kimchaejjigae

“Anak Ayah udah cantik, wangi lagi. Mau ke mana sih pagi-pagi gini? Biasanya kalau hari Sabtu, kamu bakal peluk boneka sampai siang, baru keluar kamar, masih pakai piyama pula.”

Langkahnya terhenti saat mendengar sapaan ringan penuh canda dari ayahnya. Untung saja ia telah menjejak lantai, bukannya masih turun meniti tangga. Jika tidak—siapa yang tahu? Mungkin Hitomi akan terpeleset? Tersandung langkah kakinya sendiri, barangkali?

Ayahnya tengah duduk di sofa ruang keluarga mereka, membiarkan televisi menyala sekedar untuk mengisi keheningan. Matanya terpaku pada koran yang terbuka lebar di tangannya.

Kesibukan ayahnya sebagai pebisnis kerap kali menghalangi mereka untuk bertemu. Namun begitu, ayahnya akan selalu berusaha untuk meluangkan satu hari dalam seminggu untuk bersantai di rumah.

Tidak perlu makan di restoran mewah. Tidak perlu 24 jam bersama keluarganya di sebuah villa di area pedesaan yang jauh dari sumpeknya ibukota. Cukup ia berada di rumah, membaca koran, menunggu putri semata wayangnya turun pukul 12 untuk sarapan sekaligus makan siang, lalu bercerita tentang kegiatan sekolahnya selama sepekan.

“Mau kencan tuh Yah,” ibunya mengerling dari arah dapur sekaligus ruang makan di rumah ini. Dua mangkuk berisi sup miso yang masih mengepulkan asap diletakkan bersisian dengan mangkuk kecil berisi nasi dan sepiring ikan yang sepertinya juga dibumbui dengan miso.

Mencium baunya saja membuat liur Hitomi terbit. Bunda sengaja banget apa ya masak yang aku suka pas aku mau pergi?

“Lho?” Koran di tangan ayahnya terlipat, “Memang Hitomi punya pacar?” Ia lantas melirik ke arah dapur tempat istrinya berdiri, “Ayah baru sadar Bunda nyiapin makan cuma buat dua orang.”

“Ada tuh Yah, pacarnya,” ibunya menatap Hitomi dengan senyum menggoda yang tersungging di bibirnya, “Itu lho Yah, yang dari dulu suka dia intilin ke mana-mana, terus sekarang jadi pacarnya.”

Ayahnya mengerutkan dahi, “Yang mana Bun?”

“Itu lho Yah, kakak kelasnya Hitomi yang bikin dia—”

Kata-kata ibunya terputus saat bel pintu rumah mereka berbunyi. Hitomi menggigit bibir. Semoga tamunya Ayah, semoga tamunya Ayah, semoga—

Pandangannya berserobok dengan sang ayah yang mengedikkan bahu, “Ayah nggak terima tamu di rumah kalau hari libur, apalagi dadakan. Harus janjian dulu kalau hari libur,” pria itu lantas bangkit dari duduknya, menepuk-nepuk celana pantalon yang ia kenakan, berusaha merapikan bagian yang kusut, lantas berdeham.

“Bunda juga dari pagi santai, berarti nggak akan kedatangan tamu. Jadi pasti pacar kamu 'kan itu?” Pria itu akhirnya berkata, “Bukakan pintunya, Nak. Suruh masuk dulu. Ayah mau bicara. Kamu tunggu saja di atas, di kamarmu.”

Hitomi menggigit bibir.

Semangat, Kak Chaewon.

“Kak Minju.”

Minju mendongak, menatap lawan bicaranya yang bergerak gelisah. Laptopnya sudah lama ditutup, dan panekuk pesanannya sendiri sudah berpindah ke dalam perutnya sedari tadi. Ice choco dalam gelasnya kini sewarna air sungai saat hujan baru saja turun—esnya sudah meleleh saking lamanya ia menunggu gadis di depannya menyelesaikan tugas makalahnya.

“Ospek 'kan udah selesai,” hati-hati gadis itu berkata, “Terus udah semester 2 nih sekarang. Udah sebulan aku nyatat kegiatanku per minggu. Jam berapa aku harus bangun, berangkat ke kampus, makan berapa lama, pokoknya semua udah aku perhitungkan dan catat dengan baik.”

Minju menggigit bibir, sadar akan apa yang tersembunyi di balik perkataan Yujin. Mungkin memang sudah tidak bisa ditunda lagi, pikir Minju, Jahat juga aku kalau terus menghindar.

“Cuma satu yang belum,” gadis di depannya menghela napas. Jemarinya terjalin di pangkuan, ia lantas menundukkan pandangan, membiarkan sebagian rambutnya menutupi wajah. Minju mengernyit, “Apa yang belum, Yujin?”

Gadis itu masih tak mengangkat pandangannya, seolah sesuatu di lantai jauh lebih menarik daripada paras gadis yang duduk di hadapannya. Satu hela napas, dua hela napas—

“Kak Minju udah suka Yujin belum?”

Mereka pertama kali bertemu saat ospek universitas. Yujin, mahasiswi paling populer di angkatannya kala itu, kedapatan dibimbing oleh Minju, yang sebenarnya malas-malasan jadi panitia karena jatah liburnya harus tersita oleh rapat. Namun, karena tak ada lagi teman-temannya yang bersedia menjadi perwakilan jurusannya, ia akhirnya dengan terpaksa menjadi panitia ospek—meski ogah-ogahan.

Ponselnya mendadak jadi ramai oleh pesan mahasiswa baru bimbingannya. Ada satu nama yang kerap kali dibicarakan oleh semua panitia. Ahn Yujin. Mahasiswi dengan jutaan pengikut di laman instagram, mahasiwi bersuara emas dan berparas cantik, juga gaya berpakaian yang unik dan didukung oleh tubuhnya yang semampai.

Pertemuan pertamanya dengan Yujin sungguh lucu.

Meski populer, sesungguhnya Yujin cukup kikuk jika dihadapkan orang baru. Gadis itu hanya melempar cengiran-cengiran kaku, tertawa sesekali menanggapi lelucon Minju atau teman seangkatannya, lalu menghabiskan waktu untuk berdiam diri menyimak materi. Namun begitu, di hari kedua, Yujin sudah mulai menunjukkan pesonanya yang diyakini Minju menjadi alasan kenapa Yujin begitu populer, bahkan sebelum ia resmi tercatat sebagai mahasiswi di universitas ini.

Yujin pandai bicara dan membawa diri.

Yujin yang kikuk digantikan oleh Yujin yang kharismatik, tahu kapan harus bicara serius, tahu kapan harus masuk pada pembicaraan, tahu kapan harus menyelipkan lelucon, dan tahu kapan harus menarik temannya masuk ke dalam pembicaraan.

Dan diam-diam, Minju jatuh hati.

Namun, mengingat ia dan Yujin memilih jurusan yang berbeda, Minju sangsi bahwa setelah ini, Yujin masih akan menghubunginya setiap pagi untuk menanyakan apa-apa saja yang harus ia bawa, apa yang harus ia persiapakan sebelum ospek, bagaimana rasanya jadi mahasiswa, apakah para dosen baik hati, atau bahkan hanya sekedar menyapa selamat pagi, lalu membubuhkan semangat Kak Minju! diakhiri dengan emotikon senyum.

Namun Yujin masih menghubunginya hingga kini, mengajaknya bertemu sesekali, atau meminta bantuannya dalam tugas mata kuliah dasar umum.

Hingga satu waktu, Minju menyadari debaran aneh selalu muncul kala ia berdua saja dengan Yujin, meskipun gadis itu seringnya duduk di hadapannya dengan mata terfokus entah pada buku atau laptop.

“Deadline-nya kapan Jin?” tanya Minju satu waktu. Yujin menggaruk pelipisnya yang tak gatal, “Besok, Kak.”

Minju menghela napas, “Kenapa baru dikerjain sekarang, Ahn Yujiiin,” dengan gemas ia berkata, “Terus kenapa maksa ketemu aku kalau ada tugas? 'Kan mending kamu pulang ke kosan, kerjain tugasnya, habis itu baru ketemu aku. Lagian masih ospek juga, nggak mau nyiapin perlengkapan ospek aja sama temen-temen kamu?”

“Soalnya lebih semangat nugas kalau ada Kak Minju.”

Minju mengerjap. Jantungnya berdegup satu ketuk lebih cepat. Semakin cepat kala Yujin menyingkirkan laptopnya dan bertopang dagu menatap Minju dengan kedua matanya yang—

“Aku suka sama Kak Minju boleh?”

Gadis itu menelan ludah. Kenapa jadi begini—

“Boleh nggak Kak?” sekali lagi Yujin bertanya dengan nada sedikit memaksa—dan sedikit memelas. Minju mau tak mau teringat pada anak anjing—Yujin, di hadapannya, menatapnya dengan kedua matanya yang besar dan hampir berkaca-kaca. Tinggal ditambah bando telinga anjing, mungkin mirip.

