kimchaejjigae

Kau debur ombak yang berlari ke arahku, membawa debar dan menyelinap di antara celah-celah jemariku, mengisi ruang-ruang yang tak pernah kusangka ada—atau barangkali, kita hanya terbiasa merindu hingga tak sadar bahwa kekosongan kian menyiksa.


Chaewon tengah berbaring di atas tempat tidur di kamar yang ia sewa sambil mengutuki teman sesama editornya saat sepasang lengan menarik tangannya, menjauhkannya dari wajah, meletakkan ponselnya jauh-jauh—lalu sesuatu yang berat menindihnya.

“Schatz,” gadis itu berkata sambil melirik ponselnya, “Boleh kubalas beberapa pesan dari rekanku dulu?”

Hitomi menggeleng sambil mencebik. Gadis itu membiarkan Chaewon menyangga beban tubuhnya sepenuhnya—menjatuhkan tubuh sepenuhnya di atas tubuh Chaewon. Jemarinya perlahan berlarian ke arah wajahnya, membelainya pelan, seakan-akan ia tengah menyentuh porselen paling rapuh di dunia.

“Pacarmu itu aku,” ujar gadis itu sambil menatap Chaewon lekat-lekat, “Kau sudah jauh-jauh terbang kemari, tanpa memberitahuku, jadi harusnya seluruh waktumu untukku, bukan?”

Chaewon tertawa kecil, “Jika kau pulang saat musim semi, kau tidak pernah semanja ini.”

“Entahlah, tapi belakangan rasanya rinduku terlalu besar. Rindu ternyata memang berat,” gadis itu melenguh, memecahkan tawa Chaewon. Hitomi menatapnya dengan pandangan merajuk.

“Apa? Kau tidak rindu padaku hah?” Gadis itu sudah siap beranjak dari posisinya saat lengan Chaewon menahannya. Gadis itu kemudian menaikkan bantal, membuatnya setengah berbaring, menahan Hitomi dekat sekali hingga Hitomi bisa mendengar degup jantung gadis itu yang bergemuruh.

“Aku tidak akan terbang kemari di tengah tumpukan deadline jika aku tidak merindukanmu, Schatz,” ia tersenyum—lembut, “Aku hanya sedikit terkejut. Kau tidak biasanya tiba-tiba menindihku begini.”

Ada rona kemerahan di pipi Hitomi saat Chaewon dengan gamblang mengucapkan kalimat terakhirnya. Gadis itu bergerak maju, menyembunyikan wajah di ceruk leher Chaewon, membuat gadis itu keheranan.

“Schatz?” jemarinya bergerak menyisiri helai-helai rambut kekasihnya.

“Schnucki,” ucap Hitomi teredam, “Kau benar-benar di sini 'kan? Aku tidak bermimpi?”

Jemari Chaewon bergerak menangkup kedua pipi Hitomi, halus menarik gadis itu dari ceruk lehernya, membiarkan pandangan mereka beradu.

“Pipi tembammu hilang,” Chaewon berkata pelan, “Kau makan dengan benar?”

“Aku merindukanmu sampai tak berselera makan.”

Chaewon mendengus, memikirkan kalimat-kalimat balasan saat sepasang bibir beradu dengan bibirnya, memagutnya pelan. Gadis itu perlahan memejamkan mata, membiarkan Hitomi membawanya ke manapun ia mau—palung terdalam, langit tertinggi, pulau terjauh, untuk kembali membawanya sedekat nadi. Saat gadis itu menarik diri, Chaewon masih bisa merasakan hangat napas gadis itu menyapu bibirnya, sebab gadis itu tetap menjaga jarak di antara mereka sebuku jari,

“Aku merindukanmu,” lalu kening beradu dengan kening, “Aku merindukanmu hingga aku takut ini hanya mimpi pasca ujianku, namun jika iya, aku berharap aku tak perlu terbangun, Chaewon.”

Sebuah kecupan mendarat di bibir Hitomi, “Kau harus bangun, Schatz,” senyumnya kembali mengembang, “Kau takkan menemukanku dalam mimpimu. Aku ada di sini, di depanmu, tersenyum padamu. Aku bagian dari kenyataanmu.”

Chaewon membawa tubuh mereka ke samping, membiarkan mereka berbaring berhadapan. Lengannya di pinggang Hitomi, dan jemari Hitomi menyapu pipinya, “Kau makan dengan benar?”

“Pacarku cerewet sekali soal jam makanku, bagaimana aku tidak bisa makan dengan benar?” Chaewon terkekeh, membuat Hitomi mendengus geli.

“Sogokan apa lagi yang kauberikan pada Eunbi sampai kau bisa terbang ke sini?”

“Hm,” Chaewon mengerucutkan bibir, nampak tengah berpikir keras, sebelum akhirnya berkata, “Aku hanya menyelesaikan sebagian besar pekerjaanku, melempar setumpuk naskah padanya, lalu berjanji membawakannya sekantong penuh cokelat dan makan siang seminggu penuh di restoran kesukaannya.”

Hitomi menatapnya datar, “Kadang aku lupa kalau kau bekerja karena hobi, bukan mencari uang.”

Chaewon tergelak, pelukannya di pinggang Hitomi mengerat, “Selain bekerja, hobiku juga merindukanmu.”

Hitomi mengerang—dan tawa Chaewon semakin kencang, “Aku sungguhan merindukanmu, Schatz.”

“Tidak dengan kata-kata bertabur bunga begitu.”

“Lalu siapa yang merindukanku sampai mengira ini semua cuma mimpi?” nada suara Chaewon menggoda—berbanding terbalik dengan pandangannya yang menatap Hitomi penuh sayang, senyumnya yang kian lembut, dan pelukannya yang kian erat.

Lagi-lagi Hitomi mengerang, melemparkan tubuhnya ke arah Chaewon, menyurukkan wajahnya ke ceruk leher kekasihnya itu. Gadis itu masih saja tertawa meski cubitan-cubitan kecil dari Hitomi menghujani pinggangnya.

Angin bersahut-sahutan di luar, melolong minta tolong pada siapa saja yang sudi meredakan amukannya. Sepasang anak manusia itu terdiam, mengeratkan pelukan, mendengarkan riuh degup jantung mereka yang hanya mengenal kata sayang, menanamnya pada setiap inci tubuh mereka, berjanji menjaganya hingga tak lagi mampu melihat dunia.

“Schatz?”

“Hm?” Hitomi tak sedikitpun bergerak dari posisinya. Sebaliknya, ia berusaha merapatkan tubuh mereka, hingga angin pun tak sanggup menembusnya, “Dingin sekali hari ini,” ia mendesah, “dan aku masih merasa bahwa semua ini hanya mimpi.”

“Aku tahu cara paling ampuh untuk menghangatkan tubuh. Mau kutunjukkan?”

Hitomi terkesiap saat tiba-tiba gadis itu telah berada di atasnya, memerangkap gadis itu dengan kedua lengannya di sisi kanan dan kiri Hitomi.

“Mau kutunjukkan bahwa ini semua bukan mimpi?”

Sesuatu mekar di dadanya. Seperti tulip-tulip yang mekar di musim semi; mekar dengan megah, mekar dengan indah, merayakan sebuah awal siklus kehidupan yang baru.

“Mau kutunjukkan bahwa aku benar-benar ada di sini bersamamu?”

Gadis itu sudah sangat dekat. Seolah menunggu Hitomi mengizinkannya masuk. Dan ketika Hitomi mengalungkan lengan di lehernya, menghapus jarak di antara mereka, melepas kain-kain yang menghalangi tubuh mereka, ia berjanji untuk membawa Hitomi menuju angkasa tanpa tergesa; lalu mendarat di antara jutaan bintang, menikmati semesta yang seolah tercipta untuk mereka berdua saja.

