effemyorlin

urusanku

gerbang kediaman yeager sudah jadi saksi keberapa kalinya, ya?

mereka disana lagi dengan posisi saling berhadapan setelah pulang dari rumah jean. yang lebih muda pandangi wajah levi sambil gigit bibir.

“omonganku jangan dipikirin. ngelantur tadi.” dapati anggukan malas. eren sedikit merengut lantas cubit perut levi kecil yang buat empunya meringis. “serius, ih.”

“iya.”

“iya, iya. dari tadi diem terus, pasti kepikiran 'kan?”

“gak,” bohong levi. “gak kepikiran.”

“gak suka.”

“apanya gak suka?”

eren palingkan wajahnya ke samping. “gak suka kamu bohong,” cicitnya lirih. “ngerasa jadi jahat udah bikin kamu total kepikiran sama omonganku. nambah beban kamu. gak suka.”

“gak usah melow begitu, anjing. geli.”

ngeselin? iya.

eren spontan menoleh. alisnya menyatu, tatap levi marah. “aku lagi serius, brengsek. bisa gak kal—”

“gak,” potong levi cepat. “gak bisa. mau apa?”

“aku tonjok, ya.”

“silakan. nih, tonjok.” arahkan pipi sebelah kiri ke arah eren. “kenapa diem?”

“tau.”

“jelek, dasar. marah-marah mulu. tua nanti.”

“sendirinya tua diem aja.”

“ya, ya.” levi menyahut malas. tarik dagu eren lembut supaya hadap dirinya. “kepikiran apa enggaknya itu urusanku. gak usah dipikir.”

“gimana bisa. aku yang—”

“rewel. diem bisa?” bibir eren disentil sedikit keras.

“mending masuk. mandi, terus tidur.” eren menggumam malas sebagai respon.

dan kecupan sayang di kening jadi penutup hari mereka.

kapan?

“gak usah liatin!”

“pede betul, bos.”

kembali merengut. levi tipikal orang yang kalau pacarnya sedang merajuk bakal dijahili habis-habisan sampai luluh sendiri.

ketawa pelan begitu lihat lihat kaki eren yang menendang bantal sofa sebagai pelampiasan rasa amarahnya. “bantal punya orang, hoi. jangan ditendang, rusak nanti.”

dibalas dengan delikan tajam. gak merasa takut, justru levi terkekeh gemas lihat wajah eren yang menekuk. “apa lihat?”

saling pandang beberapa detik sebelum levi sedikit rentangkan tangannya: gestur ingin peluk ke arah eren. “sini,”

“mau gak?” yang ditanya masih diam, kemudian levi anggukan kepala acuh. “ho, yaudah. gak jadi.”

beralih mainkan ponselnya. gak lama satu tubrukan kuat levi dapatkan. disana levi sedikit sesak karena pelukan eren gak main-main eratnya.

“sesak, bego.”

“kangen.”

kangen, katanya.

“semalam gak chat. nyebelin. bikin overthinking.” racau eren di ceruk leher levi.

“kamu yang bilang suruh jangan chat kan? aku lagi yang disalahin. hadeh.” katanya sambil benarkah posisi mereka. sedikit angkat tubuh eren untuk didudukkan ke pangkuannya kemudian peluk pinggang eren.

“ceweknya siapa?”

levi loading. sedikit miringkan kepalanya gestur gak paham dengan kernyitan di dahi.

“ah, itu,” dorong badan eren lalu tangkup kedua pipi pacarnya itu halus. “mau tau?”

eren mengangguk. “nanti sakit ha— aduh. kok dipukul, loh?”

“bercandanya nanti. aku tanya seriusan tadi, kak.”

levi senyum simpul. cium sekilas ujung hidung eren lalu digesekkan dengan hidungnya. “dibagi sama mama.”

“bohong.”

“masa bohong? mama cinta pertamaku, cil. aku kasih semuanya ke kamu, terus mama gak kebagian. aku jadi durhaka dong?” dahi eren disentil pelan. “beneran elah. gak percaya?”

eren hendik bahu. setelahnya beri kecupan kupu-kupu di seluruh wajah levi.

“katanya gak mau ci—”

“diem.” potong eren. levi pasrah. biarkan eren ciumi wajah juga bibirnya sampai berbunyi.

“serius mama?”

“iya.”

“serius?”

“iya, serius.”

