kimchaejjigae

Namanya Hitomi. Gadis paling manis yang pernah aku temui.

Kami bertemu lima tahun lalu, dan hari itu takkan pernah lekang dari ingatan. Kami baru memulai kehidupan baru sebagai siswa SMA. Masa orientasi sudah usai, dan datanglah hari-hari penuh tugas serta pertanyaan 'kapan istirahat?' yang selalu menggema tiap kami berada di kelas. Sore itu, aku terpaksa pulang lebih sore dari biasanya. Klub teater mengadakan pertemuan, dan sebagai anggota baru, tentu saja aku harus hadir. Setelah pertemuan dibubarkan, kulangkahkan kaki menuju halte bus. Seorang gadis dengan rambut diikat satu berdiri di sana. Pipinya tembam, matanya bulat, dan aku percaya saja jika ada yang mengatakan kalau dia boneka; boneka yang menggemaskan, kalau boleh kutambahkan. Ingin rasanya kucubit pipinya.

Khayalanku buyar saat bunyi benturan benda keras terdengar, dan di depan mataku, seorang pengendara motor terpelanting ke trotoar. Knalpot motor mengepulkan asap, kap mobil di depanku terbuka dan beberapa satpam sekolah berlari menghampiri si pengendara motor. Beberapa pejalan kaki mengerubungi mobil yang kondisinya tak keruan setelah membanting setir dan menabrak pohon, mengetuk-ngetuk jendela mobil, memastikan si pengendara baik-baik saja.

Seakan punya daya tarik sendiri, mataku mengarah pada gadis boneka di depan halte. Tubuhnya bergetar, dan aku tahu, ia pasti takut melihat peristiwa yang baru saja terjadi. Kulangkahkan kaki dan tanpa sadar, kulingkarkan tanganku di pundaknya.

“Kamu nggak apa-apa?”

Kupikir, gadis itu akan menjawab pertanyaanku dengan kalimat standar seperti 'Nggak apa-apa kok' atau 'Iya' atau mungkin, sebuah anggukan. Namun, gadis itu menepis lenganku dari pundaknya, membuat dahiku berkerut.

“Maaf,” gadis itu bergumam. Aku menggeleng. Mungkin aku saja yang berlebihan. Masa baru bertemu sudah main rangkul-rangkul aja? begitu pikirku. Tak lama gadis itu pergi, sebab dari kejauhan, aku bisa melihat seseorang melambaikan tangan padanya. Nggak sekelas juga. Nggak bakal sering ketemu.

Dugaanku salah. Kami sekelas di mata pelajaran bahasa asing pilihan.

Gadis itu sungguhan pintar. Mempelajari bahasa asing baru selalu terasa sulit. Tata bahasa dan tetek bengeknya selalu membuat kepalaku sakit. Aku tidak tahu apa bedanya Kuchen dan Küchen, atau bagaimana cara mengucapkannya dengan benar, tapi gadis itu membuatnya semudah menjentikkan jari. Kupikir, dari sanalah kekagumanku untuknya muncul.

Oh, dan dia benar-benar tidak menyukai kontak fisik, sepertinya.

Dia selalu menolak untuk dirangkul, bahkan digandeng oleh siapapun—kecuali Yabuki Nako, sahabatnya sejak kecil. Pertemanan kecil kami dimulai dari makan siang bersama di kantin, berlanjut dengan mengerjakan PR bersama di rumah salah satu dari kami. Nako dan Hitomi akan membantuku dalam pelajaran hapalan dan bahasa, sedangkan aku akan dengan senang hati membantu mengerjakan PR hitungan mereka.

Singkat cerita, Hitomi jadi pacarku karena kekagumanku makin besar. Semua berjalan menyenangkan. Kencan-kencan kami selalu menyenangkan. Romansa masa sekolah yang kami punya bahkan lebih manis dari gula. Hitomi adalah pacar yang pengertian.

Terlalu pengertian, bahkan.

Mungkin itu juga yang membuatku jenuh saat hubungan kami memasuki tahun keempat. Dia terlalu menyayangiku apa adanya; ia tak pernah menuntut apa-apa, selalu memuji apapun yang kulakukan meski tak seberapa—bahkan mungkin payah. Ia juga tak pernah marah saat aku lupa dengan kencan-kencan kami yang mulai kuanggap tak penting.

Itu sebabnya saat Kak Hyewon menawarkan sebuah hubungan baru bersamanya, aku tergoda.

Berbeda dengan Hitomi, Kak Hyewon adalah pacar yang sering meminta ini itu. Bersamanya, segala sesuatu selalu terasa mendebarkan—ia selalu membuatku mencoba hal-hal baru. Perasaanku meluap—sesuatu yang tak pernah kudapatkan saat bersama Hitomi. Kami main cantik. Tak ada satupun yang tahu tentang kami—sampai hari itu Nako berterus terang padaku. Hubungan kami berakhir saat aku tahu bahwa Kak Hyewon menganggapku sebagai pacar cadangan saja—pacarnya yang lebih tua darinya telah kembali dari studi di luar negeri, dan dengan begitu, kami selesai.

Aku tentu saja tidak bisa marah, sebab aku pun bermain di belakang Hitomi.

Aku mulai mencari kesibukan, menyalahkan perbedaan bidangku dan Hitomi, merasa Hitomi tak bisa mengerti diriku; aku berusaha mencari perasaan yang hadir saat aku bersama Kak Hyewon—dan semua kutemukan dalam diri Ahn Yujin, adik tingkatku. Kami selalu berkata bahwa hubungan kami hanyalah sebatas junior-senior yang dekat, namun aku tahu, beberapa orang mulai membicarakan kami di belakang. Tapi, tak satupun bisa membuktikan bahwa aku dan dia lebih dari itu. Sama dengan Kak Hyewon, Yujin pintar menyiasati kencan-kencan kami.

