komoyi

just me and my loving komori hours, heavily post sunakomo

———

Sendari tadi Bronya terlihat berdiri cemas sembari terus menerus meremat rok biru miliknya serta sesekali membenai anak-anak rambutnya yang tidak perlu diapa-apakan pun sebenarnya sudah rapi.

Jujur saja ia gugup dan tidak percaya diri. Beberapa orang sendari tadi berlalu lalang, mencuri-curi pandang sekilas ke arahnya. Mungkin sembari menerka-nerka, apa yang kiranya dilakukan seorang Supreme Guardian, di depan toko bunga Eversummer Florist? Dengan pakaian santai tentunya. Tetapi yah memang apa salahnya dirinya—seorang Supreme Guardian, terlihat sedang menikmati hari liburnya—sebagai Bronya Rand.

Kegugupannya sirna digantinya senyum yang merekah manakala kedua netranya menangkap siluet orang yang sendari tadi ia tunggu. Entah mengapa dirinya semakin berseri, melihat sosok Dan heng yang juga sedang menuju ke arahnya berpenampilan santai—bukan sebagai seorang perintis, the Nameless, ataupun Trailbllazer, melainkan seorang Dan Heng.

———

“Maaf membuatmu menunggu lama, Bronya,”

“Ah! Tidak kok!”

Lelaki di hadapannya tersebut diam memperhatikannya, menatapnya seksama membuatnya entah kenapa semakin gugup dilihat dengan begitu lekat dan juga dekat.

“Apa… ada yang salah?” tanyanya ragu-ragu, Dan heng pun menggelengkan kepalanya. “Tidak, kamu… terlihat cukup berbeda,”

Entah mengapa pernyataan Dan heng tersebut membuat Bronya salah tingkah (dan juga kaprah) mengerti maksud ucapannya yang bisa saja bermaksud negatif, Dan heng pun cepat-cepat meralatnya.

“Tidak, maksudku bukan seperti itu! Aku jarang melihatmu berpenampilannsantai seperti ini, cocok kok, lebih fresh dilihat,”

“Ah? Syukurlah jika seperti itu… Sebenarnya…, aku merasa sedikit tidak percaya diri… tapi Pela yang menyuruhkan untuk sedikit ‘berdandan’”, ujar Bronya, sedikit menekankan pada kata berdandannya, matanya sendari tadi sibuk emlihat kesana kemari, menggan menatap kearah dua pasang netra safir tersebut. Dan heng pun tersenyum simpul.

“Benarkah? Kalau begitu aku harus berterima kasih kepada nona Pela, aku merasa sedikit spesial karena bisa melihat Supreme Guardian seperti ini,”

“Ugh… berhenti mengangguku…” gerutu gadis tersebut yang sukses mencairkan tawa hangat dan renyah lelaki di hadapannya yang selalu berekspresi dingin layaknya kota Belobog. Bronya tersenyum simpul hatinya pun ikut menghangat.

“Mau kemana sekarang?” tanya Bronya, sedikit khawatir jikalau mereka terlalu lama berbincang di Administrative District. Walau Bronya suka menghabiskan waktu dengan Dan heng tapi tujuan mereka kali ini adalah melihat wajah lain dari Belobog, jadi ia tidak ingin menghabiskan waktu terlalu lama di satu tempat.

“Heum… aku tidak tau, di sini kamu lah tour guide-nya, aku akan mengikuti kemana pun kamu pergi. Jadi mohon bantuannya,”

———

“Jadi seperti ini pemandangan bukit di sebelah utara kota Belobog, selama ini aku hanya melihatnya dari peta,” ujar Dan heng terkesima. Mata safir tersebut sendari tadi tidak dapat berbohong, binar kekagumannya memancarkan ketakjuban pada bentang alam bersalju milik Belobog, membuat Bronya pun tersenyum simpul.

“Iya, aku baca di buku sejarah Belobog, dulunya bukit ini lebih indah dengan padang rumput sabana, pepohonan, dan juga bunga-bunga indah. Sayangnya, karena kebekuan abadi semuanya menjadi layu, menyisakan salju sejauh mata memandang,”

Dan heng menolehkan pandangannya ke arah Bronya, gadis itu tampak murung. Dirinya mengerti, betapa gadis itu juga ingin melihat indah serta hijaunta permadani alam Belobog hanya saja karena Stellaron semuanya seketika musnah dan lenyap.

“Ah! Maaf! Aku tiba-tiba murung, bukan berarti aku tidak meyukai musim dingin, hanya saja kalau musim semi kita bisa melihat bunga-bunga bermekaran dan apabila kita beruntung kita dapat melihat padang Ball Peony yang dipenuhi oleh bunga-bunga berwarna merah muda. Sayangnya kondisi sekarang membuat kita hanya bisa melihatnya sekali dalam setahun…”

“Kalau aku pribadi lebih menyukai musim dingin dibanding musim semi,”

Bronya menolehkan pandangannya ke arah Dan heng. Lelaki itu terlihat masih menikmati bentang permadani putih di hadapannya. Tatapannya penuh kelembutan namun di satu sisi seperti memandang jauh ke arah sesuatu yang tak dapat digapainya.

“Paling tidak aku bisa menikmati waktuku dengan orang yang aku sayangi selama musim dingin,” ujar lelaki tersebut.

Bronya tidak mengerti. Namun yang jelas seutas senyum simpul yang terukir manis di wajahnya adalah sebuah tanda bahwa dirinya setuju. Tidak ada yang salah dari menghabiskan waktu dengan orang yang disayang.

“Yah…, kamu benar,”

———

“Hup!”

Disambutnya uluran tangan sang lelaki, dengan hati-hati kakinya pun mencari-cari pijakan tanah bersalju untuk tempatnya berdiri.

Dan heng mengajaknya untuk turun sedikit ke lereng, mencari spot bagus untuk mengambil sebuah foto kenang-kenangan.

“Woah! Indahnya…”

Berbeda dari di atas sana, lereng di sini dipenuhi oleh pemandangan belukar yang layu. Meskipun demikian tetap indah di pandang mata di tengah-tengah padang salju yang membentang.

