komoyi

just me and my loving komori hours, heavily post sunakomo

———

Comission by @mashedpottatooo

Songfic: Nala – Tulus

Sunakomo, Suna x Komori, romance, hurt

———

Tentang Suna, yang begitu mengantisipasi hingga dipatahkan ekspetasi.

———

Tentang Suna dan hati yang sedang berbunga Malam nanti ada janji yang ditunggunya

Dalam hidupnya, tak pernah dirinya merasa seberbunga ini. Bukan tanpa alasan, malam ini adalah malam yang ia tunggu. Mimpi dirinya yang kemudian menjadi kenyataan, dapat berjanji dengan sang pemikat hati.

Hidup Suna tak pernah berwarna maupun berbunga, jadi bukanlah alasan aneh mengapa dirinya sangat berdebar menunggu malam ini. Hari yang sudah dinantinya tepat setelah dirinya memberanikan diri mengajak sang pujaan hati pergi menonton bioskop di tengah kota.

———

Dipilihnya baju terpantas dan bergaya Tak sabarnya, ingin segera malam tiba

Dua jam lamanya Suna berdiri di depan sang cermin, kamarnya layaknya kapal pecah—dua jam lamanya ia memilih baju terpantas dan bergaya, demi kesan dan impresi dari yang dicinta.

Pukul tujuh malam masih lah lama. Namun jangan salahkan dirinya ia merasa tak sabar untuk segera bertemu yang ditunggu—Komori Motoya, sang tambatan hati.

Ia pandangi lagi dirinya tepat di pantulan cermin di depan sana—dengan setelan necis dan rambut klimis. Tersenyum puas terhadap sosok tampan nan rupawan yang ia lihat saat ini. Ia berharap Komori menyukai penampilannya saat ini.

———

Tujuh tepat, pesan singkat diterimanya Kabar dari yang ditunggu jadi tak bisa Tak bisa bertemu

Seutas senyum seketika merekah di wajah yang telah lama sumringah. Satu denting telpon yang sukses memecahkan lamun dan penantiannya, dengan sigap ia bangkit dari tidurnya dan membuka satu pesan singkat yang ditunggu darinya.

Senyum sumringah itu seketika pudar, berganti dengan wajah tertekuk bermuram durja. Sang kasih baru saja mengatakan bahwa dirinya tak bisa datang. Lantas, untuk apa penantiannya selama ini?

Maaf Suna, karena harus membatalkan janji kita.

———

Lama Suna merasa sulit disuka Bagi Suna, malam ini istimewa

Suna menghela nafas pelan, sedih, kecewa, semua perasaan membiru pilu itupun menjadi satu. Tapi dirinya bisa apa? Memaksa Komori untuk tetap tinggal dan menetapi janji mereka? Itu omong kosong.

Dirinya pada Komori bukanlah ‘apa-apa’. Lantas untuk apa ia meminta segalanya?

Sering kali Suna berandai, seperti apa rasanya dicinta? Sering kali Suna bertanya, bagaimana indahnya memadu kasih? Sering kali pula Suna mendamba indahnya mengecap rasa.

Dirinya pun kembali menghela nafas pelan.

Sedih dia kembali masuk kamarnya Tentang Suna dan kemurungan hatinya

———

Suna figur sederhana, tak ramai kelilingnya Sembilan dua lahirnya

Suna hanyalah figur sederhana—kalian boleh bilang dirinya merendah. Namun jika dibandingkan dengan teman-temannya, ia memanglah tak terlalu rupawan ataupun menarik.

Tepat di usianya yang saat ini telah menginjak kepala tiga, sepertinya benih cinta adalah hal mewah bagi dirinya untuk dikecap. Ia hanya ingin memadu rasa dan mengecap kasih—apakah itu terlalu mahal pintanya?

Hari besar baginya bila melihat benih cinta Bagi Suna itu langka

Suna sering kali bertanya kepada sang kawan—apakah dirinya tak menarik? Tentu saja sang teman tak ingin melihat sang kawan tenggelam dalam durja.

Tentu tidak, kamu menarik apa adanya Lantas mengapa sulit bagiku melihat benih cinta Mungkin saja benih tersebut belumlah tumbuh dan bermekaran

Suna sudahlah terlalu sabar—cinta adalah hal mewah baginya dan langka baginya mampu mencicipnya barang sedikit pun.

Komori adalah cintanya—benih yang selama ini ia tunggu untuk tumbuh dan mekar. Dari semua penantian panjang tentu Suna ingin sengera mengecapnya—indahnya kasih dan saling memadu kisah.

Lama Suna merasa sulit disuka Bagi Suna malam ini istimewa Sedih ia kembali masuk kamarnya Tentang Suna dan kemurungan hatinya

———

Tentang Suna yang begitu mengantisipasi sang kasih. Namun sayang dipatahkan sang ekspetasi yang terlalu tinggi.

Akan tetapi demi sang cinta ia tak ingin ratap mengalahkan harap yang sejak lama sudah ia miliki.

Lalu Suna mengirim singkat sebuah pesan kepadanya Suna bertanya,

———

Kapan ada waktu lain lagi?

———

Tentang Suna yang begitu mengantisipasi. Namun dipatahkan ekspetasi.

Harapnya terlalu tinggi. Maka, takkan pernah ia biarkan ratap mematahkan kisahnya dengan sang kasih.

🍀🍀🍀

Sendari tadi Nahida hanya diam termengu tepat di depan rumah besar dengan pagar kayu tinggi yang terbuka. Walaupun sang pemilik sudah memngizinkannya untuk langsung masuk saja namun dirinya masih merasa sungkan.

Dirinya pun merasa dilema, haruskah ia mengetuk pintu dan masuk? Atau menunggu sang pemilik rumah terlebih dahulu. Dalam lamunnya dirinya terkesiap kaget manakala seseorang menepuk pundaknha pelan.

“Temennya Haizen ya?”

Nahida memperhatian orang tersebut—perawakannya lebih ramping dari sang teman, tapi dirinya dapat menjamin seratus persen, tidak, bahkan seribu persen bahwa cetakan orang di hadapannya berasal dari satu ‘pabrik’ yang sama. Terlalu mirip.

Namun nama Haizen terlalu asing bagi telinga Nahida—dirinya harus memastikan terlebih dahulu.

“Haizen?”

Lawan bicaranya terkekeh kecil sembari menggumamkan sesuatu. Layaknya melupakan satu hal paling mendasar.

“Astaga maaf, maksud saya Haitham—adek temennya Haitham ya?”

Nahida mengangguk pelan—sedikit malu-malu. Dirinya sejujurnya sendari tadi masih menilai, serta menerka-nerka siapa sosok yang tengah berbincang di hadapannya itu.

Seorang yang berwajah layaknya pinang dibagi dua dengan Al Haitham. Hanya saja, air wajahnya lebih teduh dan ramah (bukan berarti Al Haitham tidak ramah, hanya saja sosok di depannya ini terlihat lebih hangat dan ceria). Rambutnya panjang, tergerai sepunggumg dan begitu lurus.

“Haitham udah bilang kalau teman-temannya bakalan datang, dia lagi siap-siap di taman belakang. Ayo-ayo bisa langsung masuk—oh iya! Perkenalkan, saya Su, kakaknya Haitham”

“Ah, nama saya Nahida kak Su,”

Lelaki itu tidak merespon, ia justru tertawa kecil. Tepat dibelakangnya, Nahida mengikutinya dengan langkah kecilnya. Kedua netra sehinau jelaganya itu terpesona melihat pemandangan arsitektur rumah milik Haitham.

Rumah bergaya post modern japan tersebut terlihat asri namun juga minimalis. Dengan padu pandan warna putih, cokelat, dan juga hijau yang sukses membuat dirinya terkesima.

“Hehe aku kaget loh pas Haitham bilang ngajak temennya ke rumah, soalnya anak itu tuh jarang ngajak temennya ke rumah—biasanya sih Kaveh suka mampir atau nginep tiba-tiba walaupun Haitham ngga pernah nawarin tapi aku senang kok kalau ternyata Haitham punya temen!” ujar Su riang. Dari penliaiannya singkat Nahida sudah bisa menduga bahwa sosok di depannya ini sangat menyayangi adiknya.

