Rumah~
Tags: To be honest, gw gak tau apakah ini hurt/comfort. Jadi monggo dibaca aja bagi yang berkenan.
cw // homophobic , sexuality struggle , harsh words
ide ceritanya dari salah satu one tweet au yang udah gw post, tapi dengan judul dan jalan cerita yang berbeda.
“Jadi sekarang persentasenya udah berapa?” Jaemin bertanya dengan nada suara tajam dan penuh selidik pada sosok mungil di depannya.
Renjun menunduk, mengaduk kopi di depannya yang sudah dingin sedari tadi.
“Liat gw Renjun!” pinta Jaemin tegas.
Akhirnya Renjun memberanikan dirinya untuk menatap Jaemin.
“50:50” ucap Renjun kecil.
Jaemin menghela nafasnya. Hal yang paling ia takutkan terjadi. Renjun, sahabat yang paling disayanginya, terpengaruh oleh lingkungan dan berdampak pada orientasi seksualnya.
“Kasih tau gw kalau persentasenya berubah. Kapan pun itu!” Jaemin meminta lagi.
Renjun hanya bisa melihat Jaemin dengan sendu.
Percakapan itu terjadi di akhir tahun, setelah Renjun mengenal dunia yang paling dihindari oleh Jaemin. Jaemin dengan kesalnya merutuk dirinya sendiri, karena ialah yang mengenalkan Renjun ke salah satu base boys x boys. Jaemin memang sudah lama mengenal base tersebut di salah satu platform media sosial terkenal, tapi ia hanya sebatas tau saja. Saat Renjun bertanya dengan penuh penasaran, Jaemin menjelaskan waspada. Ia tau, tingkat keingintahuan Renjun lebih besar darinya. Dibanding Renjun harus mencari tau sendiri. lebih baik dirinya yang memberi informasi, disertai sederet wejangan untuk tidak ikut terjerumus dalam dunia boys x boys tersebut.
Benar adanya, Jaemin khawatir Renjun masuk ke 'lubang hitam' yang sangat ditakutinya saat itu.
“Gw udah follow basenya dan gw diaccept” Renjun bercerita dengan nada bangga, sementara Jaemin penuh kewaspadaan mendengar sahabatnya berbicara.
“Base apa?”
“Iya base yang kita bahas waktu itu. Gw juga ikut grup wassapnya”
“Hah!!!” Jaemin berteriak kaget. Tak menyangka keingintahuan Renjun lebih tinggi daripada yang ia pikirkan sebelumnya.
“Lo jangan macam-macam deh Jun. Hati-hati. Jangan sembarangan ngasih data pribadi apa pun. Gw follow deh basenya, sekalian grup wassapnya juga” Jaemin terdengar panik dan Renjun bisa merasakannya.
“Kenapa sih Jaem? Gw bisa jaga diri kok”
“Lo itu polos Jun. Gw gak mau lo kenapa-kenapa. Nih gw udah follow basenya, tinggal nunggu diaccept aja.
“Haha segitunya. Gw juga penasaran sih kenapa mereka bisa terjerumus di 'dunia ini'. Lumayan tau nambah-nambah teman” Renjun tertawa.
Jaemin retak hatinya; Gw gak mau lo terjerumus di dunia itu Jun. Jangan...Gw gak mau...Jangan sampai...
Jaemin selalu memantau pergerakan Renjun, apalagi semenjak Jaemin tau bahwa sahabat kesayangannya itu sudah memiliki teman dekat yang didapat dari base boys x boys.
“Nara mau nyamperin gw” Renjun memulai ceritanya lagi.
“Kapan?”
“Minggu depan. Gw nemanin dia di hotel selama 3 hari. Setelahnya kita bakal berkunjung ke beberapa objek wisata.”
Pikiran Jaemin langsung melanglang buana. Berbagai skenario terburuk muncul di benaknya.
“Mau nginap di hotel mana?”
“Kenapa emangnya?”
“Gw mau tau aja. Gak boleh?”
“Iya gak boleh. Rahasia” Renjun cengengesan.
Jaemin makin ketar-ketir dibuatnya.
