kimchaejjigae

“Hitomi, mulai besok, kita akan pindah ke apartemen,” masih jelas di ingatan gadis itu saat untuk pertama kalinya, ia harus meninggalkan rumah yang ia tinggali sejak ia belum bisa mengingat.

“Kenapa? Aku suka di sini, Bu. Semua mainanku bagaimana?” Pertanyaan polos anak yang keluar dari mulutnya memancing senyum kecil di wajah ibunya, “Sayang, kita tidak bisa membawa semua mainanmu. Tidak apa-apa 'kan? Apartemen yang akan kita tinggali lebih kecil, jadi pilih mainanmu yang paling berharga saja. Lihat,” telunjuk ibunya mengarah pada kakak perempuannya, “Kakakmu saja tidak membawa semua bukunya. Hanya satu kardus kecil. Ini,” ibunya menyorongkan kardus padanya, “Masukkan mainanmu yang paling berharga ke sini.”

Bagi Hitomi kecil, omongan orang dewasa terlalu sulit dipahami. Namun, ia mengerti, bahwa ibunya memintanya untuk berkemas. Dimasukkannya satu per satu boneka-boneka miliknya ke dalam kardus. Ia merasakan kehadiran seseorang di sampingnya, dan senyum cerah kakaknya adalah hal pertama yang ia lihat.

“Kau hanya mau membawa boneka-boneka hasil rajutan ibu?” Tanyanya. Tangannya kemudian meraih sebuah boneka yang rupanya rak begitu bagus, “Kau yakin tidak mau membuang ini? Lihat, rajutannya terlepas, kapasnya keluar, dan lagi—” kakaknya bergidik, “Oh astaga, lihat wajahnya. Kau yakin tidak akan bermimpi buruk setelah melihatnya?”

Hitomi kecil tersenyum, menunjukkan deretan giginya yang putih, “Kakak membuatkan itu untukku. Jadi tentu saja harus kubawa!” Tangannya kemudian meraih sebuah buku cerita lusuh bergambar seekor beruang yang memangkul pacul. “Paman Beruang Bertani” begitu judul yang tertera di sampul. Kakaknya mengerutkan dahi, “Memangnya buku itu masih akan  kau baca? Lihat, sampulnya akan copot begitu.”

Hitomi merengut, hidungnya berkerut, “Kakak lupa ya? Sebelum Ayah pergi ke Surga, Ayah selalu membacakan buku untukku. Buku ini adalah buku yang Ayah bacakan tiap malam. Aku juga belajar membaca lewat buku ini.”

Dari kejauhan, sang ibu memperhatikan kedua putrinya yang tengah duduk bersimpuh.

Takuya, kenapa kau menyembunyikan utang-utangmu dari kami? Kenapa kau meninggalkan kami dalam kesulitan? Bagaimana aku bisa membesarkan kedua putri kita?


“Hitomi tidak perlu tahu.”

“Sampai kapan, Naomi?” Ibunya mengusak rambutnya frustasi, “Hitomi sudah cukup dewasa untuk tahu kalau kita tidak punya cukup uang untuk mendukung cita-citanya!”

“Aku yang akan bekerja!” setengah berteriak Naomi berujar, “Aku tidak perlu kuliah. Aku tidak perlu gelar yang tinggi. Aku bisa kerja di mana saja. Toko roti, minimarket, di manapun! Hitomi tidak boleh kehilangan masa depannya.”

“Apa kau pikir gajimu sanggup memenuhi kebutuhannya? Jangan berpikir yang aneh-aneh. Lanjutkan saja sekolahmu. Biar Ibu yang bicara pada Hitomi.”

“Bu,” kedua matanya berkaca-kaca, “Hitomi kehilangan Ayah di usianya yang masih muda. Ia juga harus menyesuaikan diri dengan kehidupan kita sekarang. Aku tahu diam-diam Ibu juga meminjam uang pada para lintah darat itu karena kita tak lagi punya uang untuk makan. Ibu tak lagi bekerja 'kan? Hasil rajutan Ibu juga sepi pembeli 'kan?

“Biarkan setidaknya aku berusaha memberikan hidup yang lebih baik untuk Hitomi. Biarkan aku juga membantu melunasi utang-utang Ibu dan Ayah. Aku punya rencana besar.”


“Kakak?”

“Ya, Hitomi?”

“Kau tentu sudah dengar kalau di kota sebelah—”

“Banjir, benar,” Naomi meletakkan bukunya di tempat tidur. Menyedihkan, memang, mesti berbagi kamar dengan adikmu di usiamu yang tak lagi muda. Tapi mereka bisa apa?

“Kapan kau akan berangkat?” Ia meletakkan kacamatanya, jemarinya bergerak memijat hidung.

“Esok lusa,” ujar Hitomi sambil merangkak ke arah tempat tidurnya, menarik selimut hingga leher. Ia berbaring menghadap Naomi yang menatapnya dengan kedua alis terangkat, “Doakan aku agar selamat.”

Naomi tersenyum kecil, meraih tubuh mungil adiknya dalam dekapan, “Kau akan baik-baik saja, Hitomi. Jangan khawatir. Kau tahu benar sebagai regu penyelamat, kau harus menyelamatkan dirimu sendiri sebelum menyelamatkan orang lain. Kau akan baik-baik saja, aku jamin itu.”

Hitomi pikir, kakaknya hanya sedikit merasa emosional saat itu, dan kata-kata yang meluncur dari mulutnya hanyalah kata-kata penenang yang biasa ia sampaikan padanya sebelum ia bertugas. Namun, siapa sangka, kakaknya memang benar-benar telah menjamin hidupnya bahkan setelah kepergiannya.

Dan sejak saat itu, Hitomi merasa hidup tak ada artinya lagi.

“Jadi kau tak akan datang hari ini Boss?”

“Sepertinya begitu,” ujarku, “Chaeyeon, berikan ponselmu pada Minju,” terdengar gaduh suara pintu terbuka, dan tak lama, hening kembali menyapa, “Minju?”

“Chaewon, kau baik-baik saja?”

“Lengkap, tanpa kurang suatu apapun,” ujarku. Kulirik Hitomi yang berdiri membelakangiku, dan wangi telur dan daging asap yang digoreng tercium, “Maaf aku tidak akan datang hari ini. Kupercayakan toko padamu,” ujarku.

Kupandangi gadis itu lekat-lekat, dan baru kusadari betapa kurus tubuhnya. Entah karena ia selalu memakai pakaian berlapis selama ini, atau karena senyumnya yang menawan, aku tak sempat memperhatikan gadis itu dengan baik.

“Gadis itu—kau kemarin menyebut-nyebut sesuatu tentang—”

“Chaewon?” Wajahnya yang kuyu menatapku dan aku tersenyum. Jemariku mengisyaratkannya untuk menunggu dan ia mengangguk.

