write.as/jeongwooniverse/

Pertemuan Tak disengaja


Praktikum telah berakhir. Dinda segera mengemasi peralatan labnya kedalam sebuah kotak agar barang-barang kaca itu tidak pecah. Ia menanggalkan jas labnya dan melipatnya asal.

“Buru-buru banget sih Din?” Tanya zarra yang masih melipat jas labnya dengan tenang.

“Udah ada janji.” Ucap gadis itu kemudian berlari meninggalkan laboratorium.

Zarra, Dio dan Jerome hanya saling berpandangan tak mengerti apa yang membuat Dinda terburu-buru pergi.


Dinda melihat kearah jam tangannya. Jarum sudah menunjukkan pukul 4 sore. Ia mencoba menelpon seseorang namun tidak ada jawaban dari seberang. Gadis itu kini berhenti didepan sekretariat UKM musik yang tertutup, sayup-sayup ia mendengar suara Yedam yang sedang mengecek nada.

Ruang UKM musik memang dibuat kedap suara, namun berdiri didepan pintunya membuat kita dapat mendengar sayup-sayup suara mereka yang sedang latihan.

Dinda menarik nafas, kemudian mengetuk pintu perlahan.

Tidak lama pintu terbuka, menampilkan figur Yedam berdiri dihadapannya.

“Dinda?” Panggil Yedam heran.

Gadis itu tersenyum, matanya menerawang kedalam ruangan mencari seseorang yang ingin ia temui. Namun tatapannya malah bertemu dengan visus seseorang yang ia hindari. Seseorang yang telah mematahkan hatinya. Netra itu menangkap atensi mantan pacarnya yang tengah menggenggam microfon seakan bersiap untuk bernyanyi.

Mereka saling menatap untuk beberapa saat, hingga tepukan Yedam menyadarkan Dinda dari lamunannya.

“Lo cari siapa Din?”

“Ah, Alvaro ada?” Tanya Dinda tersenyum ke arah Yedam.

“Alvaro?” Yedam mencoba memastikan. “OH Si Haris?? Tadi sih keluar sebentar anaknya—”

“Loh Dinda?” Alvaro tiba-tiba sudah berdiri dibelakang Dinda entah sejak kapan.

“Eh, hai!” Dinda menyambut kedatangan pemuda jangkung itu dengan senyuman tulus.

“Katanya lo ada praktikum? Kok disini?”

“Udah selesai kok, gue kesini mau liat orang pamer soalnya.”

Alvaro tertawa. Lelaki itu kemudian merangkul tubuh Dinda masuk kedalam ruangan. “Ayo masuk.” Ucapnya santai. Lelaki itu tidak tahu sama sekali bahwa didalam sana ada seseorang yang menatap kearah mereka dengan tatapan tak suka.

Awalnya Dinda ragu untuk melanjutkan niatnya melihat penampilan Alvaro. Namun jika ia lari, sampai kapanpun ia tidak akan berani menghadapi David.

Dinda menggenggam jemarinya sembari menguatkan hati. Mengacuhkan tatapan David yang sedari tadi tidak lepas dari dirinya. Gadis itu ingin menunjukkan bahwa ia tidak lemah dan bahagia saat ini. .

Yedam yang memahami atmosfer ruangan mulai tidak stabil langsung mengambil alih.

“Justin, ayo rekaman duluan.” Ujar Yedam. Justin pun langsung memasuki studio rekaman.

Sementara David masih teduduk di pojok ruangan menyaksikan Dinda yang bercengkrama dengan laki-laki lain. Lelaki itu jelas saja terlihat cemburu. Bagaimana tidak? Gadis yang sekarang berstatus sebagai mantan pacarnya itu kini sedang tertawa bahagia dengan seseorang asing bernama Haris Alvaro.

Tidak tahan, David akhirnya bangkit dari tempat duduknya dan berjalan ke arah Dinda. Yedam yang melihat hal tersebut juga refleks terbangun, takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

“Haris.” Panggil David dengan suara pelan. Ia menekan emosinya dalam-dalam.

Alvaro menoleh ke arah David, begitupula Dinda yang terkejut melihat David sudah berdiri di belakangnya.

“Boleh pinjem Dinda sebentar?” Tanyanya dengan nada hampir setengah berbisik.

David melihat ke arah Dinda dengan tatapan memohon. Dinda menghela nafas. “Gue bicara sama dia sebentar ya?” Dinda meminta persetujuan Alvaro.

Alvaro mengangguk santai. Lelaki itu kini tahu bahwa ada yang belum terselesaikan antar dua mantan kekasih ini. Karena tadinya Dinda sempat berbisik kepada Alvaro bahwa David merupakan orang yang selama ini ia ceritakan.

Mereka meninggalkan ruang ukm musik dan pergi ke taman belakang agar dapat berbicara lebih intensif.

“Apa kabar Din?” Tanya David basa-basi.

“Lo serius nanya kabar gue?” Balas Dinda terlihat abai.

“Din, ada kesalahpahaman yang belum gue jelasin ke lo. Gue mohon lo mau denger.”

“Apa dengan mendengar semua penjelasan ini bakal bikin keadaan berubah Dav?”

David terdiam, menatap Dinda dengan hati yang hancur. Ternyata Dindanya tidak ingin mendengar penjelasannya.

