NASA

#Amerta | 2

Denji menopang dagunya dengan manik bonekanya yang sesekali mengerjap pelan tanda mengantuk.

Tadi, saat memasuki daerah kawasan rumah besar Yoshida, Denji nyaris dibuat mati kutu saat tahu ia harus berhadapan dengan sang kepala keluarga Hirofumi.

Ia diberikan beberapa pertanyaan yang benar-benar membuatnya terdiam bak orang bodoh, karena menjawab bisa salah, diam tak menjawab pun juga salah.

Untungnya, panggilan dan tuntutan kerja yang nampaknya sedang menunggu pria berusia kepala 5 itu segera bergegas pergi, tanpa sempat bertanya lebih banyak lagi.

Sedangkan kakak perempuan yang dikatakan Yoshida, nampaknya sedang ada urusan mendadak. Denji hanya sempat melihat sekilas, sosok dengan surai ungu itu berlarian keluar menuju mobilnya yang terparkir lalu pergi dari halaman rumah.

“Ngantuk?”

Yoshida, membuka suara.

Denji mengangguk, menatap Yoshida tanpa berkedip sama sekali, melihat bagaimana sosok itu dengan cekatan mengeluarkan semua bahan makanan yang akan ia masak.

Yah.

Saat ini posisi keduanya berada di dapur besar rumah keluarga Hirofumi, dengan Denji sebagai tamu spesial dan Yoshida sebagai koki bintang 5 yang akan menjamunya.

“Tidur dulu gapapa, kamar gue ada di lantai 3.” Yoshida terkekeh, ia harus menahan kuat dorongan di dalam hatinya kala melihat bagaimana wajah rupawan Denji yang berkerut lucu kala ia mengusap matanya perlahan.

Denji menggeleng. “Gue mau liat lo masak.”

Yoshida mengangguk saja. Ia meletakkan semua bahan makanan di depan Denji, membuat Denji, yang tengah mengantuk langsung membuka matanya secara lebar.

“Lo mau masak seafood? Sebanyak ini? Mahal banget bodoh! Gue bilang kan jangan terlalu boros!”

Yoshida justru tersenyum mendengarnya, ia mengusak surai pirang Denji dengan lembut. “Boros buat lo mah gapapa. Udah tunggu aja gih, di ruang tamu ada sofa kasur kok, sekalian ada PS, siapa tau lo mau main selagi nunggu gue.”

Dan Denji, mengikutinya tanpa banyak suara.

___

“ENAK BANGET WOY!”

Teriakan riang Denji, memenuhi ruang tamu rumah keluarga Hirofumi. Sosok itu nampak begitu termanjakan oleh masakan Yoshida yang terasa sangat cocok untuk indra pengecapnya.

Yoshida tersenyum lebar mendengar pujian itu.

“Udah jadi idaman kamu belum?” Yoshida bertanya dengan jahil, berniat bercanda.

Tetapi nampaknya Denji, menanggapi serius hal itu.

“Idaman banget, tapi jadi kebanting kalo lo sama gue. Diibaratkan lo langit gue cuma tanah yang ada di bawah.”

Yoshida berucap dengan santai, “Tanah itu juga tempat gue bisa berpijak selama menjadi penghuni Bumi. Jadi gak masalah, gue tetap suka sama lo.”

Denji nampak salah tingkah mendengarnya. Ia berusaha membuat topik debat yang baru.

“Gue jelek.”

“Kata siapa? Lo tercantik dari yang paling cantik.”

“Gue gak pinter loh di mata pelajaran. Alias goblok banget.”

“Gak masalah, lo pinter kok, cuma gak bisa bagi waktu buat belajar aja pasti.”

“Gue gak bisa masak.”

“Terus apa fungsinya gue?”

Denji bingung, ingin membalas apa. Fungsi apa maksudnya?

Melihat ekspresi lucu itu, Yoshida mengalunkan tawa kecilnya.

“Gue tanya sekali lagi Den. Apa fungsinya gue kalau orang yang gue sayang justru mati-matian mencoba sempurna di mata gue? Padahal gak perlu berbuat sesuatu, cukup jadi dirinya sendiri aja itu udah pas, porsi yang sesuai untuk sempurnanya dia.”

“Jadi kalau lo gak bisa masak, gak masalah Den. Gue yang bisa. Gue masakin lo apa aja yang lo mau. Gak perlu repot-repot lo yang turun tangan langsung ke dapur.”

Yoshida mencubit pelan pipi gembil Denji, seraya berkata.

“Karena memastikan lo makan dan istirahat dengan bener itu tugas gue, Denji.”

#Amerta | 2

Denji menopang dagunya dengan manik bonekanya yang sesekali mengerjap pelan tanda mengantuk.

Tadi, saat memasuki daerah kawasan rumah besar Yoshida, Denji nyaris dibuat mati kutu saat tahu ia harus berhadapan dengan sang kepala keluarga Hirofumi.

