effemyorlin

kenapa ⚠️🔞

“k—kak, kena—ah!” bahkan racauannya sama sekali gak digubris oleh levi yang mengungkung dirinya sehabis bertemu dengan ayah. total buat eren kepikiran, tentang apa yang ayah lakukan atau ucapkan pada lelaki favoritnya itu hingga menjadi seperti ini.

pergerakan di bawah sana begitu brutal dan berantakan. gak ada ciuman lembut, hanya ciuman kasar dan terkesan serampangan yang levi berikan kali ini.

argh, fuck.” levi menggeram begitu lubang sempit eren menjepit kejantannya. mulutnya mengulum daun telinga eren sensual sampai empunya menggeliat geli.

“kak, pelan– sshh.” desisnya kala levi menggigit lehernya kuat sampai timbulkan bercak keunguan. hisapannya menurun dari leher menuju dada. beri kecupan kecil di area dada eren sebelum puting coklat itu dijilat main-main kemudian dihisap kuat bak bayi yang kehausan.

eren reflek mendongak ketika telapak tangan kasar milik levi meraba paha dalamnya halus sebelum memegang penisnya yang total menegang, meremasnya kuat lalu dipompa dengan cepat, hingga pada cairan putih nan kental milik eren keluar mengotori perut juga tangan levi. orgasme kedua.

“desah.” perintah levi tegas manakala lihat eren yang menggigit bibir bawahnya: menahan lenguhan maupun desahan yang keluar dari ranumnya.

“AKH!— bangsat. pelanhh hiks.”

eren mendesah keras kala ujung kejantan levi menyentuh titik manisnya telak. levi abai akan isakan eren dan tetap melecehkan lubang eren tanpa memberi jeda sama sekali untuk pemuda itu mengambil nafas sejenak.

telapak tangannya beralih meremas kuat pinggul eren, semakin menggerakkan pinggulnya dengan cepat hingga desahan eren kembali terdengar.

a-ah. fuck you, ren. o-oh.” desah levi seraya menampar bongkahan kenyal milik eren. dua hentakan kuat dan keduanya orgasme secara bersamaan. levi menekan penisnya lebih dalam untuk mengeluarkan semua sperma miliknya di dalam lubang eren sampai sisanya merembes keluar, total membasahi sprei warna putih milik pacarnya itu. lantas keluarkan penisnya di dalam anal eren.

dadanya kembang kempis, meraup oksigen serakah untuk mengisi rongga dadanya yang seakan kosong. netra tajam milik levi menatap eren yang menutupi matanya dengan lengan. lantas merunduk dan gapai lengan itu untuk dialihkan. dilihatnya wajah eren yang memerah dengan mata yang membengkak.

pacarnya menangis, dan levi meringis melihat itu. sedikit banyak sakit hati dapati eren menangis karena ulahnya yang diluar kendali.

“kak, ke—”

husst.” ucapannya dipotong cepat oleh levi yang kini mencium kedua matanya halus secara bergantian. dahi keduanya saling menempel, lalu cium bibir pacarnya itu lama.

“jangan nangis lagi.”

“kamu kasar.”

“iya, kasar. tau aku, maaf.” matanya menunduk, gestur sopan merasa bersalah. eren tetap pandangi lelaki di depannya itu seraya jemarinya usak rambut lepek levi ke belakang.

“ayah ngomong apa sama kamu?” tanya eren halus. “sampe kamu kesetanan kaya tadi, hm?”

helaan nafas pelan jadi respon. levi gulingkan tubuhnya di samping eren. posisi sedikit lebih tinggi, tangannya meraih kepala eren untuk diletakkan di dada bidangnya lalu peluk tubuh telanjang eren.

“kak,”

“belom mau cerita, adek. jangan tanya, nanti malah meledak jadi repot.” tangan kanannya meraih selimut untuk tutupi tubuh telanjang keduanya. “sekarang tidur. udah malem.”

eren mengangguk ringan. eratkan pelukannya lalu pejamkan matanya. sampai dirasa eren sudah tertidur lelap, levi meraih ponselnya yang berada di nakas. kemudian jarinya menari di atas keyboard: mengirim pesan pada farlan sebelum dirinya ikut terlelap.

om mode bayi

“senyum dong, anjir. merengut terus, tambah tua nanti.”

hoi, pacarnya masih ngambek. salah siapa?

