write.as/jeongwooniverse/

Date with Kereta Kencana


Keira's pov.

Oke, now I'm gonna ask you. What is the biggest flex of your life? Cause i have one and only yang orang lain ga punya.

Ngedate dijemput pake kereta kencana.

Like, for real Giovan? Dia beneran jemput gue pake kendaraan ini.

Hal yang pertama gue lakuin adalah ketawa gak berhenti pas Gio nyampe didepan rumah. Sumpah, pikiran dia out of the box dan gue gak bakal ngira sama sekali doi beneran bawa ini buat ngedate. Papa sama mama gue bahkan texting dan bilang.

“nduk, iki calon pacarmu? Kok mama khawatir nduk”

Gue cuma bales untuk ga perlu khawatir karena manusia satu ini emang spesial.

Gio senyum lebar banget seolah dia udah menangin lotere.

“Kei, ayok naik, biar gue bisa bikin lo ngerasain jadi putri dalam sehari.” Ajaknya antusias.

Gue yang literally masih ngakak cuma bisa ngikutin permainan Gio.

Kalau ditanya, malu gak Kei? Malu. Tapi karena itu Gio, jadi gue gapapa.

Dasar bucin.

Tapi, emang begitu kan? i mean gini rasanya kalau lo bener-bener jatuh cinta sama kepribadian seseorang. Bukan karena wajahnya, atau karena yang lain. Kalau lo udah jatuh cinta sama kepribadian seseorang, lo akan menyukai apapun yang dia lakuin ke lo.

Terdengar bucin, but that's the fact. Dari awal, gue gak pernah malu buat maju duluan deketin Gio.  Dia adalah spesies unik yang diciptakan oleh semesta, dan beruntung gue bisa ketemu sama dia.

Gio itu penuh kejutan. Sikapnya, cara dia memperlakukan seseorang dan cara dia menyikapi suatu hal, semuanya penuh kejutan. Jadi, lo bisa bayangin gimana kalau lo hidup dengan Gio setiap hari dan dikasih macam-macam kejutan dengan kepribadian dia yang unik, hidup lo bakalan bener-bener colorful dan gak membosankan.

“Gimana tuan putri? Udah berasa jadi cinderella gak malam ini?” Tanya Gio sembari mengayuh pedal kereta kencana ini.

“Asli, gue gak expect bakalan jalan-jalan pake ini.” Jawab gue kemudian.

Gio tertawa. Ganteng anjir, jangan ketawa lu!

“Sengaja gue pilih jalan yang gak banyak orang lewat. Kali aja lo malu Kei.”

“Enggak kok, ini seru dan lucu. Gue bahkan kasian sama orang yang gak pernah di surprise in kaya gini. Mereka gabisa ngerasain gimana rasanya naik kereta kencana hahaha.” Gue ketawa ngakak lagi.

Ya ampun Tuhan, rasanya kepingin sama Gio terus. Ini gue bucinnya udah level 1000 kali ya.

“Ini destinasinya kemana btw?” Tanya gue. Sengaja, biar bisa lama-lama jalan sama Gio terus.

“Hmmm, biasa kereta kencana kemana destinasinya?” Doi malah nanya gue balik.

Gue berpikir sesaat.

“Kalau cinderella sih, ke pesta kerajaan kan?”

Gio menjentikkan tangannya. “Keira pinter! Kita bakalan ke pesta kerajaan malam ini.”

Gue menganga. “Hah? Serius?”

Gio mengangguk.

Gue kembali berpikir, pesta kerajaan gimana yang dimaksud sama Gio.

Bener kan gue bilang? Pikiran Gio itu out of the box dan lo gabisa baca kemana arah dia berpikir.

Sambil menerka-nerka kemana destinasi akhir dari perjalanan ini, gue dan Gio ngomongin banyak hal. Sebagian topik diisi dengan cerita dia dan Jio yang random banget. Topik yang lain diisi dengan betapa keselnya dia sama Abu yang gak mau diajak temenan, dan topik lain tentang cita-cita Gio yang mau jadi abdi negara.

“Kenapa mau jadi Abdi negara?”

Gio berpikir sejenak sebelum menjawab.

“Gue mau ngelindungi orang-orang yang gue sayang Kei. Gue gamau kehilangan, karena kehilangan ternyata semenyakitkan itu.” Jawabnya dengan mata menerawang.

Gue gak berani tanya, siapa yang membuat dia berpikir kalau kehilangan akan menjadi sesakit itu, karena gue tau, itu bukan ranah gue. Nanti, kalau Gio mau terbuka dan mau cerita, kapanpun itu gue bakal siap mendengarkan.

“Kenapa suka usilin Abu?” Tanya gue lagi. Ini pertanyaan sensitif sebenarnya, tapi gue penasaran. Semoga Gio gak ninggalin gue kaya kemarin pas makan di basecamp.

“Hidupnya lempeng amat, gue kesel. Jadi gue kerjain biar berwarna sedikit.”

Bener kan gue bilang? Emang otak Gio gabisa di nalar pake nalar manusia.

“Dari SMP, dia anaknya tertutup. Gamau diajak temenan, kaya batu tapi bisa jalan. Gue gabisa liat emosi apapun diwajahnya. Akhirnya gue sama Jio setuju untuk ngerjain dia setiap hari. Penasaran gimana ekspresinya Abu kalau lagi marah.”

Gue ketawa. Bahkan cara dia perhatian sama orang aja unik. That's Giovan everyone.

“Lo kenapa nolak Abu?” Gio nanya balik.

“Karena gak suka.”

“Cuma itu alasannya?”

“Iya, gasuka dan gabisa dipaksa untuk suka.”

Gio kemudian manggut-manggut mengerti.

“Kalau sama gue, suka gak Kei?” Tanyanya tiba-tiba.

Astaga jantung gue, udah merosot ke perut kayanya sekarang. Gue cuma diem ga menanggapi, aslinya gue deg degan banget kaya diajak lari estafet 400 meter.

Tiba-tiba kereta kencana ini berhenti. Gue gatau ini dimana, tapi banyak lampu taman disekeliling sini. Suasananya sepi banget. Gue yakin cuma ada kita berdua disini.

Gio kemudian turun, dan berdiri di pintu kereta. Gio ngulurin tangannya sambil senyum ganteng.

“Yuk, ke pesta kerajaan.” Ucapnya sambil natap gue.

MANIS BANGET YA TUHAN, GUE MAU MELELEH JADI MENTEGA CAIR AJA.

Gue nerima uluran tangan Gio dan turun dari kereta kencana ini. Tangan gue digenggam sama doi, dan jangan tanya jantung gue gimana sekarang.