“beneran serius?”

“iya, buset.”

“terus seriusin akunya kapan? aku udah lama nunggu loh.”

ngambek

berakhir di kos saling diam. sebetulnya eren yang diam dari tadi, bahkan omongan levi gak ada yang direspon sama sekali.

diambekin, bos.

sedikit cerita. sewaktu di cafe tadi, keduanya mengobrol santai macam biasanya sebelum sosok wanita yang mengaku sebagai teman levi hampiri mereka dan duduk disamping pacarnya.

eren bakalan santai atau bahkan peduli setan jika betulan teman. hanya saja, tingkah laku wanita itu yang menurutnya cukup menjengkelkan buat eren dongkol setengah mampus.

cara menatapnya, tawa yang dibuat-buat. dan puncaknya begitu tangan wanita itu yang dengan lihai mengelus bisep pacarnya dan levi justru hanya diam. disitu eren gertakan gigi. setelahnya terkekeh sinis.

najis. gatel banget lo sama laki orang, kurang belaian apa gimana?

oke. itu pedas. bahkan sampai buat wanita itu kernyitkan dahi sebal sebelum tinggalkan mereka berdua.

begitu.

mata levi gak lepas dari pergerakan eren yang kini sedang potong rempah-rempah untuk bumbu masakan.

“beneran, cil. bahkan aku gak tau tadi siapa, dari kelas mana, namanya siapa.”

“sumpah,cil. gak bohong.”

gak direspon.

“masih ngambek, nih?”

“ngambekan kaya cewek,”

masih ngambek beneran ternyata.

levi hela nafas panjang. anggukan kepala kosong. “ya, ya. ambekin aja terus akunya.”

pisau diletakkan gak santai oleh eren. kemudian balikkan tubuhnya menghadap levi. “bisa diem, gak? aku lagi pegang pisau omong-omong.”

levi putar mata jengah, tangannya ambil satu batang rokok lalu dijepit diantara belah bibirnya. pemantik dinyalakan dan rokok siap untuk dihisap andai aja rungunya gak dengar segimana brutalnya eren yang potong daun bawang.

oke. itu seram.

rokok dimasukkan kembali ke bungkus. levi pasrah. berakhir dengan dirinya yang baringkan tubuh di sofa dengan lengan yang tutup kedua matanya.

eren mode marah itu seram, bos. seriusan.

idiot

“ini mau tiduran sampai kapan?”

yang ditanya diam. levi kena kacang oleh eren yang masih tengkurap sambil menonton youtube dengan kemeja hitam besar baluti tubuh pemuda itu. bukan masalah besar, ini soal eren yang gak pakai dalaman sama sekali sampai perlihatkan dua bongkahan kenyal miliknya itu yang buat levi hela nafas.

sialan. levi tahan hormon dari tadi kalau mau tau. bahkan concealer yang dibeli total gak disentuh sama sekali.

“pakai daleman, dek.” dibalas dengan deheman malas. levi berdecak, kemudian hampiri eren dan duduk di pinggir kasur. tarik selimut untuk tutupi bagian paha eren yang justru disentak oleh pemuda itu.

“panas!”

“keliatan, bego.”

“ya udah sih. kita tok yang disini.”

levi hela nafas. “pake. gak usah mancing.”

“dasarnya cupu. dikasih begini doang langsung berdiri. wu, cupu, wuu.” ejek eren seraya julurkan lidahnya ke arah levi.

“pake, gak.”

“gak.”

plak!

pantat ditampar lumayan keras, eren tatap sebal levi yang hanya tunjukkan wajah datarnya.

“hih!”

“apa?” jeda sejenak. “disuruh pake dal—”

“rewel. kenapa sih?”

berakhir ponsel diletakkan dan peluk pinggang levi. bajunya sedikit disingkap kemudian masukkan wajahnya disana. telunjuknya pegang perut kotak pacarnya itu, setelahnya dielus sebentar dan bermain ikuti bentuk abs levi.

“ngapain?”

“mau roti. tapi punyamu keras, gak bisa dimakan dong.”

“idiot.”

“idiot gini juga kamu mau, kok.”

levi senyum simpul. “keluar ayo. jalan kemana gitu?” ajaknya. jemari panjangnya usap punggung eren yang tengah beri tanda di perutnya.

haduh. kebanyakan hormon apa gimana?

“kamu diem dirumah sehari tok gak betah apa?”