Hingga hari itu, Hitomi menghampiriku di sekretariat himpunan.

Melihatnya menangis di pelukan Nako membuat sebagian hatiku hancur. Namun, sebagian dari diriku juga berusaha memberikan pembenaran atas semua sikapku. Kupikir, ia takkan marah—sama seperti biasa. Namun, seperti yang mereka bilang, manusia punya batasnya masing-masing, dan saat itu aku tahu, aku sudah kelewatan.

Saat hubunganku dengannya harus berakhir, duniaku runtuh. Sesuatu akan terasa berharga jika ia telah hilang dari genggaman, bukan? Itulah yang kurasakan. Aku membenci diriku sendiri yang menyia-nyiakan jiwa sebaik Hitomi. Aku membenci diriku sendiri yang membuat tangisnya pecah. Aku membenci diriku sendiri yang dengan bodohnya mencari pelarian saat aku jenuh dengan gadis itu.

Hubunganku dengan Yujin berakhir saat itu juga. Tapi, Yujin tampaknya tak terpengaruh dengan itu, sebab beberapa hari kemudian, ia sudah terlihat menggandeng seorang mahasiswi manajemen bisnis—selebriti kampus, Jang Wonyoung. Rasanya, dunia tak adil. Hanya aku yang berantakan. Namun, aku sadar itu salahku.

Hatiku berdenyut saat hari itu, kami bertemu di seminar yang diadakan oleh himpunan Hitomi. Kupikir, ia takkan ada di sana—Hitomi tak pernah menaruh minat pada organisasi dan semacamnya. Tapi gadis itu ada di sana. Menatapku dengan sorot mata yang tak bisa kuartikan; sedih, marah, kecewa, entahlah. Namun, yang lebih mengagetkanku, ia membiarkan seseorang menggenggam tangannya. Tepat sebelum pintu auditorium ditutup, aku melihat gadis itu menggandeng Hitomi, dan aku tahu betul gadis itu bukan orang terdekat Hitomi.

Tidak bisa begini.

Aku ingin memperbaiki semuanya. Aku harus memperbaiki semuanya. Aku butuh Hitomi. Aku butuh dia di hidupku lagi.

Minju tahu di mana gadis itu berada.

Ia tidak asing dengan hal-hal berbau kepanitiaan. Ruang panitia. Minju yakin gadis itu di sana. Saat ke toilet tadi, ia melewati satu kelas dengan kertas besar bertuliskan ruangan panitia yang tertempel di pintu. Ia tahu Hitomi di sana. Sejenak, ia ragu. Ia tahu Hitomi tidak akan mau bertemu dengannya. Namun, ia tidak mau terus-terusan begini.

Ia tidak mau jauh dari Hitomi.

Saat kakinya melangkah, sebuah tangan menariknya paksa menuju titik terjauh lorong lantai tiga. Ia baru saja akan berteriak saat wajah marah Nako menyapanya.

“Aku tahu kamu mau ke mana,” gadis itu mendesis, wajahnya memerah menahan marah, “Nggak usah. Pulang aja.”

“Nak, please,” memelas adalah hal terakhir yang sudi ia lakukan, namun jika itu demi Hitomi, ia tak peduli lagi, “Mau ketemu Hitomi, Nak.”

“Kamu udah janji, Kim Minju,” ia menggertakkan gigi, “Sekalipun Hitomi mau ketemu kamu, aku yang nggak akan ngebiarin dia ketemu kamu.”

“Dipikir-pikir kenapa sih kamu jadi ikut campur soal hubunganku sama Hitomi?” Kini Minju balik mengerutkan dahi, “Semenjak kita kuliah, kamu selalu marah-marah kalau aku keluar sama dia. Kita udah kenal lama, Nak, demi kepiting busuk. Aku ngerti kalau sekarang kamu kayak gini. Salahku. Tapi kemarin-kemarin? Padahal waktu kita SMA kamu nggak gini,” gadis itu menghela napas, “Atau ada yang aku nggak tahu?”

Nako mendengus, “Ju,” ia menyilangkan tangan di depan dada, “Udah dibilang mata dan telingaku di mana-mana. Waktu kita tingkat satu, kamu juga pernah sama Kak Hyewon 'kan?”

Minju menelan ludah. Sial. Nako tersenyum getir, “Awalnya aku nggak percaya karena waktu itu, kalian baik-baik aja. Di awal-awal kita kuliah, kamu nggak sesibuk dan seegois itu. Tapi sayang, aku lihat kamu jalan sama dia satu hari,” Nako terkekeh—kekeh pelan yang tak menyenangkan, “Sejak itu, kamu mulai sibuk. Mulai egois. Aku pikir setelah kamu ditinggal sama dia, setelah dia selingkuhin kamu balik, kamu bakal kapok. Nyatanya nggak ya?”

“N-Nak, aku—”

“Udah, Ju,” Nako berkata dengan suara sengau, “Jangan nyakitin Hitomi lagi,” ia menghela napas, “Kita teman, aku tahu. Aku percaya suatu saat kita bakal bisa ketemu lagi tanpa embel-embel sakit hati. Kita bisa tumbuh lebih besar dari rasa sakit kita. Tapi jangan sekarang, Ju. Hitomi berantakan bukan karena kamu nggak ada. Dia berantakan karena kelakuan kamu.”

