kalriesa

Renjun sampai. Jaemin yang sudah berdiri di depan sekre HIMA seketika berteriak heboh, “Renjunieee datang!!!”

Badan Renjun dipeluknya erat. Jaemin sering tak sadar kalau kekasihnya lebih mungil darinya.

“Stop! Aku—gabisa nafas!” Renjun menggeliat kecil dalam pelukan Jaemin.

“Rennn!!! Kok kamu tau sih kalau aku butuh hardisknya? Renjunnya Nana perhatian bangettttt” Jaemin ndusel wajahnya ke wajah Renjun di depan semua seniornya. Ia tak peduli aksinya berhasil buat wajah kekasihnya memerah.

“Nih hardisknya. Aku udah print laporan pengeluarannya. Kamu pulang jam berapa?”

Jaemin melongo di tempat. Seingatnya, ia tak ada bicara tentang laporan pengeluaran yang memang harus di print dari hardisk yang dimintanya ke Renjun.

Kok Renjun bisa tau ya?

“Pulang jam berapa Na?”

“Woy! Ditanyain tuh! Ngelamun aja lu Jaem!” teriak Bang Doy dari belakang.

“E—eeeh. Belum tau yang”

“Aku tungguin ya. Nih ada makanan buat kamu sama yang lain. Sana bawa masuk. Fokus rapatnya.”

Renjun segera berikan sekantong plastik cemilan dari tasnya dan dorong Jaemin pelan masuk ke sekre HIMA. Ia menunggu di luar.

“Heran gw. Jaemin yang pelupa, lelet gini bisa pacaran sama Renjun yang well prepared, terorganisir. Kok mau Renjun sama lu??” tukas Bang Doy, si ketua HIMA.

“Itu namanya takdir Semesta bang. Gw juga yakin Renjun kaga mau sama abang. Cuma gw yang cocok sama Renjun ye” jawab Jaemin pede.

Renjun yang sedang main hp, tersenyum penuh arti mendengar jawaban Jaemin.

Iya juga. Kita bertolak belakang, tapi kenapa malah bisa sama-sama?

***

Jaemin berpapasan dengan Dosen yang akan mengajar di kelasnya Renjun. “Siang Pak Taeil. Wah makin ganteng aja nih Pak. Bisa bagi rahasianya sama saya gak Pak?”

“Kamu ngapain ke Teknik?” selidik Pak Taeil cepat.

Jaemin cengengesan, “Biasa Pak. Mau ketemu Renjun. Saya kangen Pak sama pacar saya. Izin masuk sebentar ya Pak.”

“Hadehhh anak muda sekarang, romantisnya ngalahin saya jaman dulu. Yaudah sana cepetan.”

Pak Taeil dan Jaemin masuk kelas Renjun bersamaan.

Renjun kaget melihat pacarnya muncul, “Nana?”

“Aku bawain kue sekaligus makan siang nih. Kuenya langsung dimakan aja yang. Aku tungguin” Jaemin membuka kuenya dan menyuapi Renjun di depannya.

Renjun dengan malu menerima suapan Jaemin.

“Kamu butuh tenaga tau buat belajar siang-siang gini. Selesai kelas, langsung makan nasinya. Jangan lupaaa. Dah ya yang, aku pamit dulu. Mwah” Jaemin berikan kecup kecil di kepala Renjun.

“CIYEEEEEEEE” seisi kelas bersorak.

“Pak Taeil semangat ngajarnyaaaa. Saya balik dulu. Titip Renjun ya Pak” Jaemin dadah-dadah ke luar ruangan.

Renjun? Setengah mati menahan malu dan menutup mukanya menggunakan buku.

“Gw tadi gak liat lu makan siang gara-gara ngajarin si Chenle” ujar Haechan di sebelah Renjun.

“Emang kenapa?”

“Ya pantas aja Jaemin nganterin lu makan. 1 teknik juga tau kali si Jaemin ga bakal pernah lupa jadwal kelas lu dan jadwal maksi yang sering lu lupain.”

Benar adanya. Jaemin rutin mengantarkan makanan ke Renjun walau jarak fakultas mereka lumayan jauh.

Renjun dalam hatinya, Jaemin apa gak capek ya nganterin makan bolak-balik gini???”

***

Renjun menghampiri ruangan BEM. Selain jadi bendahara HIMA, Jaemin juga anggota BEM di kampusnya.

“Eh Renjun. Jaemin lagi kena omel sama ketua BEM tuh gara-gara lupa bawa hasil rapat kemarin” terang Bang Taeyong.

“Maaf ya bang. Jaeminnya memang sering lupa. Ini aku bawain buku catatan BEMnya. Tolong titip ke Jaemin ya bang.”

“Oke-oke. Jaemin emang pelupa banget kalau gw perhatiin. Kemarin gw diceritain si Jaemin pernah lupa bawa tas ke kampus, lupa kartu mahasiswanya, kartu perpus. Banyak amat yang dia lupa. Untung sama pacar sendiri gak lupa. Ckck” Bang Taeyong geleng-geleng kepala.

Renjun mengangguk kalem sambil mendengarkan.

“Kalau Jaemin udah mode lupa, lu pasti nongol deh ke FE buat ngantarin semua barang-barangnya Jaemin. Ya kan?”

“Iya bang” jawab Renjun sopan.

“Sering-sering getok kepalanya Jaemin, Ren, biar saraf lupanya nyambung. Kasian tu anak masih muda udah pelupa. Gw ke dalam ya.”

Renjun tak luput mengucapkan makasih ke Bang Taeyong.

***

Jaemin memang terkenal pelupa. Sudah jadi rahasia umum jika dalam sehari selalu saja ada barang-barang yang luput dibawanya. Apapun itu, dan Renjun akan jadi malaikat penyelamat bagi Jaemin. Makannya, tak heran lagi jika anak HIMA FE maupun anak BEM bisa kenal Renjun, pacarnya si pelupa Na Jaemin.

Lain Jaemin, lain pula Renjun. Renjun anaknya rapi. Dalam tasnya selalu saja ada barang-barang yang dibutuhkan. Siapa yang gak tau Renjun si perfeksionis di Fakultas Teknik. Tetapi ada satu hal yang paling sering Renjun lupakan. Jadwal makannya. Karena Renjun termasuk mahasiswa yang pintar di kelasnya, ia sering jadi dosen dadakan bagi teman-temannya. Sayangnya Renjun paling tak bisa lakukan satu aktivitas sambil makan. Itulah kenapa Renjun sering lupa jika ia belum makan. Jaeminlah yang jadi alarm berjalannya juga kang kurir yang siap sedia antarkan makanan ke Renjun.

Renjun sering ceritakan Jaemin pada Haechan.

“Kasih tau aja kali kalau lo suka sama Jaemin. Tinggal ngomong aja kok susah!” Haechan dengan santainya berujar. Renjun di sampingnya akhirnya melayangkan buku Akuntansinya ke bahu Haechan. “Gak segampang itu!”

“Gampang. Perasaan itu justru paling mudah muncul dari status sahabat. Semua juga tau kok kalau perhatian lo ke Jaemin 'beda'. Gw yakin Jaemin juga peka.

“Gitu ya, Chan?”

“Ho-oh”

Renjun mulai tenggelam dengan pikirannya sendiri. Hatinya menimbang kalimat Haechan barusan. Sudah 11 tahun dirinya dan Jaemin menjalin tali persahabatan. Sekarang, rasa sayangnya sebagai sahabat malah berkembang menjadi rasa ingin memiliki.

“Gak usah ngelamun!”

“E-eeh”

“Nggak ada yang salah dengan sahabat jadi cinta. Jaemin juga single kok. Coba jujur aja sama perasaan lo. Akuin langsung ke Jaemin. Daripada lo kebingungan begini” saran Haechan lagi.

“Gw coba deh.”

***

Lost

Jaemren Oneshot au

Tags: 18+ Cw // kissing scene , mention of alcohol , dirty talk , hurt/comfort? , fwb , sex scene , harshwords , blood Note Special: Tulisan ini dipersembahkan dari Kalriesa untuk Kalriesa dan semua pembaca dalam rangka dunia dan beberapa manusia brengsek yang ada di dalamnya.

Silahkan dibaca. Jika suka, tinggalkan jejak penuh cinta, jika dirasa tak suka, silahkan abai saja.

Minors hush-hush👋👋👋


Jaem, I need your dick

Notifikasi pesan dari Renjun muncul paling atas di ponsel Jaemin. Tangan lincahnya dengan segera menekan tombol balasan untuk Renjun.

