komoyi

just me and my loving komori hours, heavily post sunakomo

🍁🍁🍁

Di atas dek kapal The Crux milik rekannya itu, sang lelaki musim gugur berdiri termenung memandang hamparan samudera biru dihadapannya, tangannya terangkat seakan berusaha menggenggam angin kosong di depannya, membuat dirinya tersentak kaget tanpa sadar, ia pun menghela nafas.

Angin laut siang ini berbeda dari sebelumnya, walau samar, Kazuha dapat menyecap sedikit aroma musim semi diantara bau-bau lautan khas yang tercampur di sana, membuat dirinya seakan dibawa kembali pada perasaan nostalgia setahun lalu—Inazuma dan musim semi—dua hal yang tak dapat dipisahkan. Meskipun Inazuma menyimpan begitu banyak luka tetap saja masih ada beberapa kenangan indah tersisa di kota kelahirannya tersebut, dan tanpa sadar angin laut saat ini membawanya bernostalgia pada salah satu dari kepingan kenangan indah di memorinya, Inazuma dan musim semi.

Ia kembali menghela nafas, angin laut saat ini membuatnya begitu melankolis. Tanpa sadar ia pun larut dalam kelemut perasaan yang campur aduk.

🍁🍁🍁

Inazuma dan musim semi.

Kazuha berdiri di depan beranda rumahnya, angin semilir membelai lembut wajahnya, seakan dengan sengaja bermain-main jahil dengan helai rambutnya. Begitu lembut, membuatnya tanpa sadar memejamkan matanya, ia menghela nafas dan kembali membuka sepasang netranya.

Sekitar rumahnya begitu kosong dan hampa—mungkin sama seperti dengan perasaannya—yang setiap harinya makin kosong dan dilucuti. Meskipun dia sudah mengusahakannya, kondisi klannya tidak kunjung membaik, setiap malamnya, kepolisian Inazuma datang ke rumahnya untuk menggeledah dan menyita harta bendanya—sebagai bentuk ganti rugi atas kasus korup dan kebangkrutan klannya, katanya.

Meski demikian, semilir angin musim semi yang membelai lembut wajahnya dan menerbangkan kelopak sakura yang bermekaran seakan meringankan sedikit pilu di hatinya. Paling tidak membuatnya bisa bernafas sedikit lega dan merasa tenang, untuk sebentar.

Tangan kanannya terangkat, berusaha menggapai kelopak sakura yang jatuh di hadapannya dan sedetik saat kelopak itu menyentuh permukaan tangannya, mahkota merah muda itu kembali terbang bebas di bawa angin, terasa begitu ringan.

Kapan ya dirinya dapat merasa demikian, ringan tanpa beban layaknya kelopak sakura yang bermekaran dan terbang dibawa angin

*Dan saat kelopak tersebut kembali hilang, dari baliknya ia dapat melihat sesosok gadis muda dengan wajah jelita datang menghampirinya.

“Kazuha!”

Ia menurunkan kembali tangannya, menyembunyikan keduanya di belakang tubuhnya, berusaha membalas senyum menawan meskipun terasa berat karena harus berbohong pada dirinya sendiri.

Kazuha membungkukan badannya dengan sopan.

“Selamat pagi, Ayaka-dono” sapanya sopan.

Dapat terlihat dengan jelas semburat merah muda yang begitu kontras dengan kulit putih pucat milik sang gadis, muncul dengan malu-malu menghiasi kedua sisi pipinya.

“Sudah kubilang kan, untuk memanggilku biasa saja?”

“Meski demikian, tidaklah sopan jika saya langsung memanggil Anda dengan nama, Ayaka-dono”

Dan Ayaka pun semakin malu karena tingkah jahil Kazuha, sang lelaki yang melihatnya pun terkekeh pelan.

“Hanya bercanda, pagi-pagi begini mau kemana? Berjalan-jalan di kota?” tanyanya berusaha mengalihkan topik.

“Ah, iya! musim semi sudah datang dan bunga sakura bermekaran! Bukankah ini kesempatan yang bagus untuk berjalan-jalan di kota? Kazuha sendiri?”

“Saya hanya ingin mencari angin segar tapi belum ada pikiran untuk ke kota”

“Kalau begitu bareng saja! Menemaniku!”

Awalnya Kazuha merasa enggan dan segan, permasalahn dalam klannya sebenarnya membuatnya sangat kehilangan gairah. Namun melihat secercah senyum cerah yang terpatri di wajah Ayaka membuatnya mengalah, mungkin berjalan-jalan di kota bukanlah pilihan buruk.

Ditambah lagi dengan dirinya yang dapat melihat senyum Ayaka sedikit lebih lama

🍁🍁🍁

Kazuha menghela nafas berat, angin laut hari ini seakan membawanya mengingat kenangan lama yang tidak diundang.

🌸🌸🌸

Malam itu, di kediaman utama dari Yasshiro Commision—lebih tepatnya kediaman utama dari keluarga Kamisato—kedua kakak adik bersaudara menghabiskan makan malam bersama, layaknya malam-malam pada umumnya. Namun sayang, sepertinya malam ini berbeda dengan malam-malam sebelumnya, yang mana Ayato, sang kakak, dan Ayaka, sang adik, saling bertukar cerita. Malam ini sang adik lebih banyak diam termenung sambil melamun. Tidaklah sulit bagi Ayato untuk mendapati perilaku aneh dari adiknya itu, karena sendari tadi Ayaka lebih banyak membalas sekadarnya.

“Ayaka? Ayaka, apa ada yang mengganggumu?” tanya sang kakak khawatir, namun sepertinya Ayaka lebih memilih untuk hirau hingga sang kakak menepuk lembut pundak sang adik.

