Jaemren Oneshot AU~
Homesick
Tags: Office Life
CW // hurt-comfort , harshwords , toxic office , toxic friends , verbal abuse , mention of break up
Teman-teman Jaemin selalu mempertanyakan kenapa dirinya yang punya sifat gampang berbaur dengan sekitar, bisa berpacaran dengan Renjun.
“Boleh taruhan gak? Jaemin sama Renjun gak bakalan tahan lama” Haechan yang mulutnya paling julid, memberi pendapat.
Jaemin awalnya menyeruput Oreo Frappuccino dengan khidmat, mengalihkan atensinya pada Haechan, “jaga mulut sampah lo itu.”
“Gimana mau tahan lama kalau Renjun aja gak bisa bergaul sama kita-kita. Dimana-mana tuh ya, biar hubungan langgeng, harus dekat sama temen pacarnya juga! Biar kita tau aslinya Renjun gimana”
“Gak mutlak harus begitu! Karakter manusia kan beda-beda!”
“Udah dong bro. Kenapa malah berantem sih? Kita ngumpul niatnya mau having fun kan? Jangan karena ngebahas orang yang bahkan kehadirannya gak ada, jadi bikin kita gak nyaman” Mark, yang lebih tua di perkumpulan itu memberi nasihat pada yang lebih muda.
“Harusnya lo mikir juga Jaem. Renjun tuh sekalipun emang gak pernah mau ikutan nongkrong sama kita-kita. Alasannya ada aja. Sibuk banget pacar lo emangnya?”
“Chan!” Mark mengingatkan dengan nada lumayan tinggi.
Pertemuan sore itu sedikit dihiasi drama adu mulut ala laki-laki. Namun berhasil buat Jaemin kepikiran satu hal; iya juga. Renjun selalu nolak kalau aku ajak main sama anak-anak yang lain. Kenapa ya?”
“Ren, besok ikut aku yuk. Kita mau ngumpul nih di kafe”
“Kita?”
“Iya. Aku sama anak-anak kantor.”
“Ngga deh Jaem. Kamu aja. Aku ngga ikut ya” Renjun menjawab lirih.
Jaemin menenangkan pikirannya yang mulai diisi dengan hal-hal aneh. “Sekali aja, Ren. Haechan sama yang lain pengen ketemu kamu.”
“Nggak dulu. Aku ngga bisa”
Satu tangan Jaemin memijat pelipisnya yang mendadak sakit. “Kenapa?”
“Kenapa apanya?”
“Kenapa kamu gak pernah mau ikut kalau aku ajak? Kamu gak suka sama teman-teman aku?”
Renjun tersentak mendengar ucapan Jaemin barusan. Ia tak habis pikir kenapa pacarnya bisa berpikiran seperti itu. “Kamu kok ngomongnya ngelantur sih? Emang aku pernah ngomong begitu sama kamu?”
“Hhh. Nggak, tapi akunya penasaran. Sekarang jawab kenapa kamu nggak mau?”
Renjun terdiam. Sebenarnya ia memang memiliki alasan khusus, tapi belum berani mengemukakannya pada Jaemin.
Bukan akunya gak suka sama teman-teman kamu, tapi aku khawatir nggak bisa ngikutin pembicaraan kalian. Kalian bahas apa, akunya gak paham. Belum lagi, suara aku juga kecil. Akunya gak gampang ngobrol sama orang-orang baru, Jaem.
“Yaudah. Aku ikut. Besok kan?”
“Naah gitu dong sayang. Itu baru pacar Na Jaemin namanya”
Benar adanya yang Renjun pikirkan. Ia tak bisa mengikuti arah pembicaraan Jaemin dan teman-temannya. Bukannya tak pernah mencoba sekalipun untuk ikut berinteraksi, tapi dianggap angin lalu. Mereka membahas tentang pekerjaan masing-masing yang memiliki latar belakang akuntansi, sedangkan Renjun tak memahaminya karena pekerjaannya adalah guru Bahasa Indonesia di salah satu SMA.
“Marketing tuh ya, kerjanya minta uang terus. Giliran ditanya laporan pertanggungjawaban sama nota transaksi gak dikasih-kasih. Dibilang hilang lah, gak ada lah. Kan finance yang capek ngurusnya”
“Setuju! Orang lapangan juga sama aja. Finance minta rincian duit operasional karena ditanyain direksi, dikatain gak percaya. Disuruh kerja sendiri. Ya gw cuma jalanin perintah atasan, bukannya mengada-ada. Ckck” Haechan yang paling sibuk bercerita.