Hitomi menghela napas, menatap langit yang kelabu di pertengahan Januari. Tiap hela napas berubah menjadi uap putih yang segera hilang dibawa angin. Ia menggosok-gosokkan tangannya meski telah berbalut sarung tangan tebal.

Pekan ujian telah berakhir, dan sebagian kawan-kawannya memutuskan untuk merayakannya dengan mampir ke salah satu restoran terenak di sudut kota. Hitomi yang tak punya kegiatan lantas setuju untuk ikut, meski sesekali gadis itu tetap mengecek ponselnya, menunggu pesan balasan dari Chaewon.

Sudah dua hari gadis itu tidak menghubunginya.

Hitomi tahu bahwa gadis itu bekerja—Chaewon bahkan meminta izin padanya sebelum menghilang. Tapi Chaewon tak pernah menghilang selama ini, dan Hitomi tidak terbiasa dengan ketidakhadiran Chaewon—meski hanya melalui suara.

“Kau yakin tidak mau ikut?”

Hitomi menoleh. Petra, tetangga—kamar—sebelah—asramanya berdiri di sebelahnya, “Hampir semua teman-teman kita ikut. Kau yakin?”

“Aku tidak suka suasana kelab,” jawab Hitomi singkat, “Aku—tidak biasa berada di tempat berisik,” ia meringis. Gadis di sebelahnya terkekeh.

“Ah, ya, kau memang selalu kembali ke asrama tepat setelah urusanmu di kampus selesai. Menelpon pacarmu itu 'kan?”

Jika saja hari ini suhu tak seberapa dingin, dan jika saja hari ini bukan musim dingin, mungkin rona merah di pipinya akan semakin jelas. “Err, begitulah?”

“Aku iri padamu,” gadis itu mencebik, “Terakhir aku punya pacar sepertinya dua tahun lalu, sementara kau masih saja bersama pacarmu dua tahun ini sekalipun dengan laut dan zona waktu yang memisahkan kalian.”

Hitomi memilih diam, tak tahu harus berkata apa. Petra akhirnya menghela napas, “Baiklah, aku harus pergi sekarang sebelum mereka semua meninggalkanku. Kau akan naik bus menuju asrama?”

Hitomi mengangguk, *“Tschüss!” * ia melambai singkat saat gadis itu melangkah pergi menghampiri teman-temannya. Lagi-lagi Hitomi menghela napas. Jarum arloji di pergelangan tangan kirinya menunjuk angka delapan. Masih terlalu pagi, sebetulnya, namun ia juga tak ingin ke mana-mana di tengah cuaca dingin, dengan suasana hati yang tak begitu baik.

Ia akhirnya melangkah menuju halte bus, berharap dinginnya udara mampu membekukan perasaan-perasaan tak menyenangkan yang berdatangan silih berganti padanya.


Hitomi benci dingin.

Dari semua musim, hanya musim dinginlah yang tak pernah bisa gadis itu sukai. Musim panas memang panas, tapi paling tidak, ia masih bisa beraktivitas dengan bebas di dalam dan luar ruangan. Musim gugur kadang-kadang basah, namun dedaunan yang memerah kemudian meranggas selalu menjadi pemandangan cantik yang ingin ia abadikan dalam kepalanya.

Hitomi paling suka musim semi.

Saat bunga-bunga bermekaran, tulip-tulip mengintip genit di dekat kakinya, lalu ladang-ladang bunga berubah semarak—merah, jingga, kuning; semua mekar merayakan bangunnya Bumi dari tidur panjang.

Sebab ia benci dingin, ia berjalan terburu-buru menuju pintu asrama, berharap segera menemukan kehangatan di balik pintu kayu besar dengan ukiran di kiri kanannya saat ia tak sengaja menabrak seseorang yang tengah berdiri dengan tangan di saku dan pandangan menunduk.

“Entschuldigung, ich habe Sie nicht—gesehen...” **

Ia tak memercayai matanya sendiri. Berkali-kali ia mengucek mata, mencubit lengannya sendiri, meyakinkannya bahwa ia seratus persen sadar, bahwa matanya tak mengelabuinya, bahwa ini bukan khayalannya saja, bahwa Chaewon ada di hadapannya saat ini.

“Schatz?”

Ia mengerjap. Gadis itu tersenyum kecil menatap Hitomi yang masih saja mematung di tempatnya.

“Kau tidak bermimpi.”

Segera Hitomi menghambur ke pelukan gadis itu, mengeratkan kedua lengan di pinggangnya, membenamkan wajah di ceruk leher gadis itu.

“Kau bukan khayalan pasca ujianku bukan?”

Dan Chaewon terasa begitu dekat. Dengan hangat napas yang menggelitik telinganya, dengan tawa yang mengudara di tengah musim dingin, dan lengan yang memeluknya erat.

“Aku di sini.”

Dan mungkin, kali ini Hitomi tidak terlalu membenci musim dingin.

Musim dinginnya berubah menjadi musim semi, seiring dengan perasaannya yang mekar di tengah gelapnya langit musim dingin, dan debar jantung Chaewon yang membawa debur sayang.


*Ungkapan yang diucapkan ketika berpisah (semacam 'dah!' atau 'bye!') **Maaf, saya tidak melihat Anda

“Schatz.”

Tanpa sadar Hitomi mendesah, “Hai...”

Di ujung sambungan telepon yang lain, Chaewon berkata, “Kau tidak apa-apa? Suaramu—kau terdengar lesu.”

“Aku merindukan suaramu, Schnucki,” Hitomi berguling di atas tempat tidurnya, menatap langit-langit kamarnya yang temaram, “Kadang-kadang, aku merasa kau begitu jauh, tapi dengan begini—aku merasa kau dekat.”

“Secara harfiah, kita memang jauh,” didengarnya kekeh pelan Chaewon dari belahan Bumi yang lain, “Tapi hati kita dekat.”

“Aku bersyukur kau lebih fokus menjadi editor sekarang,” gerutu Hitomi pelan, “Aku tidak bisa membayangkan jika kau masih menjadi penulis. Selain kata-katamu yang berbunga-bunga, pesan-pesanmu pasti berbunga-bunga juga.”

Renyah tawa Chaewon mengudara, mengisi hening yang mulai merayap di tempatnya tinggal. Pukul 9 lewat, pikir Hitomi saat melirik jam di dinding, Waktu kami tak banyak.

“Hitoma?” lamunannya seketika buyar.

“Ya?” pelan-pelan ia menarik selimut di ujung tempat tidur, lalu menyampirkannya pada tubuhnya sendiri, menariknya hingga leher. Matanya terpejam, “Kenapa?”

“Aku tahu kenapa kau terdengar lelah.”

Hitomi mengerutkan dahi, “Aku kuliah di sini, bagaimana tidak lelah?”

“Itu hanya satu dari beberapa alasan lain.”

Kerutan di dahinya bertambah, “Memang ada alasan lain?”

“Ada,” ada jeda sebelum kekasihnya itu melanjutkan, “Kau lari-lari di pikiranku seharian ini, lalu kau merindukanku sepanjang waktu. Siapa yang tidak akan lelah?”

Hitomi mati-matian menahan tawanya—sebelah tangan bergerak menutup mulut. Jam malam sudah hampir tiba. Ia tak ingin tetangganya menelepon polisi hanya karena gadis itu tertawa terbahak-bahak mendengar rayuan tak jelas dari kekasihnya.

“Kau mau aku di penjara?” ujarnya di sela-sela tawa yang tertahan, “Bisa-bisa aku tidak akan pulang musim semi nanti.”

Ia bisa mendengar suara jari beradu dengan keyboard yang mengiringi tawa Chaewon, “Kau 'kan memang sudah dipenjara. Di sini, kau jadi tawanan hatiku.”

