komoyi

just me and my loving komori hours, heavily post sunakomo

☘️☘️☘️

Ketiga gadis ayu itu berkumpul cantik, duduk melingkar satu sama lain. Meskipun demikian, fokus mereka ada pada gadis termuda di antara mereka yang semalem telah membuat heboh grup chat mereka dengan pernyataan lugunya.

Dalam diamnya Rena menyembunyikan wajahnya dibalik boneka beruang milik Fani (yang sengaja ia bawa). Wajahnya pun seketika bersemu merah mengingat sosok dari boneka beruang tersebut.

Melihat si bontot yang tiba-tiba tersipu tanpa alasan sukses membuat Fani dan Siska berteriak heboh. Bahkan saking hebohnya Fani yang terlalu bersemangat hampir terjatuh dari kasur karena kehilangan keseimbangan membuat Rena pun seketika panik.

“Tenang, aku gapapa! Tapi kamu kenapaa tiba-tiba? Detail! Explain!!” seru Fani memborbardirnya dengan berbagai pertanyaan. Membuat Rena semakin pusing, ia sangat malu menceritakannya.

“Uuuuhh aku maluuu”

“Ih ayoo Renaa gapapa kenapaa??”

Dari balik pelukannya terhadap boneka tersebut yang semakin erat, Rena mengintip ke arah Fani dan Siska dengan malu-malu. Ia menarik nafas dalam-dalam.

“Aku… sepertinya suka seseorang…” dan teriakan Fani dan Siska pun semakin heboh.

“…ta-tapi aku masih ragu… kak Fani dulu waktu sadar suka sama kak Budi itu gimana perasaannya?” tanya Rena tiba-tiba, membuat gadis bersurai pendek itu pun seketika merona.

“Eh—a-aku?!” tanya Fani dengan raut terkejut. Rena pun memgangguk sebagai jawaban. Melihat Rena yang seakan menunggu jawabannya rona wajah di paras ayu itu pun perlahan memudah, digantikan sebuah senyum kecil dan pandangan yang menerawang.

“Waktu itu… aku sama Faisal masih sangat kecil…, Budi adalah teman pertama kami… yah… uh… bisa dibilang saat itu dialah satu-satuny orang yang memperlakukan kami dengan baik…, dia baik hati, lembut… AAAAAAA MALUUU”

“Iiihh kak Fanii terus apaa” desak Rena gantian, Siska yang sedikitnya asing dengan pembicaraan ini hanya menyimak saja.

“Terus… terus…! Dia yang bantu memperbaiki boneka beruangku yang rusak, itu adalah hadiah ulang tahun dari mama! Mungkin… karena Budi pula aku bercita-cita menjadi fashion designer

“Eeh…? Terus kak Fani sadar bisa suka kak Budi itu kenapa?”

“Eeeh… kenapa yaa…? Hehe… mungkin karena kebaikan hatinya dan semua perhatiannya aku jadi sayang padanya… aku juga selalu menunggu saat di mana aku bisa bicara lagi dengan Budi… bisa dibilang membuatku tidak sabar dan antusias dengan setiap interaksi kita kedepannya…,” jelas Fani.

Rena pun sepertinya paham apa yang dirasakan oleh Fani. Walau alasan dibalik rasa suka seseorang berbeda-beda tapi apa yang mereka rasakan selalu sama. Bagaimana mereka selalu ingin memberikan perhatian-perhatian kepada orang yang mereka sayang, di mana mereka hanya ingin menghabiskan waktu dengan orang yang mereka sayang, dan membayangkannya saja sudah cukup membuat mereka senang

Dan semakin Rena pikirkan semakin yakin bahwa memang itu yang ia rasakan terhadap Faisal. Ia ingin memberikan perhatian-perhatian kecil kepada lelaki itu, ia ingin lelaki itu merasakan perasaan-perasaan yang baik… bersama dirinya, dan terlibat di keseharian lelaki itu.

Ia tidak ingin meminta lebih, asalkan bisa terus melihat senyum lelaki itu dan saling berbagi tawa.

“Ah… aku mengerti,” ujar Rena. “Ja-jangan ketawa! Tapi… akhir-akhir ini sepertinya ada sosok yang berhasil membuat aku merasa deg-degan…,”

“SIAPA RENA?!?!” tanya Siska dan Fani seketika bersamaan membuat Rena sedikit terkejut.

Gadis itu berusaha mengabaikan tatapan kedua gadis itu.

“A-apa anak kosan?” tanya Fani, dan Rena pun mengangguk pelan.

“Eh?!! Siapa? Sejak kapan?!?”

Rena tidak menjawab, ia justru memalingkan wajahnya, menutupi wajahnya dengan boneka beruang tersebut…, sebagai jawabannya.

“A-aku gatau sejak kapan… tapi sosoknya malam itu… berbeda dari biasanya… dan… dan aku baru merasakannya sekarang,” jelasnya.

“Eeh siapaa?” tanya Siska lagi, dirinya masi tidak terlalu paham, tapi Rena hanya mengarahkan boneka beruang milik Fani sebagai jawaban.

Sepertinya Fani mendapat sebuah ide.

“WAAAAAAAH RENAAAA??!!” seru Fani membuat Siska terkejut sekaligus kebingungan, “Eh apa?! Kenapa?! Kamu tau?!”

Gadis itu pun seketika berbisik kepada Siska, membuatnya sedikit terkejut namun jawaban Fani adalah satu hal yang sebenarnya sudah jelas dari awal.

“AKU MAU TELPON THE BRIDESTORY SEKARANG! MAU PESAN WO!”

“BUAT APA KAAAK?!”

☘️☘️☘️

“Jangan cerita-cerita ke siapa-siapa ya kak… aku malu…” gerutu Rena saat mereka keluar dari kamar.

“Wah cerita apa tuh kok main rahasia-rahasiaan,” goda Romi, mereka tidak menyangka kalau orang-orang sudah pada kembali, mata Rena tidak sengaja beradu pandang dengan Faisal, lelaki itu tersenyum simpul ke arahnya, membuat semburat merah seketika muncul di kedua sisi wajahnya.

“Eh? Kok? Kalian baliknya barengan?” tanya Fani karena seingatnya Faisal dan Romi pergi ke tempat yang berbeda.

“Habis balik cari sarapan tapi kita nyusulin yang di pantai, terus balik-balik kita ngga sengaja dengar kalian teriak-teriak dari kamar…”

Baik Fani, Siksa, dan Rena saling beradu pandang, semburat merah di wajah itu pun semakin menjalar memenuhi satu muka.

“Tau deh bahas apa henoh bener, berisik tau gak?!” ketus Dadang, tapi bukan itu masalahnya, apakah mereka mendengar semua pembicaraan tadi atau tidak?! Mau ditaruh di mana muka Rena dan bagaimana ia menghadapi Faisal?!

“A—anu?! Ta-tadi dengar apa aja?!” tanya Rena panik seketika mencengkram erat tangan Faisal membuat lelaki itu sedikit terkejut.

“O-oh…? Tidak dengar apa-apa selain kalian heboh si… kita pikir emang kalian asik ngobrol aja…,” jelasnya

“AAAAAAAA”

“Eh?! Rena kamu kenapa?!” tanya Faisal panik saat gadis itu merosot dan duduk berjongkok sembari menenggelamkan wajahnya pada lipatan tangannya.

“Gatau! Aku malu! Aku mau jadi undur-undur ajaaa!”

☘️☘️☘️

Baru hari pertama setelah pergantian tahun, tapi sepertinya sudah banyak cerita menyenangkan yang menunggu mereka semua.

☘️☘️☘️

Alunan musik dan lagu yang berdentang seolah mengajak siapa pun untuk turut berdansa ataupun bernyanyi. Gemerlap lampu hias pun turut memeriahkan pesta tahun baru hari ini, dan siapa sangka halaman belakang villa mereka telah didekor sedemikian rupa dalam waktu beberapa jam saja.

“Permisi”

Rena pun seketika memberi jalan ke pada Fani dan Budi , dengan cekatan ia pun membantu Rizal untuk membawa bahan ataupun perlengkapan persiapan bakar-bakar malam ini. Seraya membantu Fani untuk mempersiapkan bahan-bahan dirinya sedikit teringat saat di mana Faisal belanja begitu banyak bahan sampai membuat Budi meledeknya apakah lelaki itu hendak memberi makan satu kampung, hanya mengingatnya saja sukses membuat Rena terkekeh geli. Mungkin itulah sebabnya Faisal hari ini tidak mengambil perlengkapan BBQ.

“Ih! Rena jangan ketawa-ketawa sendiri! Serem tau!” celetuk Fani membuat gadis itu sedikit salah tingkah, kedua pipinya pun bersemu merah

“Ah! Aku hanya teringat hal yang lucu kak!” ujarnya

“Hmm… apa tuh kalau boleh tau? Kok bisa bikin kamu ketawa sendiri?”

Rena tidak seketika menjawab, tapi entah mengapa hanya dengan mengingatnya saja sudah sukses membuat wajahnya memerah—kenapa dirinya tiba-tiba merasa malu?! Dan reaksi Rena itu sukses membuat Fani memelototkan matanya.

“Renaaaa??!”

“Aaaa udah kak Fanii aku maluuu”

“Kalian bahas apa sih kok asik ngga ajak-ajak aku? Aku sedih nih!”

Suara itu—

“Kak Siska?!”

Rena menoleh ke arah Siska yang tiba-tiba datang dan merangkulnya, wajahnya memberengut lucu seakan sebal karena tidak diajak dalam pembicaraan asyik tersebut. Rena tidak menjawab, dirinya hanya berkata ia akan menceritakannya nanti saat ada kesempatan hanya mereka bertiga untuk mengobrol. Membuat Fani dan Siska semakin tidak tidak sabar. Apakah bunga musim semi milik Rena mulai bermekaran.

Sementara itu tidak jauh dari posisi pra gadis berdiri para jejaka pun tampak sedang sibuk memperhatikan—lebih tepatnya Romi karena Faisal, Budi, dan Diki tampak sibuk dengan permainan mereka.

“Waah… enaknya ya cewe-cewe sepertinya mereka sudah akrab satu sama lain, bukankah pembicaraan seperti siapa orang yang mereka sukai menarik aku jadi ingin tau~”

Celetukan Romi barusan sukses membuat Budi tersedak daging, Faisal pun dengan cekatan menyodorkan air mineral kepada lelaki tersebut. Tentu saja obrolan tersebut sedikit mengejutkan Budi apalagi perasaan Fani terhadap dirinya sepertinya telah jadi rahasia umum satu kosan.

“Kenapa kamu bereaksi berlebihan seperti itu? Apa kamu juga ada penasaran?”

Dan Budi pun tersedak untuk kedua kalinya.

“Tidak—! Berhenti menyebar fitnah,” bela Budi

Dadang hanya bisa berdiri cengo melihat Budi yang seperti tidak menjadi dirinya sendiri itu, sedangkan Faisal disebelahnya tetap santai sembari meminum segelas soda di tangannya, seakan pernyataan Budi adalah hal umum yang sering dirinya lihat.

“Budi, D-nya denial” ledek Dadang dan Faisal pun mengangguk setuju.

☘️☘️☘️

You know it is not the same as it was~

Alunan musik santai band tersebut tanpa sadar membuat Faisal ikut bergoyang, menikmatinya, apalagi ditambah iringan saxofone di tengah bagian bridge lagu membuatnya semakin khidmat menggoyangkan kepalanya seirama dengan lagu yang ada.

“Aku tau kamu bakalan suka lagu ini Sal, cocok banget ga sih musiknya sama malam santai tahun baruan kali ini,”

Faisal mendongakkan kepalanya, mendapati Romi yang berdiri di dekatnya sembari membawakan dua gelas minuman bersoda, diberikan satu kepadanya.

“Aku kira kamu bakalan ngajak ‘minum’”, candanya yang dibalas dengusan tak suka dari Romi, sang dokter pun duduk tepat di kursi rotan sebelah Faisal yang masih kosong—tanpa meminta persetujuan Faisal tentunya.

“Aku masih cukup waras ya dan aku ga bakal pernah mau jadi samsak pak Agus,” balasnya, Faisal pun mengangguk setuju. Tidak ada yang pernah mau menjadi samsak dari ‘guru’ secara sukarela. Bahkan Rudy saja berusaha menahan niatannya untuk membawa ‘minum’ diam-diam.

