jjaeyyaa

Setelah melihat notif dari Vanya, Raihan langsung bergegas menuju apart miliknya.

Vanya memang sudah sering sekali memasuki apartment milik Raihan seorang diri, karena Raihan memberitahu sandi pintunya tersebut.

Sekitar 30 menit lamanya, Raihan tiba di basement dan langsung berlari kecil menuju lantai 20.

Cekrek

Pintu apart terbuka, terpampang jelas Raihan yang masih terlihat wajah bangun tidur nya dan rambut sedikit berantakan itu.

Vanya yang sedang menata mangkuk sup di kejutkan oleh penampilan Raihan yang tak biasanya.

“Astaga Raihan” ucap Vanya dan langsung menghampiri Raihan.

Yang di hampiri pun tampak diam, detik selanjutnya air mata sang puan keluar dengan sendirinya.

“Lohhh” panik Vanya.

Kenapa ketika ia menghampirinya Raihan menangis?

“Kenapa nangiss, hei?” tanya Vanya.

“Kangen..” lirih Raihan dan langsung menjatuhkan kepalanya di pundak Vanya.

Astaga laki-laki ini benar-benar membuat Vanya panik.

“Makan dulu, baru kita ngobrol”

Raihan menggeleng.

“Kenapa gak mau sayang?”

“Mau peluk aja, gak mau makan” balasnya dan langsung mengeratkan pelukannya.

“Dari malem belum makan kata Dito, sekarang kamu makan dulu baru nanti peluk” ajak Vanya.

Raihan menggeleng kembali.

“Gak mau anya... Hikss”

“Loh kok nangis lagi” Vanya kembali panik.

“Iya udah kalo gak mau makan. Ayo, jangan disini meluknya”

Raihan langsung melepaskan pelukannya lalu berjalan duluan ke arah kamar. Vanya yang melihat tingkah Raihan seperti anak bayi membuat dirinya sedikit pusing.

“Bisa stress gue kalo punya anak modelan kaya Raihan begini” gumamnya lalu mengikuti Raihan ke dala kamar.


Di kamar yang bernuansa serba hitam itupun kini Raihan dan Vanya sedang memeluk satu sama lain. Memberikan kehangatan dan kasih sayang.

“Ada yang mau kamu jelasin ke aku gak?” tanya Vanya sambil mengusap rambut Raihan dengan lembut.

“Ada..”

“Yaudah coba jelasin ke aku”

“Tentang yang si base itu bener ... Adella namanya, dia mantan ku dulu pas SMA. Aku ketemu dia di event club. Awalnya dia say hi ke aku, san ngobrol sedikit, setelah itu dia ngajak aku melipir ke pintu keluar buat ngobrol lagi katanya. Sebenarnya aku gak mau, tapi dia mohon-mohon sambil melukin tangan aku, aku risih Nya ... Makanya aku iyain”

Vanya tetap mendengarkan Raihan yang berbicara dibawah sana sambil sesekali melirik mimik wajah Raihan yang kesal.

“Setelah aku melipir, dia tiba-tiba jadi manja manja gitu, terus ngelantur ngomongnya. Aku tau itu cuma akal-akalan dia aja, kalo dia mabuk. Habis itu aku izin buat masuk lagi kan, tapi ditahan sama dia. Dia minta aku buat anterin dia balik ke apart. Aku langsung nolak dong. Tapi dia ngelantur lagi ngomongnya sampe bilang kalo kamu gak mau anterin aku, aku bakal teriak kalo kamu apa apain aku dia ancem aku Nya..”

“Awalnya aku gak takut sama anceman Adella. Aku lepas tangan dia di tangan aku terus niat aku mau samperin temen-temen aku didalam sana, ternyata Adella teriak sambil bilang Tolong-tolongin saya, ada yang habis pegang-pegang saya dia teriak kaya gitu..” ucap Raihan dengan ekspresi nya.

“Dan disana cuma aku doang yang deket sama dia. Aku langsung balik ke dia dan bawa dia ke mobilnya. Aku anterin dia ke apart, tapi sampe sana aku disuruh ke atas buat anterin dia ke unitnya. Aku yang udah tau bakal apa yang terjadi nanti, bilang ke dia kalo aku mau beli minum di swalayan depan. Setelah itu aku langsung kabur dari apart sana”

“Handphone ku juga mati, jadj aku langsung balik lagi ke club. Ternyata Dito sama Erland udah balik, dan kunci mobil ku gak di titipin sama tangan kanan ku disana. Al hasil aku nginap di hotel dekat club. Aku benar-benar gak ngapa-ngapain sama Adella, Nya.. kamu percaya aku kan?” ucap Raihan sambil melirik ke aras melihat wajah Vanya yang masih setia mendengarkan ceritanya.

Vanya tersenyum lalu mengangguk. “Iya percaya”

“Kalo kamu kenapa bilang mau ke hotel tapi malah ketemu sama laki-laki itu? Siapa sih? Saka? Apa Sakti?”

