kalriesa

Sweat for me

Nando Rendean Incomplete Universe CW // 🔞 , harshwords , kiss scene , sex scene , blow job


Rendean menyisihkan teh tarik yang dibelinya bersama Nando setelah jam pulang siaran malam. Sementara Nando duduk santai di ruang tamu Rendean.

Lelaki bersurai hitam itu memang rajin menginap di rumah Rendean, selain karena rumah kekasihnya lebih dekat dengan Suncoff Radio, ada alasan lain untuk memproteksi Rendean lebih tinggi. Nando tak mau Rendean berada jauh dari jangkauannya.

“Kamu mau langsung minum teh tariknya nggak?” tanya Rendean yang kepalanya nongol tiba-tiba dari balik dinding.

Nando menggeleng, “Perut aku udah gembung. Tadi minum teh tarik juga kan pas di sana” jawaban tambahan darinya ditanggapi dengan anggukan kecil oleh yang lebih tua.

Rendean balik lagi ke dapur dan membawa sekotak es batu beserta bungkusan teh tarik. Semua barang bawaannya diletakkannya di atas meja.

“Kenapa malah dibawa kesini semua?” tanya Nando bingung.

“Aku mau minum teh tarik pakai es. Harusnya di sana bukan pesan teh tarik panas. Kebas bibir aku” jawab Rendean panjang.

Nando memutar bola matanya dan menunjukkan ekspresi berpikir. “Aku tiba-tiba ada ide buat Suncoff.”

Rendean yang sedang asyik mengunyah es batu disela-sela percakapan dengan kekasihnya langsung fokus menatap manik mata Nando.

“Ide apa?”

“Coba kamu tebak.” Kedipan mata lelaki Leo itu berhasil membuat Rendean memunculkan ekspresi penuh tanya.

“Kasih tau aja deh. Ini udah tengah malam, otak aku lagi gak sesegar jam siaran pagi” jawab Rendean malas karena disuruh berpikir.

“Bulan baru nanti, Suncoff adain program tambahan tengah malam deh. Temanya 'Seks Edukasi'. Gimana menurut kamu?”

Rendean seketika terbatuk. Tangannya mengibas di depan mukanya sendiri yang memerah seperti tomat.

“Why so suddenly?” tanya Rendean tak habis pikir.

“Seks edukasi itu penting Ren. Kita juga bisa tau problematika seks apa aja yang muncul dari tiap pasangan. Seks bukan urusan jasmani aja menurut aku, tapi penyatuan antara dua insan yang udah saling percaya dengan consent masing-masing.

Batuk Rendean semakin menjadi. Teh tarik yang awalnya akan diminum beberapa menit lagi, malah diseruputnya duluan.

Kenapa jadi bahas seks edukasi sih? tanya Rendean dalam hati. Matanya diarahkan ke sudut yang lain, tak ingin bertemu dengan mata sosok yang lebih muda.

“Hei, kamu kok liatnya ke arah lain? Telapak tangan Nando yang besar dengan sigap memegang pipi tirus milik kekasihnya, lalu mengembalikan lagi tatapan Rendean agar fokus ke arahnya. “Ayo liat aku” pinta Nando lembut.

Pipi sang kekasih kemudian dimainkannya, dimanyunkan, lalu ditarik sisi kiri kanan agar lebih pipih.

“Pipi kamu mirip kue mochi ya. Kenyal-kenyal” ujar Nando tersenyum dengan manisnya.

Rendean sudah sedari tadi menahan diri untuk kabur, ia tak kuasa menerima sikap manis nan lemah lembut Nando sekarang ini. Rasa hangat menjalar di seluruh wajah sampai ke telinganya melihat betapa memabukkannya senyum sang kekasih di hadapannya.

“Telinga kamu merah. Kenapa?” tanya Nando penasaran.

Bukannya diam di tempat dan melepas pegangannya pada wajahnya, lelakinya semakin memajukan badannya untuk melihat lebih dekat ke telinga Rendean. Mau tak mau, menahan nafas adalah cara paling ampuh untuk pura-pura baik-baik saja dalam posisi canggung seperti sekarang.

“Aku nggak ada ngapa-ngapain kamu loh Ren. Kenapa ekspresi kamu tegang banget?” sudut bibir si Leo tertarik ke atas dan memunculkan seringai aneh yang dapat ditangkap Rendean dari lirikan matanya.

Tangan Nando beralih mengelus daun telinga kekasihnya. Jari-jari panjangnya menyisiri dengan apik tanpa jeda sampai ke tulang selangka leher sang kekasih. Ditiupnya ceruk kekasihnya itu sebelum diberikan kecupan kecil. Rendean sampai merinding hebat, dengan spontan meremas paha Nando yang berhadapan dengan pahanya.

“Ge—li Naan”

“Kok malah remas paha aku? Mancing ya?”

“Nggak—Udah ah. Aku mau lanjut makan es batu” Rendean mencicit pelan, berusaha menjauhkan diri.

“Yaudah sini aku izin suapin kamu.”

Nando mengambil sebuah es batu dari meja di sampingnya dan memasukkannya secara utuh ke dalam mulutnya. Rendean pikir es batu itu memang akan disuapkan pada dirinya dari tangan kekasihnya. Alih-alih disuap melalui tangan, tiba-tiba saja bibir Nando yang masih memiliki sensasi dingin itu menempel pelan di bibir Rendean. Tampak kedua bola mata Rendean membesar kaget dengan perlakuan Nando yang tanpa aba-aba.

Tangannya yang bebas menyusuri punggung Rendean sampai menuju ke leher, ditekannya perlahan agar dua belah bibir mereka saling terpaut tanpa jarak. Es batu yang masih berbentuk dalam mulut Nando, disalurkannya ke mulut kekasihnya dan tampaklah celah terbuka dari kedua bibir masing-masing. Lidah Nando kemudian merangsek masuk untuk mengabsen tanpa henti rongga mulut kekasihnya. Rendean dengan susah payah menelan es batunya yang mulai mencair.

Dua pasang mata yang saling pandang, kini menatap penuh gairah. Rendean akhirnya tak mau kalah dalam membalas perlakuan Nando yang memberikan efek panas pada seluruh tubuhnya. Bibirnya turut menyesap lidah sang kekasih. Tak luput untuk memberikan kelembapan pada bibir yang lebih muda. Kegiatan belit-membelit itu terjadi dalam waktu yang lumayan lama. Sesapan yang dilakukan Rendean di bilah cherry kekasihnya itu menimbulkan geraman kecil dari Nando sendiri.

“Hmm.”

Mereka melepas tautan masing-masing dengan benang saliva yang menempel di mana-mana, juga dengan nafas memburu karena membutuhkan porsi oksigen yang lebih banyak daripada sebelumnya.

“Maaf ya Ren?” gumam Nando kecil, namun masih tetap bisa didengar oleh Rendean.

“Kenapa?”

“Bibir kamu makin menawan setelah aku cium” ujar Nando dengan mata berbinar.

Dua detik kemudian,

“Aaaaaw! Sakit Ren!!” teriak Nando keras. Ia mendapatkan cubitan singkat di paha bagian dalam.

“Bisa-bisanya ngelawak ckck.” Rendean bersiap untuk beranjak membersihkan meja di sampingnya, namun tangan yang lebih kekar menariknya duduk dengan posisi Rendean berada di atas pangkuan yang lebih muda.

“Eeh” wajah pemilik zodiak Aries mulai bersemu merah lagi. Dengan posisi seperti itu, sudah pasti paha mereka saling bersentuhan satu sama lainnya, apalagi paha Rendean berada di atas paha Nando. Rendean tau jika di bawahnya terasa sesuatu yang menegang dan menyentuh area selatannya.

“Tanggung jawab dong” pinta Nando dengan matanya yang sayu bercampur kilatan penuh birahi.

“A—apa?”

“Jangan pura-pura ngga tau gituuu” ungkap yang lebih muda.

Siapa bilang Rendean tak tau? Dirinya tau jika sang kekasih sudah menahan diri dari tadi, begitu pula dirinya. Hanya saja, ia masih mencoba untuk tetap tenang, walau sebenarnya ada hasrat lain yang ingin dipuaskan.

“Aku mau nyentuh kamu lebih dalam. Boleh nggak?” tanya Nando dengan nada kalem.

“Lah, ini kan udah sentuhan daritadi” Rendean sengaja mempermainkan kekasihnya.

“Beneran sengaja kamu ya. Ngerjain aku. Punya kamu terasa nih di atas aku. Mau bukti?” jemari Nando bergerak bebas menelusuri paha Rendean dari arah luar sampai ke sisi dalam. Setelah berhasil menemukan bagian yang menegang, ia mengelus tengil benda yang masih tertutup celana jeans itu, dan mendapat tatapan melotot dari kekasihnya.

“Stop!!”

“Gimana? Boleh?” tanya Nando penuh harap. Rendean mengangguk pasrah.

Setelah mendapatkan persetujuan, Nando meluruskan badan kekasihnya ke lantai ruang tamu dan kembali ke area leher Rendean yang belum sempat dijamahnya dengan maksimal. Bibirnya memberikan kecupan di leher Rendean yang jenjang, tak lupa gigitan lembut ditujukan di area yang sama, meninggalkan jejak merah muda keunguan dan erangan kecil dari yang lebih tua.

“Uhngg.”

Pinggang Nando menjadi saksi tempat bertautnya kedua tangan Rendean di belakangnya.

Rendean masih mengenakan kaus putih tipis. Dirinya tengah merasakan telapak tangan Nando yang kasar sedang menjelajah area tengah tubuhnya. Sampai di salah satu titik sensitifnya, tangan kekasihnya berhenti sejenak. Kemudian terasa kuku kekasihnya yang menyentuh area putingnya dan membuat reaksi kecil penuh gelisah menggerakkan badannya secara acak.

Tangan Nando yang lain merengkuh badan Rendean dari belakang. Ia menarik dengan cepat kain yang menutupi lekuk tubuh kekasihnya sampai akhirnya bagian atas Rendean tak tertutup sehelai benangpun.

Matanya melirik kotak es batu yang masih tersisa di atas meja. Dituangkannya sebagian es batu yang sudah mencair di area tengah tubuh Rendean, juga diletakkan dua buah es batu yang masih berbentuk padat.

“Nnng—Ding-iiinn Nannn” si pemilik tubuh menggeliat kedinginan, namun gerakannya ditahan satu tangan Nando yang merengkuh erat di pinggangnya.

“Aku hangatin ya. Mau kan?” tanya Nando yang mendapatkan anggukan cepat dari lelaki di bawahnya.

“Cepppatttt. Dinginnnn” pinta sosok yang proporsi badannya lebih kecil.

Tanpa disuruh pun, sisi dominan seorang Nando akan secara aktif memberikan sensasi hangat yang sebenarnya pada kekasihnya. Lidahnya mulai berselancar mengabsen seluruh cairan dingin yang dituangnya tadi di atas tubuh Rendean. Pelan tapi pasti, dijilatnya area tengah kekasihnya, sampai di kedua gundukan dekat dada yang masih menyisakan es batu padat, langsung dikulumnya sekaligus dihisapnya puting kekasih yang sudah menegang. Tangan Nando satunya turut memilin puting Rendean yang belum terjamah dengan penuh kelembutan.