“Setidaknya lo tau kebenarannya Din, gue—”

“Gue capek Dav. Tolong, please banget jangan ganggu gue lagi bisa? Baru seminggu ini gue merasakan bebas dan lepas. Sebulan kebelakang gue ngerasa kaya Zombie. Gue ngerasa kaya hati gue udah mati total. Hampa rasanya, semu. Gue nunggu dan gak ada jawaban serta kepastian. Jadi please, leave me alone and give me some space, kita udah selesai.”

Gadis itu terus mencecar David dengan airmata yang terus mengalir. Hatinya sakit, tapi melihat David membuatnya ribuan kali menyakitkan. Dinda benar-benar lelah.

David berusaha mengusap airmata Dinda yang jatuh karenanya namun gadis itu langsung berpaling. Ia bahkan berlari meninggalkan David yang masih mematung disana.

Lelaki itu menghela nafas berat.

“gue kasih waktu ya Din? Nanti kalau udah waktunya gue bakal balik untuk bikin lo bahagia. Gue masih bisa melihat kasih sayang itu belum menghilang. At least gue tau, hati lo masih ada untuk gue.”

Dear Asa

Dear Asa

Hujan tidak pernah mengeluh meskipun ia jatuh berkali-kali. Itu karena ia tahu, bahwa kedatangannya mampu memberikan kenangan bagi semua orang.

Begitupula aku, yang tidak pernah menyesal pernah jatuh cinta kepada seseorang seperti kamu. Lelaki berambut perak yang tidak menyukai tomat dan penyuka susu beruang

Kamu tahu Asa? Malam diciptakan agar kita semua bisa beristirahat dan tidur dengan nyenyak. Tapi bagiku, Malam diciptakan secara istimewa agar aku mampu mengenalmu.

Dear Asa

Aku masih disini, mencintai seseorang yang raganya sudah pergi. Tapi aku yakin jiwamu masih bisa ku tempati.

Ada ribuan kilometer jarak yang memisahkan kita, bahkan puluhan dimensi bersiaga membentuk perisai untuk menghalangi aku bertemu denganmu. Tapi mereka lupa bahwa hati kita tetap menyatu.

Asa

Hal yang paling menyakitkan adalah ketika tahu bahwa kamu tidak lagi bisa menjadi alasan aku tersenyum.

Hal yang paling menyakitkan adalah ketika tahu bahwa ragamu tak bisa lagi jadi sandaran hatiku yang rapuh.

Dear Asa

Selamat jalan kamu yang ku cinta.

Aku disini melepaskan kamu bersamaan dengan deburan ombak menuju samudera.

Berbahagialah kamu, hingga kita berjumpa di keabadian.

sincerely, cinta pertama dan terakhirmu

Chiara Aletta

EPILOGUE


3 Tahun kemudian.

Semburat senja menyala jingga. Menunjukkan bahwa malam akan menyapa.

Burung-burung berlomba lari menuju tempat peristirahatan mereka.

Para pekerja tersenyum hangat mengingat tugas mereka sudah selesai.

Namun seorang gadis masih setia duduk menyesap caramel macchiato nya tanpa merasa terusik dengan malam yang mulai menyapa. Deru aliran air di dinding cafe menyebarkan auara alam yang menenangkan.

Pandangannya masih terpikat pada benda persegi panjang selebar 11 inci dihadapannya. Gadis itu terlihat fokus dan tidak bisa diganggu.

Dering ponsel mengalihkan perhatiannya. Sebuah nama yang tidak asing tertera disana. Ia tersenyum dan segera mengangkat panggilan istimewa tersebut.

“Chia, masih lama skripsiannya? Bunda pingin seblak.” Ucap suara di seberang menyapa.

Gadis itu tersenyum. “Chia pulangnya agak malam ya bun, tanggung soalnya. Besok mau bimbingan lagi.”

Terdengar helaan nafas diseberang.

“Seblak bunda gimana jadi?”

“Chia gofood aja ya bun. Maaf banget gabisa pulang sekarang.” Gadis itu memperlihatkan wajah bersalah meskipun suara diseberang tidak dapat melihatnya.

“Oke, tapi kamu jangan lama-lama pulangnya. Oke?”

“Siap ibu negaraa.”

Setelah mengucapkan 'pamit', panggilan terputus begitu saja.

Tepat setelah panggilan terputus, Chiara mendapatkan sebuah email dari sahabat terbaiknya, Yeji.

Email tersebut menampilkan sebuah undangan pernikahan dirinya dengan seseorang yang ia cintai dan mencintai dirinya. Bersamaan dengan foto pre-wedding yang terbilang unik. Yeji memakai gaun berwarna putih yang cantik, sedangkan calon suaminya memakai jas dokter kebanggaannya.

Benar, Yeji pada akhirnya memutuskan untuk menerima pinangan Yedam 6 bulan yang lalu setelah berpacaran selama satu setengah tahun.

Chiara dapat melihat kedua insan tersebut memang saling mendamba. Tidak memaksakan ego dan sangat menghargai satu sama lain. Bisa dibilang mereka adalah couple goals yang dibicarakan oleh orang-orang.

Chiara tersenyum tulus. Pada akhirnya, cerita happy ending yang diinginkan Yeji akan tercapai sebentar lagi. Chiara turut berbahagia.

Lalu bagaimana dengan dirinya?

Chiara masih berjalan di dunianya. Dunia dimana hati yang ia miliki masih ditempati oleh seseorang bernama Asahi.

Chiara sudah mengikhlaskan, namun belum bisa melupakan.

