Lima: Cyclamen di Musim Dingin
Kau debur ombak yang berlari ke arahku, membawa debar dan menyelinap di antara celah-celah jemariku, mengisi ruang-ruang yang tak pernah kusangka ada—atau barangkali, kita hanya terbiasa merindu hingga tak sadar bahwa kekosongan kian menyiksa.
Chaewon tengah berbaring di atas tempat tidur di kamar yang ia sewa sambil mengutuki teman sesama editornya saat sepasang lengan menarik tangannya, menjauhkannya dari wajah, meletakkan ponselnya jauh-jauh—lalu sesuatu yang berat menindihnya.
“Schatz,” gadis itu berkata sambil melirik ponselnya, “Boleh kubalas beberapa pesan dari rekanku dulu?”
Hitomi menggeleng sambil mencebik. Gadis itu membiarkan Chaewon menyangga beban tubuhnya sepenuhnya—menjatuhkan tubuh sepenuhnya di atas tubuh Chaewon. Jemarinya perlahan berlarian ke arah wajahnya, membelainya pelan, seakan-akan ia tengah menyentuh porselen paling rapuh di dunia.
“Pacarmu itu aku,” ujar gadis itu sambil menatap Chaewon lekat-lekat, “Kau sudah jauh-jauh terbang kemari, tanpa memberitahuku, jadi harusnya seluruh waktumu untukku, bukan?”
Chaewon tertawa kecil, “Jika kau pulang saat musim semi, kau tidak pernah semanja ini.”
“Entahlah, tapi belakangan rasanya rinduku terlalu besar. Rindu ternyata memang berat,” gadis itu melenguh, memecahkan tawa Chaewon. Hitomi menatapnya dengan pandangan merajuk.
“Apa? Kau tidak rindu padaku hah?” Gadis itu sudah siap beranjak dari posisinya saat lengan Chaewon menahannya. Gadis itu kemudian menaikkan bantal, membuatnya setengah berbaring, menahan Hitomi dekat sekali hingga Hitomi bisa mendengar degup jantung gadis itu yang bergemuruh.
“Aku tidak akan terbang kemari di tengah tumpukan deadline jika aku tidak merindukanmu, Schatz,” ia tersenyum—lembut, “Aku hanya sedikit terkejut. Kau tidak biasanya tiba-tiba menindihku begini.”
Ada rona kemerahan di pipi Hitomi saat Chaewon dengan gamblang mengucapkan kalimat terakhirnya. Gadis itu bergerak maju, menyembunyikan wajah di ceruk leher Chaewon, membuat gadis itu keheranan.
“Schatz?” jemarinya bergerak menyisiri helai-helai rambut kekasihnya.
“Schnucki,” ucap Hitomi teredam, “Kau benar-benar di sini 'kan? Aku tidak bermimpi?”
Jemari Chaewon bergerak menangkup kedua pipi Hitomi, halus menarik gadis itu dari ceruk lehernya, membiarkan pandangan mereka beradu.
“Pipi tembammu hilang,” Chaewon berkata pelan, “Kau makan dengan benar?”
“Aku merindukanmu sampai tak berselera makan.”
Chaewon mendengus, memikirkan kalimat-kalimat balasan saat sepasang bibir beradu dengan bibirnya, memagutnya pelan. Gadis itu perlahan memejamkan mata, membiarkan Hitomi membawanya ke manapun ia mau—palung terdalam, langit tertinggi, pulau terjauh, untuk kembali membawanya sedekat nadi. Saat gadis itu menarik diri, Chaewon masih bisa merasakan hangat napas gadis itu menyapu bibirnya, sebab gadis itu tetap menjaga jarak di antara mereka sebuku jari,
“Aku merindukanmu,” lalu kening beradu dengan kening, “Aku merindukanmu hingga aku takut ini hanya mimpi pasca ujianku, namun jika iya, aku berharap aku tak perlu terbangun, Chaewon.”
