write.as/jeongwooniverse/

Tantrum

Gio berlari kencang menaiki tangga ketika mendengar teriakan Jio yang cukup keras. Jantungnya berpacu dengan cepat, perasaan khawatir menumpuk dalam batinnya menimbulkan sesak ketika mendengar teriakan sang adik yang lahir 15 menit setelah dirinya lahir.

“JIO BUKA PINTU!” teriak lelaki itu sembari menggedor pintu kamar Jio dengan kencang.

“JIO GAK SALAH AYAH! AMPUNNN!! JIO ANAK BAIKK!!! JIO ANAK BAIK!!!” suara racauan Jio semakin keras terdengar. Tak hanya itu, terdengar pula beberapa barang-barang yang dibanting diatas lantai.

Tubuh mama Olive seketika luruh ke lantai, wanita paruh baya itu terisak kuat mendengar teriakan Jio didalam sana. Teriakan pilu itu menyayat hati mama Olive dan Gio yang mendengarnya.

“JIO, INI GIO. BUKA PINTUNYAAA!!!,” lelaki itu kembali berteriak frustasi. Airmata sudah mengalir dipipinya namun lelaki itu menahan isakan.

“Gio— TOLONG!! Gioo KITA ANAK BAIK KAN!! GIOOOO— ARGHHHHH“

Gio segera mendobrak pintu kamar dengan kuat.

Didalam sana, Jio terduduk di sudut ruangan sembari menutup kedua telinganya menggunakan tangan. Lelaki itu bahkan menutup kedua matanya. Gio bisa melihat kembarannya ketakutan, tubuh itu gemetar sangat kuat karena takut.

Gio langsung menarik Jio kedalam pelukannya, lelaki itu mengusap kepala Jio lembut berharap hal itu dapat membuat Jio bisa menjadi tenang.

“Gue gak bakal kemana-mana lagi Ji,” ungkap Gio pelan.

Tangisan Jio semakin pecah, tubuhnya kembali bergetar hebat. Tersirat ketakutan dan kesakitan secara bersamaan didalamnya.

Mama Olive hanya bisa menangis dari kejauhan. Beliau tidak ingin mendekat karena terakhir kali, Jio menjadi histeris ketika bertemu orang baru selain Gio. Wanita itu bahkan menyuruh sang pskiatris pulang untuk hari ini karena tidak ingin membuat perasaan Jio lebih buruk.


“Minum obat ya Ji,” ujar Gio ketika Jio telah merasa tenang dan berbaring di atas ranjangnya.

Jio tak menjawab, hanya menatap Gio dengan wajah datar. Lelaki itu lantas mencengkram tangan Gio yang tengah sibuk memilih obat-obatan yang harus diminum oleh Jio.

“Gi, tidur disini ya, gue takut-“

Gio menatap kembarannya dengan lembut, “gaada yang bakal berani nyakitin lo kalau ada gue disini,” pungkas lelaki itu.

Jio menggeleng, “tadi dia datang Gi. Gue gak bohong! Dia datang! Terus lompat dari jendela pas lo gedor-gedor pintu,” cerita Jio.

Gio menatap ke arah jendela yang masih tertutup rapat. Lalu menatap kearah Jio dengan tatapan yang tak dapat didefinisikan.

“Minum obat, terus istirahat aja Ji,” gio berujar.

Lelaki itu kemudian memindahkan tablet obat yang ada ditangannya ke tangan Jio.

“Lo percaya sama gue kan?” Tanya Jio menahan lengan Gio,

Gio menghela nafas, lalu mengangguk, “gue bakal disini jagain lo, dia gak bakal datang lagi. Sekarang minum obat ya Ji,”

Akhirnya Jio menurut dan menjejalkan tablet pahit itu kedalam mulutnya. Setelahnya Gio dapat mendengar nafas teratur Jio.

Kepingan Luka (Part 2)

Now playing: Breath— Lee Hi

Awan pekat seolah memberikan tanda bahwa malam ini akan dilewati dengan kesedihan yang panjang. Abu berlari kesebuah taman kosong, lututnya seolah kehilangan tumpuan membuat lelaki itu jatuh terduduk diatas tanah berbatu. Lututnya terluka namun hatinya jauh lebih terluka.

“AAAARRRRGHHHHH!!!!!” teriaknya keras mengeluarkan segala emosi yang telah mendesak dalam tubuhnya.

Matanya menangis, beriringan dengan rintik hujan yang jatuh membasahi bumi. Lelaki tu berteriak kembali. Isakannya terdengar begitu pilu dan menyayat, dadanya sesak seperti dihimpit ribuan kilogram beban, otaknya memutarkan beberapa memori yang telah ia coba kubur dengan dalam.

Reka ulang kejadian dimana Abu melihat ibunya bermesraan dengan lelaki lain dengan mata kepalanya sendiri. Kemudian senyuman ayahnya yang menyambut dirinya setiap ia pulang sekolah. Perihal pertengkaran ibunya dan ayahnya karena sang ibu ingin hidup berkecukupan sedangkan keluarga mereka baru saja tertimpa musibah, hari dimana Jinan tidak berhenti menangis karena melihat ibunya meninggalkan rumah dengan sebuah koper besar.

Dan hari yang paling menyakitkan, ketika Abu menemukan ayahnya terbujur kaku diatas dipan kayu yang biasa digunakannya untuk tidur.

ketika itu, ucapan ayahnya merupakan hal paling membekas dalam ingatannya. “kalau suatu saat papa udah gabisa jagain Abu, tolong jagain Jinan ya nak, dia masih belum paham bagaimana caranya hidup tegar seperti Abu. Ajarkan Jinan hal-hal baik yang kamu miliki. Biarkan Jinan juga tumbuh menjadi kuat dan hebat sebagaimana Abu tumbuh selama ini,”

“papa gak pernah marah sama Tuhan karena semua harta papa diambil nak, malah papa berterimakasih. Kalau bukan begini, kapan lagi papa bisa menghabiskan waktu dengan Abu dan Jinan?”

Bertahun-tahun hidup bersama dua lelaki yang menjadi alasannya untuk bertahan, membentuk Abu menjadi pribadi yang hebat dan tegar seperti sekarang ini.

setiap peluh yang menetes karena ia bekerja, mengingatkan dirinya pada senyum sang adik.

Kalau sang Ayah merupakan pribadi yang lemah lembut, dan Abu merupakan pribadi yang tegar maka Jinan merupakan kombinasi dari keduanya.

bocah itu hanya menangis sekali, ketika melihat sang ibu pergi meninggalkan rumah. Selebihnya, Abu tidak pernah melihat dirinya mengeluh dan selalu memberikan senyuman hangat dalam setiap tindakan.

Kalau Abu boleh mengeluh, ia ingin mengeluh karena tidak bisa menghabiskan waktu remajanya dengan teman-teman lainnya. Ia ingin mengeluh karena tidak punya waktu untuk mempelajari ilmu-ilmu lain yang bisa ia dapatkan diluar sekolah.

ia ingin mengeluh mengapa harus menjadi remaja yang bertingkah menjadi dewasa ketika yang lain bahkan belum menapaki fase itu.

tapi kemudian pesan papa Abu kembali terngiang, “nak, Tuhan memilih Abu karena Tuhan tau, Abu adalah manusia hebat yang mampu menjadi pribadi yang dapat dicontoh oleh orang banyak. Karenanya, terus menjadi contoh yang baik bagi sekitar kamu ya nak,”

Abu sudah pernah hancur menjadi serpihan yang lebih kecil dari debu.

Lalu darimana ia bisa mendapatkan kelapangan hati untuk memaafkan wanita yang seharusnya ia panggil ibu itu?

Selama ini, Abu tidak pernah punya sandaran lain selain Tuhan. Ia bangkit dengan hati yang telah mati karena berulangkali disakiti. Ia menopang dirinya sendiri karena ia tahu, ada jiwa yang harus ia jaga, ada malaikat kecil yang harus Abu rawat agar memiliki masa depan yang lebih baik darinya.

