write.as/jeongwooniverse/

A Day with Gerald


Gita buru-buru memasuki Audi hitam yang telah terparkir didepan butiknya. Bocah gemblung a.k.a Geraldo Williams adik Gita sendiri sedari tadi telah mengirimkan pesan-pesan spam agar gadis itu segera keluar dari butik.

“Berisik tau ga!” Keluh gadis itu setelah menutup pintu mobil.

“Lama bangeet kaya penganten baruu!”

“Kan ada klien loh tadi bocah gemblung!”

Gerald menstarter mobilnya.

“Gue tadi beli sus strawberry, mau?” tanya Gita menyerahkan sepotong kue sus kehadapan Gerald yang sedang mengemudi.

Gerald langsung melahap sus didepan matanya hingga jari Gita pun ikut masuk kedalam mulutnya.

“JOROOK GEGE! INI KENA ENCES LUUUU IIHHH!!!!” gadis itu langsung misuh-misuh tak karuan. Gadis itu langsung mengambil tisu.

Gerald tersenyum kecil, lelaki itu masih mengunyah sus nya.

“Anjir! Git gue keselek!!” lelaki itu terbatuk-batuk.

Buru-buru Gita mengambil aqua gelas didalam tasnya dan menusuk sedotan lalu di sodorkan ke bibir Gerald.

“Kualat!!!” racau gadis itu mengejek.

Matahari mulai turun ke peraduannya. Lembayung senja bangkit dari tidurnya di ufuk barat. Beberapa kendaraan berbaris didepan mereka menunggu lampu merah berubah menjadi hijau untuk kembali melaju ke tujuan masing-masing.

Dalam keheningan itu, Gita memutar lagu dari spotify sembari menunggu lampu menjadi hijau.

“Inget ga dulu papa sering puterin lagu ini?” tanya Gita.

Sebuah lagu yang sangat familiar di telinga Gerald terlantun indah. Membangkitkan beberapa memori masa kecil yang tertidur sesaat.

Mungkinkah.. kita kan slalu bersama, walau terbentang jarak antara kita~ Biarkan~ kupeluk erat bayangmu tuk melepaskan semua kerinduanku~ kau ku sayang~ slalu ku jaga~ tak kan ku lepas~ slamanya~

dua saudara kandung itu kemudian larut dalam lantunan musik yang mengiringi sore hari mereka. Beberapa kenangan membuat mereka tersenyum satu sama lain, menandakan ada memori indah yang pernah mereka miliki sebelum semua hal mendadak menjadi abu-abu.

“Kalau papa masih ada, pasti dia bangga banget sama lo Git. Terlepas dari impian lo dan impian papa buat lo yang bertolak belakang, tapi karena sekarang lo udah ngebuktiin kalau lo bener-bener bisa jadi orang papa pasti bangga,” ujar Gerald.

Gita mengulas senyum, menatap cakrawala yang kini menampilkan warna oranye.

“Papa juga pasti bangga sama lo dek, bisa sarjana dan langsung dapet kerja.” balas gadis itu.

“Agib gimana Git?” tanya Gerald tiba-tiba.

Deg

pertanyaan itu akhirnya terlontar dari bibir sang adik, membuat Gita sedikit gugup.

“Gimana apanya? kabar dia? sehat kok,”

“Kok gak excited ditanyain Agib? biasanya bucin,”

Gita terdiam.

“Lagi ngambekan?”

Gadis itu masih tidak ingin menjawab, Gerald menghela nafas.

“Gue baru putus sama pacar gue, masa lo putus juga?”

Gita menepuk paha Gerald kuat membuat lelaki itu mengaduh kesakitan.

“SAKIT GENTONG!!”

“Bisa gak sih kalau ngomong di filter duluuu?”

“Gabisa, kalau emang gamau putus ya baikan lah!”

“Lo gak paham!”

“Yaiya gue gak paham, orang yang ngejalanin lo sama Agib. Gue juga gabakal ngasih nasihat motivasi agar hubungan langgeng atau tutorial minta maaf sama pacar, soalnya bukan urusan gue juga,” jelas Gerald Panjang lebar.

Gadis itu menggigit bibir bawahnya, tangannya mengepal geram mendengar ucapan Gerald yang sejujurnya 99% benar.

“Pacar gue kemarin, pas berantem gara-gara cemburu over banget sampe gue diemin seminggu. Doi ngarep gue ngechat dia duluan, gue bukannya gamau ngabarin duluan, tapi gue mau dia intropeksi diri dulu, eh malah dia nelpon gue minta putus,”

“Terus?”

“Ya gue iyain, soalnya dia minta. Masa gue tahan-tahan?”

“Dek, lo tuh harusnya peka kalau dia tuh mancing biar lo minta maaf,”

“Git, kalau mau mancing ga dengan kata putus juga. Bagi gue kalau dia udah ngomong putus, berarti dia emang udah gamau jalan sama gue lagi,”

“Gaada romantis-romantis nya anjir,”

“Romantis apaan sih? gue bukan penganut paham cewek selalu benar. Gue penganut manusia bisa salah dan bisa benar ga pandang gender,”

Kali ini Gita terdiam. Dia tidak menjawab lagi ucapan Gerald karena memang nyatanya sang adik sangat berpikiran logis dan realistis. Persis seperti apa yang diucapkan oleh Ajun tempo hari.

“Udah sampe,” ujar Gerald kemudian sembari menaikkan rem tangan.

Gita melihat sekeliling, keningnya berkedut bingung.

“Loh? ini kan bukan rumah kita? ngapain lo parkir di basement mall?”

Gerald tersenyum jumawa, “Makan malam biasanya harus pake gaun yang cakep kan?”

“Lo mau beliin gue gaun?”

“Cepetan turun!! banyak nanya kaya operator hape,”

Gita mendengus lalu tertawa, dalam hati gadis itu bersorak girang karena ternyata dibalik sikap cuek sang adik, tersirat kasih sayang yang malu-malu untuk ditampakkan.

Gejolak pertama

Agib tiba di area parkir apartemen Gita. Lelaki itu menunggu sang kekasih yang katanya sedang bersiap-siap. Sembari menunggu, ia kembali membuka ponsel nya dan melihat beberapa sketsa yang dikirimkan oleh Kayla, arsitek yang akan mereka temui hari ini.

Benar, Agib sudah merencanakannya secara matang jauh-jauh hari untuk membawa Gita bertemu dengan Kayla untuk mendiskusikan mengenai desain rumah mereka di masa depan. Sengaja lelaki itu tidak memberitahu Gita mengenai niatnya karena ingin memberikan Surprise untuk kekasihnya.

5 menit kemudian Gita datang dan masuk ke dalam bmw hitam itu.

“udah lama?” tanya Gita.

“gak juga, wah kamu cantik banget. Nyobain warna lipstick baru ya?”

“Ih kok tauuu? iyaa cakep banget kan?! kemarin aku keracunan karena lagi ada diskon,” seru Gita sumringah.

Agib tersenyum lembut, lalu mengusap kepala Gita dengan sayang.

“cantikk kok, apapun yang Gita pakai pasti cantik,” lelaki itu berujar.

“menurut kamu bagusan yang ini atau yang kemarin deh warnanya?”

Agib tampak berpikir sebentar, sebenarnya warnanya tidak beda jauh dengan yang biasa Gita gunakan, namun karena lelaki itu terlanjur peka jadilah dia tahu bahwa kekasihnya mengganti warna lipstiknya.

“Bagusan yang ini deh,” tembak Agib asal.

