Faith~
Jaemren oneshot au
cw , tw // smoking , mention of cigarettes , toxic relationship , emotional abuse , anger issues , harshwords , mention of break up , hurt-comfort
~Jangan pernah berharap dirimu bisa mengubah perilaku seseorang jika bukan mereka sendiri yang berniat untuk merubahnya~
Renjun adalah manusia yang percaya akan keseimbangan hidup. Yin-yang, baik-buruk, positif-negatif, semuanya tercipta berpasangan.
Banyak yang mengira, jika dunia hanya diisi oleh sisi baik saja, maka seseorang tak akan mengetahui pelajaran hidup yang sebenarnya. Juga dengan sebab-akibat yang terjadi atas perilaku seseorang.
Renjun juga masih percaya, perihal yang baik pasti bisa mengubah segala jenis keburukan. Tapi Renjun lupa, manusia masih punya kuasa dan ego atas dirinya sendiri untuk menentukan pilihan hidupnya.
Suatu malam di hari Sabtu, Renjun dapat laporan dari Jeno, teman akrab Jaemin, bahwa pacarnya itu mengamuk di arena tempat mereka biasa nongkrong, dikarenakan ada yang tak sengaja menyenggolnya saat sedang duduk.
Jaemin yang Renjun tau memiliki tempramen gampang tersulut amarahnya, langsung saja menghajar sosok yang menyenggolnya tanpa ampun. Teman-temannya sulit menahannya sampai harus meminta tolong pada Renjun.
Renjun pikir Jaemin telah pelan-pelan berubah, karena minggu lalu ia berjanji akan menahan emosinya untuk sesuatu yang tak perlu dibalas menggunakan fisik.
“Na, udah berapa kali aku terima laporan dari teman-teman kamu. Kamu nggak capek apa?”
“Oh, jadi kamu capek sama aku?”
“Enggak gitu Na. Aku cuma mau kamu pelan-pelan tahan emosi, jangan gampang mukul orang sembarangan. Ngga baik tau! Pokoknya kalau kamu kayak gini lagi, aku ngga mau ngomong sama kamu!”
“Ck! Yaudah iya! Aku janji ngga akan sembarangan lagi!”
Nyatanya, malam ini. Renjun terima laporan yang sama.
“Ren, mending nggak usah diajakin ngomong dulu Jaeminnya. Takutnya, dia kalap lagi” saran Jeno yang lebih dulu menemui Renjun saat kekasih temannya itu datang.
Renjun menanggapi dengan anggukan kecil. Langkahnya diburu menuju ke arah Jaemin yang sedang duduk di atas jok motornya. Terlihat kepulan asap rokok di sekitarnya.
Ketika Renjun sampai di hadapan Jaemin, hal pertama yang dilakukannya adalah mengecek wajah dan tangan Jaemin. Dadanya kembang kempis begitu melihat ada beberapa luka memar di kulit kekasihnya.
Jaemin terkesiap kecil saat Renjun berada di depannya. Bibirnya yang masih menghembuskan asap rokok, diarahkannya ke samping agar tak mengenai wajah Renjun. Ia tau, Renjun sangat benci dengan asap rokok. Tapi dirinya masih butuh nikotin untuk mengalihkan rasa sakit yang tersisa setelah adu jotos tadi.
Renjun menutup mulutnya. Tiada sepatah kata pun keluar dari bilah bibirnya. Ia membuka tasnya dan mengeluarkan kotak P3K. Tangannya dengan lihai membersihkan luka yang terdapat di ruas tangan, juga pelipis Jaemin.
Setelah semuanya beres, Renjun meletakkan kotak P3K miliknya di jok belakang motor Jaemin, “aku titip di sini. Nanti kamu obatin lukanya sendiri kalau masih ada lanjutannya.”
Renjun segera pergi meninggalkan Jaemin tanpa menatap kekasihnya.
Jaemin merasakan sindiran tajam atas ucapan Renjun barusan. Rasanya seperti sang kekasih tak percaya padanya sampai-sampai harus meninggalkan kotak P3K di dekatnya.
Tanpa aba-aba, Jaemin ambil kotak tersebut, lalu melemparnya dengan kuat ke sisi aspal sampai isinya ikut terpental.
Lagi, Jaemin masih belum bisa mengontrol emosinya.