Kita jalan sedikit ke arah utara. Sepanjang jalan banyak banget lampu berbentuk kupu-kupu di gantung tepat diatas kepala dan bersambung satu sama lain.

Sumpah, gue gabohong ini indah banget.

500 meter dari tempat kami, ada beberapa orang memakai bajucosplay, ada yang make baju ibu peri, ada yang make baju Aladin, baju kurcaci, mereka semua berdansa dengan riang disana, dan waktu mendekat, gue makin shock.

Itu semua temen-temen gue di sekolah Anjir.

Gue natap Gio kaget, doi cuma senyum-senyum ganteng.

Ya Allah, ini gue bisa pingsan beneran kalau begini ceritanya.

“Gi, ini–” gue gabisa ngelanjutin karena speechless.

Tiba-tiba Gio bisikin sesuatu yang bikin gue makin merinding.

“Kei, kalau gue tembak disini lo malu gak? Atau mau gue tembak pas kita lagi berdua aja?”

Gue spontan jawab.

“Pas lagi berdua aja.” Sambil nutup mata.

“CIEEEEEEEEE” kerumunan yang lagi cosplay itu seketika menyoraki gue.

Anjir Keira, lo malu-maluin sumpah.

“Yaudah, kita cabut kuy.” Ucap Dean yang make kostum kumbang.

Kerumunan itu pun bubar. Ninggalin gue sama Gio berdua disana.

Sumpah ini canggung banget.

“Kei‐” panggil Gio.

Gue balik, menghadap dia, tapi gue nunduk.

Gio memilin rambutnya di belakang telinga.

“Gue kadang emang suka bercanda, tapi perasaan gue ke lo gak bercanda. Kali ini gue serius, gue serius suka sama lo.” Ujarnya lugas.

Gue? Sebentar lagi tahan napas.

Gue masih speechless dan masih ga nyangka aja kalau Gio bakal nembak gue malam ini.

Gue memainkan kuku, canggung. Mau jawab iya gue suka lo juga, tapi gue malu, tapi pengen bilang juga, tapi gue bingung.

“Kalau pacaran sama gue, lo keberatan ga kei?”

“Ya engga lah!.” Jawab gue spontan.

Seketika gue nutup mulut. Anjir, Keira gausah nge gas juga jawabnya.

Gio senyum sampai matanya menyipit. Sumpah manis banget, gue bisa diabetes bentar lagi kayanya.

“Jadi, kita pacaran ya?” Tanya Gio lagi.

Ya Allah gue mau pulang, capek banget jantung gue deg degan terus.

Gue mengangguk terus tersenyum.

Terus lo tau Gio ngapain?

Lompat-lompat kegirangan, terus teriak-teriak gajelas. Sambil bilang gini ke arah pohon.

“GUE PUNYA PACAR WOY!! HAHAHA KASIAN LU JOMBLOO!”

Gue cuma bisa ketawa ngakak liat kelakuan ni anak.

Memang Giovan unik banget manusianya, jadi makin suka.

Gelut


Giovan berulangkali mengibas-ngibaskan seragamnya karena kepanasan. Sedangkan Abu, lelaki itu mengusap keringat yang sudah mengalir di dahinya. Hari ini mereka berdua terjebak untuk berjemur bersama setelah sama-sama telat datang ke sekolah.

Baik Abu maupun Gio, tak ada yang memulai pembicaraan. Mereka bahkan tidak melirik satu sama lain dari awal mereka dijemur.

Cahaya matahari yang menyengat membuat Abu menoleh sesaat untuk menghindarinya. Lelaki itu tiba-tiba merasa sedikit pusing dan silau karena bertahan lama dibawah sang surya.

“Apa lo liat-liat gue?! Naksir?!” Sembur Gio ketika Abu mengalihkan pandangan wajahnya.

“Dih, muka kaya cobekan terasi gitu siapa yang mau?!” Jawab Abu tak kalah sengit.

“Apa lo bilang? Muka lo tuh kaya pantat kuda! Ngiiihaaa.” Gio menirukan suara kuda.

“Sinting!”

“Bapak lo sinting!”

Abu tiba-tiba menarik kerah seragam Gio. Lelaki itu terlihat geram. Gio juga balas menarik kerah Abu.

Keduanya menatap satu sama lain dengan intens. Jarak wajah mereka hanya berjarak 5 centi, hingga kemudian Gio berhasil menggigit bisep Abu sebelah kanan.

Abu mengerang kesakitan, ia lantas menjambak rambut Gio untuk melepaskan gigitan Gio dari lengannya.

Pergelutan tidak dapat terelakkan lagi. Gio dengan cepat menyeruduk perut Abu seperti banteng. Abu terjatuh, namun ia sempat menendang tulang kering Gio hingga lelaki itu mengaduh kesakitan.

Kini Gio menjambak rambut Abu, sementara Abu mencakar tangan Gio. Keduanya tidak saling melepaskan. 

Abu kemudian menyerudukkan kepalanya ke arah wajah Gio, dan ternyata mengenai batang hidung Gio. Kini, hidung Gio mengeluarkan darah.

Tidak sampai disana, Gio balas menonjok pipi kiri Abu hingga lelaki itu tersungkur.

Riuh sorakan terdengar dari seluruh penjuru sekolah. Kini semua murid keluar kelas melihat aksi perkelahian dua siswa nakal tersebut.

Baru saja Gio akan melemparkan bogem yang lain, suara peluit nyaring ditiup hingga memekakan telinga. Aksi mereka terhenti, sorak-sorai para murid pun terhenti.

Ternyata, itu adalah suara peluit pak Kepsek.

Daksa gempal dengan perut membuncit itu kemudian mendekati dua biang onar yang kini terduduk karena lelah berkelahi.

Ia lalu menarik daun telinga dua biang onar tersebut hingga mereka mengerang.

“JALAN SAMBIL JONGKOK KE KANTOR SAYA!! SEKARANG!!” Titahnya dengan nada bariton yang menggema.

Dua biang onar itu pun terpaksa menuruti, mereka berjalan dengan keadaan berjongkok sembari menatap tajam satu sama lain.

Pacar Gue Nih.


Kanaya dan Haris turun dari motor matic milik Haris. Belum sempat gadis itu membuka helm, seorang gadis kecil berusia 5 tahun langsung menghampirinya dengan riang.

“Kak Kinaaaaaaaaan,” Teriak gadis kecil itu dari kejauhan.

Kanaya membentangkan tangannya sembari merendahkan tubuhnya sedikit. Gadis itu kemudian membawa gadis kecil kedalam pelukannya, lalu menggendongnya. Barulah Kanaya membuka helm yang sedari tadi bertengger di kepalanya.

Ia dan gadis itu bertukar senyum sembari memamerkan lesung pipi masing-masing.

