komoyi

just me and my loving komori hours, heavily post sunakomo

☘️☘️☘️

“Waah Rena! Kamu manis banget! Cocok banget!”

Gadis itu tidak bisa menyembunyikan wajah sumringahnya saat Fani memuji penampilannya saat ini. Sejak diberi tahu bahwa liburan mereka kali ini akan pergi ke taman bermain, Rena sudah mempersiapkannya, bahkan dengan baju terbaiknya karena momen inilah yang ia tunggu-tunggu dan mendengar pujian langsung akan penampilannya saat ini tentu saja membuat perasaan bahagia dalam dirinya itu pun seketika membuncah.

“Makasih kak! Sebenarnya aku sedikit tidak pede tapi mendengar pujian dari kak Fani aku jadi senang!” ujarnya.

“Heee, kenapa ga pede? Kamu cantik kook, ya kan Sis? Rena cantik ya pakai kayak gitu?”

Siska yang sendari tadi sibuk di depan cermin kamar itu pun seketika menoleh, memperhatikan Rena dengan seksama. Gadis itu tampak manis dengan balutan rok selutut dihiasi motif bunga-bunga berwarna kuning dan coklat muda tersebut, tidak pula dipadu dengan atas sabrina lengan panjang berwarna putih.

“Cantik! Cocok banget buat gayamu Ren!” puji Siska, Rena pun hanya terkekeh kecil mendengarnya.

“Oh iya Rena, mau aku bikin look kamu lebih lengkap gak?” tawar Fani sembari mengedipkan matanya, Rena masih tidak paham tapi ia pun mengalah dan mengikuti Fani yang menyuruhnya duduk di hadapannya.

“Hehe akhirnya aku keturutan buat dandanin kamu deh!”

Dengan cekatan, jemari Fani sexara lihat mendandani wajah Rena, layaknya melukis dinatas sebuah canvas, Fani dengan telaten mendandani gadis itu, menyempurnakan penampilan Rena dengan make up natural yang cocok dengan kepribadian Rena agar gadis itu makin manis dan menawan.

Selama Fani sibuk dengan dirinya, Rena sesekali mencuri pandnag ke arah Siska yang masih sibuk di depan cermin rias mendadndani dirinya sendiri.

“Aku baru tau kalau kak Siska bisa dandan,” celetuk Rena, mengundang kekehan kecil dari Siska.

“Kenapa kamu berpikir seperti itu? Apa karena aku kurang feminim?”

“Tidak, bukan seperti itu maksudnya kak! Cuma kaget aja… gimana ya bilangnya…”

“Haha aku paham, tapi aku emang suka dandan kok! Jadi cewe tangguh bukan berarti menghilangkan sisi feminimku. Ibuku adalah tipikal orang yang sangat peduli akan penampilannya, seperti Fani, jadi aku sudah diajari dandan dari beliau sejak remaja,”

“Tapi terlepas dari itu semua, aku juga perempuan yang suka kalau penampilanku dipuji! Hahahaha”

“Nah sudah! Siskaaa coba liat deeeh Rena manis bangeeet!!”

Fani sendari tadi tidak bisa berhenti menutupi kegirangan dan kebahagiannya, ia seperti baru saja membesarkan seorang anak gadis, dan dirinya oun tudak henti-hentinya memuji penampilan Rena.

“Wah Ren! Cocok banget dandanmu ini! Kamu keliatan lebih fresh!” imbuh Siska.

Rena pun menatap tampilan dirinya dalam cermin, ia tidak berubah terlalu banyak. Namun, dirinya sendiri masih tidak menyangka akan sosok dalam pantulan cermin tersebut adalah dirinya… jujur saja ia sangat pangling…

“A-aku ngga berubah banget kan…? Maksud aku… ngga aneh kan… uuh… aku jarang pakai make up…”

“Cantiik kok Reeen! Kalau ada yang bilang jelek berarti mereka buta. Udaah ayo dong yang pede! Btw ayoo sebelum berangkat kita girls selfie dulu yuuk” ajak Fani, gadis itu pun dengan sigap merangkul Rena dan mengeluarkan ponselnya saat Siska sudah mulai mendekat.

Cheese!

☘️☘️☘️

“Halo,”

Hal pertama yang Rena lihat dan temui tepat setelah ia membuka pintu kamarnya adalah Faisal yang tengah berdiri sambil melipat tangan di depan kamarnya sembari melihat kelakuan Romi dan Rudy… yang… tunggu-apa yang dilakukan dua orang itu?

“Faisal? Itu… mereka ngapain?” tanya Fani sembari melihat ke arah Romi dan Rudy, “Katanya sih lagi ngecek parameter usia tulang… tapi aku sebenarnya juga heran… btw kalian udah siap? Daritadi nunggu kalian,”

Fani, Rena, dan Siska pun hanya bisa saling tatap satu sama lain, sedikit mereasa bersalah karena mereka keasikan dandan sampai lupa ada para lelaki yang bersiapnya kurang dari sepuluh menit.

Dari tempatnya ia berdiri Rena memperhatikan Faisal dengan seksama, lelaki itu tidak bergeming sama sekali dari posisinya, berdiri sambil melipat kedua tangannya. Sebenarnya tidak ada yang berubah dari penampilan Faisal saat ini, justru lelaki itu bergaya tidak jauh beda dari dirinya biasanya, hanya saja lebih casual dengan turtleneck putih yang dibalut blazer hitam dan dipadu dengan celana kain berwarna binge.

Tapi bagi Rena, setelan Faisal saat ini memberi nuansa baru untuk lelaki itu, apalagi rambut yang tidak terlalu dibuat klimis selayak ya yang biasanya lelaki itu lakukan. Faisal jadi tampak lebih… segar ?? yang jelas penampilannya tidak memberikan kesan dewasa seperti biasanya namun tetap pantas untuk kesehariannya apalagi ini pertama kalinya ia melihat Faisal dalam warna-warna kalem seperti itu, biasanya lelaki itu hanya memakai pakaian berwarna gelap atau mentok berwarna biru.

Tanpa sadar ia sudah menatap Faisal terlalu lama sampai lelaki itu menyadarinya, di saat mereka saling bertukar pandang entah kenapa Rena tidak dapat bereaksi normal, padahal lelaki itu hanya melambaikan tangannya pelan dan bertukar sapa.

Apa Faisal tidak ingin berkata yang lain? Atau berkomentar?

Entah kenapa Rena merasa sedikit kecewa.

☘️☘️☘️

“Wah! Rena kamu dandan? Lucu banget sih!”

“Ah? Ahaha iya pak Romi! Mumpung ada kesempatan kayak gini… makasih juga buat kak Fani yang udah dandanin aku,”

“Kenapa dandan-dandan gitu norak deh,”

“Huuuuuhhhh….”

“SINI AKU YANG DANDANIN KAMU BIAR GA KAYAK GEMBEL SEHARI!”

Rena pun hanya terkekeh kecil melihat kelakuan Fani dan juga Dadang, ini mengingatnya saat dulu masih awal-awal menjadi tenant kosan. Diki memang tipikal ornag yang tidak bisa jujur dalam memuji orang ataupun mengungkapkan isi hatinya dan saat itu Rena baru saja selesai memotong poninya (dengan bantuan Fani tentu saja) dan Diki mengatakannya tidak cocok sampai menyuruhnya botak. Tapi saat itu ada Faisal yang datang menghinburnya.

Kedua sahabat itu memang saling berkebalikan… tapi jika kondisinya saat ini, apakah Faisal akan benar-benar memujinya atau hanya berusaha menghiburnya? Walaupun selama ini Faisal selalu ada untuk mendampingi dan membimbingnya, ia masih belum bisa begitu mengerti apa yang dirasakan oleh lelaki itu sebenarnya… lelaki itu terlalu pintar menyembunyikan perasaannya sendiri.

flash

“Eh apa itu?”

Fokus Rena teralihkan ke arah cahaya flash tersebut, didapatinya Faisal tengah berdiri tidak jauh dari posisi mereka sembari mengarahkan kamera analog. Lelaki itu tersenyum kecil.

“Wah! Itu kamera analog! Ayo ayo foto bareng aja sekalian, Siska sini-sini Faisal bawa kamera!” ajak Fani tiba-tiba membuat Faisal sedikit keheranan, “Jadi aku tiba-tiba jadi tukang foto gitu?”

“Ya habisnya daripada kamu foto diem-diem mending sekalian fotoin kita rame-rame!”

Tanpa diduga semuanya sudah berkumpul dan bergaya di hadapannya yang tengah memegang kamera, baik itu Diki, Romi, Rena, Fani, Budi, Sembilan, Siska, Doni, hingga Sembilan… tapi sepertinya ada yang kurnag…

“Pak Presdir, kak Rizal, sama pak Agus ga ikut?” tanya Rena yang seketika membuat semua fokus teralih pada tiga orang tersebut.

“Indra, gondrong, sama pak Agus ayo juga ikut foto,” ajak Faisal yang tentu saja membuat Rizal kesal, tetapi Indra menengahi mereka dan mengajak untuk segera bergabung.

“Satu… dua… tiga!”

Cheese!

☘️☘️☘️

“Wah… gini dong kembaran baju, kalian jadi keliatan kalo anak kembar,”

Saat ini mereka telah memasuki taman bermain, saling berbincang santai sambil menikmati perjalanan mereka. Beberapa orang telah membentuk kelompok sendiri, dengan siapa mereka rasa nyaman untuk mengobrol satu sama lain, seperti saat ini dengan Rena dan Fani yang tengah berjalan bersama Faisal dan Romi.

Mendengar celotehan Romi tersebut tentu membuat Fani dan Faisal saling bertukar tatap satu sama lain… benar juga! Pakaian mereka saat ini mirip! Sama-sama mengenakan turtleneck meskipun Fani dengan warna gelapnya.

“Foto dulu dong kalian! Jarang-jarang kan kalian punya foto bareng?” usul Romi membuat kembaran tersebut saling bertukar pandang satu sama lain. Faisal pun berjalan ke arah Romi untuk memberikan kamera analognya.

“Tolong ya Rom, tinggal lihat disini terus pencet ini ya,” jelas Faisal

Romi yang telah mengerti pun mengintruskikan mereka berdua dan sengan aba-abanya satu foto berhasil diabadikan diantara kedua saudara tersebut. Dari tempatnya berdiri Rena dapat melihat wajah Fani yang berbinar cerah, ia bersyukur karena ada liburan ini Fani dan Faisal punya waktu untuk perlahan memperbaiki hubungan mereka.

☘️☘️☘️

Hari ini mereka full bersenang-senang, begitu pula dengan Rena. Untuk pertama kalinya ia mencoba wahana-wahana menegangkan namun juga menyenangkan, adrenalinnya berpacu tapi ia tidak merasa takut. Mungkin karena ia menghabiskan waktunya dengan orang-orang yang membuatnya nyaman dan orang-orang yang ia sayangi, menjadikan setiap momen ini berharga.