“gak.”

“ho, ya pantes. matamu jelalatan sih, gak tahan kalo gak liatin dada.” celetuk eren setelah keluarkan kepalanya dari baju levi.

“bangsat.”

eren hendik bahu acuh. “bicara fakta. gak suka?”

“gak,” levi menggeleng. “gak usah mulai. giliran aku marah kamu yang kelimpungan. ujungnya yang disalahin juga siapa.”

“hehe,” kasih cengiran bodoh, tangannya tarik bibir levi. “bibirnya monyong gitu jelek.”

pelukan dilepas. eren beranjak dari kasur dan berjalan ke arah lemari untuk ambil celana jeans.

“mau jalan kemana?”

“hongkong.”

pergerakannya berhenti. sedikit mendongak untuk lihat wajah pacarnya yang tersenyum miring.

pikirannya benar.

“otakmu, anjing. dibersihin sana, kotor mulu. heran.”

“heran juga. deket kamu hormonku pasti bakal naik jadi dua kali lipat.”

“idiot.”

ya aduh, kok mesum begini, hoi?

mau?

satu bulan pendekatan. terbilang cepat untuk seukuran orang yang menjalin kedekatan sama lain dengan tujuan untuk ke arah yang lebih ada status.

gak menampik, fakta bahwa levi yang dulunya terbilang kaku sekarang menjadi lebih luwes akibat kehadiran eren. perasaan ragu dan bimbang jelas ada. maka dari itu disaat waktu yang sama keduanya saling ambil waktu untuk rehat.

dijalanin aja dulu. se-nyamannya kamu aja. toh, kalau memang kedepannya beda sama harapan, yaudah gak apa-apa. gak mau maksa juga sama kehendak. dan gak mau maksa perasaanmu juga, gimananya nanti ya balik lagi ke kamu.” kata eren tempo lalu. “santai. jangan dijadiin beban banget haha.”

masa itu berlalu. dan keduanya semakin dekat, jalan, chat lancar— bahkan hampir setiap hari.

dan sekarang keduanya tengah duduk di indotamkot.

lagi? iya.

hujan turun diwaktu mereka ingin pulang. dan terpaksa dudukkan kembali bokong mereka ke kursi. saling diam. dua cup kopi jadi teman untuk hangatkan tubuh mereka dari suasana dingin.

“om,”

“hm?”

“jaket punyamu kotor, kena cat.” eren menoleh. sedikit takut menatap levi kalau saja pemuda itu bakal marah. “maafin. waktu itu bang ze—”

“gak apa-apa. buat lo aja.”

tebak siapa kaget?

eren memekik dalam hati. bahagia? jelas, eren gak mau munafik.

“beneran?” yang ditanya angguk kepala.

“senyum. kesenangan kan?” levi tanya begitu lihat senyum eren yang ditahan.

“iya, lah! masa, gak?”

levi ketawa ganteng. eren segitu jujurnya itu yang buat levi tertarik.

“kemarin bang zeke goblok banget. kuas buat ngelukis malah dijadiin buat warnain rambut.”

keduanya ketawa. levi sedikit serongkan tubuhnya mengahadap eren: tertarik dengar cerita eren.

“niatnya waktu itu mau beli, minta tolong kamu buat jadi gojek.”

“kenapa gak chat?”

“udah aku chat, bego,” eren tabok halus lengan levi. “kamunya ceklis satu. takutnya sibuk yaudah gak jadi.”

“udah beli tapi?”

eren manggut. “udah. abang yang ganti.”

pandangi eren dari samping sambil senyum tipis. eren yang sadar reflek menoleh.

“apa lihat?”

“suka.”

“suka?” eren mengernyit. “aku tanya apa loh jawab—”

“suka kamu.” kata levi. “aku suka kamu.”

“jadi pacarku mau gak?”

kaget telak. betulan. perkara tawaran levi juga sebutan aku-kamu zone, eren beneran dibuat sinting. tatap gak percaya ke arah levi yang justru naikkan satu alisnya.

“kenapa? aku gak nerima penolakan soalnya.”

maksa.

eren gak suka orang pemaksa, cuma loh, ini levi. masa iya gak suka?

“hm, gimana ya? terima gak nih?” goda eren. tangannya diletakkan ke dagu: tampang orang sok berfikir. kasih lirikan mengejek ke arah levi yang dibalas dengan decihan.