Minju menunduk, tahu betul bahwa apa yang diucapkan Nako memang benar. Ia tahu bahwa dirinya brengsek—demi sejuta topan badai, dia bahkan ingin menghajar dirinya sendiri. Bukan hanya sekali. Tapi berkali-kali. Ia juga tak mengerti kenapa ia bisa dengan mudah berbagi hati saat jiwa sebaik Hitomi selalu ada untuknya. Ia merutuki kebodohannya sendiri, menyadari bahwa selama ini, hanya Hitomi yang selalu membantunya bangkit tiap ia jatuh. Hanya Hitomi yang percaya bahwa ia bisa menaklukan Himalaya. Hanya Hitomi yang percaya. Hanya Hitomi yang mengerti.

Dan ia melepaskan gadis itu—tidak, gadis itu yang akhirnya berjalan pergi, meninggalkan Minju dalam kekacauan yang ia buat sendiri.

“Aku boleh tanya sesuatu, Nak?”

Nako terdiam, tidak mengangguk atau menggeleng—yang diartikan Minju sebagai sebuah persetujuan.

“Siapa yang tadi jaga di meja registrasi sama Hitomi?”

Nako mengerutkan dahi, “Kenapa tanya-tanya?”

“Hitomi nggak suka kontak fisik sama orang yang dia nggak kenal dekat,” Minju tersenyum kecil, “Aku juga tahu persis teman dia siapa aja. Aku nggak pernah dengar nama baru di jajaran temannya, bahkan wajah orang itu juga aku baru lihat tadi,” Minju menghela napas.

“Tapi Hitomi mau digenggam tangannya sama dia,” Minju kembali menduduk, “Sekacau apapun dia, dia selalu nolak kontak fisik sama orang yang nggak dia kenal dekat. Pertama ketemu dia dulu pun, dia menepis tanganku dari pundaknya, padahal dia waktu itu lagi panik karena baru saja lihat orang ketabrak depan mata,” jelasnya Nako menggigit bibir, tak tahu harus bereaksi bagaimana.

“Udah ada yang gantiin aku ya?”

Auditorium di lantai tiga dipenuhi para mahasiswa yang sibuk hilir mudik sedari tadi. Ada yang bolak-balik membawa konsumsi, ada yang mengangkut beberapa barang besar, ada juga yang sibuk mengecek sound system dan segala tetek bengeknya.

Seminar yang mereka adakan adalah acara pertama dari rangkaian peringatan Dies Natalis jurusan mereka. Tak boleh gagal, atau nama jurusan mereka tercoreng. Hendery yang didapuk sebagai ketua panitia tahun ini sibuk mondar-mandir di depan pintu—kentara sekali laki-laki itu gelisah. Acara akan dimulai tiga puluh menit lagi, namun salah satu narasumber yang mereka undang belum juga tiba.

“Kak, emang kalau ada seminar gitu dari jurusan, yang datangnya banyak ya?”

Chaewon menoleh. Ia dan Hitomi kebetulan harus berjaga di meja registrasi. Singkat, ia mengangguk, “Seminar beasiswa gini memang biasanya banyak, Hitoma. Ya, selain tamu dari himpunan lain, karena gratis, biasanya rebutan,” jelasnya, “Kamu memang belum pernah ikut kegiatan himpunan gitu?”

Cengiran kaku terlukis di wajahnya dan mau tak mau, Chaewon tertawa, “Jadi selama hampir dua tahun kuliah, kamu ngapain aja dong?”

“Ya—” Hitomi menggaruk pelipisnya yang tak gatal, “Aku memang kupu-kupu sih Kak,” Hitomi mengeluarkan tawa kaku, “Kuliah, pulang, belajar. Udah, gitu aja.”

Chaewon lagi-lagi tertawa, “Terus, gimana kesannya ikut kepanitiaan? Minat gabung himpunan nggak tuh?”

Hitomi mengerucutkan bibir, “Minus pulang malamnya, seru sih Kak. Aku bisa belajar banyak, ngobrol sama teman-teman atau senior yang selama ini aku cuma tahu nama aja, nggak betulan kenal dekat,” gadis itu menutup penjelasannya dengan sebuah senyum. Chaewon ikut tersenyum.

“Kenal aku terus ditemenin pulang, senang juga nggak?”

Hitomi mengerjap, namun sejurus kemudian ia tertawa kecil, “Kalau jawab nggak senang, nanti Kakak ngambek. Jadi ya senang.”

“Aduh,” Chaewon meringis, sebelah tangannya bergerak memegang dada, “Jahat banget Hitoma.”

“Apa sih Kak Chaewon, dramatis banget,” Hitomi mendengus geli, “Kak Chaewon nggak nunggu narasumber?”

Chaewon menggeleng, “Nggak, LO nya bukan aku. Tuh, LO nya si Jeno sama Yeri,” telunjuknya mengarah pada dua mahasiswa yang mendampingi narasumber yang baru saja keluar dari lift.

“Kak, ini nanti ada tamu undangan dari himpunan lain 'kan ya?”

“Iya, Hi—” ucapannya terpotong saat seorang gadis berambut panjang berdiri di depan mereka, meraih pulpen yang disediakan di atas meja. Chaewon menarik dus konsumsi yang diletakkan di bawah meja saat matanya menangkap tangan Hitomi yang bergetar di sampingnya.

“Hitoma?”

Ia mengerutkan dahi, mengikuti arah pandang Hitomi; gadis yang berdiri di depan mereka juga menatap Hitomi dengan mata melebar, kentara sekali mereka terkejut melihat satu sama lain.

“Hitomi,” gadis itu berkata pelan, “Apa kabar?”

Hitomi meraih konsumsi yang Chaewon pegang, lantas mengulurkannya pada gadis itu, “Ini. Silakan diambil.”

“Kamu sehat 'kan?”

“Ju, ayo?” Seorang mahasiswa yang dari tadi berdiri di sampingnya mengedikkan kepala.

“Bentar Na,” ujarnya, “Kamu nggak kurang tidur 'kan?”