“Kamu masih ngerokok ya Na?”
Hari di mana Renjun mendapati Jaemin masih melakukan kebiasaan lamanya itu ia kira menjadi hari terakhir kekasihnya candu akan nikotin, ternyata tidak. Jaemin masih saja kedapatan merokok diam-diam jika tidak bersama Renjun.
“Tadi ada yang nawarin rokok ke aku. Nggak enak kalau ditolak Ren” jawab Jaemin seadanya.
“Mana ada yang nawarin rokok sampai sebungkus gini” tangan Renjun mengacungkan bungkusan rokok yang masih terisi tiga perempat slotnya.
“Kamu kenapa ngga percaya sih sama aku!”
“Ya kamunya ngga jujur sama aku”
“Kenapa hal kecil kayak gini suka dibesar-besarkan sih Ren!” Jaemin menggunakan nada tingginya pada Renjun. Tangannya mulai mengepal menahan emosi yang siap meluap.
Di seberangnya, ada Renjun yang menghela nafas. Bungkus rokok milik Jaemin itu dilemparnya ke arah tas sang kekasih. Dengan sigap ia berjalan melewati Jaemin untuk menuju ke arah pintu keluar kamar kos kekasihnya.
“Mau ke mana kamu!”
“Pulang”
“Jangan kayak anak kecil Ren! Kalau ada masalah, hadapin sama-sama. Suka banget kabur, terus diamin aku berhari-hari!”
Renjun yang sedang memasang tali sepatu Vans miliknya, seketika berhenti dan berbalik badan, “apa kamu bilang? Aku kayak anak kecil?” sorot mata Renjun kini berbeda.
“Iya, nggak usah kayak gini lah. Aku ngaku salah karena bohong sama kamu, tapi kamu harus tau kalau aku juga susah hilangin kebiasaan ngerokok ini, Ren. Tolong jangan pergi seenaknya aja. Aku masih butuh kamu”
Renjun memijit pelipisnya, “aku pergi karena kamu lagi-lagi nggak bisa pegang omongan sendiri, Na. Kamu yang janji duluan untuk berhenti ngerokok. Aku udah coba percaya, tapi apa? Sekarang terserah kamu ajalah Na. Aku pulang dulu” pintu kos itu segera ditutup dari luar.
Jaemin yang kini tinggal sendirian, langsung saja meninju dinding kos di sampingnya sekuat tenaga.
“Gw denger-denger, Jaemin masih sering marah gak lihat tempat ya Ren?” Haechan menggigit kue semprongnya yang masih tersisa.
“Lo denger darimana?”
“Siapa sih yang nggak tau Na Jaemin, Ren. Sampai fakultas tetangga aja tau. Makannya anak-anak pada heran waktu lo mau nerima Jaemin. Jangan-jangan emang beneran lo kena pelet ya?” Haechan memelankan suaranya agar tak ada yang mendengarnya selain sahabatnya sendiri. Itu karena mereka berdua sedang berada di kantin kampus.
Renjun terbahak sampai mengeluarkan air mata.
“Lah ngapa lo nangis woy Ren!” Haechan seketika panik. Tangannya menepuk-nepuk punggung Renjun.
Tanpa sadar, di belakang mereka ada Jaemin yang sedang memperhatikan keduanya. Begitu melihat kekasihnya dielus-elus lelaki lain, emosi Jaemin seketika naik. Kursi duduk Haechan ditendang dari belakang sampai-sampai sang empu harus terjatuh. Tangan Renjun ditarik dan dicengkeram kuat sampai memerah.
“Nana!”
“Lo ngapain ngelus-ngelus Renjun hah!”
“Gw Haechan kalau lo lupa!” Haechan bangkit dan segera maju ke hadapan Jaemin, namun ditahan oleh sahabatnya.
“Chan jangan...”
“Cowok lo yang mulai duluan, Ren!”
“Lo yang harusnya ngaca! Gw gak suka badan Renjun dipegang-pegang orang lain!” Jaemin sudah siap untuk mengangkat Haechan dengan satu tangannya.
“Gw sahabatnya Renjun yang lebih lama kenal dia dibanding lo ya anjir!” Haechan turut mengepalkan tangannya dan melangkah ke sisi Jaemin. Padahal di tengah-tengahnya ada Renjun. Posisi Renjun kini terapit dua lelaki bongsor yang siap meledak jika tak ditahan.
