komoyi

just me and my loving komori hours, heavily post sunakomo

🌸🌸🌸

Contain Warnings: NSFW , porn without plot

Kazuyaka , Kazuha x Ayaka

🌸🌸🌸

Tepat setelah Shogun mendeklarasikan bahwa Inazuma tidaklah lagi menjadi negara tertutup dan mengizinkan siapapun bebas keluar masuk negeri, hal tersebut memberikan pula kesempatan bagi sang mantan buronan—Kaedehara Kazuha—untuk kembali ke tanah kelahirannya.

Walaupun mulanya enggan. Namun dirinya pun belajar berdamai dan menerima masa lalu kelam yang sekarang pun hanyalah tinggal kenangan, kembali mengabdi kepada sang Shogun serta turut pula meneruskan teknik penempa turun temurun keluarganya walau dalam diri ia masih sering kali merindukan kebebasan.

“Kaedehara-san!”

Di sela-sela kegiatannya sang empu pun menoleh, mendapati seorang pesuruh dengan seragam zirah berlambang Komisi Yashiro menyampaikan pesan bahwa kepala komisi Yashiro—Kamisato Ayato—memintanya untuk menemuinya.

Tanpa berbasa-basi Kazuha pun menghentikan kegiatannya, dibawa dirinya untuk berdiri dan segera menuju ke kediaman keluarga Kamisato. Dalam benaknya ia sedikit menerka, mandat apa yang diberikan oleh Ayato hingga lelaki tersebut sampai repot-repot meminta seorang pesuruh untuk menjemputnya?

🌸🌸🌸

Dirinya berhutang budi bahkan hidup dan mati kepada keluarga Kamisato. Oleh sebab itu, tepat ketika Ayato memintanya untuk menemani sang adik—Ayaka—tanpa keraguan diriny pun mengiyakannya.

“Jadi Kazuha, tolong jaga Ayaka. Ini pertama kalinya ia ingin berkelana jauh keluar dari pulau Narukami seorang diri. Hanya kamu yang bisa aku percayakan untuk keselamatan adikku seorang,” ujar Ayato.

Sungguh, Kazuha teramat sangat tersanjung atas kepercayaan yang diberikan oleh orang nomor satu tepat setelah Shogun dan tetua Yae di Inazuma ini. Ia pun akan mengupayakan yang terbaik demi keselamatan putri yang dicintai oleh seluruh rakyat Inazuma.

🌸🌸🌸

Sudah sepuluh hari sejak dirinya berkenala dengan sang Shirasagi Himegimi dan sejak saat itu pula ia pun semakin mengenal baik sang juwita tersebut. Di mana putri kesayangan seluruh rakyat Inazuma itu menyimpan beberapa kekurangan yang membuatnya tampak tak beda dengan manusia biasa, sedikit kikuk nan juga canggung. Namun, Kazuha tetap melihatnya sebagai putri cantik nan menawan dengan ketidaksempurnaanya, Ayaka sempurna terlepas dari kekurangannya.

Hari ini mereka pun tiba di Tatarasuna tepat setelah sepuluh hari mengitari pulau Yashiori dan melihat kondisi di sana. Betapa Kazuha semakij mengagumi sosok rupawan tersebut melihat kelembutan hatinya serta empatinya yang begitu tinggi pada anak-anak disana.

“Hati-hati Ayaka-san,” ujarnya sembari menggenggam erat tangan sang gadis.

Kazuha mengambil langkah terlebih dahulu, tebing-tebing pegungungan di Tatarasuna cukup curam sehingga membuat mereka haruslah berhati-hati dalam melangkah. Setelah memastikan pihakan tanahnya aman, Kazuha pun membantu Ayaka untuk turun, gadis itu dengan langkah kecilnya perlahan turun—akan tetapi sepertinya kakinya sedikit tersandung, membuatnya tak bisa menjaga keseimbangan dan jatuh. Untuk saja ada Kazuha yang dengan sigap memeluknya dan tangan tangannya semakin erat menggenggam tangan sang gadis.

“Maaf Kaedehara-san, aku tidak berhati-hati,” ujar Ayaka dibalik pelukan Kazuha, dapat terlihat rona kemerahan samar di kedua sisi wajah sang gadis.

Kazuha berdeham, ia dapat merasakan seluruh tubuhnya memanas dan segera memalingkan wajahnya, menyisakan Ayaka dengan seribu penuh tanda tanya dalam benaknya.

“Tidak apa-apa Ayaka-san, lain kali hati-hati, ayo kita harus cepat mencari tempat untuk tidur karena hari sudah mulai larut,” jelasnya membuat Ayaka tertawa lembut.

“Sepuluh hari sejak berkelana bersama Kaedehara-san, aku rasa aku menyukai Kaedehara-san,” ujar sang gadis tiba-tiba yang tentu saja membuat Kazuha salah tingkah.

Tanpa menghiraukan reaksi sang jaka dan dengan kedua tangan yang masih bergandengan, Ayaka pun melanjutkan kalimatnya.

“Terlepas dari Kaedehara-san berusaha untuk tetap terlihat tegar dan keras di luar. Sejatinya, Kaedehara-san adalah orang yang baik dan lemah lembut. Aku suka berada di dekat Kaedehara-san karena membuatku merasa aman,”

“Ayaka-san terlalu baik kepadaku yang hanya mantan buron ini,”

“Itu tidak benar, kondisi yang sebenarnya membuatmu menjadi seperti ini. Namun, menjadi orang yang lemah lembut bukan berarti lemah bukan?”

Mereka berdua pun menghentikan langkahnya dan saling bertukar pandang. Kedua manik biru pucat itu menatapnya tepat sampai ke dalam hatinya. Dirinya terbuai dan cepat-cepat memutus kontak mata intens tersebut.

Selama perjalanan tak mereka habiskan dengan banyak bicara hingga akhirnya mereka tiba di salah satu penginapan kecil untuk beristirahat. Namun perkataan Ayaka tentu saja menyisakan perasaan membuncah di dalam hati sang lelaki.

🌸🌸🌸

“Maaf Ayaka-san, kita hanya mendapatkan satu kamar untuk berdua,” ujarnya sembari mereka melihat ke arah sekeliling ruangan mereka menginap.

Karena malam yang sudah terlalu larut, mereka hanya bisa menemukan satu penginapan sederhana di tengah desa yang mungkin saja sudah ‘mati’ ini. Namun, itu sudah lebih dari cukup dari apa yang mereka bayangkan. Sebuah kamar cukup besar dengan sekat pemisah—byobu—yang lukisannya sudah mulai hilang dan usang ditelan oleh waktu.

“Tidak apa-apa Kaedehara-san, dapat tempat untuk tidur saja sudah cukup,” jelas Ayak menghibur. Sungguh kemurahan hati sang gadis selalu sukses membuat Kazuha takjub akan kesederhanaan gadis itu.

Mereka pun sibuk denga kegiatan masing-masing. Membersihkan diri sebelum mengistirahatkan diri. Dari balik sekat pemisah tersebut Kazuha pun larut dalam kemelut pikirannya.

Setiap tutur kata sang gadis telah begitu masuk merasuki diri dan benaknya—ditambah dengan adegan tadi siang dan pemandangan tak ‘senonoh’ yang dia lihat.

Oh ayolah, Kazuha adalah pria dewasa, sudah memasuki kepala dua, tentu saja gairah birahi normal dirasakannya. Apalagi tepat ketika wanita juwita yang diam-diam ia kagumi begitu dekat dengannya.

Wajahnya tanpa sadar bersemu merah dan sukses memberinya rangsangan tanpa sengaja di bawah sana. Ia mendecih pelan.

Katakan bahwasanya dirinya adalah pria mesum—tapi dia berani bersumpah demi Dewa Electro bahwa dirinya tak sengaja, melihat ke arah buah dada milik Ayaka saat dirinya berusaha menahannya jatuh. Belahan yang samar-samar keluar di balik zirah besinya telah membuatnya terangsang, Kazuha mendecih pelan.

Dengan segera ia lepaskan kain kimono serta hakamanya. Ia gigit lamat-lamat berusaha meredam rintihan desahannya agar tak menganggu tidur sang putri.

Jemari Kazuha dengan telaten memijat dan mengurut kemaliannya yang sendari tadi telah menegang, memberikannya rangsangan penuh kenikmatan yang berhasil membuatnya terbuai dimabuh kepayang.

Pandangannya mengabur, otak dan pikirnya hanya dipenuhi oleh sosok nan suara lembut milik Ayaka. Membayangkan sentuhan sang gadis sama lembutnya dengan kepribadian dan tutur katanya.

Beribu maaf ia haturkan dalam diri dan juga Ayato.

🌸🌸🌸

Ayaka sendari tadi hanya terdiam dalam selimut. Pura-pura tidak tahu menahu padahal sendari tadi dirinya menangkap samar-samar suara desah nikmat di balik sekat pemisah tersebut. Dari balik selimutnya ia mengintip—remang lampu menampilkan bayangan erotis Kazuha yang sontak membuat Ayaka tersipu malu.

Ayaka bukanlah gadis kecil, ia sudah cukup dewasa memahami hal tersebut dan ia pun memakluminya. Manusia memang mempunyai birahi kan?

Suara desah lamat-lamat tersebut seketika memenuhi benaknya. Tanpa sadar tangannya perlahan-lahan pun turut menggerayangi tubuhnya sendiri. Diremasnya payudara sebelah kanannya. Desahannya tertahan, binar matanya pun dipenuhi oleh kemelut nafsu.

Sementara tangan kirinya itu pun turun dan membelai lembut kemaluannya. Sungguh, dirinya belum pernah sama sekali menyentuh tubuhnya sendiri seperti ini—namun desahan samar di sebelahnya seakan menjadi pendorong dan gelora nafsu yang membuncah.

Dengan lembut ia mengelusnya perlahan, memberikan foreplay sebelum akhirnya memasukkan kedua jemarinya di dalam sana. Ia merintih kecil sebelum akhirnya rintih tersebut berganti dengan desah kenikmatan manakala semakin gencar bermain di bawah sana. Tubuhnya panas dan berkeringat. Menahan hasrat untuk meneriakkan nama Kazuha di setiap desahnya.

🌸🌸🌸

Pagi itu baik Kazuha dan Ayaka terbangun dengan binar di mata masing-masing. Layaknya seorang yang mendapat bunga tidur begitu indah hingga abai akan fakta satu sama lain—bahwa mereka menginginkan untuk saling menyentuh, bergumul, dan bersanggama—setelah mengucapkan salam kepada sang pemilik penginapan mereka pun pamit undur diri, untuk melanjutkan perjalanan mereka yang selesai entah sampai kapan.

🌸🌸🌸

Medan terjal serta cuaca tak menentu di Tatarasuna membuat Kazuha dan Ayaka harus bergerak cepat namun ekstra hati-hati. Jika ceroboh saja mereka bisa saja terjatuh ke dalam jurang curam ataupun tak mendapat tempat untuk meneduh mengingat Tatarasuna sudah menjadi pemukiman bisu yang ditinggalkan oleh sebagian besar penghuninya. Bahkan mencari tempat untuk berteduh sejenak begitu sulit, mau tak mau mereka tertidur di alam liar sebagai pilihan terburuk yang tersisa.