Chaewon tak mengerti apa yang terjadi di antara kedua gadis ini—meski ia punya firasat bahwa apapun yang terjadi di antara mereka, hal itu bukanlah sesuatu yang ingin Hitomi ingat melihat reaksinya saat melihat gadis itu. Hitomi masih menunduk, dan tangannya bergetar dalam pangkuan. Perlahan, Chaewon meraih tangan gadis itu, membuat Hitomi menoleh. Chaewon tak memandang Hitomi sama sekali. Tatapannya terarah pada gadis cantik yang sedari tadi berdiri di depan mereka.

“Seminarnya sudah mau dimulai. Kamu bisa masuk sekarang ya,” ujar Chaewon sambil tersenyum. Merasa kehadirannya tak diinginkan, dengan enggan, gadis itu melangkah masuk menuju auditorium.

“Jisung!” Setengah berteriak Chaewon memanggil adik tingkatnya yang baru saja keluar dari auditorium. Telunjuknya mengarah pada dirinya sendiri, “Gue, Kak?”

“Iya,” Chaewon mengangguk, “Gantiin dulu dong. Mau ke toilet nih sama Hitomi,” Hitomi menoleh, kedua alisnya terangkat, “Antar ya Hii?”

Hitomi mengerjap, namun ia mengangguk, “Titip bentar ya,” ujarnya, dan kedua gadis itu melangkah ke arah toilet di ujung lorong, kemudian berbelok menuruni tangga. Chaewon melirik Hitomi yang sedari tadi menunduk menatap ujung-ujung sepatunya. Raganya di sini, tapi Chaewon tahu, jiwanya melayang entah ke mana. Barulah saat mereka menginjakkan kaki di halaman gedung fakultas, gadis itu menoleh.

“Kak, ini 'kan bukan ke toilet?” Dahinya berkerut, namun Chaewon hanya mengulas senyum. Masih dengan tangan yang bergandengan, Chaewon mengajak Hitomi menjauh dari gedung fakultas mereka. Sebuah bangunan besar yang familiar menyapa pandangan mereka.

“Kak Chaewon ngapain ngajak aku ke gelanggang?”

Chaewon terkekeh, “Udah, ikut aja.”

Mereka melangkah masuk, meniti tangga menuju tribun. Tak ada siapa-siapa di sana. Bahkan anggota klub atletik pun tak ada. Matahari bersinar terik, dan rumput serta pasir merah yang terhampar di lapangan seakan terbakar. Kedua gadis itu terdiam, menatap lapangan yang kosong melompong.

“Gelanggang selalu kosong kalau hari Sabtu,” seolah membaca pikiran Hitomi, Chaewon berkata, “Anak-anak UKM olahraga latihannya bukan hari Sabtu siang. Makanya kalau mumet, aku suka ke sini di jam-jam segini. Nggak bakal ada yang denger kalau aku mau nangis, ngedumel, atau teriak-teriak marah,” gadis itu lantas menoleh, perlahan, ia melepaskan genggaman tangannya, “Maaf ya tadi gandeng-gandeng. Aku nggak tega lihat kamu gemetar gitu. Makanya aku bawa ke sini.”

Hitomi menoleh, memandang Chaewon yang balas menatapnya dengan pandangan khawatir, “Kamu nggak apa-apa, Hitoma?”

Begitu saja, dan tangis Hitomi pecah. Chaewon tak berkata apa-apa. Ia hanya duduk di sana, menemani gadis itu menumpahkan emosi. Dari dalam tas kecilnya, ia menarik keluar sebuah sapu tangan berwarna hijau gelap. Tangannya bergerak mengangsurkan benda kecil itu. Namun, Hitomi tetap diam, memeluk lutut, dengan air mata yang terus berjatuhan. Chaewon menghela napas.

“Maaf ya,” ujar gadis itu, dan seketika, ada tangan yang melingkar di pundak Hitomi—pandangannya menggelap, terhalang bahu Chaewon.

“Nangis aja, nggak apa-apa,” perlahan tangannya menepuk-nepuk punggung Hitomi.

“Aku pikir aku udah nggak apa-apa Kak, tapi ternyata tetep nggak bisa,” Hitomi berkata di sela isak tangisnya, “Aku pikir aku bakal biasa aja, tapi hatiku masih aja sakit.”

Chaewon memang tak mengerti apa yang terjadi, namun ia tahu pasti bahwa ia tak ingin lagi melihat gadis itu hancur seperti ini.

“Oke, rapat hari ini dicukupkan. Terima kasih teman-teman. Jangan lupa PR yang masih harus dikerjakan ya. Tinggal sebulan lagi acaranya. Semangat!” Hendery mengepalkan tangan ke udara dan slogan himpunan menggema di ruangan. Satu per satu panitia mulai meluncur keluar, meninggalkan segelintir panitia inti yang masih sibuk berbincang. Sejak pukul enam tadi, Nako sudah izin pulang duluan sebab tantenya yang sedang hamil besar tak bisa ditinggal sendiri. Pamannya harus mengurus cabang perusahaan di luar kota selama beberapa bulan, membuat Nako terpaksa harus tinggal bersama tantenya meski jarak kampus dan rumah tantenya cukup jauh.

“Hitomi, yuk?”

Hitomi yang tengah berbincang dengan Mina mengalihkan pandangan. Ia mengisyaratkan Chaewon untuk menunggu dan gadis itu mengangguk. Telunjuknya mengarah pada pintu dan tanpa suara ia berkata aku tunggu di luar.

“Maaf Kak, sampai mana tadi?”

“Udah sih Hii, itu aja, nomor surat yang keluar tolong didata juga ya. Dicek lagi gitu. Takut ada yang terlewat,” jawab gadis itu sambil meraih map-map yang berserakan di atas meja, “Kamu pulang bareng Chaewon?”

