komoyi

just me and my loving komori hours, heavily post sunakomo

———

“Indy… apakah kakak boleh masuk?”

Rena yang sendari tadi tengah melamun sedikit tersentak saat pintu kamarnya di ketuk. Hanya sang Raja—Indra, kakaknya—yang memanggilnya dengan nama Indy. Dengan segera ia merapikan dirinya, serta benang-benang wool yang sendari tadi ia gunakan untuk merajuk sebelum mempersilahkan sang kakak masuk.

Sang Raja duduk di salah satu sofa yang memang disediakan di kamar Rena sementara Rena memgambil duduk di atas kasurnya. Walaupun mereka sejatinya adalah bersaudara tetapi fakta bahwa mereka tumbuh terpisah menjadikan mereka asing terhadap presensi satu sama lain. Hal itu pula yang membuat Rena menjadi canggung untuk memulai pembicaraan dengan sang kakak.

Keheningan menyeruak sebelum akhirnya Indra berdeham untuk menyairkan suasana.

“Jadi… bagaimana persiapan pernikahanmu? Maaf kakak tidak bisa membantu banyak karena ada banyak hal yang perlu diurus…,”

Ah, jadi kakaknya repot-repot kesini hanya untuk menanyakan hal itu.

Jika boleh jujur semua persiapannya sudah ia dan Faisal urus dan semua berjalan lancar. Haruskah ia ceritakan kerisauan hatinya? Tetapi melihat kesibukkan sang kakak ia sedikit tidak tega untuk merepotkaj sang kakak dengan masalah remeh temeh.

“Ah… aku sudah mengurus semuanya dengan Faisal kok kak… gak perlu khawatir…,” ucapnya walau terdengar penuh keraguan. Semoga saja Indra tidak menyadarinya.

“Benarkah? Tetapi kakak lihat benerapa hari terakhir sejak kamu pergi fitting kamu terlihat gusar,”

Pada akhirnya dia tetap tidak bisa bohong. Rena mengigit bibir bawahnya yang kemudian segera dihentikan Indra.

“Tolong hentikan kebiasaanmu ini, kamu dapat melukai dirimu sendiri,” minta sang kakak.

Rena menghela nafas pelan, alih-alih untuk menatap mata Indra ia lebih memilih menunduk dan memperhatikan jahitan gaunnya.

“Sebenarnya… akhir-akhir ini aku sedikit risau dengan Faisal… walau dia tidak pernah membicarakan kesulitannya tetapi aku tau saat di mana dia sedang banyak pikiran dan masalah…,”

Gadis itu menghela nafas pelan.

“Sejak kembali dari toko bunga untuk memesan baket… Faisal seperti terganggu akan sesuatu… walau dia berusaha mengelak saat aku tanya tapi aku tau… cara dia menatapku itu berbeda… tatapannya seperti kosong dan ada pada sesuatu yang sangat jauh…,”

“Melihatnya yang seperti itu membuatku jadi sedih… padahal sebentar lagi kami menikah tetapi Faisal masih terasa seperti orang asing…,”

Indra hanya diam, mendengarkan. Dia tidak pernah di posisi Rena, pernikahannya adalah pernikahan politik ia tidak pernah berada di posisi benar-benar mencintai seseorang hingga dibuat risau hanya karena memikirkan ‘well-beings’ orang tersebut.

Namun, melihat adiknya yang dapat merasakan cinta dan dicintai turut membuat dirinya merasa senang dan juga tenang.

Indra tidak terlalu pandai menghibur seseorang, tapi untuk sang adik dia ingin Rena tau bahwa dirinya tidak perlu risau. Dirinya akan selalu ada untuk mendengarkannya dan menemaninya tanpa diminta.

Tangan besar miliknya bergerak untuk mengelus pucuk kepala sang adik, memberikan rasa nyaman dan tenang bagi hati yang tengah gelisah tersebut.

“Kakak tidak terlalu mengerti tentang apa yang kamu rasakan. Tetapi kakak senang bahwa kamu pda akhirnya bisa mencintai seseorang dan dicintai dengan begitu tulus hingga membuatmu risau seperti ini,”

“Kalau kamu perlu apa-apa kamu bisa bilang kakak,”

Mendengar ucapan tersebut keluar dari bibir sang kakak sudah lebih dari cukup bagi Rena. Paling tidak kerisauannya terangkat sedikit dan ada rasa tenang dalam batin dan pikirnya.

“Apa perlu kakak berbicara dengan Faisal?”

“Eh? Tidak perlu… biar aku saja, aku ingin menyelesaikan masalah diantara kami sendiri”

———

Malam itu, lewat pukul dua belas malam. Kota Jaya nampak gelap tanpa sinar bulan yang menerangi ataupun menuntun sebagai petunjuk bagi siapapun yang hilang arah. Bahkan bintang-bintang pun enggan menampilkan dirinya. Bintang-bintang yang dipercaya sebagai petunjuk arah jalan pulang bahkan enggan membantu Faisal yang saat ini linlung dan kalut.

Lelaki itu kembali menghela nafas berat yang tak kunjung henti setelah pertemuannya dengan sosok yang ‘agung’ yang seakan mengerti akan takdirnya itu.

Koridor istana kerajaan nampak sepi, tentu saja, siapa pula yang mau berkeluyuran tengah malam seperti ini? Semua pasti sudah sibuk di alam mimpi masing-masing. Namun, tidak dengan Faisal yang sepertinya akan kesulitan untuk memejamkan mata. Ia mendecih sebal.

Ah… kepalanya terasa pusing…

“Kau baru pulang, tengah malam begini habis darimana?”

Faisal memicingkan matanya ke arah sumber suara. Sungguh di saat seperti ini ia sangat tidak ingin urusannya dicampuri bahkan bertemu dengan seseorang untuk menjelaskan kepergiannya sekalipun.

Ia mendapati sosok Rizal yang masih dengan baju zirahnya. Sepertinya sang pengawal pribadi kerajaan tersebut baru saja kembali dari patroli malamnya.

“Bukan urusanmu,” jawabnya pendek.

“Kau tidak melalukan hal bodoh kan?”

Faisal kembali menghela nafas berat. Ayolah di saat seperti ini dirinya tidak ingin emosinya tersulut begitu saja.

“Aku minta tolong, untuk hari ini saja, jangan campuri urusanku dan menanyakan tentangku,” mintanya

Karena menjelaskan jauh lebih sulit dibanding meminta maaf

“Bukan aku Sal, tetapi tuan putri, sejak kepergianmu yang tiba-tiba beliau nampak begitu risau. Beliau yang paling butuh akan penjelasanmu dibandingkan siapapun,”

Ahh… Rena ya…

Pesan terakhir yang ia kirimkan pada kekasihnya adalah pernyataan ‘aku cinta kamu’. Dirinya sengaja mengelak dari wanita itu dan itu pula alasannya pulang begitu larut seperti ini.

Sepasang mata jelaga yang selalu menatapnya tepat ke relung hati terdalam yang tidak bisa ia hindari. Ia tidak akan pernah bisa berbohong dan tidak tega jika harus menyakiti hati lembut itu. Tetapi sekarang bahkan Faisal pun kebingungan dan perlahan mulai kehilangan dirinya.

Sedikit demi sedikit ia menjadi abai akan perasaannya dan perasaan Rena

Seakan jiwanya pun meninggalkan dirinya yang hampa ini

“Bahkan tuan putri sekalipun, tolong sampaikan padanya… untuk hari ini… aku tidak ingin bertemu siapapun…,”

Lelaki itu meminta bukan memerintah.

Punggung ringkih itu pun menghilang dalam kegelapan, menyisakkan kekhawatiran bagi sang ajudan kerajaan.

Sendari dulu, Faisal tidak pernah menceritakan tentang dirinya darimana ia berasal dan siapa pula keluarganya. Sejak pertama ditemukan sang Ratu kondisinya sudah cukup memprihatinkan.

Dan Rizal hanya bisa menatap nanar bayang hitam di mana Faisal menghilang begitu saja.

———

Tiada yang berhak atas tahta ilahi selain kedewataan itu sendiri, Namun, manusia-manusia yang serakah tersebut berkata sebaliknya, Hanya demi ambisi yang berakhir pada jurang kesengsaraan

———

Pada akhirnya nubuat tersebut haris dibulatkan

———

Kepala Faisal pusing sekali, rasanya nyeri dan berputar-putar. Ia terus mendengar suara-suara samar yang ia tidak tau asalnya dari mana. Seakan menyuruhnya untuk kembali, menyuruhnya untuk pulang ke tempat yang ia tidak pernah anggap sebagai rumah.

———

Akankah suatu tempat layak disebut rumah bahkan ketika dirinya enggan untuk pulang?

———

Kembali lah…, pulang lah….

———

Pada akhirnya Faisal tetap tidak bisa lari dari takdirnya

———

“Tadaaaa!”

Faisal nampak begitu terpukau menatap wanita dihadapannya—Rena yang baru saja keluar dari balik bilik berganti pakaian. Ia nampak jelita dengan gaun pengantin berwarna putih yang membalut tubuh langsingnya. Potongan dibawah bahu yang kemudian bagian belakangnya menampilkan punggungnya. Bagian atas gaun tersebut nampak ramping menampilkan lekuk pinggang miliknya yang kemudian mengembang dibagian bawahnya.

“Bagus ngga? Sebenarnya aku sedikit tidak pede karena bagian belakangnya terlalu terbuka…,” ujar Rena, Faisal dapat melihat semburat merah muda di kedua pipi wanitanya tersebut. Ia terkekeh kecil.

“Bagus kok, cantik,” jawabnya yang seketika semakin membuat wanita itu tersipu.

Faisal berdiri dan berjalan kearah Rena. Dibawanya tangan sang gadis. Begitu dekat yang entah mengapa membuat Rena semakin salah tingkah. Didekatkannya wajahnya ke arah Rena yang dapat membuat gadis itu mendengar nafas berat milik Faisal.

“Buat potongan lengannya, aku lebih suka dibuat kelelawar, lebih manis…,” jelasnya kepada sang penjahit sebelum kemudian meninggalkan Rena begitu saja.

Gadis itu termangu tetapi wajahnya sudah semerah tomat.

“Berhenti mengerjaiku!” ujarnya kesal sementara Faisal nampak abai dengan sebuah senyum di wajahnya. Manisnya, Rena masih saja malu-malu walau hubungan mereka sudah mau menuju ke tahap serius.

———

“Rena… kamu masih marah?”

Rena berusaha tidak mendengar panggilan merajuk dari Faisal. Astaga dirinya malu sekali tadi saat di toko busana karena perilaku Faisal tersebut. Seharusnya ia sudah mulai terbiasa—tidak ia tidak akan pernah bisa terbiasa TIDAK AKAN PERNAH—kesal kesal kesal kenapa Faisal harus seperti itu, kenapa lelaki itu harus begitu dan membuatnya kewalahan.

“Rena…,”

Ia pura-pura tidak dengar.

“Demoiselle…,”

Dirinya pun semakin kesal.

“Mon cheri…,”

Langkahnya pun terhenti. Ia menoleh ke arah Faisal dan menatapnya tajam.

“Karena kamu manggil aku sweetheart aku maafin kamu,” gerutunya.

“Tapi kenapa kamu marah…?”

Pake nanya

Mengerti karena wanitanya masih nampak kesal ditariknya pinggang ramping itu dalam pelukannya, membuat wajah mereka begitu dekat dan Faisal memberi satu kecupan singkat pada pucuk hidung sang gadis.

“Sebentar lagi kita menikah, aku harap kamu terbiasa setelah ini…,”

Hah… ternyata sisi Faisal ada yang seperti ini, usil, dan suka menganggunya. Dirinya tidak pernah menyangkanya.

