komoyi

just me and my loving komori hours, heavily post sunakomo

———

Neuvillette hanya ingin terus seperti ini. Dengannya, dengan sosok yang ia suka.

———

Matanya sendari tadi sibuk mencari, pusat dunia yang seakan sengaja menhilang dari pandangan. Namun, dengan radarnya yang sudah terbiasa akan presensi kehadirannya—tak butuh waktu lama bagi Neuvillette untuk mendapati sosok sang gadis yang tengah duduk seorang diri di kursi berbusa pada halaman taman.

Ia terpesona dengan keteguhan hati sang gadis, bagaimana sosok ya tetap mampu bersinar di tengah kesendirian, menikmati diri sendiri. Seutas senyum terpatri jelas di paras yang orang bilang tak pernah ramah. Hanya dengan sang gadis ia dapat tersenyum begitu tulus.

“Boleh aku duduk di sampingmu?”

“Kak Neuvillette? Halo! Boleh banget kok duduk aja!”

Sebuah senyum hangat nan ramah menyambut dirinya. Bagaimana mata bulat itu seketika menghilang dan membentuk dua lengkung sabit di sana. Neuvillette pun memposisikan dirinya, duduk tepat di samping Navia yabg tengah menikmati hangatnya malam kebersamaan.

Disodorkannya segelas susu hangat yang ia ambil dari pantry dapur penginapan (sudah sengaja ia bawa) dan sang puan menatapnya penuh tanya, sebelum menerimanya dengan ragu-ragu.

“Udah malem, udaranya dingin,” jelasnya. Sang gadis pun menganggu dan menerima gelas yang masih mengepulkan uap panas.

“Kamu yang mersiapin makrab ini?” tanyanya, sang gadis pun tertawa jahil, “Hehehe, iya! Gimana kak? Suka? Lebih tepatnya aku jadi inisiator aja sih terus yang lainnya setuju yaudah deh!”

“Sebenernya kamu gausa repot-repot begini,”

“Gak repooot! Aku cuma ingin hari terakhir ini ada satu kenangan yang bisa dirayakan dan bikin, ‘oh dulu aku HIMA begini loh’ paling ngga jadi memori indah buat kita semua,”

Di bawah sinar lampu gantung teranam, ia dapat melihat bayabg senyum manis milik sang puan. Bibir tipis yang membentuk ujiran bulan sabit pada paras manisnya.

Dalam hati, Neuvillette ingin berkata bahwa dirinya tidak perlu seperti itu.

Karena menghabiskan waktu berdua dengannya sudah cukup baginya

Namun, melihat senyum tulus di wajah Navia membuat Neuvillette ikut merasakan senang, asalkan gadis itu senang, ia tidak masalah.

———

“AKU MAU NYANYI DONG!”

“Bwoleee”

Gadis mungil bersurai biru muda itu pun segera maju, mengambil microphone dati tangan Wriothesley yang baru saja bernyanyi. Dengan bantuan Childe selaku DJ (abal-abal) tanpa perlu menunggu lama, alunan musik mendayu dengan iringan gitar akustik pun terdengar, seketika semua orang pun berseru (mengeluh).

“KUKIRA MAU NYANYIIN LAGU TERNYATA KISAHKU”

“DEEEEEYM”

“Mohon masyarakat harap diam dan baru bernyanyi saat masuk reff ya,”

Tawa orang-orang pun pecah dan Furina pun mulai menyanyikan bait perbait lirik lagu Oceans and Engines. Neuvillette pun terkekeh kecil karena suasana malam keakraban hari ini. Kapan lagi dia dapat menikmati suasana hangat nan intim seperti ini. Hatinya pun turut menghangat.

But, I’m letting go… I’m giving up your ghost

But don’t get me wrong… I’ll always love you, that’s why i wrote you this very last last song…,

Neuvillette menolehkan kepalanya kala telinganya menangkap suara samar mendayu di deketnya. Navia, gadis sebelahnya tengah menatap ke arahnya, dengan pandangan yang tak ia mengerti.

Gadis itu tersenyum namun ia dapat melihat kerapuhan di sana. Mata biru itu pun kehilangan binarnya. Gadis itu pun semakin mengeratkan pelukannya kepada kedua lututnya yang ia tekuk.

I guess whis is where we say… goodbye…

Suara gadis itu semakin samar dan sedikit bergetar. Meski demikian, selayaknya seorang aktor yang tengah berakting gadis itu berusaha untuk tersenyum dan menikmati suasana syahdu malam ini dengan terus bernyanyi.

“Hehe lagunya sedih ya kak? Padahal cuma lagu tapi ternyata juga kisahku,”

“Navia… malam ini bukan berarti perpisahan dan kita ngga bisa ketemu lagi,”

Gadis itu menggeleng, seolah menyangkal apa yang dikatakan lelaki tersebut.

“Semua orang bakalan bilang gitu ngga sih? Pada akhirnya tetap jadi perpisahan karena kita punya pilihan masing-masing nanti kedepannya,”

“Navia…, kamu yang bilang kan malam ini bukan malam perpisahan… tapi perayaan buat kita semua,”

Cengkraman tangan gadis itu semakin erat, dapat dilihatnya kain rok yang ia kenakan semakin lusut karena digenggam begitu kuat. Gadis itu kembali menggeleng. Namun, kali ini tidak mengatakan apa-apa. Itu adalah pilihannya, perpisahan.

“Kalau memang setiap orang punya pilihannya masing-masing. Aku bakalan milih buat begini terus… sama kamu,”

Gadis bersurai pirang tersebut terkekeh kecil, mendengar pernyataannya, layaknya sebuah lelucon umum yang sering kali ia dengar.

“Aku mau terus sama kamu dan nikmati waktu kita bersama Navia,”

“Kita masih bisa sering ketemu kok kak,”

“Aku suka sama kamu,”

“Aku juga suka kak Neuvillette sama kakak-kakak HIMA lainnya,”

Neuvillette menghela nafas berat, keras kepala batinnya. Namun, mungkin itu pula yang membuatnya jatuh hati. Sama seperti bagaimana Navia yang keras kepala mendekatinya untuk terus mengobrol walau dirinya tau bahwa ia bukan orang yang ramah ataupun menyenangkan untuk diajak bicara.

