Sebelas: Kembali ke Awal
Hitomi ingat jelas pemandangan yang ia lihat hari itu.
Chaewon, duduk di atas sofa dekat jendela apartemen mereka yang telah disibak gordennya, bermandikan cahaya matahari pada suatu pagi di musim semi. Perempuan itu menggenggam mug berisi kopi yang masih mengepulkan asap. Dari jauh, Hitomi bisa mencium aromanya. Perempuan itu sama sekali tak menatap ke arahnya. Pandangannya tertuju pada awan yang berarak di langit, dengan sesekali diganggu oleh sekawanan burung yang terbang melintas.
Hitomi takkan pernah lupa pemandangan itu. Bagaimana pula ia bisa lupa?
Itu adalah kali terakhir ia melihat Chaewon.
Ingatannya terlempar pada peristiwa semalam.
“Sayang?”
Belum sempat Hitomi menoleh, sepasang lengan merangkulnya dari belakang. Hitomi memejam, membiarkan aroma khas perempuan itu menguar, memenuhi indera penciumannya—plum, dengan wangi teh yang samar-samar tercium. Sebelah tangannya terangkat, mengelus lengan Chaewon yang melingkari pundaknya.
“Belum tidur?” tanya Hitomi. Pertanyaan bodoh, tentu saja. Sebab jika perempuan itu sudah tidur, mana mungkin ia ada di sini?
“Harusnya pertanyaan itu untukmu,” dirasanya Chaewon menyandarkan dagu di atas kepalanya, “Kenapa belum tidur? Kau biasa pergi tidur pukul sepuluh. Ini sudah pukul sebelas, Sayang.”
Hitomi mendesah, meresapi hangat yang menguar dari perempuan itu. Ia memejam. Chaewon, yang menyadari bahwa sedari tadi Hitomi menggenggam sebuah kalender meja di tangannya yang lain lantas mengeratkan pelukan.
“Besok ya?” tanyanya.
Hari kematian Chaewon.
Hitomi menarik Chaewon agar berdiri di sampingnya. Ia memutar tubuh, lantas menarik lengan Chaewon, memintanya untuk membungkus tubuhnya dalam satu peluk erat. Chaewon menghela napas.
“Maafkan aku.”
Hitomi menggeleng, “Kenapa kau minta maaf?” dan ia bisa mendengar suaranya bergetar, “Kita janji untuk menghadapi semuanya sama-sama, bukan? Kau takkan pergi dari sisiku bukan?” pelukannya di pinggang Chaewon mengerat. Hitomi mendongak, membiarkan bibir Chaewon menyapu keningnya.
“Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi,” bisik Chaewon pelan, “Tapi aku akan berusaha. Namun jika tidak berhasil, aku ingin kau tahu bahwa aku bahagia bersamamu. Ingatlah itu.”
Hitomi menggeleng kuat-kuat, “Jangan katakan itu lagi,” ucapnya. Pelupuk matanya memanas, “Jangan katakan itu lagi, Chaewon,” sebulir air mata lolos, “Kau akan tetap hidup. Kau akan tetap di sampingku. Hari ini, esok, dan seterusnya. Kau akan tetap di sampingku.”
Barangkali, perempuan itu mendengar langkah kaki Hitomi. Atau barangkali, perempuan itu bisa merasakan kehadirannya. Saat ia menoleh, ia tersenyum, “Hei,” ujarnya sambil meletakkan mug di atas meja. Ia mengisyaratkan Hitomi untuk mendekat, meminta Hitomi untuk duduk di pangkuannya. Hitomi memaksakan seulas senyum, dan tanpa banyak bicara, membiarkan tubuhnya ditarik oleh Chaewon. Kedua lengannya bergerak melingkar di leher perempuan itu.
“Janji padaku kalau hari ini kau takkan ke mana-mana.”
“Aku hanya akan pergi ke tempat-tempat yang dekat, Sayang,” Chaewon berkata, “Berjalan kaki. Aku akan berhati-hati.”
“Jangan pergi,” Hitomi berkata, tangannya kini bergerak menangkup pipi Chaewon, “Kumohon,” suaranya bergetar.
“Aku harus menemui Yuri.”
