kimchaejjigae

Hitomi mengernyit, berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya matahari yang menerobos masuk lewat jendela. Ia meraba bantal di sebelahnya. Dingin. Chaewon sepertinya sudah bangun dari tadi, mengingat gorden kamarnya kini terbuka dan jarum jam menunjukkan pukul sepuluh.

“Lho, udah bangun,” Chaewon mendorong pintu kamar mereka terbuka. Tangannya memegang nampan berisi mangkuk yang mengepulkan asap—sup ayam, dari baunya, Hitomi yakin itu sup ayam, gelas tinggi berisi air dan obat dalam plastik kecil.

“Kamu udah makan?” Hitomi mendorong tubuhnya duduk, membetulkan letak bantal di belakang punggungnya sebelum duduk bersandar pada kepala tempat tidur. Chaewon menghela napas, “Yang, jangan mikirin aku dulu bisa nggak? Yang sakit tuh kamu, bukan aku, dan sebelum kamu nanya,” Chaewon dengan hati-hati meletakkan nampan di atas nakas, lantas ia duduk di tepi tempat tidur, “Anak-anak udah bangun, udah sarapan, udah mandi. Lagi dibawa jalan-jalan sama Yuri.”

Hitomi tersenyum geli, “Lengkap banget penjelasannya,” namun Chaewon bergeming. Tangannya bergerak meraba kening Hitomi, dan desahan kecil lolos dari mulutnya. Raut wajahnya yang semula kusut berubah lebih rileks, “Udah turun. Bagus deh. Makan ya?”

Hitomi lantas mengangguk, membiarkan Chaewon menyendok sedikit demi sedikit sup dalam mangkuk dan tanpa sadar, Hitomi telah menandaskan semangkuk sup. Chaewon tersenyum, lantas menyodorkan obat dan gelas. “Enakan?”

Hitomi mengangguk, kemudian dengan hati-hati meletakkan gelas di atas nakas, “Kamu udah makan?”

“Yang, pertanyaan kamu tuh kayak anak remaja lagi PDKT tahu nggak sih. Kita udah nikah satu dekade. Ada pertanyaan lain?”

Hitomi mendengus, “Ya kamu 'kan kelakuannya suka kayak anak remaja lagi ngambek dicuekin pacarnya,” tangannya lantas terulur ke arah Chaewon, memaksa gadis itu duduk di sebelahnya. Chaewon lantas menarik gadis itu ke dalam dekapan, dan mereka sama-sama terdiam.

“Hii, tolong dong, mulai sekarang, kalau sakit tuh bilang,” Hitomi mendongak, mendapati Chaewon lagi-lagi menatapnya dengan sorot mata khawatir, “Iya, aku mungkin sibuk sama kerjaan. Tapi kamu sama anak-anak prioritasku. Aku kerja buat kalian, tapi jangan sampai kerjaanku bikin aku jauh dari kalian. Buat apa aku kerja kalau gitu?”

“Aku nggak mau kamu repot,” Hitomi memejam, membiarkan hangat peluk Chaewon merambat, membungkusnya bagai selimut paling lembut, “Aku juga tahu gimana nggak enaknya diganggu pas lagi kerja.”

Chaewon mendesah, mengeratkan pelukan mereka, “Repot dan kamu tuh nggak pernah berjodoh. Jodoh kamu aku soalnya.”

“Masih aja gombal kayak anak remaja,” jemarinya perlahan mencubit pinggang Chaewon, dan perempuan itu mengaduh, tapi tak berkata apa-apa, “Aku tahu kamu belakangan capek banget. Pulang malem, berangkat pagi.”

“Ya sama aja. Kamu juga di kafe lagi sibuk 'kan? Yuri cerita kok. Jangan dipaksain ya. Istirahat kalau emang capek. Badan kamu tuh nggak sekuat pas kamu masih remaja kali.”

“Kamu juga,” Hitomi meraih jemari Chaewon yang bebas, menautkan jemari mereka dalam genggaman erat, “Ngomongin Yuri, jadi kangen anak-anak.”

“Telepon aja kali ya,” ia meraih ponselnya di atas nakas. Hanya perlu dua nada tunggu hingga Yuri mengangkat panggilan video mereka.

“Hitomiiiii!” Perempuan itu setengah berteriak—dilihat dari pemandangan di belakangnya, mereka tampaknya ada di taman bermain. “Udah sembuh belum?”

Hitomi mengangguk dan tersenyum kecil, pelukannya mengerat, “Anak-anak nggak nyusahin 'kan?”

“Nyusahin apa sih,” Yuri terkekeh, lantas mengarahkan kamera ke arah putri bungsu mereka yang tengah tertawa di atas ayunan, “Tuh, lihat, kesenengan gitu dia ketemu Yujin.”

“Itu sih si Yujin yang seneng ketemu teman seumuran,” Chaewon terkekeh, “Tapi Chaehyun nggak rewel 'kan?”

“Rewel apaan—”

“Tante, itu Mama?” Suara anak laki-laki menginterupsi percakapan mereka, dan tak lama, layar ponsel mereka menunjukkan wajah seorang anak laki-laki bermata bundar dan berpipi tembam, “Bundaaaa,” Daehyun tersenyum lebar, menunjukkan deretan giginya yang rapi.

“Hei, Jagoan kecil. Seneng jalan-jalan sama Tante Yuri?”

“Seneeng!” Kedua tangannya terulur ke samping, membentuk sebuah lingkaran yang cukup besar, “Segini nih senengnya,” dan baik Hitomi maupun Chaewon tertawa melihat tingkah putra sulung mereka, “Nurut apa kata Tante Yuri sama Tante Yujin ya, Sayang.”

Ia mengangguk, “Bunda udah sembuh?”

Hitomi tersenyum, lantas mengangguk, “Udah sehat kok. Makasih ya. Kemarin sebelum Mama pulang kamu ya yang kompres Bunda?”

Daehyun mengangguk—kelewat bersemangat, hingga Yuri di sampingnya tertawa kecil, “Aku telepon Mama, tapi nggak diangkat. Terus aku ingat waktu aku demam, Bunda kompres aku juga. Aku sudah besar 'kan Bun? Udah bisa jagain Bunda?”

Hitomi terkekeh, “Iya, jagoannya Bunda udah besar sekarang.”

“BUNDAAA!”

“Hai Tuan Putri,” Hitomi tertawa melihat putri bungsunya berlari ke arah Yuri, jemarinya yang bulat-bulat terulur, meminta Yuri mendekatkan ponsel ke arahnya, “BUNDAA AKU MAU NGINAP BOLEH YA SAMA TANTE YUJIN SAMA TANTE YURI?”

Hitomi melirik Chaewon yang menatapnya dengan pandangan geli. Ia mengangguk, tanpa suara berkata Boleh. Kamu butuh istirahat.

“Boleh deh. Bunda mau ngomong dong sama Tante Yuri,” gadis kecil itu kemudian menyerahkan ponsel ke arah Yuri, dan kembali ia berlari ke arah Yujin yang menantinya di depan perosotan, “Yur—”

“Udah, biarin, istirahat aja kamu,” jawabnya. Ia lantas mengalihkan pandangan pada anak laki-laki yang berdiri di sampingnya, “Daehyun nginap juga ya? Biar Bunda istirahat.” Daehyun mengangguk, namun kemudian ia berkata, “Maaf ya kemarin aku bikin Bunda capek. Aku nginap dulu ya Bun sama Tante Yuri. Bunda sama Mama istirahat ya.” Ia kemudian berlari menyusul adiknya.

Hitomi tercenung. Hingga panggilan video mereka berakhir (yang diambil alih oleh Chaewon untuk memberikan setumpuk peringatan; tidak ada permen untuk anak-anak, tidak ada tidur larut malam, dan lainnya) ia masih terdiam.

“Kenapa?”

“Anak-anak udah besar,” ia menyurukkan wajah ke ceruk leher Chaewon, dan Chaewon menghela napas, “Jangan sedih-sedih dong.”