Tragedi 3 tahun lalu benar-benar membuat dirinya jatuh pada titik terendah dalam kehidupannya.  Dunianya seolah berhenti. Chiara bahkan terancam putus kuliah jika bukan Bunda Asahi yang datang membawa secercah harapan bagi Chia. Dua wanita itu kemudian berbagi luka yang sama dan mencari celah untuk memulai bahagia.

Hingga kini, mereka berhasil melawan badai kelam itu.

Mata Chiara menerawang tiap-tiap sudut cafe. Ingatannya dibawa kembali mengingat percakapan mengenai susu beruang 3 tahun lalu. Gadis itu tersenyum simpul. Ah, dia merindukan belahan jiwanya.

Apa kabar kamu jiwa yang sudah tenang disana?

Aku disini baik-baik saja dan selalu mencoba untuk baik-baik saja.

Hati ini masih mencinta dan mendamba, namun ragamu tak bisa kugenggam dengan sempurna.

Chiara kemudian menghela nafas. Menatap layar laptop yang sedari tadi ia abaikan. Apapun yang terjadi Chiara harus menyelesaikan kuliahnya tahun ini.

Setelah terpuruk 3 tahun lalu, Chiara mengambil cuti kuliah untuk mengobati keadaan psikisnya. Hal itu membuat Chia tertinggal dari teman-temannya. Tapi Chiara tidak menyesali hal itu, berlibur selama setahun memang benar-benar memulihkan hatinya dan membuat dirinya bangkit dari keterpurukan.

“Boleh duduk disini?” Sebuah suara bariton menginterupsi lamunan Chiara. Gadis itu tersadar dan menatap daksa yang berdiri di hadapannya.

“Maaf bukan mau sok kenal, tapi tempat yang lain udah penuh.” Sambung suara itu lagi.

Chiara mengangguk ragu kemudian mempersilahkan lelaki itu duduk.

“Kenalin, gue Arjuna. Biasa dipanggil Juna.” Lelaki itu mengulurkan tangannya.

Chiara membalas uluran tangan lelaki itu dengan ramah. “Chiara.”

Setelah perkenalan singkat itu, keduanya pun terdiam dan kembali pada pekerjaan masing-masing. Bersikap seolah mereka hanya ditakdirkan bertemu sesaat.

Tanpa mereka ketahui, dimasa depan. Tangan yang menggenggam tangan Chiara hari itu, akan menjadi tangan yang memasangkan cicin yang mengikat mereka untuk bersama selamanya.

End.

Dinda dan Hujan


Dinda dan Alvaro baru saja menyelesaikan aktivitas makan siang mereka. Awalnya mereka berniat untuk berkeliling di taman kota, namun hujan mengguyur bumi secara tiba-tiba membuat mereka harus meneduh di suatu tempat. Akhirnya Dinda dan Alvaro berteduh dibawah halte yang kosong.

“Haduh, kasian rambut baru udah kena hujan.” Ujar Alvaro menepuk-nepuk kepala Dinda.

Gadis itu segera mencegah tangan Alvaro. “Jangan ditepuk di kepala, nanti gue jadi bodoh.” Ujarnya dengan raut wajah cemberut.

Al tertawa. “Mana ada orang ditepuk kepala nya jadi bodoh. Aneh-aneh aja deh lu.”

Dinda kemudian menengadahkan tangannya, merasakan bulir-bulir tetesan hujan membasahi tangannya yang hangat.

“Al, mau ikut gue ga?” Tanyanya. 

Alvaro mengkerutkan keningnya kebingungan. Tiba-tiba saja Dinda menarik tangannya dan membawa Alvaro berdiri dibawah hujan. Dinda langsung tertawa gembira tanpa khawatir bahwa dirinya dan Alvaro sudah basah kuyup.

“AL SEGER KAYA MANDI DI WATERBOOM.” Teriak Dinda antusias. Beruntung tidak ada siapa-siapa disana.

Alvaro hanya terkekeh mendengar ocehan Dinda. Lelaki itu melihat Dinda menari kegirangan dibawah rintik air yang membasahi bumi.

Entah kenapa, melihat Dinda tertawa begitu lepas membuat Jantung Alvaro berdebar.

Tawa itu memberikan efek yang besar bagi tubuhnya. Beberapa memori terputar dalam benaknya seperti film dokumenter.

Tawa itu tiba-tiba berubah menjadi tawa yang tidak asing. Tawa yang sangat ia rindukan dulu.

Eca?

Alvaro langsung mengerjapkan matanya. Bayangan mantan kekasihnya yang telah pergi sekilas terpancar di wajah Dinda. Lelaki itu akhirnya sadar bahwa dia hanya berhalusinasi.

“AL KOK DIEM AJA SII, AYO LOMPAT-LOMPAT. AYO TERIAK GA BAKAL ADA YANG DENGER.” Dinda terlihat seperti anak kecil yang kesenangan saat hujan turun.

Alvaro tertawa, ia hanya berjalan pelan mendekati Dinda. Gadis itu malah menari-nari dengan bebas seolah dunia hanya dihuni oleh dirinya sendiri.

Alvaro bisa melihat Dinda benar-benar senang dan tertawa begitu lepas.

Hujan yang sendu ketika mereka pertama kali bertemu kini berganti menjadi hujan yang penuh canda tawa. Alvaro lega melihatnya. Setidaknya, Dinda tidak perlu berlama-lama terpuruk dalam kesedihan seperti dirinya dulu.