Sekarang dirinyalah yang harus keras kepala, sebelum ia kehilangan gadis yang ada di hadapannya, untuk kedepannya.

“Navia, aku suka sama kamu,” ucapnya mantap.

Ia dapat melihat gadis di hadapannya menatapnya tak percaya dengan sepasang netra yang membulat.

———

Dan Neuvillette pun nyatanya telah benar-benar jatuh suka akan sosoknya.

———

Seharusnya Navia tahu sendari dulu. Bahwa rasa itu tak pernah ada untuknya. Ataupun dapat dipaksakan untuknya.

———

Seharusnya, sendari awal, Navia tahu diri.

“SELAMAT SOREEE MASYARAKAT SEMUANYAAA”

Pintu sekre HIMA dibuka dengan penuh semangat—seakan sang pelaku melupakan fakta bahwa engsel pintu ruangan tersebut umurnya sudah lebih tua dibandingkan sebagian besar dari mereka.

“Furina, sudah aku bilang nggak boleh teriak-teriak. Nanti kita dipanggil bu Faruzan buat menghadap departemen lagi,”

“Ehe,”

Pusat perhatian ruangan berukuran tiga kali tiga itu pun seketika berfokus pada dua insan bersurai putih pucat tersebut. Eksistensi mereka begitu mencolok dan sulit untuk diabaikan begitu saja.

Furina dan Neuvillette.

Jika melihat sekilas saja orang-orang pasti sudah mengira betapa cocok dan serasinya mereka berdua, mereka yang selalu tanpa sengaja mengenakan baju senada—seperti saat ini—dengan sifat yang saling bertolak belakang seakan saling melengkapi, membuat berbagai macam bentuk gosip dan spekulasi pun senter di antara mereka.

“Jadi, apakah Anda punya alasan masuk akal untuk keterlambatan hari ini? Wahai bapak ketua Neuvillette?”

Navia sedikit melirik ke arah kakak tingkatnya yang sepertinya sendari tadi sudah sedikit badmood. Kak Clorinde memang terkenal sangat disiplin, sama seperti dengan kak Neuvillette dan begitu berbeda dengan bang Wriothesley (orangnya yang meminta dipanggil bang agar spesial katanya), tentu saja keterlambatan sang ketua Himpunan membuat gadis bersurai hitam tersebut sedikit naik pitam.

Sorry, tadi waktu makan siang aku ngga sengaja ketemu Furina terus kita ngobrol. Aku salah liat jam, aku kira masih jam setengah ternyata sudah jam setengah empat,”

Kening milik Navia berkerut, selama hampir setahun mengenal kak Neuvillette ia tahu bahwa lelaki tersebut tidak pernah seceroboh itu.

Sejatinya sendari awal dia tahu dan tidak memilih untuk acuh

“Biar aku tebak, pasti Furina ada niatan kabur rapat hari ini kan?” tebak Wriothesley, seakan mengalihkan topik pembicaraan. Gadis mungil tersebut terlihat salah tingkah berusaha mengelak.

Tanpa sadar Navia ikut tersenyum melihat interaksi diantara mereka. Menggemaskan batinnya tapi yang jelas terdapat sesuatu yang membuatnya tidak suka dan seketika ia pun gelengkan kepalanya.

“Permisi kakak-kakak, berhubung ini sudah telat hampir setengah jam bagaimana kalau kita mulai saja rapatnya? Takutnya nanti selesai kemaleman,”

———

“Haaah…”

Ini sudah kali kesekian gadis itu menghela nafas. Clorinde yang menyadarinya pun sedikit menyikut lengannya.

“Kamu gapapa? Sakit? Mau aku suruh Neuvillette berhenti aja?” tanyanya sembari berbisik.

“Eh? Engga kok kak! Gapapa, aku cuma… agak capek aja…,”

“Hoh? Matkul terakhirmu siapa emang tadi…,”

Helaan nafas Navia pun semakin panjang, dibenamkan kepalanya pada uluran tangannya di atas meja.

“Mungkin cukup sekian untuk rapat hari ini? Ada yang ditanyakan?”

Satu ruangan pun hening dan terlihat tidak ada yang mengacungkan tangan. Neuvillette anggap bahwa tidak ada yang keberatan ataupun menyanggah. Menandakan rapat hari itu berakhir tepat pukul lima sore. Tidak terlambat, paling tidak Navia bisa sedikit

“Mas Haitham…”

Mendengar jawaban Navia tersebut wajah Clorinde pun seketika sama muramnya.

———

“Akhirnyaaa rapatnya selesaaiii~”

Buk

Satu pukulan kecil dengan buku tulis sinar dunia mendarat tepat diatas kepala Furina dan pelakunya adalah Wriothesley.

“Ngga cocok ya kamu bilang gitu padahal yang bikin Neuvi telat sama niat kabur rapat hari ini,”

“Mau pada makan sambelan ngga?”

“Ih mau!”

Navia terlihat tidak peduli. Gadis itu nampak sibuk dengan barang-barangnya. Meringkasi mejanya dan memasukkannya satu persatu ke dalam tas. Suasana hatinya hari ini tidak terlalu bagus, dengan seperti ini ia bisa menghindari ajakan yang bisa saja dilayangkan kepadanya.

“Na? Udah makan belum?”

Tanpa perlu menoleh Navia hafal betul siapa empu sang pemilik suara. Ditutupnya resetling tas jinjingnya.

“Belum kak,”

“Mau ikut makan malem bareng yang lain?”

Ajakan yang seharusnya ia terima dengan antusias. Namun tidak untuk hari ini, dirinya terlalu lelah tapi tidak mengerti apa penyebabnya. Ia pun hanya bisa tersenyum kecil (walau dipaksakan) sembari menolak.