“Kakak berlebihan, aku tuh ngga se-ansos itu,”

Di hadapnnya Nahida mendapati sosok Haitham yang sepertinya baru saja dari halaman belakang. Lelaki itu terlihat begitu santai dengan kaos oblong abu-abu dan celana pendek berwarna putih.

“Udah jangan ngomong aneh-aneh nanti Nahida percaya kan kamu penjilat yang bagus” ledeknya, Nahida dapat melihat pura-pura memegang jantungnya, seakan sakit hati dengan ucapan sang adik.

Sedangkan Haitham langsung segera mengajak Nahida menuju taman belakang rumahnya. Nahida mengangguk, mengikuti langkah besar lelaki itu dan berpamitan dengan Su.

🍀🍀🍀

“Waaaaah…”

“Kamu kayaknya suka banget ya sampai daritadi bengong gitu”

Nahida cepat-cepat menutup mulutnya yang tanpa sadar menganga begitu lebar karena terpana akan cantiknya taman belakang rumah Haitham. Gerak gerik sang gadis seketika membuat Haitham terkekeh, malu, Nahida sangat malu.

Mereka tak berhenti, menyeberangi batu-batu artifisial sebelum akhirnya duduk di gazebo kayu di tengah-tengah kolam. Haitham menyuruhnya duduk di sebelahnya.

🍀🍀🍀

“Kamu suka ya sama desain rumahnya” tanya Haitham tiba-tiba, sepertinya lelaki itu mengajaknya berbasa-basi dan Nahida pun mengangguknya.

“Iya, rumahnya adem sama minimalis, terus padu pandan warna coklat, putih, hijaunya serasi dan balance. Tamannya juga bagus! Walaupun tempatnya ga terlalu luas tapi tetep asri!”

“Haha, makasih, aku senang kalau ada yang suka karena rumah ini di desain sama kakakku yang pertama, kau tamannya, Kak Su yang urus”

“Eh beneran?”

Gadis itu menoleh ke arah Haitham, kedua pasang netra itu pun saling beradu pandang—begitu dekat dan juga lekat sebelum akhirnya lelaki itu mengangguk dan kembali menoleh ke arah depan.

Sunyi pun menyeruak di antara mereka, Nahida tidak terlalu menyukainya, sang gadis pun berusaha mencari topik pembicaraan lainnya.

“Uhm… Haitham aku mau nanya boleh? Agak personal sih…”

Lelaki itu kembali menoleh ke arah sang gadis, “Tanya apa?”

“Kenapa kamu dipanggil Haizen?”

Lelaki itu tidak menjawab, justru tersenyum ramah sembari menopang wajahnya dengan tangan kanannya—ini pertama kalinya Nahida melihat ekspresi Haitham sesantai itu.

“Kenapa kamu tiba-tiba penasaran?” godanya.

“Soalnya tadi kak Su manggil kamu Haizen jadinya aku penasaran”

“Kalo aku gamau kasih tau gimana?”

Nahida melotot, dan reaksi itu lucu di mata Haitham—seketika menghasilkan gelak tawa renyah dari bibirnya.

“Kalau gamau ngasih tau yaudah!” rengeknya, semakin membuat Haitham tertawa.

“Bercanda! Haizen ya? Itu nama panggilan pas kecil—aku sekelyarga dulu pernah tinggal di Inazuma dan warga Inazuma tuh kesulitan sama nama ‘Al Haitham’ jadi aku seringnya dipanggil Aruhaizen”

“Oh jadi username aruhaizen juga dari sana?”

“Merhatiin sampai username-ku segala nih?”

“Ih! Nyebelin!”

Mereka berdua pun berseda gurau bersama, sembari menunggu Nilou dan Cyno datang kedua insan itu saling berbagi cerita dan berbincang hangat satu sama lain.

🍀🍀🍀

Satu hal yang Nahida tak pernah duga di sepanjang hidupnya adalah, dirinya dapat berbincang seluwes itu dengan sosok lelaki di hadapannya saat ini.

🍀🍀🍀

“Nahida mau ikut ke kantin ngga?” tanya Nilou sembari berdiri, bergegas untuk segera ke kantin—takut kehabisan pisang coklat favoritnya. Namun, gadis itu menolak dengan lembut.

“Engga dulu Nilou, tapi aku boleh titip beliin es krim mochi vanilla ngga?” pesannya, gadis itu pun mengangguk mengiyakan.

Tepat sebelum dirinya pergi meninggalkan kelas, siswa teman sebangkunya itu memanggilnya, menghentikan gerak tergesanya menuju kantin sekolah demi pisang coklat.

“Lou, kamu gimana nanti ke les-lesannya?”

“Bareng dong Yii. Tapi aku ada kumpul ekskul bentar, kamu mau nunggu?”

“Yaudah aku caw dulu sama Zhongli kalo gitu”

Dari tempat duduknya Nahida memperhatikan dengan sesama. Kedua manik jelaganya tak bisa lepas dari lelaki jangkung bersurai kelabu yang masih berdiri tak jauh dari tempat duduknya—mungkin tampa sadar dia begitu terpaku, bahkan ketika sang objek pun pergi meninggalkan ruang kelas dan menghilang dibalik pintu kedua netranya masih pula mengikuti.

“Buset, biasa aja ngeliatinnya, itu Haithamnya udah ilang masih lu liatin aja”

Nahida tersentak kaget ketika dirinya tertangkap basah oleh sang teman sebangku. Ia sudah dapat menduga wajahnya pasti sudah semerah kepiting rebus.

“Naksir ya?”

Dan Nahida tau, ucapan Cyno adalah sebuah pernyataan, bukan pertanyaan.

“Keliatan banget ya?”

Beuh keliatan banget. Kamu tuh kalo ngeliatin Haitham kayaknya bisa sampe bola matanya keluar deh”

“Sama kayak kamu ngeliatin Nilou dong?”

“Heh!”

Gantian, sekarang Nahida dapat melihat rona merah samar di kulit kecokelatan pipi Cyno. Ia terkekeh kecil.

“Sejak kapan kamu naksir Nilou?” tanya Nahida, berbasa-basi tapi juga penasaran.

Pertanyaan tersebut sontak mengejutkan Cyno—terlalu tiba-tiba, dan ia tidak pernah menduga Nahida akan menanyakan hal tersebut. Ia menerka-nerka, sejak kapan dan kenapa dirinya bisa jatuh hati.

🍀🍀🍀

Hal yang paling membekas dalam kenangan Cyno dan terukir abadi dalam hatinya adalah musim semi di tahun pertama mas SMA-nya.

Cyno yang polos dan masih bau kencur kala itu pulang sedikit terlambat dari biasanya—alasannya? Ia ketiduran di kelas dan teman-temannya sepertinya dengan sengaja tidak membangunkannya hingga bel pulang berbunyi

Kurang ajar emang

Koridor kelasnya sudah sangat sepi—Cyno sedikit merinding, bagaimana tidak, kelasnya ada di bagian paling belakang gedung sekolahnya dan dirinya sudah mendengar banyak rumor tidak mengenakan perihal pohon sakura keramat yang terletak di taman belakang sekolah, yang tidak jauh dari letak kelasnya jika ingin berjalan ke depan

Bibir Cyno sendari tadi berkomat-kamit, berharap ia tidak melihat yang ‘tidak-tidak’

Dalam perjalannya, ia dapat mendengar alunan musik instrumental di balik pohon beringin. Demi semua Archon di Teyvat, Cyno masih terlalu mudah untuk semua ini dan kenapa harus dirinya yang merasakannya.

