kimchaejjigae

Tak perlu menunggu lama hingga gadis di ujung sambungan telepon yang lain menerima panggilannya. Dering kedua, dan suara serak khas orang bangun tidur menyapa telinganya.

“Ya, Hitoma? Kenapa? Maaf baru bangun.”

“Kakak di kosan 'kan?”

“Iya. Kenapa? Ada apa?” Terdengar suara grasak-grusuk dan Hitomi merasakan panik yang merambat saat suara benda keras beradu dengan lantai. Samar, ia bisa mendengar gerutuan Chaewon, “Kak? Kak Chaewon? Nggak apa-apa?”

“Nggak kok. Barusan jatuh. Terlalu semangat bangun. Kamu kenapa? Di mana? Mau disamperin?”

“Aku ke situ aja. Tolong bukain gerbangnya ya Kak. Sepuluh menit lagi sampai,” ujar gadis itu dan sambungan mereka terputus. Hitomi menghela napas. Menolak Minju adalah keputusan yang tak mudah, sebab ia juga bisa merasakan ketulusan gadis itu di kali kedua Semesta mendekatkan mereka. Namun, ada sesuatu yang menghalangi Hitomi untuk mengiyakan ajakannya untuk bersama kembali. Bukan sakit hati. Bukan lagi bayang-bayang masa lalu.

Chaewon.

Gadis itu telah menjadi bagian hidup Hitomi—yang tak pernah betul-betul ia sadari. Gadis itu menyelinap masuk dengan halus; tanpa paksaan, tanpa persiapan apa-apa. Ia hadir dengan sederhana, apa adanya, dan barangkali, itulah yang meyakinkan Hitomi bahwa hatinya menginginkan gadis itu.

Hitomi ingin Chaewon selalu ada.

“Maaf nunggu, tadi mandi dulu sama rapiin kamar sedikit. Biar melek. Naik, yuk,” gadis itu berkata saat ia dan Hitomi bertemu di depan gerbang kos-kosannya. Hitomi lantas mengekori gadis itu. Kamarnya rapi—namun kentara sekali bahwa si pemilik kamar memang baru bangun tidur. Bantal dan selimutnya berantakan, juga seprai kasurnya yang sedikit terlipat. Hitomi tak begitu sering menyambangi kamar kos Chaewon, tak seperti Chaewon yang sering keluar masuk kamarnya atas permintaan Hitomi sendiri. Namun Hitomi bisa dengan mudah mendeskripsikan keadaan kamar gadis itu; poster Harry Potter di atas meja belajar, buku-buku yang ditata apik, dan beberapa album yang berjejer di sebelahnya.

“Kenapa, Hitoma?”

“Maaf ya Kak ganggu. Pasti lagi capek-capeknya skripsian. Aku nggak lama kok,” ujar gadis itu saat mereka telah duduk di lantai kamar gadis itu. Chaewon menggeleng.

“Nggak kok. Kenapa?”

“Mau jawab pertanyaan Kak Chaewon dua minggu lalu.”

Hitomi bisa melihat kedua bahu gadis itu mendadak tegap. Hitomi tersenyum tipis.

“Kak Chaewon bilang, kalau aku harus mikirin diriku sendiri. Keputusan yang kuambil harus demi kebahagiaanku sendiri. Dan dua minggu ini, aku banyak mikir.

“Sadar nggak sadar, setahun ini Kak Chaewon udah jadi bagian penting di hidupku. Aku bisa berdiri lagi kayak sekarang ya karena dibantu Kak Chaewon. Kalau nggak ada Kak Chaewon, aku mungkin nggak bakal kayak sekarang. Kak Chaewon selalu jadi yang paling sabar, yang paling mengerti, dan sama Kak Chaewon, aku nemu hal-hal baru tentang diriku yang aku sendiri nggak sadar sebelumnya.”

Chaewon menatap gadis itu lamat-lamat. Tak ingin menyela. Tak ingin menghentikan kata-kata yang berhamburan.

“Sama Kak Chaewon, aku nggak pernah deg-degan, jujur aja,” Hitomi tertawa kecil, “Aku nggak pernah merasa kayak orang jatuh cinta—atau mungkin, apa yang kupikir kayak jatuh cinta. Nggak ada jantung berdebar kencang, nggak ada kupu-kupu beterbangan. Yang ada cuma rasa aman. Rasa nyaman. Perasaan dimengerti. Dan belakangan, aku baru sadar kalau itu juga bentuk sayang.

“Jadi—Kak Chaewon masih mau 'kan, jadi yang selalu ada buatku?”

Hitomi tak bisa memproses apa yang terjadi berikutnya, sebab yang ia tahu, wangi khas gadis itu kembali menyeruak; perlahan tangannya melingkar di pinggang gadis itu, memeluknya sama eratnya.

“Makasih,” Chaewon berbisik, “Demi Semesta dan segala isinya, makasih,” dan Hitomi mau tak mau merasa ada sesuatu yang mengganjal tenggorokannya.

“Aku yang makasih, Kak. Makasih udah sayang aku selama itu dan sesabar itu.” Perlahan, pelukan mereka mengendur, menyisakan jarak tipis di antara mereka. Pandangan Hitomi menurun, menatap bibir gadis itu. Gadis itu tersenyum kecil, melipat jarak di antara mereka. Tangannya bergerak menangkup wajah Hitomi pelan.

“Boleh, Hitoma?”

Hitomi tersenyum kecil, dan tanpa kata, ia menghapus jarak di antara mereka, menghilangkan sekat yang selama ini mereka bangun, memulai pagi dengan ciuman yang lebih manis dari mimpi, dan lembar baru yang siap menampung cerita mereka.

“Hitomi, hei, maaf, lama ya?”

Hitomi mengalihkan pandangannya dari layar laptopnya. Ia menggeleng sembari tersenyum kecil, “Santai ih kenapa sih. Nggak lama kok. Ini sambil kerja juga.”

“Buku apa sekarang?” Minju melepas blazernya, menyampirkannya di sandaran kursi, kemudian matanya menatap makanan yang belum tersentuh, “Kamu udah makan?” Ia memandang Hitomi dengan sebelah alis terangkat, dan tak lama, tangannya sibuk dengan sendok dan garpu. Hitomi mengangguk, menutup laptop dan memasukkannya ke dalam tas.

“Udah, tenang aja,” Hitomi terkekeh, “Buku apa? Thriller. Seru sih nerjemahinnya. Tapi serem juga kadang,” Minju harus bersyukur dengan kenyataan bahwa saat ini, tak ada makanan di mulutnya, atau ia bisa mati tersedak. Derai tawanya mengisi ruang di antara mereka, “Kenapa sih masih aja penakut?”

“Ya gimana nggak takut orang aku tinggal sendiri? Mana ada adegan bunuh-bunuhannya,” gadis itu merengut. Minju mengedikkan bahu, “Disuruh pindah nggak mau.”

“Hadeh, itu lagi,” Hitomi berdecak, “Nggak dulu deh,” sebelah tangannya mengibas. “Meeting di kantor tadi? Sibuk banget ya di R&D?”

Minju mengernyit, bibirnya mencebik, “Kupikir ya, selama jadi budak proker empat tahun lalu hidupku udah paling sibuk. Tahunya di atas atap masih ada genting,” Hitomi mendengus geli, “Kenapa sih selera humor kamu makin sini makin jongkok. Kebanyakan gaul sama bapak-bapak ya kamu?” Lagi-lagi Minju tergelak.

“Iya deh, yang gaulnya sama sastrawan,” ujarnya sambil terkekeh.

“Omong-omong,” Minju berdeham, menatap Hitomi lekat-lekat, dan gadis itu balas memandangnya dengan sebelah alis terangkat, “Apa?”

Minju menyodorkan sebuah kertas sewarna susu, dengan ukiran emas di tiap tepinya. Hitomi mengerutkan dahi. Pelan, tangannya meraih kertas yang terlipat, membukanya, dan kedua matanya membulat; ditatapnya Minju dan kertas itu bergantian, mulutnya menganga, dan mau tak mau Minju tertawa kecil.

