write.as/jeongwooniverse/

Tata dan Jo

Gita mulai resah sendiri ketika Joshua mengatakan bahwa ia akan menyusul Gita karena sedang berada di supermarket yang sama. Hingga Gelagatnya ternyata tercium oleh Agib yang sedang membayar di kasir.

“Kenapa Git? Kebelet boker?” Ucap Agib tanpa filter.

Gita membuatkan matanya. “Heh! Ngomongnya kecil-kecil ajaa..”

Gita langsung menarik Agib berjalan ke pintu keluar.

Agib tertawa kecil, “perlu gue anterin ke Toilet?”

“Bukaan ih!”

“Lah terus apa dong?”

“Akhirnya ketemu juga,” sebuah suara menginterupsi keduanya yang tengah bercekcok kecil.

Gita terkejut setengah mati. Ini Joshua sedang berhadapan dengannya. Lelaki yang ia cintai dalam diam itu berdiri dengan gagah menggunakan jeans belel dan hoodie berwarna hijau muda.

“it's been a long time Tata..”

Agib mengerutkan kening. “Tata?” Lelaki itu bergumam.

Gita tersenyum canggung. “Ha-hai Jo,”

Agib semakin bingung.

“Lo kenal?” Tanyanya bingung.

“Kita temen seangkatan dulu pas Gita di Fkg.”

“Fakultas kedokteran Gigi?” tanya Agib memastikan.

Lelaki itu mengangguk. Ia langsung menjulurkan tangan dan tersenyum ramah.

“Kenalin, Joshua. The one and only temennya Gita setelah Juna.” lelaki itu terlihat sangat bangga.

Agib menerima uluran tangan itu sambil mengenalkan diri pula,

“Agib, tunangannya Gita.”

Sontak Gita terkejut dan menatap Agib meminta penjelasan. Namun lelaki itu hanya mengerjapkan matanya, dimana Gita sama sekali tidak tahu maksudnya.

“Oh, tunangan? Kok gak ngomong sih Ta?”

Gita kikuk, tidak bisa menjawab.

Sebenarnya kalau dibilang suami istri juga orang-orang akan percaya. Ditambah dengan kantung plastik belanjaan yang dibawa oleh Agib, semua orang pasti memikirkan bahwa mereka adalah pasangan pengantin baru yang sedang berbelanja.

“Boleh ngobrol bentar ga sama Gita?” Tanya Joshua kemudian.

“Kamu mau ngobrol sama dia?” tanya Agib,

“Sebentar aja ya?” Cici Gita kepada Joshua.

Joshua mengangguk. “5 menit aja Git,”

“Setengah jam juga boleh,”

Gita semakin terkejut, dia gak mau berlama-lama dengan Joshua.

“Selesaikan apa yang perlu diselesaikan, ” ucap Agib dengan air muka yang tiba-tiba berubah.

“Aku tunggu di mobil ya,” ujar Agib kepada Gita.

Lelaki itu berlalu setelah meninggalkan sebuah kecupan di puncak kepala Gita. Membuat gadis itu semakin salah tingkah.


“Tante Hera sehat Ta?” Joshua kembali memanggil dirinya dengan sebutan khusus.

Sebutan itu memang dibuat Jo ketika mereka berkuliah di jurusan yang sama, dulu. Sebelum sebuah kejadian yang membuat Gita kehilangan arah hidupnya terjadi.

Gita mengangguk kecil.

“Sumpah gue kangen banget sama lo Tataaa, ” sambung Jo lagi.

“Sebenarnya, ada apa Jo? Lo mau ketemu gue mau bilang apa?” Tanya Gita to the point.

“Gue mau minta maaf Ta,”

“Untuk?”

“Untuk semua rasa sakit yang udah lo laluin disaat gue gak ada,”

tapi awal mula rasa sakit itu adalah lo Joshua

“Mama udah gak ada Ta,”

Mata gadis itu membulat terkejut.

“Sakit, diabetes.” Ujarnya dengan wajah sedih.

“Maaf karena mama dulu ngerendahin lo, beliau khilaf. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, beliau bentar-bentar nyebut pengin ketemu lo, tapi waktu itu kita di Fukuoka, gaada akses untuk menghubungi lo—”

Sebuah memori terlintas didalam benak Gita. Ingatan ketika ia mendapati mama Jo memaki Gita dibelakang dirinya.

“mama udah bilang! Jangan berteman dengan si Gita itu! Mama gak suka Jo! Kerjaannya menggambar terus, padahal kalian banyak tugas. Tapi kamu selalu yang bikin tugas dia! Mau jadi dokter seperti apa dia?! Atau kalau gak suka jadi dokter, menggambar sajalah seumur hidupnya!”

Perkataan itu kembali memekik telinga Gita, seolah ucapan itu baru saja kemarin di lontarkan.

Dulu, Jo yang paling tahu kalau Gita suka menggambar, tidak hanya pemandangan biasa, Gita juga suka mendesain baju, tas, sepatu, semua itu ia tuangkan diatas buku jurnal yang selalu ia bawa kemana-mana. Jo yang paling tahu bahwa ia masuk ke FKG karena paksaan papanya.

Jo yang selalu mendaftarkan Gita untuk mengikuti berbagai lomba desain ditengah padatnya jadwal mahasiswa fakultas kedokteran. Jo yang membantu Gita mengerjakan tugas yang tidak sedikit, hanya agar gadis itu fokus mengikuti lomba.

Hingga ketulusan lelaki itu membuat hatinya luluh dan jatuh pada seorang Joshua Ardinaka.

“lihat nilai kamu turun! Ini semua gara-gara berteman dengan anak sialan itu! Mama gak suka Jo berteman dengan Gita.”

Bulir airmata menetes, membentuk sungai kecil yang mengalir dari pelupuk mata Gita.

sakitnya masih terasa hingga sekarang

Joshua meraih tangan Gita. Ia lalu mengusap pipi gadis itu lembut. Tak ada penolakan.

“I loved you once, but my mom broke it into pieces, mama gue ngirim gue ke Jepang karena bener-bener gamau kita sama-sama terus.”

Netranya benar-benar memancarkan rasa bersalah. Joshua larut dalam kegelisahan yang sudah lama ia pendam.

“Gaada waktu untuk mengucapkan selamat tinggal, apalagi minta maaf. Maafin gue ya Git,”

Tangis Gita pecah, gadis itu tersedu mengingat bahwa ternyata selama ini, ia tidak pernah jatuh cinta sendirian. Lelaki itu merasakan hal yang sama, namun ia tak pernah bisa mengungkapkannya.

Joshua membawa Gita kedalam pelukannya. Berusaha menenangkan gadis itu. Ia mengusap surai Gita lembut.

Helaan nafas terlihat dari kejauhan.

Agib melihat semuanya.

Tata dan Jo

Gita mulai resah sendiri ketika Joshua mengatakan bahwa ia akan menyusul Gita karena sedang berada di supermarket yang sama. Hingga Gelagatnya ternyata tercium oleh Agib yang sedang membayar di kasir.

“Kenapa Git? Kebelet boker?” Ucap Agib tanpa filter.

Gita membuatkan matanya. “Heh! Ngomongnya kecil-kecil ajaa..”

Gita langsung menarik Agib berjalan ke pintu keluar.

Agib tertawa kecil, “perlu gue anterin ke Toilet?”

“Bukaan ih!”

“Lah terus apa dong?”

“Akhirnya ketemu juga,” sebuah suara menginterupsi keduanya yang tengah bercekcok kecil.

Gita terkejut setengah mati. Ini Joshua sedang berhadapan dengannya. Lelaki yang ia cintai dalam diam itu berdiri dengan gagah menggunakan jeans belel dan hoodie berwarna hijau muda.

“it's been a long time Tata..”

Agib mengerutkan kening. “Tata?” Lelaki itu bergumam.

Gita tersenyum canggung. “Ha-hai Jo,”

Agib semakin bingung.

“Lo kenal?” Tanyanya bingung.

“Kita temen seangkatan dulu pas Gita di Fkg.”

“Fakultas kedokteran Gigi?” tanya Agib memastikan.

Lelaki itu mengangguk. Ia langsung menjulurkan tangan dan tersenyum ramah.

“Kenalin, Joshua. The one and only temennya Gita setelah Juna.” lelaki itu terlihat sangat bangga.

