kimchaejjigae

“Hitoma?”

“Sebentar!”

Chaewon tak pernah mengetuk pintu.

Gadis itu hanya akan memanggil namanya dan berdiri di sana, menunggu Hitomi membuka pintu. Lalu saat akhirnya pintu terbuka, ia akan menyunggingkan senyum terbaiknya. Sama seperti sekarang, dengan kedua tangan di saku. Tubuhnya terbalut hoodie kesayangannya, dengan celana jeans dan sepatu kets melengkapi penampilannya.

Terlihat nyaman untuk dipeluk.

Hitomi cepat-cepat menggeleng.

Mikir apa sih kamu?

“Udah siap?”

Hitomi mengangguk, “Udah,” ia lantas menarik koper kecilnya keluar yang segera digeret oleh Chaewon. Setelah memastikan tak ada alat elektronik yang menyala, lampu kamarnya padam, dan dompet serta ponselnya ada di dalam tas yang ia selempangkan di bahu, Hitomi mengunci pintu.

“Aman semua?”

“Ada kamu masa nggak aman,” Hitomi bergurau yang disambut dengan dengusan kecil oleh Chaewon.

“Panggil 'kamu' aja terus ya Hii,” ujarnya. Hitomi menoleh, “Tadi aku manggil 'kamu' gitu?”

Chaewon mengangguk, “Iya. Udahlah panggil gitu aja, dipanggil 'kak' terus berasa pacaran sama brondong.”

“Lah 'kan emang aku brondong?”

Sebelah tangannya terulur mengusak rambut Hitomi, yang dibalas dengan gerutuan dan cubitan kecil di lengannya, “Emang kamu manis?” tawanya berderai melihat Hitomi yang mencebik dan mendelik padanya. Namun tawanya terhenti saat Hitomi berjinjit dan memberikan kecupan di bibir.

“Manis nggak?”

“Bahaya banget buat tubuh, manisnya kelewatan,” dan Hitomi balas tertawa, sebelah tangannya menyatukan genggaman tangan mereka.

“Udah ah, ayo, nanti aku telat.”


“Ini tadinya aku mau ngajak kamu makan di kafe yang cantik banget itu lho, tapi malah ke sini jadinya karena kejauhan,” ujar Chaewon saat pelayan telah menjauhi meja mereka, membawa serta pesanan dan buku menu yang mereka bolak-balik selama beberapa menit.

Setelah menghitung jarak dan berapa lama waktu yang mereka butuhkan untuk pergi ke stasiun (dan, tentu saja, memperhitungkan kemungkinan adanya kemacetan di ruas jalan), akhirnya mereka memutuskan untuk mencari restoran yang terletak tak jauh dari stasiun.

Restoran itu manis sekali.

Meja-meja kayu mengkilap memenuhi ruangan. Jendela-jendela besar yang menghadap jalan seolah menyilakan sinar matahari untuk masuk menerangi ruangan yang siang ini tampak sepi. Rak-rak berisi piringan hitam dan figurin-figurin kecil berjajar rapi di dinding, Alunan lagu-lagu pop memenuhi pendengaran mereka, ditemani dengan suara klakson yang sesekali terdengar, dan lalu lalang kendaraan yang tak pernah habis.

“Oh, yang waktu kamu nembak ya?” Hitomi tersenyum jahil, “Gaya banget Kim Chaewon nembaknya di bawah bintang-bintang gitu.”

“Ya gimana ya, calon pacar aku waktu itu cantik banget, masa nggak ditembak di tempat dan situasi yang cantik juga,” Chaewon mengangkat bahu seolah tak peduli, memancing gelak tawa Hitomi. Kedua tangannya bertepuk pelan, matanya melengkung serupa bulan sabit, melukis sebuah senyum di wajah Chaewon.

“Aku harus membiasakan diri digombalin kamu terus ya?”

“Aku nggak merasa gombal tuh.”

“Halah,” Hitomi mengibaskan tangan, “Manis banget emang mulutnya Kim Chaewon. Sebelum jadian aja udah sok-sok mau masukin namaku ke kamus.”

“Bahas aja terus,” gerutunya pelan dan Hitomi terkekeh.

“Jelek ih, ngambekan. Senyum dulu. Masa pacarnya mau pulang malah dikasih wajah cemberut.”

Tawanya semakin kencang saat di hadapannya, Chaewon memaksakan sebuah senyum hingga matanya hanya segaris, “Nih, senyum, biar kamu nggak kepikiran pas pulang.”

Bakal kepikiran, batin Hitomi.

Aku bakal kepikiran kamu terus mau di manapun aku berada. Gimana bodohnya aku sempat kepikiran untuk balikan sama Minju, gimana bodohnya aku bikin kamu nunggu selama satu tahun, bahkan gimana bodohnya aku yang tetap aja minta waktu untuk mikir saat kamu datang dengan sederhana dan tanpa persiapan apa-apa.

Tapi penantianmu, penantianku, nggak sia-sia 'kan?

Kita bertemu. Di waktu yang tepat. Dengan orang yang tepat. Kamu akan selalu jadi orang yang tepat untukku.


“Kereta kamu tuh,” Chaewon menunjuk kereta yang baru saja tiba. Hitomi menoleh, tanpa sadar mencebik. Chaewon tertawa kecil, “Tadi pagi perasaan semangat banget mau pulang?”

“Baru sadar kalau pulang nggak bisa kencan sama kamu,” ujarnya, dan tawa pelan Chaewon menggema.

“Lebay banget. 'Kan nanti juga balik lagi.”

“Ya 'kan rencananya liburan full di rumah.”

“Setahun ke belakang kita sering banget kencan ya, Hitoma, amnesia kamu?”

“Ya 'kan itu sebelum jadi pacar ih.”

Chaewon tersenyum kecil, lalu kilat jenaka di matanya berbinar, dengan senyum yang berubah menggoda, “Jadi ceritanya kamu nyesel nih baru pacaran sama aku sekarang?” Sebelah tangannya bergerak menjawil pipi Hitomi, “Cie, ada yang naksir aku dari lama.”

“Ngaca,” telunjuk Hitomi bergerak menusuk pipi Chaewon, membuat gadis itu lagi-lagi tertawa kecil. Pandangan matanya lantas mengarah pada jam besar yang tergantung di depan mereka. Kembali ia dan Hitomi berpandangan. Yang satu menatap dengan senyum, seolah memaklumi perpisahan sementara yang akan terjadi. Satunya lagi menatap dengan pandangan sedikit muram, seolah tak rela untuk melepas lagi—meski hanya sementara.

Hitomi mengembuskan napas, pipi menggembung, dan dengan berat hati ia berkata, “Aku pulang ya?”

“Mm,” Chaewon lantas berdiri, yang diikuti oleh Hitomi, “Hati-hati ya, kabarin kalau udah sampai.”

“Mau peluk dong.”

Chaewon terkekeh, “Pacar siapa sih ini,” tangannya menarik Hitomi pelan dalam pelukan, membiarkan satu sama lain mendengar degup jantung yang kini mulai berani meneriakkan kata sayang.

“Pacar kamu lah,” Hitomi berkata dengan suara teredam, membekukan wangi gadis itu dalam ingatan. Ia tahu Chaewon tengah tersenyum kecil. Tangannya mengusap kepala Hitomi pelan, dan pelukan mereka melonggar.

“Sampai ketemu nanti, budak skripsi.”

“Sampai ketemu nanti, Cantik.”

Dalam Cerita “Kabinet Pom Bensin”


“Ke mana sih anjir udah telat lima belas menit masih belum full team?”

Di sebelahnya, Hitomi menggigit bibir, turut menggoyangkan tangan, mengetuk-ngetukkan pensil pada agendanya yang terbuka, sesekali membubuhkan coretan tak berarti di sana.

“Mulai aja nggak sih Kak?” Akhirnya Hitomi berkata. Chaeyeon akhirnya mengangguk, “Mulai aja lah. Kebiasaan banget ngaret kayak gini.”

“Teman-teman, silakan duduk sesuai bidangnya masing-masing. Kita akan segera mulai rapat kerja.”

Gumaman pelan terdengar dari berbagai arah, dan para mahasiswa bergegas menempati bangku mereka masing-masing. Ruang perkuliahan mereka yang sesungguhnya luas nampak sempit berkat kehadiran separuh personel badan eksekutif mahasiswa. Hitomi menarik napas.

“Absen dulu yuk.”


Paparan mengenai rancangan program kerja mereka selama satu tahun telah habis disampaikan. Memasuki sesi tanya jawab, para mahasiswa mulai mengacungkan tangan.

“Mau nanya dong sama humpers,” ujar seorang mahasiswa di sudut kelas. Yujin menoleh ke arah Hitomi, yang balas mengangguk sambil tersenyum kecil. Yujin menarik napas, “Iya Kak, gimana?”

“Kok nggak bikin Salam Selasa lagi sih? Padahal itu menarik lho. Ya proker jangan selalu yang serius-serius amat. Hari Selasa 'kan biasanya jadi yang paling ditunggu-tunggu soalnya kita bisa kirim salam lewat akun kabinet plus mungkin kirim lagu.”

Yujin terdiam. Sebagai seorang mahasiswa baru yang terpaksa menjadi ketua bidang tanpa pengalaman magang, ia merasa kemampuannya patut dipertanyakan. Namun, Chaeyeon bilang bahwa mereka butuh seseorang yang mau belajar. Bukan masalah lo tingkat berapanya,ujar Chaeyeon saat itu, Gue tahu lo punya potensi dan mau sama-sama membangun himpunan sama anak-anak. Lo bukan manusia yang masuk BE cuma demi gengsi.

Dan Yujin ingin membuktikan bahwa Chaeyeon tidak salah telah mempercayakan posisi ini padanya.

