komoyi

just me and my loving komori hours, heavily post sunakomo

———

Faisal berlari dengan tergesa menyusuri jalan rumah Rena, beberapa kali meminta maaf pada pejalan kali yang sudah ia tabrak namun langkahnya tetap berlari. Satu pesan dari Rena begitu mengusiknya, dan saat ia telah selesai ia hanya berharap bahwa semuanya tidaklah terlambat.

“Demoiselle, angkat telpon saya, tch.”

Nafasnya berpacu sama derap kakinya, bahkan dalam larinya ia dapat mendengar degup jantungnya yang tidak karuan. Sesampainya di rumah gadis itu ia mendapati pintu rumah yang terbuka lebar begitu saja. Walau demoiselle-nya itu sedikit cereboh tetapi ia bukanlah gadis yang bodoh meninggalkan rumah dengan pintu terbuka.

Dengan segera ia mengeluarkan ponselnya, mengirimkan sinyal SOS ke kontak daruratnya, Rizal. Kontak SOS yang jelas diketahui bukan perihal dirinya tetapi perihal sang putri.

Ia mengambil nafas panjang dan menghembuskannya perlahan, ia harus tenang atau ia akan semakin kecolongan. Sepertinya musuh benar-benar mengincar saat dirinya tidak bersama Rena untuk menjalankan aksinya. Tetapi ia memang tidak bisa dua puluh empat jam mendampingi Rena, sial, ia merutuki dirinya dan kesalahannya.

Pembawa sial

Tidak, ia tidak mau mempercayai bahwa hilangnya Rena adalah kesalahannya. Ia harus tenang. Dirinya harus tenang. Setelah berhasil mengembalikan kesadarannya Faisal pun perlahan memasuki kediaman yang tampak kosong. Pandangannya hanya mendapati sebuah keranjang yang telah tergeletak tak berdaya di dekat pintu dengan buah stroberi yang berjatuhan.

Darahnya terasa mendidih, ia ingat betul ini adalah buah stoberi yang sengaja Rena beli untuknya. Manusia biadab gumamnya.

Ada keadaan darurat apa?

“DEMOISELLE HILANG! Tolong kerahkan Diki dan Doni untuk bergerak, ini keadaan darurat!”

Sosok di sebrang panggilan suaranya itu pun sama terkejutnya dengan Faisal saat pertama kalo tiba di kediaman Rena tersebut. Meskipun demikian Faisal masih berusaha untuk memjelaskan kondisi yang ada dengan selogis mungkin sembari memperhatikan TKP dengan seksama.

Faisal menggretakkan giginya kesal, tidak tidak ada petunjuk apapun, bagaimana cara dia mencari Rena? Bagaimana jika Rena benar-benar menghilang? Apa kata Indra? Apa benar ia hanya bisa mengacau?! Tidak tidak seharusnya dia berpikir demikian. Ia harus tenang dan mulai menganalisis kemungkinan dan motif yang ada.

Dengan segera langkah kakinya ia bawa untuk menuju lokasi tempat kematian madam Ningsih. Jika memang pelakunya adalah orang yang sama maka seharusnya terdapat kesamaan motif.

———

Faisal pun mengamati kondisi gang pemukiman tersebut. Sesuai dugaannya, tempat ini memang menjadi titik buta. Menculik demoiselle di rumahnya juga merupakan tindakan yang bodoh dan gegabah, apakah demoiselle dijebak? Atau apa?

Sebenarnya ia memiliki beberapa kemungkinan skenario. Skenario pertama adalah reka adegan madame Ningsih tetapi alih-alih langsung dibunuh maka sang pelaku justru mengikuti demoiselle ke rumah, motifnya adalah menipu dengan meminta tolong dan saat demoiselle lengah maka langsung dilumpuhkan. Setelah itu dibawa kembali melewati gang ini.

Skenario kedua adalah sang pelaku langsung menculik demoiselle di rumah dan dibawa pergi, tetapi mengingat pintu yang terbuka maka jika demoiselle tiba-tiba berteriak karena diculik tentu akan menarik perhatian.

Jika memang skenario pertama yang terjadi maka… arah selatan sudah memasuki hutan. Lokasi ini menjadi titik buta karena perbatasan terluar dari selatan kota Jaya. Di mana aktivitas masyarakat sangat minim. Namun menjadi kelemahan yang sangat mudah di eksploitasi. Sepertinya Diki akan kesulitan jika seperti ini, jejaring komunikasi akan sulit dilacak jika keluar dari kota tetapi Doni seharusnya bisa mengenal organisasi penjahat bawah tanah dan sindikatnya.

Faisal harus bergerak cepat, lembayung senja mulai mereda digantikan redupnya sinar rembulan. Akan susah menyisiri hutan apabila cahaya sang surya telah menghilang.

———

Bagaimana?

“Sepertinya aku sudah mendapat sedikit petunjuk, dan aku ingin memastikannya,”

Seorang diri?

“Ya, kalian bisa gunakan radar dari ponselku, jika berbenturan dengan sinyal telekomunikasi yang lain maka kemungkinan besar itu milik demoiselle atau sang pelaku,”

Kau?! Tidak bisakah kau menunggu bantuan?

“Apa kau khawatir?”

Dasar bocah tengil

“Terima kasih karena telah mengkhawatirkanku, tapi aku tidak akan mati semudah itu…,”

Baiklah, hati-hati. Aku akan segera mengerahkan bantuan

“Terima kasih”

Faisal pun memasukkan ponselnya, dikeluarkannya sebuah belati yang selalu ia sembunyikan dibalik punggungnya. Dirinya sedikit mendecih, jika saja ia membawa pedang bersama dengan dirinya semua akan lebih mudah. Yah paling tidak ia juga selalu membawa pistol beserta peluru bersama dirinya untuk jaga-jaga walaupun kemahirannya dalam menembak tidak bisa disamakan dengan Rizal maupun Doni. Ia lebih terlatih dengan mata pedang.

———

Rena berusaha untuk membuka kedua kelopak matanya, rasanya begitu berat. Kepalanya pusing sekali, seperti abis terbentur sesuatu dan ia dapat mencium bau anyir darah yang menganggunya.

“Oh? Sudah bangun ya?”

Tanya seorang lelaki berambut sedikit blonde tersebut. Kepalanya masih terasa begitu berat, sulit untuknya memberi respon secara langsung ataupun melawan. Sepertinya tadi dirinya sempat dibius.

“Wah? Sudah bangun? Padahal pertunjukkannya belum saja di mulai,”

Pandangannya yang buram dan sedikit remang itu dapat melihat bayangan sosok lain yang berjalan ke arahnya. Lelaki paruh baya yang entah kenapa membuat Rena bergedik ketakutan. Otaknya sudah mulai bisa mengolah informasi yang ada. Di mana dia sekarang? Kenapa ia disekap dan diculik seperti ini?

“Jadi ini perempuan yang selama ini berada dalam pengawasan Raja? Tidak ada istimewanya sama sekali…,”

Apa maksudnya?

Apa yang mereka inginkan? Lalu apa hubungannya dengan sang Raja? Rena tidak tahu menahu! Kenapa ia sampai terlibat hal seperti ini?!

“Apa kau wanita simpanan sang Raja?”

“Jangan sembarangan kalau bicara!” Bentak Rena, sembarangan sekali jika berkata. Ia tidak terima dengan tuduhan itu, walau memang ia bukanlah gadis dari keluarga berada tapi tentu saja ia tidak akan pernah mau menurunkan martabatnya seperti itu.

“Heh, apa kau tidak tau situasimu sekarang?”

“Bagaimana kalau kita rusak saja ‘harta’ berharga sang Raja, membuktikan jika memang sang Raja macam-macam dengan kita maka kita bisa melakukan lebih,”

Mata gadis itu terbelalak penuh ketakutan saat tangan-tangan itu mulai menggerayangi tubuhnya. Rena terus berusaha memberontak untuk melepaskan diri. Tidak, dia tidak mau seperti ini! Apa salahnya?! Apa salahnya?!

“Tidak… tidak…, TIDAAAAK! BERHENTIIII!”

———

Pintu bapuk itu terdobrak hingga rusak. Fokus semua orang di dalam ruangan kumuh tersebut teralih, Rena yang penampilannya sudah berantakan itu pun berusaha memfokuskan pandangan dan kesadarannya. Remang cahaya bulan menyinari sosok bayangan lelaki yang saat ini tengah berjalan ke arahnya.

Apakah akhirnya akan seperti ini? Rena sudah tidak dapat melawan lagi, hanya bulir air mata yang mengalir membasahi pipinya. Ia sudah terlampau lelah, jika memang sosok itu juga akan berbuat buruk pada dirinya. Toh dirinya sudah tidak punya siapa-siapa di sisinya. Mungkin setelah ini dia bisa menyusul bundanya kan?

“Si-?!”

Satu tebasan belati seketika melukai kedua mata lelaki berambut blonde tersebut. Lelaki itu menggretakkan giginya sebal dan tangannya secara refleks mengambil pistol dibelakang tubuhnya untuk menangkis tembakan peluru yang dilepaskan oleh lelaki satunya.

“Jati… dan Bobby… kalian ditangkap atas tuduhan pemberontakan terhadap kerajaan Jaya dan penyerangan pribadi terhadap anggota kerajaan yaitu putri Indy Sri Jaya,”

Hah?

Dengan susah payah ia berusaha untuk memfokuskan pandangannya, cahaya bulan perlahan memasuki rongga rongga kayu gubuk tersebut dan menampilkan sosok siluet yang begitu familiar untuknya.

“Monsieur…”

“Penyelidikan akan terus dilakukan untuk mencari tuan yang mendalangi kalian, segala macam pembelaan hanya dilakukan di ruang persidangan,”

Dari bawah sinar rembulan, pertama kalinya Rena melihat ekspresi wajah seperti itu. Mata tajam yang haus akan darah dan penuh akan kebencian. Sosok dihadapannya bukanlah sosok Faisal yang ia kenal. Apakah sekarang ia harus merasa lega karena sudah merasa aman? Tetapi perasaan asing itu pun mengusiknya.

“Biadap… orang-orang biadap…,”

Rena dapat mendengarnya, Faisal yang menggumamkan sumpah serapah pada kedua lelaki asing tersebut… tangan kirinya mengarahkan pistol kepada sosok lelaki yang tidak terluka, sedikit lagi akan menembakkan pelatuk dari sana. Tapi, jika Faisal melakukannya bukankah akan menjadikannya sebagai pembunuh?

“Mo…monsieur… ja… jangan lakukan itu…,”

Duar

Satu tembakan dilepaskan tepat di atas kepala Jati. Membuat Faisal mendecih tidak suka, tembakan peringatan. Disimpannya kembali belati dan pistolnya. Faisal berjalan perlahan ke arah Rena.

Sungguh malang kondisi gadis itu, dengan rok yang sobek lebar memperlihatkan bagian pahanya, memar bagian paha dalam, dada, dan juga bibir terluka karena digigit. Namun, gadis itu tetap berusaha tersenyum sayu saat mengetahui Faisal tengah menyelamatkannya dan memandangnya sembari diam mematung.

Yah… dirinya sudah tidak lagi suci dan benda rusak yang tidak pantas dilindungi… lebih baik ia ditinggalkan dan mati saja…

Faisal duduk berjongkok dihadapan Rena. Melepaskan jas miliknya untuk menutupi tubuh bagian bawahnya. Ia dapat melihat bulir air mata yang keluar dari sudut mata kelabun milik sang lelaki.

“Monsieur… tinggalkan saja aku… aku sudah tidak layak lagi untuk diselamatkan…,”

Lagipula apa kata orang-orang jika mengetahui ia adalah seorang gadis yang hidup kehilangan martabatnya? Lebih baik ia mati saja bukan?

“Tidak…, saya tidak mungkin meninggalkan orang yang berharga bagi saya…,”

“Berharga… tapi… aku…,”

“Tidak ada yang akan pernah bisa menodai kemurnian dan kebaikan demoiselle…, Anda masih sangatlah berharga…,”

Didekapnya erat sosok perempuan ringkih itu. Berulang kali, Faisal meminta maaf karena meninggalkannya, berulang kali Faisal meminta maaf karena terlambat, berulag kali Faisal meminta maaf karena tidak ada di sisinya. Rena pun hanya bisa menangis dalam diam dan menyembunyikan wajahnya dibalik ceruk leher milik Faisal.

———

Digendongnya gadis itu yang pingsan dalam pelukannya karena stress dan trauma yang dilandanya. Faisal menatap kedua lelaki biadap tersebut penuh dendam dan amarah. Tapi prioritasnya adalah menyelamatkan Rena.

Saat ia melangkahkan kakinya keluar ia dapat merasakan satu peluru menghujam bahunya.

“FAISAL?!”