Kazuha melirik sekilah searah sang puan yang sendari tadi diam di sampingnya. Namun genggaman tangan itu semakin kuat, menandakan sikap was-was dari sang gadis. Kazuha teramat sangat paham bahwa kondisi di Tatarasuna bisa saja membuat juwita di sebelahnya merasa tak nyaman.

“Apa kau ingin beristirahat Ayaka-san?” tawarnya lembut. Gadis itu menoleh sejenak sebelum kemudian buru-buru untuk menggeleng. Mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja. Namun, Kazuha mengerti bahwa gadis itu berbohong. Terlihat jelas dari gurat wajahnya yang sendari tadi tertekuk.

“Selama sepuluh hari kita bersama aku sudah mengenal cukup baik dirimu Ayaka-san, dan dari pengamatanku sepertinya kau cukup gundah. Apakah kondisi di Tatarasuna yang sendari tadi membuatmu tak nyaman?” tanyanya.

Sorot mata gadis yang biasanya berbinar dan mencurahkan kasih sayang teramat lembut itu pun memudar. Pijarnya meredup digantikan sendu, genggaman tangannya semakin kuat.

“Aku cukup mengerti tentang apa yang terjadi di Tatarasuna sejak empat ratus tahun ke belakang. Kakakku juga berulang kali bolak balik Narukami Tatarasuna untuk menyelidiki dan berupaya mengembangkan daerah ini. Namun, melihatnya dengan mata kepalaku sendiri seakan menyisakan pilu yang teramat sangat dalam di dalam hatiku,” keluhnya.

Oh betapa lembutnya hati dan pribadi seorang Kamisato Ayaka. Tanpa sadar Kazuha pun dibuat tersenyum atas kebaikan hati sang puan.

Tangannya bergerak untuk mengelus pucuk surai kelabu sang gadis. Berusaha menghiburnya dengan seutas senyum tulus yang ia harap mampu meringankan pilu yang ada.

“Tidak apa-apa Ayaka-san, warga Tatarasuna pasti sangat menghargai empati serta emosi yang kau rasakan. Namun, jangan terlalu berlarut pada kemelut kesedihan masa lalu, karena sejatinya orang-orang Yashiro tentu saja sedang berusaha keras mengembalikan kejayaan Tatarasuna dan kau harus menghargai perjuangan yang ada saat ini,” jelasnya.

Dan Kazuha dapat melihat pijar yang meredup itu pun perlahan kembali membiaskan cahayanya walau remang. Laranya pun telah terhinur dan dia pun berterima kasih atas senyum menawan yang akhirnya kembali terukir.

“Terima kasih Kaedehara-san, tidak salah aku menyukaimu, kelembutan hatimu membuatku begitu tersentuh,”

“Sebuah kehormatan bagiku,”

🌸🌸🌸

Sembari menggengam erat tangan kanan sang puan, tangan kirinya ia gunakan untuk menghalau derasnya gemericik hujan yang entah sejak kapan terjadi. Di tengah perjalanan mereka terjebak oleh hujan badai yang Kazuha perkirakan baru saja bisa selesai nanti malam. Meski demikian mereka haruslah cepat meneduh atau mereka akan jatuh sakit.

Dalam upaya untuk menerjang badai yang ada, Kazuha perlahan menuntun langkah mereka tanpa enggan sedikit pun melonggarkan genggaman tangannya.

“Ayaka-san?! Apakah kau masih kuat menahan sebentar lagi sampai kita menemukan gubuk untuk berteduh?!” ujarnya sembari sedikit berterika. Ayaka pun membalas dengan teriakan yang tak kalah kerasnya dari berisik deru hujan. Agar Kazuha dapat mendengar jelas jawabannya.

🌸🌸🌸

Kazuha menunggu di luar sebuah gubuk kecil di tengah padang Tatarasuna. Berusaha abai dengan rintik hujan yang menghujam dirinya, walau sakit namun dirinya bisa apa. Gubuk ini hanyalah gubuk penyimpan makanan yang dibiarkan begitu saja oleh sang pemiliknya. Sembari menunggu Ayaka yang tengah bersiap di dalam sana, Kazuha mengandai, apakah dia akan berjaga di luar selama hujan dan membiarkan Ayaka tidur sendiri di dalam? Yah jika memang harus seperti itu dirinya pun tak apa.

“Kaedehara-san, masuklah, aku sudah membereskan dalam,” ujarnya dari balik pintu. Kazuha pun masuk mengikuti perintah sang putri.

Matanya menyisir, Ayaka telah membersihkan gubuk ini dan terlihat gadis itu pun telah menyiapkan sepasang tatamu untuk mereka tidur.

“Apa Kaedehara-san keberatan jika harus tidur berdua?” tanyanya, “Tentu yang jadi pikir ku selama ini adalah Ayaka-san, apakah Ayaka-san keberatan?” tanyanya balik.

Gadis itu pun menggeleng sebagai jawaban, “Menurutku lebih baik untuk kita tidur disini sementara waktu, jikalau Kaedehara-san berjaga di luar juga bukan pilihan yang bijak,”

Kazuha mengerti, mungkin ia harus keluar terlebih dahulu, membiarkan sang puan mengganti bajunya sebelum dirinya. Saat ia hendak bangkit untuk keluar, tangan putih itu terulur untuk menahannya, “Kaedehara-san mau kemana?”

Kazuha menunduk ke arah Ayaka yang menahannya, dari tempatnya ia dapat melihat tetes air hujan yang bersisa dari tubuh Ayaka turun dan jatuh begitu saja masuk ke dalam baju zirah dari balik dadanya. Tenggorokannya seketika tercekat.

“Aku akan keluar sebentar sembari menunggu Ayaka-san berganti baju,”

“Lalu aku membiarkanmu kehujanan di luar sana?”

Jawaban Ayaka tersebut seketika membuat suhu tubuhnya meningkat. Memikirkan kemungkinan bahwa dia di dalam saat Ayaka sedang mengganti baju. Dengan segera ia berusaha menghilangkan pikiran kotornya tersebut. Sial! Membayangkannya saja bagian bawahnya sudah menegang begitu saja.

“Kita bisa berganti baju di sini, saling memunggungi, apa kau keberatan?”

🌸🌸🌸

Sepasang insan itu saling duduk memunggungi satu sama lain. Dalam diam mereka pun secara perlahan melepaskan helai demi helai pakaian merka yang telah basah terkena hujan.

Dari tempatnya duduk ia dapat mendengar suara kain yang bergesek dengan kulit—ah sial, libidonya terasa naik membayangkan Ayaka di baliknya yang kemungkinan besar tidak ditutupi oleh sehelai kain pun.

Kazuha berusaha menghalau semua pikirannya tersebut dan kembali melanjutkan kegiatan. Namun, lembut sentuhan kulit yang bersinggungan dengannya. Memberikan sensasi tak terkirakan. Kazuha menghela nafas pelan.

“Kaedehara-san,”

Suara lembut milik sang juwita pun semakin menghilangkan fokusnya—dalam hati, Kazuha menggerutu, mengapa pula Ayaka harus memanggilnya di saat seperti ini?

“Ya? Ayaka-san,”

🌸🌸🌸

Kazuha berbalik ke arah Ayaka tepat sang gadis memintanya, didapati punggung putih milik sang gadis. Dirinya masih diam—begitu pula dengan Ayaka.

“Apa Ayaka-san yakin dengan permintaan tersebut? Aku tidak akan menahan diri setelah ini,” jelasnya berterus terang.

Biar saja Ayaka menganggapnya seorang mesum naif dan juga bodoh. Namun, jika gadis itu yang meminta, ia harus memastikan apakah gadis itu benar-benar serius dengan ucapannya karena ia tidak ingin menodai kepercayaan yang telah diberikan.

Dengan perlahan namun juga gemulai Ayaka pun berbalik ke arah Kazuha. Gadis itu telah tidak memakai kain sehelai pun. Dengan rona merah di kedua sisinya dan dnegan gerlingan mata yang sensual ia berusaha menggoda Kazuha.

“Aku meminta hal ini karena aku percaya kepadamu, Kazuha,” ujarnya.

Kazuha.

Kata tersebut ia anggap sebagai sebuah izin dan Kazuha pun tidak akan mundur.

🌸🌸🌸

Dibawanya dagu sang puan ke arahnya, dengan lembut ia berikan sebuah kecupan dalam dan juga panjang sebelum akhirnya mereka beradu lidah. Tepat setelah ciuman panas tersebut dihentikan benang saliva panjang pun tercipta dari kedua bibir mereka. Wajah Ayaka pun semakin bersemu merah.

Kazuha membelai lembut pipi sang gadis. Dengan malu-malu Ayaka pun menatap kedua netra ruby milik Kazuha.

“Ayaka, apakah kamu tau bahwa aku sangat mengagumimu? Dan pikiran untuk bersanggama denganmu membuatku merasa begitu kotor,” jelasnya

“Namun, jika kamu yang memintanya maka aku tidak akan mundur, jadi apakah kamu yakin?” bisiknya tepat dibalik telinganya dan menyisakan sebuah kecupan kecil disana.

Tangan Ayaka pun dengan nakal bergerak di atas dada bidang sang lelaki. Menggambar pola-pola abstrak disana.

“Malam ini dan seterusnya, aku adalah milikmu sepenuhnya Kazuha,”

🌸🌸🌸

Gemuruh badai diluar sana sepertinya tak bisa meredam suara leguh dan desahan kenikmatan Ayaka yang sendari tadi menyisipkan namanya di setiap desahnya.

Dengan penuh gelora gairah dan juga nafsu yang memuncak, Kazuha sendari tadi mencumbu setiap inci wajah hingga tengkuk Ayaka. Menyisakan ruan kemerahan di sana. Sementara tangan kanannya bergerak memijat lembut payudara milik sang gadis.

Tubuh Ayaka melengkung sempurna setiap kali Kazuha mengulum titik-titik sensitif pada tengkuknya. Ia ingin lebih dan lebih.

“Kah.. Kazuha.. aah…”

Kazuha pun beranjak membenamkan wajahnya dibalik dua gundukan payudara milik Ayaka. Tangannya berpindah untuk memijat yang satunya, sementara dirinya sendari tadi tak henti mengecup—mencumbu yang sebelah kanan.

Tubuh Ayaka seketika menunjukkan reaksi kenikmatan sebagai sebuah respon. Digigitnya bibir bawahnya untuk menahan gairah birahi yang ada. Ayaka ingin lebih dari ini, namun Kazuha sendari tadi hanya bermain-main.

“Hmmh!”

Ditolehkan kepalanya, matanya begitu sayu diradang kelabu kabut nafsu duniawi. Air mata berkumpul di pelupuk matanya, wajahnya telah begitu merah dengan rambut yang berantakan.

Ditatapnya sayu Kazuha yang semdari tadi tengah memainkan beda kecil yang ada di payudaranya. Sensasi dingin tak terelahkan tepat saat gigi Kazuha bertemu dengan miliknya. Oh betapa Ayaka menyukainya.

Kedua tangan Ayaka tergerak untuk memeluk surai kelabu milik Kazuha, dibenamkannya wajah sang jaka dan dielusnya lembut surai kelabu tersebut. Kazuha pun mendongak untuk melihat wajah Ayaka yang diradang nafsu birahi.

