kimchaejjigae

Hitomi ingat jelas pemandangan yang ia lihat hari itu.

Chaewon, duduk di atas sofa dekat jendela apartemen mereka yang telah disibak gordennya, bermandikan cahaya matahari pada suatu pagi di musim semi. Perempuan itu menggenggam mug berisi kopi yang masih mengepulkan asap. Dari jauh, Hitomi bisa mencium aromanya. Perempuan itu sama sekali tak menatap ke arahnya. Pandangannya tertuju pada awan yang berarak di langit, dengan sesekali diganggu oleh sekawanan burung yang terbang melintas.

Hitomi takkan pernah lupa pemandangan itu. Bagaimana pula ia bisa lupa?

Itu adalah kali terakhir ia melihat Chaewon.

Ingatannya terlempar pada peristiwa semalam.

“Sayang?”

Belum sempat Hitomi menoleh, sepasang lengan merangkulnya dari belakang. Hitomi memejam, membiarkan aroma khas perempuan itu menguar, memenuhi indera penciumannya—plum, dengan wangi teh yang samar-samar tercium. Sebelah tangannya terangkat, mengelus lengan Chaewon yang melingkari pundaknya.

“Belum tidur?” tanya Hitomi. Pertanyaan bodoh, tentu saja. Sebab jika perempuan itu sudah tidur, mana mungkin ia ada di sini?

“Harusnya pertanyaan itu untukmu,” dirasanya Chaewon menyandarkan dagu di atas kepalanya, “Kenapa belum tidur? Kau biasa pergi tidur pukul sepuluh. Ini sudah pukul sebelas, Sayang.”

Hitomi mendesah, meresapi hangat yang menguar dari perempuan itu. Ia memejam. Chaewon, yang menyadari bahwa sedari tadi Hitomi menggenggam sebuah kalender meja di tangannya yang lain lantas mengeratkan pelukan.

“Besok ya?” tanyanya.

Hari kematian Chaewon.

Hitomi menarik Chaewon agar berdiri di sampingnya. Ia memutar tubuh, lantas menarik lengan Chaewon, memintanya untuk membungkus tubuhnya dalam satu peluk erat. Chaewon menghela napas.

“Maafkan aku.”

Hitomi menggeleng, “Kenapa kau minta maaf?” dan ia bisa mendengar suaranya bergetar, “Kita janji untuk menghadapi semuanya sama-sama, bukan? Kau takkan pergi dari sisiku bukan?” pelukannya di pinggang Chaewon mengerat. Hitomi mendongak, membiarkan bibir Chaewon menyapu keningnya.

“Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi,” bisik Chaewon pelan, “Tapi aku akan berusaha. Namun jika tidak berhasil, aku ingin kau tahu bahwa aku bahagia bersamamu. Ingatlah itu.”

Hitomi menggeleng kuat-kuat, “Jangan katakan itu lagi,” ucapnya. Pelupuk matanya memanas, “Jangan katakan itu lagi, Chaewon,” sebulir air mata lolos, “Kau akan tetap hidup. Kau akan tetap di sampingku. Hari ini, esok, dan seterusnya. Kau akan tetap di sampingku.”

Barangkali, perempuan itu mendengar langkah kaki Hitomi. Atau barangkali, perempuan itu bisa merasakan kehadirannya. Saat ia menoleh, ia tersenyum, “Hei,” ujarnya sambil meletakkan mug di atas meja. Ia mengisyaratkan Hitomi untuk mendekat, meminta Hitomi untuk duduk di pangkuannya. Hitomi memaksakan seulas senyum, dan tanpa banyak bicara, membiarkan tubuhnya ditarik oleh Chaewon. Kedua lengannya bergerak melingkar di leher perempuan itu.

“Janji padaku kalau hari ini kau takkan ke mana-mana.”

“Aku hanya akan pergi ke tempat-tempat yang dekat, Sayang,” Chaewon berkata, “Berjalan kaki. Aku akan berhati-hati.”

“Jangan pergi,” Hitomi berkata, tangannya kini bergerak menangkup pipi Chaewon, “Kumohon,” suaranya bergetar.

“Aku harus menemui Yuri.”

“Kau bisa memintanya kemari, Chaewon,” kata-katanya tertahan saat sebelah tangan Chaewon menangkup tangannya yang beristirahat di pipi perempuan itu, “Kau tidak perlu keluar.”

“Kami tidak bisa menyelesaikannya di sini, Sayang. Harus di luar. Aku janji hanya sebentar.”

Hitomi menarik perempuan itu ke dalam pelukan, seolah dengan begitu, perempuan itu takkan ke mana-mana. Seolah perempuan itu bisa menghilang jika sedikit saja pelukannya merenggang. Seolah perempuan itu akan terburai jika seinci saja jarak di antara mereka melebar.

“Kau harus janji padaku kau akan kembali.”

Sebab ia tak bisa pergi dengan perempuan itu. Sebab ia takut jika ia pergi bersama perempuan itu, hal yang sama akan terulang—kecerobohannya berujung maut.

“Aku janji,” Chaewon berkata pelan, tangannya menepuk-nepuk punggung Hitomi sama pelannya, “Aku janji akan kembali.”

“Aku takut,” bisik Hitomi, “Aku takut Chaewon. Aku tidak ingin kehilanganmu lagi.”

“Aku akan kembali, Sayang. Aku janji.”


Pandangan Hitomi tak lepas dari jarum jam di dinding yang berderak pelan. Ini sudah lebih dari dua jam Chaewon pergi. Perempuan itu pergi sambil berjanji akan kembali dalam dua jam. Ini sudah lebih dari dua—tidak, hampir tiga jam.

Hitomi mulai gelisah. Pesan yang ia kirim belum dibaca sama sekali. Sempat ia berniat untuk menghubungi Yuri, namun Yuri tak tahu.

Perihal ia yang kembali ke masa lalu untuk menyelamatkan hubungannya dengan Chaewon, hanya ia, Chaewon, dan Wonyoung saja yang tahu.

Ia tak bisa menghubungi Yuri hanya untuk memastikan keberadaan Chaewon—ia tak mau rahasia mereka terbongkar. Ia tahu, jika ia bicara dengan Yuri saat ini juga, Yuri akan sangat curiga. Mereka terbiasa bekerja berdua, dan tak pernah sekalipun Hitomi mengganggu. Hitomi bahkan tak pernah risau bila Chaewon belum menunjukkan batang hidungnya pukul sebelas malam jika ia sedang bersama Yuri.

Tapi ini sudah lewat dari dua jam. Terlebih, ini adalah hari itu.

Persetan.

Hitomi menarik ponselnya, mencari kontak Chaewon, lalu menekan simbol telepon. Begitu dering ketiga berbunyi, Hitomi mendadak gelisah. Chaewon tak pernah membiarkannya menunggu. Dering pertama, dan suara Chaewon akan segera terdengar.

Tak ada jawaban. Dicobanya sekali lagi. Kembali tak ada jawaban. Mungkin di kali ketiga. Diam-diam Hitomi menggigit bibir.

“Angkat, Sayang, angkat... Kumohon angkat, Chaewon... Katakan padaku kau baik-baik saja...”

Nihil. Tak ada jawaban.

Hatinya remuk. Panik menyergap. Air matanya berlomba-lomba untuk keluar, berlari menuruni pipi. Ia buru-buru bangkit dari kursi, menyambar mantel terdekat. Ia berlari ke arah kamar, mencari dompet mungil miliknya saat tiba-tiba ponselnya berdering.

“Chaewon?”

“Hitomi, ini aku.”

“Yuri?” Hitomi menjauhkan ponsel dari telinga, melihat kontak si penelepon. Yuri. Bukan Chaewon. “Yuri, kau di mana? Chaewon sedang bersamamu?”

“Ya, Chaewon bersamaku,” jawab gadis itu. Kalimatnya menggantung di udara. Jantung Hitomi berpacu.

“Di mana Chaewon? Kau di mana?”

Hening. Tak ada jawaban.

“Yuri,” ia mulai berlari ke arah pintu, terburu-buru mengenakan mantel dan sepatu. Air matanya sudah tak terbendung, “Katakan padaku kau di mana? Chaewon di mana?”

“Aku di rumah sakit. Chaewon—”

Jangan lagi. Kumohon jangan lagi.

“Berhenti menatapku begitu atau aku akan segera meleleh.”

Kedua pipi Hitomi mendadak merona saat Chaewon perlahan membuka mata, dengan senyum kecil di bibir, “Selamat pagi.”