“Dia baik-baik saja,” bisikku pelan, “Semuanya baik-baik saja.”

“Syukurlah,” bisa kudengar hela napasnya yang penuh kelegaan, “Jika besok kau tak datang pun aku tak masalah. Toko akan baik-baik saja, jangan khawatir. Gadis itu membutuhkanmu,” tak lama, sambungan telepon terputus, dan kali kedua Hitomi memanggilku, aku bergegas duduk di depannya. Di hadapan kami, di atas meja pendek ini, tersaji dua bagel, krim keju, dua telur mata sapi, dan empat lembar daging asap.

“Harusnya kau istirahat saja, Hitomi. Kita bisa memesan makanan,” ujarku, namun tanganku bergerak meraih telur mata sapi—sial, wanginya terlalu menggoda. Hitomi menggeleng dan tersenyum kecil.

“Aku sudah terlalu banyak merepotkan,” jawabnya pelan, “Setidaknya, aku harus membalas kebaikanmu dengan layak. Hanya ini yang bisa kulakukan sekarang, jadi tolong, makanlah.”

Selama beberapa menit tak ada lagi yang bersuara. Mulut kami sibuk mengunyah, dan pikiran kami bergulat dengan berbagai macam kemungkinan, tanya, dan hal-hal lain yang menyangkut perasaan.

“Chaewon?”

“Ya?” Mataku menatap matanya, sementara mulutku menggigit bagel—oh, aku pasti terlihat konyol, sebab ia tertawa kecil, “Ada yang ingin kutanyakan,” ujarnya dan aku mengangguk, “Tanya saja.”

“Ramalan cuaca kemarin bilang bahwa badai salju akan turun. Terakhir, kulihat jam di kamar, pukul lima langit sudah menggelap. Badai mulai turun sekitar pukul enam. Trem, bus, semua kendaraan umum takkan beroperasi.”

Aku menghela napas. Gadis itu menatapku lamat-lamat, seolah menyuarakan tanya yang tak bisa ucap, dan ia tahu, aku paham apa yang ingin ia tanyakan.

“Aku berlari kemari.”

“Di tengah badai salju?”

“Di tengah badai salju.”

“Kenapa?”

Gadis itu meletakkan bagel miliknya. Aku terdiam. Gadis ini tak terlihat marah. Ia juga tak terlihat senang. Sedih pun tidak. Kecewa apalagi. Di wajahnya hanya terlukis bingung. Aku menghela napas dan ikut meletakkan bagel milikku di piring.

“Kau belum mencicipi cupcake buatanku. Juga kue labu yang biasa kau pesan. Aku belum memberimu sepotong cream bun. Kita belum minum teh bersama. Aku juga belum mendengar apa yang ingin kau sampaikan.”

Gadis itu menatapku dengan pandangan yang tak bisa kuartikan. Rasa gugup mulai menjalar—aku tak ingin salah langkah. Gadis ini serapuh porselen. Satu sentuhan, dan ia akan hancur berantakan. Perlahan, tangannya bergerak menggenggam jemariku yang bertengger di atas meja. Seulas senyum tersungging di wajahnya, dan dengan mata yang berkaca-kaca, ia berkata

“Terima kasih. Mungkin Semesta memang menuntunku untuk bertemu denganmu. Mungkin ini jawaban dari segala pintaku selama ini. Kau pasti kaget melihatku kemarin. Izinkan aku menceritakan sekelumit kisah hidupku padamu. Kau mau dengar, Chaewon?”

Gadis itu tertidur setelah menangis berjam-jam.

Meski tak enak hati—dan kuharap aku tak lancang—aku membawanya masuk ke kamarnya sendiri, dengan dia yang masih melingkarkan lengannya di tubuhku, wajah terbenam di pundakku. Ia bahkan tak melepaskanku saat tertidur—tiap kali aku berusaha bangkit, ia akan mengeratkan pelukannya, wajahnya merengut, seolah takut sesuatu yang buruk akan terjadi.

Ia tak pernah membicarakan apa yang sesungguhnya terjadi pada keluarganya. Selama hampir dua bulan kami saling mengenal, tak pernah satu kalipun ia membicarakan keluarganya—kecuali saat ia kembali setelah sepekan menghilang. Selepas itu, pembicaraan kami hanya akan berputar pada resep kue, roti, dan apa yang terjadi di dapur toko. Sesekali, ia akan membicarakan hobinya. Hanya satu kali ia menyebutkan pekerjaannya—ia mengelola sebuah knitting room yang terletak satu blok jauhnya dari toko rotiku.

Pantas ia memberiku sepasang kaus kaki rajutan yang diam-diam kugantung di balik pintu kamarku.

Saat akhirnya pelukannya mengendur dan dahinya tak lagi berkerut saat lengan kurusnya yang melingkar di tubuhku perlahan kulepaskan, aku bergerak keluar kamar. Aku tercekat saat tambang itu muncul lagi di hadapanku. Hati-hati, aku menaiki kursi kayu yang terlihat rapuh itu, melepaskan tambang dari langit-langit dan membuangnya ke tong sampah di luar. Gadis itu masih tertidur pulas di kamar—kubiarkan pintunya terbuka selama aku tak berada di sampingnya.

Perdebatan kecil muncul di kepalaku; aku tak boleh tidur bersamanya—kami tak sebegitu dekat. Namun, jika aku tidur di sofa ruang tengah, aku takut sesuatu akan terjadi. Setelah menimbang, akhirnya kuputuskan untuk duduk di kaki tempat tidur, tepat di sebelah gadis itu. Jika ia terbangun, paling tidak, ia akan melihatku di sisinya. Kutarik selimut di ujung tempat tidur untuk menutupi tubuhnya—gadis itu tidur meringkuk. Pakaiannya terlalu tipis. Kulirik pakaianku sendiri; mantel yang lembab karena air mata, syal, dan beanie.

Baiklah. Tidur dengan pakaian begini bisa menjaga tubuhku tetap hangat, bukan begitu?


“Chaewon...”

Mataku menyipit, berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya saat kurasakan seseorang mengguncang bahuku pelan.

“Chaewon...”

“Hitomi?” Gadis itu tersenyum tipis. Wajahnya terlihat lelah, dan matanya masih sembab—lebih sembab, mungkin, tapi matanya tak lagi sekosong kemarin.

“Pukul berapa sekarang?” Tanyaku sambil menggeliat. Hitomi melirik jam beker di atas laci kecil di samping meja tidurnya, “Pukul tujuh. Bukankah kau harus pergi ke toko roti?”