Sebuah kecupan mendarat di bibir Hitomi, “Kau harus bangun, Schatz,” senyumnya kembali mengembang, “Kau takkan menemukanku dalam mimpimu. Aku ada di sini, di depanmu, tersenyum padamu. Aku bagian dari kenyataanmu.”
Chaewon membawa tubuh mereka ke samping, membiarkan mereka berbaring berhadapan. Lengannya di pinggang Hitomi, dan jemari Hitomi menyapu pipinya, “Kau makan dengan benar?”
“Pacarku cerewet sekali soal jam makanku, bagaimana aku tidak bisa makan dengan benar?” Chaewon terkekeh, membuat Hitomi mendengus geli.
“Sogokan apa lagi yang kauberikan pada Eunbi sampai kau bisa terbang ke sini?”
“Hm,” Chaewon mengerucutkan bibir, nampak tengah berpikir keras, sebelum akhirnya berkata, “Aku hanya menyelesaikan sebagian besar pekerjaanku, melempar setumpuk naskah padanya, lalu berjanji membawakannya sekantong penuh cokelat dan makan siang seminggu penuh di restoran kesukaannya.”
Hitomi menatapnya datar, “Kadang aku lupa kalau kau bekerja karena hobi, bukan mencari uang.”
Chaewon tergelak, pelukannya di pinggang Hitomi mengerat, “Selain bekerja, hobiku juga merindukanmu.”
Hitomi mengerang—dan tawa Chaewon semakin kencang, “Aku sungguhan merindukanmu, Schatz.”
“Tidak dengan kata-kata bertabur bunga begitu.”
“Lalu siapa yang merindukanku sampai mengira ini semua cuma mimpi?” nada suara Chaewon menggoda—berbanding terbalik dengan pandangannya yang menatap Hitomi penuh sayang, senyumnya yang kian lembut, dan pelukannya yang kian erat.
Lagi-lagi Hitomi mengerang, melemparkan tubuhnya ke arah Chaewon, menyurukkan wajahnya ke ceruk leher kekasihnya itu. Gadis itu masih saja tertawa meski cubitan-cubitan kecil dari Hitomi menghujani pinggangnya.
Angin bersahut-sahutan di luar, melolong minta tolong pada siapa saja yang sudi meredakan amukannya. Sepasang anak manusia itu terdiam, mengeratkan pelukan, mendengarkan riuh degup jantung mereka yang hanya mengenal kata sayang, menanamnya pada setiap inci tubuh mereka, berjanji menjaganya hingga tak lagi mampu melihat dunia.
“Schatz?”
“Hm?” Hitomi tak sedikitpun bergerak dari posisinya. Sebaliknya, ia berusaha merapatkan tubuh mereka, hingga angin pun tak sanggup menembusnya, “Dingin sekali hari ini,” ia mendesah, “dan aku masih merasa bahwa semua ini hanya mimpi.”
“Aku tahu cara paling ampuh untuk menghangatkan tubuh. Mau kutunjukkan?”
Hitomi terkesiap saat tiba-tiba gadis itu telah berada di atasnya, memerangkap gadis itu dengan kedua lengannya di sisi kanan dan kiri Hitomi.
“Mau kutunjukkan bahwa ini semua bukan mimpi?”
Sesuatu mekar di dadanya. Seperti tulip-tulip yang mekar di musim semi; mekar dengan megah, mekar dengan indah, merayakan sebuah awal siklus kehidupan yang baru.
“Mau kutunjukkan bahwa aku benar-benar ada di sini bersamamu?”
Gadis itu sudah sangat dekat. Seolah menunggu Hitomi mengizinkannya masuk. Dan ketika Hitomi mengalungkan lengan di lehernya, menghapus jarak di antara mereka, melepas kain-kain yang menghalangi tubuh mereka, ia berjanji untuk membawa Hitomi menuju angkasa tanpa tergesa; lalu mendarat di antara jutaan bintang, menikmati semesta yang seolah tercipta untuk mereka berdua saja.