komoyi

just me and my loving komori hours, heavily post sunakomo

🌸🌸🌸

Sejak dibukanya perbatasan Inazuma dan diperbolehkannya bangsa-bangsa lain hilir mudik keluar masuk negara sang dewi keabadian itu, pelabuhan Inazuma secara tidak langsung beralih fungsi menjadi ‘pertunjukkan’ bagi warga lokal. Anak-anak Inazuma sering kali berkumpul, menyaksikan kapal-kapal bertepi di dermaga dan menurunkan logistik mereka. Bahkan dengan semangat, mereka membantu para pelancong-pelancong tersebut, dan sama seperti hari-hari biasanya, pelabuhan Inazuma hari ini nampak ramai.

Ramai yang bahkan lebih ramai dari biasanya, karena ‘pertunjukkan’ kali ini melibatkan kapal bajak laut terkenal yang namanya telah diketahui seantero Inazuma, ‘The Crux’ cerita terkait bajak laut memang selalu diminati oleh anak kecil. Oleh sebab itu, ketibaan The Crux menjadi momen yang sangat dinantikan.

Meskipun demikian, hal lain yang menarik dari kedatangan kapal The Crux adalah bagaimana warga Inazuma dapat melihat secara langsung putri Kamisato, seseorang yang sangat sempurna, ikut turun di pelabuhan dan menyaksikan ketibaan kapal berornamen naga tersebut.

Sejujurnya, sudah menjadi rahasia umum kenapa sang putri selalunada di setiap jadwal keberangkatan ataupun kepulangan The Crux di Inazuma. Hubungannya dengan salah satu pewaris klan Kaedehara sekaligus kru The Crux pun menjadi rahasia publik.

Walau pada mulanya ada banyak sekali kecaman dan cibiran mengingat status Ayaka dan Kazuha yang berbeda di tambah hilangnya kehormatan klan Kaedehara di Inazuma. Tapi masyarkaat pun pada akhirnya mengalah, hari demi hari berganti, dan mereka berdua, khususnya Kazuha membuktikan bahwa ia layak atas cinta sang putri. Bagaimana Kazuha, satu-satunya pewaris klan Kaedehara pun perlahan memperbaiki nama dan kehormatan keluarganya.

Membuat kisah mereka kemudian diadaptasi menjadi sebuah roman ringan, di mana sang pangeran dengan giat memantaskan diri untuk sang putri dan sang putri dengan sabar menunggunya.

Pagi itu pukul tujuh, suara kicau burung menghiasi pelabuhan kala itu. Kapal besar tersebut pun menurunkan jangkarnya dan menaikkan layarnya. Antusiasme Ayaka diantara kerumunan orang pun bertambah, binar matanya semakin berkilauan manakala melihat sang Tuan diantara kerumuman kru kapal The Crux.

Tanpa aba-aba ataupun sapaan, layaknya radar yang saling terhunung, sepasang netra merah itu pun seketika menemukan sosok sang Putri diantara kerumunan orang. Binar matanya menghangat, seutas senyum cerah pun mengembang.

“Putri!”

“Kazuha!”

Sang tuan pun berlari menghampiri sang puan. Memeluknya erat sembari menggendongnya tinggi-tinggi. Membuat Ayaka terkekeh kecil. Tiga luluh hari penantiannya pun seketika terbayar lunas kala satu kecupan hangat mendarat di wajahnya.

🍁🍁🍁

“Aku pulang, putri,”

“Selamat datang, tuan,”

🌸🌸🌸

Hari keempat belas menuju bertemu sang tuan, dan telah memasuki hari ketiga sejak sang tuan mulai berlayar menuju negeri sebrang. Walau tau pesan singkat yang ia kirimkan tak tau sampai kepada sang tuan kapan, tapi Ayaka dengan rutin mengirimkan daily update kesehariannya. Mulai dari aktifitasnya hinggal hal-hal menarik yang ia temui atau alami.

Sesekali dirinya sering kecolongan, membuat Ayato sedikit terkekeh, muda-mudi jika sedang di mabuk asmara pusat dunianya pun berbeda dan beralih dari yang dekat ke yang jauh.

“Ayaka kamu istirahat dulu aja ya…,” saran sang kakak, Ayato, tapi Ayaka sama keras kepalanya seperti dirinya tentu saja gadis itu menolaknya.

“Aku gak capek kok kak!” ujarnya mengundang satu kekehan kecil dari sang kakak, “Fisikmu ga capek tapi perasaanmu daritadi gundah, kaka perhatiin dari kemarin kamu gelisah, tidak ada kabar lagi dari tuan Kaedehara?” godanya yang sukses membuat Ayaka merona hebat.

“Kakak!”

“Sudah kamu istirahat saja, Kazuha juga pasti tidak suka jika kamu tidak fokus karenanya seperti ini hingga berpotensi menyelakai diri sendiri,” omel Ayato, Ayaka masih bersikeras untuk menilak tetapi sang kakak terlalu cepat, dipanggilnya pelayan perempuan keluarga Kamisato untuk membawa adiknya kembali ke kamar.

Ayato menggelengkan kepalanya wajar, masa muda masa remaja yang sedang di mabuk asmara memang ada-ada saja.

🍁🍁🍁

Ayaka menghela nafas pelan, ia bosan jujur tidak melakukan apa-apa tapi ia tau hari ini ia akan lebih banyak tidak fokus karena mengkhawatirkan sang tuan. Sebenarnya ia sudah terlampau terbiasa dengan hubungan jarak jauh, tetapi karena Kazuha bilang bahwa lelaki itu hendak mengunjunginya maka hal tersebut tentu saja membuat Ayaka terlampau antusias menanti kedatangan sang pujaan hati. Membuatnya sampai melupakan pekerjaan sehari-harinya.

Sekali lagi, Ayaka menghela nafas panjang, dilepasnya ikatan rambutnya, surai-surai kepucatan itu jatuh dengan lemas menambah keanggunan sang gadis yang jarang diketahui publik.

Dalam lamunnya ia sisir perlahan dan hati-hati helai rambutnya, pikirannya pun sibuk mengandai, sedang apa sang tuan saat ini, apakah ada badai berat yang diterjal olehnya? Tapi meskipun ia khawatir ia yakin dan percaya sang tuan lebih tangguh daripada semua riak di lautan.

“Nona Ayaka, bolehkah saya masuk?”

Tanya salah seorang pengawal pribadinya, setelah memberi izin, wanita parih baya itu pun memasuki kamar sang putri. Duduk bersimpuh sembari membungkuk memberikan surat.

“Nona, saya mendapat sebuah surat yang ditujukan kepada nona Ayaka, dengan nama tuan Kaedehara di atasnya,”

Satu berita sederhana, yang selalu Ayaka nanti. Lesunya pun berubah menjadi haru. Dengan cepat Ayaka bangkit dari posisinya duduk, diletakkannya sisir tersebut dan diambilnya surat berwarna kecokelatan dengan daun maple di atasnya, ciri khas kekasihnya.

“Terima kasih! Sekarang kamu bisa pergi!”

“Baik nona,”

🌸🌸🌸

Jika sebagaian besar warga Inazuma mengenal Ayaka sebagai sosok wanita yang tenang, anggun, dan gemulai. Siapa sangka bahwa Ayaka masihlah seorang gadis di awal dua puluh tahunannya, yang mudah tersipu, salah tingkah, hanya karena sepucuk surat dari sang kekasih.

Senyum lebar yang tak bisa berhenti terukir di wajah sang gadis tanpa sadar membuat kedua pipinya keram, tapi persetan dengan rasa sakit itu, rasa senangnya terlalu membuncah, ia tidak bisa berhenti untuk tidak terkekeh sendiri layaknya kehilangan kewarasan hanya karena sepucuk surat.

Duhai puanku terkasih Ingatlah jika surat ini sampai dengan selamat di tanganmu maka kabar angin pun menyampaikan bahwa aku di sini pun baik-baik saja.

Burung canar lautan pun menyampaikan pesan bahwa laut akhir-akhir ini tengah tenang-tenangnya, layaknya bersuka cita akan pertemuan kita yang menghitung hari

Wahai nona terkasih, semoga kebahagiaanmu senantiasa berlimpah karena senyummu adalah hal yang selalu aku semogakan setiap harinya

Maaf jika tidak bisa mengabarimu untuk beberapa hari kedepan, tapi harap ingatlah bahwa seluruh rasa ini hanya untukmu semata

☘️☘️☘️

Malam itu seluruh anak kosan sesang melakukan outing dan bakar-bakar, walau tidak lengkap karena tidak ada Faisal tetapi pada akhirnya mereka bisa bersantai sejenak, aktifitas hari ini juga usulan Fani, katanya syukuran karena Budi telah kembali pulih.

Sebenarnya ia sudah pernah menanyakannya kepada Fani, hubungan gadis itu dengan sang pujaan hatinya, tapi Fani bilang mereka tidak menjalin hubungan apapun. Katanya, untuk saat ini perasaannya sudah terbalaskan dan itu sudah cukup baginya. Terkadang membuat Rena heran, apakah memang hubungan orang dewasa seperti itu? Apakah cukup sebatas perasaan yang diterima?

“Budi kamu jangan bangak gerak dulu kamu baru aja sembuh!” omel Fani karena lelaki itu terlalu keras kepala untuk membantu, apalagi beberapa luka bakar membuat Fani sedikit trauma jika Budi harus terlibat kegiatan bakar-bakar ini.

Rena dan Siska saling pandang dan memperhatikan, dan sepertinya Budi pun tidak menolak dengan semua perhatian Fani justru sedikit malu-malu menyukainya.

Ah! Rena lupa mengabari Faisal. Sepertinya tidak ada salahnya dia berbagi foto kondisi saat ini. Kira-kira Faisal lagi apa ya?

Diambilnya ponselnya dan difotonya pemandangan langit malam hari ini. Rembulan terlihat pucat, entah kenapa setiap melihat bulan di malam hari ia jadi teringat Faisal. Sosok yang sama indahnya dengan rembulan tetapi sinarnya terlalu pudar, ada banyak banyang, wajah, dan sisi yang ia tidak ketahui. Terkadang ia bisa melihat jelas Faisal layaknya bulan punama namun kadang pula sosok itu sulit untuk dipahami layaknya malam tak berbulan.

Ah, sebuah pesan balasan dari Faisal? Lelaki itu meminta telpon? Tumben.

“Kak, aku minggir dulu ya, mau ada telpon,” izin Rena dan Siska pun mengangguk.

Rena pun melipir, mencari tempat sepi untuk mengangkat telpon dari Faisal, entah kenapa hatinya sedikit berdegup kala suara lembut itu menyapnya.

“Malam Rena,”

☘️☘️☘️

Setelah memilih tempat yang cukup sepi Rena baru berani menjawab sapaan tersebut, semoga suara dia tidak terdengar parau atau pecah di sebeang sana jujur dia cukup gugup apalagi setelah insiden salah kirim.

“Kamu lagi sakit?” tanya Rena khawatir karena suara lelaki itu tampak lesu.

“Hmm…, gatau ya, beberapa hari ini aku agak ngga nafsu makan dan ada yang menganggu pikiranku,”

Walau Faisal tidak dapat melihatnya tetapi Rena pun secara otomatis membentuk raut wajah penuh kekhawatiran. Satu kekehan lepas dari sebrang sana.

“Kamu gausah khawatir, aku baik-baik aja kok,”

“Gimana aku percaya kamu baik-baik aja kalo kamu baru aja bilang ngerasa mual dan ga nafsu makan…” decaknya sebal.

“Huum… mungkin itu alasannya aku nelpon kamu? Buat ngerasa sedikit membaik,” ujarnya yang entah kenapa sukses membuat Rena tersipu

“Kamu…, mau cerita…? Kalau ga keberatan sih…,” ujar Rena lirih.

Terdengar satu helaan nafas panjang disebrangnya, mungkin dengan bercerita dengan Rena sedikit membuatnya membaik tapi apakah Rena siap menerima semua kerapuhannya? Bahwa sosoknya ga setegar dan sekuat yang dia kira.

“Rena, menurutmu…, kalau pasanganmu ternyata ngga sesempurna yang kamu kira perasaanmu gimana?”

“Maksudnya,”

“Hmm… maksudnya kamu selama ini mengenalnya sebagai sosok sempurna tanpa celah, tapi nyatanya dia rapuh… dia adalah orang yang lemah dan kecil…, apa kamu akan tetap menerimanya?” tanya Faisal dan Rena masih belum mengerti maksudnya

“Ah…, gapapa Rena… lupakan saja…,” timpal lelaki itu balik takut membebani pikiran Rena

“Eh bukan maksudku mengabaikan Faisal, aku hanya berpikir saja… karena dibanding pasanganku ternyata tidak sesuai dengan bayanganku dan ekspetasiku aku justru mengkhawatirkan psanganku nanti…, aku ini banyak kurangnya apakah aku layak bersanding dengannya gitu…,”

“Tapi…, daripada mengkhawatirkan yang belum tentu terjadi bukankah lebih baik kita terus membenahi diri agar jadi seseorang yang layak bagi orang yang tepat ya?” ujar Rena

Hening sejenak, Faisal tidak membalas. “Seseorang yang layak ya… itu seperti apa…?” tanyanya lagi.