“IIIHH IYAAA KAAAN, BAGUS BANGET POKOKNYA INI CAKEP TOP MARKOTOP,” gita kembali berseru girang seperti anak kecil.

Hal itu menimbulkan tawa kecil pada wajah Agib, lelaki itu kembali mengusap kepala Gita sebelum memindahkan tangannya ke arah kemudi.

“kita mau kemana sih?” tanya Gita ditengah perjalanan.

“ketemu sama temen aku aja sih,”

“ih benerr, pasti cewek kan?”

“kok bisa langsung nebak cewek sih? emang temen aku cewek doang?”

“keliatan muka kamu,”

Agib tertawa gemas, lalu mencubit pipi Gita, “jangan suuzhon,” ujarnya.

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 45 menit. Mereka tiba di sebuah kafe bernuansa vintage yang berada jauh dalam sebuah gang. kafe tersebut memiliki suasana asri dan aroma alam yang menenangkan.

Agib menggenggam tangan Gita dan membawa gadis itu mengikuti langkahnya. Hingga kemudian kedua netra Gita menangkap daksa perempuan yang tengah menyesap kopi didalam kafe.

“Halo Kay,” sapa Agib ramah.

Gadis itu kemudian menoleh dan mengumbar senyum ramah, “Hai Agib, ini pasti Gita.” tebak gadis itu sembari mengulurkan tangan.

dengan canggung Gita menyambut uluran tangan itu, “iyaa, Gita,”

“Kayla,” ucap gadis itu memperkenalkan namanya.

ketiga insan itu kemudian duduk di meja yang sudah dipesan oleh Kayla.

“Jadi, ini Kayla temen kuliah aku jurusan arsitektur,” sambung Agib kemudian.

Agib kemudian menggenggam tangan gita, “Alasan aku ajak kamu ketemu Kayla, aku mau diskusiin desain rumah kita Git,” ucap lelaki itu dengan wajah yang kemudian berubah serius.

Gita mengerutkan dahinya,

desain rumah?

Gita tiba-tiba teringat ucapan Agib dirumahnya 4 bulan yang lalu, agib pernah berkata bahwa jika ia ingin membuat rumah sendiri berdasarkan desain yang ditentukan oleh dirinya dan pasangannya di masa depan.

mengingat hal itu, gadis itu tiba-tiba melepaskan genggaman tangan Agib.

“sebentar, jadi maksud kamu surprise itu ini?” tanya Gita memastikan.

Agib mengangguk sembari tersenyum hangat.

Gita menghela nafas, “Gib, boleh bicara sebentar?”

Agib menampilkan wajah bingung.

“Kayla, sebentar ya,” ucap Gita memohon pengertian Kayla.

Gita kemudian bangkit dan berjalan menuju toilet, diikuti Agib dibelakangnya dengan raut bingung.

“Gib, kok kamu gak diskusiin dulu sih sama aku?” Gita membuka suara.

“sayang, sekarang kan aku lagi ngajak kamu buat diskusi?”

“Bukan, maksud aku kamu tanya dulu apa aku mau desain rumah bareng kamu? atau tanya dulu Git gimana kalau kita desain rumah bareng?”

“Jadi kamu gamau?”

” Bukan gituu—” Gita melenguh frustasi.

” Apa yang salah sih Git? kamu khawatirin apa?”

“Banyak Gib, banyak. Banyak yang harus aku putuskan dan sebelum itu harus dipikir matang-matang dulu,”

“Kamu gak berpikir kalau aku dan hubungan ini cuma main-main kan Git?”

“Agib bukan gituu, kita masih baru banget, masih 4 bulan pacaran. Dan desain rumah itu kan buat jangka panjang,”

“Dari awal aku mulai hubungan sama kamu, aku selalu mikirin untuk jangka panjang git, jadi cuma aku yang mikirin itu ya?”

“Emangnya harus pacaran lama dulu ya baru nikah? Kamu perlu berapa lama pacaran buat validasi perasaan kamu ke aku?” kali ini Agib tampak sedikit kesal.

“Gib, aku itu juga kepala keluarga di keluarga aku. Gak kaya kamu, aku punya banyak tanggung jawab yang harus aku selesain sebelum membuat keputusan untuk hidup aku sendiri, ada banyak hal yang aku tanggung. Bisa gak sih kita jalan pelan-pelan aja?”

“Kamu bukan lagi nyari alasan untuk bertengkar sama aku kan Git?”

“Gib kamu kok mikirnya kemana-mana sih?”

“Padahal ini cuma desain rumah, aku udah yakin banget sama kamu dari awal. Tapi ternyata kamu ragu sama aku, aku boleh gak sih kecewa?”

“Agib, bahkan restu dari oma aja kamu belum pegang. Kenapa bisa seyakin itu sih sama aku?”

“Kok jadi bawa-bawa oma sih Git? emangnya yang ngejalanin hubungan ini oma? enggak kan? yang ngejalanin kita berdua, aku dan kamu,”

“Agib, ini bukan cuma tentang kita berdua. Ini juga menyatukan dua keluaga. Gimana bisa kita bikin dua keluarga menyatu kalau ada salah satu pihak yang gak setuju? aku gamau hidup dengan orang yang ga suka dengan kehadiran aku, aku gabisa pura-pura baik-baik aja,”

“jadi permasalahannya kamu mau disetujui sama oma ya? yaudah kita ketemu sama oma sekarang,”

Agib menarik tangan Gita, namun gadis itu menghempaskannya.

Kali ini mata gadis itu sudah berkaca-kaca, “Agib bisa gak sih kita pelan-pelan aja?” pinta gadis itu memohon.

Wajah Agib melembut, kerutan di keningnya memudar. Lelaki itu merasa bersalah sekarang.

“Nanti kita ketemu dan bicara kalau emosi kita udah stabil,” ujar Gita final.

Gadis itu kemudian keluar dari kafe dan menyetop taxi, meninggalkan Agib dengan perasaan campur aduk.

Agib mengusap kepalanya kasar, “ ARGGHH!!”.

Epilog — Si Kembar

9 tahun kemudian.

Suara papan keyboard mengisi kesunyian malam kelabu. Sebuah daksa terduduk didepan layar komputer, terlihat serius membaca tampilan layar didepannya.

Aroma diffuser menemani dirinya yang tengah berjaga sendiri.

Suara pintu kamar terbuka, menampilkan figur seorang wanita berusia akhir 20an menggunakan piyama, seolah siap menuju pembaringan.

“Gak tidur?” tanya wanita itu.

“Masih belum,” jawab daksa laki-laki didepan layar.

“Masih belum nemuin judul yang tepat untuk cerita kamu?” tanyanya lagi, kini wanita itu telah berdiri disebelah suaminya sembari mengusap lembut rambut pria itu. Lelaki itu menggeleng.

“Si kembar udah tidur?” kini sang suami menghadap ke arah eksistensi istrinya.

Wanita itu mengangguk, “habis rebutan mainan dan nangis bareng, mereka terlelap bareng.”

“Besok peringatan 9 tahun mas,”

“Kita ziarah bawa si kembar?” tanya sang suami menaikkan kacamata di pucuk hidung bangirnya.

“Kamu gapapa?”

Lelaki itu menggeleng, “aku udah sembuh,” jawabnya yakin.

Ingatan Abu kembali menjelajah 9 tahun kebelakang. Perjalanan panjang yang sudah ia lewati dengan perjuangan yang tidak mudah.

Hari dimana si kembar, sahabat baik Abu meninggal di dua rumah sakit berbeda memberikan dampak besar dalam kehidupannya.