“Boleh,” Minju kemudian mengangguk, “Boleh, Yujin.”

“Kalau Kak Minju suka aku, bisa nggak? Boleh juga nggak?”

“Aku udah nurutin permintaan Kakak. Pertama, aku udah beresin ospek,” jari telunjuknya teracung, “Kedua, aku berusaha menjadi orang yang lebih tertata. Aku bener-bener nulis jadwal harianku, Kakak boleh lihat buku agendaku nanti,” kini jari tengah dan telunjuknya teracung, “Ketiga,” jari manisnya mengikuti, “Aku udah nggak pernah ngajak Kak Minju ketemuan kalau aku banyak tugas, kecuali bener-bener mau minta tolong sama Kak Minju soal tugas.”

“Tapi hari ini kamu nugas, Jin.”

“Tugasnya fiktif, Kak, udah selesai dari kemarin. Kalau nggak gini, Kak Minju nggak mau ketemu,” tanpa sadar gadis itu merengut, dan jarinya yang teracung telah turun, kembali ke pangkuannya, “Kak Minju ngehindarin aku ya?”

“Nggak, Jin, sama sekali nggak,” ia menggeleng. Haduh, ini anak orang aku apain astaga sampai jadi begini.

“Terus?”

“Terus apa?”

“Kak Minju udah suka sama aku belum?”

Minju menunduk, membiarkan sebagian rambutnya jatuh menutupi wajah. Detik itu, Yujin sudah bersiap mematahkan hatinya sendiri. Yujin sudah bersiap untuk pulang dengan hati patah, dan berharap hujan turun agar ia bisa menangis sambil hujan-hujanan. Tipikal anak remaja penikmat drama.

“Kak, kalau—”

“Dari awal juga udah, Jin,” Minju mengangkat pandangannya dengan seulas senyum tipis, “Dari awal juga aku udah suka sama kamu.”

“CAAAR DI MANA ANJIR CEPETAN PANAAAS!”

Yuri menjauhkan ponselnya dari telinga. Setengah bersungut ia berkata, “Ape sih ah Nabuki berisik banget,” napasnya sedikit terengah. Matahari berada tepat di atas kepala, bersinar teramat terik, dan Yuri mulai menyesali keputusannya untuk mengajak Nako berkencan sekarang juga.

Berkencan.

Ia masih tak percaya bahwa ia dan gadis itu kini terikat dalam sebuah hubungan yang lebih dari sahabat amat dekat. Bestie bablas ke hati, perkataan Minju dan Yena masih terngiang di telinganya.

Bagaimana ia dan Nako berakhir menjadi kekasih satu sama lain, ia sendiri tak mengerti. Semua terjadi dengan cepat. Perasaan yang mungkin telah lama hadir tapi berusaha ia abaikan mendadak muncul ke permukaan. Perasaannya bergerilya; tanpa aba-aba, menyekapnya dalam sebuah hubungan yang tak pernah terlintas dalam kepalanya.

“YA INI PANAS YA ANJRIT AKU NUNGGU DI HALTE BUS MANA SEPI.”

“Ya sabar hih, ini udah dekat,” ketus ia berkata, “Lagian kenapa sih harus keluar siang-siang gini? Enakan di rumah, tiduran.”

“KAN KAMU YANG NGAJAK AH. EMOSI. BARU JUGA BERAPA JAM JADI PACAR.”

“Diem atau aku jorokin ke kali belakang rumah,” ujar Yuri sebelum akhirnya memutus panggilan mereka.

“Emosi banget punya pacar kayak si Nabuki,” gerutunya, “Dipikir dia aja apa ya yang kepanasan?” Tanpa sadar bibirnya mencebik.

Udah lama tuh masuk ke hatinya tuh, cengiran nakal Yena kembali berkelabat di kepalanya. Cepat ia menggeleng.

Tapi emang iya sih, batinnya, cuma bingung aja.

Kembali ia melangkah menyusuri trotoar, berharap agar siapapun dengan baik hati menyembunyikan matahari di balik awan, sebab—astaga, panas!

Dalam Cerita “Kabinet Pom Bensin”


“Yujin?”

Yujin yang tengah sibuk menarikan jemarinya di atas layar tablet menoleh.

“Eh, Kak Minju?” Kakinya yang semula ia selonjorkan kini ia lipat, “Jam kosong Kak? Tumben nggak sama kakak-kakak risol danusan?”

Please kenapa jadi terkenal banget nama group chat itu,” setengah melenguh Minju berkata. Sejurus kemudian, ia menghempaskan diri di sebelah Yujin. Tote bag yang ia sampirkan di bahu tergeletak di sampingnya.

“Rajin banget Jin nugas,” ujar Minju sambil melongokkan kepala, mencuri-curi pandang pada deretan huruf yang sedari tadi menyita perhatian Yujin, “Nggak nyangka.”

“Aku kayak orang yang berantakan dan males-malesan ya Kak?” Yujin terkekeh—namun tak lama, sebab saat ia menoleh, Minju terlalu dekat hingga samar, ia bisa mencium wangi mawar—yang ia yakini bukan benar-benat mawar, sebab aroma mawar tidak begini, aroma yang menguar terlalu—

No offense, tapi kamu kelihatannya populer dan ya, kamu tahu maksudku,” Yujin tertawa melihat Minju melempar sebuah cengiran kaku padanya.

“Kak Chaewon populer tapi nilainya bagus-bagus ah Kak.”

“Itu sih dianya aja pinter Jin,” Minju mengerucutkan bibir, “Sebenernya dia mageran, tahu. Beneran yang mageeer banget ngapa-ngapain, tapi herannya kalau pas ada urusan hima semangat.”

“Pasti karena Kak Hitomi?” Yujin menaruh laptopnya di samping. Kini perhatiannya tercurah sepenuhnya pada gadis berambut cokelat di sebelahnya itu.

“Awalnya sih iya,” Minju terkekeh, “Soalnya pas dulu backstreet, kesempatan mereka berduaan di kampus cuma kalau ada urusan hima.”

Yujin mengerjap, kedua matanya membulat, “Mereka dulu backstreet?”

Minju mengangguk, “He eh. Makanya dulu pas aku lagi naksir-naksirnya sama Kak Chaewon, aku dengan begonya cerita sama Hitomi.”

“Kok harus backstreet segala sih Kak? Emang kenapa?”

Diam-diam, Yujin berharap jika perasaan Minju pada Chaewon saat ini telah hilang. Tentu saja gadis itu sesekali masih mengungkapkan kekagumannya pada Chaewon, bersikap genit sesekali (yang langsung dihadiahi sikap sinis oleh Hitomi meski tahu Minju hanya bercanda), namun Yujin tetap saja takut.

Ah, dasar anak remaja.

“Mm,” lagi-lagi bibir Minju mengerucut, nampak memikirkan bagaimana menyusun kata-kata di kepalanya, “Apa ya,” jemarinya saling mengetuk, “Pokoknya seingetku tuh ya, Hitomi tuh nggak dibolehin pacaran sama ayahnya.”

“Lah 'kan nggak bakal ketahuan Kak?”

“Ayahnya dosen,” Minju terkekeh, “Dan beliau kenal baik sama kadep kita. Hitomi nggak mau diaduin,” tawanya berderai, dan mau tak mau, Yujin ikut tertawa. Tawa Minju menular.

“Mereka tuh beneran yang tertutup banget deh Jin soal kehidupan pribadi mereka. Bahkan sampai sekarang.”

“Iya sih,” Yujin mengangguk, “Meskipun mereka sesekali bercanda gitu di grup atau bahkan di twitter, aku nggak pernah lihat mereka pamer hubungan mereka gitu Kak.”

“Dulu bahkan aku sama geng risol tuh nggak naruh curiga tahu Jin,” Minju meraih botol minumnya dalam tote bag, menenggak isinya hingga habis, “Makanya dulu aku cuek banget cerita sama Hitomi.”

“Terus ketahuannya gimana Kak?” Entah mengapa, cerita antara Hitomi, Minju, dan Chaewon menarik perhatiannya (dan Yujin terlampau penat untuk meneruskan tugasnya—Morfologi! Susah!). Ia tahu ada sesuatu yang terjadi di antara ketiganya, sebab seluruh seniornya selalu menggoda mereka soal itu. Namun persisnya apa, Yujin tak tahu.

“Dulu tuh Yuri sekosan sama Hitomi,” Minju perlahan menutup botol minumnya, “Terus satu hari, dia tuh rencananya mau nginap di kosannya Nako. Tapiii,” wajah Minju berubah serius, “Nako waktu itu harus ke rumah tantenya, dadakan gitu, malem. Acara keluarga gitu deh. Jadi batal. Makanya Yuri pulang deh ke kosan malem-malem.”

Yujin manggut-manggut, “Terus Kak?”