“Eh? Uh… aku gatau kalo itu…, karena cuma kamu yang tau,”

“Oh gitu…”

Keheningan kembali melanda dan Rena pun mulai memberanikan dirinya bertanya.

“Kenapa tiba-tiba nanya seperti itu? Apa jangan-jangan Faisal benar-benar punya pacar yaa hayoo,” ujarnya bercanda (ngenes dikit). Faisal pun kembali terkekeh.

“Mana mungkin, sama sepertimu, aku juga mengkhawatirkan hal-hal manusiawi seperti itu kok.., toh aku bukan manusia yang sempurna dan banyak kurangnya,”

“Oh iya Rena,”

“Hm?”

“Menurutku kamu yang sekarang ngga ada kurangnya kok, kamu sudah jadi versi terbaik dari dirimu sendiri, dan itu adalah hal yang membuat orang-orang suka padamu,” puji Faisal yang kembali sukses membuat Rena tersipu, digigitnya bibir bawahnya.

“Ka-kalau kamu?”

“Apa?”

Kalau kamu, apakah kamu juga suka dengan aku yang seperti ini?

“Kalau kamu bagaimana?”

Sial, Rena mengacaukannya

“Aku? Aku bagaimana apanya? Kenapa?”

Rena menghela nafas panjang, berusaha menenangkan degup jantungnya yang tidak karuan dari tadi.

“Menurutku Faisal juga sama! Faisal yang sekarang… sudah berusaha sebaik mungkin…, dan aku tidak masalah dengan Faisal yang sekarang…,”

Kalimat terakhirnya diucapkannya lebih lirih, tapi Faisal masih dapat mendengarnya dengan samar. Walau Rena tidak dapat melihatnya tapi di sebrang sana satu senyuman terukir tipis di wajah tampannya. Mungkin untuk saat ini hubungan mereka cukup sampai tahap ini, ia sudah merasa cukup dengan kepastian saat ini.

Dan memang pilihan untuk menelepon Rena adalah tepat, keraguan, kegelisahan, dan rasa sakitnya perlahan sirna hanya dengan satu kalimat sederhana.

☘️☘️☘️

“Mau ganti video call ngga? Aku mau liat bulannya, sama liat kamu,”

☘️☘️☘️

☘️☘️☘️

“Ya ampun… akhirnya bisa ngaso bentar setelah hari-hari visit sama ketemu investor…”

Faisal mengambil duduk tepat dihadapan Mas Aditya, diikuti dengan Lidia yang mengambil duduk di sebelahnya. Ini sudah hari keempat sejak kedatangan mereka di Singapura, kesehariannya dipenuhi dengan meeting, evaluasi, hingga dealing projek dengan pihak-pihak terkait. Visit rutin sekaligus liburan apanya, yang ada mereka stress ngusus kerjaan dan memastikan investor sepakat dengan projek yang ditawarkan.

“Yah…, paling tidak di hari keempat ini kita bisa pergi ke sini bentar mas…, ya walau dengan setelan formal sih…,” ujar Faisal berusaha menghibur namun sepertinya mas Aditya terlanjur dirundung galau. Dia ingin semuanya cepat selesai dan akhirnya menikmati hari-hari di Singapura.

“Tapi ya…, weekday gini Garden Bay masih tetap ramai ya…, kita aja ngga dapet tempat di areal outdoor padahal view-nya bagus banget kalo menjelang sore,” keluh Lidia sembari menangkupkan wajahnya, wajah cantik wanita itu terlihat begitu lesun dengan make up yang memudar dan lipstick yang tak lagi merah. Semuanya lelah pada kunjungan ini.

“Oh iya… mas Aditya gimana waktu izin istri visit hari inu? Apalagi kan ada saya yang perempuan, saya gamau loh nanti ada gossip jadi perusak rumah tangga orang” celetuknya sedikit bercanda dan berusaha mencairkan suasana yang loyo hari ini.

“Sempet perang dingin bentar sih Lid, tapi ya udah akhirnya berhasil ngerayu dia dengan syarat bawain oleh-oleh koleksi tas terbaru dari Channel. Makanya saya agak sebel karena jadwal kita padet takut ngga sempet beli oleh-oleh,” keluh mas Aditya membuat Lidia tersenyum masam, ah dia paham perasaan itu. Sementara Faisal hanya mengangguk dan mendengarkan.

“Kalau mas Faisal sendiri gimana? Ceweknya atau pacarnya mungkin ada marah gitu?” tanyanya membuat Faisal sedikit tersedak, selama ini jarang ada yang bertanya perihal hubungan asmaranya, baru kali ini dia ditanyain seperti itu.

“Kamu sendiri gimana Lid?” tanya Faisal balik membuat Lidia terkekeh, “Mas Faisal ih, emang jago kalo ngebalikkin pertanyaan,”

“Kalo saya sih sebenarnya agak kerepotan karena sebenarnya lagi ngurus persiapan tunangan, tiba-tiba ada visit mau gamau tanggalnya diundur deh…,” keluhnya.

“Loh? Kamu sudah punya pacar? Saya kira kamu deketin Faisal,”

“Bukan pacar sih…, yaah udah kenal dan deket lama terus tiba-tiba dia ngajak serius…, jadi ya yaudah…, lagipula saya deketin Mas Faisal pun kayaknya mas Faisal udah punya gandengan,” goda Lidia lagi sembari melirik ke arah Faisal. Faisal benci ini, sepertinya ia sedang disudutkan untuk membongkar privasi hubungannya yang masalahnya memang tidak ada siapa-siapa itu.

“Wah…, kamu kok bilang gitu, terkesan menjadikan dia pelarian dari saya,” ledek Faisal balik. Entah kenapa membuat mas Aditya gerah karena pembicaraan ‘sinis’ antara Lidia dan Faisal. Sementara Lidia yang mendengarnya tidak tersinggung sama sekali, ia justru terkekeh kecil.

“Aduh jahatnya…, saya sakit hati loh mas…, tapi ya kalo boleh jujur dia jauh dari tipe ideal saya wong tipe ideal saya ada di mas Faisal semua…” jelas wanita itu.

Ia menghela nafas sejenak sembari memainkan gelas minumnya, semburat merah muda perlahan terlihat di kedua pipinya, Lidia sedang salah tingkah, membuat wanita cantik itu terkekeh kecil karena kasmaran layaknya seorang remaja.

“Tapi gimana ya mas…, kadang apa yang kita mau ternyata bukan yang kita butuh, dan dia adalah orang yang akhirnya bisa bikin saya merasa dicintai di tengah kesibukkan saya. Masyarakat kita tuh terlalu menekan perempuan, apalagi yang berfokus di karir, dibilang ga bakalan bahagia, ga bakalan ada cowo yang mau, bakalan jadi perawan tua. Tapi dia buktiin dengan status yang sama dengan saya bahwa ya untuk wanita seperti saya juga bakalan ketemu pria yang hebat dan nerima saya tanpa takut minder akan finansial atau hal lainnya,” jelasnya.

Jawaban Lidia tersebut membuat Faisal terdiam sejenak…, dirinya jadi teringat betapa selama ini orang-orang selalu membenci eksistensinya. Akhirnya membuat dirinya sibuk akan dirinya sendiri untuk membuktikan bahwa ia lah orang yang berharga. Tetapi apakah nantinya ada orang yang berani menerima dia dengan segala masa lalu dan bencinya? Bahkan Faisal sendiri tidak bisa sepenuhnya menerima dirinya sendiri dan masa lalunya…, memikirkannya saja membuatnya bertanya, apakah ada?

“Saya setuju sama Lidia di sini, dulu waktu pertama kali pacaran ya saya liat istri saya sebagai sosok ideal tapi setelah kenal dan mengetahui kekurangan satu sama lain kita akhirnya di posisi menerima kekurangan satu sama lain,”

“Memang yang terpenting adalah orang yang menerima kita apa adanya sih…, bukan adanya apa…, walau kata Tulus Jangan Cintai Aku Apa Adanya,”

“Tapi saya juga setuju kata Tulus di lagu itu…,”

Pembicaraan tersebut terlalu jauh dari kapasitas dan pemahaman Faisal, tentang cinta dan menerima… dia tidak pernah mengerti akan hal tersebut karena banyaknya kebencian dan penolakan yang dia peroleh. Sudah berapa banyak orang dia bohongi dan dorong untuk menjauh karena takut mereka akan benci sosok Faisal yang sebenarnya, yang begitu banyak luka dan kerapuhan.

☘️☘️☘️

Sesampainya di hotel Faisal langsung membaringkan tubuhnya, dilihatnya banyak notifikasi chat masuk yang hanya ia baca lalu anggurkan hari ini, dirinya terlalu letih, bukan fisiknya, tapi perasaannya. Tapi entah mengapa membaca beberapa pesan singkat dari Rena cukup membuat letihnya hilang, walau tidak dengan rasa sedih dan gelisahnya.

Diketiknya beberapa balasan sembari meminta maaf karena tidak bisa membalas terlalu banyak karena ia terlampau letih, setelah dikirimkannya pesan tersebut satu pesan singkat masuk dari Rena, gadis itu bertanya apakah ia boleh telpon yang tentu saja diizinkan oleh Faisal.

Satu panggilan kemudian masuk dan beralih menjadi panggilan video.

☘️☘️☘️

Dari balik layar gawainya Rena dapat melihat Faisal yang tengah berbaring menyamping sembari mengangkat video call-nya, walaupun lelaki itu tengah tersebyum entah kenapa sorot matanya begitu lesu dan sedih membuat Rena khawatir.

“Malam Rena,” sapanya, suaranya terdengar lembut namun juga parau.

“Faisal… kamu… gapapa?” tanyanya, tepat sasaran, membuat lelaki itu sedikit terkejut sebelum kemudian menggeleng. “Aku gapapa kok, kamu apa kabar?”

Rena kemudian menceritakan harinya, yang didengarkan seksama oleh Faisal, lelaki itu masih terus tersenyum, ia suka mendengarkan Rena bercerita, menceritakan tentang hari-harinya yang menyenangkan dengan penuh semangat.

Mungkin, cukup Rena saja yang bercerita, setiap luka dan dukanya lebih baik ia simpan sendiri. Walau ia harus berbohong, tetapi ia begitu takut jika jarak mereka akan melebar kala gadis itu mengetahui tentangnya yang sebenarnya.

Bagi Faisal, saat ini sudah cukup, karena dia tidak ingin merasakan cinta dengan apa adanya, jadi lebih baik ia berbohong untuk Rena.

☘️☘️☘️

Dua jam mereka bertelepon tanpa sadar membuat kantuk melanda Faisal, saat lelaki itu tiba-tiba terbaring lemah dengan telpon menyala Rena sempat sedikit panik. Namun kekhawatiran itu hilang saat mendapati sosok Faisal terlelap dalam damai di hadapannya.

Diperhatikannya lelaki itu dengan seksama, kulit putihnya, hidung mancungnya, dan kerutan serta kantunh di bawah matanya. Faisal sepertinya begitu lelah hingga tidak sengaja tertidur seperti ini.

Namun, sendari tadi ada satu hal yang sangat mengusiknya, bagaimana Faisal nampak seksama mendengarkan ceritanya tetapi pandangannya terlampau kosong. Membuat Rena sedih karena lelaki itu belum sepenuhnya percaya kepadanya untuk menceritakan kerisauan hatinya.

Ia tidak ingin hanya dianggap teman saja, ia ingin Faisal mempercayainya, menjadi tempat keluh kesahnya dan bersandar selayaknya dulu Faisal yang dengan sepenuh hati ada untuknya. Walau hubungan mereka tidaklah terlalu baik dulu, tapi ia ingin memulainya dan melangkah bersama ke arah yang lebih baik.

Tapi Rena tau, dirinya tidak bisa mengharap lebih karena memang hubungan diantara mereka sebatas teman atau bahkan sesama tenants kosan. Pada akhirnya ia hanya bisa mengalah dan memberi ruang kepada Faisal.

☘️☘️☘️

“Selamat malam Faisal, semoga kamu selalu diberkahi oleh mimpi-mimpi indah setiap malamnya,”

———

Siang itu mejanpenjamuan istana Jaya cukup dipenuhi beberapa orang, dengan sang Raja dan Ratu serta agen kepercayaan mereka yang mereka panggil untuk bertemu.