“Iya Kak. Searah soalnya,” Hitomi menyampirkan tote bag di pundak, lantas kedua gadis itu berjalan keluar kelas.

“Kak, yuk.”

Chaewon mendongak, lantas tangannya bergerak memasukkan ponsel ke dalam saku, “Udah selesai Na ngobrolnya?” Ia melirik Mina yang tengah menutup pintu. Gadis itu mengangguk. “Udah kok Won. Pulang sekarang aja gih. Udah jam sembilan,” ujar gadis itu sembari melirik arlojinya.

“Lah, kamu?”

Mina menunjuk pintu dengan dagu, “Nungguin Mark,” jawabnya singkat. Chaewon mengangguk. “Ya udah, duluan ya Na.”

“Duluan Kak,” Hitomi melambai singkat, dan keduanya lantas bergegas menuruni tangga. Halaman gedung fakultas mereka tampak sepi. Pohon-pohon yang merunduk menutupi pemandangan membuat segala sesuatu di sekitar mereka terlihat sedikit menyeramkan. Tanpa sadar, Hitomi menggigil—ngeri dan kedinginan. Pakaiannya hari ini terlalu tipis: blus lengan pendek berwarna hitam dan rok selutut sewarna gandum.

“Kak....?” Hitomi menoleh saat dirasakannya Chaewon menyampirkan jaket hitam miliknya di pundak Hitomi. Chaewon tersenyum, “Nih lihat, pakaianku panjang gini, tebal juga. Anti dingin,” Chaewon menggoyangkan kedua lengannya, mengangkatnya setinggi bahu, menunjukkan lengan bajunya dan Hitomi tertawa kecil. “Makasih, Kak.”

“Yuk,” Dua gadis itu akhirnya berjalan dalam diam menuju kos-kosan masing-masing. Jika ia bersama Nako, takkan ada hening yang menyelimuti. Namun, Chaewon, dirinya, dan hening nampaknya berjodoh. Mereka hanya sesekali bicara dalam perjalanan pulang, namun anehnya, Hitomi tak keberatan. Hitomi tak merasa sepi di antara mereka mencekik. Ia nyaman dengan hening yang tercipta di antara mereka, seakan-akan kata canggung tak ada dalam kamus mereka berdua.

“Udah sampai nih,” ujar Chaewon, bibirnya mencebik, dan Hitomi tertawa kecil. “Kok Kak Chaewon kayak nggak senang mau ketemu kasur?”

“Ketemu kamu lebih menyenangkan,” gumam gadis itu pelan dan Hitomi mengerutkan dahi, “Apa Kak? Aku nggak dengar maaf.”

Chaewon menggeleng, kedua bibirnya mengatup membentuk seulas garis tipis. Ia lantas berkata, “Nggak apa. Masuk gih.”

Hitomi mengangguk. “Selamat malam, Kak Chaewon. Cepat tidur. Kemarin Hitomi lihat jam dua belas lampu kamar Kak Chaewon masih nyala,” usil gadis itu berkata. Chaewon terkekeh.

“Iya. Selamat malam, Hitoma. Selamat tidur.”

Hitomi setengah berlari menuju lantai tiga. Sesekali ia melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. “Aduh, semoga masih laporan sekretaris deh,” gerutunya setengah terengah. Tepat saat ia menginjakkan kaki lantai tiga, dari belakang seseorang menubruknya, membuat tote bag yang ia sampirkan di bahu terlepas begitu saja. Buku catatan, tempat pensil, dompet, hingga botol minumnya berhamburan.

“Eh, maaf, maaf astaga,” seorang gadis berambut cokelat bergerak melewatinya. Ia membungkuk, memunguti barang-barang Hitomi, memasukkannya dengan hati-hati ke dalam tas. Diraihnya tote bag berwarna hitam itu, lantas tangannya terulur ke arah Hitomi, “Ini—Eh, Hitomi?”

Hitomi mengerjap. Butuh sepersekian detik untuk menyadari bahwa gadis yang tengah berdiri di depannya itu adalah kakak tingkatnya, “Kak Chaewon?”

Gadis itu mengangguk, “Maaf, ada yang sakit nggak?” Gadis itu melirik bahu Hitomi dan gadis itu menggeleng, “Nggak kok Kak,” jawabnya, lalu seakan tersadar, ia buru-buru berkata, “Kak? Yuk? Rapatnya udah mulai.”

“Astaga,” tangan kanannya bergerak menepuk jidat, dan Hitomi tertawa kecil, “Yuk,” gadis itu melangkah diikuti oleh Hitomi yang mengekor di belakangnya, membiarkan gadis itu mengetuk pintu, mengangguk meminta maaf pada ketua panitia yang duduk di depan, sebab ia terlambat sepuluh menit. Setelah diizinkan masuk, kakinya melangkah menuju deretan kursi tempat anggota divisinya berkumpul—namun urung saat Hitomi menahan lengannya.

“Ya, Hitomi?”

Tote bag-ku, Kak,” Hitomi melempar senyum kecil dan lagi-lagi Chaewon menepuk jidat, “Astaga, maaf. Ini,” ujarnya lalu mereka berpisah, bergabung bersama divisi mereka masing-masing.

“Kak Mina, maaf,” bisik Hitomi saat gadis itu, Kang Mina, menoleh ke arahnya. Gadis itu tersenyum, “Nggak apa, belum laporan divisi kita kok. Ini baru mau,” sejurus kemudian, ia mulai melaporkan hasil kerja divisinya seminggu ke belakang. Nako, yang meski berbeda divisi dengannya tetap duduk di sampingnya sebab divisi mereka berdekatan, mencondongkan tubuh ke arah Hitomi, “Ke mana aja kok telat?”