“Kangen Kak Kinan.” Ujarnya ceria.

Kinan buru-buru mencubit pinggang Haris. Lelaki itu mengaduh kesakitan.

“Nyet, namanya siapa?” bisik Kinan.

Bukannya menjawab, Haris malah mencubit pipi gembil gadis kecil itu.

“Alyaaa, Alya masa gak kangen kak Haris sih? Kak Haris ngambek nih.” Ujar Haris sambil memanyunkan bibir depannya.

Kanaya yang melihat hal itu langsung menatap Haris sinis, gadis itu malah menempeleng bibir Haris yang sengaja dimanyunkan.

“SAKIT OGEB!” Haris menggerutu.

Kanaya menutupi telinga Alya, agar terlindungi dari mulut kotor Haris.

“Alya main yuk!” Ajak Kanaya ramah.

Ia lalu berlari menggendong Alya menjauhi Haris yang tengah merutuki Kanaya dari belakang.

Gadis itu terlihat lebih bahagia dibanding sebelumnya. Apalagi setelah bertemu anak-anak lain yang menyambutnya dengan hangat. Kanaya tidak pernah tahu, bahwa pertemuan singkat mereka pada saat bakti sosial 3 pekan lalu membekas di ingatan anak-anak ini. Lebih terharunya lagi, anak-anak itu semua mengingat nama Kanaya.

“Kak Kinan, tadi Alya ketemu malaikat ganteng,” Ujar Alya ditengah-tengah permainannya.

“Oh ya? Ada sayapnya?” Tanya Kanaya bersikap antusias.

“Pasti kakak kan malaikat gantengnya?” Haris ikut nimbrung dalam obrolan kakak-adik itu.

Alya menggeleng.

“Kak Halis ganteng. Tapi malaikat ini lebih ganteng lagi.”

“Noh, Kin. Anak kecil gabisa bohong. Gue aja dibilang ganteng.”

Kanaya merotasi matanya malas.

Alya kemudian menggenggam jari telunjuk Haris yang besar dengan tangannya yang begitu kecil. Gadis itu lalu meminta Haris mengikutinya. Sementara itu, Kanaya mengekori dari belakang.

Seseorang dengan jubah putih terlihat tengah berpaku pada jarum suntik dihadapannya. Lelaki tersebut memasukkan jarum kedalam pembuluh vena ibu panti yang terbaring lemah dengan telaten. Kanaya tidak dapat melihat dengan jelas, hanya sebuah punggung tegap yang terekam dalam lensa matanya.

“Om malaikat, itu sakit ga?” Tanya Alya yang mendekat ke arahnya.

Merasa tidak terganggu kegiatannya di interupsi, lelaki itu pun menjawab dengan tenang.

“Sakit sedikit, kaya di gigit semut.” Jawabnya dengan nada yang lucu.

Kanaya tanpa sadar tersenyum.

“Nanti habis digigit semut, bunda sembuh?” Tanya Alya lagi. Bola mata bulat itu berbinar lucu mengarah kepada pria dewasa disebelahnya.

Lelaki itu mengangguk.

“Nanti jagain bunda baik-baik yaa, bilang bunda makannya harus rajin, oke?”

Alya mengangguk tersenyum hangat.

Lelaki itu mengusak rambut si kecil dengan gemas.

“Alya pinter.” Ujarnya.

“Kak Kinan, ayo kenalan sama om malaikat.” Ajak Alya sembari melambaikan tangan mungilnya ke arah Kinan.

Baru saja Kinan mengambil langkah untuk mendekat, tiba-tiba gadis itu membeku ditempat.

Punggung itu berbalik melihat ke arah yang dituju oleh Alya, dan disitu tatapan mereka bertemu.

Danny Dharmawangsa, sosok yang seharusnya ia hindari beberapa hari ini, kini tengah berdiri dihadapannya.

Sepersekian detik, Gadis itu masih terpaku ditempat ia berdiri, namun Danny malah beranjak mendekat dengan senyum yang tidak pernah lepas dari wajahnya. Baru selangkah ia berjalan mendekati Kanaya, Haris tiba-tiba menghadang lelaki itu.

“Kenalin, gue Haris, dan yang dibelakang sana ada pacar gue Kinan, lo gak perlu kenalan sama dia.” Sambarnya.

Kanaya yang mendengar ucapan Haris merasa semakin shock.

Sementara itu, Danny sama sekali terlihat tidak terusik dengan ucapan Haris. Lelaki itu masih tersenyum hingga matanya menyipit.

“Pacar lo?” Tanya Danny sekali lagi memperjelas.

Haris mengangguk pasti. “Cantik kan?”

Kini Danny mengangguk setuju. “Cantik, cantik banget malah. Apalagi kalau mukanya terkejut gitu, lucu.”

Kanaya rasanya ingin mengubur dirinya hidup-hidup saat ini. Mimpi apa ia semalam sehingga harus bernasib sial seperti ini?

“Dijagain pacarnya baik-baik. Gue yakin sih, banyak yang naksir sama pacar lo.” Pungkas Danny seraya menepuk bahu Haris.

Lelaki itu kemudian mengemas barang-barangnya, lalu berpamitan dengan ibu panti.

“Saya pamit bunda, kalau keadaan bunda tidak segera membaik, lekas hubungi saya ya bun,” Ucapnya lembut, hampir setengah berbisik, tapi Kanaya masih dapat mendengarnya.

Lelaki itu kemudian menghilang dibalik pintu setelah memberikan senyum terakhir kepada Kanaya.

Entah kenapa, Kanaya malah melihat senyum itu terasa menyeramkan dan dingin. Ia tiba-tiba saja menjadi takut tanpa alasan.

©️bil.

Pacar Gue Nih.


Kanaya dan Haris turun dari motor matic milik Haris. Belum sempat gadis itu membuka helm, seorang gadis kecil berusia 5 tahun langsung menghampirinya dengan riang.

“Kak Kinaaaaaaaaan,” Teriak gadis kecil itu dari kejauhan.

Kanaya membentangkan tangannya sembari merendahkan tubuhnya sedikit. Gadis itu kemudian membawa gadis kecil kedalam pelukannya, lalu menggendongnya. Barulah Kanaya membuka helm yang sedari tadi bertengger di kepalanya.

Ia dan gadis itu bertukar senyum sembari memamerkan lesung pipi masing-masing.

“Kangen Kak Kinan.” Ujarnya ceria.

Kinan buru-buru mencubit pinggang Haris. Lelaki itu mengaduh kesakitan.

“Nyet, namanya siapa?” bisik Kinan.

Bukannya menjawab, Haris malah mencubit pipi gembil gadis kecil itu.

