komoyi

just me and my loving komori hours, heavily post sunakomo


“Shishishishi! Zoro kau bodoh sekali! Kenapa bisa nyasar?!”

Tak henti-hentinya lelaki bertopi jerami tersebut tertawa meledek sahabat bersurai hijaunya tersebut. Nyatanya, Luffy pun tidak jauh berbeda (bodohnya) dengan Zoro. Bisa-bisanya orang yang mengajak mereka bertemu justru melupakan janjinya.

Bletak

Satu pukulan—penuh kasih sayang—Sanji layangkan pada pucuk kepala bersurai hitam tersebut membuat Nami sukses mengelus dada. Untunglah ada Sanji yang mewakilkan kekesalannya, “Kau sama saja bodoh! Bisa-bisanya yang ngajak janjian malah yang lupa!”

“Salahkan cupangnya aceng! Kalau cupangku ngga kalah sama cupangnya aceng aku ga bakalan tidur malam!” ujarnya tak terima.

Tentu saja alasan bodoh Luffy barusan justru membuat Sanji semakin naik pitam. Siapa juga yang akan mempercayai alasan bodoh 'tarung cupang sampai tengah malam' seperti itu?!

“Iya iya aku minta maaf deh!”

Kau tidak benar-benar serius meminta maaf

Nami hanya bisa menghela nafas melihat tingkah Luffy yang mengerucutkan bibirnya sembari membuang pandangannya dari dirinya dan juga Sanji. Hah... Ya sudahlah, namanya juga Luffy. Hal yang terdengar konyol san tak dapat dipercaya seperti 'tarung cupang tengah malam' yang dikatakan tersebut sangatlah mungkin dilakukannya. Mengingat Luffy dapan menjadikan semua hal menjadi mungkin meskipun terdengar konyol sekalipun.

Oh tunggu, aku sepertinya lupa bilang kalau rencana sepedaan minggu pagi mereka kali ini batal. Bukan, bukan batal, lebih tepatnya gagal total. Selain Luffy karena Luffy yang lupa akan janjinya, lelaki itu tidak segera mendatangi Sanji, Nami, dan Zoro justru langsung menuju ke Party Bar.

Selain itu, Zoro tidak membawa sepedanya. Selain malas, katanya, lelaki bersurai hijau itu lebih suka jogging pagi sembari membawa anjing pomemariannya, Chopper. Nami juga tidak habis pikir, padahal mereka sudah jelas-jelas (lebih tepatnya Luffy) mengajak bersepeda, Zoro justru memilih jalan kaki, yah, tapi kecepatan berjalan Zoro mampu mengimbangi sepeda Nami, jadi gadis itu tidak perlu terlalu takut jika lelaki itu tiba-tiba menghilang.

Sedangkan Usopp, lelaki itu benar-benar mencari 1001 cara untuk membatalkan kegiatan sepeda paginya hari ini. Mulai dari alasan yang masuk akal sampai tidak yang pada akhirnya Nami maklumi. Mahasiswa semester tua (Usopp bukan kategori semester akhir lagi) itu sudah membolak balikkan jam tidurnya. Meskipun terkadang Nami mengkhawatirkan nasib dan kesehatan bestie-nya itu debgan gaya hidup siang menjadi malam, malam menjadi siang dan selalu makan makanan siap saji ataupun instan.

Memang dari mereka berlima hanya Nami yang waras. Mungkin Sanji akan dimasukkan kedalam list orang dengan kewarasan sedikit mumpuni meskipun masih ada saja tingkah ajaibnya, seperti menggoda setiap wanita yang mereka temui yang membuatnya hampir dikejar banci karena salah duga.

“Habis ini ke mana?” tanya Luffy masih sibuk mengunyah makanannya, “Kerumah Usopp aja gimana? Sambil bawain makanan? Kasihan mahasiswa akhir ngga ada yang ngurus”


| zorobin ; semi-canon , taken place after thirller bark arc and Brook join the crews


Seperti yang biasa ia lakukan, Robin hanya bisa terkekeh kecil dan menjadi spektator ketika para anggota bajak laut topi jerami—khususnya Usopp, Luffy, dan Chopper—melalukan tingkah konyol namun ajaib. Bajak laut tempatnya bernaung ini memang hebat, selalu saja ada tingkah aneh namun menarik yang mereka lakukan setiap harinya dan hal tersebut juga selalu sukses mengundang gelak tawa dari dara ayu bersurai hitam ini.