Jinan.

Bocah SMA yang kini beranjak dewasa itu yang menjadi alasan Abu untuk terus kuat menghadapi semuanya. Ia terlalu menyayangi sang adik melebihi dari dirinya sendiri.

Namun kini, seolah diterjang badai. Abu bisa merasakan, bahwa malaikat kecil yang ia jaga dengan sepenuh hati itu, telah membenci dirinya.

hati yang telah menjadi serpihan kecil itu kini luluh lantak, tak bersisa.

@bilwithluv.

Kepingan Luka (part 1)

Abu menatap daksa yang berada dihadapannya dengan tatapan nyalang. Lelaki itu bahkan tidak berkedip menyalurkan aura kebencian yang mendarahdaging sejak 5 tahun lalu. Lelaki tu menyodorkan Aqua botol seberat 1,5 liter ke hadapan Jinan untuk diletakkan didalam rumahnya.

“Bang—“ panggil Jinan.

“Jinan masuk kedalam!” perintah Abu tegas.

“Tapi Jinan udah lama gak ketemu—“

“JINAN KALAU ABANG BILANG MASUK, MASUK!”

Jinan mengulum bibirnya, ia masuk dengan perasaan kesal sembari membanting pintu. Abu tidak menghiraukan kesalnya Jinan. Ia tak melepaskan pandangannya dari daksa paruh baya yang berhadapan dengannya saat ini.

“Sehat nak?” Tanya wanita itu lembut dengan air mata tertahan.

Abu tidak menjawab. Wajahnya masih tidak bersahabat.

“Kamu sudah tumbuh sebesar ini, mama lega melihat kamu bisa menjaga adik kamu dengan baik,”

“Darimana anda tahu alamat kontrakan ini?”

Hatinya pilu ketika mendengar anak kandungnya memanggil dengan sebutan ‘anda’, itu terdengar cukup Asing.

“Mama minta maaf,” lirihnya sembari mencoba meraih wajah Abu yang terlihat memucat.

Abu langsung menepis tangan wanita itu dengan kasar.

“Jangan sentuh kulit saya, karena saya terlalu hina untuk disentuh oleh anda!”

“Abu—“ wanita itu tak kuasa menahan tangisannya.

“JANGAN PANGGIL NAMA SAYA! NAMA SAYA TERLALU KOTOR UNTUK DISEBUTKAN OLEH BIBIR ANDA!” Abu memekik.

Pilu menjalar dibagian rongga dadanya, menghimpun sesak yang sudah lama tak pernah Abu keluarkan. Kenapa wanita ini harus kembali ke hadapannya? Kenapa?

Tuhan, Abu hanya ingin hidup tenang berdua dengan Jinan,

“Mama menyesal Abu, Mama kembali untuk kalian. Mama minta maaf, mama mau memperbaiki semuanya. Mama mohon–” lirih wanita itu dengan tangis yang semakin deras.

“Kami anak yatim piatu! Mama kami sudah meninggal! Dan anda tidak berhak mengaku menjadi ibu kami!,”

“Ya Allah nak—“

“Berani sekali anda membawa nama Tuhan setelah semua yang sudah anda lakukan!,”

Wanita itu tidak menjawab, hanya isakan yang keluar dari bibirnya.

“Maafin mama nak,”

“ENYAH DARI HADAPAN SAYA DAN JINAN!”

“Maafin mama Abu,” kini wanita itu berlutut memeluk kaki Abu.

“ABANG! ITU MAMA KITA!”

“JINAN ABANG BILANG MASUK!”

Tak menghiraukan titah Abu, Jinan keluar sembari menarik wanita itu dari kaki Abu.

“Ma, Ayo bangun,” papah Jinan lembut.

Wanita itu akhirnya berdiri. Abu menaikkan bibirnya, tersenyum miring.

“Wanita jalang mana yang kamu panggil mama, Jinan?”

PLAK!!!!!!

Sebuah tamparan mendarat di pipi pucat Abu, cukup keras untuk membuat ujung bibirnya tersobek.

Bukan, ini bukan tamparan dari Jinan, melainkan wanita paruh baya itu.

“MAMA GAK PERNAH MENGAJARKAN KAMU MENGUCAPKAN KATA-KATA SAMPAH SEPERTI ITU?”

“LALU APA? APA YANG ANDA AJARKAN UNTUK SAYA? SELINGKUH DENGAN LAKI-LAKI LAIN DAN MENINGGALKAN SUAMI ANDA YANG SEDANG SAKIT-SAKITAN?! IYAA?!”

“ATAU MENIGGALKAN SUAMI ANDA YANG TELAH BANGKRUT KARENA GAK SANGGUP HIDUP MISKIN!?”

“ABANG CUKUPP!”

“JINAN KITA ITU ANAK YATIM PIATU!” Abu memekik hingga pita suaranya mencapai ambang batas.

Matanya memerah, dadanya naik turun dengan cepat, amarahnya kian memuncak.

“Ketika semua teman-teman kamu disekolah bisa pamer untuk ikut kegiatan ini dan itu ke orang tuanya, kamu pamer ke siapa Jinan? Ke Abang kan? Dari awal kita udah terbiasa hidup sebagai yatim piatu miskin! Jadi kenapa tiba-tiba menerima orang yang sudah membuang kita bagaikan sampah?”

“Mama menyesal!” pekik wanita itu mengusap wajahnya.

“Penyesalan anda bisa membangkitkan papa dari kubur gak? Hah!?”

“ABU!”

“PERGI GAK?!” Mata Abu membulat sempurna seolah ingin keluar dari tempurungnya.

Tidak ingin memperkeruh suasana, wanita itu akhirnya mengalah dan pergi untuk hari ini. Ia bisa melihat kebencian telah mengakar di mata Abu. Bagi Abu, dirinya bukanlah bagian dari keluarga yang harus ia hormati. Wajar, wanita itu menyadari karena kesalahan yang dilakukannya dahulu merupakan kesalahan fatal. Namun nasi telah menjadi bubur, luka yang sudah tergores perlahan membentuk luka begitu dalam hingga sulit untuk menyembuhkannya kembali.

Kali ini ia hanya berharap, agar semesta mampu membolak balikkan hati Abu untuk sekedar memaafkannya.

“Jinan benci sama Abang!” pungkas Jinan dengan wajah penuh amarah. Lelaki itu masuk dan membanting pintu.

Abu mengusak rambutnya kasar. Pikirannya kalut. Amarah masih memegang kendali tubuhnya.

Ketika ia berdebat dengan batinnya sendiri, sebuah suara menginterupsi.

“Lo brengsek Abu!” suara itu berasal dari belakang Abu.

“Ngapain lo disini bangsat!” lelaki itu masih kalut dalam emosi. Kenapa Jio harus datang disaat yang tidak tepat!

“Bisa-bisanya lo gituin ibu yang udah mengandung dan melahirkan lo! Lo bahkan gatau perasaan orang-orang yang gak punya mama diluar sana! Lo gak bisa bersyukur sama hidup yang udah dikasih Tuhan ya!” lelaki itu mendengar semua dari awal.

Sebagai seseorang yang telah kehilangan ibu kandung, Jio melihat perlakuan Abu sangatlah tidak wajar. Emosinya memuncak kala melihat wanita paruh baya itu bahkan memeluk lutut Abu.

“Tau apa lo tentang keluarga gue brengsek!” lelaki tu menarik kerah Jio, membuat lelaki tu meneguk ludah.

“Lo itu anak gatau diuntung!” pungkas Jio.

BUGH! Sebuah tinju mendarat tepat di pipi kiri Jio membuat lelaki itu jatuh tersungkur.

“Diam atau lo bakal berakhir di rumah sakit Jiwa malam ini!” Abu menatap Jio nyalang. Lelaki itu kemudian beranjak pergi meninggalkan Jio disana.