Oh sungguh begitu indah dan menawan juwita dihadapannya.

“Kazuha,” ujarnya lembut sembari mengelus lembut kedua sisi Kazuha—sedikit menggodanya dengan sensual saat jemari lentiknya menyusuri rahang sang pria.

“Apa kamu tau bahwa aku sangat menyukaimu?” tanyanya dan sukses membuat Kazuha diam.

Dari atas ia dapat melihat cinta yang teramat besar dibalik kedua mata biru yang tengah sayu saat ini. Walau diradang gelora nafsu yang membuncah ia tau bahwa perasaan sang gadis begitu tulus dna juga murni.

“Kamu adlaah pria yang baik, tangguh, dan juga kuat. Pengalaman hidupmu yang akhirnya menghadirkan sosok bernama Kaedehara Kazuha,”

Ah, rasanya ia ingin menangis mendengar tutur lembut juwita di bawahnya, jemari lentik Ayaka pun tergerak menghapus air mata yang muncul di kedua pelupuknya.

“Oleh sebab itu aku tidak menyesalinya, jadi janganlah menangis,”

🌸🌸🌸

🍀🍀🍀

“Kak Nilou!”

“Collei!”

Dari tempatnya berdiri Nahida dapat melihat seorang gadis imut bersurai hijau datang menghampirinya dengan senyum cerah sembari menyapa Nilou, dari balik sosok gadis itu dirinya dapat melihat Tighnari yang ikut datang menghampiri. Seketika sebuah lonceng seakan berdenting mengingatkannya pada sepenggal cerita milik Tighnari. Jadi gadis bernama Collei itu adik kelas yang sempat Tighnari ceritakan pada dirinya dulu.

“Siapa?” tanya Haitham yang datang mendekat dan menghampirinya, Nahida pun menoleh dan tersenyum, ternyata Haitham juga dapat penasaran akan hal-hal seperti ini.

“Tighnari sama Collei,” jawabnya tidak memberi tau hal lainnya yang ia ketahui.

“Pacarnya?”

“Eh? Kok kamu bilang gitu?”

“Gatau, feeling aja, bener pacarnya berarti?”

“Emmm… mungkin bisa dibilang ‘kakak adik’ kali ya,”

Haitjam tidak bertanya lebih lanjut, lelaki itu hanya diam dan menganggukkan kepalanya. Kedua sejoli itu sibuk diam dan sedikit menjaga jarak dari Nilou, Cyno, Tighnari dan juga Collei. Bukan karena apa, melainkan Nahida mereka dirinya tidak terlalu dekat untuk sekadar menimbrung, sedangkan Haitham sepertinya juga enggan ikut campur perihal yang dirinya tidak terlalu ketahui.

“Nahida? Haitham? Hai!” sapa Tighnari, sementara Collei terlihat malu-malu disebelahnya, “Ha-halo, kak Haitham, kak Nahida,”

“Hai Collei!” sapanya balik seraya tersenyum dan melambaikan tangan, dirinya melirik sekilas kearah Haitham, “Ih sapa juga dong!” gerutunya, dan Haitham pun mengangguk sebagai bentuk sapaan.

“Kalian lagi pada double date?” tanya Tighnari tanpa basa-basi yang seketika membuat raut wajah Nahida memerah bak kepiting rebus, reaksi berbeda seketika ditujukkan oleh Cyno yang langsung berkata YA! dengan lancang, membuat Nilou menutupi wajahnya karena malu akibat teriakan Cyno atau karena apa.

“Gausa percaya Cyno, dia tukang halu,” celetuh Haitham tiba-tiba, “Kamu abis nonton juga?” tanyanya basa-basi.

“Iya nih, terus liat tweet-nya Cyno sama Nilou, kebetulan kita ada di satu mall yaudah sekalian nyusulin aja,”

“Eh? Kakak-kakak udah pada makan malam belum? Mau makan bareng?” tawar Collei sedikit gugup yang seketika diiyakan oleh Cyno dan juga Nilou.

Nahida pun melihat ke arah ponselnya, mengecek jam karena ia takut terlalu larut untuk pulang.

“Boleh, tapi ngga bisa lama-lama soalnya aku udah janji buat nganter Nahida paling malem jam 10 sama kakaknya,” jelas Haitham.

Nahida sedikit gelagapan namun seketika Nilou pun setuju akan pernyataan laki-laki itu, “Eh iya kita ga bisa lama-lama!” jelasnya.

Collei terlihat tidak enak karena ia yang baru saja menawari mereka untuk makan bersama, melihat gelagat gadis tersebut yang terlihat sungkan dan enggan, Nahida pun ikut bersuara.

“Eh gapapa kok makan bareng! Nanti aku bilang kakakku pulang agak telat karena makan malam dulu sekalian beliin makan buat orang rumah, ga enak juga kan udah ditawarin, Collei gausa sungkan gitu, ayo ayo kita cari makan!” ajaknya.

🍀🍀🍀

Sedikit ia ketahui, Haitham yang sendari tadi berdiri di belakangnya pun tersenyum simpul.

🍀🍀🍀

🍀🍀🍀

“Gimana katanya?”

“Lagi pada OTW”

Haitham pun hanya mengangguk setelah mendengar penjelasan Nahida dan tiba-tiba lelalki tersebut menyerahkan empat lembar tiket kepada Nahida, membuatnya seketika dilanda kebingungan.

“Tolong kamu yang simpen,” jelasnya.

Nahida pun segera memasukkan keempat tiket tersebut ke dalam dompetnya dan menyimpannya kembali ke dalam tas.

“Mau kemana sekarang? Dari pada nunggu disini,”

Seketika Nahida pun sedikit gelagapan, biasanya dirinya tipikal anak yang ‘manut’ dan ‘ngikut’ jika pergi kemana-mana. Tapi dia tidak mungkin menjawab terserah kan?

“Mau ke toko buku ngga?” tawarny, seketika sukses membuahkan senyum cerah di wajah Haitham, Nahida sedikit tersipu melihatnya.

“Boleh, yuk!”

Mereka pun berjalan keluar dari gedung bioskop. Haitham membukakan pintu untuk Nahida sebelum mereka pun kemudian melanjutkan jalan mereka menuju toko buku.

🍀🍀🍀

Nahida berkeliling memutari section rak buku fiksi, matanya sibuk mencari setiap judul yang tertera di rak ataupun display hingga akhirnya menemukan judul buku yang selama ini ia cari-cari. Tanpa sadar dirinya pun tersenyum cerah dan mengambil buku tersebut.

Betapa bahagia dirinya mengetahui buku yang dia inginkan sisa satu dan dirinya berhasil mendapatkannya. Dipeluknya buku itu erat-erat.

“Kamu ngikutin seri itu?” tanya Haitham yang tiba-tiba muncul dari belakangnya.

Nahida pun mengangguk dengan semangat, “udah hampir tiga bulan aku ga lanjut baca”

“Aku penasaran setelah akhirnya bebas dari negeri keabadian pengembara bakalan kemana,”

“Pengembara dikasih tau rahasia sama dewa kebijaksanaan soal kiamat di buku terakhirnya—,”

“Eh?”

Haitham dan Nahida saling beradu pandang satu sama lain, sang jaka pun menatapnya tak percaya namun ketidak percayaan Nahida sepertinya melebihi raut terkejutnya saat ini.

“Kamu baru sampai seri keduanya?” Nahida pun hanya mengangguk.

“Jangan bilang itu tadi spoiler?!”

Haitham pun seketika mengalihkan pandangannya, tidak berani menatap Nahida sementara sang gadis terus meminta jawabannya.

“Haithaaam!!!” jerit Nahida sembari terus berusaha untuk menggapai Haitham walau dirinya harus bersusah payah menjinjit, sementara Haitham sendari tadi sibuk menghindari snag gadis kecil.

“Ah!”

“Eh, awas hati-hati,”

Dengan sigap Haitham menahan Nahida agar tidak terjatuh, wajah mereka terlalu dekat, membuat Nahida seketika mundur dan Haitham kemudian memalingkan wajahnya.

“Maaf, aku kira kamu udah sampai sana…,”

Nahida tidak menjawab, dari balik punggung kekar Haitham dirinya hanya diam memperhatikan. Sedikit menerka-nerka apa yang terjadi pada sang lelaki. Sedikit ia ketahui, kedua sisi telinga Haitham memerah entah karena apa.

🍀🍀🍀

———

Gojo x Riko , MCD (Major Character Death) , Angst

———

hi satoru, we don’t know yet what will happen in future. but, will you always remember me if we are apart?

———

satoru merasa bahwa dirinya telah melupakan sesuatu yang berharga.

———

namanya gojo satoru dan dia lah yang terkuat. namun, menjadi yang terkuat tidak serta merta membuatnya merasa puas, yang ada hanyalah kehampaan serta keputusasaan dalam diri yang selalu berusaha ‘tuk menyeruak.

gema gemericik kran air memenuhi unit apartemen yang tak terlalu luas milik satoru. raga sang tuan pun diam bergeming memandang bias diri di dalam riak air yang ada sebelum kembali menenggelamkan wajah di dalamnya. selang beberapa detik surai pucat itu kembali bergerak, mengembalikan kesadaran sang tuan.

satoru memandang pantulan wajahnya di dalam cermin, sesekali ia memperhatikan, guratan-guratan samar yang mungkin baru saja muncul sejak beberapa tahun terakhir. dirinya kemudian menerka, sudah berapa lama ia abai pada diri sendiri?

banyak orang yang bilang padanya bawah kilau mata birunya itu indah—binar matanya itu menenangkan layaknya bentang cakrawala yang tak terhingga.

akan tetapi bagi satoru, binar matanya telah lama dicuri dari sang empu—layaknya pijar lentera yang kehilangan sinarnya, satoru telah kehilangan harap entah sejak kapan. menyisakan cahaya semu yang sejatinya diselubungi ratap. menjadi yang terkuat tidak serta merta membuatnya mendapat segalanya.

———

lembab temperatur serta suhu tokyo hari ini menyisakan jejak embun hujan semalam, sebagian besar memilih untuk berkelut dalam selimut dibanding harus berhadapan dengan dinginnya udara pagi ini, tetapi tidak dengan satoru. pagi ini satoru sudah memilih ‘tuk keluar menghirup udara segar—pemandangan yang cukup jarang di mana jujutshi kelas spesial tersebut mendapat waktu senggang alih-alih mengambil misi yang cukup mengekang.

satoru mengadah, sekumpulan awan menggantung menghiasi birunya langit tokyo pagi ini—seolah kedua netranya hendak saling beradu dengan sang dirgantara, mencari tau siapa yang paling memukau antara satu sama lain—dan siapa yang akan terkesima. satoru seakan berusaha menggapai ujung tak terhingga dan terbatas di akhir sudut permadani semesta.

dirinya mengandai, ada apa diujung sana?

satoru terkesiap, sudah berapa lama dirinya termangu? dengan kikuk ia pun melanjutkan langkah kakinya, entah menuju kemana langkahnya membawa.

semilir angin berhembus dari hulu seakan mencium—menggelitik permukaan wajahnya, dengan sendirinya ia terkekeh. sudah berapa lama sejak terakhir kali ia merasa tenanang dan tentram seperti ini? jika boleh mengingat, sejak kejadian natal lalu—dirinya tidak pernah merasa serileks ini bahkan untuk dirinya sendiri, seakan bahagianya pun turut ternggut seiring berjalannya waktu.

