Dalam Cerita “Kabinet Pom Bensin”
“Hallo Won?”
“Ya, gimana Chae?” Chaewon memindahkan ponsel ke telinga kanannya, menggepitnya dengan bahu. Tanpa sadar ia meretakkan buku-buku jemari tangannya. Suara kretek-kretek terdengar, membuat gadis yang duduk di sebelahnya merengut.
“Studi banding tuh jadinya ke mana aja? Bulan Mei 'kan ya?”
“Harusnya ke kampus sebelah,” ujarnya. Tepat saat ia menggerakkan jemari tangan kanannya untuk meretakkan buku-buku jemari tangan kirinya, Hitomi meraih tangan kirinya sambil merengut.
“Jelek,” gadis itu berkata tanpa suara, sementara Chaewon hanya bisa menghela napas. Dari ujung sambungan telepon lain, ia bisa mendengar suara kendaraan berlalu lalang, “Ngana di mana ini Chae?”
“Di luar nih sama Yena, nunggu makanan jadi. Kenapa?”
“Ini kayak nggak bisa ditunda aja deh nanya stuban. Tunggu sampai kosan dulu aja padahal, buru-buru amat,” Chaewon terkekeh, membiarkan Hitomi memainkan jemari tangan kirinya. Sesekali menarik. Sesekali menggelitik. Sesekali menuliskan sesuatu di telapak tangannya, “Kenapa emang?”
“Bisa diundur nggak ya kira-kira?”
Chaewon mengerutkan dahi, “Kok tiba-tiba Chae? Kalau diundur proker lain mundur juga dong?”
“Salah deng, bukan diundur. Ditukar ke Oktober gitu. Mungkin nggak?”
Tangan kanannya yang bebas menggaruk pelipisnya yang tak gatal. Timeline yang telah buat susah payah tidak mungkin berubah begitu saja tanpa alasan, dan apapun alasan Chaeyeon, ia percaya bahwa ada hal mendesak yang harus mereka lakukan di bulan Mei.
Namun, Chaewon pun telah merencanakan program kerjanya dengan matang. Setiap program ia rancang agar tidak bertabrakan dengan program-program besar lainnya.
“Dadakan banget Chae. Masalahnya Oktober 'kan kita juga ada kaderisasi. Bakal banyak banget yang diurusin. Kenapa emang mesti dipindah?
“Kadep minta kita bikin festival bulan bahasa, Won,” Chaewon bisa mendengar Chaeyeon menggumamkan terima kasih—mungkin pesanannya sudah jadi. Tak lama, ia juga bisa mendengar napas gadis itu yang sedikit terengah, “Masalahnya bulan bahasa tuh Oktober 'kan? Ya kayak yang lo bilang, Oktober kita 'kan ada kaderisasi, Won.”
Chaewon menghela napas, “Ini gara-gara dua tahun berturut-turut nggak ada ya?”
“He eh sih kayaknya,” ia mendengar suara pintu gerbang terbuka dan gemerincing kunci yang ditarik keluar terdengar. Tak lama terdengar suara klik pelan dan pintu berdebam, diiringi suara dari kantong plastik yang sepertinya tengah dibuka oleh Chaeyeon dan Yena, “Periodenya Kak Johnny 'kan nggak ada dananya waktu itu. Periode sebelumnya nggak tahu deh lupa. Kenapa sih?”
“Ulang tahun departemen kelima puluh nggak sih? Apa ada konser gede-gedean padus jurusan?”
“Konser,” Chaewon bisa mendengar suara Yena, “Honser Hon, hu ihut han hakhu maha? (Konser Won, lu ikut 'kan waktu maba?)”
“Telen dulu Yena,” ia terkekeh, tepat saat Hitomi menyandarkan kepala di bahunya, dengan tatapan tak lepas dari ponsel, dan tangan kanan menggenggam tangan Chaewon, “Iya, konser ya. Nggak ngerti juga sih waktu itu alasan tepatnya gimana, tapi aku ditarik dan konsep kaderisasi waktu itu nggak jelas sampai maba bisa gampang ketemu komdis.”