Sontak aku menggeleng, “Chaeyeon dan Minju akan baik-baik saja. Lagipula, ada dua orang lagi pegawaiku yang lain, jangan khawatir,” kupaksa tubuhku berdiri. Aku bukan manusia yang pandai mengatur ekspresi—mungkin itu sebabnya Hitomi menatapku khawatir, “Tubuhmu pasti sakit. Harusnya kau tidur di sofa saja.”

“Aku tidak mau meninggalkan kau sendirian.”

“Kau bisa tidur di sampingku—seingatku, aku tertidur sambil memelukmu.”

“Aku tidak mau kau terbangun dengan perasaan tidak nyaman berada di pelukan orang asing,” ujarku pelan, “Kita memang selalu bertemu selama dua bulan ini. Tapi bukan berarti kau nyaman denganku bukan?”

“Kau benar,” Hitomi menunduk, “Akan sangat aneh jika aku terbangun di pelukanmu, tapi kau salah.” Dahiku berkerut, “Maksudmu?”

“Dua tahun ini, aku hampir tak pernah bisa tidur dengan nyenyak,” ia menatap jemarinya yang saling terkait, “Aku akan pergi tidur pukul sebelas, lalu terbangun pukul tiga dan tak bisa tidur lagi,” ia akhirnya menatapku tepat di kedua mata.

“Ini pertama kalinya aku tertidur tanpa terbangun di jam-jam yang tak menyenangkan. Ini pertama kalinya dalam dua tahun ini aku bisa tertidur tanpa bermimpi.”

Ini sudah kali kelima aku memencet bel, tapi pintu apartemen ini tak kunjung terbuka. Aku terpaksa berlari sejauh tiga blok sebab badai salju turun tepat saat trem baru melaju sejauh dua blok. Badai salju berarti hampir seluruh kendaraan berhenti beroperasi, dan di tengah gigil aku berlari, berharap aku tak terlambat, berharap aku masih bisa melihat wajahnya, berharap ia masih bisa mencicipi kue labuku esok hari.

“Hitomi!” Tanganku yang mulai membeku menggedor pintu, “Hitomi, ini Chaewon! Buka pintunya!”

Tak ada jawaban.

Tanganku memerah, namun aku tak bisa merasa. Tanganku kebas. Atau aku tak peduli rasa sakit lagi. Aku harus masuk, bagaimanapun caranya.

“Hitomi, buka pintunya atau kudobrak!” Tanganku masih sibuk menggedor pintu. Telepon polisi, kata-kata itu menggaung dalam kepala, tapi siapa yang bisa menjamin bahwa mereka akan segera kemari? Amukan badai terdengar, angin seolah merapal mantra pembunuh, dan tiga puluh menit lagi aku di sini, mungkin aku akan mati.

“Hitomi, kumohon,” dengan tenaga yang tersisa aku setengah berteriak—suaraku tercekat, bibirku bergetar dan aku tahu, aku sudah separuh menangis, “Buka, Hitomi. Izinkan aku masuk. Kumohon,” tanganku masih menggedor pintu. Saat badanku hampir menyerah, aku mendengar suara langkah kaki, dan dengan satu sentakan, pintu terbuka—tubuhku yang bersandar pada pintu tak bisa memproses semuanya, namun lengan kurus gadis itu menahanku agar tak mencium lantai.

“Chaewon—”

Kudorong tubuhnya menjauh, jemariku bergerak menangkup wajahnya, “Syukurlah. Demi sejuta topan badai, syukurlah kau masih hidup,” lingkaran hitam tercetak jelas di area matanya yang sedikit sembab dan memerah—sepertinya ia menangis dalam waktu yang lama. Badannya menggigil, dan baru kusadari pintu di belakang tubuhku terbuka. Cepat kudorong pintu menutup, dan perhatianku kembali terfokus pada gadis itu.

“Hitomi, lihat aku,” gadis itu menatapku dengan pandangan kosong.

“Chaewon...” mataku mengarah pada tambang yang tergantung di ruang tengah yang menyatu dengan dapur. Tepat di bawahnya, ada kursi kayu yang siap dinaiki.

“Aku di sini. Kau belum mengatakan apa yang ingin kau sampaikan hari ini. Kau belum mencicipi kue labuku hari ini. Kau belum melihat cupcake yang kubuat hari ini. Kenapa kau pulang sebelum aku kembali ke toko? Hm?”

Kau tahu, kadang-kadang, saat membaca novel romansa, aku tak bisa memahami apa yang mereka maksud dengan detak jantung yang berhenti, hati yang hancur berkeping-keping, dan sakit yang membungkus seluruh tubuhmu, bagai ribuan anak panah beracun tertancap di tubuhmu—aku tak pernah mengerti.

Tapi kini, aku mengerti.

Aku tak peduli jika gadis ini harus melihatku menangis. Aku tak peduli jika gadis ini harus melihatku hancur begini. Aku tak peduli jika aku harus berlari tiga blok di tengah badai salju.

Selama ia hidup, aku tak peduli.

“Hitomi,” aku bisa merasakan air mataku luruh lagi, “Tetaplah di sini bersamaku.”

Gadis itu menghambur dalam pelukanku. Kudekap erat tubuh mungilnya yang rapuh, membiarkan gadis itu menangis sekencang-kencangnya. Persetan dengan bajuku yang basah, atau kakiku yang hampir mati rasa setelah berlari di tengah cuaca dingin dan kini harus berdiri lebih lama lagi.

“Chaewon,” gadis itu tersengal. Tanganku menepuk-nepuk punggungnya pelan.

“Aku di sini, Hitomi. Jangan pergi. Tetaplah di sini bersamaku.”

“Chaewon,” di tengah isak tangisnya ia berusaha berkata, “Aku takut mati, Chaewon. Hidup tak berarti semenjak ibu dan kakakku pergi.”

“Aku di sini,” pelukan gadis itu mengerat, “Aku di sini.”

“Aku tak bisa terus hidup setelah membunuh mereka. Tapi aku takut mati, Chaewon. Aku takut mati.”

“Boss, kulihat akhir-akhir ini kau selalu datang sedikit lebih siang. Ada sesuatu yang sedang kau kerjakan? Resep baru?” Chaeyeon menoleh sekilas saat aku menggantungkan mantel di sudut ruangan. Tangannya sibuk menguleni adonan roti. Sementara di sudut meja yang lain, Minju tengah menghancurkan labu, membuat puree.

“Cuma agak lelah,” sahutku singkat, “Aku bangun sedikit lebih siang belakangan.”

“Aku tak sengaja melihatmu turun dari trem dekat area rumahku, Chaewon. Kau tinggal tujuh blok dari sini,” Minju berkata. Seringai kecil menghiasi wajahnya, “Dan kau turun bersama si gadis manis bergigi kelinci.”

“Boss, kau mampir ke rumah seorang gadis?” Chaeyeon terbelalak. Sejenak kegiatannya terhenti. Aku mendesah.