“Datang ya?”

“Nggak bilang-bilang ih mau tunangan?”

“Ya 'kan bilangnya sekarang,” ia terkekeh, “Ajak Kak Chaewon, ya.”

“Bentar—minggu depan? Anaknya nggak ke sini ih. Kemarin dia bilang lagi sibuk-sibuknya gitu. Tesisnya udah mau rampung juga, tapi nanti aku tanyain deh Chaewon ke sini apa nggak,” ujarnya dan Minju tersenyum usil, “Cie, manggilnya udah nggak pake kakak lagi sekarang.”

“Apa sih,” ia mendengus. Mereka kemudian sama-sama terdiam. Minju lah yang pertama memecahkan kebisuan di antara mereka.

“Hii,” ia berkata, yang ditimpali Hitomi dengan gumaman pelan, “Makasih ya udah nolak aku lima tahun lalu,” tak ada nada pahit yang terasa dalam ucapannya. Gadis itu sungguh-sungguh berterima kasih pada keputusan Hitomi yang memilih untuk tidak kembali bersamanya lima tahun lalu.

Penolakan memang pahit, pada awalnya. Minju mengakui itu. Saat Hitomi memintanya bertemu untuk menyampaikan jawaban atas pertanyaannya, ia hampir yakin bahwa mereka akan kembali bersama. Namun harapannya runtuh—Hitomi memilih untuk membuka lembar yang baru dengan orang yang baru pula. Pada awalnya, Minju menyalahkan Semesta yang telah menjauhkannya dari hal yang paling dia inginkan saat itu. Tapi ia lupa, bahwa Semesta tak pernah memberi apa yang ia inginkan; Semesta menuntunnya pada apa yang ia butuhkan.

Dan di sinilah ia sekarang, duduk berhadapan dengan Hitomi, dengan sebuah undangan acara pertunangannya di tangan. Tak ada lagi sakit hati. Meski luka tak mengenal kata maaf, ia dan Hitomi berhasil berdamai dengan diri mereka masing-masing.

“Terima kasih juga udah sempat jadi pacarku, Ju. Untuk semua hal yang kita lalui sama-sama, ambil yang baiknya aja. Yang jeleknya kita kubur sama-sama. Selamat ya, Ju. Akhirnya kamu menemukan apa yang kamu cari.”

“HONDA HITOMI!” Pintu kamarnya berdebam, membentur tembok dengan keras, di sana berdirilah Nako, sebelah tangan memegang kenop pintu, sebelah lagi memegang ponsel.

“Nako please deh, kalau pintu kamarku rusak gimana?” Ia bersungut-sungut. Nako mengabaikan perkatannya, menyeret gadis itu untuk duduk bersamanya di atas tempat tidur.

“Cepet cerita yang lengkap. Lewat aja bagian kamu janjian sama Kak Chaewon, aku udah tahu. Langsung dari bagian kamu makan sama Minju,” gadis itu bicara tanpa jeda. Hitomi mendelik sebal, namun ia tetap menarik bantal ke pangkuan, bersiap untuk bercerita.

“Ya jadi 'kan makan siang sama Minju,” gadis itu mengerucutkan bibir, “Ya gitu sih, obrolan standar. Kuliah dia gimana, gitu-gitu aja. Karena udah hampir jam tiga, aku jadi lebih sering ngecek jam, ya takut Kak Chaewon kelamaan nunggu aja. Terus dia nanya, aku ada kelas apa gimana, kelihatan gelisah kali ya,” bibirnya mencebik. Nako ikut meraih bantal lain dan menaruhnya di pangkuan, “Terus, terus?”

“Ya aku bilang deh ada janji sama Kak Chaewon. Terus dia ngomong ngalor ngidul, ujungnya nembak,” Hitomi menghela napas. Nako menggeleng, “Bisa-bisanya sore ditembak mantan, malemnya ditembak gebetan.”

“Gebetan apa sih, Nakoo,” Hitomi merengut, belum sempat ia membuka mulut, Nako mengacungkan jari telunjuk di depan wajahnya, menggoyangkannya ke kanan dan ke kiri.

“Nggak usah ngelak deh, Hitomi,” ujarnya, “Aku juga bisa lihat kali.”

“Ya 'kan kamu punya mata, Nakoo,” ia mendengus geli—namun cepat berganti gerutuan, “Sakit! Cubit-cubit sembarangan,” tangannya bergerak mengusap-usap lengannya.

“Gini ya Honda Hitomi,” Nako mengacak rambutnya frustasi, “Seumur-umur aku temenan sama kamu, aku nggak pernah lihat kamu nempel-nempel sama orang. Jangankan itu. Sama aku aja, kamu nggak sesering itu minta ditemenin, apalagi pas lagi capek, lagi jenuh, lagi nggak pengen diganggu. Tapi sama Kak Chaewon?

“Dikit-dikit minta ditemenin di kosan. Minta ditemenin makan. Minta dipeluk—JANGAN NGELAK YA, AKU PERNAH NGGAK SENGAJA NGINTIP SOALNYA PINTU KAMAR KAMU KEBUKA DIKIT. Lagi jalan gandengan. Kamu jadi manja sama Kak Chaewon tuh. Sama Minju? Yang ada kamu ngalah terus,” gadis itu berucap panjang lebar. Hitomi mengerutkan dahi, “Emang iya ya Ko, kayak gitu?”

Nako memandangnya gemas, “Iya, Hitomiiii. Kalau nggak naksir, apa dong namanya?”

“Tapi Ko,” ia menunduk menatap jemarinya, “Jujur pas Kak Chaewon nembak tuh nggak deg-degan, nggak kayak pas Minju nembak.”

Nako terkekeh, “Tapi anget?”

Hitomi mendongak, “Kok tahu? Tapi iya. Aku ngerasa, apa ya Ko? Hangat gitu lho. Nggak deg-degan, tapi hatiku rasanya hangat.”

“Ya udah gini,” Nako mengubah posisi duduknya, dan Hitomi menegakkan punggung, “Pas Minju nembak, apa yang ada di kepalamu? Apa reaksi kamu?”

“Selain deg-degan?” Hitomi mengerutkan dahi, nampak berusaha mengingat perasaannya sendiri, “Bingung kali ya? Beneran kayak 'Hah, apa nih,' gitu lho Ko.”

“Pas sama Kak Chaewon?”

“Aman,” Hitomi mengerjap, “Eh gimana ya jelasinnya. Pokoknya kayak aku merasa, dia bener-bener ngasih aku jaminan kalau sama dia, aku aman. Normalnya 'kan abis ditembak gitu aku canggung ya, mana dianterin pulang soalnya kosan depan-depanan. Tapi ini tuh nggak, Ko, aku ngerasa ya udah? Mana abis gitu aku cium pi—” Hitomi menggigit bibir. Bodoh. Kelepasan 'kan.

“Kamu APA?” Kedua mata Nako membulat, “KAMU CIUM-CIUM KAK CHAEWON HEH?”

Hitomi membenamkan wajahnya pada bantal dan mengangguk pelan. Nako yang kelewat gemas dengan barbar memukul-mukulkan bantal pada gadis itu, “HITOMI KENAPA SEKARANG SUKA NYOSOR?”

“NGGAK IH,” gadis itu akhirnya berkelit dari pukulan Nako, “Beneran kayaknya aku kesurupan waktu itu.....”

“Ya udah jadi tunggu apa lagi sih?” Nako mendengus, “Udah nemu juga 'kan jawabannya?”

Hitomi menggigit bibir, “Tapi gimana kalau ternyata aku belum beneran sembuh Ko? Gimana kalau cerita yang sama keulang?”

Nako menghela napas, “Udah dicoba? Kamu ahli nujum hah? Bisa meramalkan masa depan? Bukan 'kan? Lagian kamu nggak bakal sembuh kalau kamu sendiri nggak berusaha sembuh dan nyari obatnya. Kamu udah berani menghadapi ketakutan kamu, tapi itu belum cukup. Kamu harus mau melangkah ke depan, bukan cuma nutup pintu di belakang.”

