jsrachie

flashback bagian tiga

___

“Zen, tenang dulu. Lo duduk sini aja sama gue.” Celetuk Matthew sembari menarik ujung kemeja Zenandra.

Lelaki itu tidak bisa tenang. Zenia sedang berada di ruang ICU. Kata Dokter, luka yang di alami Zenia cukup serius karena adiknya itu mengalami kecelakaan beruntun.

Mobilnya hancur tidak berbentuk. Dan Zenandra tidak bisa dan tidak mau membayangkan keadaan adiknya saat ini. Ia terlalu takut.

Beberapa kali dirinya mondar-mandir hanya untuk memastikan ruangan ICU itu masih tertutup rapat. Berharap Sang Dokter masih dalam usahanya untuk menyelamatkan sang adik.

“Sagam mana?”

“Lobby. Jaga-jaga aja.” Jawab Arka yang sedari tadi diam.

Zenandra hanya ditemani Matthew, Arka, dan Sagam yang berjaga di lobby rumah sakit. Orang tuanya belum sampai karena penerbangannya baru satu jam lagi.

“Keenan udah tau?”

Matthew mengangguk. “Udah gue kabarin. Tapi masih teler.”

“Si anjing emang kalo mabok ga sadar-sadar.” Ucap Arka.

Zenandra hanya diam.

Ia menyesalkan perbuatannya yang menyuruh sang adik untuk segera pulang ke rumah tadi.

Andai saja,

Andai saja dirinya tidak gegabah.

Mungkin saat ini Zenia sedang berada di dalam Bar bersama Keenan.

Setidaknya lebih baik daripada melihat adiknya terbaring di dalam ruang ICU.

“Keluarga pasien?” Ucap Dokter yang baru saja keluar dari ruangan.

Zenandra buru-buru berdiri menghampirinya. “Saya kakaknya.” Tuturnya sedikit gemetar.

“Mohon maaf, kami sudah berusaha, namun Tuhan berkehendak lain.”

Zenia, kamu-

“Waktu kematian pukul sebelas lebih lima puluh menit.”

-anak yang kuat, kan?

flashback bagian dua

___

Zenandra menghela napas gusar ketika mengetahui sang adik berada di sebuah bar yang sebelumnya tidak pernah ia kunjungi.

Dirinya memang kerap kali datang ke bar untuk melepas penat, sehingga ia cukup akrab dengan beberapa orang disana.

Namun tidak kali ini. Sang adik datang ke bar seorang diri, tanpa ia tahu siapa pemilik dan orang yang bekerja di tempat itu. Sehingga Zenan bingung, ia tidak tau harus menghubungi siapa lagi untuk menyuruh adiknya itu pulang.

Akhirnya ia memutuskan untuk mencoba menelepon Zenia lagi.

“Angkat atau gue sita semua cokelat-cokelat lo.” Gumam lelaki itu sembari meremas ponselnya.

Beberapa saat kemudian suara berisik memasuki telinganya. “Apa Kak? Yaampun hape aku tadi jatoh. Kenapa?”

“Pulang.”

Sedangkan disana, sang adik menatap ponselnya keheranan. “Lah? Baru sampe kak?”

“Ya makanya pulang. Sebelum lo masuk ke tempat itu.”

“Ih Kak! Kok tau?!” pekik sang adik.

Zenan memejamkan matanya lelah. “GPS. Udah cepet lo balik.”

“Tapi Kak Ken gimana?”

“Keenan punya banyak temen disana. Buruan balik apa cokelat di kulkas gue sita.”

“Iya iya pulang!” Zenia menggeretu kesal sebelum mematikan teleponnya.

___

Sudah 30 menit Zenandra menunggu kepulangan sang adik di teras rumahnya.

Berkali-kali ia mengecek jam yang melingkar di tangan kirinya. “Awas aja kamu ngibulin abang.”

FYI Zenan sebenernya lebih suka nyebut dirinya Abang, tapi Zenia kadang manggil Kakak karena menurut dia lebih imut.

“Sudah mau jam sebelas, den. Ini pintunya dikunci atau gimana ya?” Tanya Mang Ade penjaga rumah.

Zenandra menggeleng. “Bentar, nunggu Zenia balik.”

