kalriesa

“Jaemin, lo kok mau sih temenan sama homo?” tanya Rara di tempat fotocopy kampusnya saat sedang sepi.

Mata Jaemin langsung melotot, “Siapa homo?”

“Renjun. Sahabat lo sendiri. Lo gak tau?”

Jaemin yang sedang sibuk membaca chat grup kelasnya seketika berhenti. “Jangan bikin gosip yang enggak-enggak.”

“Demi Tuhan. Si Pablo liat Renjun ciuman di toilet belakang sama laki-laki. Beberapa anak yang lain juga pernah ngegap Renjun senyum-senyum liatin foto laki-laki di hpnya” Rara berbisik sembari melihat sekitarnya.

Jaemin berusaha tenang. Ia tak mau menelan mentah-mentah informasi tanpa mengkonfirmasi ke sosok yang bersangkutan, Renjun, sahabatnya sekaligus tetangga sebelah rumahnya sedari kecil.

“Urusan gw udah beres. Gw ke kelas duluan ya Ra.”

***

From Jaemin: Ren, lu di mana? Ketemuan yuk

From Renjun: Pulang kampus aja Jaem. Gw masih sibuk

From Jaemin: Oke dehh

Jaemin dan Renjun memang satu fakultas, tapi mereka beda jurusan. Jaemin jurusan Manajemen, Renjun jurusan Ilmu Ekonomi. Selama ini Jaemin jarang menerima badnews terkait sahabatnya, tapi beberapa minggu terakhir, teman-teman sekelasnya kerap mengkonfirmasinya mengenai orientasi seksual Renjun.

Sahabatnya termasuk salah satu ace fakultas. Beberapa kali ladies dengan berani mengajaknya dating, namun selalu ditolak Renjun dengan sopan.

Renjun gak mungkin homo. Dia bilang mau fokus kuliah dulu kok. Lagian kalau Renjun homo, malu-maluin aja. Ckck

Jaemin meyakinkan dirinya sendiri.

Tungkai kakinya terarah menuju toilet belakang, bukan toilet Manajemen, melainkan toilet Ilmu Ekonomi. Jaemin sendiri bingung kenapa ia harus melangkah sejauh ini mencari toilet, padahal yang lebih dekat posisinya juga ada.

“Hmmph. Pe...lan”

Telinga Jaemin menangkap suara yang tak asing di sekitarnya.

“No! Jangan disini please—Hhhh”

Jaemin perlahan menuju ke asal suara. Toilet Ilmu Ekonomi memang jauh dari keramaian. Lokasinya juga berada di ujung gedung. Sangat jarang mahasiswa/i mampir menuntaskan hajatnya di sini, kecuali jika toilet yang lain penuh.

“Renjun???” dua bola mata Jaemin rasanya ingin ke luar dari tempatnya ketika ia melihat sendiri sahabatnya sedang menikmati ciuman dengan sosok laki-laki, juga salah satu tangan mungilnya yang mengelus alat kelamin lawannya.

Renjun yang masih terengah-engah, berhasil menyadarkan dirinya karena mengenali panggilan dari suara yang sangat dikenalnya. “Jae.....min...”

“Jadi—Lo—Beneran HOMO!!!” teriak Jaemin tanpa peduli tempat.

“Jaem...Dengerin gw dulu...” Renjun mendorong lelaki di depannya yang menciumnya.

“Stop!! Jangan deketin gw!!”

“Jaem...” di mata Renjun mulai terkumpul cairan yang siap membanjiri wajah manisnya.

“Sejak kapan lo jadi homo hah!!! SE JAK KA PAN REN JUN!!!” Jaemin mulai berteriak frustasi.

“Gw...gw—”

Jaemin menutup matanya yang sudah penuh kilatan amarah. Nafasnya pelan-pelan dihembuskannya sembari membuka matanya kembali.

“Mulai detik ini juga, jangan pernah muncul di depan mata gw! Jangan dekat-dekat gw lagi! Gw gak sudi punya sahabat homo kayak lo brengsek!!!” Jaemin menatap Renjun dengan penuh kebencian. Setelah selesai dengan kalimat terakhirnya, Jaemin langsung pergi tanpa memberikan kesempatan Renjun untuk berbicara.

Wajah Renjun sudah dibanjiri cairan bening tak tertahan. Renjun tak peduli lagi dengan aktivitas yang dilakukannya sebelumnya. Tangannya mengisyaratkan sosok lelaki di depannya untuk pergi sesegera mungkin.

Renjun langsung teringat percakapan di masa lalu antara dirinya dan Jaemin.

“Apa pun yang terjadi sama lo, selalu kabari gw”

“Apa pun???”

“Iya. Lo itu sahabat gw Ren, bahkan gw udah mempercayai lo melebihi keluarga gw sendiri. Jadi kalau ada apa-apa, gw mau jadi orang pertama yang tau kondisi lo duluan. Gw mau jadi sahabat lo yang berguna dan gak akan ninggalin lo di situasi apa pun”

“Ternyata semua omongan lo bullshit ya Jaem. Sahabat yang katanya gak akan ninggalin gw di situasi apa pun udah jadi manusia yang membenci gw dengan sangat. Hahaha”

©Kalriesa🦋

Rumah~

Tags: To be honest, gw gak tau apakah ini hurt/comfort. Jadi monggo dibaca aja bagi yang berkenan.

cw // homophobic , sexuality struggle , harsh words

ide ceritanya dari salah satu one tweet au yang udah gw post, tapi dengan judul dan jalan cerita yang berbeda.


“Jadi sekarang persentasenya udah berapa?” Jaemin bertanya dengan nada suara tajam dan penuh selidik pada sosok mungil di depannya.

Renjun menunduk, mengaduk kopi di depannya yang sudah dingin sedari tadi.

“Liat gw Renjun!” pinta Jaemin tegas.

Akhirnya Renjun memberanikan dirinya untuk menatap Jaemin.

“50:50” ucap Renjun kecil.

Jaemin menghela nafasnya. Hal yang paling ia takutkan terjadi. Renjun, sahabat yang paling disayanginya, terpengaruh oleh lingkungan dan berdampak pada orientasi seksualnya.

“Kasih tau gw kalau persentasenya berubah. Kapan pun itu!” Jaemin meminta lagi.

Renjun hanya bisa melihat Jaemin dengan sendu.


Percakapan itu terjadi di akhir tahun, setelah Renjun mengenal dunia yang paling dihindari oleh Jaemin. Jaemin dengan kesalnya merutuk dirinya sendiri, karena ialah yang mengenalkan Renjun ke salah satu base boys x boys. Jaemin memang sudah lama mengenal base tersebut di salah satu platform media sosial terkenal, tapi ia hanya sebatas tau saja. Saat Renjun bertanya dengan penuh penasaran, Jaemin menjelaskan waspada. Ia tau, tingkat keingintahuan Renjun lebih besar darinya. Dibanding Renjun harus mencari tau sendiri. lebih baik dirinya yang memberi informasi, disertai sederet wejangan untuk tidak ikut terjerumus dalam dunia boys x boys tersebut.

Benar adanya, Jaemin khawatir Renjun masuk ke 'lubang hitam' yang sangat ditakutinya saat itu.

“Gw udah follow basenya dan gw diaccept” Renjun bercerita dengan nada bangga, sementara Jaemin penuh kewaspadaan mendengar sahabatnya berbicara.

“Base apa?”

“Iya base yang kita bahas waktu itu. Gw juga ikut grup wassapnya”

“Hah!!!” Jaemin berteriak kaget. Tak menyangka keingintahuan Renjun lebih tinggi daripada yang ia pikirkan sebelumnya.

“Lo jangan macam-macam deh Jun. Hati-hati. Jangan sembarangan ngasih data pribadi apa pun. Gw follow deh basenya, sekalian grup wassapnya juga” Jaemin terdengar panik dan Renjun bisa merasakannya.

“Kenapa sih Jaem? Gw bisa jaga diri kok”

“Lo itu polos Jun. Gw gak mau lo kenapa-kenapa. Nih gw udah follow basenya, tinggal nunggu diaccept aja.

“Haha segitunya. Gw juga penasaran sih kenapa mereka bisa terjerumus di 'dunia ini'. Lumayan tau nambah-nambah teman” Renjun tertawa.

Jaemin retak hatinya; Gw gak mau lo terjerumus di dunia itu Jun. Jangan...Gw gak mau...Jangan sampai...


Jaemin selalu memantau pergerakan Renjun, apalagi semenjak Jaemin tau bahwa sahabat kesayangannya itu sudah memiliki teman dekat yang didapat dari base boys x boys.

“Nara mau nyamperin gw” Renjun memulai ceritanya lagi.

“Kapan?”

“Minggu depan. Gw nemanin dia di hotel selama 3 hari. Setelahnya kita bakal berkunjung ke beberapa objek wisata.”

Pikiran Jaemin langsung melanglang buana. Berbagai skenario terburuk muncul di benaknya.

“Mau nginap di hotel mana?”

“Kenapa emangnya?”

“Gw mau tau aja. Gak boleh?”

“Iya gak boleh. Rahasia” Renjun cengengesan.

