———
Rena masih duduk termenung dengan pandangan kosong. Sudah hampir seminggu dirinya dirawat penuh oleh staff kerajaan Jaya. Sejak kejadian itu ia masih mengingat betul bagaimana teriak histerisnya, rasa takutnya, bagaimana ia tidak bisa memejamkan mata dengan tenang. Hanya dalam semalam saja, dunianya terbolak-balikkan dan porak-poranda.
Walau dokter yang menanganinya mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja (bersyukur karena Faisal bisa menemukannya lebih awal sebelum mimpi buruk ya) tapi Rena masih mengingat trauma dan rasa takutnya. Walau semua baik-baik saja bagi Rena sejak kejadian itu maka dirinya tidaklah baik-baik saja.
Dipeluknya tubuhnya erat-erat, ia masih ingat tangan itu, seringai yang mengerikan serta bagaimana gaunnya disobek… tubuhnya bergetar hebat… Rena menangis sesenggukan dalam diamnya.
Pintu kamarnya terbuka, dengan air mata yang masih mengalir dan raut wajah berantakan Rena berusaha menoleh. Diusapnya dengan kasar wajahnya saat mendapati sosok wanita dengan gaun elegan berwarna merah diiringi dayang-dayang dibelakangnya memasukki kamarnya. Himbauan seketika tersebar di kamarnya.
Sang Ratu telah datang
Dengan tergopoh-gopoh Rena pun berusaha memberikan penghormatan yang layak.
Wanita itu, mengisyaratkan pengawalnya untuk keluar meminta agar hanya ia dan Rena saja yang berdua di sini. Sang Ratu pun berjalan dan menduduki dirinya di atas dipan milik Rena.
“Duduklah, tidak perlu formal begitu padaku, lagipula kamu adalah adik iparku,”
Sejujurnya Rena masih tidak percaya dan tidak mau mempercayainya kalau ia ada hubungan dengan kerajaan Jaya.
“Tidak apa-apa kalau kamu ingin menangis Indy…, posisimu sekarang sangatlah berat…, menangislah, berteriaklah, marahlah…,” ujar sang Ratu.
Mendengarnya justru bukan menenangkan Rena, gadis itu justru semakin menangis dan berteriak meraung-raung, tangisan yang sangat memilukan. Wanita yang lebih dewasa itu pun mendekat, memberikan kehangatan melalui pelukan untuk Rena yang masih tersedu-sedu.
“Bajingan! Biadaaaap! Apa salahku?! Kenapa aku harus mendapatkan ini semua?! Haaaah?!!”
Kembalikan, kembalikan hidup Rena yang biasa-biasa saja, kembalikan hidup Rena yang hanya ada dirinya, Bunda, dan kesehariannya membuat roti dan pastry.
Rena membenci dirinya, ia membenci dirinya yang tidak bisa menjaga dirinya sendiri, membenci dirinya yang telah kehilangan martabatnya sebagai perempuan. Dijambaknya rambutnya berulang kali membuat sang Ratu sedikit kewalahan untuk menghentikannya.
“Rena?! RENA!”
Ditangkupnya kedua pipi gadis itu, wajahnya begitu berantakan, binar mata gadis itu meredup hilang sejak malam itu. Sungguh gadis yang malang, padahal dari foto-foto yang dikirimkan Faisal, Rena sebelumnya adalah gadis periang yang lugu.
“Jangan melukai dirimu lebih dari ini…,” pinta Siska.
“Untuk apa aku masih hidup… aku sudah rusak… kotor… ternoda…,”
“Karena kamu memang pantas untuk hidup Rena!”
Gadis itu hanya tersenyum getir, untuk trauma yang didapatkan gadis itu memang cukup sulit meyakinkan dan menyadarkannya. Siska hanya bisa memberikannya pelukan dan dukungan. Ia sudah sering melihat wajah remaja dan anak kecil sama putusnya seperti Rena.