“Ah?! Iya, kak maaf, ada apa?”

Ayato menghela nafas.

“Apakah ada yang menganggu pikiranmu? Akhir-akhir ini kamu sering kehilangan fokus”

Ah, apakah begitu kentara?

“Ah, tidak kok kak, aku hanya… uhm… sedikit kepikiran soal penghapusan Vision Hunt Decree sebulan lalu… hanya itu…” elak Ayaka, tidak sepenuhnya berbohong karena memang perihal tersebut yang akhir-akhir ini menyita fokusnya.

“Apa kau keberatan dengan keputusan yang mulia Shogun?” pernyataan Ayato tersebut sontak membuat Ayaka menautkan sebelah alisnya, ia sedikit tidak suka.

“Tidak, tentu saja aku merasa lega dikrit tersebut dihapuskan! Paling tidak kita tidak perlu melihat lebih banyak orang harus kehilangan mimpi dan ambisinya karena direbut paksa” jelasnya namun Ayato masih tidak puas dengan jawaban sang adik.

“Kalau memang kau merasa lega kenapa ekspresimu terlihat risau?”

Dan Ayaka tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut.

Ayato pun menghela nafas pelan, memilih untuk mengganti topik dibanding harus berkelut lama dalam keheningan yang menyesakkan untuknya—dan mungkin juga adiknya.

“Oh iya Ayaka, ngomong-ngomong, karena perbatasan Inazuma sudah dihapuskan bukankah lebih baik pelaksanaan festival Irodori dibuka untuk umum untuk menarik wisatawan asing?” tanya Ayato berusaha mengalihkan perhatian sang adik yang sendari tadi diselubungi oleh kelabu dan sepertinya Ayaka cukup tertarik dengan topik ini, terlihat dari sang adik yang menggeser posisi duduknya, sedikit condong menghadap sang kakak.

Festival Irodori…

“Apakah sudah waktunya festival Irodori? setelah krisis serta pemberontakan yang sempat kita alami beberapa waktu terakhir?” tanya Ayaka, karena menurutnya pelaksanaan festival untuk umum setelah adanya konflik internal menurutnya cukup riskan.

“Menurut kakak sih sudah waktunya, apalagi sebentar lagi bunga-bunga sakura juga akan bermekaran bukankah kita selalu mengadakan festival Irodori saat sakur bermekaran? Dan dengan diadakan festival tersebut Inazuma juga bisa kembali menjalin hubungan dengan region sekitar, memperbaiki diplomasi, serta memperoleh profit dari sektor pariwisata”

Penjelasan Ayato terderngar sangat masuk akal di telinga Ayaka, sepertinya tidak ada salahnya kalau mereka melangsungkan festival Irodori dekat-dekat ini dan membuka perbatasan dengan region sekitar.

…tunggu dulu…,

Jika perbatasan Inazuma dibuka kembali, akses kapal dari penjuru region diperbolehkan masuk dan turis asing kembali berdatangan karena dihapuskannya Vision Hunt Decree sekaligus ingin melihat kehindangan bunga sakura bermekaran saat Irodori festival, akankah ada kemungkinan bahwa orang itu akan kembali pulang ke Inazuma? Dari kapal-kapal asing yang akan membawanya entah dari mana itu?

Bolehkah Ayaka kembali berharap?

🌸🌸🌸

“Menurut Ayaka, pertimbangan kak Ayato perihal festival Irodori yang dibuka untuk umum sudah sangat masauk akal, aku setuju dan akan turut membantu”

🌸🌸🌸

Dan Ayaka berharap bersamaan dengan semilir angin awak musim semi yang menerbangkan kelopak-kelopak sakura yang mulai bermekaran akan turut membawa sang kasih kembali pulang ke Inazuma, kepada dirinya.


“Sanji~!”

“Bunda!”

Lelaki berambut pirang itu dengan senang hati menerima pelukan hangat sang ibu, sudah berapa lama ya sejak terakhir kali Sanji merasakan dekap hangat sang ibunda? Ah dia rindu sekali!

“Akhirnya anak lanang kesayangan bunda pulang! Kemana aja kamu? Ngga kangen bunda? Atau mau jadi bang toyib,” ujar ibunya gemas sembari mencubit pipi sang anak. Meskipun Sanji sudah memasuki kepala dua, bagi wanita yang melahirkannya itu Sanji masih terlihat seperti bayi gemas kesayangannya. Ya, bayi besar.

“Sanji sudah datang?”

Yang dipanggil namanya itu pun menolehkan kepalanya, menapati sosok wanita yang nyaris menyerupai sang ibu. Sembilan puluh persen identik, yang membedakannya hanyalah surai merah muda sebahu miliknya. Sanji pun segera menyapa dan memeluk kakak perempuan satu-satunya itu, Reiju.

“Makin dewasa aja kamu, pakai numbuhin jambang segala,” goda sang kakak, “Hahaha, iya kak, biar keliatan sangar aja,”

Sanji boleh saja tidak menyukai keluarganya, hanya saja, ia tidak dapat memungkiri bahwa dirinya sangat menyayangi dua wanita hebat ini. Ibunya, Sora, dan kakaknya, Reiju.

Selain ajaran dari mentor masaknya, Zeff, alasan mengapa Sanji sangat menghormati dan memuja wanita adalah kehadiran dua sosok bidadari kesayangannya tersebut yang juga menjadi alasannya mengapa ia masih mau menginjakan kaki di tempat yang disebut sebagai 'rumah' meskipun dirinya enggan sekalipun.

“Oh si cengeng ini akhirnya pulang juga?”

