kimchaejjigae

Aku mohon kebijaksanaanmu dalam membaca. Aku berusaha menulisnya agar tidak terlalu blak-blakan, tapi, bagian ini memuat konten dewasa


“Chaewooon,” Hitomi menoleh ke belakang, mendapati gadis itu tetap menggeleng, “Boleh ya?”

“Nggak,” Chaewon lagi-lagi berkata, namun pelukannya di pinggang Hitomi mengerat, “Jangan aneh-aneh. Kalau besok nggak bisa bangun dari tempat tidur, aku nggak mau tanggung jawab.” Hitomi bergerak di pangkuan—tidak, gadis itu duduk di sela kakinya yang terbuka lebar, punggung bersandar pada tubuh bagian depannya—

Honeeey,” Hitomi mencebik, sebelah tangannya bergerak menggerayangi pipi Chaewon yang sedari tadi sudah mewujud dispenser—panas dingin.

INI KENAPA JADI BEGINI?

Satu jam lalu gadis itu berlari dari lapangan olahraga menuju sebuah supermarket yang ia yakini menjual cemilan favorit Hitomi. Tadi pagi, gadis itu tiba-tiba mengiriminya pesan bernada manja, dan artinya cuma satu: gadis itu kedatangan tamu bulanan.

Yang juga artinya, selama sepekan ke depan, hidupnya akan jungkir balik.

Ponselnya berdering dan berdenting bergantian sejak tadi—pesan-pesan gusar dari Nako, teman sekamar Hitomi yang belum apa-apa sudah jadi sasaran empuk Hitomi, lalu tentu saja pesan-pesan gelisah dari Hitomi. Chaewon buru-buru meraup beberapa cemilan, memastikan makanan ringan dengan logo kura-kura itu masuk ke keranjangnya, lalu beberapa makanan manis lainnya; cokelat. Jelly. Permen. Marshmallow. Biskuit. Kue beras. Satu galon es krim—strawberry, demi kesejahteraan bersama.

Lengkap, pikir Chaewon. Dengan tak sabar ia menarik keranjang belanja menuju kasir. Tepat setelah barang terakhir masuk di plastik, ia memelesat, kembali berlari menuju asrama tempat mereka tinggal.

“DATANG JUGA OKNUM KIM CHAEWON,” di depan pintu, Nako berdiri sambil bersungut-sungut. Chaewon meringis, menyerahkan satu kantong plasik besar pada Nako, “Nih, bawa, buat sama yang lain. Kamu tidur—”

“YA IYA AKU TIDUR DI KAMARMU, TERUS DI MANA LAGI? POS SATPAM, HAH?!”

“Ampun, Ibunda Ratu, silakan pergi,” Chaewon membungkuk, mengayun tangan kanan, ke samping, menyilakan gadis itu untuk segera pergi. Nako mendengus

“Kalau mau masuk, mending sekarang. Tapi kalau mau masyuk, please, jangan di kasurku. BARU GANTI SEPRAI!”

Chaewon tergemap, berdiri mematung di tempatnya bahkan setelah Nako menghilang di balik tangga. Sebelah tangannya mengusap wajah kasar.

Dia—'kan—kalau lagi begini.... Suka.... Suka—

Sebuah lengan tiba-tiba menariknya dari pintu yang terayun terbuka. Punggungnya beradu dengan pintu, kedua tangan mengepal di kedua sisi tubuh. Ia ingin berontak—tapi mana bisa? Mana bisa kalau yang memerangkapnya adalah Hitomi?

Nggak, Kim Chaewon, kamu nggak boleh aneh-aneh, ingat, kamu ke sini sekarang—

Kedua tangan yang menangkup pipinya bergerak turun, bermain-main dengan kerah bajunya.

Nggak, nggak boleh, nggak—

Persetan.

Lagipula, jika ia betulan ingin menghentikan aktivitas mereka, seharusnya ia mendorong Hitomi sejak tadi 'kan? Nyatanya tidak.

AH BODO AMAT LAH.

Kantong plastik di tangannya terjatuh begitu saja; isinya terburai, tapi siapa peduli? Siapa yang akan peduli jika makanan ringan itu terinjak saat bibir manis Hitomi beradu dengan, bergerak, memagut bibirnya?

Satu sentakan, ganti punggung Hitomi yang mencium tembok. Gadis itu terkikik saat ciuman Chaewon merambat turun, menuju rahang, menuju leher, menuju—

“Chaewon kunci kamar—ASTAGA MATAKU PERLU DISUCIKAN!”

Hitomi mengerang saat tubuh Chaewon merosot begitu saja. Gadis itu lantas berjongkok memeluk lutut, menyembunyikan wajah di sela lengannya.

“Ada yang namanya ketuk pintu sebelum masuk, Nako?”

“MANA AKU TAHU KALIAN BERDUA LAGI ASYIK MASYUK HAH? Omong-omong Chaewon, kunci?”

Chaewon menggeleng pelan. Tanpa mendongakkan kepala, ia berkata, “Ada di Yena, Yena udah di kamar Wonyoung, ke sana aja,” ia berkata dengan suara teredam. Nako menghela napas.

“Oke—INGET, JANGAN DI KASURKU!”

“Berisik banget deh temennya Putri Salju yang itu,” gerutu Hitomi sambil menutup pintu. Kali ini, tangan kanannya bergerak memutar kunci ke arah kiri. Klik. Seringai kecil muncul di wajahnya. Gadis itu berbalik, lantas melangkah menuju Chaewon yang masih berjongkok. Ditariknya pelan dagu gadis itu, seiring dengan tubuhnya yang makin merunduk, menyejajarkan pandangannya dengan gadis itu.

Honey,” ia berbisik pelan. Kedua mata Chaewon melebar, “Nakonya udah pergi,” pelan kedua tangannya bergerak ke arah pundak Chaewon, mendorongnya, memaksa gadis itu untuk duduk. Ia lantas memosisikan diri di pangkuan kekasihnya. Hitomi terkikik melihat Chaewon bergidik saat kedua lengannya bergerak ke arah leher, mengalungkannya di sana.

“Nggak mau lanjut yang tadi, honey?”