Faisal dapat melihat sosok Rizal dalam baju tempurnya tergopoh-gopoh ke arahnya. Mendapati dirinya yang tengah terengah sembari menggendong Rena.

Dor

Satu tembakan kembali dilepaskan mengenai kaki Faisal, menbuat lelaki itu seketika terjatuh karena rasa sakit namun Rizal dengan segera memapahnya.

“Demoiselle… keselamatan demoiselle yang utama… mereka… mereka…”

“Baik, aku mengerti,”

Rizal pun dengan segera mengambil tubuh Rena. Namun satu tembakan kembali dilepaskan dan mengenai perut Faisal. Membuat lelaki itu terhuyung seketika.

“FAISAL?!”

Dengan segera Rizal mengarahkan pasukannya untuk mengepung Jati dan membawa Bobby.

“Demoiselle… keselamatan… demoiselle… utamakan…,”

Rizal mendecih sebal, ia berjanji bahwa Doni dan Diki akan segera menyusulnya bersama Romi dan menyelamatkan Faisal. Mendengar hal tersebut entah mengapa sedikit membuat Faisal merasa lega.

———

“Tidak apa… aku… masih bisa bertahan…,”

———

Dengan tubuh bersimbah darah, Faisal terduduk tidak berdaya di kusen pintu gubuk tersebut. Memandang sinar rembulan yang entah mengapa malam ini terasa hangat dan familiar.

“Sepertinya… sang pangeran hari ini tengah tersenyum…,”

———

———

Kota Jaya pagi hari nampak begitu cerah, hari ini adalah akhir pekan, waktu yang tepat untuk berlibur dan menghabiskan waktu dengan keluarga atau orang terkasih. Banyak anak-anak kecil berlarian di atas permadani hijau membentang, di temani dengan kiau burung gereja yang saling sahut-sahutan, menciptakan harmoni indah bagi siapa saja yang mendengarnya.

Faisal dan Rena duduk di bawah rimbun pohon dekat tepi sungai, mencari tempat yang cocok untuk berteduh dan menikmati bekal yang susah sengaja Rena siapkan.

Ada susu, pie apel, buah-buahan, roti, dan beberapa jajanan manis yang telah Rena bawa dari rumah. Semuanya ia buat sendiri dalam satu hari, sementara Faisal membantu penyusun dan menggelar alas untuk mereka duduk.

“Mari di makan monsieur! Yang lahap ya! Ini semua aku yang masak dan semoga monsieur suka! Terima kasih karena telah merawatku selama ini jadi sekarang gantian aku yang ‘merawat’ monsieur!” seru Rena sembari berdecak pinggang. Faisal yang melihat tingkah Rena tersebut pun terkekeh kecil. Gemas akan sifat riangnya itu.

Mereka pun menikmati kudapan yang ada dan saling bertukar cerita satu sama lain.

———

Jika boleh jujur, Faisal menyukai suasana seperti ini. Ia menyukai sensasi semilir angin yang membelai lembut wajahnya, seakan menggodanya dengan malu-malu. Faisal menyukai aroma khas dedalu yang baru saja terkena embun bagi, ia menyukai suara angin yang beradu dengan gemerisik dedaunan pohon. Ia menghirup nafas panjang, dan menghembuskannya. Sepertinya sudah lama sekali ia tidak beristirahat seperti ini. Sejenak mensyukuri hidupnya.

Tatapannya pun seketika menjadi sayu, suasana hatinya pun membitu. Walau Faisal tetap berusaha tersenyum tetapi Rena terlalu peka untuk menyadari perubahan hati lelaki di sebelahnya. Digenggamnya erat tangan lelaki itu.

“Demoiselle?”

“Monsieur seperti itu lagi!”

Faisal sedikit kebingungan, seperti itu itu seperti apa yang dimaksudkan?

“Monsieur selalu berusaha tersenyum tapi sebenarnya lagi sedih kan? Apa ada masalah?” tanyanya penuh ke khawatiran

Mungkin, di mata penontonnya ia adalah aktor yang handal dan cakap tapi di mata Rena semua sandiwaranya tidak akan bisa menutupi apa yang dirasakan sebenarnya. Apa dirinya terlalu lama menghabiskan waktu dengan sang gadis sehingga bisa diulik semudah itu?

Dengan susah payah ia berusaha untuk tersenyum. Bukan menampilkan senyum terbaiknya, hanya sebatas agar tidak dikhawatirkan. Ia dari dulu memang selalu berusaha dan dituntut untuk tegar.

“…hhh… maaf demoiselle, sepertinya saya memamg sedikit lelah beberapa minggu terakhir…, tapi sungguh, saya menikmati hari ini… paling tidak bisa istirahat sejenak,”

Rena mengerti, memang sepertinya Faisal bukanlah tipe yang mudah bercerita. Mungkin saja bagi lelaki itu dirinya masihlah orang asing. Tetapi, ia ingin Faisal juga bersenang-senang. Ia tidak ingin lelaki itu merasa sedih karena selama ini dialah yang membantunya. Dia ingin Faisal mempercayainya sebagaimana dia kepada Faisal. Terbuka dan lebih ekspresif dalam memahami diri sendiri dan emosi yang dirasakannya.

“Monsieur! Apakah monsieur mau berdansa denganku?” ajak Rena

Belum sempat Faisal menjawab, gadis itu sudah berdiri sembari mengulurkan tangannya di hadapannya. Faisal pun hanya diam dan menatapnya bingung. Tetapi ia tidak menolak ataupun bertanya lebih, sepertinya gadis itu masih berusaha menghiburnya. Diterimanya uluran tangan sang gadis.

“Tapi demoiselle, jika kita ingin berdansa maka perlu ada musik yang mengiringinya,”

“Tidakkah monsiuer tau kalau suara alam adalah alunan lagu terindah di semesta?”

———

Dengan sigap Faisal memeluk pinggang Rena dan memutar badannya, menjadi tumpuan sang gadis agar tidak terjatuh karena kehilangan keseimbangan saat mereka berdansa. Lelaki itu sedikit mengaduh, tetapi Rena hanya terkekeh kecil di atas badan Faisal, tidak merasa bersalah sama sekali.

“Hehe”

“Demoiselle…,”

Rena pun bangkit dari posisinya, membantu Faisal. Baju putih lelaki itu sedikit kotor oleh dedaunan dan rumput kering. Namun, bukannya membersihkan bajunya lelaki itu justru sibuk membersihkan anak-anak rambut Rena yang berantakan dan kotor oleh dedayunan layu saat menimpanya.

“Saya harap demoiselle kedepannya lebih berhati-hati dan tidak ceroboh…,” ujarnya sembari masih sibuk merapikan rambut sang gadis, “Aku tidak perlu khawatir karena ada monsieur yang akan selalu melindungiku!” jawabnya riang seketika sukses menghentikan gerakan tangan Faisal.

Dicubitnya pipi Rena, entah kenapa dia merasa gemas, “Saya harap demoiselle lebih berhati-hati lagi. Saya memang akan selalu membantu demoiselle tetapi juga tidak menutup kemungkinan saya tidak ada di sisi demoiselle untuk menolong demoiselle,” jelasnya. Membuat Rena memberengut tidak suka.

“Lagaknya seperti monsieur bakalan pergi jauh saja,” gerutunya.

“Saya hanya meminta demoiselle berhati-hati loh…,”

“Tapi… monsieur tidak akan pergi kan?”

Pertanyaan Rena seketika merubah raut ekspresi wajah Faisal. Jika memang misinya adalah untuk menjaga Rena maka ia bersumpah dan berjanji untuk selalu di sisi sang gadis sampai sang putri kembali ke kerajaan Jaya. Tetapi… ia tidak bisa lari dari apa yang dinubuatkan.

Garis hidupnya sejak awal telah tertulis secara pasti. Setidaknya itu yang ia percayai sendari kecil. Akan tiba waktunya dia harus pergi. Maka ia pun tidak bisa berjanji.

“Monsieur?”

“Demoiselle…, jika semisal saya pergi… jauh sekali…,”

Faisal terlihat terdiam sejenak, tidak melanjutkan ucapannya, sementara Rena masih diam menunggu.

“…dan tidak bisa kembali…, apa yang akan demoiselle rasakan?” tanyanya yang seketika merubah raut wajah sang gadis. Ia nampak begitu sedih sembari mengigit bibir bawahnya keras. Menciptakan sensasi amis darah di bibirnya.

“Jangan digigit seperti itu…,” ujar Faisal sembari mengusap darah di bibir Rena.

“…kalau monsieur pergi… maka akan ku tahan monsieru agar tidak pergi! Aku… aku juga akan menarik monsieur untuk pulang!” jelasnya membuat Faisal terkekeh kecil, mendengar hal tersebut entah kenapa membuat dirinya merasa sedikit membaik. Diusapnya pucuk kepala sang gadis.

“Demoiselle, aku ada sebuah cerita, apakah demoiselle tertarik untuk mendengarnya? Kisah tentang pangeran bulan yang selalu menanti cahaya matahari pagi,”

———

Alkisah di sebuah kerajaan kuno, lahir lah sepasang anak kembar, seorang pangeran dan juga putri. Sang putri adalah gadis yang cantik jelita, dengan senyum yang begitu meneduhkan layaknya cahaya dalam gelapnya sanubari.

Sang putri bersinar teramat cerah diantara para bintang dan langit malam. Elok dirinya membuat siapapun yang melihatnya jatuh hati. Laksana pelita dalam gelapnya malam. Selayaknya bintang yang selalu dicari untuk arah jalan pulang.

Sementara sang pangeran, dirinya laksana bulan dalam gelapnya malam. Sinarnya redup dan samar, yang hadirnya antara ada dan tiada. Hadirnya tiada pasti walau ia selalu ada di tempat yang sama.

Sang putri layaknya bintang dan sang pangeran hanyalah bulan

Tetapi sang pangeran tidaklah terlalu mempermasalahkannya, karena sang bulan akan selalu ada dan melindungi sang bintang selama malam yang panjang nan gelap. Walau ia tidak pernah memiliki sinarnya sendiri, tetapi biarkan dia terjaga sepanjang malam untuk melindungi sang bintang.

Dalam sepanjang hidupnya, sang putri mendapat segala macam gemerlap kehidupan dan perhatian yang sang pangran tidak pernah dapatkan. Apakah sang pangeran pernah merasakan iri? Tentu tidak, karena ia percaya bahwa tugasnya hanya untuk menjadi bayang-bayang sang putri sepanjang malam. Biarkan orang-orang mencari sang putri, maka sang pangeran akan membantu mereka di gelapnya malam dengan teranam cahayanya.

Di saat sang putri menari dengan gemerlap lampu dansa, sang pangeran menunggu dibalik tembok sembari memandangi gelapnya langit malam.

Kadang dia seringkali berandai, kenapa bulan perlu ada jika semasa hidupnya hanya menjadi bayangan?

Di bawah redupnya sinar rembulan tanpa langit berbintang sang pangeran pun mengadah dan bertanya-tanya. Untuk apa sang bulan ada jika cahayanya pun bukan dari dirinya sendiri? Melainkan sang matahari?

Dan satu pertanyaan pun seketika terbesit dalam dirinya

Kapan sang bulan dapat bertemu dengan mataharinya?

———

“Iiih monsieur! Terus bagaimana nasib dari sang pangeran?” tanya Rena saat Faisal tiba-tiba mengakhiri ceritanya. Faisal pun hanya terkekeh mendengar pertanyaan Rena tersebut. Karena ia sendiri belum menemukan jawabannya.

“Entahlah, itu hanyalah dongeng lama, banyak pula yang percaya bahwa sampai saat ini sang pangeran masih setia menjadi bayang-banyak sang putri. Ada pula yang berkata bahwa sang bulan masih sibuk mencari mentarinya,”

“Huuu…” keluh Rena, “Tapi… menurutku ini cukup tidak adil bagi sang pangeran…,”

“Kenapa demoiselle berkata demikian?”

“Apa yang membuat sang pangeran percaya bahwa dirinya hidup hanya sebagai bayang-bayang? Menurutku jahat saja karena orang-orang terlalu berfokus pada sang bintang padahal sepanjang malam bulan lah yang menerangi langit…, padahal tidak menutup kemungkinan juga bahwa ada orang-orang yang mencari-cari keberadaan sang bulan…,”

“Hmm…, jadi begitu pemikiran demoiselle…, apa menurut demoiselle sang pangeran juga salah karena menganggap dirinya demikian?”

Rena menggelengkan kepalanya pelan, “Tidak, dia tidak salah, pandangan masyarakat lah yang kemudian membuatnya mempercayai hal tersebut…,”

“Kalau menurut monsieur sendiri bagaimana? Akhir cerita dari sang pangeran?”

Mendengar pertanyaan Rena tersebut Faisal pun mengadah untuk memandang langit biru. Matanya menyipit melihat silau sinar mentari.

