kimchaejjigae

“Ini kenapa kita jadi nyasar ke sini?”

Nako menengadah, menatap tulisan 'Museum Sejarah' yang tercetak tebal dengan huruf keemasan di atas gerbang. Pilar-pilar putih berdiri di masing-masing sisinya. Beberapa orangtua terlihat menggandeng putra-putri mereka. Bahkan, Nako bisa melihat serombongan anak remaja berseragam sekolah dengan tanda pengenal terkalung di leher mereka.

“Lah katanya tadi nggak tahu mau ke mana?” Yuri menoleh dengan dahi berkerut, “Aku ogah desak-desakkan di bus, mending turun di sini aja nggak sih. Lagian rute bus yang itu 'kan pendek.”

Nako menggertakkan gigi, “Ya nggak museum juga dong Car ah,” ia berkata gemas, “Perasaan kalau nunggu satu halte lagi kita bisa jalan ke Plaza.”

“Hadeh, Beb, nge-mall tuh tiap hari juga bisa. Nggak elit banget kencan pertama ke mall. Udah buru, masuknya juga gratis ini,” Yuri lantas menggamit lengan kekasihnya, menyeret gadis itu masuk melewati segerombolan anak sekolah bau matahari, tanpa menyadari bahwa pipi Nako merona sedari tadi, menatap jemari mereka yang kini bertautan.

Bisa-bisanya aku pacaran sama si Yuri.


“Ih, Nabuki, cepet sini!”

Nako mengalihkan pandangannya dari maket miniatur kota yang ditutup kaca di depannya. Saat ia menoleh, Yuri tengah tersenyum manis sambil berdiri di depan barisan gerbang warna-warni. Sebelah alisnya terangkat.

“Ape?”

“Fotoin dong, Sayang,” gadis itu mengedip-ngedipkan mata, “Buru, cantik nih kalau difoto dari sana.”

Nako bergidik, “Sumpah Joguri genit banget,” gadis itu masih terpaku di tempatnya, membuat Yuri berdecak.

“Cepetan ah,” ia menyeret Nako, membawanya ke ujung lain barisan gerbang, lalu kembali ke tempatnya, “Buru, nanti takut ada orang.”

Nako menggeleng, lantas menarik ponselnya dari saku. Jempolnya mengetuk simbol aplikasi kamera, lantas mengarahkan ponsel pada Yuri.

“OOOH,” gadis itu berseru, “BENERAN CAKEP TERNYATA KAYAK ILUSI OPTIK.”

“Aku bilang juga apa!” gadis itu menimpali dengan bersemangat, “Cepetan! Keburu orang lain ke sini!”

Bak fotografer dan modelnya, mereka berdua akhirnya sibuk mengambil foto. Beberapa pengunjung yang lewat sampai berjengit melihat Nako yang memiringkan tubuh demi mendapatkan hasil foto yang sempurna.

Namun siapa peduli? Saat ini Bumi milik mereka. Sisanya cuma ngontrak.

Setelah puas berfoto—dan mengomentari berbagai dokumen dan benda-benda bersejarah di museum, mereka akhirnya berjalan menuju bagian souvenir.

“Nabuki, Nabuki,” Yuri menggoyangkan tangannya yang digenggam Nako. Nako menoleh, “Apaan?”

“Kartu posnya lucu deh lihat,” gadis itu mengarahkan telunjuknya pada setumpuk kartu pos dengan potret alam yang tercetak di sana, “Terus ini ada yang lukisan juga lihat.”

Nako mengerucutkan bibir, “Kamu mau?”

Yuri mengerjap, “Nggak ih,” cepat dia menggeleng, “Mahal banget anjir. Selucu-lucunya kartu pos, aku nggak suka koleksi gituan. Keluar yuk, cari makan, laper.”

“Lah?”

Sekali lagi Nako dibuat heran dengan tingkah kekasihnya itu, namun tetap saja ia melangkah mengikuti ke manapun Yuri pergi.

Ke manapun Yuri pergi. Kalau bisa, dia juga mau turut serta.


“Ini mau ke mana lagi astaga Joguriii, Pasar Seni lewat, Plaza lewat, ke mana lagi?!”

Tangan Nako yang bebas mengusap peluh di dahinya yang mulai bercucuran. Matahari sudah tergelincir di barat, namun tetap saja cuaca panas. Ditambah lagi, mereka berjalan kaki ke mana-mana—berjalan kaki mengitari sudut kota.

Dulu, Nako pernah membayangkan bagaimana asyiknya kalau ia berkencan keliling kota dengan pacarnya. Bergandengan tangan menyusuri trotoar, membicarakan hal-hal remeh, atau mungkin, memberi makan burung-burung yang sedang malas terbang.

Tapi kenyataan memang tak melulu indah.

Saat ia akhirnya punya pacar (dan ia tak pernah membayangkan bahwa ia akan melakukan hal-hal yang ia anggap romantis bersama Jo Yuri), saat akhirnya ia berkesempatan berkencan keliling kota, bukan hal-hal remeh yang mereka bahas. Bukan tawa dan semilir angin yang menghiasi kencan mereka.

Debu, peluh, dan keluh.

“Bawel banget sih Nabuki ah,” Yuri mencebik, “Ini tuh dari tadi aku nyari tukang air mata kucing kok pada hilang?”

Nako melongo. Seketika langkahnya terhenti. Yuri yang menyadari Nako tak lagi bergerak bersamanya menoleh, “Apaan?”

“JADI DARI TADI KAMU NYARI TUKANG AIR MATA KUCING, HAH?”

Yuri menelengkan kepalanya, “Iya? 'Kan emang kalau titip minum sama kalian suka minta itu 'kan? Tapi aku nggak tahu di mana nyarinya soalnya biasa nitip atau delivery doang.”

Nako menepuk keningnya kelewat kencang, “YA ANJIR KENAPA NGGAK BILANG DARI TADIIII,” Nako lantas menarik Yuri mengikutinya, membuat gadis itu menatapnya keheranan.

“Beb, heh, Beb, ini mau ke mana?!”

Nako sama sekali tak menoleh, ia malah mempercepat langkahnya.

“NABUKI ANJIR INI MAU KE MANA?”

“Belakang Plaza!” Nako berkata ketus, “Ini nyari air mata kucing 'kan? Di belakang Plaza juga ada, noh, deket taman!”

Yuri mengerjap, meski langkah kakinya tetap berusaha mengimbangi kecepatan Nako.

“Ko.”

”....”

“Nako”

”....”

“Yabuki”

“Apa?!”

“Ih jangan maraaah,” Yuri mencebik, “Jangan marah-marah, Nako.”

Nako menghela napas, “Nggak marah aku tuh Yur.”

Gadis itu masih saja mencebik, “Ya itu dipanggil nggak nyahut?”

Nako memejam, lalu menggeleng, “Nggak marah, Yur, ini tuh kepanasan akunya, mau cepat sampai aja. Capek.”