Pagi ini tepat sehari setelah pertarungan terakhir mereka melawan bajak laut Gecko Moria, salah sati Shichibukai, sama seperto Crocodile yang mereka temui di Alabasta.

Jujur saja, pertempuran mereka dengan Shichibukai pengendali bayangan malam itu di Thriller Bark sangatlah melelahkan. Tetapi seperti biasanya, sang kapten Monkey D. Luffy selalu mempunyai 1001 cara untuk kembali menghidupkan suasana kapal Sunny Go yang seketika menghapuskan lelah semua orang dengan menghadirkan nuansa ceria oleh tingkah konyolnya. Seakan mereka tak pernah melakukan pertempuran tersebut, seakan apa yang ada di dalam kamus kehidupan Luffy hanyalah bersenang-senang.

“Mereka berisik sekali,”

Gadis itu menoleh, mendapati Zoro dengan perban disekujur tubuhnya berdiri tegap sambil melipat tangan di sebelahnya. Dibanding memperhatikan ucapan Zoro tadi, Robin justru memusatkan atensinya pada kondisi tubuh Zoro saat ini.

Sebagai salah satu dari sekian banyak orang yang mengetahui apa yang terjadi pada Zoro, Robin hanya bisa meringis, bahkan hanya dengan melihat luka-lukanya saja Robin bisa merasakan betapa sakitnya serangan Kuma itu, ketahanan tubuh Zoro yang selalu membuatnya mampu berdiri tegap setelah apapun yang terjadi selalu membuat Robin bertanya-tanya. Manusia seperti apa lelaki sebenarnya yang berdiri tepat di sebelahnya itu.

“Bukankah lebih baik kau beristirahat?” tanyanya langsung yang sukses mencuri perhatian pendekar pedang beraliran santoryuu tersebut. Zoro hanya mengedikkan bahunya tak acuh, “Aku sudah berbaring seharian,”

“Maaf,” ujarnya tiba-tiba. Tanda tanya seketika menyeruak dalam benak Robin, kenapa pula Zoro harus meminta maaf?

“Aku dengar dari Chopper kalau kau berhadapan dengan zombie-ku dan Sanji... Yah..., begitulah...”

”...maaf sudah melukaimu... dan Chopper,”

Penjelasan Zoro barusan sukses menghadirkan gelak tawa ringan namun juga anggun di saat bersamaan dari Robin. Seutas senyum manis seketika terkembang di wajah ayunya, Zoro yang melihatnya pun sesegera mungkin mengalihkan pandangannya, merasa salah tingkah karena telah ditertawakan. Apanya yang lucu coba?

“Kebiasaan, di sini kamu yang terluka parah, seharusnya kamu lebih memperhatikan dirimu sendiri Zoro. Lagipula aku tak terlalu menghiraukannya, zombie-zombie itu hanya menggunakan bayanganmu tapi itu bukan dirimu yang sesungguhnya,” ujarnya masih dengan seutas senyum terkembang, Zoro hanya bisa menggaruk tengkuknya dengan kikuk. Paham atas reaksi Zoro tersebut Robin pun semakin mempertahankan senyumnya, “Aku tau, kami semua tau, kamu nggak mungkin tega melukai rekanmu sendiri,”

Robin menggapai sebelah tangan kiri tangan Zoro. Menggenggam kelingking lelaki itu, “Aku yang harusnya berterima kasih,”

Gantian, sekarang Zoro yang tampak kebingungan dan Robin pun hanya mengerlingkan matanya, tidak menjawab langsung. Tentu saja Robin berhutang banyak pada kelompok bajak laut ini, tetapi Zoro, ia hanya ingin mengucapkannya langsung kepada lelaki itu.

“Terima kasih karena telah membantuku di Skypeia, terima kasih karena telah menemukan kunci borgol batu lautku di Enies Lobby dan membebaskanku, terima kasih juga karena telah melindungiku—kami semua dari serangan Kuma,”

Zoro dapat merasakan kehangatan pada telapak tangan kirinya, telapak yang begitu kasar dan besar bergesekan dengan telapak yang lebih kecil dan halus. Namun bagi Robin, telapak tangan sang pendekar pedang itu begitu pas dalam genggamannya dan juga hangat, ia menyukainya.