“Maaf kak, aku mau langsung pulang aja, aku agak capek hari ini,”

Lelaki di hadapannya itu menatap penuh selidik dan gadis itu berusaha tersenyum semaksimal mungkin meyakinkan bahwa bukanlah sesuatu yang besar untuk dikhawatirkan.

“Neuv! Ikut gak?”

Terlihat sosok Wriothesley datang menghampiri mereka dan merangkul pundak Neuvillette akrab. Anggukan kecil pun menjadi jawaban atas pertanyaan Wriothesley tersebut.

Good oi Nav, ikut ngga?” tanya lelaki itu gantian, dan jawaban Navia pun hanya berupa gelengan kepala.

“Loh?! Kenapa? Neuvillette ikut loh,”

“Udah gausa dipaksa, anaknya lagi capek, takutnya tambah gak enak badan gegara kita ajak keluar malem terus sakit gimana?”

“Tuh bang, dengerin kak Neuvillette,”

“Yah ga asik padahal kan pengen liat kalian ber—”

Duk

“Iye iyee sori, sensian amat sih kek masker,”

Sosok Wriothesley pun pergi meninggalkan kedua insan tersebut dalam suasana canggung. Navia pun tidak berani menoleh ke arah Neuvillette yang sepertinya sendari tadi tengah memperhatikannya dengan seksama.

Padahal dalam hati dirinya ingin sekali kabur tapi diawasi seperti ini membuatnya tidak nyaman.

“YAH AKU BONCENGAN SAMA SIAPA KALAU SEMUANYA FULL?!”

“Jiakh kasihan deh jalan kaki aja Rin, deket kok cuma sepuluh menit”

“Ogah banget!”

“Sama aku aja!”

“SERIUS KAK NEUV?!”

“Ya,”

Navia hanya bisa menundukkan kepalanya seolah merapalkan sebuah mantra untuk menguatkan hatinya. Digenggamnya erat-erat selempang tasnya.

“Na? Mau pulang sekarang? Mau aku anter ke depan sekalian?” tawar Neuvillette.

“Eh? Iya! Eh—gausah! Maksudnya iya! Aku pulang sekarang sama gausah aku bisa sendiri!”

Digaruknya pipinya yang tidak gatal dan masih belum berani untuk menatap ke arah Neuvillette di hadapannya. Kecanggungan masih menyelimuti mereka sampai akhirnya Navia pamit undur diri terlebih dahulu.

———

“Aku duluan ya kak,”

“Iya, hati-hati ya,”

“Na, aku pergi duluan ya sama yang lain.”

Ditolehkannya pandangan gadis itu dan pada akhirnya Navia pun berani menatap ke arah Neuvillette.

“Ahaha iya kak! Hati-hati di jalan!”

———

Terlepas dari semua kecocokan diantara mereka Nyatanya tidak berakhir indah Rasanya sudah tidak ada lagi rasa istimewa tersisa

Namun, terkadang dirinya berusaha menduga Apakah akan ada lagi yang sepertinya?

———

———

Sendari tadi Bronya terlihat berdiri cemas sembari terus menerus meremat rok biru miliknya serta sesekali membenai anak-anak rambutnya yang tidak perlu diapa-apakan pun sebenarnya sudah rapi.

Jujur saja ia gugup dan tidak percaya diri. Beberapa orang sendari tadi berlalu lalang, mencuri-curi pandang sekilas ke arahnya. Mungkin sembari menerka-nerka, apa yang kiranya dilakukan seorang Supreme Guardian, di depan toko bunga Eversummer Florist? Dengan pakaian santai tentunya. Tetapi yah memang apa salahnya dirinya—seorang Supreme Guardian, terlihat sedang menikmati hari liburnya—sebagai Bronya Rand.

Kegugupannya sirna digantinya senyum yang merekah manakala kedua netranya menangkap siluet orang yang sendari tadi ia tunggu. Entah mengapa dirinya semakin berseri, melihat sosok Dan heng yang juga sedang menuju ke arahnya berpenampilan santai—bukan sebagai seorang perintis, the Nameless, ataupun Trailbllazer, melainkan seorang Dan Heng.

———

“Maaf membuatmu menunggu lama, Bronya,”

“Ah! Tidak kok!”

Lelaki di hadapannya tersebut diam memperhatikannya, menatapnya seksama membuatnya entah kenapa semakin gugup dilihat dengan begitu lekat dan juga dekat.

“Apa… ada yang salah?” tanyanya ragu-ragu, Dan heng pun menggelengkan kepalanya. “Tidak, kamu… terlihat cukup berbeda,”

Entah mengapa pernyataan Dan heng tersebut membuat Bronya salah tingkah (dan juga kaprah) mengerti maksud ucapannya yang bisa saja bermaksud negatif, Dan heng pun cepat-cepat meralatnya.

“Tidak, maksudku bukan seperti itu! Aku jarang melihatmu berpenampilannsantai seperti ini, cocok kok, lebih fresh dilihat,”

“Ah? Syukurlah jika seperti itu… Sebenarnya…, aku merasa sedikit tidak percaya diri… tapi Pela yang menyuruhkan untuk sedikit ‘berdandan’”, ujar Bronya, sedikit menekankan pada kata berdandannya, matanya sendari tadi sibuk emlihat kesana kemari, menggan menatap kearah dua pasang netra safir tersebut. Dan heng pun tersenyum simpul.

“Benarkah? Kalau begitu aku harus berterima kasih kepada nona Pela, aku merasa sedikit spesial karena bisa melihat Supreme Guardian seperti ini,”

“Ugh… berhenti mengangguku…” gerutu gadis tersebut yang sukses mencairkan tawa hangat dan renyah lelaki di hadapannya yang selalu berekspresi dingin layaknya kota Belobog. Bronya tersenyum simpul hatinya pun ikut menghangat.

“Mau kemana sekarang?” tanya Bronya, sedikit khawatir jikalau mereka terlalu lama berbincang di Administrative District. Walau Bronya suka menghabiskan waktu dengan Dan heng tapi tujuan mereka kali ini adalah melihat wajah lain dari Belobog, jadi ia tidak ingin menghabiskan waktu terlalu lama di satu tempat.