“Sebenarnya saya ingin sang bulan bertemu dengan mentarinya demoiselle. Karena selama ini ia bisa bertahan bukan karena sang bintang, tapi sinar mentari yang mendukungnya…” Faisal pun kembali menoleh ke arah Rena, “Kalau demoiselle sendiri bagaimana?”

Dari tempatnya duduk untuk pertama kalinya Rena melihatnya, untuk pertama kalinya Rena melihat pancaran mata yang telah kelihangan binarnya, begitu gelap layaknya tenggelam dalam bayangan kesedihan. Entah kenapa membuat Rena refleks memeluk sosok di hadapannya.

“Aku ingin, sang bulan mendapat kebahagiaannya sendiri. Tanpa perlu berlindung dibawah bayang-bayang sang bintang dan sang mentari. Bahwa bagi sebagaian orang dirinya adalah sosok yang istimewa,”

Faisal yang kaget mendapat pelukan tiba-tiba dari sang gadis itu pun secara kikuk membalas pelukannya.

“Kenapa demoiselle tiba-tiba memeluk saya?” ujarnya sembari terkekeh kecil, bercanda.

“Habisnya ceritanya sedih banget! Aku jadi sedih!” kilahnya. Faisal pun melepaskan pelukan mereka, mengusap kedua pipi Rena yang sedikit basah karena air mata entah dari mana.

“Sudah ya demoiselle, mari kita pulang, ini sudah pukul dua belas siang,”

“Huum,”

Rena pun menerima uluran tangan Faisal yang membantunya untuk berdiri. Dalam perjalanan pulang, Rena enggan melepaskan genggaman tangan lelaki itu.

🌸🌸🌸

Sejak dibukanya perbatasan Inazuma dan diperbolehkannya bangsa-bangsa lain hilir mudik keluar masuk negara sang dewi keabadian itu, pelabuhan Inazuma secara tidak langsung beralih fungsi menjadi ‘pertunjukkan’ bagi warga lokal. Anak-anak Inazuma sering kali berkumpul, menyaksikan kapal-kapal bertepi di dermaga dan menurunkan logistik mereka. Bahkan dengan semangat, mereka membantu para pelancong-pelancong tersebut, dan sama seperti hari-hari biasanya, pelabuhan Inazuma hari ini nampak ramai.

Ramai yang bahkan lebih ramai dari biasanya, karena ‘pertunjukkan’ kali ini melibatkan kapal bajak laut terkenal yang namanya telah diketahui seantero Inazuma, ‘The Crux’ cerita terkait bajak laut memang selalu diminati oleh anak kecil. Oleh sebab itu, ketibaan The Crux menjadi momen yang sangat dinantikan.

Meskipun demikian, hal lain yang menarik dari kedatangan kapal The Crux adalah bagaimana warga Inazuma dapat melihat secara langsung putri Kamisato, seseorang yang sangat sempurna, ikut turun di pelabuhan dan menyaksikan ketibaan kapal berornamen naga tersebut.

Sejujurnya, sudah menjadi rahasia umum kenapa sang putri selalunada di setiap jadwal keberangkatan ataupun kepulangan The Crux di Inazuma. Hubungannya dengan salah satu pewaris klan Kaedehara sekaligus kru The Crux pun menjadi rahasia publik.

Walau pada mulanya ada banyak sekali kecaman dan cibiran mengingat status Ayaka dan Kazuha yang berbeda di tambah hilangnya kehormatan klan Kaedehara di Inazuma. Tapi masyarkaat pun pada akhirnya mengalah, hari demi hari berganti, dan mereka berdua, khususnya Kazuha membuktikan bahwa ia layak atas cinta sang putri. Bagaimana Kazuha, satu-satunya pewaris klan Kaedehara pun perlahan memperbaiki nama dan kehormatan keluarganya.

Membuat kisah mereka kemudian diadaptasi menjadi sebuah roman ringan, di mana sang pangeran dengan giat memantaskan diri untuk sang putri dan sang putri dengan sabar menunggunya.

Pagi itu pukul tujuh, suara kicau burung menghiasi pelabuhan kala itu. Kapal besar tersebut pun menurunkan jangkarnya dan menaikkan layarnya. Antusiasme Ayaka diantara kerumunan orang pun bertambah, binar matanya semakin berkilauan manakala melihat sang Tuan diantara kerumuman kru kapal The Crux.

Tanpa aba-aba ataupun sapaan, layaknya radar yang saling terhunung, sepasang netra merah itu pun seketika menemukan sosok sang Putri diantara kerumunan orang. Binar matanya menghangat, seutas senyum cerah pun mengembang.

“Putri!”

“Kazuha!”

Sang tuan pun berlari menghampiri sang puan. Memeluknya erat sembari menggendongnya tinggi-tinggi. Membuat Ayaka terkekeh kecil. Tiga luluh hari penantiannya pun seketika terbayar lunas kala satu kecupan hangat mendarat di wajahnya.

🍁🍁🍁

“Aku pulang, putri,”

“Selamat datang, tuan,”

🌸🌸🌸

Hari keempat belas menuju bertemu sang tuan, dan telah memasuki hari ketiga sejak sang tuan mulai berlayar menuju negeri sebrang. Walau tau pesan singkat yang ia kirimkan tak tau sampai kepada sang tuan kapan, tapi Ayaka dengan rutin mengirimkan daily update kesehariannya. Mulai dari aktifitasnya hinggal hal-hal menarik yang ia temui atau alami.

Sesekali dirinya sering kecolongan, membuat Ayato sedikit terkekeh, muda-mudi jika sedang di mabuk asmara pusat dunianya pun berbeda dan beralih dari yang dekat ke yang jauh.

“Ayaka kamu istirahat dulu aja ya…,” saran sang kakak, Ayato, tapi Ayaka sama keras kepalanya seperti dirinya tentu saja gadis itu menolaknya.

“Aku gak capek kok kak!” ujarnya mengundang satu kekehan kecil dari sang kakak, “Fisikmu ga capek tapi perasaanmu daritadi gundah, kaka perhatiin dari kemarin kamu gelisah, tidak ada kabar lagi dari tuan Kaedehara?” godanya yang sukses membuat Ayaka merona hebat.

“Kakak!”

“Sudah kamu istirahat saja, Kazuha juga pasti tidak suka jika kamu tidak fokus karenanya seperti ini hingga berpotensi menyelakai diri sendiri,” omel Ayato, Ayaka masih bersikeras untuk menilak tetapi sang kakak terlalu cepat, dipanggilnya pelayan perempuan keluarga Kamisato untuk membawa adiknya kembali ke kamar.

Ayato menggelengkan kepalanya wajar, masa muda masa remaja yang sedang di mabuk asmara memang ada-ada saja.

🍁🍁🍁

Ayaka menghela nafas pelan, ia bosan jujur tidak melakukan apa-apa tapi ia tau hari ini ia akan lebih banyak tidak fokus karena mengkhawatirkan sang tuan. Sebenarnya ia sudah terlampau terbiasa dengan hubungan jarak jauh, tetapi karena Kazuha bilang bahwa lelaki itu hendak mengunjunginya maka hal tersebut tentu saja membuat Ayaka terlampau antusias menanti kedatangan sang pujaan hati. Membuatnya sampai melupakan pekerjaan sehari-harinya.

Sekali lagi, Ayaka menghela nafas panjang, dilepasnya ikatan rambutnya, surai-surai kepucatan itu jatuh dengan lemas menambah keanggunan sang gadis yang jarang diketahui publik.

Dalam lamunnya ia sisir perlahan dan hati-hati helai rambutnya, pikirannya pun sibuk mengandai, sedang apa sang tuan saat ini, apakah ada badai berat yang diterjal olehnya? Tapi meskipun ia khawatir ia yakin dan percaya sang tuan lebih tangguh daripada semua riak di lautan.

“Nona Ayaka, bolehkah saya masuk?”

Tanya salah seorang pengawal pribadinya, setelah memberi izin, wanita parih baya itu pun memasuki kamar sang putri. Duduk bersimpuh sembari membungkuk memberikan surat.

“Nona, saya mendapat sebuah surat yang ditujukan kepada nona Ayaka, dengan nama tuan Kaedehara di atasnya,”

Satu berita sederhana, yang selalu Ayaka nanti. Lesunya pun berubah menjadi haru. Dengan cepat Ayaka bangkit dari posisinya duduk, diletakkannya sisir tersebut dan diambilnya surat berwarna kecokelatan dengan daun maple di atasnya, ciri khas kekasihnya.

“Terima kasih! Sekarang kamu bisa pergi!”

“Baik nona,”

🌸🌸🌸

Jika sebagaian besar warga Inazuma mengenal Ayaka sebagai sosok wanita yang tenang, anggun, dan gemulai. Siapa sangka bahwa Ayaka masihlah seorang gadis di awal dua puluh tahunannya, yang mudah tersipu, salah tingkah, hanya karena sepucuk surat dari sang kekasih.

Senyum lebar yang tak bisa berhenti terukir di wajah sang gadis tanpa sadar membuat kedua pipinya keram, tapi persetan dengan rasa sakit itu, rasa senangnya terlalu membuncah, ia tidak bisa berhenti untuk tidak terkekeh sendiri layaknya kehilangan kewarasan hanya karena sepucuk surat.

Duhai puanku terkasih Ingatlah jika surat ini sampai dengan selamat di tanganmu maka kabar angin pun menyampaikan bahwa aku di sini pun baik-baik saja.

Burung canar lautan pun menyampaikan pesan bahwa laut akhir-akhir ini tengah tenang-tenangnya, layaknya bersuka cita akan pertemuan kita yang menghitung hari

Wahai nona terkasih, semoga kebahagiaanmu senantiasa berlimpah karena senyummu adalah hal yang selalu aku semogakan setiap harinya

Maaf jika tidak bisa mengabarimu untuk beberapa hari kedepan, tapi harap ingatlah bahwa seluruh rasa ini hanya untukmu semata

☘️☘️☘️

Malam itu seluruh anak kosan sesang melakukan outing dan bakar-bakar, walau tidak lengkap karena tidak ada Faisal tetapi pada akhirnya mereka bisa bersantai sejenak, aktifitas hari ini juga usulan Fani, katanya syukuran karena Budi telah kembali pulih.

Sebenarnya ia sudah pernah menanyakannya kepada Fani, hubungan gadis itu dengan sang pujaan hatinya, tapi Fani bilang mereka tidak menjalin hubungan apapun. Katanya, untuk saat ini perasaannya sudah terbalaskan dan itu sudah cukup baginya. Terkadang membuat Rena heran, apakah memang hubungan orang dewasa seperti itu? Apakah cukup sebatas perasaan yang diterima?

“Budi kamu jangan bangak gerak dulu kamu baru aja sembuh!” omel Fani karena lelaki itu terlalu keras kepala untuk membantu, apalagi beberapa luka bakar membuat Fani sedikit trauma jika Budi harus terlibat kegiatan bakar-bakar ini.

Rena dan Siska saling pandang dan memperhatikan, dan sepertinya Budi pun tidak menolak dengan semua perhatian Fani justru sedikit malu-malu menyukainya.

Ah! Rena lupa mengabari Faisal. Sepertinya tidak ada salahnya dia berbagi foto kondisi saat ini. Kira-kira Faisal lagi apa ya?

Diambilnya ponselnya dan difotonya pemandangan langit malam hari ini. Rembulan terlihat pucat, entah kenapa setiap melihat bulan di malam hari ia jadi teringat Faisal. Sosok yang sama indahnya dengan rembulan tetapi sinarnya terlalu pudar, ada banyak banyang, wajah, dan sisi yang ia tidak ketahui. Terkadang ia bisa melihat jelas Faisal layaknya bulan punama namun kadang pula sosok itu sulit untuk dipahami layaknya malam tak berbulan.

Ah, sebuah pesan balasan dari Faisal? Lelaki itu meminta telpon? Tumben.

“Kak, aku minggir dulu ya, mau ada telpon,” izin Rena dan Siska pun mengangguk.

Rena pun melipir, mencari tempat sepi untuk mengangkat telpon dari Faisal, entah kenapa hatinya sedikit berdegup kala suara lembut itu menyapnya.

“Malam Rena,”

☘️☘️☘️

Setelah memilih tempat yang cukup sepi Rena baru berani menjawab sapaan tersebut, semoga suara dia tidak terdengar parau atau pecah di sebeang sana jujur dia cukup gugup apalagi setelah insiden salah kirim.

“Kamu lagi sakit?” tanya Rena khawatir karena suara lelaki itu tampak lesu.

“Hmm…, gatau ya, beberapa hari ini aku agak ngga nafsu makan dan ada yang menganggu pikiranku,”

Walau Faisal tidak dapat melihatnya tetapi Rena pun secara otomatis membentuk raut wajah penuh kekhawatiran. Satu kekehan lepas dari sebrang sana.