Nako benar. Ia hanya berdiam di depan pintu. Ia tak membuka pintu yang akan membawanya ke masa depan. Ia hanya menutup pintu yang menghubungkannya dengan masa lalu. Perlahan, gadis itu menarik ponsel dari meja belajar, membuka aplikasi berkirim pesan, dan nama orang itu tertera paling atas. Jemarinya mengetikkan sebaris kalimat singkat, kemudian ia menekan tombol kirim.

Bisa ketemu besok?

“Kak...”

“Oh, hei,” Chaewon mengalihkan pandangannya dari buku yang ia baca. Laptopnya terbuka, menampilkan deretan huruf yang tercetak di layar. Kata 'Bab II' tercetak besar di bagian paling atas. “Udah selesai? Mau jadi nonton apa pulang aja? Kayaknya lemes gitu. Sini duduk dulu,” ia menarik kursi di sebelahnya, dan gadis itu duduk tanpa banyak bicara. Chaewon mengerutkan dahi, meraba situasi, menerka apa yang terjadi, namun tak sampai hati untuk bertanya. Gadis yang lebih muda darinya itu perlahan menautkan genggaman mereka dan menyandarkan kepalanya di pundak Chaewon.

“Hitoma, aku nggak apa-apa kok kamu mau kayak gini, tapi ini di kampus,” ujarnya pelan. Hitomi mengerang, “Nggak akan ada yang lihat juga kali Kak. Kak Chaewon milih meja paling jauh, ini udah ujung perpus, sepi juga,” ujarnya. Chaewon tersenyum kecil, “Iya sih. Ya udah. Bentar aja kalau gitu.”

Keduanya sama-sama terdiam. Perpustakaan di siang hari saja sudah sepi, apalagi sore hari. Semenjak satu jam yang lalu pun, Chaewon tak lagi melihat ada mahasiswa lain di sekitarnya. Ia melirik jam di layar ponselnya. Satu jam lagi perpustakaan ditutup.

“Kamu mau pulang aja nggak? Kayaknya bete gitu.”

Hitomi menegakkan punggung, matanya mencari mata Chaewon, “Nggak. Mau nonton aja biar nggak bete. Abis itu makan. Kata Nako ada kafe cantik baru buka. Nanti ke sana yuk?”

Chaewon mengerjap, namun ia mengangguk, “Boleh. Aku beres-beres dulu,” ujarnya, dan genggaman mereka terlepas. Hitomi memperhatikan gerak-gerik gadis itu. Matanya mengikuti ke mana Chaewon pergi. Gadis itu sudah seperti pilar yang menahannya agar tak rubuh saat fondasinya mulai hancur. Dengan sabar gadis itu menambal retak yang ada, membangun kembali bagian yang hancur, dan perlahan tapi pasti, Hitomi utuh kembali. Gadis itu tak pernah berkata apapun. Ia hanya ada di sana, menggenggam tangannya, mengiringi langkahnya; menjadi yang berdiri paling depan jika badai menghampiri, menjadi yang berdiri di belakang kala ia hampir mundur lagi, dan menjadi yang berdiri di samping kapanpun ia butuh tempat bersandar.

Chaewon adalah hadiah paling megah dari Semesta.


“Si Nako nggak bohong ih, cantik beneran kafenya,” ujar Hitomi setelah mereka duduk di meja mereka. Chaewon tergelak, “Emang Nako pernah bohongin kamu?”

“Ya nggak sih,” bibirnya mengerucut, “Cuma tuh ya Kak, biasanya yang dia bilang cantik tuh buat aku nggak cantik.”

“Oh,” Chaewon manggut-manggut, “Kalau aku yang bilang? Percaya?”

“Film aja kita satu selera, apalagi cuma sekedar tempat makan, Kak?”

“Kalau aku bilang kamu cantik, percaya nggak?”

Tak ada kupu-kupu yang beterbangan. Tak ada degup yang lebih kencang. Hanya hangat, hangat, dan hangat, dan Hitomi bisa merasakan pipinya bersemu, “Apa sih Kak Chaewon.”

Chaewon tersenyum, “Lihat ke atas coba. Sayang banget kita makan tempatnya outdoor gini tapi nggak bisa lihat bintang karena kebanyakan cahaya. Tapi lihat, bulannya cantik,” gadis itu menunjuk langit, dan mau tak mau, Hitomi mendongak.

“Bulan sabit,” gumam Hitomi, “Cantik,” ia berkata.

“Cantik. Kayak lengkung senyummu,” timpal Chaewon dan secepat kilat, Hitomi mengalihkan pandangannya, menatap Chaewon yang tersenyum padanya dengan kedua alis terangkat. “Ya, Hitoma?”

Ia tak sempat membalas perkataan Chaewon, sebab pesanan mereka sudah datang. Gadis itu kemudian membicarakan film yang mereka tonton—yang membuatnya kecewa karena menurutnya, adaptasi filmnya buruk sekali. Seakan lupa dengan apa yang terjadi beberapa menit lalu, Hitomi kini sibuk mengomentari film yang mereka tonton tadi, hingga tak sadar piring mereka telah licin.

“Sumpah ya Kak, aku nggak mau lagi nonton filmnya. Padahal tuh ya, Memory tuh duh, bagus banget lagunya,” gerutu Hitomi dan Chaewon tersenyum.

“Udah nggak bete?”

Hitomi mengerjap, lantas ia tersenyum kecil, “Makasih ya Kak.”

Kedua alis Chaewon terangkat, jemarinya terjalin menopang dagu, “Buat?”

“Hari ini, kemarin, dan kemarinnya lagi. Makasih udah selalu ada dan selalu mengerti tanpa aku harus bicara.”

Chaewon tersenyum, “Selamanya ada, boleh nggak?”

Hitomi mengerutkan dahi, “Maksud Kakak?”

Chaewon lagi-lagi tersenyum, “Boleh nggak, aku selamanya ada buat kamu? Bukan sebagai Kak Chaewon senior kamu di jurusan, tapi sebagai pasanganmu?”

Hitomi mengerjap, “Kak—”

“Aku sayang kamu, Hitomi,” ia berujar, “Dari pertama kali kita ketemu, dari pertama kali aku ketemu kamu waktu kamu masih jadi mahasiswa baru. Percaya nggak?”

Gadis itu mendadak bersinar. Di mata Hitomi, gadis itu bersinar. Bukan karena ia duduk di bawah terang lampu. Gadis itu memang bersinar.

“Aku sungguh-sungguh mau selamanya ada buat kamu. Aku tahu, hubungan kamu yang lalu nggak berakhir dengan baik dan mungkin, kamu butuh waktu. Nggak apa-apa. Aku nggak minta dijawab sekarang atau secepatnya. Aku mau kamu tahu, kalau aku sayang kamu. Mau nggak buka lembaran yang baru sama aku?”

Detak jantungnya seakan berhenti.


“Kak?”

“Ya?” Chaewon menyunggingkan senyumnya saat Hitomi berbalik. Mereka kini berhadapan di depan gerbang kos-kosan Hitomi. Tak lama setelah pengakuan Chaewon, mereka memutuskan untuk pulang.

Aneh. Bahkan setelah pengakuan yang harusnya membuat Hitomi tak nyaman dengan kedekatan mereka saat ini, Hitomi tak merasa dirinya harus cepat-cepat meninggalkan Chaewon.

“Kenapa, Hitoma?”

“Mau minta—peluk,” ia menunduk, menatap jalanan beraspal, “Aku tahu ini aneh banget, aku bahkan belum jawab pertanyaan Kakak yang tadi, tapi—” Hitomi tak sempat menyelesaikan kata-katanya sebab hangat peluk Chaewon membungkus tubuh mungilnya.

“Nggak apa-apa. Boleh, kok,” ujar gadis itu, dan diam-diam, Hitomi mendesah, menghidu wangi yang menguar dari tubuh gadis itu.