Namun, ia tak ingin berbohong pada dirinya sendiri jikalau dirinya tidak penasaran, tentu, ia teramat sangat penasaran. Dengan perlahan, tanpa suara—agar keberadaannya mampu mengagetkan siapapun dan tidak disadari siapapun—ia mengendap-endap dan mendekat

Tepat saat itu, dirinya pun jatuh hati

Kali pertama ia berjumpa, dirinya sudah jatuh, sejatuh-jatuhnya. Surai merah panjang yang bergerak leluasa mengikuti iringan musik, gugur bunga sakura menambah keindahan artifisial sang gadis. Dirinya diam terpaku layaknya sebuah patung batu

Lambat laun ia pun menyadari, bahwa nama sang gadis adalah Nilou

🍀🍀🍀

“Kalau lo gimana? Apa yang bikin lo naksir berat sama Haitham? Menurut gue mah dia ga ada oke-okenya”

“Kamu tuh kok cemburu berlebihan sih? Kan bukan siapa-siapanya Nilou”

“Bisa nyebelin juga ya lo ternyata”

Nahida terkekeh pelan, ia tau, celetukan Cyno barusan hanyalah sebuah candaan. Dan terkait pertanyaannya tadi, apa ya yang sebenarnya membuat dirinya jatuh hati kepada Al Haitham?

“Nahida”

Belum sempat Nahida menjawab suara berat familiar segera menyapa gendang telinganya. Cyno yang duduk di sebelahnya pun seketika menyikut dirinya—menggodanya. Nahida berani bersumpah wajah Cyno sekarang teramat sangat menyebalkan.

“Cie, baru diomongin orangnya dateng, kuat juga peletnya”

“Apaan sih!”

Ia berusaha hirau, lebih memilih memfokuskan dirinya kepada Haitham.

“Kenapa Haitham?”

“Nih es krim dari Nilou, dia nitip soalnya ada kumpul ekskul dadakan” jelasnya sembari mengodorkan sebuah es krim mochi vanila pesanannya. Entah kenapa Nahida merasa sangat senang sekali.

“Gue mana?” Celetuk Cyno tiba-tiba, kening Haitham berkerut keheranan, “Lah, ga nitip”

“Dih harusnya lo juga perhatian dong ke gue”

“Emang lo siapa?”

“IYAAA TERUS GA ADA YANG PEDULI SAMA GUE EMAAANG”

Baik Nahida maupun Haitham pun terkekeh melihat tingkah Cyno yang merajuk.

🍀🍀🍀

“Dimakan gih es krimnya jangan diliatin mulu ntar leleh—udah cukup hati lo aja yang leleh”

Dan rasanya Nahida sangat ingin sekali menyumpal bibir Cyno dengan sisa kertas oret-oretan miliknya.

🍀🍀🍀

🍀🍀🍀

“Tadi tuh ngga ada jawabannya ngga sih? Soal yang nomor dua, aku itung-itung ngga ada yang mendekati pilihannya soalnya”

“Hah? Masa sih? Aku ada kok jawabannya”

“Hah? Emang berapa jawabanmu?”

“HAAAI”

Baik Nahida maupun Tighnari tak mampu mengelakkan keterkejutan mereka manakala Nilou datang menghampiri dan menggebrak meja dengan teramat keras. Gadis itu kelebihan gula, gumam Tighnari. Nahida beranggap, ungkapan tersebut harusnya menjadi monolog yang disuarakan dengan keras tanpa sengaja oleh lelaki itu (atau justru dengan sengaja?)

“Kalian ini ya, udah selesai ujian masi aja dibahas, esensi ujian tuh datang, kerjakan, lupakan!” ujar sang gadis bersurai merah tersebut. Tighnari yang mendengarnya pun hanya bisa geleng-geleng kepala.

“Kamu cantik, tapi slebor ya ternyata”

“Ih makasih loh udah muji, kalau Collei udah dipuji belum?”

Kedua gadis itu pun terkekeh melihat dua rona merah di kedua sisi wajah Tighnari. Alah siah boy ada yang malu ternyata.

“Kamu tuh sama nyebelinnya ya kayak Cyno, cocok” gerutu Tighnari yang sepertinya yak dihiraukan oleh sang gadis. Nilou justru terlihat asik mengobrol dengan Nahida.

“Tau gaak aku tuh akhirnya bisa jawab semua soal Fisika gara-gara belajar sama kamu! Biasanya aku cuma bisa jawab tiga atau empat soal! Kayaknya aku bisa dapet nilai 60 deh” jelas Nilou dengan mata berseri dan wajah penuh binar. Baru pertama kalinya Nahida melihat gadis itu terlihat begitu senang dan antusias.

“Wah? Bagus dong! Tapi masa dapat 60 sih… ga mau lebih tinggi lagi?” tanyanya

“Engga engga, aku mau realistis aja, aku ngga pernah dapat nilai lebih dari 40 di mata pelajaran Fisika. Jadi aku targetnya 60!”

“Ya optimis dikit dong— bentar… apa?” tanyanya sedikit tak percaya.

Nahida menatap lekat-lekat wajah gadis di hadapannya itu yang tampak serius dan tak bercanda sama sekali.

“Ah, aku inget. Kamu pernah remidi Fisika terus dapat nilai lebih jelek kan?”

“Ih Tighnari! Kok di bongkar sih?!”

Sekarang gantian, giliran Tighnari yang terwata puas melihat wajah Nilou yang sudah semerah kepiting rebus.

“Jadi tuh Nahida dulu—“

“JAAAANGAAAAAN”

“HAHAHAHAHHA”

Ini baru pertama kalinya Nahida melihat Tighnari tertawa lepas tanpa beban seperti itu. Selama ini ia lebih sering melihat laki-laki itu mengomel atau menggerutu kesal. Sepertinya ia puas sekali menggoda Nilou. Sedangkan sang korban berupaya untuk menjangkau Tighnari yang sekarang mulai bersembunyi dibalik punggungnya.

“Ayoo teman-teman kita rolling tempat duduk lagi!”

Seketika seluruh siswa pun memperhatikan fokus mereka kepada Aether yang saat ini sudah berdiri di depan papan tulis. Setiap Senin, mereka akan mengacak tempat duduk, karena memang itu perjanjian kelas yang mereka miliki.

“Oke, bisa ambil satu-satu ya gantian— Nilou! Balik dudukmu dulu ya?” Seru Aether kepada Nilou. Gadis itu mengangguk paham sebelum kembali ke duduknya dengan riang, membuat Tighnari dapat bernafas lega.

🍀🍀🍀

“Loh? Nahida!”

“Hai!”

Nilou tak bisa menutupi keceriaan pada wajahnya manakala mendapati dirinya duduk tepat di depan Nahida—sahabat baiknya—gadis itu pun menoleh ke arah teman sebangku Nahida.

“Halo Cyno!” Sapanya dan dari sudut matanya Mahida dapat melihat semburat merah di kedua sisi wajah lelaki tersebut.

“Hai Nilou, temen sebangkumu siapa?” tanya siswa itu basa-basi.

“Gatau! Belum ada sih, ini liat aja nanti sisanya siapa yang bakalan dapat”

Baru saja Nilou menyelesaikan ucapannya, siswa jakung bersurai kelabu itu pun datang menghampiri mejanya, dengan wajah datarnya ia meletakkan tasnya disana.

“Loh?”

“Duh”

“APAAAN MAKSUDMU DUH?!” teriak Nilou sedikit tak terima melihat reaksi Haitham barusan. Sementara lelaki itu justru meletakkan jari telunjukknya tepat didepan bibirnya, menyuruh Nilou untuk diam, tidak usah berteriak.

“Ssstt… iya, maaf, jangan teriak-teriak.”

Kedua netra Nahida tak bisa lepas dari pergerakan di hadapannya—dengan sedikit tidak percaya—Haitham terlalu dekat, sangat dekat malah. Namun di satu sisi ia tau bahwa mereka sangatlah jauh, apalagi mengingat saat ini Haitham duduk bersebelahan dengan Nilou, harapnya seakan semakin jauh.

Sang gadis kikuk salah tingkah manakala lelaki yang sendari tadi diperhatikannya itu seketika menoleh tepat ke arah bangkunya. Seakan menangkapnya basah.

“Wah Cyno. Halo, keliatan ngga dibelakang? Perlu tuker?”

“Aku ga denger, ada orang ngomong sendiri” jawab Cyno ketus, sukses membut Haitham tertawa puas (sedikit sarkas).

Kedua netra kelabu lelaki tersebut seketika menolehkan pandangnya kepada Nahida yang sepertinya sendari tadi tak kasat mata di kedua pelupuknya. Gadis itu tersenyum kikuk, menyapanya.