———

“dua tiket untuk aquariumnya, silahkan,”

saturo pun tersenyum simpul menerima dua lembar tiket tersebut—walau mungkin orang akan memandangnya aneh, mengapa ia membeli dua tiket untuk dirinya sendiri—meski demikian hati kecilnya menuntutnya untuk membeli dua tiket dan bukan berarti dengan membeli dua tiket akan membuatnya jatuh miskin.

satoru selalu suka mengunjungi aquarium, entah mengapa dinding-dinding kaca yang mengelilinginya serta panorama hewan laut yang berenang mengelilinginya seakan membuatnya terbebas dan hirau akan suara hiruk pikuk kebisingan.

kedua netra birunya membulat terkesima saat seekor paus biru besar berenang dan mendekatinya—memori dalam dirinya seketika menyeruak tanpa permisi membawa dirinya tuk bernostalgia.

satoru

keping kenangan masa lampau pun seketika menghampiri—satoru mengingatnya walau dirinya pun tak sepenuhnya yakin—kenangan delapan tahun silam, tepat saat dirinya dan suguru menjalani misi yang bagi satoru merupakan kenangan kelam dan juga pemantik perseteruan mereka.

bagaimana sang terkuat dikalahkan

satoru

namun sepertinya kenangannya bukanlah tentang kegagalan yang bagi dirinya laksana sebuah aib yang tak ingin dia kenang—ini semua tentang memori yang mungkin ia lupakan sangking begitu kelam. tentang sosok yang begitu lekat namun seakan gagal untuk dia jaga.

———

siapa siapa yang ia lupakan? kenapa dirinya bisa lupa? kegundahan dalam dirinya menyeruak, dirinya tidak ingin lupa, sesuatu yang berharga yang selama ini hilang dan membuatnya kosong.

ia merasakan getir.

layaknya jutaan informasi yang menceruah saat dirinya mengaktifkan domainnya, perasaan sedih—traum—dan gundah ya begitu menyeruak menghadirkan sesak. ia membencinya, ia tidak suka, bahkan mata birunya yang dengan mudah meneliti segala macam bentuk informasi itu seakan segan dan enggan dengan segala curahan emosi serta memori yang ia rasakan.

ia tidak suka perasaan ini

satoru

———

senyum sang juwita masih sama menyebalkan nan juga menghangatkan layaknya terakhir kali ia melihatnya—atau bahkan terakhir kali memorinya mengingatnya. bayang bayang kabur kenangan yang menampilkan sesosok gadis manis berperawakan jauh lebih mungil dari dirinya.

raga sang puan itu semu—tercipta dari kenangan-kenangan samar yang bisa saja kabur. satoru ingin merengkuhnya, membiarkan jiwanya turut melebur dalam gelora penuh rindu.

satoru

“amanai…”

———

ia mengingatnya, sosok yang selama ini hanya hidup dalam kenangan yang semakin lama mulai memudar dalam benaknya. bayangan sang juwita pun mendekat, tangan mungilnya berusaha menggapai kedua sisi wajah satoru yang seketika membuatnya merasakan semilir angin bertiup menggelitik di kedua sisi.

“satoru…,”

“amanai…”

ia kembali melantunkan nama sang juwita, berharap dengan ini memori tentang sang gadis akan dikenang abadi dalam benak dirinya. satoru tidak mau lagi dirinya lupa dan merasa hampa akan kekosongan dalam diri.

“ikhlasin aku ya?”

“engga! amanai.. aku gamau! aku—?!”

“ssstt…”

“satoru… kamu kan udah janji, apapun yang akan terjadi kamu akan selalu mengingatku,”

ah.. satoru ingat, janji yang mulanya ia anggap remeh dan sepele nyatanya memberi luka mendalam dalam hati. ia ingat saat dirinya gagal menjaga senyum sang juwita dan merengkuh jasad dingin sang puan dalam gendongannya. yang ia rasakan hanyalah kekosongan,rasa marah, namun juga kecewa yang seketika membuatnya mati rasa.

dirinya tak merasa bersalah maupun dendam, namun kehilangan sang juwita untuk sekian kalinya membuatnya merasa kosong.

satoru ingin menyangkalnya—yang lambat laun membuatnya lupa akan sosok sang juwita, lupa akan cintanya yang kemudian menyisakan lobang dalam dirinya—meninggalkannya dalam beribu tanya serta ragu.

selama ini ia merasa dirinya telah melupakan sesuatu yang berharga

sosok semu amanai dalam kenangan dirinya perlahan mulai memudar, namun senyum sang juwita masih terpatri indah dan menawan—menatapnya tulus penuh kasih—menyatakan bahwa satoru harus ikhlas karena dirinya sekarang bahagia.

“satoru, hiduplah, berbahagia, tanpa bayang-bayang dendam masa lalu akan diriku… aku hanya masa lalumu… dan aku akan selalu ada dalam dirimu…,”

———

satoru dapat merasakan genangan air mata yang memenuhi pelupuk mata serta jejak kering di kedua sisi wajahnya.

dan kini satoru ingat semuanya—begitu pula dengan sosok amanai dan kehadirannya dalam hidupnya. amanai benar, dirinya harus terus berjalan ke depan serta melepas segala dendam yang ada pada masa lalu.

amanai, mulai saat ini satoru akan belajar menerima agar sosokmu selalu ada terkenang dalam hati sang jaka.

———

satoru, terima kasih

aku harap kita bertemu lagi—bukan sebagai star plasma vessel dan juga seorang six eyes

aku harap kita bertemu lagi, sebagai seorang satoru dan juga amanai

🍀🍀🍀

Nahida yang sendari tadi tengah sibuk menatap dirinya lamat-lamat dihadapan cermin seketika dikejutkan dengan sang kakak yang tiba-tiba memasuki kamar tidurnya tanpa mengetuk pintu.

“Dek, temen kamu udah jemput tuh, aku suruh tunggu bentar di bawah”

Raut panik pun seketika terpancar dari wajah manis gadis tersebut manakala sang kakak kembali dari kamarnya menuju ruang tamu. Dengan tergesa Nahida pun merapikan rambutnya yang belum sempat ia rapikan sama sekali untuk segera menemui Haitham.

Di ruang tamunya, ia dapat melihat sang lelaki yang telah dijamu oleh sang kakak. Entah apa yang mereka obrolkan teapi wajah sang kakak terlihat riang mendengar cerita lelaki tersebut.

“Kakak? Haitham?” sapanya malu-malu dari balik tembok.

Kakaknya tersenyum cerah kepadanya, sementara Haitham hanya diam memperhatikan. Astaga, dia masih belum rapi dan siap tetapi Haitham sudah menjemputnya. Ia ingat betul ajaran kedua orangtuanya dan berpesan kepadanya untuk tidak membiarkan orang yang menjemput dirinya menunggu karena itu tidak sopan.

“Nahida! Sini-sini kamu temenin dulu Haitham ya! Kakak mau ambil cemilan dulu di dapur.”

Sang kakak tampak abai, Nahida pun menghampiri Haitham tepat saat sang kakak bangkit menuju dapur.

“Hai… uh… maaf, kamu nunggu lama tadi?” tanyanya basa basi.

“Engga kok, maaf ya tiba-tiba jemput, kayaknya kamu ga baca chat-ku”

Mata Nahida seketika terbelalak, ia pun dengan segera membuka ponselmya, mendapati beberapa pesan pemberitahuan pesan masuk dari Haitham yang belum terbaca.

Dirinya menepuk kepalanya, berapa lama ia berdiri termangu depan cermin dan tidak menyadari pesan tersebut.

“Astaga… maaf aku ngga baca chat kamu…” ujarnya lirih, Haitham pun hanya terkekeh kecil.

“Gapapa kok, Nilou juga kalo lagi siap-siap emang suka baca chat. Ini kamu sudah atau masih mau siap-siap? Aku tunggu gapapa”

Entah mengapa Nahida pun merasa tersipu malu karena Haitham menyadari dirinya yang belum sepenuhnya siap untuk jalan mereka dan tepat setelah kakaknya kembali ia pun izin untuk kembali ke kamarnya sebentar, merapikan rambut serta penampilannya.

🍀🍀🍀

Tepat di depan cermin ia berulang kali menepuk kedua pipinya hingga memerah, ia tidak boleh salah tingkah hanya sedikit perhatian kecil. Dengan segera mengepang rambut panjangnya sebelum mengikatnya jatuh.

Ia menatap pantulan dirinya dalam cermin, menghirup nafas dalam-dalam sebelum melepaskannya dan tersenyum kepada dirinya sendiri.

Kamu harus lebih percaya diri

Ucapan Haitham tersebut terngiang dalam benaknya layaknya alaram sebelum ia mengambil tas totebagnya dan keluar untuk menyusul Haitham.

🍀🍀🍀

“Kak Rukkha, aku izin main sama Nahida ya,” ujar Haitham sembari salim dan mencium tangan kakaknya tersebut. Nahida hanya diam berdiri di sebelahnya memperhatikan.

“Pulang jam berapa?” tanya Rukkhadevata. Nahida pun melirik ke arah Haitham, lelaki itu masih tampak tenang dan tidak bergeming sama sekali sementara dirinya sudah gundah gulana takut tidak dibolehkan.

“Paling malem jam sepuluh malem kak, tapi aku usahain sebelum jam sepuluh” jelas Haitham, dari sudut matanya Nahida memperhatikan, betapa Haitham begitu tenang menghadapi hal seperti ini, sepertinya lelaki itu sudah terbiasa menghadapi kondisi ini.

Pandangan Rukkhadevata pun melembut, perempuan itu menoleh ke arah Nahida dan kemudian mengelus lembut pucuk kepala adiknya.

“Haaah…, sebenernya tuh kakak gamau bolehin kamu apalagi pulang malem banget tapi Haitham sampai bela-belain jemput sama izinin kamu jadi gapapa deh! Kamu juga Haitham!”

Haitham sedikit terbelalak kaget saat Rukkhadevata kenbali menghadap kearahnya.

“Titip Nahida ya! Kamu juga aku izinin kalo misalnya mau bawa Nahida main atau cuma main kesini aja gapapa! Nah, yuk keburu kalian kena macet!”

Nahida pun salim kepada sang kakak dan dihujami pelukan hangat dari Rukkhadevata, gadis cantik itu mengelus lembut pucuk kepala adiknya.

Setelah berpamitan, Haitham dan Nahida pun segera memasuki mobil Haitham—lelaki itu membukakan pintu penumpang untuk Haitham. Jendela pun diturunkan setengah.

“Kak Rukkha! Kita berangkat dulu ya!”

“Iyaa hati-hati yaa! Haitham tolong jaga Nahida yaa!”

🍀🍀🍀

It’s you… Loving is so easy to do baby Thing that I’m falling for you

Mobil Haitham melaju dengan kecepatan pelan membelah jalanan kota Sumeru dengan iringan musik yang dimainkan melalui dashboard mobil Haitham.