“Nannnh—” Rendean merasakan suhu tubuhnya semakin meningkat. Bibir bagian bawahnya, ia gigit sendiri demi menyalurkan sensasi panas yang semakin menjalar rata sampai ke saraf otaknya.

Setelah puas bermain di sisi kanan, indera pengecap Nando mulai menjamah sisi kiri Rendean. Lidahnya mengitari bagian pinggir puting kiri kekasihnya sebelum berakhir dengan menghisap gundukan coklat bercampur merah muda tersebut.

“Indah banget punya kamu. Pengen aku hisap lama-lama” ujar Nando di sela aktivitasnya menggigit pelan puting Rendean.

Terdengar nada memelas dari mulut submissive di bawahnya. “Jangaaan—digigithh—Uhhh. Nggakkh—kuatt hnn—”

Satu telunjuk Nando berhasil menelusup ke rongga mulut Rendean guna membungkam sebentar erangan kekasihnya yang semakin membuatnya tak bisa menahan gairahnya sendiri. Dan telunjuk itu dihisap oleh Rendean sekuat tenaga sebagai alat pengalihannya atas kenikmatan yang diberikan sang kekasih.

“Shit”

Nando merasakan area bagian bawahnya semakin menegang akibat ulah Rendean. Telunjuknya yang penuh saliva sang kekasih, dikeluarkannya lalu dijilatnya.

Kedua area selatan masing-masing semakin menampakkan eksistensinya dibalik celana. Tanpa pertimbangan apapun, Nando mulai membuka atasannya, juga celananya sendiri dan celana kekasihnya. Terpampanglah dengan jelas kepemilikannya dan Rendean yang sudah menegang sempurna.

Rendean pelan-pelan berhasil mengumpulkan kewarasannya yang tadi sempat hilang seperempatnya, memandang penuh takjub milik Nando.

“Ayo gantian. Sekarang giliran aku” ujar Rendean mendorong kekasihnya ke belakang agar duduk bersender di pinggir sofa.

Rendean sedikit ingin balas dendam pada Nando. Diambilnya bungkusan teh tarik yang masih ada isinya. Lalu dituangkan tepat di atas batang kejantanan sang kekasih.

“Kamu ngapain!” tanya Nando panik.

Rendean menulikan telinganya. Ia juga tau bahwa punya sang kekasih perlu dimanjakan. Area selatan milik Nando dikecupnya perlahan dari ujung batangnya. Lidahnya yang panjang bermain dengan menelusuri sisa-sisa teh tarik yang sengaja ditumpahkannya tadi ke kepunyaan Nando. Di atasnya, Nando sedang menutup matanya dan meremas bahu Rendean dengan kuat.

Setelah dirasa sudah bersih, mulut Rendean mulai memasukkan batang kejantanan milik Nando perlahan demi perlahan. Ujung giginya sengaja digesekkannya ke kejantanan sang kekasih.

“Fuck! Ren, don't you dare—hhh!” surai milik Rendean menjadi bahan remasan Nando seketika. Rendean tersenyum menang di bawahnya.

Ukuran Nando memang berada diatas rata-rata, sehingga tak keseluruhan bisa masuk penuh dalam mulut Rendean. Tangan kanannya dipergunakan untuk memijit pelan bagian yang tersisa.

Rendean hanya melakukan aksi menghisap, bermain dengan giginya, bergantian dengan lidahnya, juga pijatan lembut tangannya, tapi sosok di atasnya sudah terengah-engah dan menahan umpatan demi umpatan. Sampai akhirnya Rendean menghisap kuat kepunyaan Nando dan Nando langsung melepaskan tautan mulut kekasihnya itu dari kejantanannya yang sudah mengeluarkan cairan sedikit. Ia tak mau keluar sekarang. Kekasihnya itu perlu diberi pelajaran lanjutan karena sempat mengejeknya dengan senyuman aneh.

“Now stop. Aku bakal balas kamu.”

Nando berdiri sebentar guna mengambil botol lubricant dan kondom yang ada di tasnya. Isi botol lubricant dituang ke tangannya.

“Curang. Padahal kamu hampir keluar duluan” ungkap Rendean mengejek.

Mata Nando mendelik tajam. “Aku maunya keluar di dalam kamu.”

“Tinggal keluarin aja” tantang Rendean membuat sisi dominan Nando tertohok sempurna.

“Awas kalau kamu nagih.”

“Nggak bakal.”

Badan yang lebih tua kemudian didorong oleh yang lebih muda. Nando benar-benar tak bisa terima akan ucapan kekasihnya. Bibirnya memagut bibir sang kekasih dengan rakus. Tekanan demi tekanan saling diberikan tanpa henti. Jika tadi masih ada kehati-hatian dan kelembutan, sekarang semuanya sirna sudah, diganti dengan sisi siapa yang bisa mendominasi lebih unggul. Sesapan Nando di bilah bibir bagian bawah, dibalas Rendean dengan turut menyesap bibir sang kekasih di bagian atas. Mereka saling menggigit dan menggeram. Sapuan lidah Nando berhasil memberikan lenguhan dari sisi Rendean.

Bibir Nando kembali bermain di area tengah tubuh Rendean. Jika tadi hanya fokus di kedua gundukan kesayangannya, kini semua area tengah itu dikecupnya dan diberikan jejak merah muda keunguan yang cukup banyak. Telunjuknya menelusuri ke arah bagian selatan milik kekasih. Digodanya dengan diberikan sentilan kuat pada ujungnya yang sudah basah dan teramat sensitif.

“Ah!”

Reflek tubuh Rendean melengkung. Areanya yang paling sensitif dipancing dengan sempurna oleh Nando.

Tangan Nando kini mulai menjamah paha bagian dalam yang menjadi titik sensitif selanjutnya dari sang kekasih. Lidahnya menjelajah paha mulus milik Rendean sekaligus memberikan rangsangan dengan menggigit lembut di area yang sama. Seringainya muncul, karena melihat area selatan kekasihnya sedikit demi sedikit dibanjiri cairan. Dua jarinya yang sudah dilumuri oleh cairan lubricant langsung disesakkannya ke lubang sensitif kekasihnya. Gerakan tiba-tiba itu berhasil membuat Rendean mengaduh sakit dengan memicingkan mata.

“Nannnh—Sakittt—”

Nando menatap Rendean dari atas dengan menumpu kedua lututnya di lantai. Memandang haru akan jejak karyanya di tubuh Rendean yang menurutnya sangat artistik.

“Percaya sama aku, nanti sakitnya hilang kok sayang. Tahan dulu ya” tangannya yang lain meraba birai ranum sang pacar yang masih membengkak.

Tak tega melihat miliknya kesakitan, Nando menginisiasi ciuman demi ciuman guna mengalihkan rasa sakit kekasihnya. Tangannya di bagian bawah Rendean masih mengobrak-abrik demi mencari titik nikmat Rendean. Gerakan membuka, menutup, dan menekuk dari kedua jarinya membuat pinggul kekasihnya bergerak naik turun, sampai pada akhirnya ia berhasil menemukan titik sensitif Rendean dan menekannya dengan penuh semangat.

“AH!” teriakan Rendean menggema dengan sempurna di ruang tamunya. Nando dengan senang hati memberikan sentuhan kenikmatan yang ditunggu-tunggu oleh kekasihnya walau baru dimulai dari permainan jarinya saja.

Lidahnya turut diikutsertakan untuk menjilati lubang sensitif milik Rendean. Mendesak masuk dan menjelajah semua teritori yang ada di sekitarnya. Tangannya yang satu lagi mencubit sisi paha Rendean yang lain, memberikan efek racauan penuh hasrat di dalamnya.

Rendean menatap ke bagian bawahnya dengan bulir-bulir keringat yang turun bergantian di wajahnya, berusaha menahan diri. Ia mengatupkan pahanya yang sedang distimulus tanpa henti oleh kekasihnya.

Nando menggeleng tegas, ia tak mau kekasihnya itu menahan pelepasannya. Lidahnya semakin bermain bersamaan dengan kedua jarinya yang terus menekan titik kenikmatan surgawi Rendean di dalam sana.

“Mas Nannnh—Shit—” tubuhnya bergetar hebat. Nafasnya terengah sembari meremas surai yang lebih muda.

Rendean mencapai pelepasannya. Cairannya dijilat kembali oleh Nando dengan bersih. Ia bangga karena berhasil membuat kekasihnya memanggil nama panggilan yang sangat disukainya. Jari jemarinya dikeluarkan perlahan dari lubang sensitif Rendean. Mendapatkan tatapan tak rela.

Rendean merasa malu. Tubuhnya bereaksi tak sesuai dengan ucapannya sebelumnya. Dirinya masih menginginkan sosok dominan untuk berada di dalamnya secara sempurna karena beberapa detik yang lalu, hanya jemari Nando saja yang berhasil mengacaukan area sensitifnya di bawah sana. Ia kemudian menutup wajahnya dengan kedua tangannya sembari mengatur nafas. Nando menahan kedua tangan kekasihnya dan menatap kepunyaannya lekat-lekat.

“Kenapa malah tutup muka?” tanya Nando lembut.

“Aku malu” jawab Rendean tersipu dan memalingkan wajahnya ke samping kiri.

“Kenapa harus malu? Kalau kamu tutup muka, aku nggak bisa liat seberapa rupawannya kamu. Lagian apa yang harus dimaluin?” tanya Nando lagi dan mengelus kedua tangan milik Rendean.

Rendean menggigit bibir bawahnya spontan. Nando malah menganggapnya sebagai pancingan yang terlalu sensual. Kejantanannya semakin ingin mendesak masuk ke dalam tubuh Rendean.

“Aku—masih mau lebih—” cicit Rendean kecil.

Nando tersenyum tulus di atasnya. Ia memasang kondomnya cepat, seperti dikejar oleh waktu. Padahal waktu masih menunjukkan pukul 01.00 malam.

“Lemme doing for you. Sweat for me ok. Aku izin masuk ya”

Rendean mengiyakan di bawahnya.

Kejantanannya diposisikan persis di lubang sensitif milik Renjun. Sebelum mendesak masuk, Nando masih sempat menggoda kekasihnya itu hanya demi mendengar erangan protes yang justru membuatnya semakin ingin menghujam sosok lelaki kesayangannya ini. Salah satu tangan Nando memijit ujung pangkal kejantanan Rendean dan saling menggesekkan kepemilikannya dengan kekasihnya.

Pinggul Rendean bergerak gelisah menanti penuh gairah tak tertahan. Nando melesakkan kejantanannya dalam satu kali hentakan ke lubang Rendean. Kekasihnya mengerang kesakitan. Beberapa cairan liquid menetes dari kelopak matanya. Tangan Nando dihujani tajamnya kuku Rendean akibat sentakan pertamanya tadi, namun Nando tak protes. Ia paham karena kondisi Rendean di bawah sana jauh lebih kesakitan dibanding dengan dirinya.