Ia diberikan beberapa pertanyaan yang benar-benar membuatnya terdiam bak orang bodoh, karena menjawab bisa salah, diam tak menjawab pun juga salah.

Sedangkan kakak perempuan yang dikatakan Yoshida, nampaknya sedang ada urusan mendadak. Denji hanya sempat melihat sekilas, sosok dengan surai ungu itu berlarian keluar menuju mobilnya yang terparkir lalu pergi dari halaman rumah.

“Ngantuk?”

Yoshida, membuka suara.

Denji mengangguk, menatap Yoshida tanpa berkedip sama sekali, melihat bagaimana sosok itu dengan cekatan mengeluarkan semua bahan makanan yang akan ia masak.

Yah.

Saat ini posisi keduanya berada di dapur besar rumah keluarga Hirofumi, dengan Denji sebagai tamu spesial dan Yoshida sebagai koki bintang 5 yang akan menjamunya.

“Tidur dulu gapapa, kamar gue ada di lantai 3.” Yoshida terkekeh, ia harus menahan kuat dorongan di dalam hatinya kala melihat bagaimana wajah rupawan Denji yang berkerut lucu kala ia mengusap matanya perlahan.

Denji menggeleng. “Gue mau liat lo masak.”

Yoshida mengangguk saja. Ia meletakkan semua bahan makanan di depan Denji, membuat Denji, yang tengah mengantuk langsung membuka matanya secara lebar.

“Lo mau masak seafood? Sebanyak ini? Mahal banget bodoh! Gue bilang kan jangan terlalu boros!”

Yoshida justru tersenyum mendengarnya, ia mengusak surai pirang Denji dengan lembut. “Boros buat lo mah gapapa. Udah tunggu aja gih, di ruang tamu ada sofa kasur kok, sekalian ada PS, siapa tau lo mau main selagi nunggu gue.”

Dan Denji, mengikutinya tanpa banyak suara.

“ENAK BANGET WOY!”

Teriakan riang Denji, memenuhi ruang tamu rumah keluarga Hirofumi. Sosok itu nampak begitu termanjakan oleh masakan Yoshida yang terasa sangat cocok untuk indra pengecapnya.

Yoshida tersenyum lebar mendengar pujian itu.

“Udah jadi idaman kamu belum?” Yoshida bertanya dengan jahil, berniat bercanda.

Tetapi nampaknya Denji, menanggapi serius hal itu.

“Idaman banget, tapi jadi kebanting kalo lo sama gue. Diibaratkan lo langit gue cuma tanah yang ada di bawah.”

Yoshida berucap dengan santai, “Tanah itu juga tempat gue bisa berpijak selama menjadi penghuni Bumi. Jadi gak masalah, gue tetap suka sama lo.”

Denji nampak salah tingkah mendengarnya. Ia berusaha membuat topik debat yang baru.

“Gue jelek.”

“Kata siapa? Lo tercantik dari yang paling cantik.”

“Gue gak pinter loh di mata pelajaran. Alias goblok banget.”

“Gak masalah, lo pinter kok, cuma gak bisa bagi waktu buat belajar aja pasti.”

“Gue gak bisa masak.”

“Terus apa fungsinya gue?”

Denji bingung, ingin membalas apa. Fungsi apa maksudnya?

Melihat ekspresi lucu itu, Yoshida mengalunkan tawa kecilnya.

“Gue tanya sekali lagi Den. Apa fungsinya gue kalau orang yang gue sayang justru mati-matian mencoba sempurna di mata gue? Padahal gak perlu berbuat sesuatu, cukup jadi dirinya sendiri aja itu udah pas, porsi yang sesuai untuk sempurnanya dia.”

“Jadi kalau lo gak bisa masak, gak masalah Den. Gue yang bisa. Gue masakin lo apa aja yang lo mau. Gak perlu repot-repot lo yang turun tangan langsung ke dapur.”

Yoshida mencubit pelan pipi gembil Denji, seraya berkata.

“Karena memastikan lo makan dan istirahat dengan bener itu tugas gue, Denji.”

#Nabastala dan khayalannya.

Contains m/m : Aki x Denji. Ditulis dalam bahasa baku


Cantik.

Sosok dengan surai pirang itu mendongak. Menatap hamparan luas nabastala yang terbentang di depan aksanya dengan sebuah senyum lebar.

Warna jingga terang yang begitu mengesankan, kian merenggut seluruh atensinya.

Aksa bonekanya berbinar, bak kumpulan galaksi yang sedang terang-terangnya.

“Indah, kan?”

Lalu, sebuah suara lembut menginterupsinya, membuat perhatiannya segera teralihkan menuju pemilik suara itu.

Pemilik surai pirang, mengangguk. Dengan senyum lebar yang masih terulas halus di wajahnya yang begitu anindita.

Senja.

Di sebuah taman yang menghadap ke arah danau, keduanya merebahkan diri, di atas rumput halus yang menjadi alasnya. Dengan 2 pasang mata yang enggan melepaskan diri dari pemandangan indah di atasnya.