“Heum… aku tidak tau, di sini kamu lah tour guide-nya, aku akan mengikuti kemana pun kamu pergi. Jadi mohon bantuannya,”

———

“Jadi seperti ini pemandangan bukit di sebelah utara kota Belobog, selama ini aku hanya melihatnya dari peta,” ujar Dan heng terkesima. Mata safir tersebut sendari tadi tidak dapat berbohong, binar kekagumannya memancarkan ketakjuban pada bentang alam bersalju milik Belobog, membuat Bronya pun tersenyum simpul.

“Iya, aku baca di buku sejarah Belobog, dulunya bukit ini lebih indah dengan padang rumput sabana, pepohonan, dan juga bunga-bunga indah. Sayangnya, karena kebekuan abadi semuanya menjadi layu, menyisakan salju sejauh mata memandang,”

Dan heng menolehkan pandangannya ke arah Bronya, gadis itu tampak murung. Dirinya mengerti, betapa gadis itu juga ingin melihat indah serta hijaunta permadani alam Belobog hanya saja karena Stellaron semuanya seketika musnah dan lenyap.

“Ah! Maaf! Aku tiba-tiba murung, bukan berarti aku tidak meyukai musim dingin, hanya saja kalau musim semi kita bisa melihat bunga-bunga bermekaran dan apabila kita beruntung kita dapat melihat padang Ball Peony yang dipenuhi oleh bunga-bunga berwarna merah muda. Sayangnya kondisi sekarang membuat kita hanya bisa melihatnya sekali dalam setahun…”

“Kalau aku pribadi lebih menyukai musim dingin dibanding musim semi,”

Bronya menolehkan pandangannya ke arah Dan heng. Lelaki itu terlihat masih menikmati bentang permadani putih di hadapannya. Tatapannya penuh kelembutan namun di satu sisi seperti memandang jauh ke arah sesuatu yang tak dapat digapainya.

“Paling tidak aku bisa menikmati waktuku dengan orang yang aku sayangi selama musim dingin,” ujar lelaki tersebut.

Bronya tidak mengerti. Namun yang jelas seutas senyum simpul yang terukir manis di wajahnya adalah sebuah tanda bahwa dirinya setuju. Tidak ada yang salah dari menghabiskan waktu dengan orang yang disayang.

“Yah…, kamu benar,”

———

“Hup!”

Disambutnya uluran tangan sang lelaki, dengan hati-hati kakinya pun mencari-cari pijakan tanah bersalju untuk tempatnya berdiri.

Dan heng mengajaknya untuk turun sedikit ke lereng, mencari spot bagus untuk mengambil sebuah foto kenang-kenangan.

“Woah! Indahnya…”

Berbeda dari di atas sana, lereng di sini dipenuhi oleh pemandangan belukar yang layu. Meskipun demikian tetap indah di pandang mata di tengah-tengah padang salju yang membentang.

“Wah! Lihat!”

Dan heng menoleh ke arah kemana jemari lentik itu mengarah, beberapa kuntup bunga Ball Poeny bermekaran tidak jauh dari semak berlukar yang mulai berguguran. Indah, warnanya cukup kontras ditengah permadani salju tempat mereka berpijak.

Sepasang netra kelabu tersebut berpijar dengan sorot penuh kekaguman, tanpa sadar menciptakan seutas simpul samar di paras rupawannya. Di tengah dibginnya Belobog entah mengapa dalam dirinya seakan menghangat layaknya menyambut musim semi yang baru saja tiba.

Jemari lentik sang gadis itu pun terulur, memetik satu buah tangkai dan menyelipkannya di balik telinganya, “Bagaimana menurutmu?” tanyanya.

Dan heng pun mengeluarkan kameranya, ia mundur selangkah dan kemudian mengabadikan potret indah milik sang gadis, “Cantik,” komentarnya.

“He he he, iya kan?” Gadis itu menolehkan pandangannya ke arah Dan heng, mendapati sang lelaki tengah tersenyum simpul ke arahnya, sebuah senyum yang bahkan tidak dapat ia artikan… membuatnya sedikit salah tingkah.

Mengerti akan kecanggungan antara satu sama lain, Dan heng pun dengan segera menyerahkan satu buah foto yang berhasil ia tangkap. Sebuah potret Bronya dengan pemandangan bukit bersalju Belobog di belakangnya dengan gugur daun yang mulai kecokelatan dengan sebuah Ball Peony cantik yang baru bermekaran bertengger di kuping sang gadis. Begitu serasi dengan paras lembut wanita nomor satu di Belobog tersebut.

“Wah… cantik sekali…” ujar Bronya tanpa sadar… seakan memuji dirinya sendiri dengan cepat ia menjelaskan maksud ucapannya, “Ah! Aku tidak bermaksud narsis! Maksud aku foto yang kamu ambil cantik sekali!”

“Tapi kamu juga cantik kok di foto ini,”

“Ah…? Terima kasih…” balas sang gadis kikuk, satu ide kecil pun melintas di pikirnya. “Boleh aku pinjam kameramu sebentar?”

Meski kebingungan Dan heng tetap menyerahkan kameranya pada uluran tangan sang gadis. Mengikuti setiap kemauan sang gadis yang juga menyuruhnya untuk memegang setangkai bunga Ball Peony tersebut.

“Satu… dua… tiga…!”

Klik

Selembar foto pun keluar dari kamera polaroid tersebut, menampilkan potret sisi samping Dan heng yang tersenyum hangat sembari memegang bunga Ball Peony tersebut. Gadis itu tersenyum simpul, diambilnya potret diri Dan heng dari lelaki tersebut dan ia tukar dengan potret diriny sendiri.

“Anggap saja foto dan Ball Peony ini adalah kenang-kenangan dari Belobog!”

Dipandangnya potret milik Bronya dan setangkai bunga Ball Peony tersebut berulang kali sebelum kemudian memandang ke arah gadis di hadapannya.

“Terima kasih, akan aku jaga selalu… wajah belobog ini…” ujarnya sembari tersenyum.