“Ha-halo…”

Ia merutuki dirinya sendiri karena suaranya yang bergetar. Astaga Nahida…

“Hai Nahida”

“Wajahmu garang sih, Nahida jadi takut” celetuk Nilou tiba-tiba, “Ya kan Nahida, wajahnya Haitham galak kan?” tanya gadis itu.

“Aku udah berusaha ramah loh ya”

“Senyumnya mana ya Haitham ganteng?”

Walaupun Haitham terlihat kesal, lelaki itu tetap menurutinya, tersebyum singkat selama seperkian detik yang semakin memporak-pondakan kondisi hati Nahida. Senyum sedetik itu bertahan selamanya dalam memori otaknya.

🍀🍀🍀

Tangan kecilnya berusaha menggapainya—namun sendari tadi ia kesulitan. Cyno yang di sebelahnya daritadi memperhatikan pun membantunya dengan sengaja memukul bagian belakang kepala lelaki itu.

“Apa?!” tanyanya tidak terima, wajahnya memerah kesal. Nahida jadi merasa tak enak.

“Lu dipanggilin daritadi sama Nahida tapi ngga ngewaro gaudah gue geplak—kasihan tangannya ga nyampe”

HAH?!

“Cy-Cyno! Kok gitu?!!! Aku ngga sependek itu!” balas Nahida kikuk. Wajahnya sudah memerah layaknya kepiting rebus. Ia malu, sangat malu.

“Berarti ngaku kalau emang pendek dong?” usilnya.

“Aku ga pendek! Kalian aja yang ketinggian!”

“Iya iya maaf, itu loh Haitham!”

Nahida sudah terlanjur malu namun di satu sisi ia harusnya berterima kasih kepada Cyno tetapi ia sekarang tak mampu menatap lurus ke arah Haitham. Cyno nyebelin!

“Haitham… ini.. aduh—“

“Kalo ngomong bisa liat mata lawan bicaranya Nahida”

Nahida seketika mendongak—apa dirinya baru saja membuat Haitham kesal? Astaga ia benar-benar ingin merutuki dirinya, kenapa ia tidak sopan seperti itu?

“…maaf Haitham… aku malu…”

Bukannya menertawakannya, Haitham justru memandangnya penuh tanda tanya.

“Kenapa malu? Aku ngga gigit kok?” ujar lelaki tersebut dan justru menggantikan kekikukkannya dengan sebuah pertanyaan. Tetapi Nahida tidak bisa bereaksi, dirinya justru tertawa canggung.

“Hah? Haha… hahahaha iyaya kenapa harus malu?”

“Nah itu tau, jadi kenapa Nahida?”

Dari kedua netra jelaganya yang sedang beradu pndnag dengan kedua manik kelabu di hadapannya itu. Nahida dapat melihat seutas senyum simpul di paras rupawan lelaki di hadapannya. Senyum yang ia suka, tanpa sadar, Nahida pun itu tersenyum.

“Anu… sapu tangan kamu udah aku bawain…”

“Oh? Astaga aku hampir lupa. Iyaya, makasih Nahida, tapi balikinnya nanti aja pas pulang ya?”

“Eh-hem!”

Dan dari tempat duduknya Cyno memperhatikan interaksi kedua insan tersebut.

🍀🍀🍀

🍀🍀🍀

“Nahidaaa!”

Gadis mungil bersurai pucat itu menoleh manakala suara tinggi familiar memanggil namanya. Sepasang manik jelaganya mendapati perempuan bersuai merah datang menghampirinya, Nilou, sahabat baiknya.

“Jangan lupa ya sepulang sekolah nanti!” ujar sang gadis mengingatkan.

Nahida pun terkekeh kecil, sahabatnya itu sepertinya sangat khawatirnya dirinya lupa akan janji mereka untuk belajar bersama. Pasalnya, sejak tadi malam, gadis itu tak henti-hentinya mengirimkan pesan singkat padanya, mengingatkan perihal kegiatan belajar bersama sepulang sekolah.

“Iyaa Nilou, mau dimana nanti ngomong-ngomong?” tanya Nahida, siswi bernama Nilou itu terlihat berpikir sejenak, “Di gazebo taman gimana?” tawarnya, Nahida pun mengangguk setuju.

“Oke! Eh tapi aku nyusul yaa, kamu tunggu aja di situ dulu, aku mau ketemuan sama anak tari tradisional dulu soalnya!”

🍀🍀🍀

Koridor sekolahnya sore itu nampak sepi—jelas saja, mengingat sudah jam pulang sekolah. Sebagian besar siswanya tentu sudah berhamburan pulang dan sisanya tentu sibuk dengan urusan masing-masing, entah mengerjakan tugas kelompok, mengikuti ekskul, atau sekadar bermain di lapangan utama.

Sorak sorai teriakan bergema dari lapangan belakang sekolahnya. Derap langkah kaki siswa berlarian di tengah lapangan beradu dengan dentum bola yang dimainkan.

Dari sisi lapangan, gadis itu dapat melihat benerapa teman sekelasnya dan siswa lainnya tengah berlaga di lapangan, menperebutkan bola berwarna orange untuk di masukkan ke ring lawan.

Nahida jarang sekali menonton pertandingan olahraga, oleh sebab itu dirinya mudah sekali terkesima hingga menghiraukan teriakan yang menyerukan dirinya. Belum sempat ia memproses bahaya apa yang akan datang—bola basket dengan kecepatan tinggi telah sukses ‘mencium’ wajahnya dengan mesra.

Seketika permainan basket pun dihentikan, siswa-siswa yang bermain pun seketika mengalihkan fokusnya pada seorang siswi yang saat ini tengah terduduk di pinggir lapangan dengan buku berserak sembari memegangi wajahnya.

Jika boleh jujur, kepalanya merasa pusing dan wajahnya terasa sakit. Dari tempatnya ia dapat mendengar derap langkah kaki yang menghampirinya.

“Ngawur!”

“Kaveh ngawur!”

“Minta maaf gih!”

“Bacot, iya ini gue mau minta maaf”

Kepala Nahida semakin pusing mendengar riuh celoteh orang-orang yang dirinya tak tau pasti siapa, pandangannya semakin memburam.

“Aduh sumpa sori banget ga sengaja, gue ngga maksud ngelempar bola sampe ke lu— lu gapapa kan?”

Dengan kondisinya saat ini, Nahida berusaha memfokuskan pandangannya, berusaha tersenyum kalau dirinya baik-baik saja.

“Iya…, aku gapapa kok,”

Tanpa sadar, tangannya bergerak otomatis menadahi bawah hidungnya, ia dapat merasakan sesuatu mengalir dari sana dan bau anyir darah pun memenuhi indra penciumannya.

“ASTAGA! LU GAPAPA GIMANA?! MIMISAN GINI!”

Bukannya Nahida, siswa berambut pirang sedikit gondrong itu yang terlihat panik kalang kabut melebihi dirinya. Nahida menghela nafas pelan, ini hanya mimisan kenapa lelaki itu panik sekali?

“Ih gapapa kok nanti berhenti sendiri!” ujar gadis mungil itu.

Saat dirinya hendak mendongakkan kepalany, menghentikan pendarahan—karena yang ia tau orang-orang biasanya menghentikan mimisan dengan mendongakkan kepala—seorang siswa lainnya sudah berteriak kepadanya, menyuruhnya untuk tidak melakukan hal tersebut.

Dari pandangannya yang buram ia dapat melihat seorang yang cukup familiar baginya—Al Haitham—lelaki itu kemudian duduk bersinpuh tepat di sebelahnya, memegang punggungnya dan memajukan posisinya sedikit.

Lelaki itu dengan sigap menggantikan tangannya yang sendari tadi menadahkan darah. Menutupnya dengan sarung tangan.

“Nafasnya dari mulut ya, kalo kamu ndangak kayak tadi takut justru darah kamu masuk ke mulut”, jelasnya.

Nahida tidak menjawab, hanya melakukan apa yang disuruhkan oleh lelaki tersebut. Dari ujung matanya, ia masih mendapati siswa yang tadi panik setengah mati menatapnya dengan cemas, begitu pula dengan beberapa siswa lainnya.

Astaga ini memalukan

🍀🍀🍀

“Masih pusing? Masih keluar ngga darahnya?”