“Kak Sakti, Rai”

“Idih gaya banget manggil dia Kak” sindirnya sambil memutarkan matanya malas.

“Hahaha lucu banget kamu cemburu nya.”

“Kak Sakti itu kakaknya Nazwa. Dia kaka kelas ku di SMA, kita udah deket sejak SMA, dan kebetulan aku berteman baik sama adiknya. Kemarin itu gak sengaja ketemu disana, dia mau ketemu client nya, dan aku mau cek hotel.”

“Dia suka sama kamu” ucap Raihan.

“Sok tau kamu”

“Emang iya. Aku tau ya mana mata yang suka sama cewek aku mana yang gak”

“Kalo kamu suka gak sama aku?”

“Perlu banget aku perjelas?”

“Perlu lah”

Raihan membernarkan posisinya lalu menatap Vanya dengan tatapan yang dalam.

Vanya dibuat salah tingkah oleh tatapan Raihan, lalu ia memutuskan eyes contact itu.

“Udah jelas belum?”

“Iyaa udah ah, rese kamu mah” ucap Vanya.

“Rese darimana? Orang aku cuma natap kamu. Kamunya yang cemen”

Bruk

Bantal itu terlempar tepat di lengan Raihan. Vanya yang melempar bantal itu, setelah mendengar ucapan Raihan.

“Udah ah makan! Biarin aja kalo sakit aku batalin nikahnya” ancam Vanya lalu beranjak keluar dari kamar.

“KOK GITU?!”

“SAYANGGGGG???? BATAL NIKAH??? AH GAMAUUUUU, IYA AKU MAKANNN, TUNGGUIIN” panik Raihan dan langsung berlari menemui Vanya.

Vanya berjalan santai menuju Sakti yang sedang menunggu Vanya tiba di sampingnya.

“Haii” sapanya

“Kakak ngapain disini?” tanya Vanya dan langsung duduk di sebelah Sakti.

“Ketemu client, kamu sendiri ngapain kesini?” tanya Sakti balik.

Vanya bingung, ingin jujur atau berbohong kepada Sakti. Pasalnya tak ada satupun orang tau jika Vanya ingin menikah, apalagi dengan seorang anak tunggal kaya raya yang ternama di negara ini.

“Eum, itu kak ... Aku kesini, karena aku disuruh sama Bunda buat ketemu sama temennya” elak Vanya

Sakti yang tidak mau mengambil pusing pun mempercayai ucapan Vanya.

“Kamu udah gede aja deh, perasaan dulu masih minta aku beliin Ice Cream mamang depan komplek” ucap Sakti yang mengingat kembali memori dulu.

Vanya terkekeh mengingat apa saja yang ia lakukan di masa lampau itu.

“Dulu aku bandel banget ya kak?”

“Gak bandel-bandel juga sih, tapi kalo di bilang bandel sih sedikit.”

“Masuk ruang BK mulu, mana di omongin kalo kita pacaran”

Sakti terkekeh mendengar ucapan Vanya tadi. Dulu mereka sempat diberitakan di SMA nya jika mereka berpacaran.

Karena dulu mereka setiap saat selalu bersama. Ke kantin bersama, pulang sekolah bersama, berangkat pun bersama. Maka dari itu siswa dan siswi SMA Vanya sempat mengira mereka berpacaran.

“Lucu kalo di inget-inget tuh”

Vanya dan Sakti terkekeh mengingat kenangan yang mereka bikin di masa SMA tersebut.

Di lain tempat ada seorang laki-laki sedang mengamati Vanya dan juga Sakti dengan sesak di dadanya.

Raihan yang melihat kedekatan Vanya dan juga Sakti di sebrang sana.

Niat hati ingin membujuk Vanya untuk berbicara dengannya, tetapi takdir berkata lain. Ia hanya bisa melihat Vanya tertawa bahagia dengan laki-laki selainnya.

Sesak di dada tak bisa Raihan pungkiri saat ini.

Ia berjalan ke arah Vanya dan juga Sakti, lalu menyapanya. “Haai”

“Raihan” panggil Vanya.

“Halo. Raihan” sapa Raihan pada Sakti.

Sakti terheran dengan laki-laki di depannya. Siapakah dia? Kenapa Vanya bisa mengenalinya laki-laki tersebut?

“Sakti” balasnya sambil membalas jabatan tangan dari Raihan.

“Ini siapa, Van?” tanya Sakti.

“Kenalin saya-”

“Kak aku duluan ya, Rai ayo ikut aku.” pamit Vanya yang memotong ucapan Raihan.

Ia tarik tangan Raihan lalu menjauh dari Sakti.

“Nya?” tanya Raihan ketika Vanya dan dirinya sudah jauh dari keramaian.

“Rai, kenapa disini?”

“Aku yang harusnya tanya. Kamu sama dia kenapa bisa disini?” tanya Raihan balik.