“Kembali bekerja atau gajimu kupotong,” cepat aku memasang celemek di pinggang dan Chaeyeon bergidik ngeri. Tangannya kembali sibuk menguleni adonan. Ragi, tepung, gula, garam. Semuanya lengkap. Kutimbang satu-satu sambil menunggu air hangatku siap, lalu kutuang ragi ke dalam gelas ukur berisi air hangat. Tak lama, aroma manis dan asam khas makanan fermentasi tercium—raginya masih bagus. Jemariku lantas menyelam dalam adonan tepung dan pelan, air bercampur ragi menyatu dengan tepung di bawah tanganku.

“Kau mengantarnya pulang?” Minju berkata, kini ia tengah menimbang tepung.

“Kau tak akan bicara sedikitpun, Boss? Apa kami takkan pernah mendapatkan jawaban mengenai kebenaran hubunganmu dan gadis boneka itu?”

“Tidak ada jawaban juga sebuah jawaban, bukan?” Tanganku menarik plastic wrap, menutup adonan bagel dan membiarkannya mengembang, “Dan kenapa sih kalian harus menjulukinya dengan sebutan-sebutan aneh begitu? Namanya Hitomi,” setengah menggerutu aku berkata. Kedua gadis itu tertawa.

“Dia memang manis dengan gigi kelincinya,” ujar Minju, “Dan dia mengingatkanku pada boneka anak kecil yang cantik,” sahut Chaeyeon dan kembali mereka tertawa.

“Kalau kau tidak mau menjawab, Chaewon,” Minju menepuk bahuku, “Boleh aku mendekati gadis itu? Kalau beruntung mungkin aku bisa mendapatkan nomor—” ucapannya terhenti saat tanganku balik mencengkeram tangannya yang bertengger di bahuku—kelewat keras hingga ia meringis, “Jangan ganggu dia, Minju.

“Jangan ganggu gadisku.”


Semenjak kami bertukar nomor telepon, aku merasa kami sedikit lebih dekat. Dia akan menunjukkan foto bagelnya di pagi hari, dengan krim keju dan beberapa lembar daging asap, lalu aku akan mengiriminya foto sarapanku; secangkir kopi tanpa gula, yang selalu membuatnya bergidik. Bertukar pesan di pagi hari dengannya lambat laun menjadi kebiasaan, menjadi rutinitasku untuk memulai pagi.

Gadis itu benar-benar manis dalam tutur dan laku, dan jika aku jatuh, tentu saja itu wajar, bukan? Ah, aku sebenarnya tak ingin mengakuinya sejelas ini, tapi, kau mau merahasiakannya dari pegawaiku bukan? Kenyataan bahwa aku, Kim Chaewon, jatuh cinta pada gadis musim gugur penyuka kue labu?

Pagi ini, seperti biasa, Hitomi mengirimiku pesan. Selamat pagi, tukang roti. Kuharap kau sedang menikmati sarapanmu. Sarapan BETULAN, bukan cuma secangkir kopi, lalu ia mengirimiku foto cream bun yang selalu kuberikan padanya saat aku mengantarnya pulang dan segelas jus jeruk. Ia juga berkata bahwa ada yang ingin ia sampaikan padaku, dan aku tak sabar ingin segera bertemu dengannya petang nanti. Namun, hari ini, kami menerima pesanan cupcake dari sebuah restoran. Lumos, restoran bintang dua milik seorang aktris muda yang tengah naik daun, Jang Wonyoung.

Tentu saja aku takkan melewatkan kesempatan ini.

Jika produk toko kami bisa dikenal banyak orang, maka kami mungkin bisa pindah ke tempat yang lebih luas—atau mungkin membuka cabang lain?

Seharian ini aku tidak berada di toko, namun saat jam menunjukkan pukul lima, aku bergegas kembali. Gadis itu akan tiba satu setengah jam lagi. Kuharap badai salju tidak turun sebelum ia tiba di sini. Begitu aroma roti yang dipanggang tercium di depanku, aku mendesah lega. Chaeyeon baru saja kembali dari meja kasir, menggantikan Minju yang baru keluar dari toilet.

“Hei Boss, bagaimana?”

Kulepas syal dengan terburu-buru, lalu menggantungkannya bersama mantel di dekat perapian. “Mereka puas,” ujarku dan Chaeyeon tersenyum lebar, “Kerja bagus,” ujarku singkat. Aku baru saja akan meraih lap—bersiap membersihkan meja Hitomi saat suara Chaeyeon menghentikan langkahku.

“Omong-omong, Boss, tadi gadis itu kemari,” ujarnya dan dahiku berkerut. Ia terbeliak menatapku yang berputar secepat kilat.

“Tadi? Kapan dia kemari?”

“Dua jam lalu,” ia memilin jari, ekspresinya berubah khawatir, “Ada yang salah Boss?”

“Dia tidak menghubungiku,” ujarku setelah mengecek pesan masuk, “Pesan atau telepon, tidak ada. Atau dia menitipkan pesan untukku padamu?”

Chaeyeon menggeleng, “Tidak.”

“Apa yang kau katakan padanya?” Entah karena suaraku yang meninggi, atau memang cuaca dingin, Chaeyeon bergidik.

“Kubilang kau pergi ke Lumos, dan mungkin takkan kembali sampai larut malam,” Chaeyeon mengulurkan sebelah tangan, seperti hendak menggenggam tanganku, “Kau oke, Boss?”

Aku menghela napas kasar, mengusap wajah dengan sebelah tangan, dan tangan lainnya berada di pinggang. “Apa dia membawa sesuatu kemari?”

“Tas belacu,” Minju berkata dari arah pintu dan aku menoleh, “Tas belacu berwarna hitam yang sedikit gembung. Saat kutanya isinya apa, ia bilang, barang penting—Chaewon? Hei? Kau mau ke mana? Badai salju akan segera turun!”

“Menyelamatkan nyawa seseorang,” ujarku sambil mengenakan mantel. Cepat kukalungkan syal di leher, mengganti sepatuku dan meraih beannie cokelat entah milik siapa.

“Gadis itu membawa tambang sejak tiga minggu yang lalu. Nyawanya mungkin sedang dalam bahaya.” Tanpa berkata lagi, aku berlari keluar, menembus angin musim dingin yang berembus ganas, dengan langit yang menggelap menaungi kepalaku.

Jangan pergi, Hitomi. Kau harus tetap di sini.

Musim dingin sudah tiba, namun gadis itu, Hitomi, tetap datang setiap hari. Tapi, tak seperti hari yang lalu, ia kini selalu datang tepat saat kami akan menutup toko.