Nahida menggeleng sembari masih memegangi sapu tangan pemberian Haitham.

“Sori banget ya, gue—aku beneran ngga sengaja bikin kamu mimisan. Ini, bukunya udah aku beresin juga. Maaf banget ya,”

“Ah iya, gapapa”

“Lu mending anterin Nahida sekalian deh, kasihan di abis lu bikin mimisan suruh bawa buku banyak” celetuk Haitham.

Dari sudut matanya Nahida memperhatikan lelaki jangkung bersurai abu tersebut. Raut wajahnya tak berubah begitu pula nada bicaranya. Tetap datar seperti biasanya, entah kenapa ia merasa kecewa.

“Nahida, Nahida—,”

Gadis itu tak bergeming hingga Kaveh pun menepuk pundaknya pelan, tersenyum kikuk kepada sang gadis.

“Eh iya? Maaf Kaveh..,”

“Aduh ngeliatin apasih sampe cowo ganteng kayak gue dianggurin?”

“Ya?”

“Engga, gapapa, ini mau dibawa ke mana ya bukunya?” tanya siswa bersurai pirang tersebut. Ah! Hampir saja ia kelupaan kalau dirinya ada janji belajar bersama dengan Nilou.

“Eh? Ah, iya, boleh tolong bawain gazebo taman ngga?”

Lelaki bersurai pirang tersebut tersenyum sumringah dan mengangguk paham dan mengekori Nahida menuju gazebo taman, layaknya anak anjing yang begitu kegirangan diajak main. Nahida tersenyum kecil, sepertinya mood lelaki itu membaik dan sudah melupakan insiden barusan.

🍀🍀🍀

“Ih?! Kok bisa gitu?! Tapi kamu gapapa kan?!”

“Iyaa Nilou gapapaa kok! Lagian ini mimisannya udah selesai”

Walaupun Nahida mengatakan dirinya sudah baik-baik saja untuk ke-1000 kalinya hal tersebut nampaknya tak mampu menghapuskan raut kekhawatiran di paras ayu sang sahabat. Mungkin ini sudah saatnya, Nahida mengalohkan topik pembicaraan.

“Eh, ngomong-ngomong Nilou, ini kita mau belajar yang mana dulu ya” tanya Nahida.

Walau masih nampak kecewa, gadis bersurai merah teraebut sekwtika membuka buku catatan dan latihan soal miliknya. Menujukkan bagian soal terkait materi yang hendak diujikan—di atas kertas tersebut, kedua manik Nahida telah menangkap beberapa soal yang telah gadis itu jawab, dengan beberapa corat-coret angka tak menentu.

“Aku udah nyoba ngerjain beberapa kan ya. Tapi setelah aku minta tolong guru lesbuat koreksi, katanya masih banyak salahnya, dan katanya aku kurang bisa nangkap maksud soalnya… Kayak disuruh nyari apa, pakai rumus apa… Bagiku semua rumus tuh sama… yang penting keluar jawabannya…”

Nahida yersenyum simpul—tidak bermaksud menertawakan—tapi Nilou saat ini baginua cukup lucu, bagaimana gadis itu terlihat malu-malu mengungkapkan kesulitannya pada soal-soal Fisika ini. Yah, memang pada dasarnya setiap manusia punya kekurangan masing-masing kan? Begitu pula dengan Nilou—yang dipuja akan paras ayunya dan dirinya yang bersinar layaknya bintang—gadis itu pun akan kesulitan jika harus berhadapan dengan angka-angka mata pelajaran eksak.

Gadis mungil bersurai pucat itu pun membuka buku catatannya, semua materi dan rumus tercatat rapi—tidak seperti Nilou—dengan beberapa penjelasan dan warna-warni yang enak dipandang. Ia menjelaskan dengan telaten, memberi analogi yang mudah dipahami untuk siapa saja.

🍀🍀🍀

“Al-Haithaaam!”

Sang pemilik nama itupun menoleh ke arah sumber suara sang puan, mendapati gadis bersurai merah sedang melambaikan tangannya dengan senyum merekah di wajahnya.

“Oit! Kok belum pulang?” tanya balik sang lelaki.

Dari tempatnya Nahida memperhatikan, sosok sang Jaka dengan rambut basah dan handuk yang terselempang di pundak. Seketika Nahida memalingkan wajahnya, menyembunyikan semburat merah di kedua yg pipinya.

“Oh! Aku lagi belajar bareng sama Nahida! Kamu abis basketan?”

Lelaki itu hanya mengangguk sebagai jawaban, “Nahida? Masih mimisan ngga?” tanyanya.

“Ah…, iya, udah gapapa kok!” Jawabnya sedikit salah tingkah. Lelaki itu membalasnya dengan mengangkat jempol tinggi-tinggi.

“Oke, kalian masih lama kan?”

“Iyaa! Kenapa?”

“Gapapa”

Haitham, lelaki itu kemudian berlalu begitu saja, menyisakan tanya pada dua gadis tersebut. Nilou dan Nahida saling bertukar pandang, sebelum akhirnya kembali fokus pada kegiatan masing-masing.

🍀🍀🍀

“Boleh join ngga?”

Baik Nilou dan Nahida saling menolehkan kepala mereka, mendapati Haitham kembali menghampiri mereka dengan penampilan yang jauh lebih rapi dari sebelumnya.

“Kamu habis mandi?” tanya Nilou langsung tanpa menjawab pertanyan lelaki tersebut.

Dan nampaknya, Haitham pula tidak terlalu menghiraukan jawaban mereka. Lelaki itu dengan santainya mengambil duduk di sisi gazebo sebelah Nilou.

“Haitham mau ikut belajar?” tanya sang gadis bersurai abang tersebut. Sedangkan yang diajak bicara pun hanya mengangguk sebagai jawaban.

“Nahida ngga keberatan kan kalau aku gabung?”

“Eh? Engga kok! Gabung aja gapapa!”

Mendengar jawaban dari sang gadis, lelaki bernama Haitham itu pun tersenyum simpul. Bersamaan dengan rekah senyum sang jaka, ada hati yang porak poranda dari sang puan.

🍀🍀🍀

🍀🍀🍀

Derap langkah kaki penuh semangat memenuhi koridor kelas 12, menciptakan degung gema sepanjang koridor yang dapat tertangkap oleh sepasang gendang telinga Nahida.

“GENGS! KIMIA JAMKOS!” seru Kaveh yang baru saja muncul dari balik pintu, seketika berita tersebut bersambut sorak sorai gembira oleh seisi kelas.

“Kok bisa-bisanya sih guru-guru masih ngasih jamkos pas kita kelas dua belas?”

Nahida melirik ke arah teman sebangkunya. Dari sudut matanya, ia dapat melihat wajah Tighnari memberengut kesal.

“Ya jelas pendidikan Teyvat ga maju-maju, guru-guru hobi gabut,” ia masih bisa mendengar lelaki di sebelahnya itu mengerutu kesal, sukses membuatnya melepaskan tawa renyah.

“Ya mau gimana lagi.., akhirnya kita yang disuruh belajar sendiri,” celetuk Nahida.

“Kamu ngga kesel gitu?” tanya Tighnari balik, Nahida pun menggelengkan kepalanya seraya tersenyum.

“Lagian kan kita bisa belajar sendiri dari buku, sumber ilmu ga semua dari guru kan?”

Tighnari menghela nafas pelan, yang diucapkan gadis itu tidaklah salah tetapi fakta dirinya dan teman-temannya sangat memerlukan bimbingan guru terutama mengingat fakta ujian mereka yang semakin dekat membuatnya kesal setengah mati.

Melihat perubahan raut wajah temannya yang semakin memberengut itu membuat Nahida tak tahan menahan tawanya.

“Yaudah daripada marah-marah kita ngejain soal bareng aja gimana?” tawarnya yang dibalas anggukan setuju oleh lelaki itu.

🍀🍀🍀

“TU WA GA PAT!”

“KAU MEMBUATKU MERASAKAN INDAHNYA JATUH CINTA, INDAHNYA DICINTAI SAAT KAU JADI MILIKKU!”

“SETTITITITATAW TATAW SING DIDIDIDIW DIDIDIW”

“CYNO GOBLOK!”