Di tempat biasa kan? Iya. Cepat ya Jaem. Aku capek Ok

Renjun sedang membalut telapak tangannya dengan kain perban. Tetes demi tetes darah segar terpampang nyata di lantai apartemennya. Hatinya sakit mengingat kejadian yang membuatnya emosi di tempat kerjanya tadi siang.

“Emang dasar bos brengsek!!!” tangan kanannya diremat kuat. Renjun tau itu sakit. Dia juga tak tau kekuatan besar darimana yang terkumpul ketika cangkir bening yang dipegangnya remuk di tangannya sendiri. Itulah mengapa telapak tangannya penuh dengan goresan kaca dan akhirnya darah bercecer tanpa bisa dibendung.

Jaemin tak butuh waktu lama untuk sampai ke apartemen Renjun. Baginya, Renjun harus diprioritaskan lebih dulu dibandingkan dengan customernya yang lain.

“Renjun?” panggil Jaemin dari luar.

“Passwordnya tanggal lahir kamu!!!” teriakan Renjun dapat didengar oleh Jaemin. Ia dengan mudah masuk dan menemukan Renjun sedang duduk di lantai.

“Kamu kenapa Ren?” tanya Jaemin khawatir. Ia bisa melihat raut kegelisahan yang terpancar dari air muka Renjun.

“Don’t ask. I need you inside me.”

Kalimat terakhir Renjun jadi perintah bagi Jaemin. Renjun rentangkan tangannya lebar. Jaemin menyambutnya, menenggelamkan kepalanya ke ceruk leher lelaki yang posturnya lebih mungil darinya. Jaemin berikan waktu bagi Renjun untuk merasakan harum tubuhnya, sampai dirasanya wajah kecil Renjun diusak kecil tepat di dada bidangnya.

Jaemin menghirup dengan candu wangi leher Renjun, kemudian ia berikan kecupan demi kecupan kasih sayang dimulai dari leher Renjun, yang akhirnya merambat ke tulang selangka. Sesekali disesapnya kulit tipis milik Renjun yang halus.

“Hngg—” Renjun merasa geli. Walau bibir Jaemin beberapa kali mampir menyicipi tubuhnya, tetap saja efek yang muncul selalu berbeda.

Hidung Jaemin beralih mengendus bibir Renjun, mencoba menelisik apakah ada aroma Vermouth atau Bourbon menguar dari sana. Nihil.

Renjun gak mabuk, pikirnya.

Tangan kecil Renjun dengan lihai mengeksplorasi bagian bawah tubuh Jaemin. Tak perlu melihat teliti, Renjun dapatkan penis Jaemin yang sedikit mengeras dibalik celana jeansnya. Tanpa segan, diurutnya berulang kali secara vertikal dari atas ke bawah kepunyaan Jaemin. Si empu, menggeram tertahan.

“Hmm. Tumben langsung nyentuh punyaku? Biasanya aku harus eksplor kamu dulu? Ada apa sebenarnya Ren?”

Jaemin memang bertanya, tapi tak mengizinkan Renjun untuk segera menjawab, karena bibirnya mulai menyatu dengan bibir milik Renjun yang sudah dibasahi terlebih dahulu dengan saliva darinya. Jaemin sapa inci demi inci bibir Renjun tanpa jeda. Sesap kecil bibir bawah Renjun dilanjutkannya ke bibir atas. Gigitan kecil diberikan Jaemin di bilah manis Renjun yang selalu buatnya tak bisa berhenti.

“Hmph—” Renjun menepuk dada Jaemin pelan, meminta jeda, dituruti setelahnya oleh Jaemin walau jarak antara mereka masih terbentang campuran benang liur keduanya.

“Nanti nggak usah pakai kondom Jaem. Langsung aja” ucap Renjun setelah pasokan oksigen berhasil mengisi rongga dadanya.

Jaemin mengernyit bingung, tapi tetap mengiyakan, walau sejuta pertanyaan mampir di benaknya.

***

“Hiks-hiks—” Renjun terisak di bawah Jaemin, tepat ketika Jaemin dengan yakin menghentakkan kepemilikannya ke lubang Renjun. Ia telah 3x memberikan pertanyaan yang sama pada Renjun.

“Yakin nih gak pakai kondom, Ren?”

Dan jawaban sama penuh keyakinan juga diberikan Renjun.

“Yap. I wanna taste your dick for 1000 times Na Jaemin. Fill my hole and let me moan as much i can

Nyatanya apa? Suara serak tangisan yang keluar dari mulut Renjun malah buat Jaemin khawatir.

“Are you okay baby?” Jaemin berikan kecupan hangat di ujung hidung Renjun. Penisnya didiamkannya saja. Hatinya kelu karena lelaki di bawahnya sedang terisak menahan sakit.

“Tahan—Sebentar aja—” pinta Renjun pelan.

Jaemin mengiyakan lagi. Tugasnya selalu sama. Mengikuti keinginan customernya dan memberikan kepuasan yang diinginkan.

Renjun tak mau menjawab pertanyaan Jaemin. Ia tak ingin terlihat lemah, walau di lubuk hatinya, sisa sakitnya masih bersisa dan terasa. Ia hanya butuh pelampiasan. Jaemin adalah orang yang tepat, karena memang seperti itulah kesepakatan di antara mereka tercipta.

Jaemin merupakan salah satu top tier talent pacar sewaan terbaik di kotanya. Ratenya lebih tinggi dibandingkan yang lain dan bisa disesuaikan dengan kebutuhan customernya. Jenis servisnya beragam, mulai dari teman ngobrol biasa, cuddle harian atau per jam, teman nonton, pacar sewaan wisuda/acara kantor, late night talks, sampai kepada dirty talks, making out, atau bahkan sex with consent. Semuanya bisa disesuaikan, tentu dengan tarif yang sepadan. Hanya saja ada satu rules besar yang wajib dipatuhi antara talent dan customer, no hard feelings sama sekali. Jika tak bisa commit dan sudah melewati batas, maka Jaemin bisa ajukan tuntutan pada penggunanya atau bahkan melakukan block dan tak akan pernah menerima jasa apapun lagi dari customer yang masuk list blocknya.

“Gerak Jaem” Renjun sudah mulai enakan dan Jaemin jadikan itu sebagai patokan.

“Ahh!”

Jaemin hentakkan miliknya dengan kekuatan penuh. Renjun terguncang di bawahnya.

“Cmon Jaem!!! I miss your d—SHIT!!” seprai kasur jadi saksi bisu Renjun yang terbelenggu akan kenikmatan penis milik Jaemin.

“Ayo Renjun. Teriakin lagi nama aku. Desahan kamu indah” Jaemin semakin menggerakkan penisnya dengan brutal demi menyentuh area sensitif milik Renjun.

Racau Renjun sudah kacau. Miliknya dirasa sebentar lagi akan keluarkan putihnya. Jaemin dengan sigapnya menguruti penis Renjun tanpa ampun.

“Jaeminnnnh-hhh”

“Iya Renjun? Kamu mau keluar ya? Aku tambahin ya biar kamu enak” Jaemin mengucap santai. Satu tangannya yang bebas, memijat perut langsing milik Renjun.

“NA! JANGANNN!!!” Renjun dan segala titik sensitifnya yang dipermainkan dengan lihai oleh Jaemin.

Jaemin tulikan telinganya. Telunjuknya dimasukkan ke lubang perut Renjun yang menjorok ke dalam. Dimainkannya area tersebut, buat Renjun bergerak ke sembarang arah.

“Ngggh—Jaemin...No—No!!!” dua kaki Renjun mendekap erat punggung Jaemin dari belakang.

“Ugh—Renjun! Jangan ketatin dulu lubang kamu!!”

Jaemin tanpa sadar menekan miliknya lebih dalam dibanding sebelumnya karena kepunyaannya telah diremat kuat di lubang surgawi Renjun.

“JAEMIN!” / “RENJUN!”

Putihnya keluar bersamaan. Badan Jaemin Renjun saling menempel disertai peluh dan nafas yang masih tersengal.

***

Jaemin membiarkan Renjun yang sedang tertidur. Badan Renjun sudah ditutupnya dengan selimut. Ia sebenarnya tak bisa menahan diri untuk bertanya, ditambah lagi darah yang menempel di lantai apartemen tempat Renjun duduk tadi, luput dari perhatiannya.

Harusnya Jaemin tinggalkan Renjun. Tugasnya telah selesai. Renjun akan mentransfernya uang setelah servis dari Jaemin dijalankan. Bulan ini, Renjun menyewa Jaemin selama full sebulan. Jenis jasanya disesuaikan dengan yang Renjun butuhkan. Yang penting Jaemin selalu standby.