“Nggak dijawab dalam waktu dekat juga nggak apa kok. Aku bisa nunggu. Nggak apa-apa. Dipikirin lagi aja, ya. Aku cuma minta, kali ini, kamu milih dirimu sendiri. Apapun jawaban yang kamu kasih, aku mau kamu milih itu demi kebahagiaanmu. Bukan orang lain. Aku akan terima apapun jawaban kamu saat kamu udah siap. Kita nggak diburu waktu, kok.”

Mereka berdua bertahan dalam posisi itu selama beberapa waktu, hingga akhirnya, Hitomi melepaskan diri dari dekap Chaewon dan gadis itu melonggarkan pelukannya. Chaewon masih menatapnya dengan senyum terukir, “Kenapa? Mau ngomong apa?”

Secepat kilat, Hitomi menempelkan bibirnya di pipi gadis itu. Chaewon mematung. Hangat bibir Hitomi masih membekas di pipinya meski gadis itu kini telah kembali ke posisinya semula.

“Makasih udah mau ngasih aku waktu Kak. Aku janji bakal jawab pas aku udah siap. Selamat tidur, Kak Chaewon. Jangan gadang lagi.”

Secepat ciuman itu terjadi, secepat itu pula Hitomi berlari menuju kamarnya, meninggalkan Chaewon yang menahan diri untuk tidak meledak menjadi serpihan debu di bawah telapak Semesta.

“Terus ya gitu deh, karena dosen nggak masuk, akhirnya aku nyelonong pinjam proyektor jurusan. Nonton deh di kelas,” Hitomi tersenyum kecil menanggapi cerita Minju tentang hari-hari kuliahnya. Piring-piring mereka sudah lama diangkat, bahkan gelas Hitomi pun hanya terisi es batu yang kini telah mencair. Diam-diam, ia melirik arloji di lengan kirinya. Gerakannya tak luput dari perhatian Minju.

“Ada kelas lagi, Hii?”

Hitomi menggeleng, bibirnya membentuk garis tipis, “Nggak, ada janji sama Kak Chaewon.”

Minju mengerjap, perlahan, ia membetulkan posisi duduknya, “Hitomi?”

“Ya?” Gadis itu balas menatapnya dengan pandangan bertanya.

“Kita putus udah lebih dari setahun,” ujar Minju. Ia tersenyum kecut, “Rasanya malu banget kalau ingat alasan kita putus. Bahkan minta maaf pun nggak bakal cukup buat menebus kesalahanku.”

Lagi-lagi Hitomi menggeleng, “Udah lewat, Ju. Meskipun ya, bohong sih kalau aku bilang aku udah nggak sakit hati, tapi yang udah ya udah.”

Minju mencondongkan tubuhnya ke depan, kedua tangannya mengatup, jemarinya terjalin di pangkuan, “Yang lalu biar aja di masa lalu 'kan?”

Ada desir aneh yang mengisi rongga dada Hitomi. Debar yang tak pernah ia rasakan lagi semenjak hubungannya yang terakhir—yang ia jalani bersama gadis di depannya ini. Gadis itu masih cantik seperti dulu. Kapanpun ia tersenyum, lesung pipinya—entah apa namanya jika ia berada di bawah mata— muncul, membuat wajahnya yang manis tambah manis, seperti manusia yang melompat keluar dari lukisan yang dipajang di museum.

Hitomi juga bisa melihat bahwa gadis itu sungguh-sungguh berusaha berubah; gadis itu memulai segala sesuatunya dari awal. Ia tak lagi menunggu depan gedung fakultas. Alih-alih, ia mengirimi pesan-pesan singkat berisi obrolan-obrolan ringan. Di bulan ketiga, ia mulai aktif bercerita. Beberapa bulan lalu, ia mulai berani membuat janji temu. Hitomi tahu, gadis itu benar-benar ingin mengubur masa lalu mereka yang terlalu pekat untuk dikenang.

“Semua yang ada di masa lalu, memang harusnya ada di masa lalu 'kan Hii?” Gadis itu mengerjap—suara Minju berhasil memutus rantai pikirannya, “Kesalahanku sama kamu juga ada di masa lalu, dan kayak yang kamu bilang, yang udah ya udah. Aku juga banyak belajar dari pengalamanku di masa lalu.”

Perlahan, gadis itu meraih jemari Hitomi—dan Hitomi tak bisa melepaskan pandangannya dari gadis itu, “Maaf aja nggak cukup buat nebus kesalahanku, Hii. Sekarang, aku berusaha melakukan cara lain buat menembus kesalahanku.

“Mau nggak, kamu ngizinin aku masuk ke hidupmu lagi? Aku mau ngubah akhir cerita kita yang lalu. Aku nggak suka akhirnya. Akhirnya nggak bahagia. Aku berusaha berubah. Buat kamu. Buat kita. Boleh nggak, kamu jangan cari pengganti aku lagi? Mau nggak kamu jadi pacarku lagi?”

“Kasihan banget budak skripsi, sampai ada yang hitam-hitam tuh di bawah mata.”

Chaewon mendongak, mengalihkan pandangannya sejenak dari kertas-kertas yang sedari tadi ia pegang. Hitomi berhenti tepat di depannya, dengan mata berkilat jenaka dan senyum usil yang tersungging. Chaewon mendengus geli.

“Aku sumpahin—”

“Bercanda ih!” Jemarinya bergerak mencubit bahu gadis yang tengah duduk di depannya, membiarkan gadis itu mengaduh kecil, “Sakit, Hitoma,” ujarnya bersungut-sungut, “Kelas kamu 'kan jam sepuluh? Rajin amat jam sembilan udah di kampus.”

“Sengaja,” gadis itu lantas menghenyakkan diri di sebelah Chaewon, mengisi satu tempat di bangku panjang yang berada tepat di depan kantor jurusan mereka, “Mau nyari Kak Chaewon dulu.”

“Kenapa tuh?”

“Kakak nanti sore atau malam senggang nggak?” Gadis itu menoleh ke arahnya. Chaewon mengerutkan dahi, lantas tangannya menarik ponsel dari dalam saku. “Bentar,” ujarnya, dan jempolnya cepat mengetuk ikon memo, “Kayaknya senggang. Kenapa?” Chaewon balas menatap gadis itu dengan alis terangkat. Yang ditatap tersenyum kecil.

“Kakak tahu Cats 'kan?”

Chaewon terkekeh, “Iya boleh, ayo nonton.”

“Gini ya rasanya nemu yang sefrekuensi,” Hitomi mendesah, “Akhirnya punya temen nonton yang nggak akan ketiduran di bioskop,” ujar gadis itu yang memancing gelak tawa Chaewon.

“Emang Nako atau Minju nggak suka?”

“Nako sukanya nonton romance atau yang drama-drama gitu,” bibirnya mencebik, “Sama aja kayak Minju. Plus, kadang nonton horror. Masalahnya aku tuh malas Kak nonton horror di bioskop. Emang sih, lebih berasa. Tapi sound system bioskop lebih cakep buat dipakai nonton musikal,” dan lagi-lagi, Chaewon tertawa.

“Nanti habis kelas balik kosan dulu dong? Kita nonton sore 'kan? Aku juga mau skripsian dulu deh. Habis bimbingan pasti ada ini itu yang harus dibetulkan.”

Hitomi menggeleng, “Mau makan siang dulu sama Minju, dia ngajak ketemu, nggak enak nolak, Kak” ujarnya, dan Chaewon mengangguk, “Ya udah, ketemu aja dulu,” ujar gadis itu. Ia kemudian mengalihkan pandangan pada jam yang tergantung di dinding depan mereka. Sudah pukul sembilan lewat, pikirnya. Harusnya dosen pembimbingnya itu sudah tiba. Buru-buru ia mengecek aplikasi berkirim pesan di ponsel, dan—oh. Dosennya terjebak macet. Sepertinya ia harus menunggu sekitar satu jam lagi.

“Kak, lihat sini deh,” yang dipanggil menoleh, namun pandangannya tetap tak lepas dari ponsel, sibuk mengetik balasan dan mengabari beberapa teman yang satu dosen pembimbing dengannya, “Kenapa—”

Jemari Hitomi menyetuh kedua sisi pelipisnya, “Kurang tidur ya?” Pelan. Gadis itu memijit pelipisnya pelan, “Aku kebangun semalam sekitar jam dua. Lampu kamar Kak Chaewon masih nyala.”

