———
Tiada yang berhak atas tahta ilahi selain kedewataan itu sendiri,
Namun, manusia-manusia yang serakah tersebut berkata sebaliknya,
Hanya demi ambisi yang berakhir pada jurang kesengsaraan
———
Dahulu kala, diceritakan Sindari sebagai negara yang makmur nan subur. Semua hasil bumi dari permadani hijau yang membentang penjuru negeri adalah berkah dari sang ilahi. Mereka lah hambar taat yang dengan setia mengabdi dan berdoa kepada sang bintang.
Namun siapa sangka, semua berkat tersebut pada akhirnya berbuah petaka hanya karena ketamakan dan arogansi sang ratu yang beranggapan bahwa hanya Sindari lah yang berhak akan tahta dewa, hanya mereka lah yang layak bersanding dengan sang dewa.
Tiap samsara mereka lalui hanya ‘tuk mempersembahkan putri terbaik dari anugerah anak kembar yang melambangkan keseimbangan sang dewa. Di mana sang putri adalah persembahan terbaik dan sang putra adalah titisan langsung kekuatan ilahi.
Namun, keserakahan itu mendorong mereka pada mala dan akhir dari Sindari. Lambat laut mereka pun kan kehilangan berkah, ditelan oleh api keserakahan mereka sendiri. Saling menikam dan memakan satu sama lain.
———
Pada putaran samsara ketiga maka nirmala akan dihapuskan, bentuk kesucian yang telah ternoda akan melahirkan sebuah berkah dan kutukan sekaligus bagi sang rembulan,
Maka, untuk yang ditakdirkan, teruslah menari dan bermain peran hingga bara api melahapmu seorang diri dalam ketidaktahuan,
Inilah buah dari arogansimu,
———
Pada akhirnya, nubuat itu harus dibulatkan.
———
Lelaki itu terbangun dengan bulir-bulir keringat membasahi penuh keningnya. Nafasnya terengah-engah dengan seluruh tubuh yang bergetar hebat. Ia membencinya.
Pikirannya kacau, dengan cepat ia tutup kedua telinganya, berusaha menghiraukan gema-gema suara tersebut namun nihil. Mimpinya sama dan selalu berulang, sejauh apapun ia lari atau pergi pada akhirnya ‘mereka’ memaksanya untuk kembali.
“Oh? Kau sudah bangun? Baru saja mau ku bangunkan—kau kenapa?”
Yang ditanya hanya bisa menoleh lemas sembari menatap lelaki berbadan tinggi berbaju zirah dan rambut menutupi separuh wajahnya. Ia menggeleng pelan, dengan tubuh yang lesu ia pun beranjak dari dipan kasurnya.
“Tidak apa-apa… apa Raja memanggilku?” tanyanya.
“Ya, beliau memiliki sebuah misi untukmu,”
———
“Siska?! Kau kembali?! Ku kira minggu ini aku tidak bisa menemuimu!”
Ujarnya riang mendapati sosok wanita ayu nan anggun dengan gaun merah tengah duduk di meja panjang tersebut menikmati hidangan sarapannya. Bunyi pintu berdicit seketika memggema saat sosok agung itu tiba, semua orang pun berbungkuk hormat kecuali sang wanita.
“Tidak sopan, memanggil ratumu seperti itu,” serunya.
“Sudah lah darling lagipula Faisal juga sudah aku anggap sebagai saudaraku, semua anak-anak opera adalah keluargaku jadi tidak apa,” belanya. Sang raja pun hanya bisa berdecak pinggang. “Kamu terlalu santai terkadang, jika seperti ini maka Papa akan memarahimu lagi,”
“Tenang, sekarang kan Papa sedang tidak ada,”
Lelaki bernama Faisa dan pasukan kerajaan lainnya itu pun berhenti memberi hormat manakala sang Raja menyuruh mereka untuk berdiri. Jubah panjang menjuntai tersebut bergerak selaras mengikuti ke mana arahnya berjalan. Bermain-main dengan angin yang sukses membuatnya mengambang dan tidak menyentuh tanah.
Dijatuhkan satu kecupan singkat pada pipi sang ratu sebelum ia mengambil duduk tepat di sebelahnya, lelaki berbaju zirah itu pun dengan sigap berdiri di belakang orang nomor satu dikerajaan tersebut. Sedangkan Faisal pun berdiri membungkuk menunggu perintah sang Raja, alasannya di panggil pada pagi hari ini.
