kimchaejjigae

“Tidak bisakah kau dan Hitomi berhenti meributkan hal-hal tidak berguna?”

Chaewon menoleh, mendapati Minju menatap jengkel ke arahnya, “Proteslah pada sobat mungilmu itu, jangan padaku. Dia yang selalu berusaha mencari-cari kesalahanku.”

“Hitomi tidak pernah begitu,” gerutu Minju dengan mata menyipit, “Aku yakin ada yang salah denganmu hingga gadis itu bersikap seolah kau adalah kuman. Cepat minta maaf!” Minju menarik dua buku catatannya, lalu menyalin catatan yang ia tulis buru-buru di kelas tadi, sebab profesor mereka tak pernah memberi jeda untuk menulis.

“Tapi dia begitu, Minju. Kau tidak lihat kemarin dia mengutukku hanya karena aku menyenggolnya saat sedang membaca?” Chaewon berkata dengan berang, “Aku bahkan tidak membuatnya bergeser dari tempatnya duduk!

“Wajahmu itu seolah ditempeli papan bertuliskan ‘ayo-ribut-denganku-sekarang-juga’, Chaewon,” tiba-tiba Yujin duduk di hadapannya sambil membawa nampan berisi makan siangnya yang—kelewat banyak, “Cepat, minta maaf saja pada gadis itu.”

“Uh,” ia melenguh, “Kalian semua ini pasukan pelindung Hitomi atau bagaimana? Teman kalian ini aku atau dia?!”

“Kalian berdua,” ujar Yujin sambil mengunyah, “Apa sih susahnya minta maaf pada Hitomi?”

Aku tidak salah!


“Kau tidak lihat ujung komiknya terlipat?!”

“KAU BAHKAN TIDAK BISA MELIHATNYA TANPA KACA PEMBESAR!”

“TAPI TETAP SAJA TERLIPAT!”

“BIAR KUGANTI! KAU MAU BERAPA HAH?! SEPULUH BUAH?!”

“AKU BISA MEMBELINYA SENDIRI!”

“LALU APA YANG KAU RIBUTKAN?!”

“AKU SUSAH PAYAH MENGANTRE SAAT KOMIK INI DIRILIS DAN KAU DENGAN ENTENGNYA BERKATA BEGITU?! BAGAIMANA DENGAN WAKTUKU YANG TERBUANG UNTUK MENGANTRE?!”

“JADI MAUMU APA?!”

Di sebelah Hyewon, Yena menggaruk pelipis yang tak gatal, “Kupikir julukan Tom dan Jerry itu milikku dan Sakura?”

Hyewon menoleh sambil menggigiti biskuit, “Mungkin mereka Tom dan Jerry jilid dua?”

“Kau pikir mereka buku?” ujar Yena sambil mendengus. Matanya mengekori Chaewon yang bergegas keluar ruangan klub jurnalistik sambil menghentak. Tak lama, Hitomi menyusul sambil membanting pintu. Yena menghela napas, “Kau tahu, kupikir kita harus mengurung mereka berdua. Mereka harus bicara. Pertengkaran mereka yang semula lucu kini jadi menyebalkan.”

“Mereka berdua bertengkar lagi?” dari arah pintu tiba-tiba Chaeyeon berkata. Tangan kanan Yena meremas di mana jantungnya berada.

“Astaga, Lee Chaeyeon, bisa tidak, ketuk pintu sebelum masuk? Atau beri aba-aba?”

Chaeyeon memutar bola matanya malas, lalu menjatuhkan diri di sebelah kiri Yena, mengapit gadis itu di tengah dirinya dan Hyewon, “Kau juga selalu masuk kamarku tanpa permisi, Choi Yena, jangan manja. Tapi omong-omong soal Chaewon dan Hitomi,” Chaeyeon menarik bantal duduk, menaruhnya di pangkuan, “Kurasa mereka benar-benar harus bicara.”

“Kau punya rencana?” jawab Yena, sebelah tangannya mencomot sekeping biskuit dari genggaman Hyewon—yang tentu saja bukan tanpa perlawanan dari si empunya. Makian pelan mengalir deras dari mulutnya, “Oh, ayolah Kang Hyewon, cuma sekeping!

“Rencana?” Chaeyeon mengedikkan bahu—diam-diam merogoh sebatang cokelat dari dalam saku, “Kita 'kan tidak pernah melakukan sesuatu berdasarkan rencana? Lagipula,” gadis itu mematahkan sekotak kecil cokelat, “Rencana kita tak pernah berhasil. Ingat saat kita berusaha mengecoh Minju?”

Hyewon terbahak, “Gagal total. Dia lambat, tapi karena kebodohan manusia di sebelahku, ia bisa memahami rencana kita dengan mudah.”

“Siapa yang kau sebut bodoh?” gerutu Yena, sebelah tangan bergerak mendaratkan pukulan di kepala Hyewon yang berbalas aw pelan.

“Oke, Chaewon dan Hitomi,” sambil bersungut-sungut Hyewon berkata, “Mereka memang terlihat seperti kucing dan anjing—atau kucing dan tikus, terserah kau saja, Yena,” ia memutar bola matanya malas, “Tapi pernahkah kalian—entahlah, aku tidak ingin berspekulasi,” gadis itu mendadak bicara serius, membuat dua pasang mata menatapnya, “Tapi pernahkah kalian memperhatikan keduanya saat mereka ada di ruangan yang sama?”

“Tentu saja, mereka menarik perhatian karena adu mulut mereka,” Yena terkekeh, lalu mendadak bungkam melihat Hyewon mendelik. Kedua tangannya terangkat ke udara, “Oke, oke. Tidak. Kenapa?”

“Ada sesuatu di mata Hitomi,” ujar Hyewon pelan, “Satu waktu, aku hendak mengambil barangku yang tertinggal di sini saat kulihat Hitomi juga masuk ke ruangan, tepat sebelum aku masuk. Tadinya aku ingin mengejutkannya, tapi—” Hyewon tiba-tiba berhenti. Chaeyeon dan Yena menatap gadis itu dengan sebelah alis terangkat.

“Tapi…?”

“Ada Chaewon. Dia tertidur. Menelungkup di atas meja,” telunjuknya mengarah pada kursi di depan mereka, “Tepat di situ. Hitomi lalu duduk di sebelahnya,” ia mengerjap, tampak mengingat-ingat kejadian itu, “Kau tahu, dari arah pintu, Hitomi takkan bisa melihatku, tapi aku bisa melihatnya dengan jelas.”