Setelah Mang Ade kembali ke tempatnya, Zenan semakin gusar. Pasalnya jarak dari tempat itu ke rumah miliknya tidak terlalu jauh.

Bahkan hanya sepuluh menit jika dilihat dari aplikasi penunjuk jalan yang ia lihat.

Drrrtttt

Ponsel miliknya tiba-tiba berbunyi, menampilkan nama Zenia sebagai peneleponnya.

“Dek, balik. Nunggu apalagi sih?” Serobot Zenan.

Samar-samar terdengar suara teriakan di seberang sana.

“Dek?! Gausah bercanda ya lo, Zenia!” Ia bangkit dari kursi dan berjalan ke dalam rumah.

“Halo?”

Itu suara laki-laki.

“Heh, lo siapa? Anjir balikin HP adek gue.”

“Halo? Mohon maaf dengan keluarga pemilik mobil Audi R7 warna putih dengan plat nomor B 88 ZEN?”

“Iya, itu mobil saya. Gimana ya, Mas?”

“Mohon maaf, Mas. Pengemudi mengalami kecelakaan di simpang dekat La Viéla Bar. Kondisinya kritis dan barusan sudah dibawa ambulance. Ini saya telpon ke nomor Mas karena ada di list panggilan darurat.”

Dan Zenandra merasa dunianya runtuh saat itu juga.

Semesta pasti bercanda, pikirnya.

flashback bagian satu ___

“Mau kemana Dek? Buru-buru banget?”

Zenia yang baru saja menuruni tangga dikejutkan dengan suara sang kakak──Zenandra.

“Adek mau jalan sama Kak Ken.”

Lelaki itu mengecek jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. “Udah jam 9 loh, Dek. Mau jalan kemana? Tukang sate juga udah tutup kali.”

“Duh, Kak.” Adiknya itu nampak gelisah. Terlihat dari raut wajahnya yang begitu kentara. “Sebentar aja, ya? Aku mau night ride doang. Abis itu balik deh.”

Mengingat orang tuanya yang sedang dinas di luar negeri, Zenandra terpaksa harus memberikan izin. Karena jika adiknya itu marah, hanya sang mama yang bisa membujuknya.

“Oke. Jangan kemaleman, ya.”

Gadis itu mengangguk semangat, lantas berlari menuju garasi untuk mengambil mobilnya.

“Bentar, bukannya tadi kamu lagi ngambekan ya?” Tanya sang kakak tentang chat Zenia yang dikirimkan kepadanya tadi siang.

Zenia terseyum malu-malu. “Hehe udah enggak.”

Sesaat setelah gadis itu menyalakan mesin mobilnya, telponnya berdering menampilkan nama Keenan disana.

“Halo Kak!” sapanya riang.

Terdengar suara bising di ujung sana. “Sorry, Zenia? Lo bisa ke La Viéla bar? Keenan mabok parah nih, thanks ya.”

Belum sempat Zenia menjawab, telepon itu sudah mati.

Sebenarnya gadis itu belum pernah dan tidak akan pergi ke bar karena dilarang keras oleh orang tua dan kakaknya.

“Ah gapapa deh, cuman jemput Kak Ken doang. Lagian juga ada temennya disana.” Zenia pun nekat pergi seorang diri ke tempat tersebut.

Sedangkan di kamarnya, Zenandra sedang menghubungi Saham──asisten pribadinya untuk melacak Zenia. Mengingat percakapan terakhirnya dengan Keenan, lelaki itu khawatir sahabatnya akan melapiaskan kekesalannya kepada sang adik.

“Halo, iPad gue ketinggalan di kantor. Tolong pantau Zenia, Gam. Dia bawa R7 yang warna putih tadi.”

“Oke wait.”

Tak berselang lama, sebuah text dari Sagam muncul yang berisi lokasi terkini sang adik beserta mobilnya.

La Viéla Bar

“KEENAN ANJING NGAPAIN NGAJAK ZENIA KESANA?!”

something called miracle

___

“Kak?”

“Hm, kenapa?”

Keduanya sedang duduk di kursi yang menghadap langsung ke air terjun di sisi bukit.