“Baiklah, baiklah, cukup dengan sesi rayuan gombalmu itu,” Hitomi menghela napas—terlalu lelah menahan tawa, “Kau tidak tidur?”

“Aku baru saja bangun dan kau menyuruhku tidur? Aku juga merindukanmu, asal kau tahu.”

Hitomi menggigit bibir, “Bukan begitu maksudku.”

Lagi-lagi kekasihnya tertawa, “Aku tidak marah, tenang saja. Kau mau dengar cerita yang sedang kuedit? Tentang dua orang yang menjalin hubungan jarak jauh?”

“Mm-hmm,” gumam Hitomi, matanya kembali terpejam, “Ayo, aku ingin mendapatkan konten eksklusif dari editor BlueDrop.”

“Kau tahu, cerita mereka dimulai saat—”

Hitomi selalu suka mendengarkan Chaewon bercerita. Gadis itu betah menatap binar di kedua mata Chaewon saat ia menceritakan tokoh-tokoh fiksi yang hidup dalam buku-buku yang dia edit. Dulu, ketika gadis itu masih menulis, Hitomi juga akan dengan senang hati berbagi dunia dalam kepala gadis itu.

Suara Chaewon juga manis.

Salah satu alasan Hitomi ingin menelepon gadis itu kapanpun mereka berjauhan adalah karena suara gadis itu menjadi candu baginya. Seakan-akan, hanya dengan suaranya saja, gadis itu bisa membuat dunia Hitomi baik-baik saja.

(Dan, mungkin, memang begitu. Hari-hari Hitomi selalu lebih cerah setelah mendengarkan suara gadis itu. Salah satu alasannya untuk mendapatkan pesan suara dari Chaewon—Hitomi tak segan membuat gadis itu bernyanyi satu album penuh meski Chaewon selalu berkata bahwa suaranya jelek.)

“Hitoma?” sadar bahwa ia tak mendapatkan respons sejak sepuluh menit lalu, Chaewon akhirnya memanggil gadis itu, “Schatz?”

Ia melirik jam yang tertera di layar laptopnya. Pukul 3.45. Masih lima belas menit menuju jam malam Hitomi. Namun tak lama, ia mendengar dengkuran halus dari sambungan telepon. Ia terkekeh.

“Schlaf gut, meine Liebe,” *ujarnya pelan, “Ich hab' dich sehr lieb.”

Chaewon memutus sambungan telepon, lalu melangkah menuju tempat tidurnya sendiri.

Gadis itu baru tidur dua jam yang lalu, namun Hitomi tak perlu tahu.

“Besok akan jadi hari yang panjang,” gumamnya sebelum memejam, bersiap bertemu Hitomi di alam mimpi.


*Selamat tidur, Sayang

“Hitomi, du siehst so traurig aus.” *

Hitomi tersenyum kecil sambil menyelesaikan catatannya, “Was ist los mit dir?” **

Hitomi menggeleng pelan sambil menutup buku catatannya, “Alles ist gut, Liesl,” *** ujarnya, “Ich vermisse meine Freundin.” ****

“Hubungan jarak jauh memang menyusahkan,” cibir gadis yang Hitomi panggil Liesl, “Kau tak bisa memeluknya, hanya bisa melihatnya lewat layar ponsel, ugh.”

Hitomi hanya terkekeh pelan menimpali gerutuan teman sekelasnya itu. Diam-diam, ia menghela napas.

Jangan mau terjebak hubungan jarak jauh, teman-temannya dulu berkata, Dari sekian banyak pasangan, hanya sedikit yang bisa bertahan. Sebagian teman-temannya bahkan menyodorkannya data. Banyak hubungan yang kandas di bulan pertama.

Aku tahu ini semua tidak akan mudah, Chaewon berkata saat pertama kalinya ia berkata bahwa ia ingin menempuh pendidikan di luar negeri, Siangmu jadi malamku, begitu juga sebaliknya. Tapi aku terlanjur menyayangimu sampai rasanya aku rela tidak tidur ketimbang tak lagi menjadi orang yang kau tunggu teleponnya.

“Bagaimana caranya?”

Hitomi mengerjap, “Ya?”

Gadis itu kini berdiri di depan Hitomi, membuatnya sedikit mendongak untuk bertemu mata dengannya, “Bagaimana caranya kalian bertahan dengan jarak ini? Kau tahu, kekasihku hanya berbeda kota denganku, namun kami putus setelah tiga bulan berhubungan jarak jauh. Kau sudah di sini selama hampir dua tahun.”

Bagaimana caranya?

Hitomi sendiri tak tahu bagaimana mereka bisa bertahan selama itu, dengan jarak dan perbedaan zona waktu, sehingga mereka hanya bisa bertatap muka sebelum Hitomi berangkat ke kampus—yang berarti jam makan siang Chaewon harus tersita, atau saat Chaewon pulang kerja—yang berarti Hitomi harus mencuri-curi waktu di antara kelasnya.

“Entahlah,” akhirnya hanya itu yang terucap dari bibirnya. Liesl yang masih berdiri di depannya menatapnya dengan sebelah alis terangkat.

“Mungkin karena kami percaya bahwa apa-apa yang memang untuk kami, akan bertahan dan kembali sejauh apapun kami pergi. Dan kami percaya, kami memang ditakdirkan untuk saling memiliki.”


Di sepuluh menit pertama perjalanannya menuju asrama Hitomi habiskan dengan membaca ulang catatannya hari ini.

“Makin hari tulisanku makin mirip Chaewon,” ia menggerutu, “Aku harus menyalinnya nanti. Berantakan sekali.”

Di luar sana, ia bisa melihat beberapa pejalan kaki yang bergandengan tangan. Para pesepeda melaju di jalurnya. Langit di musim dingin lebih cepat menggelap, dan Hitomi benci dingin. Ia akan mengenakan pakaian berlapis-lapis dan memilih untuk meringkuk di balik selimut di kamarnya.

Ia tergemap saat sesuatu berwarna putih menempel di jendela. Ia mendongak. “Salju pertama...” gumamnya pelan. Ia mendesah. Ditariknya bolpoin dari dalam tas, lantas jemarinya menari di atas kertas.

Chaewon,

Hari ini salju pertama turun, tepat saat aku naik bus dari Altbau menuju asrama. Kau tahu, mereka bilang, jika kau melihat salju pertama turun bersama orang yang kau sayangi, cintamu akan abadi.

Maksudku—kita bisa 'kan? Tanpa perlu melihat salju pertama bersama?

Aku merindukanmu. Sungguh. Di cuaca seperti ini, biasanya kau akan memelukku, lalu kita akan bergelung di balik selimut, duduk di atas sofa, tanganku memeluk mug berisi cokelat hangat dan kita akan menonton film-film fantasi kesukaanmu.

Kuharap kau bersabar menungguku pulang... Atau... atau egoiskah aku jika berharap kau muncul di depan pintu kamarku? Haha. Kau juga punya pekerjaan. Kita sudah bersepakat soal ini. Jadi... aku juga harus bersabar sedikit lagi, bukan?

Sampai aku kembali ke pelukanmu, kuharap kau masih bertahan dengan perasaanmu untukku.


*Kau terlihat sedih **Ada apa denganmu? (Kau baik-baik saja?) ***Semua baik-baik saja ****Aku merindukan pacarku

Hitoma,

Aku terlalu pengecut untuk mengakui bahwa jarak adalah ketakutan terbesarku.

Kau tahu, semenjak kau memutuskan untuk pergi, aku tak henti-hentinya berpikir bahwa mungkin, mungkin, suatu waktu, suatu saat, kita akan menghadapi benteng tertinggi yang tak lagi bisa kita robohkan. Mungkin suatu hari, kau akan menyerah menggandeng tanganku. Mungkin suatu hari, aku akan berhenti memimpikanmu.

