Dari Aku yang Masih Mencintaimu
Namanya Hitomi. Gadis paling manis yang pernah aku temui.
Kami bertemu lima tahun lalu, dan hari itu takkan pernah lekang dari ingatan. Kami baru memulai kehidupan baru sebagai siswa SMA. Masa orientasi sudah usai, dan datanglah hari-hari penuh tugas serta pertanyaan 'kapan istirahat?' yang selalu menggema tiap kami berada di kelas. Sore itu, aku terpaksa pulang lebih sore dari biasanya. Klub teater mengadakan pertemuan, dan sebagai anggota baru, tentu saja aku harus hadir. Setelah pertemuan dibubarkan, kulangkahkan kaki menuju halte bus. Seorang gadis dengan rambut diikat satu berdiri di sana. Pipinya tembam, matanya bulat, dan aku percaya saja jika ada yang mengatakan kalau dia boneka; boneka yang menggemaskan, kalau boleh kutambahkan. Ingin rasanya kucubit pipinya.
Khayalanku buyar saat bunyi benturan benda keras terdengar, dan di depan mataku, seorang pengendara motor terpelanting ke trotoar. Knalpot motor mengepulkan asap, kap mobil di depanku terbuka dan beberapa satpam sekolah berlari menghampiri si pengendara motor. Beberapa pejalan kaki mengerubungi mobil yang kondisinya tak keruan setelah membanting setir dan menabrak pohon, mengetuk-ngetuk jendela mobil, memastikan si pengendara baik-baik saja.
Seakan punya daya tarik sendiri, mataku mengarah pada gadis boneka di depan halte. Tubuhnya bergetar, dan aku tahu, ia pasti takut melihat peristiwa yang baru saja terjadi. Kulangkahkan kaki dan tanpa sadar, kulingkarkan tanganku di pundaknya.
“Kamu nggak apa-apa?”
Kupikir, gadis itu akan menjawab pertanyaanku dengan kalimat standar seperti 'Nggak apa-apa kok' atau 'Iya' atau mungkin, sebuah anggukan. Namun, gadis itu menepis lenganku dari pundaknya, membuat dahiku berkerut.
“Maaf,” gadis itu bergumam. Aku menggeleng. Mungkin aku saja yang berlebihan. Masa baru bertemu sudah main rangkul-rangkul aja? begitu pikirku. Tak lama gadis itu pergi, sebab dari kejauhan, aku bisa melihat seseorang melambaikan tangan padanya. Nggak sekelas juga. Nggak bakal sering ketemu.
Dugaanku salah. Kami sekelas di mata pelajaran bahasa asing pilihan.
Gadis itu sungguhan pintar. Mempelajari bahasa asing baru selalu terasa sulit. Tata bahasa dan tetek bengeknya selalu membuat kepalaku sakit. Aku tidak tahu apa bedanya Kuchen dan Küchen, atau bagaimana cara mengucapkannya dengan benar, tapi gadis itu membuatnya semudah menjentikkan jari. Kupikir, dari sanalah kekagumanku untuknya muncul.
Oh, dan dia benar-benar tidak menyukai kontak fisik, sepertinya.
Dia selalu menolak untuk dirangkul, bahkan digandeng oleh siapapun—kecuali Yabuki Nako, sahabatnya sejak kecil. Pertemanan kecil kami dimulai dari makan siang bersama di kantin, berlanjut dengan mengerjakan PR bersama di rumah salah satu dari kami. Nako dan Hitomi akan membantuku dalam pelajaran hapalan dan bahasa, sedangkan aku akan dengan senang hati membantu mengerjakan PR hitungan mereka.
Singkat cerita, Hitomi jadi pacarku karena kekagumanku makin besar. Semua berjalan menyenangkan. Kencan-kencan kami selalu menyenangkan. Romansa masa sekolah yang kami punya bahkan lebih manis dari gula. Hitomi adalah pacar yang pengertian.
Terlalu pengertian, bahkan.