“Tolong serahkan papyrus itu kepadanya, lalu tinggalkan kami, biarkan kami berbicara berempat saja,” titahnya. Pelayan-pelayan itu pun sigap melaksanakan perintah sang Raja sebelum kemudian meninggalkan ruangan.
———
Misimu yang pertama adalah mengawasinya, dekati lah dia dan buat dia percaya padamu
Seiring berjalannya waktu, akan ku jelaskan detailnya setelah kamu mengenalnya. Yang jelas, kamu harus selalu melindunginya,
———
Pagi itu jalanan kota Jaya begitu ramai dengan lalu lalang aktivitas warganya. Tukang pos dan pengantar koran mengayuh sepedanya berkeliling rumah untuk membagikan koran, beberapa orang dengan segelas opi dan juga roti di mulut berjalan terburu-buru agar tidak tertinggal trem.
Sama halnya dengan kota Jaya yang sibuk, toko roti kecil yang berada di pusat kota itu pun sendari tadi sibuk melayani pesanan pelanggannya. Aroma gurih dan manis pastry dan baking siap menyapa siapa saja yang memasuki toko tersebut.
Dari tempatnya duduk mata Faisal sibuk mengikuti gadis bersurai hijau panjang yang sendari tadi sibuk melayani pelanggannya dengan sebuah senyum. Sesekali ia perhatikan gadis itu nampak menghela nafas lelah ataupun menghapuskan peluh keringatnya. Tapi senyum manis masih terpatri di wajahnya, entah mengapa melihat semangat gadis itu hati Faisal pun ikut terasa ringan.
“Jadi… misimu sekarang adalah untuk mengawasi gadis itu? Apa yang spesial dari gadis kucel itu?” gerutu lelaki berambut gondrong berwarna merah muda yang saat ini tengah menemani Faisal.
Melalui isyarat mata mereka berkomunikasi, menunjuk ke arah sang gadis yang dimaksudkan.
“Entah lah, tapi titah Raja adalah mutlak bagiku, beliau akan menjelaskannya seiring berjalannya misi ini,”
“Sejujurnya aku senang sekali ketika mengetahui kamu kembali bermain peran, tapi aku jadi sebal, karena itu adalah bagian penyamaran dalam misimu,” gerutu lelaki berambut merah muda tersebut sedikit merajuk, membuat Faisal terkekeh kecil.
“Jangan seperti itu, aku jadi merasa bersalah… tapi kamu tidak perlu khawatir Diki, aku akan kembali bermain peran, sebuah peran besar yang hany bisa aku mainkan dan selesaikan…”
“Kamu selalu bicara omong kosong seperti itu, tapi sebenarnya peran apa yang kamu maksud?”
Kedua pasang mata biru tersebut menatapnya menyeledik dan penasaran, sementara Faisal pun menolak tatapannya tersebut. Dalam diamnya ia memilih untuk menyesap kopi panas miliknya.
“Rahasia~” jelasnya membuat Diki jengkel, sementara itu Faisal pun tertawa puas melihat ekspresi temannya tersebut.
“Ah… sepertinya anak-anak yang lain sudah datang,”
“Baiklah, kalau begitu aku akan bersiap… showtime akan segera dimulai,”
“Aku harap gadis itu tidak membencimu setelah ini dan seterusnya, karena semua sandiwara itu,”
“Aku tidak terlalu mempermasalahkannya, karena ini hanyalah sebuah misi bagiku,”
———
“Rena, bunda boleh minta tolong?” gadis bersurai hijau tersebut seketika berjalan menghampiri wanita paruh baya yang tengah sibuk di pantry dapur. Peluh terlihat membasahi kening keriputnya, tapi seutas senyum selalu terpatri diwajahnya, menampilkan guratan-guratan samar bukti usia yang tak lagi muda.
“Tentu saja boleh bunda, apa yang bisa Rena bantu?”
“Tolong bantu bunda belanja ya nak? Hari ini cukup ramai sehingga banyak bahan-bahan yang habis, uangnya sudah bunda siapkan bersama list belanjaannya,”
Gadis bernama Rena itu pun mengambil sebuah dompet kecil dan selembar daftar belanja yang baru saja diberikan ibunya. Belanjaannya cukup banyak tapi hal tersebut bukanlah masalah bagi Rena, bundanya sendari dulu selalu mendidiknya untuk jadi wanita perkasa, jadi membawa semua daftar belanjaan ini bukanlah masalah besar untuknya.