“Katanya sih, pas Yuri buka pintu kosan, dia kayak denger Hitomi teriak ketahan gitu dari kamar. Tadinya mau disamperin, tapi dia curiga soalnya ada sepatu yang dia tahu bukan sepatunya Hitomi.”

“Ih Kak berasa nonton drama.”

Minju mengangguk bersemangat, “Pas mau dibuka pintunya sama Yuri, tiba-tiba dia denger Hitomi nangis sambil bilang kayak, Ya bisa nggak sih Kak Chaewon tuh bikin jarak sama Minju? Jangan mau-mau aja digenitin?

Yujin terkekeh, “Terus terus Kak?”

Minju mencebik, “Terus kata Yuri, dia denger Kak Chaewon bilang, Hitoma, 'kan kamu yang mau kita backstreet. Kalau aku nunjukin sikap risihku sama Minju, aku harus beralasan apa? Logikanya, aku jomlo, Minju jomlo. Dia genit-genit iseng. Aku juga sering banget iseng. Kalau aku tiba-tiba marah, apa pada nggak curiga?

Minju menarik napas dengan dramatis, “Terus gitu deh. Kata Yuri mereka berantem hebat sampai Yuri nggak jadi masuk kamar, takut kenapa-kenapa.”

“Tapi nggak apa-apa 'kan Kak?” Wajah khawatir Yujin memancing kekeh pelan dari Minju.

“Nggak dong, tuh sampai sekarang awet,” gadis itu berujar, “Besokannya juga mereka ngaku gitu pas ada rapat. Tapiii, kayaknya semua orang bego apa gimana ya, nggak bisa baca tanda. Hampir semua pengurus kaget kecuali Kak Chaeyeon sama Kak Yena. Mereka bilang, mereka udah curiga dari lama, soalnya Kak Chaewon yang nggak suka pakai aksesoris tiba-tiba pakai kalung.”

“Apa hubungannya Kak?” Sebelah alis Yujin terangkat.

“Kamu pernah merhatiin kalungnya Hitomi nggak sih Jin?” Minju menggerakkan tangannya ke area leher, “Dulu tuh, Hitomi kalau pakai kalung si liontinnya suka dikeluarin, bukan disembunyiin di balik baju. Masalahnya, yang ada di kalungnya tuh bukan liontin berupa batu,” suara Minju memelan, seolah ia akan menceritakan rahasia negara, “Tapi cincin.”

Yujin terkesiap, “Cincin?”

“Iya,” Minju mengangguk dengan wajah serius, “Cincin. Pas Kak Chaewon pakai kalung, dia nggak nunjukin liontinnya. Tapi satu hari, kata Kak Yena, dia nggak sengaja lihat cincin yang persis kayak yang ada di kalung Hitomi.”

“Kok bisa sih Kak? Itu cincinnya emas 'kan? Ya.... masa sih anak seumur kita gini mau beliin hadiah semahal itu buat pacar?” Yujin mengerutkan dahi. Semua juga tahu Chaewon dan Hitomi berasal dari keluarga berada, namun—ia tak yakin juga keduanya mau memberikan hadiah mahal untuk pasangan mereka meskipun keduanya lebih dari mampu membelinya.

Gaya mereka sehari-hari terlalu sederhana.

“Mereka tunangan Jin.”

“Oh—HAH APAAN,” kedua matanya membulat, dan Minju lagi-lagi tertawa.

“Lucu banget ih kamu,” andai saja Minju tak tertawa, mungkin ia akan melihat rona kemerahan di pipi Yujin saat Minju memanggilnya lucu, “Iya, tunangan mereka Jin. Dijodohin. Sebenernya tuh, alasan Hitomi nggak dibolehin pacaran ya karena dia mau dijodohin sama Kak Chaewon.

“Cuma, sebelum mereka ketemu melalui orangtua mereka, nerekanya keburu pacaran,” Minju terkekeh, “Orangtua mereka keduluan gitu deh. Belum tunangan yang beneran sih, tapi kata Hitomi akan. Mungkin nanti pas dia tingkat akhir.”

“Ajaib banget ya Kak mereka,” Yujin menggeleng, masih tak percaya dengan kisah dua seniornya itu, “Aku tuh kadang heran lihat tingkah mereka. Pacaran, tapi paling mentok aku lihat mereka gandengan atau pulang pergi bareng. Yaa sesekali paling mereka manggil sayang ke satu sama lain, tapi nggak ada mereka pamer depan umum.”

“Yuri pernah sekali kok mergokin mereka berdua gelendotan di kosan,” Minju mencibir, “Emang kayaknya mereka jadi manja tuh kalau berdua aja.”

“Tapi Kak Minju nggak apa-apa?”

“Eh?” Minju mengerjap, “Kenapa emang?”

“Ya...” Yujin menggigit bibir, “Kayaknya Kak Minju naksir banget sama Kak Chaewon.”

Minju tergelak, “Dulu sih pas pertama tahu, ada lah Jin kayak kretek kretek dikit hatiku,” ia tersenyum kecil, “Tapi makin sini, aku makin sadar kalau perasaan aku ke Kak Chaewon tuh cuma sekadar kagum,” Minju tersenyum sedikit lebih lebar.

“Aku tuh seneng lihat sosok Kak Chaewon yang receh, tapi bisa serius kalau dibutuhkan. Terus, dia juga mageran banget 'kan, tapi dia nggak pernah lalai sama tanggung jawabnya. Dulu ya, pernah kami sibuk ngurusin seminar, itu tuh mepet UAS banget waktunya. Kak Chaewon jadi anak acara tuh. Kasihan aku dulu lihat dia agak kurusan. Tapi kata Kak Chaeyeon, nilai UAS dia justru yang paling bagus seangkatan.”

Yujin manggut-manggut. Hal itu juga ia rasakan terhadap seniornya yang satu ini. Baginya, Chaewon seperti air. Bisa menyesuaikan bentuk sesuai wadahnya. Dan Yujin ingin bisa menjadi sosok yang seperti itu.

“Berarti Yujin harus sekeren Kak Chaewon dulu ya Kak biar Kak Minju bisa naksir juga?”

“E-eh?” Minju mengerjap, balas menatap juniornya itu dengan pandangan tak mengerti, “G-gimana Jin?”

“Biar Kak Minju naksir aku, apa aku harus sekeren Kak Chaewon di mata Kak Minju?”

Minju terdiam. Lama sekali mereka berdua bertatapan, mendengarkan derak kipas angin di dinding yang bisa jatuh kapan saja. Yujin sudah akan kabur saat Minju tiba-tiba tersenyum kecil. Dengan tangan terulur, bergerak mengusak rambut Yujin, dan senyum dikulum, ia berkata

“Jadi kamu juga cukup, Jin. Kamu lebih dari cukup kok. Cuma aku belum naksir. Nggak tahu sih kalau nanti. Coba jadi Yujin versi paling keren dulu ya.”

Dalam Cerita “Kabinet Pom Bensin”


“Hallo Won?”

“Ya, gimana Chae?” Chaewon memindahkan ponsel ke telinga kanannya, menggepitnya dengan bahu. Tanpa sadar ia meretakkan buku-buku jemari tangannya. Suara kretek-kretek terdengar, membuat gadis yang duduk di sebelahnya merengut.

“Studi banding tuh jadinya ke mana aja? Bulan Mei 'kan ya?”

“Harusnya ke kampus sebelah,” ujarnya. Tepat saat ia menggerakkan jemari tangan kanannya untuk meretakkan buku-buku jemari tangan kirinya, Hitomi meraih tangan kirinya sambil merengut.

“Jelek,” gadis itu berkata tanpa suara, sementara Chaewon hanya bisa menghela napas. Dari ujung sambungan telepon lain, ia bisa mendengar suara kendaraan berlalu lalang, “Ngana di mana ini Chae?”

“Di luar nih sama Yena, nunggu makanan jadi. Kenapa?”

“Ini kayak nggak bisa ditunda aja deh nanya stuban. Tunggu sampai kosan dulu aja padahal, buru-buru amat,” Chaewon terkekeh, membiarkan Hitomi memainkan jemari tangan kirinya. Sesekali menarik. Sesekali menggelitik. Sesekali menuliskan sesuatu di telapak tangannya, “Kenapa emang?”

“Bisa diundur nggak ya kira-kira?”

Chaewon mengerutkan dahi, “Kok tiba-tiba Chae? Kalau diundur proker lain mundur juga dong?”

“Salah deng, bukan diundur. Ditukar ke Oktober gitu. Mungkin nggak?”

Tangan kanannya yang bebas menggaruk pelipisnya yang tak gatal. Timeline yang telah buat susah payah tidak mungkin berubah begitu saja tanpa alasan, dan apapun alasan Chaeyeon, ia percaya bahwa ada hal mendesak yang harus mereka lakukan di bulan Mei.