“Wah! Lihat!”

Dan heng menoleh ke arah kemana jemari lentik itu mengarah, beberapa kuntup bunga Ball Poeny bermekaran tidak jauh dari semak berlukar yang mulai berguguran. Indah, warnanya cukup kontras ditengah permadani salju tempat mereka berpijak.

Sepasang netra kelabu tersebut berpijar dengan sorot penuh kekaguman, tanpa sadar menciptakan seutas simpul samar di paras rupawannya. Di tengah dibginnya Belobog entah mengapa dalam dirinya seakan menghangat layaknya menyambut musim semi yang baru saja tiba.

Jemari lentik sang gadis itu pun terulur, memetik satu buah tangkai dan menyelipkannya di balik telinganya, “Bagaimana menurutmu?” tanyanya.

Dan heng pun mengeluarkan kameranya, ia mundur selangkah dan kemudian mengabadikan potret indah milik sang gadis, “Cantik,” komentarnya.

“He he he, iya kan?” Gadis itu menolehkan pandangannya ke arah Dan heng, mendapati sang lelaki tengah tersenyum simpul ke arahnya, sebuah senyum yang bahkan tidak dapat ia artikan… membuatnya sedikit salah tingkah.

Mengerti akan kecanggungan antara satu sama lain, Dan heng pun dengan segera menyerahkan satu buah foto yang berhasil ia tangkap. Sebuah potret Bronya dengan pemandangan bukit bersalju Belobog di belakangnya dengan gugur daun yang mulai kecokelatan dengan sebuah Ball Peony cantik yang baru bermekaran bertengger di kuping sang gadis. Begitu serasi dengan paras lembut wanita nomor satu di Belobog tersebut.

“Wah… cantik sekali…” ujar Bronya tanpa sadar… seakan memuji dirinya sendiri dengan cepat ia menjelaskan maksud ucapannya, “Ah! Aku tidak bermaksud narsis! Maksud aku foto yang kamu ambil cantik sekali!”

“Tapi kamu juga cantik kok di foto ini,”

“Ah…? Terima kasih…” balas sang gadis kikuk, satu ide kecil pun melintas di pikirnya. “Boleh aku pinjam kameramu sebentar?”

Meski kebingungan Dan heng tetap menyerahkan kameranya pada uluran tangan sang gadis. Mengikuti setiap kemauan sang gadis yang juga menyuruhnya untuk memegang setangkai bunga Ball Peony tersebut.

“Satu… dua… tiga…!”

Klik

Selembar foto pun keluar dari kamera polaroid tersebut, menampilkan potret sisi samping Dan heng yang tersenyum hangat sembari memegang bunga Ball Peony tersebut. Gadis itu tersenyum simpul, diambilnya potret diri Dan heng dari lelaki tersebut dan ia tukar dengan potret diriny sendiri.

“Anggap saja foto dan Ball Peony ini adalah kenang-kenangan dari Belobog!”

Dipandangnya potret milik Bronya dan setangkai bunga Ball Peony tersebut berulang kali sebelum kemudian memandang ke arah gadis di hadapannya.

“Terima kasih, akan aku jaga selalu… wajah belobog ini…” ujarnya sembari tersenyum.

———

Dalam ruang arsip tersebut ia pandangi selalu setangkai bunga Ball Peony yang telah ia masukkan ke dalam pot berisi air, tidak jaub dari pot tersebut terdapat selembar foto seorang gadis cantik tengah tersenyum dengan Ball Peony yang terselip diantara telinganya

Beberapa arsir pena penghiasi pojok kiri bawah foto tersebut

Wajah Belobog 2157 AE, December 25th A promise to return back

———

Gadis itu meletakkan selembar foto lelaki yang tengah tersenyum hangat sembari memandang setangkai bunga Ball Peony yang baru saja bermekaran di bawah figura foto keluarganya

Gadis itu pun beranjak ke atas tempat tidurnya, membaringkan diri dan membiarkannya terlelap ke dalam alam mimpi

Wajah Belobog 2157 AE, December 25th A promise to wait your departure

———

Dan heng pun menutup bukunya tepat setelah dirinya mengakhiri ceritanya, ditolehkannya kembali pandangnya kepada gadis bersurai kelabu di hadapannya. Sorot iba pun terpancar dari dua pasang netra yang senada dengan rambut sang gadis.

“Ada apa?” tanyanya.

Bukankah tadi sang gadis yang memintanya diceritakan kisah-kisah perjalanan luar angkasa? Lalu mengapa sorot mata sang puan itu pun seperti dirudung pilu? Layaknya ada awan gelap yang menghalangi sinarnya.

“Dulu…, aku selalu mengira luar angkasa itu indah… tapi ternyata hanya berisi kehampaan ya…?”

Keheningan seketika menyeruak diantara dua insan tersebut, “Kenapa?” tanya Dan heng.

“Dari penjelasanmu… seakan ruang angkasa hanyalah kekosongan semata… terlepas dari indahnya panorama yang terlihat dari bawah sini… di atas sana nyatanya hanya berisi kehampaan…,”

Gadis bersurai abu tersebut menghentikan kalimatnya sejenak, sebelum melanjutkan, “Apa kamu tidak merasa kesepian selama di luar angkasa?” tanyanya.

“Ah… maaf kalau tidak sopan…”

“Tidak apa-apa.. aku tidak tersinggung sama sekali,” ujar sang lelaki. “Aku paham perasaanmu,”

Pandangan sepasang netra biru safir tersebut seakan menerawang, ke arah sesuatu yang sangat jauh tak terjangkau namun penuh akan kerinduan. “Yah…, saat aku memandang ke arah jendela parlor, yang aku lihat hanyalah permadani hitam… pekat… tidak ada apa-apa,”

Lelaki itu pun melanjutkan, bahwa agar dirinya tidak lupa ataumerasa hampa dia selalu membaca ulang arsip-arsip dengan foto-foto planet yang mereka kunjungi sembari sesekali membayangkan hiruk pikuk pasar atau teranam lampu taman.