Suaranya begitu tenang sehingga membuat mereka tidak mau beranjak dari sana. Mereka hari ini memakai baju yang sama berwarna putih bersih dan tidak memakai alas kaki.

“Aku mau ngomong deh.”

Pemuda itu mengubah posisi duduknya menghadap seseorang itu. “Yaudah ngomong.”

“Aku selama ini bener-bener ngerasa bersalah, Kak. Kenapa malah Kakak yang dituduh gara-gara kejadian dua tahun lalu. Disini aku nggak tenang karena kepikiran sama Kakak. Padahal kan, ini semua emang udah jalanNya. Jadi karena aku ketemu Kakak disini, aku mau minta maaf, minta maaf karena udah ngebuat Kakak ngerasain ini semua sendirian. Maaf ya Kak, maaf sekali lagi karena udah ingkar janji dan pergi tanpa pamit.”

Pemuda itu tersenyum sembari mengusap surai hitam kecoklatan itu. “Nggak papa, santai aja. Lagian sekarang kan Kakak udah sama kamu.”

“Pulang ya, Kak? Jangan bikin orang lain ngerasain hal yang sama kayak kakak.”

“Maksud kamu?”

“Ditinggal pergi tanpa pamit. Urusan Kakak belum selesai, kan? Masih banyak yang butuh Kakak dan sayang sama Kakak. Jangan pulang sebelum semuanya selesai, Kak.”

Ia menggeleng, “Nggak, ah. Mendingan nemenin kamu disini.”

“Kak, ada yang lebih butuh Kakak daripada aku. Kakak udah lihat kan, disini aku baik-baik aja dan selalu bahagia. Jadi Kakak juga harus bahagia di jalan yang udah ditentukan buat Kakak. Pikirin diri Kakak sendiri, ya? Aku udah bisa jaga diri kok. Buat adek juga, dijagain kak adeknya.”

”....”

“Aku cuma nitip ini aja si kak, aku sayang banget sama Mama, Papa, Kakak. Semoga kalian bahagia dan sehat terus, ya? Seperti aku disini yang selalu bahagia.”

“Ze-

“Oh iya tolong sampein juga kalo aku sayang banget sama dia. Tolong suruh dia berhenti nyalahin orang lain ya, kak? Karena disini nggak ada yang salah.”

Tiba-tiba sebuah cahaya berwarna putih muncul tepat di hadapan mereka.

“Dah sana, kak. Makasih ya udah mampir. Adek sayang banget sama Kakak. Karena aku belum ketemu dan nggak akan bisa ketemu Zenia, aku harap Kakak bisa menjadi sumber kebahagiaan buat keluarga kita kelak ya, Kak.”

“Berhenti nyalahin diri sendiri. Inget, ya, Kakak itu bener-bener orang yang paling baik yang pernah aku kenal. Dan orang baik nggak akan ngelakuin hal yang buruk, aku percaya itu karena aku punya Kakak.”

“Zenia? Kamu mau kemana?.”

“I love you, Kak.”

Semuanya terjadi begitu cepat hingga ia merasakan napasnya begitu sesak ingin dilepaskan.

“Kami permisi dulu ya, mo-

“DOK!”

Mereka semua membulatkan mata tak percaya ketika seseorang yang tadinya sudah terbujur kaku di atas brankar itu perlahan membuka kedua matanya.

“CEPAT BAWA MASUK LAGI KE ICU! CEPAT SUS!”

Ditengah teriakan-teriakan itu, seorang gadis yang sedari tadi selalu berada di samping brankar dingin itu kembali menangis. “Zenandra, sayang, kamu bener-bener takdir Tuhan yang paling baik untuk aku. Di titik paling putus asa pun, Tuhan mengabulkan do'a ku karena orang itu kamu.”

something called miracle

___

“Kak?”

“Hm, kenapa?”

Keduanya sedang duduk di kursi yang menghadap langsung ke air terjun di sisi bukit.

Suaranya begitu tenang sehingga membuat mereka tidak mau beranjak dari sana. Mereka hari ini memakai baju yang sama berwarna putih bersih dan tidak memakai alas kaki.

“Aku mau ngomong deh.”

Pemuda itu mengubah posisi duduknya menghadap seseorang itu. “Yaudah ngomong.”