“Kamu itu clingy ya” ledeknya yang sukses mengundang tawa dari lelaki di hadapannya.

Only for my one and only dan aku menganggap itu sebagai pujian demoiselle,” jelasnya masih dengan memeluk pinggang Rena.

“Gamau ah kalau masih dipanggil demoiselle,”

“Terus maunya dipanggil apa?”

“My lady? Sweetheart? Cheri? Mon cheri—!”

“Udaaah!!”

Dan mereka pun tertawa dalam jalinan cinta kasih yang bergairah. Ah… senangnya, musim semi telah dimulai begitu pula musim semi di hati mereka.

“Habis ini aku mau ke toko bunga! Kamu ada saran ngga buat bunganya nanti?”

“Kita liat aja dulu ya nanti sayang… aku kurang paham soal begituan, aku percaya sama pilihanmu pasti bagus,”

———

“Waah bunganya banyak sekali…! Cantik cantik!”

Rena nampak begitu kegirangan saat mereka mendantangi salah satu florist terbesar di kota Jaya. Sementara itu Faisal di belakangnya hanya tersenyum simpul. Baginya melihat Rena bahagia sudah cukup, kebahagiaan wanitanya adalah yang terpenting baginya.

Tanpa sadar seutas senyum pun ikut terukir di wajahnya saat melihat Rena yang sendari tadi nampak riang memandangi bunga-bunga indah yang berwarna-warni. Ah… bahkan indahnya berbagai macam warna warni bunga tersebut tidak dapat menggantikan indahnya warna yang ditorehkan Rena dalam hidupnya.

Lelaki itu menoleh ke arah sekeliling, melihat indahnya bunga-bunga yang berwarna warni namun perhatiannya tercuri oleh bunga lily putih yang justru nampak menawan dan menonjol dari warna warni lainnya. Seakan memberikan keindahan dan keanggunan tersendiri.

Dibawa dirinya mendekat, tangannya terangakatbuntuk menyentuh mahkota putih tersebut.

“Sang Tuan sudah harus kembali, nubuat itu harus segera dipenuhi,”

Ia tersentak kaget—seakan mencari-cari sesuatu Faisal menoleh ke sana dan kemari. Ia mendecih tidak senang.

Fokusnya seketika teralih saat ia merasakan tepukan kecil di bahunya. Raut wajahnya yang semula mengeras itu pun pelahan sedikit melunak. Ia mendapati Rena yang tengah berdiri tidak jauh darinya dan menatapnya khawatir.

“Ada apa?” tanyanya

Tidak, Faisal tidak bisa menceritakannya

Dan ia pun kembali memasang seutas senyum di wajahnya.

“Sudah selesai milih bunganya, sayang?”

“Belum… sejujurnya aku sedikit bingung… kamu ga ada saran gitu mau bunga apa?”

“Kalau aku boleh saran mungkin bisa pakai lily putih, bagaimana menurutmu?”

“Eh? Lily putih?”

Dan Faisal pun mengangguk sebagai jawaban, ia mengajak Rena untuk menuju ketempat bunga yang dimaksudkan. Di mana bunga tersebut nampak menonjol walau dengan warnanya yang terkesan monoton dibandingkan yang lainnya. Namun tetap nampak elegan.

“Aku merasa bunga ini cocok, dia tidak perlu berusaha agar nampak menarik. Keindahan dalam dirinya yang membuatnya menarik tanpa di sadari,” jelas Faisal—bermonolog.

“Sama seperti dirimu…,”

“…eh?”

“Aku juga teringat kalau bunga lili putih adalah bunga yang kamu berikan untukku saat kita pertama kali jalan berdua…, yah… bisa dibilang bunga ini jadi saksi bisu kedekatan kita, bagaimana?”

How romantic

Ah Rena ingat, saat malam di mana ia menghadiahi Faisal sebaket bunga lili putih untuk penampilannya. Benar juga, tanpa sadar bunga ini menjadi awal dari hubungan mereka. Walau tidak sepenuhnya dipenuhi oleh hal-hal yang baik tetapi mereka pada akhirnya bisa sampai di titik ini, karena mereka memiliki satu sama lain dan perasaan yang terhubung di antara mereka.

Gadis itu tersenyum lebar ke arah Faisal.

“Heem! Aku juga merasa bunga lili putih ini cocok untuk pernikahan kita!”

———

Dalam perjalanan pulang mereka mengobrolkan banyak hal. Meskipun demikian sejak dalam perjalanan pulang Rena merasa ada yang aneh dari Faisal. Walau lelaku kekasih ya itu masih tetap manis dan perhatian namun pandangannya seakan memandang hal yang jauh—bukan dirinya yang ada di hadapannya—ada sesuatu yang mengusik lelakinya.

“Sayang…,” panggilnya lembut, “…ya?”

“Kamu baik-baik saja?” tanyanya

Sepasang netra sehijau jelaga itu beradu pandang dengan sepasang netra sekelam langit malam. Namun tetap saja, pandangnya tidak tertuju padanya.

Hening sejenak.

“Mungkin… aku merasa sedikit lelah… ternyata mengurus persiapan pernikahan ini cukup melelahkan ya?”

Dan Faisal memilih untuk mengelak

Entah mengapa Rena merasa sedih dan kecewa. Gadis itu mendekatkan dirinya kepada sosok sang Tuan, membuat Faisal sedikit kebingungan.

“Mon cheri? Ada apa? Kamu sakit? Capek?” tanya Faisal khawatir, didekapnya Rena dalam pelukannya, Rena pun menggeleng pelan.

Rena hanya ingin Faisal tau bahwa dirinya tidaklah sendiri.

Ia membencinya, ia membencinya walau udah sampai di tahap ini Faisal masih terasa ‘asing’ dan ‘jauh’ darinya. Ia tidak menyukainya ketika Faisal berbohong ataupun menghindari pertanyaannya dan itu entah mengapa membuatnya merasa sedih… sedih sekali.

———

Kerisauan yang semakin tak terpendam, takut jika suatu saat nanti Faisal akan pergi jauh darinya

———

Dirinya tidak pernah bisa jujur, bahkan pada siapapun

Bahkan pada dirinya sendiri

Garis lalu yang ia telah tinggalkan jauh-jauh itu pun pada akhirnya mulai bersinggungan

Takdir pelik yang harus ia hadapi seorang diri

———

Jika dia egois sedikit saja apakah takdirnya pada akhirnya akan berpihak pada dirinya?

———

For better experience please listen to this background music https://youtu.be/Gm23VvVP69w?si=NT2N-uyDV6NRRczB

———

Malam ini jalanan kota Jaya nampak lenggang. Beberapa warga terlihat masih mengenakan mantel tebal mereka. Meskipun demikian, puncuk-puncuk dedaunan nampak mulai tumbuh di pohon yang tengah meranggas cukup lama. Faisal mengeratkan mantelnya, dapat terlihat embun tipis terhiup saat ia tengah menghela nafas panjang.

Musim dingin telah usai

Dalam perjalan fokusnya teralih pada salah satu toko aksesoris antik yang nampak menonjol dengan gaya bangunan gotiknya. Ia berhenti untuk beberapa detik, sebelum langkahnya membawanya masuk—di mana tidak pernah ada dalam agenda kegiatannya untuk melihat-lihat.

———

“Selamat datang,”

Bunyi gemerincing lonceng pun seketika menyambutnya, kontras dengan gaya eksterior bangunan yang kokoh nan megah, bagian dalamnya nampak hangat dengan perabotan dari pohon jati. Memberikan kesan nyaman bagi siapapun yang datang berkunjung.

Faisal sibuk melihat-lihat etalase, perhatiannya terhenti pada sebuah cincin dengan intan permata di bagian tengahnya. Nampak putih bersih dan berkilau, ia menyukainya.

“Boleh saya tau yang ini harganya berapa?” tanya Faisal sembari menunjuk cincin tersebut.

Sang pelayan toko pun dengan segera mengambilkannya bersamaan dengan katalog perhiasan yang ada. Faisal melihat-lihatnya, tanpa sadar seutas senyuman terukir di wajahnya, pelayanan toko yang menyadarinya pun ikut tersenyum. Itu adalah pemandangan yang biasa baginya, orang-orang biasanya datang kemari untuk membelikan hadiah bagi pasangannya, tentu saja senyuman dan perasaan penuh cinta yang membuncah tanpa sadar adalah makanan sehari-harinya—yang turut membuat hatinya ikut menghangat.

“Apakah monsieur mencari cincin untuk kekasih monsieur? Atau tunangan?” tanyanya yang sontak membuat Faisal salah tingkah.

“Ah… iya… seseorang yang sangat berharga…,” jawabnya lirih mengundang kekehan dari sang penjaga tokoh.

“Cincin ini hadir sepasang dalam serinya. Cocok jika tuan hendak melamar kekasih monsieur atau sebagai cincin pernikahan,”

Pernikahan ya

Faisal tidak pernah membayangkan sebelumnya, ia tidak pernah membayangkan jika pada akhirnya ia akan mendengar atau bahkan terlibat dalam percakapan semacam ini.

Sejujurnya ia hanya ingin menghadiahkan sesuatu yang sama indahnya dengan kekasihnya.

Tetapi jika ia bisa egois sedikit apakah ia boleh untuk menghabiskan waktu dan berbahagia dengan sang terkasih?

“Monsieur?”

“Ah? Ya?”

“Anda baik-baik saja?” tanya sang pelayan tokoh, Faisal menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.

“Ah… saya tidak apa-apa… saya tadi hanya berpikiran bahwa saya hanya ingin menghabiskan waktu dan berbahagia bersama kekasih saya…,” jawabnya sang pelayan pun tersenyum kecil.

“Monsieur sangat menyayangi kekasih monsieur ya?”

Hening lama… semburat merah muda pun menghiasi kedua sisi wajah Faisal, “…ya,”

Bahkan ia lebih menyayangi Rena dibandingkan dengan dirinya sendiri

“Kalau gitu, saya kasih diskon saja bagaimana? Sepasang cincin tapi harganya satu buah saja?” tawar sang pelayan toko, tentu saja Faisal menolaknya mentah-mentah. Ia bisa membayarnya full

“Tidak apa-apa monsieur, juga sebagai doa, semoga monsieur bisa terus berbahagia dengan gadis yang beruntung itu,”

———

Dan Faisal pun pulang, dengan sekotak beludru berisikan sepasang cincin dengan permata yang sangatlah indah

Perasaannya turut membuncah namun juga diiringi dengan sebuah haru

Doa orang-orang yang turut mendoakan kebahagiaannya

———

Pagi ini suasana istana nampak sepi nan juga tentram. Sebagian besar dari mereka tengah sibuk dengan urusan masing-masing. Raja dan Ratu yang tengah melakukan kunjungan rutin ke keluarga kerajaan Adamar, Rizal yang mendampingi.

Sementara itu, Rena tengah sibuk bermain di taman kerajaan, sejak kondisinya mulai membaik Rena sibuk mengurus bunga-bunga atau terkadang memasak kue kering. Walau pihak kerajaan dan beberapa dayang pribadinya sudah melarangnya. Namun gadis itu terlalu keras kepala, hanya Faisal yang membelanya. Lelaki itu mengatakan bahwa memang itulah keseharian Rena sebelum kembali menjadi ‘Indy’. Biarkan ia menjalankan kesehariannya, jangan kurung dia dalam sangkar emas yang menyesakkan.

Karena Faisal ingin melihat Rena mekar menjadi bunga yang indah di tempat terbaiknya

Sementara itu, Faisal dan Romi nampak tengah memperhatikan Rena tidak jauh dari taman istana. Lebih tepatnya hanya Faisal—sang dokter baru saja kembali dari perjalanannya.