Nando mengecup pipi Rendean dengan lembut, turut membelai surainya yang berantakan basah oleh keringat.

“Gerak aja Nan. Aku gapapa” Rendean mengatur emosinya yang bercampur aduk.

“Oke. Aku izin gerak ya sayang.”

Kejantanan Nando mulai bergerak perlahan di dalam tubuh Rendean. Membelai lembut dinding otot bagian dalam yang memberikan sensasi adiktif bagi keduanya.

Kulit beradu kulit, peluh beradu peluh, geraman dan erangan melebur menjadi satu, suhu dingin di sekitar yang kontras dengan suhu tubuh masing-masing menjadi saksi intimnya adegan seks yang sedang dilakukan dua anak manusia malam ini.

Pinggang Rendean melengkung ke sembarang arah diiringi dengan frasa kacau yang keluar dari mulutnya ketika Nando berhasil mendesakkan diri dan menyentuh titik sensitifnya di dalam sana.

Nando semakin brutal tak beraturan memberikan desakan demi desakan yang saling mengacaukan keduanya.

“Mass Nanndo—Aku—Mau—Keluar hhh” racau Rendean mengetatkan dua kakinya yang melingkar di belakang pinggang Nando juga dengan ototnya yang menghimpit sesak kejantanan sang kekasih di bawah sana.

Tangan Nando yang bebas, mencubit kembali puting kecoklatan milik Rendean, bersamaan dengan itu, mereka berdua sama-sama mencapai pelepasannya. Badan Rendean gemetar, lemas tak bertulang. Sedangkan Nando, terjatuh lemah di ceruk leher yang lebih tua setelah meneriakkan dengan lantang nama Rendean.

Mereka saling mengatur hembusan nafas masing-masing.

“Makasih ya punyanya Nando” ujar pemilik bahu yang lebih lebar pada sang kekasih di sampingnya. Ia melingkarkan tangan kirinya ke punggung Rendean, sedangkan tangan kanannya digunakan sebagai bantalan untuk kepala Rendean agar tak sakit bersentuhan langsung dengan lantai ruang tamu.

Rendean menenggelamkan dirinya persis di dada Nando. Menghirup aroma kekasihnya yang memabukkan. Irama jantung kekasihnya yang berdetak pelan, menjadi backsound alami yang menenangkannya.

“Nanti kamu bantuin aku bersihin ruang tamu ya” pintanya pada yang lebih muda.

“Biar aku sendiri aja yang bersihin. Kamu mandi air hangat, setelahnya langsung istirahat” jawab Nando sembari menempelkan dagunya di atas kepala lelakinya.

“Okee. Oh ya Nan. Soal program 'Seks Edukasi' itu—nggak usah diajuin deh. Ntar Haikal sama yang lain malah mikir aneh-aneh” ujar Rendean mengkonfirmasi.

Nando tersenyum penuh arti. “Yaudah. Lagian aku juga gak serius. Cuma pengen liat respon kamu aja. Sekalian mancing. Hahaha” tawanya membahana tanpa dosa.

Satu detik kemudian,

“Aduhh!! Rendean!! Sakittt!! Jangan dicubit!!”

© Kalriesa🩋

Sweat for me

Nando Rendean Incomplete Universe CW // 🔞 , harshwords , kiss scene , sex scene , blow job


Rendean menyisihkan teh tarik yang dibelinya bersama Nando setelah jam pulang siaran malam. Sementara Nando duduk santai di ruang tamu Rendean.

Lelaki bersurai hitam itu memang rajin menginap di rumah Rendean, selain karena rumah kekasihnya lebih dekat dengan Suncoff Radio, ada alasan lain untuk memproteksi Rendean lebih tinggi. Nando tak mau Rendean berada jauh dari jangkauannya.

“Kamu mau langsung minum teh tariknya nggak?” tanya Rendean yang kepalanya nongol tiba-tiba dari balik dinding.

Nando menggeleng, “Perut aku udah gembung. Tadi minum teh tarik juga kan pas di sana” jawaban tambahan darinya ditanggapi dengan anggukan kecil oleh yang lebih tua.

Rendean balik lagi ke dapur dan membawa sekotak es batu beserta bungkusan teh tarik. Semua barang bawaannya diletakkannya di atas meja.

“Kenapa malah dibawa kesini semua?” tanya Nando bingung.

“Aku mau minum teh tarik pakai es. Harusnya di sana bukan pesan teh tarik panas. Kebas bibir aku” jawab Rendean panjang.

Nando memutar bola matanya dan menunjukkan ekspresi berpikir. “Aku tiba-tiba ada ide buat Suncoff.”

Rendean yang sedang asyik mengunyah es batu disela-sela percakapan dengan kekasihnya langsung fokus menatap manik mata Nando.

“Ide apa?”

“Coba kamu tebak.” Kedipan mata lelaki Leo itu berhasil membuat Rendean memunculkan ekspresi penuh tanya.

“Kasih tau aja deh. Ini udah tengah malam, otak aku lagi gak sesegar jam siaran pagi” jawab Rendean malas karena disuruh berpikir.

“Bulan baru nanti, Suncoff adain program tambahan tengah malam deh. Temanya 'Seks Edukasi'. Gimana menurut kamu?”

Rendean seketika terbatuk. Tangannya mengibas di depan mukanya sendiri yang memerah seperti tomat.

“Why so suddenly?” tanya Rendean tak habis pikir.

“Seks edukasi itu penting Ren. Kita juga bisa tau problematika seks apa aja yang muncul dari tiap pasangan. Seks bukan urusan jasmani aja menurut aku, tapi penyatuan antara dua insan yang udah saling percaya dengan consent masing-masing.

Batuk Rendean semakin menjadi. Teh tarik yang awalnya akan diminum beberapa menit lagi, malah diseruputnya duluan.

Kenapa jadi bahas seks edukasi sih? tanya Rendean dalam hati. Matanya diarahkan ke sudut yang lain, tak ingin bertemu dengan mata sosok yang lebih muda.

“Hei, kamu kok liatnya ke arah lain? Telapak tangan Nando yang besar dengan sigap memegang pipi tirus milik kekasihnya, lalu mengembalikan lagi tatapan Rendean agar fokus ke arahnya. “Ayo liat aku” pinta Nando lembut.

Pipi sang kekasih kemudian dimainkannya, dimanyunkan, lalu ditarik sisi kiri kanan agar lebih pipih.

“Pipi kamu mirip kue mochi ya. Kenyal-kenyal” ujar Nando tersenyum dengan manisnya.

Rendean sudah sedari tadi menahan diri untuk kabur, ia tak kuasa menerima sikap manis nan lemah lembut Nando sekarang ini. Rasa hangat menjalar di seluruh wajah sampai ke telinganya melihat betapa memabukkannya senyum sang kekasih di hadapannya.

“Telinga kamu merah. Kenapa?” tanya Nando penasaran.

Bukannya diam di tempat dan melepas pegangannya pada wajahnya, lelakinya semakin memajukan badannya untuk melihat lebih dekat ke telinga Rendean. Mau tak mau, menahan nafas adalah cara paling ampuh untuk pura-pura baik-baik saja dalam posisi canggung seperti sekarang.

“Aku nggak ada ngapa-ngapain kamu loh Ren. Kenapa ekspresi kamu tegang banget?” sudut bibir si Leo tertarik ke atas dan memunculkan seringai aneh yang dapat ditangkap Rendean dari lirikan matanya.

Tangan Nando beralih mengelus daun telinga kekasihnya. Jari-jari panjangnya menyisiri dengan apik tanpa jeda sampai ke tulang selangka leher sang kekasih. Ditiupnya ceruk kekasihnya itu sebelum diberikan kecupan kecil. Rendean sampai merinding hebat, dengan spontan meremas paha Nando yang berhadapan dengan pahanya.

“Ge—li Naan”

“Kok malah remas paha aku? Mancing ya?”

“Nggak—Udah ah. Aku mau lanjut makan es batu” Rendean mencicit pelan, berusaha menjauhkan diri.

“Yaudah sini aku izin suapin kamu.”

Nando mengambil sebuah es batu dari meja di sampingnya dan memasukkannya secara utuh ke dalam mulutnya. Rendean pikir es batu itu memang akan disuapkan pada dirinya dari tangan kekasihnya. Alih-alih disuap melalui tangan, tiba-tiba saja bibir Nando yang masih memiliki sensasi dingin itu menempel pelan di bibir Rendean. Tampak kedua bola mata Rendean membesar kaget dengan perlakuan Nando yang tanpa aba-aba.

Tangannya yang bebas menyusuri punggung Rendean sampai menuju ke leher, ditekannya perlahan agar dua belah bibir mereka saling terpaut tanpa jarak. Es batu yang masih berbentuk dalam mulut Nando, disalurkannya ke mulut kekasihnya dan tampaklah celah terbuka dari kedua bibir masing-masing. Lidah Nando kemudian merangsek masuk untuk mengabsen tanpa henti rongga mulut kekasihnya. Rendean dengan susah payah menelan es batunya yang mulai mencair.

Dua pasang mata yang saling pandang, kini menatap penuh gairah. Rendean akhirnya tak mau kalah dalam membalas perlakuan Nando yang memberikan efek panas pada seluruh tubuhnya. Bibirnya turut menyesap lidah sang kekasih. Tak luput untuk memberikan kelembapan pada bibir yang lebih muda. Kegiatan belit-membelit itu terjadi dalam waktu yang lumayan lama. Sesapan yang dilakukan Rendean di bilah cherry kekasihnya itu menimbulkan geraman kecil dari Nando sendiri.

“Hmm.”

Mereka melepas tautan masing-masing dengan benang saliva yang menempel di mana-mana, juga dengan nafas memburu karena membutuhkan porsi oksigen yang lebih banyak daripada sebelumnya.

“Maaf ya Ren?” gumam Nando kecil, namun masih tetap bisa didengar oleh Rendean.

“Kenapa?”

“Bibir kamu makin menawan setelah aku cium” ujar Nando dengan mata berbinar.

Dua detik kemudian,

“Aaaaaw! Sakit Ren!!” teriak Nando keras. Ia mendapatkan cubitan singkat di paha bagian dalam.

“Bisa-bisanya ngelawak ckck.” Rendean bersiap untuk beranjak membersihkan meja di sampingnya, namun tangan yang lebih kekar menariknya duduk dengan posisi Rendean berada di atas pangkuan yang lebih muda.

“Eeh” wajah pemilik zodiak Aries mulai bersemu merah lagi. Dengan posisi seperti itu, sudah pasti paha mereka saling bersentuhan satu sama lainnya, apalagi paha Rendean berada di atas paha Nando. Rendean tau jika di bawahnya terasa sesuatu yang menegang dan menyentuh area selatannya.

“Tanggung jawab dong” pinta Nando dengan matanya yang sayu bercampur kilatan penuh birahi.

“A—apa?”

“Jangan pura-pura ngga tau gituuu” ungkap yang lebih muda.