“kamu.”

“kamu apa?” eren tanya sambil pasang helm.

“sehari aja gak jajan, bisa? udah gede. duit ditabung, bego.” telunjuk levi dorong kening eren kesal.

“kan tadi pake uangmu, hehe.” kasih cengiran lebar, merasa gak bersalah. sukses buat levi jadi tambah dongkol setengah mampus.

dasar, pacar.

“ngapain kamu? mau nyetir malah di belakang?” katanya begitu lihat levi justru berdiri di belakang motor sambil tangannya yang dimasukkan ke saku celana. pandangi eren pakai tatapan malas.

“gantian kamu yang nyetir.”

adu pandang sejenak sebelum akhirnya eren acungkan jempol, tanda setuju. motor dimundurkan, bayar parkir setelahnya levi lantas naik dan duduk di jok belakang.

“udah?”

“udah.”

“turun.”

jokes receh dan terkesan kuno. namun gak menampik kalau keduanya justru ketawa akan jokes tadi.

“buru. udah mendung.”

eren angguk patuh, lajukan motornya santai dengan tangan levi yang kurang ngajarnya masuk ke dalam baju: raba perut datarnya hingga menuju dada.

“gak usah cabul, bangsat.” beri cubitan kecil di kulit tangan pacarnya itu sampai meringis.

itu sakit sekali. asli.

levi ketawa serak sebelum senderkan wajahnya di pundak eren dan duselkan wajahnya di ceruk leher. ditambah satu dari pelukan di pinggang yang makin erat.

:

“ini apa loh, malah tidur.” dapati levi yang tertidur dari tengah perjalanan buat eren hela nafas berat. terlebih pundaknya sudah pegal omong-omong. sialnya lagi, levi gak mau bangun dan justru duselkan wajahnya lebih dalam di ceruk leher.

“bangun, kak, ih.” telapak tangannya tepuk tangan levi yang masih melingkar di perutnya. “hoi, bangun.”

gumaman malas keluar sebagai respon. levi angkat wajahnya; perlihatkan wajah bantal juga mata yang setengah merem.

eren kan jadi gemas lihat pacarnya.

beralih tangkup pipi levi supaya pemuda itu sadar. “bangun ayo. terus masuk. lanjutin tidur di kamar.”

“gak,” levi menggeleng. jatuhkan wajahnya di dada eren. “langsung pulang.”

“pulang apaan?! gak ada,” balas eren setengah teriak. “sendirinya aja masih ngantuk begini, loh. pulang nanti kenapa-kenapa, takutnya.”

“lagi ini udah gerimis. bentar lagi pasti hujan deres.” lanjut eren.

“berisik. bawel.”

eren kerutkan alis sebal. bibirnya mendecak, kemudian tangannya naik dan jewer telinga levi sampai empunya mengaduh.

“apa sih? sakit bego.” ucap levi seraya mengelus telinganya.

“nyebelin. aku baw—hmp.”

bibir dicium. eren reflek diam.

“curang. mainnya cium-cium.”

levi usak surainya kasar. “sumpah ya, cil. bisa diem gak?”

sekedar informasi, levi kalau mode mengantuk begini paling gak suka dengar celotehan orang lama-lama. ujungnya, ya begini. bakalan kesal.

eren sudah hapal, dan dijadikan kesempatan untuk menjahili pacar gak ada salahnya kan?

“buka gerbang. gak usah ketawa mulu. aku tonjok tau rasa.”

“wah, anjing. sakit hat—”

“eren.”

eren ketawa ngakak. dan satu tendangan di pantat jadi penutup sore mereka kali ini.

kencan

langsung pulang atau?

“kencan.”

dan berakhir parkirkan motor di kuliner sebagai tempat kencan kali ini setelah pulang dari rumah isabel. muka eren berubah masam, pundaknya menurun manakala lihat kondisi tempat yang ramai— menyerempet penuh akan orang.

