Jaemren Oneshot AU~
Growing till?
Tags: college life CW // hurt comfort , one sided love
Sikut menyikut di dunia perkuliahan sudah jadi barang biasa. Bermuka dua dengan dosen, memiliki circle khusus, atau melakukan segala sesuatunya sendiri adalah pilihan masing-masing mahasiswa. Tinggal tentukan nyamannya ada di mana. Asalkan indeks prestasi kumulatifnya memuaskan, keluarga sudah pasti aman di tangan.
Ketika mahasiswa di luar sana hanya bisa memilih tiga opsi dari yang disebutkan di atas, lain halnya dengan Jaemin dan Renjun. Mereka ambil jalan berbeda demi kelancaran perkuliahan sampai tahap akhir alias wisuda; berpacaran demi mencapai target IPK yang sudah ditentukan dan setelahnya? Selesai begitu saja.
Apakah mereka libatkan perasaan di dalamnya? Tiada jawaban pasti. Yang jelas, ketika target sudah diraih, mereka harus saling melepaskan satu dengan lainnya.
“Gimana makul akuntansi biayanya?” Jaemin bertanya di ujung ponselnya.
Renjun menghela nafas berat, “Susah. Aku gak paham sama sekali.”
“Pulang kuliah aku ajarin. Kita ke Pustaka Wilayah ya” tanggap Jaemin halus.
“Emang kamunya ngga sibuk?”
“Engga kok. See you later, Ren.”
Percakapan di atas sudah biasa terjadi di antara Jaemin dan Renjun. Jika salah satu dari mereka mengalami kesulitan di mata kuliah tertentu, maka yang lain siap sedia membantu mengajarkan pasangan sementaranya sampai bisa.
“Kamu gimana keadaannya? Udah turun belum demamnya?” tanya Renjun dengan nada khawatir.
“Tadi udah minum obat, tapi suhu tubuh aku naik lagi. Uhukk”
“Kamu udah ngga masuk dua hari. Aku tanya sama teman sekelas kamu, katanya ada tugas buat makalah Pengantar Bisnis II ya?”
“Iya. Aku udah coba cicil kerjainnya. Tapi gak maksimal”
“Kirim aja yang udah kamu bikin. Biar aku cek. Besok dikumpulnya kan?”
“Iya”
“Nanti aku print tugas kamu sekalian titip ke Jeno. Jadi nilai kamu tetap ada”
“Makasih banyak ya, Ren”
“Do not mention it.”
Tiap akhir semester, Jaemin dan Renjun pasti saling bertukar info berapa IP yang mereka dapatkan.
“IP aku 4. Kamu?” Jaemin bertanya pada lelaki berzodiak Aries di depannya.
“3,98” jawab Renjun tenang.
Jaemin tersenyum. Menurut Renjun, itu adalah senyuman indah yang Jaemin punya. Sedetik kemudian surainya diusak-usak kecil tapi tetap berantakan. Sayangnya bukan hanya surai Renjun saja yang berantakan, hatinya juga.
“Yeu pacaran molo couple pintar” Haechan melewati Jaemin dan Renjun yang sedang duduk di pinggir lorong A jurusannya.
“Gw kira ada adegan saling mengkoreksi tugas masing-masing atau hafalan kayak yang dulu-dulu” Jeno yang berada di samping Haechan memberikan kalimat sarkasnya.
“Apa yang dikoreksi coba? Kan kita baru terima hasil semester 4” jawab Jaemin cepat.
“Tau deh yang IP nya 4. Calon-calon cumlaude” Jeno mencibir.
“Si Renjun juga sama aja. IP 3,98. Palingan berdua sesama cumlaude pas wisuda” Haechan sedang dalam mode membayangkan.
Jaemin hanya tertawa, sedangkan Renjun tersenyum tipis.
“Bangga banget pasti tiba wisuda ortunya Jaemin-Renjun datang. Foto bareng ada slempang cumlaudenya. Gak kuat gw membayangkannya” Haechan bergidik ngeri.