“Setelah semua perintisanmu selesai…, apakah ada tempat yang ingin kamu tuju?”

Dan heng pun menggelengkan kepalanya pelan. Seutas senyum tipis terbentuk di wajah rupawan lelaki tersebut, tetapi alih-alih kebahagiaan yang Bronya lihat hanyalah pancaran kesedihan.

“Tidak tau…, aku tidak tau kemana tujuanku atau bahkan tempatku untuk pulang,”

Karena apa yang aku anggap rumah pun telah tiada

Keheningan kembali meyeruak, kesedihan lelaki dihadapannya membua sang gadis ikut merasakan sesak dalam dadanya. Di hadapannya terlihat Dan heng yang enggan menangkatkan pandangannya dari lembar buku sejarah Belobog yang menampilkan bentang alam hijau planet dengan kebekuan abadi tersebut. Bronya tau, walau pandangan lelaki itu tertuju pada buku tersebut tapi fokusnya entah melayang ke suatu hal yang teramat sangat jauh.

“Kalau begitu, kamu dapat kembali lagi ke Jarilo-VI. Aku akan menunggumu,” ujarnya.

Satu kekehan lembut pun lepas dari sosok sang jaka, Bronya sedang tidak bercanda lalu kenapa lelaki itu tertawa?

“Butuh 700 tahun lagi agak parlor kembali ke planet ini,”

“Tidak apa-apa, aku akan menunggumu untuk pulang ke Jarilo-VI”

Sore itu, mereka menghabiskan lebih banyak waktu untuk diam alih-alih membicarakan luar angkasa. Akan tetapi, di lubuk hati terdalam milik Dan heng, lelaki itu mengucapkan terima kasih yang teramat tulus.

🍀🍀🍀

Deru decit roda pagar Nahida yang sekiranya perlu dikasih pelumas kembali sedikit memekakan, dengan tangan kecilnya susah payah mendorong pagar besi tersebut. Dari sedikit celah yang ia ciptakan, Nahida mengintip dan menemukan sosok Haitham tengah berdiri di luar sana.

Dua sejoli tersebut saling terdiam, tak bersuara, bahkan Nahida pun tak menyuruh lelaki tersebut masuk ataupun Haitham yang kemudian mengajak Nahida keluar. Sampai ketika Nahida angkat bixara terlebih dahulu.

“Aku kan udah bilang ngga usah kesini… aku… lagi gamau ketemu orang…,”

“Iya, tau, aku cuma khawatir aja,”

Jelas lelaki itu acuh yang seketika membuat Nahida kebingungan, khawatir gimana?

“Takutnya ada yang tiba-tiba nangis,”

Jujur saja, Nahida sedikit tersinggung, “Aku ngga nangisan!”

“Iya, tau, makanya aku ngecek kesini takutnya kenapa-napa,”

Dan jawaban Haitham tidak membawamya ke mana-mana, justru semakin jauh dari jawaban, menyisakan beragam tanya.

“Terus…, mau ngapain? Aku juga bakalan nolak kalo kamu ajak…,”

Haitham tidak menjawab, lelaki itu pun seketika menyodorkan satu kantong kresek penuh berisi jajanan, belum sempet Nahida membukanya atau berterima kasih lelaki itu pergi begitu saja.

“Kalau Nilou lagi sedih atau galau dia paling suka dibeliin jajan. Semoga kamu jadi mendingan dengan begitu juga, aku pergi dulu ya mau main basket sama yang lain,”

🍀🍀🍀

———

Wanita anggun bersurai merah tersebut memasuki kediamannya dengan hati-hati, penuh kewaspadaan. Tangan kanannya terangkat membawa sepatu heels miliknya, sambil berjalan pelan-pelan. Genggamannya pada sepatunya semakin kuat, tanpa sadar membuat buku-buku kukunya memutih.

Wanita tersebut semakin waspada, sangat telinganya menangkap suara yang cukup mencurigakan… sampai akhirnya alunan piano dari lagu favoritnya itu menyapa pendengarannya. Pegerakan Himeko pun terpaku, berfokus pada suara yang ada, takut apabila dirinya berhalusinasi.

Wanita tersebut dapat mendengar suara pintu perdecit dari kamar tidurnya, kedua netra semerah delima itu menangkap pihar cahaya dari lilin-lilin kecil serta senandung merdu suara sang suami.

So as long as i live i love you *Will have and hold you You look so beautiful in white

Itu adalah lagu favoritnya, lagu yang diputar saat mereka pertama kali bertemu di malam pesta acara keluarga serta kolega bisnis keluarga Yang, serta lagu yang dinyanyikan oleh Welt di hari pernikahan mereka.

Remang cahaya lilin tersebut memantulkan, memperlihatkan wajah Welt yang tetap tampan terlepas kerutan yang telah mulai nampak. Dari tempatnya berdiri ia dapat melihat seutas senyum sang lelaki yang selalu sukses membuatnya tersipu layaknya gadis tengah jatuh hati. Semyum manis yang memperlihatkan lesung pipi dengan malu-malu.

“Selamat hari ulang tahun pernikahan ya mami…” ujar Welt yang tanpa Himeko sadari telah berdiri dihadapannya, memegang sebuah kue tart kecil dengan ornamen mereka berdua saat menikah dulu.

“Papi…”

“Kalo mau meluk sama cium papi tolong heels-nya diturunin ya mami… nanti mata papi kecolok kan ga lucu,”

Suasana haru itupun dilengkapi dengan kehangatan gurau dari tawa kecil Himeko. Ia menurunkan tangan kanannya, meletakkan sepatu heels-nya ke lantai sebelum kemudian meniup pelan lilin di atas kue tersebut.

Himeko pun berhambur ke arah Welt, memeluk lelakinya dan menghujaminya dengan ciuman mesra penuh kehangatan di kedua sisi pipi suaminya sebelum diakhiri dengan sebuah ciuaman panjang di bibir.

