komoyi

just me and my loving komori hours, heavily post sunakomo

🍀🍀🍀

Gadis bersurai merah itu segera menghujaminya dengan sebuah peluk hangat nan mersa, sedangkan Nahida, walau sudah berteman cukup lama dengan sang sahabat masih saja merasa kikuk dengan segala bentuk afeksi yang begitu melimpah dari sang kawan.

“Kangeeen, kita udah lama banget ga ketemuu!”

“Aduh cewe-cewe kalau mau jadi teletabis ajakin dong, kalau gamau ngajakin paling ngga jangan ngalangin pintu.”

Bukannya menurut, Nilou—nama gadis bersurai merah tersebut—justru semakin mengeratkan pelukannya kepada sang sahabat seraya menjulurkan lidahnya pada lelaki yang tampaknya pun tak acuh dengan ledekan Nilou tersebut.

“Apasih Cyno! Kalau iri ngga ada yang peluk bilang aja! ‘Tuh sana kamu meluk Haitham daripada gangguin”

Layaknya sebuah stimulus bagi batang otaknya, tubuh Nahida pun merespon manakala sang sahabat menyebut nama seorang yang menjadi pusat dunia Nahida—paling tidak selama masa SMA-nya–dan sepasang netra sehijau jelaganya pun mendapati lelaki jangkung berambut abu itu menatap mereka dengan raut heran.

Bagaimana tidak, dia baru saja tiba dan dibawa oleh macam pertengkaran seperti ini oleh Nilou.

“Mana demen gue sama Cyno”, responnya cuek.

Katakanlah Nahida sang budak cinta ataupun terlalu tergila-gila. Tetapi suara bariton sang jaka yang terdengar dengan nada mengolok itupun sukses membuat bunga-bunga dalam dirinya pun bermekaran.

Di awal tahun terakhirnya SMA Nahida sudah sangat berbahagia, hanya dialah yang memandang adegan klise macam ini dengan nuansa merah jambu, mengabaikan ketiga sungut kawannya tuh sudah menekuk kesal.

🍀🍀🍀

Nahida selalu menyukainya.

Ia selalu suka sudut deret ketiga bangku kelasnya. Tidak terlalu jauh dari papan namun dirinya dapat memerhatikan sekeliling dengan seksama (ingat, bahwa sekeliling yang dimaksudnya adalah sang pujaan hati). Dirinya juga dapat menikmati indah pemandangan lapangan sekolah dari lebar jendala tepat di sebelahnya saat dirinya butuh distraksi, paling tidak pada pelajaran Sejarah Pak Pierro yang menurutnya cukup membosankan.

Nahida menghela nafas, bahkan pemandangan di luar sana tak bisa membunuh rasa bosannya. Ia pun mengeluarkan paket buku soal-soalnya. Jemari mungilnya dengan lincah menuliskan rumus-rumus dengan telaten, menyoret jawaban angka-angka yang baru saja dirinya selesaikan. Sesekali menghapus jawaban atau membaca kembali pertanyaan apabila jawaban yang ia kerjakan tak sesuai dengan pilihan yang ada.

Namun, kesibukannya hanyalah kedok semata, dalam diam ia sesekali mencuri pandang, lirik matanya, tapa berusaha ketahuan, sekelai melihat ke arah lelaki jangkung bersurai abu tersebut.

Seutas senyum simpul seketika terukir diwajahnya mana kala ia mendapai sang jaka juga tengah fokus dengan buku soalnya. Ia pun kembali berusaha fokus pada kertas oretnya, yang sekarang telah dipenuhi arsir pensil tipis berupa gambar-gambar dedaunan.

Bohong

Alih-alih fokus pada pertanyaan soal, jemari mungilnya kembali sibuk menorehkan arsir pensil tipis membetuk motif dedaunan, seutas senyum simpul pun terukir kembali di paras manisnya.

🍀🍀🍀

“HEEEE PAK AZAR DATANG PAK AZAR”

Kelas yang sendari tadi cukup riuh itupun segera senyap seketika, murid-murid kembali berhamburan duduk pada posisinya masing-masing. Fokus Nahida pun terpecah, dirinya yang sendari tadi terfokus pada goresan-goresan di atas kertasnya tersebut seketika celingukan bingung. Ia melihat teman sebangkunya—Nilou—yang entah habis darimana pun mengambil kursi tepat di sebelahnya untuk duduk dengan anggun.

“Pak Azar, kayaknya sih bakalan jadi wali kelas kita makanya pada panik” jelasnya.

“Loh tau darimana?”

“Gatau deh Cyno,” Nilou pun terlihat acuh tak acuh. Gadis itu sendiri tidak begitu tau dan tidak begitu antusias.

Pak Azar adalah salah satu guru yang cukup tidak disukai oleh angkatannya, bukan tanpa alasan, tapi beberapa kebijakan atau tata tertib ‘kelas’nya cukup semena-mena.

Bahkan bagi Nahida, ia lebih memilih mendapat wali kelas macam pak Pierro dengan tampang galak dan sangar namun sejatinya sangat baik dibanding pak Azar.

🍀🍀🍀

Raut wajah sahabatnya yang biasanya berseri itu pun terlihat memberengut tidak suka, begitu pun dengan dirinya dan ia tau pasti kenapa. Baik dirinya dan Nilou sama kecewanya mengetahui fakta bahwa Pak Azar yang sendari tadi ia bicarakan bersama Nilou benar memasuki ruang kelasnya dan mengambil duduk di meja guru.

“Selamat pagi anak-anak, wah kenapa wajah kalian seperti itu? Kaget ya saya jadi wali kelas kalian”

Nilou pun mendengus tak suka seraya mengerlingkan matanya sebal. Nahida tahu betul kenapa sang sahabat terlihat begitu sebal dengan guru di hadapannya tersebut. Bagaimana tidak, Nilou adalah ketua ekskul tari di sekolahnya dan Pak Azar selama ini selalu beranggapan bahwa ekskul seni tidaklah penting dan tidak berguna.

Saat mendengar cerita tersebut Nahida sering kali bertanya dan heran, ternyata masih ada ya, guru berpikiran ‘kolot’ seperti itu, tapi yah ini Pak Azar, apa yang bisa dia harapkan?

Dan di hadapannya, Pak Azar bangkit dari duduk ya, mengambil spidol hitam yang ada di depan dan menuliskan beberapa kata di sana. Semoga saja, awal tahun terakhirnya di SMA yang semula ia tunggu-tunggu tidak berubah begitu saja hanya karena mendapat wali kelas menyebalkan.

🍀🍀🍀

“Ini ga ada yang mau jadi ketua kelas ta?” tanya Aether kepada teman-temannya

Seperti pada umumnya, pertemuan pertama dengan wali kelas adalah membahas masalah pengurus kelas, dan Aether—yang mau tidak mau menjadi sukarelawan karena ditumbalkan oleh teman-temannya—membantu Pak Azar untuk menuliskan nama-nama calon kandidat ketua kelas.

“TER TER!”

“Cyno mau jadi ketua kelas?”

Seketika seluruh pandang kelas yang semula berfokus pada Aether di depan sana beralih kepada Cyno yang duduk di pojok belakang. Lelaki itu menggeleng seraya mengedikkan bahunya, “Mau nyaranin Haitham aja buat jadi ketua kelas”

Seketika lirik Nahida pun berganti fokus kepada nama sang jaka yang baru saja disebut untuk melohat reaksinya dan yang disebut namanya pun hanya menghela nafas pelan tanpa memberikan reaksi berarti apapun.

“Dih kok jadi tunjuk-tujukkan sih?”

“Sudah-sudah, kalau gini biar saya saja yang nunjuk kandidat calon ketua kelas, nanti kalian tingga voting saja,”

🍀🍀🍀

Di atas papan putih telah tertulis empat nama, tepat sesuai jumlah pengurus kelas utama, dan mata Nahida tidak pernah bisa berhenti terpaku dari list nama kedua disana.

Al-Haitham

Entah mengapa, dari sekian nama, hanya nama lelaki tersebut yang sukses menjadi stimulus dari semua respon tubuhnya tanpa yang ia pinta. Mungkin kalau Nilou tau, ia akan bilang bahwa memang begitula remaja yang sedang jatuh cinta, tetapi logikanya menilak, karena ia orang bilang cinta bikin seorang menjadi tak waras.