“Tadi kakakku nanya apa aja ke kamu?” tanya Nahida berusaha memecahkan keheningan. Haitham terlihat berpikir sejenak dengan pandangan masih fokus pada jalanan kota.

“Hmm… nanya mau kemana, sama siapa aja sama nanya aku siapanya kamu sih,” jelasnya yang sukses membuat Nahida seketika melotot.

“Serius?”

“Dua rius deh,”

“Terus kamu jawab apa?”

Jeda sejenak yang seketika memacu degup jantung Nahida. Bahkan suara detakannya lebih keras dari alunan musik yang ada. Mata jelaganya tak pernah lepas dari figur samping sosok di sebelahnya, sementara Haitham hanya melirik sekilas dari sudut matanya.

“Pacar,”

Seketika Nahida tersedak udara yang dia hirup, wajahnya memerah layaknya kepiting rebus. Tawa hangat Haitham pun memenuhi mobil melihat reaksi lucu Nahida.

“Ini, minum dulu,” tepat mereka berhenti di lampu merah Haitham pun menyodorkan air mineral yang selalu ia siapkan di dalam mobil. Gadis bersurai putih itupun seketika menegaknya hingga habis setengah gelas.

“Kamu ih!”

“Haha, lucu banget reaksinya sampai kayak gitu,”

Something ‘bout you feels so right Can we stay like this forever?

Haitham pun kembali melajukan mobilnya tepat saat lampu lalu lintas berganti warna. Jalanan Sabtu sore hari ini padat merayap tapi masih lancar, Nahida biasanya tidak suka jalanan seperti ini. Membuatnya pusing dan sesak karena kejenuhan terjebak di jalanan penuh kendaraan. Namun hari ini, pikirannya terasa lenggang, tawanya pun keluar tanpa beban tanpa menghiraukan jalanan yang menjemukan.

Dirinya ingin momen seperti ini untuk lekang abadi dalam memorinya.

🍀🍀🍀

Jujur

🍀🍀🍀

“Haaaaaah”

Jika Nahida menghitung, mungkin sudah ada sebanyak lima kali Nilou menghela nafas dalam tiga puluh menit terakhir. Bel pertama telah berbunyi semenjak satu jam lalu, tetapi gemuruh hujan badai pun tak kunjung reda, bahkan sampai menyebabkan guru mereka tidak bisa masuk ke kelas akan ricuhnya hujan di luar sana.

“Tau gitu bolos aja,” celetuk Nilou yang ia setujui dalam hati, tau gitu bolos saja.

“Daripada gabut terus marah-marah, gimana kalo kita main game aja?”

Seketika Nilou pun menolehkan dirinya ke belakang—saat Cyno menyuarakan ide yang sebenarnya tidak juga buruk. “Mau main apa?” tanya Nilou, langsung tepat sasaran.

“UNO gimana?” saran Cyno, dari raut wajahnya sepertinya Nilou kurang menyukai permainan kartu tersebut, “ToD aja!” sarannya—dan sekarang Cyno yang terlihat agak sangsi.

Nahida mengintrupsi, berusaha menelerai dairpada mereka tidak main-main karena pertengkaran remeh temeh ‘ingin bermain apa’

“Gimana kalau kita main UNO terus yang kalah harus pilih Truth or Dare?” sarannya, Cyno dan Nilou saling beradu pandang sejenak—bukan saran yang buruk! Mereka pun menyetujuinya.

“Haitham mau ikutan ngga?” celetuk Cyno, seketika mereka bertiga mengalihkan fokusnya kepada Haitham—lelaki itu sepertinya tengah fokus dengan bukunya dan tidak mempedulikan mereka dengan earphone yang terpasang dikedua telinga.

“Hayiiiii!”

Haitham tidak berkutik sama sekali, ia hanya melirik sekilas ke arah Nilou dan melepas sebelah earphone-nya sebelum meladeni gadis itu, “Apa?”

“Mau ikut main gak?”

“Engga”

Lelaki itu kembali memasang earphone-nya, membuat Nilou memberengut tak suka, tidak asik! gumamnya keras—sengaja. “Ayoo ikut!” ujarnya sembari menggeret lengan kanan lelaki itu.

Haitham menghela nafas sebal—mengalah, ia menutup bukunya dan memasukkannya ke dalam laci mejanya sebelum berbalik ke arah belakang.

“Mau main apa emangnya?”

“UNO sama ToD!”

“Berdua doang?”

Cyno pun mengangguk—Haitham tidak membalas, lelaki itu justru memanggil Tighnari, Dehya, dan juga Candace—mengajak mereka bergabung.

“Biar seru aja, ramean”

Tanpa basa-basi Nilou tersenyum riang—ia menyukai ide Haitham, sementara Cyno langsung mengeluarkan kartu UNO-nya. Toh tidak akan di razia, gueu-guru enggan keliling karena derasnya hujan badai.

🍀🍀🍀

“Cupu! C U P U!” ledek Cyno sembari menunjuk-nunjuk tepat di depan wajah Haitham, lelaki itu mendecih sebal.

“Aku baru tau Haitham ngga bisa main UNO”

“Oh jadi ini alasan kamu nolak main UNO di les-lesan?”

Dari tempatnya ia duduk, Nahida dapat melihat ujung kuping sang lelaki memerah karena malu. Lucu sekali, walaupun Haitham berusaha untuk menutupi raut wajahnya tetapi reaksi tubuhnya terlalu jujur untuk disembunyikan.

“Gue tuh ga pernah main UNO jadi ga paham cara mainnya,” ujar Haitham—beralasan, sekarang gantian Cyno yang mendesis tak suka, “Halah, Alesan,”

“Udah, udah, malah gelut nuh berdua. Haitham pilih Truth or Dare?”

Haitham menghela nafas pelan, ia menatap lekat ke arah Tighnari sembari melipat kedua tangannya depan dada. “Truth tapi gue mau ngasih disclaimer dulu” jelasnya.

“BUSEEEET KITA CUMA MAU MAIN TRUTH OR DARE BUKAN BACA FANFIC AO3”

“Ngga sekalian trigger warning dan pengawasan orang tuanya bang?”

“Cupu lo pilih truth

“Udah udaaah napa sih pada ribut ini ga mulai-mulai. Jadi lo mau apa tham? Disclaimer apaan?” sekali lagi Tighnari melerai mereka namun kali ini terdengar nada penuh kekesalan dari lelaki tersebut.

“Jangan nanyain soal hubungan gue sama Nilou, kita ga ada hubungan apa-apa. Ngerti gue arah kalian ntaran kemana.”

“Oke—HAH?!”

Mulanya Tighnari yang tidak keberatan pun seketika menunjukkan keterkejutan yang teramat sangat—tidak hanya Tighnari, Candace dan Dehya pun sama terkejutnya. Namun Cyno dan Nahida pun tampak tak acuh yah karena memang mereka sudah tau sih.

Nahida menduga alasan mengapa Haitham mengatakan hal seperti itu agar tidak ditanyakan lagi dan ia perlu mengulang-ulang cerita. Tapi tentu saja, pernyataannya barusan menghasilkan pertanyaan dan rasa penasaran baru bagi teman-temannya.

“Gue yang nanya boleh gak kalo gitu!” seru Candace sembari mengacungkan tangannya. Fokus mereka semua kemudian beralih pada gadis bernetra berbeda tersebut.

“Apa?”

“Kalo menurut lo pribadi, tiga cewe tercantik di kelas ini ada siapa aja?”

Pertanyaan Candace terlalu tidak diduga bahkan oelh Haitham sekalipun. Tetapi dalam lubuh hati Nahida dirinya diam-diam menyimpan harap. Siapa tau kan? Walaupun khayalnya terlalu tinggi.

🍀🍀🍀

“Bukannya ngga sopan ya kasih ‘peringkat’ ke orang padahal pendapat tersebut bersifat subjektif”

“Demi archon lu orang paling ngga asik, gue heran kenapa Nilou tahan sama lu”

Haitham memandang Cyno heran, dia hanya mengutarakan fakta. Sementara itu Dehya pun geleng-geleng kepala, laki-laki ini pintar tapi bisa bodoh juga.

“Tham, sori banget ya. Lu tuh pinter taoi goblok” jelasnya—tidak bermaksud menyinggung🙏🏻 dan sebelum sempat Haitham kembali bertanya maksud ucapan Dehya gadis itu segera menjelaskan.

“Kagak diperingkat. Menurut lo. Subjektif emang karena emang taste orang beda-beda. Misalnya gini. Gue ditanya kan siapa tiga cowo tercakep di kelas ini gue jawab lo, Kaveh, terus Aether yaudah gapapaaa. Namanya juga game buat seru-seruan kali,” jelas Dehya panjang lebar.

“Ngga bakalan ada yang tersinggung dengan jawab pertanyaan tersebut? Atau dengan menanyakan hal tersebut?”

“Kagaaaaak”

Dari tempatnya Nahida dapat melihat Candace yang ikut gemas dengan Haitham. Sementara itu Cyno dan Tighnari sepertinya sudah cukup lelah dan Nilou pun tak bisa menahan suaranya.

“Oke, gue bukannya bermaksud apa atau menjelekkan ya. Tapi kalo menurut gue ada lu, Candace” jelas Haitham sembari menunjuk Candace. Seketika gadis itu terlihat kebingungan namun juga salah tingkah.

“Terus juga Lumine kali ya, sama terakhir… hmm…”

Haitham berhenti sejenak, menimang-nimang. Saat itu pula seketika semua fokus beralih padanya. Baik Nilou maupun Dehya pun sepertinya harap-harap cemas (berharap lelaki itu—lelaki paling ‘jujur’ menyebutkan nama mereka).

“Nahida, itu aja,”

Kalimat terakhir Haitham seketika membuat Nilou dan Candace pun memekik girang (namanya juga perempuan) dan Dehya pun mendecih sebal.

Sedangkan Nahida sendiri, dirinya sudah dapat merasakan wajahnya yang memanas—astaga pipinya pasti akan sangat merah. Candace pun tak bisa menahan gemasnya untuk memeluk Nahida sedangkan Cyno sepertinya menahan ketawa—ingin mengusilinnya. Nahida paham betul kenapa reaksi mereka begitu berlebihan.

“Kenapa tuh alasannya Tham?” celetuk Cyno.

Nahida ingin mengukpat! Cyno sialan! Dia sengaja—SENGAJA! Ingin membuat dirinya semakin salah tingkah dan menjadi-jadi. Tidak puaskah Cyno melihat Nahida yang sudah sebegini malumya?!

“Kan trurth-nya udah gue jawab,” kilah Haitham, “Ya ga afdol kalo tanpa alasan dong,” lagi-lagi Haitham kembali menghela nafas pelan—mengalah.

“Kalau Candace karena gue suka aja tipe wajah dia, eksotis, manis—cuma sayang lu temenan sama Cyno,” jelasnya membuat Candace senyum senyum salah tingkah.

“Emang sayang kenapa?” tanyanya balik, “Ya sayang aja gitu,”

“Sayang kamu juga,” goda Candace, seketika satu meja itu ramai oleh teriakan salah tingkah—begitu pula dengan Haitham yang berakting memukuli meja karena salah tingkah.