Chaeyeon dan Minju selalu menatapku dengan pandangan menggoda dan alis terangkat saat bel di atas pintu berdenting tepat pukul enam lewat tiga puluh. Setelah memastikan Hitomi menempati mejanya, mereka akan menyelinap pulang lewat pintu dapur dan membalik tanda buka di depan pintu, membiarkan diriku dan Hitomi duduk berdua saja di dalam toko, menonton para pejalan kaki yang sesekali berlalu lalang dan mendengarkan musik yang sengaja kuputar semenjak ia selalu datang tepat saat toko hampir tutup.

“Kau pucat,” ujarku sambil menyeruput teh, “Kau makan dengan baik akhir-akhir ini?”

Gadis itu mengangguk pelan, “Jangan khawatir. Aku selalu menghabiskan bagel buatanmu dan teman-temanmu yang lain. Aku hampir berpikir kalau kau punya bubuk peri—bagaimana bisa semua rotimu enak?”

Aku mendengus geli, “Kau hanya mencicipi bagel dan kue labu buatanku saja. Bagaimana kau bisa tahu rasa rotiku yang lain? Bagaimana kalau roti tawar buatanku tidak enak? Atau cream bun yang kubuat tidak seempuk bantal?”

Hidungnya berkerut saat ia tertawa, “Chaewon, aku tidak perlu mencicipi rotimu yang lain untuk tahu kalau kau adalah seorang pembuat roti dan kue yang andal. Lagipula, kau memang mengingatkanku pada peri—peri rumah.”

“Aku pendek, bermata besar, berbaju lusuh, dan berkuping runcing?”

“Karena itu,” ia tiba-tiba merogoh tasnya, mengeluarkan sesuatu berwarna biru muda, “Aku datang untuk membebaskanmu.” Kedua tangannya menyorongkan sepasang kaus kaki yang manis dengan sulaman inisial namaku di tepinya. Aku ingat dia senang merajut, maka aku yakin kaus kaki ini adalah buatan tangannya. Mau tak mau aku tertawa.

“Chaewon adalah peri rumah yang merdeka!”

Kami menghabiskan sisa hari dengan obrolan yang diselingi tawa, dan ini ketiga kalinya kami mengisi cangkir-cangkir teh kami.

“Sebaiknya aku pulang sekarang,” ia melirik jam di dinding di belakangku, “Langit sudah semakin gelap. Gerbong trem akan semakin sepi.”

Aku mengangguk, kemudian bangkit dari kursiku, kedua tangan dengan cekatan membereskan piring dan cangkir-cangkir kami.

“Chaewon?”

“Ya?” Aku mendongak. Gadis itu berdiri gelisah. “Kau butuh sesuatu?”

“Bisa tunjukkan di mana toiletnya? Sepertinya aku kebanyakan minum teh,” dan tawaku berderai, “Tentu, tentu. Ikuti aku.” Kami lalu berjalan ke arah dapur.

“Sebelah situ,” telunjukku mengarah pada pintu di kanan, “Aku akan menunggumu di meja,” ujarku dan cepat aku menaruh piring dan cangkir kotor. Besok pagi aku akan mencucinya.

Gadis itu masih menyelesaikan urusannya di toilet saat aku kembali ke meja kami. Tasnya yang ia letakkan di kursi terbuka. Tanpa berpikir panjang, jemariku bergerak menarik resleting tas saat mataku menangkap sesuatu. Itu—

“Chaewon? Kau juga pulang sekarang?”

Aku menoleh, berusaha menampilkan senyum terbaikku, menutupi rasa gugup yang menjalar, “Ya. Ya. Tentu saja. Kau pulang naik trem bukan? Nomor berapa? Seberapa jauh?”

Ia mengerjap, “Trem nomor lima,” ada jeda sejenak sebelum ia melanjutkan, “Sekitar lima blok dari sini. Kau?”

“Tujuh blok,” ujarnya, “Kuantar kau pulang,” aku meraih mantelku yang kusampirkan di atas kursi. Gadis itu masih berdiri terpaku di sana. “Hitomi?”

“Ah,” ia bergegas meraih tasnya, menyampirkannya di pundak dan tersenyum, “Tidak perlu, Chaewon. Kau tidak perlu mengantarku.” “Aku memaksa,” ujarku sambil berjalan ke arah pintu dapur, “Kita juga naik trem yang sama.”

Setelah ribuan detak jantung yang kelewat cepat, kami akhirnya tiba di depan apartemen kecil Hitomi. Gadis itu berbalik tepat sebelum ia memutar kenop pintu. “Chaewon?”

“Ya?”

“Terima kasih,” gadis itu tersenyum, “Sungguh. Terima kasih. Dan ini,” gadis itu mengacungkan kantung kertas lain yang berisi cream bun, “Terima kasih. Saat kita bertemu besok, akan kuberi tahu kau  apakah cream bun buatanmu seempuk bantal atau tidak,” ia tertawa kecil.

“Bagaimana jika kauberitahu aku besok pagi?” Kulihat dahinya berkerut, “Maksudku, makanlah saat sarapan. Atau malam ini, sebelum tidur. Beritahu aku sesegera mungkin, dan kita lihat, apakah aku memang jelmaan peri rumah atau bukan,” ujarku sambil tertawa, “Jadi, berikan nomor teleponmu. Aku akan menghubungimu nanti, jika kau tak keberatan. Untuk memastikan rotiku berada di tangan yang tepat,” tangan kananku mengangsurkan ponsel ke arahnya, dan lagi-lagi ia tertawa kecil sebelum meraih ponsel dalam genggaman.

“Aku akan menunggu, kalau begitu,” gadis itu mengembalikan ponselku, “Sekali lagi, terima kasih Chaewon. Hati-hati. Selamat malam.”

Gadis itu menghilang di balik pintu, menyisakan hangat yang meresap dalam setiap partikel udara yang kuhirup, dan nomor teleponnya yang tersimpan manis dalam ponsel.

“Kau masih menunggu gadis itu datang?” Chaeyeon, dengan hidung berbalut tepung dan celemek yang tercoreng mentega keluar dari dapur, “Kita sudah harus tutup bukan?”

Terkutuklah Minju dan mulutnya yang lebih deras dari keran bocor. Chaeyeon—dan mungkin seluruh pegawaiku kini tahu kalau aku kerap kali duduk dan minum teh bersama seorang pelanggan cantik yang selalu memesan sepotong kue labu dan membeli bagel untuk dibawa pulang.

“Tidak,” sekeras apapun aku berusaha untuk biasa saja, sepertinya aku bicara kelewat cepat dan kelewat ketus, hingga rekanku itu berdiri menatapku dengan cengiran menyebalkan.

“Aku heran kenapa setelah tiga minggu penuh kalian bertemu, kau masih juga tak berani menanyakan nomor teleponnya? Kau benar-benar payah dalam urusan percintaan, eh?” Tangan kanannya menyikut rusukku pelan.