“Aku nggak siap bayangin dia punya pacar,” desah Hitomi dan Chaewon tertawa, “Jangan dibayangin. Masih ada banyak waktu sebelum suara dia jadi ngebass.” Hitomi terkekeh, namun Chaewon bisa merasakan perempuan itu menitikkan air mata—menitikkan, hanya setitik, bukan menangis tersedu-sedu.

Chaewon lantas melirik tanggal yang tertera di layar ponselnya dan tertawa pelan, yang memancing kerutan di dahi Hitomi, “Kenapa sih?”

“Jelek banget anniversary tapi kamunya sakit,” Chaewon menunjuk tanggal pada aplikasi kalender di ponselnya dan Hitomi tertawa pelan, “Emang biasanya kita ngapain sih?”

“Jalan-jalan berdua aja,” Chaewon terkekeh, lantas mendaratkan kecupan singkat di bibir Hitomi, “Ya nggak apa lah kita nggak jalan-jalan tahun ini. Istirahat aja di rumah, peluk-peluk seharian kayak awal-awal kencan,” Hitomi terkekeh, sebelah tangannya bergerak menangkup wajah Chaewon, menyatukan bibir mereka. Tidak ada adu lidah yang menjelajah. Mereka seolah berusaha menyalurkan kata yang tak terucap lewat ciuman polos yang mereka bagi.

“Makasih ya,” Hitomi menarik diri, menyandarkan keningnya pada kening Chaewon, “Udah bertahan sama aku lebih dari satu dekade.”

Chaewon tersenyum dan mengecup bibir Hitomi singkat, “Makasih udah mau berkompromi sama keras kepalanya aku selama lebih dari satu dekade.”

Hitomi tertawa kecil, “Kalau urusan itu, nggak bakal ada yang tahan selain aku.”

“Ya udah, kalau gitu kamu harus tahan sama aku sampai rambut kita memutih. Susah soalnya nyari yang kayak kamu,” Chaewon menarik Hitomi ke dalam pelukannya, lantas membaringkan tubuh mereka berdua, membiarkan hangat peluk masing-masing menjalar di setiap inci tubuh mereka. Hitomi mengeratkan lengannya di pinggang Chaewon

“Lagian, cuma aku yang mau sama kamu, Kim Chaewon. Dan cuma kamu yang tahan banting aku jutekin kalau lagi marah. Udah. Emang kita saling melengkapi,” dan mereka kembali menertawakan kata-kata yang terucap dari bibir mereka, persis seperti remaja-remaja yang baru mengenal cinta.

Chaewon baru saja hendak mengganti air di baskom saat jemari kurus Hitomi melingkar di pergelangan tangannya.

“Anak-anak udah tidur?”

Chaewon urung pergi. Ia lantas meletakkan baskom di atas nakas di samping tempat tidur. Hati-hati ia mendudukkan diri di tepi tempat tidur, “Kenapa nggak bilang kalau kamu sakit?”

Hitomi tersenyum—kentara sekali tubuhnya lemas. Perempuan itu menggeleng pelan, “Cuma butuh dibawa tidur aja kok. Bukan hal besar. Kamu juga lagi sibuk-sibuknya di kantor.”

Chaewon mengembuskan napas, tangannya yang bebas mengelus pipi perempuan di hadapannya, “Semua yang besar dimulai dari hal kecil, Hitoma. Kalau sakit, sekecil apapun, bilang, Yang. Aku jadi merasa nggak berguna kalau hal-hal kayak gini aja kamu nggak bilang sama aku.”

Hitomi meringis, dan segera Chaewon merapatkan selimut yang membungkus tubuhnya, “Anak-anak udah tidur?”

“Udah,” singkat Chaewon berujar, “Kamu udah makan 'kan? Udah minum obat? Tidur ya?”

Hitomi mengangguk pelan, “Kamu udah makan?” Tanyanya. Chaewon mendesah. Hitomi, dengan wajah memerah karena suhu tubuhnya yang meningkat dan suaranya yang parau bukanlah pemandangan yang ia harapkan menyambut kepulangannya.

“Udah tadi,” jawabnya, yang disambut dengan kekeh pelan Hitomi.

“Aku tahu kok kamu bohong. Makan, gih. Ada ayam di kulkas. Kamu panasin dulu di microwave.”

“Nggak lapar, Yang. Tadi di kantor makan roti kok,” ujarnya, “Udah, jangan mikir yang lain-lain bisa? Tidur aja. Anak-anak biar aku yang urus. Kamu biar aku yang urus.”

“Besok kamu ngomel pasti harus ngurus aku sama ngurus rumah,” Hitomi terkekeh, namun Chaewon sama sekali tak tersenyum.

“Besok anak-anak dijemput Yuri kok, dia yang nawarin. Udah ya? Istirahat. Aku bersih-bersih dulu sebentar.” Ia akhirnya beranjak dari tempat tidur, meninggalkan Hitomi sendirian. Hitomi melirik jam beker kecil yang ada di atas nakas. Pukul sebelas. Ia tidur cukup lama. Ia tak yakin anak-anaknya pergi tidur pukul berapa, tapi selama mereka sudah tidur, ia bisa bernapas lega.

Chaewon benar-benar menepati ucapannya. Sebentar yang ia janjikan betul-betul hanya sebentar. Perempuan itu kini sudah berganti pakaian—piyama berwarna mauve menempel manis di tubuhnya.

“Sayang,” Hitomi membawa tubuhnya menyamping, mendapati Chaewon yang berbaring menghadapnya, menatapnya dengan sorot mata khawatir, “Aku sebenarnya takut kamu ketularan, tapi aku tidur meluk kamu kayak biasa boleh ya?”

Chaewon mendengus geli, “Nggak bakal ketularan, udah jangan mikir yang aneh-aneh,” tangannya terbuka lebar-lebar, membiarkan perempuan yang telah menghabiskan lebih dari satu dekade bersamanya itu masuk ke dalam pelukannya.

“Jangan banyak mikir,” Chaewon berkata. Ia bisa merasakan hangat napas Hitomi di lehernya, “Tidur aja. Istirahat. Kamu capek pasti belakangan. Maaf aku nggak peka,” ujarnya sambil mencium kening Hitomi yang sama hangatnya dengan embusan napasnya, “Tidur.”

“Yang,” suaranya teredam, “Boleh minta sesuatu?”

Chaewon mengangguk, “Asal jangan minta rumah baru aja.”

Hitomi mendengus, namun ia menyurukkan wajahnya ke ceruk leher Chaewon, berusaha menghapus jarak yang sebenarnya tak ada di antara mereka, berusaha merapatkan tubuh mereka yang bahkan tak bisa ditembus oleh semut, “Nyanyi sampai aku ketiduran, dong. Kangen.”

Chaewon mendengus geli, “Kamu tuh kalau sakit emang tambah gemes ya,” ujarnya, namun tak lama, ia menyenandungkan lagu yang membawa Hitomi ke masa lalu, kencan-kencan mereka di tiga bulan pertama, sekaligus membawanya ke alam mimpi.

“Jangan sakit-sakit, Sayang,” Chaewon sekali lagi mengecup kening perempuan itu, dan tak lama, ia menyusul Hitomi mengarungi lautan permen kapas dalam mimpi semanis gulali.

“Udah tidur semua kali ya?”

Chaewon dengan hati-hati meletakkan sepatunya di rak. Sebelah tangan menjinjing tas, sebelah lagi menjinjing blazer yang sengaja ia lepas begitu ia turun dari mobil. Apartemen mereka sepi. Wajar, pikir Chaewon. Ini sudah pukul sembilan. Ia yakin anak-anaknya sudah tidur. Namun, begitu kakinya melangkah ke ruang tengah, ia terpaku.

“Lho, Chaehyun belum tidur?”

