kalriesa

You for me

Renmin oneshot au Fluff

Berada di bawah paparan sinar mentari pagi tak pernah semenyenangkan ini menurut Jaemin. Tutur kalimat demi kalimat dari ketua angkatan yang hilir mudik di indera pendengarannya hanya sebatas mampir sejenak tanpa mau bertahan menjejakkan diri di dalam memorinya. Fokusnya hanya satu; mengagumi pahatan sempurna yang terpampang nyata tak jauh dari edaran pandangannya.

“Oke maba 2022 udah pada paham belum?!” teriakan kecil dari seniornya berhasil mendistraksi konsentrasinya.

“Paham kak!”

“Good. Setelah ini kalian semua akan dipandu sama Renjun”

Sosok yang sebelumnya tengah menengadah menikmati cerahnya langit pagi ini, perlahan mulai membuka kelopak matanya, lalu melirik ke arah toa yang hampir sampai ke arahnya.

“Okei. Saya harap kalian semua masih semangat mendengarkan beberapa penjelasan lanjutan tentang fakultas ekonomi tercinta ini. Coba tunjukin mana semangatnya”

“AAAAAAAAAAA”

Berbagai suara bercampur-baur sebagai tanda semangat dari angkatan yang lebih muda.

Sedangkan Jaemin, masih berdiri di tempatnya dengan tatapan penuh adorasi pada sosok yang sedang berbicara menggunakan toa dalam genggaman tangannya.

“Kamu—yang pakai kemeja biru baris paling depan, lagi sakit kah?” Renjun berjalan perlahan ke arah Jaemin karena mahasiswa baru itu tak memberikan ekspresi penuh semangat seperti teman-temannya yang lain. “Hey, kalau nggak kuat berdiri, kamu bisa menepi ke pinggir aja. Atau duduk dekat panitia di sebelah sana. Nggak apa kok”

Jaemin terpaku dalam diamnya. Jika suara yang sebelumnya tak diindahkannya, lain hal dengan sekarang, telinganya begitu fokus merekam tiap kata dari sosok yang kini menatap khawatir ke arahnya.

“Jangan takut. Sistem orientasi mahasiswa baru udah dihapuskan. Kita hanya akan mengenalkan suasana kampus dan sharing antara dosen ke maba, juga senior ke junior. Nggak lebih dari itu” gurat resah mulai muncul dari raut wajah Renjun yang masih belum lepas menatap sosok muda di hadapannya.

“Hm-mm? Aku—nggak takut kok kak” jawab Jaemin perlahan dengan wajah terkesiap menyadari kebodohannya yang terlambat muncul.

“Tapi tatapan kamu keliatannya kosong. Beneran ngga apa-apa nih?”

“Iya kak. Jaemin baik-baik ajaa. Suer deh” senyum sumringah dengan mata sipit terpantul cahaya mentari muncul menghiasi wajahnya.

Jika tadi, Renjun mulanya merasa khawatir, kini berganti dengan perasaan aneh yang tiba-tiba menggelitik di hatinya ketika sosok muda ini menyebutkan namanya. “Jadi Jaemin, nanti setelah acara pengenalan fakultas ini selesai. Kamu tunggu saya ya”

“Baik kak. Nanti Jaemin tunggu kakaknya”

Benar adanya bagi Jaemin, terik mentari saat ini akan menjadi momen bersejarah untuknya karena selain bisa mengabadikan keindahan tersembunyi di fakultas tempatnya nanti menuntut ilmu, ia juga bisa mengenali perlahan sosok yang menjadi simbol indah dan bahkan lebih indah dari kata indah itu sendiri.

Sementara bagi Renjun, sesi pengenalan yang dikiranya akan berjalan biasa saja, kini terasa berbeda karena sosok muda yang ditemuinya tadi berhasil mencuri celah pikirannya tanpa bisa digeser dengan yang lain.

“Jaemin, senyumnya indah. Bahkan sunrise pun kalah indah dibandingkan dengan dirinya”

©Kalriesa🦋

You for me

Renmin oneshot au Fluff

Berada di bawah paparan sinar mentari pagi tak pernah semenyenangkan ini menurut Jaemin. Tutur kalimat demi kalimat dari ketua angkatan yang hilir mudik di indera pendengarannya hanya sebatas mampir sejenak tanpa mau bertahan menjejakkan diri di dalam memorinya. Fokusnya hanya satu; mengagumi pahatan sempurna yang terpampang nyata tak jauh dari edaran pandangannya.