“Gak usah lo bayangin. Soalnya otak lo gak bakalan sampai ke sana. Dah yuk cabut. Duluan Jaem-Ren” Jeno dan Haechan berlalu.
Jaemin di pikirannya hanya berfokus dengan ucapan Haechan tentang predikat cumlaude yang bisa dirinya peroleh nanti. Sedangkan Renjun malah memikirkan kalimat Haechan tentang wisuda dan foto bareng bersama orang tua Jaemin.
“Aku bakal magang di Chevron, sambil ngumpulin data untuk skripsi, Ren. Kamu gimana?”
“Skripsi aku tentang pajak. Jadi aku magang di kantor pajak sekalian sebar kuisioner”
“Ntar kita olah data untuk bab IV nya barengan aja. Aku udah download SPSS. Biar gak ribet. Kamu pakai laptop aku juga”
“Okee” Renjun mengangguk kecil.
Tiba-tiba lelaki yang posturnya lebih kecil dibandikan Jaemin ini terpikirkan sesuatu.
“Setelah wisuda kamu mau ke mana?”
“Aku? Langsung lanjut S2. Kamu?”
“Antara kerja dulu atau ambil Pendidikan Profesi Akuntansi”
Jaemin mengangguk kecil menerima jawaban Renjun.
“Berarti kita langsung fokus ke tujuan masing-masing setelah wisuda S1 ya. Semoga kamu sukses, Ren. Makannya kita harus maksimal di skripsi ini, biar sama-sama dapat A. Jadi kita bisa cumlaude berdua” Jaemin pamerkan gigi putihnya yang malah buat Renjun tertohok dengan kalimatnya barusan.
“So we're not gonna communicate again after that?” tanya Renjun hati-hati.
“That yang kamu maksud setelah wisuda nanti?”
“Iya”
“Tentu. Kan tujuan kita pacaran sementara cuma untuk support system selama kuliah” jawab Jaemin tegas.
Jleb moment.
Salah Renjun menanyakan hal seperti itu pada Jaemin. Lelaki berzodiak Leo itu tetap pada niat dan tujuannya sedari awal, sedangkan dirinya? Sudah mulai terkikis sedikit demi sedikit karena hatinya terkontaminasi segala afeksi yang Jaemin berikan walau hanya sekedar support system belaka.
Tak bisa Renjun pungkiri, kalimat yang Jaemin sampaikan buatnya tak bisa tidur. Renjun sadar, sejauh apapun dirinya berharap untuk melanjutkan pacaran sementara mereka ke jenjang yang lebih jelas dan serius hanya akan jadi mimpi belaka. Dirinya mulai tak bisa fokus kerjakan skripsi. Pikirnya, lebih baik putuskan saja hubungan yang ada sekarang dibandingkan dirinya semakin jatuh sampai tak bisa bangkit di kemudian hari.
Maka, per detik ini Renjun mulai jauhi Jaemin dengan dalih ia sibuk dengan tugas akhirnya. Jaemin pun mengerti. Mereka selesaikan skripsi masing-masing tanpa ada bantuan dari 'pasangannya' seperti sebelumnya.
Ketika sidang skripsi tiba, Renjun yang memang alami demam, tak bisa maksimalkan performanya menjawab pertanyaan dosen penguji. Segala teori yang pernah dipelajarinya buyar. Untungnya dosen pengujinya mengenali Renjun yang aktif saat di kelas dulu.
Renjun dapatkan nilai B di skripsinya. Sementara Jaemin mengoleksi nilai A sempurna di penutup semesternya.
Ketika skripsi masing-masing dari mereka kelar, ada satu hal yang tenyata jadi perhatian banyak pihak. Renjun menuliskan nama Jaemin di ucapan terima kasih dalam skripsinya, sedangkan Jaemin tak berbuat hal yang sama.
Sejak itu Renjun benar-benar sadar, bahwa dirinya telah salah mengambil keputusan di awal masa kuliahnya. Seharusnya ia ambil pilihan untuk lakukan segala sesuatunya sendiri dibandingkan harus mengorbankan perasaan untuk sesuatu yang sudah jelas ada batasnya.
©Kalriesa 🦋