“Mama!” Putri bungsunya berlari ke arahnya, meninggalkan kertas penuh coretan krayon berwarna merah dan biru yang berserakan di lantai, “Gendong!” Kedua tangannya terangkat ke udara, dan dengan sigap, Chaewon meraih putrinya ke dalam pelukan. Dilemparnya tas serta blazer ke arah sofa. Putrinya terkikik geli saat perempuan itu mendaratkan ciuman bertubi-tubi di pipi tembamnya.

“Tuan Putri kok belum tidur? Bunda mana?” Ia mengedarkan pandangannya, menyusuri tiap sudut rumah. Tak ada suara terdengar dari dapur, lagipula, lampunya juga mati, “Kakak kamu ke mana, Sayang?”

“Bunda di kamar,” tangannya menunjuk pintu kamarnya dan Chaewon, “Kakak....” gadis kecil itu mengerjap, alisnya bertaut. Chaewon tertawa kecil melihat putri bungsunya menggembungkan pipi, tangan gempalnya mengucek mata menahan kantuk yang menyerang, “Jadi Kakak di mana?”

Derit pintu kamar yang terbuka membuatnya menoleh. Putra sulungnya keluar dari kamarnya membawa baskom berisi air, “Daehyun? Kok bawa baskom? Bunda mana?”

“Mama,” ia bisa melihat kelegaan di wajah putranya yang baru saja berulang tahun kesembilan, “Mama ke mana aja? Aku tadi telepon kok nggak diangkat?”

Chaewon mengerutkan dahi, sebelah tangannya yang bebas meraih ponsel di saku celana, “Handphone Mama mati, Sayang, maaf ya. Kenapa?” Chaewon lantas menurunkan putrinya dari pangkuan, dan perlahan, ia menarik baskom yang dipeluk putranya, “Bunda kenapa, Sayang?”

“Bunda kayaknya sakit,” ia bisa melihat bibir anak laki-laki itu bergetar, “Tadi habis makan malam, Bunda minta aku sama Chaehyun langsung tidur, terus Bunda masuk kamar. Tapi aku nggak tenang, Ma. Bunda pucat dari sore. Terus pas keningnya kupegang, hangat. Berarti demam 'kan ya Ma? Aku kompres nggak apa-apa 'kan?” ia bertutur. Chaewon menghela napas. Jadi ini kenapa tadi sore dia tanya kapan aku pulang.

“Iya, nggak apa-apa. Jagoan Mama hebat,” ia mengelus kepala putranya, “Sekarang cuci muka ya. Cuci muka, cuci tangan sama kaki, sikat gigi, terus tidur. Bisa sendiri 'kan?” Daehyun mengangguk.

“Bunda nggak apa-apa 'kan Ma?”

“Nggak,” Chaewon tersenyum, “Tidur aja ya. Biar Bunda Mama yang urus,” putranya lantas berjalan ke arah kamar mandi. Chaewon meraup putri bungsunya dalam pangkuan, “Nah, sekarang, Tuan Putri juga siap-siap tidur ya. Kita cuci tangan dulu, tanganmu ada krayonnya tuh,” ujarnya dan Chaehyun lagi-lagi terkikik geli.

“Tidur sama Mama?”

“Mama temenin sampai tidur. Chaehyun sudah besar 'kan? Bisa tidur sendiri?”

“Aku sudah besar,” putri bungsunya mengangguk, “Tidur sendiri!” Chaewon terkekeh. “Oke, sekarang, bersih-bersih!”

Yuri tahu diri untuk tidak memesan kopi pukul empat sore.

Namun, gadis di hadapannya malah memesan satu cup americano dan sepotong cheesecake, membuatnya bergidik ngeri, membayangkan pahitnya kopi dan gurihnya keju bersatu dalam mulut. Gadis itu, Hitomi, menatapnya geli, “Kenapa?”

Yuri menggeleng, “Kukira pacarmu saja yang seleranya aneh, ternyata kau juga,” tandasnya, yang disambut tawa kecil oleh Hitomi.

“Aku setuju, selera pacarku memang aneh—es krim pasta gigi? Seandainya aku tahu itu sebelum kami berpacaran, mungkin aku akan mempertimbangkan ajakan kencannya. Tapi sekarang? Aku terlanjur sayang.”

“Ugh,” Yuri lagi-lagi bergidik, “Sahabatku berubah menjadi budak cinta dalam sekejap,” ia menarik ponselnya yang terletak di atas meja saat dilihatnya layarnya menyala, menampilkan notifikasi pesan masuk.

“Nako sudah menghubungimu?” Hitomi menatapnya sambil menyeruput minumannya. Yuri mengangguk, “Kau betulan tidak keberatan kutinggal sendirian?”

Hitomi mengibaskan tangannya, “Pergilah. Ini pertama kalinya Nako pulang kemari setelah empat bulan kalian tidak bertemu. Jangan khawatirkan aku. Satu 'jemput aku', dan Chaewon akan ada di sini dalam lima menit.”

“Aku ingin menyanggah, tapi kau benar. Bahkan sebelum kau menelepon pun, aku sudah di sini,” kedua gadis itu menoleh, mendapati kekasih Hitomi yang berjalan mendekat ke arahnya, “Hai, Sayang,” sebuah kecupan mendarat di pipi Hitomi dan Yuri berjengit.

“Ew,” ia bergumam. Chaewon tertawa, “Omong-omong, aku ada di sini karena tahu kau akan segera pergi. Aku bertemu dengan Nako tadi. Kau ada janji dengannya 'kan?”

Yuri mengangguk, “Kami ada janji nonton. Dan mungkin, makan malam,” Yuri mengedikkan bahu.

“Dan mungkin menginap. Dan mungkin—” Chaewon menggantung kalimatnya, menahan tawa saat Yuri mengacungkan garpu ke arahnya. Kedua tangannya terangkat ke udara, tanda menyerah, “Whoa, turunkan senjatamu Nona Muda. Lagipula kalian bukan lagi anak sekolah yang kutemui duabelas tahun lalu. Kalian sudah tumbuh menjadi perempuan dewasa sekarang.”

“Ya, ya, terserah,” Yuri mengibaskan tangan kanannya tak peduli, “Kalau begitu aku duluan. Nikmati kencan kalian di sini.” Yuri menarik tasnya dan menyampirkannya di bahu, “Bagaimana kalau besok kita makan malam bersama?”

Hitomi menoleh ke arah pacarnya yang bergegas membuka agenda kecil miliknya yang selalu ia bawa, “Sayang?”

Chaewon mendongak, “Oke, jadwalku kosong selepas pukul enam besok. Kami akan datang.”

Yuri tersenyum, “Baiklah, sampai besok, kalau begitu.”

“Chaewon? Kau sudah mau pulang?” Kulirik Minju yang baru saja menyeduh secangkir kopi untuk dirinya sendiri. Ah. Secangkir kopi di sore hari selepas bekerja seharian penuh tampak sangat menggoda—meskipun akhir-akhir ini, seseorang berhasil membuatku berhenti kecanduan kopi.

“Mm,” gumamku sambil mengenakan jaket—menutupi kaus lengan pendek yang kukenakan, yang kini tercoreng cokelat. Kubersihkan nanti saja di apartemen. “Bisa tolong kunci toko untukku nanti? Bawa saja kuncinya. Kunci cadangan ada di apartemenku,” ujarku dan Minju mengangguk. Wajahnya terhalang cangkir kopi yang ia seruput, sebelah alisnya terangkat.

“Kau terlihat terburu-buru,” ia berkata dengan senyum kecil, “Pacarmu menunggu?”

“Hitomi bukan pacarku,” aku mendengus, tanganku sibuk memeriksa barang-barangku. Kunci apartemen. Dompet. Daftar belanjaan titipan Hitomi. Oke. Semua aman.