“Kalian berdua nih emang ya, jadian ngerepotin satu geng, sekarang pacaran juga minta jemput. Hadeh, dasar anak remaja.”

Nako dan Yuri mendongak begitu sindiran tanpa tedeng aling-aling itu meluncur bebas dari mulut Chaewon. Keduanya terkekeh geli. Di sampingnya, Hitomi menarik kursi, lalu meletakkan tas kecilnya di atas meja.

“Nggak inget apa pacarnya sendiri anak remaja?” ejek Nako. Chaewon hanya mendengus, lalu mengempaskan diri di kursi.

“Ralat, tunanganku,” Chaewon berkata, “Harusnya bentar lagi makanannya datang nih,” ujar gadis itu lagi sambil mengamati suasana restoran. Tidak banyak yang datang kemari di akhir pekan. Meski kebanyakan pengunjung restoran tampak terlihat mengenakan pakaian kasual, baik Yuri dan Nako tahu, harga pakaian yang menempel di tubuh mereka tidak murah.

Meski sedikit merasa salah kostum, Nako dan Yuri tentu tidak akan melewatkan kesempatan untuk mengisi perut gratisan di sini.

“Rapi bener deh Nona Muda,” goda Yuri, “Mau ke mana sih duh pake terusan gitu? Cantik amat,” ia terkekeh menatap Hitomi yang merona.

“Apa sih ah,” Hitomi mengerucutkan bibir, membuat ketiga orang di mejanya terkekeh pelan. Tak lama, hidangan tersaji di depan mereka. Chaewon mengibaskan tangan, menyilakan kedua anak manusia di depannya untuk segera menjamah piring-piring mereka.

“Dah, makan gih, pasti capek habis jalan,” tanpa basa-basi, Yuri dan Nako menggasak potongan-potongan daging di atas piring.

“Emang royal couple nih levelnya beda ya,” ujar Yuri dengan mulut penuh, “Kencan doang di sini.”

“Car anjrit jorok, telan dulu lah kalau mau ngomong—LAH KENAPA KAK CHAE NYEMBUR KAYAK LUMBA-LUMBA SIRKUS?”

Di depan mereka, Hitomi menepuk-nepuk punggung Chaewon yang terbatuk. Tetesan air membasahi bagian depan kemejanya—untung saja warnanya Hitam.

“Sayang, hati-hati,” Hitomi menarik serbet di atas meja, mengelap bagian pakaian Chaewon yang basah, “Tehnya terlalu panas?”

“Ko, tadi kamu panggil Yuri apa Ko?”

“Car?”

“Belum apa-apa udah mau dinaikin.”

“Yang udah ngapa-ngapain sama tunangannya beda emang.”

“KALIAN BERDUA BIKIN MALU TAHU!”


“Kak, aku baru tahu lah bisa semacet ini di sini kalau weekend.”

Chaewon melirik Yuri lewat kaca spion, “Kamu nggak pernah keluar Sabtu atau Minggu gitu Yur?” tangan kanannya tiba-tiba bergerak menekan klakson saat seorang pengendara sepeda motor berusaha menyelinap, “Udah tahu nggak bisa nyelip, maksa, bego dasar,” gerutunya.

“Sayang,” di sebelahnya Hitomi berkata pelan, nada suaranya terdengar tegas. Chaewon menghela napas, tangan kirinya yang menggenggam jemari Hitomi meremasnya pelan, “Maaf.”

Di bangku belakang, Yuri melirik Nako yang juga mengerling ke arahnya. Keduanya mengerjap, seakan paham apa yang ingin mereka katakan.

Suka pada lupa dunia gitu deh.

“Ya kalau keluar Sabtu atau Minggu sering Kak,” ujar Yuri sambil mengalihkan pandangan, menatap kendaraan yang tak bergerak sejak dua puluh menit lalu. Ia bergidik, membayangkan ini yang dihadapi Chaewon dan Hitomi tiap akhir pekan saat mereka berkencan. Ngerepotin, pikir Yuri, Ngapain sih capek-capek macet-macetan padahal bisa diem doang di kamar sambil nonton apa gitu, drama?

“Tapi?”

“Ya maklum lah Kak, aku sama Yuri 'kan manusia sinting yang meski nggak punya duit suka nekat delivery makanan dengan alasan diskon, terus besokannya nggak bisa makan karena duitnya cekak,” Nako menyahut. Dari balik kursi pengemudi, Chaewon terkekeh.

“Jangan sampai habis ini tiap kencan kalian minta modal sama aku ya.”

Yuri mencondongkan tubuh, merapat pada kursi pengemudi. Dengan senyum lebar ia berkata,

“Ih, mau banget sih kalau itu.”

Di sebelah Chaewon, Hitomi mendelik, “Heh, kamu pikir tunanganku ATM berjalan apa?”

“Duile, tunangan,” di sebelah Yuri, Nako ikut merapatkan tubuh ke arah kursi depan, tepat di belakang Hitomi, “Kak Chaewon mau nikah sama aku sama Yuri aja nggak?”

“Nako, aku nggak pernah marah ya kamu bercanda kayak gimana juga, tapi kalau dilanjutin, aku nggak mau temenan lagi sama kamu.”

Ketiga orang lainnya tertawa mendengar celetukan Hitomi. Yuri menarik diri, menyandarkan punggung pada sandaran kursi, “Beb, udah ah, ntar kita kehilangan armada buat kencan.”

Nako ikut memundurkan tubuhnya, diam-diam meraih tangan Yuri di sebelahnya, menggenggamnya pelan, “He eh, nggak asyik 'kan kalau kita kencan mesti panas-panasan kayak tadi.”

Di depan, Chaewon hanya terkekeh pelan. Tangan kirinya menarik tangan Hitomi, mengecupnya, “Hei, lihat sini, jangan cemberut gitu,” ujarnya pelan. Kedua gadis di jok belakang lagi-lagi tertawa melihat ekspresi Hitomi; merengut, mencebik, pipi menggembung.

“Mereka bercanda, aku sayangnya sama kamu. Yang aku kasih cincin tuh kamu. Yang aku temui ayah ibunya tuh kamu. Yang aku pegang sekarang tangannya tuh kamu. Atau mau aku cium juga?”