“Aku selama ini bener-bener ngerasa bersalah, Kak. Kenapa malah Kakak yang dituduh gara-gara kejadian dua tahun lalu. Disini aku nggak tenang karena kepikiran sama Kakak. Padahal kan, ini semua emang udah jalanNya. Jadi karena aku ketemu Kakak disini, aku mau minta maaf, minta maaf karena udah ngebuat Kakak ngerasain ini semua sendirian. Maaf ya Kak, maaf sekali lagi karena udah ingkar janji dan pergi tanpa pamit.”

Pemuda itu tersenyum sembari mengusap surai hitam kecoklatan itu. “Nggak papa, santai aja. Lagian sekarang kan Kakak udah sama kamu.”

“Pulang ya, Kak? Jangan bikin orang lain ngerasain hal yang sama kayak kakak.”

“Maksud kamu?”

“Ditinggal pergi tanpa pamit. Urusan Kakak belum selesai, kan? Masih banyak yang butuh Kakak dan sayang sama Kakak. Jangan pulang sebelum semuanya selesai, Kak.”

Ia menggeleng, “Nggak, ah. Mendingan nemenin kamu disini.”

“Kak, ada yang lebih butuh Kakak daripada aku. Kakak udah lihat kan, disini aku baik-baik aja dan selalu bahagia. Jadi Kakak juga harus bahagia di jalan yang udah ditentukan buat Kakak. Pikirin diri Kakak sendiri, ya? Aku udah bisa jaga diri kok. Buat adek juga, dijagain kak adeknya.”

”....”

“Aku cuma nitip ini aja si kak, aku sayang banget sama Mama, Papa, Kakak. Semoga kalian bahagia dan sehat terus, ya? Seperti aku disini yang selalu bahagia.”

“Ze-

“Oh iya tolong sampein juga kalo aku sayang banget sama dia. Tolong suruh dia berhenti nyalahin orang lain ya, kak? Karena disini nggak ada yang salah.”

Tiba-tiba sebuah cahaya berwarna putih muncul tepat di hadapan mereka.

“Dah sana, kak. Makasih ya udah mampir. Adek sayang banget sama Kakak. Karena aku belum ketemu dan nggak akan bisa ketemu Zenia, aku harap Kakak bisa menjadi sumber kebahagiaan buat keluarga kita kelak ya, Kak.”

“Berhenti nyalahin diri sendiri. Inget, ya, Kakak itu bener-bener orang yang paling baik yang pernah aku kenal. Dan orang baik nggak akan ngelakuin hal yang buruk, aku percaya itu karena aku punya Kakak.”

“Zenia? Kamu mau kemana?.”

“I love you, Kak.”

Semuanya terjadi begitu cepat hingga ia merasakan napasnya begitu sesak ingin dilepaskan.

“Kami permisi dulu ya, mo-

“DOK!”

Mereka semua membulatkan mata tak percaya ketika seseorang yang tadinya sudah terbujur kaku di atas brankar itu perlahan membuka kedua matanya.

“CEPAT BAWA MASUK LAGI KE ICU! CEPAT SUS!”

Ditengah teriakan-teriakan itu, seorang gadis yang sedari tadi selalu berada di samping brankar dingin itu kembali menangis. “Zenandra, sayang, kamu bener-bener takdir Tuhan yang paling baik untuk aku. Karena di titik paling putus asa pun, Tuhan mengabulkan do'a ku karena itu kamu.”

something called miracle

___

“Kak?”

“Hm, kenapa?”

Keduanya sedang duduk di kursi yang menghadap langsung ke air terjun di sisi bukit.

Suaranya begitu tenang sehingga membuat mereka tidak mau beranjak dari sana. Mereka hari ini memakai baju yang sama berwarna putih bersih dan tidak memakai alas kaki.

“Aku mau ngomong deh.”

Pemuda itu mengubah posisi duduknya menghadap seseorang itu. “Yaudah ngomong.”