“Kamu suka?” Sosok dengan surai hitam, menoleh ke arah si pirang. Aksa tajamnya nampak teduh, sebisa mungkin menatap sosok di depannya dengan lembut.

Sosok pirang, menoleh. Balas menatap sosok di depannya tak kalah teduh. Aksanya yang cantik nampak berkaca-kaca entah karena apa. “Suka sekali.”

Sosok dengan surai hitam panjang itu bernama Aki. Dan sosok pirang yang baru saja dipanggilnya itu bernama Denji.

Sepasang kekasih?

Bukan.

Mereka hanya sepasang pemuda yang tengah mendalami apa itu rasanya mencinta dan dicinta.

“Kalau kamu suka, aku akan membawamu kesini lagi lain kali.” Aki, tersenyum ke arah Denji.

Sudut bibir Denji, segera terangkat, membentuk sebuah senyum manis yang mampu menarik Aki dari semua lelahnya pada buana.

Aki mengubah posisinya, yang awalnya terlentang, kini menjadi telungkup, dengan tangan kiri yang menopang setengah wajahnya dan tangan kanannya yang bergerak di atas permukaan wajah Denji. Memeta seluruh inci, menangkapnya selamanya untuk disimpan di dalam hati.

Denji, yang menerima afeksi itu, memejamkan matanya, dengan jantung yang bergemuruh, karena cintanya yang melimpah-ruah nampak tak bisa terbendung lagi.

“Denji.”

“Hm?”

“Kamu harus tahu, bagi dunia, mungkin kamu hanya satu orang. Tapi bagi aku, kamu adalah dunia itu sendiri.”

Denji, lantas membuka matanya seketika, menatap Aki, dengan pandangan yang sulit diartikan.

Kenapa? Kenapa Aki, menatapnya dengan tatapan penuh luka seperti itu? Kenapa aksa kelam yang selalu menarik Denji, itu kini tengah kehilangan binarnya? Hanya sorot suram, penuh putus asa yang membuat Denji, segera menangis tanpa sadar.

“Kenapa tiba-tiba?”

Denji, bertanya dengan suara yang mulai parau. Tenggorokannya terasa mencekik, tertahan oleh sesuatu yang sakit, menyesakkan, dan Denji tidak mengerti itu apa.

Aki tak menjawab, terus menatap wajah Denji, dan mengelusnya dengan pelan. Benar-benar berniat meninggalkan cinta yang dalam di sana.

Saat Denji, akan membuka suaranya lagi. Sebuah teriakan keras dari ujung jalan, menyapa indra pendengarannya.

“DENJI!!!”

Ia segera mendudukkan dirinya, menatap sosok baru, perempuan dengan surai pirangnya yang panjang kini tengah berlari ke arahnya.

“Power?”

Denji, bingung. Sosok perempuan di depannya, kini bersimpuh di hadapannya, dengan nafas yang terengah karena lelah, serta air mata yang entah kenapa terus menganak-sungai di wajahnya.

“Kenapa menangis?” Denji, bertanya. Tangannya bergerak secara spontan, mengusap air mata dari sahabatnya itu.

Power, perempuan yang baru saja datang itu justru semakin terisak. Kedua tangannya berbalik menangkup kedua wajah rupawan Denji, mengelusnya dengan tangan yang gemetar hebat.

“Sudah cukup,” ucap perempuan itu.

“Huh?”

“Sudah cukup, ya? Denji sayang Aki, kan?” Perempuan itu kembali bertanya dengan isakan yang masih mengikutinya.

Dengan linglung, Denji mengangguk.

Detik berikutnya, seakan tersadar oleh sesuatu, aksa bonekanya segera bergerak liar. Mencari setiap sudut yang ada di depannya, berusaha mencari sosok Aki, yang baru saja memberinya sebuah cinta yang begitu indah, nyaris seperti sebuah ilusi.

Nihil.

Aki, tidak ada.

Aromanya, tatapan teduh khasnya, suara lembutnya. Benar-benar tidak ada dijangkauannya.

“Kalau sayang, sudah cukup. Aki sudah bahagia di atas saja, Denji.”

Seakan terpukul oleh kenyataan, Denji, terpaku di tempat. Memukul dadanya yang tiba-tiba sesak, tepat ketika potongan-potongan memori menyakitkan memasuki otaknya dan menyerangnya secara membabi buta.

Gelap, tersisa warna merah gelap di ufuk barat sana. Menandakan jika malam akan segera datang.

Dan Denji, hanya bisa menangis keras di sana.

Saat sadar, sosok yang menemaninya memandang nabastala tadi hanyalah sebuah khayalannya.

#Nabastala dan khayalannya.

Contains m/m : Aki x Denji. Ditulis dalam bahasa baku


Cantik.

Sosok dengan surai pirang itu mendongak. Menatap hamparan luas nabastala yang terbentang di depan aksanya dengan sebuah senyum lebar.

Warna jingga terang yang begitu mengesankan, kian merenggut seluruh atensinya.