“Selamat hari ulang tahun pernikahan, suamiku sayang…”

🍀🍀🍀

“Kak,”

Gadis mungil tersebut mengintip dengan malu-malu dari balik pintu kamar sang kakak. Rukkhadevata yang tengah merangkai bunga pun seketika menoleh ke arah sumber suara, dengan senyum lembut terpatri di paras ayunya ia menyuruh Nahida untuk masuk.

Dengan manut sang adik pun memasuki kamar sang kakak, megambil duduk di kasur empik berukuran queen size tersebut sebelum kemudian membaringkan badannya di sana. Ia menghela nafas pelan yang sukses membuat sang kakak mengalihkan fokusnya dari rangkaian bunga indah di hadapannya.

Jarang sekali pikirnya mendengar adik ya sampai menghela nafas seperti itu.

“Kamu kenapa? Diputusin Haitham?”

“SEMBARANGAN!”

Jeda sejenak sebelum Nahida melanjutkan dengan lirih, “…pacaran aja engga…,”

Tingkah malu-malu salah tingkah dan penuh harap samg adik sontak menjadi hiburan tersendiri bagi Rukkhadevata, mengingatkannya pada masa SMAnya yang penuh kisah akan kasih.

“Terus kenapa? Kamu tiba-tiba dateng ke kakakmu pasti ada sesuatu,”

Gadis mungil tersebut kembali menghela nafas—kali ini lebih keras dari sebelumnya, sang kakak pun memutar posisi duduknya untuk menghadap ke arah Nahida yang masuh terbaring tak bersemangat di kasurnya.

“Adek udah disuruh pilih jurusan kuliah kak…,”

“Heem, terus?”

Ingin rasanya Nahida mendecih, masa kakaknya tidak mengerti maksud pembicaraannya?

“Ya ga terus sih…, cuma aku bingung mau isi apa, dulu kak Rukkha gimana pas disuruh milih jurusan kuliah?”

Satu tawa renyah meluncur begitu saja dari bibir tipis Rukkhadevata setelah ia mendengar pertanyaan Nahida, baginya pertanyaan tersebut begitu lucu nan lugu, mengingatkan dirinya saat SMA dulu.

“Ih kok ketawa sih? Adek serius tau!”

“Iya iya, maaf tapi kakak cuma keinget dulu masa SMA juga sana bingungnya kayak kamu terus nanya ke mama papa dan jawabannya cuma suruh milih jurusan yang kakak mau untuk mengejar cita-cita,”

Penjelasan Rukkhadevata masih membingungkannya, layaknya berada dalam sebuah ruangan gelap, penjelasan sang kakak layaknya remang cahaya lampu. Membantunya sedikit namun bukan sebuah jalan keluat yang ia cari.

Yang dia mau dan inginkan ya? Tapi sebenarnya apa cita-citanya jika selama ini dia bercita-cita ingin menjadi seperti kakaknya?

“Apa adek ambil Agrikultur aja ya kak? Biar kayak kak Rukkha,” celotehnya yang seketika membuahkan sentilan kecil di dahinya dari sang kakak.

“Kok ngikutin kakak? Kan kamu yang mau kuliah, jurusan kuliah ini mememtukan banget masa depanmu nanti gimana loh dek jangan karena dulu kakak kuliah Agrikultur terus kamu ikutan,” omel sang kakak.

Pernyataan Rukkhadevata justru tidak membantu Nahida, dirinya semakin kebingungan dan tidak mengerti. Dia dari awal menjadikan sang kakak sebagai tolok ukur pencapaiannya. Ia ingin menjadi Rukkhadevata, lalu salahkah dirinya jika mengambil jurusan sama seperti kakaknya?

🍀🍀🍀

Pijar lampu dalam diri Mahida semakin remang, membuatnya semakin hilang dalam kegelapan

🍀🍀🍀

🍀🍀🍀

“Teman-teman, tolong dengeriiin,”

“WOY ANJENG DENGERIN AETHER MAU NGOMONG!”

Seketika seluruh kegaduhan dan ricuh di ruang kelas terhenti mana kala Cyno berteriak meminta seluruh warga kelas menaruh atensi pda sang ketua kelas. Lelaki berkulit gelap itu pun berterima kasih kepada teman-temannya, “Nah gini dong, oke makasi guys gue mau makan pop mie dengan tenang”

“Ngehe banget lu gue slepet lama-lama,” canda Aether seakan hendak menyikut teman sekelasnya itu—sementara Cyno pun hanya nyengir kuda dibuatnya.

“Oke jadi gengs, kemarin kan kita udah ngelist buat mau pilih ujian apa buat UT, nah tadi ketua kelas dipanggil ke BK buat sosialisasi STPTN dan katanya kepala sekolah minggu depan paling lambat kita kumpulin list kampus tujuan, jurusan, sama input nilainya.”

Penjelasan Aether tersebut tentu saja sontak menghadirkan bisik-bisik penuh cemas dan Nahida pun merasa demikian walau wajahnya tampak datar dan tenang.

Pikirannya serta hatinya nampak gundah, mau ambil jurusan apa dia nantinya? Mau daftar dimana? Dan lain sebagainya. Tidak disangka momen seperti ini membuatnya dilema…

🍀🍀🍀

Gundah kelas seakan tak dapat membuat dirinya terusik yang sendari tadi telah tenggelam dalam belengu lamunannya semdiri. Bahkan sang sahabat, Nilou, pun diabaikannya, membuat gadis periang tersebut mundur begitu saja, membiarkan Nahida larut dalam pikirannya sendiri.

satu arsir, dua arsir

Sudah berapa lama Nahida tidak terlarut dalam lamunannya sendiri? Apa dirinya terlalu terlena akan kebahagian serta euforia akhirnya dapat lebih dekat dengan sang pujaan hati?

tiga arsir, empat arsir, semakin tebal, semakin pekat

Sudah berapa lama? Sejak ia menyentuh halaman belakang bukunya yang penuh akan guratan arsir pensil bergambar dedaunan yang perlahan memudar?

Pada halaman yang sama ia torehkan gambaran bunga-bunga tak beraturan, begitu kusut dan saling menumpuk dengan gambar yang ada. Pikir serta batinnya ruwet ia hanya ingin menjernihkan pikirannya tetapi kenapa semuanya justru semakin memuakkan?