“Aku selama ini bener-bener ngerasa bersalah, Kak. Kenapa malah Kakak yang dituduh gara-gara kejadian dua tahun lalu. Disini aku nggak tenang karena kepikiran sama Kakak. Padahal kan, ini semua emang udah jalanNya. Jadi karena aku ketemu Kakak disini, aku mau minta maaf, minta maaf karena udah ngebuat Kakak ngerasain ini semua sendirian. Maaf ya Kak, maaf sekali lagi karena udah ingkar janji dan pergi tanpa pamit.”

Pemuda itu tersenyum sembari mengusap surai hitam kecoklatan itu. “Nggak papa, santai aja. Lagian sekarang kan Kakak udah sama kamu.”

“Pulang ya, Kak? Jangan bikin orang lain ngerasain hal yang sama kayak kakak.”

“Maksud kamu?”

“Ditinggal pergi tanpa pamit. Urusan Kakak belum selesai, kan? Masih banyak yang butuh Kakak dan sayang sama Kakak. Jangan pulang sebelum semuanya selesai, Kak.”

Ia menggeleng, “Nggak, ah. Mendingan nemenin kamu disini.”

“Kak, ada yang lebih butuh Kakak daripada aku. Kakak udah lihat kan, disini aku baik-baik aja dan selalu bahagia. Jadi Kakak juga harus bahagia di jalan yang udah ditentukan buat Kakak. Pikirin diri Kakak sendiri, ya? Aku udah bisa jaga diri kok. Buat adek juga, dijagain kak adeknya.”

”....”

“Aku cuma nitip ini aja si kak, aku sayang banget sama Mama, Papa, Kakak. Semoga kalian bahagia dan sehat terus, ya? Seperti aku disini yang selalu bahagia.”

“Ze-

“Oh iya tolong sampein juga kalo aku sayang banget sama dia. Tolong suruh dia berhenti nyalahin orang lain ya, kak? Karena disini nggak ada yang salah.”

Tiba-tiba sebuah cahaya berwarna putih muncul tepat di hadapan mereka.

“Dah sana, kak. Makasih ya udah mampir. Adek sayang banget sama Kakak. Karena aku belum ketemu dan nggak akan bisa ketemu Zenia, aku harap Kakak bisa menjadi sumber kebahagiaan buat keluarga kita kelak ya, Kak.”

“Berhenti nyalahin diri sendiri. Inget, ya, Kakak itu bener-bener orang yang paling baik yang pernah aku kenal. Dan orang baik nggak akan ngelakuin hal yang buruk, aku percaya itu karena aku punya Kakak.”

“Zenia? Kamu mau kemana?.”

“I love you, Kak.”

Semuanya terjadi begitu cepat hingga ia merasakan napasnya begitu sesak ingin dilepaskan.

“Kami permisi dulu ya, mo-

“DOK!”

Mereka semua membulatkan mata tak percaya ketika seseorang yang tadinya sudah terbujur kaku di atas brankar itu perlahan membuka kedua matanya.

“CEPAT BAWA MASUK LAGI KE ICU! CEPAT SUS!”

Ditengah teriakan-teriakan itu, seorang gadis yang sedari tadi selalu berada di samping brankar dingin itu kembali menangis. “Zenandra, sayang, kamu bener-bener takdir Tuhan yang paling baik untuk aku.”

something called miracle

___

“Kak?”

“Hm, kenapa?”

Keduanya sedang duduk di kursi yang menghadap langsung ke air terjun di sisi bukit.

Suaranya begitu tenang sehingga membuat mereka tidak mau beranjak dari sana. Mereka hari ini memakai baju yang sama berwarna putih bersih dan tidak memakai alas kaki.

“Aku mau ngomong deh.”

Pemuda itu mengubah posisi duduknya menghadap seseorang itu. “Yaudah ngomong.”

“Aku selama ini bener-bener ngerasa bersalah, Kak. Kenapa malah Kakak yang dituduh gara-gara kejadian dua tahun lalu. Disini aku nggak tenang karena kepikiran sama Kakak. Padahal kan, ini semua emang udah jalanNya. Jadi karena aku ketemu Kakak disini, aku mau minta maaf, minta maaf karena udah ngebuat Kakak ngerasain ini semua sendirian. Maaf ya Kak, maaf sekali lagi karena udah ingkar janji dan pergi tanpa pamit.”

Pemuda itu tersenyum sembari mengusap surai hitam kecoklatan itu. “Nggak papa, santai aja. Lagian sekarang kan Kakak udah sama kamu.”