Dari semua customer yang pernah Jaemin layani, Renjun termasuk salah satu yang tersopan. Renjun jarang meminta sesuatu yang aneh di luar nalar. Pernah Jaemin temani Renjun late night talks dan obrolan mereka sangat panjang juga dalam. Pemikiran Renjun buat Jaemin sering terpukau. Renjun itu realistis. Jika tak suka, ia katakan tak suka, juga sebaliknya. Renjun sering cerita, banyak yang tak suka dengannya karena dirinya tak pandai bermuka dua dan bersilat lidah. Jaemin sebut Renjun manusia apa adanya. Ia mengagumi Renjun dengan sangat, tapi ia juga sadar diri, apalah artinya seorang Na Jaemin dengan profesinya yang seperti ini dibandingkan dengan Renjun, budak korporat SPV Divisi Keuangan yang prestigenya bagaikan Merkurius dan Pluto jika harus dijajarkan.

“Kok ngelamun?” tanya Renjun yang ternyata telah bangun dari tidurnya.

Jaemin tersentak kaget, “Gapapa. Kamu mau aku buatin susu hangat gak?”

Renjun menggeleng dan hening melanda keduanya sejenak.

“Di lantai itu darah apa Ren?” tanya Jaemin hati-hati.

“Oh iya juga ya. Aku lupa bersihin lantainya. Tadi buru-buru kirim pesan ke kamu Jaem. Nih” Renjun menunjukkan tangan kanannya yang dibalut perban, “Aku gak sengaja remukin gelas dan kena tangan” jawabnya tiada beban.

Mata Jaemin membola, “Hah?! Kok bisa?! Kamu kenapa? Ayo cerita!” Jaemin pindah duduk ke samping Renjun.

Renjun malah tertawa dengan nyaring. “Hahahaha. Boss aku di kantor bertingkah lagi Jaem. Dia bilang Divisi Finance gak menghasilkan dibanding Divisi Marketing. Dalam hati udah aku anjingin berkali-kali. Ditambah lagi, output dari Finance menurutnya nggak jelas, padahal kita tiap periode buat laporan harian, mingguan, bulanan, juga tahunan sesuai yang mereka minta. Jam kerja Finance terlalu boros. Yang buat aku makin memaki, saat boss dengan lucunya mempertanyakan Kerjaan kalian di Finance ngapain aja sih?—”

Jaemin dengarkan detail semua cerita Renjun tanpa dipotongnya sama sekali.

“Aku tau team aku udah overload jobdescnya, bahkan beberapa kerjaan anggotaku juga aku take over kalau mereka lagi padat. Si brengsek itu malah nanyain pertanyaan bodoh. Yaudah aku belain anggota aku, divisi aku. Eh malah diketawain sinis sama divisi lain. Anjing emang. Padahal aku juga sering liat mereka kosong ga ngapa-ngapain. Ga ada tuh aku riweuhin.”

Jaemin mengelus rambut Renjun selembut mungkin. Renjun sedang mengatur nafasnya karena terlalu menggebu bercerita.

“Anggota aku jadinya nangis. Mereka ngerasa nggak dihargain kinerjanya selama ini. Aku sebagai SPV cuma bisa nguatin mereka Jaemmm. Kalau nggak mikir profesional di tempat kerja sama anggota, pengen aku caci maki si boss!!!” suara Renjun mulai bergetar.

Jaemin tarik Renjun dalam dekapannya. “Kamu udah ngelakuin yang terbaik kok Ren” ujar Jaemin menenangkan Renjun.

“Aku pikir brengseknya dunia, hanya di kantor aja. Ternyata sampai ke rumah juga. Keluarga aku berantem hebat, nggak ada yang mau ngalah. Egois semua. Aku udah coba tenangin pelan-pelan Jaem, bantu runutin akar permasalahannya dan minta mereka saling beri maaf, egonya lebih besar. Malah aku—yang dimarahin—Hhiks—Capek Jaem...—Capek—” tangis Renjun runtuh seketika. Pertahanannya rubuh. Air matanya luruh di bahu Jaemin.

“Aku—gatau—mau ke siapa—ngadunya—ke siapa Jaem?? Mereka taunya—Renjun kuat—Renjun keras—Renjun cuek—Tapi—tapi mereka gatau—Renjun juga bisa jatuh—Renjun bisa nangis—bisa terpuruk—hhiks..hhiks.”

Renjun memang benar. Selama ini di mata Jaemin, Renjun terlihat kuat luar biasa, ceria, penuh senyum, terkesan angkuh. Sisi Renjun saat ini perdana dilihatnya. Namun bukan kaget yang dirasa Jaemin, melainkan perasaan ikut sakit hati mendengar tangisnya Renjun. Hatinya ikut remuk walau tak mengalami secara langsung.

“Maaf ya aku gabisa bantu apa-apa Ren” ujar Jaemin penuh sesal. Kalimat itu bukan kalimat penenang biasa yang gampang diberikannya pada semua customernya, tapi kalimat yang muncul setulus hati dari relung jiwa Jaemin untuk Renjun.

“Aku gatau...Kalau gak nemuin kamu...Mungkin aku bisa gila...Aku rela bayar kamu berapapun Jaemin—Aku gak butuh siapa-siapa selain kamu”

Benar ternyata. Renjun tak anggapnya lebih. Siapa Jaemin bagi Renjun? Harusnya Jaemin ingat, bahwa dirinya yang buat peraturan tentang larangan saling menaruh rasa selama jasa Jaemin dilakukan.

'Renjun, gak dibayarpun aku juga mau di sisi kamu terus. Sayangnya ga bisa ya???'

©Kalriesa🦋

Lost

Jaemren Oneshot au

Tags: 18+ Cw // kissing scene , mention of alcohol , dirty talk , hurt/comfort? , fwb , sex scene , harshwords Note Special: Tulisan ini dipersembahkan dari Kalriesa untuk Kalriesa dalam rangka dunia dan beberapa manusia yang brengsek di dalamnya.

Silahkan dibaca. Jika suka, tinggalkan jejak penuh cinta, jika dirasa tak suka, silahkan abai saja.

Minors hush-hush👋👋👋


Jaem, I need your dick

Notifikasi pesan dari Renjun muncul paling atas di ponsel Jaemin. Tangan lincahnya dengan segera menekan tombol balasan untuk Renjun.

Di tempat biasa kan? Iya. Cepat ya Jaem. Aku capek Ok

Renjun sedang membalut telapak tangannya dengan kain perban. Tetes demi tetes darah segar terpampang nyata di lantai apartemennya. Hatinya sakit mengingat kejadian yang membuatnya emosi di tempat kerjanya tadi siang.

“Emang dasar bos brengsek!!!” tangan kanannya diremat kuat. Renjun tau itu sakit. Dia juga tak tau kekuatan besar darimana yang terkumpul ketika cangkir bening yang dipegangnya remuk di tangannya sendiri. Itulah mengapa telapak tangannya penuh dengan goresan kaca dan akhirnya darah bercecer tanpa bisa dibendung.

Jaemin tak butuh waktu lama untuk sampai ke apartemen Renjun. Baginya, Renjun harus diprioritaskan lebih dulu dibandingkan dengan customernya yang lain.

“Renjun?” panggil Jaemin dari luar.

“Passwordnya tanggal lahir kamu!!!” teriakan Renjun dapat didengar oleh Jaemin. Ia dengan mudah masuk dan menemukan Renjun sedang duduk di lantai.

“Kamu kenapa Jun?” tanya Jaemin khawatir. Ia bisa melihat raut kegelisahan yang terpancar dari air muka Renjun.

“Don’t ask. I need you inside me.”

Kalimat terakhir Renjun jadi perintah bagi Jaemin. Renjun rentangkan tangannya lebar. Jaemin menyambutnya, menenggelamkan kepalanya ke ceruk leher lelaki yang posturnya lebih mungil darinya. Jaemin berikan waktu bagi Renjun untuk merasakan harum tubuhnya, sampai dirasanya wajah kecil Renjun diusak kecil tepat di dada bidangnya.

Jaemin menghirup dengan candu wangi leher Renjun, kemudian ia berikan kecupan demi kecupan kasih sayang dimulai dari leher Renjun, yang akhirnya merambat ke tulang selangka. Sesekali disesapnya kulit tipis milik Renjun yang halus.

“Hngg—” Renjun merasa geli. Walau bibir Jaemin beberapa kali mampir menyicipi tubuhnya, tetap saja efek yang muncul selalu berbeda.