“Aku kira kau bakalan terus-terusan menjadi pengecut dan kabur, Sanji— ah maksud aku Pengecut-ji,”

Seutar senyum hangat Sanji seketika sirna mendengar cemooh dari kedua saudara kembarnya itu. Reiju yang mengerti perubahan drastis pada raut wajah sang adik segera menghardik dua adik lainnya, “Niji! Yonji! Berhenti mengejek Sanji seperti itu, dia ini saudara kembarmu!”

“Kakak tau sendiri kan, kita bertiga tidak sudi menganggap Sanji sebagai saudara khususnya sejak dia memutuskan pergi dari rumah”

Sendari tadi Sanji bertanya-tanya, kenapa saudara kembarnya hanya dua, di mana satunya? Menyebalkan, dia benar-benar benci saudara-saudaranya.

“Maafkan aku saudara-saudaraku, memang itu yang aku inginkan. Pergi, melepas, dan melupakan hubungan darah ini. Hanya saja, aku terpaksa datang kembali karena perintah sang ayahanda yang tidak bisa aku tolak—”

“—segala hormat saya padamu, ayahanda,” ujarnya sembari sedikit membungkuk, layaknya menyapa kalangan bangsawan ataupun presiden di istana kekaisaran.

Dapat terlihat sesosok laki-laki bertubuh jakung namun tambun turun dari tangga setapak demi setapak. Sanji dapat melihat tatapan itu lagi, tatapan penuh keangkuhan yang membencinya dan juga dia benci, tatapan yang selalu menganggapnya sebagai aib dan juga manusia rendahan, tidak lain dan tidak bukan tatapan ayahnya sendiri.

“Wah, wah, wah tidak ku sangka, hampir sepuluh tahun kau meninggalkan rumah sepertinya kau sudah belajar seperti apa kau seharusnya berperilaku,” dan Sanjo hanya bisa mendecih kesal.


“Menikah? Memangnya kau siapa menyuruhku untuk menikah dan menentukan siapa gadis yang akan ku nikahi tuan Vinsmoke Judge?!”

Sungguh saat ini Sanji sudsh tidak bisa lagi membendung emosinya saat penjamuan makan malam. Ayahnya yang menyuruh (dan mengancam) dirinya untuk pulang ke 'rumah' hanya untuk omong kosong dirinya yang tiba-tiba ditunangkan dan dipaksa menikahi anak dari keluarga Big Mom? Keluarga yang kalau tidak salah berperan besar dalam industri hiburan dan FnB itu?!

Ingatkan lagi bahwa Sanji sudah bukan lagi bagian dari Vinsmoke, ayahnya sendiri yang mengusirnya semenjak dia memutuskan untuk menjadi seorang koki. Dan, omong kosong macam apa ini?! Ayahnya tiba-tiba mengakuinya jadi anak hanya untuk memaksanya menikah?!

“Sanji..., sayang...” bahkan usapan lembut ddi tangannya dari sang ibunda tidaj mampu membendung amarahnya. Dia benar-benar kesal, kenapa orang yang disebutnya sebagai 'ayah' ini benar-benar semena-mena?!

“Maaf saja tuan Vinsmoke, saya menolak tawaran Anda. Anda sendiri yang menyusuh saya pergi dan melupakan ikatan keluarga, jadi saya menolak karena Anda tidak punya hak mengatur saya,” tolaknya tegas, sang ayahanda yang mendengarnya pun hanya bisa mendengus meremehkan.

“Apa kau masih menyukai gadis rendahan bernama Nami-Nami itu? Oh atau pergaulanmu dengan teman-teman hinamu yang membuatmu seperti ini? Ah, aku tau! Kau jadi kuTeang ajar dan tanpa adab ini pasti karena ajaran koki rendahan itu”

Sungguh, Sanji benar-benar naik pitam mendengarnya. Dirinya tak masalah jika dicemooh, tapi, jika itu menyangkut teman dan 'keluarga'nya, dia tidak akan menahan diri lagi.

Sanji pun menggebrak meja makan berlapis marmer tersebut dengan keras, tidak sampai berbunyi memang (karena tidak bisa) tapi Sanji benar-benar naik pitam.

“Dengar ya Judge, jauh-jauh aku membatalkan kencanku dan datang ke sini! Antara kau dan aku sudah tidak ada hubungan lagi! Dan aku menolak dengan keras lamaran tersebut! Kau masih punya tiga anak yang bisa kau suruh! Permisi!”

Dengan kasar Sanji mengambil jas miliknya. Sanji berdecih tidak suka, dia sudah diajarkan oleh Zeff untuk tidak membuang makanan, tapi, di sini membuatnya ongkep, ia mual, selera makannya hilang begitu saja.

Tanpa menghiraukan panggilan ibu dan kakaknya, Sanji berlalu meninggalkan kediaman Vinsmoke yang megah itu. Kediaman yang seharusnya disebut sebagai rumah namun hanyalah tempat singgah. Ia tidak menemukan keluarga ataupun kehangatan di sana.

Ia pun mengeluarkan rokok dan menyalakannya, paling tidak, hal tersebut mampu menenangkannya sedikit dan memberinya kehangatan di dinginnya semilir angin malam.

HAAAAAAH? APA? TADI SUNA BILANG APA? KOMORI YANG NGUNDANG?? HAAAAAHHH???

Komori makin bingung? Sejak kapan? Kan dia ngundangnya temen-temen SMA setongkrongannya? Loh kok loh kok? Nah loh? Bingung kan?

“Anu, kayaknya kamu salah orang deh Suna, gue ngajaknya temen-temen SMA yang biasa setongkrongan kok...” ujarnya berusaha mengklarifikasi dan membela diri sekarang gantian Suna yang terlihat bingung.