“Ini sudah pukul sebelas, Chaewon.”

“Mm-hmm,” Chaewon kembali memejam, menyembunyikan wajah di ceruk leher Hitomi. Perempuan itu bergidik saat hangat napas Chaewon menyapu pundaknya yang terbuka, “Pagiku dimulai tepat ketika aku membuka mata dan melihat wajahmu di depanku, pukul berapa pun itu.”

Chaewon terkekeh saat Hitomi memukul pinggangnya pelan sebelum melingkarkan lengannya di sana, “Tidurmu nyenyak?” bisik Hitomi pelan. Chaewon tersenyum. Senyumnya kian lebar saat Hitomi mengecup pelan puncak kepalanya.

“Apa dulu kita tidur sepagi ini?”

Tawa Chaewon berderai saat jemari Hitomi bergerak mencubit pinggangnya, “Aku hanya bertanya, Hitomi, Sayang, kenapa kau harus menghadiahiku dengan cubitan kecil sepagi ini?”

“Karena pertanyaanmu aneh!”

“Oke, oke,” Chaewon menarik diri, lalu menyejajarkan pandangan mereka, “Atau jangan-jangan kita tidak tidur?”

Dalam ingatannya—dan Hitomi tahu ingatannya tak pernah menipu—mereka tak menghabiskan pagi sehari setelah pernikahan mereka dengan menggelitiki satu sama lain dan tawa yang berderai hingga jauh. Dalam ingatannya, mereka hanya berbagi peluk. Dalam ingatannya, peluk yang mereka bagi berlanjut dengan—

“Apa yang harus kita lakukan hari ini?” Chaewon tiba-tiba bersuara setelah lima belas menit penuh perempuan itu tertawa, “Haruskah kita mengulang apa yang kita lakukan dulu?”

“TIDAK PERLU!”

Chaewon mengerjap. Kedua matanya membulat saat Hitomi menjawab pertanyaannya dengan teriakan tertahan, “Sayang?”

“Maksudku—tidak, tidak perlu,” Hitomi menggeleng cepat, “Kita bisa melakukan hal lain. Menonton film, misalnya.”

“Memang apa yang kita lakukan dulu?” Chaewon tiba-tiba bangkit, menarik selimut, menutupi sebagian tubuhnya yang terbuka. Hitomi memalingkan wajah, sebab—sebab—

“Kau mengajakku naik gunung,” Hitomi tertawa—tawa yang tersendat, hingga Chaewon mengerutkan dahi. Ekspresi tak percaya terlukis di wajahnya, “Iya, kau mengajakku naik gunung.”

“Aku tidak mengajakmu melihat bintang di pagi hari?”

“Y-ya, bintang kejora,” lagi-lagi Hitomi memaksakan tawa, “Baiklah,” ia meraih pakaian Chaewon yang tersampir di atas kursi di dekatnya, “Baiklah, lebih baik aku mandi, lalu mungkin aku bisa memasak sesuatu. Kau mau kubuatkan sesuatu? Teh? Kopi? Roti isi?”

Chaewon menggeleng, mengatupkan mulutnya rapat-rapat, berusaha agar tidak menguap, “Bagaimana kalau kita pesan sesuatu?”

Hitomi terdiam sejenak, tampak mempertimbangkan tawaran Chaewon. Tak lama, ia mengangguk, “Oke,” jawabnya. Ia terlalu malas untuk ke dapur, omong-omong. Rasanya, seharian ini ia hanya ingin merebahkan diri di atas tempat tidur. Atau, mungkin, pelukan Chaewon.

“Kau tahu apa yang kusuka.”

“Aku.”

“Tidak salah,” Hitomi mendengus geli saat Chaewon terkekeh, “Baiklah, apapun yang tidak mengandung bawang putih.”

“Istriku seorang drakula?!”

Hitomi memutar bola matanya malas, “Kau dan leluconmu yang tak lucu,” gerutunya sambil menangkup sebelah pipi Chaewon, mengecup kening perempuan itu, “Ayo cepat, pesankan sesuatu. Aku rasanya bisa makan satu ekor sapi saking laparnya.”

“Baiklah, satu ekor sapi untuk istriku.”

“Kim Chaewon.”

”....Baiklah, baiklah.”


“Kau tampak jauh lebih bahagia, Hitomi.”

“Benarkah?” Hitomi menarik piringnya mendekat, “Tapi—ya, kupikir juga begitu. Bagaimana denganmu, Wonyoung? Bagaimana kesibukanmu akhir-akhir ini? Aku melihat wajahmu di salah satu sampul majalah, omong-omong. Kau cantik sekali!”

“Terima kasih,” perempuan itu tersenyum, meneguk air dari gelas di sampingnya sebelum mulai memotong steak di atas piring, “Bagaimana kabar Chaewon?”

“Dia baik,” ujar Hitomi di sela kunyahan, “Oh, dia titip salam, omong-omong. Ia bilang, maaf tidak bisa ikut. Ia mendadak harus keluar kota kemarin.”

Wonyoung mengibaskan sebelah tangan, “Tak masalah. Pekerjaannya tentu saja lebih penting,” ujarnya lagi. Wonyoung terdiam sejenak, membiarkan musik yang sedari tadi mengiringi pembicaraan mereka mengisi hening di antara keduanya. Alunan halus violin dan piano dari sudut ruangan tampak kontras dengan situasi di luar restoran. Hiruk pikuk jalanan dan para pejalan kaki yang bersengkarut di trotoar telah menjadi pemandangan sehari-hari baginya.

“Ini sudah satu tahun bukan, Hitomi?”

Menyadari maksud di balik pertanyaan Wonyoung, Hitomi tersenyum kecil. Sebelah tangannya menarik serbet, mengusap bibirnya pelan, “Ya,” jawabnya, “Sudah satu tahun.”

“Sejauh ini,” hati-hati sekali Wonyoung berkata, “Sejauh ini, adakah yang berubah?”

“Cukup banyak,” ujarnya, kembali melanjutkan makan siangnya, “Cukup banyak, Wonyoung. Meskipun tentu saja ada beberapa peristiwa yang tak bisa kuubah, namun, peristiwa-peristiwa buruk, sejauh ini, tak berakhir terlalu buruk.”

“Syukurlah,” Wonyoung mendesah, meletakkan pisau dan garpunya di piring. Perempuan itu menatap Hitomi lekat-lekat, “Syukurlah.”

Jengah dipandangi, Hitomi turut meletakkan pisau dan garpunya di piringnya, “Ada apa, Wonyoung?”

“Aku harap, sisa waktu kalian lebih dari dua tahun,” sebelah tangan perempuan itu terulur, bergerak menggenggam erat jemari Hitomi, “Aku tak bisa membayangkan jika kau harus kehilangan Chaewon untuk yang kedua kalinya.”

Hitomi balas menggenggam jemari Wonyoung erat.

“Begitu juga denganku, Wonyoung,” ia memaksakan seulas senyum, “Aku juga tak ingin kehilangan Chaewon untuk yang kedua kalinya.”

“Aku tidak percaya bahkan di masa ini pun, aku tidak bisa tidak jatuh cinta padamu.”

Chaewon menoleh, mendapati Hitomi yang duduk di ujung tempat tidur dengan gaun malamnya. Chaewon tersenyum, “Apa kau berharap bahwa kita tidak jatuh cinta?”

Hitomi bergerak mendekat, mendudukkan diri di sebelah Chaewon yang menyandarkan tubuh pada kepala tempat tidur. Perempuan itu menggamit jemari Chaewon yang bebas. Jempolnya menelusuri cincin yang terpasang di jari manis perempuan itu.

Sama seperti yang Hitomi ingat, pesta pernikahan mereka diadakan dengan sederhana. Keluarga. Teman. Kerabat. Chaewon bahkan memilih lagu yang sama untuk dinyanyikan, meski Hitomi sempat hampir menitikkan air mata saat lirik yang Chaewon nyanyikan benar-benar terwujud di kehidupan mereka yang lalu.

I wanna die lying in your arms.

Namun, Hitomi berjanji akan mewujudkan judul lagu yang Chaewon nyanyikan untuknya.

I wanna grow old with you.

“Hitomi,” Chaewon menoleh, menatap teman hidupnya itu lekat-lekat, “Di kehidupan yang lalu, apakah kita... apakah hubungan kita semulus ini?”