“Alyaaa, Alya masa gak kangen kak Haris sih? Kak Haris ngambek nih.” Ujar Haris sambil memanyunkan bibir depannya.

Kanaya yang melihat hal itu langsung menatap Haris sinis, gadis itu malah menempeleng bibir Haris yang sengaja dimanyunkan.

“SAKIT OGEB!” Haris menggerutu.

Kanaya menutupi telinga Alya, agar terlindungi dari mulut kotor Haris.

“Alya main yuk!” Ajak Kanaya ramah.

Ia lalu berlari menggendong Alya menjauhi Haris yang tengah merutuki Kanaya dari belakang.

Gadis itu terlihat lebih bahagia dibanding sebelumnya. Apalagi setelah bertemu anak-anak lain yang menyambutnya dengan hangat. Kanaya tidak pernah tahu, bahwa pertemuan singkat mereka pada saat bakti sosial 3 pekan lalu membekas di ingatan anak-anak ini. Lebih terharunya lagi, anak-anak itu semua mengingat nama Kanaya.

“Kak Kinan, tadi Alya ketemu malaikat ganteng,” Ujar Alya ditengah-tengah permainannya.

“Oh ya? Ada sayapnya?” Tanya Kanaya bersikap antusias.

“Pasti kakak kan malaikat gantengnya?” Haris ikut nimbrung dalam obrolan kakak-adik itu.

Alya menggeleng.

“Kak Halis ganteng. Tapi malaikat ini lebih ganteng lagi.”

“Noh, Kin. Anak kecil gabisa bohong. Gue aja dibilang ganteng.”

Kanaya merotasi matanya malas.

Alya kemudian menggenggam jari telunjuk Haris yang besar dengan tangannya yang begitu kecil. Gadis itu lalu meminta Haris mengikutinya. Sementara itu, Kanaya mengekori dari belakang.

Seseorang dengan jubah putih terlihat tengah berpaku pada jarum suntik dihadapannya. Lelaki tersebut memasukkan jarum kedalam pembuluh vena ibu panti yang terbaring lemah dengan telaten. Kanaya tidak dapat melihat dengan jelas, hanya sebuah punggung tegap yang terekam dalam lensa matanya.

“Om malaikat, itu sakit ga?” Tanya Alya yang mendekat ke arahnya.

Merasa tidak terganggu kegiatannya di interupsi, lelaki itu pun menjawab dengan tenang.

“Sakit sedikit, kaya di gigit semut.” Jawabnya dengan nada yang lucu.

Kanaya tanpa sadar tersenyum.

“Nanti habis digigit semut, bunda sembuh?” Tanya Alya lagi. Bola mata bulat itu berbinar lucu mengarah kepada pria dewasa disebelahnya.

Lelaki itu mengangguk.

“Nanti jagain bunda baik-baik yaa, bilang bunda makannya harus rajin, oke?”

Alya mengangguk tersenyum hangat.

Lelaki itu mengusak rambut si kecil dengan gemas.

“Alya pinter.” Ujarnya.

“Kak Kinan, ayo kenalan sama om malaikat.” Ajak Alya sembari melambaikan tangan mungilnya ke arah Kinan.

Baru saja Kinan mengambil langkah untuk mendekat, tiba-tiba gadis itu membeku ditempat.

Punggung itu berbalik melihat ke arah yang dituju oleh Alya, dan disitu tatapan mereka bertemu.

Danny Dharmawangsa, sosok yang seharusnya ia hindari beberapa hari ini, kini tengah berdiri dihadapannya.

Sepersekian detik, Gadis itu masih terpaku ditempat ia berdiri, namun Danny malah beranjak mendekat dengan senyum yang tidak pernah lepas dari wajahnya. Baru selangkah ia berjalan mendekati Kanaya, Haris tiba-tiba menghadang lelaki itu.

“Kenalin, gue Haris, dan yang dibelakang sana ada pacar gue Kinan, lo gak perlu kenalan sama dia.” Sambarnya.

Kanaya yang mendengar ucapan Haris merasa semakin shock.

Sementara itu, Danny sama sekali terlihat tidak terusik dengan ucapan Haris. Lelaki itu masih tersenyum hingga matanya menyipit.

“Pacar lo?” Tanya Danny sekali lagi memperjelas.

Haris mengangguk pasti. “Cantik kan?”

Kini Danny mengangguk setuju. “Cantik, cantik banget malah. Apalagi kalau mukanya terkejut gitu, lucu.”

Kanaya rasanya ingin mengubur dirinya hidup-hidup saat ini. Mimpi apa ia semalam sehingga harus bernasib sial seperti ini?

“Dijagain pacarnya baik-baik. Gue yakin sih, banyak yang naksir sama pacar lo.” Pungkas Danny seraya menepuk bahu Haris.

Lelaki itu kemudian mengemas barang-barangnya, lalu berpamitan dengan ibu panti.

“Saya pamit bunda, kalau keadaan bunda tidak segera membaik, lekas hubungi saya ya bun,” Ucapnya lembut, hampir setengah berbisik, tapi Kanaya masih dapat mendengarnya.

Lelaki itu kemudian menghilang dibalik pintu setelah memberikan senyum terakhir kepada Kanaya.

Entah kenapa, Kanaya malah melihat senyum itu terasa menyeramkan dan dingin. Ia tiba-tiba saja menjadi takut tanpa alasan.

©️bil.

Luka, Lukisan, dan secangkir Kopi

Saya berjalan mengitari galeri lukisan ini untuk kesekian kali. Tidak pernah menyangka bahwa galeri ini akan menjadi memori lain yang memuat tentang kamu selain segala ingatan yang tersimpan di benak saya.

Senyum kamu, tatapan mata kamu, semuanya terpotret dalam lukisan yang saya tuangkan Lyla.

Kamu adalah inspirasi terbesar saya. Kamu adalah dunia tempat saya ingin tinggal dan menetap.

Ingat ketika kamu meminta melukiskan semesta? Tapi saya melukiskan kamu disana. Kamu tahu kenapa? Karena kamu adalah semesta saya Lyla.

Lantas bagaiamana cara saya berdiri tegak jika semesta saya telah runtuh berkeping?

“Ini adalah lukisan paling indah yang pernah saya lihat.” Saya terkejut. Melihat ke arah samping dan seorang wanita telah berdiri disana menatap potret wajah kamu.

“Anda sedari tadi terpaku pada lukisan ini. Saya jadi tahu apa yang membuat perhatian anda tidak teralihkan–” saya masih enggan menanggapi wanita ini.

“Lukisan ini mengambarkan cinta, kasih sayang yang amat dalam, juga kebahagiaan yang tidak dapat diukur.”