“Aku mau cek hotel Raihan”

“Cek hotel untuk weeding kita sama laki-laki lain?”

“Apasih?” heran Vanya.

“Kamu yang apa. Bilang sama aku mau sendiri dulu, tapi pas aku samperin kamu sama laki-laki lain. Coba fikir jadi aku, sakit gak?”

“Terus aku emang gak sakit liat kamu sama mantan pacar mu di club?”

“Kamu gak tau yang sebenarnya terjadi disana, Vanya.”

“YA KAMU JUGA GAK TAU APA YANG SEBENERNYA TADI TERJADI KAN RAIHAN?!” ucap Vanya menaikkan satu oktafnya.

Raihan berdecak.

Ia mengatur nafasnya dan membuang mukanya ke sembarang arah.

Raihan pun sama emosinya dengan Vanya.

“Kita pulang” ucap Raihan.

“Gak. Kamu aja”

“Kita pulang Vanya.” ucap Raihan penuh penekanan.

“Aku bilang gak mau ya gak mau!” tolak Vanya.

Sakti yang masih di kawasan hotel itupun mendengar suara ribut di depan sana.

Ia berniat untuk mengintip sedikit, karena keributan itu hampir saja terdengar keluar sana.

“Loh Vanya?” Batinnya.

“Kamu kenapa sih susah banget di bilanginnya?” tanya Raihan yang heran dengan Vanya di hari ini.

“Kita. Pulang.”

“Aku. Gak. Mau.”

“Biar Vanya pulang sama gue” ucap Sakti yang muncul tiba-tiba di tengah-tengah Raihan dan Vanya berdebat.

“Lo gak usah ikut campur!”

“Lo berdua lagi emosi, kalo kalian pulang bareng yang ada makin makin. Jadi, biar Vanya pulang sama gue. Lo gak usah khawatir, cewek lo bakal aman sama gue” ucap Sakti lalu membawa Vanya meninggalkan Raihan sendirian di pojok sana.

Vanya menghapus jejak air mata yang keluar dari kelopak matanya itu, di dalam taksi yang sedang ia tumpangi untuk menuju butik. Dada Vanya begitu sesak setelah melihat base yang sedang ramai membahas Raihan dengan mantannya itu, Adel.

“Ahhh” desis Vanya yang sebal karena air matanya terus keluar dari kelopak matanya.

“Mba gapapa?” Tanya supir taksi yang melihat Vanya menangis.

“Gapapa pak. Oh ya bisa mampir sebentar ke swalayan depan gak ya? Saya mau beli sesuatu”

“Bisa Mba.”


Setelah menempuh jarak selama 15 menit, sekarang Vanya sudah sampai di butik tempat ia kerja.

Sebelum ia benar-benar masuk ke dalam butiknya, ia mengambil nafasnya untuk menstabilkan dirinya sendiri.

“Gapapa gak ada Raihan, nanti Raihan bisa fitting sendiri” gumamnya sendiri lalu berjalan masuk ke dalam butiknya.

“Pagi mba Vanya” sapa pegawai butik.

Vanya tersenyum dan membalas sapaan itu.

Ia naik ke atas untuk menemui yang membuat wedding dress nya.

“Pagi Kak” sapa Vanya yang tiba dan langsung menaruh tasnya.

“Eh, haii Vanya. Loh kok sendiri, calon mu kemana?” ucap Mella selaku orang yang bertanggung jawab penuh atas baju pengantin Vanya dan juga Raihan.

“Lagi ada urusan kerjaan, nanti dia fitting sendiri” bohong Vanya.

“Oh seperti itu. Ya sudah, jangan sedih gitu dong. Yuk kita coba dress yang kamu design sendiri” ajak Mella.

Ia pun menuntun Vanya untuk berganti dengan dress yang sudah di pajang tepat di samping ruangan ganti.

Selang beberapa menit, Vanya pun keluar dengan menggunakan wedding dress nya.

“Cantik. Pasti Raihan terpeson ngeliat kamu pakai dress ini. Mantan-mantannya lewat ini mah”

“Hahaha, iya kah Ka?”

“Iya dong. Kamu harus bangga, karena kamu yang dipilih sama Raihan buat jadi istrinya nanti. Masalah dia lagi gimana-gimana sekarang itu mah anggep aja ujian mau nikah”

“Emang ada ya ujian mau nikah?”

“Pasti ada dong, bahkan client ku ada yang sampai batalin dress nya karena berantem hebat sama calon suaminya.”

“Trus mereka batal nikah?”

“Enggak. H-3 mereka hubungin aku lagi, kalo mereka gak jadi batalin wedding dress nya karena mereka udah baikkan dan menikah”

“Jadi aku harap, sebanyak apapun masalahnya, kalo itu masih di dalam prinsip kamu, tahan tahanin aja. Itu lagi di uji sama Tuhan, kalo apa yang kamu sama pasangan kamu lalui sekarang itu belum ada apa-apanya sama masalah di keluarga nanti”

Vanya mendengarkan ucapan Mella dengan seksama. Apakah ini adalah ujian Vanya dengan Raihan?