“Udah Din, pulang yuk. Ntar lo sakit.” Ujar Alvaro kemudian.

“Ih gak mau. Tunggu 5 menit lagi.” Ujarnya dengan nada merengek.

Baru saja Alvaro mendekat ingin menarik lengan Dinda agar mau ikut pulang, Dinda merasa tubuhnya limbung hampir terpeleset. Namun Alvaro dengan sigap menangkap tubuhnya.

Mereka membeku sesaat. Wajah Dinda hanya berjarak beberapa centi dari wajah Alvaro, dua netra itu menatap dalam diam. Tidak ada vokal yang keluar, namun tatapan mereka seolah berbicara.

Entah apa yang mendorong Alvaro, wajah lelaki itu kian mendekat, tak ada penolakan dari Dinda, gadis itu bahkan menutup mata. Hingga kemudian Al menjatuhkan sebuah kecupan hangat di kening Dinda.

Jantung Dinda berdegup kencang. Begitu pula dengan Alvaro. Suara hujan seolah membisu seketika.

Tiba-tiba bayangan David terlintas dalam benak Dinda membuat gadis itu membuka mata dan langsung mendorong Alvaro.

Hujan masih membasahi jalanan yang mereka pijak, namun kedua insan tersebut langsung merasa canggung satu sama lain.

“Ka-kayanya gu-gue pulang naik taksi aja.” Ucap Dinda tergagap.

Alvaro menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Ya-yakin Din?”

Dinda mengangguk cepat. Ia kemudian berlari menerobos hujan dan segera hilang dari pandangan Alvaro.

Lelaki itu menghela nafas.

“Alvaro Tolol.”

Dinda dan Hujan


Dinda dan Alvaro baru saja menyelesaikan aktivitas makan siang mereka. Awalnya mereka berniat untuk berkeliling di taman kota, namun hujan mengguyur bumi secara tiba-tiba membuat mereka harus meneduh di suatu tempat. Akhirnya Dinda dan Alvaro berteduh dibawah halte yang kosong.

“Haduh, kasian rambut baru udah kena hujan.” Ujar Alvaro menepuk-nepuk kepala Dinda.

Gadis itu segera mencegah tangan Alvaro. “Jangan ditepuk di kepala, nanti gue jadi bodoh.” Ujarnya dengan raut wajah cemberut.

Al tertawa. “Mana ada orang ditepuk kepala nya jadi bodoh. Aneh-aneh aja deh lu.”

Dinda kemudian menengadahkan tangannya, merasakan bulir-bulir tetesan hujan membasahi tangannya yang hangat.

“Al, mau ikut gue ga?” Tanyanya. 

Alvaro mengkerutkan keningnya kebingungan. Tiba-tiba saja Dinda menarik tangannya dan membawa Alvaro berdiri dibawah hujan. Dinda langsung tertawa gembira tanpa khawatir bahwa dirinya dan Alvaro sudah basah kuyup.

“AL SEGER KAYA MANDI DI WATERBOOM.” Teriak Dinda antusias. Beruntung tidak ada siapa-siapa disana.

Alvaro hanya terkekeh mendengar ocehan Dinda. Lelaki itu melihat Dinda menari kegirangan dibawah rintik air yang membasahi bumi.

Entah kenapa, melihat Dinda tertawa begitu lepas membuat Jantung Alvaro berdebar.

Tawa itu memberikan efek yang besar bagi tubuhnya. Beberapa memori terputar dalam benaknya seperti film dokumenter.

Tawa itu tiba-tiba berubah menjadi tawa yang tidak asing. Tawa yang sangat ia rindukan dulu.

Eca?

Alvaro langsung mengerjapkan matanya. Bayangan mantan kekasihnya yang telah pergi sekilas terpancar di wajah Dinda. Lelaki itu akhirnya sadar bahwa dia hanya berhalusinasi.

“AL KOK DIEM AJA SII, AYO LOMPAT-LOMPAT. AYO TERIAK GA BAKAL ADA YANG DENGER.” Dinda terlihat seperti anak kecil yang kesenangan saat hujan turun.

Alvaro tertawa, ia hanya berjalan pelan mendekati Dinda. Gadis itu malah menari-nari dengan bebas seolah dunia hanya dihuni oleh dirinya sendiri.

Alvaro bisa melihat Dinda benar-benar senang dan tertawa begitu lepas.

Hujan yang sendu ketika mereka pertama kali bertemu kini berganti menjadi hujan yang penuh canda tawa. Alvaro lega melihatnya. Setidaknya, Dinda tidak perlu berlama-lama terpuruk dalam kesedihan seperti dirinya dulu.

“Udah Din, pulang yuk. Ntar lo sakit.” Ujar Alvaro kemudian.

“Ih gak mau. Tunggu 5 menit lagi.” Ujarnya dengan nada merengek.

Baru saja Alvaro mendekat ingin menarik lengan Dinda agar mau ikut pulang, Dinda merasa tubuhnya limbung hampir terpeleset. Namun Alvaro dengan sigap menangkap tubuhnya.

Mereka membeku sesaat. Wajah Dinda hanya berjarak beberapa centi dari wajah Alvaro, dua netra itu menatap dalam diam. Tidak ada vokal yang keluar, namun tatapan mereka seolah berbicara.