Hitomi terdiam. Bibirnya mengatup, membentuk garis tipis. Chaewon tergagap seketika, “M—maksudku, bukannya ingin mengharapkan hal buruk—aku—aku hanya—”

Hitomi membungkam perempuan itu dengan satu kecupan di pipi. Ia tersenyum saat menarik diri, “Tidak,” jawabnya tegas, “Sejujurnya, hubungan kita dulu tak semulus saat ini,” ujarnya lagi, “Ada saat di mana kita hampir berpisah. Yang bisa kukatakan adalah, rasanya aku bisa gila—kau tahu, saat hubungan kita di ujung tanduk, rasanya duniaku runtuh.”

“Boleh—boleh kutahu alasan—”

“Kau ingin kita terikat segera,” Hitomi mengangkat genggaman tangan mereka mendekat ke bibirnya, mengecupnya pelan, “Kau ingin kita terikat segera, tapi saat itu aku tidak siap. Kita bertengkar—dan banyak hal lainnya. Ditambah saat itu—”

“Saat itu...?”

“Seseorang berusaha masuk ke hubungan kita, tapi tak penting,” cepat Hitomi menggeleng, “Yang penting adalah sekarang kau bersamaku.”

Chaewon tersenyum, lantas menarik Hitomi dalam pelukan, “Kau benar,” dibiarkannya perasaan yang ia punya luruh, lebur memeluk mereka, “Yang penting, kau bersamaku sekarang.”

“Mm,” Hitomi membiarkan dirinya larut dalam peluk yang mereka bagi, “Kau milikku. Dulu. Kini. Dan nanti. Kau selalu jadi milikku.”

“Aku milikmu,” balas Chaewon pelan, “Omong-omong, apakah dulu kita menikah di hari ini juga? Apakah sekarang kita menikah terlalu cepat?”

Dalam pelukannya, Hitomi menggeleng, “Tidak,” jawab Hitomi, “Tanggal, tahun, semuanya sama. Hanya saja, kita tak melewati masa-masa kelam itu. Aku juga tak berharap kita melaluinya,” tambah Hitomi.

Perlahan, Chaewon melonggarkan pelukan, “Hitomi,” panggilnya pelan. Ia memejam saat jemari Hitomi dengan halus membelai wajahnya, “Aku ingin kau tahu bahwa apapun masa depan yang menanti kita, aku bahagia. Aku bahagia denganmu. Jangan jauh-jauh dariku. Jangan paksa aku untuk membencimu karena aku takkan pernah bisa melakukannya.”

Hitomi terenyak. Beberapa kali ia berbagi momen sentimental bersama Chaewon. Saat mereka akhirnya mengakui perasaan untuk satu sama lain. Saat Chaewon harus kehilangan sang nenek. Saat Hitomi tak berhasil mencegah kecelakaan yang terjadi pada kakeknya. Namun, tak satupun yang membuat hatinya seberantakan ini.

Perempuan itu, dengan sorot mata penuh kasih dan harap yang mengalun dalam setiap huruf yang meluncur dari mulutnya. Chaewon, yang berharap untuk terus bersamanya meski mereka tak tahu pasti apa yang menanti esok hari. Chaewon, yang dengan lugas berkata bahwa ia bahagia dengannya.

Ada satu sudut hatinya yang remuk tatkala ia mengetahui bahwa mungkin, mungkin sama seperti kecelakaan yang menimpa kakeknya, ada sesuatu yang takkan bisa ia ubah.

Dan mungkin ia hanya punya waktu beberapa tahun lagi bersama perempuan di hadapannya ini.

“Aku akan berusaha semampuku mengubah takdir kita,” balas Hitomi, kedua tangan bergerak menangkup pipi Chaewon, kening beradu kening, “Aku akan berusaha semampuku untuk mencegah kecelakaan itu terjadi.”

“Hitomi—”

“Bahagiaku adalah kau, Chaewon,” ujarnya dengan suara bergetar, “Bahagiaku adalah kau. Aku tak mampu membayangkan hidupku tanpa dirimu di sisiku. Aku akan berusaha semampuku agar kita bisa bahagia dalam waktu yang lama,” kedua matanya membuka, mendapati Chaewon yang memandangnya dengan mata berkaca-kaca.

“Kita takut sama-sama,” ujar Chaewon tepat sebelum ia menyatukan bibir mereka.

“Kita takut sama-sama,” balas Hitomi sebelum membiarkan Chaewon membawanya ke manapun perempuan itu mau. Dan sebab Chaewon adalah semestanya—ia tak lagi takut tersesat di kedalaman kedua matanya.

Ia melihat bintang-bintang di sana, dan ia berharap, Chaewon juga melihat hal yang sama di kedua matanya.

“Kami berdua berkencan.”

“Oke.”

“Oke?”

Hitomi dan Chaewon ternganga menatap para anggota klub jurnalistik di hadapan mereka yang tampak tak peduli dengan berita yang baru saja mereka bagikan.

“Kalian tidak heran?” Chaewon menggamit jemari Hitomi di bawah meja. Hitomi balas meremas jemarinya, “Aku? Dan Hitomi? Si Tom dan Jerry jilid dua?”

“Oh astaga, Sayang,” Sakura memeluk keduanya dari belakang, memiting leher mereka berdua, membuat keduanya mengaduh, “Bukankah semua terlalu jelas? Kalian yang di awal selalu duduk berdampingan, lalu kalian yang tiba-tiba mengingat makanan kesukaan satu sama lain. Siapapun bisa menduga bahwa kalian berkencan.”

“Tapi kami selalu bertengkar—”

“Dan kita semua tahu banyak pasangan yang berawal dari musuh, lalu jatuh cinta, menikah dan bahagia selamanya.”

Seisi ruangan terkekeh saat baik Hitomi dan Chaewon mendadak berubah menjadi tomat hidup. Mereka tampak menggemaskan sekali. Sakura tertawa saat menyadari tangan mereka yang saling menggenggam.

“Baiklah, kapan kalian mau mentraktir kami?”

Chaewon menoleh ke arah Hyewon, “Traktir?

“Perayaan awal hubungan kalian?”

Hanya Hitomi dan Chaewon saja yang melenguh bagai sapi. Seisi ruangan bersorak—merayakan makan gratis yang baru saja mereka dapatkan, dan ketenangan batin yang akan bertahan lama; hilang sudah teriakan-teriakan melengking Chaewon dan sindiran-sindiran tajam Hitomi. Pertengkaran abadi itu tak lagi abadi; sirna sudah pekik marah Hitomi dan gerutuan Chaewon.

Ini waktunya mereka berbahagia.


“Hitomi, sebentar.”

Hitomi yang baru saja akan melangkah keluar ruangan tiba-tiba berhenti saat seseorang menahan lengannya, “Ya, Wonyoung?”

“Bagaimana rasanya jujur pada dirimu sendiri?”

Hitomi mengernyit. Wonyoung menunggu hingga seluruh teman-teman mereka keluar ruangan, menyisakan dirinya dan Hitomi saja. Chaewon berdiri di ambang pintu, menatap Hitomi dengan sebelah alis terangkat.

“Tunggu di luar,” Hitomi berkata pelan, “Ada yang harus kubicarakan dengan Wonyoung.”

Chaewon mengangguk, lantas meninggalkan mereka berdua. Hitomi kemudian melangkah menuju sofa di sudut ruangan, duduk tepat di samping Wonyoung. Gadis itu lantas memiringkan tubuh ke arah Wonyoung, “Wonyoung?”

Wonyoung tersenyum. Tangannya bergerak menangkup sebelah tangan Hitomi, “Bagaimana rasanya jujur pada dirimu sendiri?”

“Jujur...?”

Wonyoung lagi-lagi tersenyum, “Maaf,” ia berkata, “Aku tak sengaja mendengarmu menangis di toilet pada hari pertama klub dimulai...”


Wonyoung tidak keberatan disuguhi bergalon-galon minuman dan berpiring-piring kudapan. Ia memang senang makan. Lagipula, ia juga tak takut gemuk—sesuatu yang dulu membuat ibunya frustasi, namun kini membuatnya bersyukur. Baju apapun melekat dengan sempurna di tubuhnya.

Satu-satunya hal yang Wonyoung benci dari menenggak bergalon-galon minuman membuatnya mesti bolak-balik ke toilet.

Ia lantas menyelinap keluar, berjalan menyusuri lorong yang membawanya menuju toilet. Gedung tempat mereka bersarang sudah sangat sepi. Wajar saja. Tak ada yang mau repot-repot berdiam diri di lingkungan kampus selarut ini. Wonyoung melirik keluar. Dari jendela, ia bisa melihat matahari sudah siap tenggelam di ufuk barat.