Namun, Chaewon pun telah merencanakan program kerjanya dengan matang. Setiap program ia rancang agar tidak bertabrakan dengan program-program besar lainnya.

“Dadakan banget Chae. Masalahnya Oktober 'kan kita juga ada kaderisasi. Bakal banyak banget yang diurusin. Kenapa emang mesti dipindah?

“Kadep minta kita bikin festival bulan bahasa, Won,” Chaewon bisa mendengar Chaeyeon menggumamkan terima kasih—mungkin pesanannya sudah jadi. Tak lama, ia juga bisa mendengar napas gadis itu yang sedikit terengah, “Masalahnya bulan bahasa tuh Oktober 'kan? Ya kayak yang lo bilang, Oktober kita 'kan ada kaderisasi, Won.”

Chaewon menghela napas, “Ini gara-gara dua tahun berturut-turut nggak ada ya?”

“He eh sih kayaknya,” ia mendengar suara pintu gerbang terbuka dan gemerincing kunci yang ditarik keluar terdengar. Tak lama terdengar suara klik pelan dan pintu berdebam, diiringi suara dari kantong plastik yang sepertinya tengah dibuka oleh Chaeyeon dan Yena, “Periodenya Kak Johnny 'kan nggak ada dananya waktu itu. Periode sebelumnya nggak tahu deh lupa. Kenapa sih?”

“Ulang tahun departemen kelima puluh nggak sih? Apa ada konser gede-gedean padus jurusan?”

“Konser,” Chaewon bisa mendengar suara Yena, “Honser Hon, hu ihut han hakhu maha? (Konser Won, lu ikut 'kan waktu maba?)”

“Telen dulu Yena,” ia terkekeh, tepat saat Hitomi menyandarkan kepala di bahunya, dengan tatapan tak lepas dari ponsel, dan tangan kanan menggenggam tangan Chaewon, “Iya, konser ya. Nggak ngerti juga sih waktu itu alasan tepatnya gimana, tapi aku ditarik dan konsep kaderisasi waktu itu nggak jelas sampai maba bisa gampang ketemu komdis.”

“Skip,” Yena menimpali. Sepertinya Chaeyeon mengubah panggilan mereka menjadi loud speaker, sebab tanpa ada jeda yang berarti, Chaeyeon kembali berkata, “Nah ini gimana ceritanya kalau kita bikin acara bulan bahasa sambil kaderisasi? Mending dimajuin aja nggak sih acaranya di bulan Mei?”

“Ngana harusnya ngomongin ini sama Wonyoung nggak sih Chae? Stuban dimajuin nggak masalah, tapi kalau mundur, inget dong, kita KKN, ngurusnya repot.”

“Udah,” Chaeyeon menimpali, dengan suara sedikit tertahan sebab sepertinya gadis itu tengah mengunyah sesuatu, “KKN cetek lah Won, kalem. Beratnya di Wonyoung. Udah dua tahun ke belakang acaranya nggak ada, nggak ada yang bisa kita tanyain, Wonyoung juga maba. Kelimpungan dia.”

Chaewon mendesah. Salah satu tantangan yang ia yakin cepat atau lambat akan mereka hadapi adalah permintaan dadakan dari departemen. Ia paham bahwa selain menjadi budak proker, kadang, mereka juga akan menjadi budak departemen. Namun, ia tak menyangka bahwa yang harus menghadapi tantangan ini adalah Wonyoung si mahasiswi baru.

Chaewon menarik ponsel yang ia gepit sedari tadi, lalu menutup speaker dengan tangan kanannya, “Yang, kamu punya berkas LPJ Bulan Bahasa tiga tahun lalu nggak?”

Tanpa menoleh, Hitomi menjawab, “Kemarin sih udah minta Wonyoung buat nanya ke ketua panitianya, tapi belum dikasih kayaknya. Dia bilang ada beberapa LPJ proker insidental pendidikan lima tahun ke belakang yang file-nya belum ada di dia.”

“Woy, Won, ke mana lo?”

Chaewon menggeleng, buru-buru meletakkan ponsel di telinga kanan, “Sorry, sorry. Gimana?”

“Lo lagi sama Hitomi nggak? Biasanya kalau libur 'kan lo suka bareng dia.”

Chaewon melirik gadis di sebelahnya yang masih sibuk dengan ponselnya, “Ada nih di sebelah,” Hitomi mendongak, menatapnya dengan sebelah alis terangkat, “Mau ngomong?”

“Loud speaker buru,” Chaewon lantas menjauhkan ponsel dari telinga, meletakkanya di lantai setelah menekan tombol bersimbol speaker. Di sebelahnya Hitomi melempar pandangan bertanya, “Itu Chaeyeon mau ngomong, Cantik.”

“Duile, lemes banget mulutnya Kak Chaewon. Mau juga dong dipanggil Cantik.”

“Kak Yena ngajak berantem?” Hitomi mendengus geli yang dibalas tawa Yena yang menggema di ruangan, “Kenapa Kak?”

“Ini Hii,” tawa Yena digantikan oleh suara Chaeyeon yang terdengar lebih serius dari biasanya, “Departemen minta kita ngadain festival bulan bahasa. Panitianya dari kita. Dosen pasti bantu. Cuma 'kan tahu sendiri Oktober tuh kita masih kaderisasi banget. Paling juga masih LKM atau Mabim, Hii.”

Hitomi mengerucutkan bibir, “Ya sebenernya bisa, Kak. Tergantung konsep Kak Yena. Masalahnya, Kak Yena udah naruh nama buat komdis belum?”

“Rencananya gue mau jadiin Chaewon koor komdis, Tom.”

Hitomi tergelak, “Untung bukan pas aku maba ya dia jadi komdis.”

Di sebelahnya Chaewon mengerutkan dahi, “Emang kenapa?”

“Yakin bisa fokus kalau mabanya kayak aku?”

“FOKUS WOY FOKUUS GUE TAHU LO BERDUA LAGI DI KOSANNYA HITOMI TAPI FOKUUS.”

“Oke, oke,” ujar Hitomi setelah tawanya reda, “Tapi emang sih Kak, Wonyoung nggak bikin proker insidental sekarang, malah proker mingguan dia yang banyak. Sebenernya alasan Wonyoung masuk akal juga sih, tapi yaa tahu sendiri lah nanti pas sidang umum gimana, jadi harus dipertimbangkan lagi. Pertanyaannya, kita sanggup nggak nyiapin tiga acara sekaligus dengan waktu yang berdekatan? Kaderisasi, festival bulan bahasa, sama PPM?”

“Kaderisasi sih bener kata lo Hii, gimana konsep si Yena,” ada jeda sebelum Chaeyeon melanjutkan, “Gue lebih khawatir soal SDM. Tahu sendiri sekarang aja kita kurang orang. Apa nggak bakal tumbang ngurusin tiga acara sekaligus? Persiapan buat ketiganya makan waktu lama. Kalaupun kita open recruitment gue nggak yakin bakal bener nanti hasilnya.”

Hitomi mengembuskan napas. Jemarinya yang bebas bergerak memijat pelipisnya. Pelan Chaewon menarik kepala gadis itu, menyandarkannya pada bahunya.

Baru awal periode aja udah begini, pikir Hitomi.

“Ya udah Kak,” Hitomi akhirnya berkata, “Belum pada pulang kampung 'kan?”

Chaewon sedikit menunduk, mencari mata Hitomi, lantas mereka beradu pandang, “Mau nyuruh rapat dadakan?”

Hitomi mengangguk, “Rapat dulu deh Kak,” Hitomi kembali mencondongkan tubuhnya ke arah ponsel Chaewon, “Genting ini. Angkatan aku juga udah mutusin buat nunjuk Ninging jadi ketua PPM. Nanti kita rapat bareng kabid-kabid sama bawa Ningning. Mungkin kita harus sedikit menyesuaikan jadwal. Mempercepat persiapan juga.”

“Kamu nggak pulang?” Chaewon berbisik. Hitomi menggeleng, lantas mendongak, “Ayah ada seminar ke beberapa kota. Terus ada penelitian deh kayaknya. Bunda ikut. Rumah kosong. Mending aku di sini aja.”

“Nanti aku bilang Papa,” ujar Chaewon yang disambut oleh anggukan kecil dari Hitomi. Hitomi kemudian meraih ponsel Chaewon, “Kak Chae gimana? Kalau iya, nanti aku umumin di grup. Kita bisa rapat di sekre. Gedung PKM pasti masih buka meskipun kampus libur.”

“Kalau nggak diizinin Pak Hong?”

Chaewon melirik Hitomi kemudian berkata, “Bukan mau memanfaatkan anaknya apa gimana, tapi Wonyoung bilang kalau butuh tempat bisa pake villa maminya dia 'kan? Kemarin sempat ngobrol katanya villanya dekat kok dari sini. Anggap aja nyusun ulang timeline sekaligus mengakrabkan diri dengan sesama pengurus BE.”