“mukamu kaya orang tolol.”

“anjing. kasarnya aduh, sakit hati loh ini,” eren drama. pegang dada sebelah kirinya dengan bibir yang di pout.

“lama. iya gak?”

“gak sabaran ternyata ya, kamu?” tangannya menoel jakun levi. “ya mau lah! dari dulu juga nungguin ini, ck. baru nembak sekarang.”

sekali lagi aku ingatkan. jujurnya eren itu jadi salah satu faktor yang jadikan levi tertarik pada pemuda itu.

“oke. pacaran?”

“pacaran.”

keduanya ketawa. eren tatap levi, ikuti arah pandang levi yang menuju ke satu objek.

tangan.

eren peka dan reflek terkekeh ringan. lalu genggam tangan levi. “mau pegang, ya pegang aja. jangan dilihatin terus.”

dan keduanya tertawa lagi. jempol levi usap halus tangan eren sebelum dimasukkan ke dalam saku hoodie.

haduh. paten?

pasti.

simple? iya. mereka gak suka ribet soalnya.

jatuh cinta?

“wah sombongnya yang baru jalan sama doi baru.” levi spontan menoleh ke sumber suara. disana farlan sedang duduk dikasur sambil memangku gitar.

“pindah ke kamar sendiri, sana.”

“ntar. gue mau introgasi lo dulu.”

“introgasi apaan,” levi mendecak. “gak usah berlebihan lo.”

“ya gimana ya. gue temenan dari orok sama lo, dan baru kali ini gue lihat lo senyaman itu sama orang. terlebih belum ada sebulan kenal. wajar lah gue jadi curiga.”

“gak ada yang harus dicurigai,” katanya lalu duduk di sebelah farlan.

farlan putar mata malas. “lo gak jago bohong soalnya.” kemudian rangkul pundak levi. “jatuh cinta?”

levi diam. matanya menatap ke arah depan; mengawang. setelahnya hendik bahu acuh. “belum.”

“ho, belum? berarti mau dong?”

skakmat. levi geplak kepala farlan sadis yang mana buat empunya justru terbahak.

“kena 'kan, lo,” farlan terkekeh. “apa yang buat tertarik?”

“gak ada alasan.”

“modelan bocah berisik, banyak omong. tumben?”

“dibilang gak ada alasan. tiba-tiba. mau gimana dia ya terserah, sifat dia mau gue ubah ya ngapain? selagi itu—”

“ya ya,” farlan potong ucapan levi seraya angguk kepala malas. “jadi?”

“apa?”

“enak?”

levi kenyit dahi. “apanya enak?”

“oh. berarti belum.”

levi loading. cerna ucapan farlan setelahnya tendang temannya itu begitu paham sama maksud pertanyaan tadi.

“bangsat. otak lo gak jauh-jauh ya, dari bahasan ranjang.”

farlan ketawa ngakak. “ngaca, bos. sendirinya gimana. cap bujang lo aja udah ilang, kok.”

“ya anjing. ini kenapa malah bahas beginian?”

“biasa, bro. laki.”

dan keduanya ketawa bodoh. kemudian lanjutkan obrolan ala lelaki yang gak jauh-jauh dari, ya, kalian sendiri juga tau.

Embung Kledung

levi betulan ajak dirinya untuk motoran gak tau arah. buang-buang bensin, iya. jauhi pusat kota dan arahkan motornya ke arah perbatasan kabupaten.

dan berakhir di Kledung Embung sebagai destinasi kali ini. mendadak. bahkan eren gak bawa jaket sama sekali untuk menetralisir hawa dingin yang menusuk kulitnya.

satu lembar uang berwarna ungu levi keluarkan dari dompet untuk bayar karcis masuk.

“tau gini kan mampir dulu tadi ke rumah, buat ambil jaket.”

“namanya juga mendadak.”

eren pandang takjub pemandangan di depan mata. beberapa tenda yang dipasang oleh wisatawan untuk camping, dan waduk yang dipenuhi oleh ikan koi ditambah kokohnya gunung sindoro menambah pesona tersendiri untuk Embung Kledung.

“kaya lagi ke kawaguchi jepang,” celetuk eren. “cantik. aku baru pertama kali kesini.”

levi menoleh. pandangi eren dari samping yang masih memandang takjub pemandangan di depan.