Ia memejamkan mata, diam-diam menikmati sentuhan gadis itu, “Deadline-nya hari ini. Ada satu dua teori yang masih belum ketemu, dan ada beberapa yang aku belum paham. Bohlam di kepalaku muncul jam segitu, jadi aja,” jelas gadis itu, bibirnya tersenyum kecil. Perlahan kedua matanya terbuka, “Kamu nggak naik? Kelas jam sepuluh 'kan?”

Hitomi merengut, namun perlahan, ia menurunkan jemarinya, membiarkannya mengelus pipi gadis itu sekilas, “Tirusan ih Kak.”

“Kamu juga. Makan yang banyak, Hitoma,” gadis itu kemudian mengarahkan telunjuknya ke arah belakang Hitomi, “Tuh, dosen kamu baru sampai. Bentar lagi naik, kayaknya. Ke kelas gih.”

Hitomi mengangguk, lantas ia membetulkan letak tote bag yang tersampir di bahunya, “Nanti skripsian di kosan apa di perpus Kak?”

“Di perpus deh kayaknya, internetnya bagus,” ia terkekeh, “Kenapa?”

“Aku samperin nanti ke sana ya.”

Chaewon mengerutkan dahi, “Nggak ketemu di bioskop aja? Kamu makan siang di mana?”

“Kafe depan kampus kok,” ujarnya, “Kak Chaewon jangan kelewat ya makan siangnya. Aku ke kelas dulu. Sampai ketemu nanti.”

Kafe yang terletak di sebelah coffee shop itu biasanya ramai. Namun, mungkin karena musim UAS telah tiba dan sebagian besar mahasiswa disibukkan dengan kegiatan lagiannya, hari ini, kafe terlihat sedikit sepi. Dari jendela yang membatasi kafe dan area luar, Hitomi bisa melihat hanya ada segelintir pengunjung di sana. Matanya mencari sosok mungil Nako, namun ketuk halus di jendela membuatnya menoleh. Ia terbeliak, namun tak urung bibirnya tersenyum. Didorongnya pintu kafe pelan, dan dingin udara yang berembus dari AC di atas pintu menyapa wajahnya.

“Kak Chaewon kok di sini?” Gadis itu meletakkan tote bag di atas meja, lantas menghenyakkan diri di atas kursi. Chaewon tersenyum, “Disuruh Nako nemenin kamu.”

“Nako ke mana emang?” Kedua alisnya terangkat, “Lupa katanya ada kencan sama Yuri. Jadi aku yang nemenin kamu.” Chaewon tergelak melihat ekspresi cemberut Hitomi. Setelah derai tawanya usai, ia berkata, “Udah selesai urusannya?”

Hitomi mengangguk, “Udah. Makasih udah nyaranin buat ngobrol ya Kak.”

Chaewon tersenyum, “Lega?” Lagi-lagi Hitomi mengangguk. Ia mengerucutkan bibir, tampak hendak mengatakan sesuatu namun urung. Chaewon mendengus geli, “Ngomong aja. Kenapa?”

“Boleh—boleh minta dipukpukin nggak Kak?” Chaewon bisa melihat pipinya bersemu merah. Gemas amat. Gadis itu menunduk, menatap ujung-ujung sepatunya. Suara derit kursi beradu dengan lantai menyapa kedua telinganya, dan tangan hangat Chaewon kini berada tepat di puncak kepalanya, mengusak rambutnya pelan, “Terima kasih sudah berani menghadapi masalahmu ya,” ia tersenyum dan Hitomi memejamkan mata, “Pasti susah ya awalnya? Tapi lega 'kan? Paling nggak, kamu sekarang bisa membuka pintu menuju masa depan tanpa tertekan. Meskipun mungkin sakit hatimu masih kerasa, tapi setidaknya, kamu dapat jawaban dari pertanyaan kamu, dan kamu udah mengeluarkan sesuatu yang mengganjal hatimu.”

Hitomi mendongak, matanya sedikit berkaca-kaca, “Aku minta dipeluk biar bisa nangis sebentar boleh Kak?”

Chaewon merengkuh gadis itu, membiarkan dagunya bersandar di kepala Hitomi, “Boleh,” tangannya pelan melingkari pundak gadis itu, menepuknya sama pelannya, “Boleh. Nangis aja,” ujarnya, tak peduli jika pengunjung lain menatap mereka dengan pandangan aneh. Hitomi butuh dirinya, dan itu yang penting saat ini, bukan pendapat pengunjung kafe yang tak ia kenal sama sekali.

“Keluarin aja sampai lega. Nggak apa-apa. Ada aku.”


“Kak?”

Pintu toilet terbuka, menampilkan sosok Hitomi yang sedikit lebih rapi—matanya memang sedikit sembab, tapi bagi Chaewon, gadis itu masih saja cantik.

“Udah? Mau makan malam sama aku?” Chaewon tersenyum kecil sambil memasukkan ponsel ke dalam saku. Hitomi mengangguk, “Tapi belum jamnya makan malam sih. Mau ke mana dulu? Apa mau makan di mana?”

“Boleh take away aja nggak Kak? Makan di kosan aku aja. Makan malam kepagian aja lah. Aku nggak ada tenaga buat jalan atau ke mana dulu,” gadis itu berkata dan Chaewon mengangguk. Jadi, di sinilah mereka, duduk berhadapan di kamar Hitomi, dengan kotak-kotak bento dan beberapa botol minuman, menikmati makan malam yang terlalu awal. Sesekali, Hitomi menertawakan cerita Chaewon. Sesekali, Chaewon tersenyum mendengar cerita Hitomi mengenai dirinya dan Nako.

“Kak,” Chaewon menoleh, tangannya sibuk membereskan peralatan makan mereka, “Ya?”

“Mau nonton nggak?”

Chaewon terkekeh, “Masih mau ditemenin ya?” Hitomi menunduk dan mengangguk pelan. Chaewon bangkit, membawa kotak-kotak makan mereka yang telah kosong, menaruhnya di tempat sampah yang terletak di depan kamar Hitomi. “Boleh. Mau nonton apa?”

“Kak Chaewon suka film musikal nggak?”

“Into The Woods atau The Sound of Music? Atau Phantom of The Opera? Atau Annie?” Cengiran lebar terukir di wajahnya dan Hitomi memekik, bertepuk tangan, “Ih akhirnya nemu yang suka juga!”

“Kakak udah nonton Enchanted?” Hitomi menoleh, tangannya bergerak meraih laptopnya yang bertengger di atas meja belajar, “Udah,” jawabnya singkat, “Mau pakai meja lipat ini?” Hitomi mengangguk. Tangannya kemudian sibuk menyalakan laptop, sementara Chaewon membuka meja lipat, meletakkannya tepat di depan mereka berdua.

“Mau nonton Enchanted?” Ujarnya setelah kembali duduk bersisian dengan Hitomi. Gadis itu mengangguk, “Nggak apa?”

“Nggak apa,” ujarnya. Tak lama, film diputar, menampilkan kerajaan fantasi dan tetek bengeknya.

“Aku suka deh soundtracknya, Kak,” ujar Hitomi, matanya fokus pada layar laptop. Chaewon tersenyum, “Meskipun lagunya dapat kritik jelek dari kritikus musik sama film?”

“Yang penting tuh lagunya enak di kuping aku, Kak,” dan Chaewon terkekeh, tak lagi berkata apa-apa. Sepanjang sisa film, mereka membisu, menatap layar terpaku, melihat aktor dan aktris yang muncul silih berganti. Tepat saat adegan dansa muncul—saat lagu yang Hitomi suka akan diputar, Chaewon merasakan sesuatu yang berat di bahunya. Ia menoleh.

Gadis itu tertidur.

“Hitomi maaf—Kak Chae?”

“Sstt,” telunjuknya teracung, mengisyaratkan Nako yang berdiri di ambang pintu untuk memelankan suaranya.