Ctak

Arang pensilnya itu pun terpatah karena dirinya begitu kuat mengarsir, menyisakan serpihan hitam di atas kertas putih yang telah mengusam dan bisa saja sobek karena luapan emosi yang ia torehkan, Nahida mendecih.

🍀🍀🍀

Nahida merasa dilema, ia kalut akan ketakutannya tersendiri

———

Stelle hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat tingkah kegirangan sang kekasih. Sudah hampir setengah jam lelaki bongsor itu berteriak di lapangan FST, memamerkan bunga yang ia berikan seakan easa lelah sepulang KKN-nya telah terhapus begitu saja.

Badan L-Men tapi kelakuan mamipoko

Apakah Stelle malu? Tentu saja tidak, justru dirinya begitu senang melihat tingkah kekanak-kanakan kekasihnya itu. Membuat sang kekasih terlihat sedikit manusiawi terlepas label sempurna dan garang yang diberikan oleh orang-orang. Nyatanya Gepard cuma lelaki biasa yang bisa kegirangan hanya pekara hadiah kecil.

“Hah… haaaah… udah ah capek, suaraku udah serak,” keluh Gepard membuat Stelle menggelengkan kepalanya heran sembari berkecak pinggang, “Siapa suruh teriak-teriak?”

“Biar semesta tau yang kalo aku abis dikasih bunga sama kamu,”

Dan Stelle tidak mau berdebat tak penting dengan kekasihnya itu, ia pun hanya mengiyakan.

“Ayo sini duduk, kamu ga capek apa? Kan baru pulang KKN,”

Seketika lelaki bersurai pirang pun lelah dan pegal tubuhnya kembali, dirinya terlalu larut sama euforia semata namun tak apa karena rasa senangnya itu disebabkan oleh perhatian gadis kesayangannya.

Gepard pun mengambil duduk di sebelah Stelle yang telah mengulutkan sebotol air mineral yang seketika ditengkak oleh lelaki tersebut. Melihat bulir keringat di kening sang kekasih, Stelle pun dengan sigap menyalakan AC mobil milik Gepard dan mengipasi pacarnya itu.

“Kamu kok tiba-tiba ngide ngasih bunga itu kenapa yang?” tanya Gepard.

Gadis itu terdiam sejenak dari kegiatannya, sedikit berpikir sebelum menjawab, “Ya gapapa, kamu abis pulang KKN pengen aja ngasih kado,”

“Iyaaa tauuu makasi yaaa cuma kenapa kepikiran bunga? Kan biasanya ngado cowo tuh kalo ga jam ya dompet atau sepatu,” ujar Gepard gemas sembari mencubit pipi Stelle, pacarnya ini memang tidak bisa berbasa-basi dan harus dijelaskan maksud kalimatnya sejelas mungkin.

“Waktu itu aku sempet nanya ke March sama Danheng, buat bantu pilihin kado, March nyaranin dompet terus Danheng nyaranin bunga,”

“Aku waktu itu juga heran dan nanya hal yang sama ke dia kayak kamu sekarang, ‘kenapa bunga?’ tapi dia bilang, ‘apa salahnya ngasih cowo bunga?” gitu,” jelas Stelle sembari menirukan nada bicara Danheng yang selalu datar seakan tak bersemangat.

Benar juga, apa salahnya memberikan lelaki hadiah bunga kan? Hal itu wajar hanya saja stereotipe masyarakat yang membuat laki-lali seakan tidak pantas mendapat hadiah berupa barang indah dan feminin.

“Kamu KKN bentar kok bahasanya udah anak sospol banget?” tanya Stelle. Astaga! Ternyata sendari tadi dia menyuarakan ujaran hatinya yang seharusnya menjadi monolog layaknya di sinetron-sinetron!

“Maklum yang, pas KKN sering sosialisasi makanya jiwa-jiwa sospolnya keluar,”

“Eh btw, ini Danheng Danheng yang lagi deketin Bronya itu ya?”

“Iya, yang deketin mantan kamu,”

OHO! Seketika senyum jahil terukir di paras tampan milik Gepard, membuat Stelle bergidik ngeri namun juga kebingungan.

“Kenapa wajahmu nyebelin deh kayak Anya woku-woku?”

“Kamu cemburu ya yang?”

“Apaan deh, engga!”

“Hayooo udah ngaku ajaa, Bronya emang mantan aku tapi kan kamu pacar akuuu kamu cemburu yaa,”

“Ih?? Pede banget!”

Dan gelak tawa penuh kerinduan memenuhi mobil sedan milik Gepard. Stelle begitu merindukan momen mereka bersua, berceletuk, dan bersenda gurau. Hampir sebulan lamanya ia menahan rindu tidak menghabiskan waktu bersama sang kekasih membuatnya lebih dapat menghargai momen-momen seperti ini bersama Gepard.

———

“Yang mau kontrak di sinu ya? Kenalin gue Caelus,” ujarnya memperkenalkan diri sembari menjabat tangan dua lelaki yang telah tiba terlebih dahulu.

Caelus memperhatikan dengan seksama, yang tinggi itu bernama Childe atau Ajax atau Tartaglia—terserah mau ia panggil apa. Sedangkan lelaki yang lebih pendek bernama Kazuha. Ia menduga nama mereka tertukar karena seharusnya yang mungil lebih cocok dipanggil Childe dibandingkan dengan si bongsor.

“Ini yang username Danheng mana? Belum dateng kah?” tanya Caelus kepada Kazuha dan Childe.

“Udah gue chat sih tadi katanya tunggu bentar,”

“Ini beneran kita ga tipu kan? Kan banyak tuh di thread twitter yang beginian pas udah dateng ternyata jadi tumbal,”

“Kan udah gue bilang gue kalo jadi dukun pun bakalan nolak kalo tumbalnya modelan lo,”

Ketiga lelaki itu seketika menoleh ke arah sumber suara, mendapati sesosok lelaki yang tengah membukakan pagar dengan mengenalan kaos oblong putih bercelana training tak lupa dengan sandal jepitnya.