“YA NGGAK DI DEPAN KAMI JUGA DONG KAK CHAEWON!”

Hitomi menggeliat, meregangkan tubuhnya yang terasa kaku sebab udara dingin menusuk-nusuk tulangnya sejak semalam meski tubuhnya terbungkus selimut tebal. Diliriknya jam di atas nakas, pukul delapan. Akhir pekan selalu menjadi favoritnya. Ia bisa datang ke toko roti miliknya lebih siang, dan ia punya lebih banyak waktu untuk menikmati secangkir teh dan beberapa potong panekuk di dapur.

Ia baru saja akan bangkit dari tempat tidur saat sepasang lengan menahannya, melingkari pinggangnya, dan hangat napas seseorang menyapu lehernya. Ia bergidik.

“Mau ke mana, Schatz?”

Hitomi menoleh, dan wajah Chaewon dengan mata terpejam menjadi hal pertama yang menyapanya.

“Kau tidak mau sarapan? Sudah pukul delapan,” Hitomi berkata sambil mendaratkan sebuah kecupan di kening perempuan itu. Chaewon mengeratkan pelukan, menyembunyikan wajah di ceruk leher Hitomi.

“Memangnya kau mau ke mana hari ini?”

“Toko, tentu saja, ke mana lagi?” Sebelah tangannya kini bergerak memeluk Chaewon. Perempuan itu tersenyum, “Masih nanti siang 'kan? Begini dulu. Jangan ke mana-mana.”

“Kenapa kau selalu jadi manja tiap akhir pekan?” Hitomi mendengus, jemarinya bergerak menyisir rambut perempuan dalam pelukannya, “Apa ada korelasi akhir pekan dan tingkat manjamu?”

“Wanitaku cuma senggang saat akhir pekan, dan aku harus memanfaatkannya dengan baik,” tiba-tiba saja Chaewon telah memerangkapnya. Selimut yang membungkus tubuhnya turun, memperlihatkan pundaknya yang terbuka bebas. Kedua pipi Hitomi memerah.

“Ada yang lebih menarik dari sarapan, omong-omong,” Hitomi bisa merasakan hangat napas Chaewon di lehernya. Tangannya bergerak nakal di balik selimut, “Mau kutunjukkan?”

“Chaewon—”

“Hm?” Perempuan itu berbisik tepat di telinganya, “Atau kau tetap—” kata-katanya terhenti saat sepasang tangan menangkup pipinya, menariknya dalam sebuah panggung di mana merekalah pemeran utama, menari dalam koreografi yang tercipta hanya untuk mereka berdua. Bersama mereka menaiki puncak gunung tertinggi, menyelami palung terdalam, lalu kembali dalam peluk masing-masing.

“Sepuluh tahun bersamamu dan aku masih tak mengerti kenapa kau senang sekali mempermainkanku, bahkan saat jarak kita tak hanya sehasta.”

Chaewon terkekeh, menatap perempuan yang terbaring pasrah di bawahnya.

“Kau selalu jadi yang paling dekat, melekat dalam setiap inci tubuhku.”

“Kalau begitu, biarkan aku juga begitu,” Chaewon menatap Hitomi tak mengerti.

“Biarkan dirimu melekat dalam setiap inci tubuhku; jadi yang paling dekat meski jarak di antara kita tak hanya sehasta.”

Hitomi menggeret kopernya perlahan melewati pintu kaca yang membuka begitu ia mendekat. Banyak wajah-wajah asing di belakang pembatas yang memasang wajah serupa; wajah merindu menunggu mereka yang hari ini kembali ke pelukan.

Hitomi menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari sosok yang tiga minggu lalu tanpa sepengetahuannya terbang menghampirinya. Matanya menyipit, berusaha menajamkan pandangan saat seseorang berdiri di sampingnya, dan wangi mint serta limau menyapa indera penciumannya.

“Selamat datang, Schatz.”

Hitomi menoleh, mendapati Chaewon yang tersenyum tipis di sampingngya. Koper terlupakan begitu saja. Cepat ia melemparkan tubuh ke arah gadis itu, kedua lengan terkalung di leher Chaewon.

“Aku pulang,” ia mencium pipi Chaewon sekilas, “Aku pulang, Schnucki.”

“Mm-hmm,” gadis itu bergumam, “Kau benar-benar pulang.”


Suara lagu yang diputar lewat radio menjadi satu-satunya suara yang mengisi keheningan dalam mobil. Hitomi menyandarkan kepalanya pada jendela, sementara Chaewon fokus memandang jalanan di depannya. Sesekali ia melirik Hitomi yang terlihat berusaha keras menahan kantuk. Tanpa sadar, jempol Chaewon mengelus cincin yang tersemat cantik di jari manis Hitomi. Ia tersenyum kecil.

“Seseorang sedang berbunga-bunga karena cincin di jari manisku,” Chaewon menoleh, mendapati Hitomi yang tersenyum menatapnya. Chaewon mendengus, namun sudut-sudut bibirnya terangkat.

“Aku senang karena kau pulang, dan kali ini, kau benar-benar pulang padaku.”

“Masih ada satu tahun, Chaewon,” Hitomi berkata. Genggaman tangannya pada Chaewon mengerat, “Kau harus bersabar sedikit lagi.”

Chaewon hanya mengangkat bahu, “Cuma satu tahun, Schatz. Tidak masalah. Omong-omong, tidurlah. Jangan memaksakan diri untuk terjaga hanya karena kau tidak enak padaku. Tidur,” tanpa menoleh, ia menarik genggaman tangan mereka, mengecupnya sekilas, dan ia tahu Hitomi tengah tersenyum menatapnya.

“Mm. Jika kau memaksa,” tak lama, gadis itu memejam, membiarkan kantuk menguasainya, membawanya ke alam mimpi. Chaewon tersenyum kecil.

Dia adalah segala yang kuinginkan dalam hidup. Jika dia di sisiku, semua akan baik-baik saja.


“Chaewon, apa kabar Sayang?”

Peluk dan cium menyambutnya kala mereka menginjakkan kaki di kediaman keluarga Honda. Chaewon tersenyum, balas memeluk wanita itu, “Aku baik, Bu. Ibu apa kabar?”