Mungkin itu juga yang membuatku jenuh saat hubungan kami memasuki tahun keempat. Dia terlalu menyayangiku apa adanya; ia tak pernah menuntut apa-apa, selalu memuji apapun yang kulakukan meski tak seberapa—bahkan mungkin payah. Ia juga tak pernah marah saat aku lupa dengan kencan-kencan kami yang mulai kuanggap tak penting.
Itu sebabnya saat Kak Hyewon menawarkan sebuah hubungan baru bersamanya, aku tergoda.
Berbeda dengan Hitomi, Kak Hyewon adalah pacar yang sering meminta ini itu. Bersamanya, segala sesuatu selalu terasa mendebarkan—ia selalu membuatku mencoba hal-hal baru. Perasaanku meluap—sesuatu yang tak pernah kudapatkan saat bersama Hitomi. Kami main cantik. Tak ada satupun yang tahu tentang kami—sampai hari itu Nako berterus terang padaku. Hubungan kami berakhir saat aku tahu bahwa Kak Hyewon menganggapku sebagai pacar cadangan saja—pacarnya yang lebih tua darinya telah kembali dari studi di luar negeri, dan dengan begitu, kami selesai.
Aku tentu saja tidak bisa marah, sebab aku pun bermain di belakang Hitomi.
Aku mulai mencari kesibukan, menyalahkan perbedaan bidangku dan Hitomi, merasa Hitomi tak bisa mengerti diriku; aku berusaha mencari perasaan yang hadir saat aku bersama Kak Hyewon—dan semua kutemukan dalam diri Ahn Yujin, adik tingkatku. Kami selalu berkata bahwa hubungan kami hanyalah sebatas junior-senior yang dekat, namun aku tahu, beberapa orang mulai membicarakan kami di belakang. Tapi, tak satupun bisa membuktikan bahwa aku dan dia lebih dari itu. Sama dengan Kak Hyewon, Yujin pintar menyiasati kencan-kencan kami.
Hingga hari itu, Hitomi menghampiriku di sekretariat himpunan.
Melihatnya menangis di pelukan Nako membuat sebagian hatiku hancur. Namun, sebagian dari diriku juga berusaha memberikan pembenaran atas semua sikapku. Kupikir, ia takkan marah—sama seperti biasa. Namun, seperti yang mereka bilang, manusia punya batasnya masing-masing, dan saat itu aku tahu, aku sudah kelewatan.
Saat hubunganku dengannya harus berakhir, duniaku runtuh. Sesuatu akan terasa berharga jika ia telah hilang dari genggaman, bukan? Itulah yang kurasakan. Aku membenci diriku sendiri yang menyia-nyiakan jiwa sebaik Hitomi. Aku membenci diriku sendiri yang membuat tangisnya pecah. Aku membenci diriku sendiri yang dengan bodohnya mencari pelarian saat aku jenuh dengan gadis itu.
Hubunganku dengan Yujin berakhir saat itu juga. Tapi, Yujin tampaknya tak terpengaruh dengan itu, sebab beberapa hari kemudian, ia sudah terlihat menggandeng seorang mahasiswi manajemen bisnis—selebriti kampus, Jang Wonyoung. Rasanya, dunia tak adil. Hanya aku yang berantakan. Namun, aku sadar itu salahku.
Hatiku berdenyut saat hari itu, kami bertemu di seminar yang diadakan oleh himpunan Hitomi. Kupikir, ia takkan ada di sana—Hitomi tak pernah menaruh minat pada organisasi dan semacamnya. Tapi gadis itu ada di sana. Menatapku dengan sorot mata yang tak bisa kuartikan; sedih, marah, kecewa, entahlah. Namun, yang lebih mengagetkanku, ia membiarkan seseorang menggenggam tangannya. Tepat sebelum pintu auditorium ditutup, aku melihat gadis itu menggandeng Hitomi, dan aku tahu betul gadis itu bukan orang terdekat Hitomi.
Tidak bisa begini.
Aku ingin memperbaiki semuanya. Aku harus memperbaiki semuanya. Aku butuh Hitomi. Aku butuh dia di hidupku lagi.