“Kunci kamar macet,” ujar gadis itu dan Nako mengangguk. Namun, ia kembali berkata, “Kok bisa bareng Kak Chaewon?”

“Ketemu di tangga,” jawab gadis itu singkat, dan Nako tak bertanya lagi. Dua gadis itu kembali fokus pada rapat yang tengah mereka ikuti.

Satu benang takdir baru saja terjalin.

“Hitomi,” gadis itu mendongak, mengalihkan pandangannya dari ponsel dalam genggaman. Ia mengangguk, menunjuk kursi di depannya dengan dagu, dan Minju akhirnya duduk. Untuk beberapa menit, tak ada yang bicara. Minju, sibuk bergumul dengan kata yang menggenang dalam kepala, dan Hitomi, yang sebenarnya tak pernah ingin berada di sini. Sepuluh menit berlalu, dan gadis itu berdecak.

“Kamu ke sini ngajak ngobrol 'kan? Kalau sekiranya percakapan ini bakal jadi percakapan bisu, maaf, aku nggak punya waktu untuk dipermainkan lagi sama kamu,” gadis itu sudah meraih tasnya dan bangkit dari kursi saat lengan Minju terulur menahannya.

“Sebentar,” matanya mencari mata Hitomi, dan Hitomi—ia benci mengakui ini, tapi ia tak suka, tak pernah suka melihat Minju yang begini; Minju yang berantakan, Minju yang tak berdaya, dan Minju yang menatapnya seperti Hitomi siap hilang kapan saja, siap lebur kapan saja, menjadi asap yang siap hilang dibawa angin. Gadis itu memejamkan mata dan menghela napas, lalu perlahan, ia kembali ke posisi duduknya semula.

“Ngomong sekarang.”

Minju kembali menundukkan pandangannya. Matanya sibuk menatap jemarinya yang terjalin di pangkuan. Tanpa sadar, ia menggigit bibir. Hitomi menghela napas, “Aku pulang.”

“Maaf,” hanya itu yang meluncur dari bibirnya, “Maaf, Hitomi.”

Hitomi mendesah, “Aku nggak butuh maaf, Minju. Aku butuh penjelasan.”

“Maaf,” perlahan gadis itu mendongakkan kepala, menatap Hitomi yang balas menatapnya dengan mata yang memerah, “Aku tahu aku salah. Nggak seharusnya aku menghancurkan kepercayaan yang kamu kasih.”

Hitomi memejamkan mata, meredam semua bising suara asing yang terdengar di kepala, membisukan tanya yang tertahan sejak lama. Tangannya terkepal di pangkuan, dan perlahan, ia membuka mata, menatap mantan kekasihnya sekali lagi.

“Apa yang aku nggak punya, tapi gadis itu punya, Ju?” Hitomi berkata lirih, dan Minju terdiam, “Sependek yang bisa kuingat, aku selalu berusaha jadi yang kamu mau. Kamu minta aku untuk nggak ganggu kegiatan organisasimu, aku turutin. Kalau aku tahu kamu ada acara atau ada rapat, aku nggak pernah maksa untuk kencan, bahkan sekadar makan siang bareng pun nggak. Padahal fakultas kita tuh cuma tinggal nyebrang aja.

“Tiga bulan ini bahkan frekuensi kita ketemu bisa dihitung cuma pakai jari tangan kananku, Ju,” Hitomi tersenyum miris, “Apa aku ngeluh? Nggak 'kan? Bahkan aku sakit pun aku nggak pernah bilang sama kamu karena aku takut ganggu. Tapi dipikir-pikir, kenapa aku harus setakut itu ya hanya untuk ngeluh sakit sama kamu?”

Minju lagi-lagi terdiam. Hari-harinya selama tiga bulan ke belakang mulai berkelebat di kepalanya, bagai roll film yang diputar ulang. Sejak kapan ia mengabaikan Hitomi?

Sejak ia menemukan gadis yang satu dunia dengannya, mengerti setiap keluh kesahnya sebab mereka berbagi derita dan masalah yang sama. Tanpa ia sadari, gadis itu telah berubah menjadi pendengar setianya. Ah, bukan.

Minju yang tak pernah lagi berkeluh kesah pada Hitomi. Minju yang merasa Hitomi takkan mengerti semua keluh kesahnya.

“Kamu bosan Ju sama aku?”

Minju menggeleng, “Bukan itu, Hii—”

Hitomi mengangkat sebelah tangannya, meminta gadis itu untuk berhenti, “Maaf, Ju. Maaf kalau aku nggak bisa ngerti kamu karena dunia kita beda. Aku yang anak sastra memang nggak ngerti dunia eksakta punyamu. Aku nggak ngerti jenis-jenis energi. Potensial lah, kinetik lah. Kamu juga nggak ngerti kenapa hujan bulan Juni selalu jadi yang paling tabah dan kenapa jarak bisa dilipat.”

“Hitomi—”

“Seharusnya aku jadi tempat teraman kamu untuk cerita, tapi kayaknya, memang nggak bisa ya Ju?” Kini Hitomi memandang Minju dengan mata berkaca-kaca. Mereka tak peduli lagi dengan tatapan pengunjung kafe yang sedari tadi memandang mereka iba. Es di gelas mereka telah mencair, membasahi meja—hati mereka juga ikut basah.

“Memang aku kayaknya nggak bisa bikin kamu percaya kalau aku akan selalu berusaha mengerti kamu. Aku nggak bisa bikin kamu bertahan.”

“Hitomi,” Minju mengulurkan tangan, berusaha mengusap air mata yang mulai turun di wajah gadis itu. Namun, niatnya itu segera ia urungkan saat Hitomi menjauhkan wajah, “Kamu nggak salah,” ujar gadis itu lirih, “Aku yang terlalu menyepelekan kamu, menganggap kamu nggak bakal ngerti aku dan duniaku. Aku yang nggak sadar kalau selama ini, aku terlalu egois, bahkan sampai tutup mata sama perasaanmu.”