“Karena nggak efektif, Kak,” jawab Yujin, “Kalau Kakak aktif di twitter, Kakak pasti juga tahu ada akun Draft Sastra. Tanpa Salam Selasa pun, banyak kok mahasiswa yang titip salam di sana. Bahkan beberapa hari lalu juga ada yang dapat 'kan? Kak Chaewon,” Yujin menunjuk Chaewon yang duduk tak jauh darinya, “Kak Minju,” ujarnya lagi, “Sama Kak Yena,” matanya mengerling ke arah Yena, yang disambut dengan anggukan pelan oleh gadis itu.

“Tapi 'kan itu akun iseng-iseng, kita juga nggak tahu siapa adminnya,” sanggah si mahasiswa yang dibalas dengan gelengan pelan oleh Hyewon.

“Sori masuk,” ujar gadis itu, “Adminnya emang nggak mau disebut namanya, tapi aku kenal kok. Aku sama Yena kenal adminnya. Lagian masuk akal apa kata Yujin. Kita jangan bikin proker yang tabrakan gitu deh. Kalau udah ada dan mahasiswa kita terwadahi oleh Draft Sastra, ya udah.”

“Terus Humpers ngapain dong periode ini?” Seorang mahasiswi kini menimpali. Hitomi yang tengah duduk di depan menggertakkan gigi.

“Makanya orang lagi maparin proker tuh diperhatiin, bukan asyik scrolling,” gumam gadis itu pelan, yang disambut dengan seringai kecil Chaeyeon.

”'Kan ada mading, Kak,” ujar Yujin, “Kalau mau titip salam di mading juga bisa. Kita ganti seminggu sekali. Ada kolom From Who to Whom juga,” ujar gadis itu.

“Lagipula kita bakal mulai buat program Puisi Malam dan Nulis Mini tiap Sabtu dan Minggu,” ujar Yuri, “Dan itu pakai akun kabinet. Sekiranya masih mau titip salam, masih bisa 'kan, pakai itu? Ngodein gebetan pake puisi noh, biar geli sekalian,” pungkasnya yang disambut kekeh pelan beberapa mahasiswa.

“Izin masuk, Kak. Saya juga udah bikin program belajar nulis Kak,” Wonyoung akhirnya angkat suara, “Jadi, ya, di sana, kita sharing soal dunia kepenulisan. Barangkali bisa diaplikasikan di program Puisi Malam dan Nulis Mini. Nanti kami kerjasama dengan Mikat, kami akan bikin semacam penghargaan tiap bulan untuk karya terbaik. Karyanya dikirim ke mana? Ke Puisi Malam dan Nulis Mini atau ke mading.”

Dari tempat duduknya, Chaeyeon tersenyum puas.

Ia tidak salah memilih rekan kerja.

“Aku tidak ingin basa-basi,” ujar Hitomi saat ia memasuki private room di restoran tempat Minju mengajaknya bertemu. Minju yang tengah sibuk menatap layar ponselnya lantas mendongak. “Duduk, Hitomi. Tidak bisakah kau santai sedikit?”

“Aku tetap pada pendirianku untuk membatalkan perjodohan ini,” ia berujar, sama sekali tak bergerak dari tempatnya berdiri, membuat Minju menaikkan sebelah alis, “Aku tidak akan bicara denganmu sampai kau duduk.”

Hitomi mendengus, namun akhirnya menarik kursi di hadapannya. “Bagian mana dari pernyataanku yang tidak kau mengerti?”

“Hitomi,” Minju meletakkan ponselnya di sudut meja, “Kau tahu benar kenapa ini semua harus tetap terlaksana.”

“Soal dana? Aku sudah berkali-kali menjelaskannya padamu, Minju, aku bersedia—”

“Citra keluargaku,” Minju berkata, “Kau tahu ada desas-desus mengenai status hubungan kita sebab beberapa kali kita menghadiri acara bersama, bukan? Lalu bagaimana orangtua kita sangat dekat—”

“Persetan dengan gosip, Minju, aku tidak punya waktu untuk mengurusi remeh temeh seperti itu.”

“Bayangkan apa yang terjadi jika mendadak kau menggandeng orang lain bersamamu setelah beberapa kali menghadiri acara-acara resmi denganku, lalu berita soal kau yang menyuntikkan dana pribadi untuk Sealinks naik,” Minju mencondongkan tubuh, “Apa kau pikir kedua orangtua kita sanggup untuk itu?”

“Papa dan Mama akan mengerti,” ujar Hitomi, “Aku bahkan punya perusahaanku sendiri, Minju, aku tidak peduli lagi soal perusahaan Papa. Aku juga tak pernah sekalipun mengasosiasikan diri denganmu. Semua pesta-pesta yang kita hadiri bersama—”

“Bagaimana dengan orangtuaku?” Minju mendesah, lantas menyandarkan punggung pada sandaran kursi. Matanya menyusuri wajah perempuan yang duduk di depannya itu. Rambut panjang sewarna buah persik. Bibir tipis yang terpulas lipstik berwarna coral. Pandangan mata yang tajam. Manis dan tangguh di satu waktu. Jemari kurus Hitomi bergerak memijit pelipisnya.

“Aku tidak bohong saat berkata bahwa salah satu alasanku ingin membatalkan ini semua adalah perkataan ibumu,” Hitomi kembali menutup mulut saat pintu di belakangnya bergeser membuka, dan seorang pelayan meletakkan hidangan pembuka di depan mereka. Ia menggumamkan terima kasih dan kembali memusatkan perhatiannya pada Minju saat pintu telah kembali menutup.

“Tidakkah kau ingin mencintai Hyewon dengan terang-terangan?”

“Apa maksudmu?” Minju mengerutkan dahi.

“Aku ingin mencintai Chaewon dalam terang, Minju,” Hitomi berkata, “Ia layak mendapatkan semua perhatian yang bisa kuberi tanpa perlu sembunyi-sembunyi. Tidak pernah ada yang berada di dekatku seperti dia.”

“Aku selalu ada di dekatmu,” Minju akhirnya berkata, membuat Hitomi menatapnya tak mengerti, “Aku selalu berusaha berada di dekatmu selama ini, sampai perjodohan ini terjadi. Tidakkah kausadar apa yang telah kulakukan untukmu selama ini? Aku menyukaimu, demi rajungan busuk, aku menyukaimu dari dulu hingga saat ini, Hitomi.”

Oh, mulut sialan.

Minju menyesali perbuatannya tepat saat Hitomi menatapnya tajam, “Sudahi kebohonganmu, Minju.”

Hah, persetan.

“Apa aku terlihat bercanda?” Ia bahkan tak mengerti mengapa suaranya terdengar sengau, terdengar begitu—putus asa, “Apa kaupikir mudah untukku mengendalikan perasaanku tiap kali kau bertingkah seolah kau menyukaiku juga?”

“Kau punya Hyewon, Minju.”

“Tidak bisakah aku menyayangi dua orang sekaligus dan hanya menjalin hubungan dengan salah satunya?”

Tepat saat kalimat itu meluncur dari mulutnya, seluruh wajah dan sebagian bajunya basah. Minju tergeragap. Di depannya Hitomi berdiri dengan wajah murka. Ia bahkan bersumpah ia bisa melihat api tak kasat mata yang berkobar di belakang perempuan itu. Matanya menatap Minju nyalang—penuh amarah.

“Tutup mulutmu, brengsek,” ia mendesis, “Kau tega menyakiti perasaan sahabatku? Kau pikir hatinya terbuat dari apa? Plastik?”

“Hitomi—”

“Pada satu titik, ya, aku menyukaimu, Minju,” tangannya yang menggenggam gelas bergetar hebat, “Namun, kau lihat? Pada akhirnya, kau hanya mendekatiku karena kekayaan Papa saja. Buat apa kau mengatakan perasaanmu sekarang?” Matanya memerah, dan air mata sudah di pelupuk mata—siap bergulir di pipinya, “Aku bahkan merasa terhina pernah menyukai manusia brengsek sepertimu.

“Aku akan bertemu Papa besok. Suka atau tidak suka, aku sendiri yang akan membatalkan perjodohan ini.”

Ia melirik arloji yang melingkar manis di lengan kirinya. Pukul tujuh. Tidak mungkin perempuan itu tidak ada di apartemennya. Hitomi tahu benar jadwal perempuan itu. Ia mulai mengetuk-ngetukkan kakinya tak sabar. Terdengar suara klik pelan sebelum pintu di depannya itu mengayun terbuka.

“Oh?“Chaewon mengerjap menatap kekasihnya berdiri di depan pintu dengan wajah kusut dan blazer tersampir di lengan, “Ini bukan akhir pekan. Kenapa—”

“Kau tak akan membiarkanku masuk?” Hitomi menatapnya jengkel. Perempuan itu mundur selangkah dan membuka pintu sedikit lebih lebar, “Maaf, aku cuma agak kaget. Masuklah. Kau tampak seperti siap menerkam siapapun yang lewat di depanmu.”

Hitomi mengerang, lantas melemparkan tubuhnya ke atas sofa yang terletak di tengah ruangan. Chaewon menoleh, dahi berkerut mendapati kekasihnya yang tidak biasanya datang di hari kerja, lengkap dengan setelan kerja, dan wajah yang luar biasa kusut. Ia bergegas menuju dapur, memanaskan air dalam ketel dan menarik sekantung teh chamomile.

“Harimu buruk?”

Perempuan itu hanya menjawab dengan gumaman tak jelas. Chaewon lantas bergerak menuju sofa, kemudian berlutut, menyejajarkan pandangan mereka, “Cheesecake atau macaron?” tangannya bergerak mengelus rambut perempuan di hadapannya.

“Kau,” jawab Hitomi sambil membuka mata. Kekeh pelan lolos dari mulutnya, membuat Chaewon mendengus geli, “Aku milikmu malam ini, dan malam-malam yang akan datang.”