“Aku senang kalau kondisi putri khususnya mentalnya sudah membaik, kamu tau kan sejak kejadian itu kondisinya sangat buruk,” celetuk Romi dan Faisal hanya mengangguk sebagai jawaban.

Saat itu, adalah hari-hari yang berat bagi mereka semua, tangis dan jerit yang tak kunjung henti dari sang gadis yang malang. Setiap malamnya, Faisal, Indra, dan Siska menemani Rena. Memberikan dukungan dan cinta kepada sang gadis. Bahwa ia layak mendapatkannya.

Faisal dengan sabar mendengarkan semua keluh kesah Rena, tanpa mengeluh. Di dengarkannya semua isi hati gadisnya, yang pada akhirnya Faisal pun hanya bisa memberi sebuah pelukan bagi pelik sang gadis.

Itulah yang paling Rena butuhkan

Sebuah cinta kasih yang tulus

“Aku senang sekali melihat perkembangannya, sejujurnya dia adalah gadis yang periang dan baik hati. Takdir terlalu kejam kepadanya…,” dan Faisal pun kembali memgangguk sebagai jawaban.

“Tapi paling tidak Rena yang sekarang jauh lebih baik, kamu tau setiap melihat senyumnya, itu seperti merasakan sebuah perasaan membahagiakan yang membuncah…,”

Ah… Faisal mendengus sebal, Romi lagi kembali ke mode pujangganya dan terkadang itu membuat Faisal kesal. Mengerti akan perubahan raut wajah temannya itu, Romi pun menyikut perutnya pelan.

“Jangan marah seperti itu, kita semua tau, untuk siapa hati sang putri diberikan, dan untuk siapa senyum penuh cinta itu,” goda Romi yang semakin membuat Faisal sebal.

“TUAN PUTRI!” teriak Romi tiba-tiba memanggil Rena.

Gadis itu yang sendari tadi sibuk memperhatikan bunga matahari yang bermekaran itu pun menolah. Seutas senyum pun membuncah sumringah saat mendapati sosok Romi dan Faisal.

“Monsieur! Dokter Romi!” sapa Rena, gadis itu pun berlari-lari kecil ke arah mereka.

“Tuan Putri tau, daripada Faisal wajahnya cemberut loh,” goda Romi yang sukses membuat Romi menerima sikutan ‘kasih sayang’ dari Faisal.

“Oh ya? Cemberut kenapa?” tanya Rena.

“Katanya Faisal tuh ngga rela kalau senyum tuan putri Rena untuk yang lain selain Faisal,”

“Meh” Faisal mendengus sebal yang membuat Romi maupan Rena pun terkekeh karena reaksinya.

“Tuuuuh liaaat” goda Romi semakin menjadi.

“Kalau gitu saya duluan ya tuan putri! Saya gamau menganggu waktu pribadi tuan putri dengan pangerannya~ adioooos~!”

Sang dokter flamboyan itu pun berlalu begitu saja, membuat Faisal berdecak pinggang sebal. Setelah hanya tinggal mereka berdua, tidak ada yang hendak membuka pembicaraan lebih dahulu.

Dipandangnya sang terkasih yang nampak tersipu, kedua sisi wajahnya dihiasi dengan semburat merah muda. Walau hubungan mereka sudah bukanlah rahasia di kalangan kerajaan Jaya tetapi Rena masih seringkali nampak tersipu malu-malu jika hanya berdua dengan Faisal seperti ini.

“Rasanya sudah lama sekali ya kita tidak berduaan seperti ini,” celetuk Rena sedikit canggung yang hanya dibalas anggukkan oleh Faisal. Tentu saja lelaki itu pun juga senang, tetapi ia memang lebih suka menjadi pendengar dari segala celotehan merdu dari Rena.

“Monsieur tau, kalau bunga-bunga akhirnya mulai bermekaran! Musim semi akhirnya telah tiba!”

Begitu pula dengan musim semi di hatinya

Namun, Faisal tidak merespon segala celetohen Rena. Tangannya tergerak untuk menyisipkan helaian rambut kehijauan tersebut dibalik telinga sang gadis. Sementara Rena hanya diam terpaku dengan segala bentuk Faisal.

Jika seperti ini, dirinya dapat fokus melihat guratan-guratan wajah sang pria. Bagaimana bibir tipisnya yang terkadang membentuk cekungan kecil di sebelah kanan bibirnya jika tengah tersenyum atau tertawa. Hidung mancungnya yang memberikan sensasi menggelitik jika tengah mengusap wajahnya, atau bulu mata lentiknya saat tengah tertidur di pelukannya.

Mungkin Rena benar-benar sudah jatuh sejatuhnya pada pesona lelaki di hadapannya.

Sementara itu, tangan Faisal tergerak untuk mengenggam tangan Rena, sebelum kemudian membawanya dalam sebuah kecupan panjang. Rena yang mulanya fokus dengan sang kekasih puj teralih saat matanya menangkap kilau permata di jari manisnya.

———

Demoiselle, jika aku boleh egois sedikit saja… aku ingin menghabiskan waktu seumur hidupku hanya denganmu

Aku ingin membahagiakanmu sekarang hingga seterusnya jika kamu mengizinkannya

———

———

Riko sudah tidak dapat menahan antusiasmenya lagi gadis itu nampak seperti anak hilang yang sendari tadi terkagum-kagum dengan eksibisi akuarium raksasa yang ditampilkan. Sementara Gojo yanga menggelengkan kepalanya, sedikit gemas karena tingkah kekanakan Riko.

“Kak Satoru ayo cepetan!!” pinta Riko sedikit berteriak. Sementara Satoru hanya mengangguk dan berjalan perlahan, membuat Riko gemas karenannya.

“Iya iya~ tenang aja Amanai, ikannya ga bakalan kemana-mana,” jawab Satoru sembari sedikit meledek, membuat gadis itu memberengut tidak suka.

Namun, kekesalan Riko seketika terganti rasa keterkejutan saat Satoru mengambil tangannya dan menggandengnya.

“Biar kamu ngga lari gitu aja, bisa repot kalo aku harus nyari-nyari kamu,” ujarnya sembari sedikit memalingkan wajah, tetapi Riko dapat melihat sedikit semburat merah di sisi telinga lelaki itu.

———

“Woah…,”

Dua pasang netra biru itu membulat takjub manakala memandangi permadani biru berisikan ikan-ikan yang terpantul dari dinding kaca akuarium. Sungguh hebat dan indah, matanya sendari tadi sibuk menelisik, melihat ikan-ikan yang berenang kesana dan kemari.

Sementara itu, Satoru, tidak jauh dari tampatnya pun nampak sibuk dan khudmat memperhatikan beragam spesimen di akuarium tersebut. Fokus Riko teralih, sekarang ia sibuk memandang dua pasang netra biru sejernih bentang angkasa yang beradu dengan permadani lautan.

“Indah sekali…” gumamnya tanpa sadar membuat Satoru menoleh, dengan segera Riko mengalihkan pandangannya.

“Amanai sini deh liat,” panggil Satoru sembari menunjuk ke arah akuarium.

“Wah…!”

Seekor paus biru besar berenang diantara mereka, besar sekali, entah mengapa seketika membuat mereka terlihat begitu kecil. Matanya berbinar penuh antusiasme.

“Gimana meurutmu?” tanya Satoru tiba-tiba membuat Riko kebingungan, apanya yang bagaimana?

“Seru nggak?”

Oooh, Riko mengangguk antusias sebagai jawaban.

“Seru banget! Semuanya nampak indah dan cantik! Aku berasa melihat sudut pandang dunia yang berbeda!”

“Kalau menurut kak Satoru gimana?”

“Hmm? Aku?”

Riko pun mengangguk.

“Menyenangkan, selama kamu senang aku juga senang,”

Dan tanpa sadar Riko pun merasa seperti terbius oleh tatapan lelaki itu. Mulai detik itu ia penasaran, dunia seperti apa yang ada dibalik sepasang netra biru indah milik Satoru dan apakah ada dirinya di dalamnya?

———

Riko tidak tau bagaimana awal mulanya… ia bisa menjadi lebih dekat dengan Satoru dan sekarang… sama seperti saat Satoru pertama kalinya mengajarinya, saat ini ia sedang bersama lelaki itu bedanya kali ini hanya berdua, tolong garis bawahi, HANYA BERDUA, tanpa Suguru ataupun kak Shoko (iya hanya Shoko yang mendapat privilege panggilan kak dari Riko).

Tawaran Satoru lah yang membawa mereka semakin dekat, dalam beberapa kesempatan Riko sering meminta bantuan Satoru untuk mengajari mata pelajaran tertentu, khususnya mata pelajaran eksak atau kadang Satoru yang menawarkannya. Dalam beberapa kesempatan pula mereka habiskan dengan makan siang bersama ataupun pulang bersama.

Sama halnya dengan hari ini setelah pulang sekolah, Satoru membantu mengajari Riko untuk mempersiapkan ujian akhir semester yang makin dekat.

“Kak Satoru,” panggil Riko dengan sedikit berbisik, Satoru hanya berdeham untuk menjawab dan pandangannya masih fokus dengan game pada ponsel.

“Kak Satoru kan habis ini semester 2 berarti harus milih mau masuk univ mana kan… udah nentuin pilihannya belum?” tanya Riko yang sukses menarik perhatian lelaki itu. Satoru menghela nafas berat dan mematikan ponselnya.

“Belum, mana aja ga masalah toh pasti keterima, aku kan pinter,”

Jawaban yang membuat Riko mendengus malas, tengilnya…

“Kak… jangan tengil sekali bisa ga, aku nanya serius nih!”

Satoru yang mendengarnya pun hanya terkekeh, “Loh, aku serius,”

“Jadi yang terbaik, terpinter, gifted child tuh bikin aku ngerasa ga punya pilihan karena aku bisa achieve segalanya dengan mudah Amanai, nanti ujung-ujungnya disuruh ambil kedokteran, kuliah di kampus terbaik, karena dari awal sebagai yang terbaik harus bisa dapat yang terbaik pula… tapi bagi kebanyakan orang, bukan yang terbaik menurut aku…,”

Entah kenapa situasi diantara mereka menjadi canggung. Riko tidak tau harus merespon apa… yang jelas, ia sedikit mengerti… bahwa ternyata orang yang serba bisa seperti Satoru juga bisa merasakan perasaan seperti itu… ia kira Satoru sangat mudah menentukan dan mendapatkan apa yang dia mau.

“Kalau kak Satoru sendiri ada yang dipingin ngga? Masuk jurusan mana gitu? Ngga mungkin gaada kan…,” desak Riko lagi, lelaki itu nampak berpikir.

“Ada sih… Teknik Nuklir… tapi jelas ga dibolehin karena buat apa, katanya ga menolong dan mending jadi dokter lebih dibutuhkan,”

“Kenapa kak Satoru pengen ambil teknik Nuklir kalau boleh tau?”

Lelaki itu menjelaskan tentang kompleksitas dari nuklir itu sendiri, bagaimana nuklir selalu dipandang sebagai teknologi perusak dan senjata perang, tapi di modern era ini sudah banyak teknologi dan tenaga terbarukan menggunakan nuklir. Bahwa jika dimanfaatkan dengan tepat nuklir juga dapat memberi manfaat bagi manusia.

“Kalau gitu buktiin bahwa nuklir emang bisa bermanfaat kak!”

“Ngga semudah itu Amanai,”

“Dih tumben… mana kak Satoru yang biasanya pede?”

Satoru mendengus kesal, dih jadi sekarang dia dikerjai balik dan entah mengapa melihat wajah kakak kelasnya yang menyebalkan itu sekarang kesal kepadanya membuat Riko puas. Tet tet, Riko 1 – Satoru 0.