Air matanya terus berlarian di pipi, namun gadis itu masih tak bersuara. Minju melanjutkan, “Nggak seharusnya aku cari orang lain cuma untuk berkeluh kesah. Nggak seharusnya aku membiarkan orang lain masuk ke hubungan kita,” suaranya mulai bergetar, “Itu semua salahku. Tapi dengan hilangnya kamu seminggu ini dari hidupku, aku sadar bahwa sampai kapanpun, cuma kamu yang aku butuhkan. Cuma kamu yang bisa mengerti aku tanpa aku bicara. Sampai kapanpun, aku akan pilih kamu.”

Hitomi menggeleng, “Kita udahan aja ya Ju?”

Minju beranjak dari kursinya, dan dalam sekejap ia telah berlutut di depan Hitomi, sebelah tangannya menggenggam tangan gadis itu, “Aku ketemu kamu buat memperbaiki semuanya, Hitomi. Aku nggak mau kita selesai kayak gini. Aku bisa perbaiki semuanya. Kita bisa perbaiki semuanya. Kita bisa kayak dulu lagi. Ya?” Ia sadar benar bahwa saat ini, bukan hanya Hitomi yang terisak—ia bisa merasakan pipinya juga basah.

Perlahan, Hitomi menarik tangannya dari genggaman Minju, “Ju,” ada jeda sebelum Hitomi melanjutkan, “Kalau kamu tanya aku apa aku masih sayang kamu atau nggak, aku nggak bakal ragu buat jawab kalau aku masih sangat sayang kamu. Tapi saat kamu bilang kamu akan milih aku, kamu akan selalu milih untuk sama aku, dari situ aku tahu kalau kita memang harus selesai.

Jangan pernah memilih, Ju. Aku bukan pilihan.”

“Oh, ini Ju?”

Gadis yang ia panggil menoleh, matanya terbelalak menatap sosok Hitomi yang berdiri di ambang pintu dengan kedua tangan terkepal.

“Hitomi, tunggu,” kedua tangannya di depan dada, “Ini nggak kayak yang kamu pikir—”

“Memang apa yang kupikirkan?” Hitomi berkata dengan suara bergetar, matanya menatap nyalang Minju yang masih belum sadar dari keterkejutannya, “Bukannya udah jelas?”

“Nggak,” gadis itu melangkah ke arah Hitomi, namun ekspresi gadis itu membuatnya terpaku.

“Aku berusaha, Minju,” air matanya kini luruh, “Aku berusaha untuk mengerti. Kamu sibuk? Aku nggak ngeluh, Minju. Aku tahu yang kamu lakukan juga buat kebaikanmu. Kamu lupa ulang tahunku? Aku maklum. Kamu ngga sadar aku sakit sampai-sampai aku harus pingsan di depan matamu dulu baru kamu ngeh dan mau nemenin aku? Aku nggak marah. Tapi ini?” Telunjuknya mengarah pada gadis yang tadi dengan ringannya melingkarkan lengan di pinggang kekasihnya (masihkah ia layak disebut begitu?) itu.

“Apa yang belum aku lakukan untuk menyelamatkan kita? Atau—”

“Hitomi, dicariin dari tadi—lho?” Nako mengerutkan dahi menatap Hitomi yang berdiri dengan wajah merah padam dan tangan mengepal. Diliriknya Minju yang berdiri di depannya seperti maling tertangkap basah—gelisah, tak mau diam, dan matanya menatap apapun, apapun di sekitarnya kecuali Hitomi. Nako bergantian memandang mereka dan matanya menangkap seorang perempuan yang wajahnya setengah tersembunyi di balik topi yang ia kenakan, duduk bersandar pada tembok. Nako tersenyum kecut.

“Jadi gosipnya beneran ya Ju?” Gadis itu melangkah ke arah Hitomi, meraih gadis itu dalam pelukan, “Wah, brengsek ya kamu. Wajah bak malaikat, kelakuan kayak setan minta diikat,” didengarnya Hitomi terisak pelan, sebelah tangan menepuk-nepuk punggung gadis itu, “Pinter juga selingkuh di sekre hima jam segini.”

“Nako, ini—”

“Telinga dan mataku di mana-mana, Ju,” Nako mendengus, “Mau lari sampai ujung duniapun, aku bakal tahu borok yang berusaha kamu sembunyikan,” perlahan Nako menarik Hitomi keluar bersamanya. Tepat saat ia akan menutup pintu, ia menoleh. Senyum sinis terlukis di wajahnya.

“Jangan balik lagi ya, Ju. Makasih udah ninggalin jiwa sebaik Hitomi. Kamu nggak pantas sama Hitomi, soalnya.”

“Kak.”

“Iya Cantik?”

“Semesta kadang-kadang suka bercanda ya?”

“Memangnya kenapa?”

“Hampir tak ada amerta dalam kamus Semesta. Semua berubah, semua bergerak. Namun, satu-satunya yang amerta adalah perubahan.”

“Maksudmu, ironi?”

“Mungkin?”

“Memangnya kenapa? Toh, kita hidup saja sebenarnya adalah sebuah tragedi.”

“Bukankah lucu, saat semua berharap untuk tetap sama, nyatanya aku lima detik yang lalu dan aku saat ini saja bukan manusia yang sama?”

“Kamu benar. Lima detik yang lalu, kamu cantik. Sekarang, kamu cantik sekali.”

“Aku sedang serius, Kak.”

“Baiklah, baiklah. Memang apa yang salah dari perubahan, Hitoma?”

“Tidak ada.”

“Lalu?”