Hitomi mendorong tubuhnya bangkit, kedua tangannya terentang. Chaewon menghela napas, lalu duduk di sebelah perempuan itu, menariknya dalam pelukan, membiarkan perempuan itu menyandarkan tubuhnya sepenuhnya dalam dekapannya.

“Minju memaksaku untuk tetap melaksanakan perjodohan ini.”

Chaewon menunduk, menangkup pipi Hitomi, namun perempuan itu bergeming. Sebaliknya, Hitomi menyurukkan wajahnya pada dada Chaewon, menolak untuk menatap perempuan itu sama sekali.

“Aku harus bagaimana Chaewon?” Ia bisa mendengar kekasihnya berkata lirih, “Pada awalnya aku setuju karena aku merasa tak ada salahnya membantu seorang kawan lama. Lagipula, aku tahu Papa sudah sejak lama berharap aku bisa menikah dengannya. Namun bahkan setelah aku menawarkan diri untuk menyuntikkan dana secara pribadi, ia tetap kukuh untuk meneruskan perjodohan kami.”

Chaewon mendesah, “Apa ada kemungkinan—”

“Dia punya kekasih.”

“Bukan berarti dia tidak bisa menyukaimu.”

“Kau cemburu?”

“Aku takut kehilanganmu,” Chaewon mengeratkan pelukan, “Aku takut kau terbiasa dengan kehadirannya. Aku takut sandiwara yang ia jalani tak lagi jadi sandiwara. Aku takut karena ia bisa menyayangimu di dalam terang, sementara aku harus mencintaimu dalam gelap begini.”

Hitomi menggigit bibir. Ia tidak ingin melibatkan Chaewon lebih jauh dalam permainan yang ia ciptakan bersama Minju. Harusnya aku menolak dari awal. Ketel sudah berbunyi dari tadi, namun tak ada satupun yang beranjak.

“Tapi kenapa kau tiba-tiba mau membatalkan perjodohan kalian?”

Chaewon ingat saat hari itu Hitomi tiba-tiba meneleponnya, membeberkan rencananya serinci mungkin pada Chaewon. Perempuan itu tak ingin berdusta. Sebagian dari dirinya bahagia karena akhirnya, mereka tak perlu lagi berkencan secara sembunyi-sembunyi. Tapi ia tak dapat memungkiri bahwa ada bagian kecil dari dirinya yang juga keheranan dengan keputusan kekasihnya itu.

Hitomi akhirnya mendongak, menatap Chaewon yang balas memandangnya dengan kedua alis terangkat.

“Aku bicara dengan ibunya. Jujur saja—aku merasa bersalah,” kedua tangan Chaewon bergerak menangkup pipi perempuan itu. Hitomi memejam, lantas berkata, “Aku tahu mereka secara sadar menjual putri mereka pada Papa karena tak ingin jatah Minju di perusahaan berkurang. Namun, ibunya tahu Minju berkencan dengan Hyewon.”

Hitomi membuka mata. Ada keterkejutan yang tergambar di wajah kekasihnya itu, namun Chaewon tak berkata apa-apa. Hitomi menarik napas sebelum melanjutkan, “Sepertinya aktingku tak cukup meyakinkan ibunya. Kau tahu—intuisi seorang ibu. Aku tahu ia berusaha mengatakan 'Aku tahu kau tak mencintai putriku, tapi kami butuh uang. Jadi bertahanlah. Tapi jika tak sanggup, tinggalkan putri kami. Ia bahkan telah meninggalkan kekasihnya demi kau dan dia terlihat bahagia.' Entahlah, tapi rasanya hatiku berat.”

Chaewon mengangguk dan tersenyum kecil, “Apakah ibunya tak memikirkan kemungkinan bahwa Minju juga bersandiwara?”

“Minju memang hampir tak pernah bersama orangtuanya, kau tahu? Kami berteman cukup lama—aku, Minju, dan Hyewon. Aku tahu benar bagaimana Hyewon selalu ada untuk Minju. Tak ada yang mengenal Minju sebaik Hyewon. Wajar jika ibunya percaya bahwa Minju memang meninggalkan Hyewon. Lagipula, Minju adalah anak yang penurut.”

Hening. Chaewon tak tahu apa yang harus ia lakukan selain berada di samping kekasihnya. Menemaninya. Membersamainya, apapun yang terjadi.

“Kau tahu aku benci hidup dalam kepura-puraan, meskipun selama ini, itulah yang kulakukan,” tangannya bergerak menggenggam tangan Chaewon yang menangkup pipinya, “Sesak, Chaewon. Semuanya menyesakkan. Aku ingin berhenti. Aku tak ingin membohongi siapa-siapa lagi. Aku benar-benar membayangkan jika aku punya seorang putri, lalu putriku—”

Chaewon menggeleng, “Kau tidak akan jadi ibu yang seperti itu.”

“Dan aku benci hubungan yang dijalin karena materi.”

“Karena itu kau tak keberatan berkencan denganku.”

“Karena itu aku mau membatalkan semua ini.”

“Bagaimana jika publik tahu?”

Kali ini Hitomi menggeleng, “Papa tidak pernah mengumumkan perjodohan kami pada publik. Ia tak ingin melakukan sesuatu yang tak perlu. Rencananya, Papa hanya akan mengumumkan pernikahan kami saja jika semuanya sudah pasti. Permintaanku,” ujar Hitomi cepat saat Chaewon hendak membuka mulutnya, “Aku ingin memastikan karirmu juga baik-baik saja. Aku tahu kau mencintai apa yang kaulakukan, dan itulah kenapa aku mencintaimu.”

“Aku tidak layak mendapatkan ini semua, Hitomi.”

“Kau bahkan layak untuk kucintai dalam terang, Chaewon. Tolong bertahan sedikit lagi. Aku akan memastikan kita berdua bisa bergandengan tangan saat berjalan di taman dan berkencan di restoran terenak di sudut kota.”

Rentetan ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya dari buku yang ia baca. Ketukan pendek dengan jeda yang sama antar ketukan, membentuk pola irama yang khas, dan Hitomi tersenyum kecil saat pintu kamarnya membuka, menampilkan sosok Chaewon yang menyembulkan kepala dari balik pintu.

“Yang?”

Hitomi menepuk-nepuk tempat di kosong di sebelahnya, “Sini Kak,” Chaewon lantas terkekeh, menutup pintu di belakangnya, lalu menghempaskan diri di atas tempat tidur, tepat di samping gadis itu. Earphone-nya terpasang rapi di telinga, dan ponselnya tak lepas dari genggaman. Diliriknya buku yang Hitomi baca.

“Seru?”

“Cuma dua orang yang jatuh cinta, tapi ternyata...” Chaewon menatap gadis itu dengan kedua alis terangkat, “Ternyata?”

“Saudara tiri,” Hitomi berkata pelan, dan sontak ekspresi wajah Chaewon berubah masam, “Kok bisa?”

“Ayah mereka nggak tahu keberadaan anak sulungnya sampai dia nyamperin ke Paris. Keburu ketemu duluan sama anak perempuannya dari istrinya,” Hitomi mendesah, “Perasaanku diaduk-aduk rasanya Kak.”

“Lucu banget omong-omong, judulnya pakai nama musim.”

“Tetralogi empat musim Kak,” jawab Hitomi, “Mulai dari summer sampai winter, yang ini kebetulan autumn.”

“Pantas sedih,” Chaewon terkekeh, membuat Hitomi tersenyum geli. “Apa hubungannya?”

“Gugur soalnya,” Chaewon menertawakan leluconnya sendiri yang mendulang gelengan kepala dari Hitomi, “Jayus banget ih Kak Chaewon,” ujar Hitomi, “Omong-omong, tumben ke sini?”

“Kangen,” sebuah senyum tipis terlukis di wajah Chaewon, dan Hitomi mengalihkan pandangannya. Apapun asal jangan Chaewon. Sebab bagaimana bisa ia membalas tatapan gadis itu saat ia menatap dirinya seolah Hitomi adalah satu-satunya? Seolah ia ingin menyelam ke dasar matanya, mencari celah tersembunyi yang tak terjamah, berdiam di sana hingga ia tak sanggup lagi kembali ke permukaan, mencari jalan keluar?

Aku mau kita seiring sedikit lebih lama dari selamanya, kata-kata gadis itu masih terngiang di kepalanya. Mereka hanyalah dua manusia yang bertarung melawan waktu. Waktu jarang-jarang berbaik hati pada mereka seperti ini. Selalu ada alasan untuk tidak menghabiskan hari libur berdua. Selalu ada alasan untuk tidak mendengarkan suara satu sama lain, berceloteh mengenai hari mereka sebelum tidur. Selalu ada alasan untuk tidak membalas pesan dalam tempo yang singkat.

Dan mereka tak mempermasalahkan itu. Selama mereka masih milik satu sama lain, itu sudah cukup.

“Yang?”

“Hm?” Hitomi akhirnya memberanikan diri menatap wajah Chaewon. Gadis itu menatapnya lamat-lamat, dengan senyuman yang lebih manis dari gulali, lebih ringan dari permen kapas, dan Hitomi yakin ia pasti akan tersesat di dalamnya jika saja gadis itu tidak menyatukan bibir mereka.

“Cantik deh pakai kacamata,” Chaewon berujar saat ia menarik diri, tersenyum geli melihat Hitomi yang tergeragap, mengerjap, kehilangan suara. “Meskipun tiap hari juga sebenarnya cantik sih. Harusnya aku lebih sering bilang gitu ya. Maaf,” gadis itu lantas menyandarkan kepalanya di bahu Hitomi.