Agib menerima uluran tangan itu sambil mengenalkan diri pula,

“Agib, tunangannya Gita.”

Sontak Gita terkejut dan menatap Agib meminta penjelasan. Namun lelaki itu hanya mengerjapkan matanya, dimana Gita sama sekali tidak tahu maksudnya.

“Oh, tunangan? Kok gak ngomong sih Ta?”

Gita kikuk, tidak bisa menjawab.

Sebenarnya kalau dibilang suami istri juga orang-orang akan percaya. Ditambah dengan kantung plastik belanjaan yang dibawa oleh Agib, semua orang pasti memikirkan bahwa mereka adalah pasangan pengantin baru yang sedang berbelanja.

“Boleh ngobrol bentar ga sama Gita?” Tanya Joshua kemudian.

“Kamu mau ngobrol sama dia?” tanya Agib,

“Sebentar aja ya?” Cici Gita kepada Joshua.

Joshua mengangguk. “5 menit aja Git,”

“Setengah jam juga boleh,”

Gita semakin terkejut, dia gak mau berlama-lama dengan Joshua.

“Selesaikan apa yang perlu diselesaikan, ” ucap Agib dengan air muka yang tiba-tiba berubah.

“Aku tunggu di mobil ya,” ujar Agib kepada Gita.

Lelaki itu berlalu setelah meninggalkan sebuah kecupan di puncak kepala Gita. Membuat gadis itu semakin salah tingkah.


“Tante Hera sehat Ta?” Joshua kembali memanggil dirinya dengan sebutan khusus.

Sebutan itu memang dibuat Jo ketika mereka berkuliah di jurusan yang sama, dulu. Sebelum sebuah kejadian yang membuat Gita kehilangan arah hidupnya terjadi.

Gita mengangguk kecil.

“Sumpah gue kangen banget sama lo Tataaa, ” sambung Jo lagi.

“Sebenarnya, ada apa Jo? Lo mau ketemu gue mau bilang apa?” Tanya Gita to the point.

“Gue mau minta maaf Ta,”

“Untuk?”

“Untuk semua rasa sakit yang udah lo laluin disaat gue gak ada,”

tapi awal mula rasa sakit itu adalah lo Joshua

“Mama udah gak ada Ta,”

Mata gadis itu membulat terkejut.

“Sakit, diabetes.” Ujarnya dengan wajah sedih.

“Maaf karena mama dulu ngerendahin lo, beliau khilaf. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, beliau bentar-bentar nyebut pengin ketemu lo, tapi waktu itu kita di Fukuoka, gaada akses untuk menghubungi lo—”

Sebuah memori terlintas didalam benak Gita. Ingatan ketika ia mendapati mama Jo memaki Gita dibelakang dirinya.

“mama udah bilang! Jangan berteman dengan si Gita itu! Mama gak suka Jo! Kerjaannya menggambar terus, padahal kalian banyak tugas. Tapi kamu selalu yang bikin tugas dia! Mau jadi dokter seperti apa dia?! Atau kalau gak suka jadi dokter, menggambar sajalah seumur hidupnya!”

Perkataan itu kembali memekik telinga Gita, seolah ucapan itu baru saja kemarin di lontarkan.

Dulu, Jo yang paling tahu kalau Gita suka menggambar, tidak hanya pemandangan biasa, Gita juga suka mendesain baju, tas, sepatu, semua itu ia tuangkan diatas buku jurnal yang selalu ia bawa kemana-mana. Jo yang paling tahu bahwa ia masuk ke FKG karena paksaan papanya.

Jo yang selalu mendaftarkan Gita untuk mengikuti berbagai lomba desain ditengah padatnya jadwal mahasiswa fakultas kedokteran. Jo yang membantu Gita mengerjakan tugas yang tidak sedikit, hanya agar gadis itu fokus mengikuti lomba.

Hingga ketulusan lelaki itu membuat hatinya luluh dan jatuh pada seorang Joshua Ardinaka.

“lihat nilai kamu turun! Ini semua gara-gara berteman dengan anak sialan itu! Mama gak suka Jo berteman dengan Gita.”

Bulir airmata menetes, membentuk sungai kecil yang mengalir dari pelupuk mata Gita.

sakitnya masih terasa hingga sekarang

Joshua meraih tangan Gita. Ia lalu mengusap pipi gadis itu lembut. Tak ada penolakan.

“I loved you once, but my mom broke it into pieces, mama gue ngirim gue ke Jepang karena bener-bener gamau kita sama-sama terus.”

Netranya benar-benar memancarkan rasa bersalah. Joshua larut dalam kegelisahan yang sudah lama ia pendam.

“Gaada waktu untuk mengucapkan selamat tinggal, apalagi minta maaf. Maafin gue ya Git,”

Tangis Gita pecah, gadis itu tersedu mengingat bahwa ternyata selama ini, ia tidak pernah jatuh cinta sendirian. Lelaki itu merasakan hal yang sama, namun ia tak pernah bisa mengungkapkannya.

Joshua membawa Gita kedalam pelukannya. Berusaha menenangkan gadis itu. Ia mengusap surai Gita lembut.

Helaan nafas terlihat dari kejauhan.

Agib melihat semuanya.

Agib si Bayi Besar

Pukul 18.00 Gita tiba lokasi yang Agib kirimkan. Sebuah rumah bertingkat dua terpampang dihadapannya, rumah minimalis dengan nuansa putih itu memberi kesan mewah bagi siapapun yang melihatnya.

Gugup sebenarnya, namun Gita tetap memaksakan diri untuk kesini demi menebus rasa bersalahnya pada Agib.

Gadis itu melangkahkan kaki ke depan pintu rumah sambil membawa tentengan kantong plastik yang berisi makanan khas untuk menjenguk orang sakit seperti buah, bubur dan sebagainya.

Gita menekan bel rumah Agib sembari menarik dan menghela nafas. Sepersekian detik setelahnya, seorang wanita paruh baya membuka pintu rumah sembari menampilkan senyum ramah.

“Assalamu'alaikum tante,” sapa Gita.

“Waalaikumsalam, ” jawab wanita itu agak bingung.

Gita menyalami wanita itu, kemudian memperkenalkan dirinya.

“Saya Gita, temennya Agib tante. Mau jenguk Agib katanya lagi sakit.” Gita menampilkan senyum canggung, berharap wanita ini tidak berpikir aneh tentangnya.

“Oh, temennya si adek..” balas wanita itu dengan ramah.

“Ayo masuk nak,”

“Kamar Agib diatas nak, naik aja tante ke dapur dulu ya,”

Gita mengangguk dan melangkahkan kakinya ke tangga besar yang melingkar ke lantai dua.

“Loh, Gita?” Sebuah suara menginterupsi langkahnya.

“Mbak Rena, hai mbak,” sapa Gita semakin canggung.

“Mbak baru mau hubungi kamu, mau ke butik. Kamu malah kesini?”

“Iya mbak hehe, aku ada bawa bahan kain mbak Rena jugaa sekalian mau jenguk Agib.”

Rena tersenyum paham.

“Oh pantesan si adek buru-buru mandi, ternyata ada yang mau jengukin,” ejek Rena.

“Loh Rena kenal sama Gita?” Kali ini mama Agib sudah kembali ke ruang tengah.

“Ini designer wedding dress nya Rena loh ma, Gita Gheandra yang designer terkenal itu,”

“Oh yaampun, mama gak ngeh tadi. Ih tante suka banget sama desain kamu, apalagi yang launching kemarin di Paris pas Paris fashion week. Brand nya Gita bagus-bagus banget,”

“Makasih banyak tante, gak nyangka ada yang ngikutin brand Gita sampe sekarang, “

Ah, Gita benar-benar merasa tersanjung. Kepercayaan dirinya meningkat menjadi 1000%. Sepertinya keluarga Agib memang punya positive vibes semua.

“Udah ma, nanti aja ngobrol lagi si Gita mau jenguk Agib tuh,”

“Oh iya, sampe lupa. Naik aja, nanti belok kanan ke kamar yang pintunya banyak tempelan sticker westlife sama the weekend,”

Gita mengangguk dan pamit dari Rena dan tante Bulan mama Agib.


Hal pertama yang Gita lihat adalah kamar itu bernuansa merah dan Abu-abu. Kamar itu cukup besar untuk ditinggali sendiri. Juga, kamar itu sangat-sangat bersih dan tertata.

