Rencana Besar (Untuk Mati)
“Hitomi, mulai besok, kita akan pindah ke apartemen,” masih jelas di ingatan gadis itu saat untuk pertama kalinya, ia harus meninggalkan rumah yang ia tinggali sejak ia belum bisa mengingat.
“Kenapa? Aku suka di sini, Bu. Semua mainanku bagaimana?” Pertanyaan polos anak yang keluar dari mulutnya memancing senyum kecil di wajah ibunya, “Sayang, kita tidak bisa membawa semua mainanmu. Tidak apa-apa 'kan? Apartemen yang akan kita tinggali lebih kecil, jadi pilih mainanmu yang paling berharga saja. Lihat,” telunjuk ibunya mengarah pada kakak perempuannya, “Kakakmu saja tidak membawa semua bukunya. Hanya satu kardus kecil. Ini,” ibunya menyorongkan kardus padanya, “Masukkan mainanmu yang paling berharga ke sini.”
Bagi Hitomi kecil, omongan orang dewasa terlalu sulit dipahami. Namun, ia mengerti, bahwa ibunya memintanya untuk berkemas. Dimasukkannya satu per satu boneka-boneka miliknya ke dalam kardus. Ia merasakan kehadiran seseorang di sampingnya, dan senyum cerah kakaknya adalah hal pertama yang ia lihat.
“Kau hanya mau membawa boneka-boneka hasil rajutan ibu?” Tanyanya. Tangannya kemudian meraih sebuah boneka yang rupanya rak begitu bagus, “Kau yakin tidak mau membuang ini? Lihat, rajutannya terlepas, kapasnya keluar, dan lagi—” kakaknya bergidik, “Oh astaga, lihat wajahnya. Kau yakin tidak akan bermimpi buruk setelah melihatnya?”
Hitomi kecil tersenyum, menunjukkan deretan giginya yang putih, “Kakak membuatkan itu untukku. Jadi tentu saja harus kubawa!” Tangannya kemudian meraih sebuah buku cerita lusuh bergambar seekor beruang yang memangkul pacul. “Paman Beruang Bertani” begitu judul yang tertera di sampul. Kakaknya mengerutkan dahi, “Memangnya buku itu masih akan kau baca? Lihat, sampulnya akan copot begitu.”
Hitomi merengut, hidungnya berkerut, “Kakak lupa ya? Sebelum Ayah pergi ke Surga, Ayah selalu membacakan buku untukku. Buku ini adalah buku yang Ayah bacakan tiap malam. Aku juga belajar membaca lewat buku ini.”
Dari kejauhan, sang ibu memperhatikan kedua putrinya yang tengah duduk bersimpuh.
Takuya, kenapa kau menyembunyikan utang-utangmu dari kami? Kenapa kau meninggalkan kami dalam kesulitan? Bagaimana aku bisa membesarkan kedua putri kita?
“Hitomi tidak perlu tahu.”
“Sampai kapan, Naomi?” Ibunya mengusak rambutnya frustasi, “Hitomi sudah cukup dewasa untuk tahu kalau kita tidak punya cukup uang untuk mendukung cita-citanya!”
“Aku yang akan bekerja!” setengah berteriak Naomi berujar, “Aku tidak perlu kuliah. Aku tidak perlu gelar yang tinggi. Aku bisa kerja di mana saja. Toko roti, minimarket, di manapun! Hitomi tidak boleh kehilangan masa depannya.”
“Apa kau pikir gajimu sanggup memenuhi kebutuhannya? Jangan berpikir yang aneh-aneh. Lanjutkan saja sekolahmu. Biar Ibu yang bicara pada Hitomi.”
“Bu,” kedua matanya berkaca-kaca, “Hitomi kehilangan Ayah di usianya yang masih muda. Ia juga harus menyesuaikan diri dengan kehidupan kita sekarang. Aku tahu diam-diam Ibu juga meminjam uang pada para lintah darat itu karena kita tak lagi punya uang untuk makan. Ibu tak lagi bekerja 'kan? Hasil rajutan Ibu juga sepi pembeli 'kan?
“Biarkan setidaknya aku berusaha memberikan hidup yang lebih baik untuk Hitomi. Biarkan aku juga membantu melunasi utang-utang Ibu dan Ayah. Aku punya rencana besar.”
“Kakak?”
“Ya, Hitomi?”
“Kau tentu sudah dengar kalau di kota sebelah—”
“Banjir, benar,” Naomi meletakkan bukunya di tempat tidur. Menyedihkan, memang, mesti berbagi kamar dengan adikmu di usiamu yang tak lagi muda. Tapi mereka bisa apa?
“Kapan kau akan berangkat?” Ia meletakkan kacamatanya, jemarinya bergerak memijat hidung.
“Esok lusa,” ujar Hitomi sambil merangkak ke arah tempat tidurnya, menarik selimut hingga leher. Ia berbaring menghadap Naomi yang menatapnya dengan kedua alis terangkat, “Doakan aku agar selamat.”
Naomi tersenyum kecil, meraih tubuh mungil adiknya dalam dekapan, “Kau akan baik-baik saja, Hitomi. Jangan khawatir. Kau tahu benar sebagai regu penyelamat, kau harus menyelamatkan dirimu sendiri sebelum menyelamatkan orang lain. Kau akan baik-baik saja, aku jamin itu.”
Hitomi pikir, kakaknya hanya sedikit merasa emosional saat itu, dan kata-kata yang meluncur dari mulutnya hanyalah kata-kata penenang yang biasa ia sampaikan padanya sebelum ia bertugas. Namun, siapa sangka, kakaknya memang benar-benar telah menjamin hidupnya bahkan setelah kepergiannya.
Dan sejak saat itu, Hitomi merasa hidup tak ada artinya lagi.