Nomor 1, sang ajudan, pengawal pribadi, serta kepala militer kerajaan, Rizal. Nomor 4, sang ajudan, pengawal pribadi, tangan kanan organisasi bawah tanah yang bekerja sama dengan sang Ratu, Doni, dan Nomor 6, intel jejaring informasi bawah tanah milik istana, Diki.

Hanya Diki tang secara resmi turun di lapangan tanpa penyamaran, orang-orang hanya mengenalnya sebagai musik komposer dan juga selebriti ternama di dunia teater. Namun, sama seperti agen lainnya mereka bekerja di bawah tanah, menyamar dan bergabung dalam beberapa organisasi untuk mendapat informasi. Memperjual belikan informasi ‘ilegal’ layaknya komoditi sehari-hari.

“Jadi, ada apa sampai aku harus repot-repot memanggil Doni?” tanya Siska, sang Ratu sekaligus ketua ‘mafia’ yang menaungi Doni.

Pernikahannya dengan Indra memanglah pernikahan diplomatis antara Jaya dan Adamar, namun lebih dari itu, pernikahan mereka adalah pernikahan untuk memperkuat kekuatan legal serta non legal yang dimiliki oleh kedua kerajaaan. Selainitu, pernikahan ini juga merupakan upaya untuk memperbaiki hubungan antara Jaya dan Adamar yang merenggang karena kepemimpinan pangeran sebelumnya, atau bisa dibilang Raja pengganti sebelum Indra naik tahta karena umur yang sah.

Berbicara mengenai Indra, wlaau dia memimpin di era ‘kemunduran’ kerajaan Jaya, tetapi raja muda ini sangat visioner, pandangannya akan arah gerak kerajaan Jaya berhasil mengetuk raja Adamar yang terkenal berhati baja sehingga sukses mempersunting sang putri, Siska.

Sementara itu, Siska, sang Ratu, walau pernikahan mereka tidak dilandasi oleh cinta dan secara historis kerajaan mereka saling bermusuhan. Mata politik gadis itu sangatlah jeli, ia tidak ingin menyianyiakan kesempatan diplomasi yang kemudian memperluas ruang kerja dan geraknya. Bisa dibilang, kadang kita perlu memeluk musuh kita demi kemenangan yang lebih besar. Dan itulah pernikahan mereka.

Mereka juga memandang nilai keadilan yang sama, bahwa tidak memandnag keluarga ataupun saudara, jika ada yang berani mencoreng nama keadilan maka mereka akan dihukum dengan selayaknya hukum yang berlaku.

“Maaf jika saya harus menganggu Yang Mulia Raja dan Ratu berserta rekan-rekan lainnya, tetapi izinkan saya melaporkan perkembangan misi saya terkait mengawal dan mengamati demoiselle Rena yang diminta oleh Baginda Raja,” ujar Faisal yang berdiri dari kursinya sembari sedikit membungkuk.

Indra menangkupkan kedua tangannya, meletakkan dagunya di atas sana dan memberikan Faisal kesempatan untuk duduk dan lanjut berbicara.

“Saya sudah mengamati target dari dekat dan melaporkannya kepada Yang Mulia Raja, begitu pula dengan Diki yang turut membantu untuk mencari informasi… dan kemarin, kabar duka datang atas kematian ibu angkat dari demoiselle, madame Ningsih, yang diduga menjadi korban pembunuhan,” jelas Faisal.

Lelaki itu melanjutkan penjelasannya dengan semua dugaan yang ia miliki, bagaimana Ningsih menjadi korban dan lokasi pembunuhannya terjadi di ‘titik buta’ kota Jaya, tidak hanya itu, tata ruang kota Jaya pun memungkinkan pelaku untuk menembak tanpa perlu mendekati target sehingga pelaku dapat meninggalkan lokasi tanpa jejak dan bukti karena kota hari itu nampak begitu lenggang.

Meskipun demikian, beberapa hal yang perlu digaris bawahi adalah, jam kejadian yang belum terlalu larut, tapi kondisi daerah pekara sangat sepi dan lenggang padahal termasuk wilayah ramai. Kedua, pelaku harus mengetahui betul jejaring cctv dan informasi milik kota Jaya yang hanya diketahui oleh kerajaan serta dugaan bahwa pelaku sangat hafal seluk beluk tata ruang kota Jaya sehingga aksinya bisa dilakukan dengan begitu rapi.

“Dan yang paling utama adalah, pelaku sudah mengetahui hubungan antara Raja dan demoiselle Rena karena secara terang-terangan menargetkan madame Ningsih yang tidak berasal dari keluarga bangsawan manapun,” jelas Faisal.

“Kenapa kamu bisa menduga seperti itu?”

“Karena kehadiran saya di hadapan madame Ningsih dan demoiselle Rena yang terlalu tiba-tiba,” jawabnya tegas.

Faisal berbeda dengan Doni maupun Diki yang keberadaannya pun ‘dirahasiakan’ dari pihak kerajaan. Secara personal ia diangkat dan diasuh oleh Indra saat ia pertama kali ditemukan oleh Indra (saat masih menjadi pangeran). Faisal kemudian secara tidak resmi masuk ke dalam ruang lingkup lingkar kerjaan Jaya walau harus disembunyikan dari publik, sehingga kehadirannya hanya diketahui oleh pentinggi kerajaan.

Sama seperti Rizal yang diangkat secara personal oleh Indra, Faisal pun demikian, tetapi hingga sekarang Faisal masih tidak mengerti alasan dibalik pengangkatan dan pemilihannya. Dari sana Faisal kemudian di kenalkan Indra oleh Diki dan menjalankan peran sebagai ‘agen’ serta ‘selebriti’ ternama di kota Jaya.

Tentu saja, kehadiran Faisal dihadapan Rena merupakan hal normal jika melihat dari sudut pandang warga kota. Ia hanyalah seorang aktor opera, walau namanya tersohor ia bukanlah berasal dari keluarga bangsawan, untuk mendekati Rena pun adalah hal yang normal. Tetapi dengan spesifik menargetkan Ningsih maka pelaku telah mengetahui hubungan antara Indra, Rena, dan juga Faisal.

Mendengar penjelasan Faisal tersebut membuat Indra terkekeh. Ia bertepuk tangan, sangat puas dengan hasil analisis anak didiknya yang akurat dan mendetil tersebut.

“Tidak salah saya memilihmu Faisal, potensimu terlalu besar,” pujinya.

“Baiklah, dari sini kita tau harus bagaimana. Diki, tolong cek seluruh jejaring CCTV di kota ini, lalu untuk Doni kamu bisa mencari hingga membeli informasi karena kemungkinan terjadinya suap yang dilakukan oleh pengkhianat kerajaan. Rizal, secara resmi kamu sweeping pasukan beesenjata khususnya senjata api, data kelengkapan peluru mereka dua hari terakhir hingga hari ini serta transaksi peluru ataupun bahan produksi senapan,” titah Indra

“Lalu Faisal, kamu masih tetap di sini bersama saya dan Ratu, saya ingin bicara denganmu,”

———

Meja panjang itu hanya tersisa Indra, Siska, dan Faisal. Dari posisinya duduk, Indra berdiri dan berjalan menuju jendela besar istana dan menyikap gorden emas kecokelatan tersebut. Memandangi langit malam Jaya dengan tatapan sayu dan menerawang jauh.

“Faisal, kamu pasti bertanya-tanya kan kenapa kamu saya angkat secara personal, dan saya ‘latih’ seperti saya melatih Rizal sebagai pengawal pribadi saya,” ucap Indra, sebuah pernyataan retoris yang tidak perlu ia jawab dan ia konfrimasi.

“Alasannya adalah, saya memerlukanmu, sebagai bodyguard kerajaan, tapi bukan untuk saya maupun Siska, melainkan sang putri yang telah lama hilang,”

Pernyataan Indra tersebut sontak membuat Faisal terlonjak dan berdiri dari posisinya duduk. Terkejut tak percaya.

“Putri?! Bukankah Anda anak tunggal?!” serunya tidak percaya

“Seharusnya, tapi itu adalah politik kotor yang dilakukan oleh pangeran untuk menjatuhkan kerajaan Adamar. Sejatinya Jaya memiliki pewaris tahta laki-laki dan perempuan,” tambah Siska, dan sepertinya sang Ratu pun telah mengetahuinya.

“Adik perempuanku…, Indy Sri Jaya, yang telah lama hilang dan direnggut dariku serta ingatanku…,”

“…atau yang sekarang kamu kenal dengan demoiselle Rena,”

———

Malam itu Rena mengenakan gaun terbaiknya (tentu saja dibantu Ningsih memilihkannya). Sebenarnya, Rena ingin memakai pakaian yang biasa-biasa saja selayaknya di sehari-hari, tetapi saat sang bunda mengetahui ke mana dia pergi dan dengan ‘siapa’. Ningsih dengan segera meng-make over anak semata wayangnya tersebut. Meskipun bagi Rena reaksi Ningsih terlalu berlebihan.

Tidak apa-apa sayang, lagi pula kamu tidak pernah bersenang-senang bukan? Terima kasih karena selama ini sudah bekerja keras membantu Bunda, anggap saja hari ini hari spesial jadi kamu juga harus tampil spesial

Kalimat itu yang diucapkan oleh Bundanya saat ia hendak berangkat menuju gedung opera. Sebenarnya selama dalam perjalanan ada beberapa kalimat dari Bundanya yang cukup mengusiknya, membuatnya sedikit hilang fokus dan mungkin saja salah tingkah.

Lagipula, monsieur kan teman pertamamu… siapa tau bisa lebih dari teman bukan ujar sang Bunda sembari mengedipkan matanya.

Rena mengelak, meskipun demikian dia tetaplah wanita dewasa yang mengerti arah maksud ucapan bundanya tersebut. Dua puluh menit ia tempuh pun tidak terasa akhirnya dia tiba di gedung Opera. Dilihatnya Faisal dengan setelan jas telah menunggunya di depan, entah kenapa jatungnya jadi berdegup kencang.

“Monsieur!” sapanya, Faisal yang merasa dirinya dipanggil itupun seketika menoleh, wajahnya nampak berseri mendapat Rena.

“Demoiselle! Senang rasanya melihat demoiselle di sini,” ujarnya.

“Wah… kenapa monsieur berkata demikian? Apa monsieur kira aku tidak akan hadir?”

“Kiranya demikian demoiselle,”

“Jahatnya… aku kan sudah janji…,”

Faisal hanya terkekeh melihat respon gadis dihadapannya tersebut. Rena terlihat memberengut lucu dengan bibir manyunnya. Diperhatikannya penampilan gadis itu dengan seksama, sepertinya ia tampak berbeda. Tangannya pun tergerak untuk merapikan anak rambut gadis itu, menyingkapnya dibelakang telinga yang sukses membuat Rena merona.

“Mo—monsieur…?”

My lady looking so pretty tonight…, Anda anggun sekali…,” pujinya semakin membuat rona merah di pipi gadis itu menjalar hingga telinga.

“Te—terima kasih monsieur…”

Untuk memecahkan kecanggungan di antara mereka, Rena pun dengan segera menyodorkan sebaket bunga lily putih yang telah ia beli khusus untuk Faisal, sebagai ucapan selamat atas pentasnya. Dan tentu saja diterima Faisal dengan senang hati.

“Untuk monsieur! Selama di perjalanan aku terus berpikir hadiah apa yang bisa aku berukan untuk monsieur… dan saat melihat bunga lily putih aku hanya mengingat monsieur… semoga monsieur senang…,” ujarnya.

“Terima kasih demoiselle, ini lebih dari cukup, bahkan saat tau demoiselle hadir hari ini sudah cukup bagi saya, kehadiran demoiselle sangat berarti,”

Ugh… dasar… apakah seorang aktor memang seperti ini? gerutu Rena. Pasalnya hatinya tidak sanggup lagi dengan semua ucap dan rayu manis miliknya.

Shall I take your hand, My Lady?”, tanya Faisal sembari sedikit membungkuk dan menjulurkan tangannya kepada Rena. Selayaknya seorang pria yang mengajaknya berdansa, dengan ragu-ragu diterimanya uluran tangan tersebut dan dengan cepat Faisal rangkul pinggul ramping Rena untuk mendekat.

“Relaks demoiselle, malam ini hanya milik kita berdua,” ucapnya.

———

“Mohon tiketnya…,”

Rena sedikit panik, ia tidak sempat membeli tiket, Faisal pun tidak berkata apa-apa soal itu. Namun sang penjaga pun seketika terkejut saat mengetahui wajah pria di sampingnya dan seketika membungkuk hormat. Apakah memang Faisal aktor yanv begitu disegani?

“Monsieur!”