“Ya, tidak ada. Aku hanya ingin bilang begitu.”

“Ah—kau takut apa yang kita punya berubah. Begitu?”

“Kalau bisa, aku ingin memaku waktu. Biar saja berhenti. Biar saja tak berputar. Aku ingin di sini. Begini. Selalu. Bersamamu, Kak.”

“Tapi kau tidak bisa.”

“Karena aku takkan pernah bisa.”

“Dan aku juga bukan aku lima detik yang lalu.”

“Dan wajar jika aku merisaukan masa depan kita.”

“Maka dari itu, berubahlah.”

“Sudah, 'kan?”

“Berubahlah bersamaku; bertumbuhlah bersamaku. Kita ini cuma sebutir pasir dalam genggaman Semesta, Hitoma. Bukan Semesta yang mengeratkan genggamannya pada kita. Kitalah yang mengikat satu sama lain.”

“Aku tidak ingin kita terburai.”

“Maka lepaskan; jangan genggam aku terlalu erat, atau kita terburai, menyelusup lewat sela jemari tanganmu. Bertumbuhlah bersamaku. Kita melangkah seiring. Aku, di sampingmu. Kamu, di sampingku. Tak ada yang mesti dipunggungi. Tak ada yang mesti berjalan pergi.”

“Apakah seiring mengenal amerta?”

“Tidak. Tapi aku akan membuat yang lebih lama dari amerta.”

“Selama apa?”

“Entah. Namun, selama aku bisa, selama kau masih mau denganku, aku akan berusaha agar kita seiring. Sebab selamanya memang bukan berarti tak berbatas; ini perihal seberapa kuat kita bertahan.”

“Hitoma.”

“Iya, Kak?”

“Duluan mana, ayam atau telur?”

“Bukannya itu adalah lingkaran tak berujung?”

“Memang benar. Sebab ayam menetas dari telur, namun juga telur dikeluarkan dari tubuh seekor ayam.”

“Lalu kenapa lagi harus dipertanyakan?”

“Memang aku harus punya alasan untuk bicara denganmu?”

“Tidak juga, tapi—aneh saja.”

“Omong-omong, ayam duluan.”

“Apa?”

“Mana yang lebih dulu, ayam atau telur? Jawabannya ayam.”

“Baiklah. Satu lagi trivia tidak penting dari Kak Chaewon hari ini.”

“Hahahaha.”

“Kakak aneh.”

“Tapi kamu sayang?”

“Tapi aku sayang.”

“Kalau kita?”

“Kita?”

“Siapa yang lebih dulu jatuh, aku atau kamu?”

“Apa itu penting?”

“Salah satu dari yang penting.”

“Untuk?”

“Jika kau yang jatuh duluan, maka aku akan menggodamu sepanjang sisa umurku.”

“Kak Chaewon aneh.”

“Aku baru saja memberimu proposal untuk menghabiskan waktu seumur hidup denganku, Hitoma.”

“Dengan menggodaku?”

“Dengan menggodamu.”

“Aneh.”

“Kamu sudah sering mengatakannya.”

“Tapi tidak masalah bukan, siapapun yang jatuh duluan?”

“Tentu saja. Sebab yang paling penting dari yang penting penting adalah saat ini. Di sini. Kau. Bersamaku.”

“Dan akan terus begitu.”

“Selalu.”

“Kak.”

“Iya, Hitoma?”

“Apa jadinya kalau kita tidak pernah bertemu?”

“Maka aku tidak hidup.”

“Kita tetap hidup, Kak. Hanya karena kita tidak bertemu, bukan berarti Kakak mati.”

“Bagiku, selama ini aku memang mati.”

“Ah, Kakak bicara tentang hidup yang lain.”

“Jika hidup sekedar hidup, maka kucing-kucing jalanan itu juga hidup, bukan?”

“Dan jika hidup sekedar bergerak, maka angin juga bergerak.”

“Semua perlu dirasai. Sebelum ada kamu, aku tidak bisa merasai. Bukankah hidup juga perihal merasai? Aku tidak tahu seperti apa berdebar karena berdekatan dengan jiwa yang kusayangi. Aku tidak tahu seperti apa hangat yang menjalar tiap senyumnya terbit untukku. Aku tidak tahu bagaimana rasanya merasa aman dalam peluknya. Aku tidak tahu bagaimana namaku bisa terdengar manis jika ia yang mengucap.”

“Dan Kakak menemukan itu semua dalam diriku.”

“Dan aku menemukan itu semua dalam dirimu.”

“Bagaimana jika aku bukanlah aku?”

“Kamu adalah kamu; kesatuan yang tak bisa dipisah. Bagaimana mungkin kamu bukanlah kamu?”

“Bukankah manusia selalu memakai topeng?”

“Tidak ada yang bisa kau ambil dariku, Hitoma. Kenapa kau harus repot-repot mengenakan topeng di depanku?”

“Aku bisa mengambil hatimu, Kak.”

“Tanpa topeng pun hatiku telah lama hilang kau curi, Hitoma. Apa untungnya membuatku jatuh hati padamu?”

“Aku tak ingin kau ke mana-mana. Lebih baik kau jatuh hati padaku agar kau selalu di sini.”

“Aku akan selalu ada di sini, Hitoma.”

“Jangan pergi.”

“Aku tidak datang untuk pergi.”

“Hatiku bukan tempat singgah.”

“Tak ada singgah yang sungguh, sebab itu aku bersauh.”

“Kamu debur, Kak.”

“Yang membawa debar.”

“Yang tiap partikelnya mengikat kata sayang.”

“Yang tiap partikelnya memikul kasih.”

“Tak habis-habis.”

“Takkan pernah habis.”

“Sampai beraja tidak ada lagi?”

“Sampai beraja tidak ada lagi.”