Aksa bonekanya berbinar, bak kumpulan galaksi yang sedang terang-terangnya.

“Indah, kan?”

Lalu, sebuah suara lembut menginterupsinya, membuat perhatiannya segera teralihkan menuju pemilik suara itu.

Pemilik surai pirang, mengangguk. Dengan senyum lebar yang masih terulas halus di wajahnya yang begitu anindita.

Senja.

Di sebuah taman yang menghadap ke arah danau, keduanya merebahkan diri, di atas rumput halus yang menjadi alasnya. Dengan 2 pasang mata yang enggan melepaskan diri dari pemandangan indah di atasnya.

“Kamu suka?” Sosok dengan surai hitam, menoleh ke arah si pirang. Aksa tajamnya nampak teduh, sebisa mungkin menatap sosok di depannya dengan lembut.

Sosok pirang, menoleh. Balas menatap sosok di depannya tak kalah teduh. Aksanya yang cantik nampak berkaca-kaca entah karena apa. “Suka sekali.”

Sosok dengan surai hitam panjang itu bernama Aki. Dan sosok pirang yang baru saja dipanggilnya itu bernama Denji.

Sepasang kekasih?

Bukan.

Mereka hanya sepasang pemuda yang tengah mendalami apa itu rasanya mencinta dan dicinta.

“Kalau kamu suka, aku akan membawamu kesini lagi lain kali.” Aki, tersenyum ke arah Denji.

Sudut bibir Denji, segera terangkat, membentuk sebuah senyum manis yang mampu menarik Aki dari semua lelahnya pada buana.

Aki mengubah posisinya, yang awalnya terlentang, kini menjadi telungkup, dengan tangan kiri yang menopang setengah wajahnya dan tangan kanannya yang bergerak di atas permukaan wajah Denji. Memeta seluruh inci, menangkapnya selamanya untuk disimpan di dalam hati.

Denji, yang menerima afeksi itu, memejamkan matanya, dengan jantung yang bergemuruh, karena cintanya yang melimpah-ruah nampak tak bisa terbendung lagi.

“Denji.”

“Hm?”

“Kamu harus tahu, bagi dunia, mungkin kamu hanya satu orang. Tapi bagi aku, kamu adalah dunia itu sendiri.”

Denji, lantas membuka matanya seketika, menatap Aki, dengan pandangan yang sulit diartikan.

Kenapa? Kenapa Aki, menatapnya dengan tatapan penuh luka seperti itu? Kenapa aksa kelam yang selalu menarik Denji, itu kini tengah kehilangan binarnya? Hanya sorot suram, penuh putus asa yang membuat Denji, segera menangis tanpa sadar.

“Kenapa tiba-tiba?”

Denji, bertanya dengan suara yang mulai parau. Tenggorokannya terasa mencekik, tertahan oleh sesuatu yang sakit, menyesakkan, dan Denji tidak mengerti itu apa.

Aki tak menjawab, terus menatap wajah Denji, dan mengelusnya dengan pelan. Benar-benar berniat meninggalkan cinta yang dalam di sana.

Saat Denji, akan membuka suaranya lagi. Sebuah teriakan keras dari ujung jalan, menyapa indra pendengarannya.

“DENJI!!!”

Ia segera mendudukkan dirinya, menatap sosok baru, perempuan dengan surai pirangnya yang panjang kini tengah berlari ke arahnya.

“Power?”

Denji, bingung. Sosok perempuan di depannya, kini bersimpuh di hadapannya, dengan nafas yang terengah karena lelah, serta air mata yang entah kenapa terus menganak-sungai di wajahnya.

“Kenapa menangis?” Denji, bertanya. Tangannya bergerak secara spontan, mengusap air mata dari sahabatnya itu.

Power, perempuan yang baru saja datang itu justru semakin terisak. Kedua tangannya berbalik menangkup kedua wajah rupawan Denji, mengelusnya dengan tangan yang gemetar hebat.

“Sudah cukup,” ucap perempuan itu.

“Huh?”

“Sudah cukup, ya? Denji sayang Aki, kan?” Perempuan itu kembali bertanya dengan isakan yang masih mengikutinya.

Dengan linglung, Denji mengangguk.

Detik berikutnya, seakan tersadar oleh sesuatu, aksa bonekanya segera bergerak liar. Mencari setiap sudut yang ada di depannya, berusaha mencari sosok Aki, yang baru saja memberinya sebuah cinta yang begitu indah, nyaris seperti sebuah ilusi.

Nihil.

Aki, tidak ada.

Aromanya, tatapan teduh khasnya, suara lembutnya. Benar-benar tidak ada dijangkauannya.

“Kalau sayang, sudah cukup. Aki sudah bahagia di atas saja, Denji.”

Seakan terpukul oleh kenyataan, Denji, terpaku di tempat. Memukul dadanya yang tiba-tiba sesak, tepat ketika potongan-potongan memori menyakitkan memasuki otaknya dan menyerangnya secara membabi buta.