“Gw khawatir. Banyak kejadian gak mengenakkan di luar sana Renjun. Gw cuma mau lo aman, terjaga. Apalagi lo ketemuan sama orang baru, nginap di hotel pula” Jaemin menyampaikan uneg-unegnya.
“Lo terlalu berlebihan Jaemin. Kan cuma ketemuan aja, lagian kenapa sih?” Renjun memapar penuh tanya.
“Emang gak boleh ya gw khawatir sama sahabat gw sendiri? Gak boleh juga gw mau ngejagain lo?” Jaemin mulai mengerang frustasi.
Terdengar helaan nafas dari sebrang sana, “Gw bukan anak-anak yang perlu dijaga, Jaem.”
“Kalau gitu, lo harus perhatiin baik-baik barang bawaan lo. Jaga privacy lo. Kalau mulai ada gelagat mencurigakan, telpon gw. Gw standby 24 jam” Jaemin berujar serius.
Renjun tertawa renyah menanggapi ocehan sahabatnya yang terlalu protektif itu.
Anonim: Ini Jaemin ya?
Jaemin yang memang sedang online di wassapnya, langsung saja membalas chat tersebut.
Jaemin: Iya. Lo siapa?
Anonim: Kenalin. Gw Nara.
Deg...
Jaemin: Nara siapa? Dapat nomor gw darimana?
Nara: Gw ngecek nomor lo diam-diam dari hpnya Renjun
Deg...Deg...Deg...
Jaemin: Enak bener main cek hp orang diam-diam. Udah izin lo hah? Jangan macam-macam Lo sama Renjun ya!!!
Nara: Maaf sebelumnya. Gw cuma penasaran aja. Soalnya gw liat Renjun intens banget balesin chat dari lo. Lo siapanya Renjun?
Jaemin: Kenapa emangnya?
Nara: Jawab dulu lo siapanya Renjun?
Jaemin: Pacarnya. Kenapa emang??
Nara: Renjun bilang dia single, tapi gw liat foto lo di wallpaper chatnya. Dan gw juga ngecek chatnya Renjun, ketemulah akhirnya sama kontak lo. Ada di pinnednya Renjun.
Jaemin: Maksud lo ngechat gw begini apa???
Nara: Jangan kasih tau Renjun kalau gw ngechat elo.
Jaemin: Ok
Nara: As a man, omongan lo gw pegang. Gw cuma mau ngasih tau, kalau gw suka sama Renjun. Gw juga bakalan nyatain perasaan gw ke doi.
Jaemin: Gw udah bilang kan, gw pacarnya Renjun! Kurang jelas hah!
Nara: Haha, gw gak bodoh Jaemin. Renjun cerita kok kenapa dia bisa kenal base. Gw juga udah sering mengkonfirmasi ke Renjun tentang statusnya. Gw tau Renjun straight. Dia sendiri yang ngaku sama gw. Gw tebak, lo pasti salah satu teman dekatnya, atau sahabatnya. Hahaha
Jaemin: Anjing! Jangan gangguin Renjun!!
Nara: Gw cuma mau confess ke Renjun, terlepas dari dia nerima gw atau nggak. Itu urusan belakangan. Oh ya satu hal lagi. Kalau memang lo sahabatnya Renjun, gw akui lo sangat hebat dalam menjaga Renjun, tapi lo harus tau, kalaupun nanti Renjun nolak gw, gw gak bakal mundur segampang itu juga. Thanks buat waktunya, Jaemin.
Kepala Jaemin langsung sakit detik itu juga. Nafasnya turut sesak. Salah satu hal yang paling ditakutkannya terjadi. Renjun dengan segala pesonanya bisa membuat sekelilingnya lupa diri. Bukan Jaemin tak senang jika ada yang menyukai Renjun. Justru ia senang. Sangat. Tapi yang Jaemin mau, Renjun disukai oleh jenis kelamin yang berbeda, bukan sejenis dengannya.
Jaemin dengan paniknya mengirimkan semua chatnya bersama Nara ke Renjun. Mereka berdua akhirnya melakukan konversasi bersama disertai dengan lenguhan frustasi dan sedikit kekecewaan Jaemin pada sahabatnya.