“Dan yang mau kau katakan adalah…?” Chaeyeon mengubah posisi duduknya menghadap Hyewon, “Kau berbelit-belit.”

“Ia memandang Chaewon dengan cara yang tak biasa, bahkan ikut menelungkup di atas meja.”

“Mereka ‘kan memang saling membenci?”

“Bukan itu, bodoh,” gerutu Hyewon sambil menyentil dahi Yena yang cuma terbahak, “Ada sesuatu di matanya. Bukan benci. Bukan bingung. Tapi—” Hyewon mengerucutkan bibir, tampak berpikir, “Aku bisa bilang kalau di matanya ada sedih. Rindu. Bukankah aneh mengingat selama ini mereka selalu bertengkar?”

“Mereka pernah jadi dua orang yang sangat lucu saat berdampingan,” ujar Chaeyeon, “Mungkin dia merindukan masa-masa itu? Pertama kali kita semua bertemu, mereka biasa duduk bersisian bukan? Mereka juga tampak imut.

“Mungkin?”

Yena mengangkat bahu, “Yah, apapun itu—kuharap mereka berhenti bertengkar tiap bertemu. Kupingku sakit mendengar teriakan nyaring mereka. Astaga, bukankah harusnya aku minta ganti rugi pada keduanya?”

Wenn die Vögel Liebesleid fliegend singen Bis meine Welt die Augen schließt Werd’ ich noch dich lieben Werd’ ich mich noch in dich verlieben Dir gehört mein Herz Bis meine Welt die Augen schließt Und unser Liebe ist immer Bescheiden und Schlicht

Dia adalah segala yang kuinginkan dalam hidup.

Kapanpun jemari kami bertaut, aku tahu bahwa takkan ada lagi yang bisa mengisi celah di antara jemariku sesempurna jemari kurusnya, dan genggaman tangan kami terasa sempurna. Ia sempurna dalam ketidaksempurnaan dunia.

Dia adalah awal dan akhir.

Yang menemani saat matahari mengintip genit di ufuk timur—di sisiku, ia juga turut mengintip genit dari balik selimut; matanya menyipit bagai bulan sabit, dan senyum malu-malu merekah di bibirnya.

Dia untukku, dan aku untuknya.

Akan selalu kulipat jarak di antara kami, sejauh apapun itu. Sebab tak ada lagi rumah yang lebih ramah selain dia. Yang membalas semua rinduku dengan 'aku juga.' Yang menemaniku menuliskan dongeng paling manis di seluruh dunia—dongeng manis yang enggan usai. Yang menemaniku hingga nanti tutup usia.

Selalu.

“Sayaang.”

Chaewon menggeser ponsel yang menghalangi pandangannya, lalu bertemu mata dengan Hitomi yang dari tadi berbaring di atas pangkuannya, “Hm? Apa Yang?” ia menggerakkan leher, menyandarkan tubuh pada kepala tempat tidur.

“Lucu banget deh di twitter,” Hitomi terkekeh, “Kita yang pacaran, yang sibuk jelasin malah Kak Yena sama yang lain. Mana Yuri post foto segala. Padahal 'kan nggak perlu juga.”

“Iya, tapi kamu juga akhirnya ikut-ikutan,” cibir Chaewon, jemarinya yang bebas bergerak mengelus puncak kepala gadis itu pelan. Hitomi memejam, “Kamu muak ya sama mereka yang terus-terusan nanyain soal hubungan kita?”

“Bukan muak sih,” Hitomi bergerak menarik jemari Chaewon mendekat, membiarkan tangan gadis itu menangkup sebelah pipinya. Ia mendesah pelan, diam-diam menikmati sentuhan Chaewon, “Lebih ke—apa ya? Kayaknya aku terlanjur nyaman aja gitu lho ngejalanin hubungan kayak gini sama kamu.”

Sebelah alis Chaewon terangkat, tangannya yang lain bergerak menyimpan ponsel di nakas di sebelah tempat tidur, “Gini gimana?”

“Iya, gini,” kedua mata Hitomi membuka, lantas jemarinya menarik jemari Chaewon yang lain, bermain-main dengannya, “Nggak perlu segala sesuatunya dipamerin. Hubungan kita ya soal kita. Kalau ada yang nanya, ya tinggal jawab aja kita tunangan—tunggu ih, jangan dulu ngeledek,” Hitomi mendelik

“Ya kalau ditanya, kita pasti jawab 'kan? Kalau nggak ya—ngapain pengumuman sama dunia gitu lho. Cukup kita aja yang tahu gimana biasanya kita kencan, gimana biasanya kalau aku sama kamu lagi berdua aja. Berantemnya kita, senangnya kita, orang nggak perlu tahu banyak.”

Chaewon mengangguk, sepenuhnya setuju dengan pernyataan kekasihnya. Jika dulu di awal mereka berkencan ia ingin sekali memamerkan hubungannya dengan Hitomi, kini, setelah lebih dari satu tahun bersama, keinginan itu seakan hilang begitu saja. Ia menikmati waktunya dengan Hitomi—menikmati apa yang mereka punya hingga tak sempat memikirkan bagaimana caranya agar dunia tahu seberapa bahagia dirinya saat bersama gadis itu.

Jika sedang berkencan di luar, sama seperti kebanyakan pasangan, sesekali mereka pun akan mengabadikan hari; mengambil beberapa potret—sendiri atau berdua, potret diam-diam sang kekasih, mereka juga melakukannya. Hanya saja, jarang sekali mereka mengunggahnya di media sosial masing-masing. Hitomi dan Chaewon merasa hal itu tak penting.

“Tapi mungkin sesekali ya—harus juga sih Yang. Biar nggak ada yang salah paham aja. Soalnya 'kan, semua maba juga sering nyangka kita nggak ada apa-apa karena ya—apa ya? Di mata mereka kita terlalu cuek satu sama lain. Mana kamu suka cemburu sama mereka,” Chaewon terkekeh, kembali mengingat ucapan Bahiyyih saat pertama kali mengetahui bahwa ia terikat dalam sebuah hubungan bersama Hitomi.

'Ini beneran 'kan, aku nggak lagi dikerjain? Kak Chaewon beneran sama Kak Hitomi?' Ia ingat betul setiap perkataan gadis itu. Chaewon terkekeh, menjawab tanya dengan sebuah anggukan dan 'Kenapa?' Gadis itu mengerjap sebelum akhirnya berkata

'Kadang, Kakak sama Kak Hitomi kayak orang musuhan. Duduk sebelahan, tapi nggak ngobrol. Kadang, Kakak disuruh apa sama Kak Hitomi, disengor, Kakak diem aja, iya-iya aja. Udah gitu kalau rapat kadang berantem pula. Apa nggak aneh?'