“tau rame gini pulang aja tadi, ck.” mendecak sebal. bibir eren maju beberapa senti. manyun.

“sendirinya yang minta kesini, kalau lupa,” levi mendengus. “mau nyalahin aku lagi? aku perkosa kamu lama-lama.”

public sex?” tanya eren lirih seraya matanya melirik sekilas ke arah levi. “boleh. aku sih oke aja. nyoba hal baru. adu adrenali jantung.” eren terkekeh sendiri dengan ucapannya, lalu menoleh ke arah levi.

“mau nyoba?”

dan satu jitakan di kepala, eren dapatkan sebagai hadiah.

:::

betulan ramai. bahkan bangku sudah diduduki oleh semua orang setelah mereka berdua jalan hampir putari seluruh area kuliner. gak ada sisa. semuanya penuh.

sialan.

“beli makanan dulu?” levi tanya dan eren manggut.

“batagor, ya? kamu beli lego sana. dua.”

levi kerutkan dahi bingung. “lego apa? mainan?”

“lego minuman, ganteng.”

levi manggut dengan bibir yang membentuk 'o'. “sebelah mana? gak tau aku.”

“sebelah soto bu tiyem. persis.” tunjuk eren pakai dagu. mengangguk paham, setelahnya jalan ke arah yang ditunjuk eren barusan.

;

gak butuh waktu lama untuk levi kembali dengan tangan yang menenteng kresek isi minuman. hampiri pacarnya yang berdiri sambil kepalanya menengok kesana- kemari.

“belom juga nemu tempat?” yang ditanya menggeleng. levi hela nafas pelan sebelum netranya sapu area sekitar. percuma, semuanya penuh.

gak ada pilihan lain.

“ikut, cil.” ucap levi. lantas jalan lebih dahulu sebelum dibuntuti eren.

“permisi,” kedua perempuan yang tengah mengobrol sontak tolehkan kepala. “mbak nya udah lama disini?”

yang ditanya loading. bro, ada cogan di depan mata siapa yang gak tergiur?

halah.

“hoi,”

“o-oh, iya mas. udah lama. kenapa ya?” balas perempuan satunya dengan nada halus yang dibuat.

“gantian, dong. mau makan.”

ngusir secara halus.

eren yang menangkap maksud levi langsung gigit pipi bagian dalam: tahan tawanya.

“oh. ini masih ada bangku satu, kok, mas.”

levi berdecak. beri senyum tipis yang dipaksa. “makasih. tapi gue bawa pacar,” katanya sambil menunjuk eren yang berada di belakangnya. “tau 'kan kalo kencan maunya berdua? bangku tinggal satu, terus pacar gue mau duduk dimana?”

tahan senyum? mana bisa.

persetan kalau orang anggap dirinya sudah gila akibat senyum-senyum sendiri. muka eren total memerah sekarang.

aih. si pacar bisa ae.

isabel

motor diparkir di halaman depan rumah isabel. keduanya turun dan gak lupa bawa helm juga kunci motor ke dalam. pintu dibuka setelah dengar sahutan 'masuk' dari dalam. dan bau khas masakan menyambut indera penciuman mereka berdua.

“kamu duduk sini dulu.” perintah levi pada eren yang dibalas dengan anggukan patuh. setelahnya jalan menuju dapur tinggalkan eren di ruang tamu sendiri.

“masak apa nih?” suara levi sukses buat dua insan yang sedang sibuk memasang tolehkan kepalanya. dua reaksi yang berbeda. farlan menoleh sekilas sebelum berkutat kembali, sedangkan sosok satunya membolakan matanya kaget sebelum lari dan tubruk tubuh levi kencang.

“abang!” pekik isabel seraya kencangkan pelukan. “kangen. sombong betul gak pernah main kesini lagi.”

yang lebih tua kekeh pelan. usak rambut isabel lembut. “sibuk.”

“alah sok sibuk,” isabel mendecak dan pelukan dilepas. “paling sibuk pacaran.”

“memang.”

“abang bawa pacar. sana samper.” lanjut levi.

“dimana?”