“Dari tadi?” Nako terkekeh, dan Chaewon menggeleng, “Baru. Kasihan. Habis nangis,” Nako menghela napas saat mendengar gadis itu menangis, namun ia mengangguk.

“Aku ke kamar ya Kak. Nanti dia bangunin aja.” Terdengar suara pintu kamarnya membuka dan menutup, dan satu-satunya suara yang terdengar adalah lagu yang masih terputar dari laptop Hitomi, dan adegan dansa yang berpusat pada dua tokoh utama.

Let's go on dreaming, though we know we are so close and still so far **

**So Close – Jon Mclaughlin

“Hitomi, lama nunggu?”

Gadis itu mendongak, lantas ia menggeleng, “Baru sampai kok. Pesan dulu aja,” Minju mengernyit melihat cup yang ada di depannya, tak ingat Hitomi menyukai americano yang rasanya seperti karet ban dibakar, namun ia tak berkata apa-apa. Minju lantas berjalan ke arah counter dan matanya sibuk menelusuri deretan menu yang terhampar di papan yang tergantung di tembok di depannya. Setelah menyebutkan pesanannya pada pelayan, ia kembali ke meja mereka dan memfokuskan perhatiannya pada gadis yang kini duduk di depannya.

Gadis itu banyak berubah.

Pipinya sedikit lebih tirus, tapi ia tetap terlihat sehat. Ia juga terlihat lebih tenang dan—perasaannya saja, atau gadis di depannya kini terlihat lebih tegas?

“Mau ngobrolin apa, Hitomi?”

“Aku nggak mau basa-basi Ju,” tepat saat gadis itu berkata demikian, namanya dipanggil. Minju berjalan ke arah counter. Ia lantas menatap pesanannya sendiri—strawberry frappe. Sesuatu yang akan dipesan Hitomi dulu.

“Oke, balik lagi ke pembicaraan kita,” gadis itu menusukkan sedotan pada cup di tangannya setelah Minju kembali ke meja mereka, “Jujur aja, aku masih sakit hati sama kamu. Apa yang kamu lakukan waktu itu adalah sesuatu yang sampai kapanpun nggak bisa aku terima Ju,” Minju menunduk, membiarkan tangannya mengaduk minuman miliknya.

“Aku selalu berusaha jadi yang kamu minta. Aku ikuti semua mau kamu. Kamu mau fokus ini itu, aku selalu berusaha dukung kamu. Lalu aku sadar, hubungan ini mulai timpang. Aku sampai pada titik di mana aku sendiri takut untuk ngajak kamu ketemu—bahkan sekedar ngobrol ringan. Aku takut ganggu kamu, karena beberapa kali aku ngeluh, respons kamu nggak seperti yang aku harapkan. Kita pacaran, tapi aku nggak merasa punya pacar.”

Mereka kembali terdiam.

“Ngomong sekarang sebetulnya aneh. Semuanya udah berlalu, lagipula,” Hitomi akhirnya berujar, “Tapi aku mau tahu,” gadis itu melanjutkan, “Aku mau tahu kenapa kamu sampai bisa setega itu sama aku. Aku mau tahu apa yang salah di hubungan aku sama kamu dulu, biar aku nggak mengulangi kesalahan yang sama.”

Minju tersenyum getir. Aku sama kamu. Hubungan aku sama kamu. Dulu. Tak ada lagi kita. Ia kemudian menghela napas, punggungnya menyentuh sandaran kursi. Ia lantas berkata, “Kamu sayang aku apa adanya, Hitomi.”

Hitomi terdiam. Tak ada gelengan, anggukan, protes, bahkan ekspresi wajahnya tetap sama. Minju melanjutkan, “Disayangi apa adanya itu menyenangkan. Aku bisa ngerasain seberapa tulus perasaanmu buatku. Aku belum pernah ngomong ini sebelumnya, tapi makasih udah sayang aku sebesar itu,” gadis itu tersenyum kecut, namun ekspresi Hitomi tetap tak berubah.

“Yang jadi masalah adalah, kita terlalu baik-baik aja, Hitomi. Kamu terlalu menerima aku dan semua kekuranganku. Aku nggak tahu apa yang harus kuperbaiki. Apa yang harus kita perbaiki. Aku salah pun kamu nggak marah. Atau mungkin, kamu marah, tapi kamu nggak bilang apa-apa.

“Jujur, semua yang terlalu tenang itu bikin jenuh, Hi,” ia mendesah. Kedua tangannya bergerak mengusap wajah, “Tapi aku sadar, aku harusnya bilang ini sama kamu waktu kita masih pacaran dulu. Mungkin kita bisa—break? Atau kita bisa sama-sama memperbaiki hubungan kita. Tapi aku malah cari yang lain.”

Hitomi menghela napas, “Jadi bener 'kan? Karena jenuh?”

Pelan, Minju mengangguk, “Sebagian besar, iya. Sebagian lagi karena aku bingung. Kamu selalu ikut apa mauku, tapi aku nggak pernah sekalipun dengar kamu minta sesuatu dari aku. Aku juga mau jadi pihak yang memberi, bukan cuma menerima, Hii. Tapi lagi-lagi, harusnya aku ngomong ini sama kamu dulu, bukan sekarang.”

Mereka sama-sama terdiam. Tak ada yang berniat menyentuh pesanan mereka. Bulir-bulir air menetes ke atas meja, seiring dengan mencairnya es di dalam cup minuman yang mereka pesan. Beberapa kali bel di atas pintu berdenting, menandakan keluar masuknya pengunjung coffee shop, tapi mereka tetap membisu. Di menit ke berapa, Hitomi akhirnya mengembuskan napas.

“Makasih, Ju,” gadis itu tersenyum tipis. Minju menatapnya dengan dahi berkerut, “Untuk?”

“Makasih udah ngasih tahu semuanya sekarang. Paling nggak, aku tahu apa yang harus aku ubah dari diriku kalau nanti aku kembali menjalin hubungan sama seseorang.”

Minju terdiam, “Kamu maafin aku?”

Hitomi menggeleng, “Belum,” gadis itu meraih cup miliknya, bersiap untuk pergi, “Tapi aku yakin nanti, aku bisa maafin kamu.”

“Kita—” ada sesuatu yang mengganjal tenggorokannya, “Kita bisa temenan lagi 'kan Hii?”

“Mungkin?” Gadis itu meremas tali tote bag yang ia sampirkan di bahu, “Ya, mungkin. Aku nggak tahu, Ju.”

“Aku kirim pesan buat ngajak ketemu sesekali boleh?”

Hitomi tersenyum tipis, “Nggak dalam waktu dekat. Tapi kalau aku udah siap, mungkin bisa.”

Hitomi berlalu, kembali meninggalkan Minju sendiri. Namun, baik Hitomi dan Minju akhirnya menemukan ujung dari hubungan mereka, menemukan jawaban dari setiap tanya yang bergumul di kepala, menumpahkan gelisah yang bercokol lama dalam dada. Satu per satu benang kusut terurai, dan meski kini benang takdir mereka telah terputus, Minju berharap, Semesta cukup baik untuk membiarkan mereka kembali hadir dalam hidup satu sama lain.

Nako tahu Minju benar-benar berusaha berubah. Kerap kali gadis itu berdiri di depan gedung fakultas mereka, menunggu Hitomi turun. Sesuatu yang tak pernah Minju lakukan dua tahun ke belakang.

“Nggak usah disusul. Pulang, Kim Minju,” gertaknya saat lagi-lagi sore itu, ia melihat Minju di halaman gedung fakultasnya. Minju mendesah, “Aku mau ketemu Hitomi, Nak. Sampai aku sama dia bisa kayak dulu lagi, aku akan terus berusaha buat nemuin dia.”

“Nggak lihat dia takut tiap lihat kamu, hah?”