Yuri terdiam, tanpa sadar menggigit bibir. Ia lantas merogoh tas, menarik beberapa lembar tissue, lantas menyodorannya ke arah Nako, “Mau dilapin sekalian?”

Nako menggeleng cepat, “Nggak, nggak, nggak usah,” ia buru-buru menarik tissue dari tangan Yuri, mengusap peluhnya sendiri, “Ayo jalan.”

Mereka akhirnya berjalan bersisian menuju kios kecil yang dimaksud Nako. Kios itu bukan kios sama sekali. Hanya sebuah gerobak kecil di sudut taman, dinaungi pepohonan rindang, menghadap air mancur yang terletak tepat di tengah-tengah taman.

“Yur, aku tunggu di sana ya? Sakit banget nih kaki,” Nako menunjuk sebuah bangku yang terletak tak jauh dari mereka, lalu melangkahkan kaki tanpa menunggu jawaban dari Yuri. Ia mendaratkan pantatnya dan mendesah saat punggungnya mencium sandaran kursi. Diliriknya anak-anak yang tengah tertawa di atas ayunan. Ia tersenyum kecil. Ah, kayaknya—

“Anj— DINGIN!”

Yuri terkekeh sambil menarik cup minuman dari pipi gadis itu, lalu menyodorkannya ke arahnya, “Minum dulu deh biar hatinya adem.”

Meski masih bersungut-sungut, Nako akhirnya menarik bungkus sedotan dan menyedot minumannya sedikit-sedikit. Ia mendesah, “Haah enak banget duduk.”

“Ko,” Yuri menoleh, menatap Nako yang balas menatapnya sambil menyedot minuman, “Hm?”

“Maaf ya,” gadis itu mengatupkan bibir rapat-rapat, membentuk garis tipis, “Aku nggak pernah kencan sama pacarku—nggak deng, emang nggak pernah punya pacar, hehe,” gadis itu tertawa kikuk, “Sama Kak Yena juga paling cuma ke arkade atau makan. Maaf, aku nggak tahu kalau kencan sama pacar itu harus gimana.”

Gadis itu bergerak menepuk-nepuk punggung Nako yang terbatuk, “Nggak apa-apa?”

“Ya sama Yur,” Nako berkata meski masih terbatuk, “Aku juga nggak tahu kalau kencan sama pacar itu harus gimana. Lagian, kayak, kita nih dadakan banget nggak sih?”

Gadis itu meletakkan cup yang ia pegang sedari tadi di sampingnya, “Kayak, kita tuh ya, selama ini temenan, terus—terus,” ada semburat merah di pipinya, “Terus—jadian, terus kencan,” Nako berkata pelan, “Kayak, aku tuh masih belum biasa nganggep kamu pacar.”

Keduanya terdiam, membiarkan suara tawa anak kecil dan teriakan orangtua mereka agar mereka berhati-hati mengisi keheningan di antara mereka. Yuri menoleh, mendapati Nako yang kini menatapnya dengan sebuah cengiran lebar.

“Pelan-pelan gitu boleh nggak, Yur?”

Yuri terkekeh, “Oke, pelan-pelan.”

“Oke, sekarang tanya Kak Chaewon sama Hitomi di mana,” ujar Nako sambil mengibaskan tangannya, menunjuk langit yang menggelap, “Udah malem ternyata,” ia menarik cup di sampingnya, menyedot minumannya yang tersisa.

“Ngapain?” Yuri mengerutkan dahi.

“Minta jemput lah,” gadis itu berkata santai, “Mau emang kamu desak-desakkan lagi naik bus kota hah? Udah gila. Cepet tanya Kak Chaewon di mana, mereka pasti masih kencan, baru jam segini. Syukur-syukur kita diajak makan malam gratis sekalian.”

Yuri terbahak, namun tak urung mengeluarkan ponsel dari tasnya.

“Yur?”

“Hm?” jemarinya mengetikkan sederet huruf, tak menoleh pada Nako sama sekali, “Apaan?”

“Jangan sebut-sebut Kak Yena lagi dong?”

“Ciee, Nabuki cemburu?” Yuri melirik sekilas ke arah Nako, namun termangu saat Nako menatapnya dengan serius.

“He eh. Aku cemburu. 'Kan, aku yang pacarmu, bukan dia.”

Tawa dan obrolan-obrolan konyol tak henti mengudara dalam mobil. Yuri, si oknum ember bocor tak henti membuat Yujin terkekeh sedari tadi. Di kursi belakang, Hitomi yang merebahkan diri di pangkuan Chaewon sesekali tersenyum kecil.

“Jin, kamu tuh harus tahu ya,” Yuri setengah berteriak dari kursi tengah mobil, “Si Minju tuh dulu pas ospek tukang planga-plongo sampai pernah lagi apel pagi dibentak Kak Nayoung,” ia terkekeh. Jemarinya bergerak menarik keripik kentang dalam kemasan, “Herus,” di sebelahnya Minju mengernyit, “Telen dulu ih Jo Yuri.”

Gadis itu menutup mulut, “Hah,” terdengar decapan halus dari gadis itu, “Tahu nggak dia dikatain apa dulu?”

Di sebelahnya Nako tertawa, “Itu 'kan, 'Heh! Kamu! Ada yang lucu? Kenapa senyum-senyum?' Terus—” Nako tak sanggup melanjutkan kata-katanya, sebab tawanya menyembur. Di bangku depan, Yujin menoleh sekilas, kekeh pelannya mengudara, “Terus apa Kak?”

“Terus,” Yuri berkata, “Si Minju jawab, 'Maaf Kak, tapi emang wajah saya gini, kelihatan senyum terus meskipun nggak senyum', gitu masa Jin,” Yuri tergelak melihat ekspresi Minju yang berubah masam.

“Terusin aja jelek-jelekin akunya, aku nggak apa-apa kok, aku kuat, asuransiku kenceng,” ujar gadis itu sambil mencebik. Dari tempat duduknya yang tepat berada di belakang Yujin, Minju bisa melihat gadis itu menoleh sekilas ke arahnya, menunjukkan lesung pipinya yang selalu jadi buah bibir mahasiswa.

“Hitomi oke, Won?” Chaeyeon melirik melalui spion, “Tidur?”

Chaewon mengangguk, “Iya. Nggak apa, kok. Nggak nyaman sih tidur meringkuk gini, tapi dia nggak apa-apa—bentar si Yena nelepon,” tangan kanannya bergerak menarik ponsel dari dalam tasnya, sementara tangan kirinya mengusap pelan kepala Hitomi, “Halo Yen?”

“Dah jauh lu?”

“Udah sejam jalan,” Chaewon berkata, “Itu udah beres urusan kunci kamar si Hyewon?”

“Kelar,” gadis itu menyahut, “Ini gue tinggal berangkat. Mobil lu nggak penuh ketambahan Yuri sama Nako?”

“Wonyoung udah berangkat duluan kok,” ia berujar, “Ya udah, hati-hati Yen.”