Tapi kita masih di sini. Kau masih mencari sejuta alasan untuk menggandeng tanganku. Aku masih terbangun di pagi hari dengan senyum karena mimpi tadi malam.

Aku merindukanmu, Hitoma.

Tapi kita pasti bisa melalui ini semua 'kan?

“Hai, maaf, lama menunggu?”

Chaewon mengerjap saat seorang perempuan bertubuh semampai bersetelan biru berdiri di hadapannya dengan senyum pertanda minta maaf terukir di wajahnya. Chaewon segera menutup buku catatannya, lantas ia berdiri, tangan kanannya terulur.

“Halo, tidak sama sekali,” ujarnya, “Namaku Kim Chaewon. Senang akhirnya bisa bertemu denganmu. Silakan duduk,” ia berkata saat jabat tangan mereka terlepas. Perempuan itu lantas mendudukkan diri di kursi depan Chaewon.

“Jadi, Han Soon Hee, betul 'kan?” Perempuan itu mengangguk. Chaewon lantas mengeluarkan setumpuk kertas dari map yang ia letakkan di atas meja, “Kami tertarik dengan naskah yang Anda kirimkan pada redaksi tiga bulan lalu. Tiga paragraf pertama Anda membuat kami ingin segera membalik halaman selanjutnya.”

“Terima kasih,” perempuan itu berkata. Ia lantas melambai, memanggil pelayan kafe yang segera menghampiri mereka. Setelah menyebutkan pesanannya, pelayan itu pergi, “Saya selalu bermimpi untuk bisa menerbitkan naskah saya melalui BlueDrop.”

Chaewon tersenyum simpul. Hari ini ia memiliki janji temu dengan perempuan di hadapannya ini, Han Son Hee, untuk membahas naskah yang ia kirimkan. Timnya merasa, ada sesuatu dalam naskah gadis ini yang harus dibaca oleh khalayak ramai. Jadi di sinilah mereka, duduk berhadapan di sebuah kafe di dekat area perkantoran yang tak jauh dari tempat perempuan itu bekerja.

“Anda seorang pegawai bank, bukan?” Chaewon melirik arlojinya, “Bukankah ini masih termasuk jam kerja?”

“Saya memutuskan untuk mundur dari posisi saya,” perempuan itu berkata, “Sebab menulis adalah panggilan jiwa.”

Panggilan jiwa.

'Chaewon, dapur selalu menjadi tempatku berlindung. Sebelum kau hadir, aku akan selalu kembali ke dapur, merasakan hangat tepung melalui jemariku, membaui cokelat yang baru saja keluar dari panggangan—seperti panggilan jiwa.'

Chaewon menggeleng, mengusir rangkaian pikiran yang tiba-tiba hadir hanya karena dua kata itu. Fokus, Kim Chaewon, ujarnya pada diri sendiri, Kau di sini untuk bekerja. Ia takkan mau melihatmu begini.

“Ah,” ia akhirnya berkata sambil membolak-balik naskah di tangannya, “Mari kita langsung ke intinya saja. Kami merasa bahwa naskah ini memiliki bungkus yang baik. Secara tema, tema yang Anda ambil sebenarnya cukup umum. Jadi bungkusnya—”

Berjam-jam kemudian, Chaewon terlibat dalam percakapan serius bersama perempuan itu. Berkali-kali mereka bertukar pendapat, menyampaikan maksud masing-masing, mengungkapkan arah cerita, pemikiran mereka, hingga hal-hal lain yang berkaitan dengan penerbitan. Han Soon Hee sesekali sibuk mencatat saran-saran dari Chaewon.

“Saya rasa, tak ada lagi yang harus kita bahas,” ujar Chaewon setelah menghabiskan cangkir kopi ketiganya, “Saya harap saya bisa menerima draft kedua Anda dalam waktu tiga minggu, atau minggu satu bulan.”

Soon Hee mengangguk, “Saya akan berusaha. Terima kasih. Revisi selanjutnya, apa kita perlu bertemu langsung begini?”

Chaewon mengerutkan dahi, nampak berpikir sejenak. Sejurus kemudian, ia menggeleng, “Tidak, tidak perlu. Saya akan mengirimkan revisi melalui surel. Pertemuan kita ini sekaligus menjadi ajang saling mengenal. Kita akan bekerja sama dalam waktu yang cukup lama bukan?”

Son Hee tersenyum, “Semoga,” lalu setelah basa-basi lainnya, perempuan itu meninggalkan Chaewon seorang diri. Diliriknya ponsel di atas meja yang sedari tadi tak ia sentuh. Matanya lantas menangkap angka yang ditunjuk jarum pada arlojinya. Chaeyeon meringis. Sial.

Dengan tergesa, ia menarik ponsel dan membuka aplikasi berkirim pesan. Rentetan pesan yang dikirim dua jam lalu membuatnya menghela napas.

Si Han Soon Hee itu harusnya menulis kisahku saja agar terasa lebih nyata.

Kaulah samudera. Menarikku jatuh ke dasar, menyembunyikanku di balik karang, membiarkanku terikat ganggang-ganggang. Tak ada cahaya, dan kegelapan adalah teman lama yang berusaha kembali kusayangi. Namun, Sayang, kaulupa bahwa aku selalu takut gelap. Sialnya, kau tak lagi di sini untuk menggenggam tanganku.

“Apa maksudmu dengan pindah?”

Hitomi menghela napas, “Chaewon,” gadis itu berkata, “Kau tahu kami akan mengadakan tur sebentar lagi. Dampak acara televisi itu benar-benar luar biasa. Dunia telah menaruh perhatiannya pada street dance. Kami tak ingin melewatkan kesempatan ini begitu saja.”

“Aku mengerti, tapi,” Chaewon melempar pandangan bertanya, “Jika sekedar tur, bukankah kau selalu bisa kembali kemari? Pulang?”

“Kami berniat untuk pindah sebagai kru,” Hitomi menunduk, “Jika kami terus beroperasi di sini, kau tahu, kami takut dalam satu dua tahun, kepopuleran kami surut, lalu kami dilupakan, dan kami kembali menjadi bukan apa-apa.

“Kami ditawari sebuah kontrak dengan Hit The Floor. Agensi besar untuk para dancer. Tak semua orang bisa masuk ke sana. Kau harus tahu jumlah pengikut mereka di laman-laman media sosial. Jutaan. Selain lebih dikenal, kami tentu akan bisa mendapatkan penghasilan yang lebih stabil. Mereka juga membuka kelas—kami bisa menjadi pengajar dan koreografer di sana.”

Chaewon mengusap wajahnya kasar. Kedua siku bertumpu di atas meja. Pandangannya menunduk. Semenjak kesuksesannya tahun lalu, nama Hitomi dan Step Squad semakin melejit. Tiap kali ia pergi ke pusat perbelanjaan, ia bisa dengan mudah menjumpai wajah kekasihnya di banner-banner, papan-papan iklan, bahkan selebaran brosur. Belum lagi wajahnya mulai wara-wiri di layar kaca.

Jangan salah paham. Ia jelas bahagia untuk kekasihnya.

Namun, ia merasa tak mengenal Hitomi lagi.

Hitomi lebih sering pergi ke klub malam. Ia akan mendengar suara pintu terbuka pukul dua pagi, dengan aroma minuman keras menguar dari tubuh gadis itu. Chaewon percaya Hitomi tak pernah berbuat lebih dari itu. Namun satu hari, ia tak sengaja membaca pesan yang muncul di ponsel gadis itu. Pesan bernada manja dan menggoda entah dari siapa, Chaewon tak ingin tahu.

Tapi Hitominya berubah. Honda Hitomi yang kini ada di depannya bukan Honda Hitomi yang ia kenal lima tahun lalu.

“Kontrakmu dengan stasiun televisi itu dan agensinya belum berakhir bukan? Tur kalian adalah agenda mereka. Kau—masih punya karir yang bagus di sini, Hitomi.”