“Pulang ya, Kak? Jangan bikin orang lain ngerasain hal yang sama kayak kakak.”

“Maksud kamu?”

“Ditinggal pergi tanpa pamit. Urusan Kakak belum selesai, kan? Masih banyak yang butuh Kakak dan sayang sama Kakak. Jangan pulang sebelum semuanya selesai, Kak.”

Ia menggeleng, “Nggak, ah. Mendingan nemenin kamu disini.”

“Kak, ada yang lebih butuh Kakak daripada aku. Kakak udah lihat kan, disini aku baik-baik aja dan selalu bahagia. Jadi Kakak juga harus bahagia di jalan yang udah ditentukan buat Kakak. Pikirin diri Kakak sendiri, ya? Aku udah bisa jaga diri kok. Buat adek juga, dijagain kak adeknya.”

”....”

“Aku cuma nitip ini aja si kak, aku sayang banget sama Mama, Papa, Kakak. Semoga kalian bahagia dan sehat terus, ya? Seperti aku disini yang selalu bahagia.”

“Ze-

“Oh iya tolong sampein juga kalo aku sayang banget sama dia. Tolong suruh dia berhenti nyalahin orang lain ya, kak? Karena disini nggak ada yang salah.”

Tiba-tiba sebuah cahaya berwarna putih muncul tepat di hadapan mereka.

“Dah sana, kak. Makasih ya udah mampir. Adek sayang banget sama Kakak. Karena aku belum ketemu dan nggak akan bisa ketemu Zenia, aku harap Kakak bisa menjadi sumber kebahagiaan buat keluarga kita kelak ya, Kak.”

“Berhenti nyalahin diri sendiri. Inget, ya, Kakak itu bener-bener orang yang paling baik yang pernah aku kenal. Dan orang baik nggak akan ngelakuin hal yang buruk, aku percaya itu karena aku punya Kakak.”

“Sayang kakak.”

Semuanya terjadi begitu cepat hingga ia merasakan napasnya begitu sesak ingin dilepaskan.

“Kami permisi dulu ya, mo-

“DOK!”

Mereka semua membulatkan mata tak percaya ketika seseorang yang tadinya sudah terbujur kaku di atas brankar itu perlahan membuka kedua matanya.

“CEPAT BAWA MASUK LAGI KE ICU! CEPAT SUS!”

Ditengah teriakan-teriakan itu, seorang gadis yang sedari tadi selalu berada di samping brankar dingin itu kembali menangis. “Zenandra, sayang, kamu bener-bener takdir Tuhan yang paling baik untuk aku.”

something called miracle

___

“Kak?”

“Hm, kenapa?”

Keduanya sedang duduk di kursi yang menghadap langsung ke air terjun di sisi bukit.

Suaranya begitu tenang sehingga membuat mereka tidak mau beranjak dari sana. Mereka hari ini memakai baju yang sama berwarna putih bersih dan tidak memakai alas kaki.

“Aku mau ngomong deh.”

Pemuda itu mengubah posisi duduknya menghadap seseorang itu. “Yaudah ngomong.”

“Aku selama ini bener-bener ngerasa bersalah, Kak. Kenapa malah Kakak yang dituduh gara-gara kejadian dua tahun lalu. Disini aku nggak tenang karena kepikiran sama Kakak. Padahal kan, ini semua emang udah jalanNya. Jadi karena aku ketemu Kakak disini, aku mau minta maaf, minta maaf karena udah ngebuat Kakak ngerasain ini semua sendirian. Maaf ya Kak, maaf sekali lagi karena udah ingkar janji dan pergi tanpa pamit.”

Pemuda itu tersenyum sembari mengusap surai hitam kecoklatan itu. “Nggak papa, santai aja. Lagian sekarang kan Kakak udah sama kamu.”

“Pulang ya, Kak? Jangan bikin orang lain ngerasain hal yang sama kayak kakak.”

“Maksud kamu?”

“Ditinggal pergi tanpa pamit. Urusan Kakak belum selesai, kan? Masih banyak yang butuh Kakak dan sayang sama Kakak. Jangan pulang sebelum semuanya selesai, Kak.”