Benar juga. Namun tentu saja gengsiku terlalu besar untuk mengakui bahwa meminta nomor telepon Hitomi menguap begitu saja dari pikiranku sebab menemani gadis itu minum teh kelewat menarik, kelewat menyenangkan, dan kelewat—jantungku kelewat—

Baru saja aku hendak membuka mulut untuk membalas ejekannya, bel di atas pintu berdenting. Sontak aku mendorong Chaeyeon ke arah dapur sebelum kembali berbalik menghadap meja kasir.

“Selamat da—tang...”

Bagai takdir, gadis itu berdiri tepat di depan meja kasir, kedua tangan tersembunyi di balik punggung. Senyumnya masih secerah matahari pagi di musim semi, dan lagi-lagi aku bisa menghidu wangi osmanthus.

“Kau masih menyimpan sepotong kue labu untukku?”

Otakku terlalu sulit memproses semuanya. Gadis itu menghilang selama sepekan, lalu bisa-bisanya ia bertanya apakah aku masih menyimpan sepotong kue labu untuknya?

“Chaewon? Halo? Kau masih di sini?”

Aku mengerjap, lantas mengangguk, “Tentu saja,” tunggu, aku terlihat seperti menunggu kedatangannya, “Maksudku, ya, kami masih punya sepotong kue labu. Duduklah. Aku akan menjerang air.” Dan gadis itu mengangguk, lantas melangkahkan kakinya ke arah mejanya di dekat jendela. Aku melirik jam di dinding. Pukul enam lewat tiga puluh. Dengan ketel berisi air, aku berjalan ke arah kompor. Chaeyeon mengernyit.

“Bukankah sudah waktunya kita tutup? Kenapa kau malah menjerang air?” Ia berjalan ke arah pintu yang membatasi dapur dan bagian luar, melongok sebentar lalu terkekeh, “Dia datang juga akhirnya?”

“Kalau kau mau pulang, pulang saja. Tolong balik tanda buka di depan pintu,” ujarku masih sambil memunggunginya, menunggu ketel bersiul. Kudengar ia menghela napas dan suara mantel yang ditarik dari gantungan terdengar.

“Baiklah. Hati-hati, Boss. Jika ada apa-apa, kau bisa meneleponku atau Minju,” dan gadis itu berlalu. Aku mendesah. Akhirnya.

“Maaf menunggu. Silakan,” sepotong kue labu dan dua gelas teh lemon hangat mendarat di atas meja. Gadis itu tersenyum melihatku menarik kursi di depannya. Pelan, jemarinya memeluk cangkir teh di hadapan, seolah berusaha meresapi hangat yang menguar, mencari tempat ternyaman untuk mengistirahatkan tangannya yang dingin.

“Kau pasti bertanya-tanya ke mana aku selama seminggu ini,” teh dalam mulutku sudah hampir keluar, menyembur begitu saja, dan gadis itu tertawa, “Maaf. Kau kaget? Apa aku terlalu blak-blakan?”

Aku menggeleng, menarik serbet di sebelah kanan meja dan mengelap teh yang bergulir di dagu, “Tidak. Tidak juga. Maksudku, ya, aku bertanya-tanya. Tapi bukan aku ingin tahu kau di mana atau apa yang kau lakukan, aku hanya takut sesuatu terjadi padamu karena kupikir kau tinggal sendirian dan tentu saja aku khawatir sebagai teman—”

Sentuhan hangat jemarinya di tanganku menghentikan apapun yang hendak keluar dari mulutku—seperti keran yang tiba-tiba ditutup.

“Terima kasih sudah khawatir dan menganggapku teman. Aku baik-baik saja,” ia tersenyum, dan mau tak mau, aku tersenyum. Senyumnya menular. Perlahan, tanganku bergerak, telapak tangan menengadah, membiarkan tangannya berada dalam genggamanku. “Kau mau—Apa kau mau menceritakan—”

“Tujuh hari lalu adalah peringatan kematian kakak dan ibuku,” gadis itu berkata. Genggamannya sedikit mengerat.

“Hitomi, kalau kau tidak nyaman—”

“Tidak apa-apa,” gadis itu menggeleng pelan, “Semua orang harus menghadapi ketakutan mereka bukan?”

“Jika kau belum siap—”

“Sudah dua tahun, Chaewon. Aku baik-baik saja,” ia tersenyum, “Aku bersyukur menemukan toko roti kecil ini di musim gugur. Musim gugur adalah musim yang paling menyedihkan bagiku. Kakak dan ibuku menyukai daun pohon yang berubah merah, lalu berjatuhan, dan pohon-pohon meranggas mati. Apa enaknya melihat tumbuhan meranggas?” Ia tertawa, namun suaranya membawa pahit yang tak pernah kudengar sebelumnya, “Siapa sangka mereka ikut meranggas bersama bunga dan pepohonan di luar sana?

“Kue labu adalah kue favorit ibu dan kakakku, dan hampir dua tahun ini, aku menghindari segala sesuatu yang mengingatkanku pada mereka, hingga aku menemukan wangi yang sangat familiar dari toko ini.”

Aku diam, tidak sama sekali berniat menyelanya. Ia menghela napas dalam sebelum melanjutkan, “Kue labu toko ini terasa seperti—seperti buatan ibuku. Rasa yang tak bisa kukecap selama dua tahun ke belakang. Rasa yang aku rindukan. Atau mungkin, dua tahun ini, aku sama sekali tak bisa merasai.”

“Kalau kau tak keberatan—kenapa ibu dan kakakmu—”

“Mereka mengakhiri nyawa mereka sendiri,” ia tersenyum getir, “Tepat saat aku membuka pintu rumah selepas tugas luar kotaku selesai, aku harus menemukan mereka tergantung di ruang keluarga, tak lagi bernapas dan wajah membiru.

“Kalau bisa, aku bahkan ingin mengabadikan wangi roti yang baru saja dipanggang ke dalam botol parfum. Barangkali, jika benda seperti itu ada, aku akan jadi manusia paling bahagia di dunia.”

Kedua sisi matanya berkerut tiap kali ia tertawa, dan gigi kelincinya yang manis akan muncul malu-malu. Mau tak mau, aku tersenyum. Gadis itu bersinar di tengah kelabunya musim gugur yang dulu selalu kubenci. Musim gugur selalu indah di awal, namun mendadak menyebalkan dan mengerikan di akhir; sebab musim dingin, secantik apapun, tetap saja dingin, dan tidak banyak yang bisa kulakukan di luar. Apalagi jika salju turun dengan lebat.