“Lalu setelah kontrak kami berakhir delapan bulan ke depan? Siapa yang menjamin kami tetap mendapatkan pekerjaan? Kami lelah menjadi penari latar untuk para penyanyi itu, Chaewon,” Hitomi menenggak habis isi gelasnya, “Sampai kapan kami akan hidup begini? Ini kesempatan besar, Chaewon. Ada apa denganmu?”

“Kau berubah,” dua kata itu akhirnya meluncur dari mulut Chaewon, “Kau berubah banyak Hitomi.”

“Kita harus berubah untuk bertahan hidup, Chaewon.”

“Tapi bukan perubahan macam ini yang kuinginkan, Hitomi,” Chaewon mendesah frustasi. Pandangan mereka berserobok; lelah, lelah, dan lelah.”Kau juga kerap kali menghamburkan uangmu untuk hal yang tak penting. Tas? Jaket? Sepatu? Lalu apa lagi? Pindah apartemen?”

“Aku ingin kehidupan yang lebih baik untuk kita!” kepalan tangannya beradu dengan permukaan meja, membuat Chaewon berjengit, “Apartemen ini terlalu kecil untuk kita tinggali. Aku punya uang. Apa masalahnya?”

“Ini sudah cukup, Hitomi,” jemarinya menyisir rambut cokelatnya ke belakang, “Apartemen ini besar untuk kita huni berdua. Lagipula aku—“

“Chaewon, tolong, aku tak menginginkan hubungan jarak jauh denganmu. Hubungan jarak jauh tak pernah berhasil. Lagipula, aku tahu kau tak punya pekerjaan hingga saat ini dan harusnya kau berterima kasih karena aku masih mau membiayai hidup kita berdua.”

Chaewon tercenung. Di depannya Hitomi terduduk dengan wajah memerah dan mulut setengah terbuka. Seakan tersadar dengan kalimatnya barusan, air mukanya berubah pucat.

“Chaewon, aku—“

“Aku memang beban bagimu, bukan begitu?” Chaewon tersenyum getir, “Aku sudah bilang bahwa aku beban bagimu, iya ‘kan? Akhirnya kau mengakuinya juga.”

Cepat Hitomi menggeleng, “Chaewon, tidak, aku—bukan, Sayang—“ Chaewon menarik tangannya menjauh dari meja, menghindari jemari Hitomi yang bergerak meraih tangannya. Ia menggeleng, “Kau salah.

“Aku punya pekerjaan, Hitomi,” Chaewon terkekeh, “Di malam mereka mengumumkan kemenanganmu, hari itu juga karya pertamaku dimuat di salah satu majalah sastra. Sejak saat itu, tulisanku terus dimuat di sana. Namun kau terlihat sangat—bahagia,” Chaewon tersenyum.

“Aku tak ingin mengusik kebahagiaanmu, berpikir bahwa nanti, akan ada waktu yang tepat bagiku untuk menyampaikan kabar bahagiaku padamu. Namun, kau tak pernah lagi punya waktu untukku. Sekadar bertanya bagaimana hariku saja kau tak bisa, iya?”

Hitomi menelan ludah. Matanya kini menangkap tumpukan majalah di rak buku milik Chaewon yang terletak di sudut ruang duduk mereka. Bagaimana bisa ia melewatkannya? Ia juga baru menyadari beberapa struk tagihan yang ia buang—ia tak pernah merasa membayarnya, atau bahkan, menggunakannya. Ia juga baru menyadari jika Chaewon telah mengganti laptopnya—bukan baru, tapi lebih layak, dan gadis itu seringkali tengah mengerjakan sesuatu saat Hitomi pulang pukul dua pagi.

“Mulai bulan depan, aku akan bekerja sebagai asisten editor di sebuah penerbit.”

“Chaewon—“

“Hubungan jarak jauh tak pernah berhasil, begitu?”

“Sayang—“

Air mata yang ia tahan sedari tadi luruh juga. Hitomi terdiam. Hatinya mencelos. Tak pernah ia melihat Chaewon sehancur itu. Atau barangkali, inikah Chaewon yang tak pernah ia tunjukkan pada dirinya selama setahun ke belakang? Chaewon yang hancur, namun tetap memeluknya dengan lengan penuh bilur? Chaewon yang remuk, namun tetap bertahan dengan kecamuk hidup Hitomi?

Namun gadis itu masih tersenyum. Dengan bibir bergetar, dan air mata mengalir, gadis itu tersenyum.

“Aku—“ kata-katanya terhenti. Ia berusaha mengatur napasnya sendiri sebelum melanjutkan, “Aku tidak akan pulang malam ini. Maaf.”

“Kau—“ Hitomi tercekat, “Chaewon, kau mau ke mana?”

“Mendinginkan kepala,” gadis itu beranjak dari duduknya, berjalan melewati Hitomi. Langkahnya terhenti; sebelah tangan Hitomi menahan pergelangan tangannya.

“Lepas.”

Hitomi menggeleng, “Jangan pergi.”

Pelan Chaewon melepaskan genggaman Hitomi di pergelangan tangannya, namun sejurus kemudian, lengannya melingkari pinggang Chaewon, memeluknya dari belakang.

“Maaf,” ia bisa merasakan punggungnya basah, “Chaewon, Sayang, maafkan aku,” isaknya yang semula pelan terdengar lebih keras. Chaewon menghela napas, mendongak menatap langit-langit dapur yang temaram.

“Lepas.”

Hitomi menggeleng, “Jangan pergi,” ia berkata dengan napas tersengal,

“Jangan pergi sampai kau mengatakan kapan kau akan kembali. Tidak. Jangan pergi. Tetap di sini. Maafkan aku.”

“Aku cuma mau mendinginkan kepala,” Chaewon berbalik, membiarkan pandangan mereka berserobok, dan sebagian hatinya hancur—Hitomi yang sekacau ini bukanlah pemandangan yang ia harapkan di akhir hari.

“Aku cuma mau mendinginkan kepala.”

“Kau bahkan tak mau menyebut namaku.”

Chaewon menyerah. Kedua tangannya bergerak menangkup pipi Hitomi, “Hitomi,” bisiknya pelan, “Aku cuma mau mendinginkan kepala. Tolong lepas,” gadis itu bersikukuh, berdiri di tempatnya, mengeratkan pelukannya di pinggang Chaewon.

“Tolong,” jemarinya mengusap air mata yang bergulir tanpa henti di wajah Hitomi, “Tolong lepas.”

Lagi-lagi Hitomi menggeleng. Chaewon memejam, lalu menghapus jarak di antara mereka berdua. Bibir mereka bertemu, dan perlahan, Chaewon merasa pelukan gadis itu melonggar. Cepat ia menarik diri.

“Maaf,” ujarnya, “Aku cuma mau mendinginkan kepala,” ia berkata sambil melepaskan diri dari pelukan Hitomi, melangkah menuju pintu tanpa menoleh lagi, meninggalkan Hitomi yang menangis sendiri.

Aku mengeja namamu dalam setiap musim. Lalu saat tetes embun membeku di musim dingin, kubingkai namamu dalam tiap bulirnya, kurangkai menjadi kalung yang kukenakan ke mana saja. Mencintaimu berarti menjelma malam yang memeluk saat kau berserah pada gelap, mendamba damai di bawah sinar keperakan bulan di awan. Rebahlah di sini, dalam pelukanku, dan janjiku padamu; takkan terusik mawar cantik yang mekar dengan megah di musim semi.

“Sayang, sudah kubilang kau tidak perlu repot-repot melipat baju-bajuku dan mencuci perabot bekas makan malamku yang menggunung itu. Lalu ini? Kau juga tidak perlu memasak. Kita sudah sepakat untuk membagi tugas bukan? Kau membersihkan ruang duduk dan kamar kita, urusan dapur biar jadi bagianku.”