“Skip,” Yena menimpali. Sepertinya Chaeyeon mengubah panggilan mereka menjadi loud speaker, sebab tanpa ada jeda yang berarti, Chaeyeon kembali berkata, “Nah ini gimana ceritanya kalau kita bikin acara bulan bahasa sambil kaderisasi? Mending dimajuin aja nggak sih acaranya di bulan Mei?”
“Ngana harusnya ngomongin ini sama Wonyoung nggak sih Chae? Stuban dimajuin nggak masalah, tapi kalau mundur, inget dong, kita KKN, ngurusnya repot.”
“Udah,” Chaeyeon menimpali, dengan suara sedikit tertahan sebab sepertinya gadis itu tengah mengunyah sesuatu, “KKN cetek lah Won, kalem. Beratnya di Wonyoung. Udah dua tahun ke belakang acaranya nggak ada, nggak ada yang bisa kita tanyain, Wonyoung juga maba. Kelimpungan dia.”
Chaewon mendesah. Salah satu tantangan yang ia yakin cepat atau lambat akan mereka hadapi adalah permintaan dadakan dari departemen. Ia paham bahwa selain menjadi budak proker, kadang, mereka juga akan menjadi budak departemen. Namun, ia tak menyangka bahwa yang harus menghadapi tantangan ini adalah Wonyoung si mahasiswi baru.
Chaewon menarik ponsel yang ia gepit sedari tadi, lalu menutup speaker dengan tangan kanannya, “Yang, kamu punya berkas LPJ Bulan Bahasa tiga tahun lalu nggak?”
Tanpa menoleh, Hitomi menjawab, “Kemarin sih udah minta Wonyoung buat nanya ke ketua panitianya, tapi belum dikasih kayaknya. Dia bilang ada beberapa LPJ proker insidental pendidikan lima tahun ke belakang yang file-nya belum ada di dia.”
“Woy, Won, ke mana lo?”
Chaewon menggeleng, buru-buru meletakkan ponsel di telinga kanan, “Sorry, sorry. Gimana?”
“Lo lagi sama Hitomi nggak? Biasanya kalau libur 'kan lo suka bareng dia.”
Chaewon melirik gadis di sebelahnya yang masih sibuk dengan ponselnya, “Ada nih di sebelah,” Hitomi mendongak, menatapnya dengan sebelah alis terangkat, “Mau ngomong?”
“Loud speaker buru,” Chaewon lantas menjauhkan ponsel dari telinga, meletakkanya di lantai setelah menekan tombol bersimbol speaker. Di sebelahnya Hitomi melempar pandangan bertanya, “Itu Chaeyeon mau ngomong, Cantik.”
“Duile, lemes banget mulutnya Kak Chaewon. Mau juga dong dipanggil Cantik.”
“Kak Yena ngajak berantem?” Hitomi mendengus geli yang dibalas tawa Yena yang menggema di ruangan, “Kenapa Kak?”
“Ini Hii,” tawa Yena digantikan oleh suara Chaeyeon yang terdengar lebih serius dari biasanya, “Departemen minta kita ngadain festival bulan bahasa. Panitianya dari kita. Dosen pasti bantu. Cuma 'kan tahu sendiri Oktober tuh kita masih kaderisasi banget. Paling juga masih LKM atau Mabim, Hii.”
Hitomi mengerucutkan bibir, “Ya sebenernya bisa, Kak. Tergantung konsep Kak Yena. Masalahnya, Kak Yena udah naruh nama buat komdis belum?”
“Rencananya gue mau jadiin Chaewon koor komdis, Tom.”
Hitomi tergelak, “Untung bukan pas aku maba ya dia jadi komdis.”
Di sebelahnya Chaewon mengerutkan dahi, “Emang kenapa?”
“Yakin bisa fokus kalau mabanya kayak aku?”
“FOKUS WOY FOKUUS GUE TAHU LO BERDUA LAGI DI KOSANNYA HITOMI TAPI FOKUUS.”