“Tentu saja sehat,” wanita itu lalu melepaskan pelukannya, membiarkan matanya memindai Chaewon dari ujung kepala hingga ujung kaki, “Kau tetap cantik seperti biasanya.”

“Ibu juga,” ujarnya, kemudian ikut melangkah masuk. Sang ayah tengah duduk di meja makan dengan koran terbentang di depannya. Begitu Chaewon dan Hitomi mendekat, koran itu tergeletak begitu saja di atas meja.

“Ah, putriku,” ia bangkit, menarik Hitomi ke dalam pelukan, “Hai, Yah, aku pulang,” ia berujar pelan.

“Akhirnya,” laki-laki itu terkekeh, lalu melepaskan pelukan, “Dan putriku yang lain,” ia menarik Chaewon ke dalam pelukan, “Apa kabar, Nak?”

“Baik, Yah. Ayah apa kabar?”

“Baik dan bahagia karena kalian di sini,” laki-laki itu tersenyum, “Hitomi, mau Ayah bantu...?”

“Tidak usah,” Hitomi menggeleng, “Aku ke kamar dulu. Ayah dan Chaewon—”

“Kami sudah akrab, tenang saja,” gelegar tawa ayahnya terdengar, “Naiklah.”

Lalu tanpa basa-basi, Hitomi naik menuju kamarnya, sesekali melirik Chaewon yang mendengus geli menatapnya, lalu berbalik, membiarkan gadis itu melihat punggungnya saja.


“Ayah, ada yang ingin kukatakan.”

Hitomi menghentikan obrolan ayah dan ibunya soal makanan penutup yang terhidang. Ayahnya mengerjap. Di sebelahnya, Chaewon bergerak meremas jemarinya yang terasa dingin.

“Ah, oke,” ayahnya berdehem, “Apa itu?”

“Aku dan Chaewon—memutuskan untuk menikah,” Hitomi perlahan mengangkat tangan kirinya, menunjukkan cincin yang tersemat di jari manisnya, “Aku tahu aku masih punya satu tahun untuk menyelesaikan studiku—aku tidak akan melupakan cita-citaku sama sekali. Tapi Chaewon bersedia menunggu. Jadi—mungkin, tahun depan, kami—”

“Kalian sudah dewasa,” sang ibu tiba-tiba mendesah, menarik tangan Hitomi yang menggantung di udara, menggenggamnya erat dengan kedua tangan, “Dan kalian lah yang lebih paham tentang hubungan kalian.”

“Kalian bahagia?” ayahnya tiba-tiba berkata, “Apa selama ini Chaewon selalu membuatmu bahagia?”

“Ya—tunggu,” Hitomi tiba-tiba berhenti, “Aku tahu Ayah dan Ibu tidak akan keberatan jika aku menikah dengan Chaewon, lagipula, usia kami memang sudah cukup. Chaewon sudah bekerja, dan studiku ini adalah studi keduaku, kami sudah mapan. Tapi—” Hitomi memandang ketiganya dengan curiga, “Reaksi Ayah dan Ibu terlalu tenang.”

Ibunya memandang ke arah Chaewon dengan sebelah alis terangkat. Ayahnya hanya mengedikkan bahu. Tatapan tajamnya kini terarah pada Chaewon yang memandangnya dengan cengiran kaku.

“Um, orangtuamu sudah tahu.”

Hitomi memandangnya datar, “Jadi semua orang tahu kau akan pergi menemuiku, lalu semua orang tahu bahwa kau akan memberiku benda ini,” Hitomi menunjuk cincinnya, “Dan semua orang tahu bahwa kita akan menikah tahun depan?”

“Err, kejutan?”

“Aku benci kalian semua,” Hitomi mengerang, dan sontak satu ruangan tertawa.

“Nah,” ayah dan ibunya lalu bangkit, “Bicaralah, kalian berdua. Ayah dan Ibu tidak sanggup terjaga lama-lama di malam hari,” setelah keduanya meghilang di balik pintu kamar, Hitomi menatap Chaewon tajam.

“Schnucki—”

Sebuah kecupan membungkamnya.

“Jadi, tunanganku?”

Hitomi rasanya ingin menyandera gadis itu di kamarnya semalaman.

Bandara sore ini terlihat lengang, namun Chaewon menyukainya.

Ia bisa duduk dengan santai, menikmati kopinya dengan santai tanpa harus merasa bahwa seseorang mengamatinya lamat-lamat. Ia baru saja akan menyeruput kopinya saat ponselnya berdering. Ia tersenyum kecil, menggeser tombol hijau dan menempelkan ponsel di telinga.

“Hai, Schatz,” ujarnya dengan senyum kecil tersungging di bibir

“Hai? Kau bilang hai?! Cepat jelaskan!”

Chaewon terkekeh mendengar suara panik Hitomi dari ujung sambungan telepon. Ia menggoyangkan gelas kopi di tangannya, membiarkan aromanya menyeruak sebelum menenggaknya pelan.

“Schnucki?”

“Oh,” Chaewon terhenti saat kopinya membasahi kerongkongan, “Maaf. Aku takut kopiku dingin.”

“Schnucki, ini sudah sore di sana, kenapa kau masih minum kopi?”

“Supaya bisa bicara denganmu dalam keadaan sadar,” ia terkekeh, “Oke, jadi, kotak jamur.”

Tak ada suara dari ujung sambungan telepon yang lain. Sepertinya, Hitomi memang menunggu gadis itu untuk bicara. Ini saatnya, pikir Chaewon. Ia menghela napas, lalu berujar

“Kau tidak salah lihat, Schatz,” ia berkata, “Kotak jamur itu berisi cincin, untukmu,” ia menunduk, menatap ujung-ujung sepatunya. Hitomi masih saja berdiam diri, dan Chaewon mulai ragu bahwa keputusannya ini salah, bahwa ia terlalu terburu-buru, bahwa mungkin Hitomi tidak mau, bahwa mungkin—

“Kenapa?” lembut suara gadis itu berkata. Chaewon menarik napas dalam sebelum menjawab

“Karena aku tidak bisa membayangkan jika bukan kau yang mengenakan cincin itu.”