Matanya kembali melirik kepada sang jaka, ingin sekali sebenarnya ia memilih namanya, tetapi ia takut sok asik karena bahkan selama tiga tahun sekelas dirinya mereka berdua tidaklah pernah bertegur sapa atau berinteraksi satu sama lain. Ia malu tapi mau.

“Nahida, Nahida kamu milih siapa?” tanya Nilou seraya berbisik kepada sang teman sebangku.

“Gak tau, tapi sepertinya Aether,”

“Pilih Haitham aja!”

“Kamu timsesnya Haitham jadi ketua kelas?”

“HUS! Sembarangan! Gak gitu maksudnya!”

“Terus?”

“Gapapa, pengen ngejailin Haitham aja, paling ngga dia ngga lempeng-lempeng aja gitu kalau jadi ketua kelas,”

Nahida selalu merasa iri dengan Nilou, bukan dalam konotasi negatif tentuny. Tetapi ia iri, betapa supel dan ramahnya gadis itu kepada siapapun. Kadang kala Nahida berandai, apakah dia bisa dekat dengan Haitham layakny Nilou dan Haitham?

“Nilou pilih siapa?”

“Haithaaaaaaam”

Nahida terlalu larut dalam lamunnya, tanpa sadar sudah sampai saatnya untuk menentukan suara. Kedua netra jelaganya itu kembali melirik ke bangku lelaki berambut abu tersebut. Saat ini, Nahida harus berani, terlepas impresi sang jaka paling tidak dirinya sudah berusaha—dan berharap—interaksi kecil ini menuntun pada kedekatan lainnya.

“Nahida?”

“Eumm… Haitham…,”

🍀🍀🍀

“Oke… jadi sebelumnya aku mau berterima kasih sama teman-teman karena udah ngasih amanah ke aku dan lainnya. Aku Aether bakalan jadi ketua kelas kalian selama setahun kedepan,”

Nahida bertepuk tangan kecil dengan antusias melihat kelima temannya yang telah terpilih menjadi pengurus kelas tengah berdiri dan memperkenalkan diri masing-masing.

“Kalo aku Cyno, jadi wakilnya Aether karena kalah voting dari Aether,”

Seketika satu kelas dipenuhi oleh gelak tawa, Nahida sendiri belum pernah sekelas dengan lelaki bersurai putih tersebut, tetapi reputasinya sebagai salah satu ‘badut’ kelas sudah cukup melegenda dan lihat saja, saat ini dirinya bisa dengan asal nyeplos di hadapan Pak Azar.

“Aku Al-Haitham, selaku sekretaris satu,”

Dan senyum Nahida pun semakin merekah mendengar suara dari sang jaka, terlepas dari tone datar penuh keterpaksaan serta cemooh dari rekan sebangkunya yang mengharapkan keantusiasan dari Haitham, Nahida sepertinya yang cukup antusias di sini. Dirinya tertawa kecil.

“Aku Candace, selaku bendahara satu, dan sama seperti Haitham, untuk sekretaris satu dan dua masih didiskusikan ya,”

Kedua insan jangkung di depan sana pun saling bertukar pandang, ah sepertinya Haitham melupakan poin tersebut hingga ia pun hanya mengiyakan pernyataan dari sang dara berkulit sawo matang tersebut.

“Iya, jadi buat teman-teman yang nanti kepilih jadi sekretaris dua ataupun bendahara dua mohon bantuannya ya,”

“Baik, terima kasih atas pengenalannya buat para perangkat kelas, kalian bisa duduk di bangku masing-masing karena bapak ada beberapa sosialisasi yang perlu disampaikan,”

Kelima siswa itupun mengangguk sebelum melenggang kembali ke bangku masing-masing. Tepat saat itu, kehidupan tahun ajaran baru Nahida pun di mulai.

🍀🍀🍀

Dan mungkin kedepannya ia tidak akan pernah menyangka di tahun terakhirnya ia akan membentuk banyak kenangan indah dan penuh warna setiap harinya.

—

“Ayaka?! Ayaka!”

Gadis ayu bersurai pucat itu pun mengedipkan matanya manakala Yoimiya, sang sahabat sepertinya sudah sendari tadi memanggili namanya. Apakah dirinya baru saja melamun?

“Kamu gapapa Ayaka? Daritadi kok diem terus,” tanya Lumine penuh selidik namun juga khawatir, diikuti pula dengan kedua sahabatnya yang lain.

Melihat raut khawatir ketiga sahabatnya tersebut membuat Ayaka sedikit merasa bersaah, seharusnya mereka bersenang-senang sekarang, kenapa justru suasananya menjadi melow? Gadis itu menggeleng, seraya tersenyum ia mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja.

“Aku gapapa kok, cuma keinget Kazuha sedikit, bukan masalah besar…,” ujarnya lirih.

Yoimiya, gadis bersurai pirang dengan cepol itu pun segera memeluk dirinya diikuti dengan Lumine. Mereka begitu mengerti betapa besar peran lelaki bernama Kaedehara Kazuha itu dalam kehidupan—khususnya romansa—sahabatnya tersebut.

Kaedehara Kazuha layaknya seorang pelukis yang dengan sengaja mewarnai canvas kehidupan Ayaka dengan corak merah muda. Bukan main, sang pelukis juga seakan berusaha memperhindah canvas tersebut dengan corak penuh warna lainnya. Namun, Ayaka tau betul bahwa sang pelukis tersebut merasa lelah dan bosan dengan canvasnya sehingga dirinya pun berhenti bermain di sana.

“Kalau misal aku punya kesempatan untuk ketemu Kazuha lagi aku cuma mau bilang kalau dari dulu aku cuma pengen dia, pengen sama dia gak lebih…”

—

Karena sejatinya, hanya Kaedehara Kazuha lah yang Ayaka butuhkan.

—

Mendekati jam terakhir mata kuliahnya entah mengapa sendari tadi Ayaka merasa tidak nyaman. Feeling wanitanya mengatakan bahwa tamu bulanannya datang tiba-tiba tanpa undangan dan sepertinya lebih awal dari jadwal, selesai kelas ia harus segera ke kamar mandi untuk memastikannya.

—

“Ayaka!”

Ayaka mendecih kecil, biasanya ia selalu suka saat suara familiar tersebut memanggil namanya. Namun untuk kali ini saja, ia berharap untuk tidak menemui Kazuha terlebih dahulu, menghindari hal-hal yang tidak diinginkan ataupun memalukan dan lagi ia harus segera ke kamar mandi karena ada keperluan yang jauh lebih mendesak.

Lelaki bersurai pucat tersebut mengajak ngobrol Ayaka, cukup lama hingga ruang kelas hanya tersisa mereka berdua. Wajah sang gadis sudah memberisut kecut tak ada mood.

“Eh astaga keasikan ngobrol, yuk balik kelas udah sepi juga nih”

Gadis itu mengangguk, dengan segera ia pun lampirkan tas selempangnya di pundak dan segera bergegas keluar kelas karena insting wanitanya seakan memberikan alarm akan firasat buruk pada dirinya. Namun lagi-lagi, Kazuha menahan dirinya yang seakan tengah terburu-buru. Lelaki itu seakan menahan dirinya untuk tidak berjalan terlalu cepat dan berusaha mengawalnya dari belakang.

“Ayaka, maaf banget bukannya bermaksud tidak sopan tapi sepertinya kamu hari ini datang bulan ya? Aku lagi ga bawa jaket buat dipinjemin ke kamu jadi kamu jalannya jangan cepet-cepet ya, ini aku nutupin bagian belakangmu.”

Tanpa diperjelas Ayaka sudah mengerti arah maksud perkataan Kazuha tersebut yang sukses membuat kedua pipinya bersemu karena malu. Berbeda dengan dirinya, lelaki tersebut seakan tak acuh mengekori dirinya menuju ruang toilet wanita dan menunggunya dengan sabar di luar sana.

“Aku tunggu di sini ya? Kamu bawa pembalut ngga? Mau aku beliin sekalian?”