“Kau...,” dari ekspresinya Robin mampu melihat keterkejutan lelaki itu. Bukannya menjawab, Robin masih terus mempertahankan senyumnya sembari mengusap lembut telapak tangan dalam genggamannya, “Terima kasih,”

Zoro tak bisa mengelak ataupun berbohong, sebelah tangannya ia gunakan untuk menutupi rona merah di wajahnya meskipun terasa percuma karena Robin dapat melihat rona merah tersebut menjalar sampai ke ujung telinga.

“Robin..., kau ya benar-benar...,”

Meskipun berujar demikian, Zoro seakan tak ada niatan melepaskan genggaman tangan gadis itu dan justru menggengamnya balik. Tentu saja hal tersebut disambut dengan senang hati diikuti perasaan membuncah bagi sang gadis—yang lebih mampu menyembunyikan perasaannya dari sang lelaki.

Di tengah-tengah hiruk pikuk suasana ramai nan meriahnya kapal Sunny Go, tak ada yang menyadari apa yang terjadi diantara Zoro dan Robin. Kedua tangan yang saling bertaut, begitu pula dengan perasaan mereka. Mungkin, teman-teman lainnya hanya berganggap Zoro dan Robin hanya bertingkah seperti yang biasa mereka lakukan, menyendiri dan memperhatikan keributan dari temlat ataupun ruang mereka masing-masing.

Hanya ada satu orang yang sendari tadi memperhatikan mereka. Satu dari sekian banyak orang yang juga mengetahui pengorbanan Zoro. Kru baru yang sendari awal sudah menaruh rasa 'hormat' dan kagum lebih selain kepada sang kapten untuk sang pendekar pedang sejak pertempuran dengan Ryuma.

Brook, yang sendari awal memang telah memperhatikan gerak-gerik setiap anggota kelompok topi jerami ini. Meskipun tampilan tengkoraknya itu membuatnya terlihat biasa saja di setiap kondisi ataupun ekspresi yang ia rasa namun dalam lubuk hatinya dapat terlihat bahwa tengkorak tersebut tersenyum.

“Yohohohoho”


Bersahabat selama sepuluh tahun lamanya tentu membuat hubungan Nami dan keempat jejaka tampan tumbuh menjadi tidak hanya sebatas teman nongkrong belaka namun juga senasib sepenanggungan, layaknya mereka adalah sohib sejati semahoni. Meskipun begitu, jika Nami dapat menyematkan kategori est bestie atau truly teman senasib sepenanggungan dari keempat bujang tampan yang dia sudah ketahui seluk beluk riwayat kehidupannya itu maka jawabannya jatuh kepada lelaki berhidung panjang dengan rambut kriwil sebahu yang tak lain dan tak bukan adalah Usopp.

Berbeda dengan Luffy, Zoro, dan juga Sanji yang memang memiliki reputasi tersendiri dulu semasa SMA. Usopp dan Nami bisa dikategorikan sebagai siswa dan siswi biasa-biasa saja. Tidak menonjol dan juga populer, itulah kenapa Nami merasa lebih akrab dan dekat dengan Usopp, karena mereka berbagi nasib yang sama serta memiliki banyak kesamaan satu sama lain.


Ngga! Ngga lagi-lagi! Pokoknya ngga lagi-lagi!!!

Nami sendari tadi tak bisa menghentikan kakinya yang sendari tadi gemetaran begitu pula dengan Usopp. Jika kaloan bertanya penyebab dua bestie tersebut ketakutan seperti ini maka Nami akan menjawab dengan pasti kalau ini adalah salah Usopp. Memang benar kata orang-orang di luar sana, jika lelaki selalu salah di mata wanita.

Tetapi Nami berani bersumpah dan meyakinkan kalian kalau ini salah Usopp. Bagaimana bisa lelaki itu mengajaknya untuk bermain Escape Room hanya berdua di saat Usopp tau bahwa mereka berdua sama-sama penakut?!

“KAMU ITU GIMANA SIH?! UDAH TAU KITA SAMA-SANA TAKUT GINIAN MALAH DATENG BERDUA?! PALING NGGA AJAK LUFFY, SANJI, ATAU ZORO!” omel Nami sembari terus-terusan memukul Usopp dengan membabi buta, tak menghiraukan lelaki itu yang sendari tadi sudah berteriak kesakitan.

“Kamu tau sendiri kan kalau tiga cowo idiot itu ngga bisa diandalkan?!” gertak Usopp.