“Kalo kamu sendiri bagaimana Amanai?” tanya Satoru balik, lelaki itu menopang dagunya dengan tangan kanannya, tangan kirinya terlihat melepas kacamata hitamnya ugh kenapa Riko sedikit salah tingkah melihat dua pasang mata biru indah milik Satoru.

“Aku… aku ingin sekolah seni… tapi aku pasti tidak dibolehkan jika nilaiku jelek… makanya aku belajar mati-matian biar nanti aku bisa mengejar mimpiku sendiri!” jelas Riko yakin, dan Satoru hanya menatapnya tanpa reaksi.

“…a-apa?!” tanya Riko kesal, ia yang bertanya ia yang diam saja. Seakan meledek dan secara tidak langsung berkata ‘emang bisa kan selama ini remidi terus?’

“Hei, gimana kalo kita taruhan,” tantang Satoru, mendengar kata taruhan entah mengapa memicu jiwa kompetitif milik Riko.

“Taruhan apa?”

“Kalo misalnya kamu ga remed Kimia, Matematika, Matematika Minat, dan Fisika kamu bakalan aku ajak jalan-jalan ke akuarium kota sama emsebisi seni di bulan Desember besok,”

Mendengar tawaran tersebut sontah hampir membuat Riko memekik girang. Namun ia tahan karena banyak mata yang telah memandang sengit ke arah mereka.

“Serius?!” bisiknya.

“Iya, tapi kalo ada dua mapel yang remidi kamu harus traktir aku selama sebulan pas makan siang, mau ga?”

Sebenarnya ini tawaran yang hit and miss. Ia tidak mau kehilangan penawaran itu, tapi bayang-bayang mentraktir Satoru selama satu bulan penuh kenapa membuat dompetnya ngilu… mengingat porsi makan lelaki itu yang amat besar.

Tapi baiklah,

“Oke, siapa takut!”

Dan melihat Riko yang nampak percaya diri tersebut entah mengapa membuat Satoru senang.

———

“Kita balik dulu yaa Riko!”

“Heem! Hati-hati di jalan ya!”

Riko berpamitan dengan kedua teman-temannya. Ia menghela nafas pelan karena harus sendirian belajar di perpustakaann untuk remidinya. Huh, terkadang Riko iri sama teman-temannya yang tidak perlu berkutit dengan remidi dan ujian ulang tetapi mau bagaimana lagi, dirinya memang lebih jago di bidang seni dibandingkan eksak. Yah… sudahlah meratapi nasibnya lebih baik ia belajar, waktu yang terbuang sia-sia tidak akan membuat nilainya bagus begitu saja.

———

“Loh?”

“Hng?”

Riko menolehkan kepalanya, mendapati sosok lelaki berambut putih dengan kacamata boboho yang memandanginya. AH! Dia kan teman kak Shoko yang aneh itu! Si goblok satu!

Tidak jauh dari tempatnya berdiri, siswa laki-laki lain dengan rambut gondrong datang menghampirinya. Apakah itu si goblok dua yang pernah disinggung kak Shoko?

“Kenapa Sat?” tanya temennya yang yang berambut gondrong tersebut. Geh, kelakuan apalagi yang akan dilakukan oleh si tengil itu.

“Iniloh Sug, tetangganya Shoko yang aku bilang waktu itu,” ujarnya dan rekannya itu pun mengangguk paham seakan dua lelaki itu pernah membicarakan ya sebelumnya.

“Riko boleh ngga kita duduk di sini?” tanya temannya yang berambut gondrong tersebut, ugh.. masa Riko melarang mereka tapi nanti malah bikin ribut… pada akhirnya gadis itu mengalah dan mengizinkan kedua siswa itu duduk di sebelahnya.

———

“Dih Sug, kan udah dibilang, soal ini tuh ga bisa pake rumus Hidrolisis, dia tuh pakenya rumus larutan Buffer atau penyangga karena ada basa konjungasinya,”

Mendengar pembicaraan tersebut membuat Riko sedikit terkejut. Mereka lagi belajar? Dan yang cukup mengejutkan adalah Satoru yang mengajarinya, Riko kira dia tipikal lelaki tengil yang kurang di akademik…

Wah…, sepertinya dia salah menilai orang…

“Oh, Riko ternyata lagi belajar buat ulangan?”

Eh?

“Eh… engga kak… ini buat remidi… uhm… kak…?”

“Kenalin, aku Suguru dan dia Satoru, kita kemarin ketemu loh pas kerkom di rumahnya Shoko,”

“Kerkel Sug,”

“Kerkom,”

“Kerkel,”

“Duh, tanya ke Riko aja deh… Riko, kamu nyebutnya Kerkom atau Kerkel?” tanya siswa bernama Suguru tersebut. Sungguh ia tidak paham kenapa ia dilibatkan dalam pembicaraan dan perdebatan mereka seperti ini…

“Kerpok kak…,”

“HAAAAH?!”

Seketika mereka bertiga jadi pusat perhatian satu perpustakaan. Suguru pun dengan segera menyikut lambung Satoru, mebuat lelaki itu mengaduh.

“Itu kak… kerpok… KERja kelomPOK…,” jelas Riko yang tentu saja masih tidak diterima oleh Satoru dan Suguru.

“Kerpok dah kayak jeruk aja,”

“Itu keprok bego,”

Setelah perdebatan yang tidak penting mereka pun kembali dengan aktivitas masing-masing. Suguru yang sibuk mengerjakan latihan soal, Riko yang mencoret (menggambar) kertas oretannya, dan Satoru yang sibuk bermain Candy Crush Saga.

Sepuluh menit berlalu, dua puluh menit berlalu, tiga puluh menit berlalu. Satoru nampak bosan dan menguap, sementara itu Suguru sepertinya telah selesai dan hendak balik.

“Eh Sat, duluan ya ini kak Yuki minta dijemput, kamu ga pulang?”

“Engga ah, masih males. Yaudah deh ati-ati yak, salam buat Yuki,”

Suguru pun berpamitan kepada Riko juga dan meninggalkannya berdua bersama Satoru. Walau situasinya tidak jauh berbeda namun entah mengapa Riko merasa sangat canggung jika hanya berdua dengan lelaki itu.

“Daritadi lesu amat ngerjain apa sih?”

Eh? Itu Satoru mengajaknya mengobrol?

Riko pun menoleh dan mendapati Satoru yang sudah mengambil duduk disebelahnya dan mencondongkan tubuhnya, mengintip pekerjaannya.

“Oalah, eksponen sama logaritma… eh yang ini kamu salah,” tunjuk Satoru

“Daritadi lesu gini gegara ga bisa? Kamu bodoh matematika ya?”

HAAAAH?!! Nyebelin banget! Tengil!!!

Ingin rasanya Riko menonjok lelaki itu saat ini juga, aduh memang benar seharusnya saat kak Suguru pulang ia ikut menyusul karena ia tidak sanggup mengurus kakak kelas tengilnya yang satu ini. Namun belum sempet Riko memprotes Satoru sudah menambahkan corrtan dan ‘pembetulan’ dipekerjaan Riko.

“Padahal ada aku sama Suguru daritadi kan bisa nanya kalo ngga ngerti, bukannya kayak orang kebingungan terus lesu kayak kena tipes gini,” omelnya.

Lelaki itu menuliskan rumus dan mengerjakan soal yang tadi katanya salah. Tanpa Riko minta, Satoru secara telaten menjelaskan materi logaritma dan eksponen yang sendari tadi ia berkutat dengan rumus yang tidak ia pahami.

Ia memperhatikannya dengan seksama, walau menyebalkan dan tengil tetapi Satoru memiliki kepribadian yang baik, mungkin cara mgomongnya yang ceplas ceplos tanpa difilter. Hal tersebut yang kemudian sering membuatnya salah paham.

“Nih coba kerjain sendiri kalo udah nanti aku koreksi,” ujarnya dan Riko pun mengambil bukunya kembali.

Ia kerjakan soal-soal lainnya, yang dikinta Satoru. Walau tidak secepat Satoru, tetapi ia lebih lancar dan mudah mengerjakan dibanding dengan sebelum diajarkan Satoru. Hanya butuh waktu lima belas menit dan akhirnya Riko selesai dengan kelima soal tersebut.

Satoru mengecek kembali pekerjaan Riko, lelaki itu nampak cukup puas dan membetulkan beberapa pekerjaan yang kurang teliti. Riko memperhatikan dari dekat, bagaimana lelaki itu yang biasanya tengil, konyol, dan ‘begejekan’ tersebut nampak serius dihadapan soal-soal matematikanya.

Dari balik kacamata hitam tersebut Riko dapat melihat kedua manik biru cerah yang sangat indah, membuat Riko penasaran, kenapa Satoru harus menutupinya dengan kacamata.

“Kak, aku boleh nanya?” sanggahnya.

“Ya? Ada yang ga kamu pahami?”

Riko pun menggeleng, membuat Satoru sedikit kebingungan.

“Kenapa kak Satoru pakai kacamata hitam? Padahal mata kak Satoru cakep,”

Dan satu tepukan buku tulis secara lembut mendarat di kepala gadis itu.

“Biar ngga bikin anak kayak kamu salah fokus karena mataku yang bagus, aku kalo lepas kacamata ganteng ya kebangetan soalnya,”

Riko mendecih, cih dia tarik lagi semua pujian dan kagumnya kepada sosok di hadapannya itu.

Yeee, balik lagi narsisnya

Dilepasnya kacamata hitam tersebut, Satoru pun menoleh ke arah Riko sambil tersenyum jahil.

“Cakep kan,”

“Nyebelin, tengil,” ledek Riko sambil mendecih kesal. Sukses mengundang gelak tawa dari Satoru.

“Yah… walau keliatannya bagus gini tapi sebenernya mataku cukup sensitif akan cahaya, kalau ga pake kacamata aku jadi gampang pusing dan ga fokus,” celotehnya. Hmm hmm Riko sudah terlanjur kesal, jadi cukup nice info ajalah bang.

“Btw kamu pulang naik apa?” tanya Satoru.

Diperhatikannya jam pada ponsel pintarnya, sial, sudah jam lima sore. Ia harus menunggu sampai menjelang malam di halte jika seperti ini. Dengan segera ia rapikan buku-bukunya. Ia harus segera pulang pasti kak Kuroi sudah menunggunya!

“Aku pulang naik bis kak! Ini sudah jam lima jadi aku duluan ya! Makasih udah ngajarin!”

Belum sempat Satoru menjawab, gadis itu sudah pergi meninggalkannya duluan. Meninggalkan Satoru yang nampak bingung sebelum kemudian menghela mafa pelan.

“Padahal mau aku tawarin pulang bareng, yaudah deh,”

———

Saat Satoru hendak merapikan barang-barangnya, ia dapati sebuah buku sketch yang tergeletak tanpa tuan di meja besar perpus. Dibacanya nama penilik buku tersebut, ‘Riko Amanai’. Ah…, Satoru ingat sekarang ini kan buku Riko tadi mencoret-coret sebuah gambar saat belajar kan.

Yasidahlah, ia masukkan buku tersebut ke dalam tasnya, akan ia kembalikan besok saat bertemu lagi di sekolah.

———

Dengan tergesa Faisal berlari ke arah backstage dan mendapati Rena yang sudah menunggu di sana. Gadis itu melambaikan tangannya ke arah Faisal dan tersenyum simpul.

“Mon—“

“Demoiselle!”

Faisal mencengkram erat bahu Rena, binar mata yang ia pancarnya menyiratkan kekhawatiran dan kepanikan. Kenapa Rena ada disini? Sama siapa dia kemari? Apakah ia baik-baik saja?

“Hehe aku datang mengunjungi Monsieur!” ujarnya riang seakan mengabaikan semu kekhawatiran Faisal.