Terkadang ia menoleh ke arah Indra, kakaknya, yang sampai saat ini hubungan persaudaraan mereka masih disembunyikan dari beberapa anggota tentunya, mengajak Indra untuk bergabung dan bersenang-senang bersama tapi sepertinya kakaknya itu sudah cukup dengan berjalan-jalan dan mencari udara segar.

Namun, berbeda dengan Faisal, sama seperti Romi, lelaki itu tampak sama antusiasnya menaiki berbagai jenis wahana bersama Siska dan Doni yang sepertinya tujuannya adalah untuk mencoba menaiki seluruh wahana yang ada.

“Sepertinya kamu bersenang-senang, kakak turut senang,”

“Iya kak! Hari ini asik banget tapi sayang aku ngga punya tenaga seperti kak Siska ataupun kak Doni jadi ga bisa naik semua wahana,”

Saat ini Rena tengah berkumpul dan sedikit mengistirahatkan diri, berpisah dari yang lainnya, menghabiskan waktu dengan keluarganya dalam pengawasan Rizal dan juga pak Agus.

“Aku cukup kaget dengan si tengil itu… ternyata dia cukup menikmatiya…, kukira dia tipikal prang kaku modelan kamu,” celetuk Rudy sembari menyindir Indra membuat yang paling tua di antara mereka terkekeh kecil.

“Faisal itu…, memang sebenarnya punya kepribadian yang ceria…, hanya saja masa kecilnya membuatnya menjadi Faisal yang kalian kenal sekarang…,”

Indra tidak lanjut bercerita, hanya sedikit memberitahukan apa yang ia tahu tentang anak didiknya tersebut. Membuat Rena sedikit bertanya, apa yang membuat seseorang dapat berubah seperti itu? Tapi ia tidak meminta Indra bercerita lebih lanjut, masalah seperti ini akan lebih baik jika ia dapat mendengar penjelasan langsung dari Faisal.

“…aku…, sepertinya sedikit mengerti,” imbuh Rudy, membuat kedua kaka beradik itu bergantian mengalihkan fokusnya ke arah lelaki tersebut.

“Ingatanku ini sedikit samar, tapi aku pernah dalam posisi mabuk mengunjungi kosanmu itu dan Faisal adalah orang yang melindungiku dan membantuku selama ini… ia meminta maaf padaku, dan mengatakan bahwa posisi kita tidak jauh berbeda…,”

Rudy menghela nafas sebentar, ekspresinya berubah menjadi kesal sejenak.

“Tapi setelah mendengar penjelasanmu tersebut aku jadi sedikit paham…, sepertinya dia punya masa kecil yang cukup berat…,”

“Yah…, begitulah…,”

☘️☘️☘️

Perasaannya hari ini sedikit campur aduk, walau tidak dapat dipungkiri hari ini dirinya begitu senang tapi ada beberapa hal yang membuatnya sedikit sedih ataupun kecewa.

Fakta bahwa Faisal tidak berkomentar apa-apa tentang dirinya membuatnya kesal dan kecewa. Namun perasaan itu berganti dengan rasa sedih saat dirinya mengobrol dengan Indra dan Rudy, Rena kira hubungannya dengan Faisal sudah cukup dekat untuk memahami dan mengerti akan lelaki tersebut tapi nyatanya yang ia tau hanyalah permukaannya.

Dirinya jadi teringat saat ulang tahunnya Faisal mengatakan berbagai hal-hal buruk tentang dirinya, bagaimana jika selama ini memang Faisal merasa sedih dan terpuruk tapi berusaha menutupinya agar membuat orang-orang tidak khawatir dengannya?

Ia jadi merasa seperti orang yang buruk karena tidak memvalidasi perasaan Faisal tersebut, apa mungkin seharusnya ia lebih mendengarkan Faisal?

Rena terlalu larut akan lamunannya dan tidak menyadari sebuah benda dingin yang tiba-tiba menempel di pipi kanannya, sedikit tersentak ia menoleh ke arah pelaku yang menaruk benda tersebut.

“Faisal?!”

“Oh? Benar kan melamun, aku kira kamu capek tapi karena kamu tidak menjawabku jadinya aku pikir ada sesuatu yang mengusikmu, ada apa?”

Hahaha, tidak mungkin kan ia bilanh kalau yang mengusiknya karena dirinya khawatir tentangnya?

“Engga kok, gapapa, aku cuma sedikit lelah,” ujarnya.

“Bohong,”

“Eh?”

“Sepertinya pembicaraanmu dengan Indra dan Rudy cukup mengusikmu, setelah dari mereka kamu jadi murung begini,”

Ah… ternyata Faisal sudah menyadarinya ya? Untuk sementara waktu mereka saling berdiam diri, berjalan saling beriringan namun tanpa sepatah kata pun.

Faisal juga sepertinya menghargai Rena dan kekhawatirnya, ia tidak memaksa gadis itu untuk bercerita lebih lanjut jika memang apa yang mengusiknya tidak perlu ia ketahui. Dirinya belajar dari pengalaman dari bagaimana Faisal dulu selalu memaksa Rena untuk bercerita kepadanya, saat ini dia lebih memilih untuk menunggu gadis itu menceritakannya sendiri jika memang gadis itu cukup percaya padanya.

Keheningan diantara mereka cukup menyesakkan, Rena menghala nafas pelan.

“Aku mau beli es krim dulu ya!” ujarnya. Meskipun gadis itu berusaha mati-matian untuk kabur tapi Faisal tau Rena saat ini tengah menghindarinya.

☘️☘️☘️

“Uh… yang vanila atau coklat ya?”

“Kalau kamu bingung bisa beli dua-duanya kok. Bu, beli es krim coklat vanilanya satu sama es krim vanila satu ya,”

“Baik~”

“Faisal?! Sejak kapan?”

“Daritadi, aku cukup khawatir melihatmu, daritadi kamu murung,”

Rena ingin beralasan tapi sepertinya mata lelaki itu terlalu teliti.

“Ini es krimnya, mbaknya juga jangan murung terus ya itu pacarnya sampai khawatir, apalagi sekarang sedang ada di tamam bermain sudah seharusnya kalian bersenang-senang,” hibur sang ibu penjual es krim yang entah kenapa sukses membuat Rena merona.

“Ah-! Dia bukan pacar saya bu…,”

“Ahaha makasih ya bu doa baiknya,”

Faisal menyerahkan beberapa lembar uang untuk membayar dua cone eskrim tersebut. Menyerahkan es krim cokelat vanila kepada Rena dan mengambil miliknya.

“Doa saya selalu sama mas untuk setiap orang yang mengunjungi taman bermain ini, semoga kebahagiaan selalu menyertai mereka seperti saat mereka memasuki taman bermain ini,”

Ucapan yang sederhana namun juga menenangkan hati. Hati Rena begitu tersentuh dengan ketulusan ibu tersebut. Dilihatnya Faisal yang sendari tadi diam mematung, ekspresinya tidak bisa ia baca sebelum akhirnya lelaki itu tersenyum simpul.

“Terima kasih banyak bu,”

☘️☘️☘️

Ucapan sederhana yang sukses membuatnya tersentuh dan merenung, seharusnya ia tidak murung seperti saat ini, seharusnya ia bisa menikmati waktu lebih lama dan bersenang-senang dengan yang lainnya kenapa justru ia membebani dirinya sendiri dan membuat suasana jadi muram?

“Rena,”

“Ya?”

flash

Betapa terkejutnya dirinya saat flash kamera terarah padanya, satu detik dua detik dirinya mencerna sampai ketika.

“Hah?! Faisaaaal aku belum siaaap?!”

Tawa renyah pun seketika keluar dengan begitu santai tanpa beban dari lelaki tersebut. Ah! Tawa itu, senyum itu! Senyum yang jarang sekali Rena lihat terlepas sosok di hadapannya, senyum dan tawa lepas tanpa beban. Senyum penuh suka cita.

Melihat Faisal yang tertawa lepas membuat semua risau dalam dirinya pun seketika sirna, ia pun ikut tersenyum lega. Apa selama ini yang ia cari adalah kebahagiaan dari sosok di hadapannya tersebut? Yang sebenarnya membuat dirinya risau adalah karena ia khawatir kepada Faisal?

flash

“Eh?! Kok aku difoto lagi?!”

“Ya gapapa, ekspresimu tadi bagus, pada akhirnya kamu bisa tersenyum lagi. Kamu tuh lebih cantik kalau senyum kayak tadi, jadi jangan murung lagi ya,”

Eh?

EEEEHHHH?!

Wajah Rena seketika bersemu merah, Faisal yang tampaknya belum sadar akan ucapannya tersebut menatapnya bingung sampai akhirnya kedua kupingnya ikut memerah karena mengerti atas maksud ucapannya barusan.

“Ah?! Maaf! Jangan salah paham! Kamu… penampilanmu sekarang! Berbeda dari bisanya! Jadi—”

“Kalian ini sepertinya daritadi asik berduaan, jadi aku cukup curiga ada apa diantara kalian,”

“Kak Rudy?!”

“JADI SI TENGIL INI UDAH BERANI MODUS-MODUS?! SUDAH KU DUGA KAU TIPIKAL ORANG YANG PAKAI TAMPANG!!”

“Bukan begitu—!”

Melihat pertengkaran antara Rudy dan Faisal entah kenapa membuat hatinya semakin menghangat, dirinya terkekeh kecil dan menggandeng kedua tangan lelaki itu.

“Ehehe aku senang sekali hari ini! Ayo! Kak Rudy! Faisal! Kita susul yang lain!”

☘️☘️☘️

Benar, saat ini dirinya tidak perlu memikirkan hal-hal yang rumit. Dirinya hanya perlu menikmati momen-momen bahagia ini.

☘️☘️☘️

Malam itu Rena terbangun tengah malam dari tidurnya, dengan mata yang masih lima watt dirinya memperhatikan kesekeliling, masih ada Fani di sebelahnya tapi dimana Siska? Disingkapnya selimutnya dengan hati-hati agar tidak membangunkan gadis itu, dibukanya pintu kamar perlahan dan didapatinya ruang TV yang masih ramai dengan padatnya aktivitas masyarakat.

“Loh? Rena? Kamu kebangun?”

“!!!”

“…Faisal! Kaget…”

Bukannya minta maaf lelaki yang lebih tua itu terkekeh kecil, tidak menyangka reaksi gadis itu akan seperti itu.

“Belum tidur?” Bukannya menjawab, Rena justru bertanya balik kepadanya, “Belum, tadi Siska ke kamar ngajak Doni nonton film kebetulan aku juga belum tidur jadi ngikut,”

“Eh… emang mau pada nonton film apa?” tanyanya penasaran

Faisal tidak menjawab, lelaki itu dengan santai melenggang menuju ruang TV, “Kalau mau ikut yuk sini,” ajaknya.