Pukulan membabi buta Nami tersebut seketika terhenti di udara. Otak cerdasnya langsung berjalan mempertimbangkan ucapan Usopp barusan. Benar juga, meskipun mengajak ketiga sahabat lainnya bukan berarti semua akan berubah menjadi lebih baik atau bahkan kenyataannya bisa jauh lebih buruk dari apa yang mereka alami saat ini.

Mengajak Luffy tentu saja bukan pilihan yang bagus karena lelaki tersebut bergerak berdasarkan Intuisinya. Escape Room justru bukan sesuatu yang 'Luffy banget' mengingat permainan ini membutuhkan otak untuk berpikir dan Luffy sangat anti dengan aktifitas otak kiri tersebut. Ia akan melakukan apa yang dia rasa benar dan menyenangkan.

Zoro? Lelaki itu jauh lebih buruk dari Luffy! Meskipun Zoro cukup pintar untuk diajak berpikir dan bekerja sama dalam memecahkan suatu misteri lelaki tersebut memiliki satu kelemahan yang jelas merugikan mereka dalam permainan labirin ini. Ya, penyakit buta arahnya yang sangat akut. Zoro harus dijauhkan dari permainan seperti ini.

Lalu untuk Sanji, mungkin Sanji jauh lebih baik daripada kedua temannya tadi, tapi... Tidak, di tempat gelap seperti ini Sanji justru akan mencari kesemlatan dalam kesempitan untuk berdekatan dengannya dan justru tidak membantu mereka dalam memecahkan teka-teki. Benar kata Usopp dari ketiga sahabatnya yang sangar-sangar justru tidak ada harapan bagi mereka untuk mendapat bantuan.

Meskipun begitu Nami masih sedikit kesal dengan sahabat 'pinokio'-nya tersebut. Gadis itu masih bungkam seribu bahasa setelah puas 'menganiyaya' lelaki tersebut. Tak menghiraukan semua celotehan atau cerita Usopp sejak mereka melangkahkan kaki meninggalkan Escape Room.

“Nami gimana kalau kita nonton film aja?!”

“Males,”

“Nami tau tidak aku berhasil mendapat 8.000 pengikut di akun Twitter dan Instagram!”

“Bohong,”

“Nami, cantengan itu sakit ya,”

“Udah tau,”

Nami, Nami, Nami, Namiiii AAAAHHH rasanya sungguh kesal Usopp sendari tadi dicueki oleh sahabatnya itu, jika bisa memberi petuah pada anak lelakinya kelak mungkin ia akan menasehati anaknya agar tidak membuat perempuan kesal karena akan repot urusannya. Namun bukan lelaki sejati namanya jika mereka menyerah dalam menghibur suasana hati seorang wanita. Big no! Usopp bukan lelaki pecundang! Dirinya yang membuat Nami ngambek maka ia yang harus bertanggung jawab!

“Nami! Gimana kalau kita makan dulu? Mau sukiyaki ngga? Aku traktir deh!”

“Kamu traktir?” tanya Nami sekali lagi meyakinkan, entah mengapa Usopp merasa aliran darah dalam tubuhnya berpacu dua kali lipat lebih cepat dari biasanya, ia harap-harap cemas sebelum mengangguk sebagai jawaban.

Deal! Ayo!”

Ah Usopp lupa, cara memperbaiki suasana hati Nami yang buruk kan tinggal pancing saja dengan gratisan...


Semua orang tau kalau Sanji adalah seorang pecinta wanita, bahkan kata 'flamboyan' pun menjadi nama tengahnya, Vinsmoke flamboyan Sanji. Semua sahabatnya pun tau betapa perhatian dan bucinnya Sanji terhadal satu-satunya wanita dalam kelompok mereka, yang terkadang membuat Luffy, Zoro, serta Usopp sebal karenanya.

Bagi Nami sendiri ia tidak pernah menganggap serius semua perhatian dan pernyataan cinta yang terlontar atau dilakukan oleh lelaki bersurai pirang tersebut. 'Namanya juga Sanji, wajar dia perhatian dengan setiap perempuan, lelaki itu kan sangat mencintai wanita,' bagaimana Nami memandang Sanji, membuat gadis pecinta jeruk itu tidak pernah sekalipun memiliki rasa atau terbawa perasaan terhadap setiap perilaku dan lontaran manis lelaki jago masak tersebut.