“Aku tidak bilang kalau pacarmu Hitomi,” aku mengerang, yang ia timpali dengan tawa renyah, mengalahkan renyahnya keripik kentang yang biasa kumakan tiap kali aku dan Hitomi menonton film berdua, “Tapi baiklah. Anggap saja aku menyebut namanya. Omong-omong, aku menyukai parfum yang ia rilis musim semi lalu. Wanginya mengingatkanku pada Mama.”

Aku tersenyum kecil. Sejak ia memutuskan untuk menerima bantuanku, pelan tapi pasti, ia mulai berani menghadapi masa lalu. Ia memang belum sepenuhnya memaafkan dirinya sendiri, tapi paling tidak, ia tak lagi termenung dan berujung menangis melihat tumpukan benang rajut, atau selalu memintaku memanggang seloyang kue labu.

Banyak hal yang mengingatkannya pada masa kecil. Makanan. Rajutan. Dan wewangian kini menjadi caranya untuk mengenang mereka yang telah tiada.


“Aku.... ingin belajar membuat parfum,” gadis itu berkata di suatu malam. Chaewon yang tengah berkutat dengan beberapa jenis teh menoleh, “Ya?”

“Aku ingin belajar membuat parfum,” gadis itu sekali lagi berkata. Chaewon meletakkan cangkir yang tengah dipegangnya di atas meja. Beberapa cangkir berjajar di depannya. Dari yang berisikan teh berwarna hitam hingga yang berwarna biru, “Kau mau menceritakannya padaku?” Sebelah tangannya terulur, meminta Hitomi mendekat. Hitomi lantas menarik kursi di depannya, dan perlahan, jemari mereka bertaut.

“Kau ingat kenapa awal musim gugur lalu aku mampir ke tokomu?”

Chaewon mengangguk, “Kau mencium wangi kue labu yang baru saja dipanggang dari kejauhan, dan wanginya persis seperti kue labu yang kerap kali ibumu panggang di sore hari di musim apapun sebab kakakmu adalah penggemar berat kue labu.”

Hitomi terkekeh, “Kau punya ingatan yang mengagumkan. Kau bahkan ingat detailnya tapi ya, itulah kenapa aku mampir ke tokomu awal musim gugur yang lalu.” Hitomi terdiam sejenak. Gadis itu menggigit bibir, dan dirasakannya jemari Chaewon yang meremas jemarinya. Gadis itu menatapnya sambil tersenyum, seolah berkata Tidak apa-apa, aku di sini, katakan apapun yang mengganggu pikiranmu dan akhirnya Hitomi menghela napas sebelum berkata, “Lebih dari rajutan atau rasa yang kukecap, aku mengenang lewat bau.”

Chaewon hanya duduk di sana, memandangi gadis itu, menggenggam tangannya. Tak ingin menyela. Tak ingin melepas. Hitomi kemudian melanjutkan, “Kau tahu, kenapa aku selalu mengenakan parfum dengan wangi osmanthus? Osmanthus mengingatkanku pada Ibu. Ibu yang tersenyum merangkai bunga itu satu per satu, lalu menatanya dalam vas. Atau kenapa aku selalu berbinar tiap kau membawa buku yang masih berbungkus plastik. Wangi buku baru—atau wangi buku pada umumnya, selalu mengingatkanku pada Ayah yang akan duduk di tepi ranjang, membawakanku buku, lalu membacakannya hingga aku tertidur sebab aku belum bisa membaca.”

“Kau ingin mengabadikan mereka melalui bau?” Chaewon berkata. Hitomi lantas mengangguk.

“Oke,” Chaewon tersenyum lebar, “Aku kenal seorang perfumer hebat. Kau bisa belajar darinya nanti. Lakukanlah apa yang ingin kaulakukan, Hitomi. Aku akan selalu ada di sampingmu, jangan takut. Kau punya aku yang akan terus mengiringi setiap langkahmu.”


“Wangi apa yang ingin kauciptakan sekarang?” Tanyaku di ambang pintu, “Belanjaanmu sudah kutaruh di dapur, omong-omong. Bahan makanan sudah kusimpan dalam kulkas. Bumbu dapur dan keperluan pribadimu kusimpan di sana. Aku tidak tahu kau mau menyimpannya di mana.”

Gadis itu menoleh dan tersenyum lebar, “Hei,” sapanya hangat, sebelah tangannya mengisyaratkanku untuk mendekat. Aku selalu senang melihatnya tersenyum lebar begini. Matanya akan melengkung serupa bulan sabit, dan gigi kelincinya akan menyembul malu-malu; dia terlihat seperti anak kecil yang manis meski usianya tak lagi muda.

“Terima kasih,” ujarnya sambil melingkarkan lengan di pinggangku. Di atas meja di hadapannya berjejer botol-botol kecil berisi minyak—Hitomi menyebutnya raw material, tapi aku tidak paham sedikitpun ocehannya, jadi lebih baik kuiyakan saja.

Ada sebuah botol baru dengan warna yang belum pernah kulihat. Botol itu kecil. Kira-kira ukuran sepuluh mili. Aku mencondongkan tubuh, “Ini parfum barumu? Ini—” dahiku berkerut, cepat aku menoleh ke arah gadis itu, “Kau merokok?”

Hitomi tertawa kecil, “Percobaanku berhasil, kalau begitu,” ia menarik botol bening itu, menyemprotkannya pada selembar smelling strip—kalau tidak salah, itu namanya. Kertas yang kau gunakan untuk membaui parfum, “Katakan padaku apa saja yang bisa kaubaui.”

Aku menarik kertas itu mendekat, menggoyangkannya sedikit di depan hidung, “Rokok,” ujarku. Dahiku berkerut, berusaha meraba wangi yang menyerang penciumanku, “Chamomile? Lalu,” kuhidu bau yang menguar di udara, “Aku mencium wangi produk berbahan kulit. Dan—” aku sedikit meringis, “Kemenyan?”**

Hitomi terkekeh, “Bingo.”

“Mengingatkanku pada wangi Papa dan Kakek,” gadis itu lalu menatapku dengan senyum tipis, “Untuk itulah aku membuatnya.”

“Wangi Ayah?” Hitomi mengangguk. Mau tak mau aku tersenyum. Kuraih tubuhnya dalam dekapan, dan sebelah lengannya kini ikut melingkar di pinggangku. Kusandarkan dagu sepenuhnya di atas kepala gadis itu, “Kau bau rokok, tapi tak masalah,” aku bisa mendengar kekeh pelan yang teredam, “Selama kau bisa mengabadikan mereka dalam wewangian, aku tidak keberatan mencium bau rokok yang menguar dari tubuhmu setiap hari—Ouch!” Sebelah tangannya mencubit pinggangku. Aku meringis, namun cepat gadis itu mengusapnya pelan. Kulonggarkan pelukan saat gadis itu berusaha mendongak.

“Toska.”

Aku menatapnya dengan kedua alis terangkat, “Kunamai parfum itu Toska. Rasa rindu yang tak tahu ke mana harus berlabuh.”

Mau tak mau aku tersenyum kecil. Perlahan, jemariku menangkup kedua pipinya. Gadis itu menggeleng, “Tidak, aku baik-baik saja, sungguh,” ia tersenyum, namun sebelah tangannya meraih botol lain berwarna biru muda. Ia menyodorkan botol itu padaku, dan perlahan, aku melepaskan pelukan, meraih botol parfum miliknya dan selembar smelling strip. Semprotan pertama. Wangi yang pertama menyapa hidungku—

“Roti?” Hitomi tersenyum, “Lalu—butter cream. Hm,” kugoyangkan sekali lagi smelling strip di depan hidup, “Kopi,” Hitomi mengangguk, “Kaunamakan apa parfum yang ini?” ***

“Aku ingin menamainya dengan namamu, Kim Chaewon, karena kini selain mengingatkanku pada Ibu dan Kakak, wangi toko roti mengingatkanku padamu,” ia berujar, namun tak lama ia mencebik, “Tapi itu artinya akan ada banyak orang yang memilikimu. Aku tidak ingin berbagi milikku dengan banyak orang,” ia menatapku dengan pandangan seekor anak anjing yang merajuk. Aku mengerjap. Sebentar. Terlalu banyak hal yang harus diproses otakku, namun yang sanggup kukatakan hanyalah, “Aku—milikmu?”