Yuna dan Abu ketika itu, berjuang melawan kejadian naas yang kemudian menjadi trauma dan mimpi buruk bagi keduanya.

Terlebih bagi Abu sendiri, lelaki itu meraung tak henti, bahkan beberapa kali pingsan ketika melihat proses pemakaman kedua sahabat baiknya.

Setelahnya kejadian itu, Abu berulang kali menyakiti dirinya sendiri karena merasa bahwa ialah penyebab Jio harus pergi dari dunia ini. Ia bermimpi buruk setiap malam karena rasa bersalah yang kian membesar setiap harinya.

Tidak hanya itu, akibat mimpi buruk yang menggerogoti pikirannya, ia bahkan mengkonsumsi obat tidur secara berlebihan hingga overdosis dan bolak-balik masuk rumah sakit.

Hingga akhirnya ia bertemu dengan Sheila, wanita yang menjadi istrinya saat ini. Wanita itu datang mencoba membangkitkan Abu dari titik terendahnya.

Wanita yang berprofesi sebagai psikolog itu membantu Abu sembuh dari traumanya. Setiap harinya, Sheila meminta Abu untuk menulis jurnal mengenai kesehariannya, mulai dari kejadian buruk hingga kejadian baik yang dialaminya.

7 tahun pengobatan itu berjalan dengan lancar, membuat Abu sedikit demi sedikit keluar dari lubang penyesalan. Hingga akhirnya ia memilih menjadi seorang penulis hingga saat ini.

Lalu bagaimana dengan Yuna? Gadis itu menghilang tepat setelah pemakaman berlangsung. Tanpa meninggalkan jejak. Hingga kini, Abu belum mengetahui keberadaan Yuna dan Dean.

Abu mematikan komputernya, lalu meletakkan kacamata bacanya diatas meja. Lelaki itu mengikuti langkah sang istri yang kini telah berbaring diatas ranjang.


“Papa ini apa?” tanya si kecil Jio ketika melihat sepasang pusara terpampang di depannya.

Abu mengusap rambut putra kecilnya dengan sayang. “Itu tempat istirahat nak,” jawabnya menjawil hidung bocah 5 tahun dalam gendongannya.

“Gio boleh duduk disitu?” tanya si kecil Gio yang berada dalam gendongan mamanya.

“Boleh, kita berdoa sama-sama ya,” sang ibu kemudian berjongkok dan menurunkan tubuh kecil Gio disebelah sepasang pusara di depannya.

“G-I, Gi, O, V-A, Va, tambah N Van, Giovan,” eja Gio ketika membaca tulisan di batu nisan di hadapannya.

Abu tersenyum haru, ia tidak bisa membendung air matanya.

“Namanya sama,” pungkas bocah kecil itu.

“J-I, Ji, O, V-A, Va tambah N Van, Jiovan,”

“Wah nama Jio juga adaaa,” bocah kecil itu terlihat gembira.

“Kenapa nama kita ada disana?” tanya Jio meminta kejelasan pada papanya.

“Di dalam sini, ada teman-teman papa lagi istirahat. Nama kalian papa ambil dari nama temen-temen papa ini,”

“Enggak gelap pa?” kini Gio berjalan lucu ke arah sang papa.

Abu menggeleng, “di dalam sana indah banget, mereka senang tinggal disana,”

“Kaya rumah om Jinan?”

Abu mengangguk, “Sekarang kalian berdoa ya, udah bisa surat Alfatihah kan? Yang papa ajarin kemarin,”

Kedua bocah kembar itu mengangguk gemas sambil mengangkat kedua tangannya.

Abu menghapus airmatanya yang terlanjur jatuh.

Apa kabar Ji? Gi? Gue disini baik-baik aja, Maaf gue baru datang setelah 9 tahun lamanya. Gue baru sanggup ketemu kalian sekarang.

Hari ini, gue bawa dua jagoan kecil gue. Namanya Jiovan dan Giovan juga.

Lucu kan? Semesta begitu lucu. Setelah mengambil dua orang paling berharga dari kehidupan gue, semesta kemudian ngasih 3 kebahagiaan lain untuk gue.

7 tahun gue berjuang untuk menebus kesalahan gue sama kalian. Sampai dititik gue mau nyerah, tapi semesta bilang bahwa keberadaan gue di dunia ini adalah untuk menjaga dua nyawa baru yang harus gue usahain kebahagiaannya.

Gue janji Jio, Gio, gue bakal jaga 2 jagoan ini dan ngasih kasih sayang seluas semesta biar mereka bisa jadi Jiovan dan Giovan yang paling bahagia di dunia ini.

Kalian juga tolong bahagia disana.

Abu mengusak airmata di pipinya setelah membacakan alfatihah.

Tiba-tiba bahunya ditepuk lembut, “mas–” panggil sang istri.

Abu menoleh, istrinya menunjukkan arah pandang lain. Abu melihat arah pandang itu, menangkap figur seorang laki-laki dan seorang wanita berada tidak jauh berdiri dari mereka.

Abu bangkit, ia berjalan cepat menuju ke arah dua daksa itu. Cukup cepat dan langsung membawa dua daksa itu kedalam pelukannya.

Pria itu terisak kuat, sangat kuat hingga tubuhnya bergetar.

Wanita dan laki-laki itu kemudian ikut menangis, mereka tenggelam dalam perasaan haru yang sama.

“Dean, Yuna, kalian kemana aja!” racau Abu masih terisak.

Lelaki itu kemudian merenggangkan pelukannya.

“Kita sama-sama berusaha untuk sembuh Bu,” jawab Yuna, Dean mengangguk.

Ketiga sahabat itu berpelukan erat, menguarkan rindu dan luka yang telah sembuh secara bersamaan.

“Papa–” panggil dua bocah kembar itu sembari berlari ke arah papanya.

“Kembar?” tanya Yuna ragu.

Abu mengangguk, “namanya Jiovann sama Giovann,” ucapnya bahagia.

Pertemuan kecil itu kemudian dipenuhi dengan tangis haru.

Sementara itu, tanpa terlihat oleh kasat mata. Dua siluet putih berdiri dari jauh melihat reuni kecil membahagiakan itu. Dua siluet itu tersenyum lebar, lalu hilang bersamaan dengan hembusan angin yang menerpa.

-Tamat- ©️Bil

Lembaran terakhir— kami pulang

Dua anak manusia itu terduduk di bibir pantai sembari melihat haluan ombak yang menggulung berulang kali.

Keduanya terdiam tanpa kata, hingga helaan nafas salah satunya membuyarkan keheningan.

“Diujung sana ada apa ya Gi?” Tanya Jio menatap jauh ke ujung samudera.

“Ada ikan hiu,” jawab Gio asal.

Jio langsung menabok kepala Gio kesal.

“Sakit brengsek!”

Jio tertawa kecil, lalu mengacak rambut Gio.

“Kadang tuh, gue berpikir kayanya gue lebih cocok jadi abang lo, “

“Atas dasar apa? Denger yaa gue lahir 15 menit duluan sebelum lo, itu berarti kita berantem diperut mama terus gue duluan yang keluar,”

“Yah, payah. Masa gue dari dulu selalu kebagian jadi orang yang lemah sih?!” Jio mengeluh.

“Siapa bilang lo lemah?”

“Gue kan barusan, budeg ya?”

Kali ini Gio yang menabok kepala Jio.

“Kita ngapain sih disini?”

“Gatau, apa udah waktunya kita pulang ke rumah baru?”

Jio mengambil segenggam pasir pantai lalu melihatnya lekat-lekat.

“Kalau kita pulang ke rumah baru, kita gak bakal ketemu sama mama Olive, papa, Yuna sama Abu dong?” Tanya Jio lagi.

