22.00
___
“Astaga! Bisa-bisanya aku lupa beli beras.”
Gadis itu mencelos ketika mendapati kotak penyimpanan berasnya kosong tak bersisa. Ia lupa kalau nasi yang ia masak kemarin adalah persediaan terakhirnya.
Segera ia mengambil dompet lusuhnya di dalam totebag berwarna abu-abu yang tergeletak di dekat meja.
“Yah, uangnya tinggal dua puluh ribu, ini kalo buat beli makan aku besok nggak bisa berangkat naik bus.”
Aldara, seorang gadis cantik yang tinggal sebatang kara di ibukota. Ia hanya mengandalkan pekerjaannya sebagai pelayan toko untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
Meskipun jauh dari kata cukup, gadis itu tetap mensyukuri berapa pun yang yang ia dapatkan setiap harinya. Seperti sekarang ini, dirinya bahkan belum sarapan, tetapi uang yang ia punya hanya cukup untuk biaya transportasi besok pagi.
Kakinya bergerak gelisah. Mau tidak mau dirinya harus makan, karena kalau tidak penyakit lambung yang sudah ia idap sejak lama itu akan kambuh. Dan itu akan lebih merepotkan daripada berusaha mencari makanan di tengah malam seperti ini.
“Aduh, gimana ya? Kalo besok aku sakit perut lagi nggak bisa kerja dong?”
Jujur saja Aldara terkadang merasa lelah dengan penyakitnya yang cepat sekali kambuh hanya karna dirinya seharian belum memakan nasi.
Dokter berkali-kali sudah mengingatkan, namun apa daya, dirinya bisa makan satu hari sekali saja ia sudah bersyukur.
Akhirnya setelah berkutat dengan pikirannya, gadis itu memutuskan untuk menghubungi kekasihnya.
Uhm, ralat. Hanya Aldara yang menganggap lelaki itu kekasihnya, tidak dengan sebaliknya.
“Terakhir ini aja, maaf ya aku masih suka ngrepotin kamu.” Gumamnya sebelum membuka room chat teratas dengan simbol pin di ujung kanannya.
Dia Tarasandya Mahadevan, lelaki yang menjadi favoritenya jauh sebelum ia hidup luntang-lantung ditengah kerasnya kehidupan Ibukota seperti saat ini.