“Ho oh,” namun seakan tersadar, Yena tiba-tiba berkata, “Kagak nyetir lo? Santai banget nerima telepon? Hitomi biasanya cerewet kalau lo nerima telepon lagi nyetir.”

“Chaeyeon yang nyetir, Hitomi semalem bengek, anaknya tidur.”

“Gelendotan sama lu kali maksudnya,” Chaewon terkekeh pelan, tak ingin menanggapi, “Oke gue jalan ya. Semoga nggak macet.”

“Yok, hati-hati,” sambungan telepon terputus. Menyadari keheningan yang menyapa, kedua alisnya terangkat. Diliriknya ketiga gadis yang kini saling menyandarkan kepala; Nako pada Yuri, Yuri pada Minju, dan Minju—pada jendela.

“Perasaan aku ngobrol sama Yena nggak lama,” gadis itu terkekeh pelan, diikuti tawa tanpa suara Chaeyeon dari balik kemudi.

“Abis baterai itu sih,” sahutnya pelan, “Dari tadi ngomong sama makan mulu gimana nggak ngantuk.”

“Jin ngantuk nggak?” Chaewon melongokkan kepala, berusaha mengecek keadaan adik tingkatnya itu, “Maaf jadi harus nemenin Chaeyeon di depan.”

“Nggak kok Kak,” Yujin menoleh, lantas menggeleng, “Kak Hitominya beneran nggak apa-apa?”

“Dia kalau sakit emang gitu Jin,” ujar Chaeyeon, “Gelendotan mulu dia sama Chaewon kalau sakit. Eh, lo kalau mau tidur, tidur aja Jin, nggak apa-apa. Nggak perlu berusaha melek karena gue.”

“Nggak ngantuk kok Kak—” kalimatnya terputus, membuat kedua kakak tingkatnya yang masih terjaga itu terkekeh.

“Tidur aja Jin, santai.”

“Maaf ya Kak,” Yujin lantas membetulkan posisi duduknya, menyandarkan kepala pada jendela dan bersedekap, “Semalem nyalin catatan banyak banget,” ia memejam, dan Chaeyeon bahkan hampir tak bisa menangkap kalimat terakhirnya, sebab gadis itu bicara pelan sekali. Chaeyeon melirik gadis itu sekilas dan tersenyum kecil.

“Selamat tidur, Jin.”


“Ini kita salah tempat nggak sih?”

Keenam gadis itu—Chaeyeon, Chaewon, Minju, Nako, Hitomi dan Yuri ternganga melihat villa

Dalam Cerita “Kabinet Pom Bensin


“Yujiiin!”

Yujin yang merasa namanya dipanggil lantas menoleh. Buru-buru ia bangkit menghampiri Minju. Tangannya bergerak meraih bungkusan yang dipegang—atau mungkin lebih tepatnya setengah diseret oleh gadis itu.

“Trims,” sebuah cengiran penuh kelegaan menghiasi wajahnya, dan mau tak mau, Yujin tersenyum. Dari kejauhan tadi, gadis itu tampak kepayahan membawa bungkusan yang kini sebelah talinya berada di tangannya.

“Apa nih Kak?” Yujin menarik bungkusan tersebut, mengintip isinya, “Kata Wonyoung 'kan jangan bawa makanan dih. Mami kalau masak udah kayak mau kendurian tahu Kak.”

Minju terkekeh, “Buat di jalan, Jin,” mereka berdua menahan napas saat meletakkan bungkusan yang Minju bawa ke atas meja batu. Sejenak gadis itu tampak celingukan, “Kak Chaewon, Hitomi, Kak Chaeyeon sama Wonyoung mana Jin? Kok kamu sendirian? Kalian dijemput Kak Chaewon 'kan?”

“Wonyo tadi duluan 'kan, dijemput supirnya Mami,” Yujin mendaratkan pantatnya tepat di sebelah Minju, “Lupa bilang di grup. Tapi 'kan aku sama Wonyo tinggal di apartemen yang sama, jadi ya Kak Chaewon tetep jemput aku.”

Minju mengangguk, “Terus pada ke mana?”

“Kak Chaewon ngambil obat Kak Hitomi yang ketinggalan katanya,” Yujin memajukan bibir, “Kak Hitomi sih ke toilet sama Kak Chaeyeon, tapi Kak Chaeyeon tadi lagi nerima telepon gitu.”

Minju cuma diam, tak menanggapi lagi. Merasa keheningan di antara mereka mulai menggigit, Yujin akhirnya berkata, “Kak Yena sama geng risol danusan mana Kak?”

Minju mendengus geli, “Astaga, kenapa jadi terkenal banget sih nama grup itu,” ujarnya, “Kak Yena lari ke kosan Kak Hyewon dulu, bantuin benerin kunci. Yuri sama Nako lagi di ATM bawa uang.”

“Mesra banget lo berdua,” tiba-tiba Chaeyeon mewujud di depan mereka, membuat Minju terlonjak dengan mata membulat. Tawa Chaeyeon menyembur, “Duh, gue harusnya foto muka lo barusan. Meme baru untuk kita semua!”

“Kak ih,” Minju mencebik, pipinya menggembung, “Kenapa siiih.”

“Ya 'kan emang kamu tuh meme berjalan Ju,” Hitomi mengempaskan diri di sebelah Chaeyeon, diikuti oleh Chaewon yang mengambil tempat di sebelahnya, “Ada Yang obat akunya?”

“Ini di tas aku ada,” Chaewon menepuk-nepuk tas yang tersampir menyilang di tubuhnya, “Di aku aja, nanti kamu lupa lagi,” Hitomi cuma mengangguk, “Nako sama Yuri mana, Jin, Ju?”

“Di ATM Kak,” cepat Yujin menjawab. Raut wajahnya berubah khawatir, “Kak Hitomi sakit banget nggak? Kenapa nggak pulang aja?”

Hitomi tersenyum kecil, lantas ia menggeleng, “Nggak, tenang aja Jin,” namun air muka Yujin tak berubah sama sekali—sebab bagaimana bisa? Hitomi terlihat pucat, “Emang punya sesak nafas gitu aku. Bukan asthma, nggak ngerti lah. Kata dokter sih alergi. Kemarin malem baru aja sesak nafas, jadi mesti minum obat itu.”

“Mau tidur?” Chaewon menunduk sekilas saat Hitomi menyandarkan tubuh padanya, “Tenang, Yujin,” Chaewon terkekeh saat matanya menangkap Yujin yang terlihat lebih khawatir, “Dia emang kurang sehat kemarin, kegiatannya padat. Nggak apa-apa, tenang aja.”

“Kak Chaeyeon nggak berasa jadi nyamuk?” seakan mewujud dari udara tipis, Yuri muncul di samping Minju, mendesah saat pantatnya beradu dengan kursi batu panjang, “Omong-omong, kata Kak Yen, berangkat duluan aja. Kak Hye masih benerin kunci kosan. Aku sama Nako tunggu di mobil Kak Yen aja.”

