Aku Mau Kamu Selalu Ada
Tak perlu menunggu lama hingga gadis di ujung sambungan telepon yang lain menerima panggilannya. Dering kedua, dan suara serak khas orang bangun tidur menyapa telinganya.
“Ya, Hitoma? Kenapa? Maaf baru bangun.”
“Kakak di kosan 'kan?”
“Iya. Kenapa? Ada apa?” Terdengar suara grasak-grusuk dan Hitomi merasakan panik yang merambat saat suara benda keras beradu dengan lantai. Samar, ia bisa mendengar gerutuan Chaewon, “Kak? Kak Chaewon? Nggak apa-apa?”
“Nggak kok. Barusan jatuh. Terlalu semangat bangun. Kamu kenapa? Di mana? Mau disamperin?”
“Aku ke situ aja. Tolong bukain gerbangnya ya Kak. Sepuluh menit lagi sampai,” ujar gadis itu dan sambungan mereka terputus. Hitomi menghela napas. Menolak Minju adalah keputusan yang tak mudah, sebab ia juga bisa merasakan ketulusan gadis itu di kali kedua Semesta mendekatkan mereka. Namun, ada sesuatu yang menghalangi Hitomi untuk mengiyakan ajakannya untuk bersama kembali. Bukan sakit hati. Bukan lagi bayang-bayang masa lalu.
Chaewon.
Gadis itu telah menjadi bagian hidup Hitomi—yang tak pernah betul-betul ia sadari. Gadis itu menyelinap masuk dengan halus; tanpa paksaan, tanpa persiapan apa-apa. Ia hadir dengan sederhana, apa adanya, dan barangkali, itulah yang meyakinkan Hitomi bahwa hatinya menginginkan gadis itu.
Hitomi ingin Chaewon selalu ada.
“Maaf nunggu, tadi mandi dulu sama rapiin kamar sedikit. Biar melek. Naik, yuk,” gadis itu berkata saat ia dan Hitomi bertemu di depan gerbang kos-kosannya. Hitomi lantas mengekori gadis itu. Kamarnya rapi—namun kentara sekali bahwa si pemilik kamar memang baru bangun tidur. Bantal dan selimutnya berantakan, juga seprai kasurnya yang sedikit terlipat. Hitomi tak begitu sering menyambangi kamar kos Chaewon, tak seperti Chaewon yang sering keluar masuk kamarnya atas permintaan Hitomi sendiri. Namun Hitomi bisa dengan mudah mendeskripsikan keadaan kamar gadis itu; poster Harry Potter di atas meja belajar, buku-buku yang ditata apik, dan beberapa album yang berjejer di sebelahnya.
“Kenapa, Hitoma?”
“Maaf ya Kak ganggu. Pasti lagi capek-capeknya skripsian. Aku nggak lama kok,” ujar gadis itu saat mereka telah duduk di lantai kamar gadis itu. Chaewon menggeleng.
“Nggak kok. Kenapa?”
“Mau jawab pertanyaan Kak Chaewon dua minggu lalu.”
Hitomi bisa melihat kedua bahu gadis itu mendadak tegap. Hitomi tersenyum tipis.
“Kak Chaewon bilang, kalau aku harus mikirin diriku sendiri. Keputusan yang kuambil harus demi kebahagiaanku sendiri. Dan dua minggu ini, aku banyak mikir.
“Sadar nggak sadar, setahun ini Kak Chaewon udah jadi bagian penting di hidupku. Aku bisa berdiri lagi kayak sekarang ya karena dibantu Kak Chaewon. Kalau nggak ada Kak Chaewon, aku mungkin nggak bakal kayak sekarang. Kak Chaewon selalu jadi yang paling sabar, yang paling mengerti, dan sama Kak Chaewon, aku nemu hal-hal baru tentang diriku yang aku sendiri nggak sadar sebelumnya.”
Chaewon menatap gadis itu lamat-lamat. Tak ingin menyela. Tak ingin menghentikan kata-kata yang berhamburan.
“Sama Kak Chaewon, aku nggak pernah deg-degan, jujur aja,” Hitomi tertawa kecil, “Aku nggak pernah merasa kayak orang jatuh cinta—atau mungkin, apa yang kupikir kayak jatuh cinta. Nggak ada jantung berdebar kencang, nggak ada kupu-kupu beterbangan. Yang ada cuma rasa aman. Rasa nyaman. Perasaan dimengerti. Dan belakangan, aku baru sadar kalau itu juga bentuk sayang.
“Jadi—Kak Chaewon masih mau 'kan, jadi yang selalu ada buatku?”
Hitomi tak bisa memproses apa yang terjadi berikutnya, sebab yang ia tahu, wangi khas gadis itu kembali menyeruak; perlahan tangannya melingkar di pinggang gadis itu, memeluknya sama eratnya.
“Makasih,” Chaewon berbisik, “Demi Semesta dan segala isinya, makasih,” dan Hitomi mau tak mau merasa ada sesuatu yang mengganjal tenggorokannya.
“Aku yang makasih, Kak. Makasih udah sayang aku selama itu dan sesabar itu.” Perlahan, pelukan mereka mengendur, menyisakan jarak tipis di antara mereka. Pandangan Hitomi menurun, menatap bibir gadis itu. Gadis itu tersenyum kecil, melipat jarak di antara mereka. Tangannya bergerak menangkup wajah Hitomi pelan.
“Boleh, Hitoma?”
Hitomi tersenyum kecil, dan tanpa kata, ia menghapus jarak di antara mereka, menghilangkan sekat yang selama ini mereka bangun, memulai pagi dengan ciuman yang lebih manis dari mimpi, dan lembar baru yang siap menampung cerita mereka.