@bilwithluv

Bertemu

“Rahayu plis lo bisa gak berhenti ngekorin gue?”

“Aku takut, disini aku ga kenal siapa-siapa,”

“Yaudah sama oma aja sana, lo kan kesayangannya oma,”

Percakapan kedua wanita itu terdengar di seluruh koridor kosong menuju toilet. Gita yang sedang memoles lipstick nya menangkap suara-suara asing yang baru menyapa, namun berusaha untuk acuh.

“Gita kan?” Panggil sebuah suara membuat Gita berbalik.

Tersenyum, gadis itu mengangguk.

“Haiiii lo cantiiik bangeett aslinyaa,” gadis berambut panjang itu terlihat sumringah dan langsung memeluk Gita serta menempelkan pipinya dengan pipi Gita bergantian.

“Icel nih pasti,” tebak Gita.

“Ayeay, calon besaan.” Lalu mereka berdua tertawa serempak.

Dua wanita dewasa itu tampak langsung akrab meski di pertemuan pertama.

“Hai Rahayu,” sapa Gita kemudian, mencoba mencairkan suasana.

Gadis itu hanya mengangguk sembari mengulas senyum canggung.

“Ih lo pake somethinc ya?” Tanya Gisel ketika melihat isi pouch make up Gita.

“Iya, gue suka cushion nya itu kaya matte nya yang gak bikin kering gitu loh Cel,”

“Ih bener banget, gue juga make ini loh betewe, tapi ga bawa hari ini,”

“Yaudah ini pake ajaa,”

“Anjir ini kan retro matte dari Mac kan? Cakep banget warnanyaa,”

“Gue tuh udah menjelajah dunia perlipstikan dan holy grail gue banget yang ini sama satu lagi yang pure color envy sculpting punya estee lauder”

“Ih sumpah itu baguus bangeet,” Giselle menyetujui dengan antusias.

Pada dasarnya wanita itu, kalau sudah bertemu dan punya ketertarikan yang sama, pasti pembahasannya langsung nyambung dan gak habis-habis.

Kedua kaum hawa pecinta fashion itu pun langsung akrab seperti sudah bersahabat sejak lama. Melupakan fakta bahwa ada wanita lugu lain yang berada disana. Tidak mencoba bergabung karena tidak mengerti.

“Apa cuma aku, yang udah 26 tahun tapi masih make bedak tabur sama liptint aja?” Sela suara itu ditengah keseruan Gita dan Giselle berbicara tentang make up.

Pembicaraan keduanya langsung terjeda.

Giselle menatap Rahayu dengan tatapan tidak suka.

“Iya, cuma lo doang. Terus lo merasa spesial gitu?” Cerocos Giselle tak suka.

ni orang bau-baunya mau jadi pick me girl kayanya.

“Aku bersyukur aja sih, tampil apa adanya, cuma hari ini aja terpaksa karena acara mbak Rena,” jawab Rahayu kemudian.

Giselle terlihat tidak suka, baru saja gadis itu menarik nafas untuk memaki Rahayu tapi tertahan oleh dering ponsel Gita.

“sayang,” panggil suara diseberang sana.

Meski tidak menggunakan loud speaker keadaan toilet yang sunyi dan suara Agib yang cukup keras cukup untuk didengar oleh Giselle dan Rahayu.

Ada raut terkejut disana.

“tolong bilang sama Icel suruh balik kesini ya, mau foto keluarga besar.” sambung Agib di telepon.

“Oh iya, aku sampein ke Giselle,”

“disini rame banget Git, kamu kalau belum bisa balik sama Giselle gapapa, nanti aku jemput aja,”

“Apasi jemput-jemput, kaya pulang sekolah aja,” canda gadis itu, Giselle terkikik geli.

“Gaksih, aku kangen aja. Pokoknya kamu gaboleh balik kesini sendiri, nanti aku samperin. Rame banget disini takut kamu diculik,”

“Dasar bulol! Agib lo bulol banget geli gue dengernya,” sambung Giselle yang ternyata dari tadi mendengar percakapan mereka.

“sirik lo ya, jomblo diem aja deh.” jawab Agib disana.

Lalu telepon ditutup.

Giselle buru-buru memoles sedikit cushion dan Lipstick milik Gita. kemudian pamit dengan Gita setelah bertukar kontak dengan gadis itu. Ia bahkan langsung pergi meninggalkan Rahayu dengan tatapan kesal.

Sementara itu, Gita memang tidak berniat kembali ke aula terlebih dahulu karena ingin menata kerudungnya sedikit.

(Jadi disini semua tokohnya pake kerudung ya karena acaranya didalam masjid)

“Kamu emang suka make up ya?” Tanya Rahayu mencoba memulai pembicaraan.

“Untuk umur segini, make up itu udah jadi kebutuhan. Apalagi di kerjaan gue, gue gak mungkin tampil cuma dengan bedak tabur dan liptint seharian untuk ketemu klien. Mana percaya klien sama gue kalau gue gak menarik sama sekali,”

“Jadi, kamu make up untuk menarik perhatian klien?”

Gita menutup matanya sesaat, berusaha menstabilkan emosi.

“Lo kok keliatannya skeptis banget sama orang yang pake make up” tanya Gita kemudian.

“Menurutku, orang yang pakai make up itu ga pede dengan tampil apa adanya. Keliatan kaya palsu ga sih?”

Tuhan, tabahkanlah Gita.

“Silakan kalau lo memilih untuk tampil apa adanya. Tapi lo gak berhak menghakimi orang yang mencoba berdandan untuk terlihat cantik. Di dunia kerja, berpenampilan menarik itu juga bentuk dari kepercayaan diri. Dan gak ada yang salah untuk tampil cantik dengan berdandan.”

Rahayu masih menampakkan wajah kalem. Gita merasa penjelasannya tidak berarti apa-apa untuk Rahayu.

Gadis itu tidak memperdulikan Rahayu, ia kini sudah memasang jarum pentul terakhir di kerudungnya.

“Aku suka sama Agib, Gita.” Ujarnya tiba-tiba membuat Gita terpaku.

Gadis itu menghadap ke arah Rahayu dengan kening berkedut.

“Sudah dari 10 tahun yang lalu,”

Gita benar-benar berusaha untuk tidak terpancing emosi.

“Terus kenapa kalau lo suka sama Agib?”

Rahayu mengulum bibirnya.

“Menurut kamu salah?”

Gita mencoba terlihat santai, “enggak salah kok,”

“Kalau suatu saat ternyata jodoh Agib adalah aku gimana?”

Gita mengepalkan jarinya, namun gadis itu tersenyum.

“Yaudah, kalau takdir mau bilang apa.”

“Kamu terlihat ga menyayangi Agib sedalam itu,”

“Rahayu, sekarang lo ngomong begini tujuannya untuk apa? Mau manas-manasin gue? Mau bikin gue cemburu? Kalau iya, sayang banget cara lo terlalu childish untuk seorang gadis berumur 26 tahun.”

“Aku hanya mau kamu tau kalau aku sudah menyukai Agib sejak lama,”

“Tapi Agib suka sama gue udah dari 13 tahun yang lalu tuh,” jawab Gita jumawa.

Kali ini Rahayu yang terdiam.

Gita segera membereskan perlatannya, ia tidak bisa berlama-lama dengan gadis ini. Bisa meledak nanti emosinya.

“Suka sama orang gak salah kok, jatuh cinta sama orang juga gak salah, tapi merusak kebahagiaan orang lain bakal bikin hidup lo selamanya gak bahagia juga girls.”

“Silakan sukai Agib selama-lamanya, silakan jatuh cinta dengan Agib sedalam-dalamnya, tapi kalau bahagianya Agib itu sama gue, lo bisa apa?” Ucap Gita final.

Gadis itu beranjak meninggalkan toilet, namun langkahnya terhenti saat melihat daksa jangkung yang berdiri disana.

“Agib?” Panggil Gita heran.

Sejak kapan lelaki itu disana?