Counter-nya bagus ini gue suka,” jawabnya. “Ini kalau mau dilanjut mohon chat personal aja ya,” celetuk Dehya seketika mendapat sikutan maut dari Candace.

“Lanjut-lanjut, kenapa milih Lumine, lu disikut Xiao loh entar,”

“Gue kagak ada niat nikung? Tapi kalo gue pilih dia ya karena dia cakep aja udah, maksudku dia tuh yang semua orang setuju kalo dia cakep” yang mainnya pun mengangguk paham—sekaligus menyetujui.

“Terus kalo Nahida?”

Keheningan seketika menyeruak, mereka semua memusatkan fokusnya pada bintang utama permainan ini—Haitham—Nahida pun dapat merasakan detak jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya, dirinya pun ikut tegang.

“Nungguin ya?”

“LU GUE SLEPET YA LAMA-LAMA!”

Haitham dan yang lainnya tertawa melihat tingkah tak sabaran dari Cyno—begitu pula dengan Nahida, dirinya berterima kasih kepada Cyno yang saat ini bisa membuatnya lebih rileks dan melupakan harapnya sejenak.

“Nahida ya?

Dari tempatnya ia duduk Nahida dapat merasakan tatap lekat dari Haitham—ia pun berusaha hirau dibanding merasa semakin salah tingkah dan tak karuan karenanya.

“Cantik sih, imut,”

Hanya dua kata namun layaknya kata kunci untuk mengaktifkan semacam bom rahasia yang seketika membuat kedua sisi pipinya berseu merah malu-malu.

“Nahida gimana menurutmu?”

“Eh? Ya?”

Ia yang sendari tadi menundukkan kepalanya pun mencoba berani mengangkat wajahnya manakala Tighnari memanggil namanya—masih berupaya tidak saling bertukar pandang dengan Haitham.

“Perasaanmu gimana? Dibilang cantik sama Haitham”

Ia pun seketika merasa kikuk, ini bukan saatnya! Ini kan waktunya Haitham yang menjawab mengapa pula dirinya ikut ditanyakan?

“Yah.. eum… makasih, seneng sih… tapi… sebenarnya kalau dibandingin sama—“

“Nah ini nih yang aku ga suka dari Nahida, kamu tuh kurang percaya diri,” ujar Haitham memoting kalimatnya—layaknya tau betul apa yang akan dia katakan selanjutnya.

“Tapi iya loh… maksud aku aku pendek.. ngga menarik—“

“Tiap orang punya preferensi yang beda-beda Nahida, kalo ada yang bilang ngga suka cewe pendek belum tentu aku ikutan ga suka kan? Hal tersebut juga ngga ngubah pendapat aku soal kamu,”

🍀🍀🍀

Pernyataan Haitham terdengar begitu logis dan rasional—masuk akal dan benar adanya. Akan tetapi kalimat tersebut sukses membuat bunga-bunga bermelaran dan kupu-kupu berterbangan dalam dirinya layaknya siap menyambut musim semi yang indah.

🍀🍀🍀

“Kamu mau pesan apa?”

Nahida kembali menoleh ke arah Haitham, lelaki itu segera memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya. Dirinya masih menimang-nimang menu makan malamnya hari ini.

“Aku pesen wedang angsle aja deh kayaknya,” ucapnya final, menyisakan Haitham penuh kebingungan.

“Kamu ngga makan berat? Makan nasi gitu?”

“Engga deh, masih kenyang”

Haitham menatapnya heran sebelum kembali bersuara—sedikit menjailinya, “Jangan bilang kamu kayak Nilou yang ngga makan malem karena takut gendut tapi habis itu makan mie?”

Ucapan lelaki itu seketika membuat Nahida melotot sebal, mengundang gelak tawa renyah dari lelaki di sebelahnya. Haitham berjalan ke arah meja penjualnya memesankan makanan mereka.

“Wedang angslenya dua, sama minta tambahan roti tawarnya dua ya bu, dipisah dari angslenya,” jelas lelaki itu.

Mereka kemudian mencari tempat duduk yang kosong untuk merehatkan diri sejenak. Di sudut warung ronde kaki lima dekat danau perumahan mereka beristirahat.

“Aku baru tau loh disini ada tempat makan kaki lima banyak banget,” celetuk Nahida—pernyataan gadis tersebut tentu mengagetkan Haitham. “Masa sih?”

Gadis itu mengangguk dan bertanya balik kepada sang lelaki di sampingnya, “Kamu sering mampir ke sini?”

“Lumayan sih biasanya abis sparring malem sama anak-anak kita mampir makan di sini atau ngga pas kakak lagi ngga ada di rumah dan males masak,”

“Eh btw kamu gapapa pulang malem kan?” tanya Haitham balik kepadanya, “Eh-hem tadi habis ngabarin orang rumah kalau mampir makan dulu sama dianter temen jadi dibolehin”

Tak selang lama pesanan mereka pun datang. Sejujurnya Nahida merasa heran, untuk apa Haitham memesan dua roti tawar polos tambahan tetapi dirinya engga bertanya.

Lelaki itu menyerahkan satu mangkok kepadanya dan meletakkan mangkok lainnya di hadapannya sendiri. Sedangkan kedua roti tawar itu ia letakkan di tengah-tengah hadapan mereka.

Dalam diamnya Nahida itu memperhatikan, lelaki itu perlahan-lahan menyuapkan satu sendok untuk dirinya sendiri dan menyobek selapus roti tawar sebelum menyelupkannya ke kuah angsle.

“Eh? Kok ngga dimakan, nanti dingin loh,” ujar lelaki itu yang masih diam saja—entah sadar atau tidak jika sendari tadi dirinya telah diperhatikan.

“Oh! Iya! Cuma aku heran kenapa kamu minta tambahan roti tawar deh?” tanya gadis itu.

Pertanyaan tersebut sontak membuat Haitham terdiam sejenak sebelum lelaki itu menyuapkan satu suapan lainnya dan menjawab.

“Kamu kan belum makan malam, cuma makan? Atau minum angsle—makanya aku minta roti biar ada pengganjalnya paling ngga,” jelasnya.

Entah mengapa penjelasan Haitham tersebut seketika membuat Nahida tersipu. Oh untunglah tenda warung makan mereka memiliki peneeangan yang remang-remang sehingga rona merah wajahnya dapat tersamarkan.

“Aku tuh heran sama kebanyakan perempuan,” celetuk Haitham tiba-tiba. Nahida tidak menjawab ataupun menyela, menunggu lelaki itu untuk melanjutkan ucapannya.

“Kenapa kalian itu kayak, hmm gimana ya bilangnya, anti? Bukan, menunda bahkan sengaja ngga makan malam? Ngga sehat loh buat kesehatan,”

Haitham pun menolehkan pandangnya kepada Nahida. Dari tempatnya duduk gadis itu dapat melihat manik milik sang jaka menatapnya begitu lekat. Saling beradu pandang dengan kedua manik jelaganya. Nahida terkekeh pelan.

“Ini kamu penasaran atau bawel sih?” ledeknya tapi Haitham pun tak hirau. “Penasaran aja, sama kadang mikir, kalian ngga kasihan sama tubuh kalian sendiri gitu melewatkan jam makan? Nanti sakit,”

“Ehm… tiap perempuan beda kok. Cuma kalau aku emang ngga bisa makan porsi banyak pas malam.., jadi biasanya cuma minum susu atau makanan kudapan lainnya. Bukan sengaja ngga makan tapi emang kapasitasnya mampunya segitu,” jelasnya. Haitham pun mengangguk paham.

“Oh gitu ya? Lain kali mungkin bisa jangan gitu karena kalau udah sakit kan kasihan kamunya juga,” balasnya lugas.

Entah mengapa, walaupun Haitham terlalu ceplas ceplos dan apa adanya semua ucapannya masuk lah akal. Mungkin karena dari awal Nahida sudah menyukainya karena orang bilang kan cinta bikin lupa segalanya.

Meskipun demikian, Nahida dapat mengetahui perhatian dan kekhawatiran lelaki itu hanya dari ucapannya yang sering disalah artikan itu.

“Hehe makasih ya, aku senang loh dikhawatirin kamu,”

Haitham pun tidak membalas, lelaki itu kembali menyuapkan satu suapan lainnya, diikuti dengan Nahida yang menyuapkan satu suapan pertamanya. Gadis itu tersenyum senang.

“Euuummm!”

“Gimana? Enak kan?”

Dan gadis itu mengangguk antusias.

🍀🍀🍀

Haitham menghentikan motornya tepat di depan rumah sang gadis. Nahida pun turun dari motor lelaki tersebut.

“Makasih ya Haitham udah nganterin pulang sama nemenin makan! Oh iya jaketnya juga makasih loh!”

Tepat sebelum dirinya melangkahkan kakinya memasuki rumah, suara berat sang lelaki kembali menyapanya—memanggilnya.

“Nahida,”

“Kenapa?”

Tanpa banyak bicara, Haitham menyerahkan sekantung plastik kecil belanjaannya di mini market tadi. Berisi satu kotak susu stoberi dan juga roti lapis kecil.

“Loh kenapa? Kan punya kamu?”

“Buat kamu, kalau belum kenyang,”

Lelaki itu tidak banyak bicara atau menjelaskan lebih lanjut.

“Kalau gitu aku pulang dulu ya,”

“Makasih ya Haitham! Hati-hati, sampai ketemu besok!”

Bersamaan dengan deru mesin motor, lelaki itu pun memutar balik jalannya dan meninggalkan Nahida yang tersenyum senang—salah tingkah—di depan rumahnya.

🍀🍀🍀

Nahida menyapa ramah kedua temannya yang baru saja tiba—senyumnya mengembang lebar tepat di depan pintu kediaman Al Haitham. Sementara sang pemilik rumah justru berekspresi sebaliknya—wajahnya tertekuk kesal dengan tangan dilipat depan dada.

“Nilou! Cyno! Nyasar ngga tadi kalian?” tanyanya kepada kedua temannya itu, gadis bersurai merah yang turun terlebih dahulu segera menghampiri sahabatnya.

“Nyasar dikit, Nilou ngga bisa baca maps” celetuk Cyno yang baru saja turun dari motornya. Gadis itu menggerang tak suka—malu karena Cyno membongkar kekurangannya tersebut.

“Jangan salahin gue! Salahin rumah Haitham yang nyempil!”

“Lo udah nelat nyalahin rumah gue lagi” celetuk Haitham yang masih bersender di depan pintu rumahnya dengan tangan tertekuk. Nahida tertawa canggung.

“Udah udaaah kan udah pada kumpul mending langsung kerkel aja!” ujarnya berusaha menyairkan suasana. Sang pemilik rumah yang kesabarannya sudah setipis itu itu pun menghela nafas pelan, mengalah.

“Yaudah masuk, bahan-bahan udah dibelakang semua” ajaknya.

Dengan riang Nilou pun melepas sepatu sandalnya, memasuki kediaman sang lelaki. Sedangkan itu Nahida dan Cyno pun menyusul dibelakang. Nahida dapat melihat Cyno yang berjalan mendekatinya dan berbisik.

“Cie yang abis berduaan,” ledeknya sebelum berlari kecil meninggalkan Nahida yang bersemu malu di belakang sana.