“Oke maba 2022 udah pada paham belum?” suara yang menggaung di telinga Jaemin berhasil memecah konsentrasinya.

“Paham kak!”

“Good. Setelah ini kalian semua akan dipandu sama Renjun”

Sosok yang sebelumnya tengah menengadah menatap cerahnya langit pagi ini, sedikit menyipitkan matanya, lalu melirik ke arah toa yang perlahan hampir sampai ke arahnya.

“Okei. Saya harap kalian semua masih semangat mendengarkan beberapa penjelasan lanjutan tentang fakultas ekonomi tercinta ini. Coba tunjukin mana semangatnya”

“AAAAAAAAAAA”

Berbagai suara bercampur-baur sebagai tanda semangat dari angkatan yang lebih muda.

Sedangkan Jaemin, masih berdiri di tempatnya dengan tatapan penuh adorasi pada sosok yang sedang berbicara dengan toa dalam genggaman tangannya.

“Kamu—yang pakai kemeja coklat baris paling depan, lagi sakit kah?” Renjun berjalan perlahan ke arah Jaemin karena mahasiswa baru itu tak memberikan ekspresi penuh semangat seperti teman-temannya yang lain. “Hey, kalau nggak kuat berdiri, kamu bisa menepi ke pinggir aja. Atau duduk dekat panitia di sebelah sana. Nggak apa kok”

Jaemin terpaku dalam diamnya. Jika suara yang sebelumnya tak diindahkannya, lain hal dengan sekarang, telinganya begitu fokus merekam tiap kata dari sosok yang kini menatap khawatir persis di depannya.

“Jangan takut. Sistem orientasi mahasiswa baru udah dihapuskan. Kita hanya akan mengenalkan suasana kampus dan sharing antara dosen ke maba, juga senior ke junior. Nggak lebih dari itu” gurat resah mulai muncul dari raut wajah Renjun yang masih belum lepas menatap sosok muda di hadapannya.

“Hm-mm? Aku—nggak takut kok kak” jawab Jaemin perlahan dengan wajah terkesiap menyadari kebodohannya yang terlambat muncul.

“Tapi tatapan kamu keliatannya kosong. Beneran ngga apa-apa nih?”

“Iya kak. Jaemin baik-baik ajaa. Suer deh” senyum sumringah dengan mata sipit terpantul cahaya mentari muncul menghiasi wajahnya.

Jika tadi, Renjun mulanya merasa khawatir, kini berganti dengan perasaan aneh yang tiba-tiba menggelitik di hatinya ketika sosok muda ini menyebutkan namanya. “Jadi Jaemin, nanti setelah acara pengenalan fakultas ini selesai. Kamu tunggu saya ya”

“Baik kak. Nanti Jaemin tunggu kakaknya”

Benar adanya bagi Jaemin, terik mentari saat ini akan menjadi momen bersejarah untuknya karena selain bisa mengabadikan keindahan tersembunyi di fakultas tempatnya nanti menuntut ilmu, ia juga bisa mengenali perlahan sosok yang menjadi simbol indah dan bahkan lebih indah dari kata indah itu sendiri.

Sementara bagi Renjun, sesi pengenalan yang dikiranya akan berjalan biasa saja, kini terasa berbeda karena sosok muda yang ditemuinya tadi berhasil mencuri celah pikirannya tanpa bisa digeser dengan yang lain.

“Jaemin, senyumnya indah. Bahkan kalah indah dibanding sunrise hari ini”

©Kalriesa🦋

Jaemin benar.

Renjun seharusnya mengucapkan terima kasih pertama kali kepada dirinya sendiri. Bahkan Renjun juga sadar, selama ini ia tak pernah mengapresiasi hal apapun yang telah dilakukannya.

Maka, ketika kalimat dari Jaemin itu terekam di memorinya, sebelum sempat terujar dengan sempurna, air matanya lah yang turun menyapa terlebih dahulu.