“gak pernah main emang?”

“jarang. keluar kalo butuh atau gak penting tok.”

levi mengangguk paham. kemudian hening menyelimuti. keduanya saling diam menikmati suasana yang ada sambil jalan berdampingan.

“mau kasih makan ikan. boleh?” tanya eren. senyumnya reflek mengembang begitu dapat anggukan kepala dari levi.

tanpa sadar pergelangan levi dicekal dan ditarik menuju waduk yang diisi oleh ikan koi. ambil beberapa pelet lalu di lempar ke waduk agar ikan koi muncul ke permukaan.

jarinya reflek tarik kerah baju eren begitu pemuda itu hampir terjorok ke waduk.

“ya tuhan, hampir aja.”

levi berdecak. “hati-hati bisa? gue tau lo lagi bahagia gue ajak kesini.”

“iya, maaf.”

jaket dilepas. kemudian ulurkan ke arah eren tanpa menatap pemuda itu.

“ya?”

“pake.”

“gak usah. bisa tah—”

“lo anak mahal. dari masuk kesini juga gue tau lo lagi nahan dingin.” tutur levi. “pake. gak usah ngeyel.”

“terus sendirinya? nanti kedinginan?”

“gak. udah biasa.”

“habis ini mampir ke Park coffe.”

“ngapain?”

“angetin badan sekalian makan.”

oke. sedikit banyak eren jadi menghangat begitu tau fakta kalau pemuda disampingnya memperhatikan dirinya.

wajar kan kalau persentase rasa suka jadi menambah?

berdua

reflek mendongak begitu dengar decitan kursi yang ditarik. dilihatnya levi yang senderkan tubuhnya lelah di punggung kursi.

“muka lo bantal banget. habis bangun?”

levi mengangguk singkat. keluarkan bungkus rokok dan pemantik dari saku.

“tumben nyamper duluan? gue deg-deg'an tau, om.”

levi tatap eren sekilas, bibirnya mengapit rokok dengan tangan yang sibuk hidupkan pemantik.

“kursi penuh. gak usah kepede-an.” jawab levi setelah hembuskan asap rokoknya. yang lebih muda menyengir bodoh.

“rokok lagi? permen karet mana?”

“habis.”

“beli dong, kalau gitu?”

“males ke warung.”

“nah, disini juga jual. kenapa gak beli?”

gak ada maksud untuk menggoda. eren betulan tanya kali ini. namun diamnya levi buat eren sedikit mengernyit. setelahnya senyum tipis.

“kode mau gue kasih lagi, atau?” eren tatap levi seraya naikkan satu alisnya jahil. decihan levi sebagai respon dan eren ketawa sambil angguk kepala beberapa kali.

paham. dan dugaanya benar. levi anaknya tsunder sekali.

maka eren berdiri dari kursi kemudian langkahkan kakinya untuk masuk ke dalam indomaret.

:

dua bungkus permen karet dan satu bungkus ciki ada di tangan eren lalu letakkan di meja.

“nih. gue bukain sekalian gak?”

levi putar mata malas. ambil satu bungkus permen karet dan dibuka. “makasih.”

“santai.”

lalu hening. levi sibuk kunyah permen karetnya sedangkan eren menunduk mainkan ponsel; sambat di akun gembok.

“om,”

“hm?”

“setiap hari kesini emang?” dapat anggukan singkat. eren manggut dengan bibirnya yang membentuk 'o'.

“gak bosen emang? di kos gak ada aktivitas apa gimana? kan bisa ke mana gitu, jangan disini ter— uhuk!

eren tersedak. pukul dadanya pelan. dan disana levi ketawa. sialan, itu ganteng sekali. seriusan.

“ganteng.”

“ya?” levi tanya halus.

“ketawanya ganteng.”

“siapa?”

“kamu.”

ho, kamu? levi gak balas. sedikit alihkan pandangannya ke arah jalanan untuk sembunyikan senyum tipisnya.

iya. levi salting.

dan sialnya lagi eren lihat itu.

“ih senyum,”

“gak ada,”

“ada, kok. kalo mau senyum, senyum aja kali? ganteng kok senyumnya.”

“tuh, senyum lagi.” ucap eren begitu lihat senyum tipis levi kembali.

setan.

levi menoleh. keduanya saling pandang sebelum akhirnya mereka berdua ketawa bareng.