Jumat sore, dan Nako, Chaewon, serta Hitomi, berjanji untuk pergi ke sebuah kafe dekat kampus. Kelas mereka berdua selesai tepat saat kelas Chaewon berakhir, sehingga tak perlu ada yang menunggu. Ketiganya melangkah menuruni tangga sambil sesekali berbincang. Saat mereka keluar dari gedung, langkah Hitomi terhenti. Gadis itu terbeliak, dan baik Chaewon maupun Nako tak mengerti kenapa gadis itu bereaksi demikian hingga Nako mendapati sosok Minju yang mendekat.

Hitomi mencengkeram lengan Chaewon erat—kelewat erat, dan meski mungkin lengannya sedikit kebas, Chaewon tak menunjukkan ketidaknyamanannya. Ia menarik Hitomi ke belakang, menyembunyikan gadis itu di punggungnya, dan ia bisa merasakan tangan Hitomi bergerak menggenggam tangannya. Nako yang tak tahan melihat Hitomi tersiksa meminta Chaewon untuk membawa gadis itu pulang, dan itu adalah kali pertama Minju melihat Nako mengamuk.

“Aku janji bakal berubah, Nak. Aku lagi berusaha berubah,” wajahnya memelas, “Aku tahu aku brengsek banget. Tapi aku lagi berusaha untuk balikin apa yang kami punya. Aku mau kami kayak dulu lagi.”

“Jangan mimpi, Kim Minju,” decak Nako, “Aku aja nggak bisa maafin kamu, apalagi Hitomi?”

“Hitomi di mana, Nak?” Mengabaikan pertanyaan Nako, Minju balas bertanya.

“Sama Kak Chaewon,” Nako menghela napas, “Ju, please. Biarin Hitomi bahagia sama orang yang mau dan bisa bikin dia bahagia. Jangan egois.”

“Bukannya kamu juga egois?”

Nako mengernyit, “Maksud kamu apa?”

Jemarinya menyisir rambutnya ke belakang. Wajahnya terlihat frustasi, “Yang bisa bikin aku bahagia tuh Hitomi, Nak. Apa kamu nggak egois kalau kamu maksa aku buat berhenti deketin dia?”

“Ya pikir aja lah Kim Minju,” telunjuknya mengarah pada pelipisnya sendiri, “Masih ada di sini enggak sih otakmu hah? Kalian putus, tujuh bulan yang lalu, semua gara-gara kelakuanmu. Masih untung dia nggak tahu soal kamu sama Kak Hyewon. Kalau tahu? Berani jamin, denger nama kamu aja dia nggak mau.”

“Aku mau benerin semuanya, Nak. Ini bagian dari usahaku.”

“Semua butuh waktu, Kim Minju,” Nako mendesah, “Dan nggak gini cara memperbaiki kesalahanmu. Kamu malah bikin dia nggak tenang.

“Pikir lagi deh. Kamu beneran sayang sama Hitomi, apa cuma pengen 'memiliki' Hitomi lagi karena panas lihat dia bisa nemu pengganti kamu?”


“Kak Chaewon.”

“Iya Hitoma?” Ia sudah akan melangkah pergi saat namanya dipanggil, “Kenapa?”

“Boleh nggak, jangan pulang ke kosan dulu?” Pandangannya tertunduk. Setelah melihat reaksi Hitomi yang tiba-tiba gemetar melihat mantan kekasihnya dua minggu lalu, ia selalu mengantar gadis itu pulang, sebab Nako masih belum kembali tinggal di kosan. Hari ini pun, hal yang sama terulang. Meski mereka tak lagi berpapasan langsung—terima kasih pada Nako yang buru-buru meminta mereka untuk keluar lewat pintu belakang— Chaewon tahu gadis itu sempat melihat sosok mantan kekasihnya berdiri di halaman depan gedung fakultas.

“Boleh,” gadis itu akhirnya kembali melepaskan sepatu dan duduk bersandar pada kaki tempat tidur. Ia mendengar Hitomi mendesah lega, dan tak lama, gadis itu menghenyakkan diri di sebelahnya. Chaewon tahu jelas Hitomi tak ingin bicara, maka tangan kanannya merogoh saku, menarik keluar ponsel miliknya. Saat jempolnya hendak menekan ikon sebuah game, dua jari Hitomi menarik ujung lengan sweaternya. Ia menoleh, “Kenapa Hitoma?”

“Kalau minta peluk boleh nggak?”

Seulas senyum tipis terlukis di wajahnya. Diletakkannya ponsel di atas tempat tidur.  “Capek ya?” Perlahan ia menarik gadis itu ke dalam pelukan, “Boleh,” tangannya menepuk-nepuk punggung gadis itu, “Kalau mau nangis lagi juga boleh.”

“Nggak Kak. Nggak mau nangis lagi. Dia nggak penting. Aku baik-baik aja kok. Cuma capek.”

Chaewon lagi-lagi tersenyum, “Kalau memang lagi nggak baik-baik aja, nggak apa-apa kok. Diakui aja,” ia bisa mendengar suara hela napas Hitomi yang kelewat kencang, “Tapi makasih udah mau bilang kalau kamu capek, ya.”

“Sampai kapan ya Kak aku harus kayak gini terus tiap lihat dia?”

Pelan, jemari Chaewon bergerak mengusap kepala gadis itu, “Sampai kalian benar-benar selesai.

“Kalian putus nggak baik-baik, Hitoma. Pasti banyak yang mengganjal. Suatu saat, kalian harus beresin semuanya. Soal nanti, hubungan kalian gimana, biar nanti aja dipikirinnya.”

“Nggak mau balikan, Kak,” Hitomi menggeleng, suaranya teredam, “Nggak akan mau balikan sama dia.”

Chaewon menghela napas. Aku juga maunya kamu nggak balikan, Hitoma. “Iya, ngerti. Saat ini kamu masih sakit hati. Wajar kok. Wajar juga kamu nggak mau ketemu dia. Tapi suatu saat, harus diberesin ya. Ngobrol dengan kepala dingin. Dia berhak jelasin kenapa dia ngelakuin hal itu sama kamu, terlepas nanti kamu terima atau nggak.”

“Tapi Kak—”

“Iya,” Chaewon sedang sekuat tenaga menahan diri untuk tidak mengecup pelipis gadis itu. Mereka bukan apa-apa. Peluk yang mereka bagi adalah permintaan Hitomi yang sedang lelah, bukan karena mereka punya perasaan yang sama. “Selingkuh memang bukan sesuatu yang bisa kamu terima, bahkan aku sendiri nggak bisa terima. Tapi kalau kamu nggak dengar dari sisi dia, kamu nggak bakal tahu apa yang salah dengan hubungan kalian.

“Nggak harus sekarang ngobrolnya, Hitoma. Nanti, setelah kamu siap. Sampai kamu siap nanti, aku janji bakal temenin kamu kayak gini. Oke? Aku siap dengerin kamu cerita kapan aja.”

Aku bahkan siap untuk menggantikan dia di hatimu, kalau kamu mau.

“Halo Kak?”

“Iya, Hitomi,” di mana sih benda kecil itu? “Hitomi bentar ya, aku cari earphone dulu, nggak enak teleponan terus handphone nempel di kuping, panas.”

Gadis itu tertawa kecil, dan mau tak mau, aku tersenyum. “Oke Kak.”

Mataku menangkap benda kecil berwarna hitam itu tergeletak di atas meja belajar. Satu langkah besar, dan benda itu segera tertancap di ponselku, dengan kedua ujung bulatnya menempel di telinga. Tubuhku kini rebah di atas kasur, dan kubiarkan jendela terbuka. Dari sana, aku bisa melihat lampu kamar Hitomi yang masih menyala.

“Halo, Hitoma? Maaf lama ya?”

“Nggak kok Kak,” halus suaranya menyapa. Ah, kenapa sih dia nggak jadi penyiar radio atau penyanyi saja? Biar aku bisa mendengar suaranya dua puluh empat jam.

“Kenapa nih telepon? Mau ditemenin ngobrol sampai ketiduran?” Ujarku sambil tertawa. Kudengar Hitomi mendengus.