“Bahasa lo,” Yena tergelak.

“Boleh deh Won,” Chaeyeon akhirnya berkata, “Kasih tahu anak-anak aja Hii. Jelasin aja situasinya. Tapi sebisa mungkin kita rapat di sekre ya. Nanti kalau ke villa dianggapnya main.”

“Oke,” setelah berbasa-basi selama hampir lima menit, Chaewon memutuskan panggilan mereka. Ia menghela napas kasar.

“Harusnya aku deh yang stress. Kok kamu yang stress sih?” Chaewon menoleh, mendapati Hitomi yang menatapnya sambil tersenyum kecil. Chaewon menggeleng.

“Banyak banget yang harus diurus, Yang. Takut keteteran kuliah, padahal lagi genting-gentingnya,” kembali Chaewon menyandarkan tubuh pada kaki tempat tidur, “Sebenernya aku juga pengen lempar urusan komdis ke Hyewon, tapi nggak mungkin. Anak-anak angkatan aku yang ngurus BE juga selain kabid nggak bakal sanggup.”

“Nggak mau dicoba dulu?” Hitomi menatap gadis itu sambil memainkan jemarinya yang ia genggam sedari tadi, “Siapa tahu mereka bisa. Kita nggak pernah tahu lho.”

Chaewon menggeleng, “Daehwi mending jadi koor pembimbing. Mark nanti di teklap. Shotaro—nggak deh,” ia mengernyit, “Itu aja yang aktif. Sisanya susah.”

“Yang perempuan?”

“Hm,” jemarinya yang bebas mengusap dagu, “Eunbin bakal masuk acara, yakin. Nakyung—dia mending ngurus uang. Yiren nanti di humas sama Yujin. Udah, Yang. Yang meyakinkan mereka doang. Sisanya susah dan udah ada bidangnya masing-masing.”

“Rumit banget ngurusin himpunan,” Hitomi bergerak merebahkan diri di pangkuan Chaewon, “Lagian kenapa sih dosen-dosen nih suka kayak tukang tahu.”

Chaewon terkekeh, sesekali mengusap pelan pipi gadis di pangkuannya, “Selamat datang di Kabinet Pom Bensin, selamat berpusing ria menyeimbangkan kehidupan meskipun work life balance hanyalah mitos.”

Hitomi mengerang, membawa tubuhnya menyamping, menyembunyikan wajah di perut Chaewon.

“Jangan tidur, Yang,” pelan sekali Chaewon berkata, “Aku harus pulang bentar lagi. Takut kemaleman, aku nyetir ini.”

“Nginep aja sih,” suara gadis itu teredam, “Kita udah libur juga.”

“Nanti Papa nyariin,” Chaewon berdalih.

“Bohong banget Papa nyariin,” Hitomi mendongak, memasang wajah cemberut, “Papa pasti tahu kamu di sini, orang tiap libur kamu pasti ke sini.”

Chaewon terkekeh pelan lantas menunduk, membiarkan gadis itu menangkup wajahnya dengan sebelah tangan—sebelum ia mengaduh, sebab gadis itu mencubit pipinya kelewat keras, “Kenapa kok aku dicubit?”

“Bilang aja pengen main game semaleman di rumah, nggak usah bilang Papa nyariin segala,” gerutu gadis itu.

“Ya udah permisi, aku mau pulang, mau main game, mau lanjut baca buku terus tidur, atau nonton semaleman,” meski enggan, Hitomi akhirnya memaksa dirinya untuk bangkit, dengan wajah yang masih saja cemberut, “Atau ya udah yuk kamu di rumah aja. Nggak bakal pulang juga 'kan.”

“Besok aja deh aku nginap di kamunya,” ucap Hitomi, “Sekalian ketemu Mama, udah lama. Sekarang kamu puas-puasin deh main game seharian,” Chaewon terkekeh lalu menarik gadis itu dalam pelukan.

“Besok mau dijemput jam berapa?”

“Jam sepuluh aja, aku beres-beres dulu,” balas Hitomi sebelum melepaskan diri dari pelukan Chaewon. Gadis itu mengangguk, mengusak rambut Hitomi sekilas sebelum akhirnya bangkit dan berjalan menuju pintu.

“Chaewon?”

“Hm?” Gadis itu berbalik, “Ada barang aku yang ketinggalan?”

Hitomi beranjak dari duduknya dan mendekat ke arah Chaewon, sedikit berjinjit, lalu mendaratkan sebuah kecupan di pipi kekasihnya, “Itu ketinggalan,” ujarnya saat menarik diri. Sebuah cengiran lebar tergurat di wajahnya, “Bye Sayang, hati-hati.”

Chaewon terkekeh lalu tanpa bicara lagi, ia pergi, meninggalkan Hitomi yang kini mengurut pelipis, sendirian di kamarnya, menahan diri untuk tidak melempar ponsel ke arah dinding saat sebuah pesan masuk dari Chaeyeon memenuhi layar ponselnya.

Kita rapat lusa ya. Pastiin anak-anak hadir semua.

“Gini amat jadi budak proker ya ampun.”

Dalam cerita “Kabinet Pom Bensin”


Suara langkah kaki yang mendekat membuat gadis itu mendongak, begitupun gadis yang sedari tadi duduk di sebelahnya. Dengan wajah masam, gadis itu menyambut kedatangan manusia yang ia tunggu-tunggu sedari tadi.

“Duduk dulu, Joon.”

Laki-laki yang ia panggil Joon itu akhirnya menarik kursi di depan mereka. Sengaja Chaeyeon meminta laki-laki itu untuk bertemu dengannya di pelataran kampus sore hari, sebab kampus hanya akan sesepi perpustakaan di sore hari. Di sebelahnya, Yena menatap laki-laki itu dari atas sampai bawah—sejauh yang ia bisa, sebab ada meja yang menghalangi mereka.

Sebenarnya, sore bukanlah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan waktu mereka bertemu. Matahari sudah tergelincir di ufuk barat sedari tadi, dan bayang-bayang pohon yang menaungi mereka tak lagi memanjang—hilang ditelan tirai malam yang diturunkan Bumi.

Yena sudah memaksa Chaeyeon untuk pulang sedari tadi. Laki-laki yang kini duduk di depan mereka ini bahkan tidak mau repot-repot mengabari bahwa ia akan datang terlambat. Gedung fakultas mereka telah sepi, dan para mahasiswa lain sudah meninggalkan bangku-bangku batu yang biasanya ramai dihuni mahasiswa untuk bergosip.

“Gue udah minta maaf, Chaeyeon,” laki-laki itu berkata dengan wajah merengut, “Lo kenapa masih minta ketemu gue?”

Tweet lo emang udah dihapus dan lo udah minta maaf ke gue,” Chaeyeon menggertakkan gigi, “Tapi gue nggak butuh permintaan maaf lo sebenernya. Lo harusnya minta maaf sama Yujin.”

“Perkara draft gue aja bisa ribut gini lah anjing, kenapa sih lo berdua?” Laki-laki itu melemparkan kunci sepeda motornya ke atas meja batu, balik menatap dua gadis di depannya dengan sengit, “Daripada ngurusin gue, lo berdua bisa ngedidik kabid lo yang masih ijo itu.”

“Eh bunga bangke,” Yena akhirnya angkat bicara, “Berasa pinter lu ngomong begitu? Yang lu lakuin kemarin ke Yujin tuh praktik cyber bullying ya anjing.”

“Yen,” Chaeyeon menatapnya dengan pandangan tak setuju.

“Gue nggak sebut nama ya bangsat,” Hajoon menggertakkan gigi, “Tweet gue tuh isinya kritik. Kok lo semua nggak terima kritik sih?” Hajoon, laki-laki itu, balas berkata sengit, “Lo semua petinggi himpunan, pucuk pimpinan himpunan mestinya ngerti kalau yang gue lakukan adalah praktik berdemokrasi.”

Democrazy kali maksud lu,” Yena menggeram, “Ya lu pikir aja lah anjing. Kritik sama ngatain orang tuh beda jauh. Ada bahasa lu santun? Ada gitu orang mengkritik anonim? Pernah emang Chaeyeon nggak mempertimbangkan pendapat kalian?”

“Lah sekarang?” laki-laki itu menunjuk meja dengan kedua tangan menengadah, “Lo berdua sekarang lagi nggak dengerin kritik gue. Si Yujin tuh masih ijo. Tahu apa sih dia? Habis gitu, dia ngilangin program yang menarik perhatian anak-anak. Partisipasi mereka paling besar di sana.”

Lampu-lampu di pelataran kampus telah menyala, seiring dengan naiknya bintang-bintang ke angkasa. Chaeyeon sebenarnya tidak ingin memperpanjang masalah ini. Tapi ia merasa tidak sepatutnya orang yang ia pilih dengan pertimbangan panjang, diskusi alot bersama para seniornya, dan hasil pengamatannya sendiri diremehkan orang lain.