Gio mengangguk, “tapi di rumah baru lo gak bakalan sakit lagi Ji, lo bakal bahagia terus,”

“Terus lo gimana?”

“Kita datang sama-sama kan ke dunia? Kita juga harus pulang sama-sama dong, gue gamau sendirian,”

“Payah, masa gaberani sendirian? Katanya jago bela diri,”

“Kalau keadaannya dibalik, lo mau gak sendirian?”

Jio menggeleng, “serem Gi, takut.”

Gio tertawa kecil.

“Masih mau balik ga Ji?” tanya Gio berusaha memastikan.

Jio menggeleng, “disini aja, kalau balik gue gasanggup. Gue kesakitan. Dada gue sesak sampe gabisa nafas, terus kepala gue setiap hari diisi dengan suara-suara aneh yang nyuruh gue nyakitin diri sendiri,”

“Sakit banget ya Ji?” tanya Gio, raut wajahnya berubah khawatir.

Jio mengangguk. Tapi kemudian tersenyum, “sekarang lebih baik.”

Gio kemudian bangkit dari duduknya. Ia mengulurkan tangan ke arah Jio. Jio menengadah, menampilkan wajah bingung.

“Mau kemana?” Tanya lelaki itu.

“Pulang, kerumah baru,” ucap Gio lembut.

Jio menyambut uluran tangan itu dengan senyum sumringah.

Kedua pemuda itu kemudian berjalan perlahan mendekati bibir pantai, hingga sebuah siluet putih datang menghapus jejak mereka.

. . .

Sementara itu, pada saat yang sama dalam kehidupan berbeda. Dua anak manusia tengah berjuang mempertahankan detak jantungnya.

Gio dan Jio terbaring diatas ranjang pada dua rumah sakit yang berjauhan.

Pukul 20:00 WIB, sepasang kembar itu menghembuskan nafas terakhir mereka di dua rumah sakit berbeda.

Tanpa kata, tanpa suara. Semesta mengambil dua nyawa suci itu untuk berpulang ke rumah baru.

Rumah dimana mereka tidak harus merasakan kesakitan lagi.

Rumah dimana mereka bisa terus bersama tanpa harus terluka.

Namun kepergian keduanya membuka luka besar yang menganga lebar bagi mereka-mereka yang ditinggalkan.

Tangisan pecah dimana-mana. Raungan jerit pilu menguar menyisakan sesak berkepanjangan.

Langit menghitam, rinai hujan membasahi bumi seolah mengantarkan kepergian si kembar melalui tangisan semesta.

Kembar Adriano kini hanya tinggal sebuah nama. Meninggalkan mereka yang terkasih tanpa ucapan pamit.

Perpisahan tanpa kata, meninggalkan pilu penuh luka.

©️bilwithluv

Jio duduk diatas sebuah bangku yang terbuat dari kayu di bawah sebuah pohon rindang di rumah sakit. Dia hanya duduk sembari menutup matanya, merasakan angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya.

Dibelakang nya sudah berdiri papa,mama, Yuna, dan Abu melihat ke arah daksa rapuh itu dengan tatapan nanar.

Keempat orang itu tidak berbuat banyak, hanya melihat Jio yang mencoba menyatu dengan alam.

Dokter bilang keadaan psikis Jio membaik akhir-akhir ini. Mungkin untuk kesembuhan total masih sangat jauh untuk dicapai, namun gejala-gejalanya sudah cenderung membaik, Jio sudah jarang berteriak-teriak atau menangis. Sesekali ia merespon ucapan orang-orang disekitarnya dengan satu atau dua kalimat.

Tapi kemudian kembali termenung.

“Gio kemana nak?” Tanya mama Olive yang berada disebelah Yuna.

“Katanya ke kampus sebentar tante, sebentar lagi balik.”

Mama olive mengangguk.

Beliau kemudian berjalan ke arah Jio, dan duduk disebelahnya. Kini lelaki itu sudah tidak menganggap mama Olive sebagai orang asing, itu adalah kemajuan yang membuat ibu angkat itu terlihat sangat lega.

Mama Olive menyurai rambut legam Jio dengan sayang, air matanya terjatuh.

“Kalau saja takdir mempertemukan kita sebagai keluarga kandung, mama yakin kamu tidak akan mengalami hal ini sayang,” ujar wanita itu seraya menyandarkan kepalanya di bahu Jio.

“Gio?..” kini Jio bersuara.

Mama Olive mengangkat kepalanya.

“Gio ngapain disana?” Jio kembali berbicara.

Mama Olive melihat arah pandangan Jio, namun tidak ada siapapun disana.

“Jio ngomong sama siapa nak?” tanya mama Olive lembut.

“Mama?” Jio kembali meracau.

“Iya nak?” Mama Olive langsung bingung dengan ucapan Jio.

“Mama sama Gio ngapain disana? Mama sama Gio gak ngajak Jio?” Racau Jio lagi.

“Pah, panggil dokter,!” pungkas mama Olive terlihat sangat khawatir.

Disaat bersamaan, ponsel Yuna berdering menandakan sebuah panggilan masuk.

Yuna buru-buru mengangkat panggilan itu. Namun seketika tangannya gemetar, ponselnya terjatuh ke atas tanah. Abu yang melihat hal itu langsung tanggap.

“Kenapa Yun?”

“Giovann kecelakaan, sekarang lagi diruang ICU,”

Rapat Perdana

So, here we are kantor sekretariat BEM UNI. Wow, gue sama 3 orang babu gue (red: Chika, piyik sama pow pow) agak seperti manusia norak yang baru dateng ke tempat baru.

Literally, kami sama sekali gak pernah menginjakkan kaki ke tempat ini selama 2,5 tahun kuliah. Tempatnya cuma kaya kamar satu pintu tapi terbilang cukup luas.

Ada lemari diujung ruangan yang isinya beberapa peralatan kaya almamater, terus ada beberapa perlatan kaya pipa yang gue gak tau gunanya untuk apa (untuk berdiriin bendera univ maybe?). Terus juga ada dua sofa yang lumayan gede diletakin di pinggir ruangan.

Kak Keenan udh berdiri di tengah ruangan, sementara beberapa anggota panitia lain duduk melingkar di lantai natap ke kak keenan. Gue dan 3 orang temen gue langsung duduk ngikut yang lain.

Setelah beberapa agenda di jelaskan sama kak Keenan, ga terasa udah sampai di agenda terakhir. Sebelum menutup rapat hari ini, Kak keenan ngasih waktu untuk bertanya.

Terus ada satu anak cewek yang rambutnya lurus dan panjang, jujur gue insecure liat rambutnya bagus banget. Cewek itu kemudian ngenalin dirinya sebagai Sila. Gue baru inget kalau dia juga anggota dari divisi acara.

“Kalau misalnya nanti pulangnya malem banget, apa yang cewek-cewek bakal ditemenin pulangnya kak?” Tanya dia dengan nada yang— sumpah gue gak mau suuzon, tapi itu kedengeran manja gimana gitu njir.

“Eww,” ceplos Chika, beruntung suaranya kecil jadi cuma bisa didenger sama barisan belakang doang.

Gue langsung nyenggol lengan Chika, “apasi Chik,” bisik gue.

“Lo galiat? Cewek genit tuh begitu bentukannya,” balas Chika berbisik.

Gue cuma geleng-geleng gak peduli. Gue menatap ke arah kak Keenan lagi, tapi ujung mata gue nangkep sesuatu yang aneh.

