Sampai Senja Nanti
Hitomi mengernyit, berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya matahari yang menerobos masuk lewat jendela. Ia meraba bantal di sebelahnya. Dingin. Chaewon sepertinya sudah bangun dari tadi, mengingat gorden kamarnya kini terbuka dan jarum jam menunjukkan pukul sepuluh.
“Lho, udah bangun,” Chaewon mendorong pintu kamar mereka terbuka. Tangannya memegang nampan berisi mangkuk yang mengepulkan asap—sup ayam, dari baunya, Hitomi yakin itu sup ayam, gelas tinggi berisi air dan obat dalam plastik kecil.
“Kamu udah makan?” Hitomi mendorong tubuhnya duduk, membetulkan letak bantal di belakang punggungnya sebelum duduk bersandar pada kepala tempat tidur. Chaewon menghela napas, “Yang, jangan mikirin aku dulu bisa nggak? Yang sakit tuh kamu, bukan aku, dan sebelum kamu nanya,” Chaewon dengan hati-hati meletakkan nampan di atas nakas, lantas ia duduk di tepi tempat tidur, “Anak-anak udah bangun, udah sarapan, udah mandi. Lagi dibawa jalan-jalan sama Yuri.”
Hitomi tersenyum geli, “Lengkap banget penjelasannya,” namun Chaewon bergeming. Tangannya bergerak meraba kening Hitomi, dan desahan kecil lolos dari mulutnya. Raut wajahnya yang semula kusut berubah lebih rileks, “Udah turun. Bagus deh. Makan ya?”
Hitomi lantas mengangguk, membiarkan Chaewon menyendok sedikit demi sedikit sup dalam mangkuk dan tanpa sadar, Hitomi telah menandaskan semangkuk sup. Chaewon tersenyum, lantas menyodorkan obat dan gelas. “Enakan?”
Hitomi mengangguk, kemudian dengan hati-hati meletakkan gelas di atas nakas, “Kamu udah makan?”
“Yang, pertanyaan kamu tuh kayak anak remaja lagi PDKT tahu nggak sih. Kita udah nikah satu dekade. Ada pertanyaan lain?”
Hitomi mendengus, “Ya kamu 'kan kelakuannya suka kayak anak remaja lagi ngambek dicuekin pacarnya,” tangannya lantas terulur ke arah Chaewon, memaksa gadis itu duduk di sebelahnya. Chaewon lantas menarik gadis itu ke dalam dekapan, dan mereka sama-sama terdiam.
“Hii, tolong dong, mulai sekarang, kalau sakit tuh bilang,” Hitomi mendongak, mendapati Chaewon lagi-lagi menatapnya dengan sorot mata khawatir, “Iya, aku mungkin sibuk sama kerjaan. Tapi kamu sama anak-anak prioritasku. Aku kerja buat kalian, tapi jangan sampai kerjaanku bikin aku jauh dari kalian. Buat apa aku kerja kalau gitu?”
“Aku nggak mau kamu repot,” Hitomi memejam, membiarkan hangat peluk Chaewon merambat, membungkusnya bagai selimut paling lembut, “Aku juga tahu gimana nggak enaknya diganggu pas lagi kerja.”
Chaewon mendesah, mengeratkan pelukan mereka, “Repot dan kamu tuh nggak pernah berjodoh. Jodoh kamu aku soalnya.”
“Masih aja gombal kayak anak remaja,” jemarinya perlahan mencubit pinggang Chaewon, dan perempuan itu mengaduh, tapi tak berkata apa-apa, “Aku tahu kamu belakangan capek banget. Pulang malem, berangkat pagi.”
“Ya sama aja. Kamu juga di kafe lagi sibuk 'kan? Yuri cerita kok. Jangan dipaksain ya. Istirahat kalau emang capek. Badan kamu tuh nggak sekuat pas kamu masih remaja kali.”
“Kamu juga,” Hitomi meraih jemari Chaewon yang bebas, menautkan jemari mereka dalam genggaman erat, “Ngomongin Yuri, jadi kangen anak-anak.”
“Telepon aja kali ya,” ia meraih ponselnya di atas nakas. Hanya perlu dua nada tunggu hingga Yuri mengangkat panggilan video mereka.
“Hitomiiiii!” Perempuan itu setengah berteriak—dilihat dari pemandangan di belakangnya, mereka tampaknya ada di taman bermain. “Udah sembuh belum?”
Hitomi mengangguk dan tersenyum kecil, pelukannya mengerat, “Anak-anak nggak nyusahin 'kan?”
“Nyusahin apa sih,” Yuri terkekeh, lantas mengarahkan kamera ke arah putri bungsu mereka yang tengah tertawa di atas ayunan, “Tuh, lihat, kesenengan gitu dia ketemu Yujin.”
“Itu sih si Yujin yang seneng ketemu teman seumuran,” Chaewon terkekeh, “Tapi Chaehyun nggak rewel 'kan?”
“Rewel apaan—”
“Tante, itu Mama?” Suara anak laki-laki menginterupsi percakapan mereka, dan tak lama, layar ponsel mereka menunjukkan wajah seorang anak laki-laki bermata bundar dan berpipi tembam, “Bundaaaa,” Daehyun tersenyum lebar, menunjukkan deretan giginya yang rapi.