Tempat ternyaman, satu waktu ia pernah berujar, dan Hitomi juga diam-diam setuju, sebab bahu Chaewon juga menjadi tempat ternyaman baginya untuk bersandar. Chaewon nampak tak peduli dengan Hitomi yang telah berubah menjadi tomat hidup. Alih-alih, ia menarik lengan Hitomi agar melingkari pinggangnya, memeluknya dari samping.

“Kenapa sih suka tiba-tiba banget?” jemarinya bergerak memberi cubitan kecil di pinggang Chaewon, membuat gadis itu mengaduh, tapi tak melepaskan diri dari pelukan gadis itu. Tangannya yang bebas menautkan genggaman mereka, sementara tangannya yang lain bergerak menekan tombol putar di layar ponsel, matanya terfokus pada video yang diputar.

“Kenapa? Deg-degan ya?” Chaewon terkekeh, sementara Hitomi membenamkan wajah di helai rambut gadis itu, berusaha menyembunyikan pipinya yang merona sedari tadi. Chaewon lantas berujar, “Emang kalau aku bilang-bilang dulu, deg-degannya berkurang gitu? 'Yang, aku mau cium kamu.' Emang bikin kamu lebih tenang?”

“Udah ih, malah dibahas terus,” Hitomi akhirnya menyandarkan kepalanya pada gadis itu, membiarkan pipi beradu dengan rambut cokelat Chaewon.

“Kakak ganti parfum?” Hitomi mengalihkan pandangan pada layar ponsel Chaewon. Tampak gadis-gadis dari sebuah grup idola melenggokkan tubuh, menari mengikuti musik yang diputar.

Sesekali tangan Chaewon bergerak seolah memberi komando pada barisan musisi yang tak tampak. Kadang, dahinya berkerut, seperti berusaha mencerna keganjilan yang terdengar dari lagu yang diputar. Satu atau dua komentar akan lolos dari mulutnya. Kurang tinggi sedikit. Terlalu lambat satu ketukan. Harusnya dia pakai head voice. Namun, sesekali ia akan ikut bernyanyi, memberikan suara dua atau tiga pada melodi utama.

Hitomi tersenyum kecil.

Ia rindu mendengarkan gadis itu bernyanyi. Suaranya seperti peri pohon yang bernyanyi di tengah hutan, di depan danau sebening kaca, dengan sinar matahari keemasan sebagai lampu sorot yang menelisik lewat dedaunan. Lalu semesta ikut bernyanyi. Suaranya selalu membawa Hitomi pada masa depan yang belum terjadi; ia ingin suara itulah yang menemaninya hingga tertidur dan menyapanya tiap kali ia membuka mata di pagi hari.

“Nggak ganti, kenapa emang?”

“Habis peluk-peluk siapa nih? Kok wanginya beda?” Hitomi mencebik, namun Chaewon hanya tertawa kecil. Tangannya bergerak mengelus lengan Hitomi sekilas, “Apa sih. Orang dari pagi aku di kamar. Gara-gara ganti shampoo aja kayaknya. Kenapa? Wanginya manis banget ya? Nggak kayak wangi yang biasa?”

Hitomi mengangguk, tanpa sadar menciumi pelipis kekasihnya, “Hitomi udah gede ih, suka cium-cium,” ujaran isengnya cepat berganti gerutuan, “Yang, jangan cubit-cubit, sakit.” Hitomi tak menjawab, namun tangannya bergerak menarik earphone di telinga Chaewon, memasangnya pada telinganya sendiri, dan musik elektronik mengisi ruang pendengarannya.

“Biasanya dengerin soundtrack film musikal, kok tumben dengerin musik berisik?”

“Cantik Yang membernya, lihat,” telunjuknya mengarah pada seorang gadis dengan tubuh semampai dan wajah yang—Hitomi benci mengakuinya, tapi gadis di layar ponsel Chaewon memang cantik. Tipe yang membuatmu tersenyum hanya dengan melihat wajahnya. Kecantikan yang menguarkan aura misterius; lembut dan manis di satu waktu, tapi juga garang dan menggoda di lain waktu.

“Hmm, cantik,” hanya itu yang keluar dari mulutnya. Selama beberapa menit, telinganya mengakrabkan diri dengan musik elektronik yang juga jarang ia dengar. Menit berikutnya, gadis yang sama kembali muncul di layar, dengan pakaian yang lebih sederhana, memperkuat kesan manis di wajahnya. Alih-alih musik elektronik, ia mendengar perpaduan musik pop dengan sentuhan instrumen tradisional.

“Astaga, jantungku, cantik banget ini orang,” Chaewon berseru, matanya tak lepas dari layar ponsel, sebelah tangannya menggenggam tangan Hitomi. “Bisa-bisanya,” Chaewon menggeleng, “Udah lama nggak lihat stage seemosional ini. Padahal cuma lewat gerak,” ia bergumam.

Hitomi mendengus. Ia tahu jelas Chaewon sering pergi melihat pentas tari dari yang diselenggarakan departemen seni tari. Hitomi beberapa kali menemaninya nonton—takut hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Seperti, manusia yang mengaku mantan kekasih Chaewon muncul lagi di hadapannya.

“Astaga, Yang, pernah nggak sih kamu lihat orang secantik ini? Tipe-tipe cantik mahal, udah gitu, astaga, ekpresinya di panggung itu lho,” Chaewon berkata, tangannya sibuk mencari video lain, dan tanpa sadar, Hitomi merengut.

“Cantik banget ya?”

“Banget, betah deh lihatnya,” Chaewon masih fokus mencari video mana yang ingin ia putar, “Gila, cakepnya nggak manusiawi, Yang. Ada gitu ya manusia secakep itu astaga.”

Matanya membulat saat jemari Chaewon menekan salah satu video—Hitomi mengenali wajah gadis di layar ponsel Chaewon. Masih gadis yang tadi. Namun, penampilannya jauh berbeda dengan dua penampilan sebelumnya. Jika di video sebelumnya Hitomi merasa gadis itu seperti titisan bidadari yang turun dari kahyangan, kali ini Hitomi melihat seorang anggota grup idola—

“WEEY ANJRIT KOREOGRAFINYA,” Hitomi terlonjak saat kekasihnya tiba-tiba berteriak, namun matanya tak lepas dari layar ponsel.

Gadis itu berubah drastis.

Mini one piece dress yang membiarkan pundaknya terekspos melekat di tubuhnya dengan sempurna, menonjolkan proposi tubuhnya yang—uh, Hitomi benci melekatkan kata sempurna dengan gadis itu. Rambut cokelatnya yang berombak tergerai. Senyum miring yang tersungging beberapa kali saat kamera menyorot wajahnya membuat gadis itu tampak—menggoda, membuat hatimu jatuh dalam musik, gerak, dan tatapannya.

Seperti menatap Medusa.

Hitomi melirik Chaewon yang masih terpaku menatap layar ponselnya. Diam-diam ia mendengus. Tepat saat lagu akan memasuki bagian reff, Hitomi terbelalak menatap koreografi yang ditunjukkan, dengan kamera berfokus pada si gadis yang Chaewon sebut cantik. Sontak tangannya bergerak menutup mata Chaewon.

“Yang? Apa sih?” Tangannya yang bebas berusaha menurunkan tangan Hitomi yang menghalangi pandangannya, namun gadis itu bersikeras menahan tangannya disana, “Yang? Masa aku nonton tangan kamu doang?”

Hitomi mengembuskan napas kasar, melepaskan pelukannya pada Chaewon, lantas berbaring memunggungi gadis itu. Chaewon mengerjap, bingung mendapati perubahan drastis pada sikap kekasihnya. Ia lantas meletakkan ponselnya di nakas, menarik earphone dan bergerak mendekati gadis itu.

“Yang? Kok marah?”

“Nggak,” Hitomi bergerak meraih boneka di ujung tempat tidur, membenamkan wajahnya di sana. Ia bisa mendengar Chaewon menghela napas, dan perlahan, lengan gadis itu melingkari pinggangnya. Dirasanya tempat tidurnya melesak, pertanda gadis itu membaringkan tubuh di belakangnya.

“Bohong banget Hitoma. Marah itu,” sebelah tangannya menyusup ke bawah bantal, membawa tubuh gadis itu menyamping menghadapnya, membiarkan Hitomi mengistirahatkan kepala di lengannya, membawanya ke dalam pelukan.

Hitomi bersikeras menyembunyikan wajah di balik boneka beruang miliknya, “Bohong nih, nggak suka,” tangannya yang bebas bergerak melepas boneka di genggaman. Tawanya pecah melihat Hitomi yang mencebik di balik boneka, dengan dahi berkerut dan alis bertaut, “Apa sih? Kok tiba-tiba marah?”

“Pikir aja sendiri,” gadis itu berusaha merebut kembali boneka dalam genggaman Chaewon, namun gadis itu cepat menjauhkan tangannya, mengacungkan bonekanya tinggi-tinggi.

“Balikin ih!” Hitomi merengut, tangannya menggapai-gapai boneka yang teracung, “Kak Chaeee, balikiiin,” gadis itu mendorong tubuhnya bangkit, namun cepat Chaewon menarik tubuhnya, hingga mau tak mau, Hitomi berbaring di atas gadis itu, kedua kaki terbuka lebar, mengapit tubuh Chaewon di bawahnya.

Mata mereka beradu, lantas ia tercekat. Terlalu dekat. Hitomi membuang pandangannya ke samping, berusaha melepaskan diri dari kedua lengan Chaewon yang menahannya.

“Kak...”

“Hmm?”

“Posisinya...”

“Kenapa posisinya?” Hitomi tahu Chaewon sedang tersenyum menggodanya. Posisi mereka sama sekali tak membantu. Dirinya. Di atas Chaewon. Dan—

“Nanti disangka ngapa-ngapain....”

Chaewon tergelak, dan perlahan, pelukannya melonggar, membiarkan gadis itu membawa tubuhnya berbaring di samping Chaewon, membenamkan wajah pada bantal, “Cepet bilang, marah kenapa tadi?”