“Rasanya aku pernah melihatnya di internet,” ujarku sambil bertopang dagu. Ini minggu ketiga ia datang kemari, dan tak pernah seharipun ia absen menduduki meja ini. Setiap jarum jam menunjukkan pukul tiga kurang sedikit, aku akan membersihkan meja, memastikan tak ada debu setitik pun di sana, lalu tepat pukul tiga, aku akan berdiri di belakang meja kasir, menunggu bel berdenting, dan aroma musim gugur serta bunga osmanthus menyerang indera penciumanku; dan ia tak lagi menyebutkan pesanannya, sebab aku sudah hapal apa yang akan ia pesan.

“Oh ya?” Gadis itu ikut menopang dagu, “Kapan-kapan kau harus menunjukkannya padaku! Aku ingin membawa wangi toko roti ke manapun aku pergi.”

“Wangi osmanthus yang terbawa angin tiap kau datang kemari sudah cukup wangi, padahal,” ujarku setelah menyeruput teh yang kuseduh untuk kami, “Wanginya cocok untukmu.” Di hari keenam belas ia datang kemari, ia menawariku untuk duduk dan minum teh bersamanya—siapa yang bisa menolak permintaan selugu dan semanis itu? Lagipula Chaeyeon bisa menangani bagian kasir. Tak masalah. Sejak saat itu, aku akan duduk satu meja dengannya mulai pukul empat, berbagi cerita yang terlipat dalam kepala.

“Terima kasih,” tangan kanannya bergerak memotong kue labu di depannya dengan garpu kecil, “Osmanthus adalah bunga kesukaan ibuku. Aku tumbuh menyukai wanginya.”

“Ah, wangi masa kecil,” aku mengangguk dan ia tersenyum kecil, “Apa wangi roti juga wangi masa kecil?”

Hitomi tersenyum, meletakkan garpunya di piring, dan mata sendunya menatap jalanan yang basah—hujan mulai turun, membasuh Bumi dan luka dalam jiwa manusia-manusia yang berlindung di balik payung dan mantel-mantel tebal.

Sayangnya hingga hari ini, aku masih tak tahu apakah wangi roti yang Hitomi sukai juga wangi masa kecilnya. Pekan lalu, seperti biasa, aku sudah membersihkan meja, menyimpan sepotong kue labu, dan menjerang air untuk menyeduh teh lemon kesukaannya. Namun gadis itu tidak datang. Mungkin sedang ada urusan. Begitu pikirku saat itu. Namun esoknya, ia pun tak datang. Mungkin besok, batinku.

Namun hingga hari ketujuh penantianku, tak ada bel berdenting pukul tiga. Tak ada aroma musim gugur yang berembus halus. Tak ada wangi osmanthus yang menyerang indera penciumanku.

Hitomi tak lagi datang.

Gadis itu mengingatkanku pada awal musim gugur; ketika dedaunan mulai memerah, bunga-bunga mulai meranggas, dan udara perlahan berubah menjadi dingin, dengan sejumput kehangatan sisa musim panas, seolah Semesta sedang bersiap menuju tidur panjang.

Pertama kali ia datang ke toko roti ini juga pada awal musim gugur. Tubuh mungilnya berbalut sweater berwarna krem, rok selutut sewarna gandum, dan sepatu kets berwarna putih. Rambut cokelatnya yang sepunggung ia biarkan tergerai, dan mungkin, jika bidadari itu nyata, aku ingin percaya bahwa gadis inilah perwujudan bidadari.

“Satu potong kue labu dan secangkir teh lemon hangat. Tanpa gula. Oh, juga tiga bagel untuk dibawa pulang,” gadis itu selalu menutup pesanannya dengan senyum simpul. Selalu begitu. Juga dengan pesanannya yang selalu sama. Kupikir, mungkin karena ini musim gugur—kau tahu. Musim gugur. Labu. Halloween. Mungkin ia memang hanya ingin merayakan musim gugur, namun di kali kelima ia kemari—omong-omong, ia datang kemari setiap hari—ia bilang kue labu mengingatkannya pada orang yang ia kasihi. Mungkin kekasihnya, aku juga tidak ingin tahu.

Gadis itu akan selalu menempati meja di dekat jendela yang menghadap ke jalan. Tanpa sadar, aku sering membiarkan meja itu kosong hingga gadis itu datang. Tidak banyak yang mau singgah barang sebentar di sini untuk menikmati sepotong kue dan secangkir teh atau kopi. Kebanyakan memilih untuk membawa pulang pesanan mereka. Namun tidak dengan gadis itu. Ia akan dengan khidmat menikmati pesanannya di sana, lalu melamun berjam-jam sebelum akhirnya pergi meninggalkan cangkir dan piring kosong.

“Kau tahu siapa nama gadis itu?” Minju yang baru saja keluar dari dapur menunjuk gadis itu. Aku menggeleng, dan bisa kulihat dahinya berkerut. “Ini sudah dua minggu sejak gadis itu kemari. Kau lamban juga ya,” seringai kecil muncul di wajahnya. Sebelah alisku terangkat.

“Lamban?”

“Aku tahu kau tertarik padanya,” kekeh kecil meluncur dari mulutnya, “Tidak usah mengelak, Chaewon. Dari dapur, aku bisa melihatmu menatapnya seolah dia adalah permata paling berharga di Bumi.”

Aku mendengus, “Kau dan khayalan sintingmu itu,” telunjukku bergerak mendorong keningnya dan ia mengaduh, “Lagipula, dari dapur kau cuma bisa melihat punggungku. Bagaimana kau tahu caraku menatapnya?”

“Jadi kau memang memandangi gadis itu,” ia lagi-lagi terkekeh, “Dan omong-omong, punggungmu terlihat mengenaskan dari dapur, seolah kau adalah manusia yang patah hati karena gadis yang ia sukai baru saja menolaknya.”

Aku menggeleng, kedua tangan di pinggang, berusaha memasang ekspresi marah, “Cepat kembali ke dapur. Ini hampir pukul empat. Pelanggan akan segera membanjiri toko dan aku tidak mau mereka pulang dengan tangan kosong dan wajah kecewa sebab kita kehabisan roti dan kue.”

“Berikan ini padanya. Bilang saja darimu,” Minju menaruh sepotong cheese cake di atas nampan yang entah kapan ia ambil, “Cepat, sebelum ia pulang.”

“Ya?” Gadis itu mendongak saat aku meletakkan piring berisi cheese cake di depannya, “Maaf, aku tidak memesan—”

“Hadiah kecil dari kami,” ujarku sambil tersenyum, “Terima kasih sudah selalu datang kemari selama dua minggu ini. Namaku Kim Chaewon.”

Gadis itu mengerjap, kepalanya miring ke kiri, nampak sedang berpikir, sebelum akhirnya sebuah senyum paling cantik yang pernah kulihat terbit di wajahnya, “Namaku Honda Hitomi. Terima kasih untuk hadiahnya yang manis.”