———

Dalam ruang arsip tersebut ia pandangi selalu setangkai bunga Ball Peony yang telah ia masukkan ke dalam pot berisi air, tidak jaub dari pot tersebut terdapat selembar foto seorang gadis cantik tengah tersenyum dengan Ball Peony yang terselip diantara telinganya

Beberapa arsir pena penghiasi pojok kiri bawah foto tersebut

Wajah Belobog 2157 AE, December 25th A promise to return back

———

Gadis itu meletakkan selembar foto lelaki yang tengah tersenyum hangat sembari memandang setangkai bunga Ball Peony yang baru saja bermekaran di bawah figura foto keluarganya

Gadis itu pun beranjak ke atas tempat tidurnya, membaringkan diri dan membiarkannya terlelap ke dalam alam mimpi

Wajah Belobog 2157 AE, December 25th A promise to wait your departure

———

Dan heng pun menutup bukunya tepat setelah dirinya mengakhiri ceritanya, ditolehkannya kembali pandangnya kepada gadis bersurai kelabu di hadapannya. Sorot iba pun terpancar dari dua pasang netra yang senada dengan rambut sang gadis.

“Ada apa?” tanyanya.

Bukankah tadi sang gadis yang memintanya diceritakan kisah-kisah perjalanan luar angkasa? Lalu mengapa sorot mata sang puan itu pun seperti dirudung pilu? Layaknya ada awan gelap yang menghalangi sinarnya.

“Dulu…, aku selalu mengira luar angkasa itu indah… tapi ternyata hanya berisi kehampaan ya…?”

Keheningan seketika menyeruak diantara dua insan tersebut, “Kenapa?” tanya Dan heng.

“Dari penjelasanmu… seakan ruang angkasa hanyalah kekosongan semata… terlepas dari indahnya panorama yang terlihat dari bawah sini… di atas sana nyatanya hanya berisi kehampaan…,”

Gadis bersurai abu tersebut menghentikan kalimatnya sejenak, sebelum melanjutkan, “Apa kamu tidak merasa kesepian selama di luar angkasa?” tanyanya.

“Ah… maaf kalau tidak sopan…”

“Tidak apa-apa.. aku tidak tersinggung sama sekali,” ujar sang lelaki. “Aku paham perasaanmu,”

Pandangan sepasang netra biru safir tersebut seakan menerawang, ke arah sesuatu yang sangat jauh tak terjangkau namun penuh akan kerinduan. “Yah…, saat aku memandang ke arah jendela parlor, yang aku lihat hanyalah permadani hitam… pekat… tidak ada apa-apa,”

Lelaki itu pun melanjutkan, bahwa agar dirinya tidak lupa ataumerasa hampa dia selalu membaca ulang arsip-arsip dengan foto-foto planet yang mereka kunjungi sembari sesekali membayangkan hiruk pikuk pasar atau teranam lampu taman.

“Setelah semua perintisanmu selesai…, apakah ada tempat yang ingin kamu tuju?”

Dan heng pun menggelengkan kepalanya pelan. Seutas senyum tipis terbentuk di wajah rupawan lelaki tersebut, tetapi alih-alih kebahagiaan yang Bronya lihat hanyalah pancaran kesedihan.

“Tidak tau…, aku tidak tau kemana tujuanku atau bahkan tempatku untuk pulang,”

Karena apa yang aku anggap rumah pun telah tiada

Keheningan kembali meyeruak, kesedihan lelaki dihadapannya membua sang gadis ikut merasakan sesak dalam dadanya. Di hadapannya terlihat Dan heng yang enggan menangkatkan pandangannya dari lembar buku sejarah Belobog yang menampilkan bentang alam hijau planet dengan kebekuan abadi tersebut. Bronya tau, walau pandangan lelaki itu tertuju pada buku tersebut tapi fokusnya entah melayang ke suatu hal yang teramat sangat jauh.

“Kalau begitu, kamu dapat kembali lagi ke Jarilo-VI. Aku akan menunggumu,” ujarnya.

Satu kekehan lembut pun lepas dari sosok sang jaka, Bronya sedang tidak bercanda lalu kenapa lelaki itu tertawa?

“Butuh 700 tahun lagi agak parlor kembali ke planet ini,”

“Tidak apa-apa, aku akan menunggumu untuk pulang ke Jarilo-VI”

Sore itu, mereka menghabiskan lebih banyak waktu untuk diam alih-alih membicarakan luar angkasa. Akan tetapi, di lubuk hati terdalam milik Dan heng, lelaki itu mengucapkan terima kasih yang teramat tulus.

🍀🍀🍀

Deru decit roda pagar Nahida yang sekiranya perlu dikasih pelumas kembali sedikit memekakan, dengan tangan kecilnya susah payah mendorong pagar besi tersebut. Dari sedikit celah yang ia ciptakan, Nahida mengintip dan menemukan sosok Haitham tengah berdiri di luar sana.

Dua sejoli tersebut saling terdiam, tak bersuara, bahkan Nahida pun tak menyuruh lelaki tersebut masuk ataupun Haitham yang kemudian mengajak Nahida keluar. Sampai ketika Nahida angkat bixara terlebih dahulu.

“Aku kan udah bilang ngga usah kesini… aku… lagi gamau ketemu orang…,”

“Iya, tau, aku cuma khawatir aja,”

Jelas lelaki itu acuh yang seketika membuat Nahida kebingungan, khawatir gimana?

“Takutnya ada yang tiba-tiba nangis,”

Jujur saja, Nahida sedikit tersinggung, “Aku ngga nangisan!”

“Iya, tau, makanya aku ngecek kesini takutnya kenapa-napa,”

Dan jawaban Haitham tidak membawamya ke mana-mana, justru semakin jauh dari jawaban, menyisakan beragam tanya.

“Terus…, mau ngapain? Aku juga bakalan nolak kalo kamu ajak…,”

Haitham tidak menjawab, lelaki itu pun seketika menyodorkan satu kantong kresek penuh berisi jajanan, belum sempet Nahida membukanya atau berterima kasih lelaki itu pergi begitu saja.