Aroma vanilla memenuhi kamar. Ditengah kamar ada sebuah ranjang king-size berwarna merah.

Sebuah daksa terbaring dengan tubuh ditutupi selimut disana. Gita melangkah mendekati tubuh yang masih terbaring itu.

Ia menatap Agib prihatin, wajah serta tangannya ditumbuhi bintik-bintik merah kecil yang sudah pasti sangat gatal. Gita meletakkan tangannya diatas dahi Agib. Hangat, sepertinya demamnya sudah turun.

Lelaki itu benar-benar pusing sepertinya, Rena bilang selesai mandi tadi ia malah tertidur kembali.

“Gita? Kamu udah sampe?” Agib terbangun dengan suara parau khas bangun tidur.

Gita agak terkejut mendengar Agib mengganti subjek menjadi aku-kamu. Mungkin ini efek karena lagi sakit. Pikir Gita.

Agib berusaha duduk dengan susah payah. Gita membantu lelaki itu untuk bersandar di kepala ranjang.

Agib tersenyum hingga matanya menyipit.

“Ih kok kayanya langsung sembuh yaa,” ucap lelaki itu.

“Apasih! Makan dulu, ” alih Gita.

“Mulut aku pait banget Git. Beneran ga selera makan.”

Gita membuka bungkus bubur yang ia bawa. Lalu menyendokkannya.

“3 sendok aja ya? Tahan sedikit paitnya,”

Agib menggeleng, “tetep gaenak,”

Gita menghela nafas. Bener kata Mbak Rena, Agib kalau sakit persis seperti bayi.

“Kasihan deh Gita, udah jauh-jauh datang kesini tapi Agib nya tetep gamau makan.” ujar Gita pura-pura sedih. Gadis itu mengulum bibirnya lucu.

Agib tertawa kecil, “jangan lucu-lucu deh,”

Cara utama menghadapi bayi adalah dengan berbahasa bayi juga.

Gita kemudian menyendokkan sesuap bubur kedalam mulutnya.

“Wow, udah lama gak makan bubur. Ternyata enak banget tuh,”

“Beneran enak?”

Gita mengangguk.“Beneran, mau coba?” Tanya Gita antusias.

“Satu sendok dulu ya?”

Gita tersenyum lebar dan langsung menyuap satu sendok bubur ke mulut Agib.

“Gimana?”

“Gaenak, “

“Dua sendok lagi ya?”

Agib menggeleng. “Gaenak Git,”

Gita melenguh frustasi.

Agib menggaruk-garuk tangannya yang gatal. Gita dengan sigap menghentikan perbuatan Agib.

“Nanti luka, bisa berbekas Gib,”

Agib menghela nafas pasrah.

“Maaf ya, kamu jadi gaenak makan apa-apa gara-gara Gita, gara-gara Gita jadi gatel-gatel gini juga maaf ya :(”

“Eh bukan gara-gara Gita. Udah dibilang juga bukan gara-gara kamu,”

“Tapi kamu gamau makan, Gita sedih.”

“Iyaa ini mau makaan, tapi disuapin aja,” Gita kembali tersenyum, lalu menyendokkan bubur lagi.

“Tapi dua sendok lagi aja ya?” Pinta Agib memelas.

Gita mengangguk. Setelahnya Agib pun makan hingga bubur itu tinggal setengah karena Gita yang memaksa.

Kini Agib telah meminum obatnya. Gita juga membantu mengoleskan salep di tangan dan wajah Agib yang membengkak.

“Selesai!! Agib anak pinter.” Puji Gita sembari memberi tepukan kecil di kepala lelaki itu. Meninggalkan desiran halus direlung hati Agib.

Mungkin benar, Agib sudah jatuh pada gadis dihadapannya ini.

©️bilwithluv

Makan Malam

Agib dan Gita tiba dirumah keluarga Gita tepat pukul 19.50. Sepanjang perjalanan mereka isi dengan keheningan sambil sesekali melempar pertanyaan.

Jujur, dari lubuk hati terdalam Agib sangat gugup, ini bahkan lebih mengerikan dari tes kedokteran yang telah ia jalani.

Bukan karena tidak pede, hanya saja Agib takut mama Gita akan menganggap dirinya orang aneh yang merusak rencana yang sudah beliau canangkan matang-matang.

Dari awal, sebenarnya ide Gita ini sungguh gila. Ini sama seperti Agib membantu Gita untuk durhaka dengan ibu kandungnya. Namun, jujur dari lubuk hati terdalam, Agib tidak rela jika Gita dijodohkan secara paksa. Bukan hanya karena status si jodoh ini seorang duda, namun pria ini juga sahabat dekat mendiang ayah Gita yang membuat gadis itu pasti tidak suka dan tidak mau disaat bersamaan.

Pintu gerbang dibuka, Agib bisa merasakan keringat dingin mengalir dikeningnya. Hatinya deg degan tak karuan. Sikap pede yang ia tunjukkan didepan Gita semalam itu hanya intermezzo untuk menghilangkan nervous lelaki itu.

Agib merasakan sapuan lembut dari sebuah sapu tangan di kening. Pria itu menoleh dan mendapati Gita tengah menyapu keringatnya dengan sapu tangan.

“Apa kita pulang aja? Gue bisa batalin makan malam ini kalau lo mau,” gadis itu terlihat khawatir.

Agib menatap Gita lekat, seharusnya Gita yang lebih gugup dari dirinya. Ia mengingat bahwa keberadaannya disini adalah sebagai penolong Gita. Tidak, Agib tidak boleh gugup sama sekali.

Agib lantas menggenggam tangan Gita dan mengaitkan jari jemari mereka. Lelaki itu menampilkan senyum terbaiknya.

“Gak perlu Git, gue disini untuk lo,” paparnya lembut.

Mereka lalu berjalan bergandengan.

Ternyata mama Gita telah berdiri di teras rumah minimalis itu menyambut kedatangan putri sulung nya.

Awalnya senyum itu terlihat cerah, namun berubah menjadi kelam kala melihat anak gadis nya bergandengan dengan lelaki asing.

“Ma, i'm hoomee,” seru Gita sambil memeluk mamanya.

“Ah ini, kenalin ini–”

“Saya Agib tante, kekasihnya Gita.” jawab Agib memotong ucapan Gita.

Daksa paruh baya itu masih terlihat tidak suka.

“Saya baru tahu kalau anak saya tengah menjalin hubungan dengan seseorang?” tanya mama Gita dengan kening berkedut.

“Kami sudah menjalin hubungan selama– 4 bulan,”

“Satu tahun,”

Agib dan Gita melihat satu sama lain. Jawaban tidak kompak mereka mengundang tanya yang lebih besar.

“Dekatnya udah dari setahun lalu, tapi jadiannya masih 4 bulan.” ralat Agib cepat.

Tante Hera mengangguk mengiyakan, kemudian mmempersilahkan keduanya masuk.

Tepat ketika Gita masuk, sebuah daksa kecil berlarian langsung menghampiri mereka.

“Tante Gitaaaa—” panggil malaikat kecil itu.

Gita tersenyum menyambut si kecil dengan hangat. Ia lantas memeluk tubuh mungil itu.

“Zaya apa kabaarnya?”

“Baik tantee,”

“Tante Gita makin cantik–”

Agib melihat interaksi keduanya dengan senyum hangat. Melihat sekeliling, pandangannya terkunci kepada seorang bertubuh kekar yang tengah duduk di meja makan memperhatikan mereka dari kejauhan.

Agib langsung bisa menebak kalau itu adalah Angga, lelaki yang akan dijodohkan dengan Gita.

“Wess apa kabar bro,” sebuah suara dari belakang menyapa Agib.

“Baik Ge, lo makin tinggi aja deh.” Balas Agib ketika melihat Gerald yang semakin dewasa.

“Gerald kenal sama Agib?” tanya tante Hera.

Gerald mengangguk, “abang tingkat dulu mah, ketua osis, bisa ngaji, juara olimpiade, juara debat, semua diembat sama dia, gimana gak kenal.” Jelas Gerald.

Yes! Agib berteriak hore dalam hati. Gerald mengerling seolah berkata 'tenang bro, gue dukung lo'

Sementara itu Gita tersenyum lebar. Baru kali ini ia ingin memeluk Gerlad dan mencubit pipi adiknya dengan gemas.