Seolah tak mendengar apapun, Agib mengulas senyum manisnya untuk Gita.

“Udah selesai touch up nya? Yuk balik, kita foto bareng,” papar Agib sembari menarik lengan Gita.

Agib kemudian mencium puncak kepala gadis itu, sembari menatap sinis ke arah pintu toilet. Memberikan tatapn tajam daksa yang berdiri disana.

Rahayu menelan ludah, berdiri kaku.

D-day

Ketegangan mulai menyelimuti Danny. Lelaki itu berulang kali bolak-balik toilet karena gugup. Rena belum tiba di masjid Agung, tetapi Gita dapat melihat bahwa lelaki itu sangat gugup.

Buru-buru Gita mengirimkan satu pesan kepada Agib yang duduk didekat Danny sebagai saksi.

Gitanya Agib ♡♡♡

coba tenangin dulu deh mas Danny nya, kayanya tegang banget

Agib yang mendapatkan pesan dari sang kekasih sontak membalikkan tubuhnya, melihat ke arah Gita yang duduk bersama para braidesmaid, lelaki itu mengulas senyum singkat lalu menepuk pundak Danny.

“Bang, bismillah dulu. Insya allah lancar,” ujar lelaki itu berbisik.

Danny yang mendengar ucapan Agib pun mengangguk, mencoba menstabilkan deru nafasnya.

Hingga sang pemeran utama yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Rena datang dengan gaun putih lengkap dengan kerudung yang menghiasi wajahnya. Wanita itu terlihat ayu dan menawan.

Ia berjalan dengan pelan, menatap satu persatu tamu yang hadir hingga tatapan itu mengunci seseorang yang juga menatapnya dengan kagum. Gita.

Gadis itu membalas senyumana Rena lalu mengangguk, seolah mengatakan bahwa ini adalah awal dari langkah bahagianya Rena Diana.

Gita melihat Rena yang telah duduk disebelah Danny dengan wajah tenang. Pikirannya terputar pada dua malam sebelumnya, dimana Rena meminta Gita untuk menginap di rumahnya, wanita itu meminta Gita untuk mendengarkan keluh kesahnya sebagai calon pengantin.

“mbak khawatir Git, khawatir kalau nanti ternyata mas Danny ga sebaik pas kita lagi pacaran. Mbak khawatir kalau tiba-tiba kepribadiannya berubah nanti apa mbak bisa ngatasinnya? Soalnya ini adalah pilihan sekali selama seumur hidup, mbak gamau salah pilih.” racau gadis itu menghadap ke arah Gita sambil memeluk bantal guling.

memang benar kata orang tua jaman dahulu, calon pengantin itu banyak banget godaannya. Overthinking gabisa dihindari, maka dari itu calon pengantin itu butuh seseorang untuk melampiaskan apa yang terpikir olehnya sebelum menikah. Seseorang yang bisa berdiri di posisi netral, dan Rena memilih Gita sebagai orangnya.

Gita menatap Langit langit kamar Rena yang dihiasi lukisan awan. Gadis itu berpikir sejenak sebelum menjawab,

“people change mbak, kita emang gabisa denial. Tapi dari pengalaman bertahun-tahunnya mbak sama mas Danny, apakah pernah mas Danny bikin mbak kecewa?”

Rena menggeleng.

“Gita pernah baca mbak, katanya menikah itu sama kaya kita memilih masalah seumur hidup. Menurut mbak, ada gak personality dari mas Danny yang enggak mbak suka?”

Rena terdiam sesaat, “dia workaholic banget Git, aku tuh sering ingetin dia untuk gak terlaly memaksa diri tapi dia gapernah nurut, kadang kami bisa sampe cek cok cuma gara-gara Danny yang gamau ninggalin kerjaannya.”

“dan selama ini mbak bisa bertahan karena bisa mentolerir kebiasaan buruknya mas Danny kan?”

Rena mengangguk, “jalan tengahnya, kadang aku nemenin dia lembur sampe dia gak tega ngebiarin aku nunggu. Akhirnya dia terpaksa berhenti dan ngalah. Aku juga pernah bilang sama dia, kamu boleh lembur dan gak tidur selama 5 hari dalam seminggu, tapi hari sabtu dan minggu aku selalu minta quality time atau bahkan maksa dia istirahat seharian biar tubuhnya ga terlalu capek,”

“at the end?”

“dia nurut Git,”

Gita lalu membalikkan tubuhnya menghadap Rena dengan menumpukan kepalanya diatas lengan.

“menerima mas Danny berarti mbak udah siap dengan kebiasaan itu selama seumur hidup, tapi kalian udah punya jalan tengahnya dan kalian fine dengan hal itu,menurut Gita, ego kalian cenderung stabil satu sama lain. Gita gak melihat kalian memaksakan ego, tapi cenderung memilih mengalah karena kalian sama-sama sayang,”

Gita lalu menyelipkan rambut Rena ke belakang telinga.

“that's why mbak, menikah itu bukan perkara umur, tapi menikah karena sudah siap secara lahir dan batin, fisik serta psikologis. Dan Gita bisa melihat kalau mbak dan mas Danny udah sangat-sangat siap menuju jenjang itu.

Rena tersenyum hangat. Hatinya kini merasa nyaman setelah mendengar ucapan Gita.

“terus kamu sama Agib kapan Git?” tanya Rena kemudian.

Gita hanya menjawab pertanyaan Rena dengan senyuman.

entah, Gita pun tidak tahu kapan tepatnya. Masih banyak hal yang harus ia pikirkan saat ini. Menikah bukanlah tujuan Gita dalam waktu dekat. Dirinya masih punya mimpi yang belum ia gapai dan Gita mau mewujudkan mimpinya terlebih dahulu.

Suara mikrofon menggema memenuhi masjid. Gita tersadar dari lamunannya. Kini ia dapat mendengarkan lantunan indah dan merdu dari bacaan Quran yang dibacakan oleh Danny Caesar Mahendra untuk pujaan hatinya Rena Diana. Entah mengapa, hati Gita menghangat.

“Saya terima nikahnya, Rena Diana Bintang, binti Chandra Aditya Pratama dengan mas kawin uang tunai sebesar 100 ribu US dollar dibayar tunai,”

Saksi menyambut dengan ucapan sah.

Binar haru tampak di wajah tante Bulan. Wanita itu menangis menyaksikan anak sulungnya kini berusaha meraih bahagianya. Membuka lembaran baru dengan seseorang yang sudah dipilihkan Tuhan untuknya. Airmata itu kini mengalir dengan deras.

Dari belakang, Gita bisa melihat bahu Rena bergetar karena tangisnya pecah. Apalagi ketika wanita itu beranjak menyalami ibu kandungnya. Mereka bertukar peluk cukup lama. Tanpa terasa, bulir air mata pun menghiasi pelupuk mata Gita.

Gadis itu tidak bisa menahan airmatanya ketika melihat Rena di peluk dan dicium oleh ayah kandungnya.

Cinta pertamanya, dan lelaki yang selalu menjadi panutannya. Chandra juga menangis tersedu sembari mencium pipi anak sulungnya, lelaki itu membisikkan nasihat-nasihat baik untuk selalu berbakti pada suami, karena kini surganya sudah berpindah tempat. Restu dan baktinya sudah bukan lagi menjadi tanggung jawab sang Ayah.

Membayangkan bahwa suatu saat jika dia berada di posisi Rena, gadis itu tidak bisa merasakan pelukan hangat sang cinta pertama lagi.

Bulir air mata itu kini jatuh dengan deras, membuat sungai kecil diantara kedua pipi Gita. Gadis itu tiba-tiba saja teringat oleh almarhum ayahnya yang sudah dipanggil pencipta.