“Muat kok kalau satu orang doang Yur,” Chaewon menepuk-nepuk pipi Hitomi sekilas, memastikan gadis itu tetap terjaga, “Tapi karena kalian mini, bisa tuh dempetan di belakang sama Minju,” Chaewon terkekeh.

“Sama Hitomi kali Kak,” Yuri mencibir, namun cibirannya menguap begitu saja saat melihat Hitomi yang dari tadi bersandar pada Chaewon, “Lah kamu sakit beneran Hii?”

“Dikata aku pernah sakit bohongan?” Hitomi merengut, lantas menegakkan punggung, “Kak Chaeyeon, gimana jadinya? Berangkat sekarang aja?”

Chaeyeon mengerucutkan bibir, “Ya udah sekarang aja nggak sih? Takutnya kelamaan, kasihan Wonyoung. Nggak enak kalau keduluan Kak Johnny nanti.”

“Ya udah,” Chaewon merogoh saku, menarik keluar kunci mobilnya, lalu melemparnya ke arah Chaeyeon yang dengan tangkas menangkapnya—terima kasih pada refleks tubuhnya yang terlatih dengan baik di klub softball.

“Lo nyuruh gue nyetir?” sebelah alis Chaeyeon terangkat. Telunjuk Chaewon mengarah pada Hitomi yang kembali menyandarkan kepala di bahunya. Chaeyeon mengangkat bahu, “Oke. Besok lo yang nyetir ya,” ia beranjak dari duduknya, lantas berjalan ke arah mobil Chaewon yang diparkir tak jauh dari sana.

“Yuk Jin?” Minju berkata saat mendapati Yujin yang termangu di tempat duduknya.

“Eh, iya ayo—sama aku aja Kak bawa bungkusannya,” gadis itu meraih bungkusan besar yang Minju bawa dengan mudah, seakan bungkusan besar itu seringan kapas, lalu berlari ke arah mobil, meninggalkan Minju yang terbengong-bengong menyaksikan gadis jangkung itu tak hanya menggendong tas miliknya sendiri, namun milik Minju.

“Kamu makan apa sih Jin, itu tenaga gede banget,” Minju menggeleng, lantas melangkah menghampiri teman-temannya.

Liburan rasa perang, apa perang rasa liburan sih ini.

“Mau mati aja rasanya,” Chaewon menyandarkan tubuhnya pada jok mobil. Di sebelahnya Hitomi meringis.

“Ayah nanya apa aja?”

“Banyak,” tangannya bergerak memasang sabuk pengaman, lantas ia menoleh ke arah Hitomi, “Tapi yang terakhir nanya kenapa harus kamu yang jadi pacarku.”

“Terus Kakak jawab apa?” Senyumnya sedikit lebar; mengantisipasi. Karena kalau boleh jujur, ia sendiri penasaran kenapa akhirnya Chaewon memberikannya sebuah kepastian akan sikap dan perhatian-perhatian kecil yang kerap kali ia beri.

Sebuah kepastian tentang perasaannya, bahwa selama ini, ia tak jatuh sendiri.

“Aku jawab karena kamu satu-satunya yang bilang artikelku sampah.”

Tawa Hitomi pecah begitu saja, namun berangsur hilang saat mendapati Chaewon yang memasang muka merajuk. Sorot matanya berubah teduh, “Jadi maksudnya, karena aku satu-satunya orang yang berani jujur di depan Kakak, Kakak jadi mau sama aku gitu?”

“Banyak sih alasannya,” Chaewon mencondongkan tubuh, membuat Hitomi menahan napas, sebab Chaewon begitu dekat, dan satu gerakan kecil, mungkin bibir mereka akan bertemu, “Tapi jawaban itu bikin aku dapat lampu hijau dari ayah kamu,” tak lama terdengar suara klik dan Chaewon kembali ke posisinya semula.

“Udah siap, 'kan?”

Hitomi masih termangu menatap Chaewon yang balas memandangnya dengan kedua alis terangkat.

“Sayang?”

Hitomi mengerjap.

“Hitoma?”

“Kakak panggil aku apa tadi?”

“Hitoma?” Sebelah alisnya terangkat, “Kenapa emang?”

“Bukan itu,” ia menggeleng, “Yang sebelumnya,” cicitnya pelan.

“Sayang?”

Ada rona merah di kedua pipinya begitu kata itu meluncur dari mulut Chaewon. Cepat-cepat ia mengalihkan pandangannya ke arah jendela di sampingnya, “Jalan sekarang yuk, Kak.”

Chaewon tergemap sebelum akhirnya terkekeh pelan. Sebelah tangannya terjulur mengusak rambut Hitomi yang dihadiahi gerutuan kecil oleh gadis itu, “Kenapa kamu baru selucu ini sesudah jadi pacarku? Kenapa nggak dari kemarin-kemarin?”

“Kaak,” gadis itu merengek tanpa menatap Chaewon sama sekali, “Ayo jalaan.”

“Iya, iya jalan,” Chaewon tertawa kecil sebelum menyalakan mesin mobil, “Iya, Sayang, kita jalan,” lalu mereka meluncur membelah jalanan yang lengang pagi ini, menantikan apa yang akan terjadi di kencan pertama mereka.

“Mau mati aja rasanya,” Chaewon menyandarkan tubuhnya pada jok mobil. Di sebelahnya Hitomi meringis.

“Ayah nanya apa aja?”

“Banyak,” tangannya bergerak memasang sabuk pengaman, lantas ia menoleh ke arah Hitomi, “Tapi yang terakhir nanya kenapa harus kamu yang jadi pacarku.”

“Terus Kakak jawab apa?” Senyumnya sedikit lebar; mengantisipasi. Karena kalau boleh jujur, ia sendiri penasaran kenapa akhirnya Chaewon memberikannya sebuah kepastian akan sikap dan perhatian-perhatian kecil yang kerap kali ia beri.

Sebuah kepastian tentang perasaannya, bahwa selama ini, ia tak jatuh sendiri.

“Aku jawab karena kamu satu-satunya yang bilang artikelku sampah.”

Tawa Hitomi pecah begitu saja, namun berangsur hilang saat mendapati Chaewon yang memasang muka merajuk. Sorot matanya berubah teduh, “Jadi maksudnya, karena aku satu-satunya orang yang berani jujur di depan Kakak, Kakak jadi mau sama aku gitu?”

“Banyak sih alasannya,” Chaewon mencondongkan tubuh, membuat Hitomi menahan napas, sebab Chaewon begitu dekat, dan satu gerakan kecil, mungkin bibir mereka akan bertemu, “Tapi jawaban itu bikin aku dapat lampu hijau dari ayah kamu,” tak lama terdengar suara klik dan Chaewon kembali ke posisinya semula.

“Udah siap, 'kan?”

Hitomi masih termangu menatap Chaewon yang balas memandangnya dengan kedua alis terangkat.

“Sayang?”

Hitomi mengerjap.

“Hitoma?”

“Kakak panggil aku apa tadi?”

“Hitoma?” Sebelah alisnya terangkat, “Kenapa emang?”