Wajahnya terlihat lesu dengan kantong mata menghitam di wajahnya. Tanpa perlu repot-repot menduga terlihat jelas di wajah lelaki tersebut bahwa dirinya kurang tidur.

“Gue Danheng, ayo masuk aja, umi abi udah nunggu di dalam,” ujarnya sebelum seketika meninggalkan Childe, Kazuha, dan juga Caelus.

Ketiga lelaki itu saling beradu pandang, ternyata fasilitas lengkap dan apik pun tak dapat menyembuhkan penyakit insomnia dan kurang tidur yang dimiliki oleh mahasiswa…

———

“Oh? Jadi ini yang kemarin cari kontrakan?”

“Iya tante, eh ibu—eh kakaknya—eh mommy?”

Kazuha pun seketika menyikut perut Childe sementara Danheng yang melihat kelakuan ‘calon’ teman kosnya itu mendengus sebal. Mendengar celetukan asal Childe tersebut membuat Himeko tertawa ringan,senang rasanya jika bertemu anak muda seperti ini dan menganggapnya masih muda.

“Childe sukanya yang tante-tante seperti saya?” goda Himeko membuat Danheng semakin menggelengkan kepalanya heran.

“Eh? Oh! Kalo tantenya macam tante Himeko saya mau! Masih cantik dan awet muda kok!”

Tawa Himeko semakin renyah—Childe sepertinya tau bagaimana cara ‘menjilat’ dan menyenangkan hati orang tua. Sementara Caelus, Kazuha, dan Danheng hanya bisa menggelengkan kepala dengan sifat badak Childe barusan. Semoga suami Himeko tidak tiba-tiba membegal Childe ataupun mengajaknya sparring dalam tanda kutip.

“Jadi gimana? Childe, Kazuha, sama Caelus, tertarik ngga buat ngontrak di sini setelah keliling tadi?”

Ketiga jejaka itu saling bertukar pandang satu sama lain. Jika boleh jujur semua fasilitas kontrakan begitu teramat sangat baik. Akan tetapi, Caelus masih tetap pada pendiriannya, dirinya masih menyimpan prasangka buruk takut akan dijadikan tumbal pesugihan atau bahkan rahasia awet muda wanita di hadapannya itu.

“Caelus takut saya jadikan tumbal pesugihan ya?”

“Eh?!”

Wajah lelaki itu seketika bersemu merah layaknya kepiting rebus—berupaya menahan malu karena sudah ketahuan. Seketika ia melayangkan tatapan tajam ke arah Danheng yang terlihat acuh dan mengabaikan tatapannya—wajahnya seakan mengejek.

“Ahahaha! Gapapa gapapa wajar kok karena harganya murah banget tapi jujur saya sama suami saya ga masalah karena cuma ingin rumah ini ramai saja! Saya sama suami sudah hampir dua puluh tahun menikah tetapi tudak dikaruniai anak, jadinya bikin kontrakan biar bisa ngerasain rumah ramai karena anak-anak,” ujar Himeko, Caelus pun merasa sedikit bersalah.

Danheng menghela nafas pelan, “Umi…”

“Hehehe iya Danheng, umi gapapa… jadi gimana? Tertarik ambil kontrakan ini?”

———

———

“Danheng!”

Sang pemilik nama pun membalas lambaian tangan gadis berparas ayu dengan balutan dress biru muda selutut itu. Seutas senyum kecil tanpa ia sadari terpatri di paras rupawan namun sayang minim ekspresi tersebut.

“Maaf ya, kamu nunggu lama?” tanya gadis tersebut berbasa-basi, Danheng pun menggelengkan kepalanya sebagai jawaban, masih dengan seutas senyum kecil terpatri yang bahkan tidak disadari gadis di hadapannya. “Engga kok,”

Gadis itu memperhatikan penampilan Danheng saat ini, dari atas hingga bawah… lelaki tersebut, terlihat berbeda dan entah mengapa ia menyukai penampilannya hari ini.

“Tumben,” ujarnya.

Danheng yang menyadarinya pun menggaruk tengkuknya dengan kikuk, sedikit nerves, “Ya…, karena mau jalan sama kak Bronya,” ujarnya sedikit malu-malu. Satu jawaban singkat yang tentu sukses menciptakan rona merah muda samar di kedua sisi pipinya.

“Ehem! Kita mau kemana ngomong-ngomong?” tanya Danheng, berbasa-basi, berusaha agar kekikukan diantara mereka segera menghilang.

“Eum.. aku niatnya mau nyari kado sama bingkisan buat ulang tahun sahabatku sih,”

“Kak Seele?”

“Iya, kamu ingat?”

Anggukan pun Danheng berikan sebagai jawaban, “Ingat kok, yang waktu itu sempet jemput kak Bronya di perpus…”

Ucapannya terhenti, diperhatikannya wajah Bronya dan kejadian tidak mengenakan saat gadis di hadapannya dirundung pilu akibat diputuskan pacarnya yang biasa menjemputnya. Ah, kejadian itu pula yang membuatnya mengingat betul sosok Seele sebagai teman dekat Bronya. Ia memilih untuk tidak melanjutkan ucapannya.

“…teman baiknya kak Bronya kan?”

Dan gadis itu menghargai upaya lelaki di hadapannya. Mungkin saja Danheng masih merasa tidak enak namun sejatinya Bronya sudah tidak mempermasalahkannya. Bronya paham dan menghargai pilihan lelaki tersebut yang memilih bungkam.

“Iya, Seele yang itu! Dia juga banyak nanyain kamu loh,”

Sepanjang perjalanan menyisir pinggiran plaza kota mereka bercerita, walau lebih banyak Bronya uang bercerita dibandingkan Danheng. Mungkin sebagian besar orang tidak akan percaya kedua orang paling pendiam di masing-masing lingkaran pertemanan mereka dapat berbincang akrab penuh kehangatan.