Entah apa yang mendorong Alvaro, wajah lelaki itu kian mendekat, tak ada penolakan dari Dinda, gadis itu bahkan menutup mata. Hingga kemudian Al menjatuhkan sebuah kecupan hangat di kening Dinda.

Jantung Dinda berdegup kencang. Begitu pula dengan Alvaro. Suara hujan seolah membisu seketika.

Tiba-tiba bayangan David terlintas dalam benak Dinda membuat gadis itu membuka mata dan langsung mendorong Alvaro.

Hujan masih membasahi jalanan yang mereka pijak, namun kedua insan tersebut langsung merasa canggung satu sama lain.

“Ka-kayanya gu-gue pulang naik taksi aja.” Ucap Dinda tergagap.

Alvaro menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Ya-yakin Din?”

Dinda mengangguk cepat. Ia kemudian berlari menerobos hujan dan segera hilang dari pandangan Alvaro.

Lelaki itu menghela nafas.

“Alvaro Tolol.”

Penjelasan


Danny menatap David dengan mata sinis tak suka, terlebih ketika lelaki itu selesai menyanyikan lagu yang tidak dipahami olehnya. Menyadari tatapan Danny, David langsung buka suara.

“Itu mata hampir keluar, ngeri amat. “

“Itu lagu apaan dah? Bahasa planet mana?”

David meletakkan gitarnya disebelah kiri. “Bahasa korea.”

Danny membulatkan mulutnya membentuk O. Lelaki itu kemudian menyesap kopinya.

“Lo sadar ga sih kalau Dinda udah banyak mengubah lo? i mean dalam artian yang baik. Dia bikin lo mendalami sesuatu yang gak pernah lo suka. Kaya korea-koreaan itu. Terus lo ingat ga? kalau bukan karena Dinda, lo bakal jadi perokok berat kan Dav? Tapi lo bisa tahan semuanya berkat Dinda. Gue salut sebenarnya. “

David mengehela nafas. “Gue juga bingung kenapa gue dapet musibah seberat ini.”

“Cerita ke gue. Biar gue tau, kalau enggak, selamanya gue bakal anggep lo tolol karena mutusin Dinda.”

“Ya, lo gak sepenuhnya salah.”

“Terus apa masalahnya?”.

David terdiam sesaat. Lelaki itu kemudian bercerita dari awal. Dimulai dari masalah keluarganya, tentang Chloe dan Mario. Tentang malam anniversary ke 6 yang sangat menyakitkan. Juga beberapa kisah masa lalu yang ia pendam sendiri.

Danny adalah pendengar yang baik, sepanjang David bercerita lelaki itu hanya memberikan tatapan simpati kepada David. Seketika ia menyesal kenapa tidak bertemu David lebih cepat agar dapat membantunya di masa lalu.

“Boleh gue tanya sesuatu?” Danny akhirnya buka suara setelah David menyelesaikan ceritanya. “Lo suka sama Chloe?”

Lelaki itu spontan menggeleng. “Gue anggep dia adik, dari awal. Gue ga pernah tau dia punya perasaan lebih ke gue. Gue bahkan gatau kalau Chloe se-nekat itu.”

“Menurut gue cara main dia udah ga sehat. Dia terobsesi sama lo. Dia bahkan dengan gampang ngakuin lo sebagai pacarnya. “

“Gue bingung Dan, sumpah. Ga ngerti harus gimana.”

“Mario tau?” Tanya Danny.

David menggeleng. “Gue gamau dia kepikiran. Soalnya dia udah sepenuhnya percaya sama gue.”

Kali ini ekspresi Danny langsung berubah menjadi kesal. “ Ya lo pikir aja lah anjing. Lo gak mau orang lain kepikiran, tapi lo mau nanggung semuanya sendiri. SOK BAIK YA LO.” lelaki itu gemas.

“Dav. Lo udah menjalankan tugas dan tanggung jawab lo, persetan masalah hutang budi, yang penting niat baik lo udah lo tunaikan. Tapi masalah perasaan engga masuk dalam tanggung jawab lo! Masalah perasaan seharusnya lo lebih mementingkan Dinda diatas segalanya apapun resikonya. Kalau lo gak sanggup menghadapi Chloe, ya kembaliin dia ke Mario atau keluarganya. Heran gue sama lo, KADANG BEGO SAMA BAIK EMANG TIPIS PERBEDAANNYA DAV.”

“Tapi, dia sakit Dan. Waktunya gak lama lagi, dia mau punya kenangan baik sebelum pergi.”

Sorry banget nih ya gue ngomong gini. Tapi kalau sakit itu berobat, cari cara biar dia bisa sembuh atau kalau emang gabisa disembuhkan cari hal-hal bermanfaat untuk dikenang, misalnya banyak menghabiskan waktu dengan keluarga lebih sering. berbuat yang baik-baik. Bukan cari cara biar bisa merebut laki orang. Gue rasa ni anak selain punya penyakit jantung juga punya penyakit mental.” Ujar Danny frontal. Lelaki itu kini dipenuhi emosi.

“Wajar sih Dinda mutusin elo. Lo nya gabisa tegas gini. Boleh jadi orang baik Dav, tapi jangan bego. Mikir jangan sampe di manfaatin. Jangan ngerasa yang lo lakuin ini paling bener. Lo kira dengan menjadi baik 'menurut versi lo' semua orang bakal bahagia? Mikirin perasaan Dinda, mikirin perasaan diri lo sendiri. AHH, GUE PUNYA TEMEN KOK TOLOL BANGET SIH MINTA DI BOGEM.”