“Kau bisa memintanya kemari, Chaewon,” kata-katanya tertahan saat sebelah tangan Chaewon menangkup tangannya yang beristirahat di pipi perempuan itu, “Kau tidak perlu keluar.”
“Kami tidak bisa menyelesaikannya di sini, Sayang. Harus di luar. Aku janji hanya sebentar.”
Hitomi menarik perempuan itu ke dalam pelukan, seolah dengan begitu, perempuan itu takkan ke mana-mana. Seolah perempuan itu bisa menghilang jika sedikit saja pelukannya merenggang. Seolah perempuan itu akan terburai jika seinci saja jarak di antara mereka melebar.
“Kau harus janji padaku kau akan kembali.”
Sebab ia tak bisa pergi dengan perempuan itu. Sebab ia takut jika ia pergi bersama perempuan itu, hal yang sama akan terulang—kecerobohannya berujung maut.
“Aku janji,” Chaewon berkata pelan, tangannya menepuk-nepuk punggung Hitomi sama pelannya, “Aku janji akan kembali.”
“Aku takut,” bisik Hitomi, “Aku takut Chaewon. Aku tidak ingin kehilanganmu lagi.”
“Aku akan kembali, Sayang. Aku janji.”
Pandangan Hitomi tak lepas dari jarum jam di dinding yang berderak pelan. Ini sudah lebih dari dua jam Chaewon pergi. Perempuan itu pergi sambil berjanji akan kembali dalam dua jam. Ini sudah lebih dari dua—tidak, hampir tiga jam.
Hitomi mulai gelisah. Pesan yang ia kirim belum dibaca sama sekali. Sempat ia berniat untuk menghubungi Yuri, namun Yuri tak tahu.
Perihal ia yang kembali ke masa lalu untuk menyelamatkan hubungannya dengan Chaewon, hanya ia, Chaewon, dan Wonyoung saja yang tahu.
Ia tak bisa menghubungi Yuri hanya untuk memastikan keberadaan Chaewon—ia tak mau rahasia mereka terbongkar. Ia tahu, jika ia bicara dengan Yuri saat ini juga, Yuri akan sangat curiga. Mereka terbiasa bekerja berdua, dan tak pernah sekalipun Hitomi mengganggu. Hitomi bahkan tak pernah risau bila Chaewon belum menunjukkan batang hidungnya pukul sebelas malam jika ia sedang bersama Yuri.
Tapi ini sudah lewat dari dua jam. Terlebih, ini adalah hari itu.
Persetan.
Hitomi menarik ponselnya, mencari kontak Chaewon, lalu menekan simbol telepon. Begitu dering ketiga berbunyi, Hitomi mendadak gelisah. Chaewon tak pernah membiarkannya menunggu. Dering pertama, dan suara Chaewon akan segera terdengar.
Tak ada jawaban. Dicobanya sekali lagi. Kembali tak ada jawaban. Mungkin di kali ketiga. Diam-diam Hitomi menggigit bibir.
“Angkat, Sayang, angkat... Kumohon angkat, Chaewon... Katakan padaku kau baik-baik saja...”
Nihil. Tak ada jawaban.
Hatinya remuk. Panik menyergap. Air matanya berlomba-lomba untuk keluar, berlari menuruni pipi. Ia buru-buru bangkit dari kursi, menyambar mantel terdekat. Ia berlari ke arah kamar, mencari dompet mungil miliknya saat tiba-tiba ponselnya berdering.
“Chaewon?”
“Hitomi, ini aku.”
“Yuri?” Hitomi menjauhkan ponsel dari telinga, melihat kontak si penelepon. Yuri. Bukan Chaewon. “Yuri, kau di mana? Chaewon sedang bersamamu?”
“Ya, Chaewon bersamaku,” jawab gadis itu. Kalimatnya menggantung di udara. Jantung Hitomi berpacu.
“Di mana Chaewon? Kau di mana?”
Hening. Tak ada jawaban.
“Yuri,” ia mulai berlari ke arah pintu, terburu-buru mengenakan mantel dan sepatu. Air matanya sudah tak terbendung, “Katakan padaku kau di mana? Chaewon di mana?”
“Aku di rumah sakit. Chaewon—”
Jangan lagi. Kumohon jangan lagi.