“Kalau Nilou lagi sedih atau galau dia paling suka dibeliin jajan. Semoga kamu jadi mendingan dengan begitu juga, aku pergi dulu ya mau main basket sama yang lain,”

🍀🍀🍀

———

Wanita anggun bersurai merah tersebut memasuki kediamannya dengan hati-hati, penuh kewaspadaan. Tangan kanannya terangkat membawa sepatu heels miliknya, sambil berjalan pelan-pelan. Genggamannya pada sepatunya semakin kuat, tanpa sadar membuat buku-buku kukunya memutih.

Wanita tersebut semakin waspada, sangat telinganya menangkap suara yang cukup mencurigakan… sampai akhirnya alunan piano dari lagu favoritnya itu menyapa pendengarannya. Pegerakan Himeko pun terpaku, berfokus pada suara yang ada, takut apabila dirinya berhalusinasi.

Wanita tersebut dapat mendengar suara pintu perdecit dari kamar tidurnya, kedua netra semerah delima itu menangkap pihar cahaya dari lilin-lilin kecil serta senandung merdu suara sang suami.

So as long as i live i love you *Will have and hold you You look so beautiful in white

Itu adalah lagu favoritnya, lagu yang diputar saat mereka pertama kali bertemu di malam pesta acara keluarga serta kolega bisnis keluarga Yang, serta lagu yang dinyanyikan oleh Welt di hari pernikahan mereka.

Remang cahaya lilin tersebut memantulkan, memperlihatkan wajah Welt yang tetap tampan terlepas kerutan yang telah mulai nampak. Dari tempatnya berdiri ia dapat melihat seutas senyum sang lelaki yang selalu sukses membuatnya tersipu layaknya gadis tengah jatuh hati. Semyum manis yang memperlihatkan lesung pipi dengan malu-malu.

“Selamat hari ulang tahun pernikahan ya mami…” ujar Welt yang tanpa Himeko sadari telah berdiri dihadapannya, memegang sebuah kue tart kecil dengan ornamen mereka berdua saat menikah dulu.

“Papi…”

“Kalo mau meluk sama cium papi tolong heels-nya diturunin ya mami… nanti mata papi kecolok kan ga lucu,”

Suasana haru itupun dilengkapi dengan kehangatan gurau dari tawa kecil Himeko. Ia menurunkan tangan kanannya, meletakkan sepatu heels-nya ke lantai sebelum kemudian meniup pelan lilin di atas kue tersebut.

Himeko pun berhambur ke arah Welt, memeluk lelakinya dan menghujaminya dengan ciuman mesra penuh kehangatan di kedua sisi pipi suaminya sebelum diakhiri dengan sebuah ciuaman panjang di bibir.

“Selamat hari ulang tahun pernikahan, suamiku sayang…”

🍀🍀🍀

“Kak,”

Gadis mungil tersebut mengintip dengan malu-malu dari balik pintu kamar sang kakak. Rukkhadevata yang tengah merangkai bunga pun seketika menoleh ke arah sumber suara, dengan senyum lembut terpatri di paras ayunya ia menyuruh Nahida untuk masuk.

Dengan manut sang adik pun memasuki kamar sang kakak, megambil duduk di kasur empik berukuran queen size tersebut sebelum kemudian membaringkan badannya di sana. Ia menghela nafas pelan yang sukses membuat sang kakak mengalihkan fokusnya dari rangkaian bunga indah di hadapannya.

Jarang sekali pikirnya mendengar adik ya sampai menghela nafas seperti itu.

“Kamu kenapa? Diputusin Haitham?”

“SEMBARANGAN!”

Jeda sejenak sebelum Nahida melanjutkan dengan lirih, “…pacaran aja engga…,”

Tingkah malu-malu salah tingkah dan penuh harap samg adik sontak menjadi hiburan tersendiri bagi Rukkhadevata, mengingatkannya pada masa SMAnya yang penuh kisah akan kasih.

“Terus kenapa? Kamu tiba-tiba dateng ke kakakmu pasti ada sesuatu,”

Gadis mungil tersebut kembali menghela nafas—kali ini lebih keras dari sebelumnya, sang kakak pun memutar posisi duduknya untuk menghadap ke arah Nahida yang masuh terbaring tak bersemangat di kasurnya.

“Adek udah disuruh pilih jurusan kuliah kak…,”

“Heem, terus?”

Ingin rasanya Nahida mendecih, masa kakaknya tidak mengerti maksud pembicaraannya?

“Ya ga terus sih…, cuma aku bingung mau isi apa, dulu kak Rukkha gimana pas disuruh milih jurusan kuliah?”

Satu tawa renyah meluncur begitu saja dari bibir tipis Rukkhadevata setelah ia mendengar pertanyaan Nahida, baginya pertanyaan tersebut begitu lucu nan lugu, mengingatkan dirinya saat SMA dulu.

“Ih kok ketawa sih? Adek serius tau!”

“Iya iya, maaf tapi kakak cuma keinget dulu masa SMA juga sana bingungnya kayak kamu terus nanya ke mama papa dan jawabannya cuma suruh milih jurusan yang kakak mau untuk mengejar cita-cita,”

Penjelasan Rukkhadevata masih membingungkannya, layaknya berada dalam sebuah ruangan gelap, penjelasan sang kakak layaknya remang cahaya lampu. Membantunya sedikit namun bukan sebuah jalan keluat yang ia cari.

Yang dia mau dan inginkan ya? Tapi sebenarnya apa cita-citanya jika selama ini dia bercita-cita ingin menjadi seperti kakaknya?

“Apa adek ambil Agrikultur aja ya kak? Biar kayak kak Rukkha,” celotehnya yang seketika membuahkan sentilan kecil di dahinya dari sang kakak.

“Kok ngikutin kakak? Kan kamu yang mau kuliah, jurusan kuliah ini mememtukan banget masa depanmu nanti gimana loh dek jangan karena dulu kakak kuliah Agrikultur terus kamu ikutan,” omel sang kakak.