“Bukan itu,” ia menggeleng, “Yang sebelumnya,” cicitnya pelan.

“Sayang?”

Ada rona merah di kedua pipinya begitu kata itu meluncur dari mulut Chaewon. Cepat-cepat ia mengalihkan pandangannya ke arah jendela di sampingnya, “Jalan sekarang yuk, Kak.”

Chaewon tergemap sebelum akhirnya terkekeh pelan. Sebelah tangannya terulur mengusak rambut Hitomi yang dihadiahi gerutuan kecil oleh gadis itu, “Kenapa kamu baru selucu ini sesudah jadi pacarku? Kenapa nggak dari kemarin-kemarin?”

“Kaak,” gadis itu merengek tanpa menatap Chaewon sama sekali, “Ayo jalaan.”

“Iya, iya jalan,” Chaewon tertawa kecil sebelum menyalakan mesin mobil, “Iya, Sayang, kita jalan,” lalu mereka meluncur membelah jalanan yang lengang pagi ini, menantikan apa yang akan terjadi di kencan pertama mereka.

“Jadi namamu Kim Chaewon ya? Betul?”

Chaewon tak mengerti kenapa ia harus terjebak di situasi ini sekarang.

Pagi-pagi sekali hari ini ia terbangun, dengan jutaan skenario dan rencana di kepalanya, yang lantas mengerucut menjadi susunan acara kecil: menjemput Hitomi di rumahnya, menonton film di bioskop, lalu mengajaknya ke sebuah kafe yang ingin ia coba—meski jaraknya agak jauh.

Ia tidak pernah membayangkan rencananya itu hanya menjadi rencana, dan kenyataan yang harus dia hadapi saat ini di luar ekspektasinya.

Ia tak berharap duduk di ruang tamu keluarga Honda berseberangan dengan Katsuya Honda, ayah dari kekasihnya, dan berdua saja, di kencan pertamanya dengan Hitomi.

“Eh, iya Om,” tangannya tanpa sadar mengelus lututnya sendiri, “Saya Kim Chaewon.”

Pria itu mengangguk. Air mukanya masih saja datar sejak pertama kali Chaewon menginjakkan kakinya di ruang tamu mereka, “Sudah kuliah berarti ya? Kamu lebih tua dari anak saya 'kan?”

“Iya Om,” Chaewon mengangguk. Ini baru pacaran, gimana kalau ngajak nikah anjrit?

“Jurusan apa?”

“Kewirausahaan Om,” jawabnya singkat, yang sontak dihadiahi ekspresi terkejut oleh pria di hadapannya.

“Pilih sendiri?”

“Diarahkan Papa, Om,” sejenak Chaewon menimbang apakah jawabannya tepat—

“Masa depan kamu lho itu. Masa mau diatur sama orang lain? Kok macam nggak punya pendirian kamu nih.”

“E-eh,” Chaewon cepat-cepat menggeleng, lalu kedua tangannya terangkat di depan dada—gestur penolakan paling cepat yang pernah ia lakukan.

“Memang diarahkan Papa, Om, tapi itu hasil diskusi panjang saya dengan Papa. Saya jelaskan pada Papa apa yang saya mau dan apa yang saya suka, lalu Papa juga menjelaskan harapannya pada saya. Jadi tidak sepenuhnya saya mengikuti pilihan orangtua saya.”

Sebelah alis pria itu terangkat, namun tak berkomentar apa-apa. Ia lantas berkata, “Kenal Hitomi sudah lama?” Pria itu kemudian meraih cangkir berisi teh yang masih mengepulkan asap, menguar aroma yang menyenangkan di udara, “Diminum, Chaewon.”

“Sudah sekitar tiga tahun, Om,” ujarnya sembari mengikuti gerak-gerik pria itu; mendekatkan cangkir teh ke arah bibir, menghirup aromanya, lalu menyesapnya pelan, “Ketemu—eh, di ekskul.”

“Oh, kamu anak jurnalistik juga,” pria itu mengangguk, “Kenapa nggak kuliah jurnalistik aja?”

“Saya memang menyenangi dunia itu, Om,” dengan hati-hati ia berujar, “Tapi saya juga punya cita-cita lain. Bagi saya, jurnalistik itu hobi. Kegiatan di klub menjaga saya agar tetap waras. Yang ingin saya kejar saat ini menuntut saya untuk menempuh pendidikan di jurusan yang saya ambil sekarang.

“Tapi saya yakin, kemampuan jurnalistik yang saya asah tiga tahun ke belakang juga akan sangat berguna dalam pekerjaan saya kelak, Om,” Chaewon lantas memaksakan sebuah senyum. Ini aku lagi interview kerja apa gimana sih, serem amat.

“Kenapa anak saya?” Pria itu memandangnya lekat-lekat, dan meski kalimat pria itu tak utuh, Chaewon bisa memahami maksudnya.

Kenapa harus Hitomi yang jadi pacarmu?

Otaknya berputar cepat. Ada lebih dari seribu satu alasan kenapa ia jatuh hati pada Honda Hitomi. Gadis itu cantik, baik rupa dan hatinya. Gadis itu juga manis, baik tutur dan lakunya.

Tapi akan selalu ada yang lebih cantik, lebih manis, dan mungkin lebih baik dari Hitomi, meskipun ia sangsi ia mau dengan selain Hitomi meski mereka lebih baik, lebih cantik, atau lebih manis.

Jadi kenapa?

“Soalnya cuma Hitomi yang ngatain artikel saya sampah, Om,” jawaban itu meluncur begitu saja dari mulutnya.

Ia tergemap. Begitu pula pria di hadapannya. Denting jarum jam di dinding menjadi satu-satunya suara yang bisa mereka dengar.

Mampus salah ngomong, mampus Kim Chaewon, mampus—

Tiba-tiba pria di hadapannya tergelak, dan tanpa sadar Chaewon mengembuskan napas yang sedari tadi ia tahan.

“Kamu unik,” ujarnya, dan Chaewon memaksakan sebuah cengiran kaku. Pria itu lantas berdiri, “Mau ke mana sama Hitomi?”

“Nonton, Om,” Chaewon turut bangkit saat melihat ayah Hitomi bangkit dari duduknya, “Hitomi katanya mau nonton film ini.”

Laki-laki itu mengangguk, “Jangan kemalaman pulangnya. Jam 7 sudah harus di rumah,” pria itu lantas berjalan mendekat ke arah tangga yang terletak tak jauh dari tempatnya duduk, tersembunyi di balik lemari yang membatasi pandangan Chaewon pada ruang keluarga mereka.

Pria itu mendongak, “Hitomi, pacar kamu nunggu ini, Nak!” Chaewon tersentak. Telinganya memerah—ia bahkan yakin sekujur tubuhnya memerah. Tak lama, terdengar derap langkah yang mendekat, dan Hitomi muncul dari balik lemari, dengan rambut dikuncir kuda dan terusan berwarna putih. Chaewon tergeragap.

“Kak?” Gadis itu memiringkan kepalanya ke kiri, “Kenapa?”