“Emang kamu masih?” tanya Romi, “Sometimes, kalau sumpek banget tapi kamu tau kan terakhir kali aku gitu gimana, jadinya sekarang udah berusaha ngurangi sama ngilangin lah,”

“Resolusi tahun baru ceritanya?”

“Kali,”

Hening sejenak, kedua lelaki itu sama-sama duduk terdiam memikmati alunan musik yang ada sembari memperhatikan Siska, Doni, Rudy, dan Dadang yang ribut saat bermain karambol sendari tadi.

“Ngomong-ngomong, how’s life this year? Is it good enough atau justru fucked up enough?” tanya Romi tiba-tiba yang sukses membuat Faisal tersedak minuman bersodanya, membuat hidungnya terasa perih.

“Hiiii jorook!”

Ia menghiraukan ledekan Romi tersebut, lelaki itu dengan terburu-buru menuju toilet untuk membersihkan wajahnya sebelum kembali beberapa saat kemudian sembari membawa tisu.

“Salah siapa? Lagian ngasih pertanyaan minimal ada basa-basi dikit atau apa gitu ngga langsung diulti gitu,”

“Ya kan kamu ga suka basa-basi Sal,”

Kembali hening, namun saat ini benak Faisal tidaklah kosong, pertanyaan Romi berulang kali silih berganti memenuhi kepalanya. Tahun ini bagaimana dia? Kondisinya? Mentalnya? Sehat? Atau gimana? Entahlah, Faisal tidak menjawab secara pasti tetapi yang jelas…

“Untuk saat ini aku bisa memandang sedikit optimis di masa depan,” jawabnya mantap membuat Romi tersenyum simpul, syukurlah

“Bagus deh, oh! Biar aku tebak, pasti karena seseorang yang spesial ya~” goda Romi dan Faisal pun tidak mengelaknya, dengan santai ia justru menyesap kembali minumannya.

“Mungkin…, Rom, kamu mau tau apa yang membuatku menyukai gadis itu?”

Oho? Apakah setelah ini gelar Romi akan bertambah menjadi dr. Romi., Sp.Cin alias dokter cinta? Tunggu kenapa rasanya terdengar familiar ya?

Tapi Romi tidak menjawab, ia hanya diam menunggu Faisal bercerita, dan diamnya Romi juga Faisal anggap sebagai pernyataan setuju lelaki itu.

“Karena Rena itu sangat berbeda denganku…, dia adalah gadis yang ceria, selayaknya cerah matahari esok pagi, yang membuatku selalu penasaran dan menantikan hari esok, kira-kira akan ada hal atau kejadian menyenangkan apa lagi ya?” jelasnya, Faisal menghela nafas pelan.

“Dan aku tidak lebih malam hari baginya, yang hanya mampir dan lewat sekelebat, bahkan sang malam pun akan selalu merindukan mentarinya bukan? Begitu pula denganku, mungkin kehadiranku hanyalah sepintas saja bagi Rena,”

“Sal…”

Faisal menoleh ke arah Romi, yang menatapnya dengan iba dan penuh kasihan, membuatnya terkekeh pelan, “Kenapa ekspresimu seperti itu? Ini bukanlah sesuatu yang perlu kamu kasihani,” jelasnya.

“Hingga saat ini sebenarnya aku sudah tidak memiliki impian ataupun hal-hal besar yang ingin aku raih, kalau boleh jujur pun aku sebenarnya merasa lelah untuk terus lari. Aku tidak punya bayangan apa yang akan aku lakukan esok selain mengulangi rutinitas sehari-hari yang menoton dan memuakkan,”

“Tapi paling tidak sekarang, aku selalu ingin menunggu apa yang akan terjadi di hari esok, bukanlah itu bagus?” jelas Faisal, senyum lelaki itu nampak begitu berseri, entah mengapa melihat Faisal yang seperti itu membuat Romi berkaca-kaca.

“Hahaha… haaaaah! Sialan…, hanya mendengarnya kenapa aku jadi ikut senang? Kenapa sih kamu juga bikin baper orang?!” gerutu Romi sembari meninju kecil bahu Faisal

“Padahal aku belum sempat berterima kasih padamu tapi kamu sudah seperti ini,”

Hah?

“Makasih ya Rom, udah bantuin aku selama ini, mungkin tanpa penanganan professional darimh aku sudah menyerah dari dulu—”

Ditutupnya mulut Faisal dengan paksa membuat lelaki itu terkejut dan menatap Romi heran.

“Ngga kamu, ngga Indra, kenapa kalian berdua seperti ini sih?!”

Dilepaskannya mulut Faisal, lelaki berambut oranye tersebut menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, sedikit salah tingkah dan malu.

“Tapi Sal, orang yang paling pantas mendapat ucapan terima kasih adalah dirimu sendiri, makasih, sudah bertahan hingga saat ini,”

Satu ucapan kecil namun juga sederhana, apa memang selama ini Faisal kurang menyayangi dirinya sendiri? Kurang mengapresiasi dirinya sendiri? Ia dapat merasakannya, kedua pelupuk matanya yang mulai memanas. Kenapa dirinya merasa bersyukur dan senang sekali mendengarnya? Apa karena selama ini ia hanya mendengar sumpah serapah orang-orang yang tidak menghargainya, menyia-nyiakannya dan menyuruhnya mati? Apa karena itu ia merasa tidak perlu bertahan lebih lama lagi?

“Haaah, sialan…,” gerutunya dan mereka pun terdiam untuk waktu yang lama dengan berusaha menahan tangis satu sama lain.

Namun suasana melankolis tersebut tidak bertahan lama hingga musik upbeat tersengar menggantikan lagu sebelumnya, mengubah suasana dengan sangat kontras. Tapi sepertinya kedua lelaki ini mengerti lagu ini.

“Oh?”

“Yok lagu selanjutnya kayaknya cocok banget ya buat dokter cassanova kesayangan kita ya!”

“HEH AKU BISA DENGAR!!”

Siska yang tengah berbicara di mic tertawa puas melihat Romi yang nampak tidak terima tersebut.

“Ayo Rom nyanyi! Ini aku udah pilihan lagu yang cocok buat kamu!”

“YA TAPI GA DOKTER CINTA JUGA KALI?!” teriak Romi tidak terima, wajah dokter muda tersebut nampak memerah menahan malu dan juga kesal

“Sana Rom, pamerkan suara merdumu,” Romi berdecih mendengarnya, “Kamu yakin gapapa sendiri?”

Dan Faisal pun mengacungkan jempolnya, mengatakan bahwa tidak perlu khawatir karena ia tidak akan melakukan hal-hal yang dianggap ‘bodoh’

☘️☘️☘️

Sendari tadi Rena tidak bisa melepaskan pandangannya dari Faisal yang memilih menyendiri dibanding dengan menikmati pesta bersama yang lain, terkadang memang Rizal, Dadang, ataupun Romi datang menghampirinya, mengajaknya mengobrol dan bergabung tetapi berakhir dengan sebuah penolakan, Faisal lebih memilih menikmati pesta seorang diri. Jujur saja dia ingin Faisal ikut bergabung dan bersenang-senang, bahkan lelaki itu belum menyentuh BBQ sama sekali.

“Kenapa Ren?” tanya Fani dan mengikuti ke mana arah pndang Rena, Faisal

“Kamu khawatir sama Faisal?” tanya Fani, gadis itu mengangguk pelan. “Sendari Tadi Faisal hanya duduk memperhatikan, bahkan belum menikmati BBQ, apa dia baik-baik saja?” tanya Rena balik.

“Kalau kamu khawatir kamu bisa datang menghampirinya kok Ren-Ren”

“Kak Sembilan?”

Mendengar suara parau Sembilan membuat Fani bergidik ngeri dan seketika sembunyi dibalik punggung Rena. Lelaki dengan mata gelap itu menatap Rena dengan senyum yang tidak bisa didefinisikan, yang selalu sukses membuat semua orang kosan ketakutan, kecuali Rena.

“Tahun baru seperti ini tidak akan menyenangkan jika dihabiskan waktu dengan seorang diri, kamu bisa menghampiri Ical dan menawarkannya makanan, saya yakin Ical akan merasa sangat senang,”

Rena masih sedikit ragu, “Tapi, bagaimana jika Faisal memang ingin sendiri?”

“Percayalah pada saya Ren-Ren, Ical bukan tipe orang yang mudah menolak, apalagi terhadapmu, dia pasti senang,”

☘️☘️☘️

I can’t get you all that stuff, But I can give you all my love Free love~

Sendari tadi Faisal asik bersenandung sendiri, iringan piano yang lembut begitu menenangkan hatinya, beberapa jam lagi tahun sudah berganti dan anggota lain masih asik berpesta, hanya dirinya yang menikmati pesta ini seoarang diri, tapi itu sudah cukup baginya.

Senandungnya pun ikut terhenti saat sosok gadis yang akhir-akhir ini memenuhi pikirannya itu datang menemuinya, fokusnya beralih dari lagu tersebut ke arah Rena yang tengah berdiri tidak jauh dari tempatnya duduk.

“Faisal, apa kamu mau coba ini? Aku lihat daritadi kamu belum makan, jadinya aku tawari saja langsung” tawar Rena, Faisal sedikit bingung sejenak sebelum akhirnya tersenyum kecil, “Makasih Rena,”

Diambilnya makanan tersebut, suasana canggung menyelimuti mereka, Rena yang tidak tau ingin bicara pun hanya diam, kepalanya sibuk menduga, apa mungkin Faisal memang tidak ingin diganggu? Apakah lebih baik ia tinggalkan seorang diri saja sampai akhirnya sebelum dirinya beranjak sosok itu memanggilnya.

“Rena, tunggu!”

“Ya?”

“Apa kamu mau menemaniku di sini?”

Satu ajakan sederhana. Namun, sukses membuat senyum Rena seketika merekah.

☘️☘️☘️

Sejak Rena duduk di sebelah Faisal belum ada di antara mereka berdua yang berminat untuk membuka pembicaraan satu sama lain, meskipun demikian presensi satu sama lain di antara mereka sudah lebih dari cukup.

“Bagaimana satu tahunmu ini Rena?” tanya Faisal memulai pembicaraan, gadis itu tidak menjawab dan pandangan matanya tampak mengadai-andai, mengingat apa saja yang telah terjadi tahun ini.

“Tahun ini…, banyak hal yang terjadi di hidupku, memang tidak semuanya menyenangkan tetapi paling tidak aku bisa bertemu dengan keluargaku dan banyak hal-hal baik terjadi tahun ini…, itu yang membuatku sangat bersyukur,” jelasnya.

“Bagaimana dengan Faisal?”

Gantian, lelaki itu pun diam, tangan kirinya oun bergerak untuk meremat tangan kanannya, mengingatkannya akan luka psikologis yang bahkan tak akan pernah bisa sembuh. Bagi Faisal, setiap tahunnya selalu sama, kelabu…

“…tapi paling tidak, di penghujung tahun ini aku menemukan warna warni menarik yang menarik,” jawabnya.

Sorot mata Rena pun melembut—mengiba, dirinya selalu penasaran dengan lelaki di sampingnya, entah mengapa ada banyak hal yang masih belum ia ketahui dan kenal dari persona tanpa celah milik Faisal. Ia ingin mengenalnya lebih dalam lagi, Rena ingin lebih terlibat sebagaimana Faisal yang selama ini selalu menolongnya walau ia seringkali merepotkannya.

“Faisal…, apa kamu… baik-baik saja?” tanyanya khawatir.

Faisal pun balik menoleh menatap Rena, ah… tatapan mata itu. Faisal benci mengakui fakta bahwa ia menyukai cara Rena memandangnya saat ini, penuh kelembutan, kekhawatiran, hal-hal yang membuat Faisal merasa berhaga, sesuatu yang tidak pernah ia dapat sebelumnya.

“Kamu tau Rena…, harapanku setiap tahunnya selalu sama…, aku ingin hidup tenang,”

“Apa aku baik-baik saja? Aku tidak tau, ada banyak sekali hal yang memenuhi kepalaku, begitu berisik…, makanya aku selalu berharap sekali saja aku hanya ingin merasa tenang,”

Rena hanya diam, mendengarkan. Sorot mata Faisal tidak bisa diartikan saat ini. Ada banyak luka, kekecewaan, amarah, dan juga dendam. Sorot mata yang begitu rapuh layaknya sebuah jiwa yang kosong.