Seketika ruang kelas 12 IPA 2 itu pun dipenuhi gelak tawa. Khususnya ketika Cyno melakukan adlibs pada bagian lagu Menghujam Jantungku milik Tompi. Tingkahnya pun semakin menjadi manakala lelaki tersebut memperagakan memainkan bass dengan sapu kelas.

“Ih kalian kok jamkos-jamkos malah belajar sih?”

Ini adalah pertama kalinya Nahida belajar justru mendapat omelan—khususnya dari sang sahabat, Nilou—biasanya kan orang belajar itu dapat dukungan, ini malah omelan, kan aneh?

“Ya gapapa, daripada rusuh kayak Cyno” jawab Tighnari tanpa menghiraukan Nilou yang berdiri depan mereka sambil menebteng es cekek di tangan kanannya.

Gadis itu pun turut terlihat tak menghiraukan jawaban ketus Tighnari. Ia justru mengambil bangku kosong tak jauh dari tempatnya berdiri, mendudukkan diri tepat di hadapan Nahida dan Tighnari.

“Ikut belajar dong! Minggu depan kan UH Fisika! Kita belajar itu ajaa” rayu Nilou, Nahida dan Tighnari pun saling bertukar pandang sebelum mengangguk setuju. Saran yang tak buruk juga.

🍀🍀🍀

“Cintaku bertepuk harap yang tak ada, rintihan nada asmara~”

Jika boleh jujur, walau tampak luar Nahida tampak acuh dan tak terlalu peduli akan suasana ‘ricuh’ selama jam kosong. Tetapi tepat dalam lubuk hatinya ia begitu menikmati nuansa santai seperti ini dan ingin mempertahankan momen ini lebih lama lagi.

Ia menyukai belajar namun ia juga suka momen-momen di mana dirinya dapat menghabiskan waktu seperti inu dengan teman-temannya.

“Oh iya, Tighnari! Gimana kamu sama Collei?”

Tighnari yang semula berkutat pada rumus dan angka-angka di buku latihan soalnya itupun seketika mengangkat kepalanya, menatap ke arah gadis bersurai merang yang sepertinya sudah bosan dengan angka-angka yang seharusnya dia kerjakan.

“Baik-baik aja kok kita, ngga gimana-gimana,” jelasnya.

“Kalian tuh udah pacaran atau belum ya? Aku lupa” tanya gadis itu lagi, mengundang desah nafas berat dari sang jaka. Suanasa tersebut sukses membuat Nahida merasa canggung dan tidak enak dengan Tighnari, memang benar kata Candace, Nilou kelewat tidak peka.

“Agak rumit sih hubungan kita… Aku udah pernah confess sih tahun lalu, cuma kayaknya Colleinya masih butuh waktu—aku ngga maksa, dan mungkin setelah aku lulus aku mau minta kepastian lebih lanjut aja, soalnya ya biar ngga digantung aja,”

“Tapi kalian masih deket kan ya?”

“Masih kok, deket banget malah, kemarin aja aku ke rumahnya dia. Nemenin belajar,”

“Iiihhh lucu! Study date gitu ya?!”

“Dibilang nge-date ya engga kan ga ada hubungan,”

Sementara itu, sendari tadi Nahida hanya diam dan mendengarkan. Cerita Tighnari akan kondisi hubungannya dengan Collei saat ini memberinya pemahaman baru, bahwa menjalin hubungan dan memahami perasaan itu bukaah hal mudah dan keduanya adalah hal baru bagi Nahida.

Logikanya pun sulit untuk memahaminya

🍀🍀🍀

🍀🍀🍀

“Nahida~”

Puan pemilik nama itu menoleh, mendapati dara ayu semampai menghampirinya dan tiba-tiba memberinya pelukan hangat.

“Nahidaaa~ kita pisaah bangkuuu huhu” ujarnya, puan bernama Nahida itu pun terkekeh kecil, membalas pelukan teman sebangkunya selama sepekan itu.

“Candacee seneng deh bisa jadi teman sebangkumu!”

“Ini emang ciwi-ciwi begini ya kalo pisah bangku berasa pisah ranjang gitu?” celetuk Cyno yak tak sengaja melewati depan bangku mereka, Candace pun mendesis sebal. “Opini orang NT terus ngga valid” ledeknya.

“BISA NGGA? ENGGA?!”

“Ih Nahida?! Seminggu engga duduk sama aku kamu udah ngelupain aku sebagai your number one bestie?! Aku sakit hati loh!” celetuk Nilou yang tiba-tiba menghampiri mereka, tepat setelah Cyno berlalu pergi.

Bukannya melonggarkan pelukannya, gadis bernama Candace itu justru mempererat pelukannya kepada Nahida. Membuat gadis mungil itu tenggelam dibalik kedua lengan dara semampai itu.

“Iya, kan Nahida sekarang jadi temanku!” ledeknya membuat Nilou memberengut jelek, mengundah gelak tawa dari sang puan.

“Ah—ngomong-ngomong Nilou, Candace, kalian sekarang sebangku sama siapa?” tanya Nahida, melonggarkan pelukan dari Candace sehingga ia dapat melihat sosok Nilou dengan lebih jelas.

“Aku sama Dunyazad!” jawab gadis bersurai merah tersebut riang. Kalau Nahida tidak salah ingat, Dunyazad itu rekan satu gugus mereka selama masa MPLS dulu.

“Kalau aku sebangku sama Lumine deh kalau ngga salah ingat, kamu sama siapa Nahida?”

“Eum.. aku sama Tighnari!”

“Woah… Sebangku isinya anak-anak ambis semua… Aku merinding,” celetuk Nilou sedikit hiperbolis.

Candace pun mengambil tas serta bawaannya, begitu pula dengan Nahida. Ketiga puan itu pun saling bertukar salam sebelum akhirnya menuju bangku masing-masing.

🍀🍀🍀

“Halo Tighnari!”

Siswa bernama Tighnari itu pun menolehkan kepalanya, tersenyum ramah kepada Nahida.

“Halo Nahida, kamu mau duduk di mana? Di pinggir atau deket jendela?” tawar Tighnari.

“Makasi Tighnari, aku boleh duduk deket jendela ngga?” pinta sang gadis.

Tighnari mengangguk paham, diriny pun berdiri dari duduknya, mempersilahkan sang gadis untuk masuk dan duduk di tempatnya. Nahida pun meletakkan tas selempang miliknya, begitu pula dengan Tighnari yang kembali duduk di posisinya.

“Kita tahun lalu pernah sekelas kan ya? Cuma baru duduk sebangku sekarang?” ujar Nahida seraya tersenyum, berbasa-basi. Tighnari pun mengangguk dan membalas senyuman sang gadis.

“Iya, kamu kemarin sebangku sama siapa?” tanyanya balik, membuka topik obrolan baru.

“Aku kemarin duduk sama Candace, kamu sama siapa?”

“Oh aku sama Cyno kemarin,”

Mereka berdua pun berbasa basi singkat, sebelum bel pertama berdering.

🍀🍀🍀

🍀🍀🍀

Hari ini Nahida lebih banyak diam—menghiraukan hiruk pikuk kelas yang bersuka cita karena jam kosong. Netranya terlihat fokus pada arsir pensil yang menebal di bagian belakang bukunya. Namun, pikirnya entah menerawang ke antah berantah nan jauh.

Arsir demi arsir arang hitam itu berbeda dari biasanya yang lembut nan tipis—layaknya malu-malu menunjukkan diri—kali ini, arsirannya begitu tegas dan tebal, seakan dirinya teramat sangat ingin menuangkan rasa yang tak tersampaikan, tak mampu terucap.

Sang gadis pun menghela nafas pelan manakala fokus dirinya telah berhasil ia dapat lagi sebelumnya ia tersentak kaget mendapati Candace telah duduk cantik di sebelahnya.

‘Sejak kapan?’, gumamnya.

“Kamu suka banget gambar daun ya aku lihat-lihat,” celetuk sang dara di sebelahnya.

Kedua netra berbeda warna itu menolak menatapnya. Alih-alih fokus pada kedua manik hijaunya, mata Candace justru berfokus pada coretan di belakang bukunya.

