🌸🌸🌸
Paling tidak hari ini Ayaka dapat menghela nafas lega walau ada sedikit kecewa di relung hati sang wanita. Paling tidak Ayaka telah terbebas dari tanggung jawab dan senyum palsu urusan politik serta diplomasi Inazuma, paling tidak sekarang Ayaka bisa memilih untuk egois—mementingkan diri dan perasaannya sendiri—sampai ketika sang kakak memanggilnya, meminta waktunya tepat sebelum dia ijin pamit undur diri.
“Ayaka, apa kamu terburu-buru?”
Seolah mengerti gelagat sang adik yang ingin segera pergi dari tempat yang membuatnya jengah dan sesak Ayaka dengan segera mengubah raut wajahnya—berusaha tersenyum, karena permintaan sang kakak mutlak melebihi ingin dari dirinya sendiri. Gadis itu pun menggelengkan kepalanya.
“Ada apa kak?”
“Ini terakhir kalinya kamu menemani kakak, kakak janji, tapi sebelum itu temani kakak untuk menyambut para Qixing yang sudah datang jauh-jauh dari Liyue” dan Ayaka pun mengangguk sebagai jawaban.
🌸🌸🌸
“Maafkan kami atas keterlambatan kami menghadiri festival Irodori ini, jika berkenan ini sedikit buah tangan yang kami bawa dari negeri pelabuhan nan jauh”
Sang dua bersaudara begitu terkesima manakala menerima buah tangan tersebut, mereka sudah sering mendengar kabar buruh perihal indahnya permata dan giok dari negeri sang archon geo tersebut, tetapi melihatnya langsung sukses membuat mereka terpana dan jatuh hati—mereka tidak pernah mengira kalau bebatuan tersebut dapat terlihat begitu berkilauan khususnya di bawah sinar sang bagaskara.
Sedetik mengagumi keindahan bebatuan tersebut Ayato pun berdeham, menyadari sikap tidak sopannya kepada sang tamu—ia belum memperkenalkan dirinya sendiri dan belum menyiapkan buah tangan balasan.
“Ah maaf atas ketidak sopanan kami, sebelumnya salam kenal para Qixing yang terhormat. Kami perwakilan dari komisioner Yasshiro di Inazuma—saya Kamisato Ayato dan ini adik saya namanya Kamisato Ayaka, senang dapat bertemu Anda sekalian.”
Mendengar Ayato memperkenalkan dirinya dengan begitu formal membuat wanita lawan bicaranya tersebut tak kuasa menahan kekeh.
“Tidak usah terlalu formal dengan kami—ah, perkenalkan saya Ningguang.” ujar wanita nomor satu di negeri Liyue tersebut.
Ningguang pun memperkenalkan para anggota Qixing lainnya dan juga Beidou, sementara Ayato dan Ninggung berbicara mengenai bisnis—serta lelang yang Ayaka tidak tahu menahu dari sudut matanya ia mendapati kehadiran dua teman pengembaranya itu muncul dari balik wanita yang Ayaka tidak salah ingat bernama Beidou. Seketika sang putri pun tersenyum cerah menyadari keberadaan teman sejawatnya itu.
“Aether! Lumine! Senang bisa bertemu kalian lagi” sapanya.
“Ah itu mah kamu yang super sibuk jadinya pas kita bantu-bantu di Inazuma ngga bisa ketemu” ledek si kembar putra membuat adiknya—Lumine—pun segera menyikut perut sang kakak.
“Yo, pemgembara! Hebat juga kalian bisa kenal dengan putri Inazuma ini.” Dengan salah tingkah Ayaka pun menutup separuh wajahnya—untuk menyembunyikan rona merah muda di kedua sisi wajahnya—dengan kipas kertas yang selalu ia bawa. Sementara Lumine dan Aether hanya terkekeh kecil melihat sang putri menjadi malu-malu.
“Ayaka kenalin! Ini kaptain Beidou! Kaptain ini penguasa lautan loh dan sering mengalahkan monster laut!”