☘️☘️☘️

“Siska, Rena ikutan nonton boleh?”

“Loh aku kira kamu udah tidur Ren,”

“Hehe iya kak… aku kebangun… mau nonton apa?”

Dari tempatnya ia duduk, Rena dapat melihat Siska tengah sibuk memindah-pindahkan konten film yang ingin ia nonton di appikasi streaming OTT yang terhubung demgan TV. Sebenarnya ia sedikit harap-harap cemas saat Siska melihat benerapa judul film horror, ia ingin bergabung tapi dirinya takut sekali untuk menonton film horror.

“Kalau kamu takut atau keberatan kamu bisa bilang kok Rena,” celetuk Faisal yang sepertinya sendari tadi sudah memperhatikannya.

Rena hanya bisa tersenyum getir, keliatan banget ya? Batinnya. Tapi ia tidak ingin tiba-tiba mengintrupsi dan meminta judul film karena memang dirinya baru saja bergabung, ia merasa tidak enak dengan Siska dan yang lainnya.

“Ah… gapapa kok… lagian juga ramean jadi ga serem-serem amat kan?”

Faisal tidak menjawab, diletakkannya secangkir coklat panas yang sendari tadi ia pegang sejak bertemu dengan Rena, ia hanya dian berpangku tangan dan memperhatikan Rena, membuat Rena sedikit salah tingkat karena diperhatikan dengan begitu seksama.

“Heh… kenapa kamu gugup seperti itu…,” ledek Faisal, ugh jadi daritadi dirinya sedang dikerjai?

“Ya… habisnya! Coba kalau kamu ditatap kayak gitu sama orang lain?!”

“Sal, enaknya nonton film apa?” tanya Siska tiba-tiba menengahi ribut kecil antara Faisal dan Rena, seketika Faisal pun kembali bersikap seperti biasa, disesapnya coklat panasnya. “Kan kamu yang ngajak…, kamu mau nonton horror?”

“Iya, tapi bingung film apa… apa Pengabdi Setan ya?”

Wajah lelaki itu seketika memberengut tidak setuju, ia tidak menyukai ide itu.

“Gimana kalo Incantation aja gimana?” usul Doni, Siska dan Faisal sepertinya oke-oke saja, tidak seperti Rena yang cukup clueless dengan ini semua, dan juga masih sedikit deg-degan jika harus menonton film horror.

“Eh bentar Sis,”

Faisal bangkit dari duduknya, dirapikannya sofa tidur ruang TV dan diambilnya satu buah selimut yang cukup besar.

“Wah buat apa ini Sal?”

“Biar nyaman nontonnya, sama kalo ada yang takut,” jelasnya sambil melihat ke arah Rena, “Eh? Aku?!”

“Oiya, aku lupa ada penakut di sini,” imbuh Doni.

“Tapi ini bukan ide yang buruk!”

Siska pun dengan semangat memposisikan dirinya di sofa tidur tersebut, dan memasukkan dirinya ke dalam selimut, “Wah! Ini nyaman!” serunya dari balik selimut dan mengajak Rena untuk bergabung.

“Kalau kamu takut, bisa tidur sebelahku Rena! Kamu suka dipeluk kan kalau takut, dan ini cukup nyaman! Tenang saja yang mempersiapkannya adalah Faisal jadi tidak perlu khawatir!”

Awalnya Rena sedikit bingung tapi ia tidak menolak ataupun menyangkal ajakan Siska tersebut, ia pun dengan segera bergabung dengan Siska, mengambil tautan tangan gadis itu untuk bergandengan. Ah, Siska selalu sukses membuatnya nyaman, selayaknya sosok kakak perempuan yang tidak pernah ia punya.

“Faisal sama Doni bisa ikut gabung kok! Sini di sebelahku sama Rena masi kosong!”

“Hah…?”

“Makasi Siska tapi aku gamau bangun tidur berakhir babak belur di tangan pak Agus,”

☘️☘️☘️

Film pun di mulai, Rena pun semakin mengeratkan pegangan tangannya dengan Siska, sedangkan Doni dan Faisal mengambil duduk di masing-masing sisi gadis tersebut.

Jika boleh jujur, film ini cukup menakutkan bagi Rena tapi entah mengapa dirinya juga merasa sangat penasaran, dari tempatnya tidur ia perhatikan Faisal yang duduk anteng sembari melipat tangan. Namun sesekali ekspresi lali-laki itu berubah karena kengerian film yang ditontonnya.

Tangannya bergerak untuk menjangkau kaos sweatshirt biri milik Faisal, membuat lelaki itu seketika mengalihkan fokusnya dari layar TV ke arah Rena yang bersembunyi di balik selimut.

“Ka-kalau Faisal takut…, bisa ikut gandeng tanganku kok, kak Doni juga sama… kalau takut bisa gandeng tangannya kak Siska,” ujar Rena berusaha menghibur… dirinya sendiri… mungkin??

“Hee lalu kita saling bergandengan tangan gitu? Tujuannya apa? Menguatkan mentalitas masing-masing?” Ledek Doni, membuat Rena menggerutu sebal, memang salah kalau ia harus meng-comfront Doni yang sepertinya tidak memiliki rasa takut sama sekali itu.

Namun, berbeda dengan Doni, Faisal tidak membalas ataupun menjawab, tapi ia menyambut uluran tangan gadis itu dan ikut menggandengnya, entah kenapa hal kecil tersebut turut membuatnya senang.

Sampai suatu ketika…

“AAAAAAAAAAAA”

“WAAAAAAAAAAH”

Tangan Faisal tertarik keras yang hampir membuatnya terjatuh tepat di sebelah Rena, bahkan genggaman gadis itu mengerat, Faisal pun dapat merasakan bulir keringat dingin memenuhi tangan halus digenggamannya. Dilihatnya Rena bergetar hebat karena ketakutan akibat adegan sadis di film tersebut.

Faisal hanya bisa menghela nafas pelan, berdoa agar tangannya tidak patah di akhir film jika ia terus-terusan di tarik seperti itu dengan Rena.

☘️☘️☘️

“Huh… pada akhirnya mereka tidur lelap dengan sambil berpelukan satu sama lain,” komen Doni sembari memperhatikan kelakuan Siska dan Rena, sudah lewat tengah malam dan satu jam sejak film mereka terakhir.

Saat itu Rena dan Siska tidak langsung tidur karena masih kepikiran ending filmnya, Faisal pun menyarankan untuk mencoba menonton Barbie, siapa tau bisa menghilangkan rasa takut kedua gadis itu.

“Pada akhirnya mereka bisa tidur setelah kita setelkan Barbie sih…” tambah Faisal, Doni pun mengangguk setuju.

“Akuu ngantuk~” keluh Doni, sepertinya ia habis ini akan kembali ke kamar terlebih dahulu dibanding Faisal.

“Baik Doni, terima kasih banyak telah menemani, selamat malam,”

Doni tidak langsung kembali, namun ia mengamati dengan seksama Faisal yang masih sibuk memperbaiki bantal dan selimut Siska dan Rena.

“Kamu ngga balik Sal?”

“Maunya sih… tapi lihat…”

Yah…, Faisal tidak bisa kembali karena Rena masih menggandeng tangannya begitu erat.

☘️☘️☘️

“RENAAAAA!”

“Kak Fani! Kak Siskaa!”

Ketiga perempuan itu pun saling berpelukan dengan haru, walaupun hanya tidak bertemu sehari saja tetapi rasanya ia sudah sangat merindukan kakak-kakak perempuannya itu, ia begitu senang lagi dapat bertemu dengan Fani dan Siska, apalagi mengingat fakta bahwa mereka satu kamar membuat kebahagiaannya berlimpah.

“Ayo ayoo sinii kita antar ke kamar terus kamu beres-beres dulu ya! Eh kamu sudah makan belum?”

☘️☘️☘️

“Waaah! Kamarnya bagus ya!”

Binar dan tatap lekat gadis termuda diantara mereka tak bisa menutupi kekagumannya saat menyisir seluruh sudut ruangan kamar barunya. Kamarnya jauh lebih luas daripada kamar dikosan, dengan dua kasur berukuran queen size dan tidak lupa ada meja rias, sofa, kabinet, dan furnitur lainnya. Sangat lengkap!

“Terus karena ruangannya ngga di pisah seperti di kosan antara laki-laki dan perempuan kamu ngga perlu khawatir masalah mandi ya! Karena setiap kamar sudah ada kamar mandi dalamnya!”

Siska dan Fani tidak bisa menahan rasa gemas mereka melihat kekaguman di wajah Rena, mengingatkan mereka saat gadis itu pertama kali menginjakkajnkaki di kosan95. Gemas, gemas sekali!!!

“HUAAA RENAA KAMU GEMAS BANGEEET PENGEN AKU DANDANI DEEH” peluk Fani antusias ah benar! Sekarang kan Rena dan dirinya sudah sekamar, gadis itu tidak bisa lari lagi jika ia ingin mendadaninya. Satu ide jahil terlintas dipikiran gadis itu.

Guys! Gimana kalau kita girls talk” usulnya

“Heee gamau ah! Malu!” Tolak Siska.

“Kok gitu?? Kita kan udah kenal cukup lama tapi kurang bonding sebagai cewe-cewe!” Jelas Fani bersemangat, tapi Siska masih menolak dengan keras, alasannya biasanya jika berhubungan dengan girls talk gadis-gadis akan membicarakan cowo yang mereka suka ataupun topik lainnya yang ia tidak familiar.

“Tapi kak Siska, ide kak Fani tidak cukup buruk kok! Kita emang kurang waktu bersama kan apalagi perempuan di sini cuma kita, ngga ada salahnya kan? Dan kita bisa membicarakan hal yang lain kok kak!” saran Rena

Jika seperti ini situasinya, satu banding dua tentu saja dirinya sudah kalah. Siska pun menghela nafas pelan dan setuju dengan usulan tersebut, mau bagaimana lagi?

tok tok tok

“Sebentaaar!”

Rena pun bangkit dari posisinya, membuka pintu kamar dan mendapati Faisal sudah berdiri di depan sembari membawa kopernya. OH IYA ASTAGA DIRINYA MELUPAKAN KOPERNYA! Karena langsung digeret begitu saja sama Fani dan Siska!

“Haha…, maaf ganggu girls time kalian tapi aku kesini mau anterin kopernya Rena,” jelasnya

“Wah! Makasi banyak Faisal! Maaf ngerepotin!”

Faisal tidak langsung menjawab, lelaki itu seakan diam mematung sembari mengedipkan matanya berulang kali sebelum akhirnya berdeham.

“Gapapa kok, kamu sudah makan belum? Budi tadi bikin roti bakar kaya, kalo kamu mau bisa ambil di pantry,” ujarnya basa basi.

“Sudah kok! Tapi makasih tawarannya! Aku mau mandi dulu sama bersih-bersih dulu hehe”

“Oke…, kalo gitu aku balik dulu ya?”