Jaemin makin ketar-ketir dibuatnya.

“Gw khawatir. Banyak kejadian gak mengenakkan di luar sana Renjun. Gw cuma mau lo aman, terjaga. Apalagi lo ketemuan sama orang baru, nginap di hotel pula” Jaemin menyampaikan uneg-unegnya.

“Lo terlalu berlebihan Jaemin. Kan cuma ketemuan aja, lagian kenapa sih?” Renjun memapar penuh tanya.

“Emang gak boleh ya gw khawatir sama sahabat gw sendiri? Gak boleh juga gw mau ngejagain lo?” Jaemin mulai mengerang frustasi.

Terdengar helaan nafas dari sebrang sana, “Gw bukan anak-anak yang perlu dijaga, Jaem.”

“Kalau gitu, lo harus perhatiin baik-baik barang bawaan lo. Jaga privacy lo. Kalau mulai ada gelagat mencurigakan, telpon gw. Gw standby 24 jam” Jaemin berujar serius.

Renjun tertawa renyah menanggapi ocehan sahabatnya yang terlalu protektif itu.


Anonim: Ini Jaemin ya?

Jaemin yang memang sedang online di wassapnya, langsung saja membalas chat tersebut.

Jaemin: Iya. Lo siapa?

Anonim: Kenalin. Gw Nara.

Deg...

Jaemin: Nara siapa? Dapat nomor gw darimana?

Nara: Gw ngecek nomor lo diam-diam dari hpnya Renjun

Deg...Deg...Deg...

Jaemin: Enak bener main cek hp orang diam-diam. Udah izin lo hah? Jangan macam-macam Lo sama Renjun ya!!!

Nara: Maaf sebelumnya. Gw cuma penasaran aja. Soalnya gw liat Renjun intens banget balesin chat dari lo. Lo siapanya Renjun?

Jaemin: Kenapa emangnya?

Nara: Jawab dulu lo siapanya Renjun?

Jaemin: Pacarnya. Kenapa emang??

Nara: Renjun bilang dia single, tapi gw liat foto lo di wallpaper chatnya. Dan gw juga ngecek chatnya Renjun, ketemulah akhirnya sama kontak lo. Ada di pinnednya Renjun.

Jaemin: Maksud lo ngechat gw begini apa???

Nara: Jangan kasih tau Renjun kalau gw ngechat elo.

Jaemin: Ok

Nara: As a man, omongan lo gw pegang. Gw cuma mau ngasih tau, kalau gw suka sama Renjun. Gw juga bakalan nyatain perasaan gw ke doi.

Jaemin: Gw udah bilang kan, gw pacarnya Renjun! Kurang jelas hah!

Nara: Haha, gw gak bodoh Jaemin. Renjun cerita kok kenapa dia bisa kenal base. Gw juga udah sering mengkonfirmasi ke Renjun tentang statusnya. Gw tau Renjun straight. Dia sendiri yang ngaku sama gw. Gw tebak, lo pasti salah satu teman dekatnya, atau sahabatnya. Hahaha

Jaemin: Anjing! Jangan gangguin Renjun!!

Nara: Gw cuma mau confess ke Renjun, terlepas dari dia nerima gw atau nggak. Itu urusan belakangan. Oh ya satu hal lagi. Kalau memang lo sahabatnya Renjun, gw akui lo sangat hebat dalam menjaga Renjun, tapi lo harus tau, kalaupun nanti Renjun nolak gw, gw gak bakal mundur segampang itu juga. Thanks buat waktunya, Jaemin.

Kepala Jaemin langsung sakit detik itu juga. Nafasnya turut sesak. Salah satu hal yang paling ditakutkannya terjadi. Renjun dengan segala pesonanya bisa membuat sekelilingnya lupa diri. Bukan Jaemin tak senang jika ada yang menyukai Renjun. Justru ia senang. Sangat. Tapi yang Jaemin mau, Renjun disukai oleh jenis kelamin yang berbeda, bukan sejenis dengannya.

Jaemin dengan paniknya mengirimkan semua chatnya bersama Nara ke Renjun. Mereka berdua akhirnya melakukan konversasi bersama disertai dengan lenguhan frustasi dan sedikit kekecewaan Jaemin pada sahabatnya.

“Gw kan udah bilang, hati-hati sama barang bawaan lo. Ujung-ujungnya apa? Hp lo malah diotak-atik sembarangan! Gw bahkan gak pernah dengan tanpa izin main intip hp lo seenak jidat Jun!!!”

“Gw juga kaget, kenapa Nara bisa buka hp gw. Padahal hpnya gw kunci. Waktu gw tanya, ternyata pas gw buka hp, dia ngehafalin passwordnya diam-diam.”

“Anjing tuh orang!!” Jaemin tak peduli lagi dengan kata kasarnya yang terlepas.

“Nara sempat bilang sama gw, teman lo tuh tingkat protektifnya tinggi, pake ngaku jadi pacar lo segala, yakin dia cuma nganggap lo temenan doang Jun??? Gitu dibilangnya.”

“Ya sesama sahabat kan wajar saling menjaga. Aneh bener sih si Nara. Kesel gw” Jaemin terdengar berapi-api dari nada bicaranya.

“Gw udah bilang ke Nara untuk jangan gangguin lo. Dia tadi juga confess sama gw”

“Terus?”

“Ya gw tolak. Tapi Naranya kekeh bakal tetap ngejar gw sampai kapan pun. Perasaan dia valid. Gak bisa dihapus seenaknya juga. Yaudah”

“Lah....Lo nggak ngejauhin dia?”

“Kenapa sampai perlu ngejauhin? Nara kan cuma confess. Kita masih bisa temenan. Lagipula dia anaknya asyik kok. Kita sering diskusi banyak hal.”

Jaemin tak tau apa yang salah dari kalimat Renjun barusan. Hanya saja, muncul rasa sedih dari hatinya.

“Oh, sering diskusi juga toh. Oke, baiklah” Jaemin berusaha tenang menanggapi.

“Lo tenang aja Jaem. Nara gak bakal ngechat lo lagi. Gw juga gak mau lo digangguin sama Nara. Gw bilang, kalau lo masih mau temenan baik-baik sama gw, jangan ganggu sahabat gw, dan Naranya nurut. Syukurlah.”

Renjun merasa lega karena sahabatnya tak akan diganggu lagi oleh Nara, tapi Jaemin malah sebaliknya. Ia akan semakin overprotected pada Renjun, karena itu tandanya, intensitas Renjun dan Nara untuk saling berkomunikasi akan semakin meningkat, apalagi Renjun masih memberikan kartu maaf atas tindakan yang dilakukan Nara sebelumnya.

“Yaudah kalau emang lo nyaman buat diskusi sama Nara. Sekiranya mulai muncul yang aneh-aneh, tolong kabari gw. Itu yang gw minta dari lo. Bisa?”

“Iya-iya. Dasar Jaemin bawel. Ckck.”


“Kenapa sih Jun, lo kalau mau cerita selalu nunda-nunda. Gw selalu cerita apapun ke elo. Dari yang wajar sampai ke yang gak masuk akal. Walau kita gak ada ketemuan, gw cerita by phone. Nah ini, lo nunda cerita beberapa bulan, konteks penting pula. Tolong biasain jangan suka nunda cerita. Nanti lo lupa. Gw gak mau!”

“Lebay banget sih Jaem. Cuma cerita aja pun”

“Whatever. Gw tunggu ceritanya besok. Gw bakal samperin lo. Gak ada lagi kisahnya bakal ditunda. Lo udah keseringan nunda cerita. Apa gw emang udah gak dipercaya lagi sebagai sahabat hah?” Jaemin sedikit meninggikan suaranya.

“Ck. Iya besok gw cerita.”

Sambungan telepon pun terputus. Jaemin harusnya tenang, karena Renjun akan menceritakan sesuatu yang penting padanya esok hari, tapi hati kecilnya tak bisa dibohongi. Ia tau, dalam beberapa bulan ini intensitas komunikasinya dengan sahabat kesayangannya itu memang semakin menurun dikarenakan kesibukan masing-masing. Jika bisa dipersentasekan, konversasi mereka menurun 40% dibanding tahun sebelumnya. Segala hal yang dibahas juga tak sebanyak biasanya. Masih tetap Jaemin yang banyak bercerita. Renjun tak akan cerita jika tak ditanya. Memang begitulah dinamika persahabatan di antara keduanya. Namun entah kenapa, feelingnya mengatakan bahwa ia harus siap sedia mendengar apa pun yang akan dibahas oleh Renjun.


“Jadi, cerita apa yang lo tunda berbulan-bulan ke gw?” Jaemin duduk tegak mengarah ke Renjun.

Renjun matanya masih tertuju ke bantal di bawahnya. Beberapa kali senyuman kecil muncul, juga raut keraguan yang bisa Jaemin lihat dengan jelas.

“Ngomong aja, gak papa” Jaemin berusaha meyakinkan Renjun dan menampilkan muka tenangnya.

“Gw bukan nunda cerita dengan sengaja. Gw cuma mau nunggu moment yang tepat. Tapi setelah gw pikir-pikir, momentnya gak bakalan ada yang tepat-” Renjun menggantungkan kalimatnya dan menatap Jaemin lama.