“Oke, oke,” ujar Hitomi setelah tawanya reda, “Tapi emang sih Kak, Wonyoung nggak bikin proker insidental sekarang, malah proker mingguan dia yang banyak. Sebenernya alasan Wonyoung masuk akal juga sih, tapi yaa tahu sendiri lah nanti pas sidang umum gimana, jadi harus dipertimbangkan lagi. Pertanyaannya, kita sanggup nggak nyiapin tiga acara sekaligus dengan waktu yang berdekatan? Kaderisasi, festival bulan bahasa, sama PPM?”
“Kaderisasi sih bener kata lo Hii, gimana konsep si Yena,” ada jeda sebelum Chaeyeon melanjutkan, “Gue lebih khawatir soal SDM. Tahu sendiri sekarang aja kita kurang orang. Apa nggak bakal tumbang ngurusin tiga acara sekaligus? Persiapan buat ketiganya makan waktu lama. Kalaupun kita open recruitment gue nggak yakin bakal bener nanti hasilnya.”
Hitomi mengembuskan napas. Jemarinya yang bebas bergerak memijat pelipisnya. Pelan Chaewon menarik kepala gadis itu, menyandarkannya pada bahunya.
Baru awal periode aja udah begini, pikir Hitomi.
“Ya udah Kak,” Hitomi akhirnya berkata, “Belum pada pulang kampung 'kan?”
Chaewon sedikit menunduk, mencari mata Hitomi, lantas mereka beradu pandang, “Mau nyuruh rapat dadakan?”
Hitomi mengangguk, “Rapat dulu deh Kak,” Hitomi kembali mencondongkan tubuhnya ke arah ponsel Chaewon, “Genting ini. Angkatan aku juga udah mutusin buat nunjuk Ninging jadi ketua PPM. Nanti kita rapat bareng kabid-kabid sama bawa Ningning. Mungkin kita harus sedikit menyesuaikan jadwal. Mempercepat persiapan juga.”
“Kamu nggak pulang?” Chaewon berbisik. Hitomi menggeleng, lantas mendongak, “Ayah ada seminar ke beberapa kota. Terus ada penelitian deh kayaknya. Bunda ikut. Rumah kosong. Mending aku di sini aja.”
“Nanti aku bilang Papa,” ujar Chaewon yang disambut oleh anggukan kecil dari Hitomi. Hitomi kemudian meraih ponsel Chaewon, “Kak Chae gimana? Kalau iya, nanti aku umumin di grup. Kita bisa rapat di sekre. Gedung PKM pasti masih buka meskipun kampus libur.”
“Kalau nggak diizinin Pak Hong?”
Chaewon melirik Hitomi kemudian berkata, “Bukan mau memanfaatkan anaknya apa gimana, tapi Wonyoung bilang kalau butuh tempat bisa pake villa maminya dia 'kan? Kemarin sempat ngobrol katanya villanya dekat kok dari sini. Anggap aja nyusun ulang timeline sekaligus mengakrabkan diri dengan sesama pengurus BE.”
“Bahasa lo,” Yena tergelak.
“Boleh deh Won,” Chaeyeon akhirnya berkata, “Kasih tahu anak-anak aja Hii. Jelasin aja situasinya. Tapi sebisa mungkin kita rapat di sekre ya. Nanti kalau ke villa dianggapnya main.”
“Oke,” setelah berbasa-basi selama hampir lima menit, Chaewon memutuskan panggilan mereka. Ia menghela napas kasar.
“Harusnya aku deh yang stress. Kok kamu yang stress sih?” Chaewon menoleh, mendapati Hitomi yang menatapnya sambil tersenyum kecil. Chaewon menggeleng.
“Banyak banget yang harus diurus, Yang. Takut keteteran kuliah, padahal lagi genting-gentingnya,” kembali Chaewon menyandarkan tubuh pada kaki tempat tidur, “Sebenernya aku juga pengen lempar urusan komdis ke Hyewon, tapi nggak mungkin. Anak-anak angkatan aku yang ngurus BE juga selain kabid nggak bakal sanggup.”