“babi.” kata levi sambil lempar sampah bungkus permen ke arah eren yang masih ketawa.

aduh, kasmaran.

“motoran mau gak?”

“kemana?”

“gak tau,” levi hendikkan bahu. “buang bensin.”

“hayuk, lah.”

kesempatan gak boleh disia-siakan, bro. eren rasanya mau jungkir balik kalau jalan pikirnya udah gak lurus. habiskan waktu lebih lama dengan pujaan hati siapa mau nolak?

modusmu

posisi masih di indotamkot. betah total. Wi-Fi gratis ditambah pemandangan apik di depan mata. siapa yang gak tergiur? farlan sudah pulang dari tadi, fyi.

dari sini eren tahu jawaban kenapa pemuda boncel di depannya hobi habiskan waktunya disini.

obrolan lancar. walaupun hanya eren yang banyak bicara dan levi yang hanya menyahut jika perlu.

“lo gak pulang, om? udah jam delapan.”

“ntar.”

“emang gak diusir kalo duduk disini terus sampe malem?” levi geleng pelan.

“rumah lo deket sini apa gimana?”

“kos.”

“udah lam—”

“gak usah banyak tanya bisa?” potong levi cepat. mata tajamnya pandangi eren yang kerjapkan mata. levi berdecak begitu lihat raut wajah eren yang mendadak berubah ketakutan.

“takut?”

“orang natapnya gitu..” cicit eren pelan.

“gak usah bawel makanya. ngomong terus gak capek apa mulutnya.”

“gak, lah. kan biar bisa ngobrol sama om lama-lama.”

reflek hening.

eren keceplosan dan itu buat eren malu sendiri. sial.

:

ponsel dihidupkan. lihat layar ponsel yang tunjukkan jam setengah sepuluh malam.

“mau kemana?” tanya eren begitu lihat levi berdiri dari kursinya.

“pulang. ngantuk.” sahut levi. ambil kunci motor juga helm miliknya. “lo pulang sendiri bisa' kan?” yang ditanya gak menjawab. hendikkan bahu acuh lalu pergi dari situ.

langkahnya berhenti begitu dirasa ujung bajunya ditarik. menoleh ke belakang dan dapati eren yang menatapnya ragu.

levi naikkan satu alisnya. “apa?”

“anu,” eren meringis. “anterin gue, ya? hehe.”

decakkan malas jadi respon. “motor lo?”

“lupa bawa. tadi kesini jalan kaki soalnya.”

'lupa' katanya. ingat dosa, hoi.

putar matanya malas. tangannya beralih tepis halus jemari eren dari bajunya.

“jadi anter gak?” ketus levi manakala lihat eren yang masih saja duduk. eren menyengir, buru-buru berdiri dan jalan di belakang levi menuju parkiran.

“lain kali motor dibawa. nyusahin aja lo.” ucap levi sambil pasang helm nya.

“sendirinya juga mau aja disusahin. kenapa tuh?”

kicep.

kasih lirikan ke eren sebelum tunggangi kuda besinya dan disusul oleh eren.

“bayarin parkir.”

“dih kok gue?”

“yaudah turun.”

hadeh.

:

posisi sudah sampai di kediaman eren. turun dan ucap terima kasih kepada levi.

eren terkekeh begitu rungunya dengar suara perut yang berkeroncong.

“laper?” tanya eren halus. “dari tadi belom makan emang?”

“belom.”

“makan di rumah gue, ayo.”

“gak. makasih.” tolak levi. niat hati ingin pergi dari situ urung begitu motornya ditahan oleh eren.

“lepas.”

“gak.”

“gue gas motor terus lo jatuh, bukan urusan gue omong-omong.”

“ya kalo maunya gitu kenapa gak dari tadi?”

setan.

muka diusap kasar. levi betulan tahan emosi dari tadi.

“nah, oke. daripada bikin ribut, mending nurut. jangan batu, ya?”

“adek!”

keduanya sontak menoleh ke sumber suara. dilihatnya carla yang berdiri di depan pintu dengan apron yang bertengger apik di badannya.