“Kenapa?”

“Gw takut lo kecewa” nada suara Renjun merendah, tapi matanya masih fokus ke Jaemin.

Jaemin tertawa kecil, “Kenapa gw harus kecewa? Itu tandanya sedari awal lo udah meragukan gw, kalau gw gak paksa untuk cerita secepatnya, lo bakal diam aja, dan gw gak tau apa-apa kayak orang bodoh.”

Renjun terdiam.

Jaemin masih setia menunggu.

“Persentasenya udah 80:20” ungkap Renjun perlahan.

Jaemin memproses dengan lambat kalimat Renjun barusan. “Persentase apa ya?” tanyanya bingung.

“Persentase yang pernah kita bahas akhir tahun lalu. Lo request kalau persentase seksual gw udah berubah, lo minta dikabarin kan? Apa udah gak butuh dikasih tau lagi” tanya Renjun tajam.

Deg...deg...deg...deg...deg...deg...deg...

Jaemin menarik nafasnya pelan. Manik matanya menatap Renjun dalam-dalam.

“Sejak kapan?” tanya Jaemin tenang.

“Dalam beberapa bulan terakhir ini. Setelah gw analisa, gw lebih nyaman untuk berinteraksi dengan sesama jenis dibandingkan dengan lawan jenis. Gw juga punya trauma, Jaem...”

“Trauma apa?”

“Maaf gw gak bisa ngasih tau lo”

Jaemin mengangguk.

“Gw butuh 'rumah' untuk bisa menceritakan segala hal tanpa perlu ditutupi Jaem.”

“Lo udah ketemu 'rumahnya'?”

“Gampang. Tinggal cari di base aja” tawa Renjun terdengar renyah di telinga Jaemin.

“Lalu, kenapa lo bisa ngejudge di awal kalau gw bakal kecewa, bahkan sebelum lo cerita. Emang tampang gw ada keliatan bakal kecewa hah??

Iya...Gw takut lo mikir yang enggak-enggak tentang gw...Gw takut lo bakalan pergi ninggalin gw...Gw pikir, lo akan nyeramahin gw dan gak mau kenal lagi sama gw...”

“Ada gw ninggalin lo sekarang??? Ada gw ngejauhin lo??? Ada gw ngomongin lo yang enggak-enggak??? Ada Jun???” tanya Jaemin tulus.

“Enggak...”

“Yaudah. Gak usah overthinking sama gw kayak gitulah.”

“Lo tau kan, gw gak gampang percayaan sama orang lain, apalagi untuk cerita. Gw pengen nemuin 'rumah' yang siap sedia mendengarkan cerita gw. Dan lo tau sendiri, ketika gw udah percaya sama satu orang, gw bakalan attached ke orang itu sampai kapan pun. Itu artinya...”

“Intensitas cerita lo ke gw akan semakin berkurang???” Jaemin memastikan.

“Iya...”

“Oke...”

Hening tercipta untuk beberapa lama, sampai akhirnya Jaemin yang membuka suara.

“Sebelumnya, gw mau ngucapin terima kasih banyak buat lo, karena udah berani ceritain hal ini ke gw, walaupun secara konteks, ini adalah request yang gw minta, tapi lo tetap ngelakuin. Makasih Jun.”

“Iya sama-sama.”

“Terkait rumah yang lo jelaskan tadi. Gw gak bisa ngelarang. Apalagi, nyamannya lo untuk bercerita dan berbagi, hanya lo yang paham. Ditambah lagi lo juga punya trauma, yang gw gak tau apa...Gw juga pengen lo bisa ketemu dengan sosok yang bisa lo sebut sebagai 'rumahnya Renjun'. Rumah yang buat lo nyaman. Yang selalu ada buat lo. Yang bisa jadi tempat lo menceritakan hal apa pun tanpa ngerasa takut akan dijudge. Rumah yang bisa jadi tempat lo berteduh dan memunculkan jati diri seorang Huang Renjun yang sebenarnya. Rumah yang jadi tempat lo beristirahat dari peliknya dunia yang jahat. Gw berharap lo bisa nemuin 'rumah' itu secepatnya, Jun.”

Renjun termangu mendengarkan untaian kalimat demi kalimat yang ke luar dari bibir Jaemin.

“Gw juga berharapnya gitu Jaem. Doain ya...”

“Pastinya Jun. Gw cuma mau lo bahagia dengan keputusan apa pun yang lo ambil. Gw gak mau sahabat gw sedih ataupun kesakitan. Ah ya, satu hal lagi. Ketika lo nantinya udah menemukan sosok yang bisa jadi 'rumah ternyaman' buat lo, gw masih tetap di sini kok Jun. Gw gak bakal pergi. Gw gak bakalan lari. Gw tetap menjadi Jaemin yang bawel dan selalu ada saat lo butuh. Jadi lo bisa datang kapanpun juga ke gw. Gak usah sungkan ya.”

Jaemin menahan sesak yang sedari tadi berkumpul di dadanya. Ia tetap memunculkan senyum terbaiknya bagi sahabatnya.

“Makasih ya Jaemin....”


“Kalau nanti lo udah nemuin 'rumah'. Bisa gak lo kasih tau gw siapa orangnya?” Jaemin bertanya di sela-sela makan siang mereka.

“Nggak bisa.”

“Gw serius Jun”

“Gw juga serius Jaemin”

Ah...

“Memangnya tingkat kepercayaan lo ke gw sekarang gimana?” Jaemin bertanya kembali.

“Masih sama seperti biasa?” jawab Renjun apa adanya.

“Gak naik gak turun???”

“Iya. Stagnan aja” Renjun menekankan lagi.

Ternyata begitu ya...

Jauh di lubuk hati Jaemin, ia kecewa. Tapi kekecewaannya tak ditujukan pada sosok sahabatnya, Renjun, melainkan pada dirinya sendiri.

Jaemin kecewa, karena tak berhasil menjaga sosok yang sangat disayanginya. Jaemin kecewa, karena segala daya upaya yang dilakukannya agar sahabatnya tak semakin jauh terperangkap di dunia cinta sesama jenis telah sirna.

Jaemin kecewa, karena jika ia terang-terangan ingin Renjun kembali pada kodratnya, maka Renjun bisa saja yang pergi menjauhinya. Sosok Renjun yang ada di dekatnya sekarang ini saja masih terasa susah digapai walau tali persahabatan di antara mereka sudah berlangsung lama. Sedangkan Jaemin terlalu takut akan kehilangan sahabat kesayangannya...

Maka, jauh di lubuk hatinya, Jaemin menangis dengan lirih, karena dirinya merasa jadi penyebab Renjun mengetahui dunia yang seharusnya tak diketahuinya.

Gw gagal ya Jun...Gw gagal jadi sahabat yang baik buat lo. Bahkan untuk jadi 'rumah' untuk sahabat gw aja gw gak bisa...”

Pada akhirnya, Jaemin tetap kehilangan, bahkan keduanya

©Kalriesa🦋

Rumah~

Tags: To be honest, gw gak tau apakah ini hurt/comfort. Jadi monggo dibaca aja bagi yang berkenan.

cw // homophobic , sexuality struggle , harsh words

ide ceritanya dari salah satu one tweet au yang udah gw post, tapi dengan judul dan jalan cerita yang berbeda.


“Jadi sekarang persentasenya udah berapa?” Jaemin bertanya dengan nada suara tajam dan penuh selidik pada sosok mungil di depannya.

Renjun menunduk, mengaduk kopi di depannya yang sudah dingin sedari tadi.

“Liat gw Renjun!” pinta Jaemin tegas.

Akhirnya Renjun memberanikan dirinya untuk menatap Jaemin.

“50:50” ucap Renjun kecil.

Jaemin menghela nafasnya. Hal yang paling ia takutkan terjadi. Renjun, sahabat yang paling disayanginya, terpengaruh oleh lingkungan dan berdampak pada orientasi seksualnya.

“Kasih tau gw kalau persentasenya berubah. Kapan pun itu!” Jaemin meminta lagi.

Renjun hanya bisa melihat Jaemin dengan sendu.


Percakapan itu terjadi di akhir tahun, setelah Renjun mengenal dunia yang paling dihindari oleh Jaemin. Jaemin dengan kesalnya merutuk dirinya sendiri, karena ialah yang mengenalkan Renjun ke salah satu base boys x boys. Jaemin memang sudah lama mengenal base tersebut di salah satu platform media sosial terkenal, tapi ia hanya sebatas tau saja. Saat Renjun bertanya dengan penuh penasaran, Jaemin menjelaskan waspada. Ia tau, tingkat keingintahuan Renjun lebih besar darinya. Dibanding Renjun harus mencari tau sendiri. lebih baik dirinya yang memberi informasi, disertai sederet wejangan untuk tidak ikut terjerumus dalam dunia boys x boys tersebut.

Benar adanya, Jaemin khawatir Renjun masuk ke 'lubang hitam' yang sangat ditakutinya saat itu.

“Gw udah follow basenya dan gw diaccept” Renjun bercerita dengan nada bangga, sementara Jaemin penuh kewaspadaan mendengar sahabatnya berbicara.