“Tapi lo yang nge-invite gue di grup anak tongkrongan, gue kira lo emang pengen ngajak gue”

WAIT, WHAT?! CHOTTO MATTE JANGAN BILANG KOMORI SALAH INVITE ORANG???

Dengan segera Komori membuka ponsel pintarnya, mencari room chat grup yang dimaksud. Boom! benar kata Suna, dia yang salah invite orang. Bisa-bisanya dia justru nge-add Suna, bukannya kak Iizuna.

Ya tuhan rasa-rasanya Komori pusing sekali, ia terlalu banyak berpikir dan terlalu banyak hal terjadi dalam satu waktu, otaknya tidak bisa memproses begitu saja. Capek bund.

“Aduh, Suna, sori banget ya, gue salah nge-add orang di grup, jadinya lo ngga sengaja keundang...” ujarnya berusaha meminta maaf.

Komori memperhatikan dengan seksama, ekspresi Suna sama sekali tidak berubah untuk sepersekian detik hingga ia mengedipkan katanya dan bergumam 'oh' kecil.

“Oh, yaudah kalo gitu, sori ya, gue pamit deh kalo emang ngga diajakin”

Lah ngambek? batin Sakusa, Komori, dan kak Iizuna melihat Suna yang seketika bangkit dari duduknya dan membereskan barangnya.

“Eh Suna! Bukan gitu maksud gue! Aduh, daripada lo balik giti aja join aja sama kita, nongkrong, ngobrol-ngobrol gitu. Kak Iizuna sama Kiyoomi ngga masalah kan kalo Suna join sama kita daripada balik gitu aja?” tanya Komori dengan nada sedikit tidak enak. Ia tidak ibgin mengusir Suna dan juga tidak mau membuat kedua temannya tidak aman, saat ini dia sedang 'menengahi' kesalahan yang dia buat dengan solusi sesolutif mungkin

“Aku sih ngga masalah ya, makin banyak orangnya makin seru!” jawab kak Iizuna ramah dan Sakusa hanya mengangguk sebagai persetujuan. Apapun yang dikatakan kak Iizuna dia akan selalu setuju.

Dan dari sanalah Komori dan Suna menjadi dekat.


Note: Cookie Run Kingdom , Red Velvet Cookie (Reve) x Pastry Cookie , bxg , slowburn, accident , cookie run kingdom smasa universe , alternate unuverse


Tentang Reve dan janjinya untuk pulang


Jika kalian bertanya pada seluruh siswa SMASA perihal jalinan asmara yang antara Reve dan Pastry, dapat dipastikan 100% diantara mereka akan bersaksi, “Hubungan mereka lebih sukar dipahami bahkan bagi mereka satu sama lain”

Ya, hubungan mereka memang rumit, terlihat terlalu intim jika sekadar sahabat tapi selalu menyangkal jika ditanya perihal status lebih lanjut.

Mereka tak perlu repot-repot berseru, “Aku suka kamu, ayo jadi pacarku”, dan “Iya, ayo kita pacaran,”. Semua orang tahu pasti jikalau Reve hanya untuk Pastry dan sebaliknya pun begitu.

Ya, walau memang Reve selalu menyatakan perasaannya pada sang juwita yang dibalas kebisuan seribu bahasa. Akan tetapi hal tersebut seakan menjadi klaim resmi akan hubungan mereka.


“Jadi, akhir pekan besok kamu bakalan ndaki lagi?”

“Iya, sama Lico, Pome, Dark Choco”

Tidak ada balasan, karena Pastry tau betul, agenda sang 'sahabat' yang merupakan anggota klub pecinta alam umtuk pergi mendaki di setiap akhkr mimggu.

“Pastry, aku suka banget sama kamu,”

Meskipun hal tersebut sudah menjadi pernyataan Reve ke seribu-seratus-dua-belas kali. Hal tersebut tidak pantas membuat Pastry berhenti tersipu dan salah tingkah walau hanya sepersekian detik.

“Aku tau,”

Ya, Pastry tau betul dan setelah ini, Reve dengan 'stok' gombalam receh ngga bermutu namun menggelitik akan selalu membuat janji kepada sang dara untuk kembali.

“Tapi aku beneran mau bilang kalau perasaanku ini benar adanya”

Sang gadis dapat melihat keseriusan di balik wajah lelaki berkulit matang akibat sinar terik sang mentari. Entah kenapa, setitik firasat buruk menghampirinya yang lekas ia usir jauh-jauh karena kata bunda pamali.

Takut menjadi doa dan kenyataan, katanya

Alih-alih menjawab, Pastry memilih jalan terlebih dahulu dan meninggalkan sang lelaki, “Seperti biasanya Reve, aku tau dan seperti biasanya, berjanjilah untuk pulang kepadaku,” ujarnya sembari menoleh ke arah Reve dan tersenyum.

Dari tempatnya berdiri dapat terekam secara jelas dan pasti senyum sang pujaan hati. Wajah manis rupawan dihiasi bias sinar matahari sore yang perlahan bersembunyi di ufuk langit, menambah elok sosok sang gadis. Momen-momen seperti ini yang ingin selalu Reve rekam dan kenang dalam hatinya sepanjang hari. Kalau saja Reve seorang pujangga tak dapat dibayangkan berapa lembar kertas ia habiskan untuk menuliskan betapa ia jatuh hati. Memang Reve berlebihan orangnya, apalagi jika menyangkut Pastry.

Yang dikatakan Pastry benar, ia hanya harus pulang seperti biasanya

Dan, keinginan dan doa Reve saat ini hanyalah sebatas agar dia bisa pulang seperti biasanya.