“Cantik,” bisiknya pelan, tapi masih sanggup didengar Hitomi. Pipinya memerah. Di belakang mereka, ayah Hitomi tiba-tiba berdehem.

“Nggak pergi sekarang aja? Apa mau sekalian makan dulu di sini?”

Cepat Hitomi menggeleng, “Ayah,” ia mendesis, “Hitomi berangkat ya Yah,” ia berkata sambil mencium pipi ayahnya sekilas, “Bundaaa Hitomi berangkat!” Lalu terdengar 'hati-hati di jalan' dari arah dapur.

“Pamit dulu Om,” ujar Chaewon sebelum ia berbalik menuju pintu, menyusul Hitomi yang terlihat seperti peri bunga yang siap menebar bubuk peri dan membawanya terbang ke langit ketujuh, lalu jatuh dan mendarat di antara jutaan bintang di angkasa.

“Yujin...” Minju meringis mendengar suaranya sendiri. Kayak kodok, pikirnya, lalu segera ia mendengus, Pantesan si Yuri manggil aku kodok.

“Kak Minju?” ia bergeser, mencari posisi ternyaman di atas tempat tidur—namun meringis saat selimutnya tersingkap. Buru-buru ditariknya selimut hingga menutupi leher. Mulutnya megap-megap—sebab ia kini persis iklan obat flu yang itu, yang ini mampet, yang ini nggak.

“Jin, maaf...”

“Kak Minju sakit?” nada suaranya terdengar cemas, “Kak Minju—” suaranya kalah nyaring dengan bunyi kendaraan di belakangnya. Minju mengernyit.

“Lagi di mana, Ding?”

“Lagi di luar Kak, habis ini rencananya mau ke sana, tapi mendadak harus kumpul UKM buat lomba, ini juga baru mau ngabarin Kak Minju,” gadis itu berkata, “Kak Minju sakit apa? Mau aku ke sana aja?”

Minju menggeleng pelan, lalu seakan baru sadar bahwa Yujin tak bisa melihatnya, ia akhirnya berujar, “Jangan, Ding. Kamu mau lomba. Fokus aja, oke? Kita kencan lain kali aja.”

Hela napas Yujin terdengar begitu dekat di telinganya, seakan gadis itu ada di sini, “Jangan gitu, Kak. Aku nggak bisa fokus kalau—”

“Kuliah nomor satu,” ucap Minju tegas. Ia memejam, mengernyit menahan sakit di kepalanya. Seakan seseorang tengah memalu kedua pelipisnya, “Kuliah nomor satu, Yujin,” ia sekali lagi berkata. Nada suaranya tegas. Final. Tak mau dibantah.

Sejenak hanya suara kendaraan yang berlalu lalang dan obrolan manusia-manusia di belakang Yujin saja yang terdengar. Minju sudah akan menutup teleponnya saat Yujin berkata, “Aku nanti ke sana kalau kumpulannya udah selesai ya Kak. Hati-hati. Aku sayang Kakak.”

Minju tersenyum kecil, lalu memutus sambungan telepon mereka. Ia menghela napas. Kencan yang ia tunggu-tunggu lagi-lagi batal, dan kali ini, bukan karena Yujin yang terlampau sibuk.

Sial banget aku harus sakitnya sekarang, Minju menggerutu dalam hati, Kenapa sih, orang-orang pada nggak suka apa ya aku mau kencan sama Yujin? Masa habis jadi pacar belum pernah kencan sama sekali?


Minju tak yakin berapa lama ia tertidur—namun sepertinya ia tertidur tak lama setelah ia memutus panggilannya dengan Yujin. Ia melongok ke balik selimut. Basah banget, pikirnya. Ia lantas mendorong tubuhnya untuk duduk, menyingkirkan selimut yang menutupi tubuhnya, lalu bergerak ke arah lemari.

Ia menarik asal kaos pertama yang ia lihat, melempar kaosnya yang basah oleh keringat ke arah keranjang cucian, lalu kembali berbaring di atas tempat tidur. Ditariknya gelas yang selalu ia letakkan di atas laci kecil yang terletak di sebelah tempat tidur, lalu menenggaknya hingga habis.

Ia menoleh ke arah jam di dinding, bertepatan dengan perutnya yang berbunyi. Ia tertawa kecil. “Emang tadi terakhir makan juga siang, sekarang langit udah gelap banget.”

Ia lantas menarik ponselnya. Jempolnya baru saja akan menekan aplikasi pesan antar makanan saat matanya menangkap sebuah notifikasi pesan yang belum ia baca.

Yudingz Kak Minju, maaf aku gak bisa nemenin. Aku harus cepet balik ke kampus Tapi aku gantungin makanan di pintu Dimakan ya Kak Besok aku ke sana Orang sakit harus dijenguk kan? Hehe Banyak istirahat Kak

Minju mendongak, lantas melangkahkan kaki ke arah pintu. Benar saja. Kenop pintu kamarnya terasa sedikit berat saat ia menariknya. Hati-hati sekali ia membuka pintu. Sebuah keresek putih tergantung di atasnya.

“Bubur?” Minju berkata pelan saat mengintip isinya. Namun, ada selembar kertas putih yang tertempel di atas kotak makanan. Pelan Minju menariknya, membuka lipatannya dengan dahi berkerut. Tak lama, kerutan di dahinya hilang, digantikan senyum kecil saat membaca tulisan tangan Yujin di sana.

Kak, dimakan ya hehehe. Maaf gak bisa nemenin. Janji besok ke sana! Sekarang istirahat aja. Kalau kebangun tengah malem terus gak bisa tidur lagi, telepon aku ya. Oh, iya. Aku gak beliin obat karena gak tahu obat apa yang Kak Minju biasa minum, Tapi kalau butuh, bilang aja, nanti aku beliin.

-Yujin

Minju lantas kembali menutup pintu kamarnya, meletakkan kotak berisi bubur di atas meja kecil di dekat kaki tempat tidurnya. Meskipun ia sama sekali tak berselera, ia tetap menelannya—entah bagaimana rasanya, sebab ia sama sekali tak merasa. Ia tak bisa mencium dengan ingus memenuhi hidungnya.

Tapi Minju yakin, esok ia akan sembuh.

Dibantu Yujin begini, mana bisa nggak sembuh?

“Yujin...” Minju meringis mendengar suaranya sendiri. Kayak kodok, pikirnya, lalu segera ia mendengus, Pantesan si Yuri manggil aku kodok.

“Kak Minju?” ia bergeser, mencari posisi ternyaman di atas tempat tidur—namun meringis saat selimutnya tersingkap. Buru-buru ditariknya selimut hingga menutupi leher. Mulutnya megap-megap—sebab ia kini persis iklan obat flu yang itu, yang ini mampet, yang ini nggak.

“Jin, maaf...”

“Kak Minju sakit?” nada suaranya terdengar cemas, “Kak Minju—” suaranya kalah nyaring dengan bunyi kendaraan di belakangnya. Minju mengernyit.