Rena pun tersenyum simpul sembari melambaikan tangan kecil dengan malu-malu ke arah Faisal yang berlalu meninggalkannya. Walaupun sudah cukup lama tinggal bersama di kosan95 tapi Rena masih belum terlalu terbiasa dengan penampilan santai Faisal, apalagi lelaki itu tadi terlihat hanya mengenakan kaos pendek dan juga celana pendek.

Sepertinya selama staycation ini ia akan mengenal lebih banyak sisi lain dari para penghuni lainnya, khususnya dari lelaki itu.

☘️☘️☘️

“Sepertinya kamu kelihatan senang sekali hari ini”

“Kak Indra?!”

Indra, lelaki berbadan jangkung, kepala keluarga dan presdir muda dari keluarga Jaya itu tak bisa tidak ikut bahagia melihat seutas senyum merekah di wajah manis adiknya itu, Indy—atau untuk saat ini semua orang mengenalnya dengan nama Rena—walaupun Rena memang anak yang ceria. Namun, kebahagiaan gadis itu nampaknya dua kali lipat dari biasanya, senyumnya jauh lebih lebar dengan binar cerah di kedua mata jelaganya.

“Iya! Aku senang banget, setelah sekian lama akhirnya bisa jalan-jalan keluar kosan! Apalagi sama semua anggota kosan!” jelasnya.

Sejak memutuskan untuk tinggal di kosan 95 dalam upaya mencari kakaknya itu, Rena pun sadar bahwa kehidupannya tidak akan sesantai dan bisa berjalan biasa saja sama halnya sebelum ia memasuki tempat itu.

Dirinya bahkan lupa kapan terakhir kali dirinya mengambil libur, bersenang-senang tanpa mempedulikan bahaya atau ancaman di luar sana sejak terakhir kali sebelum ia menginjakan kaki di tempat itu. Apalagi mengingat kegiatan senang-senangnya berakhir menjadi petaka dan menyisakan setitik trauma, tentu momentum inilah yang ia tunggu-tunggu.

Akhirnya semua anak kosan mendapat liburan untuk menikmati libur natal hingga malam tahun baru!

“Apakah barang-barang Tuan dan Nona sudah masuk bagasi semua?”

“Indy, barangmu ini saja?”

Gadis itu mengangguk dan mendorong koper berwarna merah fanta tersebut untuk diberikan kepada Rizal, bodyguard dan asisten pribadi milik kakaknya untuk dimasukkan ke dalam bagasi.

“Hoi Indy, Indra! Sudah siap belum?! Ayo!”

Dari dalam mobil Rudy menyapa mereka, dapat terlihat lelaki itu nampaknya juga sudah tidak sabar untuk berangkat. Rena pun hanya terkekeh pelan dan berlari kecil untuk menyusul Rudy.

Bisa dibilang rombongan utama keluarga Jaya (terdiri atas tiga bersaudara Jaya, Rizal, pak Agus, dan juga Sembilan) mereka adalah rombongan yang berangkat terakhir, ketujuh tenants lainnya sudah berangkat lebih dahulu kemarin, sebenarnya itu sedikit membuat Rena kecewa karena tidak bisa berangkat bareng-bareng bersama penghuni lainnya.

Tapi karena Faisal dan Budi bilang hal tersebut dilakukan untuk mencegah insiden yang tidak diinginkan ataupun kecurigaan lainnya serta mengutamakan keselamatan keluarga Jaya, maka mau tidak mau pun Rena harus memahami. Toh tidak bisa bersama-sama dengan yang lainnya selama seharian peuh bukanlah masalah besar, setelah ini mereka akan bertemu lagi.

Sebenarnya alasan lainnya adalah karena Indra yang masih sibuk dengan urusan perusahaan dan Rena yng tidak bisa begitu saja cuti karena belum satu tahun bekerja, untuk yang lainnya sih sudah ambil cuti terlebih dahulu

“Apakah lokasi penginapannya sudah dikirimkan Faisal?”

“Sudah Tuan, sudah dikirimkan,”

Indra mengangguk senang, dikenakannya sabuk pengaman dan juga kacamata hitamnya—buar necis—dan setelah memasitikan tidak ada yang tertinggal dan semua sudah memasuki mobil, Rizal pun perlahan memgemudikan mobil tersebut keluar dari pagar kosan dan memulai perjalanan liburan mereka.

☘️☘️☘️

Selama dalam perjalanan Rena tidak bisa menutupi perasaan senang dalam dirinya yang membuatnya jadi bahan godaan Sembilan. Tapi Rena tidak terlalu menghiraukannya, karena yang ada dalam pikirannya adalah sebentar lagi ia bertemu dengan penghuni lainnya dan mereka pun akan bersenang-senang!

“Ren-ren jangan lupa berterima kasih sama Ical ya, kita semua bisa liburan seperti ini karena Ical yang mengusulkan loh”

“Kamu… kepikiran hal ini karena ucapan Romi?”

Budi tidak langsung menjawab, meskipun demikian ucapan Faisal seketika mengusik dirinya—dapat terlihat dari tangannya yang terhenti mengelap mug putih di tangannya—sedangkan Faisal sepertinya sudah dapat menerka, sepertinya yang membuat Budi begitu kepikiran akan benar tidaknya Fani marah terhadapnya adlaah ucapan dokter flamboyan tersebut. Faisal dapat memakluminya, memang terkadang Romi suka usil seperti ini, ia ingat betul saat Romi pun seringkali menjahilinya pekara interaksinya dengan Rena.

“Tapi menurutku, apa yang dikatakan Romi pada akhirnya benar, minimal kalian harus berbicara. Ini sudah berapa hari berlalu sejak insiden terakhir di rumah itu bukan?” celetuknya.

Entah kenapa saraf nerves di wajah Budi pun menegang, seketika menampilkan guratan-guratan di wajah yang jarang sekali menampilkan emosinya. Sebuah perasaan kekesalan yang membuncah, dapat dipahami karena misi terakhir mereka kembali ke kediaman Sindari pada akhirnya memunculkan kembali berbagai macam emosi serta kenangan buruk diantara mereka semua.

Sementara itu tidak jauh dari Budi dan Faisal—di sudut persimpangan ruang makan dan ruang TV kosan dapat terlihat Rena dan Fani yang tengah mengintip di balik tembok. Enggan mendekat karena rencana mereka hanya untuk ‘makan siang’ bukan menginvansi obrolan antara Faisal dan Budi.

“Ada Faisal… gimana ini Ren…”

Sebenarnya Rena pun tidak tau harus menjawab apa, karena sejak terkahir kali ia bertemu Faisal hingga kemarin ia juga merasakan apa yang sama dirasakan Fani, rasa canggung, apalagi mengingat terakhir kali ia berbicara dengan Faisal yang mengingatkannya di hari di mana mereka bertengkar hebat karena kesalahpahaman.

“Ah?”

“Ada apa Budi?”

“Sepertinya Rena dan Fani ingin ke sini tapi sepertinya mereka takut…,”

“Hoo…”

Faisal tidak merespon lebih, selang beberapa detik mereka hanya saling bertukar pandang. Faisal mengerti, Budi meminta pengertiannya, apakah dirinya berkenan jika kedua perempuan itu bergabung dengan mereka.

“Rena, Fani? Kalian mau makan? Kenapa harus bersembunyindi situ? Ayo sini,” ajak Faisal yang tiba-tiba membalikkan tubuhnya ke arah Rena dan Fani, membuat kedua gadis tersebut kaget dan malu-malu berjalan ke arah mereka.

Kedua gadis itu pun mengambil duduk di sebelah Faisal, Budi pun seketika menghentikan kegiatannya untuk mengobrol ke arah Fani dan Rena—khususnya Fani dan ia dapat melihat bagaimana Fani pun hingga saat ini menghindari tatapannya.

“Kalian ingin makan apa?” tanyanya

Ugh… ini benar-benar canggung, Rena melirik ke arah Fani yang masih tidak berbicara, seakan semua orang di sana menunggu perempuan berbut pendek tersebut bersuara. Budi pun menghela nafas pelan, diperhatikannya perempuan itu lamat-lamat, tanpa sadar tangannya bergerak sendiri merapikam anak rambut Fani yang berantakan yang membuat Fani kaget. Dari tempat duduknya Faisal tersenyum kecil.

“Ah maaf, tadi rambutmu sedikit berantakan dan kamu tidak menjawab ucapanku,”

“A-ah! Iya… Maaf Budi…,”

Mengerti bahwa Fani dan Budi perlu waktu berdua, Rena pun tanpa sadar menggandeng tangan Faisal, membuat lelaki itu sedikit kebingungan namun tanpa penjelasan lebih lanjut ataupun basa basi. Rena menggeret lelaki tersebut untuk ikut dengannya.

“Kak Budi sama Kak Fani aja dulu! Aku ada perlu berdua dengan pak Faisal! Pak Faisal! Bisa bicara berdua denganku?”

Faisal pun tampak kebingungan namun ia mengiyakan ucapan gadis itu—ya Faisal tidak pernah bisa menolak ucapan Rena dengan tegas bukan?

“Aku sama Rena duluan ya,”

Kecanggungan melanda Budi dan Fani, untuk beberapa saat baik diantara mereka tidak ada yang memulai pembicaraan—lebih tepatnya saling menunggu penjelasan satu sama lain, hingga akhirnya Budi menghela nafas pelan.

“Ini,” ujarnya sambil menyerahkan makan siang Fani, gadis itu menerimanya dnegan kikuk, budi pun mengambil duduk di hadapannya.

“Uhm… bagaimana kondisimu? Maaf… baru bertanya…,”

Untuk sesaat Fani terpaku dalam duduknya, matanya menatap lekat ke arah Budi, dari dulu hingga sekarang Budi tidak berubah di matanya, dan tatapan penuh kagum dan perasaan bergejolek itu pun juga tidak akan pernah berubah.

“…bohong jika aku bilang baik-baik saja, setelah apa yang terjadi di Sindari… saat itu aku takut sekali, takut kehilangan Faisal, takut kehilangan mama, dan juga takut kehilangan kamu…”

Budi tidak membalas ataupun bereaksi, ia membiarkan gadis itu untuk melanjutkan ucapannya. Dalam heningnya ia mendengarkan dengan seksama.

“Maaf kalau aku baru mengatakannya sakarang, tapi terima kasih karena berusaha menyelamatkanku… dan terima kasih karena kamu lah yang menyelamatkanku Budi,”

Ah…, senyum itu, senyum yang selalu ingin Budi lindungi, entah sudah berapa lama berlalu sejak terakhir kali ia melihat senyum lebar, tulus, dan penuh kelegaan dari gadis itu, ia sangat merindukannya.

Akhir-akhir ini memang kondisi mereka sedang tudak baik, terlalu banyak kesedihan, amarah, serta kekecewaan yang terjadi terhadap satu sama lain… apa pada akhirnya mereka bisa melepaskan itu semua dan melangkah maju dengan perasaan yang lebih ringan dan lega?