“Kamu gausah khawatir, aku baik-baik aja kok,”

“Gimana aku percaya kamu baik-baik aja kalo kamu baru aja bilang ngerasa mual dan ga nafsu makan…” decaknya sebal.

“Huum… mungkin itu alasannya aku nelpon kamu? Buat ngerasa sedikit membaik,” ujarnya yang entah kenapa sukses membuat Rena tersipu

“Kamu…, mau cerita…? Kalau ga keberatan sih…,” ujar Rena lirih.

Terdengar satu helaan nafas panjang disebrangnya, mungkin dengan bercerita dengan Rena sedikit membuatnya membaik tapi apakah Rena siap menerima semua kerapuhannya? Bahwa sosoknya ga setegar dan sekuat yang dia kira.

“Rena, menurutmu…, kalau pasanganmu ternyata ngga sesempurna yang kamu kira perasaanmu gimana?”

“Maksudnya,”

“Hmm… maksudnya kamu selama ini mengenalnya sebagai sosok sempurna tanpa celah, tapi nyatanya dia rapuh… dia adalah orang yang lemah dan kecil…, apa kamu akan tetap menerimanya?” tanya Faisal dan Rena masih belum mengerti maksudnya

“Ah…, gapapa Rena… lupakan saja…,” timpal lelaki itu balik takut membebani pikiran Rena

“Eh bukan maksudku mengabaikan Faisal, aku hanya berpikir saja… karena dibanding pasanganku ternyata tidak sesuai dengan bayanganku dan ekspetasiku aku justru mengkhawatirkan psanganku nanti…, aku ini banyak kurangnya apakah aku layak bersanding dengannya gitu…,”

“Tapi…, daripada mengkhawatirkan yang belum tentu terjadi bukankah lebih baik kita terus membenahi diri agar jadi seseorang yang layak bagi orang yang tepat ya?” ujar Rena

Hening sejenak, Faisal tidak membalas. “Seseorang yang layak ya… itu seperti apa…?” tanyanya lagi.

“Eh? Uh… aku gatau kalo itu…, karena cuma kamu yang tau,”

“Oh gitu…”

Keheningan kembali melanda dan Rena pun mulai memberanikan dirinya bertanya.

“Kenapa tiba-tiba nanya seperti itu? Apa jangan-jangan Faisal benar-benar punya pacar yaa hayoo,” ujarnya bercanda (ngenes dikit). Faisal pun kembali terkekeh.

“Mana mungkin, sama sepertimu, aku juga mengkhawatirkan hal-hal manusiawi seperti itu kok.., toh aku bukan manusia yang sempurna dan banyak kurangnya,”

“Oh iya Rena,”

“Hm?”

“Menurutku kamu yang sekarang ngga ada kurangnya kok, kamu sudah jadi versi terbaik dari dirimu sendiri, dan itu adalah hal yang membuat orang-orang suka padamu,” puji Faisal yang kembali sukses membuat Rena tersipu, digigitnya bibir bawahnya.

“Ka-kalau kamu?”

“Apa?”

Kalau kamu, apakah kamu juga suka dengan aku yang seperti ini?

“Kalau kamu bagaimana?”

Sial, Rena mengacaukannya

“Aku? Aku bagaimana apanya? Kenapa?”

Rena menghela nafas panjang, berusaha menenangkan degup jantungnya yang tidak karuan dari tadi.

“Menurutku Faisal juga sama! Faisal yang sekarang… sudah berusaha sebaik mungkin…, dan aku tidak masalah dengan Faisal yang sekarang…,”

Kalimat terakhirnya diucapkannya lebih lirih, tapi Faisal masih dapat mendengarnya dengan samar. Walau Rena tidak dapat melihatnya tapi di sebrang sana satu senyuman terukir tipis di wajah tampannya. Mungkin untuk saat ini hubungan mereka cukup sampai tahap ini, ia sudah merasa cukup dengan kepastian saat ini.

Dan memang pilihan untuk menelepon Rena adalah tepat, keraguan, kegelisahan, dan rasa sakitnya perlahan sirna hanya dengan satu kalimat sederhana.

☘️☘️☘️

“Mau ganti video call ngga? Aku mau liat bulannya, sama liat kamu,”

☘️☘️☘️

☘️☘️☘️

“Ya ampun… akhirnya bisa ngaso bentar setelah hari-hari visit sama ketemu investor…”

Faisal mengambil duduk tepat dihadapan Mas Aditya, diikuti dengan Lidia yang mengambil duduk di sebelahnya. Ini sudah hari keempat sejak kedatangan mereka di Singapura, kesehariannya dipenuhi dengan meeting, evaluasi, hingga dealing projek dengan pihak-pihak terkait. Visit rutin sekaligus liburan apanya, yang ada mereka stress ngusus kerjaan dan memastikan investor sepakat dengan projek yang ditawarkan.

“Yah…, paling tidak di hari keempat ini kita bisa pergi ke sini bentar mas…, ya walau dengan setelan formal sih…,” ujar Faisal berusaha menghibur namun sepertinya mas Aditya terlanjur dirundung galau. Dia ingin semuanya cepat selesai dan akhirnya menikmati hari-hari di Singapura.

“Tapi ya…, weekday gini Garden Bay masih tetap ramai ya…, kita aja ngga dapet tempat di areal outdoor padahal view-nya bagus banget kalo menjelang sore,” keluh Lidia sembari menangkupkan wajahnya, wajah cantik wanita itu terlihat begitu lesun dengan make up yang memudar dan lipstick yang tak lagi merah. Semuanya lelah pada kunjungan ini.

“Oh iya… mas Aditya gimana waktu izin istri visit hari inu? Apalagi kan ada saya yang perempuan, saya gamau loh nanti ada gossip jadi perusak rumah tangga orang” celetuknya sedikit bercanda dan berusaha mencairkan suasana yang loyo hari ini.

“Sempet perang dingin bentar sih Lid, tapi ya udah akhirnya berhasil ngerayu dia dengan syarat bawain oleh-oleh koleksi tas terbaru dari Channel. Makanya saya agak sebel karena jadwal kita padet takut ngga sempet beli oleh-oleh,” keluh mas Aditya membuat Lidia tersenyum masam, ah dia paham perasaan itu. Sementara Faisal hanya mengangguk dan mendengarkan.

“Kalau mas Faisal sendiri gimana? Ceweknya atau pacarnya mungkin ada marah gitu?” tanyanya membuat Faisal sedikit tersedak, selama ini jarang ada yang bertanya perihal hubungan asmaranya, baru kali ini dia ditanyain seperti itu.

“Kamu sendiri gimana Lid?” tanya Faisal balik membuat Lidia terkekeh, “Mas Faisal ih, emang jago kalo ngebalikkin pertanyaan,”

“Kalo saya sih sebenarnya agak kerepotan karena sebenarnya lagi ngurus persiapan tunangan, tiba-tiba ada visit mau gamau tanggalnya diundur deh…,” keluhnya.

“Loh? Kamu sudah punya pacar? Saya kira kamu deketin Faisal,”

“Bukan pacar sih…, yaah udah kenal dan deket lama terus tiba-tiba dia ngajak serius…, jadi ya yaudah…, lagipula saya deketin Mas Faisal pun kayaknya mas Faisal udah punya gandengan,” goda Lidia lagi sembari melirik ke arah Faisal. Faisal benci ini, sepertinya ia sedang disudutkan untuk membongkar privasi hubungannya yang masalahnya memang tidak ada siapa-siapa itu.

“Wah…, kamu kok bilang gitu, terkesan menjadikan dia pelarian dari saya,” ledek Faisal balik. Entah kenapa membuat mas Aditya gerah karena pembicaraan ‘sinis’ antara Lidia dan Faisal. Sementara Lidia yang mendengarnya tidak tersinggung sama sekali, ia justru terkekeh kecil.

“Aduh jahatnya…, saya sakit hati loh mas…, tapi ya kalo boleh jujur dia jauh dari tipe ideal saya wong tipe ideal saya ada di mas Faisal semua…” jelas wanita itu.

Ia menghela nafas sejenak sembari memainkan gelas minumnya, semburat merah muda perlahan terlihat di kedua pipinya, Lidia sedang salah tingkah, membuat wanita cantik itu terkekeh kecil karena kasmaran layaknya seorang remaja.

“Tapi gimana ya mas…, kadang apa yang kita mau ternyata bukan yang kita butuh, dan dia adalah orang yang akhirnya bisa bikin saya merasa dicintai di tengah kesibukkan saya. Masyarakat kita tuh terlalu menekan perempuan, apalagi yang berfokus di karir, dibilang ga bakalan bahagia, ga bakalan ada cowo yang mau, bakalan jadi perawan tua. Tapi dia buktiin dengan status yang sama dengan saya bahwa ya untuk wanita seperti saya juga bakalan ketemu pria yang hebat dan nerima saya tanpa takut minder akan finansial atau hal lainnya,” jelasnya.

Jawaban Lidia tersebut membuat Faisal terdiam sejenak…, dirinya jadi teringat betapa selama ini orang-orang selalu membenci eksistensinya. Akhirnya membuat dirinya sibuk akan dirinya sendiri untuk membuktikan bahwa ia lah orang yang berharga. Tetapi apakah nantinya ada orang yang berani menerima dia dengan segala masa lalu dan bencinya? Bahkan Faisal sendiri tidak bisa sepenuhnya menerima dirinya sendiri dan masa lalunya…, memikirkannya saja membuatnya bertanya, apakah ada?

“Saya setuju sama Lidia di sini, dulu waktu pertama kali pacaran ya saya liat istri saya sebagai sosok ideal tapi setelah kenal dan mengetahui kekurangan satu sama lain kita akhirnya di posisi menerima kekurangan satu sama lain,”

“Memang yang terpenting adalah orang yang menerima kita apa adanya sih…, bukan adanya apa…, walau kata Tulus Jangan Cintai Aku Apa Adanya,”

“Tapi saya juga setuju kata Tulus di lagu itu…,”

Pembicaraan tersebut terlalu jauh dari kapasitas dan pemahaman Faisal, tentang cinta dan menerima… dia tidak pernah mengerti akan hal tersebut karena banyaknya kebencian dan penolakan yang dia peroleh. Sudah berapa banyak orang dia bohongi dan dorong untuk menjauh karena takut mereka akan benci sosok Faisal yang sebenarnya, yang begitu banyak luka dan kerapuhan.

☘️☘️☘️

Sesampainya di hotel Faisal langsung membaringkan tubuhnya, dilihatnya banyak notifikasi chat masuk yang hanya ia baca lalu anggurkan hari ini, dirinya terlalu letih, bukan fisiknya, tapi perasaannya. Tapi entah mengapa membaca beberapa pesan singkat dari Rena cukup membuat letihnya hilang, walau tidak dengan rasa sedih dan gelisahnya.

Diketiknya beberapa balasan sembari meminta maaf karena tidak bisa membalas terlalu banyak karena ia terlampau letih, setelah dikirimkannya pesan tersebut satu pesan singkat masuk dari Rena, gadis itu bertanya apakah ia boleh telpon yang tentu saja diizinkan oleh Faisal.

Satu panggilan kemudian masuk dan beralih menjadi panggilan video.

☘️☘️☘️

Dari balik layar gawainya Rena dapat melihat Faisal yang tengah berbaring menyamping sembari mengangkat video call-nya, walaupun lelaki itu tengah tersebyum entah kenapa sorot matanya begitu lesu dan sedih membuat Rena khawatir.

“Malam Rena,” sapanya, suaranya terdengar lembut namun juga parau.

“Faisal… kamu… gapapa?” tanyanya, tepat sasaran, membuat lelaki itu sedikit terkejut sebelum kemudian menggeleng. “Aku gapapa kok, kamu apa kabar?”

Rena kemudian menceritakan harinya, yang didengarkan seksama oleh Faisal, lelaki itu masih terus tersenyum, ia suka mendengarkan Rena bercerita, menceritakan tentang hari-harinya yang menyenangkan dengan penuh semangat.

Mungkin, cukup Rena saja yang bercerita, setiap luka dan dukanya lebih baik ia simpan sendiri. Walau ia harus berbohong, tetapi ia begitu takut jika jarak mereka akan melebar kala gadis itu mengetahui tentangnya yang sebenarnya.

Bagi Faisal, saat ini sudah cukup, karena dia tidak ingin merasakan cinta dengan apa adanya, jadi lebih baik ia berbohong untuk Rena.

☘️☘️☘️

Dua jam mereka bertelepon tanpa sadar membuat kantuk melanda Faisal, saat lelaki itu tiba-tiba terbaring lemah dengan telpon menyala Rena sempat sedikit panik. Namun kekhawatiran itu hilang saat mendapati sosok Faisal terlelap dalam damai di hadapannya.