Lagi-lagi mereka terdiam. Dari kejauhan, ia bisa melihat perempuan dengan mantel cokelat dan rambut sebahu berjalan ke arahnya sambil menenteng kunci mobil. Eunbi, pikirnya.

“Karena aku selalu berharap untuk pergi tidur dan merasakan hadirmu dalam pelukanku, untuk kemudian terbangun di pagi hari dengan kedua matamu menatapku. Lalu kita akan menghabiskan hari bersama. Aku akan pergi mengantarmu ke toko roti milikmu, lalu aku akan pergi bertemu dengan penulis, lalu—”

“Kenapa?” lagi-lagi gadis itu bertanya, “Kenapa sekarang, Chaewon?”

“Kalau kau merasa aku terlalu buru-buru, tidak masalah, mungkin kita bisa menundanya, mungkin—”

“Bukan itu,” pelan sekali gadis itu berkata, “Bukan itu, Schnucki,” dan meski kedua alisnya bertaut, Chaewon sama sekali tak berkata apa-apa. Ia tahu ada sesuatu yang ingin dikatakan kekasihnya.

“Kau tahu masa studiku baru akan selesai tahun depan, Chaewon,” gadis itu berujar, dan ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat Chaewon mencelos—pilu yang samar mengudara, “Kau harus menunggu satu tahun lagi hingga kita bisa bertemu. Kita tak pernah tahu apa yang bisa terjadi dalam satu tahun. Kau mungkin bosan denganku, kau mungkin bosan dengan jarak kita, kau mungkin—”

“Akankah kau begitu?” Chaewon tercekat, menyadari suaranya mendadak sengau. Eunbi yang telah berdiri di depannya menatapnya dengan pandangan heran—sebab ia yakin, matanya kini berkaca-kaca, “Akankah kau bosan denganku? Bosan dengan jarak kita? Atau kau mungkin ingin mencari yang lain?”

Eunbi duduk di sebelahnya tanpa kata, lalu menggamit jemarinya. Chaewon tersenyum kecil, melempar ungkapan terima kasih tanpa suara. Di seberang sana, ia bisa mendengar Hitomi menghela napas.

“Ini tahun keenam kita, Schnucki,” gadis itu berujar lembut, “Dan aku masih saja berdebar tiap berada di pelukanmu, tiap kau menatapku lekat-lekat, dan tiap kau menggamit lenganku dan berkata kalau aku satu-satunya.”

Chaewon terdiam, merasakan sesuatu mengganjal tenggorokannya, dan kupu-kupu menyeruak, memenuhi perutnya, meninggalkan perasaan-perasaan menyenangkan sekaligus tidak menyenangkan, memaksanya untuk memahami bahwa gadis ini, gadis di ujung sambungan telepon ini, adalah ia yang selalu menjadi kesayangannya; seseorang yang ia harap sudi menghabiskan waktu seumur hidup dengannya.

“Kau mau menungguku, Kim Chaewon?”

Dan Chaewon tersenyum, semakin lebar saat ia berkata, “Aku hanya perlu menunggu satu tahun. Aku selalu menunggumu dari tahun ke tahun. Dua tahun ini, aku selalu menunggumu. Menunggu waktu bunga bermekaran untuk bertemu denganmu yang lebih cantik dari bunga. Lalu, perasaanku mekar juga. Lebih besar dan lebih megah.

“Menunggu satu tahun lagi bukan masalah, Hitomi. Sebab kita punya seumur hidup untuk dihabiskan bersama.”

Di sebelahnya, Eunbi melepaskan tautan jemari mereka, menirukan ekspresi orang muntah tanpa suara, dan Chaewon terkekeh pelan. Eunbi memutar bola mata, lalu menunjuk jari manisnya. Chaewon mengangguk.

“Honda Hitomi, kesayanganku, yang selalu menemaniku meski selamat pagiku adalah selamat malammu, dan senjaku adalah fajarmu, maukah kau menemaniku sepanjang sisa umurku?”

“Yeon, bangun buruan, mobil Kak Johnny di depan, jangan sampai ngana nggak ada di bawah pas mereka masuk.”

Mendengar nama itu disebut, sontak kedua mata gadis itu terbuka. Ia melompat dari tempat tidur—namun namanya juga orang baru bangun tidur, gadis itu kehilangan keseimbangan dan hampir jatuh terjerembap jika Hyewon tidak gesit menahannya.

“Buru-buru amat jir,” ujar gadis itu setelah Chaeyeon kembali menemukan pijakannya.

“Kapan sampai Hyew?” ia menggeliat, tangan kanannya mengucek mata, “Udah turun belum merekanya?”

“Sejam yang lalu, ngana tidur lama amat,” ia terkekeh, “Belum, kata Wonyoung mereka ngabarin udah di depan tuh ya masih agak jauh, tapi dua tiga menit lagi sampai,” tak lama, suara klakson mobil terdengar, “Nah. Yuk.”

Kedua gadis itu turun meniti tangga dengan hati-hati, menatap satu per satu wajah teman-teman mereka yang melempar pandangan geli, “Kenape lo semua hah?”

“Lucu aja Kak Chaeyeon bangun tidur,” Minju terkikik, “Muka bantal banget.”

Chaeyeon mendengus geli, lalu menyapa Ningning yang asyik mengobrol dengan Yujin, “Ning, tadi sama Yena 'kan ya? Maaf kelupaan ngabarin kalau lo berangkat sama Yena.”

Ningning mengibaskan tangannya, “Santai aja Kak, tadinya malah kalau nggak bareng Kak Yena, ya aku bawa mobil sendiri aja.”

“Udah gila, ini yang lo bilang villa kecil, Wonyoung?” Suara Johnny tiba-tiba menggelegar dari arah pintu

Dalam cerita Kabinet Pom Bensin


“Bisa-bisanya lo semua lupa Ningning ikut,” Chaeyeon menggeleng setelah menerima telepon dari Yena. Empat Sekawan—atau meminjam istilah Yujin, Geng Risol Danusan—tampak rikuh di bawah tatapan tajam Chaeyeon.