“ruang tamu. sendirian.” kata levi. setelahnya jalan ke arah bar meja — setelah isabel pergi ke arah ruang tamu — untuk cicipi makanan yang telah jadi.

“bantuin, anjir. jangan ngemil dulu.” farlan tendang pelan pantat levi sampai limbung ke depan. yang ditendang justru ketawa.

“orang udah selesai. mau bantuin apaan.”

“ambil jus, noh, di kulkas.”

“terus?”

“tuangin ke baskom.”

“oke.”

dan satu geplakan kencang di kepala bagian belakang didapat.

“gak usah bikin emosi, anjing.” levi ketawa lagi. kali ini lebih lebar dan keras sampai terdengar ke penjuru ruangan dapur.

:

“muka kenapa kaku begitu, cil?”

eren menoleh dan lihat pacarnya dengan farlan yang berjalan sambil bawa nampan isi makanan dan minuman.

“gak apa-apa.”

“bohong, tuh,” isabel menimpal. “pacar lo diajakin ngomong mukanya tegang banget masa, bang.”

“muka lo serem, sih,” katanya, kemudian duduk disamping eren. “rambut acak-acakan begitu, belom mandi kan lo?”

“nanti, lah. gampang.”

levi mendengus. senggol lengan eren pelan pakai siku. “udah kenalan belom?”

“iya, udah.” lihat wajah pacarnya yang lihatkan raut kaku— menyerempet tegang buat levi senyum tipis. cubit pipi eren sampai empunya meringis.

“dilemesin, dong. anaknya memang begitu, gak jauh beda sama kamu. petakilan, berisik.”

isabel yang dengar itu reflek kerutkan alis gak terima. “sembarangan banget, gue udah berubah ya, mohon maap aja.”

“berisik lo berdua. dimakan tuh.” farlan berucap ketus.

“cemburu bilang dong, yut.”

satu delikan tajam. dan levi total ketawa, abai sama tatapan isabel juga eren yang pandangi dirinya heran.

bayi besar

reflek menoleh ke sumber suara begitu dengar pintu kos yang dibuka. disana, eren bisa lihat lelaki favoritnya cuma kasih lirikan sebelum lempar paper bag ke arahnya lumayan sadis.

“ini apa?” kena kacang. beralih tangannya buka paper bag tadi. kernyitan dahi tercetak, ambil isi paper bag dan dijembreng.

jaket denim.

“boros katanya. ujungnya dibeliin.” cibir eren.

“balik duit sini.”

“seenaknya.”

paper bag juga jaket dialihkan oleh levi sebelum dirinya merangkak dan ambrukkan badan di atas tubuh eren. peluk kencang tubuh pacarnya itu dan kasih ciuman kupu-kupu di pipi sebagai morning kiss.

“udah sarapan belum? aku masakin nanti kalo belum.”

“udah.” beralih levi merangsek masuk ke dalam tubuh eren lebih dalam. cari hangat. wajahnya diduselkan di ceruk leher.

“bau apek kamu, ih. mandi sana.” eren sedikit dorong tubuh levi, namun pelukan yang tambah erat dan tangannya yang dikunci oleh levi buat dirinya putar mata jengah. “aku loh udah mandi, nanti ketularan bau.”

“bau ku wangi. enak.”

“pede abis.” keduanya kekeh bebarengan. jemarinya beralih usap surai hitam levi. “tadi malem tidur gak?”

gelengan kepala didapat. eren benarkan posisinya menjadi menyamping, dan wajah levi jadi menghadap persis di dada milik eren. “tadi malam siapa yang bilang sayang, nih?”

“gak tau.” sahut levi dengan nada malas.

“cupu, dasar.” jarinya tarik telinga levi main-main sampai buat empunya decak sebal. “pad—”

“sst. diem. betulan ngantuk. mau tidur.”

maka gak ada opsi lain selain dirinya pilih diam: turuti ucapan pacar. tangan satunya tepuk pelan punggung pacarnya itu sampai dengkuran halus terdengar.

eren beneran rasa sedang tidurkan bayi besar.

sepupu

posisi masih di cafe. sibuk masing-masing, bahkan gak ada yang buka mulut untuk buka obrolan. levi mendongak begitu dengar kekehan mikasa.