“Gw kan udah bilang, hati-hati sama barang bawaan lo. Ujung-ujungnya apa? Hp lo malah diotak-atik sembarangan! Gw bahkan gak pernah dengan tanpa izin main intip hp lo seenak jidat Jun!!!”
“Gw juga kaget, kenapa Nara bisa buka hp gw. Padahal hpnya gw kunci. Waktu gw tanya, ternyata pas gw buka hp, dia ngehafalin passwordnya diam-diam.”
“Anjing tuh orang!!” Jaemin tak peduli lagi dengan kata kasarnya yang terlepas.
“Nara sempat bilang sama gw, teman lo tuh tingkat protektifnya tinggi, pake ngaku jadi pacar lo segala, yakin dia cuma nganggap lo temenan doang Jun??? Gitu dibilangnya.”
“Ya sesama sahabat kan wajar saling menjaga. Aneh bener sih si Nara. Kesel gw” Jaemin terdengar berapi-api dari nada bicaranya.
“Gw udah bilang ke Nara untuk jangan gangguin lo. Dia tadi juga confess sama gw”
“Terus?”
“Ya gw tolak. Tapi Naranya kekeh bakal tetap ngejar gw sampai kapan pun. Perasaan dia valid. Gak bisa dihapus seenaknya juga. Yaudah”
“Lah....Lo nggak ngejauhin dia?”
“Kenapa sampai perlu ngejauhin? Nara kan cuma confess. Kita masih bisa temenan. Lagipula dia anaknya asyik kok. Kita sering diskusi banyak hal.”
Jaemin tak tau apa yang salah dari kalimat Renjun barusan. Hanya saja, muncul rasa sedih dari hatinya.
“Oh, sering diskusi juga toh. Oke, baiklah” Jaemin berusaha tenang menanggapi.
“Lo tenang aja Jaem. Nara gak bakal ngechat lo lagi. Gw juga gak mau lo digangguin sama Nara. Gw bilang, kalau lo masih mau temenan baik-baik sama gw, jangan ganggu sahabat gw, dan Naranya nurut. Syukurlah.”
Renjun merasa lega karena sahabatnya tak akan diganggu lagi oleh Nara, tapi Jaemin malah sebaliknya. Ia akan semakin overprotected pada Renjun, karena itu tandanya, intensitas Renjun dan Nara untuk saling berkomunikasi akan semakin meningkat, apalagi Renjun masih memberikan kartu maaf atas tindakan yang dilakukan Nara sebelumnya.
“Yaudah kalau emang lo nyaman buat diskusi sama Nara. Sekiranya mulai muncul yang aneh-aneh, tolong kabari gw. Itu yang gw minta dari lo. Bisa?”
“Iya-iya. Dasar Jaemin bawel. Ckck.”
“Kenapa sih Jun, lo kalau mau cerita selalu nunda-nunda. Gw selalu cerita apapun ke elo. Dari yang wajar sampai ke yang gak masuk akal. Walau kita gak ada ketemuan, gw cerita by phone. Nah ini, lo nunda cerita beberapa bulan, konteks penting pula. Tolong biasain jangan suka nunda cerita. Nanti lo lupa. Gw gak mau!”
“Lebay banget sih Jaem. Cuma cerita aja pun”
“Whatever. Gw tunggu ceritanya besok. Gw bakal samperin lo. Gak ada lagi kisahnya bakal ditunda. Lo udah keseringan nunda cerita. Apa gw emang udah gak dipercaya lagi sebagai sahabat hah?” Jaemin sedikit meninggikan suaranya.
“Ck. Iya besok gw cerita.”