Gita menarik tangan Agib menuju ke meja makan. Mereka duduk bersebelahan sementara Angga dan Zaya (yang ternyata anak Angga) duduk berhadapan dengan mereka.

Agib memaklumi kedekatan Gita dan zaya, karena Gita pernah bercerita bahwa Angga dan keluarga kecilnya memang cukup akrab dengan papa dan mama Gita.

“Kenalin, Angga Dominic Alleandro,” ujar daksa itu mengulurkan tangan.

Agib membalas, “Arka Gibran Bumi, biasa dipanggil Agib”

“Pacarnya Gita?” tanya Angga memulai pembicaraan dengan Agib.

Agib mengangguk, “iya, lebih tepatnya kekasih bang,”

“Lah, apa bedanya?”

“Mungkin tidak ada bedanya, tapi menurut saya kekasih lebih mendefinisikan bahwa seseorang itu benar-benar orang terkasihnya kita,” jawab Agib kalem.

Gita mengulum senyum. Tidak salah kalau dulu Agib menjabat sebagai ketua OSIS sampai dua periode, skill public speaking nya memang tak perlu diragukan.

“Mas, mau lauk yang mana?” Tanya Gita ke arah Agib.

Deg.

Jantung Agib berdesir.

Lelaki itu menatap Gita bingung, namun Gita langsung memberikan senyum manis tanpa merasa bersalah.

“Ayam semur kesukaan mas kan?” tanya Gita lagi. Gerald hanya bisa tersenyum menahan cringe.

'Git, aku gabisa makan ayam' batin Agib.

Namun ucapan itu tidak dapat tersampaikan, berakhir dengan Gita menaruh ayam semur hingga memenuhi setengah piring Agib. Lelaki itu hanya bisa melihat potongan ayam itu dengan pasrah.

Acara makan malam pun dimulai.

“Agib, pekerjaannya apa?” tanya tante Hera.

“Dokter tante,” jawab Agib kalem.

“Dokter umum ya? Wah dokter umum udah banyak ga sih? Kalau Angga udah jadi CEO perusahan start up, keren banget dia memulai usahanya dari nol,”

“Dokter spesialis tante, saya spesialis ortopedi dan juga sudah mengambil S3 di Jerman. Pernah bergabung dengan asosiasi kedokteran di jerman dan bekerjasama diruang operasi dengan 10 dokter terbaik didunia tante, “

Gita tertawa kecil. Mamanya salah kalau mencoba menyombongkan orang lain didepan Agib.

“Tinggal dengan siapa?” tanya tante Hera lagi.

“Masih dengan orangtua tante, “

“Oh, kalau Angga sudah punya mansion sendiri sih karena sudah matang dan mapan.”

Gita merengut kesal, mamanya benar-benar menyebalkan.

“Kalau tanahnya saya sudah punya dibeberapa tempat tante, tapi emang belum niat bikin rumah karena rencana saya mau merancang rumah impian bersama-sama dengan pendamping saya nantinya,”

Gita kembali tersenyum jumawa, gadis itu benar-benar tidak salah memilih Agib untuk malam ini. Gita kembali tersenyum jumawa, gadis itu benar-benar tidak salah memilih Agib untuk malam ini.

“Oh iya, aku belum bilang sama mama kan? Alasan aku bawa Agib kerumah hari ini itu—”

“Saya dan Gita sepakat untuk bertunangan dalam waktu dekat, ” sambung Agib.

Tante Hera terbatuk, Gerald langsung menyodorkan minum ke arah mamanya. Wanita paruh baya itu terkejut, begitu pula Angga.

“Mungkin, dek Gita belum tahu tapi sebenarnya makan malam hari ini ditujukan untuk menetapkan tanggal pernikahan antara saya dan dek Gita,”

Wajah Gita tiba-tiba berubah marah, ucapan Angga menaikkan emosinya.

“Saya tidak pernah setuju menikah dengan lelaki manapun kecuali agib,” ujarnya tegas.

“Cukup,” kali ini tante Hera memotong.

“Angga, saya pikir kita harus bicarakan ulang mengenai pernikahan.”

Senyum Gita mengembang, sementara wajah Angga tertekuk.

“Tapi, mbak–”

“Kalau kamu menghormati mendiang mas Wisnu, saya harap kamu menghormati keputusan saya,”

Angga terdiam sesaat.

Sementara itu Gita memamerkan senyum kemenangan.

“Dek Gita, apa boleh saya minta waktunya sebentar?” Tanya Angga kepada Gita.

Gita menggenggam jemari Agib, berharap lelaki itu melakukan sesuatu karena Gita tidak mau berbicara dengan Angga.

Tiba-tiba Agib mencium lembut tangan Gita yang menggenggam tangannya, membuat Gadis itu terkejut sepersekian detik. Ia menatap Gita lekat, lalu tersenyum dan mengangguk ke arahnya.

Sial. Jantung Gita berdebar kencang

Mama Olive

Now playing : Potret-Bunda

Gio menghela nafasnya dengan berat. Lelaki itu merasa sangat bersalah karena mengungkitungkit masalah anak angkat didepan ibu asuhnya.

Lelaki itu memijit kening, berusaha menghilangkan gelisah yang sedari tadi menghampiri.

Meskipun kenyataannya benar, bahwa mama Olive yang menyelamatkan Gio dan Jio dari masa lalu mereka yang kelam, tetapi mama Olive tidak suka jika Gio dan Jio mengungkit-ungkit masalah itu.

Beliau adalah sesosok malaikat berhati surga yang dikirimkan oleh Tuhan kepada Gio dan Jio. Gio teringat, pertama kali ia bertemu dengan mama Olive adalah ketika ia dan Jio memutuskan untuk tinggal di panti asuhan setelah minggu-minggu kelam kematian ibu kandungnya.

Wanita itu masih sendiri kala itu, namun ia berniat untuk mengasuh anak-anak panti untuk diangkat menjadi anaknya. Saat itu lah wanita itu bertemu Jio kecil yang berdiri di sudut ruangan taman bermain, bocah itu tidak berani mendekati orang asing karena trauma yang dimilikinya.

Beliau mencoba mendekati Jio, namun Jio kecil menolak dan selalu bersembunyi dibalik tubuh Gio kecil. Setiap hari mama Olive datang untuk mendekatkan diri dengan Jio dan Gio, hingga kemudian wanita itu berhasil meraih hati keduanya.

Mereka akhirnya pindah ke rumah mama Olive, dan setahun kemudian mama Olive menikah dengan Papa Kino. Pun begitu, papa Kino tetap menyayangi mereka layaknya anak sendiri.

Kala itu Gio menyadari, ternyata pelangi yang datang setelah badai itu benar adanya. Gio tidak pernah mengeluh kepada Tuhan atas apa yang menimpanya di masa lalu, dan akhirnya ia mendapatkan jawaban indah dibalik semua cobaan yang diberikan pada tubuh belianya.

Lelaki itu telah tumbuh dewasa sebelum waktunya. Sifat kanak-kanaknya telah lama mati dan dikubur dalam-dalam. Semenjak kakinya melangkah dirumah mama Olive, dia berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi pribadi yang kuat dan mampu melindungi orang-orang yang dia sayangi.

Ceklek.

Suara pintu terbuka, menampilkan figur seorang wanita paruh baya masuk kedalam. Benar, itu mama. Gio menundukkan pandangannya tidak berani bersitatap dengan malaikat penolongnya. Hingga kemudian ia merasakan jarak antara dirinya dan mama semakin terkikis, menyisakan detak jantung Gio yang semakin cepat.

Lelaki itu mendongak dan mendapati wajah ibu asuhnya menatap kearah Gio. Netra berwarna coklat itu berkaca-kaca, Gio dapat melihat bayangan wajahnya disana.

Mama mengangkat tangannya ke arah Gio, lelaki itu refleks menutup mata ketakutan sembari menunduk.

Hingga kemudian, lelaki itu merasakan sebuah pelukan hangat mendekap tubuh jangkungnya. Gio mendengar isakan dari mama, membuat hatinya bergetar hebat. Mama mengusap kepala Gio dan memeluknya lebih dalam.