“Udah jangan di fikirin yang di base, itu cuma human rese. Mereka juga gak bisa sepenuhnya salah, karena mereka gak tau kalau Raihan mau nikah. Mereka tau nya kalo Raihan masih bujangan” ucap Mella sambil mengelus pundak Vanya.

Mella tau apa yang sedang Vanya rasakan saat ini, karena ia juga aktif di Twitter dan sempat melihat berita yang sedang panas di aplikasi burung biru tersebut.

“Ka Mel tau?”

Mella tersenyum lalu mengangguk. “Iya aku tau. Itu cuma masa lalu, kan sekarang kamu yang jadi masa depannya Raihan”

“Percaya kan sama Raihan, kalau Raihan gak bakal neko-neko?” tanya Mella.

“Iya, percaya.”

Vanya menghapus jejak air mata yang keluar dari kelopak matanya itu, di dalam taksi yang sedang ia tumpangi untuk menuju butik. Dada Vanya begitu sesak setelah melihat base yang sedang ramai membahas Raihan dengan mantannya itu, Adel.

“Ahhh” desis Vanya yang sebal karena air matanya terus keluar dari kelopak matanya.

“Mba gapapa?” Tanya supir taksi yang melihat Vanya menangis.

“Gapapa pak. Oh ya bisa mampir sebentar ke swalayan depan gak ya? Saya mau beli sesuatu”

“Bisa Mba.”


Setelah menempuh jarak selama 15 menit, sekarang Vanya sudah sampai di butik tempat ia kerja.

Sebelum ia benar-benar masuk ke dalam butiknya, ia mengambil nafasnya untuk menstabilkan dirinya sendiri.

“Gapapa gak ada Raihan, nanti Raihan bisa fitting sendiri” gumamnya sendiri lalu berjalan masuk ke dalam butiknya.

“Pagi mba Vanya” sapa pegawai butik.

Vanya tersenyum dan membalas sapaan itu.

Ia naik ke atas untuk menemui yang membuat dressnya itu.

“Pagi Kak” sapa Vanya yang tiba dan langsung menarik tasnya.

“Eh, haii Vanya. Loh kok sendiri, calon mu kemana?” ucap Mella selaku orang yang bertanggung jawab penuh atas baju pengantin Vanya dan juga Raihan.

“Lagi ada urusan kerjaan, nanti dia fitting sendiri” bohong Vanya.

“Oh seperti itu. Ya sudah, jangan sedih gitu dong. Yuk kita coba dress yang kamu design sendiri” ajak Mella.

Ia pun menuntun Vanya untuk berganti dengan dress yang sudah di pajang tepat di samping ruangan ganti.

Selang beberapa menit, Vanya pun keluar dengan menggunakan wedding dress nya.

“Cantik. Pasti Raihan terpeson ngeliat kamu pakai dress ini. Mantan-mantannya lewat ini mah”

“Hahaha, iya kah Ka?”

“Iya dong. Kamu harus bangga, karena kamu yang dipilih sama Raihan buat jadi istrinya nanti. Masalah dia lagi gimana-gimana sekarang itu mah anggep aja ujian mau nikah”

“Emang ada ya ujian mau nikah?”

“Pasti ada dong, bahkan client ku ada yang sampai batalin dress nya karena berantem hebat sama calon suaminya.”

“Trus mereka batal nikah?”

“Enggak. H-3 mereka hubungin aku lagi, kalo mereka gak jadi batalin wedding dress nya karena mereka udah baikkan dan menikah”

“Jadi aku harap, sebanyak apapun masalahnya, kalo itu masih di dalam prinsip kamu, tahan tahanin aja. Itu lagi di uji sama Tuhan, kalo apa yang kamu sama pasangan kamu lalui sekarang itu belum ada apa-apanya sama masalah di keluarga nanti”

Vanya mendengarkan ucapan Mella dengan seksama. Apakah ini adalah ujian Vanya dengan Raihan?

“Udah jangan di fikirin yang di base, itu cuma human rese. Mereka juga gak bisa sepenuhnya salah, karena mereka gak tau kalau Raihan mau nikah. Mereka tau nya kalo Raihan masih bujangan” ucap Mella sambil mengelus pundak Vanya.

Mella tau apa yang sedang Vanya rasakan saat ini, karena ia juga aktif di Twitter dan sempat melihat berita yang sedang panas di aplikasi burung biru tersebut.

“Ka Mel tau?”

Mella tersenyum lalu mengangguk. “Iya aku tau. Itu cuma masa lalu, kan sekarang kamu yang jadi masa depannya Raihan”

“Percaya kan sama Raihan, kalau Raihan gak bakal neko-neko?” tanya Mella.