“Rena… jangan salahkan dirimu sendiri… ingatlah bahwa kamu berharga untuk orang lain… bahwa ada orang yang masih menerimamu… ada orang yang berjuang untukmu…,” hiburnya
“Maaf… maaf karena kamu harus mengalami ini semua… maaf karena datang terlambat… apapun itu… kamu berharga… jadi jangan pernah berpikir kamu tidak layak hidup…,” ujar Siska sembari memeluk Rena, gadis itu tidak bisa untuk tidak berhenti menangis. Ia ingin menolak semua ucapan sang ratu. Semua hiburan yang tidak ingin ia dengar.
Sang Raja telah tiba!
Pintu kamarnya kembali terbuka, menampilkan sosok agung yang hanya Rena lihat di koran-koran. Tetapi entah mengapa emosinya seketika memuncak dan meletup-letup. Karena dia, karena dia kehidupannya seketika berubah.
“Pergi! Pergi! PERGI! Karna kamu! Karna kamu hidupku berubah! Apa urusanmu sampai menyeretku?!!” seru Rena histeris.
Namun sosok itu tidak bergeming, Siska masih berusaha untuk merengkuh Rena dan menenangkannya. Sang Raja pun berjalan mendekat, sedikit membungkuk sebelum kemudian merengkuh kedua wanita tersebut.
Mata Rena membulat tidak percaya, ia ingin memberontak namun seketika terhenti saat mendengar isak tangis seorang lelaki.
“Maaf… maafkan kakak… maafkan kakak tidak bisa melindungimu… Indy…,”
———
Dulu, Jaya dan Adamar adalah dua kerajaan yang hidup damai dan tentram. Mereka memiliki hubungan diplomatis yang sangat sehat terlepas perbedaan visi dan cara pandang dalam memimpin bangsa mereka.
Hubungan diplomatis mereka terasa semakin harmonis dan dekat saat masa kepemimpinan Raja kedua dari kedua belah pihak, Eka dan Seno. Kedua raja tersebut secara optimis dan memandang hubungan diplomatis yang baik akan membawa masa depan yang baik kepada dua belah pihak.
Mereka pun bekerja sama untuk membangun kerajaan, menyelesaikan konflik daerah-daerah sekitar bahkan secara terbuka memberikan dukungan baik berupa supply persenjataan atau pengakuan terbuka bagi kedua belah pihak.
Namun, semua berubah sejak wafatnya Raja dari keluarga Jaya, Eka, yang menjadi pukulan berat bagi pihak Jaya. Mengingat raja pertama Jaya sudah terlalu uzur untuk naik kembali ke tahta kerajaan dan pangeran Indra usianya saat itu masih sangatlah muda.
Pangeran Dwi yang kemudian naik tahta menggantikan sang kakak. Kepemimpinan tidak kompeten yang menghancurkan hubungan diplomatik kedua kerajaan tersebut.
Surat kabar Bintang Emas juga saat itu membuat pemberitaan yang cukup menggemparkan dan menyebabkan hubungan diplomasi antara kedua kerajaan pun memanas. Bahwa Adamar adalah dalang dibalik kematian Eka. Kebencian Dwi kepada kerajaan Adamar pun semakin bertambah manakala terdengar kabar simpang siur terkait penculikan Pangeran dan Putri Jaya dilatarbelaiangi oleh Adamar yang kemudian menewaskan Putri kerajaaan.
Sejak saat itulah hubungan antara Jaya dan Adamar semakin memburuk, kerajaan Jaya kehilangan kepercayaan di mata publik dan mengalami kemunduran. Sejak kenaikkan tahta Pangeran Indra secara perlahan Raja muda tersebut membangut reputasi Kerajaan Jaya sembali, dan menjalin hubungan diplomatis salah satunya adalah menjalin pernikahan dengan putri bungsu kerajaan Adamar.