Sambungan telepon pun terputus. Jaemin harusnya tenang, karena Renjun akan menceritakan sesuatu yang penting padanya esok hari, tapi hati kecilnya tak bisa dibohongi. Ia tau, dalam beberapa bulan ini intensitas komunikasinya dengan sahabat kesayangannya itu memang semakin menurun dikarenakan kesibukan masing-masing. Jika bisa dipersentasekan, konversasi mereka menurun 40% dibanding tahun sebelumnya. Segala hal yang dibahas juga tak sebanyak biasanya. Masih tetap Jaemin yang banyak bercerita. Renjun tak akan cerita jika tak ditanya. Memang begitulah dinamika persahabatan di antara keduanya. Namun entah kenapa, feelingnya mengatakan bahwa ia harus siap sedia mendengar apa pun yang akan dibahas oleh Renjun.
“Jadi, cerita apa yang lo tunda berbulan-bulan ke gw?” Jaemin duduk tegak mengarah ke Renjun.
Renjun matanya masih tertuju ke bantal di bawahnya. Beberapa kali senyuman kecil muncul, juga raut keraguan yang bisa Jaemin lihat dengan jelas.
“Ngomong aja, gak papa” Jaemin berusaha meyakinkan Renjun dan menampilkan muka tenangnya.
“Gw bukan nunda cerita dengan sengaja. Gw cuma mau nunggu moment yang tepat. Tapi setelah gw pikir-pikir, momentnya gak bakalan ada yang tepat-” Renjun menggantungkan kalimatnya dan menatap Jaemin lama.
“Kenapa?”
“Gw takut lo kecewa” nada suara Renjun merendah, tapi matanya masih fokus ke Jaemin.
Jaemin tertawa kecil, “Kenapa gw harus kecewa? Itu tandanya sedari awal lo udah meragukan gw, kalau gw gak paksa untuk cerita secepatnya, lo bakal diam aja, dan gw gak tau apa-apa kayak orang bodoh.”
Renjun terdiam.
Jaemin masih setia menunggu.
“Persentasenya udah 80:20” ungkap Renjun perlahan.
Jaemin memproses dengan lambat kalimat Renjun barusan. “Persentase apa ya?” tanyanya bingung.
“Persentase yang pernah kita bahas akhir tahun lalu. Lo request kalau persentase seksual gw udah berubah, lo minta dikabarin kan? Apa udah gak butuh dikasih tau lagi” tanya Renjun tajam.
Deg...deg...deg...deg...deg...deg...deg...
Jaemin menarik nafasnya pelan. Manik matanya menatap Renjun dalam-dalam.
“Sejak kapan?” tanya Jaemin tenang.
“Dalam beberapa bulan terakhir ini. Setelah gw analisa, gw lebih nyaman untuk berinteraksi dengan sesama jenis dibandingkan dengan lawan jenis. Gw juga punya trauma, Jaem...”
“Trauma apa?”
“Maaf gw gak bisa ngasih tau lo”
Jaemin mengangguk.
“Gw butuh 'rumah' untuk bisa menceritakan segala hal tanpa perlu ditutupi Jaem.”
“Lo udah ketemu 'rumahnya'?”
“Gampang. Tinggal cari di base aja” tawa Renjun terdengar renyah di telinga Jaemin.
“Lalu, kenapa lo bisa ngejudge di awal kalau gw bakal kecewa, bahkan sebelum lo cerita. Emang tampang gw ada keliatan bakal kecewa hah??“
“Iya...Gw takut lo mikir yang enggak-enggak tentang gw...Gw takut lo bakalan pergi ninggalin gw...Gw pikir, lo akan nyeramahin gw dan gak mau kenal lagi sama gw...”
“Ada gw ninggalin lo sekarang??? Ada gw ngejauhin lo??? Ada gw ngomongin lo yang enggak-enggak??? Ada Jun???” tanya Jaemin tulus.
“Enggak...”
“Yaudah. Gak usah overthinking sama gw kayak gitulah.”
“Lo tau kan, gw gak gampang percayaan sama orang lain, apalagi untuk cerita. Gw pengen nemuin 'rumah' yang siap sedia mendengarkan cerita gw. Dan lo tau sendiri, ketika gw udah percaya sama satu orang, gw bakalan attached ke orang itu sampai kapan pun. Itu artinya...”
“Intensitas cerita lo ke gw akan semakin berkurang???” Jaemin memastikan.
“Iya...”
“Oke...”