“Heboh banget sih nontonin girl group,” suaranya teredam. Chaewon mengerutkan dahi, “Hah?”

“Pakai teriak-teriak cantik segala, habis itu—bajunya! Fokus banget lagi lihatin koreografinya. Terus—”

“Ya 'kan yang cantik emang harus dilihatin Yang.”

“Ya terus harus di depan Hitomi gitu?”

Hening. Tak ada pergerakan. Hela napas pun tak terdengar. Perlahan, Hitomi mengangkat wajahnya, mengintip dengan sebelah mata, hanya untuk melihat Chaewon yang berbaring menatapnya sambil tersenyum geli.

“Kamu cemburu?”

“NGGAK.”

“Cie cemburu.”

“NGGAK IH.”

Derai tawa Chaewon memenuhi seisi ruangan, dan jika di lain waktu Hitomi selalu merindukan tawa gadis itu, maka kali ini, Hitomi benci mendengar tawa yang ditujukan padanya.

Ia bisa merasakan gadis itu mendekat, sebab bantalnya tiba-tiba melesak. Ia bergidik saat merasakan hangat embus napas Chaewon telinganya, “Cemburu juga nggak apa-apa, Sayang.” Hitomi mengerang mendengar kekeh pelan Chaewon di telinganya, namun tak urung ia bergerak masuk ke dalam peluk gadis itu, menyembunyikan wajahnya di ceruk leher gadis itu.

“Lucu banget pacarku cemburu sama member girl group,” Chaewon menepuk-nepuk punggung gadis itu pelan.

“Maaf ya Hitomi nggak bisa kayak gitu.”

“Hah?” Chaewon menjauhkan wajah, berusaha mencari mata Hitomi, namun gadis itu bersikeras menyembunyikan wajahnya, “Sayang?”

“Ya habis... Semangat banget muji cantiknya... Mana emang beneran cantik... udah gitu—” Hitomi tak mampu melanjutkan kata-katanya sebab Chaewon dengan halus memaksanya untuk menatap gadis itu. Hitomi lagi-lagi tercekat.

“Kamu cantik. Nggak ada yang bisa ngalahin cantiknya kamu di mataku. Kalau girl group yang itu muncul di depanku ya aku bakal pingsan sih,” Chaewon terkekeh, “Tapi nggak ada yang bisa ngambil hatiku kayak kamu. Lagian yang bener aja dong Yang, mana mungkin pacarku superstar. Yang ada makan hati terus. Mending makan masakan kamu aja. Perut kenyang, hati senang.”

“Si paling bisa,” Hitomi mendengus, menundukkan pandangannya, dan lagi-lagi Chaewon terkekeh. Hening kembali mengisi ruangan kecil itu. Sesekali, deru suara pendingin ruangan terdengar. Hitomi perlahan mendongak, untuk kembali mengalihkan pandangan.

“Kenapa?”

“Jangan ngelihatin kayak gitu Kak.”

“Kayak gimana?”

“Kayak Hitomi tuh satu-satunya.”

Chaewon tersenyum, dan sebuah kecup hangat mendarat di dahi gadis itu, “Kamu satu-satunya, Hitoma. Nggak ada yang lain. Boleh sih ada yang lain. Tapi ngantre. Habis kamu.”

Chaewon tergelak saat Hitomi mendaratkan cubitan-cubitan kecil di pinggangnya, namun tak urung gadis itu mengusap pinggangnya yang Hitomi yakin memerah.

“Bercanda, Sayang. Bagian ada yang lainnya. Kamu beneran satu-satunya.”

Hitomi menghela napas, lantas melepaskan diri dari pelukan Chaewon. Ia menarik Chaewon bangkit bersamanya. “Udah ah. Makan yuk Kak. Hitomi mau masak.”

Chaewon tertawa kecil, “Oke,” keduanya lantas berjalan keluar menuju dapur, dengan tangan bergandengan erat, seolah tak rela melepas, seolah jika mereka melepas, yang satu akan lebur menjadi debu, hilang dibawa angin.

“Yang?”

“Ya?”

“Kamu lucu deh kalau cemburu gitu. Aku sering-sering apa ya nonton video mereka depan kamu?”

“HEH!”

Hitomi mendongak saat rentetan ketukan di pintu menyapa telinganya, memecah keheningan di ruangannya yang lengang. “Masuk!” Perhatiannya kembali tertuju pada berkas-berkas yang harus ia periksa hari itu. Suara hak sepatu yang beradu dengan lantai yang kian lama kian kencang membuatnya mengalihkan pandangan, “Um, Nako, dengar—Minju?”

Perempuan itu menarik kursi di depan Hitomi, lantas menghempaskan dirinya di sana. Bertumpang kaki, dengan kedua tangan terlipat di depan dada, Minju menatap Hitomi datar, “Kita harus bicara.”

“Kenapa kau bisa masuk?”

Minju mengangkat bahu, “Kubilang ada urusan mendesak. Tinggal menunjukkan kartu namaku, mereka membiarkanku masuk.”

Diam-diam Hitomi berjanji untuk menegur sekretaris pribadinya itu. Tidak ada siapapun yang boleh mengganggu Honda Hitomi di jam kerja. Tidak ada pertemuan mendadak, tidak ada tamu tak diundang, tidak ada Minju di kantornya.

“Kau tahu, kau terlihat—menggoda dengan kacamata bertengger di hidungmu dan blazer berwarna mint itu,” Minju tersenyum miring. Hitomi tersenyum—manis.

“Terima kasih. Ini blazer milik Chaewon. Kau tahu, baju pasanganmu memang selalu terlihat manis jika kau yang memakainya,” seketika senyum angkuh di wajah Minju sirna.

“Perjodohan ini harus terus berlangsung, Hitomi.”

Hitomi terdiam. Perempuan itu memejamkan mata, menahan sumpah serapah yang siap meluncur kapan saja dari mulutnya. Dalam benaknya, ribuan kata berputar, bergulung, membentuk sebuah badai kecil yang siap memporak porandakan rencana yang telah disusunnya matang-matang.

“Aku tahu perkataanmu tempo hari hanya sebuah tindakan impulsif.”

“Tidak ada kata impulsif dalam kamusku, Minju,” matanya membuka, dan jemarinya bergerak melepas kacamatanya dengan kasar, melemparnya pelan ke arah meja, “Kau sendiri yang bilang. Aku, Honda Hitomi, Sang Arsitek, merancang hidup seperti mengatur strategi perang. Tidak ada yang tak terencana dalam hidupku.”

“Perjodohan kita tak terencana.”

“Tapi bukan berarti tak pernah terbayangkan.”

“Kau pernah membayangkan hidup bersamaku?”

“Seluruh hidupku hanya untuk Chaewon,” Hitomi mendesis, “Aku pernah membayangkan skenario ini terjadi—kau dan aku yang tiba-tiba terjebak dalam perjodohan bodoh. Semua sudah ada dalam rencanaku. Termasuk bagaimana membatalkan perjodohan ini jika sewaktu-waktu aku tak sanggup lagi melakoni sandiwara bodoh buatanmu.”

“Papa tidak akan merestui hubunganmu dengan Chaewon,” Minju tertawa meremehkan, “Dia hanya seorang penyanyi indie, Hitomi. Ayolah,” tangannya menepuk dada, dan senyum jumawa muncul di wajahnya, “Masa depanku jauh lebih terjamin daripada dia. Kita bisa menjalani hubungan yang seimbang. Kau dan aku sama-sama menghasilkan uang. Yang satu tidak perlu bekerja terlalu keras untuk yang lain.”

Hitomi menatapnya dengan pandangan menyelidik, “Kau berkata seolah-olah hubungan kita nyata.”

Minju tertawa, “Kita memang harus membuatnya nyata bukan? Aktris yang baik adalah aktris yang memainkan peran tanpa berakting sama sekali.”

“Cukup dengan semua omong kosongmu Minju,” Hitomi akhirnya meletakkan berkas yang sedari tadi ia cengkeram, “Kau tidak tahu apa-apa soal Chaewon.”

“Katakan apa yang tidak kuketahui,” ia mencondongkan tubuh ke arah Hitomi, sebelah alis terangkat, seolah menantang gadis itu untuk bertarung di stadion. Matanya menatap Hitomi nyalang, seolah berusaha menelanjangi perempuan itu. Namun, tak sedikitpun Hitomi gentar. Sebaliknya, sebuah senyum tipis perlahan terlukis di wajahnya.

“Chaewon punya agensinya sendiri.”

“Tapi ia memilih untuk berjalan tanpa agensi? Wow, bodoh.”

Hitomi mendengus, “Aku mengerti kenapa ia tidak mau masuk ke agensi yang nantinya akan jadi miliknya,” ia mengedikkan bahu, “Nama orang tuanya pasti akan memberatkan karirnya. Yah—kadang-kadang, aku juga merasa nama keluargaku memberi sekat tak kasat mata yang memisahkan Honda Hitomi si manusia yang gemar berburu roti dengan Honda Hitomi si pebisnis.”

Kali ini Minju tercenung. Ia tahu ada satu dua detail yang ia lewatkan. Ia sudah berusaha mencari segala informasi tentang Kim Chaewon, penyanyi independen yang namanya baru-baru ini naik daun. Setelah sekian lama mengunggah lagu-lagunya di sebuah platform music streaming online, ia mulai menarik perhatian publik. Selain karena parasnya yang cantik, kemampuannya menulis lirik berhasil memberikannya ruang di hati para pendengarnya. Belum lagi suaranya yang manis—Minju pernah tak sengaja mendengar lagu-lagunya.