Gue langsung pura-pura menguap, dan bener anjir, tu orang juga ikut-ikutan nguap. Fix gue diperhatiin dari tadi. Tapi masalahnya gue gatau itu siapa.

Oke, gaboleh hilang fokus Nay, lo lagi rapat. Rapat perdana nih, excited sedikit kek.

“Ya, ga mungkin yang namanya panitia bakal pulang cepet dan biasanya bakal pulang malem gitu. So, bagi yang rumahnya jauh dari kampus biasanya kita convoy bareng gitu nganter satu persatu. Khususnya cewek,” jawab kak Keenan.

Sumpah, ni orang tu kalau ngomong auranya kuat banget. Pembawaannya tenang, santai, tapi nadanya tegas. Takut banget nih gue naksir.

sadar diri kamu adalah mahasiswa gaib Nayra

Suara di kepala gue bikin gue menyadari fakta bahwa hidup itu ga semulus cerita di wattpad atau di au, jadi gue gak bakal muluk-muluk berfikir kalau ending dari kehidupan kampus gue adalah dating with the prince charming of campus.

Akhirnya, rapat perdana selesai. Semua mahasiswa meninggalkan ruangan sekret, kecuali anggota divisi acara dan beberapa pj (penanggung jawab) divisi lain. Contohnya kak Abel yang langsung ke ujung ruangan ngambil gitar, persiapan mau malam mingguan galau kayanya. Terus kak Devan duduk di meja sekum sama kak Salsha ngetik didepan komputer.

“Woy, jangan deket-deket itu, cewek gue!” Kak Azka tiba-tiba muncul dari pintu depan.

Kak Devan yang denger itu langsung ngakak, dia ngalungin lengannya ke bahu kak Salsha “oh cewek lo? Gue pikir mantan gue,” jawabnya.

“Ambil~lah sajaaa, bekas mantanku,” nyanyi kak Abel sambil genjreng gitarnya.

Sumpah, ini seru banget buat ditonton. Gue baru tau kalau kak sasha mantannya kak Devan dan sekarang dating with kak Azka.

Kak sasha di masa lalu pernah nyelamatin benua atau gimana dah? Beruntung banget hidupnya.

“Ji, lo gaada kerjaan kan? Dokumentasiin dong ini kegiatan buat lpj,” suara kak Keenan.

wait? kak Keenan manggil Ji? Berarti kak Ji ada diruangan ini juga? Kok gue gak liat?

Terus gue ikutin arah pandang kak Keenan dan ternyata Kak Ji lagi rebahan di sofa di sisi pojok ruangan sambil main hp.

Ni orang kayanya nafas aja ga kedengeran deh, sangking diam banget bentukannya.

Kak Ji menyaut ucapan Kak Keenan dengan ngalihin tatapan matanya dari hp. Gak sengaja mata gue dan Kak Ji bersitatap sepersekian detik. Tapi gue buru-buru nengok ke tempat lain.

“Muka lo sumpah, kek orang nolep Ji,” ucap kak Azka yang kini gantian rebahan di sofa.

“Ji, udah keramas belum hari ini lo?”

Tapi kak Ji gak nanggepin. Dia ngeluarin kamera slr dari camera bag nya dan ngarahin lensa ke arah kami.

Oke, sekarang gue ga gubris siapapun di ruangan lagi karena fokus ke Kak Keenan yang mulai diskusi.

Beberapa lama waktu berlalu, tiba-tiba gue dapet ide, tapi sumpah gue gaberani ungakapin. Jadi gue gambarin aja ke kertas coret-coret didepan gue gambaran yang gue punya di kepala.

Sebenarnya kak Keenan nanya ide dekorasi panggung untuk acara pembukaan.

Terus tiba-tiba, gaada angin gaada hujan gue denger suara capture dari kamera yang ternyata berasal dari belakang gue. Itu Kak Ji yang baru aja ngambil gambar dari kertas coret-coret gue.

Gue kaget tapi gabisa ngomong apa-apa. literally kaya ngefreez gitu. Terus kak Ji jalan ke depan, tepatnya ke arah kak keenan dan ngasih liat hasil jepretannya ke kak Keenan.

Gue langsung panas dingin, kak Keenan liat ke arah gue sambil senyum.

“Nayra bukan?” tanyanya memastikan.

Gue neguk ludah gugup terus ngangguk.

“Kalau gue jadiin lo pj dekorasi mau gak?” tanya kak Keenan dengan nada lembut dan sopan banget masuk ke telinga.

Gue gugup dooong, gatau mau reaksi gimana. Gue lalu liat ke arah Kak Ji yang berdiri di sebelah kak Keenan yang juga natap gue. Doi tiba-tiba ngedipin matanya sambil ngangguk, seolah suruh gue setuju.

Gue refleks ikut ngangguk. Dan langsung nyesal sepersekian detik setelahnya. Ngapa bisa terikut sih???

Terus pelaku yang udah bikin gue ketar-ketir cuma jalan santai sambil masukin kameranya ke tempat semula, terus ngacir dari sekret BEM.

wooy tanggung jawab dongg, gue gamau jadi pj apapunnn, maunya jadi anggota biasa ajaaa

Nayraa begooo

©️bil

Tante Bulan

Gita sampai dirumah Agib pukul 17.00 sore, ia mengeluarkan oleh-oleh berupa martabak dan seblak pesanan tante bulan, juga beberapa paper bag berisi baju yang ia beli di mall bersama dengan Gisell.

Tante Bulan tersenyum didepan pintu menyambut kedatangan Gita. Mereka bertukar peluk dan cium sembari tersenyum satu sama lain.

“Maaf tante, nyampenya lama soalnya tadi macet,” ucap Gita menyesal.

“Gapapa dong sayang, yuk masuk,”

Tante Bulan menggandeng Gita menuju ruang tamu. Disana sudah ada oma dan Rahayu yang sedang menghabiskan waktu menonton televisi. Raut wajah oma langsung berubah melihat kedatangan Gita.

“Sore oma, ini Gita ada bawa martabak kacang.” ucapnya sopan.

Oma hanya mengangguk lalu membuang muka. Sementara Rahayu tidak berkutik disana.

Tante bulan merasakan atmosfir yang tidak menyenangkan, ia lalu mengajak Gita ke dapur untuk mempersiapkan makan malam.

“Rahayu ikut ya tante?” Ucap Rahayu tiba-tiba.

Tante Bulan menggangguk mengiyakan, namun wanita paruh baya itu tetap menggandeng Gita.

“Gita pernah masak apa aja selama ini?” tanya tante Bulan.

“Yang biasa aja tante, kaya sambalado, atau sayur bening. “

“Harusnya kalau udah umur segini itu udah bisa masak-masak yang berat toh?” Itu oma, tiba-tiba nimbrung ke dapur.

“Ma, gak perlu dipaksa kok, Gita masih punya waktu untuk belajar,”

“Umurnya sudah gak muda lagi, mau belajar sampai kapan? Terus mau nikahnya kapan? Wanita karir kaya kamu itu pasti jarang banget dirumah. Sibuk sama pekerjaan, gabisa ngurus anak sama suami. Oma sih ndak suka,” sambung oma dengan nada sinis.

“Gapapa oma gasuka, yang penting Agib suka hehehe,” jawab gita mencoba selembut mungkin.

Tante Bulan tersenyum kecil. Oma makin terlihat tidak suka.

“Rahayu, buatkan oma teh hangat ya,” suruh oma dengan senyum manis untuk Rahayu.

Rahayu menuruti dan membuatkan teh manis tersebut. Sementara itu, Gita dan Tante Bulan terlihat berbincang seru. Dua wanita itu asyik bercerita sembari memotong dan menyiapkan bumbu masakan.