Budi sendiri pun tidak mengetahuinya, tetapi untuk saat ini, ia hanya ingin menikmati saat saat membahagiakan seperti ini, menjaga dan melihat senyum itu lebih lama lagi.

“…aku kira kamu marah padaku, beberapa hari terakhir kamu seperti menghindariku,” celetuk Budi membuat raut gadis dihadapannya itu pun seketika berubah.

“Lah.. aku kira kamu yang ngehindarin aku…”

Lah… Jadi ini semua hanya kesalahpahaman?

Yah paling tidak pada akhirnya mereka bisa bicara dari hati ke hati.

Di balik pintu kaca halaman belakang, sepasang insan tengah memperhatikan dengan seksama, masih dengan tangan yang saling bergandeng, sang gadis terlalu fokus pada objek pengamatannya dan sang lelaki terlalu enggan melepaskannya.

“Sepertinya… kak Budi dan kak Fani sudah baikan…” gumamnya.

“Oh… jadi kamu ajak aku ke sini cuma buat mereka baikan?”

Rena yang seakan lupa masih bersama Faisal pun segera menoleh ke arah lelaki di sebelahnya, ekspresi wajahnya tak bisa di definisikan, ia tidak terdengar marah atau pun kelas, alih-alih justru ikut mengintip dari posisinya.

“Yah…, tapi syukur lah mereka akhirnya bisa bicara, beberapa hari terakhir Budi terlihat khawatir karena Fani tidak menggubrisnya,” imbuhnya.

“Eh? Kak Budi juga merasakan hal yang sama?”

“Fani juga cerita kepadamu?” bukannya menjawab, Faisal justru menimpali pertanyaan Rena dengan pertanyaan lainnya, dari sana pun Rena akhirnya dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa kedua orang itu merasakan hal yang sama.

Raut wajah Rena pun seketika berseri, membuat Faisal bingung apakah ia harus turut senang atau bagaimana?

“Syukurlah kalau kak Budi merasakan apa yang dirasakan kak Fani!” ujarnya kepada Faisal, lelaki itu berdeham sejenak, “Iya…, anu Rena, bisakah kamu lepas ini? Agak gak enak kalau dilihat yang lain, takut salah paham,” ujar Faisal mengalihkan fokus gadis itu.

Rena yang sadar masih erat menggandeng tangan Faisal pun menjadi salah tingkah, dengan buru-buru ia lepaskan tautan tangannya.

Sekarang gantian, keheningan pun melanda diantara mereka. Jika memang tidak ada yang dibicarakan lebih lanjut dan seperti Budi serta Fani sudah baikan Faisal sudah tidak ada urusan lagi di sini.

“Kalau gitu, aku balik dulu ya Rena,” ujarnya tapi gadis itu dengan sigap menahannya dengan menarik ujung outer yang dikenakan lelaki itu.

“Tunggu! Bapak… keberatan tidak kalau menemaniku mengobrol sebentar?

Faisal dan Rena saat ini tengah duduk bersebelahan—hanya berdua—di taman belakang kosan. Mereka sengaja mencari tempat yang sepi, siapa tau jika Rena ingin mengajaknya berbicara hal yang personal sehingga dapat menjaga privasi satu sama lain.

Keheningan menyeruak di antara mereka, dari sudut matany Faisal memperhatikan, gadis itu juga terlihat tengah kelimpungan, disandarkannya dirinya pada kursi rotan yang ia duduki.

“Bagaimana kondisimu Rena? Sejak misi terakhir bersama Diki, dan insiden Bobby, apa kamu baik-baik saja?” tanyanya memulai percakapan.

“Ah… iya pak…,”

“Panggil Faisal saja, anggap saja aku ini temanmu, bukan atasan yang harus kamu laporkan terkait kondisimu, anggap saja aku teman yang menanyakan kondisimu karena khawatir,” jelasnya.

Ah, bagaimana bisa Rena lupa, padahal ia yang meminta Faisal untuk lebih terbuka, tetapi jika seperti ini ia kembali merasa segan dengan lelaki di sebalahnya. Jujur, ia sudah terlanjur terbiasa menggilnya dengan sebutan ‘pak’ tetapi ia tidak ingin jarak diantara mereka semakin jauh hanya karena rasa tidak akrab.

“Uhm… jujur saja… sejak tugas Diki dan insiden dengan kak Bobby waktu itu membuatku sepenuhnya tersadar bahwa aku sidah hidup dan tinggal di dunia yang berbeda, perlahan aku mulai mengerti peliknya kehidupan Indy Sri Jaya dan konflik di dalamnya. Bagaimana ambisi manusia bisa menghancurkan manusia itu sendiri,”

Faisal tidak menjawab, heningnya adalah bentuk kesetujuan atas ucapan Rena. Terkadang memang hidup dengan segalanya membuatnya harus kehilangan banyak hal, dan Faisal tau betul akan hal itu. Itu lah kenapa hingga saat ini ia mendorong semuanya agar rasa sakit jika harus kehilangan lagi tidak perlu ia rasakan.

“Apa kamu menyesal? Memilih pilihanmu saat ini?”

Rena terdiam sejenak, jujur saja rasa takut itu sering kali menghantuinya tetapi ia tidak bisa mundur, rasa takut akan kehilangan sosok kakak yang telah susah payah ia cari jauh lebih menakutkan daripada ia harus mundur. Gadis itu menggeleng mantap.

“Aku sudah memilih hal ini, aku sudah tidak bisa mundur lagi,”

Dari sudut pandangnya Faisal bisa melihat kilatan penuh tekat dibalik kedua netra sebening jelaga tersebut. Tanpa sadar seutas senyum tertarik di sudut bibirnya. Rena yang ia kenal dulu, Rena yang dulu harus ia lindungi, sekarang telah berubah menjadi gadis yang pemberani dan penuh kebulatan tekat. Rena telah bergerak maju, mengejar masa depan yang lebih baik… di bandi dirinya yang hanya bisa berdiam di balik kegelapan.

Ya, dari dulu diri mereka memang berbeda, ia bukanlah Rena.

“Faisal… ada apa? Kamu gapapa?” Tanya Rena seketika mengenggam erat lengan milik Faisal, dengan sekuat tenaga ia pun berusaha tersenyum, menyatakan bahwa ia baik-baik saja. Tetapi Rena tau bahwa itu adalah upaya lelaki itu untuk menutupi kerapuhannya, menutupinya dalam senyum kepura-puraan.

“Maaf…, tapi kak Indra sudah menceritakan semuanya, kondisi kamu, hubunganmu dengan kak Fani dan keluarganu, serta traumamu… misi waktu itu juga membebanimu kan? Apa kamu yakin kalau tidak apa-apa,”

Dan Faisal berani bersumpah, seumur hidupnya jarang sekali ia menemukan seseorang yang menatapnya seperti Rena, menatapnya penuh lembut, penuh kekhawatiran, begitu hati-hati jikalau seketika bisa melukai dirinya. Begitu banyk luka yang ia dapat selama ini membuatnya merasa tidak pantas menerima semua perhatian itu. Tapi tatapan Rena seolah mengatakan bahwa dirinya juga pantas mendapat perhatian serta kasih sayang. Ia tidak mau terikat karena ia takut kehilangan dan berharap lebih.

Namun, Faisal tidak menjawab, ia hanya mengelus pembut punggung tangan sang gadis, di saat seperti ini bahkan ia masih memikirkan perasaan gadis di hadapannya, ia tidak ingin rasa khawatir Rena terbuang sia-sia hanya untuk mengkhawatirkannya.

“Faisal…,”

“Bukan sekarang ya…, nanti aku akan cerita, tapi bukan sekarang,”

Rena pun mengangguk paham, ia tidak ingin memaksa lelaki itu, sudah terlalu keras Faisal mendorongnya untuk menjauh, dirinya tidak ingin semakin terdorong jauh.

“Lalu, hubungan Faisal dengan kak Fani gimana? Apa kalian berdua sudah bicara?” tanyanya.

Faisal tidak langsung menjawab, ia menghela nafas panjang berulang kali hingga dirinya tenang, genggaman tangannya di punggung tangan Rena pun mengerat, ia daoat merasakan keringat dingin oun membasahi telapak tangan lelaki itu.

“Aku… sudah bicara dengan Fani, sudah mendengarkannya…,”

Hening sejenak.

“Pada akhirnya aku tetap tidak bisa kembali, karena semua trauma dan kenangan buruk itu selalu menghantui. Aku masi bisa mengingat bau anyir darah dan semua rasa sakit…, tapi… kami semua berusaha berdamai…,”

Faisal pun menoleh ke arah Rena, dengan ekspresi yang tidak bisa ia definisikan. Ada kelegaan namun juga derita yang terpancar di senyum lelaki itu, bagaimana rasa sakit yang begitu dalam berusaha ia lepaskan dalam upaya pembebasan diri serta berdamainya tersebut.

“Seperti katamu… dendam hanya akan membuatku terhenti di tempat yang gelap, aku juga ingin dapat perlahan maju…,”

Mendengar pengakuan Faisal itu, entah kenapa membawa haru, Rena turut berbahagia, dan melihat Rena yang begitu senang itu membuat hati Faisal mencelos, ia tidak pernah melihat orang bereaksi seperti itu hanya karena dirinya. Seakan menghargai setiap keputusan yang ia ambil.

Digenggamnya erat kedua tangan Faisal, dengan wajah yang berseri Rena pun berkata,

“Kita jalan bareng-bareng ya… pelan-pelan aja.., gapapa!”

Detik itu juga, sudut pandang dan caranya menatap Rena pun berbeda, perasaan asing yang tidak pernah ia tau dan sangka pun menghadirinya tanpa pernah ia duga.

“Malam sekali pulangnya, apakah rapatnya molor?”

“Engga kok Bud, cuma tadi aku rapihin beberapa berkas dan laporan biar gausah bawa kerjaan ke rumah,”

“Kamu sudah makan malam? Kalau belum mau aku panasin sekalian?”

Faisal tidak langsung menjawab, tangannya yang sendari tadi sibuk menata barang-barang titipan dan belajaannya, dengan telaten dan cekatan ia menata semuanya sesuai ‘aturan’. Masih dengan setelan kerjanya dan rambut yang sudah tidak serapi biasanya Faisal menolak halus tawaran Budi.

“Ga usah Bud, makasih. Aku makan kecil aja sama minum coklat panas saja,” ujarnya.

Faisal pun memgeluarkan roti dan selai tetapi tidak dengan bunga dan kumbang karena kalau bersama bunga dan kumbang jadinya iklan Spotify. Tidak lupa dua cangkir kecil, untuknya dan Budi.