“Tidak apa-apa, demoiselle ini tamu spesial saya, tolong ya,” titahnya yang segera dituruti oleh sang petugas.

Sebelum mereka berpisah, dikecupnya punggung tangan milik Rena, “Kita berpisah di sini demoiselle…, tenang, Agung yang akan melayanimu malam ini, nanti kita bertemu lagi setelah pentas selesai, demoiselle,”

———

“Waaah penampilan monsieur tadi bagus sekali! Aku terharu ketika sang pangeran ikut larut ke dalam air dan memeluk jasad sang putri…” seru Rena segera menghampiri Faisal yang baru selesai pentas.

Tearitikal Faisal hari ini mengusung tema cinta dan tragedinya. Walau ada ungkapan yang mengatakan bahwa dilarang menampilkan hal menyedihkan di panggung opera tetapi sudut pandang antara sedih dan bahagia sangatlah tipis. Walaupun pada akhirnya kedua pasangan tersebut tidak dapat bersama karena takdir dan tradisi yang kejam, ikatan yang begitu kuat diantara mereka kemudian mempersatukan mereka kembali dalam kemurnian sejati.

“Heh, perempuan kucel sepertimu tau apa soal seni? Paling hanya merengek karena tidak ada ending bahagia, memangnya mengerti apa kamu tentang perasaan dan kemurnian?” ledek Diki yang tiba-tiba muncul dari balik panggung. Mendengarnya membuat Rena sebal sementara itu Faisal hanya terkekeh kecil melihat pertengkaran di antara mereka.

“Monsieur jangan meremehkan saya ya?!” tantang Rena sembari berdecak pinggang.

“Saya tidak bilang drama tadi tidak berakhir bahagia, pada akhirnya perasaan mereka begitu kuat walau dalam wujud yang abstrak pula mereka dapat menyadari esensi satu sama lain dan kembali bersama? Bukankah hal tersebut dapat dikatakan sebagai suatu yang membahagiakan?!” serunya membuat Diki sedikit terkejut, pasalnya hanya sedikit ornag yang mengerti pesan yang hendak ditampilkan pada seni tadi dan Rena bisa dengan terus terang mengungkapkan ya kepada Diki.

“Sudahlah Diki, akui saja jika demoiselle ini tidak seperti yang kamu pikirkan,” celetuk Faisal membela Rena membuat Diki merasa sebal dan juga malu, dengan perasaan yang membuncah lelaki tinggi itu melengos begitu saja meninggalkan mereka.

“Temenmu itu kenapa sih?! Dari awal udha ngeremehin aku mulu?! Apa aku yang terlihat seperti ini makanya dia dengan mudah meremehkanku?!” gerutu Rena.

Faisal sendari tadi hanya diam memperhatikan, entah kenapa ia begitu menyukai sifat Rena yang blak-blakan dan terus terang seperti ini, mengatakan apa yang sebenarnya dia rasakan. Tanpa sadar seutas senyum terukir di wajahnya.

“Demoiselle sudah makan malam belum?” tanya Faisal mengalihkan fokus Rena yang sendari tadi marah-marah, membuatnya sedikit canggung karena marah-marah di hadapannya.

“Eh? Oh! Belum!”

“Kalau begitu, apakah demoiselle berkenan makan malam dengan saya? Kebetulan saya tau restoran pasta enak dekat sini,” tawarnya sembari mengulurkan tangan.

Dan dengan senang hati Rena sambut uluran tangan tersebut. Selama perjalanan mereka berbagi cerita, tetapi lebih kepada Faisal yang dengan senang hati mendengarkan cerita Rena khususnya tentang bagaimana Ningsih yang memilihkan baju untuknya.

———

Arloji Faisal menunjukkan pukul sepuluh malam. Jalanan kota Jaya malam itu pun sudah mulai sepi, hanya terlihat beberapa orang berlalu lalang untuk kembali pulang.

“Demoiselle pulangnya bagaimana? Ini sudah cukup larut dan sepertinya pun trem terakhir sudah lewat,” tanya Faisal

“Hmm? Sepertinya aku pulang sendiri, monsieur juga lulang saja, sudah larut,”

“Lalu membuarkan wanita cantik pulang sendirian malam-malam begini? Tidak, mari saya antar, demoiselle,”

Rena hendak menolak, jujur saja ia merasa sangat merepotkan, Faisal sudah mengundangnya, membelikannya makan, bahkan hingga mau mengantarnya pulang. Namun, ia hanya memberikan kado bunga untuk sang tuan. Sungguh tidak sopan.

“Tidak! Aku bisa pulang sendiri,” seru Rena membuat mereka seketika jadi ousat perhatian, beberapa pasang mata menoleh ke arah mereka dan terdengar sedikit bisik tentangnya.

Lagi bertengkar kah? Tidak tahu malu sekali bertengkar di publik seperti ini

Faisal menghela nafas pelan, digenggamnya tangan milik Rena, “Demoiselle, ini sudah larut… tidak ada yang bisa menjamin keselamatan demoiselle…,” jelasnya.

Sejujurnya Rena sedikit kesal, tetapi yang dikatakan Faisal ada benarnya, Jaya malam haru tidaklah se aman itu. Tindak kriminal bisa saja terjadi apalagi mengingat dirinya adalah perempuan. Ia jadi teringat saat kasus pencopetan di siang bolong dan banyak orang, ia saja masih bisa kecolongan karena tidak hati-hati, apalagi malam seperti ini.

“Baiklah monsieur…,” ujarnya, mengalah, dan dapat Rena lihat wajah Faisal seketika berseri mendengar jawabannya.

———

Dalam perjalanan pulang mereka tidak banyak berbicara, sesekali Rena bercerita dan Faisal bertanya, tetapi fokus lelaki itu justru teralihkan pada suasana jalan rumah Rena yang terlampau sepi, aneh, pikirkya karena rumah gadis itu juga cukup berada di daerah pusat kota.

Ia memperhatikan dengan seksama, ada beberapa kamera pengawas yang disediakan sebagai bentuk pengamanan dari pihak kerajaan. Tapi di sudut persimpangan yang cukup strategis dan terlampau sepi matanya menangkap tidak ada satu pun kamera pengawas di sana, apakah di lepas dengan sengaja? Atau menjadi titik buta?

“Monsieur? Ada apa…?” Tanya Rena yang sendari tadi memperhatikan Faisal, lelaki itu tampak risau. Namun, seperti biasa ia tersenyum dan mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja.

“Rena! Akhirnya kamu pulang!”

Dua sosok gadis seusia tak jauh berbeda dari Rena berlari menghampiri mereka berdua, satunya berambut merah dan satunya ungu. Raut wajahnya terlihat panik, dengan nafas tersengal mereka pun menyampiakan pesan yang menjadi runtuhnya dunia Rena.

“Bundamu…! Beliau jadi korban pembunuhan…!”

———

“Bunda! Bunda!!”

Dengan nafas tersengal Rena segera berlari menghampiri kerumunan orang, berkumpul dan mengitari jasad wanita paruh baya yang telah ditutup dengan kain putih. Aroma anyir darah pun dapat tercium olehnya. Tangisnya pun pecah, melolong tak terelakan.

Malam itu begitu cepat bagi Rena, perasaan baru tadi pagi bundanya mendadaninya, jika saja dia menilak pergi dan menemani bundanya maka hal seperti ini tidak akan terjadi. Tangisan gadis itu begitu pilu. Dua temannya pun berusaha menenangkan Rena yang sendari tadi meraung.

Sementara Faisal, dirinya memilih untuk meninggalkan area kerumunan. Ia sibuk memperhatikan kejadikan pekara. Di mana saksi mangatakan ia hendak membuang sampah dan menemukan jasad Ningsih sudah tergeletak tak berdaya di sana.

Maka lokasi tersebut berada di persimpangan titik buta yang sendari tadi ia perhatikan. Jika dari rumah Rena dan Ningsinh maka wanita itu memilih jalan belakang yang kamera CCTV-nya hanya mengamati bagian depan dan tidak dapat merekam keseluruhan lokasi kejadian. Faisal mendecih sebal.

Tidak hanya itu di arah sebaliknya pun kamera CCTV hanya berlokasi dua tikungan terdekat maka untuk arah yang berlawanan akan sulit terekam. Untuk bisa tau dan menjalankan aksinya maka sang pelaku harus hapal betul jaringan sistem CCTV kota. Ia sudah memiliki dugaan tetapi tidak bisa ia konfrimasi saat ini.

Mengecek sidik jari atau sepatu pun percuma, saat Ningsih ditemukan sang saksi pun seketika memanggil bantuan, kemungkinan besar banyak jejak kaki telah memenuhi TKP, kecuali jika ia ingin menguji asumsinya maka jalur-jalur sepi dan arah berlawan yang memungkinan bisa dicoba, hanya saja ini seperti pertaruhan karena pasti tercampur dengan jejak kaki selama seharian dan untuk mengidentifikasikannya akan cukup sulit.

Tunggu, jika asumsi pertama Faisal benar maka ia harus melihat penyebab kematian Ningsih terlebih dahulu.

Faisal kembali masuk ke dalam menghampiri salah satu orang di kerumunan tersebut.

“Mohon maaf, jika boleh tau… apa penyebab kematian beliau?” bisiknya kepda salah satu orang di sana.

“Kata tim medis yang baru saja dipanggil, madame meninggal karena luka tembak di bagian vitalnya…”

Voila

———

Orang-orang pun berangsur pergi, ini sudah mendekati fajar, Rena pun sudah mulai tenang. Semaleman mereka sibuk mengurus jasad Ningsih dan memakamkannya. Sementara itu Faisal masih di sana, enggan meninggalkan Rena seorang diri.

“Demoiselle…”

Diletakkannya segelas coklat panas di hadapan Rena, gadis itu nampak lesu dengan mata sembab dan jalur air mata di kedua sisi wajahnya.

“Harusnya… aku tidak meninggalkan bunda seorang diri… bukan…, bukan maksudku menyalahkan monsieur yang mengajaku pergi… tapi… harusnya tidak seperti ini…,” gumam Rena, pikiran gadis itu benar-benar kacau dan Faisal sangat memahaminya.

Faisal berjalan tepat dihadapan Rena, ia membungkuk sembari menggenggam erat tangan gadis itu. Dielusnya punggung tangannya, berharap mampu menenangkan batin gadis itu dari lara yang ada.

“Demoiselle…, tidak apa-apa jika demoiselle masih ingin menangis…, tetapi jangan terlalu menyalahkan diri seperti ini…,”

“Tapi… karena aku ngga ada di sisi Bunda… Bunda jadi…,”

“Demoiselle…, demoiselle yang cerita sendiri bukan betapa senangnya madame malam ini…, madame pasti juga teramat sedih kepergiaannya menjadi alasan putri semata wayangnya menyalahkan dirinya…,”

Dibawanya Rena kedalam pelukannya.

“Saya tau rasanya ditinggal seorang diri apalagi oleh keluarga sendiri itu rasanya begitu menyakitkan…, jadi tidak apa-apa jika demoiselle ingin menangis…, tetapi harap demoiselle ingat…, bahwa demoiselle tidak sepenuhnya sendiri…,”

Tangis gadis itu kembali pecah dalam pelukan Faisal, begitu mengharukan, dan Faisal pun berusaha menenangkannya dengan sembari mengusap punggung yang bisa saja rapuh kapan pun. Tubuh Rena bergetar hebat dan cengkraman gadis itu pada jasnya pun semakin erat.

“Demoiselle tidak sendirian… ada saya di sini…,”

———

———

“Monsieur!”

Faisal yang tengah sibuk memilih buah-buah itu pun seketika dikejutkan oleh suara halus yang cukup familiar di telinganya. Kepalanya menoleh ke arah sumber suara, di dapatinya Rena tengah berlari pelan sembari berteriak melambaikan tangan ke arahnya.

“Demoiselle?!”

“Monsieur! Aku kira kita tidak dapat bertemu lagi setelah kejadian waktu itu… aku… aku selalu menunggu monsieur! Tapi monsieur tidak pernah datang!” seru Rena melaporkan selayaknya anak kecil, Gaisal yang mendengarnya pun tidak bisa untuk tidak terkekeh geli. Ia dia mengetahuinya, alih-alih menghampiri Rena Faisal justru sibuk menyamar diantara keramaian, memperhatikan keseharian gadis itu dan mengonfirmasi apakah kecurigaannya terkait ancaman itu benar adanya.

“Mohon maafkan saya demoiselle…, akhir-akhir ini saya sibuk dengan pertunjukkan peran saya…,” ujarnya yang tentu saja menimbulkan keterkejutan bagi Rena.

“Mo-monsieur seorang aktor?! Waaah hebaaat!!”