“masuk, sini. sekalian ajak temen mu buat makan malem bareng.”

eren kasih acungan jempol, setelahnya menoleh ke arah levi. “denger kan? perintah ibu, gak boleh dibantah.”

gerbang dibuka lebih lebar untuk akses masuk motor levi.

dongkol setengah mampus. dua hal yang levi hindari di hidupnya; berkenalan dengan orang baru dan harus beradaptasi dengan lingkungan mereka. itu melelahkan kalau boleh jujur.

dan sialnya lagi, nyatanya levi harus hadapi kedua hal itu malam ini.

sore cerah

dua hari setelahnya.

senyum cerah eren jadi pemanis di sore hari ini. turun menuju lantai bawah dengan keadaan baju rapi sekaligus wangi. orang rumah disapa dengan manis yang mana buat mereka semua kernyitkan dahi bingung.

beri kecupan sekilas di pipi carla. “selamat sore, bunda.”

“sore. bahagia sekali? tumben?”

“bahagia dong,”

“kenapa memang?”

“kepo.” dan cubitan kecil dipinggang jadi hadiah. eren ketawa, ambil melon yang sudah dipotong kemudian dimakan.

“izin keluar ya, bun? deket, kok. di depan doang.”

carla manggut. “iya, sana. yang penting jangan kemaleman.”

“siap.”

pintu rumah dibuka. eren hampiri zeke yang tengah kasih pakan burung di halaman depan.

eren sunggingkan senyumnya. lantas hampiri zeke sambil berjinjit sebelum dengan kurang ajarnya plorotkan celana zeke dari belekang.

“bangsat!” zeke tersentak kaget. buru-buru naikkan kembali celananya lalu geplak kepala eren kencang. “yang bener ngapa sih!”

eren total ketawa kencang, bahkan sampai menangis karena saking ngakaknya.

“haduh. pake sempak kenapa sih, bang. jorok banget. ntar burungnya lepas loh.”

“biar adem. tau adem gak?”

eren anggukkan kepala malas. tepuk kencang area bawah zeke sampai buat empunya mengaduh, setelahnya lari keluar dari rumah sebelum kena amukan zeke.

goblok.

:

indotamkot jadi tujuan. cari referensi katanya. halah.

cari referensi apa modus?

masuk ke dalam indomaret untuk beli beberapa ciki dan minuman kaleng. jaga image, bro. duduk disana tapi gak ada cemilan itu rasanya asem. pasti jadi bahan lirikan orang dan dicap cuma mau numpang nge-cas.

bayar di kasir dan keluar. cari tempat duduk yang masih kosong lalu dudukkan pantatnya disana. ponsel digeletakkan malas, mulutnya ucap sumpah serapah untuk jean yang me-ngeblock kontak WhatsApp nya.

ciki dikunyah santai, pandangan tetap mengarah ke arah parkiran. mulutnya berhenti mengunyah begitu lihat orang yang  ditunggu datang.

ihiy. dapat jackpot. eren bahagia luar biasa.

:

kursi ditarik sampai kedua pemuda yang tengah mengobrol reflek menoleh ke arahnya.

raut wajah bingung dan decakan malas jadi reaksi. eren senyum tipis.

“siapa?”

“eren, bang. lo siapa?”

yang ditanya bulatkan mulutnya. “oh, lo yang namanya eren?”

eren manggut lalu duduk dihadapan mereka berdua. “kenapa emang?”

“enggak, ini kemarin si lev—”

“ngapain disini?”

omongan farlan dipotong. levi tatap datar eren yang menoleh ke arahnya sambil tersenyum manis.

“gak apa-apa. gabut di rumah.”

halah.

“widih, ngunyah permen karet, nih? keinget gue atau gimana?” celetuk eren manakala lihat satu bungkus permen karet ada di meja.

“pede gila.”

farlan pandangi keduanya, lalu angguk kepala beberapa kali. “oh, paham paham. pantes belakangan ini diajak sebat nolak mulu.”

sialan. farlan comber, dan sialnya levi lupa akan hal itu.

“oh, ya?” eren menyahut, dalam hati ketawa senang begitu tau fakta itu. “cie. ngaku aja, pasti keinget sama gue, kan, om?”

“gak.”

“iya kali?”

“bacot.”

“gak usah malu-malu begitu dong, bro.” farlan dorong lengan levi.

keduanya sontak ketawa begitu lihat wajah levi yang masam sekali.

levi hela nafas berat. sore cerah gak berpengaruh sama sekali dengan keadaan hati levi yang mati-matian tahan hasrat untuk gak tonjok kedua pemuda dihadapannya.

levi telak digoda habis-habisan kali ini.

tai.