“AYO NYALAKAN KEMBANG API YANG INI! ROM MANA KOREKNYA ROM?!”

“Tapi tidak dengan tahun ini…, untuk pertama kalinya aku bisa merasa tenang, bahkan nyaman… mungkin bisa dibilang aku cukup menikmati hidupku tahun ini,”

“SATU…DUA…TIII…”

Suara kembang api dilepaskan memekakkan telinga, semuanya saling bersorak sorai mana kala kembang api tersebut menghiasi gelapnya langit malam dengan warna warni indahnya.

Malam itu, semua yang ada di mata Rena berubah, sudut pandangnya pun demikian, terutama saat ia melihat sosok lelaki dihadapannya, bayangnya terpancar di bawah gemerlap meriahnya kembang api.

“Aku harap tahun depan aku bisa merasakan perasaan-perasaan yang baik, begitu pula denganmu, Rena,”

☘️☘️☘️

Rena, malam tahun baru, dan siapa sangka hari pertamanya diawali dengan sebuah gejolak aneh dalam dirinya, perasaan baru dengan sosok lama namun dilihat dari sudut pandang yang baru.

Malam itu, Faisal tampak begitu menawan di mata Rena—oh ayolah, Faisal memang tampan dengan karismanya tersendiri, tetapi bagi Rena tidak dengan malam ini. Entah mengapa ia dapat merasakan degup jantungnya yang sama berisiknya dengan kembang api yang menghiasi angkasa.

Siapa yang akan menyangka, bahwa dirinya akan jatuh hati bukan dengan pesona dan kesempurnaan lelaki di hadapannya. Namun, dengan bagaimana besar bukti ketegaran hatinya selama ini.

Ketertarikannya berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih besar. Jika memang apa yang diinginkan Faisal adalah perasaan-perasaan yang baik, bolehkah Rena pun terlibat di dalamnya?

☘️☘️☘️

☘️☘️☘️

“Waah Rena! Kamu manis banget! Cocok banget!”

Gadis itu tidak bisa menyembunyikan wajah sumringahnya saat Fani memuji penampilannya saat ini. Sejak diberi tahu bahwa liburan mereka kali ini akan pergi ke taman bermain, Rena sudah mempersiapkannya, bahkan dengan baju terbaiknya karena momen inilah yang ia tunggu-tunggu dan mendengar pujian langsung akan penampilannya saat ini tentu saja membuat perasaan bahagia dalam dirinya itu pun seketika membuncah.

“Makasih kak! Sebenarnya aku sedikit tidak pede tapi mendengar pujian dari kak Fani aku jadi senang!” ujarnya.

“Heee, kenapa ga pede? Kamu cantik kook, ya kan Sis? Rena cantik ya pakai kayak gitu?”

Siska yang sendari tadi sibuk di depan cermin kamar itu pun seketika menoleh, memperhatikan Rena dengan seksama. Gadis itu tampak manis dengan balutan rok selutut dihiasi motif bunga-bunga berwarna kuning dan coklat muda tersebut, tidak pula dipadu dengan atas sabrina lengan panjang berwarna putih.

“Cantik! Cocok banget buat gayamu Ren!” puji Siska, Rena pun hanya terkekeh kecil mendengarnya.

“Oh iya Rena, mau aku bikin look kamu lebih lengkap gak?” tawar Fani sembari mengedipkan matanya, Rena masih tidak paham tapi ia pun mengalah dan mengikuti Fani yang menyuruhnya duduk di hadapannya.

“Hehe akhirnya aku keturutan buat dandanin kamu deh!”

Dengan cekatan, jemari Fani sexara lihat mendandani wajah Rena, layaknya melukis dinatas sebuah canvas, Fani dengan telaten mendandani gadis itu, menyempurnakan penampilan Rena dengan make up natural yang cocok dengan kepribadian Rena agar gadis itu makin manis dan menawan.

Selama Fani sibuk dengan dirinya, Rena sesekali mencuri pandnag ke arah Siska yang masih sibuk di depan cermin rias mendadndani dirinya sendiri.

“Aku baru tau kalau kak Siska bisa dandan,” celetuk Rena, mengundang kekehan kecil dari Siska.

“Kenapa kamu berpikir seperti itu? Apa karena aku kurang feminim?”

“Tidak, bukan seperti itu maksudnya kak! Cuma kaget aja… gimana ya bilangnya…”

“Haha aku paham, tapi aku emang suka dandan kok! Jadi cewe tangguh bukan berarti menghilangkan sisi feminimku. Ibuku adalah tipikal orang yang sangat peduli akan penampilannya, seperti Fani, jadi aku sudah diajari dandan dari beliau sejak remaja,”

“Tapi terlepas dari itu semua, aku juga perempuan yang suka kalau penampilanku dipuji! Hahahaha”

“Nah sudah! Siskaaa coba liat deeeh Rena manis bangeeet!!”

Fani sendari tadi tidak bisa berhenti menutupi kegirangan dan kebahagiannya, ia seperti baru saja membesarkan seorang anak gadis, dan dirinya oun tudak henti-hentinya memuji penampilan Rena.

“Wah Ren! Cocok banget dandanmu ini! Kamu keliatan lebih fresh!” imbuh Siska.

Rena pun menatap tampilan dirinya dalam cermin, ia tidak berubah terlalu banyak. Namun, dirinya sendiri masih tidak menyangka akan sosok dalam pantulan cermin tersebut adalah dirinya… jujur saja ia sangat pangling…

“A-aku ngga berubah banget kan…? Maksud aku… ngga aneh kan… uuh… aku jarang pakai make up…”

“Cantiik kok Reeen! Kalau ada yang bilang jelek berarti mereka buta. Udaah ayo dong yang pede! Btw ayoo sebelum berangkat kita girls selfie dulu yuuk” ajak Fani, gadis itu pun dengan sigap merangkul Rena dan mengeluarkan ponselnya saat Siska sudah mulai mendekat.

Cheese!

☘️☘️☘️

“Halo,”

Hal pertama yang Rena lihat dan temui tepat setelah ia membuka pintu kamarnya adalah Faisal yang tengah berdiri sambil melipat tangan di depan kamarnya sembari melihat kelakuan Romi dan Rudy… yang… tunggu-apa yang dilakukan dua orang itu?

“Faisal? Itu… mereka ngapain?” tanya Fani sembari melihat ke arah Romi dan Rudy, “Katanya sih lagi ngecek parameter usia tulang… tapi aku sebenarnya juga heran… btw kalian udah siap? Daritadi nunggu kalian,”

Fani, Rena, dan Siska pun hanya bisa saling tatap satu sama lain, sedikit mereasa bersalah karena mereka keasikan dandan sampai lupa ada para lelaki yang bersiapnya kurang dari sepuluh menit.

Dari tempatnya ia berdiri Rena memperhatikan Faisal dengan seksama, lelaki itu tidak bergeming sama sekali dari posisinya, berdiri sambil melipat kedua tangannya. Sebenarnya tidak ada yang berubah dari penampilan Faisal saat ini, justru lelaki itu bergaya tidak jauh beda dari dirinya biasanya, hanya saja lebih casual dengan turtleneck putih yang dibalut blazer hitam dan dipadu dengan celana kain berwarna binge.

Tapi bagi Rena, setelan Faisal saat ini memberi nuansa baru untuk lelaki itu, apalagi rambut yang tidak terlalu dibuat klimis selayak ya yang biasanya lelaki itu lakukan. Faisal jadi tampak lebih… segar ?? yang jelas penampilannya tidak memberikan kesan dewasa seperti biasanya namun tetap pantas untuk kesehariannya apalagi ini pertama kalinya ia melihat Faisal dalam warna-warna kalem seperti itu, biasanya lelaki itu hanya memakai pakaian berwarna gelap atau mentok berwarna biru.

Tanpa sadar ia sudah menatap Faisal terlalu lama sampai lelaki itu menyadarinya, di saat mereka saling bertukar pandang entah kenapa Rena tidak dapat bereaksi normal, padahal lelaki itu hanya melambaikan tangannya pelan dan bertukar sapa.

Apa Faisal tidak ingin berkata yang lain? Atau berkomentar?

Entah kenapa Rena merasa sedikit kecewa.

☘️☘️☘️

“Wah! Rena kamu dandan? Lucu banget sih!”

“Ah? Ahaha iya pak Romi! Mumpung ada kesempatan kayak gini… makasih juga buat kak Fani yang udah dandanin aku,”

“Kenapa dandan-dandan gitu norak deh,”

“Huuuuuhhhh….”

“SINI AKU YANG DANDANIN KAMU BIAR GA KAYAK GEMBEL SEHARI!”

Rena pun hanya terkekeh kecil melihat kelakuan Fani dan juga Dadang, ini mengingatnya saat dulu masih awal-awal menjadi tenant kosan. Diki memang tipikal ornag yang tidak bisa jujur dalam memuji orang ataupun mengungkapkan isi hatinya dan saat itu Rena baru saja selesai memotong poninya (dengan bantuan Fani tentu saja) dan Diki mengatakannya tidak cocok sampai menyuruhnya botak. Tapi saat itu ada Faisal yang datang menghinburnya.

Kedua sahabat itu memang saling berkebalikan… tapi jika kondisinya saat ini, apakah Faisal akan benar-benar memujinya atau hanya berusaha menghiburnya? Walaupun selama ini Faisal selalu ada untuk mendampingi dan membimbingnya, ia masih belum bisa begitu mengerti apa yang dirasakan oleh lelaki itu sebenarnya… lelaki itu terlalu pintar menyembunyikan perasaannya sendiri.

flash

“Eh apa itu?”

Fokus Rena teralihkan ke arah cahaya flash tersebut, didapatinya Faisal tengah berdiri tidak jauh dari posisi mereka sembari mengarahkan kamera analog. Lelaki itu tersenyum kecil.

“Wah! Itu kamera analog! Ayo ayo foto bareng aja sekalian, Siska sini-sini Faisal bawa kamera!” ajak Fani tiba-tiba membuat Faisal sedikit keheranan, “Jadi aku tiba-tiba jadi tukang foto gitu?”

“Ya habisnya daripada kamu foto diem-diem mending sekalian fotoin kita rame-rame!”

Tanpa diduga semuanya sudah berkumpul dan bergaya di hadapannya yang tengah memegang kamera, baik itu Diki, Romi, Rena, Fani, Budi, Sembilan, Siska, Doni, hingga Sembilan… tapi sepertinya ada yang kurnag…

“Pak Presdir, kak Rizal, sama pak Agus ga ikut?” tanya Rena yang seketika membuat semua fokus teralih pada tiga orang tersebut.

“Indra, gondrong, sama pak Agus ayo juga ikut foto,” ajak Faisal yang tentu saja membuat Rizal kesal, tetapi Indra menengahi mereka dan mengajak untuk segera bergabung.

“Satu… dua… tiga!”

Cheese!

☘️☘️☘️

“Wah… gini dong kembaran baju, kalian jadi keliatan kalo anak kembar,”

Saat ini mereka telah memasuki taman bermain, saling berbincang santai sambil menikmati perjalanan mereka. Beberapa orang telah membentuk kelompok sendiri, dengan siapa mereka rasa nyaman untuk mengobrol satu sama lain, seperti saat ini dengan Rena dan Fani yang tengah berjalan bersama Faisal dan Romi.

Mendengar celotehan Romi tersebut tentu membuat Fani dan Faisal saling bertukar tatap satu sama lain… benar juga! Pakaian mereka saat ini mirip! Sama-sama mengenakan turtleneck meskipun Fani dengan warna gelapnya.

“Foto dulu dong kalian! Jarang-jarang kan kalian punya foto bareng?” usul Romi membuat kembaran tersebut saling bertukar pandang satu sama lain. Faisal pun berjalan ke arah Romi untuk memberikan kamera analognya.

“Tolong ya Rom, tinggal lihat disini terus pencet ini ya,” jelas Faisal

Romi yang telah mengerti pun mengintruskikan mereka berdua dan sengan aba-abanya satu foto berhasil diabadikan diantara kedua saudara tersebut. Dari tempatnya berdiri Rena dapat melihat wajah Fani yang berbinar cerah, ia bersyukur karena ada liburan ini Fani dan Faisal punya waktu untuk perlahan memperbaiki hubungan mereka.