“Demoiselle sama siapa? Apakah demoiselle baik-baik saja?”

“Aku baik! Aku tadi diantar oleh monsieur Doni, monsieur Faisal tidak perlu khawatir,”

Walau demikian Faisal tetap saja khawatir. Rasa bersalah itu masih teramat membekas dalam dirinya. Namun, melihat senyum sang demoiselle yang begitu lebar di hadapannya menbuat Faisal kalah. Dilepaskannya cengkraman tangannya.

“Monsieur tidak senang akan kehadiranku…?”

“…maaf demoiselle, saya hanya… khawatir…”

Rena mengerti, ia pahan. Situasinya tidaklah mudah untuknya dan Faisal. Begitu pula dirinya yang sendari tadi tidak bisa menahan rasa takut dan pemikiran buruk selama perjalanan walau Doni diutus secara personal oleh Siska untuk mendampinginya.

“Dimana… Doni?”

“Oh! Tadi katanya monsieur Doni mau bertemu dengan teman-temannya,”

“Sal, kamu masih mau di sini? Barang-barangmu soalnya belum dibereskan… oh,”

Sang pemilik nama itu pun menoleh, mendapati Diki yang baru saja kembali dari balik panggung. Diki… sejak Rena kembali ke istana dan kesembuhannya ia belum bertemu secara personal dengan Diki.

“Demoiselle,” ucapnya dengan lirih sedikit ketus

“Bagaimana kondisimu? Aku sudah mendengarnya dari Faisal kamu dalam keadaan sulit, kuharap kamu baik-baik saja,” jelasnya sebelum kembali masuk, tentunya membuat kaget dan juga heran. Bukannya Diki membencinya?

“Dia memang seperti itu, sebenarnya dia cukup khawatir dengan kondisi demoiselle saat saya minta bantuannya,” bisik Faisal

“Kalo gitu demoiselle mari masuk, saya masih cukup khawatir meninggalkan Anda sendirian, saya masih harus membereskan barang-barang saya,”

———

Jalanan kota Jaya sedikit basah karena gerimi. Beberapa orang pun nampak berjalan dengan membawa payung di tangan, begitu pula dengan Rena dan Faisal. Sebelum balik Faisal sempat meminjam payung anak-anak opera untuk mereka berdua.

“Hehe aku jadi ingat waktu pertama jalan sama monsieur juga seperti ini…, walau tidak berakhir baik…,” celetuk Rena berusaha mencairkan suasana diantara mereka.

Faisal ingat saat itu, masih teringat jelas dalam benaknya bagaimana Rena terus-terusan menangis dalam pelukannya, menangisi kepergian sang Bunda. Saat itu bahkan Faisal berjaga semalaman di rumah Rena untuk menjaga gadis itu yang akhirnya bisa tertidur lelap melupakan insiden mengerikan tersebut.

Kamu itu hanya bawa sial, siapapun yang ada di dekatmu, kemanapun kamu pergi cuma bawa sial!

Gerak kakinya terhenti sejenak, ia memejamkam matanya dengan alis berkerut. Kenangan buruk itu kembali terlintas dan teringat di benaknya. Ya memang, ia adalah pembawa sial, sebagian besar mimpi buruk Rena ada karena kehadirannya.

“Mo-monsieur kenapa? Apa ada yang sakit? Mau istirahat dulu?” tanya Rena khawatir sembari memegang tangan milik Faisal.

“Saya rasa… demoiselle tidak perlu menjemput saya…,”

“Eh… kenapa…? Apa monsieur marah…,”

Faisal tidak menjawab, pandangannya masih berfokus memandangi paving jalanan kota Jaya yang nampak lebih menarik dari gadis di hadapannya. Semua ini salahnya, seharusnya memang ia tidak terikat dengan orang lain agar tidak membahayakan orang lain.

“Demoiselle kenapa masih baik terhadap saya walaupun hampir semua hal buruk pada demoiselle itu adalah sebab saya?” tanya Faisal.

Untuk pertama kalinya Rena melihat sisi Faisal yang rapuh, binar mata lelaki itu nampak redup dan hilang. Dengan segera dibawanya sang tuan ke dalam pelukannya.

“Monsieur masih merasa bersalah? Tidak apa-apa… lagipula semua bukan salah monsieur—“

“Engga… itu salahku…., semua salahku…., mereka benar aku cuma bawa sial aja…,”

Faiaal sedang tidak fokus, matanya teramat kosong bahkan saat lelaki itu menatap ke arahnya pandangannya pun menerawang jauh. Ditangkupnya erat-erat kedua pipi wajah lelaki itu.

“Monsieur! Semua ini musibah, monsieur juga korban! Yang disalahkan adalah orang jahat itu. Kenapa monsieur menyalahkan diri sendiri untuk sesuatu hal yang memang tidak bisa monsieur prediksi sebelumnya? Joka monsieur tau hal tersebut akan terjadi pasti monsieur akan memilih untuk melindungiku kan?”

“Monsieur juga punya kehidupan sendiri, pilihan monsieur dan pilihanku yang mempengaruhi takdir kita nantinya. Tapi percayalah kalau ini adalah musibah di luar kuasa kita. Awalnya aku memang marah dan benci atas takdirku tapi meratapinya bukanlah pilihan karena masih ada orang yang menyayangiku terlepas apa yang terjadi padaku… hal-hal yang tidak aku inginkan… begitu pula dengan monsieur…,”

“Demoiselle salah… aku tidak pernah punya orang yang menyukaiku atau menyayangiku…,”

Faisal menghela nafas panjang, dengan susah payah ia berikan senyum terbaiknya untuk Rena.

“Ah… maafkan saya, harusnya saya semang dijemput demoiselle tapi sepertinya peran tadi membuat saya sedikit terlarut akan kisah sedih karakternya,”

Dan semakin mengenal Faisal, Rena pun mengerti bahwa lelaki itu bukanlah pembohong yang handal

“Monsieur melupakan kak Siska? Kak Indra? Orang-orang opera? Orang-orang kerajaan?” tanya Rena sedih, ah iyaya sepertinya Faisal membuat suasana diantara mereka menjadi kelam.

“Maaf…,”

“Monsieur juga melupakan aku…?”

Huh?

Apakah Faisal tidak salah dengar? Kenapa Rena melibatkan dirinya dalam urusan ini. Tentu saja Faisal tidak melupakannya, ia hanya tidak ingin gadis itu semakin terlibat dan menjadi korban dari ketidakberuntungannya.

“Kita pulang saja yuk demoiselle, malam sudah semakin larut,”

“Aku ga suka! Aku ga suka monsieur yang menyalahkan diri sendiri berlebihan aku tidak suka monsieur yang mendorong orang-orang yang peduli dengannya. Jika monsieur berkata demikian maka libatka aku!” jelas Rena membuat Faisal semakin kebingungan.

“Jika monsieur merasa bersalah maka jangan dorong aku semakin jauh! Libatkan aku! Jika monsieur tidak mau dan tidak suka maka aku pun tidak akan peduli!”

Kenapa kamu melakukan hal seperti itu hanya untuk diriku?

“Karena monsieur adalah orang yang aku sayang! Dan aku ingin bersama-sama bersama monsieur untuk menghadapi hal-hal tidak terduga di masa depan. Entah itu baik ataupun buruk jadi monsieur tidak perlu menyalahkan diri sendiri lagi!”

Ah… kapan terakhir kali Faisal bertemu dengan orang yang berjuang untuknya dan menerimanya…

Ia teringat saat Siska memberikan buah stoberi untuknya dan mengajaknya bergabung dalam opera… mengabaikan penolakannya dan menyatakan bahwa semua orang di dunia pasti memiliki ketidakberuntungan mereka sendiri

Jika memang begitu kenapa kamu tidak buat keberuntungan dan kebahagiaanmu sendiri? Jika memang kamu merasa kelahiranmu adalah sebuah kutukan maka ciptakanlah berkah dan kebahagiaan kepada orang lain

Ia teringat saat sang Raja mengambilnya pertama kali dari tempat opera dan melatihnya secara personal karena melihat potensi dalam dirinya yang ia anggap hanyalah buat dari rutinitasnya selama ini

Tunjukkan pada mereka yang membuangmu bahwa kamu adalah berlian berharga

Dari kecil Faisal selalu percaya bahwa kelahirannya hanyalah untuk menjadi bayang sinar sang bintang. Ialah rembulan dalam gelap malam

Dari lahir ia dianggap pembawa sial, anak kutukan yang dikatakan ramalan oleh sebab itu ia selalu diperlakukab dengan semena-mena

Dari sejak ia pertama tiba di dunia nasibnya telah ditentukan. Bahwa ia adalah penjahat yang akan membawa kehancuran bagi suatu negara, ia hanya tinggal menunggu waktunya

Karena kamu papamu meninggalkan mama! Karena kamu mama dianggap berencana untuk melakukan kudeta bagi kerajaan ini! Kamu memang seharusnya mati aja sejak dari dalam kandungan

Tanpa sadar bulir air mata pun mengalir dari kedua sudut matanya, Faisal hanya diam termangu mendengar ucapan Rena. Membuat sang gadis sedikit panik dengan reaksinya.

“…eh..?”

“Aduh… monsieur kenapa harus menangis? Aduh kalo memang monsieur tidak suka bisa bilang …,”

Tidak, ia bukannya tidak suka, ia bukannya benci. Namun, perasaan ini terlalu melimpah ruah untuknya. Membuatnya tidak bisa bereaksi lebih selain menangis.

Jadi apakah memang benar dari hidupnya yang telah kena kutuk ini ia masih bisa merasakan rasa syukur dan perasaan berbahagia seperti ini hanya karena ada orang yang menyayanginya.

Dengan segera Faisal mengusap air matanya. Ia baik-baik saja, ia tidak boleh terlalu emosional atau terikat karena akan semakin berat baginya jika memang harus meninggalkan Rena.

Tapi, jika sekali saja Faisal bisa egois…

“Demoiselle”

“Ya?”

Dalam beberapa detik Faisal dengan segera menarik tengkuk Rena. Satu kecupan panjang dan lembut mendarat di bibir ranum sang gadis. Sementara itu, Rena nampak sangat terkejut namun ia pun perlahan memejamkan matanya dan menangkup kedua pipi Faisal. Sebuah kecupan panjang, beberapa orang yang lewat dan melihat mereka pun saling berbisik namun kedua sejoli itu nampak tidak peduli.

———

Terima kasih karena telah menyayangiku*

Terima kasih karena telah menjadi mentari bagi redup rembulan ini, terima kasih karena telah hadir dan menjadi pelita dari gelapnya penyesalan tiada akhir

Mungkin inilah akhir cerita dari kisah pangeran bulan yang Rena inginkan bagi Faisal, pada akhirny sang pangeran pun menemukan kebahagiaannya

Jika boleh maka mereka ingin jam kehidupan mereka berhenti di sini. Menyisakan momen panjang dan abadi yang hanya berisi mereka berdua saling bertukar cinta dan bersuka cita

Tapi roda kehidupan teruslah berputar, mereka tidak akan pernah tau apa yang menantinya di hari esok

———

Act 1: As Bright As the Sun that Missed by the Moon

End

———

Sendari tadi Rena masih berdiri termangu di depan pintu jati kamar Faisal, tangannya dari tadi ia naik turunkan dengan ragu-ragu. Haruskah ia masuk? Haruskah ia mengetuk pintunya? Bagaimana jika Faisal tidak ingin bertemu dengannya? Apa yang akan jadi reaksi Faisal saat melihatnya nanti?

“Loh Rena? Kok gak masuk?” tanya Siska yang baru saja tiba didampingi oleh dayang-dayangnya dan satu troli makanan.

“Aku…,”

“Kamu mau bertemu Faisal? Udah masuk aja!”