Hening tercipta untuk beberapa lama, sampai akhirnya Jaemin yang membuka suara.
“Sebelumnya, gw mau ngucapin terima kasih banyak buat lo, karena udah berani ceritain hal ini ke gw, walaupun secara konteks, ini adalah request yang gw minta, tapi lo tetap ngelakuin. Makasih Jun.”
“Iya sama-sama.”
“Terkait rumah yang lo jelaskan tadi. Gw gak bisa ngelarang. Apalagi, nyamannya lo untuk bercerita dan berbagi, hanya lo yang paham. Ditambah lagi lo juga punya trauma, yang gw gak tau apa...Gw juga pengen lo bisa ketemu dengan sosok yang bisa lo sebut sebagai 'rumahnya Renjun'. Rumah yang buat lo nyaman. Yang selalu ada buat lo. Yang bisa jadi tempat lo menceritakan hal apa pun tanpa ngerasa takut akan dijudge. Rumah yang bisa jadi tempat lo berteduh dan memunculkan jati diri seorang Huang Renjun yang sebenarnya. Rumah yang jadi tempat lo beristirahat dari peliknya dunia yang jahat. Gw berharap lo bisa nemuin 'rumah' itu secepatnya, Jun.”
Renjun termangu mendengarkan untaian kalimat demi kalimat yang ke luar dari bibir Jaemin.
“Gw juga berharapnya gitu Jaem. Doain ya...”
“Pastinya Jun. Gw cuma mau lo bahagia dengan keputusan apa pun yang lo ambil. Gw gak mau sahabat gw sedih ataupun kesakitan. Ah ya, satu hal lagi. Ketika lo nantinya udah menemukan sosok yang bisa jadi 'rumah ternyaman' buat lo, gw masih tetap di sini kok Jun. Gw gak bakal pergi. Gw gak bakalan lari. Gw tetap menjadi Jaemin yang bawel dan selalu ada saat lo butuh. Jadi lo bisa datang kapanpun juga ke gw. Gak usah sungkan ya.”
Jaemin menahan sesak yang sedari tadi berkumpul di dadanya. Ia tetap memunculkan senyum terbaiknya bagi sahabatnya.
“Makasih ya Jaemin....”
“Kalau nanti lo udah nemuin 'rumah'. Bisa gak lo kasih tau gw siapa orangnya?” Jaemin bertanya di sela-sela makan siang mereka.
“Nggak bisa.”
“Gw serius Jun”
“Gw juga serius Jaemin”
Ah...
“Memangnya tingkat kepercayaan lo ke gw sekarang gimana?” Jaemin bertanya kembali.
“Masih sama seperti biasa?” jawab Renjun apa adanya.
“Gak naik gak turun???”
“Iya. Stagnan aja” Renjun menekankan lagi.
Ternyata begitu ya...
Jauh di lubuk hati Jaemin, ia kecewa. Tapi kekecewaannya tak ditujukan pada sosok sahabatnya, Renjun, melainkan pada dirinya sendiri.
Jaemin kecewa, karena tak berhasil menjaga sosok yang sangat disayanginya. Jaemin kecewa, karena segala daya upaya yang dilakukannya agar sahabatnya tak semakin jauh terperangkap di dunia cinta sesama jenis telah sirna.
Jaemin kecewa, karena jika ia terang-terangan ingin Renjun kembali pada kodratnya, maka Renjun bisa saja yang pergi menjauhinya. Sosok Renjun yang ada di dekatnya sekarang ini saja masih terasa susah digapai walau tali persahabatan di antara mereka sudah berlangsung lama. Sedangkan Jaemin terlalu takut akan kehilangan sahabat kesayangannya...
Maka, jauh di lubuk hatinya, Jaemin menangis dengan lirih, karena dirinya merasa jadi penyebab Renjun mengetahui dunia yang seharusnya tak diketahuinya.
Gw gagal ya Jun...Gw gagal jadi sahabat yang baik buat lo. Bahkan untuk jadi 'rumah' untuk sahabat gw aja gw gak bisa...”
Pada akhirnya, Jaemin tetap kehilangan, bahkan keduanya
©Kalriesa🦋