Danheng tidak merasa terganggu dengan kehinangan diantara mereka dan Bronya pun tidak pernah mempermasalahkan perihal Danheng yang sering kali membalasnya dengan sepatah dua patah kata saja, entah mengapa bagi mereka seakan pas. Hening namun tidak sepi, dan mereka berdua menyukainya.

“Kak Bronya,”

“Ya?”

Danheng pun seketika menggeret Bronya ke sebelah kanannya, tidak membiarkan gadis itu untuk berjalan di pinggiran trotoar, berbahaya. Bronya yang menyadari sikap Danheng pun hanya bisa berterima kasih.

———

“Menurut kamu enaknya beliin Seele tas atau alat make up ya? Soalnya Seele curhat kalo dia kehabisan lipstick tapi kayaknya better beliin satu set alat make up ga sih kalau gitu?” tanya Bronya.

Mereka masih berjalan melihat ke setiap toko di plaza kota. Sesekali menghampiri toko baju pria ataupun wanita untuk sekadar melihat-lihat.

“Hampers aja gimana kak? Jadi isi utamanya tas sama lipstick favorit kak Seele, sisanya mungkin pernak-pernik lainnya. Kalau cuma set make up menurutku kurang berkesan karena bisa habis,” jelasnya.

Ide yang cukup masuk akal menurut Bronya, gadis itu pun seketika menarik tangan Danheng untuk mengikutinya menuju salah satu toko tas branded favoritnya untuk melihat-lihat.

———

“Ah! Keasikan belanja sampai ngga sadar udah sore…. Danheng, gimana dong? Ini kalau kita ke perpus udah tutup… maaf banget loh jadinya kelamaan nemenin aku…”

Mereka berdua menatap langit yang telah diselimuti oleh lembayung senja. Sedikit rasa bersalah pun menyelimuti Bronya seiring dengan semakin menjingganya cakrawala di atas sana. Takut kelaki di sebelahnya marah karena sendari tadi tidak segera menjawab.

“Kak Bronya keberatan ngga ke cafe deket sini? Belum makan siang kan? Kalau ngga salah di sana juga menyediakan tempat untuk baca buku… gimana?” tawarnya.

Bronya pun menyambutnya dengan anggukan serta secercah senyum manis di paras rupawannya. Astaga, Danheng dapat merasakan detak jantungnya berpacu cepat, dirinya khawatir ia memiliki penyakit takikardia jika seperti ini.

Tepat setelah lampu berubah menjadi hijau, Danheng pun menggenggam tangan Bronya, menuntun gadis tersebut untuk menyebrangi persimpangan Shibuya yang terkenal ramai dan padat.

Dari balik punggung lelaki tersebut ia tersenyum dengan rona merah yang sudah tak bisa disamarkan lagi. Genggam tangan lelaki itu begitu hangat dan melindunginya. Dibalasnya genggaman tangan sang jaka.

———

Guess there is something And there is nothing *There is nothing in between

Suasana cafe yang direkomendasikan Danheng begitu senyap namun juga hangat. Bronya menyukainya, tempat ini nyaman baginya sampai tak sadar langit di luar sana sudah berubah menjadi gelap dan secangkir kopi serta sebuah buku telah selesai ia tuntaskan.

Ditolehnya ke arah luar jendela tempat mereka duduk. Lampu berkelap-kelip memuhi jalanan kota yang padat. Pemandangan itu begitu indah bagi Bronya.

Dari tempatnya duduk Danheng memperhatikan side profile gadis dihadapannya. Sungguh dia sudah teramat sangat jatuh dalam pesonanya. Gadis di hadapannya begitu memukau dan menawan.

“Cantik,” ujarnya tanpa sadar. Bronya pun tak bergeming, mengangguk setuju tanpa menyadari pujian tersebut adalah untuknya.

She’s a she’s a lady, and I’m just a boy She’s a she’s a lady, and I’m just a line without a hook

“Kak Bronya,”

Gadis itu menoleh saat suara berat nan lembut lelaki di hadapannya itu memanggilnya, dirinya sampai lupa, entah sudah berapa lama ia memperhatikan pemandangan di luar sana.

Kedua belah mata peraknya membelalak tak percaya saat Danheng untuk pertama kalinya menunjukkan seutas senyum tulus. Seutas senyum penuh suka cita dan cinta.

“Aku senang bisa jalan sama kak Bronya, dan aku senang kak Bronya menikmati hari ini,”

———

🍀🍀🍀

“Eh Nilou! Apa kabar? Ih kamu kok jarang mampir kesini sih sekarang?” sapa Rukkhadevata yang baru saja muncul dari dapur dengan menggunakan apron putih, sepertinya kakaknya itu sedang membuat kue-kue di dapur, dapat ia tebak dari aroma manis dan tepung yang ada.

Dilepasnya celemek tersebut, tanpa menghiraukan sisa-sisa tepung atau bahan kue yang bisa saja tersisa Nilou menyambut pelukan hangat Rukkhadevata tanpa ragu.

Sejak mereka kelas satu, Nilou sudah sering datang bertamu ke rumah Nahida, oleh sebab itu tidaklah mengejutkan apabila melihat gadis itu akrab dengan sang kakak apalagi pribadi mereka tidak jauh berbeda satu sama lainnya.

“Kamu kemana aja ih kok jarang keliatan akhir-akhir ini?” tanya Rukkhadevata.

Tentu saja, sejak mereka kelas dua semester dua kesibukkan mereka sudah sangatlah berbeda. Nilou sibuk mengikuti perlombaan dan mengurus ekskul sementara Nahida adalah tipikal ‘ikan sapu-sapu’ ia kan sekolah pulang-sekolah pulang, kalo kata Rukkhadevata.

“Ahaha iya kaaak, aku sibuk ngurus ekskul sama lomba narii jadi jarang main sama Nahida sekaraaang, kebetulan ini lagi agak selo jadinya bisa main lagii”, jelasnya.

Rukkhadevata pun mengangguk paham dan lekas menyuruh mereka untuk naik menuju kamar Nahida.

“Yaudah kalian ke atas dulu sana nanti kakak bawain kue sama minum,”

🍀🍀🍀

“Waaaah apa ini kak??”, tanya Nilou penuh antusias saat Rukkhadevata memasuki kamar Nahida sembari membawa senampan penuh kue-kue dan minuman bikinannya.