“Iya, percaya.”

Pagi ini Vanya dikejutkan dengan ia terbangun dirumah yang tampak tak asing baginya. Bukan berarti ini rumahnya.

Di kamar yang minimalis tetapi masih memilik kesan mewah, kini Vanya sedang terheran.

“Gue dimana dah?” ucapnya sendiri.

Tuk ... Tuk ... Tuk

Pintu kamarnya di ketuk dari luar, Vanya pun langsung membuka kan pintu tersebut dan langsung menampilkan Raihan yang sedang membawa nampan berisikan roti dan juga susu.

“Good Morning Princess” sapa Raihan dengan senyum ciri khas nya.

“Kok aku dirumah kamu?” tanya Vanya sambil mempersilahkan Raihan untuk masuk ke dalam kamarnya.

Raihan berjalan ke arah meja belajar, menaruh nampan tersebut sambil berkata. “Kemarin malem aku udah anterin kamu ke rumah, tapi kamu gak bangun-bangun. Aku telfon Bunda juga gak dijawab, jadinya aku bawa aja deh ke rumah. Dari pada aku taroh kamu di depan rumah, kan gak lucu” jelasnya.

“Tapi katanya Oma mau kesini?”

“Iya, itu Oma udah di bawah. Kamu disuruh sarapan dulu terus mandi. Bajunya nanti disiapin sama bibi”

Vanya menepuk jidatnya, “Gagal jadi calon mantu idaman deh kalo bangun siang gini” gumamnya.

“Yanh penting kamu gak gagal jadi juara di hati ku, slebeww” gurau Raihan.

Detik itu juga Vanya langsung memukul lengan Raihan. Bisa-bisanya di situasi seperti ini, ia bercanda.

“Rese!”

“Hahaha. Yaudah di makan ya sarapannya sayang ku, aku ke bawah dulu nemenin Oma.”

“Hm”

Deheman itu mampu menjawab ucapan Raihan tadi.

“Masih pagi udah galak, dasar ka ros”

“Rai gue tonjok ya lo, pergi gak?!” tukas Vanya.

“Seram seperti Ka Ros, rawrr” ledek Raihan.

Memang Raihan suka sekali meledeki Vanya, dan Vanya pun terpancing akan ledekan itu.

Calon pasutri ini memang beda sekali.

Malam ini bertepatan dengan malam minggu. Dimana semua kalangan muda berkeliaran untuk menikmati malam minggu bersama kekasihnya.

Begitupun dengan Raihan dan juga Vanya, mereka tak mau kalah dengan orang-orang diluar sana yang sedang asik menebarkan keromantisannya di jalan ibu kota.

Raihan dan Vanya sudah berkeliling Jakarta sejak tadi pukul 20:00 WIB. Mereka menghabiskan waktu bersama di motor milik Raihan dengan baik.

Kekehan terus keluar dari mulut Vanya karena gurau'an yang di buat oleh Raihan.

Menyusuri ibu kota tidak terlalu buruk bagi Raihan dan juga Vanya. Mereka masih asik memutari kawasan Sudirman – Monas.

Sampai dimana Raihan berhenti di halte bus yang sudah tersedia di pinggir jalan.

“Turun dulu yuk, aku tau kamu pegel duduk kaya gitu” ucap Raihan sambil mematikan mesin motornya itu.

Vanya tak menolak, benar apa yang dikatakan oleh Raihan. Pegal sudah terasa sejak tadi, tapi dengan candaan yang diberikan oleh Raihan mampu menghilangi rasa pegal itu.

Mereka duduk di bangku itu tak lupa juga untuk membuka helmnya. Vanya yang kesusahan untuk membuka helm tersebut, dengan sigap Raihan membantunya.

“Kaya gini cil bukanya”

“Cal cil cal cil aja lu”

“Emang lu bocil”

“Berisik om-om”

“Beda satu tahun!”

“Aku belum ulang tahun, jadinya masih dua tahun!”

“Seterah deh”

Raihan merajuk.

Vanya yang melihat muka masam Raihan pun tertawa, sangat lucu fikirnya.

“Ada yang ngambek nih” canda Vanya.

Raihan diam.

“Siapa yaaa yang ngambek?”

Raihan membuang mukanya ketika Vanya ingin menyentuh wajah tampannya itu.

“Ihhh kok gak mau di pegang?”

“Beda setahun!”

Gelak tawa itu kembali terdengar di telinga Raihan. Ahh masih bahas tentang itu ternyata.

“Iyaa beda setahun iyaa” kini Vanya lah yang mengalah.

“Udah ah jangan ngambek gitu, kaya bocil gak dikasih mainan tau gak”

“Bodo”

“Heh, kalo dibilangin ya lu”

“Nyenyenye”

“Dasar bayi bangkotan”

“Bayi yang setiap malem minta di pat pat kepalanya, bayi yang setiap malem selalu minta susu coklat, bayi yang setiap malem harus-”

“Shhhhhhh jangan buka kartu!” ucap Raihan membekap mulut Vanya.