“Renjun, Huang Renjun—Manusia hebat yang akhirnya belajar pertama kali dalam hidupnya untuk mengutarakan isi hatinya, mengatakan tidak pada apa yang seharusnya, juga bertanggungjawab dengan perasaannya sendiri. Terima kasih ya.”

Menjadi manusia yang bisa menyenangkan orang lain, tentu memberikan kepuasan tersendiri bagi sanubari masing-masing. Bersikap baik dan bermanfaat, juga jadi pilihan setiap orang. Tetapi, sebelum melakukan dua hal tersebut, masih ada hal penting yang paling utama untuk dilakukan yakni berbaik hati dengan diri sendiri, memberikan kepuasan juga kebahagiaan mutlak sebagai apresiasi atas segala hal yang telah dilalui. Bukan berarti acuh dengan sekitar, tapi prioritas pertama atas dirimu, tubuhmu, hatimu, pikiranmu dan mentalmu juga perlu dipikirkan sebelum semua fokus itu dibagi dengan yang lain di luar dari dirimu.

©Kalriesa🦋

Jika ditanya, bagaimana perasaan Renjun saat membaca keseluruhan pesan di grup chatnya; bercampur aduk.

Beberapa kali helaan nafas kasar dihembuskannya. Kelopak mata yang tertutup lumayan lama dengan tangan memijit pelan di pelipis kirinya, buat Renjun semakin sadar akan apa yang dihadapinya selama ini; menuruti semua kemauan orang lain tak berarti bisa buat mereka menghargai apa yang telah kita lakukan.

Maka segala kalimat cerca yang terkumpul di kepalanya dan siap meledak, Renjun lepaskan dengan mengirimkan satu kalimat terakhir terkhusus untuk dua 'temannya'.

Renjun sudah tak peduli lagi dengan respon yang akan terjadi setelahnya. Ia sudah lelah menjadi seorang manusia yang tak bisa membatasi dirinya sendiri atas tuntutan, kemauan, juga pengharapan dari sekitar.

Jika menjadi seseorang yang disenangi orang lain bisa buatmu kehilangan jati diri, gampang diinjak-injak dan selalu berekspektasi bahwa sekitar akan melakukan hal yang sama pada kita, maka memberi batasan dan mendahulukan diri sendiri adalah jalan utama yang harusnya diteguhkan.

Tentang Renjun dan bibirnya~

Kata tetua dulu, kalau lagi bicara sama yang lain, wajib tatap mata lawan sebagai tanda menghormati. Dan Jaemin selalu ngelakuin hal itu ke siapapun yang jadi partner bicaranya.

“Jaem, lo intens banget sih natap mata gw”

“Ya kan kita lagi ngomong, Chan. Wajar kalau gw liat mata lo”

“Masalahnya, gak semua orang kuat sama tatapan lo” Haechan mencoba menjelaskan keresahan hatinya karena banyak laporan yang ia terima baik dari rekan sebaya, junior, maupun senior yang sering baper dengan tatapan Jaemin.

“Udah kebiasaan juga Chan. Gw selalu fokus ke mata lawan bicara. Susah ngubahnya” jujur Jaemin.

Haechan cuma bisa menghela nafasnya pasrah.

Namun, perihal itu tak berlaku saat Jaemin sedang berbicara dengan Renjun, sang pujaan hatinya.

“Jadi tuh ya Na, aku tadi kebelet pas di rumah, tapi Babah sama Bunda sama-sama pakai toilet. Kan aku ngga tahan, akhirnya aku buang air kecil aja di depan pohon mangga kesayangan Babah. Hehee” cengiran dari Renjun menambah lebarnya senyum di pipi Jaemin.

“Naaaa ihhhh kamu denger ngga yang aku omongin daritadiiii?” Renjun mengerucutkan bibirnya.

“Denger kok sayaaaang”

“Mata kamu tuh natapnya ke manaaaa?”

“Ke kamu”

“Ih mana ada. Aku perhatiin kalau kita ngobrol bareng, kamunya ngga pernah natapin mata aku. Padahal kata Haechan, kamu kalau sama yang lain suka natapin matanya pas ngomong. Sama aku ngga gituuu” bibir Renjun lagi-lagi semakin maju.