David terdiam tak menjawab. Semua ucapan Danny benar adanya. Pada akhirnya, David sadar bahwa selama ini ia yang terlalu egois.

David merasa keputusannya benar untuk meninggalkan Dinda, nyatanya dia yang egois, tidak memikirkan bagaimana perasaan Dinda yang ditinggalkan olehnya.

David bahkan tidak menjelaskan apapun perihal kesalahpahaman yang terjadi, dengan egois nya David malah menyuruh Dinda melupakannya.

David mengusak rambutnya kasar. Lelaki itu menghela nafas berat, merasa sangat bersalah.

“Sekarang terserah lo Dav, gue cuma takut semuanya terlambat untuk lo dan Dinda kembali. Takutnya, ketika kebenaran terungkap, lo bahkan gabisa menggapai Dinda untuk balik ke lo.”

Danny kemudian meneguk kopinya hingga tandas. Wajah lelaki itu kurang bersahabat, tetapi ia masih setia menunggu keputusan sahabatnya.

“Kasih gue waktu untuk menjelaskan semuanya ke Mario.” Jawab David kemudian.

Mabuk


Danny melemparkan ponsel David keatas kasur. Lelaki itu memasang wajah kesal. Ia melihat ke arah David yang setengah tertidur diatas kasurnya.

“Lo tolol banget sih jadi cowok Dav? Buang berlian untuk dapetin kerikil?” Ujar Danny gemas.

Aji yang baru saja kembali dari dapur langsung menjawab. “Kita gatau kan alasan David? Pasti ada sesuatu yang dia sembunyiin dari kita.” Lelaki itu meneguk minumnya kemudian.

“Chloe itu siapa sih?” Kini Danny bertanya ke Jeyden.

Yang ditanya malah mengangkat bahu. “Seseorang yang terobsesi kepada David mungkin.”

“Maksud gue, kalau dia ga cerita ke kita. Kita juga gabisa bantu hubungan dia sama Dinda.”

“Gak perlu dibantu, anaknya gabakal mau. Dia pikir keputusan dia udah yang paling tepat.” Jawab Jeyden sinis.

“Jed, lo suka kan sama Dinda?” Kali ini Aji yang bertanya.

Jeyden terdiam sesaat, namun baru saja ia ingin menjawab David malah meracau tidak jelas.

“Plis, Din. Jangan nangis. Iya gue brengsek, brengsek banget gue.”

“Din, gue sayang banget sama loo.” kini lelaki itu malah menangis.

“Din, gue kangen banget.” tangisan David makin kencang.

Ketiga sekawan yang melihat kelakuan David hanya bisa menghela nafas.

“Haris bangsat! Siapa lo! Apaan deketin cewe gue!” umpat David membuat ketiga temannya terkejut.

Danny mendekat kearah David dan menepuk-nepuk pipinya. “WOI! sadar anjing! Woi Dav!”

David yang masih setengah sadar malah menarik kerah Danny dengan kuat.

“Gausah deketin cewek gue ya!! Kalau semuanya udah selesai gue bakal balik sama Dinda!”

Mata lelaki itu memerah sembari mencengkram kerah Danny dengan kuat hingga Danny merasa tercekik.

Aji langsung datang menengahi, mencoba melepas cengkraman David di kerah Danny. Namun cengkraman itu begitu kuat.

“Gue gak bakal biarin lo ambil Dinda bangs–!”

Aji menjatuhkan sebuah bogem mentah hingga membuat David tidak sadarkan diri. Cengkraman tersebut akhirnya lepas dan David pingsan.

Danny memperbaiki bajunya, lelaki itu menghela nafas.

“Nyusahin banget lo anjir. Hampir aja gue mati.”

“Keren juga ya gue bisa bogem.” Ujar Aji jumawa.

“Sini lo gue bogem.”

“Becanda sayang.” Aji mengedipkan mata.

Kemudian dua sekawan itu malah berkelahi sesamanya, tanpa memperhatikan raut Jeyden yang berubah menjadi geram setelah mendengar racauan David.

Mencari Obat untuk hati yang terluka


Dinda menghela nafas kuat setelah beberapa jam menangis. Sebenarnya ia telah menahan untuk tidak menangis dihadapan teman-temannya semenjak tadi. Ia tidak mau membuat teman-temannya khawatir.

Gadis itu kemudian bangkit dari tempat tidurnya dan mengambil sebuah kotak berwarna biru berukuran sedang. Kotak itu berisi beberapa potret antara Dinda dan David. Potret mereka berdua masih tergambar jelas disana. Mulai potret mereka dari SMP, SMA, bahkan hingga beberapa bulan terakhir, semuanya tergambar jelas dalam rangkaian polaroid tersebut. Tanpa sadar, ia kembali menitikkan airmatanya. Gadis itu kembali menangis sesenggukan.

Perih, hatinya perih akibat luka yang ditorehkan oleh David. Semakin hari luka itu semakin membesar hingga membuat Dinda sesak akannya. Ditambah dengan kenyataan bahwa David meminta gadis itu melupakannya, hati Dinda semakin patah.

Bagaimana bisa Dinda menghilangkan separuh jiwanya yang telah diambil oleh David? Lelaki itu sama saja meminta dirinya untuk mati secara perlahan. Karena Dinda tidak sanggup melakukannya.