Kening saya berkerut. Mengapa dia bisa membaca dengan begitu cermat?

“Diantara semua lukisan disini, ini adalah lukisan terbesar dan anda meletakkannya ditengah bukan tanpa sebab. Tapi karena seluruh atensi hidup anda telah tertuju pada orang yang ada didalam lukisan ini.”

“Bagaimana kamu tahu?”

“Bukankah terlihat jelas bahwa saat ini anda seperti kehilangan tujuan?”

“Kamu mengejek saya?” Saya merasa terusik oleh perkataannya.

“Oh, bukan. Bukan begitu. Maksud saya, kehilangan seseorang sangat berdampak pada orang yang ditinggalkan. Itu juga terlihat pada lukisan yang baru saja anda selesaikan 2 minggu lalu.”

Gadis itu beranjak pada lukisan langit malam yang terletak disebelah kiri.

“Langit malam ini begitu gelap, bahkan tidak ada bintang dan bulan disana. Bukankah ini menggambarkan hati anda yang hampa dan putus asa?”

Saya tertegun. Wanita ini bisa merasakan semua emosi dari sebuah lukisan?

“Nama saya Karina. Saya adalah pecinta lukisan sekaligus penggemar anda bapak Yoshinori.” Ucapnya memperkenalkan diri.

“Kalau diizinkan, apakah saya boleh meminta waktu anda untuk sekedar menghabiskan secangkir kopi?” Tawarnya lagi.

Entah dorongan darimana, hati saya menolak namun kepala saya tetap mengangguk.

Hingga akhirnya, saya tidak tahu Lyla. Entah apa yang membuat saya tertarik, tapi secangkir kopi itu tidak hanya menjadi cangkir kopi pertama kami. Namun hari-hari selanjutnya cangkir kopi itu berganti dengan cangkir yang baru, cerita baru, dan pada akhirnya saya mendapatkan inspirasi baru.

@bil.

Sabtu Bersama Gio


Gio tiba dirumah Keira pukul 18.30. Ia lalu mematikan mesin Motor matic dengan brand beat itu. Lelaki lalu merogoh saku celana curduroynya dan mengambil benda persegi panjang untuk menghubungi si empu yang punya rumah.

gue udah didepan. Ketik pria itu singkat.

Berselang satu menit, Keira langsung menyembul dibalik pintu rumahnya. Gadis itu tampak menawan dengan balutan rok putih lipit selutut dan kemeja putih dipadu dengan vest berwarna lilac. Rambut panjangnya digerai lurus menambah kesan feminin pada gadis itu.

“Kei, udah malem kok pake rok pendek?” Tanya Gio yang memperhatikan sedari tadi.

“Jelek ya?”

Gio menggeleng. “Dingin, ntar lo masuk angin. Ganti jeans atau kulot aja kei.” Saran Gio.

“Tapi nanti kita telat?”

“Engga bakal, gue tunggu disini. Ntar kita ngebut, oh ya jangan lupa pake jaket.”

Keira agak murung, tapi gadis itu tetap melanjutkan langkahnya kembali kedalam rumah.

Tidak lama, gadis itu kembali.

“Jaketnya?”

“Dicuci.”

Gio menghela nafas. Ia lalu membuka jok motor dan mengeluarkan jaket jeans dari sana.

“Punya Jio ya, maaf kalau bau ketek. Kalau bau berarti keteknya Jio bukan punya gue. Kalau lo alergi habis pake jaket ini langsung mandi kembang 7 rupa ya.”

Gelak tawa Keira bersambut dengan suara jangkrik yang mulai membising. Gadis itu kemudian memakai jaket jeans yang diberikan oleh Gio.

Bertolak belakang, ternyata jeans itu mempunyai wangi maskulin yang cukup menyenangkan. Ternyata Jio wangi sekali. Pikir Keira.

Perjalanan mereka terasa seru. Diisi dengan cerita absurd Gio yang membuat Keira tak berhenti mengumbar tawa. Lelaki humoris ini benar-benar telah merenggut seluruh atensinya. Bahkan ia rela mendengarkan cerita Gio berjam-jam meskipun lawakannya kadang terdengar garing.

Sesampainya di bioskop, mereka membeli beberapa minuman juga makanan kecil. Hari ini Keira jadi tahu kalau Gio alergi pop corn atau segala hal yang berhubungan dengan jagung.

“Beli tacos aja mau ga?” Saran Keira kemudian. Gio mengangguk.

“Bentar deh Kei, ini kok posternya sama kaya film yang lo bilang?” Tunjuk Gio kepada Poster film conjuring yang tertempel disana.

“Ya bener kan? The conjuring 3. Emang ini film yang mau kita tonton.”

Seketika wajah Gio memucat. Matanya menerawang ke segala arah.

“Ja–jadi kita gak nonton film horror genre komedi?”

Kening Keira mengkerut. “Horror kan genre Gi.”

Gio mencubit pahanya pelan. bego! Keliataan bahasa indonesia lo cuma tidur dikelas doang.

“Lo takut?”

“Hah?? Ta– takut?—”

“Kalau takut kita beli tiket lain aja Gi.”

“Dih siapa juga yang takut. Gue cowok, masa takut sama pilem doang. Ayo buruan masuk.” Gio menarik tangan Keira kedalam bioskop.


Tebak apa yang terjadi?

Benar, sepanjang film diputar. Gio hanya bersembunyi dibelakang Keira. Bahkan beberapa kali lelaki itu berteriak hingga membuat atensi seluruh pengunjung bioskop beralih kepadanya.

Keira berualng kali mengulas senyum meminta maaf. Hingga kemudian ia mengajak Gio keluar meskipun film tersebut baru setengah perjalanan tayang.

Diluar, Gio menghela nafas.

“Besok-besok kalau gasuka mending bilang deh Gi. Gausah dipaksa, gue gabakal nganggep lo cemen atau cupu.” Ujar Keira.

Gio memilin rambut dibelakang telinganya. Lelaki itu malu saat ini.

“Maaf ya Kei, besok-besok kita nonton film upin ipin aja dah. Nyerah gue.” Kali ini lelaki itu bersikap jujur.

“Makan yuk? Nonton filem horror ternyata bikin laper yaa.” Ungkap Gio kemudian.

Keira mengangguk.

Mereka kemudian beranjak ke sebuah restoran pasta. Selagi menunggu pesanan mereka datang, Gio memulai ocehannya.

“Tau ga silsilah keluarga mie?”

“Mie juga punya silsilah keluarga?”

Gio mengangguk antusias.

“Jadi, spageti itu ternyata anak dari indomie keriting yang nikah sama bihun.”

Keira mendengar dengan seksama. Matanya membulat fokus pada Gio yang sedang bercerita.