Gelap, tersisa warna merah gelap di ufuk barat sana. Menandakan jika malam akan segera datang.

Dan Denji, hanya bisa menangis keras di sana.

Saat sadar, sosok yang menemaninya memandang nabastala tadi hanyalah sebuah khayalannya.

Nabastala dan khayalannya.

Contains m/m : Rayne x Mash. Ditulis dalam bahasa baku TW// MCD – Major character death.


Cantik.

Sosok dengan surai hitam itu mendongak. Menatap hamparan luas nabastala yang terbentang di depan aksanya dengan sebuah senyum lebar.

Warna jingga terang yang begitu mengesankan itu, kian merenggut seluruh atensinya. Membuat aksa bonekanya berbinar, bak kumpulan galaksi yang sedang terang-terangnya.

“Indah, kan?”

Lalu, sebuah suara lembut menginterupsinya, membuat perhatiannya segera teralihkan menuju pemilik suara itu.

Pemilik surai hitam, mengangguk. Dengan senyum lebar yang masih terulas halus di wajahnya yang begitu anindita.

Senja.

Di sebuah taman yang menghadap ke arah danau, keduanya merebahkan diri, di atas kain sutra halus yang menjadi alasnya. Dengan 2 pasang mata yang enggan melepaskan diri dari pemandangan indah di atasnya.

“Kamu suka?” Sosok dengan surai dwiwarna, menoleh ke arah si hitam. Aksa tajamnya nampak teduh, sebisa mungkin menatap sosok di depannya dengan lembut.

Sosok bersurai hitam, menoleh. Balas menatap sosok di depannya tak kalah teduh. Aksanya yang cantik nampak berkaca-kaca entah karena apa. “Suka sekali.”

Sosok dengan surai dwiwarna tersebut bernama Rayne. Dan sosok hitam yang baru saja dipanggilnya itu bernama Mash.

Sepasang kekasih?

Bukan.

Mereka hanya sepasang pemuda yang tengah mendalami apa itu rasanya mencinta dan dicinta.

“Kalau kamu suka, aku akan membawamu kesini lagi lain kali.” Rayne, tersenyum ke arah Mash.

Sudut bibir Mash, segera terangkat, membentuk sebuah senyum manis yang mampu menarik Rayne dari semua lelahnya pada buana.

Rayne mengubah posisinya, yang awalnya terlentang, kini menjadi telungkup, dengan tangan kiri yang menopang setengah wajahnya dan tangan kanannya yang bergerak di atas permukaan wajah Mash. Memeta seluruh inci pahatan Tuhan di depannya ini, menangkapnya selamanya untuk disimpan di dalam hati.

Mash, yang menerima afeksi itu, memejamkan matanya, dengan jantung yang bergemuruh, karena cintanya yang melimpah-ruah nampak tak bisa terbendung lagi.

“Mash.”

“Hm?”

“Kamu harus tahu, bagi dunia, mungkin kamu hanya satu orang. Tapi bagi aku, kamu adalah dunia itu sendiri.”

Mash, lantas membuka matanya seketika, menatap Rayne, dengan pandangan yang sulit diartikan.

Kenapa? Kenapa Rayne, menatapnya dengan tatapan penuh luka seperti itu? Kenapa aksa kelam yang selalu menarik Mash itu kini tengah kehilangan binarnya? Hanya sorot suram, penuh putus asa yang membuat Mash, segera menangis tanpa sadar.

“Kenapa tiba-tiba?”

Mash, bertanya dengan suara yang mulai parau. Tenggorokannya terasa mencekik, tertahan oleh sesuatu yang sakit, menyesakkan, dan Mash tidak mengerti itu apa. Hanya saja yang ia bisa pastikan adalah ia sangat tidak menyukainya.

Rayne tak menjawab, terus menatap wajah Mash, dan mengelusnya dengan pelan. Benar-benar berniat meninggalkan cinta yang dalam di sana.

Saat Mash, akan membuka suaranya lagi. Sebuah teriakan keras dari ujung jalan, menyapa indra pendengarannya.

“MASH!!!”

Ia segera mendudukkan dirinya, menatap sosok baru, perempuan dengan surai kuningnya yang panjang kini tengah berlari ke arahnya.

“Lemon?”

Mash, bingung. Sosok perempuan di depannya, kini bersimpuh di hadapannya, dengan nafas yang terengah karena lelah, serta air mata yang entah kenapa terus menganak-sungai di wajahnya.

“Kenapa menangis?” Mash, bertanya. Tangannya bergerak secara spontan, mengusap air mata dari sahabatnya itu dengan lembut.

Lemon, perempuan yang baru saja datang itu justru semakin terisak. Kedua tangannya berbalik menangkup kedua wajah rupawan Mash, mengelusnya dengan tangan yang gemetar hebat.

“Sudah cukup,” ucap perempuan itu.

“Huh?”

“Sudah cukup, ya? Mash sayang Rayne, kan?” Perempuan itu kembali bertanya dengan isakan yang masih mengikutinya.