“Kak Chae juga harusnya mastiin dong anggotanya ada berapa,” Yuri bergumam, bibirnya mencebik. Di sebelahnya Nako menyikut, “Udah sih diem aja.”

“Udah sama Yena, tenang aja, Adik-adik,” dari atas sofa di ujung ruangan, Chaewon terkekeh. Tangan kirinya memeluk semangkuk besar berondong jagung. Jangan tanya siapa yang repot-repot menyediakannya.

Saat menginjakkan kaki mereka di sini, mereka terperangah menatap bangunan besar dengan halaman luas yang disebut Wonyoung sebagai villa kecilnya Mami untuk healing.

Jika kecil berarti sebuah villa dengan lima kamar, satu studio, halaman yang cukup menampung hingga empat mobil, dan dua buah kolam renang di halaman belakang adalah kecil, mereka tak sanggup membayangkan sebesar apa rumah Wonyoung, yang menurut gadis itu hanya rumah sederhana.

“Kak Chaewon, kalau habis ambil lagi aja, di dapur banyak,” ujar Wonyoung sembari mengempaskan diri di sebelah gadis itu. Chaewon mengangguk, lantas melanjutkan aktivitasnya, “Kak Johnny, Kak Joy, Kak Wendy sama Kak Kun udah di mana Chaeyeon?”

“Kayaknya mereka nyampe agak sorean, jam 2 mungkin? Weekend gini 'kan Kak Johnny suka nemenin orang kondangan,” ujar Chaeyeon sambil terkekeh.

“Ya udah, mau main dulu nggak Kak?” ujar Yujin dari arah dapur. Tangan kanannya memegang botol bening kecil, sementara tangan kirinya memeluk semangkuk penuh keripik jagung dan krim asam.

“Halah, bilang aja mau modus sama Kak Minju,” cibir Wonyoung. Gadis yang disebut namanya itu baru saja keluar toilet, memandang bingung teman-temannya yang melempar cengiran jahil padanya, “Pada kenapa? Ada kotoran di mukaku?”

“Adanya kecantikan hakiki, Sayang,” ujar Yuri sambil merangkul gadis itu, tak lupa mendaratkan ciuman basah di pipinya. Minju berjengit, “Jijik!”

“Udah, istirahat lo semua, sekalian cek timeline masing-masing noh. Biar ntar kalau udah pada datang semua, enak diskusinya. Wonyoung, aku ke kamar ya, mau tidur dulu,” tanpa menoleh lagi, Chaeyeon melangkah menuju salah satu kamar di lantai dua. Suara pintu tertutup terdengar, lalu gadis itu tak bersuara lagi.

Yuri, Minju, Nako, dan Yujin berjalan ke halaman belakang, meninggalkan Chaewon, Hitomi, dan Wonyoung di ruang tengah. Mendadak, Wonyoung berdiri. Chaewon mengerjap.

“Mau ke mana, Wonyo?”

“Ke belakang,” gadis itu merapikan kaosnya yang kusut, “Mending ikut sama kakak-kakak yang lain. Di sini saya nanti jadi nyamuk, Kak,” sejurus kemudian gadis itu melangkah menyusul Yuri dan yang lain, meninggalkan Chaewon dan Hitomi yang saling bertatapan.

“Ya udah,” Hitomi tertawa geli, lalu mengempaskan tubuh di sebelah Chaewon. Sebelah tangan merangkul lengan gadis itu, kepala bersandar di bahunya, “Pacaran aja sekalian di sini, sesuai kata Wonyoung.”

“Ada timeline yang harus ditelaah, Yang.”

Hitomi mengerang.

“Tapi kalau masih lemes ya udah, tidur aja. Tapi ya aku tinggal ke belakang, mau main aja sama Yujin”

Erangan Hitomi berubah menjadi pekik kesakitan Chaewon—kekerasan dalam hubungan.

“Beri aku alasan kenapa kau senang sekali menyiksaku dengan perpisahan sementara.”

Chaewon yang sedang sibuk dengan paspornya mendongak, “Ya?”

“Tidak,” Hitomi menghela napas. Di sekitar mereka, orang-orang sibuk lalu-lalang menggeret koper, mengecek arloji, bahkan setengah berlari sambil memastikan tiket mereka tak terbang dibawa angin.

Chaewon tersenyum kecil, lalu dengan satu tarikan, ia merengkuh tubuh mungil gadis itu dalam pelukannya, “Kau sendiri yang bilang kita akan bertemu lagi dalam tiga minggu.”

“Schnucki, kau tidak bisa di sini saja denganku?” Hitomi berkata dengan suara teredam. Perlahan tangannya naik, memeluk gadis itu sama eratnya, “Ck, lupakan, bicaraku mulai melantur begini,” ia bisa merasakan Chaewon menepuk-nepuk pelan puncak kepalanya, lalu hangat napasnya menyapu pelipisnya—Hitomi memejam saat gadis itu mendaratkan sebuah kecupan singkat.

“Kita akan segera bertemu lagi 'kan?” Bisik Chaewon pelan seraya melonggarkan pelukannya pada Hitomi yang enggan melepaskan pelukan. Ia mendongak, melirik papan informasi penerbangan, lalu mengecek arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, “Aku akan menunggumu pulang,” ujarnya sambil tersenyum, menatap Hitomi yang balas memandangnya dengan pandangan merajuk.

“Inilah kenapa aku benci bandara,” gadis itu menggembungkan pipi, namun perlahan kedua lengannya jatuh, kembali ke kedua sisi tubuhnya, membiarkan Chaewon berdiri satu lengan darinya.

“Bandara juga tempatmu pulang, Schatz,” Chaewon tersenyum kecil, “Aku akan menjemputmu di bandara tiga minggu lagi,” Chaewon lantas menarik pegangan koper miliknya, “Aku—harus masuk sekarang.”

Ich hab' dich sehr lieb, Schnucki,” *sekali lagi Hitomi bergerak ke arah Chaewon, menangkup kedua pipinya lalu menyatukan bibir mereka. Chaewon memejam, memagut bibir gadis itu sebelum akhirnya menarik diri.

Hab' dich auch so lieb, Schatz.” *ia berkata pelan, “Sampai ketemu tiga minggu lagi.”