“Ah… tidak perlu bereaksi seperti itu demoiselle… saya hanya bermain peran pada teater pinggir jalan…”

“Tapi itu sudah keren loh! Aku selalu gak pede buat main peran dihadapan orang-orang!”

“Siapa Sal?”

Percakapan mereka terpotong dan Rena dengan cepat-cepat memberi salam, membungkuk sopan kehadapan pria gondrong berambut merah muda disebelah Faisal tersebut, sepertinya lelaki itu adalah teman dari Faisal.

“Ah… ini, demoiselle yang sempat aku ceritakan padamu…,”

“Demoiselle, perkenalkan, ini teman saya, Diki, dia adalah seorang praktisi seni dan musik composser dan Diki, perkenalkan ini Rena,” jelas Faisal memperkenalkan mereka satu sama lain.

Diki terlihat acuh, ia hanya menyampaikan beberapa patah pesan salam dan sapaan sebelum beralih meninggalkan mereka berdua. Membuat Rena sedikit khawatir apakah dia bertindak tidak sopan sehingga menyinggungnya? Tapi Faisal berkata Diki memang punya kepribadian nyentrik seperti itu.

Sembari asik mengobrol Faisal sesekali mengecek ke arah arloji miliknya. Menyadari gelagat Faisal tersebut sepertinya sang monsieur sedang ada urusan dan sedikit terburu-buru.

“Eh? Apa Monsieur habis ini ada acara?” tanya Rena

“Ah… iya, maafkan saya demoiselle, saya harus kembali ke teman-teman teater untuk gladi bersih… maaf ya, itu pula alasan saya tidak bisa mampir karena sedang mempersiapkan pentas…,”

“Eh… oh…, kalau begitu baiklah…, aku tidak akan menahan monsieur lebih lama lagi…,”

Diperhatikannya raut wajah sang gadis yang terlihat sedikit kecewa. Melihatnya membuat Faisal tersenyum kecil, dikeluarkannya sekuncum mawar kuning dari baket bunga yang ia peroleh dari pentas tadi, sebelum diberikannya kepada Rena.

“Untukmu demoiselle, jangan sedih lagi, aku akan kembali. Tidakkah demoiselle lupa kalau Anda masih berhutang janji mengembalikan sapu tangan saya?”

Entah mengapa mendengar ucapan Faisal tersebut berhasil membuat Rena kembali berseri. Tentu, tentu saja Rena tidak lupa! Dan mereka pasti akan bertemu kembali.

Merek pun saling bertukar sapa dan berpisah di persimpangan kota.

———

“Jadi itu gadis yang kamu intai selama ini?” tanya Diki ketus saat Faisal kembali ke arahnya, membuatnya terkekeh kecil karena ambiguitas kalimat tersebut.

“Jangan seperti itu dong, kenapa terdengarannya aku seperti stalker

“Ya kan memang, lagian kenapa kamu harus berperan selayaknya cassanova segala?”

Tentu saja mendengar celotehan Diki tersebut membuat Faisal terkejut dan sedikit tersinggung.

“Aku tidak cassanova! Ini demi keberhasilan misiku,” belanya, “Dengan berperan sebagai cassanova,”

Haaah, Faisal menghela nafas pelan, ia menyerah. Melelahkan jika dirinya harus berdebat dengan Diki seperti ini.

———

———

Tiada yang berhak atas tahta ilahi selain kedewataan itu sendiri, Namun, manusia-manusia yang serakah tersebut berkata sebaliknya, Hanya demi ambisi yang berakhir pada jurang kesengsaraan

———

Dahulu kala, diceritakan Sindari sebagai negara yang makmur nan subur. Semua hasil bumi dari permadani hijau yang membentang penjuru negeri adalah berkah dari sang ilahi. Mereka lah hambar taat yang dengan setia mengabdi dan berdoa kepada sang bintang.

Namun siapa sangka, semua berkat tersebut pada akhirnya berbuah petaka hanya karena ketamakan dan arogansi sang ratu yang beranggapan bahwa hanya Sindari lah yang berhak akan tahta dewa, hanya mereka lah yang layak bersanding dengan sang dewa.

Tiap samsara mereka lalui hanya ‘tuk mempersembahkan putri terbaik dari anugerah anak kembar yang melambangkan keseimbangan sang dewa. Di mana sang putri adalah persembahan terbaik dan sang putra adalah titisan langsung kekuatan ilahi.

Namun, keserakahan itu mendorong mereka pada mala dan akhir dari Sindari. Lambat laut mereka pun kan kehilangan berkah, ditelan oleh api keserakahan mereka sendiri. Saling menikam dan memakan satu sama lain.

———

Pada putaran samsara ketiga maka nirmala akan dihapuskan, bentuk kesucian yang telah ternoda akan melahirkan sebuah berkah dan kutukan sekaligus bagi sang rembulan,

Maka, untuk yang ditakdirkan, teruslah menari dan bermain peran hingga bara api melahapmu seorang diri dalam ketidaktahuan,

Inilah buah dari arogansimu,

———

Pada akhirnya, nubuat itu harus dibulatkan.

———

Lelaki itu terbangun dengan bulir-bulir keringat membasahi penuh keningnya. Nafasnya terengah-engah dengan seluruh tubuh yang bergetar hebat. Ia membencinya.

Pikirannya kacau, dengan cepat ia tutup kedua telinganya, berusaha menghiraukan gema-gema suara tersebut namun nihil. Mimpinya sama dan selalu berulang, sejauh apapun ia lari atau pergi pada akhirnya ‘mereka’ memaksanya untuk kembali.

“Oh? Kau sudah bangun? Baru saja mau ku bangunkan—kau kenapa?”

Yang ditanya hanya bisa menoleh lemas sembari menatap lelaki berbadan tinggi berbaju zirah dan rambut menutupi separuh wajahnya. Ia menggeleng pelan, dengan tubuh yang lesu ia pun beranjak dari dipan kasurnya.

“Tidak apa-apa… apa Raja memanggilku?” tanyanya.

“Ya, beliau memiliki sebuah misi untukmu,”

———

“Siska?! Kau kembali?! Ku kira minggu ini aku tidak bisa menemuimu!”

Ujarnya riang mendapati sosok wanita ayu nan anggun dengan gaun merah tengah duduk di meja panjang tersebut menikmati hidangan sarapannya. Bunyi pintu berdicit seketika memggema saat sosok agung itu tiba, semua orang pun berbungkuk hormat kecuali sang wanita.

“Tidak sopan, memanggil ratumu seperti itu,” serunya.

“Sudah lah darling lagipula Faisal juga sudah aku anggap sebagai saudaraku, semua anak-anak opera adalah keluargaku jadi tidak apa,” belanya. Sang raja pun hanya bisa berdecak pinggang. “Kamu terlalu santai terkadang, jika seperti ini maka Papa akan memarahimu lagi,”

“Tenang, sekarang kan Papa sedang tidak ada,”

Lelaki bernama Faisa dan pasukan kerajaan lainnya itu pun berhenti memberi hormat manakala sang Raja menyuruh mereka untuk berdiri. Jubah panjang menjuntai tersebut bergerak selaras mengikuti ke mana arahnya berjalan. Bermain-main dengan angin yang sukses membuatnya mengambang dan tidak menyentuh tanah.

Dijatuhkan satu kecupan singkat pada pipi sang ratu sebelum ia mengambil duduk tepat di sebelahnya, lelaki berbaju zirah itu pun dengan sigap berdiri di belakang orang nomor satu dikerajaan tersebut. Sedangkan Faisal pun berdiri membungkuk menunggu perintah sang Raja, alasannya di panggil pada pagi hari ini.

“Tolong serahkan papyrus itu kepadanya, lalu tinggalkan kami, biarkan kami berbicara berempat saja,” titahnya. Pelayan-pelayan itu pun sigap melaksanakan perintah sang Raja sebelum kemudian meninggalkan ruangan.

———

Misimu yang pertama adalah mengawasinya, dekati lah dia dan buat dia percaya padamu

Seiring berjalannya waktu, akan ku jelaskan detailnya setelah kamu mengenalnya. Yang jelas, kamu harus selalu melindunginya,

———

Pagi itu jalanan kota Jaya begitu ramai dengan lalu lalang aktivitas warganya. Tukang pos dan pengantar koran mengayuh sepedanya berkeliling rumah untuk membagikan koran, beberapa orang dengan segelas opi dan juga roti di mulut berjalan terburu-buru agar tidak tertinggal trem.

Sama halnya dengan kota Jaya yang sibuk, toko roti kecil yang berada di pusat kota itu pun sendari tadi sibuk melayani pesanan pelanggannya. Aroma gurih dan manis pastry dan baking siap menyapa siapa saja yang memasuki toko tersebut.

Dari tempatnya duduk mata Faisal sibuk mengikuti gadis bersurai hijau panjang yang sendari tadi sibuk melayani pelanggannya dengan sebuah senyum. Sesekali ia perhatikan gadis itu nampak menghela nafas lelah ataupun menghapuskan peluh keringatnya. Tapi senyum manis masih terpatri di wajahnya, entah mengapa melihat semangat gadis itu hati Faisal pun ikut terasa ringan.

“Jadi… misimu sekarang adalah untuk mengawasi gadis itu? Apa yang spesial dari gadis kucel itu?” gerutu lelaki berambut gondrong berwarna merah muda yang saat ini tengah menemani Faisal.

Melalui isyarat mata mereka berkomunikasi, menunjuk ke arah sang gadis yang dimaksudkan.

“Entah lah, tapi titah Raja adalah mutlak bagiku, beliau akan menjelaskannya seiring berjalannya misi ini,”

“Sejujurnya aku senang sekali ketika mengetahui kamu kembali bermain peran, tapi aku jadi sebal, karena itu adalah bagian penyamaran dalam misimu,” gerutu lelaki berambut merah muda tersebut sedikit merajuk, membuat Faisal terkekeh kecil.

“Jangan seperti itu, aku jadi merasa bersalah… tapi kamu tidak perlu khawatir Diki, aku akan kembali bermain peran, sebuah peran besar yang hany bisa aku mainkan dan selesaikan…”

“Kamu selalu bicara omong kosong seperti itu, tapi sebenarnya peran apa yang kamu maksud?”

Kedua pasang mata biru tersebut menatapnya menyeledik dan penasaran, sementara Faisal pun menolak tatapannya tersebut. Dalam diamnya ia memilih untuk menyesap kopi panas miliknya.

“Rahasia~” jelasnya membuat Diki jengkel, sementara itu Faisal pun tertawa puas melihat ekspresi temannya tersebut.

“Ah… sepertinya anak-anak yang lain sudah datang,”

“Baiklah, kalau begitu aku akan bersiap… showtime akan segera dimulai,”

“Aku harap gadis itu tidak membencimu setelah ini dan seterusnya, karena semua sandiwara itu,”

“Aku tidak terlalu mempermasalahkannya, karena ini hanyalah sebuah misi bagiku,”

———

“Rena, bunda boleh minta tolong?” gadis bersurai hijau tersebut seketika berjalan menghampiri wanita paruh baya yang tengah sibuk di pantry dapur. Peluh terlihat membasahi kening keriputnya, tapi seutas senyum selalu terpatri diwajahnya, menampilkan guratan-guratan samar bukti usia yang tak lagi muda.

“Tentu saja boleh bunda, apa yang bisa Rena bantu?”

“Tolong bantu bunda belanja ya nak? Hari ini cukup ramai sehingga banyak bahan-bahan yang habis, uangnya sudah bunda siapkan bersama list belanjaannya,”

Gadis bernama Rena itu pun mengambil sebuah dompet kecil dan selembar daftar belanja yang baru saja diberikan ibunya. Belanjaannya cukup banyak tapi hal tersebut bukanlah masalah bagi Rena, bundanya sendari dulu selalu mendidiknya untuk jadi wanita perkasa, jadi membawa semua daftar belanjaan ini bukanlah masalah besar untuknya.

“Baik bunda! Rena berangkat belanja dulu ya!”

———

“Telur sudah, selai sudah, tepung juga sudah! Hmm, tinggal beli beberapa bahan seperti buah-buahan dan coklat!”

Kedua tangan mungilnya penuh dengan berbagai barang belanjaannya, membuatnya sedikit kurang teliti dan berhati-hati dalam memegang sejumlah uang yang dimilikinya. Pasar hari ini cukup ramai, dan dalam sedetik saja tanpa perhatiannya beberapa lembar uang itu rain diikuti dengan barang belanjaannya yang jatuh berserakan karena didorong oleh orang.

Rena yang masih panik dan memproses kejadian tersebut seketika berteriak keras, menyuruh sang ‘copet’ untuk berhenti dan mengembalikan uangnya tersebut (dan tentu saja percuma)

“Copet! Tunggu!”

