Tentang DinDavid dan Teman Makan Indomie
Dinda menepuk dadanya berulang kali. Gadis itu menangis kuat. Jeritannya terdengar pilu, mewakili jiwanya yang hancur berkeping-keping. Tidak pernah ia membayangkan bahwa hubungannya bisa kandas seperti ini.
Kepercayaan yang ia bangun begitu lama dengan seorang David Gionino kini hilang seperti debu yang ditiup oleh angin.
Hujan masih setia membasahi bumi, seolah menutupi air matanya yang jatuh agar tidak ada seorangpun tahu bahwa gadis itu sedang menangis.
Setelah naik taxi, Dinda meminta sopirnya untuk berhenti disebuah taman. Ia tidak sanggup pulang ke persinggahannya saat ini. Ia tidak mau ada yang melihat dirinya hancur.
“gue tau ini bakalan awkward, karena kita udah temenan sejak lama kan Din? Tapi gue suka sama lo.” ucapan David 6 tahun lalu terngiang dibenaknya. Itu adalah kali pertama David menyatakan cinta kepada Dinda.
Sebelum menjalin hubungan dengan David, mereka adalah sahabat dekat semenjak SMP. Bisa dikatakan bahwa separuh hidup Dinda sudah ia habiskan bersama David.
Ketika keluarga David terpuruk karena ayahnya bangkrut, kemudian bunda dan Ayah David bercerai. Dinda adalah saksi bisu kehancuran David kala itu.
“Hari ini Ayah mukul bunda Din, gue mau coba ngelindungin bunda. Tapi malah gue yang kena lempar vas bunga.” cerita David ketika ia datang ke sekolah dengan tangan penuh luka. Dinda dengan telaten mengobati luka David.
“Bunda sering bilang sama gue Din, orang baik itu jarang adanya. Makanya kalau gue ditolong sama orang baik, sebisa mungkin gue harus balas kebaikan mereka tanpa merasa terbebani. Karena hari ini lo udah nolong gue, nanti kalau gue udah sukses gue bakal ngasih apapun yang lo mau. Gue janji.”
David tidak mengingkari janjinya. Terbukti selama berpacaran, ia tidak segan-segan merogoh kocek berapapun asal Dindanya bahagia.
Lelaki itu tidak sering tersenyum dan tertawa seperti saat ini. Tapi Dinda datang membawa senyuman hangat dan berhasil membuat David keluar dari jurang kehancuran.
Ikatan mereka sudah terlalu kuat. Namun semuanya lepas dalam sekejap. Kenangan manis yang mereka ukir selama enam tahun lamanya sirna dalam semalam.
Tidak pernah tersirat dalam bayangan perempuan itu bahwa dia harus berpisah dengan seorang David Gionino. Entah bagaimana kehidupannya setelah ini, setelah dirinya dan David harus bertemu sebagai orang asing di kemudian hari.
Hujan masih setia mentupi tangisan Dinda. Tanpa menggunakan pelindung apapun, gadis tu masih setia berdiri dibawah hujan. Tubuhnya menggigil, tetapi ia masih tidak beranjak mencari tempat berteduh.
Gadis itu masih terisak. Hingga kemudian ia merasakan air hujan yang mengguyur tubuhnya berhenti seketika.
Dinda mendongak keatas memastikan apakah hujan benar-benar berhenti. Namun yang ia temukan adalah siluet seorang pria yang sedang memayungi dirinya.
“Kalau kamu menangis karena masalah hidup, percayalah kalau Tuhan itu tidak akan menyengsarakan hambanya. Tapi kalau kamu menangis karena masalah cinta, kamu menyia-nyiakan waktu kamu yang berharga.” Lelaki itu berucap dengan suara baritonnya yang terdengar sangat rendah.
Pria itu kemudian mengulurkan tangannya, mengajak Dinda untuk bangkit. Namun Dinda tidak merespon apapun.
“Gue bukan orang jahat kok. Lo kedinginan begini nanti bisa sakit.” Lelaki itu lalu mengambil sebuah jaket dari dalam tasnya dan memakaikannya untuk Dinda. Dinda masih terdiam.
“Gue lagi mau cari temen makan. Kalo lo gak keberatan, mau temenin gue makan indomie ga? Hujan-hujan begini enaknya makan mie ga sih?”
Hening. Dinda Tak menjawab. Lidahnya kelu, ia bahkan tidak sanggup berbicara.
Lelaki itu kemudian berjongkok, mensejajarkan tubuhnya dengan Dinda. Ia lalu meletakkan ponsel miliknya di tangan Dinda.
“Kalau gue macem-macem lo bisa langsung telpon polisi. Hp gue jaminannya.”
Dinda terdiam sebentar, melirik ponsel yang kini berada di genggamannya.
Entah dorongan darimana, Dinda pikir lelaki ini bisa dipercaya. Hingga akhirnya Dinda merapatkan jaket yang diberikan dan berdiri dari tumpuannya.
@.bae