Siapa bilang Rendean tak tau? Dirinya tau jika sang kekasih sudah menahan diri dari tadi, begitu pula dirinya. Hanya saja, ia masih mencoba untuk tetap tenang, walau sebenarnya ada hasrat lain yang ingin dipuaskan.

“Aku mau nyentuh kamu lebih dalam. Boleh nggak?” tanya Nando dengan nada kalem.

“Lah, ini kan udah sentuhan daritadi” Rendean sengaja mempermainkan kekasihnya.

“Beneran sengaja kamu ya. Ngerjain aku. Punya kamu terasa nih di atas aku. Mau bukti?” jemari Nando bergerak bebas menelusuri paha Rendean dari arah luar sampai ke sisi dalam. Setelah berhasil menemukan bagian yang menegang, ia mengelus tengil benda yang masih tertutup celana jeans itu, dan mendapat tatapan melotot dari kekasihnya.

“Stop!!”

“Gimana? Boleh?” tanya Nando penuh harap. Rendean mengangguk pasrah.

Setelah mendapatkan persetujuan, Nando meluruskan badan kekasihnya ke lantai ruang tamu dan kembali ke area leher Rendean yang belum sempat dijamahnya dengan maksimal. Bibirnya memberikan kecupan di leher Rendean yang jenjang, tak lupa gigitan lembut ditujukan di area yang sama, meninggalkan jejak merah muda keunguan dan erangan kecil dari yang lebih tua.

“Uhngg.”

Pinggang Nando menjadi saksi tempat bertautnya kedua tangan Rendean di belakangnya.

Rendean masih mengenakan kaus putih tipis. Dirinya tengah merasakan telapak tangan Nando yang kasar sedang menjelajah area tengah tubuhnya. Sampai di salah satu titik sensitifnya, tangan kekasihnya berhenti sejenak. Kemudian terasa kuku kekasihnya yang menyentuh area putingnya dan membuat reaksi kecil penuh gelisah menggerakkan badannya secara acak.

Tangan Nando yang lain merengkuh badan Rendean dari belakang. Ia menarik dengan cepat kain yang menutupi lekuk tubuh kekasihnya sampai akhirnya bagian atas Rendean tak tertutup sehelai benangpun.

Matanya melirik kotak es batu yang masih tersisa di atas meja. Dituangkannya sebagian es batu yang sudah mencair di area tengah tubuh Rendean, juga diletakkan dua buah es batu yang masih berbentuk padat.

“Nnng—Ding-iiinn Nannn” si pemilik tubuh menggeliat kedinginan, namun gerakannya ditahan satu tangan Nando yang merengkuh erat di pinggangnya.

“Aku hangatin ya. Mau kan?” tanya Nando yang mendapatkan anggukan cepat dari lelaki di bawahnya.

“Cepppatttt. Dinginnnn” pinta sosok yang proporsi badannya lebih kecil.

Tanpa disuruh pun, sisi dominan seorang Nando akan secara aktif memberikan sensasi hangat yang sebenarnya pada kekasihnya. Lidahnya mulai berselancar mengabsen seluruh cairan dingin yang dituangnya tadi di atas tubuh Rendean. Pelan tapi pasti, dijilatnya area tengah kekasihnya, sampai di kedua gundukan dekat dada yang masih menyisakan es batu padat, langsung dikulumnya sekaligus dihisapnya puting kekasih yang sudah menegang. Tangan Nando satunya turut memilin puting Rendean yang belum terjamah dengan penuh kelembutan.

“Nannnh—” Rendean merasakan suhu tubuhnya semakin meningkat. Bibir bagian bawahnya, ia gigit sendiri demi menyalurkan sensasi panas yang semakin menjalar rata sampai ke saraf otaknya.

Setelah puas bermain di sisi kanan, indera pengecap Nando mulai menjamah sisi kiri Rendean. Lidahnya mengitari bagian pinggir puting kiri kekasihnya sebelum berakhir dengan menghisap gundukan coklat bercampur merah muda tersebut.

“Indah banget punya kamu. Pengen aku hisap lama-lama” ujar Nando di sela aktivitasnya menggigit pelan puting Rendean.

Terdengar nada memelas dari mulut submissive di bawahnya. “Jangaaan—digigithh—Uhhh. Nggakkh—kuatt hnn—”

Satu telunjuk Nando berhasil menelusup ke rongga mulut Rendean guna membungkam sebentar erangan kekasihnya yang semakin membuatnya tak bisa menahan gairahnya sendiri. Dan telunjuk itu dihisap oleh Rendean sekuat tenaga sebagai alat pengalihannya atas kenikmatan yang diberikan sang kekasih.

“Shit”

Nando merasakan area bagian bawahnya semakin menegang akibat ulah Rendean. Telunjuknya yang penuh saliva sang kekasih, dikeluarkannya lalu dijilatnya.

Kedua area selatan masing-masing semakin menampakkan eksistensinya dibalik celana. Tanpa pertimbangan apapun, Nando mulai membuka atasannya, juga celananya sendiri dan celana kekasihnya. Terpampanglah dengan jelas kepemilikannya dan Rendean yang sudah menegang sempurna.

Rendean pelan-pelan berhasil mengumpulkan kewarasannya yang tadi sempat hilang seperempatnya, memandang penuh takjub milik Nando.

“Ayo gantian. Sekarang giliran aku” ujar Rendean mendorong kekasihnya ke belakang agar duduk bersender di pinggir sofa.

Rendean sedikit ingin balas dendam pada Nando. Diambilnya bungkusan teh tarik yang masih ada isinya. Lalu dituangkan tepat di atas batang kejantanan sang kekasih.

“Kamu ngapain!” tanya Nando panik.

Rendean menulikan telinganya. Ia juga tau bahwa punya sang kekasih perlu dimanjakan. Area selatan milik Nando dikecupnya perlahan dari ujung batangnya. Lidahnya yang panjang bermain dengan menelusuri sisa-sisa teh tarik yang sengaja ditumpahkannya tadi ke kepunyaan Nando. Di atasnya, Nando sedang menutup matanya dan meremas bahu Rendean dengan kuat.

Setelah dirasa sudah bersih, mulut Rendean mulai memasukkan batang kejantanan milik Nando perlahan demi perlahan. Ujung giginya sengaja digesekkannya ke kejantanan sang kekasih.

“Fuck! Ren, don't you dare—hhh!” surai milik Rendean menjadi bahan remasan Nando seketika. Rendean tersenyum menang di bawahnya.

Ukuran Nando memang berada diatas rata-rata, sehingga tak keseluruhan bisa masuk penuh dalam mulut Rendean. Tangan kanannya dipergunakan untuk memijit pelan bagian yang tersisa.

Rendean hanya melakukan aksi menghisap, bermain dengan giginya, bergantian dengan lidahnya, juga pijatan lembut tangannya, tapi sosok di atasnya sudah terengah-engah dan menahan umpatan demi umpatan. Sampai akhirnya Rendean menghisap kuat kepunyaan Nando dan Nando langsung melepaskan tautan mulut kekasihnya itu dari kejantanannya yang sudah mengeluarkan cairan sedikit. Ia tak mau keluar sekarang. Kekasihnya itu perlu diberi pelajaran lanjutan karena sempat mengejeknya dengan senyuman aneh.

“Now stop. Aku bakal balas kamu.”

Nando berdiri sebentar guna mengambil botol lubricant dan kondom yang ada di tasnya. Isi botol lubricant dituang ke tangannya.

“Curang. Padahal kamu hampir keluar duluan” ungkap Rendean mengejek.

Mata Nando mendelik tajam. “Aku maunya keluar di dalam kamu.”

“Tinggal keluarin aja” tantang Rendean membuat sisi dominan Nando tertohok sempurna.

“Awas kalau kamu nagih.”

“Nggak bakal.”

Badan yang lebih tua kemudian didorong oleh yang lebih muda. Nando benar-benar tak bisa terima akan ucapan kekasihnya. Bibirnya memagut bibir sang kekasih dengan rakus. Tekanan demi tekanan saling diberikan tanpa henti. Jika tadi masih ada kehati-hatian dan kelembutan, sekarang semuanya sirna sudah, diganti dengan sisi siapa yang bisa mendominasi lebih unggul. Sesapan Nando di bilah bibir bagian bawah, dibalas Rendean dengan turut menyesap bibir sang kekasih di bagian atas. Mereka saling menggigit dan menggeram. Sapuan lidah Nando berhasil memberikan lenguhan dari sisi Rendean.

Bibir Nando kembali bermain di area tengah tubuh Rendean. Jika tadi hanya fokus di kedua gundukan kesayangannya, kini semua area tengah itu dikecupnya dan diberikan jejak merah muda keunguan yang cukup banyak. Telunjuknya menelusuri ke arah bagian selatan milik kekasih. Digodanya dengan diberikan sentilan kuat pada ujungnya yang sudah basah dan teramat sensitif.

“Ah!”

Reflek tubuh Rendean melengkung. Areanya yang paling sensitif dipancing dengan sempurna oleh Nando.

Tangan Nando kini mulai menjamah paha bagian dalam yang menjadi titik sensitif selanjutnya dari sang kekasih. Lidahnya menjelajah paha mulus milik Rendean sekaligus memberikan rangsangan dengan menggigit lembut di area yang sama. Seringainya muncul, karena melihat area selatan kekasihnya sedikit demi sedikit dibanjiri cairan. Dua jarinya yang sudah dilumuri oleh cairan lubricant langsung disesakkannya ke lubang sensitif kekasihnya. Gerakan tiba-tiba itu berhasil membuat Rendean mengaduh sakit dengan memicingkan mata.

“Nannnh—Sakittt—”

Nando menatap Rendean dari atas dengan menumpu kedua lututnya di lantai. Memandang haru akan jejak karyanya di tubuh Rendean yang menurutnya sangat artistik.

“Percaya sama aku, nanti sakitnya hilang kok sayang. Tahan dulu ya” tangannya yang lain meraba birai ranum sang pacar yang masih membengkak.

Tak tega melihat miliknya kesakitan, Nando menginisiasi ciuman demi ciuman guna mengalihkan rasa sakit kekasihnya. Tangannya di bagian bawah Rendean masih mengobrak-abrik demi mencari titik nikmat Rendean. Gerakan membuka, menutup, dan menekuk dari kedua jarinya membuat pinggul kekasihnya bergerak naik turun, sampai pada akhirnya ia berhasil menemukan titik sensitif Rendean dan menekannya dengan penuh semangat.

“AH!” teriakan Rendean menggema dengan sempurna di ruang tamunya. Nando dengan senang hati memberikan sentuhan kenikmatan yang ditunggu-tunggu oleh kekasihnya walau baru dimulai dari permainan jarinya saja.

Lidahnya turut diikutsertakan untuk menjilati lubang sensitif milik Rendean. Mendesak masuk dan menjelajah semua teritori yang ada di sekitarnya. Tangannya yang satu lagi mencubit sisi paha Rendean yang lain, memberikan efek racauan penuh hasrat di dalamnya.

Rendean menatap ke bagian bawahnya dengan bulir-bulir keringat yang turun bergantian di wajahnya, berusaha menahan diri. Ia mengatupkan pahanya yang sedang distimulus tanpa henti oleh kekasihnya.