Diperhatikannya lelaki itu dengan seksama, kulit putihnya, hidung mancungnya, dan kerutan serta kantunh di bawah matanya. Faisal sepertinya begitu lelah hingga tidak sengaja tertidur seperti ini.

Namun, sendari tadi ada satu hal yang sangat mengusiknya, bagaimana Faisal nampak seksama mendengarkan ceritanya tetapi pandangannya terlampau kosong. Membuat Rena sedih karena lelaki itu belum sepenuhnya percaya kepadanya untuk menceritakan kerisauan hatinya.

Ia tidak ingin hanya dianggap teman saja, ia ingin Faisal mempercayainya, menjadi tempat keluh kesahnya dan bersandar selayaknya dulu Faisal yang dengan sepenuh hati ada untuknya. Walau hubungan mereka tidaklah terlalu baik dulu, tapi ia ingin memulainya dan melangkah bersama ke arah yang lebih baik.

Tapi Rena tau, dirinya tidak bisa mengharap lebih karena memang hubungan diantara mereka sebatas teman atau bahkan sesama tenants kosan. Pada akhirnya ia hanya bisa mengalah dan memberi ruang kepada Faisal.

☘️☘️☘️

“Selamat malam Faisal, semoga kamu selalu diberkahi oleh mimpi-mimpi indah setiap malamnya,”

———

Siang itu mejanpenjamuan istana Jaya cukup dipenuhi beberapa orang, dengan sang Raja dan Ratu serta agen kepercayaan mereka yang mereka panggil untuk bertemu.

Nomor 1, sang ajudan, pengawal pribadi, serta kepala militer kerajaan, Rizal. Nomor 4, sang ajudan, pengawal pribadi, tangan kanan organisasi bawah tanah yang bekerja sama dengan sang Ratu, Doni, dan Nomor 6, intel jejaring informasi bawah tanah milik istana, Diki.

Hanya Diki tang secara resmi turun di lapangan tanpa penyamaran, orang-orang hanya mengenalnya sebagai musik komposer dan juga selebriti ternama di dunia teater. Namun, sama seperti agen lainnya mereka bekerja di bawah tanah, menyamar dan bergabung dalam beberapa organisasi untuk mendapat informasi. Memperjual belikan informasi ‘ilegal’ layaknya komoditi sehari-hari.

“Jadi, ada apa sampai aku harus repot-repot memanggil Doni?” tanya Siska, sang Ratu sekaligus ketua ‘mafia’ yang menaungi Doni.

Pernikahannya dengan Indra memanglah pernikahan diplomatis antara Jaya dan Adamar, namun lebih dari itu, pernikahan mereka adalah pernikahan untuk memperkuat kekuatan legal serta non legal yang dimiliki oleh kedua kerajaaan. Selainitu, pernikahan ini juga merupakan upaya untuk memperbaiki hubungan antara Jaya dan Adamar yang merenggang karena kepemimpinan pangeran sebelumnya, atau bisa dibilang Raja pengganti sebelum Indra naik tahta karena umur yang sah.

Berbicara mengenai Indra, wlaau dia memimpin di era ‘kemunduran’ kerajaan Jaya, tetapi raja muda ini sangat visioner, pandangannya akan arah gerak kerajaan Jaya berhasil mengetuk raja Adamar yang terkenal berhati baja sehingga sukses mempersunting sang putri, Siska.

Sementara itu, Siska, sang Ratu, walau pernikahan mereka tidak dilandasi oleh cinta dan secara historis kerajaan mereka saling bermusuhan. Mata politik gadis itu sangatlah jeli, ia tidak ingin menyianyiakan kesempatan diplomasi yang kemudian memperluas ruang kerja dan geraknya. Bisa dibilang, kadang kita perlu memeluk musuh kita demi kemenangan yang lebih besar. Dan itulah pernikahan mereka.

Mereka juga memandang nilai keadilan yang sama, bahwa tidak memandnag keluarga ataupun saudara, jika ada yang berani mencoreng nama keadilan maka mereka akan dihukum dengan selayaknya hukum yang berlaku.

“Maaf jika saya harus menganggu Yang Mulia Raja dan Ratu berserta rekan-rekan lainnya, tetapi izinkan saya melaporkan perkembangan misi saya terkait mengawal dan mengamati demoiselle Rena yang diminta oleh Baginda Raja,” ujar Faisal yang berdiri dari kursinya sembari sedikit membungkuk.

Indra menangkupkan kedua tangannya, meletakkan dagunya di atas sana dan memberikan Faisal kesempatan untuk duduk dan lanjut berbicara.

“Saya sudah mengamati target dari dekat dan melaporkannya kepada Yang Mulia Raja, begitu pula dengan Diki yang turut membantu untuk mencari informasi… dan kemarin, kabar duka datang atas kematian ibu angkat dari demoiselle, madame Ningsih, yang diduga menjadi korban pembunuhan,” jelas Faisal.

Lelaki itu melanjutkan penjelasannya dengan semua dugaan yang ia miliki, bagaimana Ningsih menjadi korban dan lokasi pembunuhannya terjadi di ‘titik buta’ kota Jaya, tidak hanya itu, tata ruang kota Jaya pun memungkinkan pelaku untuk menembak tanpa perlu mendekati target sehingga pelaku dapat meninggalkan lokasi tanpa jejak dan bukti karena kota hari itu nampak begitu lenggang.

Meskipun demikian, beberapa hal yang perlu digaris bawahi adalah, jam kejadian yang belum terlalu larut, tapi kondisi daerah pekara sangat sepi dan lenggang padahal termasuk wilayah ramai. Kedua, pelaku harus mengetahui betul jejaring cctv dan informasi milik kota Jaya yang hanya diketahui oleh kerajaan serta dugaan bahwa pelaku sangat hafal seluk beluk tata ruang kota Jaya sehingga aksinya bisa dilakukan dengan begitu rapi.

“Dan yang paling utama adalah, pelaku sudah mengetahui hubungan antara Raja dan demoiselle Rena karena secara terang-terangan menargetkan madame Ningsih yang tidak berasal dari keluarga bangsawan manapun,” jelas Faisal.

“Kenapa kamu bisa menduga seperti itu?”

“Karena kehadiran saya di hadapan madame Ningsih dan demoiselle Rena yang terlalu tiba-tiba,” jawabnya tegas.

Faisal berbeda dengan Doni maupun Diki yang keberadaannya pun ‘dirahasiakan’ dari pihak kerajaan. Secara personal ia diangkat dan diasuh oleh Indra saat ia pertama kali ditemukan oleh Indra (saat masih menjadi pangeran). Faisal kemudian secara tidak resmi masuk ke dalam ruang lingkup lingkar kerjaan Jaya walau harus disembunyikan dari publik, sehingga kehadirannya hanya diketahui oleh pentinggi kerajaan.

Sama seperti Rizal yang diangkat secara personal oleh Indra, Faisal pun demikian, tetapi hingga sekarang Faisal masih tidak mengerti alasan dibalik pengangkatan dan pemilihannya. Dari sana Faisal kemudian di kenalkan Indra oleh Diki dan menjalankan peran sebagai ‘agen’ serta ‘selebriti’ ternama di kota Jaya.

Tentu saja, kehadiran Faisal dihadapan Rena merupakan hal normal jika melihat dari sudut pandang warga kota. Ia hanyalah seorang aktor opera, walau namanya tersohor ia bukanlah berasal dari keluarga bangsawan, untuk mendekati Rena pun adalah hal yang normal. Tetapi dengan spesifik menargetkan Ningsih maka pelaku telah mengetahui hubungan antara Indra, Rena, dan juga Faisal.

Mendengar penjelasan Faisal tersebut membuat Indra terkekeh. Ia bertepuk tangan, sangat puas dengan hasil analisis anak didiknya yang akurat dan mendetil tersebut.

“Tidak salah saya memilihmu Faisal, potensimu terlalu besar,” pujinya.

“Baiklah, dari sini kita tau harus bagaimana. Diki, tolong cek seluruh jejaring CCTV di kota ini, lalu untuk Doni kamu bisa mencari hingga membeli informasi karena kemungkinan terjadinya suap yang dilakukan oleh pengkhianat kerajaan. Rizal, secara resmi kamu sweeping pasukan beesenjata khususnya senjata api, data kelengkapan peluru mereka dua hari terakhir hingga hari ini serta transaksi peluru ataupun bahan produksi senapan,” titah Indra

“Lalu Faisal, kamu masih tetap di sini bersama saya dan Ratu, saya ingin bicara denganmu,”

———

Meja panjang itu hanya tersisa Indra, Siska, dan Faisal. Dari posisinya duduk, Indra berdiri dan berjalan menuju jendela besar istana dan menyikap gorden emas kecokelatan tersebut. Memandangi langit malam Jaya dengan tatapan sayu dan menerawang jauh.

“Faisal, kamu pasti bertanya-tanya kan kenapa kamu saya angkat secara personal, dan saya ‘latih’ seperti saya melatih Rizal sebagai pengawal pribadi saya,” ucap Indra, sebuah pernyataan retoris yang tidak perlu ia jawab dan ia konfrimasi.

“Alasannya adalah, saya memerlukanmu, sebagai bodyguard kerajaan, tapi bukan untuk saya maupun Siska, melainkan sang putri yang telah lama hilang,”

Pernyataan Indra tersebut sontak membuat Faisal terlonjak dan berdiri dari posisinya duduk. Terkejut tak percaya.

“Putri?! Bukankah Anda anak tunggal?!” serunya tidak percaya

“Seharusnya, tapi itu adalah politik kotor yang dilakukan oleh pangeran untuk menjatuhkan kerajaan Adamar. Sejatinya Jaya memiliki pewaris tahta laki-laki dan perempuan,” tambah Siska, dan sepertinya sang Ratu pun telah mengetahuinya.

“Adik perempuanku…, Indy Sri Jaya, yang telah lama hilang dan direnggut dariku serta ingatanku…,”

“…atau yang sekarang kamu kenal dengan demoiselle Rena,”

———

Malam itu Rena mengenakan gaun terbaiknya (tentu saja dibantu Ningsih memilihkannya). Sebenarnya, Rena ingin memakai pakaian yang biasa-biasa saja selayaknya di sehari-hari, tetapi saat sang bunda mengetahui ke mana dia pergi dan dengan ‘siapa’. Ningsih dengan segera meng-make over anak semata wayangnya tersebut. Meskipun bagi Rena reaksi Ningsih terlalu berlebihan.

Tidak apa-apa sayang, lagi pula kamu tidak pernah bersenang-senang bukan? Terima kasih karena selama ini sudah bekerja keras membantu Bunda, anggap saja hari ini hari spesial jadi kamu juga harus tampil spesial

Kalimat itu yang diucapkan oleh Bundanya saat ia hendak berangkat menuju gedung opera. Sebenarnya selama dalam perjalanan ada beberapa kalimat dari Bundanya yang cukup mengusiknya, membuatnya sedikit hilang fokus dan mungkin saja salah tingkah.

Lagipula, monsieur kan teman pertamamu… siapa tau bisa lebih dari teman bukan ujar sang Bunda sembari mengedipkan matanya.

Rena mengelak, meskipun demikian dia tetaplah wanita dewasa yang mengerti arah maksud ucapan bundanya tersebut. Dua puluh menit ia tempuh pun tidak terasa akhirnya dia tiba di gedung Opera. Dilihatnya Faisal dengan setelan jas telah menunggunya di depan, entah kenapa jatungnya jadi berdegup kencang.

“Monsieur!” sapanya, Faisal yang merasa dirinya dipanggil itupun seketika menoleh, wajahnya nampak berseri mendapat Rena.

“Demoiselle! Senang rasanya melihat demoiselle di sini,” ujarnya.

“Wah… kenapa monsieur berkata demikian? Apa monsieur kira aku tidak akan hadir?”

“Kiranya demikian demoiselle,”

“Jahatnya… aku kan sudah janji…,”

Faisal hanya terkekeh melihat respon gadis dihadapannya tersebut. Rena terlihat memberengut lucu dengan bibir manyunnya. Diperhatikannya penampilan gadis itu dengan seksama, sepertinya ia tampak berbeda. Tangannya pun tergerak untuk merapikan anak rambut gadis itu, menyingkapnya dibelakang telinga yang sukses membuat Rena merona.

“Mo—monsieur…?”

My lady looking so pretty tonight…, Anda anggun sekali…,” pujinya semakin membuat rona merah di pipi gadis itu menjalar hingga telinga.

“Te—terima kasih monsieur…”

Untuk memecahkan kecanggungan di antara mereka, Rena pun dengan segera menyodorkan sebaket bunga lily putih yang telah ia beli khusus untuk Faisal, sebagai ucapan selamat atas pentasnya. Dan tentu saja diterima Faisal dengan senang hati.

“Untuk monsieur! Selama di perjalanan aku terus berpikir hadiah apa yang bisa aku berukan untuk monsieur… dan saat melihat bunga lily putih aku hanya mengingat monsieur… semoga monsieur senang…,” ujarnya.