“Baklavaa! Di makan yaa sekaligus tester, aku balik ke bawah dulu yaa mau lanjut bikin yang lainnya,” ujar wanita dewasa tersebut sembari mengedipkan matanya dan menutup pintu kamar Nahida, seakan mengerti privasi antar dua gadis SMA tersebut.

“Kakakmu kenapa ga buka toko roti aja sih? Padahal hobi bikin kue dan kuenya enak-enak loh!”

“Gatau, katanya bikin kue bukan passion-nya dia lebih milih bikin kue buat senggang aja,” jelas Nahida, Nilou pun mengangguk paham.

Mulutnya asik menguyah kue-kue baklava potongan kecil tersebut sembari sedikit menggoyang-goyangkan kepalanya, tanda ia begitu menikmatinya. Sementara Nahida hanya terkekeh melihat tingkah sahabatnya tersebut.

🍀🍀🍀

“Kamu udah ada naksir orang belum, Nahida?”

Seketika Nahida tersedak sirup yang sedang ia minum. Pertama ia terkejut, dan kedua kenapa pula Nilou tiba-tiba menanyakan hal tersebut?

“Kenapa kamu nanya gitu deh,”

“Penasaran aja, abisan kan kita udah SMA ya, kata Chrisye ada kisah kasih di sekolah tapi kok yang ada kitanya kasihan ya,”

Dan Nahida pun kembali tersedak, ia sedikit mengandai, dari mana Nilou belajar seperti itu, apa karena gadis itu semakin dekat dengan Cyno humornya pun jadi sebelas dua belas.

“Kamu sendiri gimana?” tanya Nahida balik sedikit hendaknya mengubah arah pembicaraan mereka, Nilou pun menghela nafas pelan.

“Kamu tau ngga sih aku dulu sempet naksir sama Kaveh?”

Pernyataan gadis itu seketika membuat Nahida terbelalak terkejut tak percaya, pasalnya Nilou tidak pernah menceritakan hal tersebut dengannya.

“Eh belum ya? Berarti yang tau cuma Haitham, yah dulu aku pernah naksir sama Kaveh sih sebelum akhirnya patah hati karena ternyata Kaveh ngedeketin Layla, wakilku di ekskul tari haha,”

Tawanya sedikit getir walau Nilou berusaha abai. Akan tetapi bukan Nilou lamanya jika harus berlarut-larut dalam kesedihan. Gadis itu berkata yah namanya juga cinta monyet dan anak puber jadi patah hati pun terasa menyesakkan karena perasaan menggebu.

“Kamu tau ngga kalau Cyno suka sama kamu?” tanya Nahida tiba-tiba sebelum akhirnya Nilou kembali tertawa tetapi raut wajahnya berbohong, ia tidak merasa lucu akan hal itu.

“Tau, cuma aku pura-pura ngga tau dan pura-pura pacaran sama Haitham pun biar aku ngga tau sama ngga ngasih harapan. Aku ngga suka sama diriku sendiri yang gampang baper, kamu tau ngga pepatah yang bilang kalau kadang kita suka sama orang karena diledekin terus? Nah itu yang aku rasain ke Kaveh dulu, seharusnya waktu anak basket sama dance ngeledekin aku sama Kaveh karena kita deket banget aku ga baper, kan emang deketin aku buat nanya soal Layla,” jelas Nilou panjang lebar.

Nahida bisa mengerti, bukan sedikit, tetapi dirinya sangat memgerti, bisa saja Nilou berusaha abai karena dia tidak ingin perasaannya hanya sekadar baper semata kepada Cyno ataupun membuat mereka berdua terluka.

“Aku gamau ngasih harapan, tapi setelah akrab ke Cyno aku mau nyoba ngeliat perasaanku sendiri kedepannya gimana, apa aku suka karena ‘diledekin’ atau suka ya karena cocok, kedepannya bakalan suka sama Cyno pun ngga tau, bisa ngga bisa iya, ngga janji,” jelasnya.

Nahida mengangguk paham. Hati kecilnya bersyukur dirinya dapat mengalihkan pembicaraan tadi dan membiarkan Nilou bercerita. Namun kesenangannya hanya sesaat sampai akhirnya Nilou memekik dan ingat kalau dirinya yang bertanya dan mengapa pula jadi dirinya yang bercerita?

🍀🍀🍀

“SERIUSAN KAMU SUKA HAI—”

“SSSSTTT! Nilouuuu!” Ujar Nahida menyuruh sahabatnya diam, ia tidak ingin kakaknya sampai tau apalagi Rukkhadevata sudah sempat bertemu dengan Haitham. Nilou pun seketika menutup bibirnya erat-erat seakan menguncinya dan menyimpan kunci tersebut.

“Kamu suka Haitham sudah dari kapan?” tanya Nilou penasaran dengan malu-malu Nahida pun mulai bercerita dan menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan oleh Nilou.

Tentu saja, seiring berjalannya waktu Nilou seakan tak percaya jika sahabatnya benar-benar menaksir sahabatnya yang lain. Ia pun meminta maaf karena tidak menyadari perasaan Nahida dan justru berpura-pura terlihat pacaran dengan Haitham.

“Ih gapapa tauu lagian ya kenapa harus minta maaf!”

“Abisnya! Aku pasti ngga sengaja nyakitin perasaanmu! Mau aku comblangin sama Haitham kah,” tawarnya dan tentu langsung ditolak oleh Nahida.

“Makasih Nilou, tapi aku ngga harus pacaran sama Hitham kok, bisa deket sekarang aja aku udah seneng,”

“Tapi kan…”

“Ngga ada tapi-tapian! Omong-omong, kira-kira kamu tau ngga tipenya Haitham gimana?”

“Ciee mau memaksakan diri kah?!”

“Heeeeh”

Dan kamar Nahida itu pun seketika dipenuhi gelak tawa sang gadis kala bersua dan saling mencurahkan isi hati masing-masing.

🍀🍀🍀