“Base apa?”

“Iya base yang kita bahas waktu itu. Gw juga ikut grup wassapnya”

“Hah!!!” Jaemin berteriak kaget. Tak menyangka keingintahuan Renjun lebih tinggi daripada yang ia pikirkan sebelumnya.

“Lo jangan macam-macam deh Jun. Hati-hati. Jangan sembarangan ngasih data pribadi apa pun. Gw follow deh basenya, sekalian grup wassapnya juga” Jaemin terdengar panik dan Renjun bisa merasakannya.

“Kenapa sih Jaem? Gw bisa jaga diri kok”

“Lo itu polos Jun. Gw gak mau lo kenapa-kenapa. Nih gw udah follow basenya, tinggal nunggu diaccept aja.

“Haha segitunya. Gw juga penasaran sih kenapa mereka bisa terjerumus di 'dunia ini'. Lumayan tau nambah-nambah teman” Renjun tertawa.

Jaemin retak hatinya; Gw gak mau lo terjerumus di dunia itu Jun. Jangan...Gw gak mau...Jangan sampai...


Jaemin selalu memantau pergerakan Renjun, apalagi semenjak Jaemin tau bahwa sahabat kesayangannya itu sudah memiliki teman dekat yang didapat dari base boys x boys.

“Nara mau nyamperin gw” Renjun memulai ceritanya lagi.

“Kapan?”

“Minggu depan. Gw nemanin dia di hotel selama 3 hari. Setelahnya kita bakal berkunjung ke beberapa objek wisata.”

Pikiran Jaemin langsung melanglang buana. Berbagai skenario terburuk muncul di benaknya.

“Mau nginap di hotel mana?”

“Kenapa emangnya?”

“Gw mau tau aja. Gak boleh?”

“Iya gak boleh. Rahasia” Renjun cengengesan.

Jaemin makin ketar-ketir dibuatnya.

“Gw khawatir. Banyak kejadian gak mengenakkan di luar sana Renjun. Gw cuma mau lo aman, terjaga. Apalagi lo ketemuan sama orang baru, nginap di hotel pula” Jaemin menyampaikan uneg-unegnya.

“Lo terlalu berlebihan Jaemin. Kan cuma ketemuan aja, lagian kenapa sih?” Renjun memapar penuh tanya.

“Emang gak boleh ya gw khawatir sama sahabat gw sendiri? Gak boleh juga gw mau ngejagain lo?” Jaemin mulai mengerang frustasi.

Terdengar helaan nafas dari sebrang sana, “Gw bukan anak-anak yang perlu dijaga, Jaem.”

“Kalau gitu, lo harus perhatiin baik-baik barang bawaan lo. Jaga privacy lo. Kalau mulai ada gelagat mencurigakan, telpon gw. Gw standby 24 jam” Jaemin berujar serius.

Renjun tertawa renyah menanggapi ocehan sahabatnya yang terlalu protektif itu.


Anonim: Ini Jaemin ya?

Jaemin yang memang sedang online di wassapnya, langsung saja membalas chat tersebut.

Jaemin: Iya. Lo siapa? Anonim: Kenalin. Gw Nara.

Deg...

Jaemin: Nara siapa? Dapat nomor gw darimana? Nara: Gw ngecek nomor lo diam-diam dari hpnya Renjun

Deg...Deg...Deg...

Jaemin: Enak bener main cek hp orang diam-diam. Udah izin lo hah? Jangan macam-macam Lo sama Renjun ya!!! Nara: Maaf sebelumnya. Gw cuma penasaran aja. Soalnya gw liat Renjun intens banget balesin chat dari lo. Lo siapanya Renjun? Jaemin: Kenapa emangnya? Nara: Jawab dulu lo siapanya Renjun? Jaemin: Pacarnya. Kenapa emang?? Nara: Renjun bilang dia single, tapi gw liat foto lo di wallpaper chatnya. Dan gw juga ngecek chatnya Renjun, ketemulah akhirnya sama kontak lo. Ada di pinnednya Renjun. Jaemin: Maksud lo ngechat gw begini apa??? Nara: Jangan kasih tau Renjun kalau gw ngechat elo. Jaemin: Ok Nara: As a man, omongan lo gw pegang. Gw cuma mau ngasih tau, kalau gw suka sama Renjun. Gw juga bakalan nyatain perasaan gw ke doi. Jaemin: Gw udah bilang kan, gw pacarnya Renjun! Kurang jelas hah! Nara: Haha, gw gak bodoh Jaemin. Renjun cerita kok kenapa dia bisa kenal base. Gw juga udah sering mengkonfirmasi ke Renjun tentang statusnya. Gw tau Renjun straight. Dia sendiri yang ngaku sama gw. Gw tebak, lo pasti salah satu teman dekatnya, atau sahabatnya. Hahaha Jaemin: Anjing! Jangan gangguin Renjun. Nara: Gw cuma mau confess ke Renjun, terlepas dari dia nerima gw atau nggak. Itu urusan belakangan. Oh ya satu hal lagi. Kalau memang lo sahabatnya Renjun, gw akui lo sangat hebat dalam menjaga Renjun, tapi lo harus tau, kalaupun nanti Renjun nolak gw, gw gak bakal mundur segampang itu juga. Thanks buat waktunya, Jaemin.

Kepala Jaemin langsung sakit detik itu juga. Nafasnya turut sesak. Salah satu hal yang paling ditakutkannya terjadi. Renjun dengan segala pesonanya bisa membuat sekelilingnya lupa diri. Bukan Jaemin tak senang jika ada yang menyukai Renjun. Justru ia senang. Sangat. Tapi yang Jaemin mau, Renjun disukai oleh jenis kelamin yang berbeda, bukan sejenis dengannya.

Jaemin dengan paniknya mengirimkan semua chatnya bersama Nara ke Renjun. Mereka berdua akhirnya melakukan konversasi bersama disertai dengan lenguhan frustasi dan sedikit kekecewaan Jaemin pada sahabatnya.

“Gw kan udah bilang, hati-hati sama barang bawaan lo. Ujung-ujungnya apa? Hp lo malah diotak-atik sembarangan! Gw bahkan gak pernah dengan tanpa izin main intip hp lo seenak jidat Jun!!!”

“Gw juga kaget, kenapa Nara bisa buka hp gw. Padahal hpnya gw kunci. Waktu gw tanya, ternyata pas gw buka hp, dia ngehafalin passwordnya diam-diam.”

“Anjing tuh orang!!” Jaemin tak peduli lagi dengan kata kasarnya yang terlepas.

“Nara sempat bilang sama gw, teman lo tuh tingkat protektifnya tinggi, pake ngaku jadi pacar lo segala, yakin dia cuma nganggap lo temenan doang Jun. Gitu dibilangnya.”

“Ya sesama sahabat kan wajar saling menjaga. Aneh bener sih si Nara. Kesel gw” Jaemin terdengar berapi-api dari nada bicaranya.

“Gw udah bilang ke Nara untuk jangan gangguin lo. Dia tadi juga confess sama gw”

“Terus?”

“Ya gw tolak. Tapi Naranya kekeh bakal tetap ngejar gw sampai kapan pun. Perasaan dia valid. Gak bisa dihapus seenaknya juga. Yaudah”

“Lah....Lo nggak ngejauhin dia?”

“Kenapa sampai perlu ngejauhin? Nara kan cuma confess. Kita masih bisa temenan. Lagipula dia anaknya asyik kok. Kita sering diskusi banyak hal.”

Jaemin tak tau apa yang salah dari kalimat Renjun barusan. Hanya saja, muncul rasa sedih dari hatinya.

“Oh, sering diskusi juga toh. Oke, baiklah” Jaemin berusaha tenang menanggapi.

“Lo tenang aja Jaem. Nara gak bakal ngechat lo lagi. Gw juga gak mau lo digangguin sama Nara. Gw bilang, kalau lo masih mau temenan baik-baik sama gw, jangan ganggu sahabat gw, dan Naranya nurut. Syukurlah.”

Renjun merasa lega karena sahabatnya tak akan diganggu lagi oleh Nara, tapi Jaemin malah sebaliknya. Ia akan semakin overprotected pada Renjun, karena itu tandanya, intensitas Renjun dan Nara untuk saling berkomunikasi akan semakin meningkat, apalagi Renjun masih memberikan kartu maaf atas tindakan yang dilakukan Nara sebelumnya.

“Yaudah kalau emang lo nyaman buat diskusi sama Nara. Sekiranya mulai muncul yang aneh-aneh, tolong kabari gw. Itu yang gw minta dari lo. Bisa?”

“Iya-iya. Dasar Jaemin bawel. Ckck.”


“Kenapa sih Jun, lo kalau mau cerita selalu nunda-nunda. Gw selalu cerita apapun ke elo. Dari yang wajar sampai ke yang gak masuk akal. Walau kita gak ada ketemuan, gw cerita by phone. Nah ini, lo nunda cerita beberapa bulan, konteks penting pula. Tolong biasain jangan suka nunda cerita. Nanti lo lupa. Gw gak mau”

“Lebay banget sih Jaem. Cuma cerita aja pun”

“Whatever. Gw tunggu ceritanya besok. Gw bakal samperin lo. Gak ada lagi kisahnya bakal ditunda. Lo udah keseringan nunda cerita. Apa gw emang udah gak dipercaya lagi sebagai sahabat hah?” Jaemin sedikit meninggikan suaranya.