Nando menggeleng tegas, ia tak mau kekasihnya itu menahan pelepasannya. Lidahnya semakin bermain bersamaan dengan kedua jarinya yang terus menekan titik kenikmatan surgawi Rendean di dalam sana.

“Mas Nannnh—Shit—” tubuhnya bergetar hebat. Nafasnya terengah sembari meremas surai yang lebih muda.

Rendean mencapai pelepasannya. Cairannya dijilat kembali oleh Nando dengan bersih. Ia bangga karena berhasil membuat kekasihnya memanggil nama panggilan yang sangat disukainya. Jari jemarinya dikeluarkan perlahan dari lubang sensitif Rendean. Mendapatkan tatapan tak rela.

Rendean merasa malu. Tubuhnya bereaksi tak sesuai dengan ucapannya sebelumnya. Dirinya masih menginginkan sosok dominan untuk berada di dalamnya secara sempurna karena beberapa detik yang lalu, hanya jemari Nando saja yang berhasil mengacaukan area sensitifnya di bawah sana. Ia kemudian menutup wajahnya dengan kedua tangannya sembari mengatur nafas. Nando menahan kedua tangan kekasihnya dan menatap kepunyaannya lekat-lekat.

“Kenapa malah tutup muka?” tanya Nando lembut.

“Aku malu” jawab Rendean tersipu dan memalingkan wajahnya ke samping kiri.

“Kenapa harus malu? Kalau kamu tutup muka, aku nggak bisa liat seberapa rupawannya kamu. Lagian apa yang harus dimaluin?” tanya Nando lagi dan mengelus kedua tangan milik Rendean.

Rendean menggigit bibir bawahnya spontan. Nando malah menganggapnya sebagai pancingan yang terlalu sensual. Kejantanannya semakin ingin mendesak masuk ke dalam tubuh Rendean.

“Aku—masih mau lebih—” cicit Rendean kecil.

Nando tersenyum tulus di atasnya. Ia memasang kondomnya cepat, seperti dikejar oleh waktu. Padahal waktu masih menunjukkan pukul 01.00 malam.

“Lemme doing for you. Sweat for me ok. Aku izin masuk ya”

Rendean mengiyakan di bawahnya.

Kejantanannya diposisikan persis di lubang sensitif milik Renjun. Sebelum mendesak masuk, Nando masih sempat menggoda kekasihnya itu hanya demi mendengar erangan protes yang justru membuatnya semakin ingin menghujam sosok lelaki kesayangannya ini. Salah satu tangan Nando memijit ujung pangkal kejantanan Rendean dan saling menggesekkan kepemilikannya dengan kekasihnya.

Pinggul Rendean bergerak gelisah menanti penuh gairah tak tertahan. Nando melesakkan kejantanannya dalam satu kali hentakan ke lubang Rendean. Kekasihnya mengerang kesakitan. Beberapa cairan liquid menetes dari kelopak matanya. Tangan Nando dihujani tajamnya kuku Rendean akibat sentakan pertamanya tadi, namun Nando tak protes. Ia paham karena kondisi Rendean di bawah sana jauh lebih kesakitan dibanding dengan dirinya.

Nando mengecup pipi Rendean dengan lembut, turut membelai surainya yang berantakan basah oleh keringat.

“Gerak aja Nan. Aku gapapa” Rendean mengatur emosinya yang bercampur aduk.

“Oke. Aku izin gerak ya sayang.”

Kejantanan Nando mulai bergerak perlahan di dalam tubuh Rendean. Membelai lembut dinding otot bagian dalam yang memberikan sensasi adiktif bagi keduanya.

Kulit beradu kulit, peluh beradu peluh, geraman dan erangan melebur menjadi satu, suhu dingin di sekitar yang kontras dengan suhu tubuh masing-masing menjadi saksi intimnya adegan seks yang sedang dilakukan dua anak manusia malam ini.

Pinggang Rendean melengkung ke sembarang arah diiringi dengan frasa kacau yang keluar dari mulutnya ketika Nando berhasil mendesakkan diri dan menyentuh titik sensitifnya di dalam sana.

Nando semakin brutal tak beraturan memberikan desakan demi desakan yang saling mengacaukan keduanya.

“Mass Nanndo—Aku...Mau—Keluar hhh” racau Rendean mengetatkan dua kakinya yang melingkar di belakang pinggang Nando juga dengan ototnya yang menghimpit sesak kejantanan sang kekasih di bawah sana.

Tangan Nando yang bebas, mencubit kembali puting kecoklatan milik Rendean, bersamaan dengan itu, mereka berdua sama-sama mencapai pelepasannya. Badan Rendean gemetar, lemas tak bertulang. Sedangkan Nando, terjatuh lemah di ceruk leher yang lebih tua setelah meneriakkan dengan lantang nama Rendean.

Mereka saling mengatur hembusan nafas masing-masing.

“Makasih ya punyanya Nando” ujar pemilik bahu yang lebih lebar pada sang kekasih di sampingnya. Ia melingkarkan tangan kirinya ke punggung Rendean, sedangkan tangan kanannya digunakan sebagai bantalan untuk kepala Rendean agar tak sakit bersentuhan langsung dengan lantai ruang tamu.

Rendean menenggelamkan dirinya persis di dada Nando. Menghirup aroma kekasihnya yang memabukkan. Irama jantung kekasihnya yang berdetak pelan, menjadi backsound alami yang menenangkannya.

“Nanti kamu bantuin aku bersihin ruang tamu ya” pintanya pada yang lebih muda.

“Biar aku sendiri aja yang bersihin. Kamu mandi air hangat, setelahnya langsung istirahat” jawab Nando sembari menempelkan dagunya di atas kepala lelakinya.

“Okee. Oh ya Nan. Soal program 'Seks Edukasi' itu—nggak usah diajuin deh. Ntar Haikal sama yang lain malah mikir aneh-aneh” ujar Rendean mengkonfirmasi.

Nando tersenyum penuh arti. “Yaudah. Lagian aku juga gak serius. Cuma pengen liat respon kamu aja. Sekalian mancing. Hahaha” tawanya membahana tanpa dosa.

Satu detik kemudian,

“Aduhh!! Rendean!! Sakittt!! Jangan dicubit!!”

© Kalriesa🩋

Menunggumu

Jaemin; Gana Renjun; Faren CW // hurt comfort


Jenuh. Satu kata jutaan makna yang jika diucapkan akan memberikan berbagai reaksi tergantung dari individu masing-masing yang mendengarnya.

Ketika Gana dengan segala kejujurannya menyampaikan apa yang dirasanya saat ini pada Faren, kekasihnya, yang juga merasakan hal yang sama, maka Semesta akan memberikan pilihan yang didasarkan oleh keputusan akhir masing-masing.

“Maaf Ren, gw gak mau nyimpan kejenuhan ini lama-lama, sama aja dengan pura-pura. Gw gak mau hubungan kita didasari dengan kepura-puraan” ujar Gana melanjutkan sesi deeptalk di antara keduanya.

Faren masih menatap tanpa jeda kekasih di depannya. Dalam hatinya ia bersyukur, bukan karena Gana merasakan hal yang sama dengannya, alasan dibaliknyalah yang jadi pertimbangan kuat rasa syukurnya.

“Gw juga mau jujur. Gw ngalamin hal yang sama Na.”

Mata Gana terbelalak kaget. Gerak-gerik dan tanda kejenuhan itu memang sudah terdeteksi dalam beberapa moment terakhir. Sepertinya mereka berdua memaksakan diri untuk terus berada di zona nyaman dan mengelabui perasaan masing-masing.

Berbagai jalan keluar telah mereka jalani tanpa saling memberitahukan satu sama lain, berharap rasa jenuh yang menyeruak di hubungan mereka perlahan akan pudar, tergantikan dengan tendensi untuk saling memiliki yang lebih besar dibanding sebelumnya. Nyatanya, solusi yang dijalankan hanya sebatas solusi, tetap terkubur semakin dalam oleh riuh jenuh masing-masing.

“Tapi gw masih sayang sama lo” ujar Gana tegas.

Faren tersenyum, “Gw juga masih sayang sama lo, Na.”

Helaan nafas dari keduanya bercampur dengan partikel zat yang transparan di sekitar mereka.

“Gw gak ada niat untuk mencoba hubungan baru dengan orang lain, siapapun itu. Gw gak gampang untuk buka hati dan lo pasti tau soal itu kan?” tanya Gana meminta validasi dari kekasihnya.

Faren mengangguk. “Gw juga gak ada niat menjadikan kata jenuh sebagai alasan untuk berpisah kok. Kita hanya butuh waktu untuk menemukan diri kita sendiri seutuhnya yang sempat gak terarah dalam beberapa waktu belakangan ini.”

“Makasih karena lo paham, Ren.”

“Kita gak mungkin diam aja ketika ngalamin hal semacam ini kan? Masalah sekecil apapun harus dihadapi, bukan didiamkan, apalagi kalau kita nggak bergerak tanpa tindakan, dibiarkan berlarut bisa fatal nantinya.”

“Gw bakal narik diri sementara. Gw mau me time dengan diri gw sendiri” terang Gana dengan sorot mata dalam.

“Gw juga akan healing dengan cara gw sendiri” tanggap Faren tersenyum.

Tangan Gana bergerak menghampiri tangan kekasihnya, mulai mengelus dengan ibu jarinya.

“Gw akan kembali ke tempat di mana hati gw berasal. Rumahnya adalah elo. Pusatnya hanya di sana. Jadi, tungguin gw ya?” pinta Gana dengan tulus.

Faren turut memberikan balasan dengan menggenggam telapak tangan Gana seerat mungkin. “Rumah itu ada untuk ditempati. Penghuninya juga perlu pergi sejenak, mengeksplorasi sesuatu yang gak bisa ditemui di dalam rumah. Tapi rumah akan jadi tempat kembali jika penghuninya udah lelah menghadapi kisruhnya dunia. Dan tempat yang paling nyaman untuk ditempati diri ini adalah lo seorang, Gana. Mari kita saling menunggu hati masing-masing untuk kembali ke tempatnya semula. Tolong tunggu gw juga ya.”

©Kalriesa🩋

Into Your Arms

Cw // panick attack , verbal abuse

Jaemin as Naksha Renjun as Juffa


Gerimis turun membasahi bumi di saat Juffa sedang mengerjakan paper Pengantar Bisnis miliknya. Siang itu ia duduk menyendiri di salah satu kafe yang terletak di sudut jalan kota. Niatnya ingin menyelesaikan tugas ditemani musik instrument yang terputar syahdu di kafe itu, namun Naksha, kekasihnya, mengirimkan pesan dan memintanya untuk menunggunya karena dalam waktu sepuluh menit lagi akan datang.

Berhubung persentase penyelesaian papernya sudah masuk di angka 95%, Juffa pun menutup Microsoft Wordnya. Ia akan melanjutkannya nanti di kost-san saja dan menikmati Ice Matcha serta Red Velvet Cake miliknya sampai kekasihnya muncul.