Ia mendorong pintu toilet pelan. Sepertinya semua bilik kosong. Ia baru saja masuk ke bilik tengah saat samar ia mendengar isak pelan dari bilik sebelahnya. Ia mengerutkan dahi.

Hantu?

Cepat ia menggeleng. Mana mungkin, Jang Wonyoung. Ia menempelkan telinga pada dinding bilik toilet, berusaha menajamkan telinga.

“Kau hidup,” samar Wonyoung bisa mendengar suara seorang gadis dari bilik sebelah, “Kau hidup,” ujarnya lagi. Wonyoung mengerutkan dahi.

Siapa yang hidup? Apakah seseorang seharusnya mati?

“Kau hidup, Chaewon, kau masih hidup di masa ini...”

Wonyoung terbelalak saat mengenali si pemilik suara dari bilik sebelah.

Hitomi

Apa hubungan Chaewon dan Hitomi? Mereka baru bertemu hari ini, bukan? Kenapa Hitomi seolah-olah bersyukur bertemu Chaewon? Kenapa Chaewon tak mengenali Hitomi? Terlebih—

Apakah Chaewon seharusnya mati?

Wonyoung memutuskan untuk menyelinap keluar sebelum Hitomi bertemu dengannya. Ia menunggu di ambang pintu hingga Hitomi keluar. Hitomi tampak terkejut melihat gadis itu, namun Wonyoung, dengan segala kelihaiannya, berpura-pura bahwa ia baru saja tiba.

Ada sesuatu yang tak beres dengan Hitomi.


“Jadi saat itu aku tak berhalusinasi,” gumam Hitomi pelan, “Kupikir, itu hanya khayalanku saja. Ternyata kau benar-benar masuk ke toilet?”

Wonyoung mengangguk. Wajahnya menunjukkan seraut rasa bersalah, “Aku tidak berniat menguping, Hitomi.”

Hitomi menggeleng, balas menggenggam tangan Wonyoung, “Tentu saja itu bukan salahmu,” Hitomi tersenyum tipis, “Tapi bagaimana kau tahu bahwa aku—bahwa aku, entah bagaimana, datang dari masa depan?”

Wonyoung menghela napas panjang, “Kau tampak tak terkejut saat peristiwa-peristiwa besar terjadi. Saat kamera Minju rusak dan kita mulai saling tuduh, kau seolah mengarahkan kita semua pada kebenarannya bahwa kamera Minju rusak bukan karena tersenggol oleh anggota klub, melainkan tersenggol kucing liar yang tak sengaja masuk. Lalu, saat kau mencegah kita semua untuk tak membeli makanan di kedai yang dibuka beberapa bulan lalu. Kau berdalih bahwa kau menemukan kedai yang lebih enak.

“Keesokan harinya, semua pelanggan mereka keracunan makanan. Aku tak tahu pasti siapa saja yang dulu keracunan,” Wonyoung tersenyum, “Tapi terima kasih telah menyelamatkan kami semua.”

Mereka berdua terdiam, menyadari dengung obrolan dari luar sudah tak lagi terdengar. Saat Hitomi hendak pamit, tiba-tiba sebuah pertanyaan terlontar dari Wonyoung,

“Hitomi,” gadis itu berkata pelan, “Kau berhasil mengubah—mengubah peristiwa buruk,” ada ragu yang memancar dari wajahnya, “Aku menduga bahwa Chaewon—Chaewon, di kehidupanmu yang lalu—”

Hitomi mengangguk, senyum kecut terukir di wajahnya, “Ya. Kau benar.”

Wonyoung mendesah, “Kau berhasil mengubah peristiwa-peristiwa buruk. Paling tidak, sejauh ini,” gadis itu meremas jemari Hitomi sebelum berkata

“Akankah kau juga mampu mengubah takdir Chaewon di masa yang akan datang?”

“Jadi, kau terbangun keesokan harinya dan menyadari bahwa kau kembali ke masa lalu? Kau menjadi muda lagi?”

Hitomi mengangguk, dengan air mata yang terus mengalir tanpa henti. Chaewon terdiam. Kelebatan peristiwa di kepalanya bergerak silih berganti. Itu sebabnya Hitomi tahu. Chaewon ingat betul bagaimana Hitomi bersikeras agar klub mereka tidak mengadakan acara di villa beberapa bulan lalu.

“Tempat itu terlalu jauh!”

“Kau bercanda? Villa yang disewa Chaeyeon tak sejauh itu!”

Mereka memang tak jadi pergi sebab cuaca buruk. Pada akhirnya, mereka memutuskan untuk menginap di rumah keluarga Sakura. Keesokan harinya, adik Yuri harus dilarikan ke rumah sakit karena keracunan makanan. Kedua orangtuanya tak ada di rumah. Ia bisa membayangkan jika mereka memutuskan untuk tetap pergi.

Lalu, bagaimana Hitomi suatu hari memaksa Yujin dan Yena untuk ikut bersamanya ke gudang tempat penyimpanan alat-alat olahraga dengan dalih mencari jam tangannya yang terjatuh di sana saat mengembalikan bola voli.

“Hitomi, kau bisa melakukannya sendiri, astaga.”

“Tapi kau tahu gudang alat-alat olahraga menyeramkan!”

Yujin menyerah. Mereka akhirnya menemani Hitomi, menunduk-nunduk di sekitar pintu, saat mereka mendengar pekik tertahan dari arah belakang gedung. Merasa ada yang aneh, Yena berlari ke arah belakang gedung, hanya untuk mendapati seseorang menjambak rambut Minju hingga wajah gadis itu memerah.

“Bajingan!”

Minju hampir saja dicelakai jika mereka tak datang tepat waktu.

Semua mendadak masuk akal, termasuk bagaimana gadis itu tiba-tiba berubah jadi yang paling mengerti dirinya.

Kepalanya mendadak terasa penuh. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan, namun ia tahu pasti ada satu yang tak berubah. Aku masih akan tetap jatuh cinta. Perlahan ia tersenyum, “Kita bahagia di masa itu?”

Lagi-lagi Hitomi mengangguk. Kedua tangan Chaewon kini bergerak menangkup pipinya, menyatukan kening mereka berdua, “Kau benar-benar bahagia denganku?”

“Kau adalah segala yang kuinginkan dalam hidup, Chaewon,” Hitomi berkata tersengal, “Kau—kita, hanya itu saja yang kuinginkan. Kau dan aku jadi kita. Tapi,” Hitomi memejam, ngeri dengan kalimat yang bersiap meluncur dari mulutnya, “Tapi karena kecerobohanku, kau pergi. Aku tidak mau lagi, Chaewon. Aku—”

“Sshh,” Chaewon menarik gadis itu ke dalam pelukan, diam-diam membiarkan air matanya jatuh juga. Halus, jemarinya bergerak menepuk punggung Hitomi, “Kematianku bukan salahmu, Hitomi.”

Hitomi menggeleng, “Saat pertama kali aku bangun dan menyadari bahwa aku kembali ke masa lalu,” ada jeda sebelum ia melanjutkan, “Aku bahagia karena bisa melihatmu lagi. Tak ada yang berubah. Pertemuan pertama, peristiwa yang terjadi, semuanya masih tetap sama. Namun semuanya membuatku takut. Bagaimana jika aku kembali ke masa ini, kembali bersamamu hanya untuk kehilanganmu lagi di masa depan?”

“Itukah sebabnya kau berusaha bersikap buruk padaku? Pertengkaran itu, wajah jengkel itu, semua—kau berusaha membuatku membencimu?”

Kali ini Hitomi mengangguk, “Jika dengan kau membenciku kau tetap hidup, aku rela, Chaewon,” kedua tangannya mencengkeram sisi baju Chaewon, “Jika dengan kita tidak bersama kau tetap hidup, aku tak keberatan. Asalkan kau hidup. Asalkan kau bahagia, Chaewon. Sudah cukup.”

Bagaimana bisa Chaewon membenci gadis itu saat ia sudah terlanjur jatuh? Bagaimana bisa ia membenci gadis itu ketika gadis itu semenderita ini karena gadis itu juga jatuh cinta pada Chaewon?

“Lihat aku,” bisik Chaewon, perlahan menarik wajah Hitomi agar menatapnya, “Lihat aku, Hitomi.