Hingga punggung Chaewon hilang di balik kerumunan para penumpang lain, Hitomi tak beranjak dari tempatnya berdiri. Ia menghela napas.

“Aku benar-benar benci bandara,” gerutunya, lalu melangkah keluar, berusaha mencegat taksi untuk kembali ke asrama—sebab ia sedang tak sanggup berdesak-desakan dalam gerbong kereta atau bus. Ia ingin sendiri setelah melepas Chaewon pulang.

“Oh, ayolah,” ia mengerang, “Cuma tiga minggu, Hitomi,” gadis itu bersungut-sungut. Digenggamnya tali tas kecil yang tersampir di pundaknya, sebelum kakinya melangkah masuk ke dalam taksi yang akan membawanya pulang—serta perasaan berat saat ia melihat punggung gadis itu yang menjauh.


“Baiklah,” Hitomi mengunci kamarnya dari dalam, menghirup dalam-dalam udara kamar yang tak ia tinggali selama tiga hari ke belakang, “Aku harus memesan tiket kereta untuk besok. Naik bus terlalu lama,” gumamnya. Ia lantas melepas tas yang tersampir di punggungnya saat dahinya berkerut.

“Eh?” tangan kanannya naik turun, seolah menimbang sesuatu, “Memangnya tadi aku bawa banyak barang?” gadis itu lalu duduk di tepian tempat tidur, memeriksa isi tasnya. Dompet. Ponsel. Jamur—

“Jamur?” ia mengernyit, menatap benda-entah-apa-itu berbentuk jamur yang selalu ia lihat dalam film-film kartun; merah, dengan totol-totol berwarna putih. Dielusnya pelan benda itu, lalu diangkatnya mendekati wajah. Matanya menelisik benda itu. Halus, pikir Hitomi, Ini beludru?

Saat ia membalik benda itu, ia melihat engsel di bagian belakangnya. Buru-buru ditariknya tutup jamur berwarna merah itu. Matanya membulat menatap benda berkilauan di tengah-tengah kotak berwarna putih itu.

Buru-buru ia meraih ponsel yang ia letakkan di sebelahnya. Ia mendengus seraya menggelengkan kepala.

Dia apa-apaan sih.


*Sebuah ungkapan yang memiliki arti kurang lebih sama dengan 'I love you'

“Jadi, ke mana kita di tengah cuaca dingin begini?”

Hitomi menoleh, menatap Chaewon yang merapatkan mantel putihnya. Gadis itu berkali-kali menggosokkan tangan, menatap uap tipis yang segera dikikis angin. Hitomi menatapnya keheranan dengan seulas senyum tipis di bibir.

“Dingin?”

Chaewon mengangguk. Hitomi lantas meraih jemari gadis itu, mengisi celah di antara jemari Chaewon, lalu menarik tangan mereka yang bertaut ke dalam saku mantelnya. Chaewon memandangnya dengan sebelah alis terangkat.

“Kau bilang tadi kau kedinginan?” Gadis itu terkekeh menatap Chaewon yang hanya bisa menggeleng pelan sambil mendengus geli.

“Ada satu kios kecil di ujung jalan yang menyediakan kursi untuk pelanggannya. Kuharap kau tidak keberatan makan Döner untuk sarapan?” Hitomi sedikit mendongak menatap Chaewon yang berjalan di sampingnya. Chaewon menggeleng.

“Tidak masalah,” pendek gadis itu berujar, “Apapun yang kau mau, apapun yang kau rekomendasikan, sekalipun itu rebusan air sabun, akan tetap kutenggak.”

Hitomi mendengus, “Dan kau masih punya keberanian untuk memuntahkan gnocchi jamur buatanku setelah bilang begitu?”

“Hitomi, aku mencintaimu, tapi itu tidak membuatku bisa menelan benda kecokelatan itu.”

“Oh, jangan sekali-kali kau mencekokiku dengan minuman dan es krim pasta gigi.”

“Hei!” Chaewon menoleh, dahinya berkerut, “Dia rasa yang betulan ada, bukan pasta gigi. Lagipula, aku tidak pernah mengomentari seleramu,” ia mencebik.

Hitomi menghela napas melihat gadis itu berhenti berjalan di sampingnya. Ia lalu berjinjit, mendaratkan sebuah ciuman di pipi gadis itu, “Berhenti merengut. Kau tampak lebih tua dari usiamu kalau merengut begitu.”

Lagi-lagi Chaewon mendengus, namun sudut-sudut bibirnya tertarik ke atas, “Oke, jadi di mana kios yang kau sebut-sebut tadi?”


“Biasanya aku tidak minum teh, tapi teh ini pengecualian,” ujar Chaewon setelah menyesap teh yang masih mengepulkan uap dalam cangkirnya. Di depannya Hitomi tersenyum kecil sambil mengunyah Döner yang mereka pesan.

“Si pemilik toko meraciknya sendiri. Tempo hari dia menceritakan perjuangannya mendirikan kios ini dan meracik teh,” jawab Hitomi. Chaewon tersenyum, lantas mulai menggigiti ujung-ujung Döner miliknya.

“Kau juga akrab dengan si pemilik toko?”

Kios yang dimaksud Hitomi adalah sebuah ruangan sepetak yang hanya diisi dua meja dengan masing-masing dua kursi yang diletakkan berhadap. Kebanyakan pelanggan kios ini sepertinya lebih memilih untuk membawa pulang pesanan mereka, dilihat dari panjangnya antrean. Bahkan dari tempat mereka duduk pun, Chaewon masih bisa melihat si pemilik toko terus menerus memotong daging kebab.

Namun, Chaewon bersyukur. Sebab jarak meja mereka dengan meja yang satu terlalu dekat, dan kalau boleh jujur, Chaewon memang ingin berdua saja dengan gadis itu, tanpa khawatir orang lain mencuri dengar percakapan mereka.

“Lumayan,” Hitomi mengangkat bahu, “Oh ya, Schnucki, kapan kau pulang?”

Kunyahan Chaewon melambat. Bibirnya mengerucut, dahinya berkerut, “Lusa. Minggu malam. Kenapa?”