“Terima kasih demoiselle, ini lebih dari cukup, bahkan saat tau demoiselle hadir hari ini sudah cukup bagi saya, kehadiran demoiselle sangat berarti,”

Ugh… dasar… apakah seorang aktor memang seperti ini? gerutu Rena. Pasalnya hatinya tidak sanggup lagi dengan semua ucap dan rayu manis miliknya.

Shall I take your hand, My Lady?”, tanya Faisal sembari sedikit membungkuk dan menjulurkan tangannya kepada Rena. Selayaknya seorang pria yang mengajaknya berdansa, dengan ragu-ragu diterimanya uluran tangan tersebut dan dengan cepat Faisal rangkul pinggul ramping Rena untuk mendekat.

“Relaks demoiselle, malam ini hanya milik kita berdua,” ucapnya.

———

“Mohon tiketnya…,”

Rena sedikit panik, ia tidak sempat membeli tiket, Faisal pun tidak berkata apa-apa soal itu. Namun sang penjaga pun seketika terkejut saat mengetahui wajah pria di sampingnya dan seketika membungkuk hormat. Apakah memang Faisal aktor yanv begitu disegani?

“Monsieur!”

“Tidak apa-apa, demoiselle ini tamu spesial saya, tolong ya,” titahnya yang segera dituruti oleh sang petugas.

Sebelum mereka berpisah, dikecupnya punggung tangan milik Rena, “Kita berpisah di sini demoiselle…, tenang, Agung yang akan melayanimu malam ini, nanti kita bertemu lagi setelah pentas selesai, demoiselle,”

———

“Waaah penampilan monsieur tadi bagus sekali! Aku terharu ketika sang pangeran ikut larut ke dalam air dan memeluk jasad sang putri…” seru Rena segera menghampiri Faisal yang baru selesai pentas.

Tearitikal Faisal hari ini mengusung tema cinta dan tragedinya. Walau ada ungkapan yang mengatakan bahwa dilarang menampilkan hal menyedihkan di panggung opera tetapi sudut pandang antara sedih dan bahagia sangatlah tipis. Walaupun pada akhirnya kedua pasangan tersebut tidak dapat bersama karena takdir dan tradisi yang kejam, ikatan yang begitu kuat diantara mereka kemudian mempersatukan mereka kembali dalam kemurnian sejati.

“Heh, perempuan kucel sepertimu tau apa soal seni? Paling hanya merengek karena tidak ada ending bahagia, memangnya mengerti apa kamu tentang perasaan dan kemurnian?” ledek Diki yang tiba-tiba muncul dari balik panggung. Mendengarnya membuat Rena sebal sementara itu Faisal hanya terkekeh kecil melihat pertengkaran di antara mereka.

“Monsieur jangan meremehkan saya ya?!” tantang Rena sembari berdecak pinggang.

“Saya tidak bilang drama tadi tidak berakhir bahagia, pada akhirnya perasaan mereka begitu kuat walau dalam wujud yang abstrak pula mereka dapat menyadari esensi satu sama lain dan kembali bersama? Bukankah hal tersebut dapat dikatakan sebagai suatu yang membahagiakan?!” serunya membuat Diki sedikit terkejut, pasalnya hanya sedikit ornag yang mengerti pesan yang hendak ditampilkan pada seni tadi dan Rena bisa dengan terus terang mengungkapkan ya kepada Diki.

“Sudahlah Diki, akui saja jika demoiselle ini tidak seperti yang kamu pikirkan,” celetuk Faisal membela Rena membuat Diki merasa sebal dan juga malu, dengan perasaan yang membuncah lelaki tinggi itu melengos begitu saja meninggalkan mereka.

“Temenmu itu kenapa sih?! Dari awal udha ngeremehin aku mulu?! Apa aku yang terlihat seperti ini makanya dia dengan mudah meremehkanku?!” gerutu Rena.

Faisal sendari tadi hanya diam memperhatikan, entah kenapa ia begitu menyukai sifat Rena yang blak-blakan dan terus terang seperti ini, mengatakan apa yang sebenarnya dia rasakan. Tanpa sadar seutas senyum terukir di wajahnya.

“Demoiselle sudah makan malam belum?” tanya Faisal mengalihkan fokus Rena yang sendari tadi marah-marah, membuatnya sedikit canggung karena marah-marah di hadapannya.

“Eh? Oh! Belum!”

“Kalau begitu, apakah demoiselle berkenan makan malam dengan saya? Kebetulan saya tau restoran pasta enak dekat sini,” tawarnya sembari mengulurkan tangan.

Dan dengan senang hati Rena sambut uluran tangan tersebut. Selama perjalanan mereka berbagi cerita, tetapi lebih kepada Faisal yang dengan senang hati mendengarkan cerita Rena khususnya tentang bagaimana Ningsih yang memilihkan baju untuknya.

———

Arloji Faisal menunjukkan pukul sepuluh malam. Jalanan kota Jaya malam itu pun sudah mulai sepi, hanya terlihat beberapa orang berlalu lalang untuk kembali pulang.

“Demoiselle pulangnya bagaimana? Ini sudah cukup larut dan sepertinya pun trem terakhir sudah lewat,” tanya Faisal

“Hmm? Sepertinya aku pulang sendiri, monsieur juga lulang saja, sudah larut,”

“Lalu membuarkan wanita cantik pulang sendirian malam-malam begini? Tidak, mari saya antar, demoiselle,”

Rena hendak menolak, jujur saja ia merasa sangat merepotkan, Faisal sudah mengundangnya, membelikannya makan, bahkan hingga mau mengantarnya pulang. Namun, ia hanya memberikan kado bunga untuk sang tuan. Sungguh tidak sopan.

“Tidak! Aku bisa pulang sendiri,” seru Rena membuat mereka seketika jadi ousat perhatian, beberapa pasang mata menoleh ke arah mereka dan terdengar sedikit bisik tentangnya.

Lagi bertengkar kah? Tidak tahu malu sekali bertengkar di publik seperti ini

Faisal menghela nafas pelan, digenggamnya tangan milik Rena, “Demoiselle, ini sudah larut… tidak ada yang bisa menjamin keselamatan demoiselle…,” jelasnya.

Sejujurnya Rena sedikit kesal, tetapi yang dikatakan Faisal ada benarnya, Jaya malam haru tidaklah se aman itu. Tindak kriminal bisa saja terjadi apalagi mengingat dirinya adalah perempuan. Ia jadi teringat saat kasus pencopetan di siang bolong dan banyak orang, ia saja masih bisa kecolongan karena tidak hati-hati, apalagi malam seperti ini.

“Baiklah monsieur…,” ujarnya, mengalah, dan dapat Rena lihat wajah Faisal seketika berseri mendengar jawabannya.

———

Dalam perjalanan pulang mereka tidak banyak berbicara, sesekali Rena bercerita dan Faisal bertanya, tetapi fokus lelaki itu justru teralihkan pada suasana jalan rumah Rena yang terlampau sepi, aneh, pikirkya karena rumah gadis itu juga cukup berada di daerah pusat kota.

Ia memperhatikan dengan seksama, ada beberapa kamera pengawas yang disediakan sebagai bentuk pengamanan dari pihak kerajaan. Tapi di sudut persimpangan yang cukup strategis dan terlampau sepi matanya menangkap tidak ada satu pun kamera pengawas di sana, apakah di lepas dengan sengaja? Atau menjadi titik buta?

“Monsieur? Ada apa…?” Tanya Rena yang sendari tadi memperhatikan Faisal, lelaki itu tampak risau. Namun, seperti biasa ia tersenyum dan mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja.

“Rena! Akhirnya kamu pulang!”

Dua sosok gadis seusia tak jauh berbeda dari Rena berlari menghampiri mereka berdua, satunya berambut merah dan satunya ungu. Raut wajahnya terlihat panik, dengan nafas tersengal mereka pun menyampiakan pesan yang menjadi runtuhnya dunia Rena.

“Bundamu…! Beliau jadi korban pembunuhan…!”

———

“Bunda! Bunda!!”

Dengan nafas tersengal Rena segera berlari menghampiri kerumunan orang, berkumpul dan mengitari jasad wanita paruh baya yang telah ditutup dengan kain putih. Aroma anyir darah pun dapat tercium olehnya. Tangisnya pun pecah, melolong tak terelakan.

Malam itu begitu cepat bagi Rena, perasaan baru tadi pagi bundanya mendadaninya, jika saja dia menilak pergi dan menemani bundanya maka hal seperti ini tidak akan terjadi. Tangisan gadis itu begitu pilu. Dua temannya pun berusaha menenangkan Rena yang sendari tadi meraung.

Sementara Faisal, dirinya memilih untuk meninggalkan area kerumunan. Ia sibuk memperhatikan kejadikan pekara. Di mana saksi mangatakan ia hendak membuang sampah dan menemukan jasad Ningsih sudah tergeletak tak berdaya di sana.

Maka lokasi tersebut berada di persimpangan titik buta yang sendari tadi ia perhatikan. Jika dari rumah Rena dan Ningsinh maka wanita itu memilih jalan belakang yang kamera CCTV-nya hanya mengamati bagian depan dan tidak dapat merekam keseluruhan lokasi kejadian. Faisal mendecih sebal.

Tidak hanya itu di arah sebaliknya pun kamera CCTV hanya berlokasi dua tikungan terdekat maka untuk arah yang berlawanan akan sulit terekam. Untuk bisa tau dan menjalankan aksinya maka sang pelaku harus hapal betul jaringan sistem CCTV kota. Ia sudah memiliki dugaan tetapi tidak bisa ia konfrimasi saat ini.

Mengecek sidik jari atau sepatu pun percuma, saat Ningsih ditemukan sang saksi pun seketika memanggil bantuan, kemungkinan besar banyak jejak kaki telah memenuhi TKP, kecuali jika ia ingin menguji asumsinya maka jalur-jalur sepi dan arah berlawan yang memungkinan bisa dicoba, hanya saja ini seperti pertaruhan karena pasti tercampur dengan jejak kaki selama seharian dan untuk mengidentifikasikannya akan cukup sulit.

Tunggu, jika asumsi pertama Faisal benar maka ia harus melihat penyebab kematian Ningsih terlebih dahulu.

Faisal kembali masuk ke dalam menghampiri salah satu orang di kerumunan tersebut.

“Mohon maaf, jika boleh tau… apa penyebab kematian beliau?” bisiknya kepda salah satu orang di sana.

“Kata tim medis yang baru saja dipanggil, madame meninggal karena luka tembak di bagian vitalnya…”

Voila

———

Orang-orang pun berangsur pergi, ini sudah mendekati fajar, Rena pun sudah mulai tenang. Semaleman mereka sibuk mengurus jasad Ningsih dan memakamkannya. Sementara itu Faisal masih di sana, enggan meninggalkan Rena seorang diri.

“Demoiselle…”

Diletakkannya segelas coklat panas di hadapan Rena, gadis itu nampak lesu dengan mata sembab dan jalur air mata di kedua sisi wajahnya.

“Harusnya… aku tidak meninggalkan bunda seorang diri… bukan…, bukan maksudku menyalahkan monsieur yang mengajaku pergi… tapi… harusnya tidak seperti ini…,” gumam Rena, pikiran gadis itu benar-benar kacau dan Faisal sangat memahaminya.

Faisal berjalan tepat dihadapan Rena, ia membungkuk sembari menggenggam erat tangan gadis itu. Dielusnya punggung tangannya, berharap mampu menenangkan batin gadis itu dari lara yang ada.

“Demoiselle…, tidak apa-apa jika demoiselle masih ingin menangis…, tetapi jangan terlalu menyalahkan diri seperti ini…,”

“Tapi… karena aku ngga ada di sisi Bunda… Bunda jadi…,”

“Demoiselle…, demoiselle yang cerita sendiri bukan betapa senangnya madame malam ini…, madame pasti juga teramat sedih kepergiaannya menjadi alasan putri semata wayangnya menyalahkan dirinya…,”

Dibawanya Rena kedalam pelukannya.

“Saya tau rasanya ditinggal seorang diri apalagi oleh keluarga sendiri itu rasanya begitu menyakitkan…, jadi tidak apa-apa jika demoiselle ingin menangis…, tetapi harap demoiselle ingat…, bahwa demoiselle tidak sepenuhnya sendiri…,”

Tangis gadis itu kembali pecah dalam pelukan Faisal, begitu mengharukan, dan Faisal pun berusaha menenangkannya dengan sembari mengusap punggung yang bisa saja rapuh kapan pun. Tubuh Rena bergetar hebat dan cengkraman gadis itu pada jasnya pun semakin erat.

“Demoiselle tidak sendirian… ada saya di sini…,”

———

———

“Monsieur!”