Yang di bekap pun memberontak, pasalnya ucapannya terpotong karena tangan besar milik Raihan hinggap tepat di wajahnya.

“Mmmmm lepass gaak” ucap Vanya.

Raihan melepaskan bekapan itu, “Rese banget!”

“Kamu yang rese, buka kartu AS aku”

“Biarin. Biar semua orang tau kalo kamu itu-”

“Shhhhhhh udah ayo jalan lagi”

Ucapan Vanya kembali terpotong karena Raihan yang tiba-tiba menaruh tangannya di wajah mungil Vanya.

Setelah naik ke atas motor dengan baik, dan juga memakai helm dengan baik, mereka pun melanjutkan perjalanan mereka ke puncak untuk menikmati malam minggu sebelum mereka benar-benar sibuk akan acara mereka nanti.

Vanya sudah selesai memanas 'kan sup yang Bunda pesankan tadi, ia menata dengan rapih mangkuk sup di meja makan itu.

“Ayahh” panggil Vanya dari ruang makan.

“Ayahhhhhhhhhh” sambungnya lagi, kali ini ia meninggikan satu oktaf suaranya.

“Apaa?” Jawab ayah dari sebrang sana.

“Ini udah selesai, ayah jadi makan gak?”

“Jadi, sayang”

Ayah pun berjalan gontai ke ruang makan sambil sesekali merenggangkan tangannya atas-bawah, seperti gerakan senam pemanasan.

“Wihh, sup kesukaan ayah” gumam Ayah ketika sampai.

Ayah langsung menarik bangku dan langsung duduk melihat Vanya yang sedang mengambilkan nasi untuknya.

“Segini, Yah?”

“Iya cantik”

Setelah selesai menyajikan makanan untuk Ayah, sekarang giliran Vanya mengambil nasi dan juga lauk untuk dirinya sendiri.

Makan berjalan dengan lancar. Sepanjang makan, Ayah maupun Vanyak tak banyak bicara, sesekali menebarkan candaan yang bisa membuat Vanya maupun Ayah tertawa.

Vanya memang sering menghabiskan waktunya bersama Ayah, karena Ayah tidak selalu terus menerus ke kantor. Ayah bisa kerja di rumah ataupun mengambil libur yang dulu sempat tak terpakai untuk menemani Vanya di rumah.

“Nya,” panggil Ayah.

“Apa Ayah?”

“Kalo misalnya kamu ayah jodohin sama anak temen ayah gimana?”

Anya membuang nafasnya kasar, “Yah. Udah berapa kali Anya bilang ke ayah, kalo Anya gak mau kaya gitu. Anya mau cari sendiri, oke?”

“Yaa kamu lagian gada kemajuan, minimal kaya mesem-mesem gitu liat handphone atau telfonan malem-malem. Ini ayah liat dari tadi kamu gerutu sambil main handphone” balas Ayah.

“Ayah harusnya bersyukur, soalnya anaknya gak pacaran”

“Di umur yang segini, kamu udah harus mikirin jodoh, nak. Kamu inget kan target nikah kamu kapan?”

“Iyaa inget, 24 tahun.” Balas Vanya sedikit kesal.

“Nah, tahun ini udah mau 24. Tapi belum keliatan hilalnya kaya gimana”

Vanya mengambil piring kotor di depan Ayah, dan berucap. “Nanti lagi bahasnya, Anya mau cuci piring kotor dulu”

Vanya sudah selesai memanas 'kan sup yang Bunda pesankan tadi. Menata dengan rapih piring-piring di meja makan untuk sang Ayah makan nanti.

“Ayahh” panggil Vanya dari ruang makan.

“Ayahhhhhhhhhh” sambungnya lagi, kali ini ia meninggikan satu oktaf suaranya.

“Apaa?” Jawab ayah dari sebrang sana.

“Ini udah selesai, ayah jadi makan gak?”

“Jadi, sayang”

Ayah pun berjalan gontai ke ruang makan sambil sesekali merenggangkan tangannya atas-bawah, seperti gerakan senam pemanasan.

“Wihh, sup kesukaan ayah” gumam Ayah ketika sampai.

Ayah langsung menarik bangku dan langsung duduk melihat Vanya yang sedang mengambilkan nasi untuknya.

“Segini, Yah?”

“Iya cantik”

Setelah selesai menyajikan makanan untuk Ayah, sekarang giliran Vanya mengambil nasi dan juga lauk untuk dirinya sendiri.

Makan berjalan dengan lancar. Sepanjang makan, Ayah maupun Vanyak tak banyak bicara, sesekali menebarkan candaan yang bisa membuat Vanya maupun Ayah tertawa.