“Yaaang, capeeek,” Hitomi menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur. Jaket dan kaos kakinya masih melekat di tubuh, tapi ia tak peduli. Tangan kirinya menggenggam ponsel, berusaha menjaganya agar tetap menempel di telinga kiri. Di belahan Bumi yang lain, Chaewon tertawa.

“Gimana dong Yang, aku udah bukan Chaewon si mahasiswa yang tiap kamu ngeluh capek bakal langsung muncul di depan kamu kayak sihir. Tahan aja ya capeknya.”

“Ya kalau kamu kayak gitunya sekarang udah aku tabok kali Yang. Masa mau ninggalin kerjaan sama kuliah gitu aja kayak manusia nggak bertanggung jawab?” Hitomi berguling ke samping, dan matanya kini menatap langit-langit kamarnya. Tangan kanannya meraih ponsel, memindahkannya dari telinga kiri. Tangannya yang bebas bergerak memijat pelipis, “Sabtu jadi ke sini nggak?”

“Pengen Yang,” gadis itu menyahut, “Udah lama nggak ketemu kamu.”

“Tapiii?”

“Lagi agak sering lembur nih. Abis gitu gereget ya ampun ini tesis kapan rampungnya, dikit lagi tapi kok susah banget.”

“Ya dikerjain dong, Yang. Kalau nggak dikerjain kapan rampungnya? Ngeluh nggak bikin tesis kamu selesai ya,” Hitomi mendengus, perlahan mendorong tubuhnya bangkit dari tidur. Bahunya menggepit ponsel, dan tangannya sibuk melepas kaos kaki dan jaket.

“Iya sih. Soalnya yang nggak bakal selesai-selesai meskipun lama dijalani cuma hubungan kamu sama aku,” gadis itu berkata dan Hitomi berdecak, “Makin tua makin pinter ngalus deh, heran.”

“Kamu juga makin sini makin tajem aja tuh mulutnya aku perhatiin,” gadis itu tertawa, “Omong-omong, mama nanya kamu mau ke rumah kapan. Aku bilangnya kamu lagi sibuk. Lagian aku juga lagi nggak bisa pulang.”

Hitomi menggaruk pelipisnya yang tak gatal, “Bunda juga nanya kamu bisa ke rumah kapan, Yang. Kayaknya mau ngomongin soal tunangan lagi deh.”

“Kamu mau pulang kapan emang?”

“Besok pulang juga bisa, orang dari sini ke rumah cuma dua jam,” gadis itu bergerak meraih kapas dan cairan pembersih make up, “Yang, loud speaker ya. Mau bersihin muka,” ujarnya dan tangannya mulai sibuk membersihkan sisa-sisa make up di wajahnya, “Kamu gimana? Mau pulang kapan?”

“Hm,” ada jeda sebelum gadis itu melanjutkan, “Atau kalau aku ke kamu dua minggu lagi gimana Yang? Sabtu depan gitu? Nanti dari kosan kamu baru ketemu bunda sama ayah, sekalian kamu pulang.”

“Ih, minggu ini aja nggak bisa?” Ia melempar kapas-kapas bekas pakai ke arah tong sampah, “Tadi aku ketemu Minju. Dia tunangan minggu ini. Minta aku sama kamu datang.”

“Oh ya?” Hitomi bisa mendengar bahagia yang terlukis dalam suaranya, “Wah, ikut seneng.”

“Jadi, bisa ke sini apa nggak?”

“Ya udah, ke sana minggu ini. Tapi ke rumah kamu minggu depan aja ya? Abis itu minggu depannya kita ketemu mama. Semoga papa ada di rumah sih.”

“Kenapa nggak sekalian aja sih?” Hitomi mengerutkan dahi, “Capek Yang kalau kamu bolak-balik gitu. Jauh lho. Masalahnya nggak mungkin tiap ke sini pakai pesawat 'kan. Belum nikah aja udah bangkrut,” suara tawa Chaewon terdengar nyaring di telinganya.

“Ya justru itu, Yang. Aku ke kamu rencananya pakai kereta. Setengah hari 'kan. Berangkat Jumat sore, sampai sana pasti tengah malam. Aku pulang lagi Sabtu malam biar sampai sini Minggu pagi. Atau Minggu sore juga bisa, tapi ke kantor langsung dari stasiun. Nanti pas ketemu mama baru deh cari pesawat. Kalau bawa mobil sendiri nanti kamu ngamuk lagi.”

“Ya iyalah Kim Chaewon,” gerutunya, “Yang bener aja kamu bawa mobil sendiri ke rumah mama atau ke sini. Keburu tua di jalan. Nggak usah aneh-aneh deh. Kamu lagi banyak lembur gitu, nggak kasihan sama badan sendiri hah?”

“Galak deh pacar aku,” lagi-lagi ia tertawa, “Iya, naik kendaraan umum aja iya. Ya udah gitu aja ya? Minggu ini ke kamu, minggu depannya lagi ketemu bunda sama ayah, minggu depannya lagi pulang. Aku nggak bareng kamu nggak apa 'kan ya?”

“Aku nanti ke bandara aja jemput kamu. Paling berapa jam sih dari sini ke bandara?” Hitomi melirik jam di dinding. Pukul enam.

“Yaa hitung aja lima jam lah Yang. Takutnya macet.”

Detak jarum jam menjadi suara latar mereka. Sesekali, suara kendaraan dan klakson terselip. Hitomi menoleh ke arah jendela. Tak ada lagi jendela kamar Chaewon yang bisa ia lihat dari sana. Keberadaan gadis itu tak bisa lagi ia tahu lewat terang yang menyusup melalui jendela kamarnya, namun tak mengapa; gadis itu akan selalu punya tempat istimewa di hati dan pikirannya.

“Yang,” pelan ia berkata, “Kangen.”

“Aku kangen kamu juga,” ia tahu di ujung sana, Chaewon sedang tersenyum. Tangannya bergerak meraih bantal, memeluknya, dan perlahan, ia memejam.

“Jadi ya Sabtu ke sini?”

“Iya, jadi. Mandi gih. Belum mandi 'kan? Habis gitu makan. Kalau udah makan, tidur. Masih ada lima hari sebelum kita ketemu. Kangen juga butuh tenaga.”

Hitomi terkekeh namun ia mengangguk, “Hm. Sampai ketemu Sabtu nanti, kalau gitu.”

“Iya. Sampai ketemu Sabtu nanti. Sehat-sehat ya kamu. Lagi sibuk jangan sampai sakit. Aku sayang kamu.”

Sambungan telepon mereka terputus. Lama Hitomi menatap benda mungil di genggamannya itu. Ia tersenyum, lantas meraih handuk dan melangkah menuju kamar mandi.

Aku sayang kamu juga.