☘️☘️☘️

Hari ini mereka full bersenang-senang, begitu pula dengan Rena. Untuk pertama kalinya ia mencoba wahana-wahana menegangkan namun juga menyenangkan, adrenalinnya berpacu tapi ia tidak merasa takut. Mungkin karena ia menghabiskan waktunya dengan orang-orang yang membuatnya nyaman dan orang-orang yang ia sayangi, menjadikan setiap momen ini berharga.

Terkadang ia menoleh ke arah Indra, kakaknya, yang sampai saat ini hubungan persaudaraan mereka masih disembunyikan dari beberapa anggota tentunya, mengajak Indra untuk bergabung dan bersenang-senang bersama tapi sepertinya kakaknya itu sudah cukup dengan berjalan-jalan dan mencari udara segar.

Namun, berbeda dengan Faisal, sama seperti Romi, lelaki itu tampak sama antusiasnya menaiki berbagai jenis wahana bersama Siska dan Doni yang sepertinya tujuannya adalah untuk mencoba menaiki seluruh wahana yang ada.

“Sepertinya kamu bersenang-senang, kakak turut senang,”

“Iya kak! Hari ini asik banget tapi sayang aku ngga punya tenaga seperti kak Siska ataupun kak Doni jadi ga bisa naik semua wahana,”

Saat ini Rena tengah berkumpul dan sedikit mengistirahatkan diri, berpisah dari yang lainnya, menghabiskan waktu dengan keluarganya dalam pengawasan Rizal dan juga pak Agus.

“Aku cukup kaget dengan si tengil itu… ternyata dia cukup menikmatiya…, kukira dia tipikal prang kaku modelan kamu,” celetuk Rudy sembari menyindir Indra membuat yang paling tua di antara mereka terkekeh kecil.

“Faisal itu…, memang sebenarnya punya kepribadian yang ceria…, hanya saja masa kecilnya membuatnya menjadi Faisal yang kalian kenal sekarang…,”

Indra tidak lanjut bercerita, hanya sedikit memberitahukan apa yang ia tahu tentang anak didiknya tersebut. Membuat Rena sedikit bertanya, apa yang membuat seseorang dapat berubah seperti itu? Tapi ia tidak meminta Indra bercerita lebih lanjut, masalah seperti ini akan lebih baik jika ia dapat mendengar penjelasan langsung dari Faisal.

“…aku…, sepertinya sedikit mengerti,” imbuh Rudy, membuat kedua kaka beradik itu bergantian mengalihkan fokusnya ke arah lelaki tersebut.

“Ingatanku ini sedikit samar, tapi aku pernah dalam posisi mabuk mengunjungi kosanmu itu dan Faisal adalah orang yang melindungiku dan membantuku selama ini… ia meminta maaf padaku, dan mengatakan bahwa posisi kita tidak jauh berbeda…,”

Rudy menghela nafas sebentar, ekspresinya berubah menjadi kesal sejenak.

“Tapi setelah mendengar penjelasanmu tersebut aku jadi sedikit paham…, sepertinya dia punya masa kecil yang cukup berat…,”

“Yah…, begitulah…,”

☘️☘️☘️

Perasaannya hari ini sedikit campur aduk, walau tidak dapat dipungkiri hari ini dirinya begitu senang tapi ada beberapa hal yang membuatnya sedikit sedih ataupun kecewa.

Fakta bahwa Faisal tidak berkomentar apa-apa tentang dirinya membuatnya kesal dan kecewa. Namun perasaan itu berganti dengan rasa sedih saat dirinya mengobrol dengan Indra dan Rudy, Rena kira hubungannya dengan Faisal sudah cukup dekat untuk memahami dan mengerti akan lelaki tersebut tapi nyatanya yang ia tau hanyalah permukaannya.

Dirinya jadi teringat saat ulang tahunnya Faisal mengatakan berbagai hal-hal buruk tentang dirinya, bagaimana jika selama ini memang Faisal merasa sedih dan terpuruk tapi berusaha menutupinya agar membuat orang-orang tidak khawatir dengannya?

Ia jadi merasa seperti orang yang buruk karena tidak memvalidasi perasaan Faisal tersebut, apa mungkin seharusnya ia lebih mendengarkan Faisal?

Rena terlalu larut akan lamunannya dan tidak menyadari sebuah benda dingin yang tiba-tiba menempel di pipi kanannya, sedikit tersentak ia menoleh ke arah pelaku yang menaruk benda tersebut.

“Faisal?!”

“Oh? Benar kan melamun, aku kira kamu capek tapi karena kamu tidak menjawabku jadinya aku pikir ada sesuatu yang mengusikmu, ada apa?”

Hahaha, tidak mungkin kan ia bilanh kalau yang mengusiknya karena dirinya khawatir tentangnya?

“Engga kok, gapapa, aku cuma sedikit lelah,” ujarnya.

“Bohong,”

“Eh?”

“Sepertinya pembicaraanmu dengan Indra dan Rudy cukup mengusikmu, setelah dari mereka kamu jadi murung begini,”

Ah… ternyata Faisal sudah menyadarinya ya? Untuk sementara waktu mereka saling berdiam diri, berjalan saling beriringan namun tanpa sepatah kata pun.

Faisal juga sepertinya menghargai Rena dan kekhawatirnya, ia tidak memaksa gadis itu untuk bercerita lebih lanjut jika memang apa yang mengusiknya tidak perlu ia ketahui. Dirinya belajar dari pengalaman dari bagaimana Faisal dulu selalu memaksa Rena untuk bercerita kepadanya, saat ini dia lebih memilih untuk menunggu gadis itu menceritakannya sendiri jika memang gadis itu cukup percaya padanya.

Keheningan diantara mereka cukup menyesakkan, Rena menghala nafas pelan.

“Aku mau beli es krim dulu ya!” ujarnya. Meskipun gadis itu berusaha mati-matian untuk kabur tapi Faisal tau Rena saat ini tengah menghindarinya.

☘️☘️☘️

“Uh… yang vanila atau coklat ya?”

“Kalau kamu bingung bisa beli dua-duanya kok. Bu, beli es krim coklat vanilanya satu sama es krim vanila satu ya,”

“Baik~”

“Faisal?! Sejak kapan?”

“Daritadi, aku cukup khawatir melihatmu, daritadi kamu murung,”

Rena ingin beralasan tapi sepertinya mata lelaki itu terlalu teliti.

“Ini es krimnya, mbaknya juga jangan murung terus ya itu pacarnya sampai khawatir, apalagi sekarang sedang ada di tamam bermain sudah seharusnya kalian bersenang-senang,” hibur sang ibu penjual es krim yang entah kenapa sukses membuat Rena merona.

“Ah-! Dia bukan pacar saya bu…,”

“Ahaha makasih ya bu doa baiknya,”

Faisal menyerahkan beberapa lembar uang untuk membayar dua cone eskrim tersebut. Menyerahkan es krim cokelat vanila kepada Rena dan mengambil miliknya.

“Doa saya selalu sama mas untuk setiap orang yang mengunjungi taman bermain ini, semoga kebahagiaan selalu menyertai mereka seperti saat mereka memasuki taman bermain ini,”

Ucapan yang sederhana namun juga menenangkan hati. Hati Rena begitu tersentuh dengan ketulusan ibu tersebut. Dilihatnya Faisal yang sendari tadi diam mematung, ekspresinya tidak bisa ia baca sebelum akhirnya lelaki itu tersenyum simpul.

“Terima kasih banyak bu,”

☘️☘️☘️

Ucapan sederhana yang sukses membuatnya tersentuh dan merenung, seharusnya ia tidak murung seperti saat ini, seharusnya ia bisa menikmati waktu lebih lama dan bersenang-senang dengan yang lainnya kenapa justru ia membebani dirinya sendiri dan membuat suasana jadi muram?

“Rena,”

“Ya?”

flash

Betapa terkejutnya dirinya saat flash kamera terarah padanya, satu detik dua detik dirinya mencerna sampai ketika.

“Hah?! Faisaaaal aku belum siaaap?!”

Tawa renyah pun seketika keluar dengan begitu santai tanpa beban dari lelaki tersebut. Ah! Tawa itu, senyum itu! Senyum yang jarang sekali Rena lihat terlepas sosok di hadapannya, senyum dan tawa lepas tanpa beban. Senyum penuh suka cita.

Melihat Faisal yang tertawa lepas membuat semua risau dalam dirinya pun seketika sirna, ia pun ikut tersenyum lega. Apa selama ini yang ia cari adalah kebahagiaan dari sosok di hadapannya tersebut? Yang sebenarnya membuat dirinya risau adalah karena ia khawatir kepada Faisal?

flash

“Eh?! Kok aku difoto lagi?!”

“Ya gapapa, ekspresimu tadi bagus, pada akhirnya kamu bisa tersenyum lagi. Kamu tuh lebih cantik kalau senyum kayak tadi, jadi jangan murung lagi ya,”

Eh?

EEEEHHHH?!

Wajah Rena seketika bersemu merah, Faisal yang tampaknya belum sadar akan ucapannya tersebut menatapnya bingung sampai akhirnya kedua kupingnya ikut memerah karena mengerti atas maksud ucapannya barusan.

“Ah?! Maaf! Jangan salah paham! Kamu… penampilanmu sekarang! Berbeda dari bisanya! Jadi—”

“Kalian ini sepertinya daritadi asik berduaan, jadi aku cukup curiga ada apa diantara kalian,”

“Kak Rudy?!”

“JADI SI TENGIL INI UDAH BERANI MODUS-MODUS?! SUDAH KU DUGA KAU TIPIKAL ORANG YANG PAKAI TAMPANG!!”

“Bukan begitu—!”

Melihat pertengkaran antara Rudy dan Faisal entah kenapa membuat hatinya semakin menghangat, dirinya terkekeh kecil dan menggandeng kedua tangan lelaki itu.

“Ehehe aku senang sekali hari ini! Ayo! Kak Rudy! Faisal! Kita susul yang lain!”

☘️☘️☘️

Benar, saat ini dirinya tidak perlu memikirkan hal-hal yang rumit. Dirinya hanya perlu menikmati momen-momen bahagia ini.

☘️☘️☘️

Malam itu Rena terbangun tengah malam dari tidurnya, dengan mata yang masih lima watt dirinya memperhatikan kesekeliling, masih ada Fani di sebelahnya tapi dimana Siska? Disingkapnya selimutnya dengan hati-hati agar tidak membangunkan gadis itu, dibukanya pintu kamar perlahan dan didapatinya ruang TV yang masih ramai dengan padatnya aktivitas masyarakat.

“Loh? Rena? Kamu kebangun?”

“!!!”

“…Faisal! Kaget…”

Bukannya minta maaf lelaki yang lebih tua itu terkekeh kecil, tidak menyangka reaksi gadis itu akan seperti itu.

“Belum tidur?” Bukannya menjawab, Rena justru bertanya balik kepadanya, “Belum, tadi Siska ke kamar ngajak Doni nonton film kebetulan aku juga belum tidur jadi ngikut,”

“Eh… emang mau pada nonton film apa?” tanyanya penasaran

Faisal tidak menjawab, lelaki itu dengan santai melenggang menuju ruang TV, “Kalau mau ikut yuk sini,” ajaknya.

☘️☘️☘️

“Siska, Rena ikutan nonton boleh?”

“Loh aku kira kamu udah tidur Ren,”

“Hehe iya kak… aku kebangun… mau nonton apa?”

Dari tempatnya ia duduk, Rena dapat melihat Siska tengah sibuk memindah-pindahkan konten film yang ingin ia nonton di appikasi streaming OTT yang terhubung demgan TV. Sebenarnya ia sedikit harap-harap cemas saat Siska melihat benerapa judul film horror, ia ingin bergabung tapi dirinya takut sekali untuk menonton film horror.

“Kalau kamu takut atau keberatan kamu bisa bilang kok Rena,” celetuk Faisal yang sepertinya sendari tadi sudah memperhatikannya.

Rena hanya bisa tersenyum getir, keliatan banget ya? Batinnya. Tapi ia tidak ingin tiba-tiba mengintrupsi dan meminta judul film karena memang dirinya baru saja bergabung, ia merasa tidak enak dengan Siska dan yang lainnya.

“Ah… gapapa kok… lagian juga ramean jadi ga serem-serem amat kan?”