Ia menggeleng, “Nggak, ah. Mendingan nemenin kamu disini.”

“Kak, ada yang lebih butuh Kakak daripada aku. Kakak udah lihat kan, disini aku baik-baik aja dan selalu bahagia. Jadi Kakak juga harus bahagia di jalan yang udah ditentukan buat Kakak. Pikirin diri Kakak sendiri, ya? Aku udah bisa jaga diri kok. Buat adek juga, dijagain kak adeknya.”

”....”

“Aku cuma nitip ini aja si kak, aku sayang banget sama Mama, Papa, Kakak. Semoga kalian bahagia dan sehat terus, ya? Seperti aku disini yang selalu bahagia.”

*“Ze-

*“Oh iya tolong sampein juga kalo aku sayang banget sama dia. Tolong suruh dia berhenti nyalahin orang lain ya, kak? Karena disini nggak ada yang salah.”*

Tiba-tiba sebuah cahaya berwarna putih muncul tepat di hadapan mereka.

“Dah sana, kak. Makasih ya udah mampir. Adek sayang banget sama Kakak. Karena aku belum ketemu dan nggak akan bisa ketemu Zenia, aku harap Kakak bisa menjadi sumber kebahagiaan buat keluarga kita kelak ya, Kak.”

“Berhenti nyalahin diri sendiri. Inget, ya, Kakak itu bener-bener orang yang paling baik yang pernah aku kenal. Dan orang baik nggak akan ngelakuin hal yang buruk, aku percaya itu karena aku punya Kakak.”

“Sayang kakak.”

Semuanya terjadi begitu cepat hingga ia merasakan napasnya begitu sesak ingin dilepaskan.

“Kami permisi dulu ya, mo-

“DOK!”

Mereka semua membulatkan mata tak percaya ketika seseorang yang tadinya sudah terbujur kaku di atas brankar itu perlahan membuka kedua matanya.

“CEPAT BAWA MASUK LAGI KE ICU! CEPAT SUS!”

Ditengah teriakan-teriakan itu, seorang gadis yang sedari tadi selalu berada di samping brankar dingin itu kembali menangis. “Zenandra, sayang, kamu bener-bener takdir Tuhan yang paling baik untuk aku.”

something called miracle

___

“Kak?”

“Hm, kenapa?”

Keduanya sedang duduk di kursi yang menghadap langsung ke air terjun di sisi bukit.

Suaranya begitu tenang sehingga membuat mereka tidak mau beranjak dari sana. Mereka hari ini memakai baju yang sama berwarna putih bersih dan tidak memakai alas kaki.

“Aku mau ngomong deh.”

Pemuda itu mengubah posisi duduknya menghadap seseorang itu. “Yaudah ngomong.”

“Aku selama ini bener-bener ngerasa bersalah, Kak. Kenapa malah Kakak yang dituduh gara-gara kejadian dua tahun lalu. Disini aku nggak tenang karena kepikiran sama Kakak. Padahal kan, ini semua emang udah jalanNya. Jadi karena aku ketemu Kakak disini, aku mau minta maaf, minta maaf karena udah ngebuat Kakak ngerasain ini semua sendirian. Maaf ya Kak, maaf sekali lagi karena udah ingkar janji dan pergi tanpa pamit.”

Pemuda itu tersenyum sembari mengusap surai hitam kecoklatan itu. “Nggak papa, santai aja. Lagian sekarang kan Kakak udah sama kamu.”

“Pulang ya, Kak? Jangan bikin orang lain ngerasain hal yang sama kayak kakak.”

“Maksud kamu?”

“Ditinggal pergi tanpa pamit. Urusan Kakak belum selesai, kan? Masih banyak yang butuh Kakak dan sayang sama Kakak. Jangan pulang sebelum semuanya selesai, Kak.”

Ia menggeleng, “Nggak, ah. Mendingan nemenin kamu disini.”

“Kak, ada yang lebih butuh Kakak daripada aku. Kakak udah lihat kan, disini aku baik-baik aja dan selalu bahagia. Jadi Kakak juga harus bahagia di jalan yang udah ditentukan buat Kakak. Pikirin diri Kakak sendiri, ya? Aku udah bisa jaga diri kok. Buat adek juga, dijagain kak adeknya.”