“Agib itu selain alergi makan ayam, alergi apalagi ya tante?” tanya Gita.

“Dia gasuka sama makanan yang terlalu manis, dan paling rajin makan pedas,”

Gita mengangguk mengerti, “pantesan tiap beli eskrim atau coklat Agib gapernah minta punya Gita, rupanya gak selera,”

“Gimana toh? Masa ndak tau makanan yang harus dihindari Agib? Kamu tuh harusnya nyari tahu,”

“Ini Gita sedang cari tahu oma, hehehe soalnya kan Gita baru-baru aja mengenal Agib lebih dalam. Dan sekarang mau lebih tau sama hal-hal penting tentang Agib,” jawab Gita masih dengan nada sopan.

“Kamu tuh, kayanya hidupnya udah kebarat-baratan ya? Oma lihat dari tadi kamu ngejawab mulu. Gak sopan sama orang tua,”

Gita kali ini diam tidak merespon.

“Kalau diajak ngomong sama orang tua tuh jawab,” sambung oma lagi.

“Tapi tadi oma bilang–”

“Mau nyalahin saya? Memang ya, susah bicara sama perempuan-perempuan yang sudah melupakan norma-norma dalam adat yang sudah ditanamkan dengan nenek moyang kita, gak akan nyambung–”

“Kamu lihat Rahayu, lihat cara dia berpakaian, ayu, sopan, tidak memakai riasan berlebihan. Tidak memakai baju-baju terbuka.”

Rahayu hanya diam, namun wajahnya berubah menjadi jumawa.

“Ini pasti gara-gara kamu bekerja dengan orang-orang yang sudah kebarat-baratan. Makanya kamu jadi gak sopan begini,”

“Cukup ma,” kali ini tante Bulan yang bersuara.

“Kenapa? Kamu kenapa membela anak ini Bulan? Kamu harusnya memilih pasangan yang baik dong untuk Agib,”

Tante Bulan menghela nafas, matanya kini berkaca-kaca.

“Yang baik di mata mama itu, yang rela meninggalkan mimpinya demi mengabdi kepada suami kan ma? Yang rela separuh kehidupannya dihabiskan menjadi perempuan rumahan yang tidak boleh kemana-mana kan ma? Cukup saya yang menjadi korban dari keegoisan mama, saya tidak akan membiarkan Gita meninggalkan mimpinya semudah itu.” Kali ini Gita bisa melihat dengan jelas tante Bulan menangis.

Wanita itu kemudian mengusap airmatanya,

“Tolong lah ma, gadis ini sudah menjadi pilihan Agib. Yang menjalani juga Agib dan Gita, mereka sudah dewasa dan bisa mengurus masalah mereka sendiri. Kita sebagai orang tua tidak pantas melarang, yang hanya bisa kita lakukan hanya memantau dari kejauhan dan memberi nasihat yang terbaik untuk mereka kedepannya,”

“Berani-beraninya kamu membantah saya ya Bulan,” kali ini oma naik pitam.

Suasana menjadi sangat keruh. Gita tidak tahu berbuat apa, gadis itu hanya bisa terdiam.

“Kamu lupa kalau kamu pernah membunuh seorang nyawa gara-gara mempertahankan mimpi kamu? Jangan pernah lupakan dosa yang sudah pernah kamu buat!”

Ucapan oma membuat netra Gita dan Rahayu membola dengan sempurna.

“Pulang,” pungkas oma ke hadapan Gita.

“Pulang kamu,” kali ini nada itu meningkat seolah mengusir.

Gita cepat tanggap, ia langsung mengambil sling bag nya dan pamit dari rumah Agib.

Pikirannya kacau. Tapi gadis itu tidak berani bertanya apapun.

©️bilwithluv

Interview

Gue baru aja masuk dan join link yang dikirim Chika di grup. Puluhan peserta juga ikut masuk setelahnya sampai bar participant nunjukin angka 159 orang.

Gila saingannya banyak banget pikir gue waktu itu.

Secara ini tuh event non akademik pertama gue dan temen-temen gue yang notabenenya anak kupu-kupu banget alias kuliah pulang-kuliah pulang dan gak pernah join organisasi apapun di kampus.

But looks, akhirnya gue sama yang lain make a big movement buat ngikut acara segede ini. Wajar sih yang daftar rame, karena event ini cuma setahun sekali, dan sekalinya diadain pasti bakal pecah banget.

Gue ngeliat notifikasi Imess yang bentar-bentar bunyi. Itu Piyik, dia deg-degan gara-gara denger kak keenan bilang interview bakal diadain di breakout room secara berkala.

Artinya, lo bakal ngomong intens sama si interviewer berdua doang tanpa ada yang denger.

Lo bisa bayangin gimana deg-degannya gue sekarang. Ini pertama kali gue ikutan interview begini, biasanya ngikut daftar jadi asisten lab aja gue cuma di tes tulis, mana gue kaku lagi kalau ngomong sama orang baru.

Notif hp gue bunyi lagi, Chika rupanya udah masuk breakoutroom, dia kebagian sama kak Abel.

Everyone get to knows kak Abel Ginandra. Salah satu dancer terkenal dari univ kami, dia kebanggaan kampus banget. Bukan cuma pinter dance, dia juga pernah menjabat jadi ketua UKM seni, menang lomba teather, anak Bem yang paling aktif dan digadang-gadang bakal jadi wakil DPM (Dewan Perwakilan Mahasiswa) selanjutnya bareng kak Keenan.

Oiya, gue bakal ngenalin kak Keenan si ketua panitia merangkap ketua acara. Semua orang tau kalau Kak Keenan ini adalah workaholic, tapi anjir orangnya humble bangeet. Dia bener-bener down to earth meskipun jabatannya selalu diatas.

Banyak yang bilang kak Keenan itu perfeksionis merangkap masochist. Karena dia orangnya kadang gak enakan dan suka ngerjain semuanya sendiri karena mau semuanya perfek. Tapi disamping itu, ilmu sosialisasi nya bener-bener bagus. Waktu dia menjabat jadi ketua Department Humas sebelum kak Devan, dia bikin kampus punya kontrak khusus dengan agensi artis tertentu. Gue gak ngerti kak Keenan pake pelet apa sampe ada agensi artis mau kerjasama dengan kampus.

Ini ngasih manfaat ke kampus? Jelas dong, ini yang bikin kampus mudah banget ngundang artis di event-event besar kaya sekarang ini. Terus apa feedback baliknya ke si agensi tersebut?

Jangan tanya gue, cuma kak Keenan, agensi nya dan Tuhan yang tau. Ni orang emang seberpengaruh itu eksistensinya.

Oke, lanjut ada kak Salshabilla Asyana. Gadis cantik primadona kampus yang pinter, friendly dan humble. Sumpah ya, gue yang cewek aja suka liat kak Sasha karena anaknya emang secantik itu. Dia menjabat sebagai Sekretaris umum sekarang, dan pacarnya adalah Ketua Bem saat ini, Kak Azka. Meskipun terlibat organisasi bareng, mereka itu orangnya profesional banget sih kata gue. Gapernah bucin pas lagi kerja.

Pokoknya, gue salut banget sama kak Sasha. Dia pernah jadi duta lingkungan selama dua periode. Pernah ikut Miss Indonesia tapi sayangnya ke elim pas putaran ke tiga. it's okay tapi dia masih keliatan sangat keren di mata gue.