“Ya masa mau sayang-sayangan gini di depan umum. Malu ah,” balas Hitomi, “Inget 'kan awal-awal Yuri masih ngekos di sini, pas mergokin kita begini aja dia suka heboh. Padahal nggak ngapa-ngapain. Aku cuma tiduran. Atau kamu cuma senderan,” cibir Hitomi dengan bibir mencebik. Chaewon tergelak.

“Nggak tahu aja mereka kalau kamu manja.”

“Mereka juga nggak tahu sayangnya kamu mentok di aku. Kim bulog Chaewon.”

“Nggak apa-apa, bulognya sama tunangan aku,” Chaewon terkekeh, “Tapi—'kan tunangan benerannya belum, Yang. Masih tahun depan. Pede banget kamu ngomong gitu?”

“Ya terus ini,” Hitomi menarik kalung yang melingkari lehernya—ada sebuah cincin tergantung di sana, “Ini apa?”

“Yah,” Chaewon menyentil dahi gadis itu pelan, “Anggap aja itu semacam simbol, janji kalau aku nggak akan ke mana-mana. Karena selain aku anaknya nurut banget sama Papa, aku juga sayang banget sama kamu.”

“Kamu nggak usah sok manis ah,” gerutu Hitomi sambil mengusap dahi, “Dulu sih gemes banget kamu gombal begitu. Sekarang geli yang ada,” tukasnya, sebelah tangan bergerak menutup mulut, “Ngantuk ih,” Hitomi membawa tubuhnya ke samping, memeluk pinggang Chaewon, bersiap untuk berangkat menuju alam mimpi saat gadis itu menjawil pipinya pelan.

“Kalau mau tidur yang betul ah, jangan di pangkuanku gini. Pakai bantal aja, tidur yang bener di kasur. Nanti leher kamu sakit.”

Hitomi menyingkirkan tangan gadis itu—tentu saja dengan pelan dan tentu saja karena tangan Chaewon menghalanginya untuk bangkit. Chaewon mengerjap, jemarinya bergerak memijat batang hidung. Menatap layar ponsel setelah beberapa jam membaca buku membuatnya pusing. Kacamatanya bahkan sudah merosot dari tadi. Ia baru saja menjejakkan kaki di lantai saat Hitomi menarik bagian belakang kaos yang ia kenakan. Chaewon menoleh, “Apa?”

“Tidur juga sini,” ujar gadis itu dengan nada khas orang mengantuk, “Nanti mau jemput Papa dulu 'kan ke stasiun? Lumayan jauh. Kamu dari tadi duduk, pasti pegel. Tidur dulu, ngantuk pasti.”

“Ambil minum dulu, nggak main game kok. Bentar,” Hitomi melepas tarikannya di kaos Chaewon. Suara air mengalir dari galon terdengar, lalu tak lama, denting gelas beradu dengan meja menyapa. Sejurus kemudian, Chaewon berbaring di sebelah gadis itu—tubuh menyamping, menatap Hitomi yang balas menatapnya dengan mata setengah menutup.

“Kamu nanti nggak mau ikut aja jemput Papa? Sekalian nginep? Papa nanyain.”

“Lain kali aja,” Hitomi beringsut mendekat, menghapus jarak di antara mereka. Sebelah lengan bergerak melingkari pinggang Chaewon, “Mau sendiri dulu di sini. Lagi nggak pengen ketemu banyak orang,” gadis itu bergerak semakin dekat hingga Chaewon bisa merasakan hangat napas gadis itu di bibirnya.

“Kalau mau tidur tuh lepas dulu kacamatanya, kalau patah gimana?” gerutu Hitomi sambil terkantuk-kantuk, menarik kacamata Chaewon lepas lalu meletakkannya di atas nakas, “Udah berapa kali ya kacamata kamu patah. Kedudukan lah, apa lah. Ceroboh nggak sembuh-sembuh.”

“Oh, kirain ngelepasin kacamataku mau ngajak ciuman,” seringai kecil muncul di wajahnya. Seringainya semakin lebar saat bibir mereka beradu, dan tangannya perlahan bergerak menangkup pipi Hitomi. Beberapa pagutan, lalu mereka menarik diri.

“Iya, itu juga,” ujar Hitomi, “Ganggu soalnya,” ia terkekeh pelan, lalu menyurukkan wajahnya pada ceruk leher Chaewon, “Udah, tidur dulu. Nanti aku bangunin. Jemput Papa jam berapa?”

“Jam enam,” ujar Chaewon, “Bangunin, ya.”

“Mm. Nanti dibangunin.”

Mesin mobil sudah dimatikan sejak lima menit lalu, namun Hitomi masih kukuh duduk di tempatnya. Bukannya melonggar, genggaman tangannya justru mengerat. Chaewon tersenyum kecil.

“Nggak mau turun?” gadis itu berujar pelan. Tangan yang bebas bergerak menangkup pipi Hitomi, menariknya pelan, mengarahkan wajah gadis itu ke hadapannya, “Kamu 'kan biasanya jam segini udah mau tidur.”

Gadis itu mencebik, “Kamu mau buru-buru pulang?”

Chaewon menggeleng, “Nggak juga, sih. Kamu kenapa, omong-omong? Biasanya nggak begini.”

Hitomi mendesah, “Nggak tahu, tapi kayak—kalau di kampus tuh nggak bisa gini sama kamu. Kalau kencan juga mesti di waktu-waktu begini; sore ke malem, dan sebisa mungkin cari tempat yang nggak mungkin didatengin orang yang kita kenal. Bukan capek sih, cuma, kayak—bisa nggak sih kita tuh barengannya lamaan sedikit? Udah di kampus mesti berusaha bersikap biasa aja, yang genitin kamu juga banyak lagi.”

Chaewon mengerjap. Bibirnya membentuk garis tipis—ia memaksakan diri untuk tak mengerutkan dahi, “Genit—gimana?”

“Ya aku tahu sih bukan salah kamu,” jawab Hitomi pelan, “Kamu nggak ngapa-ngapain padahal. Tapi ada aja gitu yang suka cari-cari perhatian kamu. Kamu kasih, lagi. Kayak, pengen banget bilang, 'jangan genit sama pacarku', tapi nggak bisa juga,” ia menghela napas—terlihat lelah, “Apa sih aku jadi ngelantur gini ah,” ia menundukkan pandangan. Chaewon lagi-lagi tersenyum kecil.

“Lihat aku sebentar.”