“Makanya bentuk spageti berisi kaya mie kembang, warnanya putih turunan dari bihun yang putih mulus.”

Ada keheningan beberapa detik diantara percakapan itu.

“Gak lucu ya?” Tanya Gio dengan nada agak sedih.

“Eh? Lo lagi ngelawak ceritanya?”

“Hehe iya sih, galucu kan Kei?”

Keira kemudian tersenyum canggung. “Ya gimana ya, gue ga ngerti dimana lucunya?”

“Tau gak kenapa ga lucu?”

“Kenapa?”

“Lucunya udah lo ambil semua Kei.”

bgst! GIO GUE SALTING.

“Jangan lucu-lucu ya Kei, ntar gue kepikiran terus.”

Tampar gue sekarang sampe pingsan!

Keira tertawa canggung. “Haha apaan sih.”

Malam itu ditutup dengan Gio yang mengantarkan Keira hingga tiba didepan rumahnya. Satu hal yang membuat Keira tidak bisa tidur malam ini. Sebelum pulang Gio mengatakan:

“Mimpi yang baik-baik ya Kei. Semoga tidur lo nyenyak, enggak digigit nyamuk. Sampai jumpa hari senin.”

Setelah itu Gio pamit dan menghilang dibalik belokan. Keira melihat ke arah langit kemudian bergumam.

“Makasih udah jadi cerah untuk malam ini. Lo tau aja gue lagi pedekate.”

Sabtu Bersama Gio


Gio tiba dirumah Keira pukul 18.30. Ia lalu mematikan mesin Motor matic dengan brand beat itu. Lelaki lalu merogoh saku celana curduroynya dan mengambil benda persegi panjang untuk menghubungi si empu yang punya rumah.

gue udah didepan. Ketik pria itu singkat.

Berselang satu menit, Keira langsung menyembul dibalik pintu rumahnya. Gadis itu tampak menawan dengan balutan rok putih lipit selutut dan kemeja putih dipadu dengan vest berwarna lilac. Rambut panjangnya digerai lurus menambah kesan feminin pada gadis itu.

“Kei, udah malem kok pake rok pendek?” Tanya Gio yang memperhatikan sedari tadi.

“Jelek ya?”

Gio menggeleng. “Dingin, ntar lo masuk angin. Ganti jeans atau kulot aja kei.” Saran Gio.

“Tapi nanti kita telat?”

“Engga bakal, gue tunggu disini. Ntar kita ngebut, oh ya jangan lupa pake jaket.”

Keira agak murung, tapi gadis itu tetap melanjutkan langkahnya kembali kedalam rumah.

Tidak lama, gadis itu kembali.

“Jaketnya?”

“Dicuci.”

Gio menghela nafas. Ia lalu membuka jok motor dan mengeluarkan jaket jeans dari sana.

“Punya Jio ya, maaf kalau bau ketek. Kalau bau berarti keteknya Jio bukan punya gue. Kalau lo alergi habis pake jaket ini langsung mandi kembang 7 rupa ya.”

Gelak tawa Keira bersambut dengan suara jangkrik yang mulai membising. Gadis itu kemudian memakai jaket jeans yang diberikan oleh Gio.

Bertolak belakang, ternyata jeans itu mempunyai wangi maskulin yang cukup menyenangkan. Ternyata Jio wangi sekali. Pikir Keira.

Perjalanan mereka terasa seru. Diisi dengan cerita absurd Gio yang membuat Keira tak berhenti mengumbar tawa. Lelaki humoris ini benar-benar telah merenggut seluruh atensinya. Bahkan ia rela mendengarkan cerita Gio berjam-jam meskipun lawakannya kadang terdengar garing.

Sesampainya di bioskop, mereka membeli beberapa minuman juga makanan kecil. Hari ini Keira jadi tahu kalau Gio alergi pop corn atau segala hal yang berhubungan dengan jagung.

“Beli tacos aja mau ga?” Saran Keira kemudian. Gio mengangguk.

“Bentar deh Kei, ini kok posternya sama kaya film yang lo bilang?” Tunjuk Gio kepada Poster film conjuring yang tertempel disana.

“Ya bener kan? The conjuring 3. Emang ini film yang mau kita tonton.”

Seketika wajah Gio memucat. Matanya menerawang ke segala arah.

“Ja–jadi kita gak nonton film horror genre komedi?”

Kening Keira mengkerut. “Horror kan genre Gi.”

Gio mencubit pahanya pelan. bego! Keliataan bahasa indonesia lo cuma tidur dikelas doang.

“Lo takut?”

“Hah?? Ta– takut?—”

“Kalau takut kita beli tiket lain aja Gi.”

“Dih siapa juga yang takut. Gue cowok, masa takut sama pilem doang. Ayo buruan masuk.” Gio menarik tangan Keira kedalam bioskop.


Tebak apa yang terjadi?

Benar, sepanjang film diputar. Gio hanya bersembunyi dibelakang Keira. Bahkan beberapa kali lelaki itu berteriak hingga membuat atensi seluruh pengunjung bioskop beralih kepadanya.

Keira berualng kali mengulas senyum meminta maaf. Hingga kemudian ia mengajak Gio keluar meskipun film tersebut baru setengah perjalanan tayang.

Diluar, Gio menghela nafas.

“Besok-besok kalau gasuka mending bilang deh Gi. Gausah dipaksa, gue gabakal nganggep lo cemen atau cupu.” Ujar Keira.

Gio memilin rambut dibelakang telinganya. Lelaki itu malu saat ini.

“Maaf ya Kei, besok-besok kita nonton film upin ipin aja dah. Nyerah gue.” Kali ini lelaki itu bersikap jujur.

“Makan yuk? Nonton filem horror ternyata bikin laper yaa.” Ungkap Gio kemudian.

Keira mengangguk.

Mereka kemudian beranjak ke sebuah restoran pasta. Selagi menunggu pesanan mereka datang, Gio memulai ocehannya.

“Tau ga silsilah keluarga mie?”

“Mie juga punya silsilah keluarga?”

Gio mengangguk antusias.

“Jadi, spageti itu ternyata anak dari indomie keriting yang nikah sama bihun.”

Keira mendengar dengan seksama. Matanya membulat fokus pada Gio yang sedang bercerita.

“Makanya bentuk spageti berisi kaya mie kembang, warnanya putih turunan dari bihun yang putih mulus.”

Ada keheningan beberapa detik diantara percakapan itu.

“Gak lucu ya?” Tanya Gio dengan nada agak sedih.

“Eh? Lo lagi ngelawak ceritanya?”

“Hehe iya sih, galucu kan Kei?”