“Aku emang ngga fokus ke mata kamu, sayang”

“Terus ke mana dong?”

“Bibir?”

“Hah!”

“Iya”

“Kenapa?!”

“Ya bibir kamu lebih menarik untuk aku liatin sihhhh”

Tentang Renjun dan bibirnya~

Kata tetua dulu, kalau lagi bicara sama yang lain, wajib tatap matanya sebagai tanda menghormati lawan bicara. Dan Jaemin selalu ngelakuin hal tersebut ke siapapun yang lagi bicara sama dia.

“Jaem, lo intens banget si natap mata gw”

“Ya kan kita lagi ngomong, Chan. Wajar kalau gw liat mata lo”

“Masalahnya, gak semua orang kuat sama tatapan lo” Haechan mencoba menjelaskan keresahan hatinya karena banyak laporan yang ia terima baik dari rekan sebayanya, junior, maupun senior yang sering baper dengan tatapan Jaemin.

“Udah kebiasaan juga Chan. Gw selalu fokus ke mata lawan bicara. Susah ngubahnya” jujur Jaemin.

Haechan cuma bisa menghela nafasnya pasrah.

Namun, percakapan itu tak berlaku saat Jaemin sedang berbicara dengan Renjun, sang pujaan hatinya.

“Jadi tuh ya Na, aku tadi kebelet pas di rumah, tapi Babah sama Bunda sama-sama pakai toilet. Kan aku ngga tahan, akhirnya aku buang air kecil aja di tanamannya bunda. Hehe” cengiran dari Renjun menambah lebarnya senyum di pipi Jaemin.

“Naaaa ihhhh kamu denger ngga yang aku omongin daritadiiii?” Renjun mengerucutkan bibirnya.

“Denger kok sayaaaang”

“Mata kamu tuh natapnya ke manaaaa?”

“Ke kamu”

“Ih mana ada. Aku perhatiin kalau kita ngobrol bareng, kamunya ngga pernah natapin mata aku. Padahal kata Haechan, kamu kalau sama yang lain suka natapin matanya pas ngomong. Sama aku ngga gituuu” bibir Renjun lagi-lagi semakin maju.

Renjun belum ngeh aja, tatapan Jaemin padanya bukanlah tertuju ke mata, melainkan—

“WOY CUNGUK! LO GILIRAN SAMA RENJUN, YANG DILIATIN BIBIRNYA TERUS!!!” Jeno sang sahabat, menoyor kepala Jaemin dengan santainya dari belakang.

“Apaan deh Jen” lirikan sinis Jaemin dapat tatapan penuh tanda tanya dari sang pacar.

“Emang bener ya kamu kalau ngobrol sama aku, ngeliatinnya ke bibir terus?” Renjun mulai penasaran.

Sayangnya, Renjun tak dapatkan jawaban pasti dari Jaemin. Sampai akhirnya ia mencoba satu cara khusus, “Chan sini deh duduk samping gw bentar”

“Hah apaan nih?”

“Coba jelasin cerita unfaedah yang kita bahas pas di toilet”

“Serius lo mau bahas itu?”

Renjun mengangguk yakin. Haechan pun memulai ceritanya.

Selama Haechan bercerita, mata Renjun bergantian menatap mata Jaemin dan arah yang dilihat pacarnya itu.

*“Hmm liatnya ke mata kok.”

Renjun mulai merasa lelah. Lama-kelamaan pertahanannya runtuh. Ia merasa tak sanggup untuk terus memaksa dirinya sendiri menjadi apa yang diinginkan sekitarnya, mengesampingkan perasaannya—padahal sekali-kali ia juga ingin dimengerti.

Menyenangkan orang lain tak seindah itu. Egonya harus terus-menerus dikubur demi mendapatkan predikat; Renjun baik, Renjun penurut, Renjun selalu siap untuk bantuin orang lain, Renjun rela berkorban.

Renjun sungguh lelah. Jika ia ingin mencoba untuk sedikit lebih perhatian dengan dirinya sendiri, akankah pandangan orang-orang pada dirinya masih tetap sama? Atau justru ada yang pelan-pelan menjauh karena merasa Renjun telah berubah?