Dengan linglung, Mash mengangguk.

Detik berikutnya, seakan tersadar oleh sesuatu, aksa bonekanya segera bergerak liar. Mencari setiap sudut yang ada di depannya, berusaha mencari sosok Rayne, yang baru saja memberinya sebuah cinta yang begitu indah, nyaris seperti sebuah ilusi dari surga.

Nihil.

Rayne—, Raynenya tidak ada.

Aromanya, tatapan teduh khasnya, suara lembutnya. Benar-benar tidak ada dijangkauannya.

“Kalau sayang, sudah cukup. Rayne sudah bahagia di atas saja, Mash.”

Seakan terpukul oleh kenyataan, Mash, terpaku di tempat. Memukul dadanya yang tiba-tiba sesak, tepat ketika potongan-potongan memori menyakitkan memasuki otaknya dan menyerangnya secara membabi buta.

Gelap, tersisa warna merah gelap di ufuk barat sana. Menandakan jika malam akan segera datang.

Dan Mash, hanya bisa menangis keras di sana.

Saat sadar, sosok yang menemaninya memandang nabastala tadi hanyalah sebuah khayalannya.

#Nabastala dan khayalannya.

Contains m/m : Aki x Denji. Ditulis dalam bahasa baku


Cantik.

Sosok dengan surai pirang itu mendongak. Menatap hamparan luas nabastala yang terbentang di depan aksanya dengan sebuah senyum lebar.

Warna jingga terang yang begitu mengesankan, kian merenggut seluruh atensinya.

Aksa bonekanya berbinar, bak kumpulan galaksi yang sedang terang-terangnya.

“Indah, kan?”

Lalu, sebuah suara lembut menginterupsinya, membuat perhatiannya segera teralihkan menuju pemilik suara itu.

Pemilik surai pirang, mengangguk. Dengan senyum lebar yang masih terulas halus di wajahnya yang begitu anindita.

Senja.

Di sebuah taman yang menghadap ke arah danau, keduanya merebahkan diri, di atas rumput halus yang menjadi alasnya. Dengan 2 pasang mata yang enggan melepaskan diri dari pemandangan indah di atasnya.

“Kamu suka?” Sosok dengan surai hitam, menoleh ke arah si pirang. Aksa tajamnya nampak teduh, sebisa mungkin menatap sosok di depannya dengan lembut.

Sosok pirang, menoleh. Balas menatap sosok di depannya tak kalah teduh. Aksanya yang cantik nampak berkaca-kaca entah karena apa. “Suka sekali.”

Sosok dengan surai hitam panjang itu bernama Aki. Dan sosok pirang yang baru saja dipanggilnya itu bernama Denji.

Sepasang kekasih?

Bukan.

Mereka hanya sepasang pemuda yang tengah mendalami apa itu rasanya mencinta dan dicinta.

“Kalau kamu suka, aku akan membawamu kesini lagi lain kali.” Aki, tersenyum ke arah Denji.

Sudut bibir Denji, segera terangkat, membentuk sebuah senyum manis yang mampu menarik Aki dari semua lelahnya pada buana.

Aki mengubah posisinya, yang awalnya terlentang, kini menjadi telungkup, dengan tangan kiri yang menopang setengah wajahnya dan tangan kanannya yang bergerak di atas permukaan wajah Denji. Memeta seluruh inci, menangkapnya selamanya untuk disimpan di dalam hati.

Denji, yang menerima afeksi itu, memejamkan matanya, dengan jantung yang bergemuruh, karena cintanya yang melimpah-ruah nampak tak bisa terbendung lagi.

“Denji.”

“Hm?”

“Kamu harus tahu, bagi dunia, mungkin kamu hanya satu orang. Tapi bagi aku, kamu adalah dunia itu sendiri.”

Denji, lantas membuka matanya seketika, menatap Aki, dengan pandangan yang sulit diartikan.

Kenapa? Kenapa Aki, menatapnya dengan tatapan penuh luka seperti itu? Kenapa aksa kelam yang selalu menarik Denji, itu kini tengah kehilangan binarnya? Hanya sorot suram, penuh putus asa yang membuat Denji, segera menangis tanpa sadar.

“Kenapa tiba-tiba?”

Denji, bertanya dengan suara yang mulai parau. Tenggorokannya terasa mencekik, tertahan oleh sesuatu yang sakit, menyesakkan, dan Denji tidak mengerti itu apa.

Aki tak menjawab, terus menatap wajah Denji, dan mengelusnya dengan pelan. Benar-benar berniat meninggalkan cinta yang dalam di sana.

Saat Denji, akan membuka suaranya lagi. Sebuah teriakan keras dari ujung jalan, menyapa indra pendengarannya.

“DENJI!!!”

Ia segera mendudukkan dirinya, menatap sosok baru, perempuan dengan surai pirangnya yang panjang kini tengah berlari ke arahnya.

“Power?”