Walau pada mulanya pernikahan mereka dikecam tetapi saat ini hubungan diplomatis antara Jaya dan Adamar mulai membaik. Meskipun demikian masih ada pihak-pihak yang ingin membelot dan melakukan pemberontakan. Salah satunya adalah Jati dan Bobby yang sengaja diutus untuk mencelakakan Rena dan menyebarkan isu terkait perselingkuhan sang Raja.
“Identitasmu, sebagai putri Jaya masih disembunyikan. Karena kami memiliki dugaan bahwa semua yang terjadi bahkan kematian Raja Eka adalah adu domba dari pihak ketiga,” jelas Indra saat Rena sudah sedikit tenang.
Dari cerita sang Raja sepertinya Rena sudah bisa menarik benang kesimpulan, temtang kondisinya, tentang peliknya konflik kerajaan yang bermuara pada semua masalah yang menyerang dirinya.
Rena masih tidak percaya, hanya mendengar ceritanya saja maka kehidupan Rena saat itu sudah berbeda seratus delapan puluh derajat. Rena, sudah bukan lagi Rena sang penjual roti lagi.
Malam itu Siska dan Indra meninggalkan Rena seorang diri, atas permintaan sang adik. Ia perlu waktu untuk menenangkan dirinya sendiri. Untuk menenangkan pikiran dan memikirkan dirinya sendiri.
Padahal hari itu sebelum kejadian Rena hanya ingin membuatkan pie stoberi untuk Faisal, siapa sangka orang yang ia tolong dan temui di persimpangan gang nyatanya adalah komplotan penjahat dari awal mula mimpi buruknya?
Rasanya Rena ingin menangis lagi. Ia jadi merindukan sang bunda dan hidupnya yang biasa-biasa saja. Tapi meratapi hidupnya juga bukanlah pilihan, lebih baik dirinya beristirahat sehingga besok ia dapat menjernihkan pikirannya.
———
“Kak Siska?”
“Ah? Kamu sudah bangun?”
“Eum…”
Gadis itu terlihat malu-malu dari balik pintu kamarnya selama tinggal di kerajaan beberapa hari terakhir. Jujur saja, tempat ini bukan rumahnya, banyak orang-orang asing yang tidak ia kenal dan tidak membuatnya nyaman. Rasanya seperti ia tidak layak mendapatkan semua ini. Tapi dirinya juga tidak enak jika harus mendekap terus di kamarnya, rasanya sesak.
“Huh?!”
Rena bergedik ngeri saat melihat sosok lelaki bertampang sangar dibalik Siska. Wanita itu rasanya mengerti sumber ketakutan sang gadis dan menyuruh Doni untuk berhenti membuat wajah menyeramkan.
“Maafkan aku atas ketidaksopanannya, perkenalkan dia adalah Doni, pengawal setiaku,” jelas Siska.
Dengan gemeteran Rena berusaha untuk mengulurkan tangannya, jujur ia masih merasa takut dengan orang asing… khususnya laki-laki… tapi Doni hanya mendecih melihat gelagat gadis itu.
“Doni, sepertinya Rena tidak nyaman dengan kehadiranmu, kamu bisa tinggalkan aku sendiri. Lagipula kita sudah selesai menengok Faisal kan? Kamu bisa pergi,”
“Baiklah,”
Rena pun melihat lelaki itu melenggang pergi. Sementara Siska tersenyum manis ke arah Rena, mendengar ucapan Siska barusan Rena jadi teringat, bagaimana kondisi Faisal? Terakhir ia jatuh pingsan dalam dekapan lelaki itu. Apa Faisal baik-baik saja?
“A-anu… kak Siska… kondisi monsieur… bagaimana?”
Senyum Siska pun hilang diganti raut wajah sedih, namun sosoknya masih berusaha untuk tersenyum walau nampak getir.
“Kondisinya tidak baik…, sudah hampir seminggu ia tidak sadarkan diri…,”
Matanya terbelalak tidak percaya… Rena tidak mengingat apapun selain Faisal yang menyelamatkannya, haruskah… haruskah karenanya Faisal juga menderita? Ia mengigit bibir bawahnya gelisah.