Hitomi mengangkat pandangan hanya untuk kembali mengalihkan pandangan—Chaewon terlalu dekat. Dan jarak mereka tak baik bagi jantungnya.

“Kamu minta aku jaga jarak sama mereka juga aku nggak apa-apa.”

“Ya jangan, ih, kenapa sih,” gemas Hitomi berkata, sebelah tangan menangkup tangan Chaewon di pipinya, “Kayak anak kecil banget.”

“Di mataku kamu kayak anak kecil sih.”

“Heh!” elusannya berubah menjadi cubitan kecil. Chaewon meringis di sela tawa yang meluncur bebas, “Seneng banget ya ngeledekin pacarnya.”

“Iya, oke maaf,” ujar gadis itu masih dengan tawa yang mengudara, “Iya, iya, kamu bukan anak kecil, matanya biasa aja dong, nggak usah judes gitu, takut.”

“Apa sih ah,” gerutunya pelan, perlahan melepaskan genggaman mereka—dan meski ia benci mengakuinya, ia merasa ada sesuatu yang hilang; sebab seberapa sering pun mereka berpisah begini, ia masih tak menyukai perasaan yang muncul kapanpun genggaman mereka terlepas, kapanpun mereka mengakhiri kencan singkat mereka.

“Udah gih, pulang. Dari sini ke rumah 'kan lumayan. Kalau kamu dibegal gimana?”

“Mulutnya,” gerutu Chaewon, “Ya akunya didoain yang bagus-bagus dong, malah didoain dibegal,” gadis itu memundurkan tubuh saat Hitomi perlahan melepas sabuk pengaman.

“Nggak, ini tuh biar kamu hati-hati,” jawab Hitomi. Ia menghela napas, “Aku turun ya?”

Chaewon mengangguk, “Iya. Gih. Ketemu lagi minggu depan?”

Hitomi balas mengangguk, “Ketemu lagi minggu depan,” ujarnya dengan seulas senyum tipis, “Um, Yang?”

Kedua alis Chaewon terangkat, “Hm?”

“Sini deketan,” ujar Hitomi pelan. Chaewon melempar tatapan penuh tanya, namun tak urung ia mencondongkan tubuh ke arah gadis itu, “Kenapa?”

Cup.

“Makasih kencannya,” Hitomi menarik diri, membiarkan hangat bibirnya membekas di pipi kekasihnya, “Sampai ketemu nanti. Hati-hati nyetirnya, jangan balas pesan lagi nyetir. Kabarin kalau udah sampai di rumah. Dah, Sayang.”

Hingga Hitomi menghilang di balik pintu, Chaewon masih bergeming di tempatnya, sebelah tangan meremas pakaiannya sendiri—tepat di mana jantungnya berada.

“Pacaran sama dia aku lama-lama mati muda nggak sih? Papa, please, Chaewon mau sama dia aja, boleh nggak? Anak temennya Papa cariin jodoh lain aja.”

Chaewon mengalihkan pandangannya dari layar ponsel saat didengarnya Hitomi menggerutu pelan. Gadis itu tertawa ketika pemandangan yang menyambutnya adalah Hitomi dengan pipi gembung—gadis itu tampaknya masih merajuk karena ia kalah main jenga. Gemas.

“Kata kamu ini cuma game. Kok, masih kesal?”

Hitomi mendesah, “Ya habis,” gumamnya pelan, “Udah capek-capek aku susun, udah capek-capek mikirin strategi biar menang, eh, jatuh juga. Kalah 'kan,” gerutunya panjang lebar. Chaewon lagi-lagi tertawa—sebelah tangan bergerak meraih jemari Hitomi, menyatukan genggaman mereka. Sebelah tangan lain bergerak meraih gelas berisi soda lemon miliknya.

“Kenapa sih pengen banget menang? Biar kencan sama aku lagi minggu depan?” ujarnya sambil menyeruput soda. Ia mengernyit. Perasaan menggelitik di hidung saat soda menyapu tenggerokannya membuatnya bergidik. Diliriknya Hitomi yang mengangguk pelan.

“Ya itu satu,” jawabnya pelan sambil mengeratkan genggaman mereka, “Tapi ya—ih, pengen aja gitu lho menang dari kamu. Kayak perasaan, selama ini, kalau kita main game, kamu terus yang menang.”

Siapapun harus mengajari Chaewon untuk menahan diri agar tak meleleh melihat Hitomi yang merajuk—ia siap menggenang, dan membiarkan Hitomi tenggelam dalam genangannya kapanpun gadis ini mencebik sambil menggembungkan pipi. Kelewat gemas.

“Aku yang kalah, kok. Kali ini, aku yang kalah,” tukas Chaewon. Sebelah alis Hitomi terangkat mendengar kata-kata yang meluncur dari bibir gadis itu.

“Kok?”

Chaewon tersenyum kecil, “Waktu jenganya jatuh tadi, aku ikut jatuh. Jatuh suka. Sama kamu. Sampai nyungsep, kalau perlu. Kalau kata Yuqi, sambil tijengkang (jatuh ke belakang, seperti mau kayang),” gadis itu terkekeh—dan kekeh pelannya berubah jadi tawa saat dilihatnya kedua pipi Hitomi memerah.

“Gombal terus ih,” cibirnya, tapi genggaman di tangannya mengerat. Chaewon mengelus jemari gadis itu pelan.

“Sama pacarku ini gombalnya,” Hitomi tak tahu lagi seberapa merah pipinya—gadis itu takkan berhenti menggodanya, sepertinya. Tiba-tiba gadis itu mengangkat ponsel, menunjuk jam, “Sayang, udah malem nih. Mau pulang sekarang? Takut kamu sampainya kemaleman. Boleh nggak, aku turunin kamu di gerbang kosan? Aku khawatir kalau harus nurunin kamu di tempat biasa.”

Kedua alis Hitomi bertaut, bibirnya mengerucut—menimang apakah tak masalah jika Chaewon menghentikan mobilnya tepat di depan gerbang kos-kosannya. Namun, harus diakui, ia juga takut jika harus turun di tempat biasa. Jalan menuju kosannya terlalu gelap. Hitomi tidak takut hantu. Ada yang lebih menyeramkan—manusia, misalnya.

Perlahan, gadis itu mengangguk, “Iya deh. Di depan kosan aja, nggak apa. Semoga nggak ada yang ngeh kalau itu mobil kamu.”