“Ck. Iya besok gw cerita.”

Sambungan telepon pun terputus. Jaemin harusnya tenang, karena Renjun akan menceritakan sesuatu yang penting padanya esok hari, tapi hati kecilnya tak bisa dibohongi. Ia tau, dalam beberapa bulan ini intensitas komunikasinya dengan sahabat kesayangannya itu memang semakin menurun dikarenakan kesibukan masing-masing. Jika bisa dipersentasekan, konversasi mereka menurun 40% dibanding tahun sebelumnya. Segala hal yang dibahas juga tak sebanyak biasanya. Masih tetap Jaemin yang banyak bercerita. Renjun tak akan cerita jika tak ditanya. Memang begitulah dinamika persahabatan di antara keduanya. Namun entah kenapa, feelingnya mengatakan bahwa ia harus siap sedia mendengar apa pun yang akan dibahas oleh Renjun.


“Jadi, cerita apa yang lo tunda berbulan-bulan ke gw?” Jaemin duduk tegak mengarah ke Renjun.

Renjun matanya masih tertuju ke bantal di bawahnya. Beberapa kali senyuman kecil muncul, juga raut keraguan yang bisa Jaemin lihat dengan jelas.

“Ngomong aja, gak papa” Jaemin berusaha meyakinkan Renjun dan menampilkan muka tenangnya.

“Gw bukan nunda cerita dengan sengaja. Gw cuma mau nunggu moment yang tepat. Tapi setelah gw pikir-pikir, momentnya gak bakalan ada yang tepat-” Renjun menggantungkan kalimatnya dan menatap Jaemin lama.

“Kenapa?”

“Gw takut lo kecewa” nada suara Renjun merendah, tapi matanya masih fokus ke Jaemin.

Jaemin tertawa kecil, “Kenapa gw harus kecewa? Itu tandanya sedari awal lo udah meragukan gw, kalau gw gak paksa untuk cerita secepatnya, lo bakal diam aja, dan gw gak tau apa-apa kayak orang bodoh.”

Renjun terdiam.

Jaemin masih setia menunggu.

“Persentasenya udah 80:20” ungkap Renjun perlahan.

Jaemin memproses dengan lambat kalimat Renjun barusan. “Persentase apa ya?” tanyanya bingung.

“Persentase yang pernah kita bahas akhir tahun lalu. Lo request kalau persentase seksual gw udah berubah, lo minta dikabarin kan? Apa udah gak butuh dikasih tau lagi” tanya Renjun tajam.

Deg...deg...deg...deg...deg...deg...deg...

Jaemin menarik nafasnya pelan. Manik matanya menatap Renjun dalam-dalam.

“Sejak kapan?” tanya Jaemin tenang.

“Dalam beberapa bulan terakhir ini. Setelah gw analisa, gw lebih nyaman untuk berinteraksi dengan sesama jenis dibandingkan dengan lawan jenis.”

Jaemin mengangguk-angguk.

“Gw butuh 'rumah' untuk bisa menceritakan segala hal tanpa perlu ditutupi Jaem.”

“Lo udah ketemu 'rumahnya'?”

“Gampang. Tinggal cari di base aja” tawa Renjun terdengar renyah di telinga Jaemin.

“Lalu, kenapa lo bisa ngejudge di awal kalau gw bakal kecewa, bahkan sebelum lo cerita. Emang tampang gw ada keliatan bakal kecewa hah?”

“Iyaaa...Gw takut lo mikir yang enggak-enggak tentang gw...Gw takut lo bakalan pergi ninggalin gw...Gw pikir, lo akan nyeramahin gw dan gak mau kenal lagi sama gw...”

“Ada gw ninggalin lo sekarang??? Ada gw ngejauhin lo??? Ada gw ngomongin lo yang enggak-enggak??? Ada Jun???” tanya Jaemin tulus.

“Enggak...”

“Yaudah. Gak usah overthinking sama gw kayak gitulah.”

“Lo tau kan, gw gak gampang percayaan sama orang lain, apalagi untuk cerita. Gw pengen nemuin 'rumah' yang siap sedia mendengarkan cerita gw. Dan lo tau sendiri, ketika gw udah percaya sama satu orang, gw bakalan attached ke orang itu sampai kapan pun. Itu artinya...”

“Intensitas cerita lo ke gw bakalan berkurang???” Jaemin memastikan.

“Iya...”

“Oke...”

Hening tercipta untuk beberapa lama, sampai akhirnya Jaemin yang membuka suara.

“Sebelumnya, gw mau ngucapin terima kasih banyak buat lo, karena udah berani ceritain hal ini ke gw, walaupun secara konteks, ini adalah request yang gw minta, tapi lo tetap ngelakuin. Makasih Jun.”

“Iya sama-sama.”

“Terkait rumah yang lo jelaskan tadi. Gw gak bisa ngelarang. Apalagi, nyamannya lo untuk bercerita dan berbagi, hanya lo yang paham. Gw juga pengen lo bisa ketemu dengan sosok yang bisa lo sebut sebagai 'rumahnya Renjun'. Rumah yang buat lo nyaman. Yang selalu ada buat lo. Yang bisa jadi tempat lo menceritakan hal apa pun tanpa ngerasa takut akan dijudge. Rumah yang bisa jadi tempat lo berteduh dan memunculkan jati diri seorang Huang Renjun yang sebenarnya. Rumah yang jadi tempat lo beristirahat dari peliknya dunia yang jahat. Gw berharap lo bisa nemuin 'rumah' itu secepatnya, Jun.”

Renjun termangu mendengarkan untaian kalimat demi kalimat yang ke luar dari bibir Jaemin.

“Gw juga berharapnya gitu Jaem. Doain ya...”

“Pastinya Jun. Gw cuma mau lo bahagia dengan keputusan apa pun yang lo ambil. Gw gak mau sahabat gw sedih ataupun kesakitan. Ah ya, satu hal lagi. Ketika lo nantinya udah menemukan sosok yang bisa jadi 'rumah ternyaman' buat lo, gw masih tetap di sini kok Jun. Gw gak bakal pergi. Gw gak bakalan lari. Gw tetap menjadi Jaemin yang bawel dan selalu ada saat lo butuh. Jadi lo bisa datang kapanpun juga ke gw. Gak usah sungkan ya” Jaemin menahan sesak yang sedari tadi berkumpul di dadanya. Ia tetap memunculkan senyum terbaiknya bagi sahabatnya.

“Makasih ya Jaemin....”


“Kalau nanti lo udah nemuin 'rumah'. Bisa gak lo kasih tau gw siapa orangnya?” Jaemin bertanya di sela-sela makan siang mereka.

“Nggak bisa.”

“Gw serius Jun”

“Gw juga serius Jaemin”

Ah...

“Memangnya tingkat kepercayaan lo ke gw sekarang gimana?” Jaemin bertanya kembali.

“Masih sama seperti biasa?” jawab Renjun apa adanya.

“Gak naik gak turun???”

“Iya. Stagnan aja” Renjun menekankan lagi.

*Ah ternyata begitu ya...

Jauh di lubuk hati Jaemin, ia kecewa. Tapi kekecewaannya tak ditujukan pada sosok sahabatnya, Renjun, melainkan pada dirinya sendiri.

Jaemin kecewa, karena tak berhasil menjaga sosok yang sangat disayanginya. Jaemin kecewa, karena segala daya upaya yang dilakukannya agar sahabatnya tak semakin jauh terperangkap di dunia cinta sesama jenis telah sirna.

Jaemin kecewa, karena jika ia terang-terangan ingin Renjun kembali pada kodratnya, maka Renjun bisa saja yang pergi menjauhinya. Sosok Renjun yang ada di dekatnya sekarang ini saja masih terasa susah digapai walau tali persahabatan di antara mereka sudah berlangsung lama. Sedangkan Jaemin terlalu takut akan kehilangan sahabat kesayangannya...

Maka, jauh di lubuk hatinya, Jaemin menangis dengan lirih, karena dirinya merasa jadi penyebab Renjun mengetahui dunia yang seharusnya tak diketahuinya.

“Gw gagal ya Jun...Gw gagal jadi sahabat yang baik buat lo. Bahkan untuk jadi 'rumah' untuk sahabat gw aja gw gak bisa...”

©Kalriesa🦋

~Kesimpulan~


Menjadi baik-baik saja adalah topeng yang selalu diinginkan oleh setiap orang. Terlihat bahagia tanpa memikul beban juga jadi dambaan semua insan. Salah satu jenis privilese yang dianggap superior adalah memiliki hubungan pacaran yang sehat, sportif, saling mengisi, memahami dan merangkul satu sama lain. Semuanya sempurna dari penilaian sekitar, terhadap hubungan Jaemin dan Renjun.

Pasangan yang jadi idola kampus dan sudah memasuki tahun ke 6 masa pacaran ini selalu digadang-gadangkan akan menjadi couple of the century dan panutan bagi siapapun demi mencontoh definisi hubungan sehat yang terjalin di antara keduanya.