“Baik bunda! Rena berangkat belanja dulu ya!”
———
“Telur sudah, selai sudah, tepung juga sudah! Hmm, tinggal beli beberapa bahan seperti buah-buahan dan coklat!”
Kedua tangan mungilnya penuh dengan berbagai barang belanjaannya, membuatnya sedikit kurang teliti dan berhati-hati dalam memegang sejumlah uang yang dimilikinya. Pasar hari ini cukup ramai, dan dalam sedetik saja tanpa perhatiannya beberapa lembar uang itu rain diikuti dengan barang belanjaannya yang jatuh berserakan karena didorong oleh orang.
Rena yang masih panik dan memproses kejadian tersebut seketika berteriak keras, menyuruh sang ‘copet’ untuk berhenti dan mengembalikan uangnya tersebut (dan tentu saja percuma)
“Copet! Tunggu!”
Dengan nafas terengah dan gaunnya yang sudah berantakan, Rena berusaha mengejar, tapi apa daya dirinya memang lemah dalam aktivitas fisik. Copet tersebut telah berlari jauh memasuki kerumunan.
“Tunggu… itu… uang bunda…!”
Entah kenapa pandangannya menjadi buram, matanya pun terasa berair, ia takut, takut sekali, karena belanjaan dan uang hari ini adalah tanggung jawabnya. Harusnya tidak seperti ini.
Di tengah kekalutan yang melanda, seorang lelaki berbaju putih dalam kecepatan yang sangat cepat berlari mengejar sang copet. Begitu cepat hingga membuat Rena kesulitan untuk mencerna informasi yang ada, apa yang terjadi?! Apa orang itu baru saja melongnya?!
“WOI!” teriak lelaki itu dan dengan cekatan ia berhasil melumpuhkan copet tersebut.
———
Dengan tergesa Rena berlari menghampiri lelaki berbaju putih tersebut yang telah sukses menringkus sang copet.
“Dasar manusia ngga puny etika, kalo mau dapet uang banyak itu kerja bukan melakukan tindak kejahatan!” serunya sebal.
“Pe-permisi… mounsieur…?”
Dari balik kerumunan Rena berusaha menerobos, sementara itu, Faisal dengan segera bangkit merapikan pakaiannya sebelum kemudian menyerahkan beberapa lembar uang tersebut kepada pemilik aslinya.
“Mohon maaf demoiselle, mohon untuk lebih berhati-hati kedepannya, karena tempat seperti ini rawan akan tindak kriminalitas,” ujarnya.
Namun, bukan itu fokus utama Rena, ia justru khawatir dengan sosok lelaki yang baru saja menolongnya tersebut. Dipandanginya sosok Faisal lekat-lekat membuat lelaki tersebut sedikit kebingungan.
“Ada apa?”
“Maaf…, kalau tidak sopan menatap terlalu lama…, tapi apakah monsieur baik-baik saja? Tidak ada yang luka kan?” tanyanya khawatir.
Mulanya Faisal sedikit kebingungan, tapi lelaki itu justru tersenyum seolah menyatakan bahwa apa yang baru saja terjadi tidak perlu terlalu dipikirkan ataupun dikhawatirkan.
“Saya tidak apa-apa demoiselle, Anda sendiri bagaimana? Belanjaan Anda juga bagaimana?”
Ah! Rena hampir lupa! Belanjaannya! Raut wajahnya pun seketika bermuram durja mengetahui bahwa hampir sebagian besar belanjaannya rusak dan sudah tidak layak pakai akibat insiden ini.
“Belanjaanku…, sepertinya banyak yang rusak, mau tidak mau aku harus kembali dengan tangan kosong…,” ujarnya sedih dan kecewa. Melihat hal tersebut seketika mengundang senyum di wajah Faisal, mungkin ini bisa ia jadikan kesempatan untukmelakukan misnya.
Walau terdengar tidak tulus tapi Faisal akan melakukan apapun demi misinya. Selama ini menjadi rahasia antara dirinya.
“Apakah demoiselle keberatan juka saya bantu membeli bahan-bahan dan membawakannya?”
———
“Rena?!”
“Bunda!”