“Mama sayaaang banget sama Gio. Kemarin, hari ini, besok sampai seterusnya, bahkan sampai mama menghembuskan nafas terakhir mama, Jio dan Gio adalah anak mama yang paling mama cintai lebih dari hidup mama sendiri,” ucap wanita itu dengan suara lembut.

Luruh.

Gio luruh dalam pelukan mamanya. Tubuhnya bergetar hebat, ia terisak kuat sembari mengeratkan pelukan mamanya.

“Maafin Gio ma,” lirihnya. Mama mengusap lembut kepala Gio berulang kali. Kemudian menepuk-nepuk punggungnya lembut, menyalurkan kehangatan kepada Gio. Sementara itu tubuh itu masih bergetar dengan isakan pilu.

“Semua orang pernah berbuat salah nak, mama akan selalu memaafkan Gio. Nanti suatu saat, kalau mama juga berbuat salah sama Gio, tolong maafin mama ya nak?” Gio menggeleng dalam pelukan mamanya.

“Mama gapernah buat salah sama Gio. Gio yang sering nakal, Gio belum bisa bahagiain mama,” “Bahagia mama sederhana nak, cukup melihat Gio dan Jio tumbuh menjadi anak baik dan sehat sudah membuat mama bahagia.”

Gio semakin tersedu. Bagaimana mungkin ia pantas mendapatkan wanita yang begitu menyayangi dirinya selayaknya anak sendiri? Mama merenggangkan pelukannya, ia menatap wajah Gio yang penuh air mata. Disapunya jejakjejak air mata itu dengan ibu jarinya, lalu menatap wajah Gio dengan lamat.

“Gio sudah besar, sudah bisa memilih keputusan sendiri dalam hidup. Mama sudah ajarkan Gio untuk jadi orang baik untuk diri sendiri dan orang lain. Kejadian kemarin, jangan diulang ya nak. Apapun alasan kamu melakukannya, mama harap kamu tahu konsekuensi dari setiap perbuatan.”

Gio mengangguk, semakin merasa bersalah.

“Ingat nak, mama ada disini. Mama disini untuk mendukung Gio selalu, tapi tidak untuk perbuatan buruk, dan mama percaya Gio sudah bisa membedakan perbuatan baik dan buruk kan?”

Gio mengangguk kembali. Mama kemudian mendekap Gio kembali.

“Saat semua orang didunia membenci Gio, mama akan jadi satu-satunya yang berada di sisi Gio. Jadi, apapun masalah yang Gio punya, Gio bisa berbagi ke mama ya nak. Kamu tidak bisa menyelesaikan semua masalah sendiri. Kadang kita butuh untuk sekedar berbagi masalah dengan orang lain, bukan karena kita lemah, tapi karena kita butuh sudut pandang yang berbeda untuk menyelesaikannya,”

Gio mengangguk sembari mengusap pipinya yang basah.

“Gio sayang banget sama mama,”

©️bilwithluv

Si Kembar


Gio berjalan menaiki tangga menuju balkon rumahnya di lantai dua. Disana, sudah duduk Jio sembari menghabiskan telor gulung yang dibelinya tadi.

“Cepetan airnya! Udah keselek!” pungkas lelaki itu meminta gelas berisi air yang dibawa oleh Gio.

Gio menyerahkan gelas itu sembari duduk di samping Jio. Lelaki itu kemudian mengambil satu tusukan telur gulung dan mengunyahnya.

“Jangan banyak-banyak nanti habis!”

“Pelit banget! Padahal lo yang maksa gue makan,” ujar Gio dengan tatapan kesal.

Gio kemudian tertawa, “becandaa, elah sensi amat kaya cewe PMS.”

Gio melanjutkan kegiatannya memakan telor gulung itu, lelaki itu bahkan sudah menghabiskan tiga tusukan dalam waktu 2 menit. Entah lapar atau doyan, Jio sama sekali tak masalah asalkan perut saudara kembarnya itu terisi.

Lelaki berkulit coklat itu kemudian menghela nafas sembari melihat langit malam yang tidak berbintang. Warna biru tua membentang luas dihadapan matanya, memberikan rasa tenang yang luar biasa setelah hari luar biasa yang ia lewati hari ini.

“Capek ya Gi?” tanyanya tanpa melihat kearah Gio.

Yang ditanya tiba-tiba menghentikan kegiatan makannya dan menatap ke arah kembarannya penuh makna.

“Capek, Ji,” lirih Gio.

Lelaki itu tidak berbohong, kalau boleh jujur rentetan kejadian hari ini membuat pikirannya menjadi sangat lelah.

“terus kenapa lo lakuin itu Gi? Kenapa lo lakuin hal yang bikin kecewa semua orang? Mungkin gue terlihat santai aja sama lo sekarang, tapi gue bener-bener gak habis pikir dengan semua tindakan yang udah lo lakuin,” jelas Jio panjang lebar.

Kini Gio terdiam, lelaki itu menghela nafas kembali.

“gausah pura-pura keren Gi. Gak semua masalah bisa lo selesain sendiri. Mungkin, lo pikir orang-orang yang dekat dengan lo gak perlu tau apa yang lo alamin, karena lo mau terlihat kuat. Tapi sebenarnya, gue merasa sangat bersalah dan terus menyalahkan diri gue sendiri, kenapa gue gabisa ngejagain lo? Padahal selama ini lo udah jagain gue, gue gak berguna banget jadi kembaran lo kan Gi?”

“Gak gitu maksud gue Ji–”

Gio melirik ke arah kembarannya, menundukkan pandangannya. Jujur, dari lubuk hati terdalam Gio, ia tidak kuat menanggung ini sendirian. Ia ingin bercerita kepada seseorang untuk membagi sedikit bebannya. Ia bukan mencoba untuk berlagak sok kuat, tapi ia tak tahu harus mulai darimana.

“Gue gak tau harus mulai darimana Ji,”

“Kalau gitu, biar gue yang tanyain, janji lo harus jawab jujur?” ujar Jio sembari mengangkat jari kelingkingnya ke arah Gio.

“Lo juga harus janji, apapun yang gue ceritain cuma berhenti di lo aja Ji, plis jangan sebarin ke siapapun, meskipun itu ke mama,”

Gio menyambut jari kelingking itu dengan miliknya, kini jari kelingking mereka bertaut menandakan apapun yang mereka ungkapkan malam ini akan menjadi rahasia hanya untuk mereka berdua.

“Jadi, bener lo yang ngelakuin itu?” tanya Jio.

Gio menggeleng.

Jio menghela nafas, “Lo tau ga sih gue lega banget dengernya Gi? Sumpah feeling gue emang bener! Lo gak mungkin ngelakuin itu! thanks udah jujur!” jio menepuk pundak Gio dengan senyum sumringah.

“Gue gak bakal nanya siapa pelakunya, karena gue yakin apapun alasannya lo pasti mau melindungi orang ini kan? Dan gue tahu pasti, dia adalah salah satu dari temen kita. Gue gamau nuduh siapapun, tapi boleh kasih gue alasan kenapa lo harus melindungi dia?”

Gio terdiam sesaat, namun kemudian menjawab, “karena—

“–karena dia sama gak beruntungnya dengan kita Ji,”

“Maksudnya?”

Gio kemudian bangkit dari tempat duduknya, “Udah malem Ji, ayo tidur. Besok lo sekolah,”

“Kok ceritanya setengah-setengah sih!”

Gio tidak menghiraukan celoteh Jio, lelaki itu beranjak meninggalkan balkon.

“Gi, tunggu–”

Langkah Gio terhenti.

“Kalau dunia berbalik membenci lo, inget lo punya gue yang bakal selalu ada di pihak lo. Sebejad apapun kelakuan lo, inget lo punya gue untuk cerita. Kalau lo salah, gue bakal ingetin, kalau lo benar gue bakal dukung lo semampu gue. Jangan merasa bisa ngatasin semuanya sendiri. Lo bukan ironman, apalagi superman. Pokoknya, lo harus tau kalau eksistensi gue sebagai kembaran lo bukan cuma sebuah titel,” pungkas Jio panjang lebar.

Gio mengulas senyum tipis, “lo ngambek ya gara-gara gue gak cerita?”

Jio mengerutkan kening, “DIH, APAAN. EMANGNYA GUE CEWEK SUKA NGAMBEKAN?”

Setelah itu Jio malah berlari mendahului Gio, menuruni tangga dan meninggalkan balkon.

Gio kini tertawa kecil.

