Rentetan ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya dari buku yang ia baca. Ketukan pendek dengan jeda yang sama antar ketukan, membentuk pola irama yang khas, dan Hitomi tersenyum kecil saat pintu kamarnya membuka, menampilkan sosok Chaewon yang menyembulkan kepala dari balik pintu.
“Yang?”
Hitomi menepuk-nepuk tempat di kosong di sebelahnya, “Sini Kak,” Chaewon lantas terkekeh, menutup pintu di belakangnya, lalu menghempaskan diri di atas tempat tidur, tepat di samping gadis itu. Earphone-nya terpasang rapi di telinga, dan ponselnya tak lepas dari genggaman. Diliriknya buku yang Hitomi baca.
“Seru?”
“Cuma dua orang yang jatuh cinta, tapi ternyata...” Chaewon menatap gadis itu dengan kedua alis terangkat, “Ternyata?”
“Saudara tiri,” Hitomi berkata pelan, dan sontak ekspresi wajah Chaewon berubah masam, “Kok bisa?”
“Ayah mereka nggak tahu keberadaan anak sulungnya sampai dia nyamperin ke Paris. Keburu ketemu duluan sama anak perempuannya dari istrinya,” Hitomi mendesah, “Perasaanku diaduk-aduk rasanya Kak.”
“Lucu banget omong-omong, judulnya pakai nama musim.”
“Tetralogi empat musim Kak,” jawab Hitomi, “Mulai dari summer sampai winter, yang ini kebetulan autumn.”
“Pantas sedih,” Chaewon terkekeh, membuat Hitomi tersenyum geli. “Apa hubungannya?”
“Gugur soalnya,” Chaewon menertawakan leluconnya sendiri yang mendulang gelengan kepala dari Hitomi, “Jayus banget ih Kak Chaewon,” ujar Hitomi, “Omong-omong, tumben ke sini?”
“Kangen,” sebuah senyum tipis terlukis di wajah Chaewon, dan Hitomi mengalihkan pandangannya. Apapun asal jangan Chaewon. Sebab bagaimana bisa ia membalas tatapan gadis itu saat ia menatap dirinya seolah Hitomi adalah satu-satunya? Seolah ia ingin menyelam ke dasar matanya, mencari celah tersembunyi yang tak terjamah, berdiam di sana hingga ia tak sanggup lagi kembali ke permukaan, mencari jalan keluar?
Aku mau kita seiring sedikit lebih lama dari selamanya, kata-kata gadis itu masih terngiang di kepalanya. Mereka hanyalah dua manusia yang bertarung melawan waktu. Waktu jarang-jarang berbaik hati pada mereka seperti ini. Selalu ada alasan untuk tidak menghabiskan hari libur berdua. Selalu ada alasan untuk tidak mendengarkan suara satu sama lain, berceloteh mengenai hari mereka sebelum tidur. Selalu ada alasan untuk tidak membalas pesan dalam tempo yang singkat.
Dan mereka tak mempermasalahkan itu. Selama mereka masih milik satu sama lain, itu sudah cukup.
“Yang?”
“Hm?” Hitomi akhirnya memberanikan diri menatap wajah Chaewon. Gadis itu menatapnya lamat-lamat, dengan senyuman yang lebih manis dari gulali, lebih ringan dari permen kapas, dan Hitomi yakin ia pasti akan tersesat di dalamnya jika saja gadis itu tidak menyatukan bibir mereka.
“Cantik deh pakai kacamata,” Chaewon berujar saat ia menarik diri, tersenyum geli melihat Hitomi yang tergeragap, mengerjap, kehilangan suara. “Meskipun tiap hari juga sebenarnya cantik sih. Harusnya aku lebih sering bilang gitu ya. Maaf,” gadis itu lantas menyandarkan kepalanya di bahu Hitomi.
Tempat ternyaman, satu waktu ia pernah berujar, dan Hitomi juga diam-diam setuju, sebab bahu Chaewon juga menjadi tempat ternyaman baginya untuk bersandar. Chaewon nampak tak peduli dengan Hitomi yang telah berubah menjadi tomat hidup. Alih-alih, ia menarik lengan Hitomi agar melingkari pinggangnya, memeluknya dari samping.
“Kenapa sih suka tiba-tiba banget?” jemarinya bergerak memberi cubitan kecil di pinggang Chaewon, membuat gadis itu mengaduh, tapi tak melepaskan diri dari pelukan gadis itu. Tangannya yang bebas menautkan genggaman mereka, sementara tangannya yang lain bergerak menekan tombol putar di layar ponsel, matanya terfokus pada video yang diputar.