“Jika aku harus mengulang hidupku lagi,” Chaewon berkata lirih, “Aku akan dengan senang hati kembali melaluinya bersamamu,” sebulir air mata lolos lagi, “Jika akhirnya aku tetap harus mati, asalkan aku tetap bersamamu, asalkan aku denganmu, asalkan aku hidup denganmu sampai tiba waktuku untuk pergi, aku rela,” Chaewon tak lagi menahan tangis, dan kedua gadis itu terdiam, membiarkan air mata saja yang bicara.

Kening mereka beradu, dan air mata terus berjatuhan, seolah tak rela menyaksikan pertemuan dan perpisahan dua manusia yang saling mencinta, namun takut bersama, sebab masa depan penuh derita menanti keduanya. Kedua tangan Hitomi bergerak menangkup tangan Chaewon di pipinya, berbagi rasa yang tak bisa mereka ungkapkan.

“Aku merindukanmu, Chaewon. Setiap hari,” kata-katanya tersendat, “Saat kita berdekatan, aku merindukanmu; kau selalu memelukku kapanpun kita dekat. Kau selalu mendengarkan tiap kata yang keluar dari mulutku seolah itu adalah fatwa yang mesti kau percaya setiap hurufnya. Kau selalu jadi yang pertama kulihat tiap kali membuka mata, dan jadi yang terakhir kulihat sebelum aku menutup mata.”

Chaewon memejam, membiarkan hangat telapak gadis itu merambat, menyebar, mengakar di ulu hati. Mengetahui alasan Hitomi bersikeras menjauh darinya—ada panah beracun, serpihan kaca, dan peluru yang dilepaskan ke jantungnya bersamaan. Gadis itu berkorban banyak.

“Aku tidak mau kau sakit sendiri, Hitomi,” kedua matanya terbuka, mendapati Hitomi yang balas memandangnya dengan sorot mata bertanya, “Jangan sakit sendiri.

“Jika memang aku harus pergi,” seperti ada sebongkah batu besar yang menghimpit dadanya, “Jika memang aku harus pergi nanti, biarkan aku memiliki kenangan indah denganmu,” ujarnya lagi

“Jadi milikku lagi, Hitomi. Di masa ini, jadi milikku lagi. Biarkan aku bersamamu lagi di masa ini. Hingga waktunya tiba, kita habiskan waktu berdua saja. Kita ulang kisah indah kita di masa itu. Hingga waktunya tiba. Jadi milikku lagi, Hitomi. Dengan begitu, aku takkan hidup penuh penyesalan. Biarkan aku bersamamu lagi.”

“Aku tidak bisa.”

Chaewon mengerjap, “Kenapa Hitomi?”

“Aku tidak bisa, Chaewon,” jawabnya lirih.

Sudah berbulan-bulan para anggota klub jurnalistik tak lagi mendengar pertengkaran tak penting dari kedua gadis itu. Tak ada lagi saling sindir. Tak ada lagi adu mulut. Tak ada lagi suara melengking Chaewon yang penuh amarah dan pipi Hitomi yang memerah menahan marah. Seolah pertengkaran abadi mereka tak pernah terjadi, dan mereka kembali menjadi Hitomi dan Chaewon yang terlihat lucu bersama-sama.

Chaewon menyadari bahwa apapun yang ia rasakan mesti disampaikan. Lagipula, ia tak mungkin salah mengartikan sikap Hitomi padanya, bukan? Ia yakin cintanya tak bertepuk harap yang tak ada. Ia yakin ia tak jatuh sendiri. Ia yakin Hitomi juga jatuh cinta. Maka setelah menguatkan hati, ia meyakinkan diri untuk menyatakan cinta.

Namun bukan ini jawaban yang ia harapkan.

“Aku tidak bisa, Chaewon,” sekali lagi Hitomi berkata dengan suara lirih, genggamannya di tangan Chaewon mengendur, “Aku tidak bisa, aku tidak boleh.”

“Kenapa?” suaranya terdengar putus asa, “Kenapa tidak boleh?” Hitomi perlahan menarik tangannya, namun urung saat Chaewon mengeratkan genggaman, “Kenapa tidak bisa?”

“Kita tidak bisa, Chaewon,” ujarnya dengan suara yang tak pernah Chaewon dengar. Hitomi selalu manis bagai wangi bunga di musim semi. Hitomi selalu cerah bagai matahari. Hitomi selalu menenangkan debar jantungnya yang berpacu kapanpun ia di sisi. Hitomi selalu semerdu kicau burung di pagi hari. Tapi Hitomi yang bicara dengan nada penuh duka begini—Chaewon tak pernah mendengarnya barang sekali.

“Kenapa?”

Hitomi menggeleng, “Kita tidak bisa…” tangis gadis itu pecah saat Chaewon menariknya ke dalam pelukan, “Maafkan aku, tapi kita tidak bisa, aku tidak boleh—tidak bisa, lebih baik begini…”


“Sayang, ini hari yang cerah untuk pergi piknik bukan?”

Dari tempatnya duduk, Chaewon menoleh. Tangannya bergerak menyibak gorden, menatap langit di luar sana yang tak berawan. Pertengahan musim semi—meski cuaca sedikit dingin, ia juga tergoda untuk pergi piknik—atau sekedar jalan-jalan saja.

“Kau sudah bosan di rumah?” Chaewon tertawa kecil saat Hitomi menghampirinya sambil mencebik. Jemarinya terulur, menggamit jemari Chaewon. Tawanya berubah menjadi senyum lembut saat jemarinya meraba cincin yang melingkar manis di jari manis Hitomi.

Tiga tahun pernikahan mereka terasa begitu singkat. Lima tahun berkencan. Tiga tahun pernikahan. Semuanya terasa seperti kemarin. Dan meski hampir satu dekade mereka saling mengenal, Chaewon tetap jatuh cinta pada perempuan itu. Ia menjaga agar ia tetap jatuh sedikit setiap harinya. Sedikit lebih dalam. Sedikit lebih besar.

“Aku tidak bosan di rumah denganmu, tapi kau tahu, rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kita berkencan di luar. Ayo, ada festival bunga di kota sebelah. Kudengar bunganya sudah mekar dengan cantik.”

“Baiklah,” Chaewon akhirnya bangkit, sebelah tangan menggenggam jemari Hitomi, “Kau sudah siap untuk pergi, kelihatannya,” diliriknya Hitomi dari ujung kepala hingga ujung kaki. Perempuan itu telah mengenakan mantel—lengkap dengan rok berwarna senada dan sweater berwarna gading di baliknya. Hitomi tertawa

“Kau takkan tergoda untuk pergi jika aku belum terlihat siap. Jadilah pasangan yang baik, segera bersiap, dan biarkan aku yang membawamu kencan kali ini.”

“Kau mau menyetir?” tanya Chaewon sambil menoleh ke arah Hitomi yang mendorong paksa dirinya menuju kamar. Hitomi berhenti, begitu juga dengan Chaewon. Ia berbalik, membiarkan bibir mereka beradu. Hitomi tersenyum.

“Mm–hmm,” jawabnya singkat, “Jadi cepat ganti pakaianmu, Sayang. Kita kencan hari ini.”


Siapa sangka kencan manis mereka berujung maut?

Hitomi tak pernah menyangka sebuah perjalanan yang dipenuhi dengan tawa dan ciuman kecil di sela-selanya mesti berakhir begini. Saat Hitomi melajukan mobil, berharap untuk segera sampai, ia menyadari bahwa rem mobil mereka blong. Di sebelahnya, Chaewon memintanya untuk tetap tenang. Namun nahas, tiba-tiba sebuah bus melaju ke arah mereka.

Kecelakaan tak terelakkan. Meski keduanya sempat bertahan, saat Hitomi tersadar, berita pertama yang mesti ia terima adalah Chaewon telah pergi meninggalkannya lebih dulu.

“TIDAK MUNGKIN!”

“Hitomi—” di sebelahnya Minju menahannya agar tidak ke mana-mana, “Hitomi, tenang, Hitomi—”

“Tidak mungkin dia pergi! Dia sudah janji kami akan makan malam berdua! Ia janji hari ini kami akan pergi membawa anjing kami jalan-jalan! Tidak mungkin, Minju, tidak—” kata-katanya terhenti saat ada sepasang lengan lain yang memeluknya. Yuri berbisik

“Hitomi, bahkan sampai saat terakhirnya, Chaewon masih menyebut namamu,” pelan ia berkata, “Ia memintaku untuk menjagamu jika ia tak bisa selamat. Ia memintaku untuk memastikan kau tetap membawa Pome jalan-jalan sesekali. Ia memintaku untuk memastikan kau tidak makan sendirian. Ia—” aliran kata-katanya terhenti saat tangis Hitomi pecah. Kian lama kian kencang.