“Eeeh… jangan digigit bibir bawahnya… nanti luka,” pinta Siska. Wanita itu menghela nafas pelan melihat sosok adiknya yang nampak lesu dan berantakan.
“Kamu mau ikut aku ke tempat Faisal?” tawarnya.
———
“Loh Siska? Kesini lagi?”
“Kamu ini benar-benar ngga ada sopan-sopannya ya sama Ratumu sendiri”
Decak Siska saat ia baru kembali ke ruang kamar Faisal dan di sambut dengan sang dokter berambut jingga yang senantiasa memonitor kondisi lelaki itu. Jika di luar kerajaan pasti dokter nyentrik tersebut telah dijebloskan ke dalam penjara karena lagaknya yang tidak sopan. Tetapi lingkungan internal kerajaan Jaya dan mereka yang saling mengenal satu sama lain meleburkan batasan strata sosial di antara mereka.
“Oh? Hai Rena!” sapa sang dokter dan Rena pun mengangguk pelan sebagai jawaban.
Namanya adalah dokter Romi, dokter pribadi keluarga Jaya dan yang selama ini membantu merawat dan menangani kondisinya, itulah sebabnya reaksinya tidak setegang saat bersama Doni yang baru saja ia temui hari ini karena ia sudah cukup sering bertemu dengan Romi.
“Oh? Rena mau menengok Faisal ya? Sayangnya dia masih belum sadar hingga hari ini,” jelas Romi seakan dapat menebak maksud dan tujuan gadis itu. Entah kenapa mendengarnya membuat Rena sedikit sedih.
Tetapi, Romi sepertinya dapat membaca gelagat sang gadis itu pun berkata bahwa mereka berdua dapat menemani dan mengawasi kondisi Faisal karena Romi harus pergi. Ia ingin membeli bahan obat-obatan yang mulai menipis.
Setelah kepergian dokter Romi, Rena pun mengambil duduk tepat di sebelah ranjang Faisal, sementara Siska merapikan vas bunga yang selalu nampak segar di kamar lelaki itu.
Diperhatikannya sosok Faisal yang tengah tidak sadarkan diri dengan seksama, lelaki itu nampak damai dalam tidurnya, nafasnya naik turun secara teratur. Tangan Rena pun tergerak untuk mengelus surai keabuan milik Faisal, membersihkan anak-anak rambut yang menghalangi wajahnya.
“Kita harus bersyukur karena tembakan itu meleset sehingga tidak mengenai organ vital milik Faisal terlalu dalam. Jika sedikit saja maka kita bisa kehilangannya,” jelas Siska membuat Rena semakin mengeratkan genggaman tangannya. Ini salahnya.
“Sejujurnya aku tidak tega dengan kondisinya sekarang, tetapi entah mengapa, melihat Faisal bisa tertidur lelap seperti ini membuat hatiku merasa damai… aku mengenalnya sejak ia masih kecil, dia selalu kesulitan tidur… dan mungkin dengan begini ia bisa beristirahat sejenak,”
“Eh? Kak Siska mengenal monsieur sejak kecil?” tanya Rena. Sejujurnya ia tidak terlalu tahu menahu tentang tuan di hadapannya selain pekerjaan dan kebaikan hatinya selama ini.
Baginya Faisal adalah sosok yang berharga, teman pertamanya dan orang yang penting baginya. Tetapi, mendengar cerita Siska barusan entah mengapa kedekatannya bersama Faisal bukanlah berarti apa-apa. Ia masih merasa jauh dan tidak mengenal sosok yng selalu ada untuknya itu.
“Huum, Faisal sudah bersama denganku sejak ia kecil… ah kalau kamu sudah pernah menonton opera Faisal kamu harus tahu kalau opera itu berisikan anak-anak yatim piatu yang diurus olehku, dan Faisal termasuk ke dalam salah satu anggota panti asuhannya,”
———
Siska masih ingat betul saat pertama kali ia menemukan sosok Faisal remaja yang tergeletak tidak berdaya di setapak jalan perbatasan negeri Jaya dengan Sindari.