Suara ponsel Dinda berdering, tanda ada panggilan masuk. Nama Jeyden tertera di layar, dan Dinda langsung mengangkatnya.

“Ha-halo.”

“lo nangis lagi Din?”

Dinda diam tidak menjawab.

“Hapus airmata lo Din, David gak pantes ditangisin begitu.”

“Gue gabisa Jed, gue gabisa–”

Terdengar helaan nafas dari seberang.

“Sekarang, lo ganti baju dan temui gue dibawah.”

Dinda masih mencerna apa yang dikatakan oleh Jeyden.

“Maksud lo Jed?”

“Ayo jalan-jalan. Kita perlu mencari obat untuk hati yang terluka.”

“Tapi Jed gue–”

“Din, gue cuma gamau liat lo nangis lagi. Mau ya?”

Gadis itu menutup matanya, berpikir sesaat.

“Oke, gue ganti baju dulu ya.”

“Good girl, gue tunggu di bawah ya. Gaperlu dandan yang cantik din, orang ketemu gue doang.”

Dinda mengukir sedikit senyum.

“Iya iya.”

Panggilan terputus. Tanpa menunggu, Dinda langsung mengambil jaket jeans nya dan berlari menuruni tangga menemui Jeyden.

Benar saja, lelaki itu sudah menunggu dibawah.

“Cepet banget?” Tanya Jeyden heran.

“Ayo! gue mau teriak-teriak di jalan.” Ujar Dinda.

Jeyden tersenyum lembut. Ia melihat kearah mata Dinda yang masih bengkak akibat menangis. Gadis itu benar-benar tidak berdandan sedikitpun. Jeyden lalu mengambil masker putih didalam saku jaketnya dan memakaikannya kepada Dinda.

“Ayo masuk.” Lelaki itu kemudian membuka pintu mobilnya mempersilahkan Dinda masuk.

Dinda pun melangkahkan kakinya dengan ringan dan masuk kedalam mobil Jeyden.

@.bae

Wonder – Adoy


Now playing: Wonder – Adoy


Mashiho tiba tepat 30 menit setelah ia mengatakan akan menjemput Cindy. Lelaki itu memarkirkan mobilnya di halaman depan rumah Cindy dan menunggu gadis nya selesai.

Hanya selang beberapa menit kemudian, Cindy muncul dibalik pintu rumah nya dengan dress putih selutut dan sling bag rotan yang tersampir di pundaknya. Aventador berwarna ungu itu terbuka, menampilkan Mashiho yang sedia menunggu Cindy masuk kedalam.

Lelaki itu mengumbar senyum lebar ketika Cindy duduk disebelahnya.

“Apa sih, senyum-senyum mulu?” Gerutu Cindy.

“Cantik. Kamu Cantik.” Ucap Mashiho sembari menjalankan mobilnya.

Cindy tidak menggubris, namun gadis itu tersipu malu.


Lembayung senja perlahan menampilkan dirinya. Matahari sudah hampir sampai di peraduannya. Mashiho dan Cindy melihat keindahan itu dibalik Aventador ungu kesayangan Mashi. Atap mobil itu sudah dibuka agar mereka bisa menikmati pemandangan sunset sembari menghabiskan waktu berdua. Mobil itu berjalan pelan melewati lampu-lampu kota yang mulai bercahaya.

Lampu merah menyala, tanda seluruh kendaraan seharusnya berhenti. Namun Mashiho malah menarik pegas dan menerobos lampu tersebut, setelah itu lelaki itu tertawa sembari melihat ke belakang.

“Heh! Kok nerobos kamuu!” Omel Cindy.

Mashi masih tertawa. “Sekali-kali sayang, kapan lagi kan memacu adrenalin— Aw! Kok dicubit sih!” Lelaki itu mengaduh.

“Bandel banget, itu bisa membahayakan orang banyak tauu!!.”

Lelaki itu tertawa lagi. “Akhirnya kamu ngomong juga. “

Cindy mengernyit tak mengerti.

“Dari tadi kamu diem mulu kaya orang sariawan. Yaudah aku gas aja biar kamu senam jant— Aw!! Kok di cubit lagi sih, aku aduin kamu karena KDRT.” Mashiho mempout kan bibirnya.

“KDRT MBAHMU.“  Cindy menjawab asal.

Mashiho tergelak. Lelaki itu bahkan tertawa hingga membenamkan mata lucunya.

Digenggamnya tangan Cindy, yang sibuk berkutat dengan ponselnya sedari tadi. Ia lalu menaruh ponsel Cindy diatas dashboard. Sementara tangannya yang lain memegang kemudi.

“Aku ngajak kamu jalan-jalan bukan untuk liatin kamu main hp.” Ujarnya lembut.

Gadis itu menggigit bibirnya. Sepertinya dia tampak sedikit gelisah.

Mashi mengelus lembut pipi Cindy. “Hey, khawatir hm?” Tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan.

Mashi kemudian menepikan mobilnya didekat pembatas jalan. Dari sana tampak pemandangan sungai dengan air yang berubah keunguan akibat pantulan warna dari langit yang berubah semakin gelap.

Lelaki itu kemudian menggenggam kedua tangan Cindy dan menatap Cindy lembut.

“Cuma lima bulan kok Ndy.” Ujar Mashiho kembali meyakinkan.

Sebenarnya, nanti malam Mashiho akan berangkat ke Jepang untuk mengurus perusahaan ayahnya selama 5 bulan kedepan. Itu berarti, dalam waktu 5 bulan ke depan mereka akan sulit untuk bertemu.

