#Amerta | 2
Denji menopang dagunya dengan manik bonekanya yang sesekali mengerjap pelan tanda mengantuk.
Tadi, saat memasuki daerah kawasan rumah besar Yoshida, Denji nyaris dibuat mati kutu saat tahu ia harus berhadapan dengan sang kepala keluarga Hirofumi.
Ia diberikan beberapa pertanyaan yang benar-benar membuatnya terdiam bak orang bodoh, karena menjawab bisa salah, diam tak menjawab pun juga salah.
Untungnya, panggilan dan tuntutan kerja yang nampaknya sedang menunggu pria berusia kepala 5 itu segera bergegas pergi, tanpa sempat bertanya lebih banyak lagi.
Sedangkan kakak perempuan yang dikatakan Yoshida, nampaknya sedang ada urusan mendadak. Denji hanya sempat melihat sekilas, sosok dengan surai ungu itu berlarian keluar menuju mobilnya yang terparkir lalu pergi dari halaman rumah.
“Ngantuk?”
Yoshida, membuka suara.
Denji mengangguk, menatap Yoshida tanpa berkedip sama sekali, melihat bagaimana sosok itu dengan cekatan mengeluarkan semua bahan makanan yang akan ia masak.
Yah.
Saat ini posisi keduanya berada di dapur besar rumah keluarga Hirofumi, dengan Denji sebagai tamu spesial dan Yoshida sebagai koki bintang 5 yang akan menjamunya.
“Tidur dulu gapapa, kamar gue ada di lantai 3.” Yoshida terkekeh, ia harus menahan kuat dorongan di dalam hatinya kala melihat bagaimana wajah rupawan Denji yang berkerut lucu kala ia mengusap matanya perlahan.
Denji menggeleng. “Gue mau liat lo masak.”
Yoshida mengangguk saja. Ia meletakkan semua bahan makanan di depan Denji, membuat Denji, yang tengah mengantuk langsung membuka matanya secara lebar.
“Lo mau masak seafood? Sebanyak ini? Mahal banget bodoh! Gue bilang kan jangan terlalu boros!”
Yoshida justru tersenyum mendengarnya, ia mengusak surai pirang Denji dengan lembut. “Boros buat lo mah gapapa. Udah tunggu aja gih, di ruang tamu ada sofa kasur kok, sekalian ada PS, siapa tau lo mau main selagi nunggu gue.”
Dan Denji, mengikutinya tanpa banyak suara.
___
“ENAK BANGET WOY!”
Teriakan riang Denji, memenuhi ruang tamu rumah keluarga Hirofumi. Sosok itu nampak begitu termanjakan oleh masakan Yoshida yang terasa sangat cocok untuk indra pengecapnya.
Yoshida tersenyum lebar mendengar pujian itu.
“Udah jadi idaman kamu belum?” Yoshida bertanya dengan jahil, berniat bercanda.
Tetapi nampaknya Denji, menanggapi serius hal itu.
“Idaman banget, tapi jadi kebanting kalo lo sama gue. Diibaratkan lo langit gue cuma tanah yang ada di bawah.”
Yoshida berucap dengan santai, “Tanah itu juga tempat gue bisa berpijak selama menjadi penghuni Bumi. Jadi gak masalah, gue tetap suka sama lo.”
Denji nampak salah tingkah mendengarnya. Ia berusaha membuat topik debat yang baru.
“Gue jelek.”
“Kata siapa? Lo tercantik dari yang paling cantik.”
“Gue gak pinter loh di mata pelajaran. Alias goblok banget.”
“Gak masalah, lo pinter kok, cuma gak bisa bagi waktu buat belajar aja pasti.”
“Gue gak bisa masak.”
“Terus apa fungsinya gue?”
Denji bingung, ingin membalas apa. Fungsi apa maksudnya?
Melihat ekspresi lucu itu, Yoshida mengalunkan tawa kecilnya.
“Gue tanya sekali lagi Den. Apa fungsinya gue kalau orang yang gue sayang justru mati-matian mencoba sempurna di mata gue? Padahal gak perlu berbuat sesuatu, cukup jadi dirinya sendiri aja itu udah pas, porsi yang sesuai untuk sempurnanya dia.”
“Jadi kalau lo gak bisa masak, gak masalah Den. Gue yang bisa. Gue masakin lo apa aja yang lo mau. Gak perlu repot-repot lo yang turun tangan langsung ke dapur.”
Yoshida mencubit pelan pipi gembil Denji, seraya berkata.
“Karena memastikan lo makan dan istirahat dengan bener itu tugas gue, Denji.”