Pernyataan Rukkhadevata justru tidak membantu Nahida, dirinya semakin kebingungan dan tidak mengerti. Dia dari awal menjadikan sang kakak sebagai tolok ukur pencapaiannya. Ia ingin menjadi Rukkhadevata, lalu salahkah dirinya jika mengambil jurusan sama seperti kakaknya?

🍀🍀🍀

Pijar lampu dalam diri Mahida semakin remang, membuatnya semakin hilang dalam kegelapan

🍀🍀🍀

🍀🍀🍀

“Teman-teman, tolong dengeriiin,”

“WOY ANJENG DENGERIN AETHER MAU NGOMONG!”

Seketika seluruh kegaduhan dan ricuh di ruang kelas terhenti mana kala Cyno berteriak meminta seluruh warga kelas menaruh atensi pda sang ketua kelas. Lelaki berkulit gelap itu pun berterima kasih kepada teman-temannya, “Nah gini dong, oke makasi guys gue mau makan pop mie dengan tenang”

“Ngehe banget lu gue slepet lama-lama,” canda Aether seakan hendak menyikut teman sekelasnya itu—sementara Cyno pun hanya nyengir kuda dibuatnya.

“Oke jadi gengs, kemarin kan kita udah ngelist buat mau pilih ujian apa buat UT, nah tadi ketua kelas dipanggil ke BK buat sosialisasi STPTN dan katanya kepala sekolah minggu depan paling lambat kita kumpulin list kampus tujuan, jurusan, sama input nilainya.”

Penjelasan Aether tersebut tentu saja sontak menghadirkan bisik-bisik penuh cemas dan Nahida pun merasa demikian walau wajahnya tampak datar dan tenang.

Pikirannya serta hatinya nampak gundah, mau ambil jurusan apa dia nantinya? Mau daftar dimana? Dan lain sebagainya. Tidak disangka momen seperti ini membuatnya dilema…

🍀🍀🍀

Gundah kelas seakan tak dapat membuat dirinya terusik yang sendari tadi telah tenggelam dalam belengu lamunannya semdiri. Bahkan sang sahabat, Nilou, pun diabaikannya, membuat gadis periang tersebut mundur begitu saja, membiarkan Nahida larut dalam pikirannya sendiri.

satu arsir, dua arsir

Sudah berapa lama Nahida tidak terlarut dalam lamunannya sendiri? Apa dirinya terlalu terlena akan kebahagian serta euforia akhirnya dapat lebih dekat dengan sang pujaan hati?

tiga arsir, empat arsir, semakin tebal, semakin pekat

Sudah berapa lama? Sejak ia menyentuh halaman belakang bukunya yang penuh akan guratan arsir pensil bergambar dedaunan yang perlahan memudar?

Pada halaman yang sama ia torehkan gambaran bunga-bunga tak beraturan, begitu kusut dan saling menumpuk dengan gambar yang ada. Pikir serta batinnya ruwet ia hanya ingin menjernihkan pikirannya tetapi kenapa semuanya justru semakin memuakkan?

Ctak

Arang pensilnya itu pun terpatah karena dirinya begitu kuat mengarsir, menyisakan serpihan hitam di atas kertas putih yang telah mengusam dan bisa saja sobek karena luapan emosi yang ia torehkan, Nahida mendecih.

🍀🍀🍀

Nahida merasa dilema, ia kalut akan ketakutannya tersendiri

———

Stelle hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat tingkah kegirangan sang kekasih. Sudah hampir setengah jam lelaki bongsor itu berteriak di lapangan FST, memamerkan bunga yang ia berikan seakan easa lelah sepulang KKN-nya telah terhapus begitu saja.

Badan L-Men tapi kelakuan mamipoko

Apakah Stelle malu? Tentu saja tidak, justru dirinya begitu senang melihat tingkah kekanak-kanakan kekasihnya itu. Membuat sang kekasih terlihat sedikit manusiawi terlepas label sempurna dan garang yang diberikan oleh orang-orang. Nyatanya Gepard cuma lelaki biasa yang bisa kegirangan hanya pekara hadiah kecil.

“Hah… haaaah… udah ah capek, suaraku udah serak,” keluh Gepard membuat Stelle menggelengkan kepalanya heran sembari berkecak pinggang, “Siapa suruh teriak-teriak?”

“Biar semesta tau yang kalo aku abis dikasih bunga sama kamu,”

Dan Stelle tidak mau berdebat tak penting dengan kekasihnya itu, ia pun hanya mengiyakan.

“Ayo sini duduk, kamu ga capek apa? Kan baru pulang KKN,”

Seketika lelaki bersurai pirang pun lelah dan pegal tubuhnya kembali, dirinya terlalu larut sama euforia semata namun tak apa karena rasa senangnya itu disebabkan oleh perhatian gadis kesayangannya.

Gepard pun mengambil duduk di sebelah Stelle yang telah mengulutkan sebotol air mineral yang seketika ditengkak oleh lelaki tersebut. Melihat bulir keringat di kening sang kekasih, Stelle pun dengan sigap menyalakan AC mobil milik Gepard dan mengipasi pacarnya itu.

“Kamu kok tiba-tiba ngide ngasih bunga itu kenapa yang?” tanya Gepard.

Gadis itu terdiam sejenak dari kegiatannya, sedikit berpikir sebelum menjawab, “Ya gapapa, kamu abis pulang KKN pengen aja ngasih kado,”

“Iyaaa tauuu makasi yaaa cuma kenapa kepikiran bunga? Kan biasanya ngado cowo tuh kalo ga jam ya dompet atau sepatu,” ujar Gepard gemas sembari mencubit pipi Stelle, pacarnya ini memang tidak bisa berbasa-basi dan harus dijelaskan maksud kalimatnya sejelas mungkin.

“Waktu itu aku sempet nanya ke March sama Danheng, buat bantu pilihin kado, March nyaranin dompet terus Danheng nyaranin bunga,”

“Aku waktu itu juga heran dan nanya hal yang sama ke dia kayak kamu sekarang, ‘kenapa bunga?’ tapi dia bilang, ‘apa salahnya ngasih cowo bunga?” gitu,” jelas Stelle sembari menirukan nada bicara Danheng yang selalu datar seakan tak bersemangat.