“Lagi di mana, Ding?”

“Lagi di luar Kak, habis ini rencananya mau ke sana, tapi mendadak harus kumpul UKM buat lomba, ini juga baru mau ngabarin Kak Minju,” gadis itu berkata, “Kak Minju sakit apa? Mau aku ke sana aja?”

Minju menggeleng pelan, lalu seakan baru sadar bahwa Yujin tak bisa melihatnya, ia akhirnya berujar, “Jangan, Ding. Kamu mau lomba. Fokus aja, oke? Kita kencan lain kali aja.”

Hela napas Yujin terdengar begitu dekat di telinganya, seakan gadis itu ada di sini, “Jangan gitu, Kak. Aku nggak bisa fokus kalau—”

“Kuliah nomor satu,” ucap Minju tegas. Ia memejam, mengernyit menahan sakit di kepalanya. Seakan seseorang tengah memalu kedua pelipisnya, “Kuliah nomor satu, Yujin,” ia sekali lagi berkata. Nada suaranya tegas. Final. Tak mau dibantah.

Sejenak hanya suara kendaraan yang berlalu lalang dan obrolan manusia-manusia di belakang Yujin saja yang terdengar. Minju sudah akan menutup teleponnya saat Yujin berkata, “Aku nanti ke sana kalau kumpulannya udah selesai ya Kak. Hati-hati. Aku sayang Kakak.”

Minju tersenyum kecil, lalu memutus sambungan telepon mereka. Ia menghela napas. Kencan yang ia tunggu-tunggu lagi-lagi batal, dan kali ini, bukan karena Yujin yang terlampau sibuk.

Sial banget aku harus sakitnya sekarang, Minju menggerutu dalam hati, Kenapa sih, orang-orang pada nggak suka apa ya aku mau kencan sama Yujin? Masa habis jadi pacar belum pernah kencan sama sekali?


Minju tak yakin berapa lama ia tertidur—namun sepertinya ia tertidur tak lama setelah ia memutus panggilannya dengan Yujin. Ia melongok ke balik selimut. Basah banget, pikirnya. Ia lantas mendorong tubuhnya untuk duduk, menyingkirkan selimut yang menutupi tubuhnya, lalu bergerak ke arah lemari.

Ia menarik asal kaos pertama yang ia lihat, melempar kaosnya yang basah oleh keringat ke arah keranjang cucian, lalu kembali berbaring di atas tempat tidur. Ditariknya gelas yang selalu ia letakkan di atas laci kecil yang terletak di sebelah tempat tidur, lalu menenggaknya hingga habis.

Ia menoleh ke arah jam di dinding, bertepatan dengan perutnya yang berbunyi. Ia tertawa kecil. “Emang tadi terakhir makan juga siang, sekarang langit udah gelap banget.”

Ia lantas menarik ponselnya. Jempolnya baru saja akan menekan aplikasi pesan antar makanan saat matanya menangkap sebuah notifikasi pesan yang belum ia baca.

Yudingz Kak Minju, maaf aku gak bisa nemenin. Aku harus cepet balik ke kampus Tapi aku gantungin makanan di pintu Dimakan ya Kak Besok aku ke sana Orang sakit harus dijenguk kan? Hehe Banyak istirahat Kak

Minju mendongak, lantas melangkahkan kaki ke arah pintu. Benar saja. Kenop pintu kamarnya terasa sedikit berat saat ia menariknya. Hati-hati sekali ia membuka pintu. Sebuah keresek putih tergantung di atasnya.

“Bubur?” Minju berkata pelan saat mengintip isinya. Namun, ada selembar kertas putih yang tertempel di atas kotak makanan. Pelan Minju menariknya, membuka lipatannya dengan dahi berkerut. Tak lama, kerutan di dahinya hilang, digantikan senyum kecil saat membaca tulisan tangan Yujin di sana.

Kak, dimakan ya hehehe. Maaf gak bisa nemenin. Janji besok ke sana! Sekarang istirahat aja. Kalau kebangun tengah malem terus gak bisa tidur lagi, telepon aku ya. Oh, iya. Aku gak beliin obat karena gak tahu obat apa yang Kak Minju biasa minum, Tapi kalau butuh, bilang aja, nanti aku beliin.

-Yujin

Minju lantas kembali menutup pintu kamarnya, meletakkan kotak berisi bubur di atas meja kecil di dekat kaki tempat tidurnya. Meskipun ia sama sekali tak berselera, ia tetap menelannya—entah bagaimana rasanya, sebab ia sama sekali tak merasa. Ia tak bisa mencium dengan ingus memenuhi hidungnya.

Tapi Minju yakin, esok ia akan sembuh.

Dibantu Yujin begini, mana bisa nggak sembuh?

“Yujin...” Minju meringis mendengar suaranya sendiri. Kayak kodok, pikirnya, lalu segera ia mendengus, Pantesan si Yuri manggil aku kodok.

“Kak Minju?” ia bergeser, mencari posisi ternyaman di atas tempat tidur—namun meringis saat selimutnya tersingkap. Buru-buru ditariknya selimut hingga menutupi leher. Mulutnya megap-megap—sebab ia kini persis iklan obat flu yang itu, yang ini mampet, yang ini nggak.

“Jin, maaf...”

“Kak Minju sakit?” nada suaranya terdengar cemas, “Kak Minju—” suaranya kalah nyaring dengan bunyi kendaraan di belakangnya. Minju mengernyit.

“Lagi di mana, Ding?”

“Lagi di luar Kak, habis ini rencananya mau ke sana, tapi mendadak harus kumpul UKM buat lomba, ini juga baru mau ngabarin Kak Minju,” gadis itu berkata, “Kak Minju sakit apa? Mau aku ke sana aja?”

Minju menggeleng pelan, lalu seakan baru sadar bahwa Yujin tak bisa melihatnya, ia akhirnya berujar, “Jangan, Ding. Kamu mau lomba. Fokus aja, oke? Kita kencan lain kali aja.”

Hela napas Yujin terdengar begitu dekat di telinganya, seakan gadis itu ada di sini, “Jangan gitu, Kak. Aku nggak bisa fokus kalau—”

“Kuliah nomor satu,” ucap Minju tegas. Ia memejam, mengernyit menahan sakit di kepalanya. Seakan seseorang tengah memalu kedua pelipisnya, “Kuliah nomor satu, Yujin,” ia sekali lagi berkata. Nada suaranya tegas. Final. Tak mau dibantah.

Sejenak hanya suara kendaraan yang berlalu lalang dan obrolan manusia-manusia di belakang Yujin saja yang terdengar. Minju sudah akan menutup teleponnya saat Yujin berkata, “Aku nanti ke sana kalau kumpulannya udah selesai ya Kak. Hati-hati. Aku sayang Kakak.”

Minju tersenyum kecil, lalu memutus sambungan telepon mereka. Ia menghela napas. Kencan yang ia tunggu-tunggu lagi-lagi batal, dan kali ini, bukan karena Yujin yang terlampau sibuk.

