Romansa Tengah Kota
“Ini kenapa kita jadi nyasar ke sini?”
Nako menengadah, menatap tulisan 'Museum Sejarah' yang tercetak tebal dengan huruf keemasan di atas gerbang. Pilar-pilar putih berdiri di masing-masing sisinya. Beberapa orangtua terlihat menggandeng putra-putri mereka. Bahkan, Nako bisa melihat serombongan anak remaja berseragam sekolah dengan tanda pengenal terkalung di leher mereka.
“Lah katanya tadi nggak tahu mau ke mana?” Yuri menoleh dengan dahi berkerut, “Aku ogah desak-desakkan di bus, mending turun di sini aja nggak sih. Lagian rute bus yang itu 'kan pendek.”
Nako menggertakkan gigi, “Ya nggak museum juga dong Car ah,” ia berkata gemas, “Perasaan kalau nunggu satu halte lagi kita bisa jalan ke Plaza.”
“Hadeh, Beb, nge-mall tuh tiap hari juga bisa. Nggak elit banget kencan pertama ke mall. Udah buru, masuknya juga gratis ini,” Yuri lantas menggamit lengan kekasihnya, menyeret gadis itu masuk melewati segerombolan anak sekolah bau matahari, tanpa menyadari bahwa pipi Nako merona sedari tadi, menatap jemari mereka yang kini bertautan.
Bisa-bisanya aku pacaran sama si Yuri.
“Ih, Nabuki, cepet sini!”
Nako mengalihkan pandangannya dari maket miniatur kota yang ditutup kaca di depannya. Saat ia menoleh, Yuri tengah tersenyum manis sambil berdiri di depan barisan gerbang warna-warni. Sebelah alisnya terangkat.
“Ape?”
“Fotoin dong, Sayang,” gadis itu mengedip-ngedipkan mata, “Buru, cantik nih kalau difoto dari sana.”
Nako bergidik, “Sumpah Joguri genit banget,” gadis itu masih terpaku di tempatnya, membuat Yuri berdecak.
“Cepetan ah,” ia menyeret Nako, membawanya ke ujung lain barisan gerbang, lalu kembali ke tempatnya, “Buru, nanti takut ada orang.”
Nako menggeleng, lantas menarik ponselnya dari saku. Jempolnya mengetuk simbol aplikasi kamera, lantas mengarahkan ponsel pada Yuri.
“OOOH,” gadis itu berseru, “BENERAN CAKEP TERNYATA KAYAK ILUSI OPTIK.”
“Aku bilang juga apa!” gadis itu menimpali dengan bersemangat, “Cepetan! Keburu orang lain ke sini!”
Bak fotografer dan modelnya, mereka berdua akhirnya sibuk mengambil foto. Beberapa pengunjung yang lewat sampai berjengit melihat Nako yang memiringkan tubuh demi mendapatkan hasil foto yang sempurna.
Namun siapa peduli? Saat ini Bumi milik mereka. Sisanya cuma ngontrak.
Setelah puas berfoto—dan mengomentari berbagai dokumen dan benda-benda bersejarah di museum, mereka akhirnya berjalan menuju bagian souvenir.
“Nabuki, Nabuki,” Yuri menggoyangkan tangannya yang digenggam Nako. Nako menoleh, “Apaan?”
“Kartu posnya lucu deh lihat,” gadis itu mengarahkan telunjuknya pada setumpuk kartu pos dengan potret alam yang tercetak di sana, “Terus ini ada yang lukisan juga lihat.”
Nako mengerucutkan bibir, “Kamu mau?”
Yuri mengerjap, “Nggak ih,” cepat dia menggeleng, “Mahal banget anjir. Selucu-lucunya kartu pos, aku nggak suka koleksi gituan. Keluar yuk, cari makan, laper.”
“Lah?”
Sekali lagi Nako dibuat heran dengan tingkah kekasihnya itu, namun tetap saja ia melangkah mengikuti ke manapun Yuri pergi.
Ke manapun Yuri pergi. Kalau bisa, dia juga mau turut serta.
“Ini mau ke mana lagi astaga Joguriii, Pasar Seni lewat, Plaza lewat, ke mana lagi?!”
Tangan Nako yang bebas mengusap peluh di dahinya yang mulai bercucuran. Matahari sudah tergelincir di barat, namun tetap saja cuaca panas. Ditambah lagi, mereka berjalan kaki ke mana-mana—berjalan kaki mengitari sudut kota.
Dulu, Nako pernah membayangkan bagaimana asyiknya kalau ia berkencan keliling kota dengan pacarnya. Bergandengan tangan menyusuri trotoar, membicarakan hal-hal remeh, atau mungkin, memberi makan burung-burung yang sedang malas terbang.
Tapi kenyataan memang tak melulu indah.
Saat ia akhirnya punya pacar (dan ia tak pernah membayangkan bahwa ia akan melakukan hal-hal yang ia anggap romantis bersama Jo Yuri), saat akhirnya ia berkesempatan berkencan keliling kota, bukan hal-hal remeh yang mereka bahas. Bukan tawa dan semilir angin yang menghiasi kencan mereka.
Debu, peluh, dan keluh.
“Bawel banget sih Nabuki ah,” Yuri mencebik, “Ini tuh dari tadi aku nyari tukang air mata kucing kok pada hilang?”
Nako melongo. Seketika langkahnya terhenti. Yuri yang menyadari Nako tak lagi bergerak bersamanya menoleh, “Apaan?”
“JADI DARI TADI KAMU NYARI TUKANG AIR MATA KUCING, HAH?”