Benar juga, apa salahnya memberikan lelaki hadiah bunga kan? Hal itu wajar hanya saja stereotipe masyarakat yang membuat laki-lali seakan tidak pantas mendapat hadiah berupa barang indah dan feminin.

“Kamu KKN bentar kok bahasanya udah anak sospol banget?” tanya Stelle. Astaga! Ternyata sendari tadi dia menyuarakan ujaran hatinya yang seharusnya menjadi monolog layaknya di sinetron-sinetron!

“Maklum yang, pas KKN sering sosialisasi makanya jiwa-jiwa sospolnya keluar,”

“Eh btw, ini Danheng Danheng yang lagi deketin Bronya itu ya?”

“Iya, yang deketin mantan kamu,”

OHO! Seketika senyum jahil terukir di paras tampan milik Gepard, membuat Stelle bergidik ngeri namun juga kebingungan.

“Kenapa wajahmu nyebelin deh kayak Anya woku-woku?”

“Kamu cemburu ya yang?”

“Apaan deh, engga!”

“Hayooo udah ngaku ajaa, Bronya emang mantan aku tapi kan kamu pacar akuuu kamu cemburu yaa,”

“Ih?? Pede banget!”

Dan gelak tawa penuh kerinduan memenuhi mobil sedan milik Gepard. Stelle begitu merindukan momen mereka bersua, berceletuk, dan bersenda gurau. Hampir sebulan lamanya ia menahan rindu tidak menghabiskan waktu bersama sang kekasih membuatnya lebih dapat menghargai momen-momen seperti ini bersama Gepard.

———

“Yang mau kontrak di sinu ya? Kenalin gue Caelus,” ujarnya memperkenalkan diri sembari menjabat tangan dua lelaki yang telah tiba terlebih dahulu.

Caelus memperhatikan dengan seksama, yang tinggi itu bernama Childe atau Ajax atau Tartaglia—terserah mau ia panggil apa. Sedangkan lelaki yang lebih pendek bernama Kazuha. Ia menduga nama mereka tertukar karena seharusnya yang mungil lebih cocok dipanggil Childe dibandingkan dengan si bongsor.

“Ini yang username Danheng mana? Belum dateng kah?” tanya Caelus kepada Kazuha dan Childe.

“Udah gue chat sih tadi katanya tunggu bentar,”

“Ini beneran kita ga tipu kan? Kan banyak tuh di thread twitter yang beginian pas udah dateng ternyata jadi tumbal,”

“Kan udah gue bilang gue kalo jadi dukun pun bakalan nolak kalo tumbalnya modelan lo,”

Ketiga lelaki itu seketika menoleh ke arah sumber suara, mendapati sesosok lelaki yang tengah membukakan pagar dengan mengenalan kaos oblong putih bercelana training tak lupa dengan sandal jepitnya.

Wajahnya terlihat lesu dengan kantong mata menghitam di wajahnya. Tanpa perlu repot-repot menduga terlihat jelas di wajah lelaki tersebut bahwa dirinya kurang tidur.

“Gue Danheng, ayo masuk aja, umi abi udah nunggu di dalam,” ujarnya sebelum seketika meninggalkan Childe, Kazuha, dan juga Caelus.

Ketiga lelaki itu saling beradu pandang, ternyata fasilitas lengkap dan apik pun tak dapat menyembuhkan penyakit insomnia dan kurang tidur yang dimiliki oleh mahasiswa…

———

“Oh? Jadi ini yang kemarin cari kontrakan?”

“Iya tante, eh ibu—eh kakaknya—eh mommy?”

Kazuha pun seketika menyikut perut Childe sementara Danheng yang melihat kelakuan ‘calon’ teman kosnya itu mendengus sebal. Mendengar celetukan asal Childe tersebut membuat Himeko tertawa ringan,senang rasanya jika bertemu anak muda seperti ini dan menganggapnya masih muda.

“Childe sukanya yang tante-tante seperti saya?” goda Himeko membuat Danheng semakin menggelengkan kepalanya heran.

“Eh? Oh! Kalo tantenya macam tante Himeko saya mau! Masih cantik dan awet muda kok!”

Tawa Himeko semakin renyah—Childe sepertinya tau bagaimana cara ‘menjilat’ dan menyenangkan hati orang tua. Sementara Caelus, Kazuha, dan Danheng hanya bisa menggelengkan kepala dengan sifat badak Childe barusan. Semoga suami Himeko tidak tiba-tiba membegal Childe ataupun mengajaknya sparring dalam tanda kutip.

“Jadi gimana? Childe, Kazuha, sama Caelus, tertarik ngga buat ngontrak di sini setelah keliling tadi?”

Ketiga jejaka itu saling bertukar pandang satu sama lain. Jika boleh jujur semua fasilitas kontrakan begitu teramat sangat baik. Akan tetapi, Caelus masih tetap pada pendiriannya, dirinya masih menyimpan prasangka buruk takut akan dijadikan tumbal pesugihan atau bahkan rahasia awet muda wanita di hadapannya itu.

“Caelus takut saya jadikan tumbal pesugihan ya?”

“Eh?!”

Wajah lelaki itu seketika bersemu merah layaknya kepiting rebus—berupaya menahan malu karena sudah ketahuan. Seketika ia melayangkan tatapan tajam ke arah Danheng yang terlihat acuh dan mengabaikan tatapannya—wajahnya seakan mengejek.

“Ahahaha! Gapapa gapapa wajar kok karena harganya murah banget tapi jujur saya sama suami saya ga masalah karena cuma ingin rumah ini ramai saja! Saya sama suami sudah hampir dua puluh tahun menikah tetapi tudak dikaruniai anak, jadinya bikin kontrakan biar bisa ngerasain rumah ramai karena anak-anak,” ujar Himeko, Caelus pun merasa sedikit bersalah.

Danheng menghela nafas pelan, “Umi…”

“Hehehe iya Danheng, umi gapapa… jadi gimana? Tertarik ambil kontrakan ini?”

———