Ia mengangguk, “Maaf membuatmu menunggu selama ini.”

Aku percaya jika aku terus tersenyum begini, bibirku bisa sobek, lalu aku berubah menjadi Joker, atau Frankenstein, atau alien—aku tak peduli, “Aku milikmu?”

Gadis itu mendekapku erat, menyembunyikan wajahnya dalam pelukanku, “Kunamai parfum itu Schatzi—kesayangan, harta karun. Kau—harta karunku. Kesayanganku.”

Aku terkekeh dan perlahan membalas pelukannya, “Paradies adalah dirimu dalam bentuk parfum.” Kami membiarkan waktu berlalu dalam dekap masing-masing. Aku tidak pernah memintanya menjawab pertanyaanku sesegera mungkin. Aku mau mendampinginya selama mungkin; itulah yang kukatakan waktu itu, tepat sebelum ia memulai perjalanan panjangnya menghadapi masa lalu. Kini, ia berada dalam dekapanku. Bukan dia yang beruntung. Aku yang beruntung telah ia temukan.

“Chaewon?” Ia mendongak dan pelukan kami melonggar, “Ada hal yang sudah sejak lama ingin kutanyakan padamu,” aku mengangguk, mengisyaratkannya untuk melanjutkan perkataannya.

“Apartemen di sini mahal, aku tahu itu. Unit ini milikmu. Bukan unit sewaan. Lalu kau punya pengurus rumah. Psikolog yang kutemui tampaknya cukup mengenalmu dan ketika kalian membicarakan ayahmu, ia bahkan menyebutnya 'tuan'. Kau bahkan kenal dengan seorang perfumer—aku tahu benar untuk membantuku belajar langsung dari seorang perfumer, kau harus merogoh kocek cukup dalam. Kau bukan tukang roti biasa 'kan?”

Aku terkekeh, “Menurutmu bagaimana?”

“Aku punya dugaan,” ia lantas melepaskan pelukannya di pinggangku. Tangannya bergerak meraih wajahku, menariknya mendekat dan kami kini sedekat satu hela napas, “Kau mengenal Chef Kwon Yuri. Aku tahu siapa dia. Celebrity chef yang juga bekerja di Montgomery. Kau—”

Sebelah alisku terangkat, “Aku apa?”

“Kau Kim Chaewon, putri tunggal pewaris Montgomery 'kan?”

Tawaku meledak, “Kemampuan analisismu luar biasa,” gadis itu merengut, tangannya bergerak turun ke pundakku, dan perlahan tawaku berubah menjadi senyum kecil, “Ya. Aku Kim Chaewon yang itu,” ia menghela napas, “Ada apa, Hitomi?”

“Aku baru saja menjadi pacar seorang konglomerat,” dan lagi-lagi tawaku pecah.

“Tidak,” sebelah tanganku pelan bergerak menangkup wajahnya, menahannya di sana sebelum menghapus jarak yang tersisa di antara kami, “Kau baru saja menjadi pacar seorang tukang roti yang tergila-gila pada seorang perfumer.”


Catatan:

** notes parfum ini kutulis berdasarkan notes parfum dari Alien Objects, Pain

*** notes parfum ini kutulis berdasarkan notes parfum dari NZEBL, Bread Walk

Suara khas kunci pintu yang terbuka terdengar, dan tak lama, Hitomi bisa mendengar pintu berdebam. Ia mendengar langkah kaki seseorang mendekat, dan tak lama, sosok Chaewon yang terlihat lelah dan berantakan berdiri di depannya. Sepertinya gadis itu tidak berpikir akan bertemu dengan Hitomi di sini, di meja makan, dalam keadaan berantakan, dan Hitomi yang terbungkus selimut dengan mug berisi teh yang ia peluk. Namun, gadis itu tetap tersenyum.

“Hei,” ia melepas mantel, menyampirkannya di salah satu kursi, lalu tangannya bergerak membuka laci, “Sudah makan?” Ujarnya sambil menoleh ke arah Hitomi.

Hitomi mengangguk, “Kau sendiri? Duduklah, biar kubuatkan sesuatu,” baru saja ia hendak bangkit, kedua tangannya menahan bahunya, memaksa gadis itu tetap duduk diam di tempatnya. Hitomi menahan napas, kaget dengan jarak mereka yang tiba-tiba menipis, sementara Chaewon tersenyum kecil, “Duduklah. Aku hanya ingin menyeduh teh. Aku sudah makan malam, jangan khawatir,” gadis itu lantas menaruh ketel di atas kompor. Tak lama, ia duduk di hadapan Hitomi.

“Kau.... tidak berbohong, bukan?” tanya Hitomi ragu. Chaewon mengerutkan dahi, kepala miring ke kiri. Tangan kirinya menopang dagu, “Bohong?”

“Kau pucat, Chaewon,” jawabnya, “Sebulan ini kau—pucat. Kau makan dengan benar?”

Gadis itu tertawa kecil, “Tentu saja. Jangan khawatir.”

“Apa—,” Hitomi memainkan tali teh celup yang terjuntai, “Apa ini karena aku? Karena aku selalu terbangun di malam hari? Apa kau tidak bisa tidur—” kata-katanya terhenti saat dirasakannya kedua tangan Chaewon menangkup wajahnya. Gadis itu mencondongkan tubuh dari seberang meja, dan meski garis-garis lelah tergambar di wajahnya, gadis itu tetap tersenyum.

“Aku melakukannya karena aku mau,” ia berkata, “Aku yang mau membantumu. Aku yang membawamu kemari. Jangan merasa bersalah. Jika terjaga semalam suntuk berarti tetap melihat wajahmu keesokan harinya saat aku pulang, aku rela,” pelan jemarinya mengelus pipi gadis itu, “Jangan merasa bersalah, Hitomi.”

Lagi-lagi Hitomi menunduk. Tak lama, ia merasa sesuatu membasahi pipinya. Kemudian, ia terisak. Kedua tangan Chaewon tak lagi di pipinya; kedua tangannya melingkar di pundaknya, dan pandangannya terhalang oleh tubuh gadis itu.

“Ingat 'kan, kau tak membiarkanku tinggal bersamamu di apartemenmu? Jadi aku membawamu kemari. Kau setuju karena kau tidak mau sekujur tubuhku sakit karena harus tidur di kasur yang kecil, atau tidur di sofa. Aku yang mau membawamu kemari. Aku yang menawarkan bantuan padamu. Semuanya kulakukan atas keinginanku sendiri, Hitomi.”

“Kenapa?” Suaranya teredam, “Kenapa kau mau bersusah payah menyelamatkanku?”

“Sudah kubilang, aku masih ingin minum teh denganmu,” bisiknya pelan, kepalanya kini bersandar di puncak kepala Hitomi, “Kau—kau sudah menyelamatkan banyak nyawa, Hitomi. Lebih banyak nyawa yang kau selamatkan daripada nyawa yang tak sanggup kau jaga. Jangan marah pada dirimu sendiri. Itu bagian dari takdir,” ia menghela napas sebelum melanjutkan, “Biarkan aku menyelamatkanmu, Hitomi. Kau sudah banyak berbuat baik. Izinkan aku membalas kebaikanmu. Izinkan aku menjadi perantara antara dirimu dengan Semesta. Kau layak mendapatkan kebaikan yang besar.”

Ketel sudah bersiul dari tadi, namun Chaewon masih tak melepaskan pelukannya. Mug-mug berisi teh terlupakan, dan hanya ada mereka serta isak tangis Hitomi yang perlahan mereda. Mereka bertahan dalam posisi itu beberapa saat, hingga bahu Hitomi tak lagi.

“Chaewon?” Gadis itu perlahan melepaskan pelukannya, dan mata mereka bertemu.