'Gimana sih caranya bisa awet pacaran? Apalagi kalian udah dari SMA?'

'Pernah ngalamin bosan gak?'

'Kalau lagi berantem, penyelesaian masalahnya gimana? Ajarin dong'

3 kalimat di atas sudah jadi makanan pokok yang paling sering dipertanyakan ketika basa-basi dengan yang lain.

'Pandai-pandai aja jaga komunikasi biar gak sering salah paham'

'Jangan sampai deh. Bosan itu akar dari keretakan hubungan'

'Kita selesaikan baik-baik. Tenangin pikiran. Jangan dahulukan ego'

3 jawaban yang hampir sama juga selalu dilontarkan Jaemin dan Renjun saat lelah menghadapi pertanyaan yang itu-itu saja dari sekitarnya.

Nyatanya, manusia punya persona yang perlu ditampilkan berbeda saat menghadapi situasi tertentu pada fase hidup mereka. Hubungan Jaemin dan Renjun juga punya personanya.

Sempurna di mata dunia.

Itulah yang mereka tampilkan di depan khalayak ramai. Sisi ego mereka akan terpenuhi ketika ekspektasi sekitarnya akan kesempurnaan hubungan mereka terpampang nyata dengan indahnya.

Realitanya? Apakah indah 100%? Mari kita nilai.

Hubungan percintaan Jaemin dan Renjun bukan cerita cinta negeri dongeng yang penuh dengan euforia kebahagiaan dan kesempurnaan mutlak.

“Nanti bicaranya Jaemin. Gw capek. Ngertiin gw dong!” / “Gw terus yang ngertiin lo. Kapan lo yang ngertiin gw Ren!!”

“Muka lo nekuk terus. Kenapa sih, Jun?” / “Gw lagi butuh sendiri. Jangan diganggu dulu”

“Hari ini gak usah saling ketemu deh Jun. Gw jenuh. Mau nongkrong dulu sama yang lain” / “Bagus deh. Gw juga mau istirahat seharian”

Dinamika keduanya terkesan lebih dramatis saat silence treatment menjadi saksi bisu ending dari problematika.

Jaemin atau Renjun sampai rela menyewa hotel beberapa malam agar tak saling bertemu demi menuntaskan misi saling hening walaupun tinggal di satu apartemen yang sama selama 3 tahun kuliah.

Lalu atas dasar apa desir rasa naik ke permukaan dan menyatukan isi kepala dan hati mereka?

“Gw rasanya ngeliat lo versi gw dalam wujud berbeda. Lo itu gw dan gw adalah elo.” Renjun yang pertama kali mengucap kalimat seperti ini di depan Jaemin, tepat kelas 1 SMA.

Mereka berada di kelas yang sama sampai 6 tahun setelahnya, termasuk saat menjalani dunia perkuliahan seperti sekarang ini.

“Kita sama-sama keras kepala Ren. Batu ketemu batu juga bakalan pecah kalau diadu.”

“Kenapa harus saling adu? Apa gunanya spasi di antara kalimat?” Renjun saat itu berdecih dan tersenyum aneh menanggapi kalimat Jaemin. “Lo pikir gw lagi confess?”

“Kalau bukan confess, terus apa?”

“Gw memberikan pernyataan.”

“Pernyataan juga butuh bukti konkret agar tervalidasi, Ren.”

“Jadi mau lo gimana Jaemin?”

“Ayo buat kesimpulan akhir dari pernyataan lo tadi. Biar gw tau hasilnya apa.”

“Yaudah. Ayo.”

Jaemin penasaran. Apakah seorang Renjun yang terkenal perfeksionis di kelasnya bisa membuktikan pernyataannya yang gamblang secara valid, atau justru hanya isapan jempol belaka yang tak signifikan.

Berkali-kali problem dihadapi, berkali-kali pula mereka kembali ke titik yang sama di mana semua perasaan itu dimulai.

“Gw capek diamin lo terus. Gak ada niat mau peluk gitu setelah tiga hari gw tinggalin?” Jaemin merentangkan tangannya lebar. Renjun di depannya menatapnya malas, namun tetap meraih lelakinya.

“Gw pikir seorang Jaemin betah ninggalin pacarnya lebih dari tiga hari” Renjun berdecak, tapi ia menenggelamkan wajahnya dalam pelukan Jaemin.

“Jenuh lo udah mencapai ke tahap bosan gak?” Renjun bertanya dengan nada rendah.

“Belum dan gw harap itu gak terjadi” Jaemin merangkul Renjunnya erat. “Kenapa nanya itu lagi?”

“Gw cuma penasaran. Sampai di mana kita bisa bertahan dan ambil kesimpulan akhir dari hubungan ini”

“Gak perlu nunggu kesimpulan. Perjalanan kita masih panjang Ren. Bahkan kita belum sampai ke bab inti. Kita masih jalanin teori untuk memupuk cerita ini. Jadi lo jangan mikir jauh ke sana dulu.”

Nafas Renjun menguar ke udara.

Validasi dan sempurna memang terlihat indah, tapi proses panjang dibaliknya juga perlu jadi acuan. Jaemin dan Renjun memang hanya menampilkan sisi baik hubungan mereka saja, tapi lika-liku di dalamnya, biarlah hanya mereka yang tau. Sejatinya, mereka tetap perlu belajar mendalami materi sebelum berhasil mendapatkan kesimpulan akhir dari hubungan yang dijalani

©Kalriesa🦋

~Define the story~

cw // hurt


Menjadi baik-baik saja adalah topeng yang selalu diinginkan oleh setiap orang. Terlihat bahagia tanpa memikul beban juga jadi dambaan semua insan. Salah satu jenis privilese yang dianggap superior adalah memiliki hubungan pacaran yang sehat, sportif, saling mengisi, memahami dan merangkul satu sama lain. Semuanya sempurna dari penilaian sekitar, terhadap hubungan Jaemin dan Renjun.

Pasangan yang jadi idola kampus dan sudah memasuki tahun ke 6 masa pacaran ini selalu digadang-gadangkan akan menjadi couple of the century dan panutan bagi siapapun demi mencontoh definisi hubungan sehat yang terjalin di antara keduanya.

'Gimana sih caranya bisa awet pacaran? Apalagi kalian udah dari SMA?'

'Pernah ngalamin bosan gak?'

'Kalau lagi berantem, penyelesaian masalahnya gimana? Ajarin dong'

3 kalimat di atas sudah jadi makanan pokok yang paling sering dipertanyakan ketika basa-basi dengan yang lain.

'Pandai-pandai aja jaga komunikasi biar gak sering salah paham'

'Jangan sampai deh. Bosan itu awal dari segala akar keretakan hubungan soalnya'

'Kita selesaikan baik-baik. Tenangin pikiran. Jangan dahulukan ego'

3 jawaban yang hampir sama juga selalu dilontarkan Jaemin dan Renjun saat lelah menghadapi pertanyaan yang itu-itu saja dari sekitarnya.

Nyatanya, manusia punya persona yang perlu ditampilkan berbeda saat menghadapi situasi tertentu dalam hidup mereka. Hubungan Jaemin dan Renjun juga punya personanya.

Sempurna di mata dunia

Itulah yang mereka tampilkan di depan khalayak ramai. Sisi ego mereka akan terpenuhi ketika ekspektasi orang-orang akan kesempurnaan hubungan mereka terpampang nyata dengan indahnya.

Realitanya? Apakah indah 100%? Silahkan nilai sendiri.

Hubungan percintaan Jaemin dan Renjun dibalik layar bukanlah cerita cinta negeri dongeng yang penuh dengan euforia kebahagiaan dan kesempurnaan mutlak.

“Nanti bicaranya Jaemin. Gw capek. Ngertiin gw dong!” / “Gw terus yang ngertiin lo. Kapan lo yang ngertiin gw Ren!!”

“Muka lo nekuk terus. Kenapa sih, Jun?” / “Gw lagi butuh sendiri. Jangan diganggu dulu”

“Hari ini gak usah saling ketemu deh. Gw bosan. Mau nongkrong dulu sama yang lain” / “Bagus deh. Gw juga mau istirahat seharian”

The Answer

cw // hurt . tags: college life


Jaemin masih sibuk menulis ketika lelaki di sebelahnya menatapnya dengan penuh adorasi. Dirinya sedikit merasa risih. Ujung matanya selalu menemukan sosok yang sama saat berperilaku seperti sekarang ini. Matanya, diberanikannya untuk menatap Renjun, “Ada perlu apa sama gue?” tanyanya pelan.

Sosok mungil yang kepergok itu hanya diam menatapnya tanpa memberikan jawaban. Sirat matanya menimbulkan banyak pertanyaan di pikiran Jaemin; Kenapa tiap gue nanya, gak pernah dijawab?? Aneh.

Jaemin bukanlah tipikal manusia yang menge-charge energinya di tempat ramai. Perpustakaan selalu menjadi safe placenya untuk mengisi baterainya kembali.

“Kenapa nggak ikutan milih kelompok waktu di kelas tadi?” tanya sosok mungil yang tiba-tiba muncul dari belakangnya.