“Ya udah, yuk,” ujarnya sambil bangkit dari kursi, menarik Hitomi untuk turut keluar bersamanya, dengan tangan saling menggenggam. Mereka berjalan bergandengan menuju tempat parkir. Chaewon mendongak—langit sedang bersih-bersihnya. Ia menghela napas.

Asyik kali ya kencan malem-malem sama Hitomi, agak ke pinggiran kota, lihat bintang kalau langit lagi bersih. Tapi tempat itu rame banget. Kalau ketemu orang bahaya.

“Um, Sayang?”

Chaewon menoleh, “Ya?”

“Kunci,” ujar Hitomi sambil menunjuk pintu mobil. Chaewon menggeleng cepat. Bodoh banget, ayo fokus. Tak lama, keduanya kembali duduk berdampingan. Sabuk pengaman terpasang, lalu Chaewon melajukan mobil, membelah jalanan yang tak seberapa padat.

“Yang.”

“Hm?” Chaewon meliriknya sekilas, “Tumben dari tadi manggil sayang. Kenapa?” pandangannya tetap lurus ke arah jalan di depannya. Tak lama, mobil berhenti. Bukan, bukan lampu merah. Baru saja tadi ia mensyukuri lengangnya jalanan, kemacetan kini menyapa mereka.

“Ya—biar kayak orang pacaran beneran,” gumam Hitomi, memancing kekeh pelan lolos dari mulut Chaewon, “Ih tapi serius dulu,” ujarnya lagi. Chaewon menoleh.

“Iya. Kenapa Yang?”

“Aku tadi lihat tweet-nya Kak Yena,” Hitomi menggigit bibir, “Kamu—post foto aku?”

Chaewon meringis. Yah. Ketahuan. “Um, udah aku hapus lagi kok. Belum ada yang lihat. Yena juga belum, dia nggak ada kirim pesan soalnya. Kalau iya, dia bakal ribut di grup,” jelas gadis itu, “Kenapa?”

Hitomi menggeleng pelan, “Nggak, nggak kenapa-kenapa,” jawabnya. Duh, ngomong nggak ya? Tiba-tiba sebelah tangan Chaewon meraih jemarinya.

“Maaf ya. Takut ketahuan ya?” Chaewon melempar senyum pertanda minta maaf, “Pengen banget pamer pacar sama dunia. Mana pacarku gemes banget. Tapi dipikir-pikir, duniaku kamu. Kalau kamu tahu kamu pacarku, kalau kamu udah denger semua pujianku buat kamu, udah cukup deh kayaknya.”

“Udahaan,” Hitomi mengerang. Ia bersyukur tak ada lampu yang menyinari mereka, atau Chaewon akan melihat seberapa merah pipinya—lagi dan lagi, hanya karena Chaewon dan gombalan kacangannya.

Tapi ia berdebar. Dan mungkin, butuh ratusan hari untuk menghilangkan debaran konyol yang muncul kapanpun gadis itu bersikap manis begini.

“Iya, iya, udahan,” ujar Chaewon di sela tawanya. Hitomi mengerang, namun tak berkata apa-apa. Sebaliknya, jemarinya menarik lengan Chaewon, lalu tangannya yang bebas menangkup jemari mereka yang bertaut.

“Nanti, kalau udah bisa pamer, kamu boleh deh pamer soal kita semau kamu. Sekarang, tahan dulu ya. Maaf,” ujarnya pelan. Jempol bergerak mengelus jemari Chaewon dalam genggaman. Chaewon tersenyum.

“Emang mau ke mana sih, buru-buru amat,” ujarnya.

“Kamu 'kan suka nggak sabaran orangnya,” gumam Hitomi. Chaewon terkekeh.

“Aku emang nggak sabaran. Tapi soal kamu, beda. Aku bakal jadi manusia paling sabar sampai aku bisa pamer sama orang seberapa gemesnya pacarku. Tapi, nggak pamer juga nggak apa sih. Yang layak buat gemesnya kamu cuma aku, orang lain nggak boleh lihat. Kamu punyaku.”

“Udahan, Chaewon, ih.”

“Sayang?”

Chaewon yang baru saja mendaratkan pantat di atas bantal duduk tertawa melihat tampang merajuk Hitomi. Gadis itu mencebik, kedua tangan bergerak meraih jemari Chaewon.

“Maaf,” gadis itu berkata, “Maaf ih jadi nunggu lama di toilet,” genggamannya mengerat, “Tadi nggak disuruh keluar 'kan?”

Chaewon menggeleng, balas menggenggam tangan gadis itu sama eratnya, “Nggak, santai aja. Dan nggak, aku nggak apa-apa, jangan minta maaf gitu dong. Udah pesan makanannya?”

Hitomi mengangguk, “Udah kok, barusan,” jawabnya, “Mau marah sama Kak Yuqi tapi nggak bisa,” gadis itu merengut, dan lagi-lagi Chaewon tergelak. Sebelah tangannya menarik ponsel di saku, membuat genggaman mereka terlepas.

“Untung kamu ngekos ya, Yang.”

“Hah?” Hitomi melempar pandangan tak mengerti, “Kenapa emang?”

“Ya, ini udah jam berapa,” Chaewon menunjukkan layar posenya pada Hitomi, “Kalau kamu tinggal di rumah, mungkin kamu udah disuruh pulang sekarang.”

“Kamu nggak sih?” ujar Hitomi, “Nggak disuruh pulang sama tante?”

“Mama frustasi lihat anaknya di rumah terus, Yang,” ia terkekeh, “Sampai dikira nggak punya temen atau nggak normal soalnya nggak suka nongkrong. Sekalinya keluar, paling ya—buat rapat himpunan aja. Sisanya langsung pulang ke rumah.”

“Ih, kamu tuh,” Hitomi menarik tangan gadis itu mendekat, menggenggamnya dengan dua tangan. Chaewon tersenyum kecil saat gadis itu bermain-main dengan jemarinya—sesekali memijat, sesekali mengelus, dan Chaewon menangkap gelagat bahwa gadis itu ingin—menciumnya, tapi tak juga ia lakukan. Lucu.

Semua bagian dari diri kekasihnya itu selalu lucu. Menggemaskan. Dan jika bisa, Chaewon ingin mengunci gadis itu dalam pelukannya seharian.

Mungkin nanti, kalau ia sudah bisa lepas dari permintaan sang ayah soal dijodohkan dengan putri dari sahabat lamanya. Tapi untuk sekarang, Hitomi tak perlu tahu soal itu.

“Nanti kalau aku suka nongkrong, kamu bingung lagi,” ujar Chaewon. Sebelah alis Hitomi terangkat.

“Bingung kenapa?”