Apalagi, orang itu sama sekali tidak membantu Chaeyeon di kepengurusan periode ini.

“Joon,” cepat Chaeyeon memotong, “Lo kalau mengkritik pilihan gue, ada tempatnya,” pandangannya yang semula datar berubah drastis—ada gejolak kecil di matanya, “Lo sendiri ke mana waktu gue koar-koar buat open recruitement pengurus BE?”

“Ya gue sibuk Chaey, makanya nggak bisa ikut hima.”

“Gue juga sibuk,” Chaeyeon mendecih, “Lo nggak ada partisipasinya, tapi lo dengan mudah bilang pilihan gue salah?” jemarinya bergerak menyisir rambutnya ke belakang, “Lo juga nggak ada tuh pas raker. Malah sibuk update foto di instagram.

“Lo kalau cuma mau ngatain gue, sekarang aja Joon, jangan berlindung di balik kata kritik. Program yang gue sama Yujin hapus juga udah nggak relevan sama keadaan sekarang. Yujin mungkin masih ijo, tapi gue nggak dikasih dukungan sama mereka-mereka yang udah keren banget ngurusin hima kayak lo. Gue nggak punya kesempatan buat milih orang-orang yang lebih keren dari Yujin di kabinet gue, lo misalnya, buat jadi kabid.”

“Lo kok nyudutin gue sih anjing? Playing victim gini lah?”

“Gue nggak lagi membela diri,” Chaeyeon mendesah, “Kalau gue salah, gue bakal ngaku salah. Gue siap menghadapi konsekuensinya. Kalau ada apa-apa sama kepengurusan kali ini, gue sendiri yang bakal pasang badan. Tapi lo jangan ngatain kabinet gue,” di bawah meja, tangannya mengepal, “Jangan ngatain orang-orang yang dengan sukarela mencurahkan pikiran dan tenaganya buat bantuin gue.”

“Ya sama aja anjing, lo—”

Sebuah tepukan ringan di pundak laki-laki itu membuatnya terhenti. Ia menoleh, dan air mukanya berubah—matanya membulat saat menyadari siapa yang baru saja memotong perkataannya.

“B-bang.”

“Untung gue datang ya Chaey,” Johnny tersenyum kecil, “Ini ternyata oknumnya?”

“Bang, gue cuma ngasih kritik, gue—”

“Lo periode gue aja ilang-ilangan Joon,” Johnny tertawa—dan jelas tawanya bukanlah sesuatu yang ingin mereka dengar. Sebab tawanya kali ini bukanlah tawa yang menyenangkan—tawa meremehkan, “Lo gimana ceritanya deh mau mengkritik tapi nggak nyemplung di hima?”

Wajah laki-laki itu memerah. Ada segan yang menghalanginya untuk membalas perkataan laki-laki itu. Seo Johnny, mantan ketua himpunan mereka periode lalu, memang dikenal sebagai sosok yang jarang bicara dan tidak pernah mau ikut campur urusan orang lain. Namun, di periodenya lah himpunan mereka sedikit demi sedikit berubah ke arah yang lebih baik.

Seperti, tidak ada perploncoan dalam proses kaderisasi. Meskipun mereka mempertahankan konsep komdis, Johnny sendiri yang memastikan bahwa teriakan mereka benar-benar beralasan; tidak ada hinaan fisik, cemoohan tak perlu, dan tak ada kekerasan fisik.

Dan Chaeyeon diam-diam mengagumi sosoknya.

Bahkan, ia seringkali berdiskusi dengan laki-laki itu mengenai keputusan-keputusan yang hendak ia ambil. Ia tak ingin salah langkah. Ia tak ingin meruntuhkan kerja keras Johnny dan senior-seniornya yang lain hanya karena keputusan gegabah yang ia buat.

“Keputusan Chaeyeon mungkin bukan yang paling benar,” Johnny menarik kursi di sebelah laki-laki itu, lantas mengempaskan dirinya di atas kursi. Sebelah tangannya menyangga dagu, dengan kepala miring menatap Hajoon yang duduk di sebelahnya, “Tapi itu keputusan terbaik yang bisa dia bikin, termasuk menghilangkan sistem magang karena SDM nya kurang dan kita nggak punya banyak waktu untuk itu.”

“Bang, dia bisa minta bantuan anak-anak—”

“Yang dengan tegas ditolak sama temen-temen lu,” cibir Yena, “Lu pikir gue sudi sujud-sujud sama lu semua supaya masuk hima hah? Ada anak-anak baru sama angkatan bawah kita, mereka semua lebih baik daripada lu sama temen-temen lu, ngapain gue buang-buang waktu buat ngejar orang kayak lu? Gue terjun di hima kagak dibayar, malah keluar duit. Cukup duit gue aja yang acak-acakan karena hima, perasaan gue nggak usah.”

Quote retweet di draft yang lo kirim banyaknya gaib,” Chaeyeon kembali buka suara, “Gue nggak tahu apa yang mereka omongin, tapi gue yakin sama kayak lo, mereka cuma pengen ngatain gue aja dengan ngangkat isu soal maba yang jadi kabid.”

“Bangsat lo semua, mainnya keroyokan,” laki-laki itu tiba-tiba berdiri dari kursinya, meraih jaket dan kunci motor yang tergeletak di atas meja, lalu berjalan menjauh. Yena menatapnya dengan mulut menganga, sejurus kemudian—

“EH BANGSAT—”

“Yen,” tegur Chaeyeon, “Biarin aja. Dia masih utang makalah sosio sama sastra bandingan,” Chaeyeon terkekeh, “Dia sekelompok sama gue. Tinggal gue hapus namanya, kelar.”

“Sadis juga Lee Chaeyeon,” Johnny terkekeh, “Tapi baguslah lo berdua ngajak dia ngobrol di jam sepi gini. Kalau ngasih tahu orang gini ya. Jangan depan umum. Nanti dianya malu dan nggak mau berubah.”

“Ya dia mah mau depan umum apa pribadi gini juga nggak ngaruh Bang,” gerutu Yena, “Sama-sama bangsat.”

Tawa Johnny pecah mendengar perkataan Yena, “Yen, gue baru tahu mulut lo lemes banget—”

Percakapan dua manusia itu terus berlanjut, namun Chaeyeon tak terlalu menanggapi—bahkan gadis itu tak terlalu menyimak apa yang dibicarakan mereka berdua. Ponselnya berdenting sedari tadi, dan ia tersenyum kecil menatap deretan tweet berisi puisi-puisi pendek atau tulisan-tulisan pendek yang dikirim oleh teman-temannya.

Gue harus tahan banting nih ngurusin hima periode ini.

Dalam Cerita “Kabinet Pom Bensin”


“Bi,” Nayoung berkata setengah berbisik sambil merapikan barang-barangnya. Gadis itu tampaknya datang dengan terburu-buru; rambutnya sedikit berantakan, kemeja lengan panjangnya kusut di sana-sini, dan tangannya memeluk setumpuk kertas dan buku.

“Kenapa Kak?” Eunbi menoleh, “Napas dulu Kak, napas,” ujarnya sambil tertawa kecil. Nayoung mendengus, “Wonpil sama Sungjae mana?”

“Di jalan Kak,” balasnya, “Barengan dari sekolah kayaknya mereka.”

“Aku kadang lupa kalau sekarang mereka guru,” kekehnya, “Omong-omong, nanya sekarang nggak tepat sih kayaknya, tapi serius nih kabidnya maba?”

Eunbi tersenyum simpul. Keputusan Chaeyeon memang menuai banyak kritik. Menjadikan seorang mahasiswa baru sebagai ketua bidang? Ini bisa jadi solusi bagi kondisi himpunan mereka saat ini. Ide-ide segar yang mereka bawa dan kemauan mereka untuk terus belajar bisa menjadi senjatanya untuk kembali menata himpunan mereka yang berantakan.

Namun senjata, jika tak digunakan dengan benar, malah akan mencelakai siapapun yang memegangnya.

“Mereka layak kok, Kak,” Eunbi berkata. Nayoung menggigit bibir.

“Habis raker kemarin katanya ada kejadian ya?”

Eunbi mengangkat bahu, “Aku udah bisa menduga sih Kak. Hyewon cerita. Tapi lihat nanti aja Kak pas pemaparan.”

Nayoung akhirnya mengangguk, menyandarkan punggung pada sandaran kursi, kedua tangan terlipat di dada.

Periode ini bakalan jadi periode paling menarik.


“Mau nanya boleh?”

Semua mata mengarah pada Chaeyeon. Bukan Chaeyeon Lee, tapi Chaeyeon Jung.

“Silakan Kak,” entah siapa yang menyahuti pertanyaannya. Chaeyeon mengangguk, lantas menurunkan tangannya yang sempat teracung.