“Dasar bocah, padahal tua gue cuma 15 menitan dari lo Ji,”

©️bilwithluv

Tentang Keluarga

Sebuah ruangan bernuansa serba Abu-Abu itu terlihat semakin redup dengan lampu temaram yang meneranginya. Seorang anak laki-laki berusia 17 tahun terduduk di lantai tepat didepan ranjang king size miliknya. Lelaki itu menerawang dengan tatapan kosong, sembari memeluk lututnya.

Beberapa kepingan memori berkecamuk dalam pikirannya, terputar seperti film dokumenter yang menayangkan biografi hidupnya. Adalah Dean Pahlevi Wijaya, putra dari Alexander Wijaya pengusaha terkaya ke 3 di Indonesia dan termasuk dalam jajaran orang paling berpengaruh diseluruh ASEAN. Merupakan anak bungsu dari 3 bersaudara, tidak menjadikannya manja atau bahkan dimanja.

Tidak. Kata-kata itu bahkan tidak pernah terpikir dalam kamus kehidupannya. Lelaki itu, masih diberi kesempatan untuk menjadi bagian keluarga Wijaya saja sudah menjadi sebuah hal yang paling ia syukuri. Meskipun harus hidup seperti orang mati, tidak dianggap keberadaannya, bahkan kehadirannya.

Dean tidak ingat, kapan awal mula ia kehilangan kasih sayang dari kedua orangtuanya. Dalam benaknya melekat sebuah ingatan bahwa ibu dan ayahnya pernah tersenyum melihat Dean kecil, namun semua itu berubah ketika Dean kecil tumbuh menjadi anak yang tidak diharapkan keberadaannya.

Sekeping memori terlintas di benaknya, tepat 3 tahun lalu, ketika Dean masih SMP. Ia mendapat tamparan keras dari ibu kandungnya sendiri hanya karena mendapat nilai 60 di mata pelajaran Bahasa Indonesia. Namun hal itu bukan karena disengaja, itu terjadi karena dirinya terkena demam tinggi pada minggu-minggu ketika ujian berlangsung. Akibatnya, Dean tidak bisa belajar berlama-lama.

Dirinya sering di pukul dengan rotan ketika hasil yang didapatkan di sekolah tidak sesuai dengan apa yang diminta oleh papanya. Kakak dan Abangnya tidak bisa menolong, hanya bisa melihat Dean dengan tatapan miris.

Kadang Dean berfikir, apakah benar dia anak kandung?

“Jangan pernah coba-coba melakukan hal yang ceroboh! Apa susahnya mendapatkan nilai tinggi hah?! Semua fasilitas sudah diberikan. Apa yang kurang? Kalau kamu gabisa jadi manusia yang berguna, setidaknya gunakan otakmu biar jadi berguna! Tidak tahu diuntung!” ucap ayahnya kala itu, ketika Dean tidak berhasil mendapatkan juara 1 di sekolah.

Sampai papanya memutuskan untuk memindahkan Dean agar tinggal sendirian. Tidak hanya itu, Dean selalu berpikir bahwa suatu saat mamanya bisa melindunginya, faktanya hal itu hanyalah impian yang harus Dean kubur dalam-dalam mengingat wanita yang melahirkannya tidak pernah lagi menatap lelaki itu dengan tatapan kasih sayang.

Dean menyandarkan kepalanya ke kaki ranjang, lelaki itu menghela nafas. Ia kemudian merogoh sakunya dan menemukan kado yang diberikan oleh Yuna beberapa hari yang lalu. Lelaki itu mengambil sebatang parfum yang berbentuk rokok tersebut, kemudian menghirup wanginya dalam-dalam.

“Gio maafin gue.” Lirih pemuda itu.

Seketika airmata mengalir deras dari pelupuk matanya. Ia menangis sesenggukan mengingat apa yang menimpa Gio saat ini. Rasa bersalahnya menjadi lebih besar kala mengingat bahwa selama ini Gio adalah teman yang selalu ada untuknya. Tapi karena Dean yang bersifat pengecut, lelaki itu bahkan tidak bisa melindungi sahabatnya, namun menghancurkan masa depan pemuda itu.

Sungguh Dean ingin minta maaf, Dean ingin berkata jujur. Tapi, Dean tau, konsekuensinya mungkin akar dibayar dengan nyawanya sendiri. Membayangkan wajah penuh amarah papanya saja Dean tidak sanggup, apalagi harus berhadapan dengan pria yang dipanggil ‘papa’ itu secara langsung.

Dean menepuk-nepuk dadanya kuat. Rasa sesak memenuhi relung hatinya, tangisannya pecah. Lelaki itu tersengut-sengut didalam ruangan abu-abu itu tanpa ada yang bisa mendengar jeritan hatinya.

kalau saja Dean lahir dari keluarga biasa-biasa saja,

kalau saja Dean punya mama yang penuh kasih sayang seperti mama Gio dan Jio

Kalau saja Dean punya Ayah yang penuh afeksi seperti ayah Abu Gentala,

Hidup Dean pasti sangat bahagia.

Dean juga ingin dipeluk kala ia demam tinggi

Dean juga ingin dipuji-puji didepan kolega-kolega papanya sebagai anak yang dibanggakan

Tapi semua itu sepertinya hanyalah mimpi yang harus Dean kubur dalam-dalam.

Lelaki itu menarik lengan seragam sekolahnya, memperhatikan luka memar yang membekas bertahun-tahun lamanya. Air matanya kembali mengalir deras mengingat rasa sakit yang selama ini ia tutupi.

Tuhan, Dean ingin punya keluarga

keluarga yang sayang dengan Dean. Dean mau punya papa mama yang benar-benar sayang dengan Dean, kalau Dean ingin merasakan hangatnya kasih sayang, apakah permintaan Dean terlalu berlebihan?

Suara Azan isya terdengar, menghentikan Dean yang tengah terisak kuat. Lantunan Azan kini begitu merdu mengalun lembut dari luar sana. Lelaki itu kemudian bangkit dari tempatnya, beranjak ke kamar mandi dan melakukan penyucian diri sebelum menghadap kepada sang pemilik semesta. Namun, tangisnya kembali pecah pada sujud terakhir. Lelaki itu mengeluarkan segala resah dan gundah yang berkecamuk dalam hatinya. Bercerita kepada sang pemilik semesta, bahwa ia ingin memiliki keluarga yang benar-benar menyayanginya tulus.

Dean bersimpuh, dengan hati yang rapuh, berdoa agar dirinya dan hatinya lekas sembuh.

©️bilwithluv

White Lies

Seluruh murid berkumpul di aula sebagaimana perintah dari pak Kepsek. Beberapa diantara mereka heran karena tidak biasanya pak kepsek menyuruh berkumpul apabila tidak ada masalah. Namun kali ini daksa gempal itu terlihat sangat kecewa dan marah pada waktu bersamaan.

Sementara itu, Dean berdiri di barisan IPA 3 paling belakang, lelaki itu mengelupas kuku jemarinya karena gugup, sekali-kali ia menggigit kuku jarinya hingga jari itu kini mengeluarkan darah. Gio yang berbaris disebelah Dean langsung menghentikan kegiatan lelaki tersebut. Dean sempat terkejut saat ada yang menarik lengannya, namun ketika mengetahui itu adalah Gio, ia tidak berbuat banyak.

“Mengecewakan sekali! Ini adalah sekolah panutan dan merupakan pentolan dari sekolah lainnya. Berani-beraninya kalian melanggar peraturan yang telah ditetapkan! Apa yang membuat kalian seputus asa itu untuk melakukan hal bodoh seperti ini?!” pak kepsek menaikkan nada bicaranya.

“Kami telah menemukan 2 nama pelaku yang mencoreng nama baik sekolah kita—”

Dean semakin gelisah dan menunduk ke bawah.

“Dean Pahlevi dan Giovann Adriano. MAJU KEDEPAN!”

Jantung Dean merosot ke perut mendengar namanya dipanggil. Begitu pula dengan Jiovann yang kebingungan karena nama saudaranya dipanggil. Jiovann tidak percaya bahwa kembarannya melakukan hal itu.

Gio dan Dean maju kedepan. Beberapa anak kelas lain berbisik-bisik menyayangkan tindakan keduanya.