“Kenapa? Deg-degan ya?” Chaewon terkekeh, sementara Hitomi membenamkan wajah di helai rambut gadis itu, berusaha menyembunyikan pipinya yang merona sedari tadi. Chaewon lantas berujar, “Emang kalau aku bilang-bilang dulu, deg-degannya berkurang gitu? 'Yang, aku mau cium kamu.' Emang bikin kamu lebih tenang?”
“Udah ih, malah dibahas terus,” Hitomi akhirnya menyandarkan kepalanya pada gadis itu, membiarkan pipi beradu dengan rambut cokelat Chaewon.
“Kakak ganti parfum?” Hitomi mengalihkan pandangan pada layar ponsel Chaewon. Tampak gadis-gadis dari sebuah grup idola melenggokkan tubuh, menari mengikuti musik yang diputar.
Sesekali tangan Chaewon bergerak seolah memberi komando pada barisan musisi yang tak tampak. Kadang, dahinya berkerut, seperti berusaha mencerna keganjilan yang terdengar dari lagu yang diputar. Satu atau dua komentar akan lolos dari mulutnya. Kurang tinggi sedikit. Terlalu lambat satu ketukan. Harusnya dia pakai head voice. Namun, sesekali ia akan ikut bernyanyi, memberikan suara dua atau tiga pada melodi utama.
Hitomi tersenyum kecil.
Ia rindu mendengarkan gadis itu bernyanyi. Suaranya seperti peri pohon yang bernyanyi di tengah hutan, di depan danau sebening kaca, dengan sinar matahari keemasan sebagai lampu sorot yang menelisik lewat dedaunan. Lalu semesta ikut bernyanyi. Suaranya selalu membawa Hitomi pada masa depan yang belum terjadi; ia ingin suara itulah yang menemaninya hingga tertidur dan menyapanya tiap kali ia membuka mata di pagi hari.
“Nggak ganti, kenapa emang?”
“Habis peluk-peluk siapa nih? Kok wanginya beda?” Hitomi mencebik, namun Chaewon hanya tertawa kecil. Tangannya bergerak mengelus lengan Hitomi sekilas, “Apa sih. Orang dari pagi aku di kamar. Gara-gara ganti shampoo aja kayaknya. Kenapa? Wanginya manis banget ya? Nggak kayak wangi yang biasa?”
Hitomi mengangguk, tanpa sadar menciumi pelipis kekasihnya, “Hitomi udah gede ih, suka cium-cium,” ujaran isengnya cepat berganti gerutuan, “Yang, jangan cubit-cubit, sakit.” Hitomi tak menjawab, namun tangannya bergerak menarik earphone di telinga Chaewon, memasangnya pada telinganya sendiri, dan musik elektronik mengisi ruang pendengarannya.
“Biasanya dengerin soundtrack film musikal, kok tumben dengerin musik berisik?”
“Cantik Yang membernya, lihat,” telunjuknya mengarah pada seorang gadis dengan tubuh semampai dan wajah yang—Hitomi benci mengakuinya, tapi gadis di layar ponsel Chaewon memang cantik. Tipe yang membuatmu tersenyum hanya dengan melihat wajahnya. Kecantikan yang menguarkan aura misterius; lembut dan manis di satu waktu, tapi juga garang dan menggoda di lain waktu.
“Hmm, cantik,” hanya itu yang keluar dari mulutnya. Selama beberapa menit, telinganya mengakrabkan diri dengan musik elektronik yang juga jarang ia dengar. Menit berikutnya, gadis yang sama kembali muncul di layar, dengan pakaian yang lebih sederhana, memperkuat kesan manis di wajahnya. Alih-alih musik elektronik, ia mendengar perpaduan musik pop dengan sentuhan instrumen tradisional.
“Astaga, jantungku, cantik banget ini orang,” Chaewon berseru, matanya tak lepas dari layar ponsel, sebelah tangannya menggenggam tangan Hitomi. “Bisa-bisanya,” Chaewon menggeleng, “Udah lama nggak lihat stage seemosional ini. Padahal cuma lewat gerak,” ia bergumam.
Hitomi mendengus. Ia tahu jelas Chaewon sering pergi melihat pentas tari dari yang diselenggarakan departemen seni tari. Hitomi beberapa kali menemaninya nonton—takut hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Seperti, manusia yang mengaku mantan kekasih Chaewon muncul lagi di hadapannya.