“Nggak ih, ge-er banget Kak Chaewon.” Kami lalu sama-sama terdiam. Dari kejauhan, suara klakson kendaraan terdengar. Bulan belum naik, namun lampu-lampu jalan sudah menggantikan tugasnya menyinari Bumi tempat kami tinggal. Angin berembus, membawa aroma Sabtu malam yang katanya waktu terbaik untuk berkencan.

“Aku mau cerita boleh nggak Kak?”

“Boleh dong,” jawabku cepat. Sebelah tanganku meraih bantal di ujung kasur, memeluknya sambil memejamkan mata, “Cerita aja.”

Aku bisa mendengar ia menghela napas sebelum akhirnya berkata, “Yang tadi tuh mantanku.”

Aku tahu, batinku, namun urung kukatakan. Alih-alih, aku berkata, “Oh gitu. Terus? Pasti ada sesuatu sampai kamu nangis kayak tadi. Nggak baik-baik ya putusnya?”

Perlahan mataku terbuka, menatap langit-langit kamar yang penuh dengan sticker yang menyala dalam gelap—dua belas rasi bintang tertempel di sana. Hitomi masih belum menjawab, namun aku yakin, gadis itu tengah mengumpulkan keberanian untuk membuka luka yang mati-matian berusaha ia tutup.

“Kami putus karena aku mergokin dia selingkuh,” ia berkata singkat. Nako tidak pernah memberitahuku alasan hubungan mereka berakhir, namun, ada sesuatu yang bergejolak dalam diriku saat mengetahui fakta ini.

Bisa-bisanya gadis itu berpaling dari jiwa semanis Hitomi?

“Kami udah jalan lima tahun, Kak,” ia melanjutkan, High school sweetheart, orang-orang bahkan sempet mikir gitu, tapi nyatanya nggak sampai sana,” kekeh pahit meluncur dari mulutnya, “Semua baik-baik aja sampai kami kuliah. Dia mulai sibuk organisasi. Mulai sering marah-marah. Nggak pernah lagi cerita soal kehidupan kuliah dia. Aku benar-benar kayak orang asing. Aku selalu berusaha nurutin maunya dia, selalu berusaha menyelamatkan hubunganku sama dia dengan nggak banyak menuntut. Tapi nyatanya kandas juga.”

Harusnya dari dulu kutikung aja nggak sih? Tidak, Kim Chaewon. Kamu tidak serendah itu.

“Apa aku tuh kurang cantik ya Kak? Atau kurang menarik gitu? Sontak aku menggeleng, meski tahu gadis itu takkan bisa melihatku, “Kamu cantik, Hitoma. Cantik banget. Bahkan rasanya, kita harus nambahin nama kamu ke dalam kamus sebagai kata sifat untuk mendefinisikan yang lebih cantik dari cantik.”

“Manis banget mulutnya, Kak Chaewon. Biasa ngomong gini sama pacarnya ya?”

“Aku jomlo dari lahir lho. Ngehina nih?” dan gadis itu tertawa. Kembali kami terdiam, dan yang terdengar hanyalah suara hela napas masing-masing. Satu detak jantung. Dua detak jantung. Tiga—

“Aku tuh salah apa sih Kak sampai harus diselingkuhin kayak gini?” suaranya sedikit serak—berani taruhan, dia sedang menahan tangis, “Aku selalu berusaha jadi yang dia mau. Selalu berusaha ngerti. Bahkan aku aja nggak pernah ngeluh lagi sama dia karena takut keluhanku tuh remeh, nggak sebanding sama urusan-urusan dia yang lebih penting. Tapi kayaknya usahaku tuh nggak ada artinya ya Kak. Seakan-akan aku nggak pernah jadi bagian dari hari-hari dia selama ini. Seolah-olah apa yang aku sama dia bangun selama ini udah nggak berarti. Lima tahun, Kak. Lima tahun kandas gitu aja.”

Hitomi yang pertama kali kutemui dua tahun lalu masih sama dengan Hitomi yang saat ini bicara denganku melalui telepon.

Aku ingat, interaksi pertamaku dengan gadis itu adalah saat malam pengukuhan anggota baru. Hitomi memang pada akhirnya memilih untuk tidak terjun di himpunan, tapi gadis itu tetap mengikuti ospek demi Nako—perjanjian dengan komdis. Yah. Begitu lah. Tapi itu tidak penting. Pada saat malam pengukuhan, kami berkemah di gunung—aku tidak bohong. Seniorku bilang, ini memang area berkemah, tapi bagiku, lebih mirip gunung. Tak ada sinyal, akses sulit, dan benar-benar gelap.

Setelah menyelesaikan tugas di pos terakhir—pos komdis, Hitomi dan kelompoknya kembali ke tenda. Aku, yang waktu itu bertugas untuk menuntun mereka, sebab jalan terlalu gelap, berhati-hati meminta mereka untuk berpegangan tangan, sebab hujan baru saja turun. Benar saja. Mereka tergelincir, bahkan celana salah satu dari mereka sobek. Kami bergegas—dengan tetap berhati-hati.

Saat kami tiba di tenda, Hitomi sibuk membersihkan luka di lutut Nako, saat kulihat pelipis, lutut dan sikunya juga berdarah. Sepertinya pelipisnya tergores ranting. Badannya juga menggigil. Aku ingat, aku memintanya untuk berhenti, biarkan saja temannya yang lain yang membersihkan luka anak itu. “Kamu harus ganti baju. Badanmu menggigil karena bajumu basah. Lukamu juga harus segera dibersihkan. Saya bantu bersihkan ya? Sekarang kamu ganti baju dulu.” Ia menggeleng, “Nako dulu aja Kak. Saya bisa nanti. Lagipula, Nako cengeng Kak. Harus ada saya.”

Dari situ, aku tahu bahwa gadis ini selalu mendahulukan orang lain. Ia selalu berusaha menjaga dan merawat orang lain, tanpa pernah sadar bahwa mereka yang ia jaga belum tentu rela melakukan hal yang sama untuknya.

Namun, aku rela. Aku rela melindunginya dari semua rasa sakit.

Perlahan, aku mendorong tubuhku bangkit dari tidur, membiarkan sebagian tubuhku terjulur dari jendela.

“Hitomi?”

“Ya Kak?”

“Buka dong jendela kamarmu.”

Terdengar suara gemerisik kain, yang kuyakini muncul sebab sama sepertiku, gadis ini juga menelepon sambil berbaring di atas tempat tidur. Tak lama, jendela kamarnya terbuka, menampilkan sosoknya yang berbalut piyama.

“Kenapa nih? Kak Chaewon mau lambai-lambai kayak doger monyet lagi?” kulihat gadis itu tertawa, dan mau tak mau, aku juga tertawa.

“Kalau dengan kayak gitu kamu ketawa, aku rela sih. Tapi bukan itu,” ujarku dan gadis itu menatapku dengan sebelah alis terangkat.

“Hitomi, kamu nggak pernah kurang untuk orang yang sayang kamu, apalagi ngomongin fisik. Malah, kamu tuh kelebihan. Perhatiannya, pengertiannya, sayangnya, semuanya kelebihan. Kalau dia beneran sayang kamu, dia pasti ngerti kalau tiga hal itu tuh bukan sesuatu yang murah. Nggak semua orang punya rasa sayang sebesar kamu, bahkan kamu suka rela ngebagi itu sama orang lain. Kamu selalu mendahulukan orang lain, meskipun di saat bersamaan, kamu terluka. Kalau ada satu botol air di gurun dan kamu sama temenmu kehausan, aku yakin kamu bakal ngasih botol air itu ke temenmu.

“Kamu nggak kurang, Hitomi. Kalaupun ada sesuatu yang harus kamu perbaiki, harusnya kalian bicara baik-baik. Harusnya kalian ngebantu satu sama lain buat memperbaiki itu. Kalau nggak, artinya mungkin dia aja yang nggak tepat buat kamu. Dia aja yang nggak bisa menghargai kamu. Kamu cuma punya satu hati. Dijaga baik-baik, ya. Kasih hati kamu sama orang yang bisa memperlakukan kamu seolah kamu satu-satunya.”

Buatku, kamu satu-satunya, Hitoma.