”....”

“Aku cuma nitip ini aja si kak, aku sayang banget sama Mama, Papa, Kakak. Semoga kalian bahagia dan sehat terus, ya? Seperti aku disini yang selalu bahagia.”

*“Ze-

*“Oh iya tolong sampein juga kalo aku sayang banget sama dia. Tolong suruh dia berhenti nyalahin orang lain ya, kak? Karena disini nggak ada yang salah.”*

Tiba-tiba sebuah cahaya berwarna putih muncul tepat di hadapan mereka.

“Dah sana, kak. Makasih ya udah mampir. Adek sayang banget sama Kakak. Karena aku belum ketemu dan nggak akan bisa ketemu Zenia, aku harap Kakak bisa menjadi sumber kebahagiaan buat keluarga kita kelak ya, Kak.”

“Berhenti nyalahin diri sendiri. Inget, ya, Kakak itu bener-bener orang yang paling baik yang pernah aku kenal. Dan orang baik nggak akan ngelakuin hal yang buruk, aku percaya itu karena aku punya Kakak.”

“Sayang kakak.”

Semuanya terjadi begitu cepat hingga ia merasakan napasnya begitu sesak ingin dilepaskan.

“Kami permisi dulu ya, mo-

“DOK!”

Mereka semua membulatkan mata tak percaya ketika seseorang yang tadinya sudah terbujur kaku di atas brankar itu perlahan membuka kedua matanya.

“CEPAT BAWA MASUK LAGI KE ICU! CEPAT SUS!”

Ditengah teriakan-teriakan itu, seorang gadis yang sedari tadi selalu berada di samping brankar dingin itu kembali menangis. “Zenandra, sayang, kamu bener-bener takdir Tuhan yang paling baik untuk aku.”

Sorry

___

“Sus, minta tolong ini di cek ya, kalo masih belum stabil juga kita hubungi Prof. Adnan. Harusnya nggak gini kok karna tadi langsung ditangani di UGD.”

“Noted, Dok.”

“Ya sudah, saya hubungi keluarga pasien dulu ya. Kalian tetep stand by, jangan ke mana-mana, jangan di tinggal pokoknya, ini darurat.”

Sedangkan ia yang terbaring lemah di brankar ICU hanya bisa mendengar suara-suara itu tanpa bisa membuka kedua matanya. Tangan dan kakinya pun rasanya tidak bisa di gerakkan.

Lima menit setelahnya, ia merasakan seseorang yang lain berjalan mendekatinya. Suara-suara yang ia dengar tadi lambat laun menghilang, digantikan oleh suara seseorang yang terdengar sedikit serak dan lirih.

“Kenapa? Kenapa kamu ngelakuin ini coba? Aku udah bilang, kamu nggak perlu kayagini.”

“Nggak, maaf. Aku nggak lagi nyalahin kamu. Aku tau kamu cuman mau ngelindungin aku. Tapi nggak dengan cara ini, sayang.”

“Udah tiga jam dan kamu belum sadar. Bahkan nggak ada tanda-tanda kamu mau bangun. Ayo, bangun ya?”

“Ya Tuhan, aku bingung harus gimana lagi. Bener-bener nggak bisa ngomong apa-apa lagi liat kamu dengan keadaan kaya gini pake mata kepalaku sendiri. Nggak bisa, jujur aku nggak bisa.”

Tiba-tiba dadanya sesak, serasa ingin menangis, tetapi ia tidak bisa.

“Sayang? Kenapa? Kok nafasnya gitu? Jangan bercanda ya?! Ayo bangun, nggak kamu nggak boleh kenapa-kenapa.”

“Nggak lucu, sumpah. Aku tau kamu denger, kan? Ayo bangun. Jangan kaya gini please.”

Tepat setelah ia merasa lengannya diguncang berkali-kali, dirinya benar-benar kehilangan kesadaran. Suara-suara yang tadi ia dengar hilang, semuanya gelap.

“Dok-

Suara nyaring yang panjang tiba-tiba terdengar begitu nyaring di telinga. Suara yang tidak seorang pun berharap untuk mendengarnya.

“Sorry, we can't save him.”