“Buat dua aja sekalian Bud, kita ngobrol,”

Uap putih tebal mengepul dari masing-masing cangkir porselen berwarna putih tersebut. Faisal dan Budi, duduk bersebelahan dan masing-masing terdiam dengan remangnya pencahayaan ruang makan kosan tidak ada yang berniat untuk memulai percakapan terlebih dahulu.

“Gimana kondisimu setelah misi terakhir Budi? Sudah mendingan?” tanya Faisal berbasa-basi.

Budi tidak serta merta menjawab, matanya pun menelisik ke arah teman masa kecilnya tersebut yang juga sendari tadi diam dan tidak menggubris makanannya. Disesapnya coklat panasnya tersebut.

“Ya begitu lah…” ujarnya, mengundang satu kekehan kecil dari orang di sebelahnya,

“Kalau hubunganmu dengan Fani, bagaimana?” tanya Faisal seketika membuat Budi tersedak, pertanyaan tiba-tiba yang ia tak pernah duga akan keluar dari sosok di sebelahnya itu.

“Kenapa… kamu bertanya seperti itu?”

Budi menaruh curiga, jangan bilang Romi yang mengajarkannya hal-hal seperti ini, ditolehnya sosok di sampingnya. Faisal sendiri masih fokus menatap cangkir berisi coklat panas di tangannya.

“Kamu tidak berpikir aku sebodoh itu kan? Untuk pura-pura tidak tau perasaanmu yang sebenarnya,”

Budi terdiam sejenak sebelum membalas, “Tidak bagaimana-bagaimana,” dan Faisal pun hanya bergumam panjang sebagai balasan.

Perasaannya kepada Fani ya? Sejujurnya dirinya pun dilanda kebingungan dan dilema. Rasa bersalah, penyesalan, serta kecewa pada dirinya saat misi terakhir mereka karena tidak mampu melindungi Fani masih menghantuinya. Hanya karena Budi tidak berada di sisinya, Fani mengalami itu semuanya, sejujurnya ia masih merasa takut. Apalagi mengingat jika ia harus menyadari dan mengakui perasaannya itu berarti ia harus meninggalkan Faisal sendiri, itu tidak adil bagi Faisal yang sudah terlalu menahan sakit.

“Jika hal yang membuatmu tertahan adalah aku dan kesalahan masa lalu, aku sudah tidak apa-apa, lagipula kita semua harus tetap maju kan?”

“Faisal…”

Keheningan pun kembali menyeruak di antara mereka, hingga sesap terakhir cokelat panas milik Budi, ia masih tidak bisa menjawab pertanyaan uanh sepertinya menjadi pernyataan teman masa kecilnya itu.

“Oh? Kak Budi belum tidur?”

“Rena?”

Bukannya menjawab, sepertinya Budi juga sama bingungnya sama gadis termuda yang mendiami Kosan ini, Rena pun hanya terkekeh melihat wajah bingung Budi, “Aku habis dari toilet kak, terus mau ke dapur ambil snack karena ga bisa tidur lagi,”

“Oh, baiklah…”

“Kalau gitu mari kak!”

Sebelum mereka berpamitan dan berselisih jalan, Budi teringat Faisal yang masih di dapur seorang diri, memintanya meninggalkan dirinya sendiri, sebenarnya dibanding dirinya yang harus dikhawatirkan adalah kondisi Faisal dan mentalnya, lelaki itu dari dulu tidak banyak bicara ataupun cerita dan sepertinya masih belum mau menceritakannya kepada Budi.

Tapi sosok Rena berbeda, Budi teringat saat pesta ulang tahun Faisal di mana lelaki itu bisa tersenyum lebar karena kejutan gadis itu, mungkin jika itu Rena, Faisal dapat melepaskan beban masa lalunya, ya kan?

“Rena, tunggu,”

“Iya?”

“Faisal…, dia masih ada di dapur, baru pulang…,”

Jeda sejenak dan Rena masih menunggu Budi melanjutkan ucapannya.

“Dia bilang dia ingin sendiri… tapi, kondisinya yang sekarang membuatku sedikit khawatir… bisakah kamu menemaninya? Maaf jika merepotkanmu, kalau Faisal memang ingin sendiri kamu bisa langsung kembali ke kamarmu,”

Rena tidak langsung menjawab, tapi tidak pula menolak permintaan Budi, “Baiklah kak, akan aku coba temani pak Faisal bicara!”

Sebenarnya Rena sedikit ragu untuk menghampiri Faisal, kondisinya saat ini sedikit mengingatkannya waktu Faisal memarahinya malam itu—ketika mereka berdua hanya di dapur dengan pencahayaan yang minim dan perasaan negatif yang bergejolak. Jika memang Faisal ingin sendirian malam ini apakah tepat dan bijak bagi Rena tiba-tiba datang dan menghampirinya? Lalu pembicaraan dan obrolan apa yang bisa ia lakukan agar terlihat senatural mungkin?

“Malam, Pak Faisal… baru pulang?” bisiknya untuk dirinya sendiri, ia menggeleng terlalu kaku.

“Ah… Pak Faisal sedang apa? Baru pulang? Boleh aku ikut duduk?” Tidak-tidak, terkesan terlalu ikut campur.

Dirinya yang terlalu berkelut dengan pikirannya sendiri pun tidak sadar objek yang tengah diamati telah menghilang dalam gelapnya malam.

“?!”

Dirinya hampir berteriak saat sebuah tepukan kecil mendarat di bahunya, badannya pun berbalik dan mendapati Faisal yang sudah berdiri tidak jauh darinya.

“…kaget…,” ujarnya sembari memegangi jatungnya. Namun, Faisal seakan tak bersalah, lelki itu justru terkekeh kecil. “Maaf, habisnya daritadi aku melihatmu di pantulan kaca berdiri di situ dan kebingungan,”

Rena tak percaya dengan apa yang ia dengar, apa Faisal sengaja mengangetkannya untuk mengerjainya?

“Jadi, pak Faisal sudah tau daritadi aku di sini?”

“Hum, tapi aku biarkan saja,”

Kecanggungan kembali menyeruak di antara mereka, Faisal menyingkirkan tangannya dari bahu gadis di hadapannya.

“Kalau gitu aku ke kamar dulu ya Rena, malam,”

Rena tidak menjawab ucapan Faisal, sebelum sosok lelaki itu hilang ditelan gelapnya malam, ia pun memberanikan dirinya untuk memanggil namanya.

“Pa… ugh… Faisal!”

“Ya?”

Entah kenapa nyalinya pun menciut saat ia mendapati raut lelah di wajah Faisal malam ini.

“Tidak apa-apa! Selamat beristirahat ya… Faisal,” ujarnya kikuk. Dirinya masih belum terbiasa berbicara nonformal dengan lelaki itu.

Faisal tidak menjawab hanya tersenyum kecil dan berlalu. Rena masih belum berani untuk bertany, tetapi kecanggungan dan jarak diantara mereka pun turut membuatnya tidak merasa nyaman

🍀🍀🍀

Ekspresi wajah Haitham saat ini tidak dapat didefinisikan dengan kata-kata. Entah apa yang terjadi dan dapat mencairkan ekspresi sekaku kanebo kering di wajah boros dan tak ramah sahabatnya itu tetapi yang jelas Cyno dan Nilou harus berterima kasih kepasa siapapun yang berhasil menorehkab ekspresi ‘cengo’ di wajah Haitham layaknya achievement unlocked.

Suara kekehan seketika memenuhi ruangan karaoke, begitu pula dengan Nahida yang berusaha menurutupi kekeh kecilnya dengan kedua tangan mungilna. Ah… sepertinya dia tau siapa biang dari power point berwarna merah muda dengan gambar bunga-bunga itu. Sebuah mahakarya dari Nahida.

Haitham berdecak pinggang sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. “Nahida…”

OHO tawa Cyno dan Nilou pun terhenti, fokus mereka beralih kepada dua orang yang sendari tadi hanya saling tatap seakan mengabaikan kehadiran dua entitas lainnya.

“Sengaja ya?” Tanya Haitham dengan nada sedikit jahil, Nahida pun berusaha mengelak walau ia tahu betul apa maksud lelaki itu, “Apaaa?”

“Ini ppt-nya kamu sengaja bikin gini kan?”

“Ih engga! Aku cuma bikinin PPT sesuai maumu kok! By request!”

“Desainnya?”

“Iyaa coba deh cek chat makanya sesekali aku sempet kirimin desainnya terus kamu bilang apapun yang aku pilihin kamu pasti suka,”

“CIEEEE”

Sorak sorai penuh semarak seketika memenuhi ruang kedap suara tersebut, membuat Nahida seketika sadar akan ucapannya barusan yang sangat mungkin disalah artikan.

“Ih denger tuh No! Nahida bilang apapun yang dipilih Nahida Haitham pasti suka!!!”

“Mana tadi berasa dunia milik berdua lagi”

“Sial aku kalah sama kanebo kering?!?!”

Wajah mungil Nahida itu pun bersemu merah layaknya tomat, menggemaskan, tetapi melihat gadis itu kelimpungan Haitham pun berdeham.

“Bisa ngga sesi presentasinya aku mulai?” tanyanya, Cyno dan Nilou pun mempersilahkan layaknya hendak presentasi kelas.

🍀🍀🍀

“Wow… presentasi kamu… kontras banget ya sama pptnya,” komentar Nilou tidak percaya dengan apa yang dia dengar.

Ia harus berterima kasih kepada Nahida, jika tidak pasti ppt Haitham akan terlihat seperti ppt bapak-bapak yang tidak di edit dan hanya berwarna putih.

“Ku kira selama ini Chitato selalu benar, ternyata ada kalanya salah” celetuk Cyno mengundang tanya dan sebelum mereka bertanya lelaki berkulit sawo matang tersebut sudah menjelaskan, “Karena life is never flat gitu”

“Malas menanggapi”

Nilou menepukkan kedua tangannya, meminta perhatian dari teman-temannya sebelum keributan terjadi akibat candaan jelek Cyno.

“Udah dong udaaaah, karena sepakat PPT-nya Haitham yang paling jelek dia yang nyanyi ya!”

Ah… sepeetinya Haitham dijebak, bisa-bisanya Nilou bilang ppt-nya jelek padahal Nahida sudah mengeditnya dengan imut, ini berarti kalaupun tidak diedit tetap dia yang kalah begitu?!?! Dimana bentuk keadilan penjurian?!?!!

“Kok pptku jelek kan udah lucu bagus dieditin Nahida,” belanya

“Ih Hayi! Yang penting itu subtansi!”

“Penilainya baru dikasih tau bobotnya sekarang, ga fair,”

“Lah kamu juga ga fair dieditin Nahida!”

“Kan ga bilang kalau harus edit sendiri”

“Anu… udah guys ini nanti ga nyanyi-nyanyi…” ujar Nahida berusaha melerai Nilou dan Haitham yang mempermasalahkan masalah sepele. Kadang ia heran, mereka semua sudah tujuh belas tahun kan? Kenapa masih meributkan hal kecil?