Dengan nafas terengah dan gaunnya yang sudah berantakan, Rena berusaha mengejar, tapi apa daya dirinya memang lemah dalam aktivitas fisik. Copet tersebut telah berlari jauh memasuki kerumunan.

“Tunggu… itu… uang bunda…!”

Entah kenapa pandangannya menjadi buram, matanya pun terasa berair, ia takut, takut sekali, karena belanjaan dan uang hari ini adalah tanggung jawabnya. Harusnya tidak seperti ini.

Di tengah kekalutan yang melanda, seorang lelaki berbaju putih dalam kecepatan yang sangat cepat berlari mengejar sang copet. Begitu cepat hingga membuat Rena kesulitan untuk mencerna informasi yang ada, apa yang terjadi?! Apa orang itu baru saja melongnya?!

“WOI!” teriak lelaki itu dan dengan cekatan ia berhasil melumpuhkan copet tersebut.

———

Dengan tergesa Rena berlari menghampiri lelaki berbaju putih tersebut yang telah sukses menringkus sang copet.

“Dasar manusia ngga puny etika, kalo mau dapet uang banyak itu kerja bukan melakukan tindak kejahatan!” serunya sebal.

“Pe-permisi… mounsieur…?”

Dari balik kerumunan Rena berusaha menerobos, sementara itu, Faisal dengan segera bangkit merapikan pakaiannya sebelum kemudian menyerahkan beberapa lembar uang tersebut kepada pemilik aslinya.

“Mohon maaf demoiselle, mohon untuk lebih berhati-hati kedepannya, karena tempat seperti ini rawan akan tindak kriminalitas,” ujarnya.

Namun, bukan itu fokus utama Rena, ia justru khawatir dengan sosok lelaki yang baru saja menolongnya tersebut. Dipandanginya sosok Faisal lekat-lekat membuat lelaki tersebut sedikit kebingungan.

“Ada apa?”

“Maaf…, kalau tidak sopan menatap terlalu lama…, tapi apakah monsieur baik-baik saja? Tidak ada yang luka kan?” tanyanya khawatir.

Mulanya Faisal sedikit kebingungan, tapi lelaki itu justru tersenyum seolah menyatakan bahwa apa yang baru saja terjadi tidak perlu terlalu dipikirkan ataupun dikhawatirkan.

“Saya tidak apa-apa demoiselle, Anda sendiri bagaimana? Belanjaan Anda juga bagaimana?”

Ah! Rena hampir lupa! Belanjaannya! Raut wajahnya pun seketika bermuram durja mengetahui bahwa hampir sebagian besar belanjaannya rusak dan sudah tidak layak pakai akibat insiden ini.

“Belanjaanku…, sepertinya banyak yang rusak, mau tidak mau aku harus kembali dengan tangan kosong…,” ujarnya sedih dan kecewa. Melihat hal tersebut seketika mengundang senyum di wajah Faisal, mungkin ini bisa ia jadikan kesempatan untukmelakukan misnya.

Walau terdengar tidak tulus tapi Faisal akan melakukan apapun demi misinya. Selama ini menjadi rahasia antara dirinya.

“Apakah demoiselle keberatan juka saya bantu membeli bahan-bahan dan membawakannya?”

———

“Rena?!”

“Bunda!”

Gadis itu dengan segera berhambur menuju kepelukan sang bunda, Faisal yang sendari tadi mengikuti Rena dan membantunya membawa barang belanjaanya pun tersenyum simpul melihat adegan tersebut. Bagaimana sang bunda terlihat khawatir dengan anak semata wayangnya itu. Entah mengapa membuat Faisal sedikit iri.

Sebuah kilas balik pun memghampiri kenangannya, ia masih mengingat betul alih-alih dipeluk dan dinyanyikan setiap malam menjelang tidur, wanita yang seharusnya menjadi ibunya justru terus menyiksanya dan mengurungnya dalam sebuah ruang gelap bawah tanah.

Kenapa kamu harus lahir?! Harusnya kamu tidak perlu lahir?! Mama jadi semakin membenci diriku!

Hidupku yang sudah hancur semakin hancur! Memang benar kata nubuat itu! Kamu adalah kutukan bagi keluarga ini!

“—sieur? Anda baik-baik saja? Wajah Anda terluhat pucat?” tanya gadis itu sembari menatapnya khawatir.

Dengan berat hati Faisal pun tersenyum dan menyerahkan belanjaannya, yah, kenangan itu tidak perlu terlalu ia pikirkan. Hingga hari pembalasannya tiba, ia haruslah menikmati hidup ‘baru’nya ini.

“Maaf membuat Anda khawatir, dan… siang Madame, saya disini hanya hendak membantu demoisselle membawa belanjaannya,” sapanya sopan sembari sedikit membungkuk kepada ibu Rena, membuat wanita itu sedikit tersipu dengan tingkah sopannya.

“Kalau begitu demoiselle, saya balik dulu… saya harap—”

“Tunggu! Monsieur…,”

“Faisal, nama saya Faisal, madame,”

“Monsieur Faisal! Tunggu di sini ya! Sebagai ucapan terima kasih saya karena menyelamatkan dan membantu anak gadis semata wayang saya, Monsieur menjadi tamu spesial tempat ini, Rena! Buatkan Monsieur Faisal macaroon ya!”

“Baik, Bunda!”

Rena sudah berjalan lebih dulu meninggalkan mereka berdua, sementara itu Faisal terlihat sedikit kebingungan saat sang madame membawanya pergi untuk duduk berdua, hari ini toko mereka sudah sedikit sepi karena sudah menjelang siang.

Sepertinya Faisal tau apa yang akan terjadi setelah ini, wawancara singkat mengenai hubungannya dengan Rena sepertinya akan segera dimulai.

———

“Maaf menunggu lama monsieour…, ini macaroons dan kopinya,” ujar Rena sembari menaruh piring-piring kecil tersebut di atas meja hadapan Faisal dan sang bunda. Saat dirinya hendak beranjak pergi sang bunda memanggilnya dan mengajaknya untuk ikut bergabung dengan mereka.

“Sekali lagi saya hendak berterima kasih atas kebaikan hati monsieour karena telah menolong anak saya, dia jarang sekali ceroboh tetapi musibah tidak ada yang tau…”

Faisal tersenyum getir, mengingat semua yang terjadi hari ini adalah rencananya, sandiwaranya. Ia memanglah seorang aktor yang handal. Walau ia membenci berbagai macam kebohongan yang ia lakukan demi keberhasilan misinya ia akan melakukan peran ini lebih lama hingga sempurna. Bukankah tugas aktor yang hebat adalah meyakini orang lain dengan kemampuan ‘berbohong’nya?

“Tidak apa madame…, itu bukanlah hal yang besar… saya justru merasa tidak enak karena mendapat penjamuan ini…,”

“Ahahah tidak apa-apa, tidak perlu sungkan, anggap saja imbal balik! Apalagi macaroons buatan anak saya adalah salah satu signature di sini. Best of the best,”

Gadis yang baru saja dipuji tersebut terlihat sedikit merona, lucu, batin Faisal. Siapa sangka bahwa tugasnya adalah untuk menjaga anak sepplos dan selugu ini. Membuatnya sedikit penasaran, rencana besar apa yang disimpan sang raja pda gadis itu?

“Oh ya… kalau saya boleh tau… hubungan monsieur dan anak saya itu apa ya? Teman? Kenalan?”

Faisal sudah menduga arahnya namun tidak dengan Rena, dari sudut matanya diperhatikan reaksi menarik dari sang gadis yang terlihat salah tingkah dan berusaha menghilangkan kesalahpahaman ini, sepertinya Rena khawatir ucapan bundanya tersebut tidak sopan atau menyinggung dirinya.

“Saya bukanlah siapa-siapa madame… hanya kebetulan lewat di pasar dna melihat insiden tersebut,” jelasnya, wow, gentleman

“Maaf jika terdengar tidak sopan dan menyinggung monsieour…, tapi memang saya sedikit khawatir dengan anak saya… sendari kecil, Rena memamg selalu sibuk membantu saya sehingga dia tidak memiliki waktu untuk bermain… Hal itu pula yang menyebabkan dia tidak punya banyak teman… jadi mengetahui ada yang menolong Rena membuat saya senang sekali… akhirnya anak ini punya teman…”

“Bunda…,”

Sendari tadi Faisal masih diam, memperhatikan, mengamati, untuk mengambil langkah selanjutnya, dan semakin diperhatikan maka semakin besar pula rasa penasarannya. Tetapi bukan sekarang, ia harus mengenal lebih dekat pribadi Rena. Maka langkah awalnya adalah dengan mengambil hati sang ibunda sehingga dipercaya dan bisa menjadi jalan ia lebih dekat dengan sang gadis.

“Madame tidak perlu khawatir, melihat pribadi Rena, saya yakin demoiselle akan mendapat teman sendirinya, demoiselle adalah pribadi yang ceria dan baik hati,”

———

“Mon—monsieour Faisal!”

Kring

Denting lonceng berdentang dan bersautan saat pintu kayu itu terbuka. Faisal, yang sendari tadi telah berdiri di luar toko pun seketika menolah ke arah suara tergopoh-gopoh tersebut. Dilihatnya Rena yang tergesa-gesa mengejar dirinya.

“Demoiselle?”

“Monsieur!”

Belum sempat Rena melanjutkan ucapannya gadis itu pun langsung terengah, membuat Faisal sedikit khawatir namun juga gemas melihat ya, untuk apa ia terburu seperti itu?

“Tenangkan diri demoiselle terlebih dahulu, ada apa?” tanyanya sembari mengulurkan sapu tangannya agar Rena bisa menghapus peluh di dahi.

“Terima kasih monsieur…,”

Keheningan sejenak menyeruak di antara mereka. Faisal lebih memilih diam dan memperhatikan, menunggu sang gadis lanjut berbicara. Sementara itu, Rena terlihat tengah meremat rok yang dikenakannya, bibir bawahnya ia gigit keras untuk menghilangkan rasa gugup.

“A-apakah kita dapat bertemu lagi?!” tanyanya sedikit berteriak, membuat Faisal sedikit terkejut tentunya.

“Ah! Ma-maaf karena tiba-tiba berteriak…,”

Seutas senyum pun terpatri di wajah Faisal, melihat ekspresi kikuk gadis di hadapannya, sepertinya tidak masalah kan jika dia mengerjainya sedikit?

“Kalau semisal kita tidak dapat bertemu lagi memangnya kenapa demoiselle?” godanya, dan raut wajah gadis itu seketika menjadi muram.

“Aku… akan sangat sedih…, bunda ingin sekali aku punya teman… kalau aku tidak bisa bertemu monsieur… maka akan membuat bunda sedih karena tidak bisa berteman dengan monsieur…”

“Hmm… jadi demoiselle ingin berteman dengan saya karena permintaan madame Ningsih? Bukan karena keinginan pribadi demoiselle? Saya merasa tersinggung mendengarnya,”

“Eh?! Ma-maafkan saya! Bukan itu maksud saya!”

Puan tersebut terlihat sedikit gelagapan dan salah tingkah. Berbanding dengan Faisal ia justru menikmati reaksi yang ditunjukkan oleh sang gadis. Maaf Raja, tetapi misi lali ini cukup bisa menjadi hiburan baginya.

“Demoiselle,”

“Ya?”

“Tolong jaga sapu tangan saya, saya akan kembali lagi nanti untuk mengambilnya,”

Itu adalah ucapan terakhir Rena sebelum Faisal pun berpamitan, sosoknya pun menghilang diantara kerumunan orang-orang kota Jaya, dengan wajah berseri Rena pun melambaikan tangannya sembari mengeratkan pegangannya pada sapu tangan tersebut dekat pada hatinya.

“Sampai bertemu lagi monsieour!”

☘️☘️☘️

Ketiga gadis ayu itu berkumpul cantik, duduk melingkar satu sama lain. Meskipun demikian, fokus mereka ada pada gadis termuda di antara mereka yang semalem telah membuat heboh grup chat mereka dengan pernyataan lugunya.

Dalam diamnya Rena menyembunyikan wajahnya dibalik boneka beruang milik Fani (yang sengaja ia bawa). Wajahnya pun seketika bersemu merah mengingat sosok dari boneka beruang tersebut.

Melihat si bontot yang tiba-tiba tersipu tanpa alasan sukses membuat Fani dan Siska berteriak heboh. Bahkan saking hebohnya Fani yang terlalu bersemangat hampir terjatuh dari kasur karena kehilangan keseimbangan membuat Rena pun seketika panik.

“Tenang, aku gapapa! Tapi kamu kenapaa tiba-tiba? Detail! Explain!!” seru Fani memborbardirnya dengan berbagai pertanyaan. Membuat Rena semakin pusing, ia sangat malu menceritakannya.