Sesaat, ada sesak yang berbaur dengan rindu menghimpit dadanya. Gadis itu juga merindukan pelukan dan kasih sayang sang ayah. Ia ingin mendekap tubuh paruh baya itu meski hanya dalam bayangan bawah sadarnya.

papa, Gita kangen

Jagung bakar dan Terimakasih

Jio membelalakkan matanya ketika melihat sebuah daksa dengan (moge) motor gede berwarna merah metalik mampir didepan rumahnya. Gio yang penasaran pun ikut mengintip dari jendela dengan kembarannya itu. Mata mereka kemudian bersitatap sesaat dan berbalik melihat kearah daksa yang sudah turun dari motor gede itu.

Keduanya menahan nafas ketika helm si empunya motor dilepas, mereka kembali menatap satu sama lain.

“Cewek?” ucap mereka serempak.

Kembali melihat sang pemilik daksa yang belum berbalik hadap, kini mereka semakin memfokuskan pandangan. Rahang Jio terjatuh ketika melihat sosok itu berjalan kearah pintu pagar rumahnya.

“Itu Ai Anjiirr!!!!” Ucap Jio sembari menarik baju kaos milik Gio,

“HAH?! Jadi ini cewek yang bikin lo patah hatii?”

Suara bel rumah berdengung, Jio buru-buru mendorong Gio untuk masuk kedalam kamar.

“APAAN SIIHH!! LO KIRA GUE GEROBAK DI DORONG-DORONG?!”

Jio meletakkan telunjukknya di bibir, “jangan ribut, kalau gak gue iket lo di kamar mandi,”

Tak ingin melawan, Gio akhirnya menurut.

Tumben.

“gue bakalan pergi sama Ai, nanti tolong jemput gue kalau gue gak sanggup,”

Gio mengerutkan kening, “maksud lo? Lo mau bawa motor? Lo kan gabisa bawa motor!”

“Bukan bego! Ai yang bawa. Lo nanti aja deh nanya-nanya. Nanti gue cerita pas pulang, oke? Bye kembaran ku muah,” Jio pergi tepat setelah meninggalkan sebuah kecupan di dahi Gio.

Lelaki itu mematung sesaat. Lalu tersadar.

“Jio brengsekk!!!!!!!! LO NGAPAIN CIUM-CIUM!!!!!!”

Jio menutup pintu rumahnya, lalu menampilkan senyum untuk Ai. Ah, gadis ini masih membuat jantungnya berdebar ternyata.

“itu siapa Gi? Kok teriak-teriak?” Tanya Ai heran,

“Oh enggak, nyokap gue ada pelihara orang utan, itu orang-utan nya nangis habis di vaksin. Udah yuk Ai, nanti kemaleman.”

Kemudian Jio dan Ai pergi dari rumah, meninggalkan Gio yang berguling-guling di kasur sembari mengusak-ngusak dahinya.

“hueee gue udah ga suci lagiii,” rengek Lelaki itu didalam kamar.


Canggung.

Canggung yang dirasakan Jio ketika ia duduk di jok penumpang sementara Ai yang mengendarai motor. Bukan pula motor matic biasa, motor ini merupakan motor yang biasa dipakai untuk balapan liar yang sering Jio lihat di TV.

Lelaki itu hanya terdiam menatap punggung Ai dari belakang. Lelaki itu bahkan berpegangan di bahu Ai bukan di pinggangnya. Takut, Jio hanya takut nanti perlakuannya menjadi salah, mengingat Ai memiliki kekasih diluar sana.

Setelah membeli jagung bakar. Ai membawa Jio ke laut. Bukan pantai, melainkan laut dengan pinggiran batu-batu besar yang digunakan sebagai pemecah ombak. Gadis itu turun dari motornya diikuti Jio yang terdiam sedari tadi.

Mungkin ini bisa jadi rekor terlama Jio tidak berbicara, soalnya terkadang dalam tidur pun Jio tidak pernah berhenti meracau tentang apapun.

Ai menyodorkan jagung bakar kehadapan Jio ketika lelaki itu telah duduk disebelahnya. Jio menatap Ai dan menolak secara halus,

“Gue alergi jagung Ai,” ungkapnya.

“Sorry, gue gatau Ji. Kalau tau lo alergi gue gak bakal beli tadi,”

“No worries, lo makan aja. Gue minum aja,” jio mengeluarkan tumbler berisi air mineral dari tasnya.

Angin laut bertiup sepoi-sepoi menerbangkan rambut Ai. Jio mengintip sesekali, kemudian bersyukur dalam hati karena bisa melihat keajaiban Tuhan ini dari dekat. Lelaki itu menatap laut dengan ombak yang menggulung tanpa henti, lalu menatap cakrawala yang mulai mengeluarkan warna lembayung, menandakan matahari telah kembali ke peraduan.

“Pernah gak lo beripikir Ji? Kenapa cerita novel selalu mengambil latar senja untuk menyatakan perpisahan?”

Jio hanya menatap Ai tanpa menjawab, lelaki itu terdiam kaku. Ai menoleh mendapati wajah Jio yang terlihat sayu.

“Karena ada kehangatan yang dibawa oleh senja, menjadikan semua ucapan perpisahan yang terasa berat menjadi lebih mudah untuk diucapkan,”

Jio menaikkan bibirnya, sedikit tersenyum, “jangan terlalu terpaku dengan cerita novel Ai, itu fiksi,”

“Jangan terlalu logis Ji, kadang kita butuh fiksi dalam kehidupan kita,”

“contohnya?”

“senja,”

Jio mengerutkan dahinya, “senja itu nyata adanya Ai, itu bukan karya imajinatif dari seseorang,”

“Senja itu fiksi yang kemudian jadi nyata Ji,”

Jio makin bingung.

“Kalau para penulis fiksi gak pernah mendeskripsikan betapa indahnya matahari terbenam dengan segala cerita yang mereka lukiskan melalui imajinasi mereka. Gak bakal ada orang yang menganggap senja semenakjubkan itu.”

Jio terdiam sesaat. Pernyataan Ai ada benarnya.

“Bayangin, kalau dalam hidup ini fiksi itu gaada Ji. Orang Cuma bakal melihat matahari terbenam sebagai fenomena biasa, tapi sekarang. Senja menjadi waktu yang berarti bagi orang-orang tertentu,”

Jio terdiam sesaat. Lelaki itu kembali menatap deburan ombak yang cukup besar di tengah sana.

“Tapi gaada ucapan perpisahan yang mudah diucapkan Ai,” lirih laki-laki itu.

“Senja gak ngasih efek apa-apa untuk meringankan sebuah ucapan perpisahan,”

“Ada, tanda bahwa hari ini lo udah melakukan yang terbaik dan bertemu dengan orang-orang baik. Senja menjadi pembatas antara siang dan malam untuk bilang ‘meskipun lo berpisah dengan gue hari ini, lo masih bisa ketemu sama gue di lain hari, meskipun di tempat atau dengan keadaan berbeda,”

“Apa yang sebenarnya mau lo sampaikan Ai?”

Jio menatap Ai penuh makna.

“Setiap awal ada akhir, tapi gak semua akhir adalah ujung dari sebuah takdir. Bisa jadi, akhir itu merupakan awal baru untuk takdir yang berbeda,”

“ Di masa depan, kalau kita ketemu lagi dengan hati lo yang udah pulih. Gue mau jadi temen lo yang pertama Ji. Sumpah, gue se seneng itu temenan sama lo,”

“Kenapa sih, harus gak temenan lagi? Lo takut jatuh cinta sama gue?” kali ini Jio mencoba menolak.

“Ada hati yang harus gue jaga, Ji.”

Jio menghela napas. Lelaki itu menunduk.

“Lo bakal terkejut dengar ini, tapi kisah gue dengan Mahen bukan kisah biasa yang ketemu terus jatuh cinta terus pacaran. Gak semudah itu Ji,”

“Setiap kisah cinta pasti dimulai dengan struggle yang berbeda,” Jio menimpali.

“Gue ketemu dia di lokasi balapan liar kelas 3 SMP. Bolak-balik masuk kantor polisi, ayah gue kena denda beberapa kali gara-gara ngelepasin anak dibawah umur bawa motor, bahkan hampir masuk penjara.”