“Dia janji untuk bersamaku selamanya, Yuri,” tanpa sadar, pipi Yuri basah, “Dia janji… Harusnya kami tidak pergi, harusnya aku tetap tenang, harusnya bukan aku yang menyetir…”

“Hitomi…”

Baik Yuri dan Minju telah mengenal Hitomi selama Hitomi bersama Chaewon. Cerita mengenai jatuh cinta mereka, mengenai pasang surut hubungan mereka, hingga keduanya memutuskan bahwa menjalani hidup berdua selamanya lebih baik dan jadi satu-satunya mimpi yang hanya bisa mereka wujudkan berdua, Minju dan Yuri tahu benar.

Tapi barangkali, selamanya memang soal se-lama-nya. Selama yang mereka bisa. Sekuat yang mereka bisa. Dan Chaewon hanya mampu bertahan hingga detik ini—meninggalkan Hitomi dan dunianya yang perlahan berubah kelabu, dengan mendung menggantung, dan badai yang bersiap untuk bergulung.

“Bukankah ini sudah saatnya ia membeberkan kebenaran di balik sikap-sikapnya?”

Begitu pikir gadis yang kini tengah menatap kedua manusia yang sedari tadi duduk bersisian tanpa kata. Ia mendesah. Ada sesuatu yang mengusiknya sejak pertama kali ia mengetahui sesuatu yang tak seharusnya ia ketahui. Meski terkejut, ia tak berani membicarakannya pada siapapun.

Biarlah gadis itu yang mengungkapkannya sendiri.

Namun sampai kapan?

Buku tebal di hadapannya terbuka sedari tadi, namun sudah satu jam ia menekuri halaman yang sama. Kata-kata tampak mengabur, lalu huruf-huruf tampak berlarian. Tubuhnya ada di sini, namun tidak jiwanya. Perhatiannya tak bisa ia fokuskan pada buku yang harusnya bisa ia selesaikan dari tadi.

Pikirannya sepenuhnya tercurah pada kedua manusia yang tak tahu kebenaran dari hidup; yang satu telah menyingkap takdir, sementara yang lain tak mampu menerjemahkan rasa ke dalam kata.


“Hai.”

Hitomi mendongak, menyunggingkan seulas senyum tipis saat menyadari siapa pemilik wajah di balik masker hitam dan topi putih yang gadis itu kenakan. Kedua mata Chaewon adalah hal terindah yang pernah ia lihat. Dan jika bisa, ia ingin menyelam ke dasarnya, bersembunyi di baliknya, dan tak pernah lepas.

“Hai, duduklah,” Hitomi meletakkan bukunya di samping, “Kau tampak habis berlari,” ucap Hitomi penuh selidik. Gadis itu tersenyum; cengiran kaku di wajahnya tersungging saat maskernya terlepas, lantas Hitomi menatapnya datar.

“Kau tidak perlu buru-buru.”

“Aku tidak mau membuatmu menunggu.”

“Aku baru menunggu sepuluh menit.”

“Sepuluh menit bisa kau gunakan untuk membaca seratus halaman,” telunjuk Chaewon menunjuk sebuah buku yang Hitomi letakkan di ujung kanan meja, “Buku apa kali ini?” sebelah tangannya melambai, memanggil pelayan kafe yang lewat. Setelah menyebutkan pesanan mereka, Chaewon kembali menopang dagu, menatap Hitomi yang balas menatapnya dengan sebelah alis terangkat, “Apa?”

“Buku apa kali ini?”

“Kau takkan tertarik.”

“Apapun yang keluar dari mulutmu selalu menarik.”

“Kau tidak pernah semanis—maksudku, semenjijikkan ini.”

“Aku tersanjung. Selamat, kau bisa melihat sisi diriku yang tak pernah kutunjukkan pada siapapun sebelumnya.”

“Aku tidak sedang memujimu.”

“Karena hanya kau yang patut dipuji.”

“Baiklah,” kedua tangan Hitomi terangkat—tanda menyerah, “Ini tentang seorang gadis yang mengetahui bahwa keluarganya adalah koki penyihir.”

Chaewon mencondongkan tubuh ke arah Hitomi, “Koki penyihir? Maksudmu?”

“Bukan koki, ralat,” Hitomi berhenti sejenak, menggumamkan terima kasih saat si pelayan meletakkan pesanan mereka, “Tukang kue.”

“Oke,” Chaewon menarik gelasnya mendekat, “Tukang kue yang membuat kue dengan sihir? Begitu maksudmu?” ia lantas menyeruput soda miliknya. Kedua ujung bibirnya tanpa sadar terangkat saat melihat Hitomi berbinar melihat lelehan keju di atas pesanannya.

“Mm-hmm. Dan bukan hanya dengan sihir, tapi dengan benda-benda sihir.

Sebelah alis Chaewon terangkat, “Benda sihir? Maksudmu?”

“Dekut burung perkutut?”

Chaewon hampir saja menyemburkan minumannya, “Ayo ceritakan.”

Chaewon selalu suka melihat gadis itu bicara. Matanya selalu berbinar kapanpun gadis itu berbagi dunia dalam kepalanya—dunia yang hanya ia ketahui. Kapanpun gadis itu bercerita, ia merasa seolah nyawa Hitomi bertambah jadi sembilan—gadis itu selalu tampak paling cantik ketika membicarakan hal yang ia sukai.

Dan diam-diam, Chaewon berharap bahwa ini bukan kencan terakhir mereka.

Chaewon berharap, ia selalu menjadi satu-satunya yang dibiarkan masuk ke dalam dunia penuh khayalan milik Hitomi.

Dan karena Chaewon egois, ia berharap gadis itu menjadi miliknya selamanya—dan menjadikannya satu-satunya.


“Kau yakin?”

“Mm-hmm. Sembilan puluh lima persen.”

“Huh? Apa maksudmu? Kenapa kau menyisakan lima persen?”

“Lima persen lagi bergantung pada dirinya.”

“Kupikir kalian saling menyukai?”

“Tak ada yang pasti di muka bumi ini bukan? Meskipun setengah dari diriku meyakini bahwa ia juga menyukaiku, aku ingin memberi sedikit ruang untuk rasa sakit jika ini tak berjalan sesuai dengan yang kuharapkan.”

“Ah, cinta mengubah seseorang.”

“Apa aku terlihat seperti orang bodoh?”

“Tidak. Kau terlihat seperti orang bodoh yang tengah jatuh cinta.”

“Sialan.”


Ada sesuatu yang berubah dalam hubungannya dengan Hitomi. Sesuatu yang tidak bisa ia tafsirkan ke dalam kata-kata. Sesuatu yang tak bisa pula ia terjemahkan dalam gerak-geriknya.

Mereka masih tetap bertengkar—rasanya sudah seperti rutinitas. Mereka masih saling sindir—rasanya mulut mereka gatal jika tak saling memaki di setiap kesempatan yang ada. Namun ada sesuatu—sesuatu yang tak Chaewon mengerti dari laku gadis itu. Seperti, satu waktu, Chaewon kelimpungan mencari pena pemberian kakaknya—sebuah pena berwarna emas dengan ukiran namanya. Tiba-tiba, Hitomi menyodorkannya tanpa kata, lalu kembali melanjutkan diskusi.

Atau, saat mereka semua janji untuk makan siang bersama. Makanannya sudah mau habis, dan tangannya bergerak untuk meraih gelas saat tiba-tiba Hitomi menyodorkan gelas miliknya. Chaewon mengernyit—namun saat ia melongok isi gelasnya sendiri, gelas itu kosong. Hitomi tak berkata apa-apa, namun kembali menyorongkan gelasnya lebih dekat. Ia lantas meraih gelas kosong Chaewon dan melangkah untuk mengambil air minum untuk dirinya sendiri.

Di lain kesempatan, gadis itu bahkan seolah bisa menebak bahwa Chaewon butuh bantuan; bagai sihir, masalahnya lenyap seketika. Seperti saat ia tak bisa menemukan dompetnya—yang ternyata terjatuh. Atau bagaimana gadis itu tiba-tiba meninggalkan sebuah buku yang selama ini Chaewon cari. Atau bagaimana celetukan-celetukan gadis itu—yang tampak ditujukan padanya—membantunya menyelesaikan artikel-artikel yang harus segera naik cetak.

Ia tak tahu apa yang terjadi dengan dirinya. Atau hatinya.

Sebab rasanya, makin hari Hitomi makin cantik saja.