Faisal tidak menjawab, diletakkannya secangkir coklat panas yang sendari tadi ia pegang sejak bertemu dengan Rena, ia hanya dian berpangku tangan dan memperhatikan Rena, membuat Rena sedikit salah tingkat karena diperhatikan dengan begitu seksama.

“Heh… kenapa kamu gugup seperti itu…,” ledek Faisal, ugh jadi daritadi dirinya sedang dikerjai?

“Ya… habisnya! Coba kalau kamu ditatap kayak gitu sama orang lain?!”

“Sal, enaknya nonton film apa?” tanya Siska tiba-tiba menengahi ribut kecil antara Faisal dan Rena, seketika Faisal pun kembali bersikap seperti biasa, disesapnya coklat panasnya. “Kan kamu yang ngajak…, kamu mau nonton horror?”

“Iya, tapi bingung film apa… apa Pengabdi Setan ya?”

Wajah lelaki itu seketika memberengut tidak setuju, ia tidak menyukai ide itu.

“Gimana kalo Incantation aja gimana?” usul Doni, Siska dan Faisal sepertinya oke-oke saja, tidak seperti Rena yang cukup clueless dengan ini semua, dan juga masih sedikit deg-degan jika harus menonton film horror.

“Eh bentar Sis,”

Faisal bangkit dari duduknya, dirapikannya sofa tidur ruang TV dan diambilnya satu buah selimut yang cukup besar.

“Wah buat apa ini Sal?”

“Biar nyaman nontonnya, sama kalo ada yang takut,” jelasnya sambil melihat ke arah Rena, “Eh? Aku?!”

“Oiya, aku lupa ada penakut di sini,” imbuh Doni.

“Tapi ini bukan ide yang buruk!”

Siska pun dengan semangat memposisikan dirinya di sofa tidur tersebut, dan memasukkan dirinya ke dalam selimut, “Wah! Ini nyaman!” serunya dari balik selimut dan mengajak Rena untuk bergabung.

“Kalau kamu takut, bisa tidur sebelahku Rena! Kamu suka dipeluk kan kalau takut, dan ini cukup nyaman! Tenang saja yang mempersiapkannya adalah Faisal jadi tidak perlu khawatir!”

Awalnya Rena sedikit bingung tapi ia tidak menolak ataupun menyangkal ajakan Siska tersebut, ia pun dengan segera bergabung dengan Siska, mengambil tautan tangan gadis itu untuk bergandengan. Ah, Siska selalu sukses membuatnya nyaman, selayaknya sosok kakak perempuan yang tidak pernah ia punya.

“Faisal sama Doni bisa ikut gabung kok! Sini di sebelahku sama Rena masi kosong!”

“Hah…?”

“Makasi Siska tapi aku gamau bangun tidur berakhir babak belur di tangan pak Agus,”

☘️☘️☘️

Film pun di mulai, Rena pun semakin mengeratkan pegangan tangannya dengan Siska, sedangkan Doni dan Faisal mengambil duduk di masing-masing sisi gadis tersebut.

Jika boleh jujur, film ini cukup menakutkan bagi Rena tapi entah mengapa dirinya juga merasa sangat penasaran, dari tempatnya tidur ia perhatikan Faisal yang duduk anteng sembari melipat tangan. Namun sesekali ekspresi lali-laki itu berubah karena kengerian film yang ditontonnya.

Tangannya bergerak untuk menjangkau kaos sweatshirt biri milik Faisal, membuat lelaki itu seketika mengalihkan fokusnya dari layar TV ke arah Rena yang bersembunyi di balik selimut.

“Ka-kalau Faisal takut…, bisa ikut gandeng tanganku kok, kak Doni juga sama… kalau takut bisa gandeng tangannya kak Siska,” ujar Rena berusaha menghibur… dirinya sendiri… mungkin??

“Hee lalu kita saling bergandengan tangan gitu? Tujuannya apa? Menguatkan mentalitas masing-masing?” Ledek Doni, membuat Rena menggerutu sebal, memang salah kalau ia harus meng-comfront Doni yang sepertinya tidak memiliki rasa takut sama sekali itu.

Namun, berbeda dengan Doni, Faisal tidak membalas ataupun menjawab, tapi ia menyambut uluran tangan gadis itu dan ikut menggandengnya, entah kenapa hal kecil tersebut turut membuatnya senang.

Sampai suatu ketika…

“AAAAAAAAAAAA”

“WAAAAAAAAAAH”

Tangan Faisal tertarik keras yang hampir membuatnya terjatuh tepat di sebelah Rena, bahkan genggaman gadis itu mengerat, Faisal pun dapat merasakan bulir keringat dingin memenuhi tangan halus digenggamannya. Dilihatnya Rena bergetar hebat karena ketakutan akibat adegan sadis di film tersebut.

Faisal hanya bisa menghela nafas pelan, berdoa agar tangannya tidak patah di akhir film jika ia terus-terusan di tarik seperti itu dengan Rena.

☘️☘️☘️

“Huh… pada akhirnya mereka tidur lelap dengan sambil berpelukan satu sama lain,” komen Doni sembari memperhatikan kelakuan Siska dan Rena, sudah lewat tengah malam dan satu jam sejak film mereka terakhir.

Saat itu Rena dan Siska tidak langsung tidur karena masih kepikiran ending filmnya, Faisal pun menyarankan untuk mencoba menonton Barbie, siapa tau bisa menghilangkan rasa takut kedua gadis itu.

“Pada akhirnya mereka bisa tidur setelah kita setelkan Barbie sih…” tambah Faisal, Doni pun mengangguk setuju.

“Akuu ngantuk~” keluh Doni, sepertinya ia habis ini akan kembali ke kamar terlebih dahulu dibanding Faisal.

“Baik Doni, terima kasih banyak telah menemani, selamat malam,”

Doni tidak langsung kembali, namun ia mengamati dengan seksama Faisal yang masih sibuk memperbaiki bantal dan selimut Siska dan Rena.

“Kamu ngga balik Sal?”

“Maunya sih… tapi lihat…”

Yah…, Faisal tidak bisa kembali karena Rena masih menggandeng tangannya begitu erat.

☘️☘️☘️

“RENAAAAA!”

“Kak Fani! Kak Siskaa!”

Ketiga perempuan itu pun saling berpelukan dengan haru, walaupun hanya tidak bertemu sehari saja tetapi rasanya ia sudah sangat merindukan kakak-kakak perempuannya itu, ia begitu senang lagi dapat bertemu dengan Fani dan Siska, apalagi mengingat fakta bahwa mereka satu kamar membuat kebahagiaannya berlimpah.

“Ayo ayoo sinii kita antar ke kamar terus kamu beres-beres dulu ya! Eh kamu sudah makan belum?”

☘️☘️☘️

“Waaah! Kamarnya bagus ya!”

Binar dan tatap lekat gadis termuda diantara mereka tak bisa menutupi kekagumannya saat menyisir seluruh sudut ruangan kamar barunya. Kamarnya jauh lebih luas daripada kamar dikosan, dengan dua kasur berukuran queen size dan tidak lupa ada meja rias, sofa, kabinet, dan furnitur lainnya. Sangat lengkap!

“Terus karena ruangannya ngga di pisah seperti di kosan antara laki-laki dan perempuan kamu ngga perlu khawatir masalah mandi ya! Karena setiap kamar sudah ada kamar mandi dalamnya!”

Siska dan Fani tidak bisa menahan rasa gemas mereka melihat kekaguman di wajah Rena, mengingatkan mereka saat gadis itu pertama kali menginjakkajnkaki di kosan95. Gemas, gemas sekali!!!

“HUAAA RENAA KAMU GEMAS BANGEEET PENGEN AKU DANDANI DEEH” peluk Fani antusias ah benar! Sekarang kan Rena dan dirinya sudah sekamar, gadis itu tidak bisa lari lagi jika ia ingin mendadaninya. Satu ide jahil terlintas dipikiran gadis itu.

Guys! Gimana kalau kita girls talk” usulnya

“Heee gamau ah! Malu!” Tolak Siska.

“Kok gitu?? Kita kan udah kenal cukup lama tapi kurang bonding sebagai cewe-cewe!” Jelas Fani bersemangat, tapi Siska masih menolak dengan keras, alasannya biasanya jika berhubungan dengan girls talk gadis-gadis akan membicarakan cowo yang mereka suka ataupun topik lainnya yang ia tidak familiar.

“Tapi kak Siska, ide kak Fani tidak cukup buruk kok! Kita emang kurang waktu bersama kan apalagi perempuan di sini cuma kita, ngga ada salahnya kan? Dan kita bisa membicarakan hal yang lain kok kak!” saran Rena

Jika seperti ini situasinya, satu banding dua tentu saja dirinya sudah kalah. Siska pun menghela nafas pelan dan setuju dengan usulan tersebut, mau bagaimana lagi?

tok tok tok

“Sebentaaar!”

Rena pun bangkit dari posisinya, membuka pintu kamar dan mendapati Faisal sudah berdiri di depan sembari membawa kopernya. OH IYA ASTAGA DIRINYA MELUPAKAN KOPERNYA! Karena langsung digeret begitu saja sama Fani dan Siska!

“Haha…, maaf ganggu girls time kalian tapi aku kesini mau anterin kopernya Rena,” jelasnya

“Wah! Makasi banyak Faisal! Maaf ngerepotin!”

Faisal tidak langsung menjawab, lelaki itu seakan diam mematung sembari mengedipkan matanya berulang kali sebelum akhirnya berdeham.

“Gapapa kok, kamu sudah makan belum? Budi tadi bikin roti bakar kaya, kalo kamu mau bisa ambil di pantry,” ujarnya basa basi.

“Sudah kok! Tapi makasih tawarannya! Aku mau mandi dulu sama bersih-bersih dulu hehe”

“Oke…, kalo gitu aku balik dulu ya?”

Rena pun tersenyum simpul sembari melambaikan tangan kecil dengan malu-malu ke arah Faisal yang berlalu meninggalkannya. Walaupun sudah cukup lama tinggal bersama di kosan95 tapi Rena masih belum terlalu terbiasa dengan penampilan santai Faisal, apalagi lelaki itu tadi terlihat hanya mengenakan kaos pendek dan juga celana pendek.

Sepertinya selama staycation ini ia akan mengenal lebih banyak sisi lain dari para penghuni lainnya, khususnya dari lelaki itu.

☘️☘️☘️

“Sepertinya kamu kelihatan senang sekali hari ini”

“Kak Indra?!”

Indra, lelaki berbadan jangkung, kepala keluarga dan presdir muda dari keluarga Jaya itu tak bisa tidak ikut bahagia melihat seutas senyum merekah di wajah manis adiknya itu, Indy—atau untuk saat ini semua orang mengenalnya dengan nama Rena—walaupun Rena memang anak yang ceria. Namun, kebahagiaan gadis itu nampaknya dua kali lipat dari biasanya, senyumnya jauh lebih lebar dengan binar cerah di kedua mata jelaganya.

“Iya! Aku senang banget, setelah sekian lama akhirnya bisa jalan-jalan keluar kosan! Apalagi sama semua anggota kosan!” jelasnya.

Sejak memutuskan untuk tinggal di kosan 95 dalam upaya mencari kakaknya itu, Rena pun sadar bahwa kehidupannya tidak akan sesantai dan bisa berjalan biasa saja sama halnya sebelum ia memasuki tempat itu.

Dirinya bahkan lupa kapan terakhir kali dirinya mengambil libur, bersenang-senang tanpa mempedulikan bahaya atau ancaman di luar sana sejak terakhir kali sebelum ia menginjakan kaki di tempat itu. Apalagi mengingat kegiatan senang-senangnya berakhir menjadi petaka dan menyisakan setitik trauma, tentu momentum inilah yang ia tunggu-tunggu.

Akhirnya semua anak kosan mendapat liburan untuk menikmati libur natal hingga malam tahun baru!

“Apakah barang-barang Tuan dan Nona sudah masuk bagasi semua?”

“Indy, barangmu ini saja?”

Gadis itu mengangguk dan mendorong koper berwarna merah fanta tersebut untuk diberikan kepada Rizal, bodyguard dan asisten pribadi milik kakaknya untuk dimasukkan ke dalam bagasi.

“Hoi Indy, Indra! Sudah siap belum?! Ayo!”