“Apa kamu mau ambil jurusan Perhutanan? Biologi? Makanya suka gambar daun?”, tanyanya lagi.

Nahida pun turut menatap ke arah halaman belakang bukunya. Gadis itu melihat banyak sekali goresan-goresan asal dengan motif yang sama memenuhi bagian belakang bukunya.

Tebal tipis arsir daun itu menjadi saksi, sudah berapa lama Nahida menggambar. Ada yang memudar, adapula yang arsirannya begitu tebal dan tegas.

“Aku hanya suka menggambar daun saja…”, jawabnya singkat.

“Yang tebal ini, ceritanya daunnya layu?” tanya gadis itu lagi seraya menunjuk gambar dengan arsir pensil paling hitam, pekat.

“Uh…, engga juga sih…, uhm… aku cuma ingin menggambarnya seperti itu”

“Kamu tau ngga Nahida, kalau menggambar tuh bisa jadi salah satu cara untuk mengetahui isi hati seseorang”, celetuk Candace tiba-tiba.

Nahida pun kembali memfokuskan pandangnya pada Candace. Kali ini, dara ayu itu sudah tidak lagi melihat ke arah lembar terakhir bukunya. Kedua netra jelaganya sudah saling beradu pandang dengan manik berbeda warna milik gadis itu.

“Mungkin saja kamu ingin mengutarakan sesuatu tapi ngga bisa, makanya perasaanmu mempengaruhi gambarmu. Menjadikannya arsir pensilnya lebih legam dari biasanya”

Nahida pun kembali menoleh ke arah ‘daun-daun’ yang ia gambar. Selama ini ia selalu menggambar daun itu seraya mencuri pandang dengan sang pujaan, menggambar dengan suka cita dan penuh kegaguman, menghasilkan goresan lembut layaknya apa yang ia rasakan kepada sang jaka. Perasaan yang tidak menuntut.

Namun, daun terakhirnya terlihat jauh lebih pekat dan hitam dari biasanya—bahkan Candace mengira ia baru saja menggambar dedaunan layu. Layaknya ia sedang berusaha menuangkan perasaan yang mengganjal hatinya. Ini bukan soal sang pujaan hati namun gambar terakhirnya adalah tentang apa yang ia rasakan sebenarnya—saat ia berusaha jujur dengan dirinya sendiri.

🍀🍀🍀

Sendari dulu Nahida menyukai dedaunan, tetapi kali ini ia tidak menyukainya—entah mengapa.

🍀🍀🍀

🍀🍀🍀

“Siapaaa??”

“Ya ndak tau kok tanya saya”

Nahida terkekeh geli melihat wajah Nilou yang memberengut jelek, tidak puas akan jawaban Nahida. Ia kecewa sodara-sodara, ternyata sang sahabat sudah berani main rahasia-rahasiaan.

“Kukira hubungan kita istimewa,”

“Buset, ini kalian habis talak apa gimana?”

Nahida menolehkan kepalanya, mendapati Candace yang baru saja lewat tidak sengaja mendengar pembicaraannya. Gadis manis itu terkekeh kecil melihat pertengkaran antara dirinya dan Nilou.

“Candaaace~ kamu teman sebangkunya Nahida yang baru kan ya… Masa loh setelah duduk sama kamu Nahida berani main rahasia-rahasiaan,” adu sang gadis berusai merah tersebut, layaknya anak kecil yang tengah merengek kepasa sang ibu.

“Iya dong, aku kan teman barunya Nahida, emang dia cuma bisa cerita sama kamu?”

Gadis jangkung itu seketika mengambil duduk tepat di sebelah Nahida, merangkul tangan mungilnya sembari menjulurkan lidahnya, mengejek Nilou.

Lah kenapa malah Candace dan Nilou yang saling menjahili?

“Oh gitu?! Oke! Aku juga bisa! Fine!”

Gadis bersurai abang itu terlihat bingung dan celingukan, senyumnya pun merekah lebar manakala kedua mata safirnya mendapati sosok lelaki jangkung yang baru saja memasuki kelas.

“Yaudah! Aku sama Haitham aja!”

Dan sang jaka pun terlihat kebingungan. Ini kedua kalinya, ia baru saja memasuki kelas dan Nilou pun menyeretnya ke urusan yang dirinya pun tak tau duduk perkaranya.

“Nilou mah ga asik mainnya sama Haitham,” gerutu Candace.

Nahida pun sendari tadi hanya diam, ia tidak bereaksi banyak—atau bahkan lebih tepatnya bingung bereaksi seperti apa. Kehadiran sosok itu selalu sukses membuatnya mati kutu.

“Apaan deh?”

“Haitham jangan dingin-dingin dong~” goda Candace, Nahida dapat menangkap sang jaka seakan tak acuh dengan godaan gadis manis di sebelahnya itu.

“Es batu kali ya, dingin” jawabnya sebelum melengos begitu saja dan kembali duduk di bangkunya. Candace yang melihat reaksi Haitham itu pun terkekeh geli.

“Heran deh, kenapa kamu bisa tahan sama Haitham deh Lou, cuek banget gitu anaknya,” ujar Candace, manik ambernya itu pun sedikit melirik ke arah bangku Haitham, terlihat sang jaka sudah sibuk dalam kemelut pekerjaannya, menghiraukan sekitar.

“Gatau deh, padahal aku udah bilang ke dia kalo dia lebih perhatian atau ramah dikit pasti banyak yang suka,”

“Mungkin Haitham emang ga pengen banyak yang suka sama dia?” Celetuk Nahida tiba-tiba, seketika sukses menarik perhatian dari Nilou dan juga Candace.

“Atau emang Haitham aja yang ‘omongan’nya jelek,”

Baik Nahida dan Nilou pun seketika menoleh ke arah Candace, gadis itu mengedikkan bahunya acuh.

“Maksud aku ada kan orang yang dia kurang pinter dalam ‘bicara’ kayak Haitham, tapi aslinya dia orang baik,”

Nilou pun menghela nafas, kali ini dirinya setuju dengan Candace.

“Haitham itu… kayaknya emang ga bisa ramah—maksud aku template anaknya tuh gitu, terdengar kasar, cuek, ngga kayak Cyno yang humoris. Tapi aslinya Haitham tuh baik banget kok anaknya kalau udah kenal,” jelasnya.

“Kita gaada mention Cyno sama sekali loh,”

Ujaran Candace barusan entah kenapa sukses membuat Nilou sedikit salah tingkah. Nahida kira, ucapan Candace hanya celetukan asal begitu saja, tapi Nahida dapat menangkap sedikit gelagat aneh dari sang sahabat.

“Soalnya Haitham sama Cyno sifatnya bertolak belakang banget!” balas Nilou, membela diri.

“Oh gitu? Nanti Haitham cemburu loh kalau tau kamu ngebelain cowo lain~”

“Diiiiiih mana adaaa Haitham tuh cowo ter-gak peka! ”

“Amaza~ kamu tadi muji-muji Haitham loh, jangan plin plan gitu dong”

“CANDAAAACE!”

Pekikan Nilou tersebut sukses mengundang perhatian satu kelas, begitu pula dengan Haitham yang sendari tadi fokus dengan pekerjaannya. Lelaki itu kembali menoleh ke arah bangku mereka.

“APA KAMU LIAT-LIAT?!” ucap Nilou sambil mendelik ke arahnya, membuat Haitham semakin kebingungan.

“Sssuush heh! Suara kamu! kedengeran kelas sebelah loh,” jawabnya acuh membuat kedua pipi Nilou bersemu merah layaknya kepiting rebus.

Nahida pun terkekeh melihat Nilou yang malu seraya menguburkan wajahnya pada lipatan tangannya, dan dari pengamatannya, Nahida dapat mengenal baik Nilou dan Candace jauh lebih baik dari sebelumnya—begitu pula mengetahui sisi tentang Haitham yang tidak ia ketahui sebelumnya.

“Duh nyesel aku bela Haitham tadi! Nyebelin! Jelek! Hiihh!”

🍀🍀🍀

“Ah iya Nahida, kita belum follow-an di IG sama Twitter loh,” celetuk Candace, gadis itu pun mengeluarkan poselnya, membuka aplikasi burung biru sebelum menyerahkannya pada Nahida.