“Kamu sendiri yang bilang aku mager. Kalau tiba-tiba aku doyan nongkrong, apa nggak bingung?”

Hitomi mengerjap. Baru saja ia hendak membalas pekataan gadis itu, makanan mereka datang, lalu genggaman mereka terlepas. Setelah mengucapkan terima kasih dan menarik piring mereka mendekat, Hitomi tersenyum.

“Makan dulu, Sayang. Habis ini baru kita lihat seberapa jago kamu main game.

Chaewon tergelak—menyembunyikan malu yang merambat saat gadis itu tanpa sengaja memanggilnya sayang.

Gemas.

“Oke, kalau kalah, aku harus ngapain?”

“Kencan sama aku seharian minggu depan?”

“Aku kalah aja kalau gitu.”

Chaewon serius soal kafe ini menjadi kafe khusus board game.

Rak-rak tinggi berisi papan-papan permainan; mulai dari catur hingga ludo tersusun rapi. Bahkan, papan permainan lain yang tak Hitomi kenali dan tak tahu cara memainkannya pun ada. Ia melihat beberapa meja diisi oleh beberapa keluarga dengan putra putri mereka. Beberapa meja diisi oleh sekumpulan remaja. Beberapa meja lain—sama seperti dirinya dan Chaewon, diisi oleh pasangan.

“Meja nomor dua belas...” Chaewon menuntunnya menuju satu meja di ujung. Bukan meja tinggi berkursi. Meja yang ada di kafe ini cuma meja-meja rendah, dengan bantal duduk bersebaran, “Oh, di sini,” ujarnya sambil menunjuk meja dekat tembok. Mereka kemudian duduk berhadapan. Matanya berlarian menyusuri deretan game dan papan-papan permainan lain.

“Main apa nih kita?” tanya Chaewon dengan senyum kecil. Hitomi mengerucutkan bibir, berusaha mencari papan permainan yang ia kenali.

“Um, main kartu aja nggak sih? Nanti baru yang lain. Kamu juga belum makan, Chaewon. Mau makan dulu?”

Chaewon mengerjap, “Oh, iya juga. Kamu juga belum makan 'kan? Pesan dulu apa ya,” ia menarik buku menu yang diberikan pelayan kafe tadi. Matanya menelusuri deretan menu yang familiar, “Kamu dulu deh nih. Aku ke toilet dulu ya? Apapun yang kamu pesan, jadikan dua. Aku males mikir,” gadis itu terkekeh. Hitomi mendengus geli.

“Yakin banget kita satu selera?”

“Ya,” Chaewon kemudian bangkit, “Yang nggak satu selera cuma soal es krim aja 'kan? Atau terserah, pesenin aja deh, aku manusia pemakan segala kok,” ujarnya sambil berlalu menuju toilet. Hitomi menggeleng, lantas tersenyum kecil. Chaewon bukan bingung mau makan apa. Dia cuma malas melihat-lihat menu. Di beberapa kencan mereka yang lalu, Hitomi menyadari itu.

“Ada-ada aja,” gumamnya pelan. Dibolak-baliknya buku menu, lalu tangannya meraih kertas dan pulpen di ujung meja. Saat ia tengah menulis pesanan mereka, ia mendengar suara langkah kaki mendekat. Ia tersenyum, mengira itu Chaewon, “Sa—”

“LAAH HITOMI MANEH DI DIEU!” (Lho, Hitomi, kamu di sini)

KENAPA ADA KAK YUQI?!

“E-eh,” Hitomi memaksakan sebuah senyum, “Kak Yuqi, baru sampai?”

“Teu, rek balik ieu,”(Nggak, mau pulang ini) ujar gadis itu sambil menunjuk dua gadis di sudut lain kafe, “Tuh, si Kak Miyeon jeung si Shuhua nungguan,” (Tuh, si Kak Miyeon sama si Shuhua nungguin) lagi-lagi gadis itu berkata, “Sama siapa, Hii?”

“Eh,” Hitomi mengerjap, tak tahu harus berkata apa, “Sama—” aduh aku harus bilang apa? “Sama sepupu Kak! Iya, sama sepupu,” ujarnya sambil tertawa. Yuqi mengangkat sebelah alis, namun tak berkomentar lebih jauh.

“Can datang?” (belum datang?) gadis itu menduduki bantal duduk di depannya. Hitomi sudah ingin berteriak—ia panik—namun ia berusaha tetap tenang, tetap tersenyum, namun senyumnya menyusut saat dilihatnya Miyeon dan Shuhua berjalan mendekat ke arah mereka.

“Lhoo, ada Hitomi,” gadis yang paling tua di antara mereka berkata, “Sendirian aja?”

“Nunggu sepupu Kak,” jawabnya, “Kak Miyeon udah mau pulang ya? Tadi Kak Yuqi cerita.”

“Kamu nunggu sendiri, Hii?” Shuhua ikut duduk di sebelah Yuqi, “Mau ditemenin nggak? Kita santai nih. Ya 'kan Kak?”

Miyeon mengangguk, “Ditemenin deh sampai sepupu kamu datang. Masa kamu sendirian di sini, nggak enak.”

Hitomi memejam, menahan diri agar tak meledak di tempat.

KAKAK-KAKAK PULANG AJA!

Ditariknya ponsel diam-diam ke bawah meja, mengetikkan pesan untuk kekasihnya yang belum juga kembali dari toilet.

“Kenapa? Ada tes dadakan? Atau gimana?”

Hiomi menoleh, mendapati Chaewon tengah menatapnya dengan dahi berkerut. Meski telah meninggalkan tempat kencan pertama mereka sejak satu jam lalu, mereka belum juga sampai di kafe yang Chaewon maksud, sebab jalanan dipenuhi kendaraan roda empat dan roda dua, mengular, dan suara klakson bersahut-sahutan. Padahal, harusnya perjalanan mereka cuma makan waktu dua puluh menit.

“Nggak,” Hitomi menggeleng, “Cuma—ada temen nyebelin aja,” dialihkannya pandangan ke arah jendela, berharap tak ada pertanyaan lanjutan dari kekasihnya.

“Mau cerita?” Chaewon menginjak pedal gas pelan—hanya beberapa meter, lalu mereka kembali terjebak di tengah kendaraan yang bersengkarut. Lagi-lagi Hitomi menggeleng. Chaewon menghela napas, meraih ponselnya. Ia sekali lagi menoleh ke arah Hitomi, “Minju, ya?”

Hitomi tak pernah memutar lehernya secepat itu, “Bukan.”

Chaewon tersenyum tipis, “Oke, berarti gara-gara Minju.”