“Astaga, Yang, pernah nggak sih kamu lihat orang secantik ini? Tipe-tipe cantik mahal, udah gitu, astaga, ekpresinya di panggung itu lho,” Chaewon berkata, tangannya sibuk mencari video lain, dan tanpa sadar, Hitomi merengut.
“Cantik banget ya?”
“Banget, betah deh lihatnya,” Chaewon masih fokus mencari video mana yang ingin ia putar, “Gila, cakepnya nggak manusiawi, Yang. Ada gitu ya manusia secakep itu astaga.”
Matanya membulat saat jemari Chaewon menekan salah satu video—Hitomi mengenali wajah gadis di layar ponsel Chaewon. Masih gadis yang tadi. Namun, penampilannya jauh berbeda dengan dua penampilan sebelumnya. Jika di video sebelumnya Hitomi merasa gadis itu seperti titisan bidadari yang turun dari kahyangan, kali ini Hitomi melihat seorang anggota grup idola—
“WEEY ANJRIT KOREOGRAFINYA,” Hitomi terlonjak saat kekasihnya tiba-tiba berteriak, namun matanya tak lepas dari layar ponsel.
Gadis itu berubah drastis.
Mini one piece dress yang membiarkan pundaknya terekspos melekat di tubuhnya dengan sempurna, menonjolkan proposi tubuhnya yang—uh, Hitomi benci melekatkan kata sempurna dengan gadis itu. Rambut cokelatnya yang berombak tergerai. Senyum miring yang tersungging beberapa kali saat kamera menyorot wajahnya membuat gadis itu tampak—menggoda, membuat hatimu jatuh dalam musik, gerak, dan tatapannya.
Seperti menatap Medusa.
Hitomi melirik Chaewon yang masih terpaku menatap layar ponselnya. Diam-diam ia mendengus. Tepat saat lagu akan memasuki bagian reff, Hitomi terbelalak menatap koreografi yang ditunjukkan, dengan kamera berfokus pada si gadis yang Chaewon sebut cantik. Sontak tangannya bergerak menutup mata Chaewon.
“Yang? Apa sih?” Tangannya yang bebas berusaha menurunkan tangan Hitomi yang menghalangi pandangannya, namun gadis itu bersikeras menahan tangannya disana, “Yang? Masa aku nonton tangan kamu doang?”
Hitomi mengembuskan napas kasar, melepaskan pelukannya pada Chaewon, lantas berbaring memunggungi gadis itu. Chaewon mengerjap, bingung mendapati perubahan drastis pada sikap kekasihnya. Ia lantas meletakkan ponselnya di nakas, menarik earphone dan bergerak mendekati gadis itu.
“Yang? Kok marah?”
“Nggak,” Hitomi bergerak meraih boneka di ujung tempat tidur, membenamkan wajahnya di sana. Ia bisa mendengar Chaewon menghela napas, dan perlahan, lengan gadis itu melingkari pinggangnya. Dirasanya tempat tidurnya melesak, pertanda gadis itu membaringkan tubuh di belakangnya.
“Bohong banget Hitoma. Marah itu,” sebelah tangannya menyusup ke bawah bantal, membawa tubuh gadis itu menyamping menghadapnya, membiarkan Hitomi mengistirahatkan kepala di lengannya, membawanya ke dalam pelukan.
Hitomi bersikeras menyembunyikan wajah di balik boneka beruang miliknya, “Bohong nih, nggak suka,” tangannya yang bebas bergerak melepas boneka di genggaman. Tawanya pecah melihat Hitomi yang mencebik di balik boneka, dengan dahi berkerut dan alis bertaut, “Apa sih? Kok tiba-tiba marah?”
“Pikir aja sendiri,” gadis itu berusaha merebut kembali boneka dalam genggaman Chaewon, namun gadis itu cepat menjauhkan tangannya, mengacungkan bonekanya tinggi-tinggi.
“Balikin ih!” Hitomi merengut, tangannya menggapai-gapai boneka yang teracung, “Kak Chaeee, balikiiin,” gadis itu mendorong tubuhnya bangkit, namun cepat Chaewon menarik tubuhnya, hingga mau tak mau, Hitomi berbaring di atas gadis itu, kedua kaki terbuka lebar, mengapit tubuh Chaewon di bawahnya.
Mata mereka beradu, lantas ia tercekat. Terlalu dekat. Hitomi membuang pandangannya ke samping, berusaha melepaskan diri dari kedua lengan Chaewon yang menahannya.
“Kak...”
“Hmm?”
“Posisinya...”
