Satu: Api dan Api
“Tidak bisakah kau dan Hitomi berhenti meributkan hal-hal tidak berguna?”
Chaewon menoleh, mendapati Minju menatap jengkel ke arahnya, “Proteslah pada sobat mungilmu itu, jangan padaku. Dia yang selalu berusaha mencari-cari kesalahanku.”
“Hitomi tidak pernah begitu,” gerutu Minju dengan mata menyipit, “Aku yakin ada yang salah denganmu hingga gadis itu bersikap seolah kau adalah kuman. Cepat minta maaf!” Minju menarik dua buku catatannya, lalu menyalin catatan yang ia tulis buru-buru di kelas tadi, sebab profesor mereka tak pernah memberi jeda untuk menulis.
“Tapi dia begitu, Minju. Kau tidak lihat kemarin dia mengutukku hanya karena aku menyenggolnya saat sedang membaca?” Chaewon berkata dengan berang, “Aku bahkan tidak membuatnya bergeser dari tempatnya duduk!”
“Wajahmu itu seolah ditempeli papan bertuliskan ‘ayo-ribut-denganku-sekarang-juga’, Chaewon,” tiba-tiba Yujin duduk di hadapannya sambil membawa nampan berisi makan siangnya yang—kelewat banyak, “Cepat, minta maaf saja pada gadis itu.”
“Uh,” ia melenguh, “Kalian semua ini pasukan pelindung Hitomi atau bagaimana? Teman kalian ini aku atau dia?!”
“Kalian berdua,” ujar Yujin sambil mengunyah, “Apa sih susahnya minta maaf pada Hitomi?”
“Aku tidak salah!”
“Kau tidak lihat ujung komiknya terlipat?!”
“KAU BAHKAN TIDAK BISA MELIHATNYA TANPA KACA PEMBESAR!”
“TAPI TETAP SAJA TERLIPAT!”
“BIAR KUGANTI! KAU MAU BERAPA HAH?! SEPULUH BUAH?!”
“AKU BISA MEMBELINYA SENDIRI!”
“LALU APA YANG KAU RIBUTKAN?!”
“AKU SUSAH PAYAH MENGANTRE SAAT KOMIK INI DIRILIS DAN KAU DENGAN ENTENGNYA BERKATA BEGITU?! BAGAIMANA DENGAN WAKTUKU YANG TERBUANG UNTUK MENGANTRE?!”
“JADI MAUMU APA?!”
Di sebelah Hyewon, Yena menggaruk pelipis yang tak gatal, “Kupikir julukan Tom dan Jerry itu milikku dan Sakura?”
Hyewon menoleh sambil menggigiti biskuit, “Mungkin mereka Tom dan Jerry jilid dua?”
“Kau pikir mereka buku?” ujar Yena sambil mendengus. Matanya mengekori Chaewon yang bergegas keluar ruangan klub jurnalistik sambil menghentak. Tak lama, Hitomi menyusul sambil membanting pintu. Yena menghela napas, “Kau tahu, kupikir kita harus mengurung mereka berdua. Mereka harus bicara. Pertengkaran mereka yang semula lucu kini jadi menyebalkan.”
“Mereka berdua bertengkar lagi?” dari arah pintu tiba-tiba Chaeyeon berkata. Tangan kanan Yena meremas di mana jantungnya berada.
“Astaga, Lee Chaeyeon, bisa tidak, ketuk pintu sebelum masuk? Atau beri aba-aba?”
Chaeyeon memutar bola matanya malas, lalu menjatuhkan diri di sebelah kiri Yena, mengapit gadis itu di tengah dirinya dan Hyewon, “Kau juga selalu masuk kamarku tanpa permisi, Choi Yena, jangan manja. Tapi omong-omong soal Chaewon dan Hitomi,” Chaeyeon menarik bantal duduk, menaruhnya di pangkuan, “Kurasa mereka benar-benar harus bicara.”