“Uuuuhh aku maluuu”

“Ih ayoo Renaa gapapa kenapaa??”

Dari balik pelukannya terhadap boneka tersebut yang semakin erat, Rena mengintip ke arah Fani dan Siska dengan malu-malu. Ia menarik nafas dalam-dalam.

“Aku… sepertinya suka seseorang…” dan teriakan Fani dan Siska pun semakin heboh.

“…ta-tapi aku masih ragu… kak Fani dulu waktu sadar suka sama kak Budi itu gimana perasaannya?” tanya Rena tiba-tiba, membuat gadis bersurai pendek itu pun seketika merona.

“Eh—a-aku?!” tanya Fani dengan raut terkejut. Rena pun memgangguk sebagai jawaban. Melihat Rena yang seakan menunggu jawabannya rona wajah di paras ayu itu pun perlahan memudah, digantikan sebuah senyum kecil dan pandangan yang menerawang.

“Waktu itu… aku sama Faisal masih sangat kecil…, Budi adalah teman pertama kami… yah… uh… bisa dibilang saat itu dialah satu-satuny orang yang memperlakukan kami dengan baik…, dia baik hati, lembut… AAAAAAA MALUUU”

“Iiihh kak Fanii terus apaa” desak Rena gantian, Siska yang sedikitnya asing dengan pembicaraan ini hanya menyimak saja.

“Terus… terus…! Dia yang bantu memperbaiki boneka beruangku yang rusak, itu adalah hadiah ulang tahun dari mama! Mungkin… karena Budi pula aku bercita-cita menjadi fashion designer

“Eeh…? Terus kak Fani sadar bisa suka kak Budi itu kenapa?”

“Eeeh… kenapa yaa…? Hehe… mungkin karena kebaikan hatinya dan semua perhatiannya aku jadi sayang padanya… aku juga selalu menunggu saat di mana aku bisa bicara lagi dengan Budi… bisa dibilang membuatku tidak sabar dan antusias dengan setiap interaksi kita kedepannya…,” jelas Fani.

Rena pun sepertinya paham apa yang dirasakan oleh Fani. Walau alasan dibalik rasa suka seseorang berbeda-beda tapi apa yang mereka rasakan selalu sama. Bagaimana mereka selalu ingin memberikan perhatian-perhatian kepada orang yang mereka sayang, di mana mereka hanya ingin menghabiskan waktu dengan orang yang mereka sayang, dan membayangkannya saja sudah cukup membuat mereka senang

Dan semakin Rena pikirkan semakin yakin bahwa memang itu yang ia rasakan terhadap Faisal. Ia ingin memberikan perhatian-perhatian kecil kepada lelaki itu, ia ingin lelaki itu merasakan perasaan-perasaan yang baik… bersama dirinya, dan terlibat di keseharian lelaki itu.

Ia tidak ingin meminta lebih, asalkan bisa terus melihat senyum lelaki itu dan saling berbagi tawa.

“Ah… aku mengerti,” ujar Rena. “Ja-jangan ketawa! Tapi… akhir-akhir ini sepertinya ada sosok yang berhasil membuat aku merasa deg-degan…,”

“SIAPA RENA?!?!” tanya Siska dan Fani seketika bersamaan membuat Rena sedikit terkejut.

Gadis itu berusaha mengabaikan tatapan kedua gadis itu.

“A-apa anak kosan?” tanya Fani, dan Rena pun mengangguk pelan.

“Eh?!! Siapa? Sejak kapan?!?”

Rena tidak menjawab, ia justru memalingkan wajahnya, menutupi wajahnya dengan boneka beruang tersebut…, sebagai jawabannya.

“A-aku gatau sejak kapan… tapi sosoknya malam itu… berbeda dari biasanya… dan… dan aku baru merasakannya sekarang,” jelasnya.

“Eeh siapaa?” tanya Siska lagi, dirinya masi tidak terlalu paham, tapi Rena hanya mengarahkan boneka beruang milik Fani sebagai jawaban.

Sepertinya Fani mendapat sebuah ide.

“WAAAAAAAH RENAAAA??!!” seru Fani membuat Siska terkejut sekaligus kebingungan, “Eh apa?! Kenapa?! Kamu tau?!”

Gadis itu pun seketika berbisik kepada Siska, membuatnya sedikit terkejut namun jawaban Fani adalah satu hal yang sebenarnya sudah jelas dari awal.

“AKU MAU TELPON THE BRIDESTORY SEKARANG! MAU PESAN WO!”

“BUAT APA KAAAK?!”

☘️☘️☘️

“Jangan cerita-cerita ke siapa-siapa ya kak… aku malu…” gerutu Rena saat mereka keluar dari kamar.

“Wah cerita apa tuh kok main rahasia-rahasiaan,” goda Romi, mereka tidak menyangka kalau orang-orang sudah pada kembali, mata Rena tidak sengaja beradu pandang dengan Faisal, lelaki itu tersenyum simpul ke arahnya, membuat semburat merah seketika muncul di kedua sisi wajahnya.

“Eh? Kok? Kalian baliknya barengan?” tanya Fani karena seingatnya Faisal dan Romi pergi ke tempat yang berbeda.

“Habis balik cari sarapan tapi kita nyusulin yang di pantai, terus balik-balik kita ngga sengaja dengar kalian teriak-teriak dari kamar…”

Baik Fani, Siksa, dan Rena saling beradu pandang, semburat merah di wajah itu pun semakin menjalar memenuhi satu muka.

“Tau deh bahas apa henoh bener, berisik tau gak?!” ketus Dadang, tapi bukan itu masalahnya, apakah mereka mendengar semua pembicaraan tadi atau tidak?! Mau ditaruh di mana muka Rena dan bagaimana ia menghadapi Faisal?!

“A—anu?! Ta-tadi dengar apa aja?!” tanya Rena panik seketika mencengkram erat tangan Faisal membuat lelaki itu sedikit terkejut.

“O-oh…? Tidak dengar apa-apa selain kalian heboh si… kita pikir emang kalian asik ngobrol aja…,” jelasnya

“AAAAAAAA”

“Eh?! Rena kamu kenapa?!” tanya Faisal panik saat gadis itu merosot dan duduk berjongkok sembari menenggelamkan wajahnya pada lipatan tangannya.

“Gatau! Aku malu! Aku mau jadi undur-undur ajaaa!”

☘️☘️☘️

Baru hari pertama setelah pergantian tahun, tapi sepertinya sudah banyak cerita menyenangkan yang menunggu mereka semua.

☘️☘️☘️

Alunan musik dan lagu yang berdentang seolah mengajak siapa pun untuk turut berdansa ataupun bernyanyi. Gemerlap lampu hias pun turut memeriahkan pesta tahun baru hari ini, dan siapa sangka halaman belakang villa mereka telah didekor sedemikian rupa dalam waktu beberapa jam saja.

“Permisi”

Rena pun seketika memberi jalan ke pada Fani dan Budi , dengan cekatan ia pun membantu Rizal untuk membawa bahan ataupun perlengkapan persiapan bakar-bakar malam ini. Seraya membantu Fani untuk mempersiapkan bahan-bahan dirinya sedikit teringat saat di mana Faisal belanja begitu banyak bahan sampai membuat Budi meledeknya apakah lelaki itu hendak memberi makan satu kampung, hanya mengingatnya saja sukses membuat Rena terkekeh geli. Mungkin itulah sebabnya Faisal hari ini tidak mengambil perlengkapan BBQ.

“Ih! Rena jangan ketawa-ketawa sendiri! Serem tau!” celetuk Fani membuat gadis itu sedikit salah tingkah, kedua pipinya pun bersemu merah

“Ah! Aku hanya teringat hal yang lucu kak!” ujarnya

“Hmm… apa tuh kalau boleh tau? Kok bisa bikin kamu ketawa sendiri?”

Rena tidak seketika menjawab, tapi entah mengapa hanya dengan mengingatnya saja sudah sukses membuat wajahnya memerah—kenapa dirinya tiba-tiba merasa malu?! Dan reaksi Rena itu sukses membuat Fani memelototkan matanya.

“Renaaaa??!”

“Aaaa udah kak Fanii aku maluuu”

“Kalian bahas apa sih kok asik ngga ajak-ajak aku? Aku sedih nih!”

Suara itu—

“Kak Siska?!”

Rena menoleh ke arah Siska yang tiba-tiba datang dan merangkulnya, wajahnya memberengut lucu seakan sebal karena tidak diajak dalam pembicaraan asyik tersebut. Rena tidak menjawab, dirinya hanya berkata ia akan menceritakannya nanti saat ada kesempatan hanya mereka bertiga untuk mengobrol. Membuat Fani dan Siska semakin tidak tidak sabar. Apakah bunga musim semi milik Rena mulai bermekaran.

Sementara itu tidak jauh dari posisi pra gadis berdiri para jejaka pun tampak sedang sibuk memperhatikan—lebih tepatnya Romi karena Faisal, Budi, dan Diki tampak sibuk dengan permainan mereka.

“Waah… enaknya ya cewe-cewe sepertinya mereka sudah akrab satu sama lain, bukankah pembicaraan seperti siapa orang yang mereka sukai menarik aku jadi ingin tau~”

Celetukan Romi barusan sukses membuat Budi tersedak daging, Faisal pun dengan cekatan menyodorkan air mineral kepada lelaki tersebut. Tentu saja obrolan tersebut sedikit mengejutkan Budi apalagi perasaan Fani terhadap dirinya sepertinya telah jadi rahasia umum satu kosan.

“Kenapa kamu bereaksi berlebihan seperti itu? Apa kamu juga ada penasaran?”

Dan Budi pun tersedak untuk kedua kalinya.

“Tidak—! Berhenti menyebar fitnah,” bela Budi

Dadang hanya bisa berdiri cengo melihat Budi yang seperti tidak menjadi dirinya sendiri itu, sedangkan Faisal disebelahnya tetap santai sembari meminum segelas soda di tangannya, seakan pernyataan Budi adalah hal umum yang sering dirinya lihat.

“Budi, D-nya denial” ledek Dadang dan Faisal pun mengangguk setuju.

☘️☘️☘️

You know it is not the same as it was~

Alunan musik santai band tersebut tanpa sadar membuat Faisal ikut bergoyang, menikmatinya, apalagi ditambah iringan saxofone di tengah bagian bridge lagu membuatnya semakin khidmat menggoyangkan kepalanya seirama dengan lagu yang ada.

“Aku tau kamu bakalan suka lagu ini Sal, cocok banget ga sih musiknya sama malam santai tahun baruan kali ini,”

Faisal mendongakkan kepalanya, mendapati Romi yang berdiri di dekatnya sembari membawakan dua gelas minuman bersoda, diberikan satu kepadanya.

“Aku kira kamu bakalan ngajak ‘minum’”, candanya yang dibalas dengusan tak suka dari Romi, sang dokter pun duduk tepat di kursi rotan sebelah Faisal yang masih kosong—tanpa meminta persetujuan Faisal tentunya.

“Aku masih cukup waras ya dan aku ga bakal pernah mau jadi samsak pak Agus,” balasnya, Faisal pun mengangguk setuju. Tidak ada yang pernah mau menjadi samsak dari ‘guru’ secara sukarela. Bahkan Rudy saja berusaha menahan niatannya untuk membawa ‘minum’ diam-diam.

“Emang kamu masih?” tanya Romi, “Sometimes, kalau sumpek banget tapi kamu tau kan terakhir kali aku gitu gimana, jadinya sekarang udah berusaha ngurangi sama ngilangin lah,”

“Resolusi tahun baru ceritanya?”

“Kali,”

Hening sejenak, kedua lelaki itu sama-sama duduk terdiam memikmati alunan musik yang ada sembari memperhatikan Siska, Doni, Rudy, dan Dadang yang ribut saat bermain karambol sendari tadi.

“Ngomong-ngomong, how’s life this year? Is it good enough atau justru fucked up enough?” tanya Romi tiba-tiba yang sukses membuat Faisal tersedak minuman bersodanya, membuat hidungnya terasa perih.

“Hiiii jorook!”

Ia menghiraukan ledekan Romi tersebut, lelaki itu dengan terburu-buru menuju toilet untuk membersihkan wajahnya sebelum kembali beberapa saat kemudian sembari membawa tisu.

“Salah siapa? Lagian ngasih pertanyaan minimal ada basa-basi dikit atau apa gitu ngga langsung diulti gitu,”

“Ya kan kamu ga suka basa-basi Sal,”

Kembali hening, namun saat ini benak Faisal tidaklah kosong, pertanyaan Romi berulang kali silih berganti memenuhi kepalanya. Tahun ini bagaimana dia? Kondisinya? Mentalnya? Sehat? Atau gimana? Entahlah, Faisal tidak menjawab secara pasti tetapi yang jelas…

“Untuk saat ini aku bisa memandang sedikit optimis di masa depan,” jawabnya mantap membuat Romi tersenyum simpul, syukurlah

“Bagus deh, oh! Biar aku tebak, pasti karena seseorang yang spesial ya~” goda Romi dan Faisal pun tidak mengelaknya, dengan santai ia justru menyesap kembali minumannya.