Gadis itu menggeleng, dengan tatapan yang masih enggan menatap kedua netra kemerahan tersebut ia mengatakan bahwa dirinya sudah meminta tolong kepada salah seorang temannya untuk membawakannya pembalut dan juga jaket yang bisa ia pinjam.

Bersamaan dengan diri yang dara yang menghilang dari balik pintu bilik kamar mandi. Kazuha berdiri menyandar sembari memainkan ponselnya di luar sana, membalas pesan singkat dari sahabatnya atau sekadar menonton video random di twitter.

“Kamu Kazuha ya? Ayaka di dalem kan?”

Sang jaka mengalihkan fokusnya dari benda pipih di tangannya, mendapati seorang gadis bersurai pirang yang dicepol ke atas datang menghampirinya dengan membawa sebuah jaket, pikirnya mengatakan bahwa gadis tersebutlah yang dimaksud sebagai teman Ayaka.

“Ah, temannya Ayaka ya? Ayaka masih di dalem kok, masuk aja” danayaknya titah gadis itu pun masuk setelahnya.

Tak selang berapa lama, kedua gadis dengan dua warna surai yang saling bertolak belakang itupun keluar dan Ayaka terlihat mengikat jaket milik temannya tersebut di pinggang mungilnya.

“Makasi loh Yoimiya, maaf ngerepotin, untung banget kamu bawa jaket”

“Kamu kok ceroboh banget sih Aya? Tumben? Biasanya selalu prepare”

“Iyanih soalnya jadwalnya lebih cepet dari biasanya jadi aku ga sempet bawa ganti”

Mendengar pembicaraan kedua gadis tersebut Kazua enggan berniat untuk nimbrung, lagipula pembicaraan tersebut bukan pula topik yang dapat ia ikuti. Sampai akhirnya Ayaka menepuk keduanya, menyadarkannya dari lamunan.

“Kazuha, kenalin ini temen aku Yoimiya dan Yoimiya, kenalin ini Kazuha”

Mereka berdua pun berjabat tangan saling berkenalan. Hanya berbicara singkat dan berbasa-basi sebelum akhirnya Kazuha kembali mengalihkan fokusnya pada Ayaka.

Seakan dirinya berada dalam dimensi yang salah dan terasingkan. Yoimiya memperhatikan interaksi kedua insan di hadapannya yang sukses mengukir seutas simpul manis di wajahnya.

“Kalian mau langsung pulang?” Tanyanya yang seketika sukses mendapatkan kembali fokus dari sahabatnya, Ayaka.

“Eh, iya Yoimiya! Kamu gimana? Masih ada kelas?” Gadis itu pun mengangguk.

Ia melihat jam di pergelangan tangannya, memastikan bahwa dirinya tidak akan terlambat untuk kelas selanjutnya.

“Kalau gitu aku balik dulu ya! Kazuha aku titip Ayaka! Hati-hati di jalan ya!”

—

Fokus mata Ayaka masih tertuju pada benda kotak pipih di tangannya yang sendari tadi sukses membuatnya terkekeh kecil. Jemarinya sendari tadi sibuk mengetikkan pesan-pesan balasan kepada ketiga temannya yang lain yang daritadi dengan semangat menjahili dirinya.

Ah, Ayaka teringat harus menelepon kakaknya terlebih dahulu untuk meminta dijemput. Dengan lincah jemarinya menari, menutup aplikasi pesan singkat dan segera menuju ke kontak panggilan teratas, kakaknya.

Halo Ayaka

“Halo kak, ini Ayaka udah selesai kuliahnya, boleh minta tolong untuk dijemput?”

Ah iya kakak sampai lupa, tapi maaf banget Ayaka ini kakak masih ada meeting dan mungkin telat selesainya. Kamu baik taksi aja gimana? Nanti kakak transfer uangnya.

Ayaka menghela nafas pelan.

“Iya kak gapapa. Aku pulang dulu ya?”

Oke, sampai ketemu nanti di rumah. Hati-hati ya

Panggilan pun berakhir.

—

Suasananya ikut murung bersamaan dengan langit menggelap dan mengeluarkan gemuruh, rintik hujan pun sepertinya juga tampak enggan untuk berakhir dalam beberapa waktu ke depan. Kalau seperti ini Ayaka pun tak bisa memasan taksi karena taksi tidak diperbolehkan masuk ke lingkungan kampusnya dan dirinya pun diharuskan berjalan ke depan gerbang.

“Tau gini aku bawa payung” gumamnya.

Di saat dirinya diliputi perasaan abu-abu tak mementu yang membuat mood-nya memburuk ia merasakan seseorang menepuk pundaknya lembut sebanyak tiga kali. Ia pun menoleh.

Kedua netranya mendapati sosok lelaki dengan tinggi tak terlalu jakung tetapi masih cukup tinggi dibanding dirinya. Rambut gondrongnya itu dikucir asal kebawah dan sedikit miring. Sosok laki-laki yang akhir-akhir ini cukup sering menghabiskan waktu bersama dirinya, Kaedehara Kazuha.

“Kamu kok baru pulang?” Tanya lelaki itu lagi yang kemudian menimbulkan pertanyaan yang sama pada dirinya.

“Aku tadi dipanggil mbak Yae bentar ke ruang departemen. Kamu kok masih disini? Bukannya tadi duluan?” Tanyanya balik.

“Cabut duluan ke lounge sama Venti sama Bedo cuma buat WiFian sama mabar hahaha” ujarnya, menjelaskan kenapa tubuh atas lelaki itu tampak sedikit basah. Sepertinya Kazuha buru-buru berlari untuk bertuduh dari gemuruh rintik hujan.

“Nunggu dijemput?” Lanjutnya.

“Engga, kak Ayato ga bisa jemput jadi aku nunggu hujan reda buat jalan ke depan”

“Hujannya kayaknya masi lama deh redanya, mau pulang bareng ngga mumpung aku bawa mobil?” Tawarnya, meskipun Ayaka masih sedikit sangsi tetapi yang dikatakan Kazuha ada benarnya, hujan hari ini seakan enggan reda untuk beberapa waktu kedepan. Tetapi berjalan keparkiran juga sama saja membuat mereka kehujanan.

“Tapi kalo kita jalan ke parkiran tetep kehujanan”

“Aku aja yang ke parkiran kamu tunggu sini, mau ngga?”

“Eh tapi Kazuha—“

“Daripada nunggu hujan kamu malah pulang kemaleman, tunggu sini ya aku ambil mobil dulu!”

Seolah pendapat Ayaka tak begitu penting lelaki bersurai pucat itu segera kembali menyusuri hujan. Kedua tangannya ia letakkan di atas kepala berusa menghalau rintik yang ada walaupun bagian tubuh lainnya tetap kehujanan.

Sikap keukeuh Kazuha yang seperti ini kadang sukses membuat Ayaka kebingungan, khususnya ketika pertama kali mengenalnya. Namun sekarang, ia berusaha memahami dan terbuasa dengan keras kepalanya lelaki itu.

—

Sebuah mobil sedan putih pun berjalan mendekat dan kemudian menepi tak jauh di dekat tempatnya berdiri, dari tempatnya ia dapat melihat Kazuha turun dan membuka bagasi belakang untung mengambil sebuah payung sebelum berjalan ke arahnya dan membukakan pintu untuknya, tak lupa dengan memayunginya.

Setelah ia masuk, lelaki itu kembali berjalan memutar dan masuk ke dalam mobil. Payungnya pun ia tutup sebelum ditaruh ke jok penumpang sebelum melajukan mobilnya.

“Kamu jadi kehujanan, maaf ya” ujar Ayaka berusaha memecah keheningan. Kazuha pun terkekeh dan mengatakan hal tersebut bukanlah masalah.

“Tetep bakalan kehujanan juga si soalnya kan aku tetep harus jalan ke parkiran”

“Oh iya, kamu pulang perginke kampus biasanya di antar Kak Ayato kah?”

“Engga juga, kadang kalo kak Ayato ngga bisa aku naik taksi tapi uangnya tetep dari kak Ayato. Kamu selalu naik mobil?”