Rena ingin menghentikannsang Ratu tetapi wanita itu sudah lebih dulu mendahuluinya, dengan riang membuka pintu kamar Faisal. Wajah Rena bersemu semerah apel saat melihat pemandangan di hadapannya, lelaki itu nampak bugar dan tengah melepas pakaiannya untuk berganti baju. Dengan segera Rena mengalihkan pandangannya. Kenapa jantungnya jadi berdegup cepat seperti ini? Sementara itu, Faisal sama kagetnya saat pintu kamarnya tiba-tiba dibuka seperti itu.

“…anu… Siska… aku lagi ganti baju… bisa tolong ditutup dulu…?” pintanya.

———

“HAHAHA aku gatau kalau kamu lagi ganti baju! Maafkan aku!”

Faisal menghela nafas pelan, walaupun ia meminta sang Ratu untuk mengetuk pintu tetapi ia sudah hafal betul tabiat dari Siska. Menjadi anak asuk yang tinggal bersama wanita itu dalam kurun waktu cukup lama membuat Faisal hafal betul kebiasaan Siska.

Faisal pun menoleh ke arah Rena dan membungkukkan badannya menghadap Rena.

“Saya sudah mendengar cerita keseluruhan dari dokter Romi, maafkan saya karena tidak kompeten dalam melaksanakan tugas saya untuk menjaga Anda, demoiselle, maafkan saya karena Anda harus mengalami hal mengerikan seperti itu…. Maafkan saya karena meninggalkan Anda waktu itu,” ujarnya.

Alih-alih merasa marah atau dendam, Rena justru tersenyum sembari menghela nafas pelan, tangannya bergerak untuk menangkup kedua pipi Faisal sehingga lelaki itu dapat menatap tepat ke arahnya.

“Kenapa monsieur harus meminta maaf? Monsieur juga korban di sini… aku… aku tentu merasa marah… dan benci pada penjahat jtu… tapi aku tidak lunya alasan untuk marah kepada monsieur yang sudah menolongku…,” jelas Rena

Faisal masih tidak mengerti, ia pun menoleh ke arah Siska yang hanya tersenyum ke arahnya.

“Tapi… saya sudah gagal… sudah sepatutnya Anda merasa kecewa…”

Gadis itu menggelengkan kepalanya dan mencubit lembut pipi Faisal. Tentu saja ia merasa kecewa akan takdirnya, ia sempat merasakan amarah yang membuncah saat takdirnya begitu kejam membolak balikkan hidupnya. Tetapi itu bukan alasan untuk meyalahkan Faisal bahkan membencinya karena lelaki itu lah yang menolongnya hingga akhir.

“Walau malam itu menjadi mimpi burukku…, tapi karena monsieur aku masih bisa bertahan hingga sekarang… jika monsieur tidak hadir mungkin kehidupanku sudah hancur dan gulita… jadi jangan terlalu menyalahkan diri sendiri ya…?”

Digenggamnya tangan milik Faisal, laki-lali itu mendongak menghadap Rena. Ia membalas erat genggaman sang gadis, seakan ingin mengatakan sesuatu tetapi lidahnya begitu kelu.

Saya janji akan melindungi demoiselle

Karena ia tau janji itu hanyalah bualan semata dan pada akhirnya ia harus pergi

Faisal hanya bisa berterima kasih, beribu terima kasih ia haturkan kepada sang gadis. Sungguh ia bersumpah ia akan ciptakan dunia yang damai dan aman sehingga gadis di hadapannya bisa berbahagia. Semesta ini terlalu kejam karena merengut masa depan gadis di hadapannya.

Siska menepuk tangannya, mengalihkan perhatian sepasang sejoli, membuat Faisal berdeham menahan malu dan segera melepas genggaman tangannya. Ugh… rasanya lukanya kembali nyeri ia menghela nafas berat.

“Monsieur…?”

“Aduuuh, udah tau masih masa pemulihan pakai aneh-aneh segala. Kamu duduk deh aku udah bikinin pie stoberi favoritmu,” omel Siska.

Dengan segera sang ratu menyuruh pelayan kerajaan untuk masuk dan membawakan troli makanannya. Ternyata isinya adalah roti, pie stoberi, buah-buahan, dan juga susu buat Faisal. Membuat Rena malu karena ia tidak membawa apa-apa untuk Faisal.

“…banyak banget… ini mah bisa buat makan seharian kita semua…,”

“Ya gapapa dong kamu perlu makan banyak biar cepat sembuh!”

Sendari tadi Rena perhatikan, Faisal nampak tersenyum simpul dan senang dengan semua perhatian Siska. Tetapi entah mengapa raut wajahnya masih sedikit sedih sama seperti saat tadi Faisal meminta maaf kepadanya. Ia ingin bertanya apakah ada sesuatu yang mengusik Faisal, tapi sepeetinya sekarang bukanlah saat yang tepat.

“Rena sudah sarapan belum? Yuk makan bareng!” Ajak Siska dan mereka pun sarapan bersama di kamar Faisal.

———

Siska dan Faisal bercerita banyak hal—walau lebih tepatnya Siska menceritakan hal-hal memalukan Faisal semasa tunggal bersama—membuat lelaki itu nampak bersemu menahan malu dan Rena pun terkekeh kecil dibuatnya. Ia dapat melihat sisi Faisal yang lebih beragam dan ekspresif. Jadi seperti ini Faisal kepada orang-orang yang dekat dengannya dan mungkin bisa dibilang keluarganya.

Dari sini Rena sadar, walau ia dan Faisal cukup dekat nyatanya hal yersebut tidak dapat menutupi fakta bahwa mereka masihlah orang asing. Waktu beberapa bulannya dengan Faisal tidak bisa dibandingkan dengan Siska dan anggota kerajaan lainnya yang tumbuh bersama Faisal. Entah kenapa Rena merasa sedikit iri.

Ia ingin, ia ingin melihat tawa itu lebih banyak lagi, ia ingin melihat ekspresi yang lebih beragam. Ia ingin terlibat dalam kisah hidup milik Faisal lebih dalam lagi dan saat menyadari pemikirannya tersebut entah kenapa ia menjadi tersipu sendiri. Membuat Siska dan Faisal menarapnya khawatir karena wajah yang bersenu terlampau merah.

“Demoiselle? Apa Anda baik-baik saja?”

Tidak menghiraukan Faisal, Rena bangkit dari tempatnya. Pamit terlebih dahulu dengan Siska untuk kembali ke kamarnya, menghiarukan Faisal dan Siska yang menatapnya penuh tanya.

———

Rena sudah tidak bisa membentung lagi gelora asmara dalam dirinya

———

Sementara itu, Faisal menghela nafas pelan. Raut wajahnya pun kembali serius dan menajam.

“Syukurlah demoiselle sudah pergi, saya ada hal penting yang ingin dibicarakan dengan Anda,” jelas Faisal kembali formal. Walau ia dan Siska sudah selayaknya keluarga tetapi jika menyangkut urusan pekerjaan dan kerajaan maka professionalitasnya akan diutamakan.

Itu pula yang dapat membuatnya dengan mudah berganti ekspresi dan beradaptasi dengan kondisi Rena yang saat ini tidaklah cukup baik.

“Apa yang kamu temukan?”

Fakta bahwa Jati adalah utusan Dwi sudah menjadi rahasia umum internal keluarga milik Raja Indra dan mereka memegang asumsi bahwa Dwi sedang berusaha berkonfrontasi dan melakukan kudeta terhadap Indra dengan menyerangnya secara langsung.

“Tetapi…, Bobby, dia adalah bagian dari Bintang Emas Post…,” jelas Faisal

“Maksudmu?”

Faisal pun menatap tajam ke arah Siska. Seumur hidupnya Siska tidak pernah melihat Faisal begitu serius seperti saat ini.

“Bintang Emas Pos, surat kabar yang menyajkakn berita aktual dari seluruh kerajaan dan kamu tau pemiliknya siapa? Kerajaan Sindari,”

Faisal menghentikan sejenak ucapannya, jeda cukup panjang sebelum ia melanjutkannya.

“Berita tentang Adamar dan Jaya, semua isunya, dari laporan nomor 9 dan Diki diproduksi oleh Bintang Emas Pos… dan karena Bintang Emas Pos yang mengetahui insiden raja Eka, penculikan pangeran Indra dan putri Indy dulu maka keterlibatan Bobby adalah gerakan dan rencana mereka,”

Siska tidak menjawab. Namun, kecurigaan Faisal bukanlah tanpa alasan. Tetapi jika mereka dengan kekuatannya yang sekarang melakukan konfrontasi kepada Sindari maka sama saja dengan melakukan bunuh diri.

“Sembilan dan nomor 3 harus segera kembali,” jelasnya.

“Saya khawatir untuk nomor 3 karena dia sudah terlibat terlalu dalam. Tetapi sembilan memang harus segera kembali. Sesegera mungkin,”

Faisal pun menolehkan pandangannya ke arah jendela. Langin biru di luar sana nampak jernih. Sinar mentari pun begitu cerah menghiasi cakrawala.

Meskipun demikian ia tahu betul bahwa lambat laun ia harus kembali.

———

Jika dulu Faisal tidak akan keberatan disuruh kembali, maka akankah Faisal saat ini dengan ringan hati menyerahkan dirinya?

Apakah ia bisa meninggalkan orang-orang yang lambat laun memiliki tempat tersendiri di hatinya?

Membawa hal-hal baik yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya

———

Rena masih duduk termenung dengan pandangan kosong. Sudah hampir seminggu dirinya dirawat penuh oleh staff kerajaan Jaya. Sejak kejadian itu ia masih mengingat betul bagaimana teriak histerisnya, rasa takutnya, bagaimana ia tidak bisa memejamkan mata dengan tenang. Hanya dalam semalam saja, dunianya terbolak-balikkan dan porak-poranda.

Walau dokter yang menanganinya mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja (bersyukur karena Faisal bisa menemukannya lebih awal sebelum mimpi buruk ya) tapi Rena masih mengingat trauma dan rasa takutnya. Walau semua baik-baik saja bagi Rena sejak kejadian itu maka dirinya tidaklah baik-baik saja.

Dipeluknya tubuhnya erat-erat, ia masih ingat tangan itu, seringai yang mengerikan serta bagaimana gaunnya disobek… tubuhnya bergetar hebat… Rena menangis sesenggukan dalam diamnya.

Pintu kamarnya terbuka, dengan air mata yang masih mengalir dan raut wajah berantakan Rena berusaha menoleh. Diusapnya dengan kasar wajahnya saat mendapati sosok wanita dengan gaun elegan berwarna merah diiringi dayang-dayang dibelakangnya memasukki kamarnya. Himbauan seketika tersebar di kamarnya.

Sang Ratu telah datang

Dengan tergopoh-gopoh Rena pun berusaha memberikan penghormatan yang layak.

Wanita itu, mengisyaratkan pengawalnya untuk keluar meminta agar hanya ia dan Rena saja yang berdua di sini. Sang Ratu pun berjalan dan menduduki dirinya di atas dipan milik Rena.

“Duduklah, tidak perlu formal begitu padaku, lagipula kamu adalah adik iparku,”

Sejujurnya Rena masih tidak percaya dan tidak mau mempercayainya kalau ia ada hubungan dengan kerajaan Jaya.

“Tidak apa-apa kalau kamu ingin menangis Indy…, posisimu sekarang sangatlah berat…, menangislah, berteriaklah, marahlah…,” ujar sang Ratu.

Mendengarnya justru bukan menenangkan Rena, gadis itu justru semakin menangis dan berteriak meraung-raung, tangisan yang sangat memilukan. Wanita yang lebih dewasa itu pun mendekat, memberikan kehangatan melalui pelukan untuk Rena yang masih tersedu-sedu.