Gadis itu dengan segera berhambur menuju kepelukan sang bunda, Faisal yang sendari tadi mengikuti Rena dan membantunya membawa barang belanjaanya pun tersenyum simpul melihat adegan tersebut. Bagaimana sang bunda terlihat khawatir dengan anak semata wayangnya itu. Entah mengapa membuat Faisal sedikit iri.
Sebuah kilas balik pun memghampiri kenangannya, ia masih mengingat betul alih-alih dipeluk dan dinyanyikan setiap malam menjelang tidur, wanita yang seharusnya menjadi ibunya justru terus menyiksanya dan mengurungnya dalam sebuah ruang gelap bawah tanah.
Kenapa kamu harus lahir?! Harusnya kamu tidak perlu lahir?! Mama jadi semakin membenci diriku!
Hidupku yang sudah hancur semakin hancur! Memang benar kata nubuat itu! Kamu adalah kutukan bagi keluarga ini!
“—sieur? Anda baik-baik saja? Wajah Anda terluhat pucat?” tanya gadis itu sembari menatapnya khawatir.
Dengan berat hati Faisal pun tersenyum dan menyerahkan belanjaannya, yah, kenangan itu tidak perlu terlalu ia pikirkan. Hingga hari pembalasannya tiba, ia haruslah menikmati hidup ‘baru’nya ini.
“Maaf membuat Anda khawatir, dan… siang Madame, saya disini hanya hendak membantu demoisselle membawa belanjaannya,” sapanya sopan sembari sedikit membungkuk kepada ibu Rena, membuat wanita itu sedikit tersipu dengan tingkah sopannya.
“Kalau begitu demoiselle, saya balik dulu… saya harap—”
“Tunggu! Monsieur…,”
“Faisal, nama saya Faisal, madame,”
“Monsieur Faisal! Tunggu di sini ya! Sebagai ucapan terima kasih saya karena menyelamatkan dan membantu anak gadis semata wayang saya, Monsieur menjadi tamu spesial tempat ini, Rena! Buatkan Monsieur Faisal macaroon ya!”
“Baik, Bunda!”
Rena sudah berjalan lebih dulu meninggalkan mereka berdua, sementara itu Faisal terlihat sedikit kebingungan saat sang madame membawanya pergi untuk duduk berdua, hari ini toko mereka sudah sedikit sepi karena sudah menjelang siang.
Sepertinya Faisal tau apa yang akan terjadi setelah ini, wawancara singkat mengenai hubungannya dengan Rena sepertinya akan segera dimulai.
———
“Maaf menunggu lama monsieour…, ini macaroons dan kopinya,” ujar Rena sembari menaruh piring-piring kecil tersebut di atas meja hadapan Faisal dan sang bunda. Saat dirinya hendak beranjak pergi sang bunda memanggilnya dan mengajaknya untuk ikut bergabung dengan mereka.
“Sekali lagi saya hendak berterima kasih atas kebaikan hati monsieour karena telah menolong anak saya, dia jarang sekali ceroboh tetapi musibah tidak ada yang tau…”
Faisal tersenyum getir, mengingat semua yang terjadi hari ini adalah rencananya, sandiwaranya. Ia memanglah seorang aktor yang handal. Walau ia membenci berbagai macam kebohongan yang ia lakukan demi keberhasilan misinya ia akan melakukan peran ini lebih lama hingga sempurna. Bukankah tugas aktor yang hebat adalah meyakini orang lain dengan kemampuan ‘berbohong’nya?
“Tidak apa madame…, itu bukanlah hal yang besar… saya justru merasa tidak enak karena mendapat penjamuan ini…,”
“Ahahah tidak apa-apa, tidak perlu sungkan, anggap saja imbal balik! Apalagi macaroons buatan anak saya adalah salah satu signature di sini. Best of the best,”
Gadis yang baru saja dipuji tersebut terlihat sedikit merona, lucu, batin Faisal. Siapa sangka bahwa tugasnya adalah untuk menjaga anak sepplos dan selugu ini. Membuatnya sedikit penasaran, rencana besar apa yang disimpan sang raja pda gadis itu?
“Oh ya… kalau saya boleh tau… hubungan monsieur dan anak saya itu apa ya? Teman? Kenalan?”
Faisal sudah menduga arahnya namun tidak dengan Rena, dari sudut matanya diperhatikan reaksi menarik dari sang gadis yang terlihat salah tingkah dan berusaha menghilangkan kesalahpahaman ini, sepertinya Rena khawatir ucapan bundanya tersebut tidak sopan atau menyinggung dirinya.