“Tergantung cuaca sih, kalau cerah motor biar ngga macet kalau mendung mobil, tapi kalo males atau capek monil juga jadi seringnya mobil hahaha”

“Apa susahnya sih jawab mobil aja? Aneh”

“Biar ada yang diobrolin Ayakaa masa gitu aja gatau sih”

Boy I hear you in my dream I feel your whisper across the sea I keep you with me in my heart You make it easier when life gets hard

Selama perjalanan mereka menghabiskannbanyak waktu untuk mengobrol—walau banyaknya Ayaka yang bercerita dengan Kazuha yang sesekali bertanya atau menimpali dengan candaan—bergurau karena lelucon atau cerita Kazuha hari tentang temen sablengnya, Venti.

Lucky I’m in love with my best friend Lucky to have been where I have been Lucky to becoming home again

Setengah jam perjalanan pulang bersama Kazuha yang terkadang lelaki itu sesekali mampir untuk membeli jajanan atau ada saja ide lainnya, Ayaka pun tak perlu merasa bosan atau sepi lagi selama perjalanan pulang. Jika boleh jujur Ayaka menikmati setiap waktunya yang ia habiskan dengan lelaki di sebelahnya itu.

“Makasih ya Kazuha udah nganterin aku pulang” ucapnya saat tiba di depan rumahnya, stukurlah hujan reda sesaat mobil Kazuha sampai pada gerbang perumahan Ayaka.

“Sama-sama Ayaka!”

Mereka berpamitan dan saling melambaikan tangan sebagai sebuah pesan. Namun sesaat sebelum Ayaka menghilang di balik pagar besaenya itu Kazuha memanggilnya kembali.

“Ayaka! Berangkat sama pulangnya bareng aku aja gapapa! Mau ngga?”

Dan untuk pertama kalinya Ayaka tidak menolak ataupun membantah ajakan Kazuha.

—

“Ayaka, temen kamu jemput tuh.”

Ayaka mengerutkan keningnya, menunjukkan raut penuh tanda tanya, seingatnya ia tidak janjian dengan Yoimiya ataupun Lumine sebelumnya lalu siapa yang datang menjemputnya.

Seketika kedua netranya pun melebar sempurna, mengingat pesan terakhir dari salah seorang ‘temannya’ di kampus. Walaupun ia berusaha meyakinkan dirinya kalau hal tersebut tidaklah mungkin tetapi kemungkinan tersebut tetaplah ada. Seketika Ayaka pun beranjak, mengambil cardigan berwarna pastel miliknya dan segera turun dengan tergesa.

“Kazuha!”

“Hai!”

Ayaka tidak mau percaya, ia ingin terus menyangkal namun pada nyatanya Kazuha telah berada di sana. Duduk di ruang tengah dengan seutas senyum hangat menyapanya.

“Kak Ayato, maaf aku naik dulu ya buat ganti baju” ujarnya segera kembali naik ke lantai dua.

—

“Pulangnya jangan malam-malam ya kalian!”

“Iya kak Ayato, kami pamit dulu ya!”

Ayaka pun duduk di kursi penumpang tepat di sebelah Kazuha setelah lelaki itu membukakan pintunya terlebih dahulu. Kazuha pun beranjak ke arah kemudi dan setelah berpamitan untuk terakhir kali ia pun melajukan mobil sedannya tersebut.

“Maaf ya aku jemput dadakan, kamu keberatan ngga?” tanya lelaki itu tiba-tiba.

Jika boleh jujur, dibanding merasa keberatan Ayaka lebih merasa tak percaya dan tidak menyangka kalau Kazuha benar-benar akan meminta ijin kepada kakaknya hanya agar dirinya bisa ikut jalan.

Eh, tunggu dulu—

“Kamu tau alamatku dari mana?” Tanya gadis itu balik, tidak menjawab pertanyaan Kazuha.

“Maaf ya kalau ngga sopan atau minta alamatmu langsung. Tapi aku dikasih tau Thoma” jawabnya dengan nada bersalah.

“Eh engga, kamu ngga perlu minta maaf aku cuma mau tau aja—Ah! Iya ini kita kau kemana?” tanyanya balik, berusaha mencari topik.

“Kalau ga salah tempat janjiannya di tavern deh. Eh iya, Ayaka aku boleh minta tolong buat google maps ngga? Aku kurang tau spesifiknya di mana si”

—

Selama perjalanan mereka menghabiskan waktu dengan bercerita, senda gurau, ataupun sebatas berkarouke. Walau memang Kazuha yang lebih banyak bercerita san Ayaka menanggapi, tetapi Ayaka sangat menikmati momen tersebut. Sejak kedua orang tuanya meninggal kakaknya, Ayato, memang jadi lebih strict terhadap dirinya. Oleh sebab itu ia merasa sangat senang dapat menghabiskan waktu sengan Kazuha seperti ini.

—

“Lumiiiin”

Ketiga gadis yang sudah tiba terlebih dahulu di kediaman Yoimiya dan Kuki seketika menyambut ‘bintang terakhir’ mereka. Lumine Viatrix, gadis bersurai pirang dengan senyum meneduhkan itu seketika mendapat hujanan pelukan hangat dari ketiga sahabatnya itu dan sekarang keempat gadis cantik tersebut berpelukan layaknya teletabis di depan pintu apartemen Yoimiya dan Kuki.

“Aduh aduh bisa ngga sesi temu kangennya di dalem aja? Agak encok ya bun ini pinggang kalo di depan pintu gini” ujar Lumine seketika membuat mereka semua tertawa.

—

“Eh tapi sumpah sih aku ga nyangka kalo akhirnya kamu nikah sama Xiao”

“Eh iyaa padahal dulu pas kuliah kamu kan couplegoals banget sama si Childe”

“Ih jangan gituu! Malu!”

Sekarang gadis gadis cantik itu sedang berkumpul di kamar milik Yoimiya. Seperti bisa agenda rutin mereka sejak kuliah, ketika sleep over gini wajib hukumnya bagi mereka untuk deep talk dan untuk topik deep talk kali ini kayaknya engga bakalan jauh-jauh dari nostalgia masa lalu apalagi mengulik soal Lumine yang baru saja menikah sama Xiao.

Berita pernikahan Xiao dan Lumine memang cukup mengagetkan—walaupun tidak terlalu mengagetkan bagi mereka bertiga—tapi jika mengingat sama kuliah mereka pasti ngga akan ada yang bakalan percaya, apalagi mengingat pasangan Lumine dan Childe sangat menggemparkan jagat kampus Teyvat.

“Eh tapi emang katanya Xiao udah naksir Lumine dari jaman ospek ga sih,” ujar Yoimiya tiba-tiba. Gadis itu menambahkan dia tau perihal desas desus gosip ‘Xiao naksir Lumine’ dulu dari Hu Tao, teman sejurusannya yang juga temannya Xiao.

Yoimiya, Ayaka, dan Kuki seketika menoleh ke arah Lumine seakan menunggu jawaban atau bisa dibilang kepastian perihal desas desus gosip tersebut. Sementara itu Lumine terlihat sedikit salah tingkah dan malu-malu karena dihujami tatapan penuh penasaean dari ketiga sahabatnya itu.

“Jujur aku kurang tau ya soal gosip itu cuma pernah denger aja tapi aku anggep angin lalu tapi pernah deh waktu masih jaman PDKT sama Xiao dia bilang kalo emang udah nge-tag aku dari jaman ospek sayangnya keduluan aku jadian sama Childe”

Lumine pun bercerita banyak hal mulai dari hubungannya sama Childe, Childe yang punya affairs sama cewe lain, sampai ketemu Xiao yang ternyata satu gedung kantor sama Lumine.

“Pas putus dari Childe tuh aku udah beneran bodo amat gitu lo maslaah cowo, gamau sekadar cari pacar tapi ya emang udah usia yang prospek serius gitu lo karena emang kebutuhan juga udah banyak kan mending single daripada neko-neko. Nah terus kebetulan juga ‘ketemu’ sama Xiao. Awalnya tuh emang cuma mau temenan aja aku juga udah bilang ke Xiao ‘Kalo lo deketin gue cuma main-main mending lo cari yang lain gue udah ga minat main-main’ karena aku ngerti dia kek ada rasa gitu ya. Aku kira dia bakalan mundur atau gimana tapi terus dia bilang ‘GR gue juga ga minat kali main-main sama lo’” ujarnya sedikit menirukan gaya bicara Xiao.