Hitomi menggeleng pelan, “Coba kaubilang padaku bahwa kau akan mengunjungiku di sini. Mungkin aku bisa mengubah jadwal kepulanganku.”

Chaewon tertawa, “Kalau begitu, ini tidak akan jadi kejutan, bukan?”

Hitomi mengerjap, lantas tertawa, “Benar juga. Tapi dalam rangka apa kau kemari? Jangan salah paham,” Hitomi buru-buru menambahkan, “Aku senang kau mau bersusah payah untuk menghampiriku, padahal kau bisa menunggu satu bulan lagi. Tapi ini terasa—aneh.”

Kedua bahu Chaewon terangkat. Tangannya kembali meraih Döner miliknya yang sempat ia letakkan di atas meja, “Aku tidak boleh bertingkah impulsif karena merindukanmu?”

Hitomi memutar kedua bola matanya jengkel. Ia tahu jelas bahwa gadis itu tengah menyembunyikan sesuatu—dan Hitomi tak bisa menerka apa itu. Satu hal yang ia tahu pasti; Chaewon bukanlah gadis yang akan dengan tiba-tiba terbang menghampirinya tanpa persiapan. Kekasihnya terlalu rapi untuk terbang dengan alasan sederhana seperti merindukan dirinya.

Apapun itu, Hitomi berharap Chaewon tidak sedang merencanakan hal-hal aneh.

Denting ponsel Chaewon yang tak henti dari tadi membangunkan Hitomi dari tidurnya. Ia mengernyit, mengerjap, menggeliat pelan sebab kedua lengan Chaewon melingkari pinggangnya. Dengan mata setengah memejam, ia memandangi wajah kekasihnya itu.

Semuanya terasa seperti mimpi.

Chaewon yang berdiri di depan asramanya di tengah musim dingin, tepat saat ujiannya berakhir. Mungkin ia memang harus sering-sering mengucapkan keinginannya yang baik, sebab Semesta sudah begitu baik mewujudkan keinginan sambil lalunya tempo hari.

Kini ia percaya, ketika ia menginginkan sesuatu, maka seluruh Semesta akan berkonspirasi untuk membantunya mewujudkan keinginannya itu.*

“Morgen, Schatz,” rantai pikirannya terputus saat halus suara Chaewon menyapanya. Gadis itu tersenyum kecil, dengan kedua mata terpejam. Pelukannya di pinggang Hitomi mengerat.

“Pagi, Schnucki,” Hitomi tersenyum kecil saat Chaewon mengubah posisi tidurnya. Gadis itu bergerak mendekat—yang sesungguhnya jarak di antara mereka sudah sedemikian dekat—menyembunyikan wajahnya di antara ceruk leher Hitomi, membuat gadis itu terkesiap.

“Kau mau ke mana?” suaranya teredam dan serak. Sebelah tangan Hitomi berangsur naik, menyisir helai rambut gadis itu.

“Ponselmu berdenting dari tadi,” ujarnya pelan, “Lagipula, ini sudah hampir pukul sepuluh. Kau tidak mau bangun?”

“Sebentar lagi,” balas gadis itu dengan suara khas orang mengantuk, “Kita tidur terlalu pagi tadi.”

“Dan itu semua salahmu, kalau kau lupa,” Hitomi mendengus, meski kini pipinya menghangat—syukurlah Chaewon masih memejam. Ia melirik tubuh mereka yang hanya terbalut sehelai kain yang cukup untuk menghalau dingin.

Chaewon selalu tahu bagaimana menunjukkan rasa sayangnya pada Hitomi.

Puisi-puisi pendek yang kadangkala ia kirimkan melalui pos (dan Hitomi tahu Chaewon pasti merepotkan dirinya sendiri dengan berjalan kaki ke kantor pos terdekat setelah berusaha menulis dengan rapi), mencarikannya toko roti yang menjual roti bebas gluten, memeluknya tiap kali gadis itu kedinginan, memujinya untuk hal-hal kecil yang Hitomi lakukan, atau seperti malam tadi, saat gadis itu membisikkan kata-kata cinta di telinganya, memuja tubuhnya, membawanya terbang menuju angkasa—

Di pelukannya, Chaewon terkekeh pelan, namun masih tak mau melepaskan pelukannya, “Kau harusnya kasihan padaku. Selama ini aku tidur memeluk bantal.”

Hitomi tertawa kecil menanggapi ucapan setengah sadar kekasihnya itu. Dengan sebuah kecupan di kening—dan banyak protes tak jelas dari Chaewon, akhirnya ia bangkit dan melepaskan diri dari pelukan gadis itu.

“Berjanjilah kau akan segera kembali ke pelukanku setelah kau mandi.”

“Bukankah lebih baik kau mandi sekarang bersamaku?”

“Jangan memancingku, Hitoma.”

Lagi-lagi Hitomi hanya tertawa. Ia meraih asal kaos yang tergeletak begitu saja di kaki tempat tidur, mengenakannya, lalu sekali lagi melirik gadis yang tengah tidur tengkurap di belakangnya. Hitomi menunduk, sekali lagi mengecup kening gadis itu sambil mengelus pelan pipinya.

“Baiklah, satu jam lagi aku akan membangunkanmu. Kau boleh tidur memeluk bantal yang sudah bercampur dengan wangi tubuhku.”

Chaewon bergumam tak jelas, namun tangannya terulur meraih bantal Hitomi. Sekali lagi, ponselnya berdenting.

“Ada pesan dari Eunbi,” Hitomi berkata setelah melongokkan kepala ke arah ponsel kekasihnya, “Sepertinya dia membutuhkanmu.”

“Percayalah, dia cuma mau menggodaku saja,” gerutu Chaewon pelan, “Buka saja pesannya. Kau boleh membalasnya, kalau kau mau,” dan sekali lagi, gadis itu pergi ke alam mimpi.

Hitomi menggeleng pelan, lalu tangannya bergerak meraih ponsel Chaewon, menatap nanar rentetan pesan dari Eunbi.

Sepertinya kami harus berhenti menunjukkan kasih sayang di depan kelompok kecil kami.


*Disadur dari kutipan terkenal Paulo Coelho dalam bukunya yang berjudul The Alchemist