Hitomi mendesah, “Maaf,” ujarnya pelan sambil menunduk, “Aku yang minta kita pacaran sembunyi-sembunyi, aku juga yang cemburu nggak jelas.”

“Jelas kok,” ujar Chaewon sambil menyurukkan ponselnya kembali ke dalam saku, “Jelas kok. Aku pacar kamu. Mau orang lain tahu atau nggak, 'kan nggak mengubah kenyataan kalau aku pacar kamu. Kamu boleh cemburu, aku nggak marah. Kamu mau aku jaga jarak sama Minju kah?”

Tangan kanannya bergerak meraih jemari Chaewon yang terulur ke arahnya, meremasnya pelan, “Nggak, lagian kamu jaga jarak sama Minju juga alasannya apa?”

“Kamu cemburu.”

“Nggak masuk akal, ih.”

“Jatuh cinta mana ada yang masuk akal. Jatuh cinta sama kamu nggak masuk akal, tapi aku suka. Dan aku nggak keberatan jadi orang yang nggak masuk di akalmu selama aku boleh jatuh cinta sama kamu.”

“Bisa nggak sih nggak usah bikin salting terus...” Hitomi bergumam, berharap Chaewon tak mendengarnya, namun gadis itu tertawa.

“Minju ngomong apa di risol danusan?”

Risol danusan. Terkutuklah Yuri dan idenya untuk benar-benar menamai obrolan grup mereka dengan risol danusan—Yena menjuluki mereka begitu sebab saat kepanitiaan inaugurasi, mereka berempat kedapatan menjual risol untuk menutupi kebutuhan acara.

“Nih,” Hitomi mengangsurkan ponselnya, yang diterima Chaewon dengan hati-hati. Ia terkekeh pelan begitu hamparan pesan mereka dalam layar menyapa penglihatannya. Hanya beberapa menit, lalu gadis itu mengembalikan ponsel Hitomi ke tangannya.

“Kamu kok mulutnya tajam gitu sih sama anak-anak?”

“Ya emang dari sananya begitu, Chaewoon,” Hitomi mengerang, lagi-lagi Chaewon tergelak.

“Sama aku kamu manis banget, Sayang.”

“Ya 'kan kamu pacarku, malu, masa kayak ke temen gitu,” Hitomi mencicit, suaranya memelan seiring dengan pipinya yang memerah. Di sebelahnya Chaewon tersenyum kecil, sebelah tangan yang bebas bergerak mengusak rambutnya pelan.

“Aku juga temen kamu. Selain pacar kamu, aku temen kamu. Partner diskusi. Sopir pribadi. Kakak tingkat kamu. Apapun. Aku bisa jadi apapun yang kamu mau. Jadi—senyamannya aja, ya. Jangan jaim-jaim gitu,” gadis itu berkata pelan, yang dibalas dengan anggukan kecil dari Hitomi yang sama pelannya.

“Capek nggak?”

Hitomi, yang baru saja menyandarkan punggung pada jok mobil menoleh, “Hah?”

“Capek nggak jalan agak jauh gitu dari kosan?” ujar Chaewon sambil menyodorkan sebotol air. Hitomi tertawa kecil.

“Apa sih, nggak jauh juga. Nggaaak, capek apanya,” tukasnya, namun tak urung meraih botol yang disodorkan Chaewon, menenggaknya sedikit. Dari balik kursi pengemudi, Chaewon tersenyum tipis.

“Maaf ya,” gumamnya pelan. Hitomi terbatuk, tangannya kemudian sibuk merogoh tas kecilnya saat Chaewon menyorongkan selembar tisu, “Ini.”

“Kakak—kamu minta maaf kenapa, Chaewon?” Hitomi berkata di tengah batuk, dengan suara teredam, sebab tangannya sibuk mengelap sisa-sisa air yang membasahi wajahnya—sedikit. Ini cuma akal-akalannya untuk menyembunyikan senyum yang kerap muncul dan pipi yang merona kapanpun Chaewon dekat.

“Iya, maaf kita harus pacaran sembunyi-sembunyi gini.”

Hitomi menggeleng, “Aku yang minta, Ka—Chaewon. Aku yang minta 'kan? Kenapa kamu yang minta maaf sih?”

Jantungnya berpacu saat jemari Chaewon menggamit jemarinya. Gadis itu menatapnya lurus-lurus, “Maaf karena aku nekat minta kamu jadi pacarku sekarang, kita jadi harus pacaran sembunyi-sembunyi. Kalau aku sedikit lebih sabar, mungkin—” kata-kata gadis itu terhenti saat dirasanya jemari Hitomi balas menggenggamnya erat.

“Ya kita nggak akan pacaran kalau kita nggak nekat nggak sih?” senyum kecil terukir di wajah Hitomi, “Bukan kamu aja yang nekat, aku juga. Udah tahu ayah pengennya aku punya pacar nanti-nanti, tapi tetep aja maksa. Ya udah, kita nekat sama-sama. Jalan satu-satunya ya sembunyi-sembunyi. Nggak apa-apa.”

Sebelah tangan Chaewon yang bebas bergerak mengusak rambut Hitomi pelan, membuat gadis itu mengaduh, “Iya. Maaf ya. Takut aja kamu nggak nyaman. Omong-omong, kok bawa kamera? Eh, apa kita kencan di—nggak tahu, area yang ada tamannya mungkin? Sayang deh kalau kencan indoor terus kamu bawa kamera gitu.”

Kencan. Pipinya kembali merona. “Emang kamu mau ngajak ke mana sih?”

“Kata Yena sama Yuqi, ada kafe khusus board game. Nggak ngerti juga khususnya tuh gimana, tapi dari review di internet sama cerita Yena, kayaknya asyik. Yuqi sama Shuhua juga ke sana berapa hari lalu,” Hitomi menahan napas saat Chaewon mendekat. Dengan cekatan tangan gadis itu bergerak memasangkan sabuk pengaman, “Kamu mau ke sana apa gimana?”

Hitomi tak sadar berapa lama ia menahan napas, sebab—astaga, paru-parunya mau pecah rasanya, “Um,” ia mengerucutkan bibir, “Ke sini dulu boleh nggak?” Hitomi mengotak-atik ponselnya beberapa saat—dan di sebelahnya dengan sabar Chaewon menunggu, dengan senyum yang sedikit lebih lembut dari biasanya. Sejurus kemudian, ia mengangsurkan ponselnya ke arah Chaewon, yang diterima gadis itu dengan hati-hati.