“apa?”

“gak,” geleng mikasa seraya masih terkekeh. “baru lihat abang sebucin ini sama orang, haha.”

putaran mata malas jadi respon, mikasa condongkan tubuhnya ke arah levi yang masih berkutat dengan laptop miliknya. “eren pacar ke berapa, bang?”

“pertama.”

“bohong banget. gak percaya.”

“terserahmu percaya apa gak nya” levi hendik bahu acuh. “faktanya memang begitu, kok.”

“eren pertama dong?”

“dan terakhir.”

disana mikasa ketawa lebar. sukses keduanya jadi pusat perhatian oleh pengunjung lain. kaki mikasa sedikit ditendang dari bawah yang mana buat empunya reflek hentikan tawanya. “keju sekali, ewh.”

levi kekeh singkat. “makanya cari pacar.”

“males,” kopi diseruput lalu diletakkan kembali. “buang-buang waktu. masih pengin sendiri.”

“tambahan satu, kamunya galak. makanya gak ada yang mau.”

“ada, dih. jean apa dong?”

sedikit mendongak dan beri sunggingan tipis. “ho, ngakuin nih?” goda levi. “kenapa diem?”

“ya emang kenapa?”

“kasihan dianggurin. anaknya gak ngelirik lagi baru nyesel. tipikal.” katanya, lalu kembali menatap laptop.

mikasa putar mata malas. “sekarang hari valentine. abang gak mau kasih apa gitu ke eren?”

“gak.”

“gak romantis, dasar.”

“anaknya gak neko-neko, dia.”

“kasih bunga.”

“cringe. kaya orang mati aja dikasih bunga.”

“cokelat.”

“gak suka cokelat.”

“ya ap—”

“berisik, sa.” levi berdiri dari kursi, ambil kunci motor juga ponselnya di meja. “pulang, ayo.”

mikasa manggut. ikut berdiri dan jalan di sebelah levi. “besok abang pulang, ikut gak?”

“gak. lagi orang tua masih lama di rumah nenek.”

“kamu yang bayar, abang keluar dulu.” dompet diserahkan ke mikasa, setelahnya keluar dari cafe dan hidupkan ponselnya untuk chat si kesayangan.

sepupu

posisi masih di cafe. sibuk masing-masing, bahkan gak ada yang buka mulut untuk buka obrolan. levi mendongak begitu dengar kekehan mikasa.

“apa?”

“gak,” geleng mikasa seraya masih terkekeh. “baru lihat abang sebucin ini sama orang, haha.”

putaran mata malas jadi respon, mikasa condongkan tubuhnya ke arah levi yang masih berkutat dengan laptop miliknya. “eren pacar ke berapa, bang?”

“pertama.”

“bohong banget. gak percaya.”

“terserahmu percaya apa gak nya” levi hendik bahu acuh. “faktanya memang begitu, kok.”

“eren pertama dong?”

“dan terakhir.”

disana mikasa ketawa lebar. sukses keduanya jadi pusat perhatian oleh pengunjung lain. kaki mikasa sedikit ditendang dari bawah yang mana buat empunya reflek hentikan tawanya. “cheesy sekali, ewh.”

levi kekeh singkat. “makanya cari pacar.”

“males,” kopi diseruput lalu diletakkan kembali. “buang-buang waktu. masih pengin sendiri.”

“tambahan satu, kamunya galak. makanya gak ada yang mau.”

“ada, dih. jean apa dong?”

sedikit mendongak dan beri sunggingan tipis. “ho, ngakuin nih?” goda levi. “kenapa diem?”

“ya emang kenapa?”

“kasihan dianggurin. anaknya gak ngelirik lagi baru nyesel. tipikal.” katanya, lalu kembali menatap laptop.

mikasa putar mata malas. “sekarang hari valentine. abang gak mau kasih apa gitu ke eren?”

“gak.”

“gak romantis, dasar.”

“anaknya gak neko-neko, dia.”

“kasih bunga.”