Renjun hanya bisa mengangguk. Sekalian mendalami. Tangannya sibuk mengetik di Google search mengenai rincian pekerjaan divisi finance yang sedang dibahas di pertemuan sore ini.
“Renjun kok diam aja?” tanya Mark sembari mengunyah kukisnya.
“Iya nih. Malah sibuk liat hp. Kenapa?” Haechan turut menimpali.
“Ah engga kok. Cuma liat-liat aja. Pengen nyari tau keluh kesah kalau kerja di bidang keuangan tuh gimana” jawab Renjun kalem.
“Kamu keluh kesahnya gimana di sekolah, Sayang?” tanya Jaemin lembut.
“Ooh aku? Em— ya gitu. Anak-anaknya tuh ada yang bandel, gak mau diatur—”
“Oh gitu. Sabar ya. Eh Jaem, gw denger di perusahaan vendor banyak yang resign itu kenapa kira-kira?” Haechan memutus kalimat Renjun tanpa aba-aba.
Pertemuan selanjutnya, Renjun masih mencoba untuk mengikuti ajakan Jaemin, kekasihnya.
“Handphone gw jatuh, layarnya retak. Kesel gw. Pengen ganti aja. Gak nyaman”
“Yaudah sih, Chan. Tinggal ganti aja kok repot”
“Bingung mau pilih iPhone aja atau android. Tapi gw pengen nyoba Galaxy Z Fold3 yang bisa split screen.”
“Ya beli sana”
“Ntar pulang kantor gw liat-liat dulu. Oh ya kalau guru tuh jarang kerja pakai handphone kan, Ren? Kalau finance biasanya perlu komunikasi sama kustomer, vendor, pihak ketiga. Guru sebatas interaksi sama murid di sekolah aja kan???” Haechan masih bertanya, tapi matanya tak langsung bertatapan dengan Renjun, melainkan sibuk dengan handphonenya sendiri.
“Delapan puluh persen memang interaksi langsung ke siswa-siswi. Ke sesama guru untuk bikin silabus aja palingan”
“Tetap aja ada ribetnya ya sayang” Jaemin mengeratkan tangannya pada tangan Renjun.
“Gampang berarti kerjanya. Oh ya guys, gw dengar info kalau direksi perusahaan—” Haechan melanjutkan kembali pembicaraannya dengan yang lain.
Gampang... Padahal ngajar anak-anak itu bikin habis energi. Ya mungkin pekerjaan mereka memang lebih tinggi tekanannya kali... Renjun berkata pada dirinya sendiri. Ia aduk-aduk lemon tea yang dipesannya dengan tatapan sendu mengarah pada kekasihnya yang malah fokus pada dirinya, bukan mendengar Haechan berbicara.
Beberapa waktu setelahnya, lagi-lagi Jaemin mengajak Renjun untuk join di acara gathering kantornya. Tiap karyawan diperbolehkan membawa maksimal 5 orang guna meramaikan perlombaan yang turut diadakan.
“Dress codenya warna putih, Ren. Kamu punya kan sayang?”
“Punya. Tapi apa aku wajib ikut, Jaem? Teman-teman kamu yang lain gimana? Mereka bawa keluarga inti semua”
“Ya emangnya kenapa kalau aku ajak kamu?”
“Aku ngga enak aja. Soalnya itu acara kantor kamu”
“Ikut aja. Kan gak ada larangan mau bawa siapa. Biar orang-orang tau kalau kamu itu kebanggaan aku”
“Hum yaudah kalau gitu”
“Pak Jaemin kok bisa sih sukanya sama guru? Padahal gaji guru juga gak seberapa”
“Liat tuh, stylenya Pak Renjun B aja. Keliatan banget pakaiannya gak bermerk”
“Divisi lain banyak yang senang sama Pak Jaemin, eeh malah bapaknya kecantol sama yang biasa aja”
Renjun saat itu sedang mengambil minuman untuknya dan Jaemin. Ia juga mengambil beberapa cemilan yang akan dibawa ke meja tempat di mana dirinya, kekasihnya, beserta rekan kantor Jaemin yang lain turut berkumpul. Posisi duduk mereka semua ada dibalik tenda.