Sial banget aku harus sakitnya sekarang, Minju menggerutu dalam hati, Kenapa sih, orang-orang pada nggak suka apa ya aku mau kencan sama Yujin? Masa habis jadi pacar belum pernah kencan sama sekali?


Minju tak yakin berapa lama ia tertidur—namun sepertinya ia tertidur tak lama setelah ia memutus panggilannya dengan Yujin. Ia melongok ke balik selimut. Basah banget, pikirnya. Ia lantas mendorong tubuhnya untuk duduk, menyingkirkan selimut yang menutupi tubuhnya, lalu bergerak ke arah lemari.

Ia menarik asal kaos pertama yang ia lihat, melempar kaosnya yang basah oleh keringat ke arah keranjang cucian, lalu kembali berbaring di atas tempat tidur. Ditariknya gelas yang selalu ia letakkan di atas laci kecil yang terletak di sebelah tempat tidur, lalu menenggaknya hingga habis.

Ia menoleh ke arah jam di dinding, bertepatan dengan perutnya yang berbunyi. Ia tertawa kecil. “Emang tadi terakhir makan juga siang, sekarang langit udah gelap banget.”

Ia lantas menarik ponselnya. Jempolnya baru saja akan menekan aplikasi pesan antar makanan saat matanya menangkap sebuah notifikasi pesan yang belum ia baca.

Yudingz Kak Minju, maaf aku gak bisa nemenin. Aku harus cepet balik ke kampus Tapi aku gantungin makanan di pintu Dimakan ya Kak Besok aku ke sana Orang sakit harus dijenguk kan? Hehe Banyak istirahat Kak

Minju mendongak, lantas melangkahkan kaki ke arah pintu. Benar saja. Kenop pintu kamarnya terasa sedikit berat saat ia menariknya. Hati-hati sekali ia membuka pintu. Sebuah keresek putih tergantung di atasnya.

“Bubur?” Minju berkata pelan saat mengintip isinya. Namun, ada selembar kertas putih yang tertempel di atas kotak makanan. Pelan Minju menariknya, membuka lipatannya dengan dahi berkerut. Tak lama, kerutan di dahinya hilang, digantikan senyum kecil saat membaca tulisan tangan Yujin di sana.

Kak, dimakan ya hehehe. Maaf gak bisa nemenin. Janji besok ke sana! Sekarang istirahat aja. Kalau kebangun tengah malem terus gak bisa tidur lagi, telepon aku ya. Oh, iya. Aku gak beliin obat karena gak tahu obat apa yang Kak Minju biasa minum, Tapi kalau butuh, bilang aja, nanti aku beliin.

-Yujin

Minju lantas kembali menutup pintu kamarnya, meletakkan kotak berisi bubur di atas meja kecil di dekat kaki tempat tidurnya. Meskipun ia sama sekali tak berselera, ia tetap menelannya—entah bagaimana rasanya, sebab ia sama sekali tak merasa. Ia tak bisa mencium dengan ingus memenuhi hidungnya.

Tapi Minju yakin, esok ia akan sembuh.

Dibantu Yujin begini, mana bisa nggak sembuh?

“Yako, ini kita mau ke mana?”

Setelah kedatangannya yang dramatis, Jo Yuri akhirnya bertanya. Nako menoleh dengan dahi berkerut, “Lah, 'kan kamu yang ngajak?”

Yuri memejam, bibirnya membentuk segaris tipis. Wajahnya memerah—antara kepanasan dan menahan kesal. Tarik napas, Jo Yuri, ya, tarik napas, buang, ya, buang— Ia kemudian membuka mata, menatap Nako dengan sebuah senyum yang dipaksakan.

“Ya kirain kamu bilang ayo tuh udah tahu mau ke mana, Beb,” ia menggertakkan gigi, masih dengan senyum yang ia paksakan. Nako berdecak.

“Lah, kirain kamu ngajak udah tahu mau ke mana.”

“KAMU TUH YA UDAH JADI PACAR TETEP AJA NGESELIN.”

“KAMU JUGA.”

“YA UDAH INI JADINYA MAU KE MANA?”

Tepat saat ia mengakhiri kalimatnya, bus kota berhenti di depan mereka dengan pintu terbuka. Nako menghela napas, “Udahlah naik aja dulu, nanti siapa tahu di jalan dapat wangsit gitu kita mau ke mana,” ujarnya sambil berlalu, meninggalkan Yuri yang masih saja terpaku.

Fix aku kesurupan mau-maunya jadi pacar si Nako.


Entah memang Semesta senang bercanda, atau memang mereka selalu sial. Begitu mereka berdua berada di dalam bus, penumpang yang berdesakan, bahu ke bahu menyapa mereka. Nako mendesah, “Gimana dong Yur?” bisiknya. Yuri mengangkat bahu.

“Ya mau gimana? Masa mau turun lagi? Nunggu bus berikutnya ntar kelamaan. Belum tentu kosong juga,” ia lantas bergeser ke kiri, tangan kanannya meraih pegangan tangan di atas kepalanya, menjaga agar tubuhnya tak terlempar ke sana kemari sebab bus telah melaju.

“Yako, itu,” tangan kirinya menunjuk pegangan tangan yang tergantung di atas kepala Nako, “Buru pegangan, penuh nih, ntar kelempar bahaya.”

Nako menatapnya sengit. Kedua matanya menyipit, lantas ia mendesis, “Nggak nyampe anjrit Joguri, mau pegang apaan?! Nanti aku jinjit sepanjang jalan!”

Susah payah Yuri menahan tawanya yang hampir menyembur. Pipinya menggembung seiring dengan Nako yang mengepalkan tangannya, lalu pelan ia menarik gadis itu mendekat.

“Ya udah sini sih,” ia melingkarkan lengan kirinya di bahu Nako yang mendadak mengernyit, “Ape?”

“Ketularan Kak Chae ya kamu? Geli banget anjir Joguri,” ia menggerak-gerakkan bahunya, berusaha melepaskan rangkulan Yuri. Bukannya melonggar, Yuri malah mengeratkan rangkulannya pada gadis itu.

“Ya udah sih, biasa juga kita kalau nonton horor sampai pelukan.”

“Ya beda, bege, sekarang kita pacaran!”

“Diem atau aku jorokin ke jok supir?”

“Ini karena penuh ya,” Nako mendengus, “Kalau udah nggak penuh nggak usah rangkul-rangkul. Geli.”

“Yang tadi semangat banget nembak siapa sih anjir,” Yuri menjulurkan lidah pada Nako yang menatapnya dengan wajah merah padam.

“Rugi juga ya.”

“Rugi baru pacaran sekarang sama aku? Iyalah, aku cakep gini, mempesona, rugi banget baru pacaran sama aku sekarang,” Yuri mengibaskan rambutnya pelan—takut-takut kena muka orang. Bus sedang penuh.

Nako mengembuskan napas, pasrah, “Harusnya aku nggak buru-buru nembak ya. Kayaknya aku nggak sadar tadi pagi pas nembak.”