“Bajingan! Biadaaaap! Apa salahku?! Kenapa aku harus mendapatkan ini semua?! Haaaah?!!”

Kembalikan, kembalikan hidup Rena yang biasa-biasa saja, kembalikan hidup Rena yang hanya ada dirinya, Bunda, dan kesehariannya membuat roti dan pastry.

Rena membenci dirinya, ia membenci dirinya yang tidak bisa menjaga dirinya sendiri, membenci dirinya yang telah kehilangan martabatnya sebagai perempuan. Dijambaknya rambutnya berulang kali membuat sang Ratu sedikit kewalahan untuk menghentikannya.

“Rena?! RENA!”

Ditangkupnya kedua pipi gadis itu, wajahnya begitu berantakan, binar mata gadis itu meredup hilang sejak malam itu. Sungguh gadis yang malang, padahal dari foto-foto yang dikirimkan Faisal, Rena sebelumnya adalah gadis periang yang lugu.

“Jangan melukai dirimu lebih dari ini…,” pinta Siska.

“Untuk apa aku masih hidup… aku sudah rusak… kotor… ternoda…,”

“Karena kamu memang pantas untuk hidup Rena!”

Gadis itu hanya tersenyum getir, untuk trauma yang didapatkan gadis itu memang cukup sulit meyakinkan dan menyadarkannya. Siska hanya bisa memberikannya pelukan dan dukungan. Ia sudah sering melihat wajah remaja dan anak kecil sama putusnya seperti Rena.

“Rena… jangan salahkan dirimu sendiri… ingatlah bahwa kamu berharga untuk orang lain… bahwa ada orang yang masih menerimamu… ada orang yang berjuang untukmu…,” hiburnya

“Maaf… maaf karena kamu harus mengalami ini semua… maaf karena datang terlambat… apapun itu… kamu berharga… jadi jangan pernah berpikir kamu tidak layak hidup…,” ujar Siska sembari memeluk Rena, gadis itu tidak bisa untuk tidak berhenti menangis. Ia ingin menolak semua ucapan sang ratu. Semua hiburan yang tidak ingin ia dengar.

Sang Raja telah tiba!

Pintu kamarnya kembali terbuka, menampilkan sosok agung yang hanya Rena lihat di koran-koran. Tetapi entah mengapa emosinya seketika memuncak dan meletup-letup. Karena dia, karena dia kehidupannya seketika berubah.

“Pergi! Pergi! PERGI! Karna kamu! Karna kamu hidupku berubah! Apa urusanmu sampai menyeretku?!!” seru Rena histeris.

Namun sosok itu tidak bergeming, Siska masih berusaha untuk merengkuh Rena dan menenangkannya. Sang Raja pun berjalan mendekat, sedikit membungkuk sebelum kemudian merengkuh kedua wanita tersebut.

Mata Rena membulat tidak percaya, ia ingin memberontak namun seketika terhenti saat mendengar isak tangis seorang lelaki.

“Maaf… maafkan kakak… maafkan kakak tidak bisa melindungimu… Indy…,”

———

Dulu, Jaya dan Adamar adalah dua kerajaan yang hidup damai dan tentram. Mereka memiliki hubungan diplomatis yang sangat sehat terlepas perbedaan visi dan cara pandang dalam memimpin bangsa mereka.

Hubungan diplomatis mereka terasa semakin harmonis dan dekat saat masa kepemimpinan Raja kedua dari kedua belah pihak, Eka dan Seno. Kedua raja tersebut secara optimis dan memandang hubungan diplomatis yang baik akan membawa masa depan yang baik kepada dua belah pihak.

Mereka pun bekerja sama untuk membangun kerajaan, menyelesaikan konflik daerah-daerah sekitar bahkan secara terbuka memberikan dukungan baik berupa supply persenjataan atau pengakuan terbuka bagi kedua belah pihak.

Namun, semua berubah sejak wafatnya Raja dari keluarga Jaya, Eka, yang menjadi pukulan berat bagi pihak Jaya. Mengingat raja pertama Jaya sudah terlalu uzur untuk naik kembali ke tahta kerajaan dan pangeran Indra usianya saat itu masih sangatlah muda.

Pangeran Dwi yang kemudian naik tahta menggantikan sang kakak. Kepemimpinan tidak kompeten yang menghancurkan hubungan diplomatik kedua kerajaan tersebut.

Surat kabar Bintang Emas juga saat itu membuat pemberitaan yang cukup menggemparkan dan menyebabkan hubungan diplomasi antara kedua kerajaan pun memanas. Bahwa Adamar adalah dalang dibalik kematian Eka. Kebencian Dwi kepada kerajaan Adamar pun semakin bertambah manakala terdengar kabar simpang siur terkait penculikan Pangeran dan Putri Jaya dilatarbelaiangi oleh Adamar yang kemudian menewaskan Putri kerajaaan.

Sejak saat itulah hubungan antara Jaya dan Adamar semakin memburuk, kerajaan Jaya kehilangan kepercayaan di mata publik dan mengalami kemunduran. Sejak kenaikkan tahta Pangeran Indra secara perlahan Raja muda tersebut membangut reputasi Kerajaan Jaya sembali, dan menjalin hubungan diplomatis salah satunya adalah menjalin pernikahan dengan putri bungsu kerajaan Adamar.

Walau pada mulanya pernikahan mereka dikecam tetapi saat ini hubungan diplomatis antara Jaya dan Adamar mulai membaik. Meskipun demikian masih ada pihak-pihak yang ingin membelot dan melakukan pemberontakan. Salah satunya adalah Jati dan Bobby yang sengaja diutus untuk mencelakakan Rena dan menyebarkan isu terkait perselingkuhan sang Raja.

“Identitasmu, sebagai putri Jaya masih disembunyikan. Karena kami memiliki dugaan bahwa semua yang terjadi bahkan kematian Raja Eka adalah adu domba dari pihak ketiga,” jelas Indra saat Rena sudah sedikit tenang.

Dari cerita sang Raja sepertinya Rena sudah bisa menarik benang kesimpulan, temtang kondisinya, tentang peliknya konflik kerajaan yang bermuara pada semua masalah yang menyerang dirinya.

Rena masih tidak percaya, hanya mendengar ceritanya saja maka kehidupan Rena saat itu sudah berbeda seratus delapan puluh derajat. Rena, sudah bukan lagi Rena sang penjual roti lagi.

Malam itu Siska dan Indra meninggalkan Rena seorang diri, atas permintaan sang adik. Ia perlu waktu untuk menenangkan dirinya sendiri. Untuk menenangkan pikiran dan memikirkan dirinya sendiri.

Padahal hari itu sebelum kejadian Rena hanya ingin membuatkan pie stoberi untuk Faisal, siapa sangka orang yang ia tolong dan temui di persimpangan gang nyatanya adalah komplotan penjahat dari awal mula mimpi buruknya?

Rasanya Rena ingin menangis lagi. Ia jadi merindukan sang bunda dan hidupnya yang biasa-biasa saja. Tapi meratapi hidupnya juga bukanlah pilihan, lebih baik dirinya beristirahat sehingga besok ia dapat menjernihkan pikirannya.

———

“Kak Siska?”

“Ah? Kamu sudah bangun?”

“Eum…”

Gadis itu terlihat malu-malu dari balik pintu kamarnya selama tinggal di kerajaan beberapa hari terakhir. Jujur saja, tempat ini bukan rumahnya, banyak orang-orang asing yang tidak ia kenal dan tidak membuatnya nyaman. Rasanya seperti ia tidak layak mendapatkan semua ini. Tapi dirinya juga tidak enak jika harus mendekap terus di kamarnya, rasanya sesak.

“Huh?!”

Rena bergedik ngeri saat melihat sosok lelaki bertampang sangar dibalik Siska. Wanita itu rasanya mengerti sumber ketakutan sang gadis dan menyuruh Doni untuk berhenti membuat wajah menyeramkan.

“Maafkan aku atas ketidaksopanannya, perkenalkan dia adalah Doni, pengawal setiaku,” jelas Siska.

Dengan gemeteran Rena berusaha untuk mengulurkan tangannya, jujur ia masih merasa takut dengan orang asing… khususnya laki-laki… tapi Doni hanya mendecih melihat gelagat gadis itu.

“Doni, sepertinya Rena tidak nyaman dengan kehadiranmu, kamu bisa tinggalkan aku sendiri. Lagipula kita sudah selesai menengok Faisal kan? Kamu bisa pergi,”

“Baiklah,”

Rena pun melihat lelaki itu melenggang pergi. Sementara Siska tersenyum manis ke arah Rena, mendengar ucapan Siska barusan Rena jadi teringat, bagaimana kondisi Faisal? Terakhir ia jatuh pingsan dalam dekapan lelaki itu. Apa Faisal baik-baik saja?

“A-anu… kak Siska… kondisi monsieur… bagaimana?”

Senyum Siska pun hilang diganti raut wajah sedih, namun sosoknya masih berusaha untuk tersenyum walau nampak getir.

“Kondisinya tidak baik…, sudah hampir seminggu ia tidak sadarkan diri…,”

Matanya terbelalak tidak percaya… Rena tidak mengingat apapun selain Faisal yang menyelamatkannya, haruskah… haruskah karenanya Faisal juga menderita? Ia mengigit bibir bawahnya gelisah.

“Eeeh… jangan digigit bibir bawahnya… nanti luka,” pinta Siska. Wanita itu menghela nafas pelan melihat sosok adiknya yang nampak lesu dan berantakan.

“Kamu mau ikut aku ke tempat Faisal?” tawarnya.

———

“Loh Siska? Kesini lagi?”

“Kamu ini benar-benar ngga ada sopan-sopannya ya sama Ratumu sendiri”

Decak Siska saat ia baru kembali ke ruang kamar Faisal dan di sambut dengan sang dokter berambut jingga yang senantiasa memonitor kondisi lelaki itu. Jika di luar kerajaan pasti dokter nyentrik tersebut telah dijebloskan ke dalam penjara karena lagaknya yang tidak sopan. Tetapi lingkungan internal kerajaan Jaya dan mereka yang saling mengenal satu sama lain meleburkan batasan strata sosial di antara mereka.

“Oh? Hai Rena!” sapa sang dokter dan Rena pun mengangguk pelan sebagai jawaban.

Namanya adalah dokter Romi, dokter pribadi keluarga Jaya dan yang selama ini membantu merawat dan menangani kondisinya, itulah sebabnya reaksinya tidak setegang saat bersama Doni yang baru saja ia temui hari ini karena ia sudah cukup sering bertemu dengan Romi.

“Oh? Rena mau menengok Faisal ya? Sayangnya dia masih belum sadar hingga hari ini,” jelas Romi seakan dapat menebak maksud dan tujuan gadis itu. Entah kenapa mendengarnya membuat Rena sedikit sedih.

Tetapi, Romi sepertinya dapat membaca gelagat sang gadis itu pun berkata bahwa mereka berdua dapat menemani dan mengawasi kondisi Faisal karena Romi harus pergi. Ia ingin membeli bahan obat-obatan yang mulai menipis.

Setelah kepergian dokter Romi, Rena pun mengambil duduk tepat di sebelah ranjang Faisal, sementara Siska merapikan vas bunga yang selalu nampak segar di kamar lelaki itu.

Diperhatikannya sosok Faisal yang tengah tidak sadarkan diri dengan seksama, lelaki itu nampak damai dalam tidurnya, nafasnya naik turun secara teratur. Tangan Rena pun tergerak untuk mengelus surai keabuan milik Faisal, membersihkan anak-anak rambut yang menghalangi wajahnya.