Dan desir di dadanya berubah menjadi debar yang membawa debur sayang—makin lama makin kencang, hingga ia tak tahu lagi apa yang harus ia lakukan.


“Chaewon.”

Chaewon menoleh, mendapati Hitomi mengulurkan sesuatu padanya, “Ini. Jatuh.”

Chaewon mengernyit, namun seketika matanya membulat ketika mengenali benda kecil yang digenggam Hitomi, “Astaga! Bagaimana bisa jatuh?” buru-buru ia mengaitkan gantungan kecil berbentuk piano itu di tasnya, “Terima kasih.”

“Kau harusnya menjaga baik-baik benda peninggalan ibumu,” Hitomi berkata pelan, “Kau—harusnya menjaga semua benda yang mempunyai kenangan tentang orang yang berharga bagimu.”

“Kau benar, aku harusnya—tunggu,” Chaewon mengerjap, menatap Hitomi curiga, “Bagaimana kau tahu kalau benda ini milikku?”

Hitomi mengerjap, “Kau memakainya tempo hari?”

“Aku baru memakainya hari ini,” gumam Chaewon, “Dan bagaimana kau tahu ini adalah benda peninggalan ibuku? Aku tidak pernah membicarakannya pada siapapun hari ini.”

“Ah, sudah pukul lima,” Hitomi melirik arloji yang melingkari pergelangan tangan kirinya, “Ayo pulang. Sebelum gelap. Bus pasti penuh sesak,” gadis itu berkata sambil melangkah keluar.

Meski masih penasaran, Chaewon mau tak mau mengiyakan kata-kata gadis itu. Sejak ia dan Hitomi tak melulu bertengkar, ia jadi tahu bahwa apartemen mereka berdekatan. Sejak tiga minggu lalu, mereka mulai sering pulang bersama. Terdengar bunyi klik pelan, lalu Hitomi berdiri menghadapnya, “Siapa yang harus memegang kunci?”

“Kau saja,” ujar Chaewon. Tanpa bertanya lagi, Hitomi mengangguk. Mereka lalu berjalan menuruni tangga, sesekali mendapati beberapa mahasiswa yang terburu-buru menuruni tangga sebab awan hitam mulai berarak di luar.

“Ah, benar,” Hitomi mendesah, “Ramalan cuaca pagi ini bilang hujan akan turun di sore hari. Kukira mereka salah, sebab langit cerah sekali tadi.”

Chaewon melepas sebelah tali tas yang tersampir di punggung, merogoh tas, mencari sesuatu saat tiba-tiba hujan turun membasahi bumi. Semula cuma rintik kecil, lama-lama derasnya hujan mengalahkan suara kendaraan yang berlalu lalang.

“Kita harus menunggu di sini,” gumam Hitomi. Keduanya berdiri di lobi depan gedung pusat kegiatan mahasiswa. Chaewon melirik sekitarnya. Banyak mahasiswa lain yang juga menggerutu sebab lupa membawa payung. Mereka akan basah kuyup bahkan sebelum mencapai halte bus. Pelan, ia mengetuk pundak Hitomi. Gadis itu menoleh, “Hm?”

“Keberatan berbagi payung denganku?” Chaewon menggoyangkan payung berwarna toska di tangan kanannya, “Bus pasti akan lebih penuh sesak jika kita menunggu. Lagipula, jarak halte tak sejauh itu. Meski mungkin kita akan tetap basah, paling tidak, kepala kita aman.”

Hitomi mengerucutkan bibir, menimbang-nimbang apakah ia mesti menerima tawaran Chaewon, namun tak lama ia mengangguk. “Kau benar. Ayo.”

Chaewon bergegas membuka payung, lalu sekali lagi menoleh ke arah Hitomi. Bersama, mereka menerobos rinai hujan. Entah di langkahnya yang ke berapa, Hitomi tiba-tiba menariknya mendekat; bahu ketemu bahu, dengan lengan melingkari pundaknya.

“Mendekatlah,” bisiknya pelan, “Kau nanti basah kuyup.”

Detak jantungnya berpacu.

Perjalanan pulang sedikit lebih menyenangkan. Selain karena bus tak terlalu penuh hari ini, ada teman yang bisa diajak bicara. Sesekali Hitomi tersenyum menanggapi celetukan-celetukan ringan Chaewon. Sesekali, Chaewon terkekeh tanpa suara saat Hitomi berbagi lelucon yang ia lihat di internet. Chaewon juga merasa—entahlah? Hangat?

Kapanpun mereka berdekatan, hatinya hangat. Ada desir halus yang menelisik, mengetuk, lalu perlahan membobol pertahanannya.

Chaewon jatuh cinta.

Chaewon mendongak saat sekaleng soda diletakkan tepat di dekat kakinya. Tangannya sibuk menarik kerah baju, berharap angin yang dihasilkan bisa mengusir panasnya udara. Keringatnya menetes mengaliri tengkuk dan dagu. Di sebelahnya, Hitomi kemudian mendudukkan diri.

“Punyamu?” tanya Chaewon acuh tak acuh. Matanya kini mengikuti gerak-gerik tim lain yang tengah memperebutkan bola di lapangan. Sesekali, ia juga mendongak, mengikuti arah bola voli yang melambung tinggi.

“Bukan,” jawab Hitomi pelan, “Aku tidak minum soda,” tambahnya lagi. Jika ia bisa memutar kepalanya lebih cepat dari ini, mungkin lehernya sudah putus.

“Bukan?” ulangnya pelan, “Lalu milik siapa—”

“Untukmu,” Hitomi membuang muka, mengipasi wajahnya yang memerah dan berbalut peluh dengan sebelah tangan, “Hadiah.”

Chaewon mengernyit. Manusia galak ini memberinya hadiah? Ia lalu menarik kaleng itu pelan, merasakan dingin yang menjalar—dan ia tak keberatakan. Bunyi cetak pelan terdengar saat ia menarik tutup kaleng, “Dari mana kau tahu aku suka yang rasa ini?”

Hitomi mengedikkan bahu, “Hanya itu yang tersisa. Jadi kubeli saja,” gadis itu lantas bangkit sambil menepuk-nepuk celana olahraganya yang berdebu, “Aku akan pergi ke ruang klub. Kau mau—ikut?”

Chaewon menelengkan kepala, mengerjap sebelum akhirnya menggeleng, “Duluan saja. Aku—masih mau di sini.”

Hitomi hanya mengangguk, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, ia berjalan menjauh. Chaewon bolak-balik menatap punggungnya yang menjauh dan kaleng soda dalam genggaman.

Ada apa dengan Hitomi? Tidak, ada apa denganku?


“Oke, kita sepertinya tidak bisa pulang cepat.”

Terdengar keluhan, lenguhan, dan erangan dari seluruh penjuru ruangan. Di atas sofa butut di salah satu sudut ruangan Yena berteriak, “Tapi film favoritku tayang di televisi!”

“Dan ibuku memanggang ayam utuh untuk makan malam,” ujar Chaeyeon sambil memutar bola matanya malas, “Kita semua terjebak di sini, ayolah. Majalah harus segera terbit lima hari lagi, tapi banyak sekali yang harus kita kerjakan. Tata letak. Desain sampul. Kolom sastra. Surat penggemar. Kita harus memilih dan mengeceknya malam ini agar bisa dicetak sesegera mungkin.”

Hitomi bangkit dari kursinya, lantas berkata, “Kita istirahat sejenak mungkin? Aku akan pergi ke kedai kopi di seberang. Sebutkan pesanan kalian—tidak, Hyewon, tentu saja kau bayar sendiri,” ujarnya sambil tersenyum penuh arti. Sebelah tangan Hyewon bergerak menepuk dada dengan dramatis.

“Ah, kukira Tuan Putri mau membelikan hambanya barang segelas saja.”

Hitomi terkekeh, “Cepat, sebutkan pesanan kalian.”

“Kau yakin tidak akan mencatatnya?” celetuk Minju dengan wajah berkerut, “Kau tahu bagaimana kami semua senewen soal pesanan kami?”

Hitomi cuma mengangkat bahu, “Kita lihat seberapa kuat ingatanku.”

Seisi ruangan seolah berdengung—gulanya sedikit, tolong esnya jangan banyak-banyak, untukku jeli rasa kopi, jangan pakai krim, dan seruan-seruan lainnya sebelum Hitomi melangkah keluar dengan sederet pesanan milik klub jurnalistik. Dalam hati, Chaewon sudah menduga bahwa bagaimanapun, gadis itu takkan sanggup mengingat permintaan ketujuh gadis kesembilan gadis lainnya.