Cerahnya Minggu pagi kali ini sepertinya tidak dapat menghilangkan awan mendung yang menggantung di wajah Pastry, seakan menutup cerahnya seri wajah gadis manis tersebut. Entahlah, Pasrty tidak mengerti, semanjak bangun ia merasa risau.

Gadis itu meggelengkan kepala, ia tidak boleh seperti ini, benar kata orang, pikiran negatif hanya dapat dihilangkan apabila seseorang aktif beraktifitas, benar, dirinya harus melakukan sesuatu yang dapat membuat tubuh dan pikirannya aktif.

Langkahnya membawanya menuju dapur, mungkin teh melati panas mampu membuatnya rileks, mungkin. Dalam pikirnya ia sudah berencana untuk membaca buku dengan menikmati seduhan secangkir teh melati panas, berharap dua aktifitas favoritnya tersebut mampu membuatnya melupakan beban pikir dan perasaan gelisahnya sejenak. Semoga saja.


“Ah!”

Prang!

Pastry hanya bisa menghela nafas pelan sembari melihat ceceran serpihan kaca dan air panas pada lantai dapurnya. Nyeri pada tangannya akibat air panas pun dihiraukan, dengan segera ia membungkuk untuk membereskan kecerobohannya itu.

Kenapa sih hari ini dia begitu ceroboh? Kenapa sih sesuatu tidak berjalan sebagaimana yang dia inginkan? Dan kenapa sih dia masih merasa gelisah?


Reve dapat merasakan pandangannya mulai mengabur seiring dengan linu tangan kanannya yang mulai mereda. Matanya terasa begitu berat, dengan nafas tersengal, peluh sebiji jagung memenuhi kening Reve yang meneluarkan bau anyir. Kepalanya pusing sekali, di ambang batas kesadarannya Reve hanya mengingat satu hal, janjinya untuk pulang.


“Pastry! Kamu kenapa deh kok lesu banget seharian ini?”

Gadis menoleh ke arah Raspberry yang langsung mengambil duduk tepat dihadapannya. Apakah dirinya terlihat sebegitu lesu hingga teman sekelasnya tersebut menyadarinya? Apakah begitu kentara?

Namun, Pastry hanya tersenyum sebagai jawaban, tidak mau membuat temannya khawatir, lagi pula dirinya saja tidak tau apa yang membuatnya gundah dari kemarin, kadang Pastry bertanya-tanya apakah sudah tanggalnya datang bulan? Tapi terakhir kali ia kedatangan tamu saja baru beberapa hari lalu.

“Ah! Aku tau! Pasti karena belum ketemu sama ayang Reve kan?! Iyaya seharian ini aku ngga liat kamu sama Reve, hayooo kangen ya!”

Tanpa sadar ujaran dari gadis bersurai merah itu berhasil membuatnya sedikit salah tingkah dengan rona samar di wajahnya. Apaan sih? Dia misah sehari sama Reve bukan berarti dia langsung gundah? Eh apa benar sehari? Eh tapi kalaupun benar bukan karena Reve kan? Eh?!

“Hahaha Pastryyy kamu merah bangeeet”

“Ih apaan sih, ngeledek? Orang biasa aja,” ujarnya sembari menepis tangan Raspberry yang menuding ke arahnya. Gadis di hadapannya itu hanya terkekeh, senang berhasil mengerjai temannya.

“Pastry! Kamu dicariin Pome!”

Pastry dan Raspberry saling menatap satu sama lain dengan kebingungan. Walaupun Pome adalah teman dari Reve, Pastry tidak lah terlalu dekat dengannya, bahkan mengobrolmu tidak pernah, ia hanya sebatas mengetahui Pome dari cerita-cerita Reve. Jadi ada urusan apa Pome sampai menemuinya?

Dibanding merasa risau dan dipenuhi tanya, dengan segera Pastry bangkit dari bangkunya. Menuju ke arah pintu kelas tepat di mana Pome san Cocoa, temannya yang barusan memanggilnya, berada. Dengan segera Cocoa pamit saat Pastry menghampiri mereka, memberi waktu pada dua gadis itu untuk saling mengobrol.


Pastry tidak tau lagi, reaksi seperti apa yang harus dia berikan dan tunjukkan mendengar semua ucapan dan cerita gadis di hadapannya ini.

“Iya, Reve, saat muncak kemarin mengalami kecelakaan saat berusaha menolong Shroomie,” ujar gadis bersurai merah legam tersebut dengan raut wajah yang begitu tenang. Seolah kecelakaan Reve bukan apa-apa.

Dirinya? Sementara dirinya sudah tidak bisa menyembunyikan raut kepanikan dan kekhawatiran lagi. Reve kecelakaan? Dimana dia sekarang? Apakah dia baik-baik saja? Beragam tanya dan cemas seketika menghujam dirinya.

Dan seakan tau kecemasan, kebingungan, dan kekhawatiran gadis di hadapannya Pome pun menjelaskan kondisi Reve terkini.

“Tangan kanannya patah, mata kanannya pun cedera cukup parah. Reve sempet berada di kondisi kritis karena luka yang dialaminya cukup serius. Untungnya ia segera mendapat penangan serius dari rumah sakit sehingga bisa selamat”

Demi penyihir suci

Mendengar ucapan Pome, Pastry seakan kehilangan akal sehatnya, tubuhnya seolah dihempaskan begitu saja dan disisakan tak bernyawa. Untung saja Reve segera mendapat pertolongan, jikalau tidak?! Pastry bahlan tidak sanggup memikirkannya. Membayangkannya saja membuat hatinya sakit.

Tanpa sadar setetes air ata jatuh membasahi pipi putihnya. Ia tidak gentar ataupun histeris. Ia pun tidak tau kenapa dirinya menangis, yang jelas ia merasa lega.