“Kenapa posisinya?” Hitomi tahu Chaewon sedang tersenyum menggodanya. Posisi mereka sama sekali tak membantu. Dirinya. Di atas Chaewon. Dan—
“Nanti disangka ngapa-ngapain....”
Chaewon tergelak, dan perlahan, pelukannya melonggar, membiarkan gadis itu membawa tubuhnya berbaring di samping Chaewon, membenamkan wajah pada bantal, “Cepet bilang, marah kenapa tadi?”
“Heboh banget sih nontonin girl group,” suaranya teredam. Chaewon mengerutkan dahi, “Hah?”
“Pakai teriak-teriak cantik segala, habis itu—bajunya! Fokus banget lagi lihatin koreografinya. Terus—”
“Ya 'kan yang cantik emang harus dilihatin Yang.”
“Ya terus harus di depan Hitomi gitu?”
Hening. Tak ada pergerakan. Hela napas pun tak terdengar. Perlahan, Hitomi mengangkat wajahnya, mengintip dengan sebelah mata, hanya untuk melihat Chaewon yang berbaring menatapnya sambil tersenyum geli.
“Kamu cemburu?”
“NGGAK.”
“Cie cemburu.”
“NGGAK IH.”
Derai tawa Chaewon memenuhi seisi ruangan, dan jika di lain waktu Hitomi selalu merindukan tawa gadis itu, maka kali ini, Hitomi benci mendengar tawa yang ditujukan padanya.
Ia bisa merasakan gadis itu mendekat, sebab bantalnya tiba-tiba melesak. Ia bergidik saat merasakan hangat embus napas Chaewon telinganya, “Cemburu juga nggak apa-apa, Sayang.” Hitomi mengerang mendengar kekeh pelan Chaewon di telinganya, namun tak urung ia bergerak masuk ke dalam peluk gadis itu, menyembunyikan wajahnya di ceruk leher gadis itu.
“Lucu banget pacarku cemburu sama member girl group,” Chaewon menepuk-nepuk punggung gadis itu pelan.
“Maaf ya Hitomi nggak bisa kayak gitu.”
“Hah?” Chaewon menjauhkan wajah, berusaha mencari mata Hitomi, namun gadis itu bersikeras menyembunyikan wajahnya, “Sayang?”
“Ya habis... Semangat banget muji cantiknya... Mana emang beneran cantik... udah gitu—” Hitomi tak mampu melanjutkan kata-katanya sebab Chaewon dengan halus memaksanya untuk menatap gadis itu. Hitomi lagi-lagi tercekat.
“Kamu cantik. Nggak ada yang bisa ngalahin cantiknya kamu di mataku. Kalau girl group yang itu muncul di depanku ya aku bakal pingsan sih,” Chaewon terkekeh, “Tapi nggak ada yang bisa ngambil hatiku kayak kamu. Lagian yang bener aja dong Yang, mana mungkin pacarku superstar. Yang ada makan hati terus. Mending makan masakan kamu aja. Perut kenyang, hati senang.”
“Si paling bisa,” Hitomi mendengus, menundukkan pandangannya, dan lagi-lagi Chaewon terkekeh. Hening kembali mengisi ruangan kecil itu. Sesekali, deru suara pendingin ruangan terdengar. Hitomi perlahan mendongak, untuk kembali mengalihkan pandangan.
“Kenapa?”
“Jangan ngelihatin kayak gitu Kak.”
“Kayak gimana?”
“Kayak Hitomi tuh satu-satunya.”
Chaewon tersenyum, dan sebuah kecup hangat mendarat di dahi gadis itu, “Kamu satu-satunya, Hitoma. Nggak ada yang lain. Boleh sih ada yang lain. Tapi ngantre. Habis kamu.”
Chaewon tergelak saat Hitomi mendaratkan cubitan-cubitan kecil di pinggangnya, namun tak urung gadis itu mengusap pinggangnya yang Hitomi yakin memerah.
“Bercanda, Sayang. Bagian ada yang lainnya. Kamu beneran satu-satunya.”
Hitomi menghela napas, lantas melepaskan diri dari pelukan Chaewon. Ia menarik Chaewon bangkit bersamanya. “Udah ah. Makan yuk Kak. Hitomi mau masak.”
Chaewon tertawa kecil, “Oke,” keduanya lantas berjalan keluar menuju dapur, dengan tangan bergandengan erat, seolah tak rela melepas, seolah jika mereka melepas, yang satu akan lebur menjadi debu, hilang dibawa angin.
“Yang?”
“Ya?”
“Kamu lucu deh kalau cemburu gitu. Aku sering-sering apa ya nonton video mereka depan kamu?”
“HEH!”