“Benar kata Lumine! Waktu kita ke Inazuma kita juga terkendala badai dan juga serangan monster laut tapi Kaptain Beidou dengan mudah mengalahkannya!”
Si kembar tak henti-hentinya berceloteh akan kehebatan sang bajak laut wanita di jadapannya, lagaknya anak kecil yang memamerkan suatu hal tak terduga kepada temannya membuat Ayaka turut terkesima karena mendengar cerita terkait lautan antah berantah yang tidak pernah ia lihat dengan mata kepalanya langsung. Sementara Beidou sepertinya sedikit salah tingkah di sini.
“Sudah, sudah kenapa harus membicarakan diriku sih? Bukankah seharusnya kita membicarakan terkait soal putri Inazuma? Oh iya tuan putri, aku sudah mendengar banyak cerita soal dirimu dan memang benar pesona kecantikanmu tiada duanya.”
“No-nona Beidou!”
“Kenapa putri harus malu, memang benar kok putri cantik sekali! Ah iya, ada salah satu kru-ku yang juga dari Inazuma namun sayang—Tch. anak itu benar-benar menolak turun dari kapal.”
Mendengar pujian yang begitu banyak—dan berlebihan bagi dirinya—sukses membuat wajah Ayaka yang seputih salju pun memerah serta membuat dirinya kikuk mati kutu tak bisa berucap sampai ketika Ayato menepuk pundaknya lembut, menyadarinya dari kegugupannya.
“Wah senang mengetahui nona Beidou dan pengembara bisa akrab dengan Ayaka, maaf ya memang terkadang dia bisa menjadi sangat kikuk”
“Kak Ayato!” ujarnya tidak terima namun Ayato seakan hirau dan justru menepuk pucuk kepala sang adik.
“Ah iya, ini kan sudah siang bagaimana kalau kita makan siang bersama?” tawarnya yang tentu disambut antusias oleh dua bersaudara dan juga Beidou dengan antusias.
Namun sebelum beranjak untuk pertama kalinya Ayaka meminta izin undur diri terkebih dahulu mengatakan bahwa ia memiliki keperluan yang cukup mendesak, tentu saja Ayato mengijinkannya.
🌸🌸🌸
Karena jikalau Ayaka terlambat sedetik saja, mungkin Ayaka akan kehilangan kesempatannya.
🌸🌸🌸
“Kazuha! Kau mau kemana? akhirnya merubah pikiran dan memilih untuk turun ke kota?” tanya salah seorang kru kapal the Crux saat melihat Kazuha yang sendari mereka tida di Inazuma hanya berdiam di atas sangkar gagak.
Tentu saja hal tersebut mengejutkan mereka, mengingat betapa enggannya lelaki itu untuk turun dan menginjakkan kaki di tanah kelahirannya—tentu saja mereka mengerti, mereka semua layaknya keluarga kedua bagi Kazuha yang mengerti bagaimana kota kelahirannya itu menyimpan kenangan buruk bagi dirinya.
“Aku hanya ingin mengecek sesuatu… aku akan kembali tepat sebelum malam, kalian tunggu saja baru nanti biarkan aku yang menjaga kapal.” ujarnya tepat setelah menginjakkan kaki di pelabuhan, seluruh kru the Crux pun mengacungkan jempol setuju sekaligus senang akan kabar tersebut.
Kazuha pun melambaikan tangannya sebelum berlalu.
🍁🍁🍁
Ucapnya hanya sebuah kilah, alasannya turun hanyalah karena ia merasa bahwa sang angin menyiratkannya untuk pulang ke ‘rumah’ sejenak.
Ia merasa bahwa angin seakan membawa pesan untuk menjemputnya.
🍁🍁🍁
Dan nafas Ayaka pun tercekat melihat pemandangan di hadapannya—kediaman Kaedehara yang mungkin sudah tidak patut dikatakan sebagai kediaman. Rumah yang dulunya berdiri kokoh dan megah pun seiring berjalannya waktu dan ditinggalkan sang empu bisa menjadi ringkih dan rapuh.