Renjun terpekur dalam diamnya. Pesan terakhir dari Jaemin hanya bisa dibacanya tanpa mampu untuk dibalas.

—kenapa seorang Renjun terus-terusan harus mikir dari sudut pandang orang lain di saat dirinya sendiri juga perlu dikhawatirin?”

“Jangan lo terus yang berusaha untuk memahami posisi orang lain”

Menyenangkan sekitarnya adakalanya memang memuaskan hati, tapi Renjun pelan-pelan menyadari ada saat di mana ia lelah untuk mengiyakan apapun yang dikatakan orang lain.

“Jaemin, seandainya segampang itu gw mempraktekkan semua hal yang lo sebutin itu—mungkin gw bakal lebih bahagia...”

Renjun kira Jaemin salah mengiriminya pesan untuk menungguinya di Timezone. Ternyata lelaki itu benar-benar datang menemuinya.

“Kenapa nggak bilang aja kalau lo nya udah ngantuk, Ren?” Jaemin menyodorkan sebotol minuman ringan ke sisi Renjun.

“Lagi pada asyik. Biar aja deh puas-puasin. Eh ini buat gw?”

“Iya. Diminum gih”

Renjun tersenyum simpul. Minuman itu langsung diraihnya dan diteguk beberapa kali, “makasih Jaemin.”

“Bukannya lo baru selesai kelas jam setengah enam sore tadi?” Jaemin berdiri di samping Renjun tanpa mengalihkan atensinya sama sekali. Bisa ia lihat, mata Renjun memerah, sepertinya karena menahan rasa kantuknya—dan benar saja tak lama kemudian Renjun menguap lebar.

“Maaf Jaemin—”

“Kenapa minta maaf?”

“Iya. Gw bukannya ngantuk gara-gara lo datang, tapi emang udah daritadi” senyum canggung menghiasi wajah Renjun yang terlihat lelah.

“Yuk ke tempat sepupu lo, kita ajak mereka pulang—” Jaemin melirik jam tangannya sejenak, “—udah mau jam setengah sepuluh. Mall bentar lagi tutup. Nanti gw antarin kalian pulang. Bahaya kalau lo lagi ngantuk maksain bawa mobil.”

Semestinya Renjun biasa saja. Air matanya sudah terkuras banyak, namun pesan yang berasal dari Jaemin barusan malah semakin menohok hatinya.

Kenapa ia harus menangis membaca umpatan dari Jaemin yang ditujukan pada Haechan dan Mark? Padahal bukan dirinya yang dicaci-maki oleh Jaemin...

Tapi hal tersebut memunculkan kembali memori saat dirinya berkumpul dengan yang lain—momen yang diharapnya tanpa drama apa-apa—sampai ketika hatinya mulai merasa bahwa dua temannya tak terlalu menghargai apa yang diberikannya. Padahal ia memesan gantungan kunci itu sebagai tanda sayangnya pada teman-temannya.

“Lucu amat, mirip mainan anak SD”

“Bahannya tipis banget ternyata”

“Gantungan kunci ginian juga banyak yang jual, Ren”

“Chan—Mark, maaf karena gw nggak tau—kalau bahan gantungan kuncinya setipis itu... Untung bukan punya kalian yang patah—”

Bulir-bulir air matanya turun membasahi meja. Kali ini, tangisan Renjun bersuara. Kepalanya menunduk sembari menghapus air mata yang tak berhenti. Renjun tak peduli dengan sekitarnya yang mulai melirik kecil ke arahnya.

“Paling nggak—tolong hargain gw—hhiks—”

Beberapa detik setelahnya, Renjun bisa rasakan seseorang memeluk tubuhnya dari samping dengan satu tangan menangkup kepalanya yang diarahkan ke bagian dada dan satu tangan lain mengelus punggung Renjun dari belakang.

“Maaf kalau akhirnya gw meluk lo. Keluarin aja tangisnya. Gw bakal terus di sini”

Renjun kenal suara itu....

Sosok yang memeluknya adalah Jaemin.

Tepat setelah Jaemin mengakhiri kalimatnya, Renjun semakin mengeluarkan tangisnya.

©Kalriesa🦋