Hidung Jaemin beralih mengendus bibir Renjun, mencoba menelisik apakah ada aroma Vermouth atau Bourbon menguar dari sana. Nihil.

Renjun gak mabuk, pikirnya.

Tangan kecil Renjun dengan lihai mengeksplorasi bagian bawah tubuh Jaemin. Tak perlu melihat teliti, Renjun dapatkan penis Jaemin yang sedikit mengeras dibalik celana jeansnya. Tanpa segan, diurutnya berulang kali secara vertikal dari atas ke bawah kepunyaan Jaemin. Si empu, menggeram tertahan.

“Hmm. Tumben langsung nyentuh punyaku? Biasanya aku harus eksplor kamu dulu? Ada apa sebenarnya Renjun?”

Jaemin memang bertanya, tapi tak mengizinkan Renjun untuk segera menjawab, karena bibirnya mulai menyatu dengan bibir milik Renjun yang sudah dibasahi terlebih dahulu dengan saliva darinya. Jaemin sapa inci demi inci bibir Renjun tanpa jeda. Sesap kecil bibir bawah Renjun dilanjutkannya ke bibir atas. Gigitan kecil diberikan Jaemin di bilah manis Renjun yang selalu buatnya tak bisa berhenti.

“Hmph—” Renjun menepuk dada Jaemin pelan, meminta jeda, dituruti setelahnya oleh Jaemin walau jarak antara mereka masih terbentang campuran benang liur keduanya.

“Nanti nggak usah pakai kondom Jaem. Langsung aja” ucap Renjun setelah pasokan oksigen berhasil mengisi rongga dadanya.

Jaemin mengernyit bingung, tapi tetap mengiyakan, walau sejuta pertanyaan mampir di benaknya.

***

“Hiks-hiks—” Renjun terisak di bawah Jaemin, tepat ketika Jaemin dengan yakin menghentakkan kepemilikannya ke lubang Renjun. Ia telah 3x memberikan pertanyaan yang sama pada Renjun.

“Yakin gak pakai kondom, Jun?”

Dan jawaban sama penuh keyakinan juga diberikan Renjun.

“Yap. I wanna taste your dick for 1000 times Na Jaemin. Fill my hole and let me moan as much i can

Nyatanya apa? Suara serak tangisan yang keluar dari mulut Renjun malah buat Jaemin khawatir.

“Are you okay baby?” Jaemin berikan kecupan hangat di ujung hidung Renjun. Penisnya didiamkannya saja. Hatinya kelu karena lelaki di bawahnya sedang terisak menahan sakit.

“Tahan—Sebentar aja—” pinta Renjun pelan.

Jaemin mengiyakan lagi. Tugasnya selalu sama. Mengikuti keinginan customernya dan memberikan kepuasan yang diinginkan.

Renjun tak mau menjawab pertanyaan Jaemin. Ia tak ingin terlihat lemah, walau di lubuk hatinya, sisa sakitnya masih bersisa dan terasa. Ia hanya butuh pelampiasan. Jaemin adalah orang yang tepat, karena memang seperti itulah kesepakatan di antara mereka tercipta.

Jaemin merupakan salah satu top tier talent pacar sewaan terbaik di kotanya. Ratenya lebih tinggi dibandingkan yang lain dan bisa disesuaikan dengan kebutuhan customernya. Jenis servisnya beragam, mulai dari teman ngobrol biasa, cuddle harian atau per jam, teman nonton, pacar sewaan wisuda/acara kantor, late night talks, sampai kepada dirty talks, making out, atau bahkan sex with consent. Semuanya bisa disesuaikan, tentu dengan tarif yang sepadan. Hanya saja ada satu rules besar yang wajib dipatuhi antara talent dan customer, no hard feelings sama sekali. Jika tak bisa commit dan sudah melewati batas, maka Jaemin bisa ajukan tuntutan pada penggunanya atau bahkan melakukan block dan tak akan pernah menerima jasa apapun lagi dari customer yang masuk list blocknya.

“Gerak Jaem” Renjun sudah mulai enakan dan Jaemin jadikan itu sebagai patokan.

“Ahh!”

Jaemin hentakkan miliknya dengan kekuatan penuh. Renjun terguncang di bawahnya.

“Cmon Jaem!!! I miss your d—SHIT!!” seprai kasur jadi saksi bisu Renjun yang terbelenggu akan kenikmatan penis milik Jaemin.

“Ayo Renjun. Teriakin lagi nama aku. Desahan kamu indah” Jaemin semakin menggerakkan penisnya dengan brutal demi menyentuh area sensitif milik Renjun.

Racau Renjun sudah kacau. Miliknya dirasa sebentar lagi akan keluarkan putihnya. Jaemin dengan sigapnya menguruti penis Renjun tanpa ampun.

“Jaeminnnnh-hhh”

“Iya Renjun? Kamu mau keluar ya? Aku tambahin ya biar kamu enak” Jaemin mengucap santai. Satu tangannya yang bebas, memijat perut langsing milik Renjun.

“NA! JANGANNN” Renjun dan segala titik sensitifnya yang dipermainkan dengan lihai oleh Jaemin.

Jaemin tulikan telinganya. Telunjuknya dimasukkan ke lubang perut Renjun yang menjorok ke dalam. Dimainkannya area tersebut, buat Renjun bergerak ke sembarang arah.

“Ngggh—Jaemin...No—No!!!” dua kaki Renjun mendekap erat punggung Jaemin dari belakang.

“Ugh—Renjun! Jangan ketatin dulu lubang kamu!!”

Jaemin tanpa sadar menekan miliknya lebih dalam dibanding sebelumnya karena kepunyaannya telah diremat kuat di lubang surgawi Renjun.

“JAEMIN!” / “RENJUN!”

Putihnya keluar bersamaan. Badan Jaemin Renjun saling menempel disertai peluh dan nafas yang masih tersengal.

***

Jaemin membiarkan Renjun yang sedang tertidur. Badan Renjun sudah ditutupnya dengan selimut. Ia sebenarnya tak bisa menahan diri untuk bertanya, ditambah lagi darah yang menempel di lantai apartemen tempat Renjun duduk tadi, luput dari perhatiannya.

Harusnya Jaemin tinggalkan Renjun. Tugasnya telah selesai. Renjun akan mentransfernya uang setelah servis dari Jaemin dijalankan. Bulan ini, Renjun menyewa Jaemin selama full sebulan. Jenis jasanya disesuaikan dengan yang Renjun butuhkan. Yang penting Jaemin selalu standby.

Dari semua customer yang pernah Jaemin layani, Renjun termasuk salah satu yang tersopan. Renjun jarang meminta sesuatu yang aneh di luar nalar. Pernah Jaemin temani Renjun late night talks dan obrolan mereka sangat panjang juga dalam. Pemikiran Renjun buat Jaemin sering terpukau. Renjun itu realistis. Jika tak suka, ia katakan tak suka, juga sebaliknya. Renjun sering cerita, banyak yang tak suka dengannya karena dirinya tak pandai bermuka dua dan bersilat lidah. Jaemin sebut Renjun manusia apa adanya. Ia mengagumi Renjun dengan sangat, tapi ia juga sadar diri, apalah artinya seorang Na Jaemin dengan profesinya yang seperti ini dibandingkan dengan Renjun, budak korporat SPV Divisi Keuangan yang prestigenya bagaikan Merkurius dan Pluto jika harus dijajarkan.

“Kok ngelamun?” tanya Renjun yang ternyata telah bangun dari tidurnya.

Jaemin tersentak kaget, “Gapapa. Kamu mau aku buatin susu hangat gak?”

Renjun menggeleng dan hening melanda keduanya sejenak.

“Di lantai itu darah apa Ren?” tanya Jaemin hati-hati.

“Oh iya juga ya. Aku lupa bersihin lantainya. Tadi buru-buru kirim pesan ke kamu Jaem. Nih” Renjun menunjukkan tangan kanannya yang dibalut perban, “Aku gak sengaja remukin gelas dan kena tangan” jawabnya tiada beban.

Mata Jaemin membola, “Hah?! Kok bisa?! Kamu kenapa? Ayo cerita!” Jaemin pindah duduk ke samping Renjun.

Renjun malah tertawa dengan nyaring. “Hahahaha. Boss aku di kantor bertingkah lagi Jaem. Dia bilang Divisi Finance gak menghasilkan dibanding Divisi Marketing. Dalam hati udah aku anjingin berkali-kali. Ditambah lagi, output dari Finance menurutnya nggak jelas, padahal kita tiap periode buat laporan harian, mingguan, bulanan, juga tahunan sesuai yang mereka minta. Jam kerja Finance terlalu boros. Yang buat aku makin memaki, saat boss dengan lucunya mempertanyakan Kerjaan kalian di Finance ngapain aja sih?—”

Jaemin dengarkan detail semua cerita Renjun tanpa dipotongnya sama sekali.