“Saya bukanlah siapa-siapa madame… hanya kebetulan lewat di pasar dna melihat insiden tersebut,” jelasnya, wow, gentleman
“Maaf jika terdengar tidak sopan dan menyinggung monsieour…, tapi memang saya sedikit khawatir dengan anak saya… sendari kecil, Rena memamg selalu sibuk membantu saya sehingga dia tidak memiliki waktu untuk bermain… Hal itu pula yang menyebabkan dia tidak punya banyak teman… jadi mengetahui ada yang menolong Rena membuat saya senang sekali… akhirnya anak ini punya teman…”
“Bunda…,”
Sendari tadi Faisal masih diam, memperhatikan, mengamati, untuk mengambil langkah selanjutnya, dan semakin diperhatikan maka semakin besar pula rasa penasarannya. Tetapi bukan sekarang, ia harus mengenal lebih dekat pribadi Rena. Maka langkah awalnya adalah dengan mengambil hati sang ibunda sehingga dipercaya dan bisa menjadi jalan ia lebih dekat dengan sang gadis.
“Madame tidak perlu khawatir, melihat pribadi Rena, saya yakin demoiselle akan mendapat teman sendirinya, demoiselle adalah pribadi yang ceria dan baik hati,”
———
“Mon—monsieour Faisal!”
Kring
Denting lonceng berdentang dan bersautan saat pintu kayu itu terbuka. Faisal, yang sendari tadi telah berdiri di luar toko pun seketika menolah ke arah suara tergopoh-gopoh tersebut. Dilihatnya Rena yang tergesa-gesa mengejar dirinya.
“Demoiselle?”
“Monsieur!”
Belum sempat Rena melanjutkan ucapannya gadis itu pun langsung terengah, membuat Faisal sedikit khawatir namun juga gemas melihat ya, untuk apa ia terburu seperti itu?
“Tenangkan diri demoiselle terlebih dahulu, ada apa?” tanyanya sembari mengulurkan sapu tangannya agar Rena bisa menghapus peluh di dahi.
“Terima kasih monsieur…,”
Keheningan sejenak menyeruak di antara mereka. Faisal lebih memilih diam dan memperhatikan, menunggu sang gadis lanjut berbicara. Sementara itu, Rena terlihat tengah meremat rok yang dikenakannya, bibir bawahnya ia gigit keras untuk menghilangkan rasa gugup.
“A-apakah kita dapat bertemu lagi?!” tanyanya sedikit berteriak, membuat Faisal sedikit terkejut tentunya.
“Ah! Ma-maaf karena tiba-tiba berteriak…,”
Seutas senyum pun terpatri di wajah Faisal, melihat ekspresi kikuk gadis di hadapannya, sepertinya tidak masalah kan jika dia mengerjainya sedikit?
“Kalau semisal kita tidak dapat bertemu lagi memangnya kenapa demoiselle?” godanya, dan raut wajah gadis itu seketika menjadi muram.
“Aku… akan sangat sedih…, bunda ingin sekali aku punya teman… kalau aku tidak bisa bertemu monsieur… maka akan membuat bunda sedih karena tidak bisa berteman dengan monsieur…”
“Hmm… jadi demoiselle ingin berteman dengan saya karena permintaan madame Ningsih? Bukan karena keinginan pribadi demoiselle? Saya merasa tersinggung mendengarnya,”
“Eh?! Ma-maafkan saya! Bukan itu maksud saya!”
Puan tersebut terlihat sedikit gelagapan dan salah tingkah. Berbanding dengan Faisal ia justru menikmati reaksi yang ditunjukkan oleh sang gadis. Maaf Raja, tetapi misi lali ini cukup bisa menjadi hiburan baginya.
“Demoiselle,”
“Ya?”
“Tolong jaga sapu tangan saya, saya akan kembali lagi nanti untuk mengambilnya,”
Itu adalah ucapan terakhir Rena sebelum Faisal pun berpamitan, sosoknya pun menghilang diantara kerumunan orang-orang kota Jaya, dengan wajah berseri Rena pun melambaikan tangannya sembari mengeratkan pegangannya pada sapu tangan tersebut dekat pada hatinya.
“Sampai bertemu lagi monsieour!”