Chaewon, dengan punggung membelakangi gadis itu, dan celemek serta sarung tangan yang melekat di tubuhnya tersenyum tipis. “Setidaknya ini yang bisa kulakukan, Hitomi,” gadis itu menoleh sekilas, “Kau sudah berkorban terlalu banyak. Biarkan aku meringankan bebanmu.”

“Chaewon,” gadis itu, Hitomi, menghela napas. Chaewon kembali menundukkan pandangannya, terpaku pada piring-piring dan wajan-wajan kotor, membiarkan suara kucuran air menjadi musik latar senja mereka. Sepasang lengan tiba-tiba melingkari pinggangnya. Aroma bergamot bercampur cyclamen dan musk menyeruak.

“Kau bukan beban,” suara gadis itu teredam di punggungnya, “Aku melakukan ini untuk kita, kau tahu itu ‘kan? Aku mencintaimu.”

Di temaramnya dapur, Chaewon perlahan melepaskan sarung tangannya. Halus ia berbalik, membiarkan Hitomi kemudian membenamkan wajah di dadanya. Pelan, kedua lengannya membalas pelukan gadis itu.

“Kau terjatuh kemarin, istirahatlah.”

“Tanganku masih bisa digerakkan, Chaewon,” ia mendongak sambil memajukan pipir. Hati Chaewon meleleh melihat pemandangan di depannya. Salah satu alasan ia jatuh hati pada gadis dalam pelukannya ini adalah karena ia lucu, “Berhenti menganggap dirimu beban, Sayang.”

Kedua mata Hitomi terpejam saat Chaewon mendaratkan sebuah kecupan di keningnya, “Maaf,” gadis itu berbisik, “Aku juga mencintaimu.”

Hitomi lagi-lagi cemberut, “Cuma di kening?” nada suaranya yang merajuk membuat Chaewon terkekeh.

“Aku mencintaimu,” Chaewon menunduk, mengecup kedua kelopak mata gadis itu, “Aku mencintaimu,” ia kemudian bergerak mengecup pipi Hitomi, melukis segurat senyum tipis di wajahnya, “Aku mencintaimu,” ia menangkup pipi gadis itu, menyatukan bibir mereka, membiarkan Hitomi memagut, naik, turun, dangkal, dalam; seolah mereka tengah mengendarai roller coaster.

Chaewon sudah akan menarik diri saat gadis itu mengalungkan kedua lengannya di leher Chaewon, menahan gadis itu di sana, membawanya melihat bintang-bintang di matanya. Saat akhirnya Hitomi menarik diri, gadis itu masih bisa merasakan hangat napas Hitomi di bibirnya.

“Kau—ada sesuatu yang terjadi tadi siang?”

“Aku merindukanmu,” gadis itu kembali merapatkan jarak yang ia buat, “Aku merindukanmu.”

Dan rindu kini berubah arti saat tangan gadis itu menyelinap ke balik kaos yang ia kenakan. Seringai kecil muncul di wajahnya saat Chaewon kembali menyatukan bibir mereka, menghabiskan malam dengan menjelajahi bagian dari semesta yang tak terjamah.


“Kau tak akan percaya bahwa kami menang! Oh astaga, hingga saat ini aku masih tak percaya.”

Itu kelima kalinya Hitomi meneriakkan kegembiraannya soal kemenangan Step Squad, kru tari yang ia pimpin, dalam sebuah acara kompetisi tari di sebuah stasiun televisi. Kepopuleran gadis ini juga meningkat. Tiap kali mereka jalan berdua, ada saja orang yang berusaha mengambil foto mereka, membuat ia dan Hitomi kerap kali berubah menjadi ninja, atau memilih untuk menikmati hari di apartemen mereka saja.

“Kau layak mendapatkannya, kau sudah berusaha dengan keras. Kau tahu itu ‘kan?” Chaewon dengan hati-hati mengarahkan cheese ball ke mulutnya, dan gadis itu menerimanya tanpa banyak protes.

“Saking senangnya, aku bisa menciummu semalaman.”

Chaewon menoleh, “Terakhir kau melakukannya, bibirmu bengkak dan kau harus mengenakan masker seharian.”

“Oh, Chaewon, astaga,” Hitomi memutar kedua bola matanya, “Biarkan aku menikmati kejayaanku sebentar saja. Kami memang disegani di dunia kami, tapi disegani oleh publik? Rasanya aku mau meninggal.”

“Jaga ucapanmu,” Chaewon mendaratkan sebuah kecupan di pipi gadis itu, “Aku takut semesta mengiyakan ucapanmu.”

“Maaf,” sebelah tangan Hitomi bergerak merangkul pinggang Chaewon. Ia lantas menyandarkan kepalanya di pundak gadis itu, memutar video kemenangan mereka lagi dan lagi.

Chaewon diam-diam melirik sebuah majalah sastra yang tergeletak rapi di ujung sofa. Dalam hati ia menghela napas.

Mungkin nanti, Kim Chaewon…

Pada satu musim, bunga-bunga bermekaran dengan megah. Di musim lain, ia akan tertidur, menunggu musim berikutnya untuk kembali menyapa langit. Kau masih setia menanti kuncup mekar menjadi bunga, sementara aku setia menanti rasa meranggas sebelum sempat menjadi.

“Aku merasa bukumu yang ini agak sentimental.”

Chaewon tersenyum tipis, “Bukankah itu yang disukai pembaca masa kini? Kata-kata penuh bunga, deskripsi senja, dan secangkir kopi?”

Chaeyeon mendorong kacamatanya yang melorot dengan jari tengah, “Jauh sebelum aku menjadi editormu, aku adalah teman sekamarmu, Kim Chaewon,” dibolak-baliknya bundel naskah yang ada di tangannya, “Dan sejak dulu, kau menulis untuk menjadikanmu ada.”

“Aku takkan ada di sini jika aku tak menulis.”

“Dan buku pertamamu takkan berhasil jika kau tak patah hati hebat,” Chaeyeon mendesah, “Dan ini,” Chaeyeon mengacungkan naskah di tangannya, “Naskah ini mengingatkanku pada karya pertamamu—pada masa-masa terburukmu.”

Chaewon hanya tersenyum sembari membuang pandangannya ke arah jendela. Dari apartemen mungilnya, ia bisa melihat pemandangan kota yang terbelah oleh sungai yang membentang. Lalu lalang kendaraan di bawah mewujud semut yang berbaris di dinding.

Ada banyak cara untuk menghadapi kesedihan. Sebagian bernyanyi sepenuh hati hingga liriknya kabur menjadi isakan-isakan kecil yang berubah menjadi raungan menyayat hati. Sebagian menenggak berbotol-botol minuman keras hanya untuk terbangun dan menyadari bahwa hatinya takkan pernah sama lagi.

Dan bagi Chaewon, menulis adalah caranya menghadapi kesedihan—meski yang ia lakukan lebih dari sekedar menumpahkan isi hati ke dalam aksara.

“Kau telah menjadi penulis spesialis patah hati.”

Chaewon hanya terkekeh pelan, “Dua bukuku yang lalu bercerita soal jatuh hati, Chaeyeon.”

“Tanpa rasa? Oh, ayolah,” Chaeyeon berdecak sambil menyeruput tehnya yang sudah dingin, “Dua bukumu yang lalu disusun dengan sebuah formula. Bukan dengan hati. Kau pikir siapa yang berusaha kau kelabui?”

Chaewon masih diam seribu bahasa. Chaeyeon mendesah.

“Hitomi kembali?”

Satu nama itu membuat Chaewon menoleh. Chaeyeon menyisir rambutnya ke belakang. Wajahnya berubah gusar.