“Aku mau,” ia berkata dan Chaewon menatapnya dengan pandangan tak mengerti.

“Bantu aku,” ia berkata pelan, “Bantu aku menghentikan semua mimpi buruk ini, Chaewon. Aku tak mau terbangun tengah malam lagi dan membuatmu terjaga sampai pagi. Bantu aku—”

Kata-katanya terputus saat Chaewon tiba-tiba mendekapnya erat, “Terima kasih,” ia berbisik, “Aku akan membantumu. Aku janji. Besok, kita akan bertemu dengan seseorang yang bisa membantumu. Kita hentikan semua mimpi burukmu, Hitomi.”

“Chaewon?”

Gerakan tanganku terhenti. Terdengar suara langkah kakinya yang ringan, dan tak lama, aku bisa merasakan kehadirannya di sisiku, “Ya Minju?” Kuletakkan lap di atas meja.

“Ini sudah tiga bulan sejak Hitomi tinggal bersamamu, bukan?”

Aku mengangguk, dan kulihat gadis itu menggigit bibir. Ia terus menerus memindahkan tumpuan tubuhnya—kanan, kiri, kanan kiri, jemarinya bergerak gelisah. Aku tersenyum kecil, “Dia baik-baik saja, Minju. Konselingnya berjalan cukup baik.”

“Tapi kau tidak terlihat baik-baik saja,” Minju tiba-tiba memegang kedua bahuku, mendorongku pelan hingga akhirnya aku terduduk. Ia lantas menarik kursi lain, memaksaku untuk tetap di tempat. “Kau selalu terlihat lelah.”

Aku menghela napas, “Aku membujuknya untuk mencari pertolongan,” sebelah tanganku mengusap wajah pelan, “Pada awalnya dia menolak. Dan selama sebulan penuh, ia terbangun pagi-pagi buta.

Ia... Ia belum siap menghadapi ketakutannya.”


Chaewon tersentak saat mendengar isak tangis tertahan dari sebelahnya. Ia mendorong tubuhnya bangun, dan di sebelahnya Hitomi terduduk; sebelah tangan mencengkeram dada, tangannya yang lain menjambak rambutnya sendiri.

“Hitomi...” cepat ia meraih gadis itu dalam pelukan. Dengan lembut ia melepaskan jemari gadis itu dari rambutnya, menarik pelan tangan yang mencengkeram dada, menariknya untuk mengalungkan kedua lengannya di pinggangnya sendiri, “Ssh... Aku di sini... Aku di sini...”

“C-Chaewon.... Ib-ibu.... K-kakak....”

“Ssh.... Itu hanya mimpi, Hitomi....” tangannya bergerak mengusap kepala gadis itu, membiarkan gadis itu memeluknya erat, “Itu hanya mimpi, Hitomi. Aku di sini.”

Chaewon membiarkan gadis itu menangis selama yang ia mau. Sebulan ke belakang, Chaewon tak lagi tidur di kamarnya. Ia selalu tidur bersama gadis itu, memastikan gadis itu baik-baik saja. Tak sekalipun ia protes meski punggung dan lehernya terasa sakit. Seharian ini ia bahkan harus berdiri di balik meja kasir. Malam sebelumnya, ia terjaga semalam suntuk—ia asyik merancang produk baru untuk toko roti mereka. Saat ia hendak tidur, Hitomi terbangun dengan wajah bersimbah peluh, sekujur tubuhnya gemetar dan Chaewon merelakan jam tidurnya yang hanya tersisa sedikit untuk menemani gadis itu—paling tidak, hingga matahari terbit, dan pengurus rumahnya datang kemari untuk menemani Hitomi.

Ini sudah satu bulan, batinnya, Kapan kau mau membiarkanku membantumu, Hitomi?

“Aku—aku—sibuk,” Chaewon mengeratkan pelukannya, menepuk-nepuk punggung gadis itu pelan, “Sibuk—orang lain—selamatkan—”

“Tidak apa-apa, Hitomi. Kau melakukan hal baik.”

“Ibu—Kakak—pergi,” gadis itu tersengal, “Selamatkan orang lain—keluarga—tidak bisa—”

“Aku di sini.... Ssh.... Kau melakukan hal baik.... Semua bukan salahmu....”

Chaewon menggigit bibir. Ia tahu Hitomi adalah mantan anggota regu penyelamat. Ia bisa membayangkan sebesar apa penyesalannya saat ia tak bisa menyelamatkan keluarganya sendiri, sementara di luar sana, ia sibuk menyelamatkan orang lain. Jika ia berada dalam posisi yang sama dengan gadis itu, mungkin ia akan melakukan hal yang lebih buruk lagi.

“Izinkan aku membantumu,” Chaewon berbisik pelan di telinganya, “Izinkan aku membantumu, Hitomi. Satu langkah kecil. Kita mulai dari satu langkah kecil. Pelan-pelan saja. Kita punya seluruh waktu di dunia, Hitomi. Tapi kau harus mengizinkanku untuk membantumu.

“Jangan menderita sendirian, aku ada untukmu...”


“Jadi dia—”

Aku mengangguk, “Enam bulan setelah kepergian ibu dan kakaknya, ia tetap bekerja sebagai regu penyelamat. Mungkin itu adalah salah satu caranya untuk mengubur rasa bersalahnya. Namun di bulan ketujuh, ia mulai ceroboh. Hilang konsentrasi. Satu waktu ia bahkan hampir kehilangan nyawanya sendiri,” kurasakan hangat genggam tangan Minju menyelimuti tanganku. Gadis itu menatapku dengan mata berkaca-kaca.

“Ia akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri. Awalnya, ia tak mau mengklaim uang asuransi. Ia hidup dari uang pesangon yang ia dapatkan. Namun karena terdesak, akhirnya ia mencairkan uang asuransi dan mulai mencari pekerjaan lain. Ia akhirnya memutuskan untuk ikut mengelola sebuah knitting room, meski tentu saja gajinya tak seberapa. Sebulan pertama ia bekerja di sana, ia selalu menangis tiap melihat benang.”

Hening menyelimuti kami berdua. Ini sudah hampir jam tutup toko, dan Chaeyeon, Yuri serta Nako telah pamit pulang sejak tiga puluh menit yang lalu. Sebentar lagi musim semi akan tiba, dan aku ingin sekali melihat bunga-bunga yang bermekaran bersama Hitomi. Jika kami beruntung, mungkin kami bisa melihat bunga osmanthus juga.

“Aku bersyukur kalian saling menemukan,” Minju tiba-tiba berkata, memecah keheningan di antara kami, “Sungguh, Chaewon, aku tak pernah merasa sebersyukur ini saat menyaksikan pertemuan dua manusia.” Minju menepuk-nepuk tanganku pelan, seulas senyum tipis tersungging di wajahnya.

Mau tak mau aku tersenyum, “Aku juga bersyukur akulah yang ditemukan gadis itu.”

“Jadi, akhirnya, dia bersedia mengikuti konseling?”

Aku mengangguk, “Setelah penolakan dan mimpi buruk sebulan penuh, ya. Ia mau.”

“Chaewon?” Gadis itu menyembulkan kepalanya dari celah pintu yang terbuka. Tanpa sadar, aku tersenyum. Kulepas kacamata, menaruhnya bersama buku di atas laci kecil di samping tempat tidur.

“Ya? Kau butuh sesuatu?”

“Kalau kau tidak keberatan—” gadis itu membuka pintu kamarku lebih lebar, “Boleh aku tidur di sini denganmu malam ini?”

Diam-diam aku mendengus. Gadis itu bersikap seolah meminta izin, tapi di tangannya, ia sudah memeluk bantal. Tapi ya sudahlah. Aku mengangguk, dan ia tersenyum, perlahan menutup pintu dan meletakkan bantal di ujung lain tempat tidur. Tak lama, ia berbaring, menarik selimut sampai ke leher. Ia lantas menoleh.