“cringe. kaya orang mati aja dikasih bunga.”

“cokelat.”

“gak suka cokelat.”

“berisik, sa.” levi berdiri dari kursi, ambil kunci motor juga ponselnya di meja. “pulang, ayo.”

mikasa manggut. ikut berdiri dan jalan di sebelah levi. “besok abang pulang, ikut gak?”

“gak. lagi orang tua masih lama di rumah nenek.”

“kamu yang bayar, abang keluar dulu.” dompet diserahkan ke mikasa, setelahnya keluar dari cafe dan hidupkan ponselnya untuk chat kesayangan.

mama

wajah ditumpu dengan telapak dngan. netranya masih anteng lihat mama yang sedang potong sayuran di meja makan, sesekali mulutnya kunyah cookies buatan mama dan asa tadi siang.

“kenapa kamu? tumben pulang gak kasih kabar dulu.”

“kejutan.”

“mama gak ada keget masalahnya.”

“yaudah. bukan kejutan.”

reflek ketawa bersamaan. levi benarkah posisi duduk ya lebih mencondong. “mau minta saran.”

“saran apa?”

“kepikiran mau nge paten anak orang,” sahut levi. “menurut mama gimana?”

potongannya berhenti. mama sedikit mendongak: tatap levi telak di mata.

“kepikiran?” tanya mama halus. “kepikiran kenapa? omongan orang? iya?”

tebakan mama dari dulu gak pernah salah. levi sedikit kagum dengan itu. berakhir anggukan kepala sebagai jawaban.

“kalau begitu bukan dari keinginan kamu sendiri, dong? kehasut sama omongan orang lain.” mama terkekeh. “lagian umurmu baru berapa, to , cah?”

“dua puluh dua.”

“udah siap ninggalin semuanya memang?” mama tatap levi lembut. “nongkrong, leyeh-leyeh, pacaran, segala tetek bengek urusan anak muda. udah siap?”

diamnya levi buat mama menghela nafas. “mama gak mau kamu begini karena kedoktrin sama omongan orang, yang padahal kamu sendiri belum siap ninggalin semua hal yang barusan mama sebutin.”

“kamu yang bakal jadi kepala keluarga disini. pundakmu harus kuat pikul beban dan tanggung jawab segede itu. kalau memang udah siap, belajar serius. belajar dewasa. tinggalin waktu pacaranmu buat nyari kerja. cari duit yang banyak, baru bisa ngomong mau nge paten anak orang.”

“mama loh ngomong dari tadi. di denger, gak?” tangannya sentil dahi levi yang reflek mendecak sebal.

“dengerin, buset.”

“cari duit yang banyak. biar ujungnya gak ditinggal.”

disini levi kernyitkan dahi, sedikit kurang suka dengar omongan mama barusan. “gimana? mama lagi suudzon atau?”

mama mendesah jengah. “gak ada suudzon. mama bilang fakta, pinter. realistis, sayang. mama gak mau kamu berakhir kaya mama, ditinggal waktu lagi susah. gak ada sandaran, rumah hilang, gak ada tempat buat pul—”

“iya, maaf. jangan dilanjut.” kepalanya menunduk, gestur merasa bersalah. disana mama senyum keibuan, usak lembut surai hitam anaknya itu.

“mukamu kenapa gitu? jelek.” tangannya angkat dagu levi supaya tatap dirinya.

“dengerin mama, mas.” raut wajah keduanya berubah jadi serius. bahkan mikasa yang ingin ambil minum jadi urung dan balik ke kamar begitu melihat pemandangan itu. “kamu masih muda. jangan gusra-gusru. santai, mama juga gak maksa kamu buat nikah cepet-cepet kalau mau tau. puas-puasin buat yang sekarang. sampai dirasa memang udah waktunya dan kamu udah siap, baru.” jeda sedikit. “tapi ya, kalo emang mau mu cepet-cepet juga gak apa-apa. balik ke kamu sendiri. toh yang mau jalanin juga kamu sama eren 'kan?.”

“lagi orang tua mana yang gak mau liat anaknya seneng?” mama berdiri dari kursi. ambil sayuran yang sudah dipotong dan dimasukkan ke dalam kulkas.

