Tata dan Jo
Gita mulai resah sendiri ketika Joshua mengatakan bahwa ia akan menyusul Gita karena sedang berada di supermarket yang sama. Hingga Gelagatnya ternyata tercium oleh Agib yang sedang membayar di kasir.
“Kenapa Git? Kebelet boker?” Ucap Agib tanpa filter.
Gita membuatkan matanya. “Heh! Ngomongnya kecil-kecil ajaa..”
Gita langsung menarik Agib berjalan ke pintu keluar.
Agib tertawa kecil, “perlu gue anterin ke Toilet?”
“Bukaan ih!”
“Lah terus apa dong?”
“Akhirnya ketemu juga,” sebuah suara menginterupsi keduanya yang tengah bercekcok kecil.
Gita terkejut setengah mati. Ini Joshua sedang berhadapan dengannya. Lelaki yang ia cintai dalam diam itu berdiri dengan gagah menggunakan jeans belel dan hoodie berwarna hijau muda.
“it's been a long time Tata..”
Agib mengerutkan kening. “Tata?” Lelaki itu bergumam.
Gita tersenyum canggung. “Ha-hai Jo,”
Agib semakin bingung.
“Lo kenal?” Tanyanya bingung.
“Kita temen seangkatan dulu pas Gita di Fkg.”
“Fakultas kedokteran Gigi?” tanya Agib memastikan.
Lelaki itu mengangguk. Ia langsung menjulurkan tangan dan tersenyum ramah.
“Kenalin, Joshua. The one and only temennya Gita setelah Juna.” lelaki itu terlihat sangat bangga.
Agib menerima uluran tangan itu sambil mengenalkan diri pula,
“Agib, tunangannya Gita.”
Sontak Gita terkejut dan menatap Agib meminta penjelasan. Namun lelaki itu hanya mengerjapkan matanya, dimana Gita sama sekali tidak tahu maksudnya.
“Oh, tunangan? Kok gak ngomong sih Ta?”
Gita kikuk, tidak bisa menjawab.
Sebenarnya kalau dibilang suami istri juga orang-orang akan percaya. Ditambah dengan kantung plastik belanjaan yang dibawa oleh Agib, semua orang pasti memikirkan bahwa mereka adalah pasangan pengantin baru yang sedang berbelanja.
“Boleh ngobrol bentar ga sama Gita?” Tanya Joshua kemudian.
“Kamu mau ngobrol sama dia?” tanya Agib,
“Sebentar aja ya?” Cici Gita kepada Joshua.
Joshua mengangguk. “5 menit aja Git,”
“Setengah jam juga boleh,”
Gita semakin terkejut, dia gak mau berlama-lama dengan Joshua.
“Selesaikan apa yang perlu diselesaikan, ” ucap Agib dengan air muka yang tiba-tiba berubah.
“Aku tunggu di mobil ya,” ujar Agib kepada Gita.
Lelaki itu berlalu setelah meninggalkan sebuah kecupan di puncak kepala Gita. Membuat gadis itu semakin salah tingkah.
“Tante Hera sehat Ta?” Joshua kembali memanggil dirinya dengan sebutan khusus.
Sebutan itu memang dibuat Jo ketika mereka berkuliah di jurusan yang sama, dulu. Sebelum sebuah kejadian yang membuat Gita kehilangan arah hidupnya terjadi.
Gita mengangguk kecil.
“Sumpah gue kangen banget sama lo Tataaa, ” sambung Jo lagi.
“Sebenarnya, ada apa Jo? Lo mau ketemu gue mau bilang apa?” Tanya Gita to the point.
“Gue mau minta maaf Ta,”
“Untuk?”
“Untuk semua rasa sakit yang udah lo laluin disaat gue gak ada,”
tapi awal mula rasa sakit itu adalah lo Joshua
“Mama udah gak ada Ta,”
Mata gadis itu membulat terkejut.
“Sakit, diabetes.” Ujarnya dengan wajah sedih.
“Maaf karena mama dulu ngerendahin lo, beliau khilaf. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, beliau bentar-bentar nyebut pengin ketemu lo, tapi waktu itu kita di Fukuoka, gaada akses untuk menghubungi lo—”
Sebuah memori terlintas didalam benak Gita. Ingatan ketika ia mendapati mama Jo memaki Gita dibelakang dirinya.
“mama udah bilang! Jangan berteman dengan si Gita itu! Mama gak suka Jo! Kerjaannya menggambar terus, padahal kalian banyak tugas. Tapi kamu selalu yang bikin tugas dia! Mau jadi dokter seperti apa dia?! Atau kalau gak suka jadi dokter, menggambar sajalah seumur hidupnya!”
Perkataan itu kembali memekik telinga Gita, seolah ucapan itu baru saja kemarin di lontarkan.
Dulu, Jo yang paling tahu kalau Gita suka menggambar, tidak hanya pemandangan biasa, Gita juga suka mendesain baju, tas, sepatu, semua itu ia tuangkan diatas buku jurnal yang selalu ia bawa kemana-mana. Jo yang paling tahu bahwa ia masuk ke FKG karena paksaan papanya.
Jo yang selalu mendaftarkan Gita untuk mengikuti berbagai lomba desain ditengah padatnya jadwal mahasiswa fakultas kedokteran. Jo yang membantu Gita mengerjakan tugas yang tidak sedikit, hanya agar gadis itu fokus mengikuti lomba.
Hingga ketulusan lelaki itu membuat hatinya luluh dan jatuh pada seorang Joshua Ardinaka.
“lihat nilai kamu turun! Ini semua gara-gara berteman dengan anak sialan itu! Mama gak suka Jo berteman dengan Gita.”
Bulir airmata menetes, membentuk sungai kecil yang mengalir dari pelupuk mata Gita.
sakitnya masih terasa hingga sekarang
Joshua meraih tangan Gita. Ia lalu mengusap pipi gadis itu lembut. Tak ada penolakan.
“I loved you once, but my mom broke it into pieces, mama gue ngirim gue ke Jepang karena bener-bener gamau kita sama-sama terus.”
Netranya benar-benar memancarkan rasa bersalah. Joshua larut dalam kegelisahan yang sudah lama ia pendam.
“Gaada waktu untuk mengucapkan selamat tinggal, apalagi minta maaf. Maafin gue ya Git,”
Tangis Gita pecah, gadis itu tersedu mengingat bahwa ternyata selama ini, ia tidak pernah jatuh cinta sendirian. Lelaki itu merasakan hal yang sama, namun ia tak pernah bisa mengungkapkannya.
Joshua membawa Gita kedalam pelukannya. Berusaha menenangkan gadis itu. Ia mengusap surai Gita lembut.
Helaan nafas terlihat dari kejauhan.
Agib melihat semuanya.