“Kau tidak tidur?”

“Sebentar lagi,” jawabku, tanganku bertengger di kacamata yang baru saja terpasang, “Kenapa kau menatapku begitu? Ada sesuatu di wajahku?” Kuraih buku catatan di dalam laci, dan tanganku mulai menari bersama pulpen di atas kertas.

“Kau pucat,” jawabnya. Bisa kudengar suaranya memelan, persis orang mengantuk—um, ya, dia memang mengantuk, secara teknis, “Lingkaran hitam di bawah matamu juga menebal....”

Hitomi tak perlu tahu bahwa aku akan terjaga sampai ia tidur, lalu bangun pukul tiga untuk memastikan gadis itu tak memimpikan hal-hal buruk yang membuatnya terbangun bersimbah peluh. Syukurlah, hanya dua kali saja ia terbangun dengan ekspresi ngeri. Pertama, saat pertama ia pindah kemari (dan omong-omong, setelahnya, aku kembali tidur sambil duduk di dekat kaki tempat tidur). Kedua, lima hari yang lalu, saat Bibi Suyeon tak sengaja menyetel televisi yang menyiarkan berita yang mirip dengan kasus ibu dan kakaknya.

“Aku sedang menyiapkan resep baru, tak perlu khawatir, kau—” kalimatku terhenti saat kudengar dengkur halus di sebelahku. Aku tersenyum, dan kuletakkan kembali buku catatan di dalam laci. Kulepas kacamata, menarik tali di lampu baca yang tertempel di kepala tempat tidur hingga cahayanya padam, dan kubiarkan kantuk menyerang kedua mataku yang lelah.

“Selamat tidur, Hitomi.”


“Selamat pagi, Chaewon,” suara manis gadis itu menyapa telingaku, dan tanpa sadar aku menggeliat, meregangkan tubuh, saat kurasakan sesuatu melingkar di perutku. Aku mengerjap. Kutundukkan pandangan—

“Maaf,” ujar gadis itu, “Kau hangat. Aku benci dingin.” Gadis itu berkata dengan suara khas orang bangun tidur. Aku menggeleng pelan, mengusak rambutnya dan gadis itu mengaduh kecil, “Tidak masalah. Aku tidak melakukan yang aneh-aneh saat aku tidur 'kan?”

“Kau menggumamkan sesuatu soal parfum dan roti,” ia terkekeh pelan, “Mimpi apa semalam?”

“Kau,” dan gadis itu mendongak, “Aku memimpikanmu—juga pembicaraan kita tentang roti dan parfum beraroma toko roti.”

Gadis itu terdiam, menatapku lamat-lamat. Matanya sungguh cantik. Tidak besar. Tidak bulat. Tapi cantik. Membuatmu ingin menyelam ke dasarnya, mengungkap rahasia yang tersembunyi di balik gelapnya bola matanya, bersemayam di sana hingga kau bisa melihat apa yang matanya lihat.

“Hitomi?”

Gadis itu mengangkat kedua alis, mengisyaratkanku untuk melanjutkan apapun yang ingin kukatakan, “Kita mungkin baru mengenal satu sama lain sekitar empat atau lima bulan,” ujarku pelan, “Tapi aku sungguh peduli padamu.”

Kulihat kedua matanya mengerjap, tapi ia tak berkata apa-apa, maka kuputuskan untuk memuntahkan apapun yang ingin kukatakan, “Kau tahu, mungkin ini aneh, tapi aku sungguh jatuh hati padamu.”

“Chaewon—”

“Ya, aku tahu, jatuh cinta pada orang asing yang kautemui di toko roti itu aneh. Minum teh setiap hari bersama orang asing itu aneh. Memelukmu di pagi hari seperti ini juga aneh. Tapi aku menyukainya,” kudorong tubuhku turun, menyejajarkan pandangan kami, “Dan aku berniat untuk terus melakukannya sepanjang sisa hidupku.”

“Jangan,” gadis itu menggeleng, “Jangan menjanjikan seluruh hidupmu untukku. Aku tidak mau—”

“Kau belum berdamai dengan dirimu sendiri, aku tahu,” perlahan tanganku mengusap pipinya, dan gadis itu memejam, “Izinkan aku membantumu, Hitomi. Aku akan membantumu, dan kita akan minum teh bersama lagi. Kau akan mengunjungiku di toko rotiku lagi.”

“Chaewon—”

“Kau mau menutup pintu masa lalu dan membuka pintu menuju masa depan bersamaku?”

“Jadi kakak dan ibumu.... Pergi setelah utang-utang mereka lunas?”

Hitomi menunduk lalu mengangguk. Perlahan, ia mendongak, menatapku dengan senyum getir, “Aku selalu tahu bahwa selain meninggalkan nama, Ayah juga meninggalkan utang. Aku hanya tak tahu seberapa besar, sebab Ibu dan Kakak tak sekalipun menunjukkan bahwa kehidupan kami sulit.”

Ah—gadis itu. Separuh dari diriku merasa bahwa aku harus duduk di sebelah gadis itu, merengkuhnya, atau minimal menggenggam tangannya, meyakinkan gadis itu bahwa sekarang, semuanya baik-baik saja. Namun, aku tak yakin gadis itu cukup nyaman untuk berbagi jarak sedekat itu denganku. Tapi di sisi lain, aku ingin ia tahu bahwa aku di sini, maka tanpa banyak bicara jemariku bergerak pelan, menautkannya dengan jemari Hitomi di atas meja. Gadis itu tersenyum.

“Kau tahu di sini, kita bisa mengajukan klaim asuransi untuk kasus ibu dan kakakku. Ia tahu benar itu. Sejak tujuh tahun lalu, ia diam-diam membayar asuransi. Ia sudah merencanakan ini sejak tujuh tahun yang lalu. Begitu utang-utang mereka lunas, mereka akan pergi, meninggalkanku dengan uang.

Apa mereka pikir aku akan bahagia hanya hidup sendiri? Aku tidak peduli soal uang, tak ada yang bisa menggantikan kehadiran mereka di sini! Hidupku tidak berarti! Bagaimana bisa aku melihat tumpukan benang tanpa teringat wangi osmanthus yang menguar dari tubuh Ibu? Bagaimana bisa aku melihat kue labu tanpa teringat Kakak? Bagaimana—”

Secepat kilat aku bangkit, merengkuh gadis itu dalam pelukan, membiarkan kantung air matanya kembali terbuka bagai bendungan bocor. Sesekali kutepuk pundak gadis itu, “Menangislah. Menangislah sepuasmu, Hitomi. Ada aku. Aku di sini. Menangislah. Kau boleh marah pada Semesta. Jangan ditahan. Aku hanya memintamu untuk tetap datang ke toko rotiku setiap sore. Kita akan minum teh bersama dan membicarakan roti-roti yang ingin kaucicipi. Aku akan mengantarmu pulang dan esok paginya, aku akan mengirimimu foto secangkir kopi tanpa gula. Apa permintaanku berlebihan?”

Gadis itu tiba-tiba mengeratkan pelukan, dan meski tak sepatah katapun keluar dari mulutnya, aku tahu gadis itu memintaku tinggal.

Aku tahu gadis itu bersyukur aku memintanya tinggal.


“Boss, kau mampir ke apartemen Nona Hitomi lagi?”

Chaeyeon mendongak saat pintu dapur terbuka, angin dingin berembus dan aku bergidik. Cepat kugantungkan mantel tebal yang beberapa saat lalu membungkus tubuhku, lengkap dengan syal berwarna berwarna mint. “Syal baru, Boss?”

“Ya untuk keduanya,” jawabku singkat. Ia tersenyum kecil, “Dari Nona Hitomi?”

“Berhenti memanggilnya Nona, Chaeyeon,” aku melenguh, “Panggil saja Hitomi.”