“Aku tau team aku udah overload jobdescnya, bahkan beberapa kerjaan anggotaku juga aku take over kalau mereka lagi padat. Si brengsek itu malah nanyain pertanyaan bodoh. Yaudah aku belain anggota aku, divisi aku. Eh malah diketawain sinis sama divisi lain. Anjing emang. Padahal aku juga sering liat mereka kosong ga ngapa-ngapain. Ga ada tuh aku riweuhin.”

Jaemin mengelus rambut Renjun selembut mungkin. Renjun sedang mengatur nafasnya karena terlalu menggebu bercerita.

“Anggota aku jadinya nangis. Mereka ngerasa nggak dihargain kinerjanya selama ini. Aku sebagai SPV cuma bisa nguatin mereka Jaemmm. Kalau nggak mikir profesional di tempat kerja sama anggota, pengen aku caci maki si boss!!!” suara Renjun mulai bergetar.

Jaemin tarik Renjun dalam dekapannya. “Kamu udah ngelakuin yang terbaik kok Ren” ujar Jaemin menenangkan Renjun.

“Aku pikir brengseknya dunia, hanya di kantor aja. Ternyata sampai ke rumah juga. Keluarga aku berantem hebat, nggak ada yang mau ngalah. Egois semua. Aku udah coba tenangin pelan-pelan Jaem, bantu runutin akar permasalahannya dan minta mereka saling beri maaf, egonya lebih besar. Malah aku—yang dimarahin—Hhiks—Capek Jaem...—Capek—” tangis Renjun runtuh seketika. Pertahanannya rubuh. Air matanya luruh di bahu Jaemin.

“Aku—gatau—mau ke siapa—ngadunya—ke siapa Jaem?? Mereka taunya—Renjun kuat—Renjun keras—Renjun cuek—Tapi—tapi mereka gatau—Renjun juga bisa jatuh—Renjun bisa nangis—bisa terpuruk—hhiks..hhiks.”

Renjun memang benar. Selama ini di mata Jaemin, Renjun terlihat kuat luar biasa, ceria, penuh senyum, terkesan angkuh. Sisi Renjun saat ini perdana dilihatnya. Namun bukan kaget yang dirasa Jaemin, melainkan perasaan ikut sakit hati mendengar tangisnya Renjun. Hatinya ikut remuk walau tak mengalami secara langsung.

“Maaf ya aku gabisa bantu apa-apa Ren” ujar Jaemin penuh sesal. Kalimat itu bukan kalimat penenang biasa yang gampang diberikannya pada semua customernya, tapi kalimat yang muncul setulus hati dari relung jiwa Jaemin untuk Renjun.

“Aku gatau...Kalau gak nemuin kamu...Mungkin aku bisa gila...Aku rela bayar kamu berapapun Jaemin—Aku gak butuh siapa-siapa selain kamu”

Benar ternyata. Renjun tak anggapnya lebih. Siapa Jaemin bagi Renjun? Harusnya Jaemin ingat, bahwa dirinya yang buat peraturan tentang larangan saling menaruh rasa selama jasa Jaemin dilakukan.

'Renjun, gak dibayarpun aku juga mau di sisi kamu terus. Sayangnya ga bisa ya???'

©Kalriesa🦋

“Sebentar, gw mau pastiin Jaemin udah makan apa belum” Renjun menghiraukan Haechan di sampingnya dan segera memencet nomor sahabatnya, Jaemin.

“Ya halo Ren. Kenapa?”

“Udah makan Jaem? Jangan telat!” nada suara Renjun tetap galak seperti biasanya.

“Lagi mager gw, ntar aja”

“Kan kan. Dahlah gw pesenin makan aja ya. Ntar dihabisin makanannya”

“Gak usah Ren” Jaemin menolak dengan halus. Sahabatnya itu selalu saja memberikan perhatian yang menurutnya berlebihan.

“Lupa kalau lo punya maag akut? Gak usah nolak. Ntar fotoin pas makanannya nyampe. Bye!” Renjun mematikan telponnya.

Jarinya dengan lincah memesan 1 jenis makanan berat dan beberapa makanan ringan untuk Jaemin.

“Senang bener Jaemin ada yang merhatiin waktu makannya. Gak butuh pacar dia mah. Lo ae udah cukup” Haechan menatap takjub tingkah Renjun yang lebih mirip pacar Jaemin ketimbang dikatakan sebagai sahabat.

“Jaemin itu suka nunda makan. Dia gak perhatian sama dirinya sendiri, Chan. Ngerasa strong, ntar tiba-tiba tumbang. Gw yang gemes pengen nampol jadinya” Renjun sedikit curhat perkara Jaemin pada Haechan yang ditanggapi dengan anggukan paham.

***

Renjun sedang bercerita panjang lebar di telepon, sedangkan Jaemin mendengarkan dengan khidmat. Setelah selesai, Renjun ajukan tanya seperti biasa mengenai apa saja hal yang dialami Jaemin hari ini.

“Hari ini biasa aja Ren. Gak ada apa-apa”

“Tadi pagi gw liat lo update status, belum sempat gw tanya, eh udah dihapus. Hp gw gak kepegang selama di kantor, makannya gw nanyain sekarang. So, siapa yang bikin lo kesal hari ini?” Renjun bertanya dengan menggebu-gebu.

Jaemin bukannya tak ingin berbagi cerita, hanya saja ia merasa tak ada faedahnya untuk menceritakan kisahnya hari ini.

“Kan. Lo begitu lagi. Hhhh—” hela nafas Renjun terdengar walau hanya via suara telepon. “Kenapa sih Jaemin? Lo tuh gak mau cerita ke gw? Padahal gw kalau ada apa-apa, ceritanya ke elo. Dari yang absurd sampai serius. Giliran gw nanya, lo bilang gak ada apa-apa. Tapi kalau gak gw tanya, gw yakin ada apa-apa. Cerita dongggg!!!” nada suara Renjun terdengar kesal. Sahabatnya memang seperti itu. Kadang Renjun merasa bingung harus bersikap seperti apa.

“Iya-iya. Tadi—”

Jaemin pun pada akhirnya berbagi kisah dengan Renjun. Renjun tau, Jaemin memang seperti itu modelnya, tak akan bercerita jika ditanya. Tak akan menghubungi duluan untuk sekedar membahas hal-hal yang menurutnya tak perlu. Keterbalikan dengan Renjun yang talkative. Semua hal diceritakannya. Dalam beberapa moment, Jaemin sempat tertidur mendengar ocehan Renjun, saking banyaknya yang diceritakan.

Renjun sangat rajin mencari tau kabar sahabatnya itu. Mereka juga sering video call. Tetap Renjun yang menginisiasi duluan. Jaemin? Jangan ditanya. Tak pernah sama sekali berinisiasi duluan untuk video call dengan Renjun.

***

“Lo bawa mantel deh perginya. Gw khawatir hujan” Renjun mengingatkan dari sebrang percakapan di telepon.

“Gak lah Ren. Gw yakin gak bakal hujan. Udah ya, gw pergi dulu” Jaemin menyudahi dengan keyakinan hari akan cerah sampai ia menyelesaikan perjalanannya ke tempat yang dituju. Tapi sayang, hujan sedang rajin menyapa bumi dan Jaemin. Baju Jaemin akhirnya basah terkena derasnya air hujan. Ketika Renjun tau, Renjun langsung menyepam chat Jaemin dan menyuruhnya untuk mandi air hangat, agar tak bersin dan berujung demam. Lagi-lagi Jaemin abai saran sahabatnya, berujung dengan demam yang dialaminya selama 3 hari berturut-turut.

***

Renjun pernah mengalami pelecehan seksual saat kecil. Ia belum pernah menceritakan hal itu pada siapapun. Sampai ia bertemu dengan Jaemin yang sudah dianggapnya sebagai keluarganya sendiri dan sahabatnya, maka segala hal tentang dirinya dibuka tanpa dilebihkan atau dikurangkan.

Beberapa kali Renjun dan Jaemin sempat berkelahi. Renjun pernah melakukan self harm dan tidak menceritakannya pada Jaemin, sampai Jaemin menemukan beberapa scars di tubuh Renjun. Jaemin kecewa setengah mati dengan dirinya sendiri, karena ia tak bisa mencegah apa yang dilakukan Renjun. Sampai pada akhirnya mereka buat kesepakatan, jika Renjun punya pikiran untuk self harm, maka wajib beritahu Jaemin. Renjun setuju.