“Mau nanya sama kabid pendidikan,” ia menyunggingkan sebuah senyum simpul, “Kenapa kalian bikin program Bengkel Sastra? Kenapa harus program rutin? Kenapa nggak jadi program besar aja gitu? Bentuknya seminar, misalnya?”

Di tempat duduknya, Wonyoung bergerak gelisah. Matanya mencari Yujin, atau Hitomi, atau Chaeyeon, namun sedetik kemudian, matanya menemukan sosok Chaewon. Pandangan mereka berserobok. Gadis yang lebih tua darinya itu tersenyum lantas mengacungkan tangan.

“Kak, boleh saya masuk? Karena ini ada hubungannya dengan hasil kerja litbang.”

“Oh,” kedua alis Chaeyeon terangkat, “Boleh. Gimana?”

“Dari hasil angket, kebanyakan mahasiswa ingin belajar menulis,” ujar Chaewon, “Saya yakin alasan mereka mendaftar jurusan kita pasti berangkat dari kesukaan mereka terhadap dunia baca tulis. Hasil angketnya begitu Kak.”

“Lalu?” Chaeyeon mencondongkan tubuh, kedua tangannya terlipat di atas meja kecil yang tersambung pada kursi, “Kenapa program ini penting?”

“Kita 'kan harus memfasilitasi anggota kita, Kak,” ujar Chaewon, “Kita ada untuk membantu mahasiswa jurusan kita. Setelah kami telaah, kerisauan mereka sama. Mereka tidak suka saat menulis dianggap mudah dan hanya bermodalkan 'melamun',” Chaewon membuat gestur tanda kutip di udara, “Saat sebetulnya, menulis lebih dari sekedar berkhayal di siang bolong.”

Di sudut lain, Wonpil mengangguk mafhum. Tangannya teracung, “Izin masuk ya,” ujarnya, “Saya paham. Tapi apa nggak berlebihan, kalian mengundang seorang editor untuk jadi narasumber? Apa mahasiswa kita kurang? Apa dosen kita nggak bisa? Gimana dengan biayanya?”

“Saya yang jawab ya Kak,” akhirnya Wonyoung angkat bicara, “Kalau Kakak khawatir masalah biaya, saya sudah mendiskusikan ini sebelumnya dengan rekan-rekan yang lain. Kami memang memungut biaya untuk kelas ini, tapi untuk tarif editor sendiri, kami sudah berdiskusi dengan beliau, dan beliau setuju dengan jumlah yang kami tawarkan.”

“Kalau gitu kalian nggak memfasilitasi mahasiswa dong? 'Kan itu kalian minta iuran tuh. Kalau memfasilitasi, harusnya gratis dong?” Celetukan Sungjae membuat Wonyoung terdiam. Baru saja ia hendak mengatakan sesuatu, seseorang di belakangnya mendahului.

“Disubsidi kok Kak,” Nako akhirnya menimpali, “Jadinya untuk mahasiswa nggak terlalu berat. Sudah sesuai anggaran kok Kak.”

“Terus kenapa nggak dosen aja narasumbernya?”

“Karena editor lebih paham industri ini Kak,” Wonyoung menjawab. Terlalu cepat, bahkan. “Dari angket yang saya baca pun, mereka ingin menerbitkan karya mereka sendiri, menarik perhatian pembaca, dan memasarkan karya mereka. Saya rasa akan lebih tepat untuk menjadikan seorang editor sebagai narasumber. Kelasnya juga berlangsung dua minggu sekali, Kak. Satu pertemuan sekitar 2 jam. Tidak akan terlalu berat biayanya, kira-kira sama dengan satu mangkuk bakso di kantin.”

Segera Chaewon menambahkan, “Editornya kenalan saya kok Kak. Beliau editor di satu platform menulis daring. Masalah biaya, seperti yang dijelaskan Wonyoung tadi, sudah kami diskusikan. Nanti juga kelas ini akan membuka pendaftaran. Jadi hanya mereka yang berkomitmen saja yang bisa ikut, karena materi yang disampaikan berkesinambungan.”

Nayoung mencondongkan tubuh ke arah Eunbi yang duduk di depannya. Gadis itu diam sedari tadi. Tak bersuara. Hanya menyimak alur tanya jawab. “Bi?”

Eunbi menoleh, “Ya Kak?”

Nayoung tersenyum, “Kontroversial, tapi sepadan.”

Sebuah cengiran tergurat di wajahnya, “Oke?”

“Oke.”

Sesi tanya jawab memang masih berlanjut, namun tanya dalam kepala Nayoung telah terjawab.

Ia bisa dengan tenang menyerahkan baton kepengurusan pada Lee Chaeyeon.

Dalam Cerita “Kabinet Pom Bensin”


“Kak,” Yujin menutup pintu sekre di belakangnya. Pintu yang mereka sebut 'pintu' tak bisa benar-benar disebut 'pintu', sebab 'pintu' itu lebih menyerupai gerbang kayu; atau mungkin, penghalang pintu kasir di kedai-kedai kopi. Hanya saja ini lebih besar dan lebih tinggi, namun Yujin masih bisa melongokkan kepalanya tanpa harus berjinjit untuk melihat siapa yang ada di dalam sekre.

“Sini Jin,” Chaeyeon menepuk tempat kosong di sebelahnya. Matanya masih terfokus pada layar laptop di pangkuannya. Yujin mengempaskan diri di sebelahnya, punggung bersandar pada tembok dan tas miliknya yang ia biarkan tergeletak begitu saja di sampingnya.

“Bentar ya, nanggung, nanti idenya keburu terbang.”

“Santai aja Kak,” Yujin tertawa kecil. Gadis di sebelahnya itu lucu sekali saat sedang fokus begini. Alisnya bertaut, dahinya bekerut, namun jarinya tak sedetikpun bergerak selambat siput; jarinya menari, berlari di atas keyboard.

“Oke, selesai,” ia mengenyahkan laptop dari pangkuan, lantas mengubah posisi duduknya menghadap Yujin, “Gue langsung aja ya Jin. Gue perlu ngasih disclaimer dulu nih. Gue nggak ngomong kayak gini ke lo doang kok. Gue ngomong ke Minju juga.”

Yujin tahu ke mana pembicaraan ini mengarah.

“Gue bukannya nggak mau tahu atau nggak mau bantu lo sama Minju ya Jin. Cuma menurut gue, hubungan kalian berdua, urusan kalian berdua. Istilahnya, lo berdua kalau berantem ya udah berantem berdua, nggak usah bawa pasukan.”

Yujin mengangguk, menatap Chaeyeon yang juga menatapnya lamat-lamat.

“Gue nggak marah ya Jin,” ujar Chaeyeon, “Gue berat ngomong ini, tapi posisi gue mengharuskan gue buat ngomong gini sama lo. Jujur, gue nggak suka sikap lo sama Minju yang kekanakan dalam menyikapi masalah kalian.”

Yujin menunduk, “Maaf Kak.”

“Jangan minta maaf,” sanggah Chaeyeon cepat, “Wajar lo menghindari Minju dan sebaliknya. Reaksi lo valid. Gue ngerti kok Jin. Lagi berantem sama pacar, mana mau sih ketemu? Denger namanya aja sebel, apalagi ketemu muka?” Chaeyeon terkekeh, “Gue juga gitu kok kadang sama Sakura, jadi gue paham, Jin. Jangan terlalu merasa bersalah juga.”

Gadis itu menghela napas sebelum melanjutkan.

“Tapi ketemunya lo sama Minju tuh konteksnya buat rapat, Jin. Lo lagi ngurusin satu organisasi. Ada banyak manusia yang terlibat, kepentingan yang harus diselesaikan. Kalau lo berdua nggak datang cuma karena nggak mau ketemu satu sama lain, urusan hima gimana?”

Chaeyeon menarik botol minumnya dari dalam tas, menenggak air yang tersisa di dalamnya, lalu melanjutkan,

“Kepentingan yang harus diselesaikan gimana? Kalau gini lo berdua malah bikin proker kita mundur. Iya, lo berdua bisa beresin semua nggak melalui rapat. Hubungin orang. Bikin surat. Itu bisa dilaksanakan di luar rapat. Tapi 'kan Jin, lo sama Minju bagian dari kabinet gue. Gue mau tahu pendapat semua orang soal keputusan-keputusan yang dibuat di rapat. Gue mau semua orang saling bantu menyelesaikan masalah organisasi.

“Kalau lo nya nggak ada, gimana gue tahu pendapat lo soal satu perkara?”

Yujin tidak pernah mendengar Chaeyeon bicara sepanjang dan selama ini padanya.

Selama ini, interaksi mereka terbatas pada menanggapi lelucon Yena, membicarakan hal-hal tak penting, atau tanya jawab dalam rapat-rapat saja. Tapi kali ini, rasanya ia berhadapan dengan sosok Chaeyeon yang lain.