Dari dalam mobil Rudy menyapa mereka, dapat terlihat lelaki itu nampaknya juga sudah tidak sabar untuk berangkat. Rena pun hanya terkekeh pelan dan berlari kecil untuk menyusul Rudy.

Bisa dibilang rombongan utama keluarga Jaya (terdiri atas tiga bersaudara Jaya, Rizal, pak Agus, dan juga Sembilan) mereka adalah rombongan yang berangkat terakhir, ketujuh tenants lainnya sudah berangkat lebih dahulu kemarin, sebenarnya itu sedikit membuat Rena kecewa karena tidak bisa berangkat bareng-bareng bersama penghuni lainnya.

Tapi karena Faisal dan Budi bilang hal tersebut dilakukan untuk mencegah insiden yang tidak diinginkan ataupun kecurigaan lainnya serta mengutamakan keselamatan keluarga Jaya, maka mau tidak mau pun Rena harus memahami. Toh tidak bisa bersama-sama dengan yang lainnya selama seharian peuh bukanlah masalah besar, setelah ini mereka akan bertemu lagi.

Sebenarnya alasan lainnya adalah karena Indra yang masih sibuk dengan urusan perusahaan dan Rena yng tidak bisa begitu saja cuti karena belum satu tahun bekerja, untuk yang lainnya sih sudah ambil cuti terlebih dahulu

“Apakah lokasi penginapannya sudah dikirimkan Faisal?”

“Sudah Tuan, sudah dikirimkan,”

Indra mengangguk senang, dikenakannya sabuk pengaman dan juga kacamata hitamnya—buar necis—dan setelah memasitikan tidak ada yang tertinggal dan semua sudah memasuki mobil, Rizal pun perlahan memgemudikan mobil tersebut keluar dari pagar kosan dan memulai perjalanan liburan mereka.

☘️☘️☘️

Selama dalam perjalanan Rena tidak bisa menutupi perasaan senang dalam dirinya yang membuatnya jadi bahan godaan Sembilan. Tapi Rena tidak terlalu menghiraukannya, karena yang ada dalam pikirannya adalah sebentar lagi ia bertemu dengan penghuni lainnya dan mereka pun akan bersenang-senang!

“Ren-ren jangan lupa berterima kasih sama Ical ya, kita semua bisa liburan seperti ini karena Ical yang mengusulkan loh”

“Kamu… kepikiran hal ini karena ucapan Romi?”

Budi tidak langsung menjawab, meskipun demikian ucapan Faisal seketika mengusik dirinya—dapat terlihat dari tangannya yang terhenti mengelap mug putih di tangannya—sedangkan Faisal sepertinya sudah dapat menerka, sepertinya yang membuat Budi begitu kepikiran akan benar tidaknya Fani marah terhadapnya adlaah ucapan dokter flamboyan tersebut. Faisal dapat memakluminya, memang terkadang Romi suka usil seperti ini, ia ingat betul saat Romi pun seringkali menjahilinya pekara interaksinya dengan Rena.

“Tapi menurutku, apa yang dikatakan Romi pada akhirnya benar, minimal kalian harus berbicara. Ini sudah berapa hari berlalu sejak insiden terakhir di rumah itu bukan?” celetuknya.

Entah kenapa saraf nerves di wajah Budi pun menegang, seketika menampilkan guratan-guratan di wajah yang jarang sekali menampilkan emosinya. Sebuah perasaan kekesalan yang membuncah, dapat dipahami karena misi terakhir mereka kembali ke kediaman Sindari pada akhirnya memunculkan kembali berbagai macam emosi serta kenangan buruk diantara mereka semua.

Sementara itu tidak jauh dari Budi dan Faisal—di sudut persimpangan ruang makan dan ruang TV kosan dapat terlihat Rena dan Fani yang tengah mengintip di balik tembok. Enggan mendekat karena rencana mereka hanya untuk ‘makan siang’ bukan menginvansi obrolan antara Faisal dan Budi.

“Ada Faisal… gimana ini Ren…”

Sebenarnya Rena pun tidak tau harus menjawab apa, karena sejak terkahir kali ia bertemu Faisal hingga kemarin ia juga merasakan apa yang sama dirasakan Fani, rasa canggung, apalagi mengingat terakhir kali ia berbicara dengan Faisal yang mengingatkannya di hari di mana mereka bertengkar hebat karena kesalahpahaman.

“Ah?”

“Ada apa Budi?”

“Sepertinya Rena dan Fani ingin ke sini tapi sepertinya mereka takut…,”

“Hoo…”

Faisal tidak merespon lebih, selang beberapa detik mereka hanya saling bertukar pandang. Faisal mengerti, Budi meminta pengertiannya, apakah dirinya berkenan jika kedua perempuan itu bergabung dengan mereka.

“Rena, Fani? Kalian mau makan? Kenapa harus bersembunyindi situ? Ayo sini,” ajak Faisal yang tiba-tiba membalikkan tubuhnya ke arah Rena dan Fani, membuat kedua gadis tersebut kaget dan malu-malu berjalan ke arah mereka.

Kedua gadis itu pun mengambil duduk di sebelah Faisal, Budi pun seketika menghentikan kegiatannya untuk mengobrol ke arah Fani dan Rena—khususnya Fani dan ia dapat melihat bagaimana Fani pun hingga saat ini menghindari tatapannya.

“Kalian ingin makan apa?” tanyanya

Ugh… ini benar-benar canggung, Rena melirik ke arah Fani yang masih tidak berbicara, seakan semua orang di sana menunggu perempuan berbut pendek tersebut bersuara. Budi pun menghela nafas pelan, diperhatikannya perempuan itu lamat-lamat, tanpa sadar tangannya bergerak sendiri merapikam anak rambut Fani yang berantakan yang membuat Fani kaget. Dari tempat duduknya Faisal tersenyum kecil.

“Ah maaf, tadi rambutmu sedikit berantakan dan kamu tidak menjawab ucapanku,”

“A-ah! Iya… Maaf Budi…,”

Mengerti bahwa Fani dan Budi perlu waktu berdua, Rena pun tanpa sadar menggandeng tangan Faisal, membuat lelaki itu sedikit kebingungan namun tanpa penjelasan lebih lanjut ataupun basa basi. Rena menggeret lelaki tersebut untuk ikut dengannya.

“Kak Budi sama Kak Fani aja dulu! Aku ada perlu berdua dengan pak Faisal! Pak Faisal! Bisa bicara berdua denganku?”

Faisal pun tampak kebingungan namun ia mengiyakan ucapan gadis itu—ya Faisal tidak pernah bisa menolak ucapan Rena dengan tegas bukan?

“Aku sama Rena duluan ya,”

Kecanggungan melanda Budi dan Fani, untuk beberapa saat baik diantara mereka tidak ada yang memulai pembicaraan—lebih tepatnya saling menunggu penjelasan satu sama lain, hingga akhirnya Budi menghela nafas pelan.

“Ini,” ujarnya sambil menyerahkan makan siang Fani, gadis itu menerimanya dnegan kikuk, budi pun mengambil duduk di hadapannya.

“Uhm… bagaimana kondisimu? Maaf… baru bertanya…,”

Untuk sesaat Fani terpaku dalam duduknya, matanya menatap lekat ke arah Budi, dari dulu hingga sekarang Budi tidak berubah di matanya, dan tatapan penuh kagum dan perasaan bergejolek itu pun juga tidak akan pernah berubah.

“…bohong jika aku bilang baik-baik saja, setelah apa yang terjadi di Sindari… saat itu aku takut sekali, takut kehilangan Faisal, takut kehilangan mama, dan juga takut kehilangan kamu…”

Budi tidak membalas ataupun bereaksi, ia membiarkan gadis itu untuk melanjutkan ucapannya. Dalam heningnya ia mendengarkan dengan seksama.

“Maaf kalau aku baru mengatakannya sakarang, tapi terima kasih karena berusaha menyelamatkanku… dan terima kasih karena kamu lah yang menyelamatkanku Budi,”

Ah…, senyum itu, senyum yang selalu ingin Budi lindungi, entah sudah berapa lama berlalu sejak terakhir kali ia melihat senyum lebar, tulus, dan penuh kelegaan dari gadis itu, ia sangat merindukannya.

Akhir-akhir ini memang kondisi mereka sedang tudak baik, terlalu banyak kesedihan, amarah, serta kekecewaan yang terjadi terhadap satu sama lain… apa pada akhirnya mereka bisa melepaskan itu semua dan melangkah maju dengan perasaan yang lebih ringan dan lega?

Budi sendiri pun tidak mengetahuinya, tetapi untuk saat ini, ia hanya ingin menikmati saat saat membahagiakan seperti ini, menjaga dan melihat senyum itu lebih lama lagi.

“…aku kira kamu marah padaku, beberapa hari terakhir kamu seperti menghindariku,” celetuk Budi membuat raut gadis dihadapannya itu pun seketika berubah.

“Lah.. aku kira kamu yang ngehindarin aku…”

Lah… Jadi ini semua hanya kesalahpahaman?

Yah paling tidak pada akhirnya mereka bisa bicara dari hati ke hati.

Di balik pintu kaca halaman belakang, sepasang insan tengah memperhatikan dengan seksama, masih dengan tangan yang saling bergandeng, sang gadis terlalu fokus pada objek pengamatannya dan sang lelaki terlalu enggan melepaskannya.

“Sepertinya… kak Budi dan kak Fani sudah baikan…” gumamnya.

“Oh… jadi kamu ajak aku ke sini cuma buat mereka baikan?”

Rena yang seakan lupa masih bersama Faisal pun segera menoleh ke arah lelaki di sebelahnya, ekspresi wajahnya tak bisa di definisikan, ia tidak terdengar marah atau pun kelas, alih-alih justru ikut mengintip dari posisinya.

“Yah…, tapi syukur lah mereka akhirnya bisa bicara, beberapa hari terakhir Budi terlihat khawatir karena Fani tidak menggubrisnya,” imbuhnya.

“Eh? Kak Budi juga merasakan hal yang sama?”

“Fani juga cerita kepadamu?” bukannya menjawab, Faisal justru menimpali pertanyaan Rena dengan pertanyaan lainnya, dari sana pun Rena akhirnya dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa kedua orang itu merasakan hal yang sama.

Raut wajah Rena pun seketika berseri, membuat Faisal bingung apakah ia harus turut senang atau bagaimana?

“Syukurlah kalau kak Budi merasakan apa yang dirasakan kak Fani!” ujarnya kepada Faisal, lelaki itu berdeham sejenak, “Iya…, anu Rena, bisakah kamu lepas ini? Agak gak enak kalau dilihat yang lain, takut salah paham,” ujar Faisal mengalihkan fokus gadis itu.

Rena yang sadar masih erat menggandeng tangan Faisal pun menjadi salah tingkah, dengan buru-buru ia lepaskan tautan tangannya.

Sekarang gantian, keheningan pun melanda diantara mereka. Jika memang tidak ada yang dibicarakan lebih lanjut dan seperti Budi serta Fani sudah baikan Faisal sudah tidak ada urusan lagi di sini.

“Kalau gitu, aku balik dulu ya Rena,” ujarnya tapi gadis itu dengan sigap menahannya dengan menarik ujung outer yang dikenakan lelaki itu.

“Tunggu! Bapak… keberatan tidak kalau menemaniku mengobrol sebentar?

Faisal dan Rena saat ini tengah duduk bersebelahan—hanya berdua—di taman belakang kosan. Mereka sengaja mencari tempat yang sepi, siapa tau jika Rena ingin mengajaknya berbicara hal yang personal sehingga dapat menjaga privasi satu sama lain.

Keheningan menyeruak di antara mereka, dari sudut matany Faisal memperhatikan, gadis itu juga terlihat tengah kelimpungan, disandarkannya dirinya pada kursi rotan yang ia duduki.

“Bagaimana kondisimu Rena? Sejak misi terakhir bersama Diki, dan insiden Bobby, apa kamu baik-baik saja?” tanyanya memulai percakapan.

“Ah… iya pak…,”

“Panggil Faisal saja, anggap saja aku ini temanmu, bukan atasan yang harus kamu laporkan terkait kondisimu, anggap saja aku teman yang menanyakan kondisimu karena khawatir,” jelasnya.