Reve-nya baik-baik saja dan Reve-nya telah pulang

Melihat gadis di hadapannya menangis dalam diam Pome hanya bisa menepuk punggung gadis itu pelan-pelan. Berharap semoga ia mampu membuat Pastry merasa sedikit lebih baik.

“Terima kasih Tuhan, terima kasih”


“Sebenarnya Reve melarangku untuk memberitahumu, tapi kurasa kau harus tau soal kondisi Reve” jelas gadis itu.

Mendapat kesempatan untuk berbicara dan bertukar cakap dengan gadis bersurai merah tersebut membuat Pastry belajar beberapa hal dan mengenal Pome melalui sudut pandangnya sendiri. Suara gadis itu begitu lembut, sesuai dengan parasnya yang selalu tenang. Pembawaannya anggun tapi juga tegas. Paling tidak kehadiran Pome membuatnya merasa tenang.

“Makasih ya Pome, paling tidak aku bisa tau kondisi Reve, dan itu membuatku mampu melepas kekhawatiranku dan kecemasanku selama ini,” ujarnya jujur yang dibalas Pome dengan seutas senyum simpul.


“Aku sama yang lainnya nanti sepulang sekolah mau ke rumah sakit, kamu mau ikut?”


Pintu bangsal tempat Reve di rawat pun terbuka, sontak mencuri fokus kebempat orang lelaki yang berada di dalamnya.

Di atas ranjangnya, Reve dapat melihat sosok dua gadis memasuki ruangan. Matanya yang masih berfungsi itu membelalak terkejut, mendapati kedatangan tamu yang tidak pernah diundang ataupun diduganya. Justru tamu yang ia harap tidak akan pernah mengetahui kondisinya yang menyedihkan itu.

“Pa-Pastry?” ujarnya kaku, masih dengan nafas yang tersengal.

Sementara itu, Pastry hanya bisa meringis melihat kondisi Reve saat ini. Perbat melilit separuh tubuhnya dan dengan tangan diinfus.

“Halo Reve, halo juga Lico, Dark Choco, dan Shroomie” sapa gadis itu. Pome yang berdiri di sebelahnya hanya bisa menautkan keningnya iba. Merasa kasihan dan juga kagum dengan ketegaran gadis itu.

Dark Choco yang mengerti kondisi pun segera menyuruh teman-temannya untuk keluar. Saat ini, Reve dan Pastry butuh waktu berdua.


Gadis itu duduk tepat di kursi penjenguk di sebelah ranjang Reve setelah meletakkan bingkisan buah-buahan dan juga susu. Sementara itu, Reve yang biasa cerewet, selalu menggoda Pastry dengan gombalannya itu seketika diam membisu seribu bahasa. Membuat Pastry membuka obrolan terlebih dahulu.

“Halo Reve,”

“Ah, iya... Halo Pastry...”

Hening

Reve sangat tidak nyaman dengan kondisi seperti ini, ia menggertakan giginya tak suka sampai merasakan elusan lembut Pastry pada tangannya yang tidak cedera.

“Pastry...?”

Ah, Reve sudah siap jika harus mendengar ocehan Pastry sekarang, iya dia ceroboh dan tidak memperhatikan dirinya sendiri makanya bisa sampai celaka seperti ini, sudah sepatutnya Pastry marah dengan dirinya!

Bukannya mendapat omelan dari sang gadis, gadis di hadapannya itu justru menangis dan terus mengelus telapak tangannya, membuat Reve dengan sigap melepaskan genggamannya dan mengusap air mata gadisnya itu.

“Loh kamu kok nangis?”

“Gimana aku ngga sedih, dari sejak kamu pergi aku gelisah mulu terus dapat kabar kamu kecelakaan gimana aku ngga sedih?!—”

Reve tidak berbicara, ia diam mendengarkan semua keluh kesah dari sang gadis yang masib terus menerus terisak.

“—kamu ih! Udah aku bilangin kan jangan ceroboh, hati-hati kalau muncak karena kita ngga tau apa yang bakal terjadi. Tiap kali kamu muncak aku tuh takut banget! Aku takut kamu kenapa-kenapa! Aku takut kamu ngga pulang ke aku! Aku—”

Meskipun dengan susah payah, Reve berusaha untuk merengkuh gadis yang dicintainya itu. Memeluknya dan membiarkan sang gadis terisak dalam peluknya. Seolah berkata untuk tidak khawatir, bahwa dirinya baik-baik saja, bahwa dirinya sudah pulang.

“Reve, aku takut, aku taku kamu pergi dan aku ngga bakalan liat kamu lagi, aku takut kamu ngga pulang...”

Masih dalam rengkuhannya, Reve berbisik lembut kepada Pastry.

“Kamu gausa sedih, lihat kan sekarang kamu sama aku. Nih, aku peluk kamu biar ngga khawatir lagi. Lagian gimana aku bisa ninggalin kamu kalau aku ada janji buat pulang ke kamu?”


Aku akan selalu pulang buat nepatin janji

Terima kasih karena sudah pulang


“Huh?”

Nami yang sedang mengeringkan rambutnya itu hanya bisa mengerenyitkan dahinya tak mengerti saat membaca pesan singkat yang dikirimkan sahabatnya itu. Aneh, aneh sekali. Sanji membatalkan kencannya dengan Nami? Bahkan ketika badai menghadang pun Sanji tidak akan pernah melewatkan setitik kesempatan untuk pergi berdua saja dengannya.