Chaeyeon, seorang kakak yang khawatir dengan adiknya, dan Chaeyeon, seorang ketua himpunan yang berusaha menyeimbangkan kapal yang ia nakhodai.

Yujin yakin Chaeyeon juga tak sampai hati untuk menyampaikan kegelisahannya begini. Namun, ia tahu kapan harus bersikap tega, dan Yujin bersyukur untuk itu.

“Maaf ya Kak,” Yujin akhirnya memberanikan diri menatap mata Chaeyeon, “Sebenernya Yujin tahu kok, ini salah. Kekanakan banget emang. Yujin aja kesel. Yujin nggak mau bela diri. Yujin emang salah di sini. Apapun alasannya, nggak hadir rapat karena nggak mau ketemu seseorang rasanya kurang tepat. Yujin janji, ke depannya, Yujin nggak bakal kayak gini lagi Kak.”

Chaeyeon tersenyum, sebelah tanganya bergerak menepuk pundak Yujin pelan, “Jin, kalau mau cerita soal masalah lo sama Minju juga boleh kok. Gue kakak lo di kampus. Jangan sungkan. Gue bakal siap dengerin cerita lo, tapi gue nggak akan ikut campur sama urusan lo.”

Cengiran lebar muncul di wajah Yujin yang balas menggenggam tangan Chaeyeon di pundaknya, berusaha menutupi air matanya yang barangkali bisa saja tumpah jika Chaeyeon mengucapkan beberapa kalimat penghiburan lagi.

“Makasih Kak. Kak Chaeyeon jadi kahim sampai Yujin lulus aja boleh nggak?”

“Yeu,” tangannya yang semula memegang pundak Yujin kini menyasar dahi gadis itu, mendorongnya pelan, menarik tawa Yujin ke permukaan, “Mahasiswi abadi dong gue.”

“Batasnya 'kan tujuh tahun Kak, maksimalkan dong.”

“Iye, maksimal masa belajar, minimal isi dompet.”

/1/ Jatuh cinta, bagiku Adalah bungee jumping Tanpa tali pengaman Tanpa persiapan Entah menabrak karang Atau menyelam ke palung dalam Tak ada beda Dan kamu Datang Lalu jatuh tak pernah semenyenangkan ini

/2/ Aku ingin mencintaimu Dengan berisik Di antara gemerisik daun Dan tanah yang sabar menunggunya jatuh

Aku ingin mencintaimu Dengan hening Di antara riuh pesta dansa Dan ingar degup jantungku mengalunkan sayang Dalam setiap detak

/3/ Kau bilang aku Melupa Dengan mudah Dan genggamanmu mengendur Membiarkan pasir menelisik Hanya untuk terburai

Aku akan terlupa Kau bilang Melupakanmu memang mudah Aku butuh satu malam Tanpa pagi

/4/ Ada namamu Dalam setiap semoga Yang kupanjatkan pada Semesta Semoga kau bahagia Semoga kejamnya dunia tak sanggup mendekatimu Lalu semoga Kebaikan memelukmu dari Bangun hingga tidur lagi

Dan aku

Semoga kamu memilihku Hingga akhir Sebab kamulah lingkaran Tak berujung

“Hai, Cantik.”

Hitomi mendengus. Matanya menyusuri langit-langit kamarnya yang terasa asing, lama tak ditinggali penghuninya. Ia melirik buku-buku miliknya yang berjajar rapi di atas rak. Sedikit berdebu, pikirnya. Besok kayaknya harus bersih-bersih.

“Sayang?”

“Hai, budak skripsi,” ada nada menggoda yang mengalun di udara seiring dengan senyumnya yang merekah. Sebelah tangannya meraih bantal, menariknya ke dalam pelukan. Perlahan, ia memejam, “Udah dapet berapa halaman tuh? Apa tadi tuh main game lagi jangan-jangan?”

“Semenjak aku jadi pacarmu, mulutnya luwes banget ya ceng-cengin aku. Dulu perasaan waktu aku masih jadi kakak-kakak-an kamu, kerjaan kamu kalau nggak ngingetin makan ya ngingetin tidur. Atau nyuruh aku ke kosan malem-malem buat nemenin kamu makan atau nonton.”

Hitomi tertawa kecil sambil membetulkan letak earphone nya yang bergeser, “Ya beda dong. Kalau dulu tuh bingung mau ngejek takutnya kamu ilfeel atau gimana. Lagian kita apa gitu 'kan, sampai aku bisa seluwes itu.”

Di ujung sambungan telepon yang lain, Chaewon tertawa, “Lebih aneh tuh kamu bukan siapa-siapaku, tapi selalu nyuruh ke kosan dan ngajak nonton kayak lagi kencan. Padahal kedengeran banget tuh suara Nako di kamar sebelah. Emang anaknya suka gantungin orang ya kamu?”

“Ih nggaak,” Hitomi membawa tubuhnya menyamping. Tangannya yang bebas meraih selimut di ujung tempat tidur, lantas menyampirkannya di tubuhnya sendiri. Udara malam ini agak dingin. Normal, sebetulnya. Kota tempatnya tinggal memang selalu dingin. Namun malam ini, entah mengapa, ia merasa harus menyelimuti tubuhnya dengan selembar kain tebal yang dihadiahkan neneknya dulu.

“Susah mau yakin kalau aku sayang sama kamu tuh, keburu nyaman aja. Jadi bingung aku sayang apa ya udah, lihat kamu sebagai sahabat amat dekat.”

Dengusan kecil Chaewon terdengar, “Sahabat amat dekat apa yang selalu gandeng-gandeng tiap jalan atau minta dipeluk kalau lagi capek?”

“Nggak suka?” Tanpa sadar ia mencebik. Matanya menyipit. Kantuknya yang sempat menyerang kini lenyap sama sekali, sementara di ujung sana, ia bisa mendengar tawa pelan Chaewon dan samar, ia mendengar gadis itu menguap. “Lagian kamu juga mau-mau aja aku gandeng.”

“Soalnya aku udah sayang sama kamu dari lama, dan kamu jomlo, Hitoma,” ia bisa membayangkan gadis itu tengah berbaring di tempat tidurnya, menatap satu dua bintang di langit yang terlihat dari jendela kamarnya, dengan earphone yang menyumpal telinganya.

“Siapa coba yang nggak senang? Orang yang dia sayang sejak lama tiba-tiba muncul di depannya, dekat sama dia, lalu ya, hampir barengan setiap hari?”

“Kamu tahu banget ya gimana bikin aku salah tingkah?”

Lagi-lagi Chaewon tertawa, lalu hening menyelubungi mereka. Tak ada suara kendaraan yang lalu lalang. Hanya sesekali suara angin yang berembus, menyapa ranting dan dedaunan yang siap meranggas kapan saja. Penghujung tahun, dan hujan yang seringkali membasahi bumi selalu membuatnya bergidik. Bukan ngeri. Hitomi hanya benci dingin.

Dan kadang-kadang, ia bukan bicara soal suhu atau udara.

Kadang-kadang, dingin berarti ketidakhadiran Chaewon di sisinya.

Sebab gadis itu selalu membawa hangat yang akan menyergapnya pelan, menjalari seluruh tubuhnya, hingga ia merasa gerah. Bukan gerah yang membuatnya jengah.

Chaewon selalu membanjirinya dengan senyuman hangat. Pelukan hangat. Hingga kadang, ia merasa tak layak dikasihi sebesar itu olehnya.

“Udah ngantuk?”

“Jangan dulu ditutup,” Hitomi tiba-tiba berkata, “Sampai aku nggak nyahut lagi, baru boleh ditutup.”

“Iya,” dan ia tahu Chaewon tengah tersenyum kecil, “Nggak akan ditutup.”

“Aku sayang kamu,” ia mengerjap. Mulutnya bergerak lebih cepat daripada otaknya. Hening kembali menyapa mereka.

“Aku sayang kamu juga,” balas Chaewon tiga degup jantung kemudian.

“Aku sayang kamu, Chaewon.”

“Aku sayang kamu juga, Hitomi.”

“Maaf aku pernah bikin kamu hampir patah hati karena dekat lagi sama Minju tanpa mikirin perasaan kamu.”

“Kamu bahagia tapi 'kan baikan sama Minju?”

Hitomi mengangguk. Sadar Chaewon saat ini tak bisa melihatnya, ia akhirnya berkata, “Iya. Lega, sih. Bukan bahagia bahagia,” gadis itu menekankan kata bahagia, “Ya lega aja.”

“Aku nggak masalah patah hati kalau kamunya bahagia.”

“Bener kata Nako, kamu masokis,” Hitomi mendengus yang disambut gelak tawa Chaewon yang menghangatkan hatinya. Hitomi mengeratkan pelukannya pada bantal, “Sayang?”

“Hmm?”

“Maaf bikin kamu nunggu lama.

“Tapi semoga kita sedikit lebih lama dari selamanya.”