Keributan tersebut terhenti saat Cyno tanpa diduga memutarkan lagu dengan beat funky.

“Loh lagu ini kan?”

Oeloun naldeul-iyeo modu da-

ANNYEONG!

“* Nae ma-eum sog-ui nunmuldo ijeneun-*”

ANNYEONG!!!

Raut kebingungan dan penuh tanya Nahida pun perlahan berubah menjadi seutas senyum tulus penuh kelegaam. Ia terkekeh kecil, ternyata memang bisa seperti ini ya? Tadi ribut-ribut kecil tidak jelas dan seketika sekarang kompak menyanyikan lagu korea walaupun Cyno hanya membacakan lirik dengan asal. Ah… jika ini bisa menjadi sebuah life update untuknya, ia bersyukur mempunyai teman-teman seperti mereka di akhir masa SMA-nya.

———

Senyum manis sang juwita tak henti merekah di paras rupawannya dengan sepasang netra yang sendari tadi sibuk menyusuri pemandangan dan gemerlap kerlip lampu kota dekat kampusnya. Membawanya seakan bernostalgia pada masa beberapa tahun lalu.

“Sayang, ini susu murninya,”

Kedua tangannya terbuka menerima secangkir susu panas yang manis menguarkan uapnya, warnanya begitu kontras dengan gelapnya langit malam, menandakan susu tersebut baru saja dihangatkan oleh sang paman penjual.

Dan sang lelaki pun mengambil duduk tepat di sebelah sang puan. Seutas senyum lembut terukir manis di wajahnya manakala mendapati senyum cerah dengan kedua pipi meroba sang jelita saat menyesapi hangatnya susu tersebut.

Sadar jika sendari tadi dipandangi oleh sosok disebelahnya, puan tersebut pun bertanya, “Ada apa?”

Lelaki bersurai pucat tersebut menggeleng pelan—sembari masih tersenyum lembut—memberikan isyarat bukanlah hal besar untuk dipikirkan oleh sang puan.

“Udah lama banget ya, kita ngga minum susu hangat di sini,” celotehnya yang dibalas dengan anggukan setuju.

“Padahal dulu pas jaman-jaman kuliah tiap abis pulang kelas malem kita sempetin mampir ke sini,”

Pikirnya pun membawanya menerawang dan mengingat masa indah tersebut. Kenangan yang akan selalu tersimpan rapi dalam benak dan hatinya. Saat pertama dirinya dan sang juwita tak sengaja bertemu di bawah sendu hujan bulan Juni, saat pertemuan tersebut kemudian membawa pada pertemuan-pertemuan lainnya yang menjadikan mereka perlahan dekat serta menjadi salah satu tempat mereka menghabiskan rutinitas setelah kuliah, dan tempat dimana mereka pertama kali melangsungkan kencan pertama mereka.

Sepasang netra merah itu pun menatap lekat kepada sang kekasih, menghadirkan berjuta tanya pada pikir sang puan. “Huh? Ada apa?”

“Sayang?”

“Kazuha?”

Sang pemilik nama pun seketika berkedip, sadar bahwa dirinya sendari tadi hanya menatap lekat perempuannya.

“Ayaka…, baju itu, kalau ngga salah ingat baju yang kamu dulu pakai waktu kencan pertama kita ya?”

Seutas secercah senyum cerah pun seketika membuncah di wajah ayu sang gadis, dengan binar mata penuh haru yang selalu jadi favorit Kazuha.

“Kamu ingaaat??” tanyanya penuh antusias.

Tentu saja ia ingat

Kazuha akan selalu mengingat setiap momen kecil yang ia habiskan dengan sang kekasih

Saat pertama kali sang kekasih mengenakan dress pendek biru mudanya tersebut pada kencan pertama mereka, Kazuha masih mengingat betapa menawannya sang juwita dibalutan dress satin selutut tersebut,

Dan bagaimana Ayaka selalu terlihat menarik dengan setiap setel pakaian yang ia pakai.

Kazuha tersenyum simpul sembari menopang dagunya dengan tangan kanannya, “Inget dong, masa lupa… kamu cantik banget…”

Semburat merah muda pun membuncah di kedua sisi wajah Ayaka—hingga menjalar ke telinga—begitu kontras dengan kulit putihnya, reaksi Ayaka terlalu jujur dan juga lucu, aalah satu hal yang Kazuha suka dari sosok Ayaka (yang ia suka semuanya).

Dielusnya pucuk kepala sang gadis dengan penuh kasih. Tangannya pun bergerak mengelus pipi kanan Ayaka, menyisakan sensasi menggelitik manakala tangan kasar nan dingin tersebut bersentuhan dengan pipi halus hangatnya. “Makasih ya Ayaka,”

Ucapan Kazuha pun menyisakan tanga pada benak Ayaka, mengerti akan raut kebingungan sang gadis ia pun melanjutkan.

“Makasih untuk semuanya, makasih udah sayang sama aku, makasih udah sabar buat aku… makasih selalu ada buat aku. Dan, makasih karena sudah jadi orang yang aku sayang”

Hanya Ayaka yang mengerti seberapa dalam dan tulusnya perasaan Kazuha, dan seberapa pentingnya ucapan terima kasih tersebut bagi Kazuha. Selama empat tahun lamanya, hanya mereka yang tahu lika liku dan asam manis hubungan mereka.

“Kazuha…, udah ya… gapapa? Jangan terus-terusan ngerasa seperti itu”

“Tapi…,”

“Sstt… aku, kamu, kita semua ngga apa-apa dengan kondisi ini kok… orang-orang hanya melihat apa yang mereka anggap ideal dan pantas tapi yang paling mengerti siapa yang aku butuh dan pantas buat aku itu cuma kamu… dengan seperti ini aja aku udah sangat bahagia kok…”

Ah… harusnya Kazuha yang paling tau tentang Ayaka, tentang seberapa besar perasaan gadis itu pada dirinya yang bahkan rela melepaskan segalanya hanya demi Kazuha, demi kebahagiaannya. Bagi Kazuha, Ayaka adalah anugerah terbesar dalam hidupnya yang pelik, Kazuha begitu bersyukur bahwa perempuan tersebut adalah Ayaka.

“Sayang, minggu depan mau ke Liyue bareng ngga? Kebetulan aku dapet dua tiket buat pagelaran seni di Liyue”

Wajah Ayaka kembali berseri, menatap Kazuha tidak percaya, “Ka-kamu?!? Ta-tapi kan itu tiketnya susah banget didapet…?!? Kok????”

“Hehe pacar kamu kan hebat! Aku tau kamu suka banget sama teater Han jadi aku berusaha dapetin dua tiket buat kita,”

“SAYAAAAANG MAKASIII BANYAAAK”

Gadis bersurai pucat tersebut seketika berhambur memeluk sang kekasih dengan erat. Selalu seperti ini, Kazuha selalu saja tau caranya untuk menghibur mereka, menyediakan berbagai macam pengalaman menarik.

“Aku… aku seneng banget… makasih sayang… huhu”

“Udah dong nangisnya, katanya seneng tapi kok nangis…”

“Habisnya!!!”

———

Neuvillette hanya ingin terus seperti ini. Dengannya, dengan sosok yang ia suka.

———

Matanya sendari tadi sibuk mencari, pusat dunia yang seakan sengaja menhilang dari pandangan. Namun, dengan radarnya yang sudah terbiasa akan presensi kehadirannya—tak butuh waktu lama bagi Neuvillette untuk mendapati sosok sang gadis yang tengah duduk seorang diri di kursi berbusa pada halaman taman.

Ia terpesona dengan keteguhan hati sang gadis, bagaimana sosok ya tetap mampu bersinar di tengah kesendirian, menikmati diri sendiri. Seutas senyum terpatri jelas di paras yang orang bilang tak pernah ramah. Hanya dengan sang gadis ia dapat tersenyum begitu tulus.

“Boleh aku duduk di sampingmu?”

“Kak Neuvillette? Halo! Boleh banget kok duduk aja!”

Sebuah senyum hangat nan ramah menyambut dirinya. Bagaimana mata bulat itu seketika menghilang dan membentuk dua lengkung sabit di sana. Neuvillette pun memposisikan dirinya, duduk tepat di samping Navia yabg tengah menikmati hangatnya malam kebersamaan.

Disodorkannya segelas susu hangat yang ia ambil dari pantry dapur penginapan (sudah sengaja ia bawa) dan sang puan menatapnya penuh tanya, sebelum menerimanya dengan ragu-ragu.

“Udah malem, udaranya dingin,” jelasnya. Sang gadis pun menganggu dan menerima gelas yang masih mengepulkan uap panas.

“Kamu yang mersiapin makrab ini?” tanyanya, sang gadis pun tertawa jahil, “Hehehe, iya! Gimana kak? Suka? Lebih tepatnya aku jadi inisiator aja sih terus yang lainnya setuju yaudah deh!”

“Sebenernya kamu gausa repot-repot begini,”

“Gak repooot! Aku cuma ingin hari terakhir ini ada satu kenangan yang bisa dirayakan dan bikin, ‘oh dulu aku HIMA begini loh’ paling ngga jadi memori indah buat kita semua,”

Di bawah sinar lampu gantung teranam, ia dapat melihat bayabg senyum manis milik sang puan. Bibir tipis yang membentuk ujiran bulan sabit pada paras manisnya.

Dalam hati, Neuvillette ingin berkata bahwa dirinya tidak perlu seperti itu.

Karena menghabiskan waktu berdua dengannya sudah cukup baginya

Namun, melihat senyum tulus di wajah Navia membuat Neuvillette ikut merasakan senang, asalkan gadis itu senang, ia tidak masalah.

———

“AKU MAU NYANYI DONG!”

“Bwoleee”

Gadis mungil bersurai biru muda itu pun segera maju, mengambil microphone dati tangan Wriothesley yang baru saja bernyanyi. Dengan bantuan Childe selaku DJ (abal-abal) tanpa perlu menunggu lama, alunan musik mendayu dengan iringan gitar akustik pun terdengar, seketika semua orang pun berseru (mengeluh).

“KUKIRA MAU NYANYIIN LAGU TERNYATA KISAHKU”

“DEEEEEYM”

“Mohon masyarakat harap diam dan baru bernyanyi saat masuk reff ya,”

Tawa orang-orang pun pecah dan Furina pun mulai menyanyikan bait perbait lirik lagu Oceans and Engines. Neuvillette pun terkekeh kecil karena suasana malam keakraban hari ini. Kapan lagi dia dapat menikmati suasana hangat nan intim seperti ini. Hatinya pun turut menghangat.

But, I’m letting go… I’m giving up your ghost

But don’t get me wrong… I’ll always love you, that’s why i wrote you this very last last song…,

Neuvillette menolehkan kepalanya kala telinganya menangkap suara samar mendayu di deketnya. Navia, gadis sebelahnya tengah menatap ke arahnya, dengan pandangan yang tak ia mengerti.