Yuri menelengkan kepalanya, “Iya? 'Kan emang kalau titip minum sama kalian suka minta itu 'kan? Tapi aku nggak tahu di mana nyarinya soalnya biasa nitip atau delivery doang.”
Nako menepuk keningnya kelewat kencang, “YA ANJIR KENAPA NGGAK BILANG DARI TADIIII,” Nako lantas menarik Yuri mengikutinya, membuat gadis itu menatapnya keheranan.
“Beb, heh, Beb, ini mau ke mana?!”
Nako sama sekali tak menoleh, ia malah mempercepat langkahnya.
“NABUKI ANJIR INI MAU KE MANA?”
“Belakang Plaza!” Nako berkata ketus, “Ini nyari air mata kucing 'kan? Di belakang Plaza juga ada, noh, deket taman!”
Yuri mengerjap, meski langkah kakinya tetap berusaha mengimbangi kecepatan Nako.
“Ko.”
”....”
“Nako”
”....”
“Yabuki”
“Apa?!”
“Ih jangan maraaah,” Yuri mencebik, “Jangan marah-marah, Nako.”
Nako menghela napas, “Nggak marah aku tuh Yur.”
Gadis itu masih saja mencebik, “Ya itu dipanggil nggak nyahut?”
Nako memejam, lalu menggeleng, “Nggak marah, Yur, ini tuh kepanasan akunya, mau cepat sampai aja. Capek.”
Yuri terdiam, tanpa sadar menggigit bibir. Ia lantas merogoh tas, menarik beberapa lembar tissue, lantas menyodorannya ke arah Nako, “Mau dilapin sekalian?”
Nako menggeleng cepat, “Nggak, nggak, nggak usah,” ia buru-buru menarik tissue dari tangan Yuri, mengusap peluhnya sendiri, “Ayo jalan.”
Mereka akhirnya berjalan bersisian menuju kios kecil yang dimaksud Nako. Kios itu bukan kios sama sekali. Hanya sebuah gerobak kecil di sudut taman, dinaungi pepohonan rindang, menghadap air mancur yang terletak tepat di tengah-tengah taman.
“Yur, aku tunggu di sana ya? Sakit banget nih kaki,” Nako menunjuk sebuah bangku yang terletak tak jauh dari mereka, lalu melangkahkan kaki tanpa menunggu jawaban dari Yuri. Ia mendaratkan pantatnya dan mendesah saat punggungnya mencium sandaran kursi. Diliriknya anak-anak yang tengah tertawa di atas ayunan. Ia tersenyum kecil. Ah, kayaknya—
“Anj— DINGIN!”
Yuri terkekeh sambil menarik cup minuman dari pipi gadis itu, lalu menyodorkannya ke arahnya, “Minum dulu deh biar hatinya adem.”
Meski masih bersungut-sungut, Nako akhirnya menarik bungkus sedotan dan menyedot minumannya sedikit-sedikit. Ia mendesah, “Haah enak banget duduk.”
“Ko,” Yuri menoleh, menatap Nako yang balas menatapnya sambil menyedot minuman, “Hm?”
“Maaf ya,” gadis itu mengatupkan bibir rapat-rapat, membentuk garis tipis, “Aku nggak pernah kencan sama pacarku—nggak deng, emang nggak pernah punya pacar, hehe,” gadis itu tertawa kikuk, “Sama Kak Yena juga paling cuma ke arkade atau makan. Maaf, aku nggak tahu kalau kencan sama pacar itu harus gimana.”
Gadis itu bergerak menepuk-nepuk punggung Nako yang terbatuk, “Nggak apa-apa?”
“Ya sama Yur,” Nako berkata meski masih terbatuk, “Aku juga nggak tahu kalau kencan sama pacar itu harus gimana. Lagian, kayak, kita nih dadakan banget nggak sih?”
Gadis itu meletakkan cup yang ia pegang sedari tadi di sampingnya, “Kayak, kita tuh ya, selama ini temenan, terus—terus,” ada semburat merah di pipinya, “Terus—jadian, terus kencan,” Nako berkata pelan, “Kayak, aku tuh masih belum biasa nganggep kamu pacar.”
Keduanya terdiam, membiarkan suara tawa anak kecil dan teriakan orangtua mereka agar mereka berhati-hati mengisi keheningan di antara mereka. Yuri menoleh, mendapati Nako yang kini menatapnya dengan sebuah cengiran lebar.
“Pelan-pelan gitu boleh nggak, Yur?”
Yuri terkekeh, “Oke, pelan-pelan.”
“Oke, sekarang tanya Kak Chaewon sama Hitomi di mana,” ujar Nako sambil mengibaskan tangannya, menunjuk langit yang menggelap, “Udah malem ternyata,” ia menarik cup di sampingnya, menyedot minumannya yang tersisa.
“Ngapain?” Yuri mengerutkan dahi.
“Minta jemput lah,” gadis itu berkata santai, “Mau emang kamu desak-desakkan lagi naik bus kota hah? Udah gila. Cepet tanya Kak Chaewon di mana, mereka pasti masih kencan, baru jam segini. Syukur-syukur kita diajak makan malam gratis sekalian.”
Yuri terbahak, namun tak urung mengeluarkan ponsel dari tasnya.
“Yur?”
“Hm?” jemarinya mengetikkan sederet huruf, tak menoleh pada Nako sama sekali, “Apaan?”
“Jangan sebut-sebut Kak Yena lagi dong?”
“Ciee, Nabuki cemburu?” Yuri melirik sekilas ke arah Nako, namun termangu saat Nako menatapnya dengan serius.
“He eh. Aku cemburu. 'Kan, aku yang pacarmu, bukan dia.”