Kala Renjun bersama teman-temannya yang lain, nama Jaemin sering disebutnya. Sampai mereka juga tau kalau Jaemin adalah salah satu sahabat kesayangan Renjun.

Renjun tak akan pernah lupa untuk mengingatkan Jaemin makan 3x sehari, minum 8 gelas sehari, tidur yang cukup, minum vitamin, dan selalu jaga kesehatan.

Love language Renjun dengan orang-orang terdekatnya memang seperti itu. Sampai pada moment di mana Renjun mendapatkan kalimat telak dari orang terdekatnya.

“Cukup nasihatin orang selebay itu Renjun. Mereka udah besar. Tau harus ngapain. Lo kalau kebiasaannya begitu terus, yang ada kawan-kawan lo bakalan kabur. Jangan berlebihan jadi manusia”

Renjun jadi kepikiran. Hal pertama yang muncul di benaknya adalah Jaemin. Ketika Renjun mengkonfirmasi apakah dirinya selama ini berlebihan, Jaemin menghadiahinya dengan tawa.

“Gw sih biasa aja. Tapi kadang gedeg juga kalau lo modenya begitu. Hahahaha.”

***

Walaupun Renjun bertemu dengan orang-orang baru, dan jadi dekat dengan mereka, Renjun tetap jadikan Jaemin sebagai prioritasnya. Sahabatnya itu melebihi segala-galanya. Renjun akan selalu bercerita tentang teman-teman barunya pada Jaemin. Jaemin tak melakukan sebaliknya.

Ketika Renjun tau bahwa Jaemin sudah menemukan teman baru, Renjun pikir posisinya tetaplah menjadi sahabat setia di hati Jaemin. Renjun akui ia suka cemburu dengan teman-teman baru Jaemin. Renjun tak ingin sahabatnya direbut. Egois memang dan Renjun cukup blak-blakan terkait hal ini pada Jaemin.

Sampai akhirnya Renjun sadar bahwa Jaemin semakin jauh dengannya. Dalam beberapa hari, ia sempat sakit, sehingga tak bisa mengabari Jaemin dan menanyakan keadaan Jaemin seperti biasa.

Renjun temukan ada jarak yang diciptakan Jaemin, awalnya ia mencoba biasa saja, tapi tetap tak bisa. Ketika dirasa sudah tak mampu lagi ditahannya, Renjun bertanya, apa cerita dari Jaemin yang tak diketahuinya. Jaemin akhirnya bercerita bahwa ia memiliki trauma, tapi Renjun tak boleh tau apa traumanya.

Apakah Renjun sedih? Iya.

Renjun merasa Jaemin tak memercayainya 100%. Ternyata benar. Tingkat kepercayaan Jaemin pada Renjun selama ini tak ada peningkatan.

Ohh. Ternyata gw belum bisa jadi sahabat baik yang bisa dipercayai Jaemin seutuhnya ya.

Renjun akhirnya terngiang kembali kalimat yang pernah menohok hatinya tentang perhatian yang berlebihan pada sahabat. Akhirnya Renjun menarik diri.

Tak ada konversasi harian seperti biasa. Tak ada meme aneh yang dikirimkan Renjun pada Jaemin. Suara-suara ajaib hasil voice note yang biasa diterima Jaemin juga hilang tak berbekas. Renjun seperti hilang ditelan bumi.

Renjun mematri kekecewaan pada dirinya bahwa ia bukanlah sahabat yang baik bagi Jaemin, karena sahabat tentu akan saling memupuk kepercayaan antara satu sama lain.

Sedang Jaemin di akun privasinya menulis:

Gw kangen sama Renjun. Kenapa Renjun sekarang jarang kasih kabar ya? Dia juga udah jarang cerita apa-apa. Gw kangen Renjun yang dulu.

Puja dan puji sepatutnya dihaturkan pada Pemilik Semesta, namun rakyat biasa bernama Huang Renjun tak bisa berhenti melantunkan puja pujinya pada sosok pangeran yang sedang melakukan kunjungan pagi memeriksa keadaan rakyat tercintanya. Sepasang hazel berkelopak indah, dengan rahang tegas berbalut senyuman murni yang tak pernah lepas dari sosok bernama lengkap Pangeran Na Jaemin berhasil mencuri dan memikat setiap orang yang memandangnya. Begitu sempurna, namun tak dapat digenggam dengan bebas. Perbedaan kasta menjadi batas yang patut disadari oleh Huang Renjun karena telah mengagumi Na Jaemin dalam diamnya. “Duhai lelaki bertopi hitam di ujung sana. Genggamanmu terjatuh” suara bariton khas yang dimiliki Pangeran Na Jaemin menguar ke udara. Sekeliling riuh mencari sosok yang disebut oleh sang pangeran, sedangkan sosok yang dipanggil oleh pangeran malah tak menyadari karena terhanyut dengan rapalan puja pujinya. “Apakah kau sedang melamun?” tanya pangeran Na Jaemin dengan sopannya dan telah berada tepat di depan Huang Renjun. Tiada jawaban sebagai balasan. “Hey. Jangan-jangan kau sedang sakit ya? Pengawal! Tolong panggilkan tabib dan periksa keadaan pemuda ini! Aku tak ingin ada rakyatku yang mengalami perihnya sakit!” titah sang pangeran. “Siap laksanakan pangeran!!!” jawab para pengawal. Na Jaemin sejujurnya tak paham kenapa pemuda di depannya ini hanya mematung dengan gerakan mata yang tak lepas mengikuti dirinya. Juga bibir tipisnya yang terdengar seperti sedang berkomat-kamit dengan suara sehalus awan. Satu hal telah mencuri perhatiannya. Binar mata indah seperti kumpulan galaksi yang penuh bintang membuat nyalinya ciut untuk tak lama memandangi sosok di depannya karena takut akan semakin tersedot seperti debu yang masuk ke blackhole dan tak dapat ke luar lagi.

Uhuk...Uhuk-Uhuk....

Jaemin masih mengerjakan essai dari dosennya, tapi dirinya tak bisa berhenti mendengar suara batuk yang sedari tadi memenuhi indera pendengarannya.

“Anak kos sebelah daritadi batuk terus. Gak minum obat apa ya?” tanyanya pada diri sendiri.

Hatchihhh!!! Hatchimmm!!! Aaaaaah!!!

Jaemin menoleh ke dinding, asal suara bermula. “Pake teriak segala. Kesurupan kah???”

Alat tulisnya segera dirapikan. Tugasnya telah selesai.

Aduhhhh!!!

Lagi-lagi terdengar suara dari kamar kos sebelah. Hari itu yang Jaemin tau, di lantai satu kos-kosan yang ditempatinya, tersisa dua orang saja, ia dan penghuni sebelah. Sisanya sedang pulang ke kampung halaman masing-masing. Maklum saja, rata-rata masih anak rantau yang menimba ilmu di kota orang, termasuk Jaemin sendiri.

Jaemin bergegas membuka pintu kosnya untuk menuju ke kamar kos sebelah.

Tok tok...Tok tok tok...

Ketukan tangan Jaemin berhenti di kamar kos yang dipenuhi stiker bergambar kuda nil warna putih milik penghuni kos yang ia datangi.

“Sia—pa—”

“Lo gak papa??? Gw anak kos sebelah. Ada yang bisa gw bantu gak???” Jaemin sedikit berteriak agar suaranya dapat didengar dengan baik.

“Gapapaaa. Makasiiiihhh.”

Uhuk-uhuk...

“Lo lagi sakit yaaa??? Mau gw beliin obat gaaaak???” Jaemin berteriak kembali. Ia tak sedikitpun beranjak dari depan pintu.

“I—yyaaaa. Gw lagi ba—Uhukkkk-”

“Gw beliin obat yaaaa??? Biar cepat sembuh elunyaaaa.”

1 detik...3 detik...5 detik...

Tak terdengar jawaban sama sekali.

“Gimanaaaaa?”

“Ngerepotin gakkkk?”

“Enggakkkk” jawab Jaemin cepat.

Cklek

Pintu kamar kos pun dibuka. Muncul penghuninya yang bernama Huang Renjun dengan wajah dibalut selimut dan memakai kacamata.

“Hehehe” Renjun memberikan cengirannya pada sosok di depannya.