Denji, bingung. Sosok perempuan di depannya, kini bersimpuh di hadapannya, dengan nafas yang terengah karena lelah, serta air mata yang entah kenapa terus menganak-sungai di wajahnya.

“Kenapa menangis?” Denji, bertanya. Tangannya bergerak secara spontan, mengusap air mata dari sahabatnya itu.

Power, perempuan yang baru saja datang itu justru semakin terisak. Kedua tangannya berbalik menangkup kedua wajah rupawan Denji, mengelusnya dengan tangan yang gemetar hebat.

“Sudah cukup,” ucap perempuan itu.

“Huh?”

“Sudah cukup, ya? Denji sayang Aki, kan?” Perempuan itu kembali bertanya dengan isakan yang masih mengikutinya.

Dengan linglung, Denji mengangguk.

Detik berikutnya, seakan tersadar oleh sesuatu, aksa bonekanya segera bergerak liar. Mencari setiap sudut yang ada di depannya, berusaha mencari sosok Aki, yang baru saja memberinya sebuah cinta yang begitu indah, nyaris seperti sebuah ilusi.

Nihil.

Aki, tidak ada.

Aromanya, tatapan teduh khasnya, suara lembutnya. Benar-benar tidak ada dijangkauannya.

“Kalau sayang, sudah cukup. Aki sudah bahagia di atas saja, Denji.”

Seakan terpukul oleh kenyataan, Denji, terpaku di tempat. Memukul dadanya yang tiba-tiba sesak, tepat ketika potongan-potongan memori menyakitkan memasuki otaknya dan menyerangnya secara membabi buta.

Gelap, tersisa warna merah gelap di ufuk barat sana. Menandakan jika malam akan segera datang.

Dan Denji, hanya bisa menangis keras di sana.

Saat sadar, sosok yang menemaninya memandang nabastala tadi hanyalah sebuah khayalannya.

#Nabastala dan khayalannya.

Contains m/m : Aki x Denji. Ditulis dalam bahasa baku


Cantik.

Sosok dengan surai pirang itu mendongak. Menatap hamparan luas nabastala yang terbentang di depan aksanya dengan sebuah senyum lebar.

Warna jingga terang yang begitu mengesankan, kian merenggut seluruh atensinya.

Aksa bonekanya berbinar, bak kumpulan galaksi yang sedang terang-terangnya.

“Indah, kan?”

Lalu, sebuah suara lembut menginterupsinya, membuat perhatiannya segera teralihkan menuju pemilik suara itu.

Pemilik surai pirang, mengangguk. Dengan senyum lebar yang masih terulas halus di wajahnya yang begitu anindita.

Senja.

Di sebuah taman yang menghadap ke arah danau, keduanya merebahkan diri, di atas rumput halus yang menjadi alasnya. Dengan 2 pasang mata yang enggan melepaskan diri dari pemandangan indah di atasnya.

“Kamu suka?” Sosok dengan surai hitam, menoleh ke arah si pirang. Aksa tajamnya nampak teduh, sebisa mungkin menatap sosok di depannya dengan lembut.

Sosok pirang, menoleh. Balas menatap sosok di depannya tak kalah teduh. Aksanya yang cantik nampak berkaca-kaca entah karena apa. “Suka sekali.”

Sosok dengan surai hitam panjang itu bernama Aki. Dan sosok pirang yang baru saja dipanggilnya itu bernama Denji.

Sepasang kekasih?

Bukan.

Mereka hanya sepasang pemuda yang tengah mendalami apa itu rasanya mencinta dan dicinta.

“Kalau kamu suka, aku akan membawamu kesini lagi lain kali.” Aki, tersenyum ke arah Denji.

Sudut bibir Denji, segera terangkat, membentuk sebuah senyum manis yang mampu menarik Aki dari semua lelahnya pada buana.

Aki mengubah posisinya, yang awalnya terlentang, kini menjadi telungkup, dengan tangan kiri yang menopang setengah wajahnya dan tangan kanannya yang bergerak di atas permukaan wajah Denji. Memeta seluruh inci, menangkapnya selamanya untuk disimpan di dalam hati.

Denji, yang menerima afeksi itu, memejamkan matanya, dengan jantung yang bergemuruh, karena cintanya yang melimpah-ruah nampak tak bisa terbendung lagi.

“Denji.”

“Hm?”

“Kamu harus tahu, bagi dunia, mungkin kamu hanya satu orang. Tapi bagi aku, kamu adalah dunia.”

Denji, lantas membuka matanya seketika, menatap Aki, dengan pandangan yang sulit diartikan.

Kenapa? Kenapa Aki, menatapnya dengan tatapan penuh luka seperti itu? Kenapa aksa kelam yang selalu menarik Denji, itu kini tengah kehilangan binarnya? Hanya sorot suram, penuh putus asa yang membuat Denji, segera menangis tanpa sadar.

“Kenapa tiba-tiba?”

Denji, bertanya dengan suara yang mulai parau. Tenggorokannya terasa mencekik, tertahan oleh sesuatu yang sakit, menyesakkan, dan Denji tidak mengerti itu apa.