Aplikasi artoon dibuka dari ponselnya. Juffa memang sangat suka menggambar apapun, karena kecintaannya terhadap menggambar itulah akhirnya ia memberanikan diri untuk membuat akun di salah satu platform bergambar gratis yang menjadi wadah untuk menuangkan ide-idenya. Niatnya hanya menyalurkan hobby sekaligus sarana healingnya. Juffa tak menyangka jika hobbynya itu diberikan pujian oleh yang lain, bahkan sang kekasih juga memberikannya dua jempol saat Juffa berhasil menyelesaikan karya-karyanya yang dibuat sepenuh hati.

Dari kemarin gambarnya ini terus. Nggak ada bahan lain ya hahaha. Kehabisan ide apa gimana? Bosan deh liatnya,

Salah satu komentar yang muncul di notifikasi ponselnya membuat Juffa terpaku. Ia terdiam sejenak. Bahkan nafasnya tertahan sekian detik tak dihembuskannya sebagaimana mestinya. Lambat laun, perasaan aneh mulai menggerogoti dirinya. Matanya terasa perih, lalu liquid-liquid cair mulai berkumpul dan terpojok di ujung pelupuk matanya, tak bisa dihindari dan terjatuh membasahi wajahnya yang tadi ceria.

Dengan segera Juffa bergegas, memasukkan laptop, alat tulis, juga beberapa jurnal yang tadi terletak rapi di atas meja. Juffa sejenak lupa, bahwa Nakhsa akan datang ke kafe untuk menemuinya. Satu hal yang bercokol di pikirannya sekarang adalah bagaimana dirinya bisa sampai ke kos, memeluk moominnya dan meleburkan tangisnya tanpa ada siapapun yang tau.

Badannya gemetar sedari tadi, untuk memegang ponsel pun, tangannya masih menimbulkan goncangan kecil yang jika ditelisik lebih jauh, akan kelihatan oleh siapapun.

Seluruh tenaga dipaksanya membuka pintu kafe, berlanjut ke arah luar untuk berjalan kaki pulang ke kosannya tanpa mengenakan payung.

Juffa menggenggam tangannya yang tremor tak berhenti, pandangan matanya kabur, alhasil beberapa kali ia harus menabrak pejalan kaki di sekelilingnya dan terus membungkuk meminta maaf tanpa bisa mengeluarkan suara.

Isi kepalanya hanya berputar-putar dengan satu komentar yang membuatnya tertohok dan sempat dibacanya tadi. Juffa paham, siapapun bisa memberikan komentar apapun di berbagai platform karena negara tempatnya berpijak adalah negara yang memberikan kebebasan untuk menyuarakan pendapat. Namun ia juga tak bisa menyangkal bahwa sisi lain dirinya tak menyangka akan diberikan komentar seperti itu oleh seseorang yang mengetahui karya-karya yang dibuatnya. Inginnya juga mengutuk reaksi badan dan pikirannya yang bisa jadi dianggap berlebihan jika terekspos seperti sekarang, namun apa mau dikata, memang seperti itu apa adanya.

“Berhen—ti...gw ber—henti gam—bar a—ja” gumamnya terputus-putus.

Jika tadi liquidnya turun tertahan, maka per detik ini keseluruhan cairan itu bak air bah yang mengalir deras tak berhenti di wajahnya.

Pulang. Ia hanya ingin pulang. Nakhsa tak boleh melihat kondisinya yang lemah seperti ini, karena Juffa tau, ia hanya akan memberatkan kekasihnya saja.

“JUFFA!!!” teriak seseorang dengan suara baritonnya yang khas dari arah belakang.

Bukan telinga Juffa yang menuli, namun langkah kakinya yang terus maju teratur mengikuti perintah pusat kendali otaknya agar segera bisa sampai tempat tujuan akhir dengan selamat.

“JUFFA TUNGGU!!!” teriak suara itu lebih keras.

Derap langkah berlari terdengar. Selanjutnya, ada tangan kokoh yang memeluk Juffa dari belakang dengan erat.

Juffa kaget, namun tak bisa merespon apa-apa. Sosok yang memeluk Juffa itu berputar, mengarahkan dirinya persis ke hadapan Juffa.

“Nak—sha—” lontaran kecil keluar dari bibir mungil milik Juffa.

Nakhsa menatap dalam, meneliti setiap inci ekspresi yang dimunculkan Juffa, mengamati gestur badan Juffa yang masih gemetar, juga menyadari mata Juffa yang bengkak dan wajah Juffa yang basah.

“Sayang?” panggil Nakhsa pelan. Ia memeluk lagi kekasihnya yang diyakininya sedang tak baik-baik saja.

Nakhsa tak peduli akan sekelilingnya yang memandangnya dan Juffa dengan tatapan mata penuh tanya karena adegan pelukan yang dilakukannya di pinggir jalan. Pedulinya hanya pada satu sosok mungil di depannya yang terlihat rapuh, persis sama dengan dirinya ketika tau Juffanya tak berhasil dijaganya dari segala hal yang membuatnya hancur berkeping-keping seperti sekarang.

Terdengar isakan bernada rendah, kemudian berubah menjadi isakan pilu yang menghujam hati Nakhsa.

“A—ku...mau berhen—ti ngegam—bar” kalimat itu keluar dari bibir Juffa.

“Kenapa sayang? Itu kan hobby kamu, alat healing kamu” tanya Nakhsa pelan.

“Gam—bar aku...itu-itu...aja hiks”

Nakhsa melepas pelukannya sejenak dan menatap manik mata Juffa dengan lembut.

“Terus, kalau gambar kamu itu-itu aja, memang kenapa?” tanyanya lagi sembari menghapus liquid cair yang masih terlihat di wajah kekasihnya.

“Engg—gak...Tadi—aku dapat komentar—begitu—”

Ok. Nakhsa paham akan perihal yang membuat kekasihnya jadi seperti ini. Dipandangnya wajah Juffa yang masih sendu, lalu di kecupnya dahi kekasihnya itu dengan penuh cinta.

“Sayang, ada satu seniman yang senangnya hanya menggambar satu bagian tubuh aja. Mata. Ada juga yang kesukannya menggambar langit. Mereka semua menyalurkan hobby, kesenangannya di sana, juga healingnya, tanpa inisiasi menyenggol siapapun. Lalu kenapa mulut manusia lain harus ikut campur merusak kesenangan yang dimiliki seniman tersebut?” tanya Nakhsa tersenyum.

Juffa tertegun, mengambil makna setiap kata yang terucap dari Nakhsa. Nafasnya mulai berangsur membaik. Tangannya yang digenggam sedari tadi oleh Nakhsa, tak terlalu tremor seperti sebelumnya.

“Hobby kamu, itu healingmu. Kamu yang punya effort di sana. Makna dibalik semua yang kamu hasilkan, tertuang di dalamnya. Bahkan pesan-pesan dari setiap karya yang kamu hasilkan, punya arti penting untuk kamu sendiri. Jangan terpaku dengan komentar mereka lagi jika itu mengganggumu. Mereka hanya belum paham dengan filosofi karya yang kamu buat” Nakhsa mengusak pelan surai sang pacar.

“Aku—cuma kaget Sa.”

“Nggak apa kalau kamu kaget. Itu reaksi awal, tapi kalau kamu sampai harus mengubur zona nyamanmu untuk healing dari kegiatan menggambarmu karena komentar orang, bakatmu sia-sia sayang. Kalau kamu mau istirahat sejenak, it's ok, nanti pas kamu kangen menggambar lagi, ya lakukan, jangan ditahan.”

Juffa mengangguk pelan. Ia mematri semua yang dikatakan kekasihnya ke dalam kepalanya. Ada benarnya, kenapa ia harus mengorbankan hal yang disukainya jika apa yang dilakukannya tak mengganggu dan menyenggol orang lain. Juffa akhirnya ingat, satu komentar yang membuatnya tertohok seperti tadi malah bisa mengalahkan komentar penuh support dan vibes positif yang didapatnya.

Lantas, mengapa ia harus ambil pusing jika sekelilingnya lebih banyak yang menghargainya???

© Kalriesa 🩋

Privater

Jaemin tak tau kalau Renjun pergi reuni bersama teman-teman SMA nya. Itu karena Renjun memang sengaja tak memberitahukannya. Salah satu dari kumpulan temannya itu adalah vampire hunter yang sangat alergi dengan keberadaan Jaemin sebagai vampire. Padahal Renjun sudah jelaskan, bahwa Jaemin tak asal menggigit manusia sembarangan, ia hanya meminum darah khusus dari bank darah yang memang menyediakan pasokan darah bagi klan-klan Vampire yang tersebar di penjuru Korea. Juga pun jika ada manusia yang rela digigit lehernya, dan dihisap darahnya, itu hanya Renjun seorang, sang kekasih hatinya.

J: Kamu pergi kemana Ren? R: Reunian teman SMA

Jaemin mengernyit lalu menyipitkan matanya; kok diam diam aja perginya hm.

Vampire seperti Na Jaemin biasanya tak ambil pusing dengan prahara manusia, tapi jika menyangkut soal Renjun, Jaemin akan jadi makhluk pertama, terdepan yang harus tau segala aktivitas Renjunnya.

Renjun sering mengejeknya terlalu protektif, bagi Jaemin, itu bentuk sayangnya yang hanya bisa dicurahkan pada Renjun seorang.

J: Nanti aku jemput ya? R: Ngga usah. Aku bisa naik taksi.

You're My Everything 🐰🩊

CW // kiss Rated masih halal untuk dibawah 17 tahun


Jaemin terlihat keluar dengan tergesa-gesa dari kelasnya. Kedua tangannya menutup mulut dan hidungnya rapat-rapat, menjadi atensi mahasiswa yang lain. Langkah kakinya terarah ke belakang kelasnya, ia memutar dengan cepat dan segera melompat menuju balkon gedung fakultas Ekonomi yang paling atas, tepatnya di lantai 25.

Sesampainya di tempat tujuan, dirinya langsung bersandar pasrah di pinggir pintu penghubung gedung bagian dalam menuju ke arah balkon. Nafasnya terengah, Jaemin sudah tau pasti, bibirnya akan memucat, netranya akan berubah warna yang sebelumnya keabuan menjadi kemerahan. Dalam kondisi seperti ini, kedua taringnya juga otomatis akan muncul mendadak, sebagai pertanda dirinya sangat kehausan dan membutuhkan darah segar sebagai santapan wajibnya sehari-hari.

“Kenapa gw bisa lupa bawa stock darah di kulkas? Bodohnya Na Jaemin!” umpatnya lemah.

Tiba-tiba, dirasakannya ponsel di saku celana kirinya bergetar, sepertinya ada panggilan masuk, yang ternyata berasal dari Renjun.

“Tunggu aku di balkon. Bentar lagi aku sampai. Jangan kemana-mana!” ujaran Renjun terngiang di telinga Jaemin dan membuatnya sedikit lega.