Oke, last but not least. Kak Devano or kak Devan. Ni orang lucu banget sumpah. Gue gak bohong mukanya kaya bayi, bahkan kalau kak Devan mau sekolah SMA lagi atau nyamar jadi murid SMA gue yakin doi masih cocok banget.

Kalau bicara masalah prestasi, Kak Devan sih termasuk golongan biasa aja katanya. Tapi bagi gue dia luar biasa banget. For some reasons lo bakal jarang liat anak kedokteran a.k.a fk ngikut banyak organisasi, but this guy hits different. Kak Devan pernah jadi duta lingkungan bareng kak Sasha, terus juga gak pernah absen dari lomba yang bertajuk medical-medical gitu.

Gue sering banget liat kak Devan jadi juri buat seleksi mahasiswa yang ikut lomba (ini karena dia udah senior juga) gue kan jurusan farmasi, satu fakultas sama anak kedokteran, jadi sering tuh nemu kak Devan di kampus. Terus tuh ya, kak Devan juga pernah menjabat jadi Ketua Bem FK. Hohoho doi emang kece badai tumpah-tumpah deh.

By the way, kak Devan belum punya pacar. Sabi kali kalau mau di gas, tapi gue sadar diri. Mahasiswa ghaib kaya gue ga perlu mimpi tinggi-tinggi buat dapet pacar kaya orang-orang keren yang gue sebut diatas. Gue mah mau jadi orang biasa-biasa aja deh.

Sometimes, being famous is tiring, isn't it?

“Oke, silakan on cam Nayra Danisha,” sebuah suara tiba-tiba muncul bikin gue kaget dan kejengkang ke belakang.

Literally, kejengkang sampe bikin gue ga sengaja ketekan tombol unmute dan teriak gede banget.

Belum apa-apa gue udah bikin masalah deh.

Mata gue langsung membola ngeliat orang yang muncul di layar gue. Gue langsung foto dan ngirim ke grup, nanyain ini orang siapa?

Kok gue gak pernah liat sebelumnya?

Kayanya bukan orang baru di BEM, tapi gue bener-bener gak pernah liat.

“Nayra Danisha hadir?” Tanya orang itu sekali lagi.

Gue buru-buru on cam dan neguk ludah, gugup.

“Ha–hadir kak,” ucap gue gugup.

“Oke, langsung aja kita mulai,”

Ni orang to the point banget. Kaga ada basa-basi langsung mulai terus. Perkenalan dulu gitu kek.

“Oke, sebelumnya panggil aja gue Ji. Gue dari divisi pubdoc, cuma karena interview nya acak jadi lo sama gue” jelas orang ini.

Oke, but who the hell is kak ji?

Gue bener-bener baru liat ni orang sekarang.

Ga pake basa-basi, ni orang langsung mulai interview dan nanya-nanya gue dengan detail. Sumpah gue sakit pipis karena gugup.

“Kalau gak ditempatin di divisi acara, terus dilempar ke divisi lain, kira-kira lo bakal bisa handle ga?”

Gatau.

Tapi ya kali gue jawab gatau.

“Bisa kak, Nay bisa dipake dimana aja kok. Tapi divisi acara kan butuh banyak anggota tanpa spesialisasi tertentu kak. Yang penting punya waktu dan kerja sama ngasih ide untuk rundown pembukaan dan penutupan. Nay rasa, orang-orang yang gak punya spesialisasi kaya Nay cocok di acara,” jawab gue ngasal.

“Oiya? Spesialisasi gimana yang lo maksud?”

Gue neguk ludah lagi. Sebenarnya pertanyaannya biasa aja, tapi ni orang tatapannya tegas banget, gue jadi ngeri.

“Misal kaya kak Ji, di pubdoc pasti spesialisasinya ngambil foto cakep dari angle manapun. Nah, bayangin kak kalau Nay dimasukin ke pubdoc, megang kamera aja gemeter, takut ntar semua gambar jadi blur kalau Nay yang ambil, jadinya gak fokus. Ntar, mau foto rektor eh malah ke foto kak keenan. Eh— “

Gue gasengaja liat Kak Ji senyum sekilas. Lah, ganteng juga rupanya?

Kak ji kemudian membolak-balik kertas (yang gue yakini adalah form pendaftaran gue)

“Lo dari jurusan farmasi?” Tanya kak Ji lagi.

Gue ngangguk, “iya kak,”

“Pertama kali ikut event ya? Kok gue gapernah liat?”

Gue juga ga pernah liat lo kak, lo baru ikut event ya?

“Ini kali pertama dan mungkin terakhir, heheeh soalnya anak farmasi kan kakak tau sendiri, “

“Iya sih, jarang banget gue liat anak farmasi ikut organisasi atau event. Ada, tapi sebagian kecil aja.”

“Nah, anak farmasi kan waktu kuliahnya padet tuh, gimana lo bisa handle event sekaligus prioritasin waktu belajar lo?”

It's okay kak, dua tahun setengah gue kuliah gapernah make jatah absen. Dan sekarang kalau dipikir-pikir, rugi banget kalau jatah absen kebuang gitu aja, jadi gue bakal prioritasin untuk event untuk kali ini,”

Doi ngangguk-ngangguk seolah jawaban gue sepehamaman sama dia. Padahal sumpah gue jawabnya ngasal asal bunyi.

“Okedeh, Nayra kalau gitu. Tunggu aja info selanjutnya, ntar kalau lulus di hubungi sama Keenan atau Salsha,” ucap Kak ji final.

Gue menghela nafas, “beneran udah selesai kan kak?” Tanya gue mastiin.

“Lo masih mau gue tanya-tanya lagi?”

Gue langsung geleng kepala, “gak kak makasih hehehe,”

Setelah itu, gue langsung di kickdari breakout room sama kak Ji. Gila ni orang, kaga ada samlekum-samlekumnya.

Jantung gue serasa turun ke perut bagian usus duabelas jari. Padahal baru interview doang, tapi gue segugup itu. Semoga gue lulus dah amiiin :(((

©️bil

Baikan ya?

Abu menapaki koridor rumah sakit setelah tiba disana. Lelaki itu menarik dan menghela nafas secara bersamaan. Matanya sudah basah ketika sampai ditempat ini.

semuanya karena gue, coba kalau gue bisa tahan emosi gue sedikit aja. Harusnya gue gak sampe nyelakain orang lain.

Tidak terbayang bahwa sahabat baiknya harus menderita karena dirinya. Tapi bagaimana pun, ia harus datang untuk meminta maaf pada Jio.

Kakinya melangkah ke kamar rawat Jio, bersamaan dengan seseorang yang keluar dari kamar itu. Mata mereka bersitatap, menimbulkan percikan amarah pada netra yang menatap kedatangan Abu.

Lelaki itu langsung menarik kerah Abu dengan kasar.

“BERANI-BERANINYA LO DATANG KESINI KEPARAT!!” Pekik Gio dengan amarah yang menggebu-gebu.

Abu tidak melawan, dirinya pasrah.

“GIO LEPASIN!” Kali ini Yuna berusaha melerai.

Gio belum melepaskan cengkramannya.

“Lepasin Gi, tolong inget Jio lagi sakit,”

Lelaki itu membuang napas kasar dan akhirnya melepaskan cengkramannya, “lo yang ngasih tau bajingan ini Yun?”

Yuna menatap Gio dengan tatapan lembut, ia tidak boleh ikut emosi dalam situasi ini.

“GARA-GARA DIA YUN! GARA-GARA DIA JIO SAKIT!!! GARA-GARA MANUSIA BRENGSEK INI!!–” gio menunjuk muka Abu dengan wajah menahan amarah.