Ah, bagaimana bisa Rena lupa, padahal ia yang meminta Faisal untuk lebih terbuka, tetapi jika seperti ini ia kembali merasa segan dengan lelaki di sebalahnya. Jujur, ia sudah terlanjur terbiasa menggilnya dengan sebutan ‘pak’ tetapi ia tidak ingin jarak diantara mereka semakin jauh hanya karena rasa tidak akrab.

“Uhm… jujur saja… sejak tugas Diki dan insiden dengan kak Bobby waktu itu membuatku sepenuhnya tersadar bahwa aku sidah hidup dan tinggal di dunia yang berbeda, perlahan aku mulai mengerti peliknya kehidupan Indy Sri Jaya dan konflik di dalamnya. Bagaimana ambisi manusia bisa menghancurkan manusia itu sendiri,”

Faisal tidak menjawab, heningnya adalah bentuk kesetujuan atas ucapan Rena. Terkadang memang hidup dengan segalanya membuatnya harus kehilangan banyak hal, dan Faisal tau betul akan hal itu. Itu lah kenapa hingga saat ini ia mendorong semuanya agar rasa sakit jika harus kehilangan lagi tidak perlu ia rasakan.

“Apa kamu menyesal? Memilih pilihanmu saat ini?”

Rena terdiam sejenak, jujur saja rasa takut itu sering kali menghantuinya tetapi ia tidak bisa mundur, rasa takut akan kehilangan sosok kakak yang telah susah payah ia cari jauh lebih menakutkan daripada ia harus mundur. Gadis itu menggeleng mantap.

“Aku sudah memilih hal ini, aku sudah tidak bisa mundur lagi,”

Dari sudut pandangnya Faisal bisa melihat kilatan penuh tekat dibalik kedua netra sebening jelaga tersebut. Tanpa sadar seutas senyum tertarik di sudut bibirnya. Rena yang ia kenal dulu, Rena yang dulu harus ia lindungi, sekarang telah berubah menjadi gadis yang pemberani dan penuh kebulatan tekat. Rena telah bergerak maju, mengejar masa depan yang lebih baik… di bandi dirinya yang hanya bisa berdiam di balik kegelapan.

Ya, dari dulu diri mereka memang berbeda, ia bukanlah Rena.

“Faisal… ada apa? Kamu gapapa?” Tanya Rena seketika mengenggam erat lengan milik Faisal, dengan sekuat tenaga ia pun berusaha tersenyum, menyatakan bahwa ia baik-baik saja. Tetapi Rena tau bahwa itu adalah upaya lelaki itu untuk menutupi kerapuhannya, menutupinya dalam senyum kepura-puraan.

“Maaf…, tapi kak Indra sudah menceritakan semuanya, kondisi kamu, hubunganmu dengan kak Fani dan keluarganu, serta traumamu… misi waktu itu juga membebanimu kan? Apa kamu yakin kalau tidak apa-apa,”

Dan Faisal berani bersumpah, seumur hidupnya jarang sekali ia menemukan seseorang yang menatapnya seperti Rena, menatapnya penuh lembut, penuh kekhawatiran, begitu hati-hati jikalau seketika bisa melukai dirinya. Begitu banyk luka yang ia dapat selama ini membuatnya merasa tidak pantas menerima semua perhatian itu. Tapi tatapan Rena seolah mengatakan bahwa dirinya juga pantas mendapat perhatian serta kasih sayang. Ia tidak mau terikat karena ia takut kehilangan dan berharap lebih.

Namun, Faisal tidak menjawab, ia hanya mengelus pembut punggung tangan sang gadis, di saat seperti ini bahkan ia masih memikirkan perasaan gadis di hadapannya, ia tidak ingin rasa khawatir Rena terbuang sia-sia hanya untuk mengkhawatirkannya.

“Faisal…,”

“Bukan sekarang ya…, nanti aku akan cerita, tapi bukan sekarang,”

Rena pun mengangguk paham, ia tidak ingin memaksa lelaki itu, sudah terlalu keras Faisal mendorongnya untuk menjauh, dirinya tidak ingin semakin terdorong jauh.

“Lalu, hubungan Faisal dengan kak Fani gimana? Apa kalian berdua sudah bicara?” tanyanya.

Faisal tidak langsung menjawab, ia menghela nafas panjang berulang kali hingga dirinya tenang, genggaman tangannya di punggung tangan Rena pun mengerat, ia daoat merasakan keringat dingin oun membasahi telapak tangan lelaki itu.

“Aku… sudah bicara dengan Fani, sudah mendengarkannya…,”

Hening sejenak.

“Pada akhirnya aku tetap tidak bisa kembali, karena semua trauma dan kenangan buruk itu selalu menghantui. Aku masi bisa mengingat bau anyir darah dan semua rasa sakit…, tapi… kami semua berusaha berdamai…,”

Faisal pun menoleh ke arah Rena, dengan ekspresi yang tidak bisa ia definisikan. Ada kelegaan namun juga derita yang terpancar di senyum lelaki itu, bagaimana rasa sakit yang begitu dalam berusaha ia lepaskan dalam upaya pembebasan diri serta berdamainya tersebut.

“Seperti katamu… dendam hanya akan membuatku terhenti di tempat yang gelap, aku juga ingin dapat perlahan maju…,”

Mendengar pengakuan Faisal itu, entah kenapa membawa haru, Rena turut berbahagia, dan melihat Rena yang begitu senang itu membuat hati Faisal mencelos, ia tidak pernah melihat orang bereaksi seperti itu hanya karena dirinya. Seakan menghargai setiap keputusan yang ia ambil.

Digenggamnya erat kedua tangan Faisal, dengan wajah yang berseri Rena pun berkata,

“Kita jalan bareng-bareng ya… pelan-pelan aja.., gapapa!”

Detik itu juga, sudut pandang dan caranya menatap Rena pun berbeda, perasaan asing yang tidak pernah ia tau dan sangka pun menghadirinya tanpa pernah ia duga.

“Malam sekali pulangnya, apakah rapatnya molor?”

“Engga kok Bud, cuma tadi aku rapihin beberapa berkas dan laporan biar gausah bawa kerjaan ke rumah,”

“Kamu sudah makan malam? Kalau belum mau aku panasin sekalian?”

Faisal tidak langsung menjawab, tangannya yang sendari tadi sibuk menata barang-barang titipan dan belajaannya, dengan telaten dan cekatan ia menata semuanya sesuai ‘aturan’. Masih dengan setelan kerjanya dan rambut yang sudah tidak serapi biasanya Faisal menolak halus tawaran Budi.

“Ga usah Bud, makasih. Aku makan kecil aja sama minum coklat panas saja,” ujarnya.

Faisal pun memgeluarkan roti dan selai tetapi tidak dengan bunga dan kumbang karena kalau bersama bunga dan kumbang jadinya iklan Spotify. Tidak lupa dua cangkir kecil, untuknya dan Budi.

“Buat dua aja sekalian Bud, kita ngobrol,”

Uap putih tebal mengepul dari masing-masing cangkir porselen berwarna putih tersebut. Faisal dan Budi, duduk bersebelahan dan masing-masing terdiam dengan remangnya pencahayaan ruang makan kosan tidak ada yang berniat untuk memulai percakapan terlebih dahulu.

“Gimana kondisimu setelah misi terakhir Budi? Sudah mendingan?” tanya Faisal berbasa-basi.

Budi tidak serta merta menjawab, matanya pun menelisik ke arah teman masa kecilnya tersebut yang juga sendari tadi diam dan tidak menggubris makanannya. Disesapnya coklat panasnya tersebut.

“Ya begitu lah…” ujarnya, mengundang satu kekehan kecil dari orang di sebelahnya,

“Kalau hubunganmu dengan Fani, bagaimana?” tanya Faisal seketika membuat Budi tersedak, pertanyaan tiba-tiba yang ia tak pernah duga akan keluar dari sosok di sebelahnya itu.

“Kenapa… kamu bertanya seperti itu?”

Budi menaruh curiga, jangan bilang Romi yang mengajarkannya hal-hal seperti ini, ditolehnya sosok di sampingnya. Faisal sendiri masih fokus menatap cangkir berisi coklat panas di tangannya.

“Kamu tidak berpikir aku sebodoh itu kan? Untuk pura-pura tidak tau perasaanmu yang sebenarnya,”

Budi terdiam sejenak sebelum membalas, “Tidak bagaimana-bagaimana,” dan Faisal pun hanya bergumam panjang sebagai balasan.

Perasaannya kepada Fani ya? Sejujurnya dirinya pun dilanda kebingungan dan dilema. Rasa bersalah, penyesalan, serta kecewa pada dirinya saat misi terakhir mereka karena tidak mampu melindungi Fani masih menghantuinya. Hanya karena Budi tidak berada di sisinya, Fani mengalami itu semuanya, sejujurnya ia masih merasa takut. Apalagi mengingat jika ia harus menyadari dan mengakui perasaannya itu berarti ia harus meninggalkan Faisal sendiri, itu tidak adil bagi Faisal yang sudah terlalu menahan sakit.

“Jika hal yang membuatmu tertahan adalah aku dan kesalahan masa lalu, aku sudah tidak apa-apa, lagipula kita semua harus tetap maju kan?”

“Faisal…”

Keheningan pun kembali menyeruak di antara mereka, hingga sesap terakhir cokelat panas milik Budi, ia masih tidak bisa menjawab pertanyaan uanh sepertinya menjadi pernyataan teman masa kecilnya itu.

“Oh? Kak Budi belum tidur?”

“Rena?”

Bukannya menjawab, sepertinya Budi juga sama bingungnya sama gadis termuda yang mendiami Kosan ini, Rena pun hanya terkekeh melihat wajah bingung Budi, “Aku habis dari toilet kak, terus mau ke dapur ambil snack karena ga bisa tidur lagi,”

“Oh, baiklah…”

“Kalau gitu mari kak!”

Sebelum mereka berpamitan dan berselisih jalan, Budi teringat Faisal yang masih di dapur seorang diri, memintanya meninggalkan dirinya sendiri, sebenarnya dibanding dirinya yang harus dikhawatirkan adalah kondisi Faisal dan mentalnya, lelaki itu dari dulu tidak banyak bicara ataupun cerita dan sepertinya masih belum mau menceritakannya kepada Budi.

Tapi sosok Rena berbeda, Budi teringat saat pesta ulang tahun Faisal di mana lelaki itu bisa tersenyum lebar karena kejutan gadis itu, mungkin jika itu Rena, Faisal dapat melepaskan beban masa lalunya, ya kan?

“Rena, tunggu,”

“Iya?”

“Faisal…, dia masih ada di dapur, baru pulang…,”

Jeda sejenak dan Rena masih menunggu Budi melanjutkan ucapannya.

“Dia bilang dia ingin sendiri… tapi, kondisinya yang sekarang membuatku sedikit khawatir… bisakah kamu menemaninya? Maaf jika merepotkanmu, kalau Faisal memang ingin sendiri kamu bisa langsung kembali ke kamarmu,”

Rena tidak langsung menjawab, tapi tidak pula menolak permintaan Budi, “Baiklah kak, akan aku coba temani pak Faisal bicara!”

Sebenarnya Rena sedikit ragu untuk menghampiri Faisal, kondisinya saat ini sedikit mengingatkannya waktu Faisal memarahinya malam itu—ketika mereka berdua hanya di dapur dengan pencahayaan yang minim dan perasaan negatif yang bergejolak. Jika memang Faisal ingin sendirian malam ini apakah tepat dan bijak bagi Rena tiba-tiba datang dan menghampirinya? Lalu pembicaraan dan obrolan apa yang bisa ia lakukan agar terlihat senatural mungkin?

“Malam, Pak Faisal… baru pulang?” bisiknya untuk dirinya sendiri, ia menggeleng terlalu kaku.

“Ah… Pak Faisal sedang apa? Baru pulang? Boleh aku ikut duduk?” Tidak-tidak, terkesan terlalu ikut campur.

Dirinya yang terlalu berkelut dengan pikirannya sendiri pun tidak sadar objek yang tengah diamati telah menghilang dalam gelapnya malam.

“?!”

Dirinya hampir berteriak saat sebuah tepukan kecil mendarat di bahunya, badannya pun berbalik dan mendapati Faisal yang sudah berdiri tidak jauh darinya.

“…kaget…,” ujarnya sembari memegangi jatungnya. Namun, Faisal seakan tak bersalah, lelki itu justru terkekeh kecil. “Maaf, habisnya daritadi aku melihatmu di pantulan kaca berdiri di situ dan kebingungan,”

Rena tak percaya dengan apa yang ia dengar, apa Faisal sengaja mengangetkannya untuk mengerjainya?