Vanya memang sering menghabiskan waktunya bersama Ayah, karena Ayah tidak selalu terus menerus ke kantor. Ayah bisa kerja di rumah ataupun mengambil libur yang dulu sempat tak terpakai untuk menemani Vanya di rumah.

“Nya,” panggil Ayah.

“Apa Ayah?”

“Kalo misalnya kamu ayah jodohin sama anak temen ayah gimana?”

Anya membuang nafasnya kasar, “Yah. Udah berapa kali Anya bilang ke ayah, kalo Anya gak mau kaya gitu. Anya mau cari sendiri, oke?”

“Yaa kamu lagian gada kemajuan, minimal kaya mesem-mesem gitu liat handphone atau telfonan malem-malem. Ini ayah liat dari tadi kamu gerutu sambil main handphone” balas Ayah.

“Ayah harusnya bersyukur, soalnya anaknya gak pacaran”

“Di umur yang segini, kamu udah harus mikirin jodoh, nak. Kamu inget kan target nikah kamu kapan?”

“Iyaa inget, 24 tahun.” Balas Vanya sedikit kesal.

“Nah, tahun ini udah mau 24. Tapi belum keliatan hilalnya kaya gimana”

Vanya mengambil piring kotor di depan Ayah, dan berucap. “Nanti lagi bahasnya, Anya mau cuci piring-piring kotornya”

Setelah berbincang-bincang dengan kliennya, kini Vanya sedang menunggu Nazwa yang sedang menuju ke kafe. Dengan di temani Americano, Vanya hanya diam sambil sesekali melirik ke arah perusahaan Dyson.

Seandainya Raihan makan siang disini gimana ya? Batinnya bertanya.

Ia buang fikiran itu jauh-jauh mengingat jika Raihan tidak akan suka tempat seperti ini.

Kafe ini memang terbilang sangat unik, kafe memilik menu yang terbilang cukup banyak untuk kalangan kafe seperti pada umumnya.

Kafe ini di isi dengan daftar menu kopi, dessert dan juga makan-makanan yang hampir terbilang cukup berat.

Fikir Vanya, mungkin kafe ini di khususkan untuk para pekerja kantor yang berada di sekitar kawasan ini untuk menikmati makan siang. Mengingat jika di kawasan ini, restoran cukup minim. Dan hanya berada ada di dalam mall. Tak jauh, sekitar 10 menit.


15 menit sudah Vanya menunggu dan kini Nazwa kini sudah berada di hadapan Vanya, duduk bersebrangan.

“Lo dah mesen?” tanya Nazwa sambil menata rambut yang terkena angin.

“Belum, nunggu lo” balasnya.

Nazwa hanya mengangguk paham, dan sedetik kemudian Nazwa bangun dari duduknya untuk memesan makanan.

“Kalo nunggu lo mesen, lama.” Gumam Nazwa yang masih bisa terdengar oleh Vanya.

Setelah memesan Nazwa pun kembali ke tempat duduknya, ia melihat Vanya yang sedang berkutik di depan Laptop, ntah apa yang Vanya kerjakan.

“Nya, kalo Raihan makan disini gimana? Secara kafe sama perusahaannya aja sembrang-sembrangan. Gak menutup kemungkinan dia bakal lunch disini kan?” Ujar Nazwa.

Mendengar itu sontak Vanya memberhentikan aktifitas mengetiknya. Benar apa yang dikatakan oleh Nazwa, bahwa tidak menutup kemungkinan buat Raihan makan di kafe ini.

“Raihan mana mau makan disini anjir, ngada-ngada lo” balas Vanya.

“We never know, Nya. Kita liat nanti. Tapi please, jaga image lo di depan dia, jangan kaya reog”

“Iyeee”


Makanan yang Nazwa pesan sudah sampai di table mereka, memesan satu porsi nasi goreng seafood dan satu porsi pasta.

Sibuk dengan menyuapi makanan kedalam mulut, Nazwa di kejutkan oleh 2 orang pria yang baru saja masuk ke dalam kafe.

“Nya..”

Vanya yang sibuk dengan makanannya pun, menggubris Nazwa dengan seadanya. “Naon?”

“Di belakang lo, ada..” ucap Nazwa terpotong.

“Ada apan anjing, jangan nakut-nakutin deh lo!” Seru Vanya.

Ia membalikkan badannya, dan boom! Mata mereka sama-sama bertemu.

Raihan. Raihan ada disini.

“Wawa..” lirih Vanya.

“Calm down please.”

“Wa badan gue meleleh gak Wa? Omongan lo di jabah sama Tuhan Wa..”

Sedetik kemudian Raihan memutuskan eyes contact mereka.

Setelah itu Vanya langsung buru-buru merapikan barangnya dan langsung menarik Nazwa untuk keluar dari kafe ini.

Suara berisik yang di ciptakan oleh Vanya membuat Atensi Raihan sedikit memusat kepada mereka.

“Nya, diliatin Nya!” ujar Nazwa

“Berisik, cabut ayo!” balas Vanya.