“Kita harus bersyukur karena tembakan itu meleset sehingga tidak mengenai organ vital milik Faisal terlalu dalam. Jika sedikit saja maka kita bisa kehilangannya,” jelas Siska membuat Rena semakin mengeratkan genggaman tangannya. Ini salahnya.

“Sejujurnya aku tidak tega dengan kondisinya sekarang, tetapi entah mengapa, melihat Faisal bisa tertidur lelap seperti ini membuat hatiku merasa damai… aku mengenalnya sejak ia masih kecil, dia selalu kesulitan tidur… dan mungkin dengan begini ia bisa beristirahat sejenak,”

“Eh? Kak Siska mengenal monsieur sejak kecil?” tanya Rena. Sejujurnya ia tidak terlalu tahu menahu tentang tuan di hadapannya selain pekerjaan dan kebaikan hatinya selama ini.

Baginya Faisal adalah sosok yang berharga, teman pertamanya dan orang yang penting baginya. Tetapi, mendengar cerita Siska barusan entah mengapa kedekatannya bersama Faisal bukanlah berarti apa-apa. Ia masih merasa jauh dan tidak mengenal sosok yng selalu ada untuknya itu.

“Huum, Faisal sudah bersama denganku sejak ia kecil… ah kalau kamu sudah pernah menonton opera Faisal kamu harus tahu kalau opera itu berisikan anak-anak yatim piatu yang diurus olehku, dan Faisal termasuk ke dalam salah satu anggota panti asuhannya,”

———

Siska masih ingat betul saat pertama kali ia menemukan sosok Faisal remaja yang tergeletak tidak berdaya di setapak jalan perbatasan negeri Jaya dengan Sindari.

Sosok anak kecil berpakaian lusuh, kurus, dan tidak sadarkan diri. Tergeletak tidak berdaya. Siska yang saat itu tengah berjalan-jalan pun dengan segera menolong Faisal dan merawatnya.

Selama beberapa bulan pertama Faisal enggan untuk berbicara, anak itu sering kali terlihat tidak fokus dan tiba-tiba histeris. Pengawal yang mendampingi Siska menduga bahwa anak itu adalah korban kekeran yang kabur dari rumah. Hal tersebut dapat dibuktikan dari luka-luka lebam yang mengering di tubuhnya.

Faisal jarang berbicara ataupun bercerita, makanan yang diberikan pun jarang sekali disentuh oleh anak itu. Sering kali Faisal menangis setiap malamnya. Hingga suatu ketika saat tengah malam, Siska mendapati Faisal yang tengah memandangi sebuah keranjang stroberi di meja makan markasnya.

Kamu mau ini?

Faisal hanya mengangguk pelan tidak menjawab. Siska yang mengerti pun mengambilkannya untuk Faisal, membuat lelaki itu kebingungan tidak mengerti

———

“Saat itu, Faisal bertanya apakah ia boleh memiliki satu buah stoberi yang aku berikan dan memakannya. Aku tentu saja mengizinkannya dan aku bilang kalau sekarang dia mau makan bisa langsung ambil atau bilang, dan kamu tau jawabannya apa?”

Aku… tidak pernah dibolehkan makan kalau bukan tengah malam… dan aku tidak bisa memilih makanan apa yang bisa ku makan… biasanya aku hanya mendapat makanan sisa atau mendekati basi…

Jelas Siska dengan nada pilu. Saat itu, Faisal hanyalah anak lugu yang kabur dari rumahnya. Bahkan hingga sekarang walau ia membesarkan Faisal ia masih belum mengenal dan mengetahui masa lalu lelaki itu.

Siska pun melanjutkan ceritanya, menanyakan tentang rumah Faisal, dan alasannya kabur dari rumah. Faisal justru bertanya balik tentang rumah dan maksud dari rumah karena selama ini ia tidur di ruangan dengan dinding beton yang minim pencahayaan.

Tapi tempat itu tidak terlalu buruk kok karena setiap malamnya aku bisa melihat sinar bulan… bulannya cantik… aku suka!

“Sejak saat itu aku mengangkat Faisal jadi anak opera dan aku ingat betul bagaimana Faisal begitu senang saat aku bilang opera ini adalah rumahnya,”

Rena tidak bisa bereaksi apa-apa. Semua cerita yang ia dapatkan hari ini terlalu tiba-tiba. Dirinya masih tidak bisa mempercayainya.

Ia tau kalau Faisal sangat menyukai seni peran dan operanya. Faisal sangat menikmati waktunya bersama rekan-rekan operanya. Tetapi ia tidak pernah tau jika itulah alasannya. Ia kira Faisal menyukai pekerjaanny sama seperti ia yang menyukai aroma manis dari roti-roti yang dibuatnya.

“Kak Siska…”

“Ya?”

“Boleh… tinggalkan aku dan monsieur sendiri…?”

Siska mengangguk paham, sesuai permintaan Rena. Ia pun meninggalkan kamar Faisal saat Rena memintanya. Gadis itu dengan keras kepala bilang bahwa ia ingin menjaga Faisal seorang diri. Selayaknya yang selama ini Faisal lakukan untuknya.

———

Diperhatikannya lamat-lamat wajah Faisal yang terlelap dalam damai, membuat Rena tersenyum miris. Pada akhirnya yang kira ia telah cukup dekat nyatanya Rena masih buta dan tidak tahu menahu akan sosok lelaki itu.

Tetapi yang jelas, sama seperti Faisal yang senantiasa melindunginya maka mulai dari sekarang Rena pun akan berusaha melindunginya.

Writer’s note: Please listen to this song as you read this fic https://open.spotify.com/track/6YRo85ddnfPtHAqLuaBsdv?si=s6YhfQ99SNaHSY5DPcx-1A

❄️❄️❄️

Faisal tidak pernah membenci Ibunya Dan fakta bahwa Faisal masih teramat menyayangi sang Ibu terlepas semuaperlakuan dan ujaran jahat yang terlontar Membuatnya tidak bisa berhenti untuk tidak bisa membenci dirinya sendiri

yang masih sangat menyayangi sang Ibu

❄️❄️❄️

Suara tembakan peluru menggema di seluruh rumah besar kediaman Sindari tersebut. Tubuh Faisal masih tidak bisa berhenti gemetar, seluruh syaratnya menegang, bulir keringat pun menetas tanpa henti di kedua sisi keningnya.

Ia takut, kalut, dan trauma

Melihat sosok Tamara yang tergeletak tak berdaya dan bersimbah darah membuat Faisal bergedik ngeri. Kepalanya terasa pusing, pandangannya mengabur dan seketika pikirannya kacar tak menentu.

Apa? Apa yang harus dia lakukan?

Tanpa bisa ia cegah otakknya pun seketika dibanjari oleh beragam keping memorindan kenangan buruk trauma masa kecilnya. Ia masih ingat teriakkan yang rasanya akan selalu bergema memenuhi pikirannya.

Ia masih ingat bau anyir darah yang keluar dari pelipis kepalanya, ia masih ingat semua lebam dan memar itu. Ia masih ingat semuanya.

Namun keping memori dan kenangan buruk tersebut pun tumpang tindih dengan berbagai kenangan indah yang sebenarnya tidak akan bisa dia lupakan juga. Ia masih ingat pujian dan senyum sang Ibu saat memujinya saatmenjadi anak yang nurut dan pintar. Ia masih ingat bagaimana ‘Faisal kecil’ ingin melindungi senyum tersebut. Bagaimana ‘Faisal kecil’ sangat menyayangi sosok tersebut… begitu pula dirinya…

Entah apa yang mendorongnya, entah dari mana kekuatan itu berasal dan menggerakkan dirinya. Dengan segera Faisal berlari kearah Tamara. Mengabaikan segala trauma yang ada, tubuhnya bergerak di luar kontrol dirinya untuk membopong Tamara dan menyelamatkan Alex bersama dirinya. Mungkin inikah yang disebut dengan insting bertahan hidup?

Telinganya tidak bisa mendengar teriakan histeris dan penuh keterkejutan dari Tamara saat Faisal dengan segera membopong tubuh wanita itu, begitu pula dengan Alex. Pikirannya tidaklah fokus, yang jelas mereka harus selamat dan keluar dari sini hidup-hidup.

Karena jika tidak maka Indra akan kecewa pada dirinya

Dor!

Satu tembakkan mengenai betis kanannya, membuat pijakannya goyah dan hampir tersungkur. Tamara berteriak panik melihat bulir keringat sebesar jagung di pelipis Faisal, anaknya terluka! Anaknya menahan sakit!

“FAISAL?! FAISAL?!”

Tidak, dirinya tidak apa-apa, jangan khawatir

Dor!

Satu tembakan kembali terkena dan sekarang di bahu kanan Faisal. Tamara semakin histeris. Tidak kuasa melihat sang anak menahan sakit. Anaknya tidak boleh terluka, anaknya tidak boleh merasakan sakit lagi!

“Alex… tolong… selamatkan… dirimu… wanita itu…,”

“Kita akan keluar sama-sama bodoh!”

Faisal menggelengkan kepalanya kuat-kuat, ia sudah tidak sanggup lagi. Kepalanya pusing, badannya sakit, kakinya lemas. Pikirannya sudah tidaklah fokus.

“Mama! Mama ngga akan meninggalkanmu sendiri! Mama bisa gendong kamu! Faisal! Anakku tidak boleh terluka!”

Anak ya? Entah kenapa Faisal merasa senang mendengarnya

“Anak… Mama… ya?” gumamnya sembari tersenyum.

Pandangannya tidaklah lagi fokus dan Alex mengerti bahwa Faisal tidak bisa pergi lebih jauh dari ini. Dengan susah payah ia menghalangi Tamara yang ingin menjangkau sosok Faisal.

“AYO KITA KELUAR!”

“Tidak! Anakku juga harus ikut! Faisal juga harus ikut!”

Faisal ingin terus mendengarnya, mendengar sang Ibu akhirnya mengakui dirinya. Tanpa sadar air mata pun menetes dari sudut mata kirinya. Namun, Faisal masih berusaha untuk tersenyum walau ada sedikit bekas darah di sana.

“Mama… sayang… Faisal…?”

Entah kenapa justru kalimat itu yang terlontar dari ucapannya, tentu saja hal tersebut membuat Tamara berteriak mengaung dan berulang kali meminta maaf padanya.

“Mama… mama… sayang sekali sama Faisal! Anakku! Harus selamat! Faisal harus selamat!”

Maaf maaf dan maaf

Kenapa Tamara harus meminta maaf? Itu pikir Faisal. Toh baik dirinya atau Tamara tidak bisa memilih siapa orangtua dan anak yang berhak untuk satu sama lain kan? Takdir mempermainkan mereka dengan begitu lucu.

Alex masih berusaha keras untuk menyelamatkan Tamara walau tangan wanita itu masih terus berusaha menggapai sosok Faisal yang berdiri mematung sembari memegangi lukanya.

“Aku… sayang…-“

Dor!

“-ma…ma..,”

Satu tembakan peluru tepat pengenai kepala Faisal dan menembusnya, membuat lelaki itu jatuh tergeletak bersimbah darah dengan tangan yang berusaha menggapai udara kosong sebelum akhirnya terkulai lemas.

Mata Tamara terbelalak terkejut melihat pemandangan di hadapannya.

Gagal?! Gagal?! Apakah pada akhirnya dia gagal melindungi anaknya sendiri?! Padahal sudah begitu dekat!

❄️❄️❄️

Jangan menangis… aku tidka pernah membenci kalian…

Dan aku sudah memaafkan kalian

❄️❄️❄️

Faisal tidaklah membenci Fani dan Tamara

Ia membenci dirinya sendiri yang masih teramat mencintai keluarganya terlepas takdir jahat diantara mereka

❄️❄️❄️

“…ma…af…” ujarnya sebelum hembus nafas terakhirnya dan tidur panjangnya di dalam senyuman.