“udah malem, tidur sana.” kakinya jalan hampiri levi. ambil bungkus rokok lalu disaku. “rokok mama sita. gak ada sebat buat malem ini. gak ada kopi, gak ada begadang. langsung tidur.”

“ck, apa loh. sini rokoknya.”

“mama bilang gak ada. langsung tidur. gak usah ngeyel.”

“malesin.”

“pulang sana kamu.”

“ya, anak sendiri diusir.”

“ngerepotin, sih.”

“wah, sakit hati loh ini.”

adem, ya? mama ketawa renyah. ambil satu batang rokok dan diserahkan ke levi. “satu aja. mama mau tidur.”

levi angguk kepala. setelahnya cium kening wanita kesayangan itu halus sebagai ucapan selamat malam.

caper dan kumis

“bentar. gak bisa jalan.”

berakhir begini. niat awal cuma ingin keliling random pakai motor, habiskan malam berdua. namun rengekan eren yang minta jajankan soto di taman kota buat levi hela nafas sabar.

omongan eren kalau menyangkut makanan seharusnya jangan dipercaya, dan sialnya levi lupa kebiasaan pacarnya itu. satu mangkok soto ditambah es teh dan sate yang tadi dibelikan langsung dibabat habis oleh eren saat itu juga.

eren kena imbas. perut penuh dan susah untuk berdiri akibat ulahnya sendiri.

“babi, dasar. kena imbasnya sendiri kan?”

eren berdecak “ngatain akunya nanti aja. ini loh bantuin. aku susah berdiri.”

“salah siapa?” dapat delikan tajam, levi balas terkekeh. beralih angkat ketiak eren supaya berdiri.

“sumpah dada ku sesak banget.”

“donat masih nangkring di motor, omong-omong.”

“dimakan kamu aja.”

dasar.

:

posisi duduk lesehan di karpet. yang lebih tua senderkan kepala nyaman di pundak eren yang masih asyik bermain dengan teo.

pastinya di kos. rumah ketiga kalau kata eren.

bosan tonton tv. levi sedikit menoleh ke arah eren, setelahnya beri kecupan singkat di pipi pacar. yang dicium masih diam. levi gemas dan berakhir ciumi pipi eren berkali-kali.

“ish apa si. basah pipinya.” beri jarak sedikit untuk menghalau levi yang ingin cium dirinya kembali.

“kak, ih!” eren merengek begitu levi masih lanjutkan aksinya. “apa sih?”

“akunya kena kacang.”

kode, bos.

levi barusan caper, alibi hanya ingin diperhatikan oleh eren.

peluk leher eren dan menjadi limbung diatas badannya. “caper.”

“sesukaku. maunya kesini tapi aku dikacang buat apa?”

“loh? ada aku bilang mau ngusel atau apapun itu ke kamu? gak 'kan?”

“pulang sekarang kamu.”

eren ketawa lebar. “ho, gitu doang ngambek masa?” katanya sambil mencuil hidung levi.

“ngusir padahal.”

“teganya sama pacar.”

levi hendik bahu acuh. tangan kanannya ambil bantal sofa untuk dijadikan bantal: biar kepalanya gak sakit.

begitu juga dengan eren yang kini diam dengan tangannya yang bermain di bibir atas levi.

“ngapain?”

“ada kumis. kok baru tau?” ucapnya. tangan masih bertengger anteng disana.

“jangn dica— aduh! sakit, bangsat.”

kumisnya dicabut. eren reflek ketawa lebar disana.

“ketawa.”

“hehe. coba cium aku, geli gak?”

sedikit majukan wajahnya, setelahnya cium bibir eren,kemudian dilumat lembut sekali. keduanya ketawa disela-sela ciuman mereka.

“udah, geli beneran anjir.”

pipi eren ditangkup cepat oleh tangan levi manakala eren ingin mundurkan wajahnya. gulingkan badan mereka jadi berganti posisi, setelahnya cium wajah eren sampai empunya ketawa akibat sensasi geli dari kumis halus milik levi.