Ia sangat payah jika bertemu langsung dengan Raihan, bahkan untuk melihatnya saja Vanya enggan.

“Bro ngapain sih lo?!” Bisik Dito sambil menyenggol pundak Raihan.

Raihan yang masih melihat Vanya dan juga Nazwa keluar kafe itupun menoleh, “Kenapa?” tanya Raihan.

“Lo yang kenapa, udah deh pesen makanan sekarang, jam 2 kita ada meeting!” Tukas Dito.

Raihan yang tak mau berdebat lama dengan Dito pun meninggalkan Dito dan langsung memesan makanan yang ia inginkan.

Setelah berbincang-bincang dengan kliennya, kini Vanya sedang menunggu Nazwa yang sedang menuju ke kafe. Dengan di temani Americano, Vanya hanya diam sambil sesekali melirik ke arah perusahaan Dyson.

Seandainya Raihan makan siang disini gimana ya? Batinnya bertanya.

Ia buang fikiran itu jauh-jauh mengingat jika Raihan tidak akan suka tempat seperti ini.

Kafe ini memang terbilang sangat unik, kafe memilik menu yang terbilang cukup banyak untuk kalangan kafe seperti pada umumnya.

Kafe ini di isi dengan daftar menu kopi, dessert dan juga makan-makanan yang hampir terbilang cukup berat.

Fikir Vanya, mungkin kafe ini di khususkan untuk para pekerja kantor yang berada di sekitar kawasan ini untuk menikmati makan siang. Mengingat jika di kawasan ini, restoran cukup minim. Dan hanya berada ada di dalam mall. Tak jauh, sekitar 10 menit.


15 menit sudah Vanya menunggu dan kini Nazwa kini sudah berada di hadapan Vanya, duduk bersebrangan.

“Lo dah mesen?” tanya Nazwa sambil menata rambut yang terkena angin.

“Belum, nunggu lo” balasnya.

Nazwa hanya mengangguk paham, dan sedetik kemudian Nazwa bangun dari duduknya untuk memesan makanan.

“Kalo nunggu lo mesen, lama.” Gumam Nazwa yang masih bisa terdengar oleh Vanya.

Setelah memesan Nazwa pun kembali ke tempat duduknya, ia melihat Vanya yang sedang berkutik di depan Laptop, ntah apa yang Vanya kerjakan.

“Nya, kalo Raihan makan disini gimana? Secara kafe sama perusahaannya aja sembrang-sembrangan. Gak menutup kemungkinan dia bakal lunch disini kan?” Ujar Nazwa.

Mendengar itu sontak Vanya memberhentikan aktifitas mengetiknya. Benar apa yang dikatakan oleh Nazwa, bahwa tidak menutup kemungkinan buat Raihan makan di kafe ini.

“Raihan mana mau makan disini anjir, ngada-ngada lo” balas Vanya.

“We never know, Nya. Kita liat nanti. Tapi please, jaga image lo di depan dia, jangan kaya reog”

“Iyeee”


Makanan yang Nazwa pesan sudah sampai di table mereka, memesan satu porsi nasi goreng seafood dan satu porsi pasta.

Sibuk dengan menyuapi makanan kedalam mulut, Nazwa di kejutkan oleh beberapa 2 orang pria yang baru saja masuk ke dalam kafe.

“Nya..”

Vanya yang sibuk dengan makanannya pun, menggubrisnya Nazwa seadanya. “Naon?”

“Di belakang lo, ada..” ucap Nazwa terpotong.

“Ada apan anjing, jangan nakut-nakutin deh lo!” Seru Vanya.

Ia membalikkan badannya, dan boom! Mata mereka sama-sama bertemu.

Raihan. Raihan ada disini.

“Wawa..” lirih Vanya.

“Calm down please.”

“Wa badan gue meleleh gak Wa? Omongan di jabah sama Tuhan Wa..”

Sedetik kemudian Raihan memutuskan eyes contact mereka.

Setelah itu Vanya langsung buru-buru merapikan barangnya dan langsung menarik Nazwa untuk keluar dari kafe ini.

Suara berisik yang di ciptakan oleh Vanya membuat Atensi Raihan sedikit memusat kepada mereka.

“Nya, liatin Nya!” ujar Nazwa

“Berisik, cabut ayo!” balas Vanya.

Ia sangat payah jika bertemu langsung dengan Raihan, bahkan untuk melihatnya saja sangan enggan.

“Bro ngapain sih lo?!” Bisik Dito.

Raihan yang masih melihat Vanya dan juga Nazwa keluar kafe itupun menoleh, “Kenapa?” tanya Raihan.

“Lo yang kenapa, udah deh persen makanan sekarang, jam 2 kita ada meeting!” Tukas Dito.

Raihan yang tak berdebat dengan lama dengan Dito pun meninggalkan Dito dan langsung memesan makanan yang ia inginkan.