Jari mereka bersentuhan, dan rasanya, Hitomi ingin meledak. Padahal, beberapa waktu lalu jemari mereka saling menggenggam.

“Oh?” Chaewon menoleh setelah melihat tempat yang dimaksud Hitomi, “Mau ke sini aja kah?”

“Um,” Hitomi menunduk, “Jangan aja dong.”

Chaewon mengerutkan dahi, mencondongkan tubuh ke arah Hitomi, “Gimana, Yang? Maaf, nggak kedengeran, kayaknya kebiasaan denger Yena teriak-teriak, aku jadi agak budek.”

“Kencannya agak lama gitu boleh nggak?” Hitomi menoleh, mengangkat pandangan, berusaha menatap Chaewon—tapi tak bisa, jantungnya mau meledak, “Habis dari situ—ke kafe yang kamu maksud—”

“Ah,” Chaewon tersenyum, mengembalikan ponsel dalam genggaman pada pemiliknya, “Jadi dari sini, ke kafe itu. Oke. Nggak jauh sih harusnya kalau menurut maps. Kita bisa jalan-jalan sore di sana—kamera kamu nggak akan sia-sia sih pasti. Terus ya, ngopi mungkin di kafe? Atau makan malam sekalian kalau mereka jual makanan berat.”

Hitomi mengangguk, kelewat kencang—lagi-lagi Chaewon terkekeh. Bukan mengejek. Sebab di kedua mata gadis itu, ada sayang yang tak berkesudahan, terpancar dalam setiap gerak-geriknya kapanpun Hitomi dekat.

“Oke, berangkat sekarang, ya.”

Hitomi menggigit bibir, menatap ponsel dalam genggamannya lekat-lekat. Jika ia punya mata cyclops, mungkin ponselnya sudah hancur dari tadi. Pesan yang dikirim Chaewon dua puluh menit lalu, yang dibubuhi tanda hati, masih membuatnya berdebar.

Tidak seberapa memang, tapi ia selalu merasa hubungannya dengan gadis itu istimewa.

Mulai dari pertemuan mereka yang tak sengaja, hingga kedekatan mereka yang seperti telah diatur oleh Semesta. Lucu juga jika diingat-ingat. Chaewon dulu hanyalah sebatas kakak pembimbingnya saja—yang mendampingi kelompoknya saat masa orientasi yang dilaksanakan himpunan berlangsung. Mereka hanya akan bertemu jika kelompoknya harus berkumpul. Interaksi merekapun tak begitu berarti.

Bertukar 'halo, kamu sehat 'kan? Jangan sakit ya, rangkaian ospek masih panjang' dalam setiap pertemuan berubah menjadi kewajiban, dan semua terasa otomatis. Lagipula, Chaewon selalu jadi manusia irit bicara. Ia cuma menanggapi sesekali, tersenyum sesekali, dan mengangguk sesekali.

Yang tak pernah Hitomi sadari adalah, mata gadis itu juga sesekali mengarah padanya.

Sebut saja Hitomi budak cinta, tapi ada sesuatu yang lain dalam diri Chaewon yang selalu membuatnya berdebar, tak peduli seberapa kali pun mereka berkirim pesan. Sesuatu yang membuatnya tersenyum seperti orang bodoh, membuatnya tersipu hanya dengan memikirkan gadis itu, membuatnya merasa bahwa hidupnya sempurna hanya dengan kehadiran gadis itu.

Pertama kali gadis itu mengulurkan tangan padanya saat masa perkenalan rangkaian orientasi, Hitomi tak menyangka bahwa gadis itu akan membawa banyak perubahan dalam dirinya. Hitomi juga tak menyangka bahwa gadis itu bisa menjadi cerewet, atau bagaimana senyum lebarnya mengalahkan cerahnya matahari pagi, dan bagaimana jemari gadis itu—

Ponselnya mendadak berdering. Ia tersenyum, “Iya, Kak?”

“Chaewon.”

Hitomi menggigit bibir, menahan bibirnya agar tak tersenyum lebih lebar lagi—ia takut bibirnya sobek, “Iya, Chaewon? Kak—kamu di mana? Udah dekat kah?”

“Maaf, Yang, nambal ban dulu. Bocor nih. Nunggu agak lama nggak apa-apa ya?”

Hitomi cepat menggeleng meski tahu Chaewon tak bisa melihatnya, “Iya, nggak apa, santai aja, ini baru keluar kamar mandi, kok.”

Bohong. Sebelum Chaewon mengiriminya pesan pun, gadis itu sudah siap. Ia hanya kelewat gugup menantikan kencannya dengan gadis itu meski ini bukan kencan pertama mereka.

“Oke, mau ngasih tahu itu aja. Maaf ya, jadi nunggu.”

“Kamu bisa kirim pesan aja padahal.”

“Beda. Kalau lewat pesan, aku cuma bisa bayangin suara kamu. Kalau telepon gini 'kan nggak perlu bayangin. Bisa dengar langsung.”

Hitomi memejam, berharap Chaewon tak mendengar pekik pelan yang lolos dari mulutnya, berharap Chaewon tak tahu bahwa jantungnya berlari. Ia tahu Chaewon cuma melemparkan gombalan kacangan. Ia tahu Chaewon berusaha bersikap manis—Chaewon tak semanis itu, sesuatu yang kerap kali dikeluhkan Yena dan Chaeyeon. Dan sayangnya, mereka takkan pernah menemukan sisi Chaewon yang ini.

Sisi Chaewon yang hanya ditunjukkan padanya, ditujukan padanya. Sebab—sebab tak ada seorangpun yang tahu mereka menjalin hubungan. Mereka—bukan, Hitomi memilih merahasiakannya. 'Anak Ayah nggak boleh pacaran dulu,' itu pesan ayahnya sebelum ia merantau kemari. Dan—berhubung dosen-dosennya mengenal ayahnya dengan baik, ia tak ingin kabar soal dirinya yang menjalin hubungan dengan seseorang sampai ke telinga ayahnya.

“Gombal,” cuma itu yang keluar dari mulutnya. Ia bisa mendengar Chaewon tertawa pelan.

“Nggak apa-apa, yang digombalin 'kan pacarku. Bukan orang lain. Ditutup ya teleponnya? Di sini agak berisik, agak nggak enak harus teriak-teriak. Sampai ketemu, Sayang.”

Pipinya sudah pegal tersenyum—dan ia ragu ia bisa tersenyum lebih lebar lagi, tapi nyatanya ia bisa. Masih dengan senyum yang tersungging di bibir, ia berkata, “Mm. Sampai ketemu, Chaewon.”