“Apa lagi yang ia lakukan? Siapa lagi yang ia gandeng sebagai kekasihnya?”

“Chaeyeon,” gadis itu berkata lirih, “Bukankah ini semua salahku?”

“Kalian berdua bodoh,” gerutu Chaeyeon, “Kau mengakhiri hubungan kalian enam tahun lalu dengan alasan tak jelas—lalu Hitomi mabuk, kau mendapatinya mencium gadis lain di klub tepat setelah ia meneleponmu, lalu kalian—”

“Aku hanya beban baginya, Chaeyeon.”

“Bukankah pada dasarnya kita semua ini beban bagi satu sama lain?” gadis itu menghela napas, “Kenapa kalian berdua begitu keras kepala? Demi seribu topan badai, kenapa kalian tak pernah mau duduk berdua dengan kepala dingin?” Chaeyeon berkata gusar, “Hatimu tahu kau menginginkan dia, tapi kenapa kalian berdua berlari ke arah yang berlawanan hanya untuk kembali?”

Chaeyeon tak pernah mengerti.

Enam tahun lalu, saat pertama kalinya Chaewon meneleponnya sambil mabuk dan menggumamkan nama Hitomi semalaman, ia tak mengira bahwa hubungan mereka terus meluncur hingga hancur menabrak batu karang.

Ia tak pernah bisa memaafkan Hitomi yang berubah menjadi bajingan setelah namanya populer yang mengakibatkan berakhirnya hubungan mereka berdua. Namun, ia tak pernah benar-benar mengetahui alasan dari berakhirnya hubungan mereka selain Chaewon mendapati Hitomi mencium gadis lain di sebuah klub malam.

Hitomi berkali-kali berusaha kembali padanya, namun waktu itu, Chaeyeon juga memahami jika Chaewon tak ingin kembali. Rumor soal hubungan gadis itu merebak di mana-mana. Setiap dua bulan sekali. Entah sudah berapa gadis yang ia gandeng dalam kurun waktu empat tahun, hingga dua tahun lalu, ia dikabarkan menjalin hubungan serius dengan seorang aktris, sekaligus kehancuran karirnya sebagai seorang dancer.

“Ia tak datang padaku untuk mengenalkan seseorang,” Chaewon berkata, “Ia juga tak menceritakan siapa-siapa.”

Kening Chaeyeon berkerut, “Jadi kenapa kau sepatah hati ini?”

“Aku suaka baginya,” suaranya bergetar, “Ia meminta satu kesempatan lagi.

“Tapi aku tak yakin aku masih bisa menjadi tempat teraman untuknya. Aku hanya berharap perasaanku untuknya mati. Sebab tak ada lagi yang bisa kutawarkan untuknya.”

Mereka berdua terdiam, menikmati merahnya senja yang sebentar lagi tertutup tirai malam. Bintang senja telah mengintip genit di ufuk langit, siap membuai mereka yang pasrah mengikuti alur semesta. Suara klakson mobil silih berganti mengisi hening yang melingkupi mereka. Chaeyeon menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi saat Chaewon menatapnya dengan pandangan itu lagi. Ia siap mendengarkan.

“Aku mencintainya, dan rasanya di sini,” ia tercekat, telunjuknya mengarah pada di mana jantungnya berada, “Rasanya di sini sesak. Sakit. Aku mencintainya, tapi kenapa rasanya sakit sekali?”

Chaeyeon hanya terdiam, duduk di tempatnya. Membiarkan Chaewon sedikit demi sedikit membuka bendungan yang hampir saja runtuh.

“Dia hidupku. Saat enam tahun lalu aku memutuskan untuk mengetuk pintu apartemenmu dengan barang-barangku, aku tahu bahwa aku baru saja kehilangan separuh jiwaku. Saat dia kembali,” ia terdiam, mengernyit, seakan sesuatu menusuki tubuhnya, “Saat dia di sini, aku merasa apa yang hilang bertahun-tahun dariku kembali. Dan meski rasanya sakit melihatnya di depanku, sedekat itu, aku—aku merasa hidup kembali.”

Chaeyeon beranjak dari duduknya, merengkuh tubuh sahabatnya dalam pelukan, membiarkan gadis itu menangis tanpa suara. Ia mendesah.

“Hatiku sakit melihat kedua temanku harus mematahkan hatinya sendiri begini,” Chaeyeon berkata pelan, “Kalian sungguh bahagia saat itu. Chaewon dan Hitomi adalah kesatuan. Dan aku selalu menyemogakan bahagia selamanya untuk kalian.”

“Dia semua yang aku punya, Chaeyeon.”

“Aku takkan melarangmu jika kalian memutuskan untuk kembali. Jika memang takdir menginginkan kalian bersama, sejauh apapun kalian melangkah, sejauh apapun kalian pergi, kalian akan selalu menemukan jalan untuk kembali.

“Pertanyaanku adalah, maukah kalian sama-sama menelusuri lembaran buku yang lama, mengulang setiap ragu, menjalani kisah-kisah yang kalian tahu ke mana ia menuju?”

“Udahan ngetawain akunya dong.”

Sudah lima menit sejak mereka keluar dari teater. Selama lima menit itu pula, Hitomi tak henti menertawakan Chaewon yang bergetar ketakutan dari ujung kepala hingga ujung kaki. Gadis itu masih menolak menatapnya, sehingga Hitomi berdiam diri di tempatnya—berdiri di depan gadis itu, lutut ketemu lutut.

“Ya habis lucu banget ih masaaa, aku kira Kak Chaewon bilang takut tuh takut doang, bukan yang sampai—” tawanya berangsur hilang saat ia mengingat kejadian di dalam teater tadi.

Hitomi pikir, Chaewon sekadar bergurau soal ketidakberaniannya menonton film horror. Namun, gadis itu benar-benar ketakutan sepanjang film. Lima menit pertama film diputar, gadis itu telah menumpahkan popcorn miliknya hingga lima kali—Chaewon benar-benar terlonjak tiap kali bass berdebum.

Namun bukan itu yang menyurutkan tawa Hitomi.

Chaewon berkali-kali memeluk gadis itu. Melingkarkan lengannya pada tubuh mungil Hitomi. Menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Hitomi. Chaewon begitu dekat hingga Hitomi bisa merasakan napasnya menyapu lehernya—

“Hitoma?”

Hitomi juga tak sadar bahwa ia, pada akhirnya, memeluk Chaewon. Menepuk-nepuk kepala gadis itu. Menyembunyikan wajah gadis itu dalam rengkuhannya. Membiarkan gadis itu bersembunyi dari layar besar yang menampilkan sosok hantu menyeramkan. Membiarkan Chaewon mendengarkan degup jantungnya—

“Sayang?”

Hitomi mengerjap saat melihat Chaewon melambaikan tangan di depan wajahnya, “Kamu kenapa?”

Lagi-lagi Hitomi mengerjap, “Eh... Nggak,” Hitomi menggeleng cepat, dan meski wajah Chaewon menunjukkan raut tak percaya, gadis itu tidak bertanya lebih jauh. Sebelah tangannya meraih pergelangan tangan Hitomi, memintanya duduk di samping. Meski masih malu—sebab Chaewon begitu dekat tadi, Hitomi akhirnya mengambil tempat di sebelah gadis itu.

“Hii, bentar ya,” Chaewon menoleh—serta merta Hitomi memundurkan wajah. Hidung ketemu hidung—bukan jarak yang aman. “Bentar ya, aku masih lemes,” ujar gadis itu. Dari jarak sedekat ini, Hitomi bisa melihat peluh menetes di kening dan pelipis gadis itu. Padahal, teater dingin.

Hitomi menggeleng, mengeluarkan beberapa lembar tissue, lalu mencondongkan tubuh ke arah Chaewon.