“jangan cium, udah om. heh anj— haha. aduh, geli ini woy.” racau eren. ketawanya lebar seraya wajahnya yang dipalingkan kesana kemari hindari ciuman levi.

kasmaran terus, inget umur hoi.

_____________

ada pasangan bucin, cuih — teo.

obrolan malam

“seriusan. lo mau nyebat sampai kapan?”

kopi gak disentuh. yang mengajak justru asyik kepulkan asap batang rokok ketiga, abai sama celotehan temannya.

“gak heran, sih, kalo lo mati muda.”

“cocot.”

farlan ketawa sekilas. sedikit toleh ke samping dan pandangi wajah levi yang menatap kosong ke depan. “kenapa? sok sini cerita.”

yang ditanya hela nafas berat. “kepikiran.”

“yang jelas, bego.”

“kepikiran omongan eren,” rokok diletakkan di asbak, lalu seruput kopi hitamnya yang sudah mendingin. “dipikir juga, gue udah tiga tahun jalan sama dia. tapi progress masih stock disini terus.”

“ngomong apa emang?”

“kapan seriusin akunya?” kata levi tirukan nada eren tadi sore.

“kepikiran total?”

“total.” levi kekeh pelan.

“yaudah nikah. kawin lari misalnya.”

“matamu,” rokok dijepit di kedua jarinya, setelahnya dihisap kembali. “otak gue gak secetek itu mikir hal begituan. nikah bukan buat main-main, bro. lagi prinsip gue nikah ya, cuma satu kali buat seumur hidup dan ngepaten anak orang gak segampang yang lo pikir. anak orang diserahin dan semua tanggung jawab orang tua gantian gue yang pegang,” levi menjeda sedikit. “realistis, lah. gue nikah cuma modal sayang anak orang mau gue kasih makan apa? daun? kerikil? gue ditebas yang ada.”

disana, farlan dengan seksama dengarkan curhatan levi. sesekali anggukan kepala paham.

“lagian lo juga paham, nikah bukan cuma perihal finansial dan materi tok. tapi juga siap mental. siap gak sama kemungkinan buruk yang bakal dateng? siap gak sama semua konsekuensi yang bakal diambil nanti? nikah, tinggal di satu atap yang sama buat jangka waktu seumur hidup. ketemu setiap hari, perasaan bosen pasti bakal muncul. yakin,” levi mendesah berat. pijit hidungnya nyaris stres.

“menurut gue nikah bukan buat ajang perlombaan siapa yang nikah duluan dan siapa yang telat. tapi harus ada kesiapan dari kedua belah pihak. lo juga ngerti sendiri, lah. ditambah tabungan gue juga belom seberapa buat beli kebutuhan kelak.”

“paman lo, kenny juga masih kirimin duit hasil perusahaan dia 'kan?” celetuk farlan.

“mau sampai kapan gue jadi anjingnya dia?” tanya levi, sedikit lirik farlan di samping. “ngemis duit dari orang lain— ya walaupun dia ikhlas lahir batin kasih duit ke gue setiap bulannya, gue juga mau cari penghasilan sendiri, lah. lama ketergantungan sama dia, sudi.”

farlan gelengkan kepala ringan seraya terkekeh. “kolot. dari dulu, gak berubah.”

“peduli setan. andaikata gue nikah dan semuanya dari kenny, jatohnya gue gak becus jadi suami. gagal. gue gak mau itu.”

teman dari orok. farlan sedikit banyak sudah hafal dan tau sifat levi luar dalam. dan dengar celotehan levi yang sebegitu serius pikirkan masa depannya dengan sang kekasih rasanya farlan mencelos. kagum sekaligus bangga kalau temannya pemikiran segini dewasa.

“sayang sekali ya sama bocil?”

“gak usah ditanya.”

keduanya ketawa lirih.

“omongan lo berubah berat kalo udah jam segini. untung otak gue lagi terang.”

“rawan, bro.”

rawan. sudah kubilang kan, jam dua atau tiga pagi jadi masuknya jam rawan untuk sebagian lelaki yang punya masalah jadi jujur dengan apa pun.

levi sayang. jangan ditanya lagi.