“Nggak mau dicoba dulu?” Hitomi menatap gadis itu sambil memainkan jemarinya yang ia genggam sedari tadi, “Siapa tahu mereka bisa. Kita nggak pernah tahu lho.”
Chaewon menggeleng, “Daehwi mending jadi koor pembimbing. Mark nanti di teklap. Shotaro—nggak deh,” ia mengernyit, “Itu aja yang aktif. Sisanya susah.”
“Yang perempuan?”
“Hm,” jemarinya yang bebas mengusap dagu, “Eunbin bakal masuk acara, yakin. Nakyung—dia mending ngurus uang. Yiren nanti di humas sama Yujin. Udah, Yang. Yang meyakinkan mereka doang. Sisanya susah dan udah ada bidangnya masing-masing.”
“Rumit banget ngurusin himpunan,” Hitomi bergerak merebahkan diri di pangkuan Chaewon, “Lagian kenapa sih dosen-dosen nih suka kayak tukang tahu.”
Chaewon terkekeh, sesekali mengusap pelan pipi gadis di pangkuannya, “Selamat datang di Kabinet Pom Bensin, selamat berpusing ria menyeimbangkan kehidupan meskipun work life balance hanyalah mitos.”
Hitomi mengerang, membawa tubuhnya menyamping, menyembunyikan wajah di perut Chaewon.
“Jangan tidur, Yang,” pelan sekali Chaewon berkata, “Aku harus pulang bentar lagi. Takut kemaleman, aku nyetir ini.”
“Nginep aja sih,” suara gadis itu teredam, “Kita udah libur juga.”
“Nanti Papa nyariin,” Chaewon berdalih.
“Bohong banget Papa nyariin,” Hitomi mendongak, memasang wajah cemberut, “Papa pasti tahu kamu di sini, orang tiap libur kamu pasti ke sini.”
Chaewon terkekeh pelan lantas menunduk, membiarkan gadis itu menangkup wajahnya dengan sebelah tangan—sebelum ia mengaduh, sebab gadis itu mencubit pipinya kelewat keras, “Kenapa kok aku dicubit?”
“Bilang aja pengen main game semaleman di rumah, nggak usah bilang Papa nyariin segala,” gerutu gadis itu.
“Ya udah permisi, aku mau pulang, mau main game, mau lanjut baca buku terus tidur, atau nonton semaleman,” meski enggan, Hitomi akhirnya memaksa dirinya untuk bangkit, dengan wajah yang masih saja cemberut, “Atau ya udah yuk kamu di rumah aja. Nggak bakal pulang juga 'kan.”
“Besok aja deh aku nginap di kamunya,” ucap Hitomi, “Sekalian ketemu Mama, udah lama. Sekarang kamu puas-puasin deh main game seharian,” Chaewon terkekeh lalu menarik gadis itu dalam pelukan.
“Besok mau dijemput jam berapa?”
“Jam sepuluh aja, aku beres-beres dulu,” balas Hitomi sebelum melepaskan diri dari pelukan Chaewon. Gadis itu mengangguk, mengusak rambut Hitomi sekilas sebelum akhirnya bangkit dan berjalan menuju pintu.
“Chaewon?”
“Hm?” Gadis itu berbalik, “Ada barang aku yang ketinggalan?”
Hitomi beranjak dari duduknya dan mendekat ke arah Chaewon, sedikit berjinjit, lalu mendaratkan sebuah kecupan di pipi kekasihnya, “Itu ketinggalan,” ujarnya saat menarik diri. Sebuah cengiran lebar tergurat di wajahnya, “Bye Sayang, hati-hati.”
Chaewon terkekeh lalu tanpa bicara lagi, ia pergi, meninggalkan Hitomi yang kini mengurut pelipis, sendirian di kamarnya, menahan diri untuk tidak melempar ponsel ke arah dinding saat sebuah pesan masuk dari Chaeyeon memenuhi layar ponselnya.
Kita rapat lusa ya. Pastiin anak-anak hadir semua.
“Gini amat jadi budak proker ya ampun.”