Gadis itu tersenyum namun ia dapat melihat kerapuhan di sana. Mata biru itu pun kehilangan binarnya. Gadis itu pun semakin mengeratkan pelukannya kepada kedua lututnya yang ia tekuk.

I guess whis is where we say… goodbye…

Suara gadis itu semakin samar dan sedikit bergetar. Meski demikian, selayaknya seorang aktor yang tengah berakting gadis itu berusaha untuk tersenyum dan menikmati suasana syahdu malam ini dengan terus bernyanyi.

“Hehe lagunya sedih ya kak? Padahal cuma lagu tapi ternyata juga kisahku,”

“Navia… malam ini bukan berarti perpisahan dan kita ngga bisa ketemu lagi,”

Gadis itu menggeleng, seolah menyangkal apa yang dikatakan lelaki tersebut.

“Semua orang bakalan bilang gitu ngga sih? Pada akhirnya tetap jadi perpisahan karena kita punya pilihan masing-masing nanti kedepannya,”

“Navia…, kamu yang bilang kan malam ini bukan malam perpisahan… tapi perayaan buat kita semua,”

Cengkraman tangan gadis itu semakin erat, dapat dilihatnya kain rok yang ia kenakan semakin lusut karena digenggam begitu kuat. Gadis itu kembali menggeleng. Namun, kali ini tidak mengatakan apa-apa. Itu adalah pilihannya, perpisahan.

“Kalau memang setiap orang punya pilihannya masing-masing. Aku bakalan milih buat begini terus… sama kamu,”

Gadis bersurai pirang tersebut terkekeh kecil, mendengar pernyataannya, layaknya sebuah lelucon umum yang sering kali ia dengar.

“Aku mau terus sama kamu dan nikmati waktu kita bersama Navia,”

“Kita masih bisa sering ketemu kok kak,”

“Aku suka sama kamu,”

“Aku juga suka kak Neuvillette sama kakak-kakak HIMA lainnya,”

Neuvillette menghela nafas berat, keras kepala batinnya. Namun, mungkin itu pula yang membuatnya jatuh hati. Sama seperti bagaimana Navia yang keras kepala mendekatinya untuk terus mengobrol walau dirinya tau bahwa ia bukan orang yang ramah ataupun menyenangkan untuk diajak bicara.

Sekarang dirinyalah yang harus keras kepala, sebelum ia kehilangan gadis yang ada di hadapannya, untuk kedepannya.

“Navia, aku suka sama kamu,” ucapnya mantap.

Ia dapat melihat gadis di hadapannya menatapnya tak percaya dengan sepasang netra yang membulat.

———

Dan Neuvillette pun nyatanya telah benar-benar jatuh suka akan sosoknya.

———

Seharusnya Navia tahu sendari dulu. Bahwa rasa itu tak pernah ada untuknya. Ataupun dapat dipaksakan untuknya.

———

Seharusnya, sendari awal, Navia tahu diri.

“SELAMAT SOREEE MASYARAKAT SEMUANYAAA”

Pintu sekre HIMA dibuka dengan penuh semangat—seakan sang pelaku melupakan fakta bahwa engsel pintu ruangan tersebut umurnya sudah lebih tua dibandingkan sebagian besar dari mereka.

“Furina, sudah aku bilang nggak boleh teriak-teriak. Nanti kita dipanggil bu Faruzan buat menghadap departemen lagi,”

“Ehe,”

Pusat perhatian ruangan berukuran tiga kali tiga itu pun seketika berfokus pada dua insan bersurai putih pucat tersebut. Eksistensi mereka begitu mencolok dan sulit untuk diabaikan begitu saja.

Furina dan Neuvillette.

Jika melihat sekilas saja orang-orang pasti sudah mengira betapa cocok dan serasinya mereka berdua, mereka yang selalu tanpa sengaja mengenakan baju senada—seperti saat ini—dengan sifat yang saling bertolak belakang seakan saling melengkapi, membuat berbagai macam bentuk gosip dan spekulasi pun senter di antara mereka.

“Jadi, apakah Anda punya alasan masuk akal untuk keterlambatan hari ini? Wahai bapak ketua Neuvillette?”

Navia sedikit melirik ke arah kakak tingkatnya yang sepertinya sendari tadi sudah sedikit badmood. Kak Clorinde memang terkenal sangat disiplin, sama seperti dengan kak Neuvillette dan begitu berbeda dengan bang Wriothesley (orangnya yang meminta dipanggil bang agar spesial katanya), tentu saja keterlambatan sang ketua Himpunan membuat gadis bersurai hitam tersebut sedikit naik pitam.

Sorry, tadi waktu makan siang aku ngga sengaja ketemu Furina terus kita ngobrol. Aku salah liat jam, aku kira masih jam setengah ternyata sudah jam setengah empat,”

Kening milik Navia berkerut, selama hampir setahun mengenal kak Neuvillette ia tahu bahwa lelaki tersebut tidak pernah seceroboh itu.

Sejatinya sendari awal dia tahu dan tidak memilih untuk acuh

“Biar aku tebak, pasti Furina ada niatan kabur rapat hari ini kan?” tebak Wriothesley, seakan mengalihkan topik pembicaraan. Gadis mungil tersebut terlihat salah tingkah berusaha mengelak.

Tanpa sadar Navia ikut tersenyum melihat interaksi diantara mereka. Menggemaskan batinnya tapi yang jelas terdapat sesuatu yang membuatnya tidak suka dan seketika ia pun gelengkan kepalanya.

“Permisi kakak-kakak, berhubung ini sudah telat hampir setengah jam bagaimana kalau kita mulai saja rapatnya? Takutnya nanti selesai kemaleman,”

———

“Haaah…”

Ini sudah kali kesekian gadis itu menghela nafas. Clorinde yang menyadarinya pun sedikit menyikut lengannya.

“Kamu gapapa? Sakit? Mau aku suruh Neuvillette berhenti aja?” tanyanya sembari berbisik.

“Eh? Engga kok kak! Gapapa, aku cuma… agak capek aja…,”

“Hoh? Matkul terakhirmu siapa emang tadi…,”

Helaan nafas Navia pun semakin panjang, dibenamkan kepalanya pada uluran tangannya di atas meja.

“Mungkin cukup sekian untuk rapat hari ini? Ada yang ditanyakan?”

Satu ruangan pun hening dan terlihat tidak ada yang mengacungkan tangan. Neuvillette anggap bahwa tidak ada yang keberatan ataupun menyanggah. Menandakan rapat hari itu berakhir tepat pukul lima sore. Tidak terlambat, paling tidak Navia bisa sedikit

“Mas Haitham…”

Mendengar jawaban Navia tersebut wajah Clorinde pun seketika sama muramnya.

———

“Akhirnyaaa rapatnya selesaaiii~”

Buk

Satu pukulan kecil dengan buku tulis sinar dunia mendarat tepat diatas kepala Furina dan pelakunya adalah Wriothesley.

“Ngga cocok ya kamu bilang gitu padahal yang bikin Neuvi telat sama niat kabur rapat hari ini,”

“Mau pada makan sambelan ngga?”

“Ih mau!”

Navia terlihat tidak peduli. Gadis itu nampak sibuk dengan barang-barangnya. Meringkasi mejanya dan memasukkannya satu persatu ke dalam tas. Suasana hatinya hari ini tidak terlalu bagus, dengan seperti ini ia bisa menghindari ajakan yang bisa saja dilayangkan kepadanya.

“Na? Udah makan belum?”

Tanpa perlu menoleh Navia hafal betul siapa empu sang pemilik suara. Ditutupnya resetling tas jinjingnya.

“Belum kak,”

“Mau ikut makan malem bareng yang lain?”

Ajakan yang seharusnya ia terima dengan antusias. Namun tidak untuk hari ini, dirinya terlalu lelah tapi tidak mengerti apa penyebabnya. Ia pun hanya bisa tersenyum kecil (walau dipaksakan) sembari menolak.

“Maaf kak, aku mau langsung pulang aja, aku agak capek hari ini,”

Lelaki di hadapannya itu menatap penuh selidik dan gadis itu berusaha tersenyum semaksimal mungkin meyakinkan bahwa bukanlah sesuatu yang besar untuk dikhawatirkan.

“Neuv! Ikut gak?”

Terlihat sosok Wriothesley datang menghampiri mereka dan merangkul pundak Neuvillette akrab. Anggukan kecil pun menjadi jawaban atas pertanyaan Wriothesley tersebut.

Good oi Nav, ikut ngga?” tanya lelaki itu gantian, dan jawaban Navia pun hanya berupa gelengan kepala.

“Loh?! Kenapa? Neuvillette ikut loh,”

“Udah gausa dipaksa, anaknya lagi capek, takutnya tambah gak enak badan gegara kita ajak keluar malem terus sakit gimana?”

“Tuh bang, dengerin kak Neuvillette,”

“Yah ga asik padahal kan pengen liat kalian ber—”

Duk

“Iye iyee sori, sensian amat sih kek masker,”

Sosok Wriothesley pun pergi meninggalkan kedua insan tersebut dalam suasana canggung. Navia pun tidak berani menoleh ke arah Neuvillette yang sepertinya sendari tadi tengah memperhatikannya dengan seksama.

Padahal dalam hati dirinya ingin sekali kabur tapi diawasi seperti ini membuatnya tidak nyaman.

“YAH AKU BONCENGAN SAMA SIAPA KALAU SEMUANYA FULL?!”

“Jiakh kasihan deh jalan kaki aja Rin, deket kok cuma sepuluh menit”

“Ogah banget!”

“Sama aku aja!”

“SERIUS KAK NEUV?!”

“Ya,”

Navia hanya bisa menundukkan kepalanya seolah merapalkan sebuah mantra untuk menguatkan hatinya. Digenggamnya erat-erat selempang tasnya.

“Na? Mau pulang sekarang? Mau aku anter ke depan sekalian?” tawar Neuvillette.

“Eh? Iya! Eh—gausah! Maksudnya iya! Aku pulang sekarang sama gausah aku bisa sendiri!”

Digaruknya pipinya yang tidak gatal dan masih belum berani untuk menatap ke arah Neuvillette di hadapannya. Kecanggungan masih menyelimuti mereka sampai akhirnya Navia pamit undur diri terlebih dahulu.

———

“Aku duluan ya kak,”

“Iya, hati-hati ya,”

“Na, aku pergi duluan ya sama yang lain.”

Ditolehkannya pandangan gadis itu dan pada akhirnya Navia pun berani menatap ke arah Neuvillette.

“Ahaha iya kak! Hati-hati di jalan!”

———

Terlepas dari semua kecocokan diantara mereka Nyatanya tidak berakhir indah Rasanya sudah tidak ada lagi rasa istimewa tersisa

Namun, terkadang dirinya berusaha menduga Apakah akan ada lagi yang sepertinya?

———