Hal tersebut membuat Nami penasaran dan juga khawatir, kepentingan keluarga seperti apa (dan semendesak apa) yang membuat Sanji mampu membatalkan janjinya dengan Nami, karena seingatnya, Sanji memiliki hubungan yang tidak baik dengan keluarganya. Itulah mengapa, Sanji memilih tidur di Baratie atau di apartemennya sendiri.

Gadis itu menghela nafas pelan dan mematikannmesin hairdryer-nya. Ia bangkit dari kursi riasnya dan melihat kesekeliling. Padahal dia sudah bersiap-siap, ya sudahlah, ia berdanda seperti biasa dan mengajak teman lainnya untuk keluar.

HAAAAAAH? APA? TADI SUNA BILANG APA? KOMORI YANG NGUNDANG?? HAAAAAHHH???

Komori makin bingung? Sejak kapan? Kan dia ngundangnya temen-temen SMA setongkrongannya? Loh kok loh kok? Nah loh? Bingung kan?

“Anu, kayaknya kamu salah orang deh Suna, gue ngajaknya temen-temen SMA yang biasa setongkrongan kok...” ujarnya berusaha mengklarifikasi dan membela diri sekarang gantian Suna yang terlihat bingung.

“Tapi lo yang nge-invite gue di grup anak tongkrongan, gue kira lo emang pengen ngajak gue”

WAIT, WHAT?! CHOTTO MATTE JANGAN BILANG KOMORI SALAH INVITE ORANG???

Dengan segera Komori membuka ponsel pintarnya, mencari room chat grup yang dimaksud. Boom! benar kata Suna, dia yang salah invite orang. Bisa-bisanya dia justru nge-add Suna, bukannya kak Iizuna.

Ya tuhan rasa-rasanya Komori pusing sekali, ia terlalu banyak berpikir dan terlalu banyak hal terjadi dalam satu waktu, otaknya tidak bisa memproses begitu saja. Capek bund.

“Aduh, Suna, sori banget ya, gue salah nge-add orang di grup, jadinya lo ngga sengaja keundang...” ujarnya berusaha meminta maaf.

Komori memperhatikan dengan seksama, ekspresi Suna sama sekali tidak berubah untuk sepersekian detik hingga ia mengedipkan katanya dan bergumam 'oh' kecil.

“Oh, yaudah kalo gitu, sori ya, gue pamit deh kalo emang ngga diajakin”

Lah ngambek? batin Sakusa, Komori, dan kak Iizuna melihat Suna yang seketika bangkit dari duduknya dan membereskan barangnya.

“Eh Suna! Bukan gitu maksud gue! Aduh, daripada lo balik giti aja join aja sama kita, nongkrong, ngobrol-ngobrol gitu. Kak Iizuna sama Kiyoomi ngga masalah kan kalo Suna join sama kita daripada balik gitu aja?” tanya Komori dengan nada sedikit tidak enak. Ia tidak ibgin mengusir Suna dan juga tidak mau membuat kedua temannya tidak aman, saat ini dia sedang 'menengahi' kesalahan yang dia buat dengan solusi sesolutif mungkin

“Aku sih ngga masalah ya, makin banyak orangnya makin seru!” jawab kak Iizuna ramah dan Sakusa hanya mengangguk sebagai persetujuan. Apapun yang dikatakan kak Iizuna dia akan selalu setuju.

Dan dari sanalah Komori dan Suna menjadi dekat.

Komori bingung, jelas bingung, ke hadiran Suna Rintarou layaknya topan tanpa pemberitahuan yang menganggu akhir pekannya untuk bersantai. Seketika berbagai macam pikiran berkecamuk dalam kepala, hari ini ada rapat?, kumpul panitia?, tapi perasaan grup adem-adem aja, apa aku yang gak cek grup?, dan lain sebagainya.

Pemikiran tersebut semakin menjadi-jadi terlebih ketika Suna dengan tiba-tiba menarik kursi tepat di hadapannya dan duduk begitu saja tanpa dipersilahkan.

WHAAAAT?? INI DIA NGAPAIIIIN?

Panik, Komori panik tujuh keliling. Berusaha tenang dan tidak bereaksi berlebihan dirinya pun menyapa Suna dengan tos 'anak tongkrongan' pada umumnya, jika kalian tidak tau, tos dengan menempelkan kedua kepal tangan.

Dengan gelisah Komori berusaha mencairkan suasana, ini sungguh canggung, terlebih dia dan Suna hanya pernah mengobrol sesekali sekadar setor desain dan sudah, tidak lain dan tidak lebih. Sisanya dalam kepanitiaan ia lebih akrab dengan Hoshiumi atau Atsumu selaku teman seprodinya.

“Anu Suna, ini kita ada kumpul ta? Seingetku di grup diem-diem aja atau emang aku yang kelewat berita ngga ngecek agenda?” tanyanya, meskipun dalam diri Komori ia sudah gundah gulana tidak karuan. Lebih baik segera ia konfrimasi daripada salah.

“Motoya!”

Baik dirinya dan Suna seketika menoleh ke sumber suara, mendapati Sakusa dan kak Iizuna akhirnya tiba di tempat janjian, paling tidak Komori dapat menghela nafas lega melihat kehadiran sepunya dan kakak kelas semasa SMA-nya itu.

“Loh Suna? Loh? Katanya lo ngga ada kumpul kepanitiaan kampus?”

Mampus batin Komori, gimana nih, dia yang mengajak Sakusa dan kak Iizuna, ngga mungkin kan dia yang membatalkan perkara salah baca agenda kalendernya atau gimana?

Belum sempat menjawab, lelaki bermata sipit itu segera menimpali, menyelesaikan kesalahpahaman.

“Oh, gaada kumpul kok, gue dateng karena diundang Komori”

HAAAAAAH?