“Yaudah kita temenan aja ya hubungan kita jalan gitu aja sampai akhirnya dia tiba-tiba propose ya kan aku kira bercanda kita gaada hubungan apa-apa tiba-tiba diajak nikah kek ‘hah?!’ gitu looo. Terus aku bilang kita coba pacaran dulu cocok apa engga sambil ngeyakinin diri terus akhirnya jadi deh kayak sekarang”

Lumine mengakhiri sesi nostalgianya bersama Xiao dengan seutas senyum manis yang seketika mengundang jeritan ‘aaaawww’ khas cewe-cewe setelah mendengar cerita super ‘uwu’ dan romantis. Tak lupa Yoimiya dan Kuki yang seakan menggoda Lumine membuat sang gadis sedikit malu-malu salah tingkah sedangkan Ayaka hanya duduk memperhatikan sembari tertawa kecil.

“Aduh kapan ya Thoma sat set kayak Xiao masa aku harus yang kode keras kek kucing birahi minta di kawin” celetuk Yoimiya seketika membuat Lumine meng-‘hush’ kan ucapannya. Emang dari mereka berempat Yoimiya yang paling ceplas ceplos ketika berbicara.

“Tapi emang bener sih di usia segini kalo ga dikasih kepastian mending segera end daripada digantung”

“Halah sok-sokan ngomong gitu kamu sendiri sama Heizou ngga ada kejelasan hubungan”

“Ya makanya aku bilang gitu sekalian menyindir diri sendiri”

“Hahaha, tapi sumpah deh, pas tau kalo akhirnya aku sama Xiao yang ternyata udah naksir aku dari ospek kadang dia aku ledekin ‘kenapa lo ga dateng dari awal aja yaaaa?!’ daripada harus jagain jodoh orang lama modelan Childe lagi” canda Lumine

Seketika Lumine, Yoimiya, dan Kuki sibuk bercerita perihal kasih mereka di masa lampau. Mulai dari kenapa dulu Lumine bisa bucin banget ke Childe yang padahal udah selingkuh masih aja mau diajak balikan sampai Kuki yang merutuki dirinya karena bisa-bisanya kepincut senior aneh bin ajaib sekaligus biang kerok nomor satu di kampus—Arataki Itto.

Mendengar semua curhan serta keluhan ketiga sahabatnya itu membuat Ayaka yang sendari tadi diam sedikit tertawa kecil—memang, dibanding ketiga temannya itu dirinya yang paling sedikit memiliki pengalaman romansa bahkan bisa dibilang cinta pertamanya tak begitu jelas akhirnya. Bahkan mungkin hubungannya sudah saja berakhir sebelum dimulai, hal tersebut seketika sukse menimbulkan seutas tipis senyum miris di paras ayunya.

—

Namanya Kaedehara Kazuha, Ayaka ingat betul pertama kali bertemu dengan Kazuha di salah satu toko buku di pusat kota Inazuma—kebetulan yang tidak disengaja dan kemudian mebawa kebetulan-kebetulan lainnya. Kebetulan mereka sama-sama mahasiswa baru di Universitas Teyvat yang ternyata satu jurusan dengannya hingga kebetulan-kebetulan lainnya seperti kesamaan selera musik ataupun buku yang seketika mendekatkan mereka.

Namanya Kaedehara Kazuha, cinta pertamanya yang menyisakan berbagai kenangan asam manis untuk kisah asmara dalam rekam jejak kehidupannya.

Namanya Kaedehara Kazuha, cinta pertamanya yang hingga kini masih menyisakan beragam kecamuk perasaan dalam diri Ayaka. Mulai dari suka, kecewa, sedih, bahkan hingga rindu.

Namanya Kaedehara Kazuha, dan Ayaka hanya ingin bertemu kembali dengan cinta pertamanya.

🌸🌸🌸

Paling tidak hari ini Ayaka dapat menghela nafas lega walau ada sedikit kecewa di relung hati sang wanita. Paling tidak Ayaka telah terbebas dari tanggung jawab dan senyum palsu urusan politik serta diplomasi Inazuma, paling tidak sekarang Ayaka bisa memilih untuk egois—mementingkan diri dan perasaannya sendiri—sampai ketika sang kakak memanggilnya, meminta waktunya tepat sebelum dia ijin pamit undur diri.

“Ayaka, apa kamu terburu-buru?”

Seolah mengerti gelagat sang adik yang ingin segera pergi dari tempat yang membuatnya jengah dan sesak Ayaka dengan segera mengubah raut wajahnya—berusaha tersenyum, karena permintaan sang kakak mutlak melebihi ingin dari dirinya sendiri. Gadis itu pun menggelengkan kepalanya.

“Ada apa kak?”

“Ini terakhir kalinya kamu menemani kakak, kakak janji, tapi sebelum itu temani kakak untuk menyambut para Qixing yang sudah datang jauh-jauh dari Liyue” dan Ayaka pun mengangguk sebagai jawaban.

🌸🌸🌸

“Maafkan kami atas keterlambatan kami menghadiri festival Irodori ini, jika berkenan ini sedikit buah tangan yang kami bawa dari negeri pelabuhan nan jauh”

Sang dua bersaudara begitu terkesima manakala menerima buah tangan tersebut, mereka sudah sering mendengar kabar buruh perihal indahnya permata dan giok dari negeri sang archon geo tersebut, tetapi melihatnya langsung sukses membuat mereka terpana dan jatuh hati—mereka tidak pernah mengira kalau bebatuan tersebut dapat terlihat begitu berkilauan khususnya di bawah sinar sang bagaskara.

Sedetik mengagumi keindahan bebatuan tersebut Ayato pun berdeham, menyadari sikap tidak sopannya kepada sang tamu—ia belum memperkenalkan dirinya sendiri dan belum menyiapkan buah tangan balasan.

“Ah maaf atas ketidak sopanan kami, sebelumnya salam kenal para Qixing yang terhormat. Kami perwakilan dari komisioner Yasshiro di Inazuma—saya Kamisato Ayato dan ini adik saya namanya Kamisato Ayaka, senang dapat bertemu Anda sekalian.”

Mendengar Ayato memperkenalkan dirinya dengan begitu formal membuat wanita lawan bicaranya tersebut tak kuasa menahan kekeh.

“Tidak usah terlalu formal dengan kami—ah, perkenalkan saya Ningguang.” ujar wanita nomor satu di negeri Liyue tersebut.

Ningguang pun memperkenalkan para anggota Qixing lainnya dan juga Beidou, sementara Ayato dan Ninggung berbicara mengenai bisnis—serta lelang yang Ayaka tidak tahu menahu dari sudut matanya ia mendapati kehadiran dua teman pengembaranya itu muncul dari balik wanita yang Ayaka tidak salah ingat bernama Beidou. Seketika sang putri pun tersenyum cerah menyadari keberadaan teman sejawatnya itu.

“Aether! Lumine! Senang bisa bertemu kalian lagi” sapanya.

“Ah itu mah kamu yang super sibuk jadinya pas kita bantu-bantu di Inazuma ngga bisa ketemu” ledek si kembar putra membuat adiknya—Lumine—pun segera menyikut perut sang kakak.

“Yo, pemgembara! Hebat juga kalian bisa kenal dengan putri Inazuma ini.” Dengan salah tingkah Ayaka pun menutup separuh wajahnya—untuk menyembunyikan rona merah muda di kedua sisi wajahnya—dengan kipas kertas yang selalu ia bawa. Sementara Lumine dan Aether hanya terkekeh kecil melihat sang putri menjadi malu-malu.

“Ayaka kenalin! Ini kaptain Beidou! Kaptain ini penguasa lautan loh dan sering mengalahkan monster laut!”

“Benar kata Lumine! Waktu kita ke Inazuma kita juga terkendala badai dan juga serangan monster laut tapi Kaptain Beidou dengan mudah mengalahkannya!”

Si kembar tak henti-hentinya berceloteh akan kehebatan sang bajak laut wanita di jadapannya, lagaknya anak kecil yang memamerkan suatu hal tak terduga kepada temannya membuat Ayaka turut terkesima karena mendengar cerita terkait lautan antah berantah yang tidak pernah ia lihat dengan mata kepalanya langsung. Sementara Beidou sepertinya sedikit salah tingkah di sini.