Ada perubahan diraut wajahnya Jio, menandakan lelaki tu terkejut.

“Mahen itu bukan Cuma pacar, dia bisa jadi teman, saudara, sekaligus sahabat bagi gue,”

No need to tell how much she loves him. The word said it all. It makes Jio broke into pieces for thousand time.

“Jadi, Makasih udah pernah hadir dalam cerita kehidupan gue ya Ji. Even though kita gak bakal bisa ketemu lagi setelah ini. Gue harus menjauh, begitu pula dengan lo. Kita harus ngucapin selamat tinggal dengan baik satu sama lain,”

Mata Jio berair, tetapi tetesan itu masih ia tampung dalam pelupuk netranya. Tidak. Lelaki itu tidak boleh menangis didepan Ai.

“thanks juga udah pernah mau jadi temen gue. Gue pamit dulu ya Ai, maaf gabis balik bareng lo,”

Ai tidak menolak. Ia hanya menatap daksa itu melangkah menghentikan sebuah taksi. Kemudian punggung itu menghilang dibalik pintu kendaraan beroda empat tersebut, menigggalkan Ai yang menatap dengan tatapan haru sembari tersenyum seteduh langit sore.

kalau hidup itu ibarat sebuah buku dengan halaman kosong didalamnya, dan takdir adalah cerita yang mengisi buku tersebut, gue cuma berharap kita bisa ketemu lagi di lembaran kosong yang masih belum terisi, dengan coretan takdir yang berbeda.

Huhuhu Agib ♡

Seperti yang diucapkan Agib, didalam mobil ia membuka jendela agar Gita tidak malu kalau harus kentut berulang-ulang. Lelaki itu juga menghidupkan lagu dengan volume besar agar gita tidak malu jika dia ingin kentut tapi takut suaranya terdengar oleh Agib.

Setelah menempuh 45 menit perjalanan. Akhirnya mereka sampai di klinik teman Agib itu. Agib membukukan pintu sehingga Gita turun dari mobil.

Ia merangkul bahu Gita. Pokoknya, Agib bersikap lembut dan protektif disaat bersamaan.

Tiba di ruang tunggu, mereka duduk mengantri dengan pasien lain.

“Masih ga enakan perutnya?” Tanya Agib.

Gita mengangguk, raut wajahnya menjelaskan semuanya.

Agib lalu mengusap perut Gita sembari menunggu giliran untuk dipanggil.

Tapi tiba-tiba perutnya menjadi semakin sakit, dan tanpa bisa Gita tahan ia membuang gas dari perutnya dengan suara yang cukup untuk didengar oleh pasien lain yang sedang menunggu giliran.

Beberapa orang menaruh atensi pada mereka berdua. Gita sudah menunduk malu.

Agib langsung mengambil tindakan.

“Hehehe, maaf ya bu pak, saya masuk angin dari kemarin. Kentutnya gabisa di kontrol makanya ini mau periksa,” ungkap lelaki itu.

Gita yang mendengar hal itu langsung menaikkan kepalanya, menatap sang pacar yang tiba-tiba mengaku bahwa gas alami itu berasal dari dirinya bukan dari Gita.

Agib hanya melihat ke arah Gita dengan senyum lebar, lelaki itu malah mengusap surai Gita lembut seolah mengatakan,

no worries, I'm here

Sumpah, kalau Gita bisa, rasanya ia ingin menenggelamkan diri ke inti bumi. Gadis itu sangat maluu.

Tiba akhirnya nomor antrian Gita dipanggil, Agib langsung membawa gadisnya ke dalam ruangan.

“Woi bro, apa kabar nih,” Tanya dokter yang berada di dalam itu.

Perawakannya tinggi. Parasnya tampan, mungkin lebih cocok menjadi artis dibanding menjadj dokter.

“Sehat nih, alhamdulillah. Gila, klinik lo makin rame ajaa Kev. Gue hampir ketiduran nungguin antrian,”

“Yee, lu mah dikasih antrian versi orang dalam kaga mau,”

“Hahaha jangan dong, kasian yang udah daftar duluan malah diserobot, btw ini pacar gue yang sakit,”

Agib lalu mengenalkan Gita ke temannya.

Lelaki itu tersenyum sembari mengulurkan tangan, “hai gue Kevin.”

Gita menyambut uluran tangan itu dengan canggung, “Gita,”

“Langsung aja diperiksa deh Kev, gue gatega liat pacar gue kesakitan,”

“Yee dasar bulol,”

Gita kemudian dituntun untuk naik ke atas ranjang oleh suster didalam, perut nya kemudian di periksa menggunakan alat yang Gita tidak tahu namanya, sementara Agib hanya fokus ke layar monitor.

“Keliatan gak Gib?” Tanya dokter Kevin.

Agib hanya mengangguk namun tidak melepaskan pandangannya dari layar monitor.

Setelah itu dokter Kevin mengajukan beberapa pertanyaan kepada Gita yang dijawab jujur oleh gadis itu.

“Gaada yang serius kok, cuma mulai sekarang kalau makan jangan terlalu cepat ya, minum sodanya dikurangin, makanan manisnya ditahan dulu ya, terus kalau bisa hindari stres aja. Stres itu awal mula dari semua penyakit soalnya. ini gue resepin obat terus nanti ditebus aja di apotek didepan,” jelas Kevin sangat ramah.

Gita hanya mengangguk kalem.

“Dijaga Gib Gitanya, inget pesen gue tadi,” sambung Kevin kepada Agib.

“Siip, thankyouu broo,” ujar Agib kemudian memberikan tos kepada Kevin.

Mereka pun meninggalkan ruang pemeriksaan.

“Tunggu disini ya, biar aku tebus obatnya.” Ucap Agib setelah menyuruh Gita duduk di ruang tunggu.

Gita mengangguk patuh. Ia menatap punggung Agib yang berjalan ke arah instalasi Farmasi.

Hatinya menghangat melihat perlakuan Agib kepadanya. Tanpa Agib sadari, dari belakang Gita menatap punggung samudra itu dengan senyuman lebar. Gadis itu menggerakkan mulutnya tanpa suara, sambil mengatakan.

i love you so much Arka Gibran Bumi

Satnite

Malam yang cerah untuk sekedar jalan-jalan berkeliling sembari membeli makanan di kaki lima.

first date Agib dan Gita nih, Gita maunya sederhana saja. Katanya mau kemanapun yang penting sama Agib dia pasti suka.

Dua insan itu saling menggenggam tangan, tangan kiri Gita memegang ice cream, sedangkan tangan kanan Agib membawa sling bag Gita.

“Mau es krimnya?” Tawar Gita sembali menyesap eskrimnya.

“Aku gasuka strawberry

“Kamu ga beli apa-apa deh kayanya dari tadi,”

“Gak papa aku udah kenyang liat kamu makan,”

Agib kemudian menyapu sisa eskrim yang tertinggal di bibir Gita menggunakan jempolnya.

“Sampe cemong gini, enak banget ya?” Tanya Agib.

Gita mengangguk antusias. Agib tertawa gemas.

Kemudian mereka tiba di sebuah taman kosong. Agib menyarankan untuk duduk di bangku taman agar Gita lebih mudah memakan es krimnya. Akhirnya mereka pun duduk di taman.

“Gib, aku mau tanya–”

“Iya sayang?”

“Cie udah fasih ngomong sayangnya,”

Agib tertawa, “yaudah iya Gita.”

“Jangan. Panggil sayang aja, soalnya hati aku debar-debar lucu gitu,”

Agib mengacak rambut Gita gemas.

“Jadi, mau tanya apa sayang?”

“Kamu yang ngasih gelang hitam dengan liontin 'G' itu kan?”

Mata Agib membola, “kok tau?”

“Nebak aja si, soalnya kan kamu suka aku dari SMA.”

“you know everything?”

Gita mengangguk.