Sosok anak kecil berpakaian lusuh, kurus, dan tidak sadarkan diri. Tergeletak tidak berdaya. Siska yang saat itu tengah berjalan-jalan pun dengan segera menolong Faisal dan merawatnya.
Selama beberapa bulan pertama Faisal enggan untuk berbicara, anak itu sering kali terlihat tidak fokus dan tiba-tiba histeris. Pengawal yang mendampingi Siska menduga bahwa anak itu adalah korban kekeran yang kabur dari rumah. Hal tersebut dapat dibuktikan dari luka-luka lebam yang mengering di tubuhnya.
Faisal jarang berbicara ataupun bercerita, makanan yang diberikan pun jarang sekali disentuh oleh anak itu. Sering kali Faisal menangis setiap malamnya. Hingga suatu ketika saat tengah malam, Siska mendapati Faisal yang tengah memandangi sebuah keranjang stroberi di meja makan markasnya.
Kamu mau ini?
Faisal hanya mengangguk pelan tidak menjawab. Siska yang mengerti pun mengambilkannya untuk Faisal, membuat lelaki itu kebingungan tidak mengerti
———
“Saat itu, Faisal bertanya apakah ia boleh memiliki satu buah stoberi yang aku berikan dan memakannya. Aku tentu saja mengizinkannya dan aku bilang kalau sekarang dia mau makan bisa langsung ambil atau bilang, dan kamu tau jawabannya apa?”
Aku… tidak pernah dibolehkan makan kalau bukan tengah malam… dan aku tidak bisa memilih makanan apa yang bisa ku makan… biasanya aku hanya mendapat makanan sisa atau mendekati basi…
Jelas Siska dengan nada pilu. Saat itu, Faisal hanyalah anak lugu yang kabur dari rumahnya. Bahkan hingga sekarang walau ia membesarkan Faisal ia masih belum mengenal dan mengetahui masa lalu lelaki itu.
Siska pun melanjutkan ceritanya, menanyakan tentang rumah Faisal, dan alasannya kabur dari rumah. Faisal justru bertanya balik tentang rumah dan maksud dari rumah karena selama ini ia tidur di ruangan dengan dinding beton yang minim pencahayaan.
Tapi tempat itu tidak terlalu buruk kok karena setiap malamnya aku bisa melihat sinar bulan… bulannya cantik… aku suka!
“Sejak saat itu aku mengangkat Faisal jadi anak opera dan aku ingat betul bagaimana Faisal begitu senang saat aku bilang opera ini adalah rumahnya,”
Rena tidak bisa bereaksi apa-apa. Semua cerita yang ia dapatkan hari ini terlalu tiba-tiba. Dirinya masih tidak bisa mempercayainya.
Ia tau kalau Faisal sangat menyukai seni peran dan operanya. Faisal sangat menikmati waktunya bersama rekan-rekan operanya. Tetapi ia tidak pernah tau jika itulah alasannya. Ia kira Faisal menyukai pekerjaanny sama seperti ia yang menyukai aroma manis dari roti-roti yang dibuatnya.
“Kak Siska…”
“Ya?”
“Boleh… tinggalkan aku dan monsieur sendiri…?”
Siska mengangguk paham, sesuai permintaan Rena. Ia pun meninggalkan kamar Faisal saat Rena memintanya. Gadis itu dengan keras kepala bilang bahwa ia ingin menjaga Faisal seorang diri. Selayaknya yang selama ini Faisal lakukan untuknya.
———
Diperhatikannya lamat-lamat wajah Faisal yang terlelap dalam damai, membuat Rena tersenyum miris. Pada akhirnya yang kira ia telah cukup dekat nyatanya Rena masih buta dan tidak tahu menahu akan sosok lelaki itu.
Tetapi yang jelas, sama seperti Faisal yang senantiasa melindunginya maka mulai dari sekarang Rena pun akan berusaha melindunginya.