“Hei, Jagoan kecil. Seneng jalan-jalan sama Tante Yuri?”
“Seneeng!” Kedua tangannya terulur ke samping, membentuk sebuah lingkaran yang cukup besar, “Segini nih senengnya,” dan baik Hitomi maupun Chaewon tertawa melihat tingkah putra sulung mereka, “Nurut apa kata Tante Yuri sama Tante Yujin ya, Sayang.”
Ia mengangguk, “Bunda udah sembuh?”
Hitomi tersenyum, lantas mengangguk, “Udah sehat kok. Makasih ya. Kemarin sebelum Mama pulang kamu ya yang kompres Bunda?”
Daehyun mengangguk—kelewat bersemangat, hingga Yuri di sampingnya tertawa kecil, “Aku telepon Mama, tapi nggak diangkat. Terus aku ingat waktu aku demam, Bunda kompres aku juga. Aku sudah besar 'kan Bun? Udah bisa jagain Bunda?”
Hitomi terkekeh, “Iya, jagoannya Bunda udah besar sekarang.”
“BUNDAAA!”
“Hai Tuan Putri,” Hitomi tertawa melihat putri bungsunya berlari ke arah Yuri, jemarinya yang bulat-bulat terulur, meminta Yuri mendekatkan ponsel ke arahnya, “BUNDAA AKU MAU NGINAP BOLEH YA SAMA TANTE YUJIN SAMA TANTE YURI?”
Hitomi melirik Chaewon yang menatapnya dengan pandangan geli. Ia mengangguk, tanpa suara berkata Boleh. Kamu butuh istirahat.
“Boleh deh. Bunda mau ngomong dong sama Tante Yuri,” gadis kecil itu kemudian menyerahkan ponsel ke arah Yuri, dan kembali ia berlari ke arah Yujin yang menantinya di depan perosotan, “Yur—”
“Udah, biarin, istirahat aja kamu,” jawabnya. Ia lantas mengalihkan pandangan pada anak laki-laki yang berdiri di sampingnya, “Daehyun nginap juga ya? Biar Bunda istirahat.” Daehyun mengangguk, namun kemudian ia berkata, “Maaf ya kemarin aku bikin Bunda capek. Aku nginap dulu ya Bun sama Tante Yuri. Bunda sama Mama istirahat ya.” Ia kemudian berlari menyusul adiknya.
Hitomi tercenung. Hingga panggilan video mereka berakhir (yang diambil alih oleh Chaewon untuk memberikan setumpuk peringatan; tidak ada permen untuk anak-anak, tidak ada tidur larut malam, dan lainnya) ia masih terdiam.
“Kenapa?”
“Anak-anak udah besar,” ia menyurukkan wajah ke ceruk leher Chaewon, dan Chaewon menghela napas, “Jangan sedih-sedih dong.”
“Aku nggak siap bayangin dia punya pacar,” desah Hitomi dan Chaewon tertawa, “Jangan dibayangin. Masih ada banyak waktu sebelum suara dia jadi ngebass.” Hitomi terkekeh, namun Chaewon bisa merasakan perempuan itu menitikkan air mata—menitikkan, hanya setitik, bukan menangis tersedu-sedu.
Chaewon lantas melirik tanggal yang tertera di layar ponselnya dan tertawa pelan, yang memancing kerutan di dahi Hitomi, “Kenapa sih?”
“Jelek banget anniversary tapi kamunya sakit,” Chaewon menunjuk tanggal pada aplikasi kalender di ponselnya dan Hitomi tertawa pelan, “Emang biasanya kita ngapain sih?”
“Jalan-jalan berdua aja,” Chaewon terkekeh, lantas mendaratkan kecupan singkat di bibir Hitomi, “Ya nggak apa lah kita nggak jalan-jalan tahun ini. Istirahat aja di rumah, peluk-peluk seharian kayak awal-awal kencan,” Hitomi terkekeh, sebelah tangannya bergerak menangkup wajah Chaewon, menyatukan bibir mereka. Tidak ada adu lidah yang menjelajah. Mereka seolah berusaha menyalurkan kata yang tak terucap lewat ciuman polos yang mereka bagi.
“Makasih ya,” Hitomi menarik diri, menyandarkan keningnya pada kening Chaewon, “Udah bertahan sama aku lebih dari satu dekade.”
Chaewon tersenyum dan mengecup bibir Hitomi singkat, “Makasih udah mau berkompromi sama keras kepalanya aku selama lebih dari satu dekade.”
Hitomi tertawa kecil, “Kalau urusan itu, nggak bakal ada yang tahan selain aku.”
“Ya udah, kalau gitu kamu harus tahan sama aku sampai rambut kita memutih. Susah soalnya nyari yang kayak kamu,” Chaewon menarik Hitomi ke dalam pelukannya, lantas membaringkan tubuh mereka berdua, membiarkan hangat peluk masing-masing menjalar di setiap inci tubuh mereka. Hitomi mengeratkan lengannya di pinggang Chaewon
“Lagian, cuma aku yang mau sama kamu, Kim Chaewon. Dan cuma kamu yang tahan banting aku jutekin kalau lagi marah. Udah. Emang kita saling melengkapi,” dan mereka kembali menertawakan kata-kata yang terucap dari bibir mereka, persis seperti remaja-remaja yang baru mengenal cinta.