Keira kemudian tersenyum canggung. “Ya gimana ya, gue ga ngerti dimana lucunya?”

“Tau gak kenapa ga lucu?”

“Kenapa?”

“Lucunya udah lo ambil semua Kei.”

bgst! GIO GUE SALTING.

“Jangan lucu-lucu ya Kei, ntar gue kepikiran terus.”

Tampar gue sekarang sampe pingsan!

Keira tertawa canggung. “Haha apaan sih.”

Malam itu ditutup dengan Gio yang mengantarkan Keira hingga tiba didepan rumahnya. Satu hal yang membuat Keira tidak bisa tidur malam ini. Sebelum pulang Gio mengatakan:

“Mimpi yang baik-baik ya Kei. Semoga tidur lo nyenyak, enggak digigit nyamuk. Sampai jumpa hari senin.”

Setelah itu Gio pamit dan menghilang dibalik belokan. Keira melihat ke arah langit kemudian bergumam.

“Makasih udah jadi cerah untuk malam ini. Lo tau aja gue lagi pedekate.”

Sabtu Bersama Gio


Gio tiba dirumah Keira pukul 18.30. Ia lalu mematikan mesin Motor matic dengan brand beat itu. Lelaki lalu merogoh saku celana curduroynya dan mengambil benda persegi panjang untuk menghubungi si empu yang punya rumah.

gue udah didepan. Ketik pria itu singkat.

Berselang satu menit, Keira langsung menyembul dibalik pintu rumahnya. Gadis itu tampak menawan dengan balutan rok putih lipit selutut dan kemeja putih dipadu dengan vest berwarna lilac. Rambut panjangnya digerai lurus menambah kesan feminin pada gadis itu.

“Kei, udah malem kok pake rok pendek?” Tanya Gio yang memperhatikan sedari tadi.

“Jelek ya?”

Gio menggeleng. “Dingin, ntar lo masuk angin. Ganti jeans atau kulot aja kei.” Saran Gio.

“Tapi nanti kita telat?”

“Engga bakal, gue tunggu disini. Ntar kita ngebut, oh ya jangan lupa pake jaket.”

Keira agak murung, tapi gadis itu tetap melanjutkan langkahnya kembali kedalam rumah.

Tidak lama, gadis itu kembali.

“Jaketnya?”

“Dicuci.”

Gio menghela nafas. Ia lalu membuka jok motor dan mengeluarkan jaket jeans dari sana.

“Punya Jio ya, maaf kalau bau ketek. Kalau bau berarti keteknya Jio bukan punya gue. Kalau lo alergi habis pake jaket ini langsung mandi kembang 7 rupa ya.”

Gelak tawa Keira bersambut dengan suara jangkrik yang mulai membising. Gadis itu kemudian memakai jaket jeans yang diberikan oleh Gio.

Bertolak belakang, ternyata jeans itu mempunyai wangi maskulin yang cukup menyenangkan. Ternyata Jio wangi sekali. Pikir Keira.

Perjalanan mereka terasa seru. Diisi dengan cerita absurd Gio yang membuat Keira tak berhenti mengumbar tawa. Lelaki humoris ini benar-benar telah merenggut seluruh atensinya. Bahkan ia rela mendengarkan cerita Gio berjam-jam meskipun lawakannya kadang terdengar garing.

Sesampainya di bioskop, mereka membeli beberapa minuman juga makanan kecil. Hari ini Keira jadi tahu kalau Gio alergi pop corn atau segala hal yang berhubungan dengan jagung.

“Beli tacos aja mau ga?” Saran Keira kemudian. Gio mengangguk.

“Bentar deh Kei, ini kok posternya sama kaya film yang lo bilang?” Tunjuk Gio kepada Poster film conjuring yang tertempel disana.

“Ya bener kan? The conjuring 3. Emang ini film yang mau kita tonton.”

Seketika wajah Gio memucat. Matanya menerawang ke segala arah.

“Ja–jadi kita gak nonton film horror genre komedi?”

Kening Keira mengkerut. “Horror kan genre Gi.”

Gio mencubit pahanya pelan. bego! Keliataan bahasa indonesia lo cuma tidur dikelas doang.

“Lo takut?”

“Hah?? Ta– takut?—”

“Kalau takut kita beli tiket lain aja Gi.”

“Dih siapa juga yang takut. Gue cowok, masa takut sama pilem doang. Ayo buruan masuk.” Gio menarik tangan Keira kedalam bioskop.


Tebak apa yang terjadi?

Benar, sepanjang film diputar. Gio hanya bersembunyi dibelakang Keira. Bahkan beberapa kali lelaki itu berteriak hingga membuat atensi seluruh pengunjung bioskop beralih kepadanya.

Keira berualng kali mengulas senyum meminta maaf. Hingga kemudian ia mengajak Gio keluar meskipun film tersebut baru setengah perjalanan tayang.

Diluar, Gio menghela nafas.

“Besok-besok kalau gasuka mending bilang deh Gi. Gausah dipaksa, gue gabakal nganggep lo cemen atau cupu.” Ujar Keira.

Gio memilin rambut dibelakang telinganya. Lelaki itu malu saat ini.

“Maaf ya Kei, besok-besok kita nonton film upin ipin aja dah. Nyerah gue.” Kali ini lelaki itu bersikap jujur.

“Makan yuk? Nonton filem horror ternyata bikin laper yaa.” Ungkap Gio kemudian.

Keira mengangguk.

Mereka kemudian beranjak ke sebuah restoran pasta. Selagi menunggu pesanan mereka datang, Gio memulai ocehannya.

“Tau ga silsilah keluarga mie?”

“Mie juga punya silsilah keluarga?”

Gio mengangguk antusias.

“Jadi, spageti itu ternyata anak dari indomie keriting yang nikah sama bihun.”

Keira mendengar dengan seksama. Matanya membulat fokus pada Gio yang sedang bercerita.

“Makanya bentuk spageti berisi kaya mie kembang, warnanya putih turunan dari bihun yang putih mulus.”

Ada keheningan beberapa detik diantara percakapan itu.

“Gak lucu ya?” Tanya Gio dengan nada agak sedih.

“Eh? Lo lagi ngelawak ceritanya?”

“Hehe iya sih, galucu kan Kei?”

Keira kemudian tersenyum canggung. “Ya gimana ya, gue ga ngerti dimana lucunya?”

“Tau gak kenapa ga lucu?”

“Kenapa?”

“Lucunya udah lo ambil semua Kei.”

bgst! GIO GUE SALTING.

“Jangan lucu-lucu ya Kei, ntar gue kepikiran terus.”

Tampar gue sekarang sampe pingsan!

Keira tertawa canggung. “Haha apaan sih.”