Siapa yang tak akan lega jika mendengar suara kekasih hati sendiri. Huang Renjun namanya. Lelaki berparas manis yang mungil dan memiliki daya tarik paling kuat bagi Jaemin, tapi itu bukan point utama yang membuat dirinya jatuh cinta dengan Renjun. Kepekaan Renjun dan sikap tsunderenya lah yang membuat Jaemin bertekuk lutut dengan anak Adam itu.

Tok—tok

Terdengar ketukan dari arah pintu. Jaemin mendiamkannya, sampai akhirnya ia mendengar suara lembut sang pacar.

“Ini aku. Renjun. Cepat buka. Mau mati kehausan kamu ya?” ujar Renjun galak.

Jaemin terkekeh. Sisa kekuatannya yang masih ada, digunakan untuk membuka pintu, dan muncullah Renjun dengan tatapan tajamnya memandang ke arah dirinya, seperti sedang melasernya dari atas sampai bawah tanpa ada satu bagian pun yang luput.

“Kenapa nggak telpon aku?” tanyanya tajam.

“Kamu kan lagi ada kelas” jawab Jaemin tersenyum dengan suara yang lirih.

“Kalau nunggu aku selesai kelas, kamu bisa jadi vampire yang kekeringan darah. Mau masuk museum vampire ya? Sekalian masuk berita juga? Tsk” Renjun mendengus kesal.

Jaemin terkekeh kecil, menampakkan taringnya yang tersembunyi.

Renjun menggeleng tak paham, Na Jaemin, kekasihnya merupakan seorang vampire murni yang sudah memacarinya selama 1 tahun lamanya, masih saja segan menghubunginya on time ketika sudah dalam kondisi kehausan seperti ini.

Ya, sebagai seorang vampire murni, tentu saja Jaemin hanya bisa meminum darah segar manusia. Jaemin juga memiliki stok bank darah segar di rumahnya, itu juga merupakan pasokan yang diberikan dari keluarganya khusus untuk Jaemin yang lebih senang tinggal seorang diri.

Jika sudah seperti ini, kondisinya hanya dua, Jaemin pede karena merasa cukup dengan darah yang sudah diminum sebelumnya atau karena Jaemin lupa membawa stock darah segar bungkusan untuk hari ini.

“See? Bahkan aku udah datang ke sini pun, kamu masih nggak mau minum darah aku kan?” Renjun dengan segala kalimat pedasnya berhasil membuat Jaemin terkekeh lagi.

“Nanti kamu pingsan lagi kayak waktu itu” jawab Jaemin khawatir.

“Aku pingsan masih bisa bangun, lah kamu? Kurang asupan darah, bisa mati kekeringan.”

Ok. Skakmat sudah. Kalimat terakhir dari Renjun itu berhasil membuat Jaemin tersadar. Sebenarnya Renjun terlalu hiperbola, sebagai vampire murni, dirinya tak selemah itu jika tak mendapatkan asupan darah, hanya kekuatannya saja yang sedikit berkurang, tapi tak akan sampai mati kekeringan. Dia bukan jenis tumbuh-tumbuhan yang bisa mati karena kekurangan air. Toh masih bisa diusahakannya untuk mendapatkan asupan darah sebagaimana mestinya, tapi pacarnya ini, mulutnya memang sedikit tajam. Ah ralat, bukan sedikit, tapi banyak. Itu yang membuat Jaemin semakin cinta pada Renjunnya.

Renjun masih diam menatap Jaemin yang tak bergeming dari posisinya. Hatinya masih kesal karena Jaemin seperti tak menganggapnya ada, padahal sedari awal, ia sudah sering katakan untuk memanggilnya jika Jaemin sedang kehausan. Mungkin Jaemin lupa, Renjun bisa tau jika pacarnya itu sedang dalam kondisi tak baik-baik saja karena jantungnya akan berdegup kencang dan lehernya akan panas. Itu sudah jadi pertanda bahwa Jaeminnya sedang kurang asupan darah. Ujung-ujungnya, ia harus melihat lagi muka pucat pacarnya yang lebih terlihat memabukkan dibandingkan saat dalam kondisi normal menjadi manusia sama seperti dirinya.

“Jangan liatin aku begitu. Kamu tau kalau aku paling lemah ditatap sama kamu” Na Jaemin sedang menggoda pacarnya yang memancarkan hawa marah.

Renjun memutar bola matanya malas. Ia mulai duduk di samping Jaemin dan membuka satu buah kancing kemeja putihnya di bagian atas untuk memudahkan Jaemin menghisap darahnya.

“Ayo. Cepat isi kerongkongan kamu sekarang. Muka kamu pucatnya udah mirip sayur basi. Nih” Renjun menyodorkan lehernya yang mulus tepat ke muka Jaemin. Terlihat ada luka kecil bekas isapan yang berasal dari Jaemin.

Jaemin menghela nafasnya panjang. “Aku bakal ngisap darah kamu lumayan banyak, Ren.”

“Yaudah tinggal hisap aja. Susah amat. Cepetan deh. Leher aku capek nih, Nana.” Renjun menggunakan panggilan nama pamungkasnya pada kekasihnya. Ia tau, Jaemin paling lemah jika dipanggil Nana, karena panggilan itu memang hanya dikhususkan Renjun untuknya.

Netra Jaemin berkilat tajam. Dirinya sudah mendapatkan persetujuan berkali-kali untuk menghisap darah Renjun, maka dengan gerakan lembut, bibir Jaemin mengecup singkat bilah cherry manis milik kekasihnya sebagai santapan pembukanya sebelum menuju ke inti menu utama. Kecupan singkat itu dibalas Renjun dengan lembut, yang pada akhirnya dijadikan sebagai main course masing-masing karena keduanya sama-sama kecanduan dengan sesapan satu sama lain. Kedua tangan Jaemin menangkup ringan wajah Renjun dan membelainya halus. Ibu jarinya mengabsen kelopak mata, yang kemudian turun ke hidung dan mengabsen keseluruhan rahang Renjun yang halus bagaikan kulit bayi.

“Uhmm—” Renjun merasa kehabisan pasokan udara. Tangannya meremat celana kain milik Jaemin.

Jaemin melepaskan tautan bibirnya dengan bibir Renjun sesaat. Ditatapnya kekasihnya penuh pandangan cinta, lalu dikecupnya lagi hidung bangir nan mungil yang juga menjadi favoritnya itu.

“Aku izin ngisap darah dari leher kamu ya, Ren” tatapnya tulus meminta izin.

Renjun mengangguk pasti dan memberikan senyuman ala bayi yang membuat Jaeminnya merasa semakin tak kuasa untuk ingin membawa Renjun kabur ke rumahnya.

“Kalau kamunya kesakitan, kasih tau aku ya.”

“Iyaaaaaa. Bawel. Nggak dihisap-hisap daritadi. Ckckck.”

Mau tak mau Jaemin tertawa lepas. Setelahnya, ia mulai maju dan menciumi perlahan ceruk leher milik kekasihnya itu. Dikecupnya dan diberikan sedikit gigitan gemas sebelum taringnya mulai menancap masuk ke dalam leher Renjun.

Renjun merasakan taring Jaemin menusuk lehernya, sakitnya dialihkan dengan menggenggam pinggang kekasihnya itu. Sementara hisapan Jaemin terasa semakin kuat, bahkan tangannya mulai menahan tengkuk indah milik Renjun agar posisi lehernya bisa dinikmati oleh Jaemin sampai dirasa cukup untuk mengisi kekurangan asupan darah pada dirinya di hari ini.

Setelah berhasil membasahi kerongkongannya dengan darah segar milik Renjun, Jaemin melepaskan taringnya perlahan untuk keluar dari lubang yang sudah dibuatnya pada leher kekasihnya itu. Bibir pucat Jaemin sudah berubah menjadi normal kembali dan dibersihkannya dari sisa-sisa darah yang menempel. Netra matanya juga kembali menjadi keabuan, sedangkan taringnya sudah tentu pasti tak terlihat lagi. Jaemin bersyukur karena kondisi badannya yang lemah tadi mulai berangsur membaik dengan asupan darah gratis dari kekasihnya.

Tunggu,,,kekasihnya...

Jaemin lamat-lamat mendengar bunyi dengkuran kecil. Ia sudah bisa menebak, dengkuran itu tak lain tak bukan adalah dari Renjun. Diangkatnya wajah Renjun perlahan, wajah polos nan murni itu memang sedang terlelap. Efek yang dialami Renjun jika Jaemin menghisap darahnya adalah bisa membuatnya mengantuk, kelelahan, dan akhirnya tertidur, sama seperti sekarang ini. Dipeluknya Renjunnya tanpa gerakan mengagetkan, lalu dielusnya punggung Renjun dan ditepuk-tepuk sedikit.

“Makasih banyak ya Ren. Kamu tau, sebenernya aku selalu nggak tega kalau kamu nawarin diri terus pas kondisi aku lagi kayak gini, tapi kamunya maksa aku mulu. Ditambah lagi bawelan kamu, mata kamu, semuanya tentang kamu, bikin aku nggak kuat. Maaf ya selalu ngerepotin kamu. Jangan pernah capek sama vampire kayak aku yaaa. Aku sayang kamu Renjun.”

© Kalriesa🩋

~Muse~

CW // kissing scene


Rendean akan merasa bahagia jika dirinya kini bisa menghilang menggunakan jubah Harry Potter, atau meminjam kekuatan mutan X-Men untuk mengubah sosoknya menjadi orang lain.

Entah sejak kapan Nando mempersiapkan hal-hal yang sudah ada di depan matanya seperti sekarang ini. Makan malam bersama di pinggir pantai dengan suasana private.

“Kok kamu diam aja?” tanya Nando dengan nada khawatir. “Nggak suka sama tempatnya ya?”

Pertanyaan itu terdengar retoris bagi Rendean. Ia paham, kekasihnya bisa saja salah tangkap dengan reaksi diamnya saat ini.

“Suka. Suka banget malah, cuma—” Rendean sengaja menggantung kalimatnya demi melihat ekspresi kekasihnya yang sedang menunggu tuturannya.

“Kapan kamu nyiapin semuanya?” tanya Rendean penasaran.

Nando tertawa kecil. “Mending kita makan dulu. Keburu kamu masuk angin.”

Mau tak mau Rendean mengikuti ajakan kekasihnya dengan patuh karena kondisi perutnya sudah tak bisa ditahan lagi.

Nando dan Rendean memulai dinner specialnya dengan syahdu diiringi deburan ombak yang memecah keheningan di sekitarnya.

Beberapa kali terlihat Nando mengisi ulang air di gelas milik Rendean yang sudah kosong, juga mengelus tangan kekasihnya dengan lembut.

“Aku pilih pantai ini untuk ngerayain tanggal 19 bulan pertama kita karena dulu kamu pernah pergi tengah malam ke pelabuhan dan bilang kangen laut. Ingat nggak?”

“Itukan udah lama. Kamu masih ingat ternyata” Rendean sedikit takjub dengan ingatan Nando yang kuat untuk hal-hal kecil seperti ini.

“Apapun tentang kamu, aku pasti ingat. Emangnya kamu” bola mata Nando berputar kecil sebagai pertanda dirinya sedang mengejek kekasihnya.