🍀🍀🍀

Sama seperti Nahida tadi, Cyno dan Nilou tak bisa mengalihkan fokusnya pada panorama taman belakang kediaman Haitham. Ia terkekeh kecil melihat reaksi teman-temannya itu sembari membantu Haitham.

“Wah! Ada Padisarah! Ini kan bibitnya susah banget dicari!” celetuk Nilou menunjuk semak bunga dengan mahkota berwarna violet tersebut.

Taste of art keluarga lo cakep banget sih asli” puji Cyno—yang bisa dibilang merupakan keajaiban dunia mengingat mereka berdua lebih sering saling meledek.

Sudah cukup merasa terkesima dengan pemandangan yang ada, Nilou dan Cyno pun seketika turut membantu Nahida dan Haitham. Mereka berdua duduk melingkar di tengah-tengah gazebo kayu itu.

“Jadi, bu Rhinedottir bilang parktiknya tuh dikumpulkan dalam dua bentuk laporan. Tertulis dan video praktik” jelas Haitham.

Lelaki itu melanjutkan bahwa dirinya memilih tidak keberatan untuk menukis laporan praktik. “Tinggal kalian bertiga mau jadi apa” ungkasnya.

Nilou seketika mengacungkan tangannya, “Aku mau yang ngevideoin dong!” tawarya.

“Berarti yang di video ada Nahida sama Cyno ya?”

Nahida ingin menolak namun sayang Cyno sudah mendahuluinya dan menyetujuinya. Astaga ia malu sekali untuk tampil di depan kamera walaupun hanya sebatas tugas semata. Sedangkan Cyno, anak itu terlihat tidak peduli sama sekali.

🍀🍀🍀

Kerja kelompok mereka berjalan cukup lancar, walaupun sesekali Cyno lupa kalau praktik mereka didokumentasikan sehingga ia mengeluarkan lelucon konyol yang membuat mereka harus mengulang.

“Terakhir, masukkan asinan dan diamkan di kulkas hingga selama seharian,”

Nilou mengakgiri videonya dan Nahida bernafas lega tepat setelah menutup tempat makan berisi asinan sebelum menyerahkannya kepada Haitham. Lelaki itu menerima wadah tersebut sebelum kemudian izin pergi ke dapur untuk menaruh asinan mereka.

Sementara Haitham pergi inilah saatnya membicarakan lelaki tersebut secara diam-diam!

“Aku kaget loh pas Haitham ngajak kita kerja kelompok di rumahnya. Seumur-umur aku temenan sama Haitham dari jaman ngga enak sampai sekarang masih ga enak engga pernah tuh ditawarin main ke rumahnya!” gumam Nilou sedikit kesal, dirinya merasa sedikit dikhianati.

“Loh masa Haitham ngga pernah ngajak kamu buat main ke rumahnya?” kali ini Nahida yang bertanya—penasaran tidak ada maksud terselubung.

Hehe, ia berbohong kalau beneran tidak ada maksud terselebung—dirinya beneran ingin tau hubungan yang dimiliki sang sahabat dengan lelaki itu. Mereka begitu dekat dan juga intim tapi masa sih Haitham tidak pernah mengajak Nilou untuk berkunjung?

“Dih beneran masa aku bohong?”

“Masa Haitham ngga pernah ngajakin kamu ngapel buat ke rumahnya gitu?” kali ini Cyno yang bertanya. Ingin sekali Nahida berterima kasih kepada lelaki itu.

“Hah ngapel?”

Baik Cyno dan Nahida dapat melihat raut kebingungan milik Nilou yang kemudian turut membuat mereka ikut kebingungan.

“Hah?”

“Hah?”

“Kalian tau kan, ngga sopan kalau ngomongin orang tanpa sepengetahuan orang tersebut?”

Mereka bertiga tentu saja sontak kaget tertangkap basah oleh lelaki tersebut sedang membicarakannya. Walaupun Haitham sendiri sebetulnya tidak peduli. Lelaki itu kemudian mengambil duduk tepat di sebelah Nahida, bergabung dalam lingkaran gibah teman-temannya.

“Ya kan namanya lagi gibah, ngga seru dong kalo ada kamu” celetuk Nilou dan Haitham pun hanya mengerlingkan matanya.

Sang pemilik rumah pun menyuguhkan minuman serta beberapa cemilan. Tanpa permisi dan babibu Cyno segera menyomot satu kue manis yang telah dihidangkan, sedangkan Nilou meminta refreshing water yang baru saja Haitham letakkan.

“Oh iya, kenapa sih kamu ngga dari dulu ngajak aku mampir ke rumahmu?” tanya sang gadis kali ini justru Haitham yang terlihat bingung.

“Hah? Ngapain?”

“YA NGAJAK MAIN DOANG HAYIII GUE CUBIT UBUN-UBUN LO” ujar Nilou tak terima membuat Nahida dan Cyno terkekeh kecil.

“Hayoloh Hayi ntar ubun-ubun lo ilang disedot Nilou” tambah Cyno

“Lo jangan ikutan manggil gue Hayi, geli,” kecam Haitham dengan sedikit merinding.

“Kalau aku panggil Hayi keberatan ngga?” tanya Nahida sedikit menggoda—mengikuti teman-temannya menjaili sang lelaki.

“Gapapa, pokoknya jangan Cyno”

“Dih play favoritsm gue kira hubungan kita istimewa Tham” dan Haitham pun menyabet Cyno—adegan tersebut sontak menyajikan tawa bagi dua gadis yang menontonnya.

“Eh tapi jawab pertanyaanku dulu, kenapa ngga pernah nawarin main ke rumahmu!”

“Ya ngapain Lou??? Asli deh aku tanya ngapaiiin?”

“Ya Archon Haitham, aku kira hubungan kita istimewa ternyata cuma sebatas ini?”

“Alay”

“HEH!”

Kali ini gantian, Nilou yang secara membabi buta memukul keras lelaki tersebut, membuatnya mengaduh hibgga terjatuh sedikit ke arah Nahida.

“Sakit Lou! Anjir ini KDKK! Kekerasan Dalam Kerja Kelompok!”

“Lou udah Lou, ini nanti aku ketindihan Haitham! Nanti aku tambah pendek gimana?” celetuk Nahida—celetukan tersebut sontak membuat Cyno terkekeh kencang dan menghentikan kekerasan yang dilakukan oleh Nilou. “Gue suka humor lo! Approved by Cyno!”

“Tapi serius deh gue mau nanya nih—lo bedua bukannya pacaran ya kenapa deh ngga pernah nawarinNilou ngapel di rumah lo?” tanya Cyno lagi.

Haitham pun memperbaiki duduknya, begitu pula dengan Nilou. Lelaki itu tampak menghela nafas pelan dan membetulkan pakaian hingga rambutnya yang sedikit berantakan karena aksi barbar gadis bersurai merah itu.

“Mana ada gue sama Nilou pacaran” jawab Haitham enteng, sontak membuat Nahida dan Cyno kembali kebingungan. “Serius lo?”

“Iya lah,”

Kali ini Nahida pun gantian menoleh ke arah Nilou. Gadis itu menggaruk tengkuknya yang tak gatal, yah sepertinya gantian, sekarang dirinya yang harus menjelaskan.

“Beneran, kita ngga pacaran”

“HTS-an?”

“Engga”

“TTM?”

“Engga juga”

“Tapi kalian tau kan kalau gosip kalian pacaran tuh dah nyebar kemana-mana?” tanya Cyno lagi. Haitham pun menghela nafas pelan.

“Ngerti, awalnya karena gue kapten basket terus Nilou center dance kan? Tapi ya peduli setan sama omongannya orang jadi ya gue anggep angin lalu,” jawab Haitham tak acuh.

Nilou pun menambahkan ia juga tidak keberatan dengan gosip yang beredar karena memang tidak benar kebenarannya.

Malam itu mereka bercerita banyak hal—lebih tepatnya sesi introgasi dan wawancara bersama Haitham dan Nilou terkait hubungan mereka. Dua jam lamanya tak terasa telah berlalu. Haitham pun membereskan gazebo rumahnya dan ketiga teman-temannya pamit undur diri karena sudah malam.

“Jagain Nilou, jangan ngebut-ngebutan. Lo bawa anak orang” tegur Haitham kepada Cyno, tanpa diminta pun Cyno tau.

“Ya tapi dengan begini lo gausa cemburu lagi ngga jelas sama gue,” ledek Haitham. Cyno pun segera menyuruh lelaki itu untuk diam karena tak ingin Nilou mendengarnya. Haitham tersenyum kecil.

Haitham berlalu, meninggalkan Cyno yang tengah berusaha mengeluarkan motornya, menghampiri Nahida dan Nilou yang masih asik berbincang di teras rumah.

“Kakak kamu mana? Aku mau pamit” tanya Nahida kepada Haitham. “Kayaknya lagi nongkrong sama temennya deh, nanti aku salamin aja”

“Loh kamu punya kakak?” tanya Nilou retoris, Haitham pun hanya mengangguk.

“Eh btw. Kamu pulangnya gimana Nahida? Dijemput?” tanya Haitham, mengalihkan fokus dirinya kepada Nahida, gadis mungil itu menggeleng, mengatakan bahwa ia bisa pulang sendiri dan berjalan kaki.

“Ih Nahida! Walaupun sekompleks tapi bahaya tau cewe pulang sendirian malem-malem jalan kaki! Aku pesenin Tjek aja mau ngga??” tawar Nilou, walaupun sedikit berlebihan tapi Nahida mengerti perasaan gadis itu—sesama perempuan pasti paham.

“Gausa Lou, aku antar aja sekalian keluar mau cari makan” celetuk Haitham, Nilou pun mengangguk paham. Gadis itu kemudian segera berpamitan saat Cyno telah siap. Dengan hati-hati ia naiki motor matic lelaki tersebut.

“Balik dulu yaaa!”

“Hati-hati! Kabari ya kalau udah sampai!!”

🍀🍀🍀

“Haitham, gapapa aku balik sendiri aja ngerepotin” tolak Nahida, tapi sepertinya Haitham terlihat tak acuh atas pendapat gadis itu.

“Sekalian aku mau beli makan malem, kamu udah makan belum? Mau bareng sekalian? Ada warung kaki lima enak deket danau perumahan. Bentar ya aku ambil jaket dulu”

Dan lelaki itu sama sekali tak menghiraukan Nahida.

🍀🍀🍀

———

Comission by @mashedpottatooo

Songfic: Nala – Tulus

Sunakomo, Suna x Komori, romance, hurt

———

Tentang Suna, yang begitu mengantisipasi hingga dipatahkan ekspetasi.

———

Tentang Suna dan hati yang sedang berbunga Malam nanti ada janji yang ditunggunya

Dalam hidupnya, tak pernah dirinya merasa seberbunga ini. Bukan tanpa alasan, malam ini adalah malam yang ia tunggu. Mimpi dirinya yang kemudian menjadi kenyataan, dapat berjanji dengan sang pemikat hati.

Hidup Suna tak pernah berwarna maupun berbunga, jadi bukanlah alasan aneh mengapa dirinya sangat berdebar menunggu malam ini. Hari yang sudah dinantinya tepat setelah dirinya memberanikan diri mengajak sang pujaan hati pergi menonton bioskop di tengah kota.