“Kau punya rencana?” jawab Yena, sebelah tangannya mencomot sekeping biskuit dari genggaman Hyewon—yang tentu saja bukan tanpa perlawanan dari si empunya. Makian pelan mengalir deras dari mulutnya, “Oh, ayolah Kang Hyewon, cuma sekeping!“
“Rencana?” Chaeyeon mengedikkan bahu—diam-diam merogoh sebatang cokelat dari dalam saku, “Kita 'kan tidak pernah melakukan sesuatu berdasarkan rencana? Lagipula,” gadis itu mematahkan sekotak kecil cokelat, “Rencana kita tak pernah berhasil. Ingat saat kita berusaha mengecoh Minju?”
Hyewon terbahak, “Gagal total. Dia lambat, tapi karena kebodohan manusia di sebelahku, ia bisa memahami rencana kita dengan mudah.”
“Siapa yang kau sebut bodoh?” gerutu Yena, sebelah tangan bergerak mendaratkan pukulan di kepala Hyewon yang berbalas aw pelan.
“Oke, Chaewon dan Hitomi,” sambil bersungut-sungut Hyewon berkata, “Mereka memang terlihat seperti kucing dan anjing—atau kucing dan tikus, terserah kau saja, Yena,” ia memutar bola matanya malas, “Tapi pernahkah kalian—entahlah, aku tidak ingin berspekulasi,” gadis itu mendadak bicara serius, membuat dua pasang mata menatapnya, “Tapi pernahkah kalian memperhatikan keduanya saat mereka ada di ruangan yang sama?”
“Tentu saja, mereka menarik perhatian karena adu mulut mereka,” Yena terkekeh, lalu mendadak bungkam melihat Hyewon mendelik. Kedua tangannya terangkat ke udara, “Oke, oke. Tidak. Kenapa?”
“Ada sesuatu di mata Hitomi,” ujar Hyewon pelan, “Satu waktu, aku hendak mengambil barangku yang tertinggal di sini saat kulihat Hitomi juga masuk ke ruangan, tepat sebelum aku masuk. Tadinya aku ingin mengejutkannya, tapi—” Hyewon tiba-tiba berhenti. Chaeyeon dan Yena menatap gadis itu dengan sebelah alis terangkat.
“Tapi…?”
“Ada Chaewon. Dia tertidur. Menelungkup di atas meja,” telunjuknya mengarah pada kursi di depan mereka, “Tepat di situ. Hitomi lalu duduk di sebelahnya,” ia mengerjap, tampak mengingat-ingat kejadian itu, “Kau tahu, dari arah pintu, Hitomi takkan bisa melihatku, tapi aku bisa melihatnya dengan jelas.”
“Dan yang mau kau katakan adalah…?” Chaeyeon mengubah posisi duduknya menghadap Hyewon, “Kau berbelit-belit.”
“Ia memandang Chaewon dengan cara yang tak biasa, bahkan ikut menelungkup di atas meja.”
“Mereka ‘kan memang saling membenci?”
“Bukan itu, bodoh,” gerutu Hyewon sambil menyentil dahi Yena yang cuma terbahak, “Ada sesuatu di matanya. Bukan benci. Bukan bingung. Tapi—” Hyewon mengerucutkan bibir, tampak berpikir, “Aku bisa bilang kalau di matanya ada sedih. Rindu. Bukankah aneh mengingat selama ini mereka selalu bertengkar?”
“Mereka pernah jadi dua orang yang sangat lucu saat berdampingan,” ujar Chaeyeon, “Mungkin dia merindukan masa-masa itu? Pertama kali kita semua bertemu, mereka biasa duduk bersisian bukan? Mereka juga tampak imut.”
“Mungkin?”
Yena mengangkat bahu, “Yah, apapun itu—kuharap mereka berhenti bertengkar tiap bertemu. Kupingku sakit mendengar teriakan nyaring mereka. Astaga, bukankah harusnya aku minta ganti rugi pada keduanya?”