Mereka berdua menghabiskan waktu dengan melakukan konversasi. Untuk sekarang ini, kuping Nando sedang panas menerima omelan dari Rendean akibat cuitannya di Twitter tentang KUA dan confessnya di program Chentara.

Nando tau, ada rasa malu dibalik ocehan yang sedang dipaparkan kekasihnya itu.

“Orang-orang jadi pada tau kan-”

“Kalau polantas yang biasa aku temanin pas live report juga dengerin Suncoff gimana? Ntar aku diejek-”

“Berasa ABG aja padahal udah tua kamu ckck-”

“Atau mau dibilang romantis ya?–”

“Jangan gitu lagi deh. Liat Twitter Suncoff tuh jadi rame gara-gara kamu-”

“Tapi kamu senang kan?” tanya Nando tiba-tiba.

Rendean jadi gelagapan ditanya seperti itu, namun ia tak mau menunjukkannya dengan jelas di hadapan Nando.

“Biasa aja” jawab Rendean dengan muka datar.

Nando tak terima mendapati kekasihnya menjawab seadanya. Ia mengangkat kursinya untuk kemudian duduk persis di samping Rendean.

“Yang benar? Kamu biasa aja?” tanyanya dengan tatapan mata tajam yang kapan saja bisa menusuk pori-pori wajah lelaki di hadapannya.

“Iya” tegas Rendean yang turut membalas tatapan mata kekasihnya.

“Terus, aku harus ngapain dong?”

“Kiss me.”

Gantian Nando yang merasa gelagapan sekarang. Otaknya sibuk mencerna kalimat terakhir yang diucapkan Rendean. Sampai-sampai dirinya baru sadar jika jarak di antara mereka berdua kian menipis dan hanya menyisakan serbuan nafas masing-masing.

Tanpa ba bi bu, bibir Nando yang mengatup di hadapannya kini disesap oleh Rendean secara perlahan. Tangannya menyusuri rahang indah nan kokoh milik kekasihnya, tak ingin menyia-nyiakan diri untuk merasai pelan halus kulit sang pacar.

Nando yang tadi sempat termangu sesaat, mulai menikmati ciuman yang diinisiasi duluan oleh kekasihnya. Tersungging senyuman kecil dari bibirnya melihat betapa aktif lelakinya memberikan getaran demi getaran yang mengaktifkan semua panca inderanya.

Ciuman Rendean dibalasnya perlahan, tak terburu-buru. Ia hanya ingin menikmati momentum yang pas ini untuk saling menunjukkan kasih sayang antara satu sama lain.

Diangkatnya kekasihnya yang berpostur lebih kecil itu dan didudukkan di pahanya, sementara tangan Rendean entah sejak kapan sudah mengalung dengan erat di leher Nando.

Sesapan di antara keduanya masih belum berhenti. Intensitasnya malah semakin meningkat di kala permainan lidah sudah dimulai dan membelit satu sama lain.

Dengan kepala yang sudah dimiringkan, eksplorasi keduanya justru tak bisa diakhiri. Rambut Nando sudah diremat beberapa kali oleh Rendean. Sedangkan tangan Nando telah berkelana menyusup masuk ke dalam kemeja Rendean, menjelajahi area di bagian perut lalu merangkak naik menyentuh tepat di jantungnya.

Dirasainya jantung kekasih mungilnya yang berdebar kencang, sama dengan debaran yang dimilikinya. Tangan besarnya lalu beralih ke gundukan kecil di sampingnya, dicubitnya perlahan yang membuat kekasihnya mengerang kecil.

“Ehmmh-Nan...”

Tautan bibir di antara keduanya pun terlepas. Temaram lampu pantai, suasana dingin, hembusan angin yang lumayan kencang di sekitar mereka mengakibatkan dua insan manusia ini bergidik kedinginan.

Silahkan salahkan Nando dengan segala ide cemerlangnya yang membawa Rendean ke pinggir pantai untuk merayakan 1st anniversary sebulan mereka.

“Ren”

“Ya, Nan?”

“Jangan pernah berpikir untuk pergi, ataupun menghilang tiba-tiba ya” Nando menggumamkan kalimat yang sedari tadi ingin dikatakannya sembari mengecup dahi kekasihnya.

“Kenapa? Kok tiba-tiba ke arah sana ngomongnya?” tampak Rendean mengernyit bingung.

“Pokoknya janji. Jangan tiba-tiba pergi” tekan Nando pada kata terakhir di kalimat yang dikeluarkannya barusan.

” Iya. Aku janji nggak bakal pergi ninggalin kamu.” jawab Rendean yakin dan langsung mengarahkan wajahnya ke ceruk leher sang kekasih yang menjadi tempat ternyamannya untuk bersandar sejenak dari berbagai urusan yang masih belum diselesaikannya terkait masa lalunya.

🩋🩋🩋

🩊🐰

Ada satu hal yang sangat disadari Aries kali ini. Jaema tak seheboh biasanya dan hanya sibuk dengan gadgetnya sendiri. Beberapa kali ia menanyakan kondisi Jaema, namun ditanggapi dengan kekehan kecil yang sendu. Aries bingung sendiri jadinya. Tiba-tiba notifikasi chat masuk mendistrak pikirannya.

“Lijeno” gumamnya dalam hati.

Lijeno: Ada mantannya Jaema disini bang. Makannya si Jaema diam aja.

Aries: Emangnya kenapa sama mantannya?

Lijeno: Mantannya mutusin Jaema gara-gara Jaema terlalu clingy bang. Jaema sampai diejekin sama teman-teman mantannya juga.

Aries: Hm. Oke.

Beberapa saat kemudian terdengar suara seseorang sedang menguap, dan ternyata itu adalah Jaema.

“Lu udah mulai ngantuk ya?” tanya Aries pada sosok yang duduk persis di sampingnya ini.

Jaema hanya menanggapi dengan tawa kecil.

“Bentar lagi selesai kok. Lu kalau mau nyender, di punggung gw aja nih. Gw mau save laporan dulu buat event nanti.” Aries menepuk punggungnya dua kali dan kembali meneruskan kegiatannya yang tertunda sebentar.

Awalnya Jaema masih meletakkan wajahnya di atas meja kantin fisip, tempat mereka berkumpul sore ini. Lama kelamaan dagunya merasa keram dan tegang. Selanjutnya terdengar lagi mode menguap dari dirinya.

“Pulang langsung tidur deh lu Jaem” saran Lijeno yang duduk di sebrangnya.

Jaema yang semakin mengantuk, mulai mengarahkan kepalanya ke bahu Aries yang sedang mengecek handphonenya. Beberapa kali diantuk-antukkannya kepalanya ke sosok yang lebih tua.

“Sabar ya de.” Aries melirik ke sampingnya dan mengusap kepala Jaema yang tertutup topi.

Lijeno yang berada di depannya hanya bisa menatap penuh tanya dengan perilaku dua orang di depannya ini.

🩋

🩊🐰

Ada satu hal yang sangat disadari Aries kali ini. Jaema tak seheboh biasanya dan hanya sibuk dengan ponselnya sendiri. Beberapa kali ia menanyakan kondisi Jaema, namun ditanggapi dengan kekehan kecil yang sendu. Aries bingung sendiri jadinya. Tiba-tiba notifikasi chat masuk mendistrak pikirannya.

“Lijeno” gumamnya dalam hati.

Lijeno: Ada mantannya Jaema disini bang. Makannya si Jaema diam aja.

Aries: Emangnya kenapa sama mantannya?

Lijeno: Mantannya mutusin Jaema gara-gara Jaema terlalu clingy bang, sampai diejekin sama teman-teman mantannya juga.

Aries: Hmm. Oke.

Beberapa saat kemudian terdengar suara seseorang yang sedang menguap, dan ternyata itu adalah Jaema.

“Lu udah mulai ngantuk ya?” tanya Aries pada sosok yang duduk persis di sampingnya ini.

Jaema hanya menanggapi dengan tawa kecil.

“Bentar lagi selesai kok. Lu kalau mau nyender, di punggung gw aja nih. Gw mau save laporan dulu buat event nanti.” Aries menepuk punggungnya dua kali dan kembali meneruskan kegiatannya yang tertunda sebentar.

Awalnya Jaema masih meletakkan wajahnya di atas meja kantin fisip, tempat mereka berkumpul sore ini. Lama kelamaan dagunya merasa keram dan tegang. Selanjutnya terdengar lagi mode menguap dari dirinya.

“Pulang langsung tidur deh lu Jaem” saran Lijeno yang duduk di sebrangnya.

Jaema yang semakin mengantuk, mulai mengarahkan kepalanya ke bahu Aries yang sedang mengecek ponselnya. Beberapa kali diantuk-antukkannya kepalanya ke sosok yang lebih tua.

“Sabar ya de.” Aries melirik ke sampingnya dan mengusap kepala Jaema yang tertutup topi.

Lijeno yang sedang menyeruput es kopinya hanya bisa menatap penuh tanya perilaku dua orang di depannya ini.

🩋

🩊🐰

Ada satu hal yang sangat disadari Aries kali ini. Jaema tak seheboh biasanya dan hanya sibuk dengan gadgetnya sendiri. Beberapa kali ia menanyakan kondisi Jaema, namun ditanggapi dengan kekehan kecil yang sendu. Aries bingung sendiri jadinya. Tiba-tiba notifikasi chat masuk mendistrak pikirannya.

“Lijeno” gumamnya dalam hati.

Lijeno: Ada mantannya Jaema disini bang. Makannya si Jaema diam aja.

Aries: Emangnya kenapa sama mantannya?

Lijeno: Mantannya mutusin Jaema gara-gara Jaema terlalu clingy bang. Jaema sampai diejekin sama teman-teman mantannya juga.

Aries: Hm. Oke

Beberapa saat kemudian terdengar suara seseorang yang sedang menguap, dan ternyata itu adalah Jaema.

“Lu udah mulai ngantuk ya?” tanya Aries pada sosok yang duduk persis di sampingnya ini.

Jaema hanya menanggapi dengan tawa kecil.

“Bentar lagi selesai kok. Lu kalau mau nyender, di punggung gw aja nih. Gw mau save laporan dulu buat event nanti.” Aries menepuk punggungnya dua kali dan kembali meneruskan kegiatannya yang tertunda sebentar.

Awalnya Jaema masih meletakkan wajahnya di atas meja kantin fisip, tempat mereka berkumpul sore ini. Lama kelamaan dagunya merasa keram dan tegang. Selanjutnya terdengar lagi mode menguap dari dirinya.

“Pulang langsung tidur deh lu Jaem” saran Lijeno yang duduk di sebrangnya.

Jaema yang semakin mengantuk, mulai mengarahkan kepalanya ke bahu Aries yang sedang mengecek handphonenya. Beberapa kali diantuk-antukkannya kepalanya ke sosok yang lebih tua.

“Sabar ya de.” Aries melirik ke sampingnya dan mengusap kepala Jaema yang tertutup topi.

Lijeno yang berada di depannya hanya bisa menatap penuh tanya dengan perilaku dua orang di depannya ini.

🩋