Jaemin? Terdiam, terpaku, membisu, tak berkutik menghadapi sosok yang secara dadakan berhasil memunculkan jutaan kupu-kupu warna-warni yang ingin terbang dari perutnya.

“Eeh—Ka—Kamu mau dibeliin obat apa a—ja???” Jaemin tergugu.

Tremenza, sanadril, sama paracetamol deh. Tapi ini beneran gapapa aku nitip ke kamu???” Renjun walaupun mukanya sedikit pucat, tapi senyum tak lepas dari bibir manisnya. Ia tak tau saja, lelaki di depannya sudah gemetar menahan diri karena tak tahan dengan sosoknya.

Jaemin menggeleng cepat. “Cu—kup ini aja?? Ada titipan yang lain gak?”

“Uhukk...Bubur ayam deh. Hatchimm!!” Renjun menutup mukanya dengan selimutnya. “Ahh ya ini uangnya. Cukup kan?” selembar uang senilai seratus ribu diberikannya pada Jaemin.

“Nggak. Nggak usah. Pake uang aku aja. Aku beliin dulu obatnya ya. Masuk dulu ke dalam, di luar banyak angin. Nanti makin sakit kamunya.” Rentetan kalimat penuh kekhawatiran itu tak berhenti meluncur dari bibir Jaemin.

Renjun sampai terenyuh mendengarnya.

“Iyaa. Kamu hati-hati yaaaaa.”

***

“Sanaaah hushh. Aku tuh lagi demam. Jangan dekat-dekat dong Jaeminnn.” Di dahi Renjun tertempel koolfever dewasa, penurun demam.

“Aku kan mau ngecek kondisi kamu. Udah mendingan apa belum. Kok malah diusir sih sayang??” Jaemin memutar matanya malas, tangan kanannya berada di leher kekasihnya.

Kekasih???

Kalian nggak salah baca kok.

Semenjak Jaemin membelikan obat yang dititip oleh Renjun, mereka akhirnya jadi semakin dekat. Jaemin jatuh cinta pada pandangan pertama, Renjun dan selimut petak-petak warna-warni di kepalanya. Sedangkan Renjun jatuh cinta dengan sifat perhatian Jaemin yang manisnya ngalah-ngalahin segala jenis gula di semesta raya.

“Masih anget tuh. Lagian kenapa sih pake hujan-hujanan segala?” Jaemin meletakkan termometer di ketek Renjun untuk memastikan suhu tubuh kesayangannya.

“Di kampus udah sepi. Aku takut sendirian. Lagian jarak kosan juga deket kok. Tinggal lari bentar aja nyampe.” Renjun dengan segala dalihnya. Ia harus memberikan alasan kuat terkait pertanyaan Jaemin barusan, jika tak masuk akal, maka kekasihnya itu akan semakin panjang bawelannya.

“Kamu bisa telpon aku kan?”

“Takut kamunya sibuk.”

Renjun mengerjapkan matanya beberapa kali. Jaemin memencet hidung Renjun sampai sang kekasihnya itu susah nafas.

“Haaaaaah. Leeffff—faaasshhh”

Selanjutnya, satu sentilan berhasil mampir di jidat mungil Renjun. “AAAAAAAK!! IH KAMU MAH TEGA!!! SAKITTTT!!!!” lengkingan Renjun tak tanggung-tanggung menghiasi kamar kosnya.

“Makannya sayang, dengerin pacar kamu yang ganteng ini. Lain kali, kalau ada apa-apa tuh telpon aku. Jangan soloan terus. Kan kalau kamu sakit gini, akunya juga sedih. Liat tuh muka kamu pucet, mirip sayur pare basi. Hahaha”

“JAEM!!! Uhukkk...” Renjun mengelus tenggorokannya yang kesakitan karena berteriak terlalu keras.

Jaemin tersenyum kecil melihat kekasihnya yang selalu terlihat lucu di matanya. “Sekarang aku mau pelukin kamu. Biar kamu bisa bobo. Jadi kamunya juga cepat sembuh.”

Badan Renjun yang masih hangat karena demamnya belum turun, sudah berada dalam pelukan Jaemin. Tangan kanannya jadi bantal bagi kepala Renjun, sedangkan tangan kirinya mengelus punggung Renjun dari atas ke bawah tanpa henti.

“Aku lagi sakit Jaem...”

“Ya terus???”

“Kamu pelukin gini, nanti demamnya malah nular ke kamu” intonasi Renjun melembut.

Jaemin memberikan kecupan kecil ke hidung pacarnya. “Justru aku mau kamu nyalurin demam di tubuh kamu ke aku. Biar suhu tubuh kamu normal lagi. Udah ahh. Yuk tidur. Aku ngantuk nih.”

Renjun memang sedang demam, tapi ada rasa hangat lain yang menjalar di hatinya setelah mendengar penuturan Jaemin barusan.

Jika obat yang dibeli dari apotek memang jadi penawar sakit di tubuhnya, maka keberadaan Jaemin di sampingnya adalah obat pelipur lara di hidupnya.

©Kalriesa🦋

Jaemin Renjun pernah berjanji, bahwa mereka akan menjalin hubungan sehidup semati. Tak peduli apa yang terjadi, ikatan kuat di antara mereka berdua yang sudah terjalin sejak kecil menjadi bukti nyata bahwa keduanya akan selalu bersama.

Dimulai dari pertemuan tak sengaja antara dua orang bocah satu komplek yang dulunya tak tau apa-apa, sampai keduanya saling bertukar cerita dan akhirnya berbalas rasa.

Mereka kira, Semesta dengan mudahnya membiarkan hubungan dua Adam yang saling mencinta ini langgeng sampai tua, nyatanya dunia punya jalannya sendiri untuk kisah Jaemin dan Renjun.

Keduanya mencoba untuk saling menyelamatkan satu sama lain saat ada seorang anak kecil yang tiba-tiba jatuh ke danau yang lumayan dalam dan terlepas dari pengawasan orang tuanya.

Renjun yang sedang mengayuh gondolanya tanpa pikir panjang menceburkan dirinya ke dalam danau, walau ia tau dirinya tak pandai berenang, yang penting anak kecil tersebut selamat, hanya itu di otaknya.

Dengan badan mungilnya, Renjun berusaha untuk mengangkat anak tersebut agar tak tenggelam. Berhasil memang, tapi malah tubuhnya yang semakin memberat ke bawah. Sampai kedua tangan kekar menariknya, menumpu di lehernya. Sekelilingnya bising, banyak teriakan manusia tak dikenal.

Renjun tak ingat apa-apa. Yang ia tau, beberapa menit sebelumnya ia tengah berada di atas awan, melihat sekawanan burung terbang dengan bebasnya. Akhirnya ia sadar bahwa dirinya sendiri.

“Jaemin di mana? Kok gw sendiri aja di sini?” tanyanya sedih.

Di bawah sana, ada Jaemin yang dengan segala upaya, melakukan resusitasi jantung beberapa kali pada tubuhnya.

“Renjun bangun!!! Gak lucu lu ninggalin gw di sini sendirian!!!” suara Jaemin membahana menusuk jiwa.

“Jaemin!!! Gw di sini!!! Liat ke atas cepat!!!” Renjun turut berteriak. Ia masih belum sadar akan apa yang terjadi.

“BANGUN SAYANG!!! BANGUN!!!”

Kali ini Jaemin memberikan Renjun nafas buatan, semaksimal mungkin, walau pasokan udara untuknya menipis, Renjunnya harus bertahan. Itu wajib!

“Rennnn, please jangan tinggalin gw. Pleaseeee” suara Jaemin mulai melemah, bercampur dengan tangisan.

“Gw gak akan ninggalin lo Jaemin. Kan kita udah janji bakalan sama-sama selamanya”

“Ternyata bener, orang pintar bakalan nyari pasangan yang sama pintarnya dengan dia. Contohnya Jaemin sama Renjun”

“Iya. Jaemin langganan juara di IPS, sedangkan Renjun di IPA. Perfect couple banget ga siiih”

“Eh ssst. Muncul orangnya”

Jaemin dan Renjun dengar celotehan sekitarnya, tapi mereka anggap angin lalu.

Keduanya serasi jika disandingkan. Sama-sama rupawan. Sempurna fisik dan otaknya. Juga berasal dari keluarga yang terpandang. Tak heran lagi mereka selalu jadi buah bibir di sekolahnya.

Di sosial media, mereka saling support saat musim ujian atau ketika salah satu di antara keduanya harus maju untuk persentasi tugas di depan kelas.

Di khalayak ramai, afeksi keduanya terpampang nyata. Saling menemani belajar di perpus, gantian bertanya untuk keperluan kuis. Act of servicenya boleh diacungi jempol.