Namun, tak ada lagi informasi yang bisa ia dapatkan. Perempuan itu sepertinya berhati-hati dalam menggunakan media sosial. Laman media sosialnya tidak pernah memuat kegiatan pribadinya. Musik, musik, dan musik. Cover ini dan itu. Potongan lagu yang ini dan itu. Tempatnya pentas. Itu saja. Tidak ada foto makanan, foto anjing, foto taman, atau sekadar wajah bangun tidurnya yang akan mendulang ribuan likes. Perempuan itu seolah tahu apa yang akan ia hadapi di masa depan—Minju.

“Ah,” Hitomi tertawa, “Benar. Tak ada yang tahu siapa orang tua Chaewon,” Hitomi mengangguk, “Tentu saja.”

Terdesak, Minju tak mampu mengeluarkan sepatah katapun. Kepercayaan dirinya beberapa waktu yang lalu mendadak sirna. Hitomi tersenyum kecil.

“Kekasihku, Kim Chaewon. Penyanyi independen. Putri dari penyanyi senior sekaligus aktris musikal Lee Ran Hee, pemilik Andante Music. Putri dari Profesor Kim Yeon Woo.”

Bulir-bulir keringat dingin mulai bermunculan di dahinya. Dia tidak mengantisipasi kemungkinan ini. Fakta yang Hitomi beberkan padanya adalah sesuatu yang sama sekali tak pernah terlintas di kepalanya. Tak pernah ia menduga bahwa Kim Chaewon memiliki hubungan darah dengan dua nama besar itu. Terutama dengan guru besar mereka—Hitomi dan dirinya pernah belajar darinya. Guru besar mereka.

“Kau tahu kenapa aku bisa membatalkan perjodohan ini kapan saja, saat aku sudah muak?”

Hitomi lantas menarik cangkir berisi kopi yang telah dingin diterpa angin pendingin ruangan yang sesekali menderu. Sambil tersenyum, ia berkata, “Aku tahu apa yang kulakukan. Aku tahu siapa yang kucintai. Kaupikir, dari mana aku bisa tahu kalau Chaewon adalah putri Professor Kim?

“Tentu saja karena beliau lah yang mengenalkan kami,” Hitomi menyeruput kopinya dengan santai. Ia lantas menatap Minju dengan ekspresi tenang, seolah-olah apa yang ia sampaikan bukanlah hal besar, “Tepat setelah kami bertemu di sebuah studio tari,” Hitomi tertawa kecil.

“Takdir memang lucu, bukan?”

“Minju, kau—hei, kau baik-baik saja?”

Hyewon harus berterima kasih pada dirinya sendiri. Rutin berolahraga membuatnya mampu tetap berdiri tegak saat Minju tiba-tiba mengalungkan tangannya, menyurukkan wajahnya ke ceruk leher perempuan itu. Ia menutup pintu pelan, kemudian menggiring Minju untuk duduk di sofa ruang tengah. Minju masih tak mau melepas pelukan, dan wajahnya masih tetap tersembunyi di ceruk lehernya. Hyewon mendesah.

“Kau sudah janji akan selalu berterus terang padaku.”

“Hitomi ingin membatalkan perjodohan kami,” gadis itu berkata dengan semua teredam. Hyewon terenyak.

Ia tidak bisa memungkiri, ada sebagian dari dirinya yang merasa lega mendengar kabar itu. Seperti terang yang muncul di ruangan yang telah lama gelap gulita.

Namun, melihat Minju yang begini, ia tak bisa bergembira. Perusahaan keluarganya. Hyewon tahu benar situasi yang membuat mereka terpaksa hidup dalam bayangan. Lantas ia berkata, “Aku tahu Hitomi pasti menawarkan sesuatu padamu.”

“Modal,” ia mendadak duduk tegak saat Hyewon menangkup wajahnya dengan kedua tangan, menatapnya dengan sorot mata bertanya, “Ia bersedia memberikan suntikan dana segar untuk perusahaan Papa.”

Dan kau masih memilih untuk mempertahankan sandiwaramu dengannya?

Dalam diamnya, Hyewon tertawa getir. Ia takkan meragukan perasaan Minju untuknya. Demi nama baiknya sendiri, ia tahu perempuan itu sungguh-sungguh menyayanginya. Telah lama mereka berbagi suka dan duka. Mendaki bukit, menuruni lembah, mengarungi badai, menerjang ombak; semua mereka lewati bersama. Jika itu bukan sayang, Hyewon tak tahu lagi bagaimana mendefinisikan sayang.

Namun, ia juga tahu bahwa ada satu sudut hati Minju yang takkan pernah bisa ia sentuh, sekeras apapun ia berusaha meraihnya.

Hitomi ada di sana, tanpa pernah Minju sadari.

Dan kini, Minju jatuh di dua hati.


“Ini pukul enam pagi, demi janggut Merlin!”

Hitomi membuka pintu apartemennya dengan satu sentakan setelah rentetan ketukan di pintu terdengar selama lima menit tanpa henti. Diawali tempo yang lambat dan volume yang juga pelan, kemudian berubah cepat serupa suara tembakan senapan mesin; terburu-buru, mendesak—memaksa. Di hadapannya Minju berdiri dengan raut wajah kacau, penampilannya berantakan.

Minju menatap Hitomi dari atas hingga bawah. Perempuan itu mengenakan kaus longgar yang jatuh tepat di atas lutut. Rambutnya berantakan, dan ia bisa melihat dadanya yang naik turun, seolah ia kehabisan napas. Ada tanda kemerahan di lehernya—

“Kau membawa perempuan itu kemari?!” ia berkata sengit, “Kau sudah gila?!”

“Pergi.”

Tangan Minju terulur menahan pintu, “Perjodohan ini tidak boleh batal.”

“Aku sudah berjanji akan menyuntikkan dana secara pribadi untuk Sealinks, Minju,” Hitomi menggertakkan gigi, berkata di sela amarah yang perlahan naik hingga ke ubun-ubun, “Kau bisa bernapas lega sekarang—”

“Hitoma?”

Tatapan mereka lantas mengarah pada gadis berambut cokelat yang berdiri di ambang pintu kamarnya, mengenakan sweater berwarna cokelat yang menutupi sebagian celana pendek yang ia kenakan. Hitomi menghela napas.

“Sayang—” namun perempuan itu menggeleng dan tersenyum. “Selesaikan dulu urusanmu. Aku bisa menunggumu di kamar,” ia kembali masuk dan menutup pintu. Hitomi mengembuskan napas dan mengisyaratkan Minju untuk mengikutinya ke dapur. Mereka lantas duduk berhadapan di meja tinggi tempat ia biasa menghabiskan makan malamnya sendiri—atau dengan kekasihnya, jika beruntung.

“Apa yang tidak kau mengerti dari penawaran yang kuajukan, Minju?”

“Papamu tidak akan setuju, dan ini—ini terlalu aneh!” Minju meraup wajahnya sendiri, membiarkan kedua sikutnya bertumpu di atas meja, “Kau mau menyia-nyiakan sandiwara kita selama ini? Kau tidak bisa menunggu selama tiga tahun? Aku hanya minta tiga tahun, Hitomi!”

“Kau tahu bagaimana perasaanku mendengar ibumu berkata dengan suara tak berdaya, pasrah, berharap bahwa aku mencintaimu?”

Minju mendongak, menatap Hitomi tak mengerti.

“Jika aku punya anak,” jemarinya bergerak memijat pelipis, “Aku akan sangat bahagia melihat anakku menemukan seseorang yang mampu membersamainya di saat aku tak bisa. Ia adalah darah dagingku. Kubesarkan ia dengan kasih dan sayang yang tercurah limpah untuknya. Lalu, di satu waktu, aku harus melepasnya pada seseorang yang tak mencintainya dan memintanya untuk menghabiskan waktu seumur hidup dengannya?”

“Kita tidak akan menghabiskan—”

“Justru karena kita sementara, Minju,” Minju kembali menatapnya dengan pandangan tak mengerti. Hitomi mengusak rambutnya frustasi.

“Kau pasti pernah membayangkan pernikahan impianmu,” Hitomi berkata lirih, “Aku bermimpi untuk menikah dengan seseorang yang kucintai dan mencintaiku sama besarnya. Pertama dan terakhir kalinya. Aku tidak mau menodai mimpiku. Aku tahu selama ini kita berusaha menyenangkan orangtua kita masing-masing, tapi mendengar nada suara ibumu,” Hitomi mendesah, kemudian ia menggeleng, “Aku tidak tega menipu mereka lagi.”

“Aku tidak mengerti,” Minju mengembuskan napas, jemarinya mengatup, lantas ia menyandarkan dagunya, “Kau mau membatalkan perjodohan ini hanya karena perkataan Mama?”

Hitomi menggigit bibir, membuat senyum kecut muncul di wajah Minju. Ia mendengus, menatap perempuan itu dengan pandangan sinis, kedua tangannya terlipat di depan dada, “Aku tahu kau punya rencana lain. Perkataan Mama hanya kedok.”

“Pulanglah,” Hitomi lantas berdiri dari kursinya, berjalan menuju pintu. Tangan kanannya bergerak membuka pintu, “Kita bisa bicara di hari lain.”

Merasa tak punya pilihan lain, Minju beranjak menuju pintu. Tepat sebelum Hitomi menutup pintu, ia berbalik, menatap Hitomi tepat di kedua mata, “Kita akan tetap menikah. Suka atau tidak suka. Perjodohan ini tidak boleh batal.”

“Kau sudah gila.”

“Aku baru saja datang dan kalimat pertama yang keluar dari mulutmu adalah 'aku sudah gila'? Papa akan menangis jika ia tahu apa yang kaukatakan padaku barusan,” Hitomi mendengus, tangannya sibuk memasang sabuk pengaman.