“Di CCTV, terlihat kalian berdua berlalu lalang ke halaman belakang pada hari itu. Bisa jelaskan apa yang terjadi?” Tanya Pak kepsek dengan wajah garang.

Dean menunduk tak berani menatap mata Pak Kepsek, sementara itu Gio hanya memasang wajah datar.

“Kalau kalian mengaku, saya akan memikirkan untuk memberi keringanan hukuman. Tetapi jika penyelidikan terus dilanjuti, maka saya tidak akan memberikan ampunan,”

Beberapa siswa kembali berbisik-bisik, mengira-ngira siapa pelakunya. Sementara itu, ada beberapa pasang mata yang menatap ke arah Gio dan Dean dengan raut tak bisa didefinisikan.

“Saya pak, saya yang membawa alkohol dan rokok itu ke belakang sekolah. Saya frustasi dengan pelajaran saya dan mencoba mencari ketenangan disana,”

Dean mengangkat wajahnya tak percaya, Gio dengan lantang mengakui perbuatan yang tidak pernah dilakukannya. Lelaki itu bahkan memasang wajah datar tanpa ekspresi. Kerumunan kemudian semakin berisik mendengar penuturan Gio.

“Lalu kenapa ada Dean disana?”

“Dia hanya berusaha membawa pulang saya yang sudah terlanjur mabuk pak, karena itu Dean ada disana,”

Dean mengeratkan tangannya, ia ingin mengakui bahwa semua yang dikatakan oleh Gio adalah omong kosong yang tak perlu dipercayai. Namun lidahnya kelu, bayangan wajah papa yang mengerikan berkali-kali menghantui benaknya.

Tiba-tiba Pak Sutopo maju dan melayangkan sebuah tamparan keras kepada Gio. Semua orang terkejut, bahkan ada beberapa anak perempuan yang berteriak. Semuanya terjadi begitu cepat.

“Mau jadi apa kamu Giovan! Saya sudah menebak kalau itu adalah perbuatan kamu! Lihat anak-anak!” pak Sutopo membalikkan tubuh Giovan kehadapan seluruh murid.

“Anak seperti ini! Tidak akan punya masa depan! Setiap hari telat sekolah dan dijemur, setiap hari menjahili anak-anak lain! Dan sekarang malah merokok dan mabuk-mabukan di sekolah! Mau jadi apa dia di masa depan! Mau jadi apa kamu Giovan!” pak Sutopo menggoyangkan bahu Giovan. Tetapi lelaki itu diam tak merespon.

“Dean, kembali ke barisan kamu,” kali ini pak Kepsek berbicara lebih lunak.

“Giovan, tolong hubungi orang tua kamu. Saya perlu bicara dengan mereka,”

“Sebelum saya dihukum, saya punya permintaan pak–” Pak kepsek diam dan mendengarkan.

“Tolong pecat orang ini,” Gio menunjuk ke arah pak Sutopo.

Pak Sutopo menatap Giovann dengan tatapan nyalang.

“Saya sebagai seorang siswa sudah berani mengakui kesalahan saya dan siap menanggung segala resiko. Tetapi orang ini, tidak berani mengakui kesalahannya dan selalu berlindung dibalik gelar seorang guru, padahal dia jelas bukan seorang guru,”

“APA MAKSUD KAMU!” Sutopo terlihat emosi.

“Masuk ke kelas tetapi tidak pernah mengajar dengan baik, tidak pernah menanyakan apakah muridnya benar-benar mengerti apa yang ia terangkan, tidak pernah mengevaluasi cara mengajarnya mengapa banyak murid yang mendapat nilai rendah di mata pelajarannya, selalu mengurangi poin murid sesuka hati, dan yang terakhir–” ucapan Gio menggantung.

“ Menampar murid didepan murid yang lain. Apakah perbuatan-perbuatan itu membuat orang ini layak dipanggil seorang guru? Jika memang menurut bapak apa yang saya sebutkan adalah hal yang wajar dilakukan oleh seorang guru, maka silakan pertahankan dia di sekolah ini. Namun saya ragu, jika orang-orang diluar tahu betapa tidak kompetennya guru yang dimiliki oleh sekolah kita. Lantas, apakah kita masih layak disebut sebagai sekolah pentolan?”

“BERANINYA KAMU MENGANCAM GURU!” pak Sutopo semakin berapi-api.

“kalau alasannya adalah mata pelajaran yang ia pegang itu sulit, bukankah sudah menjadi kewajiban dia untuk mengevaluasi cara mengajarnya? Tugas seorang guru adalah mengajar, jika ada murid yang tidak pintar seharusnya dididik agar menjadi pintar, atau setidaknya mampu memahami apa yang diterangkan, bukan disalahkan dan diolok-olok. Menyalahkan murid yang tidak mengerti materi yang diajar adalah kegagalan terbesar dari seorang guru.”

Semua orang yang berada disana menatap Gio dengan tatapan kagum. Giovan mampu mengubah persepsi orang semudah membalikkan telapak tangan.

Tidak ada jawaban dari pak Kepsek maupun Pak Sutopo sendiri. Kerumunan kemudian bubar, meninggalkan pak Kepsek yang membawa Giovann ke ruang guru. Sementara itu, Jio hanya melihat kembarannya itu dengan tatapan tak terdefinisikan.

©bilwithluv

Ulang Tahun Dean

Seluruh pasukan IPA 3 Yahuud telah menyusun rencana dengan matang. Kelas yang terdiri dari 23 orang siswa itu sepakat untuk memberikan kesialan yang bertubi-tubi bagi ketua kelas kesayangan mereka. Bahkan para anak-anak yang notabenenya pendiam ikut menyemangati kegiatan yang dicanangkan oleh Gio dan Jio.

Pukul 07.30, Dean berjalan di koridor menuju kelasnya. Ada seorang siswa yang ditugaskan untuk memberi aba-aba ketika Dean mendekati kelas. Tepat ketika Dean masuk sembari memainkan ponsel, lelaki itu langsung terpeleset dan terjerembab dengan pantat yang mengenai lantai ubin kelas IPA 3.

Satu kelas tertawa menikmati pentas komedi yang dipersembahkan oleh Dean. Lelaki itu menggosok-gosok bokongnya dan menyumpahi kulit pisang yang ternyata sengaja di letakkan disana.

“Siapa nih, piket kok gak bersih?!” teriak Dean kesal.

“Lo kan piket hari ini Yan,” ucap Gio dari bangkunya.

“Sengaja disisain buat lo, biar jangan males piket,” sambung Yuna.

Dengan langkah terseok-seok Dean menuju bangkunya. Matanya langsung melotot ketika merasakan pantatnya tiba-tiba menjadi dingin saat ia duduk. Lelaki itu lantas bangkit dan semakin malu, karena ternyata bangku Dean basah karena air putih.

“SIAPA YANG BIKIN BANGKU GUE BASAH?!” lelaki itu berujar kesal.

“Ups, maaf banget tumbler gue rupanya bocor Yan,” jawab Dinda dengan tampang pura-pura bersalah.

Dean meremas rambutnya frustasi, tidak mungkin ia melanjutkan pelajaran dengan celana basah seperti ini. Lelaki itu juga tidak membawa celana ganti, lalu apa yang harus dilakukannya?

“Nih, gue ada celana ganti, Tapi pasti kepanjangan sama lo.” Ujar Jio memberikan sebuah celana yang terlipat rapi.

Dean terpaksa mengambilnya dan berjalan menuju kamar ganti. Sementara itu, dibelakang Dean para siswa menahan tawa.

Sekembalinya Dean dari ruang ganti, ia bertemu dengan Pak Sutopo didepan ruang guru yang mengatakan bahwa pelajaran pertama tidak masuk, dalam hati lelaki itu bersorak girang, namun jauh sebelum ia masuk kedalam kelas, lelaki itu mendengar suara bising dari dalam kelasnya.

Perasaannya sudah tidak enak sejak awal. Benar saja, ketika lelaki itu masuk, ia dikejutkan dengan kelakukan anak kelasnya yang terbilang bar-bar.

“Dean Ayok sini ngonser!” panggil Rosie yang sudah berdiri di atas meja didepan kelas dengan menggenggam sebuah gagang sapu sebagai mic standing dan menggunakan tali raffia di roknya. Gadis itu turun dan mendekati Dean.