Aki tak menjawab, terus menatap wajah Denji, dan mengelusnya dengan pelan. Benar-benar berniat meninggalkan cinta yang dalam di sana.

Saat Denji, akan membuka suaranya lagi. Sebuah teriakan keras dari ujung jalan, menyapa indra pendengarannya.

“DENJI!!!”

Ia segera mendudukkan dirinya, menatap sosok baru, perempuan dengan surai pirangnya yang panjang kini tengah berlari ke arahnya.

“Power?”

Denji, bingung. Sosok perempuan di depannya, kini bersimpuh di hadapannya, dengan nafas yang terengah karena lelah, serta air mata yang entah kenapa terus menganak-sungai di wajahnya.

“Kenapa menangis?” Denji, bertanya. Tangannya bergerak secara spontan, mengusap air mata dari sahabatnya itu.

Power, perempuan yang baru saja datang itu justru semakin terisak. Kedua tangannya berbalik menangkup kedua wajah rupawan Denji, mengelusnya dengan tangan yang gemetar hebat.

“Sudah cukup,” ucap perempuan itu.

“Huh?”

“Sudah cukup, ya? Denji sayang Aki, kan?” Perempuan itu kembali bertanya dengan isakan yang masih mengikutinya.

Dengan linglung, Denji mengangguk.

Detik berikutnya, seakan tersadar oleh sesuatu, aksa bonekanya segera bergerak liar. Mencari setiap sudut yang ada di depannya, berusaha mencari sosok Aki, yang baru saja memberinya sebuah cinta yang begitu indah, nyaris seperti sebuah ilusi.

Nihil.

Aki, tidak ada.

Aromanya, tatapan teduh khasnya, suara lembutnya. Benar-benar tidak ada dijangkauannya.

“Kalau sayang, udah cukup. Aki sudah bahagia di atas saja, Denji.”

Seakan terpukul oleh kenyataan, Denji, terpaku di tempat. Memukul dadanya yang tiba-tiba sesak, tepat ketika potongan-potongan memori menyakitkan memasuki otaknya dan menyerangnya secara membabi buta.

Gelap, tersisa warna merah gelap di ufuk barat sana. Menandakan jika malam akan segera datang.

Dan Denji, hanya bisa menangis keras di sana.

Saat sadar, sosok yang menemaninya memandang nabastala tadi hanyalah sebuah khayalannya.

#Amerta | 1

Yoshida tidak bercanda, ia benar-benar menampakkan batang hidungnya di depan kamar kos, Denji.

Hanya mengenakan kaos hitam, dengan celana training abu-abu. Pesonanya sudah tumpah, memperdaya Denji, yang masih linglung di tempatnya berdiri.

“Boleh masuk?”

Denji tersentak kaget, ia segera membuka pintu kamar kos-nya, membiarkan sosok asing dengan parfum aroma vanilla itu kini benar-benar masuk ke dalam.


Hening.

Suasana canggung ini amatlah menyiksa Denji. Ia sebisa mungkin menghindari tatapan mata Yoshida yang seolah akan menelannya sedari tadi.

“Udah gue transfer.” Yoshida, akhirnya membuka suara. Tersenyum tipis melihat ekspresi kaku yang ditampilkan pemuda manis di sampingnya tersebut.

Denji hanya bergumam samar. Menatap tak percaya pada layar ponselnya saat mendapati jika Yoshida, tidak main-main dengan ucapannya. Uang senilai 30juta, yang hanya berani ia mimpikan kini benar-benar menjadi miliknya.

“Lo boros. Boros banget.” Denji, berbisik pelan.

“Selama buat lo, gue gak masalah.” Yoshida menyahut tak kalah pelan.

Posisi keduanya saat ini, mereka sedang duduk di atas kasur sempit Denji, yang dipenuhi remah bekas sereal yang belum dibersihkannya.

Denji, yang sedari tadi menahan rasa ingin tahu serta malunya, akhirnya memberanikan diri menatap lawan bicaranya. Menelaah setiap inci wajah rupawan di depannya, lalu beralih menatap mata hitam bak langit malam itu dengan dalam.

Aneh.

Seberapa dalam pun Denji, berusaha menyelaminya. Mata hitam itu terus menatap teduh padanya, tidak ada kebohongan, tidak ada tipu daya. Semuanya penuh oleh ketulusan.

Denji, merasa sesuatu yang hangat baru saja menyusup ke dalam hatinya.

Kenapa? Kenapa orang sesempurna Yoshida justru mencintainya?

“Kenapa? Kenapa lo suka sama gue? Bukan— kenapa lo cinta sama gue? Kita bahkan gak pernah berinteraksi sebelumnya.” Denji, jelas mempertanyakannya.

Yoshida tersenyum lembut, kedua tangannya bergerak, meraih tangan Denji, lalu membawanya ke arah bibirnya.

Ia kecup setiap sisi tangan tersebut seraya berkata.

“Sama kamu, hati aku menemukan ritmenya.”