“Kalian berciuman di tempat umum,” Minju menatapnya tajam, “Bagaimana kalau—”

Ada sesuatu dalam tatapan mata Hitomi yang membuatnya terdiam. Tak tahan, Minju mengalihkan pandangan ke arah lain.

“Dengar, Kim Minju,” Hitomi mendesis, “Aku setuju dengan perjodohan ini karena permintaan Papa. Perjodohan ini batal? Aku tidak peduli. Aku tetap bisa hidup dengan nyaman. Kau yang memaksaku menerima semuanya.”

“Tapi kau tidak menolak,” Minju berkata pelan, namun Hitomi tetap bisa mendengarnya. Hitomi menghela napas, “Aku putri Papa satu-satunya. Seumur hidup, aku tumbuh menjadi gadis kesayangan Papa. Mereka memperlakukanku seperti porselen. Kaupikir aku bisa menolak? Kaupikir aku setuju karena aku menginginkan ini? Aku hanya tidak mau mengecewakan Papa. Papa sudah tua dan sakit-sakitan.”

Mereka berdua terdiam. Hitomi kembali melirik kafe kecil tempat Minju menjemputnya, tempat ia berbagi ciuman dengan Chaewon beberapa waktu lalu.

Tak ada kebohongan dalam kata-katanya. Ia memang melaksanakan semua ini semata-mata karena ia tak tega menyakiti hati papanya. Ia sungguh-sungguh ingin membeberkan hubungannya dengan seorang penyanyi independen yang namanya mulai dikenal belakangan ini. Namun, acara makan malam beberapa bulan lalu dengan papanya mengubah segalanya.

Hitomi tidak membenci Minju. Mereka bahkan berteman. Hitomi juga mengenal kekasih Minju secara pribadi. Hitomi sudah akan menolak saat itu. Namun penjelasan Minju mengenai kondisi perusahaan keluarganya dan janji papanya untuk membantu perusahaan mereka hanya jika Minju bersedia menjadi pendamping perempuan itu membuatnya berpikir ulang. Kondisi papanya yang kian hari kian mengkhawatirkan—meski tak pernah ia tunjukkan—juga membuatnya berpikir ulang. Pada akhirnya, ia dan Minju sepakat untuk menjalani sandiwara konyol ini.

Tiga tahun, Minju berkata, tiga tahun dan kita bebas dari skenario konyol ini. Aku juga tidak ingin meninggalkan kekasihku begitu saja. Cuma dia yang selalu ada untukku.

“Kau sadar bukan, bahwa kau telah menjual dirimu pada Papa?”

Minju menoleh, tangan kanannya segera menyalakan mesin, dan tak lama, mereka melaju di jalanan yang lengang, meninggalkan asap dan perasaan-perasaan bersalah yang mereka harap tak perlu muncul.

“Apapun demi uang dan kehidupan nyaman untukku, Nona Muda.”


“Ah, harusnya kau beristirahat di hari Sabtu, tapi aku malah mengundangmu kemari. Kau bahkan mau repot-repot membantuku di dapur.”

Hitomi tersenyum sopan. Kau memang baru saja mengganggu waktuku dengan Chaewon, ia membatin. Namun ia menggeleng, lantas berkata, “Tidak. Aku mungkin akan menghabiskan banyak waktuku di sini juga jika aku dan Minju telah terikat—”

“Panggil Mama saja, Sayang,” perempuan itu menaruh cincangan halus bawang putih ke dalam wajan panas berisi minyak zaitun. Sesaat kemudian, aroma yang familiar menguar, dan Hitomi harus mengakui kalau dirinya memang butuh makan siang. Chaewon bukanlah sarapan yang mengenyangkan.

“Mama,” Hitomi berusaha berlagak tersipu, dan wanita di sampingnya tertawa pelan. Ia menuang sedikit air rebusan pasta, dan saat gelembung-gelembung kecil muncul, ia menuangkan pasta yang telah direbus Hitomi.

“Hitomi?”

Hitomi yang tengah sibuk menata piring menoleh, “Ya?”

Wanita itu menghela napas, “Aku minta maaf untuk perjodohan kalian yang mendadak.” Hitomi mengerjap. Tangannya yang semula bergerak aktif tiba-tiba terhenti. Wanita itu tersenyum kecil, “Kami tidak pernah tahu apakah kau punya kekasih atau tidak, atau kau mencintai seseorang barangkali. Tapi tiba-tiba kami mengusulkan sebuah perjodohan yang disetujui papamu atas nama teman lama.

“Aku tahu berat bagi Minju untuk melepas kekasihnya yang telah bersamanya selama bertahun-tahun, yang benar-benar menemaninya dari nol. Aku merasa gagal sebagai orangtua karena tak bisa membersamainya seperti kekasihnya membersamai putriku itu,” wanita itu mematikan kompor, mengisyaratkan Hitomi untuk bergeser agar ia bisa meletakkan pasta di atas piring, “Kalau kau tidak mencintai putriku—”

“Aku mengerti,” Hitomi akhirnya menemukan suaranya kembali, “Aku mengerti apa yang ingin Mama katakan,” gadis itu berujar.

“Mama tidak perlu takut. Kami berdua berusaha melakukan yang terbaik untuk kebahagiaan kami dan semua orang.”


“Ibumu tahu soal Hyewon?”

Minju yang tengah memasang sabuk pengaman menoleh. Acara makan siang sederhana itu telah usai sejak tiga puluh menit lalu. Berbeda dengan undangan makan malam dari papanya, undangan makan siang dari keluarga Minju lebih terasa seperti bertemu teman lama dan mengobrol santai di sebuah kafe. Tidak ada serbet. Tidak ada makanan pembuka. Tidak ada anggur mahal. Tidak ada musik. Hanya mereka, beberapa piring pasta serta bergalon-galon es krim.

“Mama beberapa kali memergokiku tengah berkencan dengannya.”

“Bagaimana setelah perjodohan kita terjadi?”

“Kencan kami lebih rahasia. Papa lagipula tidak pernah menyuruh orang membuntutiku. Tidak seperti papamu,” gumamnya. Sesaat kemudian deru mesin mobil terdengar, “Kau—bicara apa saja dengan Mama?”

“Minju,” Hitomi menghela napas saat Minju mulai menjalankan mobilnya, membawa mereka berdua menuju apartemen Hitomi, “Aku tidak sanggup melanjutkan perjodohan ini.”

Sekonyong-konyong perempuan itu menginjak pedal rem kencang-kencang. Jika saja bukan karena sabuk pengaman yang terpasang kencang menahan tubuh mereka, entah seberapa keras benturan yang akan terjadi.

Secepat kilat Minju menoleh, “Apa yang Mama katakan padamu tadi?”

Hitomi balas menatapnya dengan wajah muram, “Mau bagaimanapun, aku memang tidak akan bisa mencintaimu, Minju. Ingat, selama ini kita memang melakoni sebuah sandiwara yang kita sutradarai sendiri. Semua tutur dan laku yang mereka lihat tak lebih dari akting. Sialnya, kita adalah aktris terbaik yang pernah lahir di abad ini.”

Minju menghela napas. Jemarinya menyisir ke belakang rambutnya yang tergerai, “Kau tahu benar kenapa perjodohan ini harus ada, Hitomi.”

“Aku bisa bicara pada Papa,” cepat gadis itu menjawab, “Aku bisa membujuk Papa, atau mungkin aku sendiri yang akan memberikan modal—”

“Kenapa jika menyangkut hal ini, kau seperti bukan Hitomi yang kukenal? Ke mana Hitomi si arsitek yang selalu merancang hidupnya seperti mengatur strategi perang?”

Hitomi terdiam, membuang pandangannya ke arah lain. Pelan, ia berkata, “Aku ingin berhenti jadi boneka semua orang. Aku tidak peduli jika Papa mengharuskanku mengambil alih perusahaannya dan aku harus mundur dari jabatanku di perusahaan yang kubangun susah payah. Aku tidak peduli jika seumur hidup aku harus terjebak di dunia yang kubenci sekaligus jadi satu-satunya hal yang kutahu pasti.

“Tapi aku ingin membiarkan hatiku berlabuh pada dia yang dipilih olehnya. Untuk kali ini saja, aku berharap aku bisa sebebas merpati.”

Dering alarm dari jam beker yang diletakkan di atas nakas di samping tempat tidur menarik kesadarannya kembali. Separuh jiwanya masih melayang di alam mimpi. Namun setelah dering ketiga, senyap kembali mengisi kamar kecil itu.

Tubuh dalam pelukannya menggeliat, namun tak membuat pelukannya mengendur. Sebaliknya, Hitomi mengeratkan pelukannya pada gadis itu, menyembunyikan wajahnya di bahu gadis itu. Kulit ketemu kulit, tanpa sehelai benang pun yang menghalangi mereka. Selembar selimut saja yang menghalangi sapuan dingin angin malam. Hitomi tersenyum saat sebuah kecupan mendarat di puncak kepalanya.

“Ini hari Sabtu, dan kau masih memasang alarm?” Hitomi berkata. Chaewon, perempuan itu, melingkarkan tangannya yang lain di pinggang Hitomi, membuat gadis itu tenggelam dalam pelukannya.

“Kebiasaan,” jawab Chaewon dengan suara serak khas bangun tidur, “Kekasihku adalah orang yang teratur. Kebiasaannya menular padaku,” Hitomi tersenyum dan mereka kembali terdiam, menikmati Sabtu pagi yang damai. Rintik-rintik hujan membasahi jendela, dan samar, mereka bisa membaui wangi tanah basah sehabis hujan. Dinginnya pagi membuat mereka tak rela melepas satu sama lain, berusaha merapatkan peluk yang bahkan tak bisa lagi ditembus angin.

“Tidak ada sarapan pagi di rumah?”