Faisal yang tengah sibuk memilih buah-buah itu pun seketika dikejutkan oleh suara halus yang cukup familiar di telinganya. Kepalanya menoleh ke arah sumber suara, di dapatinya Rena tengah berlari pelan sembari berteriak melambaikan tangan ke arahnya.

“Demoiselle?!”

“Monsieur! Aku kira kita tidak dapat bertemu lagi setelah kejadian waktu itu… aku… aku selalu menunggu monsieur! Tapi monsieur tidak pernah datang!” seru Rena melaporkan selayaknya anak kecil, Gaisal yang mendengarnya pun tidak bisa untuk tidak terkekeh geli. Ia dia mengetahuinya, alih-alih menghampiri Rena Faisal justru sibuk menyamar diantara keramaian, memperhatikan keseharian gadis itu dan mengonfirmasi apakah kecurigaannya terkait ancaman itu benar adanya.

“Mohon maafkan saya demoiselle…, akhir-akhir ini saya sibuk dengan pertunjukkan peran saya…,” ujarnya yang tentu saja menimbulkan keterkejutan bagi Rena.

“Mo-monsieur seorang aktor?! Waaah hebaaat!!”

“Ah… tidak perlu bereaksi seperti itu demoiselle… saya hanya bermain peran pada teater pinggir jalan…”

“Tapi itu sudah keren loh! Aku selalu gak pede buat main peran dihadapan orang-orang!”

“Siapa Sal?”

Percakapan mereka terpotong dan Rena dengan cepat-cepat memberi salam, membungkuk sopan kehadapan pria gondrong berambut merah muda disebelah Faisal tersebut, sepertinya lelaki itu adalah teman dari Faisal.

“Ah… ini, demoiselle yang sempat aku ceritakan padamu…,”

“Demoiselle, perkenalkan, ini teman saya, Diki, dia adalah seorang praktisi seni dan musik composser dan Diki, perkenalkan ini Rena,” jelas Faisal memperkenalkan mereka satu sama lain.

Diki terlihat acuh, ia hanya menyampaikan beberapa patah pesan salam dan sapaan sebelum beralih meninggalkan mereka berdua. Membuat Rena sedikit khawatir apakah dia bertindak tidak sopan sehingga menyinggungnya? Tapi Faisal berkata Diki memang punya kepribadian nyentrik seperti itu.

Sembari asik mengobrol Faisal sesekali mengecek ke arah arloji miliknya. Menyadari gelagat Faisal tersebut sepertinya sang monsieur sedang ada urusan dan sedikit terburu-buru.

“Eh? Apa Monsieur habis ini ada acara?” tanya Rena

“Ah… iya, maafkan saya demoiselle, saya harus kembali ke teman-teman teater untuk gladi bersih… maaf ya, itu pula alasan saya tidak bisa mampir karena sedang mempersiapkan pentas…,”

“Eh… oh…, kalau begitu baiklah…, aku tidak akan menahan monsieur lebih lama lagi…,”

Diperhatikannya raut wajah sang gadis yang terlihat sedikit kecewa. Melihatnya membuat Faisal tersenyum kecil, dikeluarkannya sekuncum mawar kuning dari baket bunga yang ia peroleh dari pentas tadi, sebelum diberikannya kepada Rena.

“Untukmu demoiselle, jangan sedih lagi, aku akan kembali. Tidakkah demoiselle lupa kalau Anda masih berhutang janji mengembalikan sapu tangan saya?”

Entah mengapa mendengar ucapan Faisal tersebut berhasil membuat Rena kembali berseri. Tentu, tentu saja Rena tidak lupa! Dan mereka pasti akan bertemu kembali.

Merek pun saling bertukar sapa dan berpisah di persimpangan kota.

———

“Jadi itu gadis yang kamu intai selama ini?” tanya Diki ketus saat Faisal kembali ke arahnya, membuatnya terkekeh kecil karena ambiguitas kalimat tersebut.

“Jangan seperti itu dong, kenapa terdengarannya aku seperti stalker

“Ya kan memang, lagian kenapa kamu harus berperan selayaknya cassanova segala?”

Tentu saja mendengar celotehan Diki tersebut membuat Faisal terkejut dan sedikit tersinggung.

“Aku tidak cassanova! Ini demi keberhasilan misiku,” belanya, “Dengan berperan sebagai cassanova,”

Haaah, Faisal menghela nafas pelan, ia menyerah. Melelahkan jika dirinya harus berdebat dengan Diki seperti ini.

———

———

Tiada yang berhak atas tahta ilahi selain kedewataan itu sendiri, Namun, manusia-manusia yang serakah tersebut berkata sebaliknya, Hanya demi ambisi yang berakhir pada jurang kesengsaraan

———

Dahulu kala, diceritakan Sindari sebagai negara yang makmur nan subur. Semua hasil bumi dari permadani hijau yang membentang penjuru negeri adalah berkah dari sang ilahi. Mereka lah hambar taat yang dengan setia mengabdi dan berdoa kepada sang bintang.

Namun siapa sangka, semua berkat tersebut pada akhirnya berbuah petaka hanya karena ketamakan dan arogansi sang ratu yang beranggapan bahwa hanya Sindari lah yang berhak akan tahta dewa, hanya mereka lah yang layak bersanding dengan sang dewa.

Tiap samsara mereka lalui hanya ‘tuk mempersembahkan putri terbaik dari anugerah anak kembar yang melambangkan keseimbangan sang dewa. Di mana sang putri adalah persembahan terbaik dan sang putra adalah titisan langsung kekuatan ilahi.

Namun, keserakahan itu mendorong mereka pada mala dan akhir dari Sindari. Lambat laut mereka pun kan kehilangan berkah, ditelan oleh api keserakahan mereka sendiri. Saling menikam dan memakan satu sama lain.

———

Pada putaran samsara ketiga maka nirmala akan dihapuskan, bentuk kesucian yang telah ternoda akan melahirkan sebuah berkah dan kutukan sekaligus bagi sang rembulan,

Maka, untuk yang ditakdirkan, teruslah menari dan bermain peran hingga bara api melahapmu seorang diri dalam ketidaktahuan,

Inilah buah dari arogansimu,

———

Pada akhirnya, nubuat itu harus dibulatkan.

———

Lelaki itu terbangun dengan bulir-bulir keringat membasahi penuh keningnya. Nafasnya terengah-engah dengan seluruh tubuh yang bergetar hebat. Ia membencinya.

Pikirannya kacau, dengan cepat ia tutup kedua telinganya, berusaha menghiraukan gema-gema suara tersebut namun nihil. Mimpinya sama dan selalu berulang, sejauh apapun ia lari atau pergi pada akhirnya ‘mereka’ memaksanya untuk kembali.

“Oh? Kau sudah bangun? Baru saja mau ku bangunkan—kau kenapa?”

Yang ditanya hanya bisa menoleh lemas sembari menatap lelaki berbadan tinggi berbaju zirah dan rambut menutupi separuh wajahnya. Ia menggeleng pelan, dengan tubuh yang lesu ia pun beranjak dari dipan kasurnya.

“Tidak apa-apa… apa Raja memanggilku?” tanyanya.

“Ya, beliau memiliki sebuah misi untukmu,”

———

“Siska?! Kau kembali?! Ku kira minggu ini aku tidak bisa menemuimu!”

Ujarnya riang mendapati sosok wanita ayu nan anggun dengan gaun merah tengah duduk di meja panjang tersebut menikmati hidangan sarapannya. Bunyi pintu berdicit seketika memggema saat sosok agung itu tiba, semua orang pun berbungkuk hormat kecuali sang wanita.

“Tidak sopan, memanggil ratumu seperti itu,” serunya.

“Sudah lah darling lagipula Faisal juga sudah aku anggap sebagai saudaraku, semua anak-anak opera adalah keluargaku jadi tidak apa,” belanya. Sang raja pun hanya bisa berdecak pinggang. “Kamu terlalu santai terkadang, jika seperti ini maka Papa akan memarahimu lagi,”

“Tenang, sekarang kan Papa sedang tidak ada,”

Lelaki bernama Faisa dan pasukan kerajaan lainnya itu pun berhenti memberi hormat manakala sang Raja menyuruh mereka untuk berdiri. Jubah panjang menjuntai tersebut bergerak selaras mengikuti ke mana arahnya berjalan. Bermain-main dengan angin yang sukses membuatnya mengambang dan tidak menyentuh tanah.

Dijatuhkan satu kecupan singkat pada pipi sang ratu sebelum ia mengambil duduk tepat di sebelahnya, lelaki berbaju zirah itu pun dengan sigap berdiri di belakang orang nomor satu dikerajaan tersebut. Sedangkan Faisal pun berdiri membungkuk menunggu perintah sang Raja, alasannya di panggil pada pagi hari ini.

“Tolong serahkan papyrus itu kepadanya, lalu tinggalkan kami, biarkan kami berbicara berempat saja,” titahnya. Pelayan-pelayan itu pun sigap melaksanakan perintah sang Raja sebelum kemudian meninggalkan ruangan.

———

Misimu yang pertama adalah mengawasinya, dekati lah dia dan buat dia percaya padamu

Seiring berjalannya waktu, akan ku jelaskan detailnya setelah kamu mengenalnya. Yang jelas, kamu harus selalu melindunginya,

———

Pagi itu jalanan kota Jaya begitu ramai dengan lalu lalang aktivitas warganya. Tukang pos dan pengantar koran mengayuh sepedanya berkeliling rumah untuk membagikan koran, beberapa orang dengan segelas opi dan juga roti di mulut berjalan terburu-buru agar tidak tertinggal trem.

Sama halnya dengan kota Jaya yang sibuk, toko roti kecil yang berada di pusat kota itu pun sendari tadi sibuk melayani pesanan pelanggannya. Aroma gurih dan manis pastry dan baking siap menyapa siapa saja yang memasuki toko tersebut.

Dari tempatnya duduk mata Faisal sibuk mengikuti gadis bersurai hijau panjang yang sendari tadi sibuk melayani pelanggannya dengan sebuah senyum. Sesekali ia perhatikan gadis itu nampak menghela nafas lelah ataupun menghapuskan peluh keringatnya. Tapi senyum manis masih terpatri di wajahnya, entah mengapa melihat semangat gadis itu hati Faisal pun ikut terasa ringan.

“Jadi… misimu sekarang adalah untuk mengawasi gadis itu? Apa yang spesial dari gadis kucel itu?” gerutu lelaki berambut gondrong berwarna merah muda yang saat ini tengah menemani Faisal.

Melalui isyarat mata mereka berkomunikasi, menunjuk ke arah sang gadis yang dimaksudkan.

“Entah lah, tapi titah Raja adalah mutlak bagiku, beliau akan menjelaskannya seiring berjalannya misi ini,”

“Sejujurnya aku senang sekali ketika mengetahui kamu kembali bermain peran, tapi aku jadi sebal, karena itu adalah bagian penyamaran dalam misimu,” gerutu lelaki berambut merah muda tersebut sedikit merajuk, membuat Faisal terkekeh kecil.

“Jangan seperti itu, aku jadi merasa bersalah… tapi kamu tidak perlu khawatir Diki, aku akan kembali bermain peran, sebuah peran besar yang hany bisa aku mainkan dan selesaikan…”

“Kamu selalu bicara omong kosong seperti itu, tapi sebenarnya peran apa yang kamu maksud?”

Kedua pasang mata biru tersebut menatapnya menyeledik dan penasaran, sementara Faisal pun menolak tatapannya tersebut. Dalam diamnya ia memilih untuk menyesap kopi panas miliknya.

“Rahasia~” jelasnya membuat Diki jengkel, sementara itu Faisal pun tertawa puas melihat ekspresi temannya tersebut.

“Ah… sepertinya anak-anak yang lain sudah datang,”

“Baiklah, kalau begitu aku akan bersiap… showtime akan segera dimulai,”

“Aku harap gadis itu tidak membencimu setelah ini dan seterusnya, karena semua sandiwara itu,”

“Aku tidak terlalu mempermasalahkannya, karena ini hanyalah sebuah misi bagiku,”

———

“Rena, bunda boleh minta tolong?” gadis bersurai hijau tersebut seketika berjalan menghampiri wanita paruh baya yang tengah sibuk di pantry dapur. Peluh terlihat membasahi kening keriputnya, tapi seutas senyum selalu terpatri diwajahnya, menampilkan guratan-guratan samar bukti usia yang tak lagi muda.

“Tentu saja boleh bunda, apa yang bisa Rena bantu?”

“Tolong bantu bunda belanja ya nak? Hari ini cukup ramai sehingga banyak bahan-bahan yang habis, uangnya sudah bunda siapkan bersama list belanjaannya,”

Gadis bernama Rena itu pun mengambil sebuah dompet kecil dan selembar daftar belanja yang baru saja diberikan ibunya. Belanjaannya cukup banyak tapi hal tersebut bukanlah masalah bagi Rena, bundanya sendari dulu selalu mendidiknya untuk jadi wanita perkasa, jadi membawa semua daftar belanjaan ini bukanlah masalah besar untuknya.