“Mungkin…, Rom, kamu mau tau apa yang membuatku menyukai gadis itu?”

Oho? Apakah setelah ini gelar Romi akan bertambah menjadi dr. Romi., Sp.Cin alias dokter cinta? Tunggu kenapa rasanya terdengar familiar ya?

Tapi Romi tidak menjawab, ia hanya diam menunggu Faisal bercerita, dan diamnya Romi juga Faisal anggap sebagai pernyataan setuju lelaki itu.

“Karena Rena itu sangat berbeda denganku…, dia adalah gadis yang ceria, selayaknya cerah matahari esok pagi, yang membuatku selalu penasaran dan menantikan hari esok, kira-kira akan ada hal atau kejadian menyenangkan apa lagi ya?” jelasnya, Faisal menghela nafas pelan.

“Dan aku tidak lebih malam hari baginya, yang hanya mampir dan lewat sekelebat, bahkan sang malam pun akan selalu merindukan mentarinya bukan? Begitu pula denganku, mungkin kehadiranku hanyalah sepintas saja bagi Rena,”

“Sal…”

Faisal menoleh ke arah Romi, yang menatapnya dengan iba dan penuh kasihan, membuatnya terkekeh pelan, “Kenapa ekspresimu seperti itu? Ini bukanlah sesuatu yang perlu kamu kasihani,” jelasnya.

“Hingga saat ini sebenarnya aku sudah tidak memiliki impian ataupun hal-hal besar yang ingin aku raih, kalau boleh jujur pun aku sebenarnya merasa lelah untuk terus lari. Aku tidak punya bayangan apa yang akan aku lakukan esok selain mengulangi rutinitas sehari-hari yang menoton dan memuakkan,”

“Tapi paling tidak sekarang, aku selalu ingin menunggu apa yang akan terjadi di hari esok, bukanlah itu bagus?” jelas Faisal, senyum lelaki itu nampak begitu berseri, entah mengapa melihat Faisal yang seperti itu membuat Romi berkaca-kaca.

“Hahaha… haaaaah! Sialan…, hanya mendengarnya kenapa aku jadi ikut senang? Kenapa sih kamu juga bikin baper orang?!” gerutu Romi sembari meninju kecil bahu Faisal

“Padahal aku belum sempat berterima kasih padamu tapi kamu sudah seperti ini,”

Hah?

“Makasih ya Rom, udah bantuin aku selama ini, mungkin tanpa penanganan professional darimh aku sudah menyerah dari dulu—”

Ditutupnya mulut Faisal dengan paksa membuat lelaki itu terkejut dan menatap Romi heran.

“Ngga kamu, ngga Indra, kenapa kalian berdua seperti ini sih?!”

Dilepaskannya mulut Faisal, lelaki berambut oranye tersebut menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, sedikit salah tingkah dan malu.

“Tapi Sal, orang yang paling pantas mendapat ucapan terima kasih adalah dirimu sendiri, makasih, sudah bertahan hingga saat ini,”

Satu ucapan kecil namun juga sederhana, apa memang selama ini Faisal kurang menyayangi dirinya sendiri? Kurang mengapresiasi dirinya sendiri? Ia dapat merasakannya, kedua pelupuk matanya yang mulai memanas. Kenapa dirinya merasa bersyukur dan senang sekali mendengarnya? Apa karena selama ini ia hanya mendengar sumpah serapah orang-orang yang tidak menghargainya, menyia-nyiakannya dan menyuruhnya mati? Apa karena itu ia merasa tidak perlu bertahan lebih lama lagi?

“Haaah, sialan…,” gerutunya dan mereka pun terdiam untuk waktu yang lama dengan berusaha menahan tangis satu sama lain.

Namun suasana melankolis tersebut tidak bertahan lama hingga musik upbeat tersengar menggantikan lagu sebelumnya, mengubah suasana dengan sangat kontras. Tapi sepertinya kedua lelaki ini mengerti lagu ini.

“Oh?”

“Yok lagu selanjutnya kayaknya cocok banget ya buat dokter cassanova kesayangan kita ya!”

“HEH AKU BISA DENGAR!!”

Siska yang tengah berbicara di mic tertawa puas melihat Romi yang nampak tidak terima tersebut.

“Ayo Rom nyanyi! Ini aku udah pilihan lagu yang cocok buat kamu!”

“YA TAPI GA DOKTER CINTA JUGA KALI?!” teriak Romi tidak terima, wajah dokter muda tersebut nampak memerah menahan malu dan juga kesal

“Sana Rom, pamerkan suara merdumu,” Romi berdecih mendengarnya, “Kamu yakin gapapa sendiri?”

Dan Faisal pun mengacungkan jempolnya, mengatakan bahwa tidak perlu khawatir karena ia tidak akan melakukan hal-hal yang dianggap ‘bodoh’

☘️☘️☘️

Sendari tadi Rena tidak bisa melepaskan pandangannya dari Faisal yang memilih menyendiri dibanding dengan menikmati pesta bersama yang lain, terkadang memang Rizal, Dadang, ataupun Romi datang menghampirinya, mengajaknya mengobrol dan bergabung tetapi berakhir dengan sebuah penolakan, Faisal lebih memilih menikmati pesta seorang diri. Jujur saja dia ingin Faisal ikut bergabung dan bersenang-senang, bahkan lelaki itu belum menyentuh BBQ sama sekali.

“Kenapa Ren?” tanya Fani dan mengikuti ke mana arah pndang Rena, Faisal

“Kamu khawatir sama Faisal?” tanya Fani, gadis itu mengangguk pelan. “Sendari Tadi Faisal hanya duduk memperhatikan, bahkan belum menikmati BBQ, apa dia baik-baik saja?” tanya Rena balik.

“Kalau kamu khawatir kamu bisa datang menghampirinya kok Ren-Ren”

“Kak Sembilan?”

Mendengar suara parau Sembilan membuat Fani bergidik ngeri dan seketika sembunyi dibalik punggung Rena. Lelaki dengan mata gelap itu menatap Rena dengan senyum yang tidak bisa didefinisikan, yang selalu sukses membuat semua orang kosan ketakutan, kecuali Rena.

“Tahun baru seperti ini tidak akan menyenangkan jika dihabiskan waktu dengan seorang diri, kamu bisa menghampiri Ical dan menawarkannya makanan, saya yakin Ical akan merasa sangat senang,”

Rena masih sedikit ragu, “Tapi, bagaimana jika Faisal memang ingin sendiri?”

“Percayalah pada saya Ren-Ren, Ical bukan tipe orang yang mudah menolak, apalagi terhadapmu, dia pasti senang,”

☘️☘️☘️

I can’t get you all that stuff, But I can give you all my love Free love~

Sendari tadi Faisal asik bersenandung sendiri, iringan piano yang lembut begitu menenangkan hatinya, beberapa jam lagi tahun sudah berganti dan anggota lain masih asik berpesta, hanya dirinya yang menikmati pesta ini seoarang diri, tapi itu sudah cukup baginya.

Senandungnya pun ikut terhenti saat sosok gadis yang akhir-akhir ini memenuhi pikirannya itu datang menemuinya, fokusnya beralih dari lagu tersebut ke arah Rena yang tengah berdiri tidak jauh dari tempatnya duduk.

“Faisal, apa kamu mau coba ini? Aku lihat daritadi kamu belum makan, jadinya aku tawari saja langsung” tawar Rena, Faisal sedikit bingung sejenak sebelum akhirnya tersenyum kecil, “Makasih Rena,”

Diambilnya makanan tersebut, suasana canggung menyelimuti mereka, Rena yang tidak tau ingin bicara pun hanya diam, kepalanya sibuk menduga, apa mungkin Faisal memang tidak ingin diganggu? Apakah lebih baik ia tinggalkan seorang diri saja sampai akhirnya sebelum dirinya beranjak sosok itu memanggilnya.

“Rena, tunggu!”

“Ya?”

“Apa kamu mau menemaniku di sini?”

Satu ajakan sederhana. Namun, sukses membuat senyum Rena seketika merekah.

☘️☘️☘️

Sejak Rena duduk di sebelah Faisal belum ada di antara mereka berdua yang berminat untuk membuka pembicaraan satu sama lain, meskipun demikian presensi satu sama lain di antara mereka sudah lebih dari cukup.

“Bagaimana satu tahunmu ini Rena?” tanya Faisal memulai pembicaraan, gadis itu tidak menjawab dan pandangan matanya tampak mengadai-andai, mengingat apa saja yang telah terjadi tahun ini.

“Tahun ini…, banyak hal yang terjadi di hidupku, memang tidak semuanya menyenangkan tetapi paling tidak aku bisa bertemu dengan keluargaku dan banyak hal-hal baik terjadi tahun ini…, itu yang membuatku sangat bersyukur,” jelasnya.

“Bagaimana dengan Faisal?”

Gantian, lelaki itu pun diam, tangan kirinya oun bergerak untuk meremat tangan kanannya, mengingatkannya akan luka psikologis yang bahkan tak akan pernah bisa sembuh. Bagi Faisal, setiap tahunnya selalu sama, kelabu…

“…tapi paling tidak, di penghujung tahun ini aku menemukan warna warni menarik yang menarik,” jawabnya.

Sorot mata Rena pun melembut—mengiba, dirinya selalu penasaran dengan lelaki di sampingnya, entah mengapa ada banyak hal yang masih belum ia ketahui dan kenal dari persona tanpa celah milik Faisal. Ia ingin mengenalnya lebih dalam lagi, Rena ingin lebih terlibat sebagaimana Faisal yang selama ini selalu menolongnya walau ia seringkali merepotkannya.

“Faisal…, apa kamu… baik-baik saja?” tanyanya khawatir.

Faisal pun balik menoleh menatap Rena, ah… tatapan mata itu. Faisal benci mengakui fakta bahwa ia menyukai cara Rena memandangnya saat ini, penuh kelembutan, kekhawatiran, hal-hal yang membuat Faisal merasa berhaga, sesuatu yang tidak pernah ia dapat sebelumnya.

“Kamu tau Rena…, harapanku setiap tahunnya selalu sama…, aku ingin hidup tenang,”

“Apa aku baik-baik saja? Aku tidak tau, ada banyak sekali hal yang memenuhi kepalaku, begitu berisik…, makanya aku selalu berharap sekali saja aku hanya ingin merasa tenang,”

Rena hanya diam, mendengarkan. Sorot mata Faisal tidak bisa diartikan saat ini. Ada banyak luka, kekecewaan, amarah, dan juga dendam. Sorot mata yang begitu rapuh layaknya sebuah jiwa yang kosong.

“AYO NYALAKAN KEMBANG API YANG INI! ROM MANA KOREKNYA ROM?!”

“Tapi tidak dengan tahun ini…, untuk pertama kalinya aku bisa merasa tenang, bahkan nyaman… mungkin bisa dibilang aku cukup menikmati hidupku tahun ini,”

“SATU…DUA…TIII…”

Suara kembang api dilepaskan memekakkan telinga, semuanya saling bersorak sorai mana kala kembang api tersebut menghiasi gelapnya langit malam dengan warna warni indahnya.

Malam itu, semua yang ada di mata Rena berubah, sudut pandangnya pun demikian, terutama saat ia melihat sosok lelaki dihadapannya, bayangnya terpancar di bawah gemerlap meriahnya kembang api.

“Aku harap tahun depan aku bisa merasakan perasaan-perasaan yang baik, begitu pula denganmu, Rena,”

☘️☘️☘️

Rena, malam tahun baru, dan siapa sangka hari pertamanya diawali dengan sebuah gejolak aneh dalam dirinya, perasaan baru dengan sosok lama namun dilihat dari sudut pandang yang baru.

Malam itu, Faisal tampak begitu menawan di mata Rena—oh ayolah, Faisal memang tampan dengan karismanya tersendiri, tetapi bagi Rena tidak dengan malam ini. Entah mengapa ia dapat merasakan degup jantungnya yang sama berisiknya dengan kembang api yang menghiasi angkasa.

Siapa yang akan menyangka, bahwa dirinya akan jatuh hati bukan dengan pesona dan kesempurnaan lelaki di hadapannya. Namun, dengan bagaimana besar bukti ketegaran hatinya selama ini.

Ketertarikannya berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih besar. Jika memang apa yang diinginkan Faisal adalah perasaan-perasaan yang baik, bolehkah Rena pun terlibat di dalamnya?

☘️☘️☘️