“Hah...” Jaemin mengkerutkan dahinya. “Maksudnya?” tanyanya bingung.

“Iya. Pak Taeil kan ngasih tugas kelompok di kelas kita, aku perhatiin cuma kamu yang nggak ada kelompoknya. Padahal Jeno sama Haechan kekurangan satu anggota lagi” terang sosok yang bernama Huang Renjun.

“Gue udah biasa sendiri kok” jawab Jaemin singkat.

“Nggak bisa gitu seharusnya. Kan dimintanya kelompok, ya harus berkelompok semua, kecuali kalau diperbolehkan sendiri, okelah.”

Jaemin yang awalnya ingin menikmati waktunya dengan tenang, malah terganggu karena kehadiran Renjun di dekatnya.

“Aku udah masukin kamu jadi anggota di kelompoknya Haechan. Pulang kampus kita kerjain tugasnya sama-sama ya di perpus” ujar Renjun riang tanpa beban dan berlalu meninggalkan Jaemin yang terpekur bingung di kursinya.

Sok akrab banget.

Jaemin berakhir di perpus kembali ketika Renjun, Haechan dan Jeno menghampirinya dan mengajaknya mengerjakan tugas bersama-sama.

Mereka berempat memilih ruangan kaca yang tertutup karena akan melakukan diskusi, khawatir mengganggu sekitar dengan suara-suara yang dikeluarkan dalam proses pengerjaan tugasnya.

Selama mengerjakan tugas, Renjun dan Haechan yang kebanyakan memberikan ide dan masukan. Jaemin dan Jeno menjadi team yang angguk-angguk oke dan mencatat poin-poin yang mereka utarakan. Tapi secara persentase, lebih banyak Renjun yang berpendapat.

Jaemin sebenarnya tak menyukai situasi ini. Terlalu ramai menurutnya. Itu karena ia terbiasa mengerjakan tugas apapun sendiri. Bahkan jika ada tugas kelompok pun, ia lebih memilih mengerjakannya sendiri dari awal sampai akhir. Anggota lain yang ada dalam kelompoknya hanya dapat bagian untuk membaca poin-poin yang sudah dibagikan sebelum mempresentasikan materi di depan kelas. Seperti itulah gaya Jaemin. Itulah kenapa ia merasa kaku saat harus bergabung dengan Renjun yang lebih aktif dibanding dirinya sendiri.

Ada satu hal yang tak bisa Jaemin lupakan dari diskusi hari ini selain Renjun yang bersemangat. Binar bintang yang indah terpancar dari sorot mata Renjun.

Gue baru tau ada manusia yang matanya indah banget kayak Renjun.

***

Jaemin mengunyah makanannya dengan khidmat di sudut kantin paling belakang. Jauh dari sapuan mata sekitar yang bisa membuatnya tak nyaman ketika harus jadi pusat perhatian atau harus memperhatikan lalu lalang kebisingan orang-orang di dekatnya.

“Aku boleh duduk di sini?”

Jaemin mengenali suara khas nan lembut itu, tetapi matanya memberikan sorot ketidaksetujuan saat Renjun dengan nampannya yang berisi nasi, ayam blackpepper, salad dan segelas penuh americano sudah duduk rapi di depannya.

“Udah lapar banget soalnya. Cuma kursi kamu yang paling dekat, juga kosong” Renjun menjelaskan seolah-olah ia bisa membaca raut tak setuju Jaemin dengan kehadirannya. “Mari makan!” ujar Renjun ceria setelah selesai berdoa dengan khusyuknya.

Menu makanan Jaemin tinggal seperempat lagi. Ice lemon teanya juga masih ada. Sangat sayang untuk ditinggalkan hanya karena ada Renjun yang tiba-tiba muncul. Untungnya, lelaki kelahiran Maret itu makan dengan tenang, sehingga Jaemin bisa terus melanjutkan kegiatan makan siangnya kembali tanpa harus pindah tempat duduk atau malah meninggalkan porsi makanannya yang masih bisa dimakan itu.

Gaya makannya rapi. Gak berserakan dan gak berisik. Baguslah.

***

©Kalriesa🦋

Satu~

Kantin Fakultas Ekonomi saat jam istirahat memang sangat ramai, apalagi semua dosen menyelesaikan jam mata kuliah mereka tepat waktu dikarenakan akan diadakannya rapat jurusan.

Gatra bersama Jeva dengan riangnya menuju ke kantin Bude Sumi yang menjadi favorit mereka berdua, lebih tepatnya favoritnya Gatra.

“Budeeeeeeee. Pesanan Gatra yang biasa yaaaaa. Mi rebus ayam bawang gak pake apa-apa. Wajib natural bude. Okeeee?” teriak Gatra menggelegar.

Bude Sumi mengacungkan jempolnya paham. Ia sudah hafal kebiasaan salah satu mahasiswa Fekon yang terkenal karena kecintaannya dengan menu mie rebus itu. Saking terkenalnya, bahkan Gatra juga pernah didapuk jadi juri lomba mie rebus di Jurusan Akuntansi.

“Gw heran sama lo. Tiap ke kantin pesannya mie rebus. Pulang dari kampus, updatenya mie rebus lagi. Hebatnya, tuh usus gak pernah bermasalah. Ckck” Jeva menggelengkan kepalanya dengan muka datar.

“Lo gak tau sih betapa nikmatnya kuah mie rebus. Duh laper kan gw. BUDEEEEE GATRA LAPAR BUDEEE. MIE REBUSNYA MANAAA?” teriak Gatra semangat.

“Eh Panjul! Jangan bikin malu!” decak Jeva kesal sambil melirik ke sekelilingnya. Takut-takut Gatra akan dilempar mendadak oleh penghuni kantin yang lain.

Di depan mereka, ada Kenzo dan Caksa yang sedang menunggu pesanan di tempat yang sama, di Bude Sumi.

“Heboh bener tu orang. Gak sabaran. Emang yang pesan makanan dia aja apa!” sungut Kenzo sinis.

“Itu si Gatra. Anak Akuntansi. Sama kayak lo. Penggila mie juga. Bedanya, Gatra suka mie rebus, sementara lo sukanya mie goreng” terang Caksa panjang lebar.

“Pantesan suka mie rebus. Tampang slengean” tukas Kenzo malas.

Caksa tak menanggapi lagi ujaran Kenzo. Ia tau bahwa sahabatnya itu sudah kelaparan menunggu hidangan mie goreng rasa rendang miliknya yang belum selesai.

Beberapa menit kemudian, pesanan Kenzo dan Caksa tiba. Mereka berdua membawa piring masing-masing dengan hati-hati ke kursi kosong di sekitarnya. Tanpa sadar, di belakang mereka ada anak Bude Sumi yang membawa pesanan Gatra dan Jeva dengan tergesa-gesa, sampai akhirnya menyenggol bahu Kenzo.

PRANG!

Semangkok mie rebus rasa ayam bawang milik Gatra dan semangkok soto milik Jeva pun jatuh berserakan di lantai kantin.

Kenzo yang berada di dekat anak Bude Sumi terkena percikan panas dari kuah dua jenis makanan itu dan akhirnya menjatuhkan piring mie goreng rendangnya juga.

“Awwww panasss!” teriak Kenzo kesakitan.

Seisi kantin heboh. Begitu juga dengan Gatra dan Jeva. Mereka menghampiri anak Bude Sumi.

“Maaf mas Gatra, ini pesanan mas sama temen mas. Kesenggol tadi. Ntar Lili ganti ya. Maaf banget mas” tunduk Lili, anak Bude Sumi sembari membersihkan pecahan mangkok di dekatnya.

“Yah, mie rebus ayam bawang gw” raut muka sedih Gatra terpancar. “Kesenggol siapa Li?” tanya Gatra cepat.

“Anu. Mas ini-” tunjuk Lili pada sosok Kenzo yang sedang di lap celananya oleh Caksa.

“Lo hati-hati dong kalau jalan. Pake mata!” nyolot Gatra.

“Eh, gw jalan duluan ya dan gw yang disenggol. Kenapa malah marahin gw!” jawab Kenzo kesal.

“Mie rebus ayam bawang gw jatuh nih!”

“Mie goreng rendang gw juga jatuh ya anjir!”

“Apaan mie goreng rendang! Aneh-aneh aja pake rasa rendang segala! Emangnya rumah makan Padang!”

“Suka-suka gw dong! Gw yang pesan makan, ngapa lo yang nyolot!”

“Mas-mas maaf. Jangan berantem di sini. Tadi saya yang gak sengaja nyenggol bahu masnya” ungkap Lili pelan-pelan setelah menyelesaikan kegiatan bebersihnya. “Nanti saya bilang ibu buat bikin lagi menu masnya semua. Tunggu ya.” Lili pun ngacir, meninggalkan Gatra dan Kenzo yang masih beradu tatapan tajam.

“Lo dengar tuh! Bukan gw yang nyenggol. Lain kali jaga omongan jangan asal bacot!” tunjuk Kenzo persis ke muka Gatra.