“Sudah, sudah kenapa harus membicarakan diriku sih? Bukankah seharusnya kita membicarakan terkait soal putri Inazuma? Oh iya tuan putri, aku sudah mendengar banyak cerita soal dirimu dan memang benar pesona kecantikanmu tiada duanya.”

“No-nona Beidou!”

“Kenapa putri harus malu, memang benar kok putri cantik sekali! Ah iya, ada salah satu kru-ku yang juga dari Inazuma namun sayang—Tch. anak itu benar-benar menolak turun dari kapal.”

Mendengar pujian yang begitu banyak—dan berlebihan bagi dirinya—sukses membuat wajah Ayaka yang seputih salju pun memerah serta membuat dirinya kikuk mati kutu tak bisa berucap sampai ketika Ayato menepuk pundaknya lembut, menyadarinya dari kegugupannya.

“Wah senang mengetahui nona Beidou dan pengembara bisa akrab dengan Ayaka, maaf ya memang terkadang dia bisa menjadi sangat kikuk”

“Kak Ayato!” ujarnya tidak terima namun Ayato seakan hirau dan justru menepuk pucuk kepala sang adik.

“Ah iya, ini kan sudah siang bagaimana kalau kita makan siang bersama?” tawarnya yang tentu disambut antusias oleh dua bersaudara dan juga Beidou dengan antusias.

Namun sebelum beranjak untuk pertama kalinya Ayaka meminta izin undur diri terkebih dahulu mengatakan bahwa ia memiliki keperluan yang cukup mendesak, tentu saja Ayato mengijinkannya.

🌸🌸🌸

Karena jikalau Ayaka terlambat sedetik saja, mungkin Ayaka akan kehilangan kesempatannya.

🌸🌸🌸

“Kazuha! Kau mau kemana? akhirnya merubah pikiran dan memilih untuk turun ke kota?” tanya salah seorang kru kapal the Crux saat melihat Kazuha yang sendari mereka tida di Inazuma hanya berdiam di atas sangkar gagak.

Tentu saja hal tersebut mengejutkan mereka, mengingat betapa enggannya lelaki itu untuk turun dan menginjakkan kaki di tanah kelahirannya—tentu saja mereka mengerti, mereka semua layaknya keluarga kedua bagi Kazuha yang mengerti bagaimana kota kelahirannya itu menyimpan kenangan buruk bagi dirinya.

“Aku hanya ingin mengecek sesuatu… aku akan kembali tepat sebelum malam, kalian tunggu saja baru nanti biarkan aku yang menjaga kapal.” ujarnya tepat setelah menginjakkan kaki di pelabuhan, seluruh kru the Crux pun mengacungkan jempol setuju sekaligus senang akan kabar tersebut.

Kazuha pun melambaikan tangannya sebelum berlalu.

🍁🍁🍁

Ucapnya hanya sebuah kilah, alasannya turun hanyalah karena ia merasa bahwa sang angin menyiratkannya untuk pulang ke ‘rumah’ sejenak.

Ia merasa bahwa angin seakan membawa pesan untuk menjemputnya.

🍁🍁🍁

Dan nafas Ayaka pun tercekat melihat pemandangan di hadapannya—kediaman Kaedehara yang mungkin sudah tidak patut dikatakan sebagai kediaman. Rumah yang dulunya berdiri kokoh dan megah pun seiring berjalannya waktu dan ditinggalkan sang empu bisa menjadi ringkih dan rapuh.

Ia melihat ke sekeliling, begitu senyap dan sepi, rumput liar tumbuh di mana-mana tak terawat. Ia pun menolehkan pandangnya kepada bekas pohon sakura yang dulu tumbuh di sana, berdiri begitu gagah dan perkasa namun juga indah. Tetapi sekarang pohon tersebut telah lah layu dengan beberapa helai daun serta bunya yang tumbuh malu-malu di pucuknya.

Ayaka menyayangkannya, padahal pohon itu dulunya begitu indah.

“Padahal dulu kediaman Kaedehara sangatlah indah dengan banyaknya pohon maple mengelilinginya. Daunnya yang kemerahan juga menambah elok kediaman ini apalagi ketika gugur.” gumamnya pelan.

Hatinya sakit mengingat setiap kenangan yang tersisa di rumah itu. Walaupun dirinya juga cukup jarang berkunjung secara resmi namun ia selalu sengaja melewati arah kediaman Kaedehara hanya untuk bertemu sesosok lelaki yang setiap paginya selalu berdiri dan termenung memandangi bunga sakura di hadapannya. Lucu juga ya, dulu sosok lelaki yang ia tunggu selalu berdiri di tempatnya sekarang namun saat ini ia yang menunggu keajaiban di tempat lelaki itu biasa berdiri.

“Kazuha… apa kamu tidak berniat untuk pulang?”

Bersamaan dengan harap terakhirnya dengan ujar yang dipenuhi ratap, kelopak satu kelopak bunga sakura pun gugur di bawa angin. Entah apa yang membuat Ayaka mengulurkan tangannya dan berbalik seakan berusaha mengejar kemana kelopak tersebut akan pergi dibawa sang angin.

🌸🌸🌸

Dan di sanalah Kazuha berdiri, tepat di depan kediamannya dulu. Langkah kakinya seakan segan dan ragu-ragu untuk mendekat, semua memori buruknya pun seketika terulang layaknya kaset rusak. Membuat pikirnya ricuh dan berkecamuk. Kazuha membencinya.

Namun langkahnya tertahan untuk melaju saat ia mendapati seorang gadis tengah berdiri memandangi pohon sakura yang mungkin akan segera layu itu. Walau bayang samar gadis itu terlihat familiar, Kazuha engganlah berharap.

Mungkin saja hanya orang yang mirip dan sekadar mampir.

Namun jikalau dipikir-pikir siapa pula yang berpikir untuk singgah sejenak di kediaman yang bisa saja telah lama mati itu?

Pikirnya mengatakan bahwa bisa saja gadis itu tersesat, langkahnya pun ia bawa menuju sang gadis, membawanya pergi dari tempat yang begitu muram di hadapannya. Sampai ketika saat ia hendak mendekat hembusan angin pun tiba-tiba bertiup, membuatnya sedikit memicingkan kedua matanya.

Kazuha… Apa kamu tidak berniat untuk pulang?

Dan tepat ketika Kazuha membuka kedua pasang matanya, ia dapat melihat jelas sang gadis—nya—menatapnya dengan harap namun juga ratap yang tersurat jelas di kedua binar matanya yang perlahan hilang.

Binar mata yang dulu menjadi favoritnya… yang sekarang kehilangan cahaya karena dirinya.

🍁🍁🍁

“Nona Ayaka…”

Dan sang gadis pun tersenyum lembut penuh akan kelegaan dan syukur, air mata tak henti-hentinya mengalir membuat sang jaka dengan sigap memeluk dan memenangkan wanitanya.

“Kamu gatau… sudah berapa lama aku nunggu dan berharap kamu pulang…”

Kazuha tidaklah berkata-kata lebih, ia hanya berharap hangatnya peluk untuk pelik sang gadis nampu menyuarakan bahwa ia tak perlu khawatir karena dirinya sudahlah pulang.

🌸🌸🌸

Pagi itu wajah cantik sang jelita terlihat bermuram durja, binar cahaya di matanya setiap harinya semakin meredup dan digantikan oleh rasa lelah yang tersurat jelas. Pagi itu tak sama seperti pagi-pagi biasanya di mana yang selalu Ayaka sambut dengan sapa serta senyum hangat, alih-alih tersenyum, bibirnya serasa tercekat dengan lidah yang kelu, Ayaka pun hanya bisa menghela nafas pelan—yang sudah dilakukannya sebanyak dua kali di pagi ini.

Sang kakak yang sendari tadi berjalan berdampingan di seblahnya pun tak begitu saja hirau, perubahan raut wajah serta ekspresi sang adik begitu kentara untuk diabaikan begitu saja.

“Apakah kamu lelah Ayaka”

Sang adik terperajat saat mendengar celetukan yang lebih tua, ia pun membatin apakah begitu kentara? Dengan segera Ayaka pun menggelengkan kepalanya, berusaha mengelabui yang lebih tua walaupun ia tau hal tersebut adalah upaya yang percuma.