Sekeliling mereka heboh seketika. Air mata yang awalnya turun karena tertawa, kini berubah menjadi air mata yang tertampung di pelupuk dan siap membanjiri wajah Renjun karena kekasih dan sahabatnya malah akan adu fisik di depannya sendiri.
“Lo berdua—Bisa stop gak—” suara Renjun mulai bergetar. Tenaga yang dimilikinya hampir habis karena dua lelaki di sisi kiri dan kanannya masih berada di posisi masing-masing.
“Lo jangan kegatelan sama pacar orang! Padahal sendirinya juga punya pacar!” amarah Jaemin masih belum surut.
“Mulut lo dijaga ya bangsat!”
“Lo juga Ren, kenapa diam aja dielus-elus Haechan? Kayak laki-laki gak ada prinsip” tatapan Jaemin diarahkan ke Renjun.
PLAK!
Satu tamparan kuat menghampiri pipi kanan Jaemin, yang asalnya dari Renjun. Air matanya turun tak bersisa. Di belakang Renjun, ada Haechan dengan mulut menganga yang tidak menyangka bahwa sahabatnya akan menampar kekasihnya sendiri di depan umum.
Jaemin masih mencerna apa yang terjadi, sampai rasa perih berhasil menjalar di pipinya. “Lo—nampar gw?”
Renjun tak bergeming, “Kenapa?”
Melihat kekasihnya yang menangis tanpa suara, Jaemin seketika meminta maaf. Namun Renjun hanya diam. “Ren, aku sayang kamu. Maaf. Aku khilaf”
Jaemin yang selalu meminta maaf atas semua kesalahan yang dilakukannya dan berjanji tak akan mengulanginya lagi. Namun selalu saja kembali terulang.
Renjun tak bisa tidur. Beberapa menit yang lalu, Jeno meneleponnya. Ia memberikan kabar bahwa Jaemin sedang mengamuk karena kalah taruhan.
“Ren, Jaemin nggak bakalan berhenti kalau lo ga datang. Dia udah mirip orang kesurupan. Please datang ya Ren. Tenangin Jaemin, cuma lo yang bisa soalnya.”
Renjun teringat saat ia mengambil keputusan menerima Jaemin sebagai kekasihnya. Renjun sebenarnya tau track record Jaemin seperti apa, tapi ia yakin Jaemin akan berubah pelan-pelan karena dirinya. Sedari awal niat Renjun berpacaran dengan Jaemin adalah untuk mengarahkan Jaemin menjadi manusia yang bisa mengontrol kemarahannya sendiri karena Renjun percaya bahwa manusia itu bisa berubah jika ada alasan kuat yang merubahnya. Jaemin punya Renjun sebagai alasannya.
Renjun pikir, segampang itu merubah sifat manusia dalam konteks cinta. Ia sebagai pihak eksternal menganggap Jaemin hanya butuh sosok sepertinya untuk tak lagi berperilaku merugikan sekitar. Bahkan tanpa Renjun sadari, ia telah terjebak oleh perilaku Jaemin yang seenaknya berbuat lalu meminta maaf dan kemudian mengulanginya kembali.
Seharusnya Renjun paham, andilnya untuk merubah Jaemin tak akan maksimal, jika kekasihnya itu tak menjadikan internalnya sendiri sebagai faktor utama. Karena perubahan tak akan berhasil jika seseorang memang tak niat sedari awal.
Maka, Renjun akhirnya ambil keputusan demi dirinya sendiri untuk tak lagi ikut campur di kehidupan Jaemin dan memutuskan mengakhiri hubungannya dengan kekasihnya.
From Renjun to Jaemin:
Na, aku kira setelah kita berdua pacaran, kamu bisa berubah pelan-pelan. Ternyata nggak. Akunya juga kepedean ngerasa bisa ubah perilaku kamu. Nyatanya aku salah besar. Aku perlu introspeksi diri sendiri Na. Semoga kamu juga. Jadi mulai sekarang, kita kembali fokus sendiri-sendiri aja ya. Kamu urusin diri kamu, aku urusin diri aku. Kita putus ya Na~
©Kalriesa🦋