“Biasa aja dong! Perkara mie goreng jatuh aja lebay. Makanan lo tuh gampang dimasaknya. Kenapa gak balik ke rumah aja sih masak sendiri? Dasar riweh” balas Gatra tak kalah tajam.

Jeva dan Caksa yang berada di samping mereka menghela nafas berat dan menarik lengan kedua temannya itu pelan-pelan.

“Lo makan punya gw aja deh. Gapapa bagi dua. Gw rela. Yuk ke kursi lagi” bisik Caksa pelan pada Kenzo.

“Gat, udah deh. Kita tunggu aja lagi makanannya datang. Jangan berdiri di sini” Jeva juga berbisik pada Gatra.

“Gw udah gak mood. Lo makan sendirian aja Sa. Gw mau bersihin celana gw di toilet.” Kenzo akhirnya pergi meninggalkan tiga sosok di depannya.

“Kenzoooo!!! Woy tungguin gw!! Makanan gw gimana!!!” Caksa akhirnya membawa piring nasi gorengnya dan menyusul Kenzo.

“Alay banget. Kena kuah mie rebus aja sampai segitunya. Padahal itu mie rebus gw yang paling precious” ujar Gatra memanyunkan bibirnya.

“Precious gundulmu” jawab Jeva dari samping.

©Kalriesa

-2-

“Zey!! Lo dipanggil Pak Jono buat bantuin yang lain di Jalan Gajah Mada!” teriak Jejen dari sebrang.

“Kapan?!”

“Sekarang!”

Zey langsung menoleh ke arah Ragaz yang tak jauh dari tempatnya. Ragaz sedang bersama Eval, masih sibuk membagikan brosur.

Ia dilema, antara tetap melanjutkan bagi brosur bersama kelompoknya, atau mengikuti panggilan dari Pak Jono, dosennya.

Zey khawatir Ragaz akan ceroboh seperti tadi, hampir terpeleset saat sudah lampu hijau, ujung-ujungnya malah nyenggol motor orang lain. Untung saja dirinya sigap memeluk pinggang Ragaz.

“Zey!!! Cepetan oi!” panggil Jejen lagi.

“Bentar!!” jawab Zey cepat.

Ia langsung menuju ke arah Eval, meminta tolong pada teman dekat Ragaz itu untuk menjaga Ragaz sebaik mungkin tanpa ada lecet sedikitpun. Eval menyetujui.

“Lo wajib hati-hati ya Gaz. Jangan teledor. Ini jalan raya!” perintah Zey tegas seraya mengusak rambut Ragaz di depan umum.

“Apaan sih lo! Gw daritadi hati-hati kok. Lo sana deh, ditungguin Jejen sama Pak Jono” usir Ragaz cepat.

“Titip ya Val.”

“Aman.”

Zey langsung menuju ke tempat Jejen, berharap memang semuanya baik-baik saja.

©Kalriesa

-1-

Zey panik dan mencari ke semua tempat. Tak luput ia bertanya pada setiap orang yang ditemuinya di kampus tentang Ragaz.

“Lo liat Ragaz gak?”

Belum ada jawaban yang memuaskan hati Zey, sampai akhirnya Haeval meneleponnya dengan nada gelisah.

“Zey! Ke toilet ujung Manajemen sekarang!! Udah 30 menit Ragaz ngunci pintu toilet!!”

“Kalian habis ngapain emang?”

“Tadi gw sama Jejen buka disturbing video tentang kecelakaan gitu, terus Ragaz penasaran. Pas kita kasih tunjuk videonya, tiba-tiba dia lari masuk toilet langsung ngunci pintunya. Tolongin Zey. Kita takut Ragaz kenapa-napa” jelas Haeval panjang lebar.

Shit. Tungguin gw di sana!”

Zey segera berlari tanpa memperdulikan apapun di sekelilingnya. Sesampainya di tempat yang dituju, Zey langsung mendobrak pintu. Terlihat Ragaz duduk meringkuk dekat dinding dengan muka tertutup tangannya.

“Lo berdua jangan ada yang masuk!!! Jagain pintu depan!!” perintah Zey pada Haeval dan Jejen.

Kedua teman Ragaz itu hanya bisa menuruti omongan Zey, walau mereka tak paham kenapa.

“Gaz...Ragaz. Gw Zey, pengawal lo” bisik lelaki bermanik hitam pekat yang mencoba memeluk Ragaz pelan.

Ragaz yang badannya sedang gemetar, berusaha mendongakkan wajahnya, menatap takut-takut sosok yang berada di depannya.

“Ze—Zey?”

“Iya, ini gw. Zey” ujar Zey lembut.

Ragaz langsung menyambut pelukan Zey dengan erat.

“Gw—takut Zey” ungkap Ragaz putus-putus.

“Kenapa Ragaz takut?”

“Babah...I—ngat Babah hhiks.”

Tiba-tiba saja Ragaz menangis di pelukan Zey. Air matanya membasahi pakaian pengawal pribadinya itu.

“Sshhh. Babah udah tenang di langit. Nggak ada yang perlu ditakutin lagi” elusan tangan Zey naik turun di punggung Ragaz.

“Tapi—tapi gw yang bikin Babah meninggal—”

“Nggak. Bukan lo yang bikin Babah meninggal. Jangan pernah nyalahin diri lo lagi”

“Tap—”

Zey melepas pelukannya pada Ragaz dan membelai kedua sisi wajah Ragaz yang masih dialiri tangisannya sendiri.

“Terakhir gw bilang ke Papa dan Babah, kalau gw bakal ngelindungin dan gak bakal ninggalin mereka—tapi malah gw—yang gak berhasil jagain mereka Zey—”

“Mereka pergi, itu udah takdir dari Pencipta. Udah digariskan. Sekarang, lo harus jagain diri lo sendiri, biar Babah tenang di sana. Lo gak mau kan Babah sedih ngeliat lo masih nyalahin diri sendiri terus??”

Ragaz menggeleng pelan.

“Kalau gitu janji sama gw. Pelan-pelan kita hilangin trauma lo ya?”

“Iya Zey.”

©Kalriesa

-1-

Zey panik dan mencari ke semua tempat. Tak luput ia bertanya pada setiap orang yang ditemuinya di kampus tentang Ragaz.

“Lo liat Ragaz gak?”

Belum ada jawaban yang memuaskan hati Zey, sampai akhirnya Haeval meneleponnya dengan nada gelisah.

“Zey! Ke toilet ujung Manajemen sekarang!! Udah 30 menit Ragaz ngunci pintu toilet!!”

“Kalian habis ngapain emang?”

“Tadi gw sama Jejen buka disturbing video tentang kecelakaan gitu, terus Ragaz penasaran. Pas kita kasih tunjuk videonya, tiba-tiba dia lari masuk toilet langsung ngunci pintunya. Tolongin Zey. Kita takut Ragaz kenapa-napa” jelas Haeval panjang lebar.

Shit. Tungguin gw di sana!”

Zey segera berlari tanpa memperdulikan apapun di sekelilingnya. Sesampainya di tempat yang dituju, Zey langsung mendobrak pintu. Terlihat Ragaz duduk meringkuk dekat dinding dengan muka tertutup tangannya.

“Lo berdua jangan ada yang masuk!!! Jagain pintu depan!!” perintah Zey pada Haeval dan Jejen.

Kedua teman Ragaz itu hanya bisa menuruti omongan Zey, walau mereka tak paham kenapa.

“Gaz...Ragaz. Gw Zey, pengawal lo” bisik lelaki bermanik hitam pekat yang mencoba memeluk Ragaz pelan.

Ragaz yang badannya sedang gemetar, berusaha mendongakkan wajahnya, menatap takut-takut sosok yang berada di depannya.

“Ze—Zey?”

“Iya, ini gw. Zey” ujar Zey lembut.

Ragaz langsung menyambut pelukan Zey dengan erat.

“Gw—takut Zey” ungkap Ragaz putus-putus.

“Kenapa Ragaz takut?”

“Babah...I—ngat Babah hhiks.”

Tiba-tiba saja Ragaz menangis di pelukan Zey. Air matanya membasahi pakaian pengawal pribadinya itu.

“Sshhh. Babah udah tenang di langit. Nggak ada yang perlu ditakutin lagi” elusan tangan Zey naik turun di punggung Ragaz.

“Tapi—tapi gw yang bikin Babah meninggal—”

“Nggak. Bukan lo yang bikin Babah meninggal. Jangan pernah nyalahin diri lo lagi”

“Tap—”

Zey melepas pelukannya pada Ragaz dan membelai kedua sisi wajah Ragaz yang masih dialiri tangisannya sendiri.

“Terakhir gw bilang ke Papa dan Babah, kalau gw bakal ngelindungin dan gak bakal ninggalin mereka—tapi malah gw—yang gak berhasil jagain mereka Zey—”

“Mereka pergi, itu udah takdir dari Pencipta. Udah digariskan. Sekarang, lo harus jagain diri lo sendiri, biar Babah tenang di sana. Lo gak mau kan Babah sedih ngeliat lo masih nyalahin diri sendiri terus??”

Ragaz menggeleng pelan.

“Kalau gitu janji sama gw. Pelan-pelan kita hilangin trauma lo ya?”

“Iya Zey.”

©Kalriesa