“Besok aku ada ulangan Kimia” ujar Renjun tenang.

“Mau ditemanin videocall gak ntar malam?”

“Bukannya besok kamu ada ujian Geografi?”

“Udah belajar. Hehe” cengiran Jaemin ditanggapi anggukan kecil pacarnya.

“Boleh kalau gak ngerepotin”

“Tentu pasti gak ngerepotin. Kamu harus dapat nilai sempurna Jun. Biar gak ada yang ngalahin juara 1 kamu” Jaemin menjawab dengan mata berbinar.

Renjun sudah hafal. Kalimat serupa itu akan selalu keluar dari mulut manis Jaemin.

“Oke.”


“Aku mau main Timezone pulang sekolah nanti Jaem”

“Loh??? Minggu ini kan ujian mid semester Jun. Kamu gak belajar?”

“Aku lagi capek. Mau main bentar aja” raut letih tergambar sempurna di wajah Renjun.

“Kalau capek ya istirahat dong Jun. Jangan main. Nanti nilai kamu turun gimana? Mid semester persentasenya lumayan buat akumulasi rata-rata nilai akhir kita nanti” Jaemin menjelaskan dengan khawatir.

“Istirahatnya habis main aja”

“Nggak! Jangan! Kamu istirahat di rumah aja. Nanti aku temanin belajar juga. Aku gak mau peringkat kamu kesalip sama yang lain. Apalagi anak IPA ambis semua. Gak boleh!” Jaemin menentang dengan keras.

***

“Badan aku ngilu Jaem” Renjun meregangkan tangannya di sudut perpustakaan, tempat dirinya dan Jaemin latihan menghafal untuk materi ujian yang tersisa.

“Hang in on babe. Baru sebentar kita belajarnya.”

“Jaem, istirahat pertama, kita udah belajar. Sekarang juga belajar. Nanti malam sampai subuh kita belajar lagi sambil videocall-” Renjun menghentikan kalimatnya, menatap lelah dari balik kelopak matanya yang sudah sayu, “Break sebentar ya.”

BRUG!

Jaemin menutup bukunya keras. Mata tajamnya terarah pada kekasihnya.

“Aku perhatiin kamu makin banyak ngeluhnya deh. Kenapa sih sayanggg???”

Renjun merasakan tekanan pada kata mengeluh yang diutarakan oleh Jaemin.

“Aku cuma mau istirahat sebentar aja Jaem”

“Ini kan sambil istirahat”

“Kita daritadi belajar”

“Tapi kan ini di jam istirahat. Gak ada guru. Jadi belajarnya juga gak full kayak di kelas. Masa gitu aja sampai ngilu sih. Ckck”

Renjun menghela nafasnya. Sisi Jaemin yang satu ini hanya ditunjukkan ketika mereka berada di situasi seperti sekarang.

Sekeliling tak akan tau seberapa ambisiusnya seorang Na Jaemin dalam mempertahankan peringkat pertama. Fokusnya tak untuk dirinya seorang, peringkat kekasihnya turut jadi perhatian penting Jaemin.

“Lanjutin dulu belajarnya. Pulang sekolah kan bisa tidur sebentar. Aku gak mau kamu malas-malasan. Apa kata orang kalau pacar aku nilainya turun gara-gara malas.”

Aaah...Masih saja ternyata...


“Renjun gak masuk Jaem. Lo gak tau?”

“Nggak. Kok bisa? Apa beritanya?”

“Tipes. Kecapean. Pas ngerjain ujian kemarin, mukanya pucat, akhirnya izin deh”

“Terus ujiannya gimana? Dia jawab semua soal gak???” Jaemin panik.

“Gak tau sih gw. Pokoknya Renjun izin di ujian pertama, nah selanjutnya kayaknya bakal dikasih ujian susulan”

“Astagaaaaaa!!!”

Jaemin langsung pergi setelah mendapatkan penjelasan dari teman sekelas Renjun.

Beberapa hari ini memang Renjun meminta untuk belajar sendiri, Jaemin menuruti, dengan syarat Renjun harus laporan pada Jaemin mengenai total jam yang sudah dihabiskan Renjun untuk memahami materi dan menjawab soal untuk kisi-kisi ujian esok hari.


Renjun kira, kalimat pertama yang muncul saat sosok kekasihnya hadir di kamarnya adalah segala rentetan doa lekas sembuh, untaian penenang, atau bahkan seutas pelukan hangat penyejuk hati. Nyatanya??? Tidak.

“Jun! Kok bisa-bisanya kamu sakit?!! Ujian kamu ketinggalan pula!” Jaemin sedikit histeris. Mulutnya menganga tak percaya jika kekasihnya drop segampang itu.

“Kata dokter, aku terlalu diforsir belajarnya. Sempat lupa makan juga” Renjun menjawab lirih.

“Hanya karena lupa makan kamu jadi sakit???? Berlebihan banget sih Junnnn”.

Oh...Sakit ini berlebihan, katanya...

“Aku khawatir sama kamu tau!”

Jaemin khawatir?

“Khawatir sama nilai ujian kamu! Kalau nurun gimana? Kamu bisa ngerjain emang pas lagi sakit begitu??? Pasti gak fokus kan??? Ya kan???”

“Enggak—”

“Kan benar!!! Duh Jun. Nilai kamu tuh lebih tinggi prioritasnya, nanti kalau turun—”

Peringkat aku di kelas bisa dikejar sama yang lain” sambung Renjun tiba-tiba.

“Tuh paham. Ck. Kita kan pasangan pintar di sekolah Jun—”

“Nilai aku turun bukan berarti kepintaran aku juga menurun Jaem”

“Tapi itu berpengaruh signifikan Junnn. Kita ini pasangan sempurna dari segala sisi. Apa kamu mau orang-orang nurunin ekspektasi ke kita gara-gara salah satu dari kita gak setara??”

Sempurna dan setara

“Arti hubungan kita cuma sebatas sempurna dan setara dari validasi orang lain?” Renjun menggeram.

“Iya. That's how people do their relationship in this decade

“We're not doing relationship but we're doing relationshit mode Jaemin!”

“Pola pikir kamu terlalu rendah Jun” Jaemin menghadiahi Renjun dengan kalimat pamungkasnya.

“Iya. Aku rasa, udah gak sepantasnya kita sama-sama karena rendahnya aku gak bisa mencapai kesempurnaan yang kamu inginkan”

“Maksud kamu apa???”

“Aku capek. Ayo kita akhiri hubungan yang gak setara dan gak sempurna ini Jaemin. Kamu bisa cari sosok lain yang sama-sama memberikan tingkat kesempurnaan dan kesetaraan seutuhnya dalam hubungan. Juga dengan validasi yang perlu dibuktikan dengan nyata. Kita berhenti aja sampai di sini. Aku gak kuat sama kamu.”

Pada akhirnya, Renjun sadar, percuma terlihat sempurna di mata dunia, jika sejatinya semuanya hanya topeng belaka.

© Kalriesa 🦋

Be there~

“Jun, siap-siap deh. Jaemin berantem lagi tuh” Haechan datang tergesa menghampiri Renjun di ruang PMR di kala Renjun sedang menyusun stok obat di nakas.

“Jaeminnya di mana sekarang?”

“Hitungan mundur tiga menuju satu juga bakal nongol” ungkap Haechan cepat.

Benar saja, Jaemin muncul dari balik pintu dengan beberapa luka di pelipis kanan, memar di pipi kiri, dan sedikit lecet pada beberapa titik di wajahnya.

“Sana sama Renjun. Gw malas ngobatin lo. Badung bener” Haechan matanya mendelik ke Jaemin, lalu terarah ke Renjun. “Gw ke kantin dulu ya Jun. Yang sabar nanganin 'penghuni langganan' ruangan kita. Ck!”

Jaemin menatap Renjun takut-takut, sedang Renjun menepuk sofa di depannya dengan lembut, “Duduk sini. Aku obatin.”

Jaemin manut. Ia duduk tepat di hadapan Renjun dengan wajah tertunduk ke bawah, tak berani menatap sosok di depannya.

“Gimana mau diobatin kalau kamunya nunduk. Aku gak keliatan wajah kamuuu” Renjun menggunakan telunjuknya untuk menengadahkan wajah Jaemin ke atas.

Beberapa menit telah berlalu dengan hening. Detik jarum jam dinding menjadi saksi bisu betapa sepinya ruang PMR yang diisi sepasang anak muda. Mereka tenggelam dalam pikirannya masing-masing.