“Tidak apa-apa kak, lagipula hal ini juga merupakan keinginan Ayaka jadi mau tidak mau Ayaka harus menanggung konsekuensinya bukan?”

Mendengar ucapan sang adik barusan entah kenapa selalu menimbulkan perasaan yang saling kontradiktif satu sama lain di batin Ayato. Di satu sisi ia merasa bangga atas perhatian sang adik yang mengerti akan tanggung jawab serta ‘konsekuensi’ menjadi bagian dari kepala keluarga utama tiga komisioner di Inazuma. Namun di sisi lain, ia merasa sedih dan bersalah melihat Ayaka yang menanggung beban tidak seharusnya—adiknya itu seharusnya bisa menikmati festival dan bersenang—senang bersama teman-temannya, layaknya gadis remaja seusianya tetapi tanggung jawabnya sebagai seorang komisioner memberinya batasan bahkan untuk sekadar bersenang-senang.

“Kak Ayato tidak perlu khawatir, aku senang kok dapat membantu kakak!”

Ujarnya.

Sebenarnya gadis itu tidaklah berkilah namun ia pun tidak sepenuhnya jujur. Memang benar ia menyukai pekerjaannya—sebagai seorang representatif dari tiga kominioner utama di Inazuma. Namun di sisi lain ia juga kecewa.

🌸🌸🌸

Satu hal yang membuatnya kecewa adalah harapnya sendiri yang mungkin akan menjadi ratap.

Sejak awal Ayaka seharusnya sudah tau bahwa harap dan usahanya layaknya sebuah pertaruhan di mana ia bisa saja benar atau salah—menang atau kalah.

Namun tetap saja, dirinya merasa kecewa yang teramat saat mengetahui harapnya pun salah dan tak akan pernah menjadi nyata.

Mungkin, Ayaka sudah kalah.

🍁🍁🍁

Berbanding terbalik dengan langit cerah pelabuhan Liyue hari ini Kazuha justru merasa muram dan gusar, perasaannya tak menentu, pandangannya tak dapat ia alihkan dari tenggara laut sana, tak kasat mata memang, namun ia dapat mendengar sedikit ricuh angin serta gemuruh badai di seberang sana.

Ia langkahkan kakinya ke arah dek kapal, sebagian besar kru kapal Beidou masih sibuk mengangkut supply barang yang dibawa oleh para petinggi Qixing, namun bukan itulah perhatiannya, ia ingin berbicara dengan sang kapten.

“Kaptain!” sapanya tegas saat mendapati sang gadis bajak laut berdiri tegap di sebelah kemudi, suara berat khas sang wanita itu pun menyapanya.

“Hei ada apa? Kenapa wajahmu kusut seperti itu sobat? Kau harusnya senang karena sebentar lagi pulang kampung” ujarnya riang, tentu saja Beidou sangat senang hari ini karena akhirnya dia bisa kembali ke Inazuma dan mendatangi festival Irodori, tau sendiri kan di otak bajak laut itu isinya hanyalah pesta dan festival Irodori menjadi kesempatan emas yang tidak mungkin mereka lewatkan begitu saja.

“Kaptain, aku menghargai setiap pilihanmu. Namun jika aku boleh saran, kita dapat memundurkan keberangkatan nanti malam atau esok pagi, karena aku dapat mendengar suara gemuruh badai dari arah tenggara, aroma angin laut pun tak begitu menenangkan layaknya biasanya”

Penjelasan yang tidak rasional memang dari Kazuha. Mungkin, untuk pertama kali mendengarnya Beidou akan bersikap skeptis. Namun ia sudah berlayar bersama Kazuha untuk waktu yang cukup lama, omong kosong terkait cuaca dan navigasinya yang terdengar tak rasional itu bukanlah sekadar ramalan, jika Kazuha berkata demikian berarti memang benar adanya. Terkadang Beidou keheranan apakah itu adalah berkah akibat vision Anemonya atau memang kelebihan Kazuha semata.

Beidou pun selalu menghargai setiap pertimbangan dan keputusan Kazuha sama seperti laki-laki itu yang menaruh kepercayaan padanya. Namun, kali ini berbeda, bukan dia yang merencanakan pelayaran hari ini, ia hanya menyediakan tumpangan bagi para Qixing, kalaupun dimundurkan maka yang berpengaruh adalah petinggi nomor satu Liyue dan tentunya mempengaruhi reputasi region mereka. Saat ini pertimbangannya ditentukan antara keselamatan ataupun reputasi.

“Kaptain Beidou, Kazuha, boleh kah aku izin berpendapat? Maafkan aku karena ketidaksopananku mendengarkan percakapan kalian. Namun sepertinya keputusan saat ini juga dipengaruhi oleh kehadiran Qixing di Inazuma benar?” tepat pada sasara, kehadiran Ningguang layaknya menumpahkan semua kegusaran dalam pikir Beidou.

Wanita nomor satu di Liyue itu pun naik ke arah dek kemudi kapal, langkahnya anggun namun tetap berwibawa.

“Kaptain, jika kita memaksakan apa kemungkinan terburuk yang akan kita dapatkan?” tanya wanita itu, “Kerusakan pada badan kapal. Namun, The Crux memiliki pembuatan kapal yang hadal jadi hal tersebut bukanlah masalah besar.”

“Yang jadi masalah disini adalah apabila monster laut tiba-tiba menyerang atau menyebabkan kita terdampar di tengah hamparan lautan akibat badai dan arus laut yang tak pasti. Untuk masalah monster laut mungkin kecil untuk ditangani tapi jika sudah terdampar maka paling cepat sehari kita bisa kembali di jalur pelayaran yang tepat kadang bisa memakan waktu sampai tiga hari hingga seminggu”

“Jika kita memutuskan untuk mundur?”

“Kembali lagi pada estimasi badai di lautan nona Ningguang, kita tidak tau sampai kapan badai itu berlangsung jika kita cukup beruntung maka besok sudah bisa berlayar.”

Bukannya gentar, mendengar pernyataan dari sang kapten justru sukses melahirkan seutas sungging kecil di paras jelitanya. Sepertinya Ningguang menanggap badai kali ini layaknya tantangan yang haruslah ia coba sekali seumur hidupnya.

“Kita terjang saja badai hari ini, lagian kita cukup kuat untuk melewatinya. Ingatkan kalau kita berhasil mengalahkan Osial sebelumnya”

Titah mutlak Ningguang tersebut tentu saja mengejutkan Kazuha. Namun tidak dengan Beidou, bagaimana dirinya tidak terkejut, seorang pemimpin negeri dan orang nomor —karena bagi Ningguang mora adalah hal paling berharga—hingga nyawanya! Sedangkan Beidou, dirinya sedikit kecewa karena sudah khawatir, harusnya ia tau kalau Ningguang akan mengambil keputusan demikian.

🍁🍁🍁

Kazuha memicingkan matanya yang sendari tadi terkena percik debur air laut dan juga rintik hujan. Kapal The Crux sudah setengah perjalanan menuju Inazuma. Ia dongakan kepalanya ke atas cakrawala dapat ia lihat gerumulan awan hitam menggantung di atas sana, suaranya begitu bergemuruh dan ricuh, badai akan tiba.

“Kaptain Beidou! Tepat di depan ada pusaran angin! Kita harus menghindar sedikit ke arah Timur!” ujar salah satu kru yang berdiri tepat di atas sarang gagak sembari memegang teropong, navigator dari kapal The Crux.

Mengerti akan situasi yang dihadapinya dengan segera Beidou memerintahkan juru kemudi kapalnya untuk memutar haluan tepat seperti yang diarahkan oleh sang navigator. Layar pun dibentangkan dan kapal pun menukik ke arah timur. Kazuha tidak mengerti apa-apa dan tidak bisa membantu apapun karena dia tidaklah mengerti perihal soal pelayaran meskipun sudah cukup pengalaman mengarungi lautan seorang diri.

Di tengah upayanya membantu menarik layar utama kapal The Crux agar kemudi kapal dapat seimbang, Kazuha dapet mendengarnya, walau samar, bercampur dengan gemuruh badai dan juga angin ricuh, ia dapat mendengar suara amuan sang penguasa lautan, menggema dan begitu berat seakan tak suka laut kekuasaannya dikunjungi oleh siapapun.