“Dia pacarmu Boss, aku harus—”

“Siapa yang punya pacar?” Minju mendadak muncul dari pintu yang menghubungkan dapur dengan area kafe, “Kau?” Telunjuknya menunjuk Chaeyeon, yang disambut dengan gelengan singkat olehnya.

“Boss kita,” ia berkata, kemudian berlalu membawa senampan penuh croissant yang siap dipannga. Minju terbeliak, tangannya yang tak menggenggam lap kotor bergerak menutup mulutnya, “Kau? Siapa? Hitomi?”

“Dia bukan pacarku,” gerutuku sambil menggulung lengan baju dan memasang celemek, “Kembali bekerja. Di mana Yuri dan Nako? Kenapa mereka belum datang?”

“Trem mogok, Boss,” jawab Chaeyeon dan tangannya sibuk mengatur nampan-nampan dalam oven, “Mungkin mereka akan sampai satu jam lagi. Tidak masalah. Aku bisa mengatasi semuanya.”

“Dia baik-baik saja 'kan?” Minju berkata pelan, memastikan Chaeyeon tak berada dalam jarak dengar kami, “Ini sudah seminggu dia tak kemari. Kau juga terlihat sedikit pucat.”

“Aku baik-baik saja,” jawabku sama pelannya, “Dan Hitomi akan baik-baik saja. Aku janji. Untuk itulah aku membawanya keluar dari apartemen kecilnya untuk tinggal denganku sementara. Paling tidak, ada Bibi Suyeon—”

“KAU APA?!” Chaeyeon menoleh, namun bergegas mengalihkan pandangan saat melihatku yang sudah berkacak pinggang. Minju mengaduh, tanganku memukulnya tepat di kepala. Rasakan. “Kau bahkan tidak pernah membiarkanku tinggal lebih dari sehari di apartemenmu. Kau membiarkan Hitomi tinggal seminggu?!”

“Baru empat hari, Minju,” jawabku singkat, “Aku merasa dia lebih aman di sana bersama Bibi Suyeon. Mereka cocok, lagipula. Selama empat hari ini, setiap pagi aku akan melihatnya berdiri berdampingan dengan Bibi di dapur, membicarakan diskon supermarket, merek pewangi pakaian, dan rajutan.”

“Tetap saja,” bibirnya mencebik, “Tapi kuharap ia baik-baik saja.”

“Kuharap juga begitu.”

“Hitomi, mulai besok, kita akan pindah ke apartemen yang lebih kecil,” masih jelas di ingatan gadis itu saat untuk pertama kalinya, ia harus meninggalkan rumah yang ia tinggali sejak ia belum bisa mengingat.

“Kenapa? Aku suka di sini, Bu. Semua mainanku bagaimana?” Pertanyaan polos anak yang keluar dari mulutnya memancing senyum kecil di wajah ibunya, “Sayang, kita tidak bisa membawa semua mainanmu. Tidak apa-apa 'kan? Apartemen yang akan kita tinggali lebih kecil, jadi pilih mainanmu yang paling berharga saja. Lihat,” telunjuk ibunya mengarah pada kakak perempuannya, “Kakakmu saja tidak membawa semua bukunya. Hanya satu kardus kecil. Ini,” ibunya menyorongkan kardus padanya, “Masukkan mainanmu yang paling berharga ke sini.”

Bagi Hitomi kecil, omongan orang dewasa terlalu sulit dipahami. Namun, ia mengerti, bahwa ibunya memintanya untuk berkemas. Dimasukkannya satu per satu boneka-boneka miliknya ke dalam kardus. Ia merasakan kehadiran seseorang di sampingnya, dan senyum cerah kakaknya adalah hal pertama yang ia lihat.

“Kau hanya mau membawa boneka-boneka hasil rajutan ibu?” Tanyanya. Tangannya kemudian meraih sebuah boneka yang rupanya rak begitu bagus, “Kau yakin tidak mau membuang ini? Lihat, rajutannya terlepas, kapasnya keluar, dan lagi—” kakaknya bergidik, “Oh astaga, lihat wajahnya. Kau yakin tidak akan bermimpi buruk setelah melihatnya?”

Hitomi kecil tersenyum, menunjukkan deretan giginya yang putih, “Kakak membuatkan itu untukku. Jadi tentu saja harus kubawa!” Tangannya kemudian meraih sebuah buku cerita lusuh bergambar seekor beruang yang memangkul pacul. “Paman Beruang Bertani” begitu judul yang tertera di sampul. Kakaknya mengerutkan dahi, “Memangnya buku itu masih akan  kau baca? Lihat, sampulnya akan copot begitu.”

Hitomi merengut, hidungnya berkerut, “Kakak lupa ya? Sebelum Ayah pergi ke Surga, Ayah selalu membacakan buku untukku. Buku ini adalah buku yang Ayah bacakan tiap malam. Aku juga belajar membaca lewat buku ini.”

Dari kejauhan, sang ibu memperhatikan kedua putrinya yang tengah duduk bersimpuh.

Takuya, kenapa kau menyembunyikan utang-utangmu dari kami? Kenapa kau meninggalkan kami dalam kesulitan? Bagaimana aku bisa membesarkan kedua putri kita?


“Hitomi tidak perlu tahu.”

“Sampai kapan, Naomi?” Ibunya mengusak rambutnya frustasi, “Hitomi sudah cukup dewasa untuk tahu kalau kita tidak punya cukup uang untuk mendukung cita-citanya!”

“Aku yang akan bekerja!” setengah berteriak Naomi berujar, “Aku tidak perlu kuliah. Aku tidak perlu gelar yang tinggi. Aku bisa kerja di mana saja. Toko roti, minimarket, di manapun! Hitomi tidak boleh kehilangan masa depannya.”

“Apa kau pikir gajimu sanggup memenuhi kebutuhannya? Jangan berpikir yang aneh-aneh. Lanjutkan saja sekolahmu. Biar Ibu yang bicara pada Hitomi.”

“Bu,” kedua matanya berkaca-kaca, “Hitomi kehilangan Ayah di usianya yang masih muda. Ia juga harus menyesuaikan diri dengan kehidupan kita sekarang. Aku tahu diam-diam Ibu juga meminjam uang pada para lintah darat itu karena kita tak lagi punya uang untuk makan. Ibu tak lagi bekerja 'kan? Hasil rajutan Ibu juga sepi pembeli 'kan?

“Biarkan setidaknya aku berusaha memberikan hidup yang lebih baik untuk Hitomi. Biarkan aku juga membantu melunasi utang-utang Ibu dan Ayah. Aku punya rencana besar.”


“Kakak?”

“Ya, Hitomi?”

“Kau tentu sudah dengar kalau di kota sebelah—”

“Banjir, benar,” Naomi meletakkan bukunya di tempat tidur. Menyedihkan, memang, mesti berbagi kamar dengan adikmu di usiamu yang tak lagi muda. Tapi mereka bisa apa?

“Kapan kau akan berangkat?” Ia meletakkan kacamatanya, jemarinya bergerak memijat hidung.

“Esok lusa,” ujar Hitomi sambil merangkak ke arah tempat tidurnya, menarik selimut hingga leher. Ia berbaring menghadap Naomi yang menatapnya dengan kedua alis terangkat, “Doakan aku agar selamat.”

Naomi tersenyum kecil, meraih tubuh mungil adiknya dalam dekapan, “Kau akan baik-baik saja, Hitomi. Jangan khawatir. Kau tahu benar sebagai regu penyelamat, kau harus menyelamatkan dirimu sendiri sebelum menyelamatkan orang lain. Kau akan baik-baik saja, aku jamin itu.”

Hitomi pikir, kakaknya hanya sedikit merasa emosional saat itu, dan kata-kata yang meluncur dari mulutnya hanyalah kata-kata penenang yang biasa ia sampaikan padanya sebelum ia bertugas. Namun, siapa sangka, kakaknya memang benar-benar telah menjamin hidupnya bahkan setelah kepergiannya.

Dan sejak saat itu, Hitomi merasa hidup tak ada artinya lagi.