“Aku kira tuh Kakak bercanda, tahu,” tangannya bergerak mengusap wajah Chaewon, menyeka bulir-bulir keringat yang menetes, “Tahunya beneran takut.”

“Sekarang percaya?” ujar Chaewon pelan. Tanpa sadar, ia menahan napas—ia tak yakin jantungnya siap jika Hitomi selalu sedekat ini.

“Iya,” Hitomi terkekeh. Ia melempar tissue ke arah tong sampah terdekat, lalu kedua tangannya bergerak menangkup wajah Chaewon, “Tapi gemes banget. Kak Chaewon yang serba bisa, yang serba 'ayo', yang serba berani, tiba-tiba kayak tikus ketemu kucing gitu, mengkeret ketakutan,” ia tersenyum hingga kedua matanya melengkung serupa bulan sabit.

Chaewon terkesiap. Napasnya tertahan, dan raut wajahnya berubah tak nyaman. Hitomi yang menyadari itu lantas mengerutkan dahi. Air mukanya berubah khawatir, “Kakak kenapa?” tanpa sadar gadis itu mendekat.

“Hii,” Chaewon menelan ludah, “Terlalu—” napasnya berubah pendek-pendek, “Dekat....”

Cepat Hitomi melepaskan kedua tangannya dari wajah Chaewon. Kini keduanya duduk bersisian tanpa tahu apa yang harus mereka lakukan. Mereka canggung luar biasa. Jika seseorang lewat di depan mereka, mungkin ia bisa melihat betapa merah telinga Chaewon, dan seberapa meronanya pipi Hitomi.

“Yang?”

Hitomi menoleh, masih dengan rona merah di pipinya, “Ya?”

Chaewon berdeham, “Aku bukan nggak nyaman ya,” matanya berlarian ke sana kemari, “Bukan—bukan nggak mau—um, sedekat itu sama kamu...” suaranya mengecil. Jemarinya tak mau diam di atas pangkuan, “Cuma—cuma kaget aja.”

Hitomi mengangguk—pelan, kaku. Kembali hening melingkupi mereka. Samar, mereka bisa mendengar pengumuman pintu teater lain telah dibuka. Hitomi melirik arloji yang melingkar manis di pergelangan tangan kirinya. Masih bisa santai kok.

Perlahan, gadis itu menggerakkan jemarinya. Meraih jemari Chaewon di pangkuan gadis itu. Menyatukannya. Mengisi celah di antara jemari Chaewon, membuatnya menoleh.

“Kalau gini,” Hitomi mencicit, “Kalau gini—terlalu dekat nggak Kak?”

Chaewon mengerjap, gantian menatap tangannya yang digenggam Hitomi dan gadis itu. Hitomi masih tak mau menatapnya. Tepat saat Hitomi berusaha melepaskan genggamannya, Chaewon menarik jemari gadis itu—mengeratkan genggaman mereka, menangkup tangan Hitomi dengan tangannya yang bebas. Hitomi menoleh.

“Nggak kok,” Chaewon tersenyum, “Malah—kurang dekat.”

“Kaak?”

Minju mengernyit, berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya yang menyelinap melalui lubang angin kamarnya. Ia meraih jam beker kecil yang ia letakkan di atas nakas samping tempat tidur. Pukul tujuh. Ini hari Sabtu, dan Minju yakin benar ia tidak membuat janji dengan siapapun. Lagipula, sejauh ini, tak ada penghuni kos yang seakrab itu dengannya.

Jadi siapa?

“Kak Minju?”

Ketukan halus itu terdengar lagi—teredam, pelan, namun tak cukup pelan untuk lewat dari pendengarannya. Minju mendorong tubuhnya bangkit, menyingkirkan selimut yang membungkus tubuhnya semalam. “Sebentar!” Minju berdeham, menyadari suaranya yang terdengar aneh.

“Air mana air—” Minju menarik botol minumnya, menenggak isinya yang tinggal sedikit dan melangkah ke arah pintu. Tangannya sigap memutar kunci, menarik kenop pintu saat—

“Lho, Jin?”

Di hadapannya Yujin berdiri, terbungkus hoodie biru dan sepatu kets, serta masker yang menutupi sebagian wajahnya. Meski Minju tak bisa melihatnya, ia yakin Yujin tersenyum, sebab mata gadis itu kini tinggal segaris.

“Kak, makan ini dulu ya, pasti baru bangun. Nanti aku ke sini lagi, mau ke kampus dulu,” Yujin menyorongkan paper bag yang dengan sigap diterima Minju.

“Kamu ke kampus ngapain?” Minju melongokkan kepala, mengintip isi paper bag. Bubur, teh panas, dan sebatang cokelat—dan Minju yakin cokelatnya pasti meleleh terkena panas dari bubur, tapi tak masalah. Ia bisa menyimpannya dulu di kulkas, dan Yujin tak perlu tahu soal itu.

“Latihan Kak,” Yujin menggoyang-goyangkan bahunya, “Hari ini jadwal squash.”

“Kamu ikut UKM berapa biji sih Jin,” Minju menggeleng, “Aktif banget heran, kapan istirahatnya coba?”

“Ya istirahat dong Kak, malem 'kan tidur,” Yujin terkekeh, “Lagian gatel banget kalau diem, mending ngapain gitu daripada bengong, gila sendiri,” Yujin melirik arlojinya, “Kak, aku harus di gymnasium tiga puluh menit lagi, aku pergi sekarang nggak apa-apa kah? Kak Minju bisa makan sendiri?” Meskipun nadanya terdengar mengejek, Minju tak bisa melewatkan sorot mata khawatir gadis itu.

Minju terkekeh.

“Bisaaa, aku bukan anak kecil,” ujarnya sembari meletakkan paper bag di meja dekat pintu, “Mau berangkat sekarang? Hati-hati, mendung. Bawa payung.”

“Aman Kak, ada di tas,” Yujin kembali menggoyangkan bahu, menunjukkan tasnya yang menempel di punggung, “Payung, handuk kecil, baju ganti, sandal, plester, botol minum, charger, power bank, rasa sayang buat Kak Minju juga ada,” dan Minju yakin, dibalik maskernya, gadis itu tengah menunjukkan cengiran lebar.

“Apa sih Yujin,” pelan sekali Minju berkata, “Ya udah, gih. Hati-hati. Berangkat sekarang aja, takut kehujanan di jalan.”

Yujin mengangguk, lalu merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Minju mengerjap, “Kenapa Jin?”

“Mau peluk dulu bentar Kak biar nanti mukul bolanya ada tenaganya.”

Minju menunduk, menahan tawa yang hampir menyembur, sekaligus menyembunyikan pipinya yang merona—sedikit. Namun tak urung ia melangkah masuk ke dalam pelukan gadis itu yang lantas merengkuhnya erat.

“Aku berangkat ya Kak, nanti habis squash, habis mandi, udah wangi, aku ke sini lagi. Dah Kak Minju,” gadis itu melepas pelukannya lalu berbalik menjauh, meninggalkan Minju yang senyum-senyum sendiri.

Ia bergerak ke arah tempat tidur, merebahkan tubuhnya di sana. Ia menatap langit-langit kamarnya yang putih bersih. Wangi parfum Yujin yang tercium tadi masih memenuhi rongga dadanya—hangat. Wangi bunga, musk, dan sedikit—Minju tak yakin, sesuatu seperti bedak bayi? Powdery. Tapi memang menurutnya, Yujin terlihat seperti bayi besar.

“AAAAK AKU KENAPA,” gadis itu menendang-nendang udara, menarik selimutnya, meremas boneka beruang di ujung tempat tidur. Ia lantas menarik ponsel dari atas nakas, lalu melihat deretan pesan dari Yujin. Ia tersenyum kecil. Satu nama terlintas di kepalanya. Tanpa ragu, ia membuka ruang obrolannya dengan orang itu.