanya bang.”
Langit hanya tersenyum tidak menjawab.
“Eh abang keluar sebentar ya, ada yang ketinggalan.” ujar Langit sembari meletakkan handuk kecil tadi di kaki ranjang, kemudian daksa itu menghilang dibalik pintu.
Selang beberapa detik, bunda masuk dengan membawa makan malam. Wanita paruh baya itu meletakkan nampan berisi makanan disebelah donat yang dibawakan oleh Langit.
“Siapa yang datang nak? Kok ada donat?”
“Loh, tadi bang Langit sampe. Baru aja keluar, apa gak papasan sama bunda?”
“Langit?” Bunda mengerutkan kening. “Tadi gaada siapa-siapa di koridor, cuma beberapa suster yang lewat.”
“Mungkin bunda gak lihat, tadi baru aja dia keluar bener-bener beberapa detik yang lalu.”
“Ini handuk siapa?” Tanya bunda lagi.
“Tadi bang Langit kehujanan kan bun, terus Awan kasih handuk.”
“Tapi gak ada siapa-siapa tadi, bahkan koridornya sepi. Gak mungkin bunda gak lihat Langit kalau emang dia keluat dari kamar ini.”
Awan kemudian merasakan seuatu yang janggal.
Tiba-tiba pintu ruangan Awan terbuka menampilkan figur seorang gadis yang telah basah kuyup terisak dengan baju penuh darah.
“Kamu?” Celetuk bunda kaget.
“Tante tolong! Tolong! Langit kecelakaan dan sekarang kondisinya kritis! Tolong tante.!”
Awan yang mendengar hal itu sontak terkejut.
“GAK MUNGKIN!”
“Kamu jangan ngarang cerita ya!”
“Tolong tante percaya sama Starla. Tolong buang ego tante sesaat, anak tante sedang kritis. Tolong tante aku moohon!.” Gadis itu berbicara dengan nada permohonan yang begitu menyedihkan, tangannya masih berlumuran darah dan gemetar.
“Kamu siapa sih?! Jangan ngarang cerita! Bang langit baru aja dateng kesini ketemu aku!”.
“Awan, abang kamu bilang mau kenalin kamu sama aku kan? Aku penggemar kamu yang mau ketemu kamu hari ini. Aku yang mau dikenalin ke kamu. Sekarang, dia sedang kritis di ruang operasi. Langit kecelakaan dalam perjalanan menuju kesini.” Gadis itu terisak semakin menjadi.
Awan langsung melepas selang infusnya dan berlari keluar menuju ruang operasi.
“AWAN–” panggil bundanya.
Wanita paruh baya itu kemudian berlari keluar mengikuti putra bungsunya.
Tiba didepan ruang operasi, Awan langsung dihadang oleh Haga.
“BANG BILANG SAMA AWAN DIDALAM SANA BUKAN BANG LANGIT! BANG LANGIT BARU AJA NYAMPERIN AWAN! KAMI BARU AJA NGOBROL BARUSAN! BILANG KALAU DIDALAM SANA BUKAN BANG LANGIT! CEPAT BILANG KE AWAN!!”
“Awan, tenang dulu. Kita berdoa semoga dokter bisa mengusahakan yang terbaik untuk Langit.”
“Apasih! Orang bang Langit baru ketemu Awan! Kalian salah orang! Yang didalam sana gak mungkin bang Langit!”
Awan berteriak histeris. Sementara bundanya telah jatuh terduduk di lantai. Wanita paruh baya itu terisak kuat.
“Bunda! Kenapa bunda nangis!? Bunda percaya bang Langit didalam sana?! Tadi Awan baru ketemu! OH! Pasti bang Langit lagi ke toilet kan?! LEPASIN! Biar Awan yang cari bang Langit aja! Awan gamau dibohongin sama pembohong kaya kalian!”
Awan berusaha melepaskan tubuhnya yang dihadang oleh Haga. Namun kekuatannya tidak sebanding dengan kekuatan yang dimiliki Haga sehingga lelaki itu tak bisa berkutik.
“Awan dengerin! Sekarang, Awan berdoa biar Langit selamat. Kita cuma bisa berharap mukjizat datang kepada Langit. Awan harus ikhlas apapun yang terjadi.” Haga mencoba menenangkan Awan. Padahal lelaki itu juga rapuh.
Tubuh Awan melemah. Ia tak sanggup memberontak lagi. Lelaki itu kini terisak kuat. Isakannya terdengar pilu, membuat siapapun yang mendengarnya ikut merasakan sakit yang dialami Awan.
“Tapi tadi bang Langit datengin Awan.” Ucapnya lemah disela-sela tangisannya.
Haga memeluk Awan mencoba menenangkannya. Sementara itu bunda juga sudah terisak dibelakang mereka. Wanita paruh baya itu kemudian dihampiri oleh Starla dan diusap punggungnya, berharap hal itu dapat membuat bunda lebih tenang. Meskipun sebenarnya hati Starla sendiri sudah hancur berkeping-keping melihat kekasihnya berlumuran darah tepat didepan netranya.
3 jam berlalu, lampu ruang operasi telah padam, menandakan operasi telah selesai. Dokter keluar dari ruang tersebut dengan raut wajah yang tidak bisa didefinisikan.
“DOKTER! ABANG SAYA BAIK-BAIK AJA KAN DOK, BILANG SAMA SAYA KALAU ABANG SAYA BAIK-BAIK AJA!” Awan mencengkram lengan dokter meminta kejelasan.
Dokter menunduk dalam sembari menghela nafas. “Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi pasien tidak mampu bertahan lebih lama.”
Mata Awan membulat lebar. Seperti ada panah yang menghujam langsung ke ulu hatinya. Lelaki itu roboh ke lantai.
Terdengar isakan pilu dari bundanya dan Starla dibelakang sana. Sementara Haga tidak mampu membendung airmatanya, lelaki itu menangis dalam diam.
“KALIAN SEMUA NGAPAIN NANGIS SIH! BANG LANGIT ENGGAK PAPA!” Teriak Awan frustasi.
Suara ranjang yang didorong keluar dari ruang operasi mengalihkan perhatian semua orang. Awan bangun untuk benar-benar memastikan bahwa bukan Langit yang ada disana.
Lelaki itu membuka selimut putih yang menutupi daksa yang terbaring diatas ranjang tersebut.
Tangisnya pecah.
Wajah Langit terlelap damai disana.
Awan meremas bajunya. Lelaki itu menangis pilu.
“Abang–” lirihnya.
“Bang Langit jangan tinggalin Awan–”
Sesak, hanya itu yang dapat dirasakannya. Bahkan Awan lupa bagaimana cara bernafas dengan benar.
Tolong bangunkan Awan dari mimpi yang menyakitkan ini.
Langit yang menjadi tempat Awan untuk berteduh kini telah runtuh. Tidak ada lagi senyum bang Langit yang ceria. Tidak ada lagi tempat Awan berkeluh kesah. Tidak ada lagi tempat Awan bercerita. Tidak ada.