“Terus kenapa pura-pura cuek, tiap hari marah-marah ke aku, terus kayanya kamu skeptis banget sama aku?”

“that gibranians things bikin aku marah banget. Lagian dulu itu emang aku gamau berurusan sama siapapun apalagi makhluk seleb kaya kamu, ngerepotin tau. Aku tu mau lulus SMA dengan tenang, nilai bagus dan kuliah dengan baik.”

Mendengar penuturan Gita, Agib seketika teringat bahwa gadis itu pernah berkuliah di kedokteran gigi, namun berhenti di tengah jalan.

Agib ingin menanyakan Alasannya, namun ia rasa ini bukan saat yang tepat.

“Maaf ya, kalau tau begitu aku maunya jadi orang biasa aja. Biar siapapun yang didekat aku berasa nyaman.”

“Noo, kamu itu emang pantes jadi panutan orang-orang. even kamu narsis, aku tau kamu cuma narsis sama orang² tertentu aja. Ya gak?”

Agib mengangguk.

“you just want to express ur ordinary personality to the one that u trust, who will accept that personality, dan sekarang aku beruntung orang itu adalah aku,”

Agib membawa Gita ke pelukannya, lalu mengecup puncak kepala gadis itu.

“Kamu kenapa suka banget sih cium kepala?” Tanya Gita lagi.

“Emangnya kamu mau dicium dimana?” Goda Agib jahil.

Gita langsung menghindar dan melepaskan pelukan Agib.

Wajah gadis itu memanas.

“Y-yaa cuma nanya doang si...” gadis itu mengipas-ngipaskan wajahnya yang panas.

Agib tertawa lepas. Lelaki itu kemudian mengikis jarak yang telah dibuat Gita.

“Shampo kamu wangi banget, aku suka. Jangan diganti ya?”

“Padahal aku pake shampoo biasa deh,”

Lelaki itu kembali tersenyum lembut sambil mengusap surai Gita dengan sayang.

“Eh aku belum cerita kan? Mbak Rena pesen baju seragam, terus dilebihin satu kan, terus ternyata itu buat akuu,”

Agib menatap mata Gita yang berbinar saat bercerita.

“Oh iya? Aku belum liat kamu pake bajunya,”

“Nanti hari H aja deeh,”

“Pasti cantik,”

“Kata mbak Rena cantik bangeet,”

Agib mengelus surai Gita lagi.

Tiba-tiba sebuah ide jail terlintas di benak Gita.

“Gib, disebelah sana ada apa deh? Kok semaknya kaya goyang-goyang gitu?”

Agib menghadap ke tempat yang Gita tunjukkan. Tapi tidak ada apa-apa disana.

cup

Gita mendaratkan sebuah kecupan singkat di pipi Agib, lalu gadis itu berlari menjauh.

Mata Agib membola sepersekian detik. Lalu berbalik.

“Git, kamu nyuri kesempatan yaa,” wajah lelaki itu memerah.

Gita sudah berlari agak menjauh sembari tertawa.

“Dikerjain wlee,”

Agib bangkit dan langsung mengejar Kekasihnya.

Akhirnya, aksi kejar-kejaran tak terelakkan. Beruntung tidak ada seorang pun disana, jadi teriakan gita tidak menganggu siapapun.

“Kalau dapet, kamu aku Gigit yaa—”

“Enggak, ampun hahahaha ampuun.”

Agib berhasil mengunci Gita dalam pelukannya.

Lelaki itu menatap Gita lamat.

“Gib, aku– tadi bercanda doaang,”

Gita gugup.

“Kan aku bilang kalau dapet kamu aku gigit.” Agib mendekatkan wajahnya.

Mengikis jarak antara mereka. Gita meneguk ludah.

Gadis itu terlihat gugup dan spontan menutup mata.

Agib yang melihat itu tersenyum lebar.

Ia menjawil hidung Gita.

“Nungguin apa neng?”

Mata Gita membuka lebar, lalu melepaskan pelukan Agib.

“Ihhh apaan siih?”

“Yaah kenapa??”

“Gatau ah males,”

Gita langsung pergi meninggalkan Agib, lelaki itu tertawa lebar. Ia mengambil sling bag Gita dan menyusul Gadisnya

I ADORE YOU

Siang yang terik membuat mata Agib menyipit ketika melangkahkan kakinya di lapangan basket.

Ajun datang sambil mendribble bola ke arah ring.

“Ayo main,” ajak Arjuna.

“one to one aja ya, gue cuma cari keringat.”

“Keringat kok dicari,” Ajun kemudian mengoper bola ke arah Agib.

Mereka bermain santai dan saling merebut bola, hanya bermodalkan baju kaos putih dan celana seragam berwarna Abu-abu. Namun permainan tersebut rupanya menrebut atensi murid perempuan yang berlalu lalang disana.

Mereka berteriak histeris setiap Agib memasukkan bola kedalam ring. Begitu pula ketika ia mendribble bola. Segala gerak-gerik Agib memberi pengaruh pada hati gadis-gadis yang menonton di bawah pohon.

Tepat ketika pandangannya lurus ke arah ring untuk memasukkan bola, sebuah siluet menarik pandangan Agib. Atensinya beralih ke koridor di pinggir lapangan, melihat seorang gadis yang berjalan sambil membaca buku dan menggenggam susu strawberry di tangan kanannya.

Agib menarik senyum. Kemudian mencetak skor setelah melempar bola basket kedalam ring.

“Gue cukup ya Jun,” ujarnya meninggalkan lapangan.

Beberapa gadis ikut bubar ketika Agib selesai bermain. Beberapa tetap tinggal melihat Arjuna main ditambah kini Haikal telah bergabung disana.

Agib berjalan ke lokernya, mengambil kaos putih lain dan mengganti nya di toilet. Lelaki itu kemudian memakai seragam putihnya kembali tanpa mengancing seragam itu, memperlihatkan kaos putih polos didalam seragam.

Lelaki itu diam-diam mengikuti arah gadis itu berjalan. Sambil pura-pura bermain ponsel, agar tidak ada yang curiga.

Sampai akhirnya mereka tiba di perpustakaan.

Agib mengambil tempat duduk yang cukup jauh, namun masih bisa melihat gadis itu. Lelaki itu kemudian tersenyum.

Sejak kapan Gita Gheandra menjadi sangat cantik dimatanya? Atau selama ini Agib yang tidak sadar?

Gita tiba-tiba bangun dari tempat duduknya, berjalan ke arah rak raksasa tempat buku-buku disimpan. Lelaki itu pun mengikuti tanpa menganggu Gita.

Kalau tidak ada buku-buku yang tersusun rapi, Gita pasti sudah menyadari keberadaan Agib yang tepat berhadapan dengannya. Mengintip gadis itu dibalik celah-celah buku yang tersusun rapi.

Hatinya kadang bergumam. gue ngapain sih? tapi tetap melanjutkan aktivitasnya.

Ketika Gita kembali ke tempat duduk untuk membaca, Agib juga kembali ke tempat duduknya yang jauh dari jangkauan Gita tapi masih bisa memperhatikan gadis itu dari kejauhan.

Lelaki itu menutup dirinya dengan sebuah buku Atlas didepannya, sengaja agar dirinya tidak kelihatan.

“Bang, permisi, ” sebuah suara membuyarkan Agib.

“Iya?”

“Maaf, tapi bukunya kebalik bang,” ujar seorang adik kelas laki-laki yang Agib tidak tahu namanya.

Ah, Agib langsung merasa canggung dan malu disaat bersamaan. Ia melihat lelaki itu terkekeh.

“Suka ya bang, sama kakak yang disaana?” Tunjuk Adik kelas itu.

Agib menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Wajah lelaki itu memerah.

“Orangnya galak loh bang,' ucapnya.

Agib tertawa, “yang galak begitu gemesin gak sih?” Jujurnya.

“Wah parah, terdeteksi bucin ini mah,”

Mereka mengobrol kecil, namun seperti sudah kenal akrab.