“Kaptain…”

“Ya, tanpa kau kasih tau aku juga sudah dapat mendengarnya Kazuha, suara amukan sang monster laut”

Namun bukannya risau atau gentar, Kazuha dapat melihat seutas seringai di wajah sang kapten wanita itu. Kapiten lautan yang seakan memang dengan sengaja datang ke sarang monster dan menunggunya terbangun.

🍁🍁🍁

Langit boleh saja kelabu. Namun hari ini, hatinya merasa terpacu.

🌸🌸🌸

Selama berkeliling plaza, gadis cantik bersurai biru pucat itu tak dapat membendung perasaan berbahagianya lagi. Seutas lengkung cantik menghiasi wajahnya, manakala dirinya melihat seluruh warga Inazuma dapat bersuka cita selama perayaan festival berlangsung. Sang Archon pun turut memberkati dengan cuaca siang hari yang teramat cerah serta bunga-bunga sakura yang bermekaran, turut menghiasi cakrawala biru yang membentang.

Tepat setelah menyelesaikan pidato pembukaannya, sang Heron Princess—Kamisato Ayaka—memilih untuk turun dan berkeliling di plaza. Ia ingin melihat hasil kerja keras mereka selama ini dengan mata kepalanya langsung dan Ayaka tidaklah menyesali pilihannya tersebut.

Peluh dan keringatnya terbayar lunas melihat wajah berseri mereka-mereka yang begitu menikmati semarak festival kali ini. Bagi Ayaka tak ada yang lebih membahagiakan dibanding dengan melihat seluruh warga Inazuma dipenuhi dengan keberkahan serta kasih—seperti melihat mereka berbahagia salah satunya—paling tidak ia merasa telah berhasil turut menciptakan idealitas yang diharapkan oleh sang Archon Electro di negeri sakura tersebut.

“Ayaka-san! Selamat pagi!”

Hanya ada satu orang di kota yang berani memanggilnya langsung dengan nama depannya—tentu saja dengan persetujuannya terlebih dahulu—wajahnya semakin berseri saat ia menolehkan kepalanya dan mendapati sosok familiar yang baru saja memanggil namanya itu. Di balik persimpangan ia dapat melihat gadis manis dengan rambut pirangnya yang dicepol ke atas menggunakan hiasan bergambar ikan koi, penampilannya begitu cerah dan wajahnya yang ceria membuat siapa saja senang mendapati kehadirannya, siapa lagi kalau bukan si gadis kembang api, Yoimiya.

“Yoimiya, selamat pagi!”

“Waah, aku senang dapat melihatmu hari ini! Karena jarang-jarang kan kamu bisa turun ke kota apalagi saat festival! Pasti sibuk banget kan?”

Mendengar pernyataan Yoimiya tersebut Ayaka pun terkekeh pelan, suara tawanya begitu lembut dan anggun, sangat menunjukkan bagaimana dirinya sendari kecil telah diajarkan soal beretika dan bersikap bahkan untuk tertawa sekalipun.

“Ssshhh… Sebenarnya aku tadi sedikit curi-curi kesempatan untuk berjalan-jalan di plaza! Kamu tau kan, Thoma pasti tidak akan membiarkanku jalan-jalan sendiri ke kota” ujarnya sedikit bercanda

Yoimiya tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya, refleks, ia pun menutup kedua bibirnya sebelum tanpa sengaja membocorkan keberadaan sang putri dengan teriakan ketidakpercayaannya. Yoimiya sedikit mencondongkan tubuhnya kepada sang putri, dengan sedikit berbisik ia bertanya, “Kamu serius?” dan Ayaka membalasnya dengan anggukan kecil sembari terkekeh.

“Apa aku akan ditahan jika ketahuan bersama putri di tengah kesibukkannya?” canda sang gadis kembang api, Ayaka terlihat malu-malu atas ledekannya tersebut, mengatakan itu bukankah pekara besar.

“Tapi saya yang akan kerepotan jika Ojou tiba-tiba menghilang seperti ini” kedua gadis itu terlonjak kaget, Ayaka mendapati Thoma yang tiba-tiba saja berdiri tepat di belakangnya—menemukannya—membuatnya bertanya-tanya, apakah semudah itu dirinya ditemukan?

“Thoma… sejak kapan?” tanyanya dengan sedikit keterkejutan yang tersisa. Sang pelayan pun mengatakan bahwa dirinya baru menyadari ketidak hadiran Ayaka saat sedang menemani tuan muda kepala klan Kamisato berkeliling bertemu dengan sejawatnya. Dengan sedikit panik Thoma oun segera mendatangi tempat-tempat yang memungkinkan didatangi oleh sang putri—dan Nagohara’s Firework adalah salah satunya.

“Jika Ojou tiba-tiba menghilang seperti ini aku yang akan kena masalah dengan Waka, untung saja pertemuan dengan para komisioner belum dimulai”

Ah! Hampir saja Ayaka melupakannya! Dirinya sudah ada janji untuk bertemu dengan para petinggi ketiga komisioner untuk bertemu dengan yang mulia Shogun dan melaksanakan penjamuan internal!

“Yoimiya, maaf ya kita belum bisa jalan-jalan bersama di festival, aku harus segera kembali ke kota” ujarnya dengan penuh kekecewaan, air wajahnya pun menyuratkan jelas dirinya yang sangat ingin berjalan-jalan lebih lama lagi.

Seolah mengerti isi hati sang putri, si gadis kembang api pun tersenyum seraya menghibur hatinya, berusaha mengembalikan lagi secercah senyum di sana.

“Gapapa Ayaka-san! Festival masih lama kok! Selesaikan dulu yang harus diselesaikan baru nanti kita jalan-jalan bersama!”

Hiburan gadis bersurai orange ia terima dengan penuh ketulusan, sembari tersenyum ia mengucapkan terima kasih sebelum akhirnya beranjak pergi bersama sang pengawal.

🌸🌸🌸

Ayaka tidak akan pernah menyukai pertemuan antar pejabat negeri dan juga para politikus—baginya hal tersebut cukup melelahkan, dan orang-orang tersebut dipenuhi akan kepalsuan—mereka berdalih bahwa penjauman tersebut akan menyenangkan namun selayaknya para pejabat di seluruh penjuru negeri dan omong kosongnya, mereka dipenuhi akan kemunafikan dan upaya saling menjatuhkan satu sama lain.

Perasaan sukacitanya seketika menguap dan digantikan dengan perasaan jengah yang memuakkan. Membuatnya merasa gerah dan juga pengap di saat yang bersamaan.

“Kamu terlihat kesal Ayaka, ada apa?” tanya sang kakak sekembalinya mereka dari tempat penjamuan, sekarang, seluruh representasi dari komisi Yasshiro sedang dalam perjalanan pulang. Sebenarnya Ayaka masih ingin turun ke kota dan menikmati festival, akan tetapi hari sudah larut kakaknya tidak akan mungkin mengizinkan ditambah lagi penjamuan yang membuat perasaannya tak karuan, membuatnya merasa lelah fisik maupun mental.

“Tidak apa-apa, Ayaka hanya kurang menyukai penjamuan yang isinya orang-orang berusaha saling menjatuhkan satu sama lain namun berlagak diplomatis dan kooperatif” gerutunya membuat sang kakak terkekeh kecil.

Menyadari atas ketidak sopanannya itu dengan segera Ayaka pun meminta maaf, sang kakak memaklumi perasaan sang adik karena di bagian dirinya ia juga kurang menyukainya.

“Yah mau bagaimana lagi kan? Di satu sisi mereka juga pasti berpikiran yang sama terhadap kita, walau saling menikam tapi sebenarnya kita punya satu tujuan yang sama, kita ingin Inazuma lebih baik dan mengagungkan yang mulia Shogun”

“Bukan salah Ayaka jika merasa atau bereaksi demikian,” hibur sang kakak, meski demikian hiburan tersebut tidaklah mampu mengembalikan keceriaan di wajahnya, binar cerah di mata sang gadis telah meredup, Ayaka hanya ingin beristirahat.