Hitomi menggeleng, “Aku milikmu seharian ini,” jawabnya. Ia bisa mendengar kekasihnya mendesah lega. Ia tahu persis bahwa tak mudah bagi Chaewon untuk menahan diri tiap kali melihatnya bersama Minju, dan Hitomi juga meyakini hal yang sama terjadi pada Hyewon, kekasih Minju. Tentu, Minju dan dirinya hanyalah dua manusia yang sedang memainkan peran—namun bagaimanapun, selalu ada api yang terbetrik di hati mereka tiap kali melihat kedekatan Minju dan Hitomi.

“Hitomi—jangan—” Chaewon bergerak gelisah, tergeragap saat Hitomi mendaratkan ciuman-ciuman kecil di lehernya. Tangannya bergerak di balik selimut.

“Jangan?” Perlahan Hitomi memerangkap Chaewon di antara kedua lengannya, menatapnya yang terbaring pasrah di bawahnya, melempar pandangan menggoda, “Jangan apa?” ia berbisik tepat di telinga perempuan itu, tangannya bergerak makin ke bawah.

“Kau—ah, Hitomi—”

Hitomi bergerak menciumi pundak perempuan itu yang terbuka, tangan Chaewon menahannya di sana, “Jangan apa, Chaewon?”

“Hitomi—”

Ponselnya mendadak berdering, tapi ia mengabaikannya. Ciumannya merambat naik dan bibir mereka bertemu, memagut satu sama lain, membiarkan perasaan mereka mengambil alih, namun dering di ponselnya tak kunjung berhenti, dan Chaewon menarik diri.

“Kau tidak akan mau melewatkan panggilan itu, Hitomi,” Hitomi mengerang, tahu bahwa yang Chaewon katakan memang benar. Dengan gusar ia menarik diri, membaringkan tubuhnya di sebelah Chaewon yang bergerak memeluknya, membiarkan kepala Hitomi berbaring di lengannya, dan setelah menekan tombol hijau, Hitomi berkata, “Kuharap apa yang harus kausampaikan memang betul-betul mendesak sebab kau baru saja menghancurkan kencanku pagi ini.”

“Aku tidak merasa harus minta maaf karena kaulah yang harusnya minta maaf. Kau akan menghancurkan rencana kita jika kau tidak muncul di sini tiga jam lagi.”

Hitomi mengernyit, “Tidak ada sarapan atau makan siang bersama Papa hari ini, Kim Minju. Aku bebas akhir pekan ini.”

“Mama mengundangmu makan siang di sini minggu lalu, ingat?”

Hitomi mengerang, “Sial,” pelan ia mengumpat, “Aku harus ada di sana berapa jam lagi?”

“Tiga. Atau empat. Aku akan berusaha mengulur waktu. Anggap saja aku sedang murah hati memberimu waktu kencan yang jarang-jarang terjadi.”

Sambungan telepon mereka terputus, dilemparnya ponsel ke atas nakas. Chaewon mengernyit, “Hei—”

“Aku benci perjodohan bodoh ini,” Hitomi menyurukkan wajahnya ke dada perempuan itu, “Papa dan segala kekhawatirannya membuatku muak.”

“Dia bilang kita masih punya berapa jam lagi?” Chaewon mengendurkan pelukan, mendorong tubuhnya turun, dan pandangan mereka berserobok, “Tiga? Empat?” Hidung mereka beradu, satu dorongan, dan bibir mereka bertemu. Perempuan itu melarikan jemarinya ke tempat-tempat tersembunyi di balik selimut, dan Hitomi mendesah.

“Kita harus bergegas, kalau begitu.”

“Oh, kalian tak tahu betapa gembiranya aku melihat kalian duduk di depanku, dengan cincin yang melingkar di jari manis kalian, dan, oh, astaga, aku bisa mati dengan bahagia!”

Meja panjang di tengah ruangan ini hanya diisi oleh empat orang. Sinar lampu yang temaram, wangi bunga yang samar tercium dari vas yang diletakkan di sudut-sudut ruangan, dan musik jazz yang mengalun pelan dari vinyl player di sudut kanan menemani acara makan malam mereka. Piring-piring yang telah kosong segera diangkat, dan para pria dan wanita dalam balutan pakaian hitam putih datang dengan piring-piring bola cokelat berisi mousse dan sponge cake, lengkap dengan es krim vanilla dan siraman saus karamel di atasnya. Di sampingnya, Hitomi tersenyum. Bibirnya terkatup rapat.

“Jangan khawatir, Pa, aku yakin Minju bisa menjagaku dengan baik,” ia mengerling ke arah perempuan di sebelahnya, yang balas memandangnya dengan senyum yang seketika timbul saat Hitomi menggamit lengannya.

“Anda tidak perlu khawatir, Tuan Honda. Seluruh hidupku akan kudedikasikan untuk Hitomi. Aku tidak mungkin mengecewakan wanita yang sudah berhasil mencuri hatiku,” tangannya yang bebas bergerak mengusap tangan Hitomi yang masih menggamit lengannya. Pria yang ia panggil Tuan Honda itu menatap mereka dengan pandangan berkaca-kaca. Di sebelahnya, istrinya turut menatap mereka dengan haru.

“Panggil aku Papa, Minju. Tak lama lagi kau akan menjadi bagian keluarga ini juga.”

Minju menunduk, menyembunyikan senyumnya yang terbit. Di sebelahnya, Hitomi ikut tersipu.

“Baiklah, Papa.”


Minju melirik Hitomi yang menyandarkan kepalanya pada jendela mobil. Pandangannya terpaku pada jalan yang mereka lewati. Rambut blonde-nya tampak lebih terang saat berada di antara warna hitam yang mendominasi mobilnya. Minju mendengus.

“Kerja bagus, Hitomi.”

Hitomi menoleh, memandang Minju dengan tatapan bosan, “Aku terkesan dengan dialogmu. Kenapa kau tidak mengejar karir sebagai aktris saja? Aku yakin di tahun pertamamu debut, penghargaan aktris wanita pendatang baru terbaik akan dengan mudah kausabet.”

Minju kembali memfokuskan pandangannya pada jalanan di depannya. Ia menghentikan mobil mereka sesaat sebelum lampu hijau berganti merah. Tangannya mengetuk-ngetuk kemudi.

“Dan melepaskan hak warisku atas perusahaan Papa DAN beberapa persen saham di perusahaan Tuan Honda? Tidak, terima kasih. Kau boleh mengataiku matrealistis, tapi uang adalah segalanya bagiku,” Minju menyandarkan punggungnya pada sandaran jok. Ia menoleh ke arah Hitomi yang masih memberinya tatapan datar, “Untuk itulah kita sepakat untuk memainkan peran ini bukan?”

Hitomi mengedikkan bahu, “Bagaimanapun, perusahaan Papa memang akan jadi milikku. Kau yang bersikeras bahwa perjodohan ini harus terjadi. Aku melakukan pekerjaanku dengan baik, bisnis milikku juga berkembang cukup pesat. Perusahaan Papa hanyalah satu dari sekian aset yang akan kumiliki di kemudian hari.”

Minju menyeringai. Honda Hitomi dan semua perhitungan matangnya mengenai hidupnya sendiri memang sesuatu yang selalu ia kagumi sejak dulu. Perempuan itu menjalani hidupnya bagai bermain catur. Setiap langkah yang ia ambil adalah hasil pengamatan, perhitungan, dan penyusunan strategi siang dan malam. Ia bahkan tidak ragu untuk mundur sejenak, memosisikan dirinya sebagai orang luar, mengamati situasi yang ia hadapi dari luar lingkaran. Sebagai partner kerja, Hitomi adalah seideal-idealnya partner. Sebagai partner hidup?

Hitomi sama sekali tak berniat menjalin hubungan dengan Kim Minju, pewaris perusahaan perkapalan Sealinks. Minju bahkan menduga, jika bisa, Hitomi tak ingin terlibat dengan dunia bisnis yang mengelilingi perempuan itu sejak ia masih dalam buaian. Namun sama seperti Minju, hanya hal itulah yang ia ketahui dengan baik hingga ke akar-akarnya, dan mereka tak lagi punya pilihan.

Itulah kenapa Hitomi adalah partner hidup ideal bagi Minju.

Meski tak ada hati terlibat, mereka berdua sepakat untuk menjalani sandiwara ini hingga kepemilikan perusahaan berpindah ke tangan mereka. Tak masalah. Mereka hanya perlu bertahan paling tidak tiga tahun. Setelah itu, mereka bebas melakukan apapun.

“Kuantar kau ke apartemen?” Minju melirik gadis itu yang kini sibuk menatap layar ponselnya. Hitomi menggeleng. “Turunkan aku di kedai kopi satu kilometer dari sini. Kau tahu kedai kopi yang mana.”

Minju melirik spionnya ragu. Perempuan itu tanpa sadar menggigit bibir. Merasa tak mendapat jawaban, Hitomi menoleh, mendapati Minju yang diam-diam meliriknya dengan gelisah. Perempuan itu menghela napas.

“Tidak ada orang suruhan Papa selama aku bersamamu. Semuanya aman. Antarkan aku ke kedai kopi. Setelah itu, kau bebas menemui Hyewon.”

Perlahan, Minju menginjak pedal gas, berbelok saat mereka menjumpai persimpangan.

“Kau harus mengubah tempatmu bertemu dengan Chaewon dua minggu sekali, Hitomi,” gumam Minju, “Ini sudah satu bulan lebih kau menemuinya di sana. Aku tahu apartemen Chaewon memang tidak ada di area itu, dan kedai kopi itu juga jauh dari apartemenmu, tapi—”

“Kau sedang bicara dengan Honda Hitomi, Minju,” sebuah senyum miring kini tercetak di wajahnya, “A sampai Z, semua sudah terencana dengan sempurna. Aku selalu punya alternatif, jangan khawatir. Antarkan aku pada kekasihku. Sekarang.”