Dan prediksinya tidak pernah salah.

“PUAH—Hitomi, kau yakin milikku ini gulanya hanya sepuluh persen?

Cengiran kaku di wajah Hitomi terbit, “Um—mungkin lima puluh?”

“Dan ini bukan jeli rasa kopi,” Sakura mengecap-ngecap, “Ini jeli rasa—stroberi. Sudahlah,” gadis itu cuma mengangkat bahu.”

“Bagaimana punyamu?” di sebelahnya Hyewon berbisik pelan. Chaewon mengerjap. “Huh?”

“Punyamu bagaimana?”

Chaewon melirik cup plastik di tangannya. Mint choco bubble tea. Tidak terlalu manis. Dengan butir boba yang tidak terlalu banyak. Beberapa potong biskuit cokelat di atasnya, es—normal. Ia mengerjap.

“Baik-baik saja?”


“Kau sadar tidak?”

“Huh? Aku bicara denganmu, tentu saja aku sadar bukan?”

“Astaga. Kau yakin kau lulus SMA?”

“Sembarangan.”

“Kau sadar tidak?”

Apa tepatnya yang harus kusadari, Kang Hyewon?

“Chaewon dan Hitomi.”

“Ada apa dengan mereka?”

“Mereka tak lagi memperlakukan satu sama lain bagai kuman.”

“Kemarin mereka bertengkar.”

“Tapi frekuensi pertengkaran mereka bertengkar bukan?”

Oh.

“Ya. Oh.

“Dan mereka tak lagi meributkan hal tak berguna.”

“Dan mereka bisa duduk bersisian.”

Kedamaian telah tiba.

“Hitomi.”

Gadis yang namanya dipanggil itu mendongak, “Ya, Wonyoung?”

“Boleh aku duduk di sini? Meja lain sudah penuh. Kau tahu aku tidak bisa duduk di samping orang asing, dan satu-satunya manusia yang kukenal di perpustakaan ini adalah kau.”

Hitomi terkekeh pelan melihat gadis jangkung itu tampak tak nyaman menggendong setumpuk buku besar di tangan, “Duduklah,” sebelah tangannya mengibas, “Tanganmu sudah minta diistirahatkan,” ujarnya lagi. Dengan wajah lega, Wonyoung mendaratkan pantat di bangku seberang. Tangannya bergerak meraih satu buku tebal yang membuat Hitomi bergidik, kemudian mulai membalik halaman pertama.

“Kudengar kau dan Chaewon bertengkar lagi?”

Hitomi mengerjap, “Ah,” jawabnya singkat.

Kedua alis Wonyoung terangkat, “Kali ini kenapa lagi, Hitomi?” tanya Wonyoung tanpa sekalipun mengalihkan pandangannya dari buku yang tengah ia baca. Hitomi mendesah.

“Dia merusak komikku.”

“Sampai tak bisa dibaca?”

Hitomi menggigit bibir. Perlahan Wonyoung mendongak, mengalihkan pandangannya dari deretan huruf yang tercetak kecil-kecil di atas lembaran buku yang mulai menguning, “Bukan komik edisi terbatas ‘kan?”

“Tapi tetap saja!” sanggah Hitomi, “Mereka harta karunku!”

“Kupikir kalian berdua harus bicara,” Wonyoung tersenyum kecil, kembali menekuri buku di hadapan, “Kau tahu, pertengkaran kalian lama-lama terdengar seperti pertengkaran anak lima tahun yang berebut kue paling besar.”

“Kau tidak mengerti, Wonyoung,” gumamnya lirih. Wonyoung mencondongkan tubuh ke arahnya, “Maaf, kau bilang apa tadi? Aku tidak dengar.”

Hitomi menggeleng, “Wonyoung, dia yang selalu memancing pertengkaran denganku.”

Gadis di hadapannya itu akhirnya menutup buku. Tangan kanan bergerak menopang dagu, kedua matanya menatap Hitomi lekat-lekat, “Bukankah kau sama saja?” ujarnya, “Hal-hal yang bisa kalian selesaikan dengan mudah, selalu kalian besar-besarkan. Kalian berdua bisa bicara dengan kepala dingin. Yang kalian ributkan tidak selalu hal-hal penting. Aku tahu kalian lebih dewasa dari ini. Aku yakin teman-teman kita juga kadang tak nyaman dengan pertengkaran kalian—”

“Oh, kelasku akan segera dimulai. Dah, Wonyoung. Sampai bertemu di ruang klub nanti,” gadis itu buru-buru membereskan buku dan meraih tasnya di atas meja. Wonyoung menggeleng menatap punggungnya menjauh.

“Kau benar-benar tidak mau jujur padaku, Hitomi?”


“Aku benci festival olahraga.”

Di sebelahnya, Yena yang tengah melakukan peregangan bersama Chaeyeon menoleh, “Kau ‘kan tidak turun dalam cabang manapun? Kenapa pula kau harus benci ajang bersenang-senang ini?”

“Aku harus turun untuk voli,” gerutu Chaewon, “Semua gara-gara Yuri mendadak tak bisa datang.”

“Hei,” Yena mengernyit, “Ia tak bisa datang karena ada acara lain yang lebih penting. Kau tahu paduan suara kita adalah yang terbaik di kota ini.”

Chaewon cuma memutar bola matanya malas. Pertandingan voli putra masih berlangsung di lapangan—hanya tersisa satu babak lagi, namun Chaeyeon menyeret mereka semua untuk segera turun ke lapangan dan melakukan pemanasan. Para pemain berdiri di pinggir lapang, mengamati mereka yang sedang di lapangan dan mengejar-ngejar bola. Chaewon menghela napas. Dia malas berlari di tengah terik matahari begini.

Tapi mau bagaimana lagi.

Chaewon mengalihkan pandangan, menatap keempat temannya. Chaeyeon. Yena. Yujin. Sakura. Dirinya. Lima orang. Tunggu, voli ‘kan—

“Tunggu,” dahinya berkerut, “Bukankah voli dimainkan—”

Chaewon tak sempat mencerna apa yang terjadi, tapi tiba-tiba seseorang menariknya ke dalam pelukan, menjauh dari lapangan, “Hei, apa yang kau—”

“AWAS!”

Sesuatu berdesing di dekat telinganya, lalu bunyi brak keras terdengar. Ia menoleh. Seseorang baru saja memukul bola voli ke arahnya. Bola itu menabrak kaleng soda milik Yujin hingga penyok. Barbar!

“Astaga, maaf, maaf,” Mark melangkah ke arahnya mengambil bola, “Kau tidak apa-apa?”

“Uh—y-ya,” laki-laki itu kemudian berlalu membawa bola, dan permainan kembali dilanjutkan. Chaewon menoleh, berusaha memandang sosok yang menyelamatkannya dari amukan bola—

“Hitomi?”

“Kau tidak apa-apa?”

Ia tergemap. Ini bukan pertama kalinya ia beradu pandang dengan gadis itu—kapanpun pertengkaran di antara mereka meletus, mereka akan saling tatap dengan sengit. Ini juga bukan kali pertamanya berdekatan dengan Hitomi—di awal mereka bergabung dengan klub, mereka sempat selalu duduk berdampingan tanpa kata. Tapi ada yang lain.

Ada yang lain dalam tatap matanya kali ini.

Selama ini, kapanpun pandangan mereka bertemu, hanya ada sorot jengkel dan jengkel saja yang mengisi kedua binar matanya. Namun kali ini bukan itu. Khawatir. Takut. Dan sesuatu yang tak ingin Chaewon terjemahkan, sesuatu yang membuat dadanya berdesir, sesuatu yang—

“Chaewon, kau oke?” tiba-tiba Sakura menghampiri, “Tidak ada yang terluka? Hitomi, kau juga baik-baik saja?”

“Aku oke,” Hitomi melepaskan pelukannya pada Chaewon, “Kalian semua sudah pemanasan?” tanyanya lagi. Sakura mengangguk, lalu mengisyaratkan keduanya untuk bergabung bersama sisa tim. Chaewon masih mematung di tempatnya saat Hitomi berdiri sambil melambaikan tangan di depan wajahnya.

“Chaewon? Ayo. Pertandingan sudah mau dimulai.”

“Ah,” Chaewon mengerjap, “O-oke,” kenapa aku harus tergagap? Ini cuma Hitomi! “Oke.”

Perasaannya saja, atau Hitomi melempar seulas senyum tipis sebelum berbalik dan melangkah menuju teman-teman timnya?