Jemari mungilnya pun seketika mengetikkan nama akunnya dengan lincah di atas ponsel milik Candace.

“Lou, nanti kamu ekskul ngga? Atau langsung les,”

“Gatau mending kamu ngomong sama truk aja!”

“Dih?”

“Bujuk dong Tham, lagi sensi tuh anaknya,”

“Masker kali sensi? Tapi aku nanya serius loh kamu maunya gimana? Nanti tambah marah kalo aku tinggal, kan serba salah kayak Raisa,”

Candace pun tak bisa menahan gelak tawanya mendengar jawaban Haitham yang tak kalah sensi namun mengandung sisi humor tersendiri. Candace menyukainya.

“Kamu diem-diem lucu ya, hayoloh Nilou ini Haithamnya jangan digantungin gitu,”

“Iya iyaa,”

Nahida pun terkekeh canggung, bingung harus merespon seperti apa di situasi yang menurutnya cukup aneh dan lucu ini.

Ia menolehkan kepalanya mana kala merasakan tepukan kecil pada bahunya, menoleh ke arah Haitham.

“Kenapa sih daritadi?”

Ternyata Haitham bisa penasaran

Nahida kembali menolehkan pandangnya ke arah Nilou yang masih ‘sensi’ dengan Candace yang tak henti-hentinya menggoda gadis itu.

“Nilou sensi soalnya Candace godain dia daritadi,” jawabnya dan Haitham pun mengangguk paham.

“Oh gitu ya? Bagus deh— NDES! NITIP JAILIN NILOU YAK!” ujar Haitham dengan sedikit menaikkan nada bicaranya. Nahida dapat melihat seutas senyum jahil di wajah rupawan lelaki tersebut.

Sehari-hari, ia pun mengetahui sisi lain dari sang pujaan hati.

🍀🍀🍀

🍀🍀🍀

“Nahida ya?”

Gadis mungil bersurai pucat pasi itu pun menolehkan kepalanya manakala suara lembut mendayu memanggil namanya. Ia mendapati sosok gadis dengan kulit eksotis tersenyum lembut kearahnya. Mata ambernya seakan mengisyarankan pijar meneduhkan, membuat siapa pun betah menatapnya berlama-lama. Entah kenapa, Nahida merasa salah tingkah.

“Eh—Uh, Iya! Kamu Candace ya?”

Gadis itu terkekeh kecil, suaranya lembut dengan raut wajah meneduhkan.

“Iya, salam kenal ya Nahida, sebelumnya kita ngga pernah sekelas”

“Ah, iya… salam kenal”

Nahida berharap ia dapat berteman baik dengan gadis itu.

🍀🍀🍀

“Candace!”

Obrolan mereka terhenti manakala Nahida mendengar nama Candace diserukan. Dua pasang netra dengan manik beda warna itu pun menoleh, mendapati seorang gadis jangkung berkulit sawo matang berjalan ke arah mereka.

“Oh, ada Nahida juga? Halo!” Sapanya riang. Meski begitu, Nahida merasa kikuk—bukan karena mereka tak saling kenal, hanya saja dia lupa nama seseorang yang baru saja menyapanya.

“Nahida, kenalin, ini Dehya—”

“Loh?! Kamu ngga ingat aku?! Aku teman SMP-nya Nilou loh!”

“O-oh, halo Dehya… salam kenal, maaf aku lupa—”

“AW AKU KOK DICUBIT?!”

Gadis bernama Dehya itu menggerutu, mendesis tak suka layaknya kucing ke arah Candace yang baru saja mencubitnya. Dari interaksi keduanya, Nahida dapat menyimpulkan bahwa Dehya dan Candace berteman cukup baik.

“Kamu sih pakai bilang gitu, Nahida jadi merasa bersalah kan! Udah Nahida, biarin aja Dehya, kalo aneh-aneh cubit aja,” omel Candace

“Jangan percaya Candace, dia ditaburi wijen!”

“Uh? Wijen?”

“Iya wijen, kayak krabby—ADUH AKU DICUBIT LAGI!”

Nahida pun hanya bisa terkekeh canggung melihat adegan KDRK (Kekerasan Dalam Ruang Kelas) di hadapannya tersebut. Namun, bukan interaksi Dehya dan Candace yanv membuatnya penasaran, melainkan maksud ucapan Dehya yang mengatakan Candace ditaburi oleh wijen.

“Maaf ya Nahida, Dehya emang agak-agak. Mau apa sih kamu?”

“Hehe temenin ke kantin!”

“Sekaeang banget?”

Dehya mengangguk manut, layaknya anak kecil yang tak sabar untuk mengajak sang ibunya pergi. Dengan kasar ia menarik lengan kurus Candace, membuat sang gadis mengaduh karena tertatap meja. Kesikut.

Tak menghiraukan seruan Candace, Dehya terus memaksa gadis itu untuk mengikutinya, meninggalkan Nahida penuh tanya.

Dalam duduknya Nahida pun hanya bisa melongo melihat mereka berdua melengos begitu saja. Ia jadi teringat bagaimana Nilou yang juga sering kali memaksanya seperti Dehya memaksa Candace.

🍀🍀🍀

“…da”

Jemarinya terus menari dengan riang di atas halaman belakang buku catatannya. Menorehkan arsir samar-samar di atas sana, menggambar satu dua helai daun tak menentu arah. Menghiraukan seorang siswa yang sendari tadi memanggili namanya.

Dirinya terlonjak kaget, manakala dua tepuk lembut menyapa pundaknya, dengan tergesa ia pun menutup bukunya, menolehkan pandangnya ke arah seseorang yang daritadi ia hiraukan.

“Ha? Haitham?!” ujatnya sambil mendelik, dengen segera ia tutup mulutnya yang mungkin saja hampir memekik. Sedangkan lelaki itu hanya menatapnya datar sembari menyapanya.

“Kamu daritadi aku panggilin ngga nyaut…,” kalimatnya terhenti sebelum netranya melirik ke arah buku yang baru saja ia tutup, “Nugas?”

“Engga kok, cuma coret-coret gabut aja” dan Nahida pun merutuki dirinya, kenapa ia harus membagikan too much information seperti itu. Sedangkan Haitham pun hanya mengangguk paham tak masalah dengan apa yang baru saja ia ujarkan.

“Ngomong-ngomong, Candance mana ya?” tanyanya. Ah ternyata bukan dirinya yang dicari.

“Lagi ke kantin sama Dehya”

“Oh gitu? Kalau gitu aku titip ini buat Candace,” ucapnya sambil menyodorkan buku yang cukup tebal.

“Apa ini?”

“Buku rekapitulasi uang kas, kemarin dia minta tolong ke aku buatin itu soalnya” jelasnya. Nahida pun menerimanya.

“Yaudah ya Nahida, aku titip, tolong sampaikan ke Candace, makasi ya!” Ucap sang Jaka sebelum akhirnya melenggang pergi begitu saja.

Tanpa Nahida sadari ia daritadi mendongak untuk mengobrol bersama Haitham. Ia tau betapa jangkungnya lelaki tersebut, tetapi berinteraksi begitu dekat dengatnnya, entah kenapa sukses membuatnya salah tingkah.

Ternyata Al-Haitham tidak secuek itu

Ternyata jika didengarkan lebih dekat suara Al-Haitham lebih berat dari dugaannya

Ternyata dibalik sibak poninya, ia dapat melihat netra kehijauan di balik sana

dan impresinya selama ini keliru, ia ingin dapat mengenal lebih dekat dengan sosok tersebut.

🍀🍀🍀

Sebelum lelaki itu menjauh, ia sempatkan memanggil namanya sekali. Membuat sang jaka mengurungkan niatnya untuk pergi.

“Haitham, aku mau nanya”

“Nanya apa?”

“Kamu tau maksud kalimat ‘jangan percaya Candace, dia ditaburi wijen’?”

Dan mendengar ujaran Nahida tersebut sukses meloloskan tawa renyah dari sang jaka.

“Gatau, onde-onde kali maksudnya haha”

Dan lagi-lagi Nahida dibuat salah tingkah.

🍀🍀🍀