“Jadi, pak Faisal sudah tau daritadi aku di sini?”

“Hum, tapi aku biarkan saja,”

Kecanggungan kembali menyeruak di antara mereka, Faisal menyingkirkan tangannya dari bahu gadis di hadapannya.

“Kalau gitu aku ke kamar dulu ya Rena, malam,”

Rena tidak menjawab ucapan Faisal, sebelum sosok lelaki itu hilang ditelan gelapnya malam, ia pun memberanikan dirinya untuk memanggil namanya.

“Pa… ugh… Faisal!”

“Ya?”

Entah kenapa nyalinya pun menciut saat ia mendapati raut lelah di wajah Faisal malam ini.

“Tidak apa-apa! Selamat beristirahat ya… Faisal,” ujarnya kikuk. Dirinya masih belum terbiasa berbicara nonformal dengan lelaki itu.

Faisal tidak menjawab hanya tersenyum kecil dan berlalu. Rena masih belum berani untuk bertany, tetapi kecanggungan dan jarak diantara mereka pun turut membuatnya tidak merasa nyaman

🍀🍀🍀

Ekspresi wajah Haitham saat ini tidak dapat didefinisikan dengan kata-kata. Entah apa yang terjadi dan dapat mencairkan ekspresi sekaku kanebo kering di wajah boros dan tak ramah sahabatnya itu tetapi yang jelas Cyno dan Nilou harus berterima kasih kepasa siapapun yang berhasil menorehkab ekspresi ‘cengo’ di wajah Haitham layaknya achievement unlocked.

Suara kekehan seketika memenuhi ruangan karaoke, begitu pula dengan Nahida yang berusaha menurutupi kekeh kecilnya dengan kedua tangan mungilna. Ah… sepertinya dia tau siapa biang dari power point berwarna merah muda dengan gambar bunga-bunga itu. Sebuah mahakarya dari Nahida.

Haitham berdecak pinggang sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. “Nahida…”

OHO tawa Cyno dan Nilou pun terhenti, fokus mereka beralih kepada dua orang yang sendari tadi hanya saling tatap seakan mengabaikan kehadiran dua entitas lainnya.

“Sengaja ya?” Tanya Haitham dengan nada sedikit jahil, Nahida pun berusaha mengelak walau ia tahu betul apa maksud lelaki itu, “Apaaa?”

“Ini ppt-nya kamu sengaja bikin gini kan?”

“Ih engga! Aku cuma bikinin PPT sesuai maumu kok! By request!”

“Desainnya?”

“Iyaa coba deh cek chat makanya sesekali aku sempet kirimin desainnya terus kamu bilang apapun yang aku pilihin kamu pasti suka,”

“CIEEEE”

Sorak sorai penuh semarak seketika memenuhi ruang kedap suara tersebut, membuat Nahida seketika sadar akan ucapannya barusan yang sangat mungkin disalah artikan.

“Ih denger tuh No! Nahida bilang apapun yang dipilih Nahida Haitham pasti suka!!!”

“Mana tadi berasa dunia milik berdua lagi”

“Sial aku kalah sama kanebo kering?!?!”

Wajah mungil Nahida itu pun bersemu merah layaknya tomat, menggemaskan, tetapi melihat gadis itu kelimpungan Haitham pun berdeham.

“Bisa ngga sesi presentasinya aku mulai?” tanyanya, Cyno dan Nilou pun mempersilahkan layaknya hendak presentasi kelas.

🍀🍀🍀

“Wow… presentasi kamu… kontras banget ya sama pptnya,” komentar Nilou tidak percaya dengan apa yang dia dengar.

Ia harus berterima kasih kepada Nahida, jika tidak pasti ppt Haitham akan terlihat seperti ppt bapak-bapak yang tidak di edit dan hanya berwarna putih.

“Ku kira selama ini Chitato selalu benar, ternyata ada kalanya salah” celetuk Cyno mengundang tanya dan sebelum mereka bertanya lelaki berkulit sawo matang tersebut sudah menjelaskan, “Karena life is never flat gitu”

“Malas menanggapi”

Nilou menepukkan kedua tangannya, meminta perhatian dari teman-temannya sebelum keributan terjadi akibat candaan jelek Cyno.

“Udah dong udaaaah, karena sepakat PPT-nya Haitham yang paling jelek dia yang nyanyi ya!”

Ah… sepeetinya Haitham dijebak, bisa-bisanya Nilou bilang ppt-nya jelek padahal Nahida sudah mengeditnya dengan imut, ini berarti kalaupun tidak diedit tetap dia yang kalah begitu?!?! Dimana bentuk keadilan penjurian?!?!!

“Kok pptku jelek kan udah lucu bagus dieditin Nahida,” belanya

“Ih Hayi! Yang penting itu subtansi!”

“Penilainya baru dikasih tau bobotnya sekarang, ga fair,”

“Lah kamu juga ga fair dieditin Nahida!”

“Kan ga bilang kalau harus edit sendiri”

“Anu… udah guys ini nanti ga nyanyi-nyanyi…” ujar Nahida berusaha melerai Nilou dan Haitham yang mempermasalahkan masalah sepele. Kadang ia heran, mereka semua sudah tujuh belas tahun kan? Kenapa masih meributkan hal kecil?

Keributan tersebut terhenti saat Cyno tanpa diduga memutarkan lagu dengan beat funky.

“Loh lagu ini kan?”

Oeloun naldeul-iyeo modu da-

ANNYEONG!

“* Nae ma-eum sog-ui nunmuldo ijeneun-*”

ANNYEONG!!!

Raut kebingungan dan penuh tanya Nahida pun perlahan berubah menjadi seutas senyum tulus penuh kelegaam. Ia terkekeh kecil, ternyata memang bisa seperti ini ya? Tadi ribut-ribut kecil tidak jelas dan seketika sekarang kompak menyanyikan lagu korea walaupun Cyno hanya membacakan lirik dengan asal. Ah… jika ini bisa menjadi sebuah life update untuknya, ia bersyukur mempunyai teman-teman seperti mereka di akhir masa SMA-nya.

———

Senyum manis sang juwita tak henti merekah di paras rupawannya dengan sepasang netra yang sendari tadi sibuk menyusuri pemandangan dan gemerlap kerlip lampu kota dekat kampusnya. Membawanya seakan bernostalgia pada masa beberapa tahun lalu.

“Sayang, ini susu murninya,”

Kedua tangannya terbuka menerima secangkir susu panas yang manis menguarkan uapnya, warnanya begitu kontras dengan gelapnya langit malam, menandakan susu tersebut baru saja dihangatkan oleh sang paman penjual.

Dan sang lelaki pun mengambil duduk tepat di sebelah sang puan. Seutas senyum lembut terukir manis di wajahnya manakala mendapati senyum cerah dengan kedua pipi meroba sang jelita saat menyesapi hangatnya susu tersebut.

Sadar jika sendari tadi dipandangi oleh sosok disebelahnya, puan tersebut pun bertanya, “Ada apa?”

Lelaki bersurai pucat tersebut menggeleng pelan—sembari masih tersenyum lembut—memberikan isyarat bukanlah hal besar untuk dipikirkan oleh sang puan.

“Udah lama banget ya, kita ngga minum susu hangat di sini,” celotehnya yang dibalas dengan anggukan setuju.

“Padahal dulu pas jaman-jaman kuliah tiap abis pulang kelas malem kita sempetin mampir ke sini,”

Pikirnya pun membawanya menerawang dan mengingat masa indah tersebut. Kenangan yang akan selalu tersimpan rapi dalam benak dan hatinya. Saat pertama dirinya dan sang juwita tak sengaja bertemu di bawah sendu hujan bulan Juni, saat pertemuan tersebut kemudian membawa pada pertemuan-pertemuan lainnya yang menjadikan mereka perlahan dekat serta menjadi salah satu tempat mereka menghabiskan rutinitas setelah kuliah, dan tempat dimana mereka pertama kali melangsungkan kencan pertama mereka.

Sepasang netra merah itu pun menatap lekat kepada sang kekasih, menghadirkan berjuta tanya pada pikir sang puan. “Huh? Ada apa?”

“Sayang?”

“Kazuha?”

Sang pemilik nama pun seketika berkedip, sadar bahwa dirinya sendari tadi hanya menatap lekat perempuannya.

“Ayaka…, baju itu, kalau ngga salah ingat baju yang kamu dulu pakai waktu kencan pertama kita ya?”

Seutas secercah senyum cerah pun seketika membuncah di wajah ayu sang gadis, dengan binar mata penuh haru yang selalu jadi favorit Kazuha.

“Kamu ingaaat??” tanyanya penuh antusias.

Tentu saja ia ingat

Kazuha akan selalu mengingat setiap momen kecil yang ia habiskan dengan sang kekasih

Saat pertama kali sang kekasih mengenakan dress pendek biru mudanya tersebut pada kencan pertama mereka, Kazuha masih mengingat betapa menawannya sang juwita dibalutan dress satin selutut tersebut,

Dan bagaimana Ayaka selalu terlihat menarik dengan setiap setel pakaian yang ia pakai.

Kazuha tersenyum simpul sembari menopang dagunya dengan tangan kanannya, “Inget dong, masa lupa… kamu cantik banget…”

Semburat merah muda pun membuncah di kedua sisi wajah Ayaka—hingga menjalar ke telinga—begitu kontras dengan kulit putihnya, reaksi Ayaka terlalu jujur dan juga lucu, aalah satu hal yang Kazuha suka dari sosok Ayaka (yang ia suka semuanya).

Dielusnya pucuk kepala sang gadis dengan penuh kasih. Tangannya pun bergerak mengelus pipi kanan Ayaka, menyisakan sensasi menggelitik manakala tangan kasar nan dingin tersebut bersentuhan dengan pipi halus hangatnya. “Makasih ya Ayaka,”

Ucapan Kazuha pun menyisakan tanga pada benak Ayaka, mengerti akan raut kebingungan sang gadis ia pun melanjutkan.

“Makasih untuk semuanya, makasih udah sayang sama aku, makasih udah sabar buat aku… makasih selalu ada buat aku. Dan, makasih karena sudah jadi orang yang aku sayang”

Hanya Ayaka yang mengerti seberapa dalam dan tulusnya perasaan Kazuha, dan seberapa pentingnya ucapan terima kasih tersebut bagi Kazuha. Selama empat tahun lamanya, hanya mereka yang tahu lika liku dan asam manis hubungan mereka.

“Kazuha…, udah ya… gapapa? Jangan terus-terusan ngerasa seperti itu”

“Tapi…,”

“Sstt… aku, kamu, kita semua ngga apa-apa dengan kondisi ini kok… orang-orang hanya melihat apa yang mereka anggap ideal dan pantas tapi yang paling mengerti siapa yang aku butuh dan pantas buat aku itu cuma kamu… dengan seperti ini aja aku udah sangat bahagia kok…”

Ah… harusnya Kazuha yang paling tau tentang Ayaka, tentang seberapa besar perasaan gadis itu pada dirinya yang bahkan rela melepaskan segalanya hanya demi Kazuha, demi kebahagiaannya. Bagi Kazuha, Ayaka adalah anugerah terbesar dalam hidupnya yang pelik, Kazuha begitu bersyukur bahwa perempuan tersebut adalah Ayaka.

“Sayang, minggu depan mau ke Liyue bareng ngga? Kebetulan aku dapet dua tiket buat pagelaran seni di Liyue”

Wajah Ayaka kembali berseri, menatap Kazuha tidak percaya, “Ka-kamu?!? Ta-tapi kan itu tiketnya susah banget didapet…?!? Kok????”

“Hehe pacar kamu kan hebat! Aku tau kamu suka banget sama teater Han jadi aku berusaha dapetin dua tiket buat kita,”

“SAYAAAAANG MAKASIII BANYAAAK”

Gadis bersurai pucat tersebut seketika berhambur memeluk sang kekasih dengan erat. Selalu seperti ini, Kazuha selalu saja tau caranya untuk menghibur mereka, menyediakan berbagai macam pengalaman menarik.

“Aku… aku seneng banget… makasih sayang… huhu”

“Udah dong nangisnya, katanya seneng tapi kok nangis…”

“Habisnya!!!”