———

Dipilihnya baju terpantas dan bergaya Tak sabarnya, ingin segera malam tiba

Dua jam lamanya Suna berdiri di depan sang cermin, kamarnya layaknya kapal pecah—dua jam lamanya ia memilih baju terpantas dan bergaya, demi kesan dan impresi dari yang dicinta.

Pukul tujuh malam masih lah lama. Namun jangan salahkan dirinya ia merasa tak sabar untuk segera bertemu yang ditunggu—Komori Motoya, sang tambatan hati.

Ia pandangi lagi dirinya tepat di pantulan cermin di depan sana—dengan setelan necis dan rambut klimis. Tersenyum puas terhadap sosok tampan nan rupawan yang ia lihat saat ini. Ia berharap Komori menyukai penampilannya saat ini.

———

Tujuh tepat, pesan singkat diterimanya Kabar dari yang ditunggu jadi tak bisa Tak bisa bertemu

Seutas senyum seketika merekah di wajah yang telah lama sumringah. Satu denting telpon yang sukses memecahkan lamun dan penantiannya, dengan sigap ia bangkit dari tidurnya dan membuka satu pesan singkat yang ditunggu darinya.

Senyum sumringah itu seketika pudar, berganti dengan wajah tertekuk bermuram durja. Sang kasih baru saja mengatakan bahwa dirinya tak bisa datang. Lantas, untuk apa penantiannya selama ini?

Maaf Suna, karena harus membatalkan janji kita.

———

Lama Suna merasa sulit disuka Bagi Suna, malam ini istimewa

Suna menghela nafas pelan, sedih, kecewa, semua perasaan membiru pilu itupun menjadi satu. Tapi dirinya bisa apa? Memaksa Komori untuk tetap tinggal dan menetapi janji mereka? Itu omong kosong.

Dirinya pada Komori bukanlah ‘apa-apa’. Lantas untuk apa ia meminta segalanya?

Sering kali Suna berandai, seperti apa rasanya dicinta? Sering kali Suna bertanya, bagaimana indahnya memadu kasih? Sering kali pula Suna mendamba indahnya mengecap rasa.

Dirinya pun kembali menghela nafas pelan.

Sedih dia kembali masuk kamarnya Tentang Suna dan kemurungan hatinya

———

Suna figur sederhana, tak ramai kelilingnya Sembilan dua lahirnya

Suna hanyalah figur sederhana—kalian boleh bilang dirinya merendah. Namun jika dibandingkan dengan teman-temannya, ia memanglah tak terlalu rupawan ataupun menarik.

Tepat di usianya yang saat ini telah menginjak kepala tiga, sepertinya benih cinta adalah hal mewah bagi dirinya untuk dikecap. Ia hanya ingin memadu rasa dan mengecap kasih—apakah itu terlalu mahal pintanya?

Hari besar baginya bila melihat benih cinta Bagi Suna itu langka

Suna sering kali bertanya kepada sang kawan—apakah dirinya tak menarik? Tentu saja sang teman tak ingin melihat sang kawan tenggelam dalam durja.

Tentu tidak, kamu menarik apa adanya Lantas mengapa sulit bagiku melihat benih cinta Mungkin saja benih tersebut belumlah tumbuh dan bermekaran

Suna sudahlah terlalu sabar—cinta adalah hal mewah baginya dan langka baginya mampu mencicipnya barang sedikit pun.

Komori adalah cintanya—benih yang selama ini ia tunggu untuk tumbuh dan mekar. Dari semua penantian panjang tentu Suna ingin sengera mengecapnya—indahnya kasih dan saling memadu kisah.

Lama Suna merasa sulit disuka Bagi Suna malam ini istimewa Sedih ia kembali masuk kamarnya Tentang Suna dan kemurungan hatinya

———

Tentang Suna yang begitu mengantisipasi sang kasih. Namun sayang dipatahkan sang ekspetasi yang terlalu tinggi.

Akan tetapi demi sang cinta ia tak ingin ratap mengalahkan harap yang sejak lama sudah ia miliki.

Lalu Suna mengirim singkat sebuah pesan kepadanya Suna bertanya,

———

Kapan ada waktu lain lagi?

———

Tentang Suna yang begitu mengantisipasi. Namun dipatahkan ekspetasi.

Harapnya terlalu tinggi. Maka, takkan pernah ia biarkan ratap mematahkan kisahnya dengan sang kasih.

🍀🍀🍀

Sendari tadi Nahida hanya diam termengu tepat di depan rumah besar dengan pagar kayu tinggi yang terbuka. Walaupun sang pemilik sudah memngizinkannya untuk langsung masuk saja namun dirinya masih merasa sungkan.

Dirinya pun merasa dilema, haruskah ia mengetuk pintu dan masuk? Atau menunggu sang pemilik rumah terlebih dahulu. Dalam lamunnya dirinya terkesiap kaget manakala seseorang menepuk pundaknha pelan.

“Temennya Haizen ya?”

Nahida memperhatian orang tersebut—perawakannya lebih ramping dari sang teman, tapi dirinya dapat menjamin seratus persen, tidak, bahkan seribu persen bahwa cetakan orang di hadapannya berasal dari satu ‘pabrik’ yang sama. Terlalu mirip.

Namun nama Haizen terlalu asing bagi telinga Nahida—dirinya harus memastikan terlebih dahulu.

“Haizen?”

Lawan bicaranya terkekeh kecil sembari menggumamkan sesuatu. Layaknya melupakan satu hal paling mendasar.

“Astaga maaf, maksud saya Haitham—adek temennya Haitham ya?”

Nahida mengangguk pelan—sedikit malu-malu. Dirinya sejujurnya sendari tadi masih menilai, serta menerka-nerka siapa sosok yang tengah berbincang di hadapannya itu.

Seorang yang berwajah layaknya pinang dibagi dua dengan Al Haitham. Hanya saja, air wajahnya lebih teduh dan ramah (bukan berarti Al Haitham tidak ramah, hanya saja sosok di depannya ini terlihat lebih hangat dan ceria). Rambutnya panjang, tergerai sepunggumg dan begitu lurus.

“Haitham udah bilang kalau teman-temannya bakalan datang, dia lagi siap-siap di taman belakang. Ayo-ayo bisa langsung masuk—oh iya! Perkenalkan, saya Su, kakaknya Haitham”

“Ah, nama saya Nahida kak Su,”

Lelaki itu tidak merespon, ia justru tertawa kecil. Tepat dibelakangnya, Nahida mengikutinya dengan langkah kecilnya. Kedua netra sehinau jelaganya itu terpesona melihat pemandangan arsitektur rumah milik Haitham.

Rumah bergaya post modern japan tersebut terlihat asri namun juga minimalis. Dengan padu pandan warna putih, cokelat, dan juga hijau yang sukses membuat dirinya terkesima.

“Hehe aku kaget loh pas Haitham bilang ngajak temennya ke rumah, soalnya anak itu tuh jarang ngajak temennya ke rumah—biasanya sih Kaveh suka mampir atau nginep tiba-tiba walaupun Haitham ngga pernah nawarin tapi aku senang kok kalau ternyata Haitham punya temen!” ujar Su riang. Dari penliaiannya singkat Nahida sudah bisa menduga bahwa sosok di depannya ini sangat menyayangi adiknya.

“Kakak berlebihan, aku tuh ngga se-ansos itu,”

Di hadapnnya Nahida mendapati sosok Haitham yang sepertinya baru saja dari halaman belakang. Lelaki itu terlihat begitu santai dengan kaos oblong abu-abu dan celana pendek berwarna putih.

“Udah jangan ngomong aneh-aneh nanti Nahida percaya kan kamu penjilat yang bagus” ledeknya, Nahida dapat melihat pura-pura memegang jantungnya, seakan sakit hati dengan ucapan sang adik.

Sedangkan Haitham langsung segera mengajak Nahida menuju taman belakang rumahnya. Nahida mengangguk, mengikuti langkah besar lelaki itu dan berpamitan dengan Su.

🍀🍀🍀

“Waaaaah…”

“Kamu kayaknya suka banget ya sampai daritadi bengong gitu”

Nahida cepat-cepat menutup mulutnya yang tanpa sadar menganga begitu lebar karena terpana akan cantiknya taman belakang rumah Haitham. Gerak gerik sang gadis seketika membuat Haitham terkekeh, malu, Nahida sangat malu.

Mereka tak berhenti, menyeberangi batu-batu artifisial sebelum akhirnya duduk di gazebo kayu di tengah-tengah kolam. Haitham menyuruhnya duduk di sebelahnya.

🍀🍀🍀

“Kamu suka ya sama desain rumahnya” tanya Haitham tiba-tiba, sepertinya lelaki itu mengajaknya berbasa-basi dan Nahida pun mengangguknya.

“Iya, rumahnya adem sama minimalis, terus padu pandan warna coklat, putih, hijaunya serasi dan balance. Tamannya juga bagus! Walaupun tempatnya ga terlalu luas tapi tetep asri!”

“Haha, makasih, aku senang kalau ada yang suka karena rumah ini di desain sama kakakku yang pertama, kau tamannya, Kak Su yang urus”

“Eh beneran?”

Gadis itu menoleh ke arah Haitham, kedua pasang netra itu pun saling beradu pandang—begitu dekat dan juga lekat sebelum akhirnya lelaki itu mengangguk dan kembali menoleh ke arah depan.

Sunyi pun menyeruak di antara mereka, Nahida tidak terlalu menyukainya, sang gadis pun berusaha mencari topik pembicaraan lainnya.

“Uhm… Haitham aku mau nanya boleh? Agak personal sih…”

Lelaki itu kembali menoleh ke arah sang gadis, “Tanya apa?”

“Kenapa kamu dipanggil Haizen?”

Lelaki itu tidak menjawab, justru tersenyum ramah sembari menopang wajahnya dengan tangan kanannya—ini pertama kalinya Nahida melihat ekspresi Haitham sesantai itu.

“Kenapa kamu tiba-tiba penasaran?” godanya.

“Soalnya tadi kak Su manggil kamu Haizen jadinya aku penasaran”

“Kalo aku gamau kasih tau gimana?”

Nahida melotot, dan reaksi itu lucu di mata Haitham—seketika menghasilkan gelak tawa renyah dari bibirnya.

“Kalau gamau ngasih tau yaudah!” rengeknya, semakin membuat Haitham tertawa.

“Bercanda! Haizen ya? Itu nama panggilan pas kecil—aku sekelyarga dulu pernah tinggal di Inazuma dan warga Inazuma tuh kesulitan sama nama ‘Al Haitham’ jadi aku seringnya dipanggil Aruhaizen”

“Oh jadi username aruhaizen juga dari sana?”

“Merhatiin sampai username-ku segala nih?”

“Ih! Nyebelin!”

Mereka berdua pun berseda gurau bersama, sembari menunggu Nilou dan Cyno datang kedua insan itu saling berbagi cerita dan berbincang hangat satu sama lain.

🍀🍀🍀

Satu hal yang Nahida tak pernah duga di sepanjang hidupnya adalah, dirinya dapat berbincang seluwes itu dengan sosok lelaki di hadapannya saat ini.