Jatuh Suka
———
Neuvillette hanya ingin terus seperti ini. Dengannya, dengan sosok yang ia suka.
———
Matanya sendari tadi sibuk mencari, pusat dunia yang seakan sengaja menhilang dari pandangan. Namun, dengan radarnya yang sudah terbiasa akan presensi kehadirannya—tak butuh waktu lama bagi Neuvillette untuk mendapati sosok sang gadis yang tengah duduk seorang diri di kursi berbusa pada halaman taman.
Ia terpesona dengan keteguhan hati sang gadis, bagaimana sosok ya tetap mampu bersinar di tengah kesendirian, menikmati diri sendiri. Seutas senyum terpatri jelas di paras yang orang bilang tak pernah ramah. Hanya dengan sang gadis ia dapat tersenyum begitu tulus.
“Boleh aku duduk di sampingmu?”
“Kak Neuvillette? Halo! Boleh banget kok duduk aja!”
Sebuah senyum hangat nan ramah menyambut dirinya. Bagaimana mata bulat itu seketika menghilang dan membentuk dua lengkung sabit di sana. Neuvillette pun memposisikan dirinya, duduk tepat di samping Navia yabg tengah menikmati hangatnya malam kebersamaan.
Disodorkannya segelas susu hangat yang ia ambil dari pantry dapur penginapan (sudah sengaja ia bawa) dan sang puan menatapnya penuh tanya, sebelum menerimanya dengan ragu-ragu.
“Udah malem, udaranya dingin,” jelasnya. Sang gadis pun menganggu dan menerima gelas yang masih mengepulkan uap panas.
“Kamu yang mersiapin makrab ini?” tanyanya, sang gadis pun tertawa jahil, “Hehehe, iya! Gimana kak? Suka? Lebih tepatnya aku jadi inisiator aja sih terus yang lainnya setuju yaudah deh!”
“Sebenernya kamu gausa repot-repot begini,”
“Gak repooot! Aku cuma ingin hari terakhir ini ada satu kenangan yang bisa dirayakan dan bikin, ‘oh dulu aku HIMA begini loh’ paling ngga jadi memori indah buat kita semua,”
Di bawah sinar lampu gantung teranam, ia dapat melihat bayabg senyum manis milik sang puan. Bibir tipis yang membentuk ujiran bulan sabit pada paras manisnya.
Dalam hati, Neuvillette ingin berkata bahwa dirinya tidak perlu seperti itu.
Karena menghabiskan waktu berdua dengannya sudah cukup baginya
Namun, melihat senyum tulus di wajah Navia membuat Neuvillette ikut merasakan senang, asalkan gadis itu senang, ia tidak masalah.
———
“AKU MAU NYANYI DONG!”
“Bwoleee”
Gadis mungil bersurai biru muda itu pun segera maju, mengambil microphone dati tangan Wriothesley yang baru saja bernyanyi. Dengan bantuan Childe selaku DJ (abal-abal) tanpa perlu menunggu lama, alunan musik mendayu dengan iringan gitar akustik pun terdengar, seketika semua orang pun berseru (mengeluh).
“KUKIRA MAU NYANYIIN LAGU TERNYATA KISAHKU”
“DEEEEEYM”
“Mohon masyarakat harap diam dan baru bernyanyi saat masuk reff ya,”
Tawa orang-orang pun pecah dan Furina pun mulai menyanyikan bait perbait lirik lagu Oceans and Engines. Neuvillette pun terkekeh kecil karena suasana malam keakraban hari ini. Kapan lagi dia dapat menikmati suasana hangat nan intim seperti ini. Hatinya pun turut menghangat.
“But, I’m letting go… I’m giving up your ghost”
“But don’t get me wrong… I’ll always love you, that’s why i wrote you this very last last song…,”
Neuvillette menolehkan kepalanya kala telinganya menangkap suara samar mendayu di deketnya. Navia, gadis sebelahnya tengah menatap ke arahnya, dengan pandangan yang tak ia mengerti.
Gadis itu tersenyum namun ia dapat melihat kerapuhan di sana. Mata biru itu pun kehilangan binarnya. Gadis itu pun semakin mengeratkan pelukannya kepada kedua lututnya yang ia tekuk.
“I guess whis is where we say… goodbye…”
Suara gadis itu semakin samar dan sedikit bergetar. Meski demikian, selayaknya seorang aktor yang tengah berakting gadis itu berusaha untuk tersenyum dan menikmati suasana syahdu malam ini dengan terus bernyanyi.
“Hehe lagunya sedih ya kak? Padahal cuma lagu tapi ternyata juga kisahku,”
“Navia… malam ini bukan berarti perpisahan dan kita ngga bisa ketemu lagi,”
Gadis itu menggeleng, seolah menyangkal apa yang dikatakan lelaki tersebut.
“Semua orang bakalan bilang gitu ngga sih? Pada akhirnya tetap jadi perpisahan karena kita punya pilihan masing-masing nanti kedepannya,”
“Navia…, kamu yang bilang kan malam ini bukan malam perpisahan… tapi perayaan buat kita semua,”
Cengkraman tangan gadis itu semakin erat, dapat dilihatnya kain rok yang ia kenakan semakin lusut karena digenggam begitu kuat. Gadis itu kembali menggeleng. Namun, kali ini tidak mengatakan apa-apa. Itu adalah pilihannya, perpisahan.
“Kalau memang setiap orang punya pilihannya masing-masing. Aku bakalan milih buat begini terus… sama kamu,”
Gadis bersurai pirang tersebut terkekeh kecil, mendengar pernyataannya, layaknya sebuah lelucon umum yang sering kali ia dengar.
“Aku mau terus sama kamu dan nikmati waktu kita bersama Navia,”
“Kita masih bisa sering ketemu kok kak,”
“Aku suka sama kamu,”
“Aku juga suka kak Neuvillette sama kakak-kakak HIMA lainnya,”
Neuvillette menghela nafas berat, keras kepala batinnya. Namun, mungkin itu pula yang membuatnya jatuh hati. Sama seperti bagaimana Navia yang keras kepala mendekatinya untuk terus mengobrol walau dirinya tau bahwa ia bukan orang yang ramah ataupun menyenangkan untuk diajak bicara.
Sekarang dirinyalah yang harus keras kepala, sebelum ia kehilangan gadis yang ada di hadapannya, untuk kedepannya.
“Navia, aku suka sama kamu,” ucapnya mantap.
Ia dapat melihat gadis di hadapannya menatapnya tak percaya dengan sepasang netra yang membulat.
———
Dan Neuvillette pun nyatanya telah benar-benar jatuh suka akan sosoknya.