Ia melihat ke sekeliling, begitu senyap dan sepi, rumput liar tumbuh di mana-mana tak terawat. Ia pun menolehkan pandangnya kepada bekas pohon sakura yang dulu tumbuh di sana, berdiri begitu gagah dan perkasa namun juga indah. Tetapi sekarang pohon tersebut telah lah layu dengan beberapa helai daun serta bunya yang tumbuh malu-malu di pucuknya.
Ayaka menyayangkannya, padahal pohon itu dulunya begitu indah.
“Padahal dulu kediaman Kaedehara sangatlah indah dengan banyaknya pohon maple mengelilinginya. Daunnya yang kemerahan juga menambah elok kediaman ini apalagi ketika gugur.” gumamnya pelan.
Hatinya sakit mengingat setiap kenangan yang tersisa di rumah itu. Walaupun dirinya juga cukup jarang berkunjung secara resmi namun ia selalu sengaja melewati arah kediaman Kaedehara hanya untuk bertemu sesosok lelaki yang setiap paginya selalu berdiri dan termenung memandangi bunga sakura di hadapannya. Lucu juga ya, dulu sosok lelaki yang ia tunggu selalu berdiri di tempatnya sekarang namun saat ini ia yang menunggu keajaiban di tempat lelaki itu biasa berdiri.
“Kazuha… apa kamu tidak berniat untuk pulang?”
Bersamaan dengan harap terakhirnya dengan ujar yang dipenuhi ratap, kelopak satu kelopak bunga sakura pun gugur di bawa angin. Entah apa yang membuat Ayaka mengulurkan tangannya dan berbalik seakan berusaha mengejar kemana kelopak tersebut akan pergi dibawa sang angin.
🌸🌸🌸
Dan di sanalah Kazuha berdiri, tepat di depan kediamannya dulu. Langkah kakinya seakan segan dan ragu-ragu untuk mendekat, semua memori buruknya pun seketika terulang layaknya kaset rusak. Membuat pikirnya ricuh dan berkecamuk. Kazuha membencinya.
Namun langkahnya tertahan untuk melaju saat ia mendapati seorang gadis tengah berdiri memandangi pohon sakura yang mungkin akan segera layu itu. Walau bayang samar gadis itu terlihat familiar, Kazuha engganlah berharap.
Mungkin saja hanya orang yang mirip dan sekadar mampir.
Namun jikalau dipikir-pikir siapa pula yang berpikir untuk singgah sejenak di kediaman yang bisa saja telah lama mati itu?
Pikirnya mengatakan bahwa bisa saja gadis itu tersesat, langkahnya pun ia bawa menuju sang gadis, membawanya pergi dari tempat yang begitu muram di hadapannya. Sampai ketika saat ia hendak mendekat hembusan angin pun tiba-tiba bertiup, membuatnya sedikit memicingkan kedua matanya.
Kazuha… Apa kamu tidak berniat untuk pulang?
Dan tepat ketika Kazuha membuka kedua pasang matanya, ia dapat melihat jelas sang gadis—nya—menatapnya dengan harap namun juga ratap yang tersurat jelas di kedua binar matanya yang perlahan hilang.
Binar mata yang dulu menjadi favoritnya… yang sekarang kehilangan cahaya karena dirinya.
🍁🍁🍁
“Nona Ayaka…”
Dan sang gadis pun tersenyum lembut penuh akan kelegaan dan syukur, air mata tak henti-hentinya mengalir membuat sang jaka dengan sigap memeluk dan memenangkan wanitanya.
“Kamu gatau… sudah berapa lama aku nunggu dan berharap kamu pulang…”
Kazuha tidaklah berkata-kata lebih, ia hanya berharap hangatnya peluk untuk pelik sang gadis nampu menyuarakan bahwa ia tak perlu khawatir karena dirinya sudahlah pulang.