“Dari kapan sukanya bang?”

“Gak tau,”

“Gini ternyata, Arka Gibran kalau jatuh cinta,”

Mata Agib membola, “loh lo kenal sama gue?”

Si adik kelas tertawa kecil, “siapa sih yang gak kenal sama lo?”

“Oh ya, gue belum tau nama lo.”

Lelaki itu mengulurkan tangan, “Geraldo Williams, adiknya Gita Gheandra. “

Mendengar hal tersebut sontak Agib melebarkan matanya selebar-lebarnya.

Anjing, ke gep sama calon adek ipar, malu bangettttt tai.

Berhubung tengah di perpustakaan dan mereka tidak boleh ribut, Gerald hanya menertawakan Agib tanpa suara. Mata serigalanya menyipit.

“Udah lah tenang, rahasia lo aman sama gue,” ujarnya berbisik.

“Kakak gue kayany lebih suka pacaran sama buku dibanding sama manusia bang,”

Agib mengangguk setuju. “Biar gue jadi orang pertama yang bisa bikin dia jatuh cinta selain sama buku,”

Gerlad kembali tertawa kecil, “good luck bro,”

Setelah itu Gerald pergi meninggalkan perpustakaan. Sementara itu Agib melihat ke arah Gita yang ternyata telah membenamkan diri dalam lipatan lengannya.

Gadis itu tertidur.

Akhirnya, Agib bangkit dari tempat duduknya. Berjalan ke arah meja Gita, lalu meletakkan sebuah gelang tali hitam berbandul hurf G tepat disebelah bukunya.

Setelahnya, lelaki itu pergi meninggalkan Gita dan perpustakaan.

Gue suka...


Agib dan Gita setuju untuk bertemu di cafe yang tersedia didalam butik Gita. Jam sudah menunjukkan pukul 17.00, dan butik sudah tutup. Namun sang pemilik masih menunggu kedatangan seseorang disana.

Lelaki itu datang dengan menggunakan kaos polo berwarna merah, kacamata berbingkai bundar bertengger di puncak hidung bangirnya.

Ia masuk ke cafe dan melihat punggung Gita yang terlihat rileks sembari menatap ponsel.

“Udah nunggu lama?” tanya Agib mencoba santai.

Gita mengulas senyum, “enggak, belum juga sampe 5 menit.”

Akhirnya Agib dan Gita duduk berhadapan. Mereka merilekskan tubuh satu sama lain sebelum memulai pembicaraan.

“Apa kabar?–” tanya Agib canggung.

“Baik,” Jawab Gita tak kalah canggung.

“Hatinya?”

Gita terdiam sesaat, lalu menjawab, “masih dalam perasaan terombang-ambing,”

“Joshua?”

Gita mengangguk, “kita udah bicara satu sama lain. Tapi masih ada yang mengganjal, dan sampe sekarang gue gak tau itu apa,”

Hati Agib tergelitik saat mendengar Gita menyebutkan 'kita' sebagai kata ganti dirinya dan Joshua. Namun lelaki itu mencoba terlihat santai.

“Gue pikir, ketakutan gue bertemu Jo selama ini adalah takut karena perasaan yang gue punya buat dia. Kita udah bicara dari hati ke hati, even Jo propose me to marry him

Mata Agib membola. Rasanya ia harus bersiap untuk hancur berkeping-keping.

“i rejected him.”

Agib menghela nafas lega.

“The feeling is gone just as he apologized to me, i thought jadi selama ini perasaan itu bukan perasaan sakit karena perasaan yang bertepuk sebelah tangan, tapi sakit karena kepergian seseorang yang sangat berarti bagi gue tepat setelah keluarganya juga membenci gue, i lost in my mind to think I'm deeply in love with him

“I'm looking for that feeling, i look for Joshua on my mind. But i'm blind. His existence was gone Gib. I couldn't find Joshua in my head neither in my heart. So i think, we've done this case and becoming bestest friends even more.”

Agib menatap Gita sesaat, kemudian membuka suara.

“you don't need to tell me everything, Gita,”

“Tapi lo kelihatan butuh penjelasan. Dan gue juga gatau kenapa harus ngejelasin semuanya ke lo Gib.”

Suasana kemudian berubah menjadi canggung.

Agib meneguk ludahnya. Lelaki itu terdiam selama beberapa saat. Pikirannya berkecamuk, tapi tak satupun ucapan keluar dari bibirnya.

Lama terdiam dalam kebisuan yang tak berujung, Gita akhirnya memecah kecanggungan itu dengan satu pertanyaan.

“Kita ini sebenarnya apa sih Gib?”

Agib yang mendengar pertanyaan Gita mendadak kaku. Lelaki itu tidak menyangka Gita akan menanyakan hal tersebut.

Mungkin, gadis itu tidak suka berada dalam sebuah hubungan abu-abu yang tidak diketahui ujungnya. Sama halnya dengan yang telah dialami oleh dirinya dan Joshua dulu.

“Teman–” jawab Agib menggantung.

Gita mengangguk kalem.

ah, teman

Gadis itu terlihat agak kecewa.

“Teman hidup, mau gak?–” sambung Agib membuat bola mata Gita membulat.

“excuse me?”

“isn't it obvious that i adore u a lot Gita Gheandra?”

Gita meneguk ludah. Matanya menatap Netra Agib gugup.

“H-how come?”

“you don't need a reason to falling in love,”

Gita terdiam. Tidak tahu harus menjawab Agib seperti apa.

Ada perasaan sesak yang ingin Gita ungkapkan, namun masih mengganjal hatinya.

she's falling in love, but the worst scenario is she never know that she's already falling

Agib menggenggam tangan Gita lembut. Menatap gadis itu kedalam Netra coklatnya.

“Jadi, kalau lo tanya kita ini apa, semua tergantung sama jawaban lo.”

“i don't know,” jawab Gita jujur.

Agib membasahi bibirnya yang mengering.

“Apa lo pernah ngerasain detak jantung lo berdebar kuat banget, ketika berada di samping seseorang? Atau kepikiran seseorang terus menerus selama beberapa waktu sampai lo kesel itu orang mampir mulu di pikiran lo,”

Gita mengangguk.

“Tapi lo masih gatau itu perasaan apa?”

Kali ini Gita menggeleng. Agib tertawa kecil, membuat kadar ketampanannya meningkat 100 kali lipat.

“Terus kenapa lo bisa mendefinisikan kalau lo jatuh cinta sedalam itu sama Joshua kalau lo sendiri gatau rasanya jatuh cinta itu gimana?”

Gita mengangkat bahu, “just because I'm feeling comfortable with him, i like his smile, his character, his mind, and every movement of him is just cool in my sight,”

“There's a different meaning between admire and love Gita,”

Jadi selama ini, Gita hanya mengagumi Joshua? Bukan jatuh cinta?

“you're so pure and cute at the same time,” ungkap Agib gemas.

Gita menunduk malu, tiba-tiba saja dia menjadi ciut setelah mengetahui bahwa dirinya salah memahami perasaannya sendiri.

Agib kemudian bangkit, berjalan ke arah Gita, berlutut dihadapan gadis itu, mensejajarkan tubuh jangkungnya dengan Gita yang duduk didepannya sambil mengunci pandangan Gita hanya pada dirinya.

“this is how you fall in love,” ucap lelaki itu lembut, kemudian mengecup kening Gita perlahan.

Gita merasakan adrenalinnya terpacu, jantungnya berdebar keras hingga Gita pikir jantungnya mungkin akan meledak saat ini.

Kemudian Agib melepaskan kecupannya, senyum lelaki itu mengembang, ia membawa gadis itu ke kedalam pelukannya.

Gita bisa mendengar detak jantung Agib yang bertalu begitu kencang, sama seperti jantungnya saat ini.

Lalu sebuah ucapan manis menggelitik telinga Gita, Agib berbisik.

“i love you, Gita Gheandra,”

. . . .

so, this is what falling in love feeling likes.