Abu menjatuhkan dirinya berlutut dihadapan Gio. Lelaki itu tidak bisa menahan isakannya kembali. Ia tidak mengatakan apapun hanya terisak disana.

Melihat kedua sahabatnya yang masih dikuasai emosi yang tidak stabil. Yuna mengambil langkah masuk kedalam kamar.

Ia mendekati Jio yang terduduk dengan tatapan yang masih kosong. Yuna mengusap lengan Jio dan berbicara lembut kepadanya.

“Jio—, ada temen kita nih mau ketemu sama Jio,” gadis itu mulai mencoba berbicara kepada Jio, namun tak ada respon.

“Jio suka banget main sama temen yang satu ini. Anak nya cuek, tapi baik dan perhatian banget loh sebenarnya,” sambung Yuna.

Yuna kemudian mengusap kepala Jio dengan lembut.

“Jio mau ketemu Abu?” tanya Yuna perlahan.

Ucapan Yuna membuat mata Jio bergerak menatap kearahnya. Lelaki itu merespon.

“Abu?” Panggilan itu keluar dari bibir Jio dengan lancar.

Yuna menahan nafas sesaat, ia menatap Jio dengan mata berkaca-kaca. Tangisnya hampir pecah namun ia tahan.

Gadis itu mengangguk, “Abu gentala, Jio ingat?” Tanya Yuna kembali.

Keajaiban lain datang, Jio menggerakkan bibirnya merekahkan senyuman. Yuna bisa melihat perubahan emosi dari wajah Jio dengan jelas.

“Abu bilang Jio anak baik,” lelaki itu kini masih berbicara dengan wajah merekah.

Gio langsung masuk kedalam ruangan. Menyaksikan dengan nyata bahwa nama Abu bisa menggetarkan jiwa Jio yang sebelumnya kaku dan bisu. Lelaki itu tak kuasa menahan tangis harus ketika melihat Jio merespon ucapan Yuna lengkap dengan eskpresi bahagia.

“Abu... dimana?” tanya lelaki itu kemudian.

Merasa dirinya dipanggil, Abu melangkah masuk dengan kaki gemetar. Wajahnya masih memerah dan basah. Lelaki itu memberanikan diri berhadapan dengan sahabatnya yang telah ia lukai fisik dan jiwanya.

“Abu— anak baik,” ucap Jio ketika melihat daksa itu dihadapannya.

Tangis Abu pecah seketika. Ia berlutut mensejajarkan tubuhnya dengan Jio yang duduk di tepi ranjang. Lelaki itu meraup kedua tangan Jio dan menatap netra lugu itu.

Ia tak henti-hentinya mengucapkan kata maaf. Lelaki itu tak sanggup menatap wajah Jio, ia menunduk dengan isakan kuat yang tak terhenti. Menangis sesenggukan dengan ucapan maaf yang beribu kali ia ulang.

Tiba-tiba Abu merasakan usapan lembut di kepalanya. Membuat tangis lelaki itu terhenti sesaat.

“Abu nangis, Gio nangis, Yuna nangis...” ucap Jio.

Lelaki itu tidak melanjutkan ucapannya. Namun tidak berhenti mengusap kepala Abu seolah ingin membuat lelaki itu menjadi tenang.

“Gio –” panggil Jio.

“Iya Ji, gue disini,”

Jio mengambil tangan Gio dan tangan Abu, kemudian mengaitkan kedua tangan itu.

“Baikan ya,” ucap Jio menatap keduanya.

Yuna menggigit saputangan guna meredam isakannya agar tidak terdengar oleh Jio. Demi Tuhan, Yuna tidak ingin berpikiran yang aneh saat ini.

“Abu itu sahabat kita,” ucap Jio lagi.

“Sahabat gaboleh saling benci, sahabat harus saling memaafkan,”

Gio menghela napas, sesak tertahan karena ia menahan tangis.

“Baikan kok, Ji.” Ucap Gio kemudian.

“Sekarang, jio mau tidur,”

Mendengar hal itu ketiga sahabat itu buru-buru bangkit dan membantu Jio untuk berbaring. Mata mereka masih basah karena tangis, namun hati mereka menjadi sedikit lega karena Jio sudah menunjukkan keadaan yang membaik.

Semoga setelah ini, Jio benar-benar membaik.

Jiovann Adriano

Yuna tak kuasa menahan airmatanya tatkala gadis itu tiba dirumah sakit. Isakannya tertahan ketika melihat Jio menjadi sangat kurus dan lesu. Mata itu menatap kosong tanpa titik temu, mengkiblatkan dirinya ke arah jendela yang hanya memantulkan cahaya sang surya.

Tubuh itu terduduk damai disana, tanpa suara, tanpa kata. Seolah tengah berbisik dengan alam, tanpa dipahami oleh siapapun yang hadir disana.

Yuna bergerak mendekat, mencoba meraih tangan Jio yang diletakkan diatas pahanya. Tidak ada pergerakan, netra itu masih menatap kosong.

“Jio, ini Yuna,” bisik gadis itu pelan.

Hening, hanya isakan Giovan yang sesekali memenuhi ruangan.

“Jio, masih inget ga sama gue? Dulu pas SMA lo itu sering banget usilin gue,” cerita Yuna dengan tangis tertahan.

Masih hening, dan tak ada jawaban.

Yuna terus bercerita tentang dirinya dan Jiovann semenjak SMA, kemudian mereka kuliah di kampus yang sama, juga mengulang beberapa kisah menyenangkan yang mereka lalui. Gadis itu bercerita dengan menahan tangis sesenggukan.

Sesak dalam dada Yuna tidak tertahan, tangisnya pecah bersamaan dengan lengan Jio yang ia dekap. Pilu menguar membawa keperihan mendalam memenuhi ruangan itu.

“Ji, lo harus sembuh Ji, lo gak boleh kaya giniii,” racaunya.

“Baru kemarin kita bercandain Gio, baru kemarin Ji. Lo gak boleh kaya gini,”

Yuna terisak semakin dalam. Gadis itu menepuk dadanya yang terasa nyeri. Sesak tak tertahankan melihat sahabat terbaiknya harus berakhir seperti ini.

Sungguh, jika boleh takdir ditukar. Yuna rela menggantikan tempat Jio sekarang.

Jio anak baik.

Jio doesn't deserve this cruel world

“Jio anak baik, jio harus sembuh,” papar Yuna dalam isakannya.

Ia mengusap airmata nya yang tidak bisa berhenti mengalir.

“Jio–... anak baik kan?”

Ucapan itu membuat tangisan Yuna berhenti seketika.

Jio membalas ucapannya.

Meskipun tubuhnya masih kaku dan netranya masih terpaku, lelaki itu menjawab ucapan Yuna.

Air mata mengalir begitu saja dari mata cekung itu. Tatapannya masih kosong, tetapi airmatanya terus mengalir dengan deras.

Yuna memeluk tubuh kurus itu dengan erat, menyalurkan kasih sayang seorang sahabat.

Baginya, Jiovann Adriano bukan hanya sekedar tokoh asing dalam hidupnya. Lelaki ini hadir dan memberikan banyak arti mengenai persahabatan yang sebenarnya. Lelaki ini mengajarkan Yuna banyak hal mengenai keikhlasan.

Jiovan bukan hanya teman, dia adalah bagian dari keluarga Yuna. Dia adalah bagian dari coretan kisah indah yang ingin Yuna ukirkan dengan judul sahabat terbaik dalam kehidupan yang ia miliki.

Tuhan, Yuna mohon sembuhkan lelaki baik hati ini. Lelaki ini panatas untuk bahagia Tuhan