Malam itu ditutup dengan Gio yang mengantarkan Keira hingga tiba didepan rumahnya. Satu hal yang membuat Keira tidak bisa tidur malam ini. Sebelum pulang Gio mengatakan:

“Mimpi yang baik-baik ya Kei. Semoga tidur lo nyenyak, enggak digigit nyamuk. Sampai jumpa hari senin.”

Setelah itu Gio pamit dan menghilang dibalik belokan. Keira melihat ke arah langit kemudian bergumam.

“Makasih udah jadi cerah untuk malam ini. Lo tau aja gue lagi pedekate.”

EPILOGUE- 1 Tahun Kemudian.


Perihal perpisahan.

Aku belajar tentang banyak hal.

Aku belajar bahwa apa yang kita miliki tak selamanya bisa kita genggam.

Aku belajar bahwa sejatinya, cinta itu adalah hal yang sangat mulia.

Ia tumbuh bersama kasih sayang yang dipupuk dengan ikhlas.

Oleh karena itu, kedatangannya adalah hal yang membahagiakan bagi tiap-tiap jiwa yang kosong.

Kepergiannya merupakan hal menyakitkan bagi tiap-tiap raga yang tengah berbahagia.

Antara aku dan David.

Kami telah memutuskan untuk berjalan diatas arus yang berbeda.

Kisah kami tidak dapat dituliskan bersama lagi.

Perihal rasa, dia masih tertanam kuat didalam dada. Mengakar dengan kuat hingga menggerogoti hati yang setiap harinya terasa menyesakkan.

Tapi, ada alasan lain yang membuat aku harus bertahan.

Bahkan aku punya ribuan alasan untuk tetap bertahan.

Aku tak mau menyerah hanya karena cinta pertamaku yang kandas.

Hidupku tidak hanya berporos pada seorang David Gionino.

Tapi David, jika kamu tengah membaca tulisan ini, aku ingin mengatakan terimakasih untuk semuanya.

Terimakasih untuk 6 tahun yang sangat membahagiakan. Senyum kamu, tawa kamu, cara kamu bercanda, cara kamu mencintai aku, semuanya adalah kebahagiaan besar yang aku terima karena telah membersamai kamu selama 6 tahun lamanya.

Aku tidak pernah menyesal menyandang gelar -Dindanya David.

Aku tidak pernah menyesal menghabiskan seluruh masa remajaku bersama kamu.

Aku tidak pernah nenyesal mencintai kamu tanpa syarat.

Perihal kesalahpahaman yang menjadikan alasan akhirnya kita berpisah, mungkin itu cara Tuhan memberitahukan kita bahwa kebersamaan yang akan kita lalui selanjutnya hanya berisikan luka.

Kita di minta untuk mencari bahagia dengan cara kita masing-masing.

Selamat tinggal cinta pertamanya Dinda. Kutitipkan salam kepadamu, pemuda tampan yang kini tengah mengucapkan janji suci pada mempelai wanita lain di negeri seberang samudera.

Semoga kalian berbahagia.

Dindavid-Move On- end.

Dunia tempat Dinda bersandar


Langit jingga menyembul ke permukaan tanpa ragu. Petang telah menyapa, sang raja langit beranjak kembali ke peraduan.

Seorang gadis terduduk ditengah dua buah makam dengan mata sembab. Ia telah menghabiskan waktu selama 10 jam berada disana. Entah mengapa, ia pikir datang kesini bisa membuat hatinya lebih tenang.

Hati yang patah itu kini mengucurkan luka yang menganga. Sakit, perih, pedih dan lara bercampur menjadi satu. Ia bahkan tak mampu berkata untuk sekedar menenangkan dirinya sendiri. Tak ada tempat untuk dirinya bersandar. Dunia kelam yang telah ia tinggalkan 10 tahun lamanya kini kembali memeluk gadis itu dengan erat.

“Ibu, Ayah‐” rintihnya pelan.

“Dinda lemah banget ya? Masa cuma gara-gara seorang lelaki yang udah jahat ke Dinda, Dinda bisa sehancur ini?” Monolog gadis itu.

“Dinda gak pernah menyesali pertemuan Dinda dan David, tapi hati Dinda perih melepaskan dan melupakan semua kenangan yang udah kami lalui–”

“Menangis pun rasanya gak cukup. Dinda sayang banget sama David. Tapi semesta enggak mengizinkan kami untuk bersatu.”

“Gimana cara Dinda belajar ikhlas? Rasanya Dinda hilang arah.”

Kini gadis itu kembali terisak. Entah kali keberapa, namun ia tidak bisa berhenti mengingat kenangan antara dirinya dan David.

“Dinda—” sebuah suara familiar mengusik gadis itu. Dinda berbalik namun tubuhnya langsung didekap dengan lembut.

Hangat

Nyaman

Entah mengapa tiba-tiba Dinda merasakan ketenangan mendengar detak jantung lain disebelahnya. Ternyata dia tidak sendiri.

“Jangan takut, gue disini.” Ucap suara bariton itu sembari mengusap punggung Dinda lembut.

“Lo bisa melalui semuanya. Lo enggak sendiri Din. Ada gue, gue bakal selalu ada di sisi lo. Gak cuma gue, ada Zarra ada Dio. Kita semua sayang sama lo.” Lelaki itu mengeratkan pelukannya.

“Jero–” panggil gadis itu pelan.

“Hmm?”

“Maaf–”

“Lo gak salah apa-apa kok Din.”

“Maaf karena sampai saat ini gabisa bales perasaan lo. Maaf karena gue terlalu egois. Gue gamau persahabatan kita hancur karena rasa tak biasa yang dimiliki oleh seorang sahabat. Maaf karena gue egois mau lo selalu ada disisi gue sebagai sahabat, Maaf–”

“Din–”

“–makasih ya udah mau jujur. Makasih udah mau jadi sahabat gue. Masalah perasaan gue ga perlu kita bicarakan, yang penting saat ini gue mau liat lo kembali jadi Dinda yang dulu. Dinda yang tersenyum, Dinda yang selalu ceria, jadi tolong jangan sedih-sedih lagi ya.”

Dinda menarik tubuhnya dari dekapan Jerome.

“Makasih Jero udah selalu ada. Makasih.”

Lelaki itu tersenyum memamerkan whisker smile miliknya. Ia mengacak rambut Dinda pelan.

“Anytime Dinda.”

“Sekarang kita balik ya? Yang lain udah pada nungguin.” Ujarnya lembut.

Dinda menghapus sisa airmatanya dan mengangguk. Gadis itu kemudian tersenyum.

I think I should tell you today Like the sun that always shines I want you to smile like that ever day So that I could keep you forever Because you shine the brightest in my eyes

Orange–Treasure