Mashiho melihat kegelisahan di netra gadisnya. Ia kemudian merengkuh wajah Cindy dan menatap matanya lamat-lamat.

“Aku janji, sampe disana bakal ngabarin kamu. Setiap hari kita bakal video call, terus aku bakal ngabarin kamu aku lagi ngapain aja. Makan apa aja tiap harinya bakal aku kabarin selama 24 jam full.” Ucap Mashiho meyakinkan.

Cindy menggenggam tangan mashiho yang menrengkuh pipinya. Gadis itu tampak luluh oleh tatapan Mashi.

“Janji?” Tanyanya sekali lagi.

“Mashiho mengangguk. “Janji.” Kemudian mengembangkan senyum manisnya.

Lelaki itu kemudian mengecup lembut kening Cindy, lalu berbisik.

“I love you Ndy.”

“I love you too.”

@.bae

Wonder – Adoy


Now playing: Wonder – Adoy


Mashiho tiba tepat 30 menit setelah ia mengatakan akan menjemput Cindy. Lelaki itu memarkirkan mobilnya di halaman depan rumah Cindy dan menunggu gadis nya selesai.

Hanya selang beberapa menit kemudian, Cindy muncul dibalik pintu rumah nya dengan dress putih selutut dan sling bag rotan yang tersampir di pundaknya. Aventador berwarna ungu itu terbuka, menampilkan Mashiho yang sedia menunggu Cindy masuk kedalam.

Lelaki itu mengumbar senyum lebar ketika Cindy duduk disebelahnya.

“Apa sih, senyum-senyum mulu?” Gerutu Cindy.

“Cantik. Kamu Cantik.” Ucap Mashiho sembari menjalankan mobilnya.

Cindy tidak menggubris, namun gadis itu tersipu malu.


Lembayung senja perlahan menampilkan dirinya. Matahari sudah hampir sampai di peraduannya. Mashiho dan Cindy melihat keindahan itu dibalik Aventador ungu kesayangan Mashi. Atap mobil itu sudah dibuka agar mereka bisa menikmati pemandangan sunset sembari menghabiskan waktu berdua. Mobil itu berjalan pelan melewati lampu-lampu kota yang mulai bercahaya.

Lampu merah menyala, tanda seluruh kendaraan seharusnya berhenti. Namun Mashiho malah menarik pegas dan menerobos lampu tersebut, setelah itu lelaki itu tertawa sembari melihat ke belakang.

“Heh! Kok nerobos kamuu!” Omel Cindy.

Mashi masih tertawa. “Sekali-kali sayang, kapan lagi kan memacu adrenalin— Aw! Kok dicubit sih!” Lelaki itu mengaduh.

“Bandel banget, itu bisa membahayakan orang banyak tauu!!.”

Lelaki itu tertawa lagi. “Akhirnya kamu ngomong juga. “

Cindy mengernyit tak mengerti.

“Dari tadi kamu diem mulu kaya orang sariawan. Yaudah aku gas aja biar kamu senam jant— Aw!! Kok di cubit lagi sih, aku aduin kamu karena KDRT.” Mashiho mempout kan bibirnya.

“KDRT MBAHMU.“  Cindy menjawab asal.

Mashiho tergelak. Lelaki itu bahkan tertawa hingga membenamkan mata lucunya.

Digenggamnya tangan Cindy, yang sibuk berkutat dengan ponselnya sedari tadi. Ia lalu menaruh ponsel Cindy diatas dashboard. Sementara tangannya yang lain memegang kemudi.

“Aku ngajak kamu jalan-jalan bukan untuk liatin kamu main hp.” Ujarnya lembut.

Gadis itu menggigit bibirnya. Sepertinya dia tampak sedikit gelisah.

Mashi mengelus lembut pipi Cindy. “Hey, khawatir hm?” Tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan.

Mashi kemudian menepikan mobilnya didekat pembatas jalan. Dari sana tampak pemandangan sungai dengan air yang berubah keunguan akibat pantulan warna dari langit yang berubah semakin gelap.

Lelaki itu kemudian menggenggam kedua tangan Cindy dan menatap Cindy lembut.

“Cuma lima bulan kok Ndy.” Ujar Mashiho kembali meyakinkan.

Sebenarnya, nanti malam Mashiho akan berangkat ke Jepang untuk mengurus perusahaan ayahnya selama 5 bulan kedepan. Itu berarti, dalam waktu 5 bulan ke depan mereka akan sulit untuk bertemu.

Mashiho melihat kegelisahan di netra gadisnya. Ia kemudian merengkuh wajah Cindy dan menatap matanya lamat-lamat.

“Aku janji, sampe disana bakal ngabarin kamu. Setiap hari kita bakal video call, terus aku bakal ngabarin kamu aku lagi ngapain aja. Makan apa aja tiap harinya bakal aku kabarin selama 24 jam full.” Ucap Mashiho meyakinkan.

Cindy menggenggam tangan mashiho yang menrengkuh pipinya. Gadis itu tampak luluh oleh tatapan Mashi.

“Janji?” Tanyanya sekali lagi.

“Mashiho mengangguk. “Janji.” Kemudian mengembangkan senyum manisnya.

Lelaki itu kemudian mengecup lembut kening Cindy, lalu berbisik.

“I love you Ndy.”

“I love you too.”

@.bae