“Le…laki buaya darat, BUSET! Aku tertipu lagi uwo uwoo.” Rosie bernyanyi hingga liurnya menyembur didepan wajah Dean.

Lelaki itu langsung membekap mulut Rosi.

“Muwutnya mai seai api ati baghai srigaya uwo uwo.” Rosi tetap menyanyi meskipun multunya dibekap.

Tidak sampai disana, Dean melihat ke arah Yuda yang menjadikan penggaris kayu sebagai gitarnya dan berdiri di atas meja, lelaki itu bahkan memakai kacamata hitam yang Dean tak tahu dapatnya darimana.

Sementara itu disebelahnya ada Jio dan Gio yang memakai kotak spidol sebagai topi, serta gambar tattoo di leher mereka yang diukir dengan pulpen mygel. Jio menempelkan kertas putih bulat di telinganya seolah itu adalah tindikan, sementara Gio menempelkannya di hidung.

“Pernahkah kau merasaa” Yuda mulai menyanyikan lagu.

“Hatimu Haraam” Gio melanjutkan.

“Pernahkah kau merasaa—” Yuda memancing kembali.

“Hatimu go—song,” Jio menjawab.

Lalu empat orang manusia kurang waras itu mengangguk-anggukan kepala seolah itu adalah konser rock.

Diujung ruangan ada Clara dan beberapa siswi lain yang bermain bola bekel. Sementara itu, Abu duduk di pojok ruangan tanpa merasa terganggu sekalipun.

Di belakang kelas, didekat majalah dinding mereka, ada Cakra yang memakai selempang dari kertas HVS, bertuliskan Miss Universe Ghaib. Lelaki itu lalu berjalan bak model sambil melambai-lambaikan tangannya ke kanan kiri. Kemudian Tiara yang bertindak sebagai dewan juri berperan menanyakan pertanyaan kepada Miss Universe Ghaib.

“Cakrawala Antoniatun, kamu akan saya beri pertanyaan,” Ucap Tiara bersikap seolah berwibawa. (Nama Asli Cakra adalah Cakrawala Antonius)

“Goyangan apa, yang diberi nama Goyangan sesak napas?”

Cakra kemudian tersenyum kemayu sambil menjawab dengan feminine.

“Jawabannya adalah goyang don’t breath,” jawabnya dengan suara dibuat-buat menjadi perempuan.

“MUSRIK!” teriak Cakra dengan suara baritone. Musik dengan volume 100% pun diputar.

goyang dombret~ goyang dombret~ goyang dombret~ goyang dombret~

Cakra menggoyang-goyangkan pinggulnya sendiri, setelah itu Yuda, Jio dan Gio turun dari atas meja bergabung dengan Cakra. Penonton menjadi semakin riuh, mereka bahkan melempar-lemparkan kertas satu-sama lain.

Dean menghela nafasnya frustasi, ia tahu bahwa anak kelasnya memang tidak ada yang waras, tetapi ada apa dengan hari ini? Sepertinya Dean harus memanggil rumah sakit jiwa. Hingga kemudian sebuah kertas mengenai wajahnya, membuat lelaki itu semakin naik pitam.

“BERHENTIIII!!” ucap Dean membuat Kelas itu menjadi senyap seketika.

“BISA GAK SIH DIEM? Kelas lain lagi pada belajar!” pungkasnya geram.

Kerumunan itu tiba-tiba menghambur ke arah Dean. Mereka mengangkat tubuh Dean keatas meja, lelaki itu mencoba berontak, tetapi tidak kuasa menahan kekuatan 20 orang lebih. Hingga kemudian ia melihat Yuna datang dengan sebuah kue di tangannya. Awalnya lelaki itu bingung, siapa yang berulangtahun? Pikirnya. Lalu saat ia mengingat bahwa ini adalah hari ulang tahunnya, lelaki itu tak kuasa menahan airmata.

Benar, ia terharu karena bahkan dirinya sendiri tidak mengingat ulang tahunnya. Bukannya Dean lupa, hanya saja ulang tahun tidak pernah ada dalam kamus hidupnya. Selama ini, ia hidup seperti orang mati, tidak ada yang menganggap kehadirannya. Namun melihat seisi kelas mempersiapkan semua ini untuknya, pertama kali dalam hidupnya, ia merasakan kasih sayang yang tulus.

Jio memberikan pat-pat singkat dikepala Dean.

“Ah, cemen lo Yan. Gitu aja nangis,”

“Terharu gue anjir,”

Kemudian semua orang menempeleng kepala lelaki itu, sambil mengucapkan do’a-do’a agar ia bahagia selalu. Lelaki itu kemudian meniup lilin sembari berdo’a.

gue gak minta banyak, gue cuma mau orang-orang ini bahagia selalu. Mereka adalah keluarga utama gue saat ini.

Rencana susurupris

 

            “Gue balik duluan ya,” ucap Bang Jae kepada si kembar setelah menghabiskan waktu bersepeda seharian.

            Gio dan Jio mengangguk bersamaan.

“Tiati bang, Awas ketabrak jodoh orang.” Jio tertawa mendengar penuturan kembarannya.

Jae hanya tertawa ringan kemudian menghilang dibalik jalanan malam. Sementara itu si kembar berjalan ke arah dekat dengan sungai. Mereka duduk diantara rerumputan yang tumbuh tidak terlalu panjang, menatap rembulan yang malam ini bersinar cerah dicakrawala.

“Nyangka gak Ji kalau kita bakal tumbuh sebesar ini?” Tanya Gio menerawang ke arah langit.

“Nyangka lah, orang kita manusia, pasti bertumbuh besar bukan bertumbuh mekar,”

Gio menempeleng kepala Jio. “Pingin gue cemplungin ke danau.”

Kemudian suasana menjadi hening sesaat.

Gio tenggelam dalam pikirannya, ada banyak hal yang datang mengganggu pikirannya. Semenjak mendengar perkataan Dean tempo hari, memori- memori lama dan kenangan menyakitkan itu seperti terbuka secara perlahan, memberikan jalan masuk untuk mengingatkan trauma yang telah lama ia belenggu dalam pikirannya.

Gio tidak bisa mengungkapkan sakit hatinya kepada Jio, itu hanya akan membuat lelaki itu bermimpi buruk. Ia juga tidak bisa berbagi kepada mamanya, karena bagaimanapun, mamanya adalah orang yang paling tersakiti dalam skenario kehidupan yang keluarga mereka jalani.

Pada akhirnya, yang Gio lakukan adalah bertumpu pada dirinya sendiri. Ia tak punya sandaran yang tepat untuk sekedar berbagi kepahitan yang ia simpan, bagaimanapun ia tidak mau terlihat lemah karena ada banyak orang yang harus ia lindungi.

“Lo lagi banyak pikiran?” Tanya Jio menoleh ke arah Gio.

“Gak juga,”

“Jangan bohong sama kembaran sendiri Gi,”

“Lo juga kenapa akhir-akhir ini diem banget?”

“Bukannya akhir-akhir ini kita emang kalem banget ya Gi? Kita udah jarang kerjain orang kan?”

“Tull banget.”

“Dean besok ulang tahun,” ujar Jio.

Mendengar nama Dean, Gio kembali teringat pada pertengkarannya dengan lelaki itu tempo hari. Benaknya mulai memikirkan berbagai hal tentang lelaki malang itu.

Apakah orang tuanya akan mengingat ulang tahun putra mereka? Atau ia bahkan tidak ingin mengingat ulang tahunnya sendiri?

Ingatan Gio kembali pada saat ia membaca pesan teks yang dikirimkan oleh ibunya Dean. Bagaimana bisa seorang ibu mengatakan hal yang begitu menyakitkan pada anaknya? Padahal nyatanya tidak ada anak yang diminta untuk dilahirkan. Mengapa menyalahkan sang anak atas perbuatan yang tidak mereka lakukan? Mengapa semua menjadi kesalahan sang anak ketika ia bahkan tidak tahu bahwa dunia sekejam itu?

“Ayo kasih kado buat Dean,” ucap Gio semangat.

Lelaki itu kemudian bangkit dari tempat duduknya.

“Mau kemana lo?” Tanya Jio.

“Kasih susurupris buat Dean.”

Gio mengulurkan tangannya pada Jio agar lelaki itu bangun. Akhirnya, Jio menerima uluran tangannya. Mereka pulang dengan senyum bahagia sembari bersepeda ke rumah.