Note: Cookie Run Kingdom , Red Velvet Cookie (Reve) x Pastry Cookie , bxg , slowburn, accident , cookie run kingdom smasa universe , alternate universe


Tentang Reve dan janjinya untuk pulang


Jika kalian bertanya pada seluruh siswa SMASA perihal jalinan asmara antara Reve dan Pastry, dapat dipastikan 100% diantara mereka akan bersaksi, “Hubungan mereka lebih sukar dipahami bahkan bagi mereka sendiri”

Ya, hubungan mereka memang rumit, terlihat terlalu intim jika sekadar sahabat tapi selalu menyangkal jika ditanya perihal status lebih lanjut.

Mereka tak perlu repot-repot berseru, “Aku suka kamu, ayo jadi pacarku”, dan “Iya, ayo kita pacaran,”. Semua orang tahu pasti jikalau Reve hanya untuk Pastry dan sebaliknya pun begitu.

Ya, walau memang Reve selalu menyatakan perasaannya pada sang juwita yang dibalas kebisuan seribu bahasa. Akan tetapi hal tersebut seakan menjadi klaim resmi akan hubungan mereka.


“Jadi, akhir pekan besok kamu bakalan ndaki lagi?”

“Iya, sama Lico, Pome, Dark Choco”

Tidak ada balasan, karena Pastry tau betul, agenda sang 'sahabat' yang merupakan anggota klub pecinta alam untuk pergi mendaki di setiap akhir pekan.

“Pastry, aku suka banget sama kamu,”

Meskipun hal tersebut sudah menjadi pernyataan Reve ke seribu-seratus-dua-belas kali. Hal tersebut tidak pantas membuat Pastry berhenti tersipu dan salah tingkah walau hanya sepersekian detik.

“Aku tau,”

Ya, Pastry tau betul dan setelah ini, Reve dengan 'stok' gombalam receh ngga bermutu namun menggelitik akan selalu membuat janji kepada sang dara untuk kembali.

“Tapi aku beneran mau bilang kalau perasaanku ini benar adanya”

Sang gadis dapat melihat keseriusan di balik wajah lelaki berkulit matang akibat sinar terik mentari. Entah kenapa, setitik firasat buruk menghampirinya yang lekas ia usir jauh-jauh karena kata bunda pamali.

Takut menjadi doa dan kenyataan, katanya

Alih-alih menjawab, Pastry memilih jalan terlebih dahulu dan meninggalkan sang lelaki, “Seperti biasanya Reve, aku tau dan seperti biasanya, berjanjilah untuk pulang kepadaku,” ujarnya sembari menoleh ke arah Reve dan tersenyum.

Dari tempatnya berdiri dapat terekam secara jelas dan pasti senyum sang pujaan hati. Wajah manis rupawan dihiasi bias sinar matahari sore yang perlahan bersembunyi di ufuk langit, menambah elok sosok sang gadis. Momen-momen seperti ini yang ingin selalu Reve rekam dan kenang dalam hatinya sepanjang hari. Kalau saja Reve seorang pujangga tak dapat dibayangkan berapa lembar kertas ia habiskan untuk menuliskan betapa ia jatuh hati. Memang Reve berlebihan orangnya, apalagi jika menyangkut Pastry.

Yang dikatakan Pastry benar, ia hanya harus pulang seperti biasanya

Dan, keinginan dan doa Reve saat ini hanyalah sebatas agar dia bisa pulang seperti biasanya.


Seperti akhir pekan pada umumnya, Pasrty menikmati hari-hari libur sekolahnya dengan bersantai dan sesekali berselancar di sosial media miliknya. Gadis muda itu tersenyum kecil melihat update instagram teman-temannya, specifically teman-teman pecinta alam yang update foto-foto mereka bersama sebelum pergi mendaki dengan senyum cerah. Di antara foto-foto itu ia dapat melihat Reve yang terlihat tersenyum penuh semangat dengan gaya jempol andalan miliknya. Kalo ada Pastry di sana sudah pasti ia akan meledeknya dan mengatainya seperti bapak-bapak.

Masih dengan mata yang terpaku pada layar gawai miliknya, Pastry berjalan menuju dapur dan membuat secangkir susu hangat. Fokusnya masih terpaku pada benda kotak kecil di tangan kirinya, menghiraukan air panas dalam cangkir miliknya yang mulai penuh hingga merembes mengenai kulitanya, membuat Pastry mendesis menahan perih dan reflek menjatuhkan ponsel di tangan satunya.

Dalam hati Pastry menggumam dan menanyakan kenapa hari ini dirinya begitu ceroboh? Dengan segera ia mengamankan ponselnya dan dan mengambil lap kotor di pantry dapur untuk membersihkan sisa-sisa air panas yang tumpah.

Haaah, padahal Pastry hanya ingin menghabiskan akhir pekan dengan santai tapi kenapa ada aja kendala?

___


Bahkan hujan menyimpan kenangan di setiap rintiknya.


Nico Robin masih mampu mendengar gemericik air hujan meski perpustakaan kota tersebut di bangun kedap suara. Seutas senyum kecil apik terkembang menambah manis di paras ayunya. Sendari dulu, Nico Robin sangat menyukai hujan.


Jika ada yang tanya 'kenapa' maka Robin pun tidak tau alasannya yang jelas ia hanya menyukai hujan, sangat menyukainya.

Hanya rintik hujan lah yang mampu membuat gadis pecinta buku itu mampu mengalihkan seluruh pusat atensinya dari untaian dikte kata dan aksara buku yang ia baca. Hal yang cukup jarang atau mungkin mustahil mengingat betapa Robin mencintai buku dan segala bentuk kasusastraan.