Awalnya Renjun hanya fokus membawa apa yang dipegangnya, semakin dekat ke arah kursi, percakapan heboh yang ia yakin ditujukan untuk dirinya membuatnya terdiam di tempat.
“Justru saya memang suka Renjun karena apa adanya. Saya gak pernah mempermasalahkan apapun style yang dipakainya, asalkan itu sopan dan menjaga harkat martabatnya. Lagian, gak ada salahnya kok suka sama guru. Renjun itu manis” jawab Jaemin dengan nada bangga.
“Tapi Renjun gak matching sama elo, Jaem. Lo bisa dapat yang lebih baik” Haechan menggebu-gebu. “Dari awal gw kurang sreg sih sama dia. Banyakan diamnya.”
BRAK!
“Yang pacaran gw atau elo sebenarnya, Chan!”
Semua yang dipegang Renjun pun tumpah seketika. Dirinya kaget mendengar bantingan di meja yang ia yakin berasal dari Jaemin.
“Yang jalanin hubungan ini gw sama Renjun! Bukan elo ataupun kalian! Gw yang tau baik buruknya Renjun. Gw juga yang milih Renjun dan lo semua gak berpartisipasi di dalamnya. So, shut up!” Jaemin segera meninggalkan rekan kantornya dan berniat menyusul Renjun yang tanpa disadarinya sudah berada dibalik tenda sembari menatap semua yang tumpah di lantai.
“Renjun?”
“Jaem...”
“Kenapa ini? Kok bisa jatuh semua?” tanya Jaemin keheranan.
Renjun di hadapan kekasihnya itu sibuk menahan air mata, yang akhirnya tumpah juga. Ia menangis tanpa mengeluarkan suara. Jenis tangisan yang paling menyakitkan, karena tak ingin sekelilingnya tau.
“Ren... Astaga sayang...” Jaemin langsung merengkuh Renjun dalam pelukannya. Ia tak biarkan yang lain melihat Renjun dalam kondisi sedang menangis. “Kamu mau kita pulang aja? Atau mampir ke tempat lain”
Belum ada jawaban.
“Aku bawa kamu ke parkiran mobil ya sambil pelukan. Kita pergi dari sini”
Tujuan mereka berdua berakhir di salah satu pantai yang sepi pengunjung. Jaemin sengaja membawa Renjun ke tempat sepi guna menenangkan dirinya yang tadi emosi, juga menanyakan alasan mengapa kekasihnya itu menangis.
“Jaem, apa kita putus aja ya?” Renjun menatap kosong ke depannya.
“Heh kok gitu? Kenapa?”
“Aku malu sama teman-teman kamu. Profesi aku cuma guru, sedangkan kamu? Pekerja kantoran” jawab Renjun lirih.
“Justru aku yang malu. Punya rekan tapi otaknya pada nggak dipakai semua”
“Tapi mereka benar, Jaem”
“Enggak. Justru nggak benar kalau mereka mendiskreditkan profesi kamu tanpa tau seluk beluk di dalamnya gimana”
Renjun menunduk. Jaemin menatap kekasihnya dalam diam.
“Maafin aku, Ren. Harusnya aku ngertiin kamu, ngikutin maunya kamu, paham kenapa kamu nggak mau ikutan tiap aku ajak gabung sama mereka. Nyatanya emang rekan kantorku yang toxic.”
“Engg—”
“Sssh udah. Aku nggak bakal lagi ikut sama mereka. Juga ngga mau terlalu dekat. Terkadang, orang-orang yang udah kita anggap dekat, justru bisa bikin kita down di saat bersamaan tanpa mikir efek yang terjadi setelahnya” telunjuk Jaemin kini berada di bibir Renjun. “Kamu nggak usah mikirin omongan mereka lagi. Akunya nyaman sama kamu. Itu cukup buat aku. Udah ya sayang. Maaf udah bikin hari kamu jadi buruk.”
Hati Renjun sesak. Bukan sesak karena sedih ataupun kecewa dengan kalimat Jaemin, justru karena tak percaya bahwa kekasihnya jauh lebih dewasa dalam berpikir dibandingkan dengan dirinya. Renjun terlalu gampang menilai rendah valuenya sendiri. Juga terlalu memikirkan apa kata orang lain tentang dirinya, padahal di hadapannya ada Jaemin yang siap merangkulnya, membelanya dan jadi garda terdepan untuk mengasihinya.
©Kalriesa🦋