“Baik bunda! Rena berangkat belanja dulu ya!”

———

“Telur sudah, selai sudah, tepung juga sudah! Hmm, tinggal beli beberapa bahan seperti buah-buahan dan coklat!”

Kedua tangan mungilnya penuh dengan berbagai barang belanjaannya, membuatnya sedikit kurang teliti dan berhati-hati dalam memegang sejumlah uang yang dimilikinya. Pasar hari ini cukup ramai, dan dalam sedetik saja tanpa perhatiannya beberapa lembar uang itu rain diikuti dengan barang belanjaannya yang jatuh berserakan karena didorong oleh orang.

Rena yang masih panik dan memproses kejadian tersebut seketika berteriak keras, menyuruh sang ‘copet’ untuk berhenti dan mengembalikan uangnya tersebut (dan tentu saja percuma)

“Copet! Tunggu!”

Dengan nafas terengah dan gaunnya yang sudah berantakan, Rena berusaha mengejar, tapi apa daya dirinya memang lemah dalam aktivitas fisik. Copet tersebut telah berlari jauh memasuki kerumunan.

“Tunggu… itu… uang bunda…!”

Entah kenapa pandangannya menjadi buram, matanya pun terasa berair, ia takut, takut sekali, karena belanjaan dan uang hari ini adalah tanggung jawabnya. Harusnya tidak seperti ini.

Di tengah kekalutan yang melanda, seorang lelaki berbaju putih dalam kecepatan yang sangat cepat berlari mengejar sang copet. Begitu cepat hingga membuat Rena kesulitan untuk mencerna informasi yang ada, apa yang terjadi?! Apa orang itu baru saja melongnya?!

“WOI!” teriak lelaki itu dan dengan cekatan ia berhasil melumpuhkan copet tersebut.

———

Dengan tergesa Rena berlari menghampiri lelaki berbaju putih tersebut yang telah sukses menringkus sang copet.

“Dasar manusia ngga puny etika, kalo mau dapet uang banyak itu kerja bukan melakukan tindak kejahatan!” serunya sebal.

“Pe-permisi… mounsieur…?”

Dari balik kerumunan Rena berusaha menerobos, sementara itu, Faisal dengan segera bangkit merapikan pakaiannya sebelum kemudian menyerahkan beberapa lembar uang tersebut kepada pemilik aslinya.

“Mohon maaf demoiselle, mohon untuk lebih berhati-hati kedepannya, karena tempat seperti ini rawan akan tindak kriminalitas,” ujarnya.

Namun, bukan itu fokus utama Rena, ia justru khawatir dengan sosok lelaki yang baru saja menolongnya tersebut. Dipandanginya sosok Faisal lekat-lekat membuat lelaki tersebut sedikit kebingungan.

“Ada apa?”

“Maaf…, kalau tidak sopan menatap terlalu lama…, tapi apakah monsieur baik-baik saja? Tidak ada yang luka kan?” tanyanya khawatir.

Mulanya Faisal sedikit kebingungan, tapi lelaki itu justru tersenyum seolah menyatakan bahwa apa yang baru saja terjadi tidak perlu terlalu dipikirkan ataupun dikhawatirkan.

“Saya tidak apa-apa demoiselle, Anda sendiri bagaimana? Belanjaan Anda juga bagaimana?”

Ah! Rena hampir lupa! Belanjaannya! Raut wajahnya pun seketika bermuram durja mengetahui bahwa hampir sebagian besar belanjaannya rusak dan sudah tidak layak pakai akibat insiden ini.

“Belanjaanku…, sepertinya banyak yang rusak, mau tidak mau aku harus kembali dengan tangan kosong…,” ujarnya sedih dan kecewa. Melihat hal tersebut seketika mengundang senyum di wajah Faisal, mungkin ini bisa ia jadikan kesempatan untukmelakukan misnya.

Walau terdengar tidak tulus tapi Faisal akan melakukan apapun demi misinya. Selama ini menjadi rahasia antara dirinya.

“Apakah demoiselle keberatan juka saya bantu membeli bahan-bahan dan membawakannya?”

———

“Rena?!”

“Bunda!”

Gadis itu dengan segera berhambur menuju kepelukan sang bunda, Faisal yang sendari tadi mengikuti Rena dan membantunya membawa barang belanjaanya pun tersenyum simpul melihat adegan tersebut. Bagaimana sang bunda terlihat khawatir dengan anak semata wayangnya itu. Entah mengapa membuat Faisal sedikit iri.

Sebuah kilas balik pun memghampiri kenangannya, ia masih mengingat betul alih-alih dipeluk dan dinyanyikan setiap malam menjelang tidur, wanita yang seharusnya menjadi ibunya justru terus menyiksanya dan mengurungnya dalam sebuah ruang gelap bawah tanah.

Kenapa kamu harus lahir?! Harusnya kamu tidak perlu lahir?! Mama jadi semakin membenci diriku!

Hidupku yang sudah hancur semakin hancur! Memang benar kata nubuat itu! Kamu adalah kutukan bagi keluarga ini!

“—sieur? Anda baik-baik saja? Wajah Anda terluhat pucat?” tanya gadis itu sembari menatapnya khawatir.

Dengan berat hati Faisal pun tersenyum dan menyerahkan belanjaannya, yah, kenangan itu tidak perlu terlalu ia pikirkan. Hingga hari pembalasannya tiba, ia haruslah menikmati hidup ‘baru’nya ini.

“Maaf membuat Anda khawatir, dan… siang Madame, saya disini hanya hendak membantu demoisselle membawa belanjaannya,” sapanya sopan sembari sedikit membungkuk kepada ibu Rena, membuat wanita itu sedikit tersipu dengan tingkah sopannya.

“Kalau begitu demoiselle, saya balik dulu… saya harap—”

“Tunggu! Monsieur…,”

“Faisal, nama saya Faisal, madame,”

“Monsieur Faisal! Tunggu di sini ya! Sebagai ucapan terima kasih saya karena menyelamatkan dan membantu anak gadis semata wayang saya, Monsieur menjadi tamu spesial tempat ini, Rena! Buatkan Monsieur Faisal macaroon ya!”

“Baik, Bunda!”

Rena sudah berjalan lebih dulu meninggalkan mereka berdua, sementara itu Faisal terlihat sedikit kebingungan saat sang madame membawanya pergi untuk duduk berdua, hari ini toko mereka sudah sedikit sepi karena sudah menjelang siang.

Sepertinya Faisal tau apa yang akan terjadi setelah ini, wawancara singkat mengenai hubungannya dengan Rena sepertinya akan segera dimulai.

———

“Maaf menunggu lama monsieour…, ini macaroons dan kopinya,” ujar Rena sembari menaruh piring-piring kecil tersebut di atas meja hadapan Faisal dan sang bunda. Saat dirinya hendak beranjak pergi sang bunda memanggilnya dan mengajaknya untuk ikut bergabung dengan mereka.

“Sekali lagi saya hendak berterima kasih atas kebaikan hati monsieour karena telah menolong anak saya, dia jarang sekali ceroboh tetapi musibah tidak ada yang tau…”

Faisal tersenyum getir, mengingat semua yang terjadi hari ini adalah rencananya, sandiwaranya. Ia memanglah seorang aktor yang handal. Walau ia membenci berbagai macam kebohongan yang ia lakukan demi keberhasilan misinya ia akan melakukan peran ini lebih lama hingga sempurna. Bukankah tugas aktor yang hebat adalah meyakini orang lain dengan kemampuan ‘berbohong’nya?

“Tidak apa madame…, itu bukanlah hal yang besar… saya justru merasa tidak enak karena mendapat penjamuan ini…,”

“Ahahah tidak apa-apa, tidak perlu sungkan, anggap saja imbal balik! Apalagi macaroons buatan anak saya adalah salah satu signature di sini. Best of the best,”

Gadis yang baru saja dipuji tersebut terlihat sedikit merona, lucu, batin Faisal. Siapa sangka bahwa tugasnya adalah untuk menjaga anak sepplos dan selugu ini. Membuatnya sedikit penasaran, rencana besar apa yang disimpan sang raja pda gadis itu?

“Oh ya… kalau saya boleh tau… hubungan monsieur dan anak saya itu apa ya? Teman? Kenalan?”

Faisal sudah menduga arahnya namun tidak dengan Rena, dari sudut matanya diperhatikan reaksi menarik dari sang gadis yang terlihat salah tingkah dan berusaha menghilangkan kesalahpahaman ini, sepertinya Rena khawatir ucapan bundanya tersebut tidak sopan atau menyinggung dirinya.

“Saya bukanlah siapa-siapa madame… hanya kebetulan lewat di pasar dna melihat insiden tersebut,” jelasnya, wow, gentleman

“Maaf jika terdengar tidak sopan dan menyinggung monsieour…, tapi memang saya sedikit khawatir dengan anak saya… sendari kecil, Rena memamg selalu sibuk membantu saya sehingga dia tidak memiliki waktu untuk bermain… Hal itu pula yang menyebabkan dia tidak punya banyak teman… jadi mengetahui ada yang menolong Rena membuat saya senang sekali… akhirnya anak ini punya teman…”

“Bunda…,”

Sendari tadi Faisal masih diam, memperhatikan, mengamati, untuk mengambil langkah selanjutnya, dan semakin diperhatikan maka semakin besar pula rasa penasarannya. Tetapi bukan sekarang, ia harus mengenal lebih dekat pribadi Rena. Maka langkah awalnya adalah dengan mengambil hati sang ibunda sehingga dipercaya dan bisa menjadi jalan ia lebih dekat dengan sang gadis.

“Madame tidak perlu khawatir, melihat pribadi Rena, saya yakin demoiselle akan mendapat teman sendirinya, demoiselle adalah pribadi yang ceria dan baik hati,”

———

“Mon—monsieour Faisal!”

Kring

Denting lonceng berdentang dan bersautan saat pintu kayu itu terbuka. Faisal, yang sendari tadi telah berdiri di luar toko pun seketika menolah ke arah suara tergopoh-gopoh tersebut. Dilihatnya Rena yang tergesa-gesa mengejar dirinya.

“Demoiselle?”

“Monsieur!”

Belum sempat Rena melanjutkan ucapannya gadis itu pun langsung terengah, membuat Faisal sedikit khawatir namun juga gemas melihat ya, untuk apa ia terburu seperti itu?

“Tenangkan diri demoiselle terlebih dahulu, ada apa?” tanyanya sembari mengulurkan sapu tangannya agar Rena bisa menghapus peluh di dahi.

“Terima kasih monsieur…,”

Keheningan sejenak menyeruak di antara mereka. Faisal lebih memilih diam dan memperhatikan, menunggu sang gadis lanjut berbicara. Sementara itu, Rena terlihat tengah meremat rok yang dikenakannya, bibir bawahnya ia gigit keras untuk menghilangkan rasa gugup.

“A-apakah kita dapat bertemu lagi?!” tanyanya sedikit berteriak, membuat Faisal sedikit terkejut tentunya.

“Ah! Ma-maaf karena tiba-tiba berteriak…,”

Seutas senyum pun terpatri di wajah Faisal, melihat ekspresi kikuk gadis di hadapannya, sepertinya tidak masalah kan jika dia mengerjainya sedikit?

“Kalau semisal kita tidak dapat bertemu lagi memangnya kenapa demoiselle?” godanya, dan raut wajah gadis itu seketika menjadi muram.

“Aku… akan sangat sedih…, bunda ingin sekali aku punya teman… kalau aku tidak bisa bertemu monsieur… maka akan membuat bunda sedih karena tidak bisa berteman dengan monsieur…”

“Hmm… jadi demoiselle ingin berteman dengan saya karena permintaan madame Ningsih? Bukan karena keinginan pribadi demoiselle? Saya merasa tersinggung mendengarnya,”

“Eh?! Ma-maafkan saya! Bukan itu maksud saya!”

Puan tersebut terlihat sedikit gelagapan dan salah tingkah. Berbanding dengan Faisal ia justru menikmati reaksi yang ditunjukkan oleh sang gadis. Maaf Raja, tetapi misi lali ini cukup bisa menjadi hiburan baginya.

“Demoiselle,”

“Ya?”

“Tolong jaga sapu tangan saya, saya akan kembali lagi nanti untuk mengambilnya,”

Itu adalah ucapan terakhir Rena sebelum Faisal pun berpamitan, sosoknya pun menghilang diantara kerumunan orang-orang kota Jaya, dengan wajah berseri Rena pun melambaikan tangannya sembari mengeratkan pegangannya pada sapu tangan tersebut dekat pada hatinya.

“Sampai bertemu lagi monsieour!”