Meskipun begitu, tidak ada yang tau bahwa Nami adalah cinta pertama Sanji


14 Februari, 8 tahun lalu

Masih segar dalam ingatan Sanji, ketika dirinya pertama kali mengungkapkan perasaannya terhadap Nami yang juga kemudian menjadi penolakan pertamanya dalam catatan sejarah upayanya untuk memenangkan hati gadis pecinta jeruk tersebut

Pada malam valentine delapan tahun lalu, di bawah hujan salju di pusat kota Grand Line, mereka jalan berdua untuk pertama kalinya dan merupakan sesuatu yang jarang dilakukan karena biasanya mereka akan berlima seperti arak-arak beramai-ramai.

Tetapi hari itu spesial, Sanji yang mengajaknya untuk jalan, hanya berdua, tidak ingin ada gangguan dari ketiga teman idiotnya lainnya dan Nami pun mengiyakannya.

Seperti apa yang dilakukan anak SMA pada umumnya yang mengajak lawan jenis di kencan pertamanya. Sanji mengajak Nami berjalan-jalan, menonton film, dan membelikan beberapa 'hadiah' untuk gadis itu. Mereka tertawa riang, menghabiskan waktu berdua dengan bahagia. Namun dengan dua cara pandang terhadap masing-masing yang sungguh berbeda. Nami yang melihat Sanji sebagai sahabat dan mereka yang bersenang-senang layaknga sahabat sedangkan Sanji yang melihat Nami sebagai seseorang yang spesial.

Dan ketika mereka menghabiskan waktu untuk makan malam di salah satu restoran di pusat kota, kalimat itu pun terucap dari kedua belah bibir Sanji. Menyatakan bahwa Sanji menyukainya, Nami yang mendengarnya hanya bisa tersenyum dan menolaknya dengan halus, mengatakan bahwa bukan Sanji orang yang disukainya.

Sanji mengerti an dirinya pun harus siap dengan segala konsekuensi, hubungannya dengan Nami atau sahabatnya yang lainnya mungkin bisa berjarak, tapi Sanji tak mempermasalahkannya, dia sudah merasa cukup dengan bisa menghabiskan waktu berdua dengan Nami seperti ini dan mengutarakan perasaannya.

Yah, itulah kemungkinan terburuk yang Sanji kira, pada nyatanya Nami masih menghampirinya, bertingkah layaknya tak terjadi apapun di antara mereka. Karena bagi Nami ia tidak ingin kehilangan sahabatnya hanya karena penolakan cinta, Nami masih ingin terus bersahabat debgan Sanji dan hal tersebut lebih dari cukup bagi Sanji.

Karena persahabatan mereka jauh lebih berharga dibanding penolakan cinta


“Ini dia pudding jeruk khusus Nami-san, dibuat dengan bumbu rahasia,” ujar Sanji sembari meletakkan sepiring dessert pudding jeruknya tepat di hadapan gadis bersurai orange yang sudah duduk manis di mini bar dapur miliknya.

Nami tersenyun cerah sembari menopang dagunya dengan kedua tangan, meskipun dirinya tau bahwa kemampuan Sanji tidak perlu untuk diragukan tetapi ia selalu terkesan dengan cita rasa serta lihainya lelaki itu dalam memasak serta menghidangkannya.

“Woaah, kau selalu bisa membuatku terkesan dengan semua hidanganmu Sanji-kun, lalu bumbu rahasianya kali ini apa,” tanyanya dengan pandangan yang masih fokus tertuju pada pudding jeruk dihadapannya.

“Namanya bumbu cinta,” seketika ujaran tersebut sontak membuat Nami terbahak.

Hai, hai~ dan aku sangat mencintai semua masakkanmu,” ujar Nami, memang berniat untuk memuji.

Bukan Sanji namanya jika dirinya tidak bereaksi berlebihan, lelaki itu mundur dari posisinya, sembari memegang sebelah kiri dadanya, “Mellorine, kau memang jago membuatku jatuh hati, aku sangat mencintaimu”

Hai, hai~ terima kasih pujiannya Sanji-kun, oh ya, ngomong-ngomong kau salah, posisi hati ada disebelah kanan atas tengahnya lambung, yang kau tunjuk barusan adalah jantung,”

“MELLORINEEEEE~”


Seperti malam-malam lainnya, bar milik Shakky yang berada tak jauh dari Sabaody Park selalu ramai dengan hilir mudik pengunjung.

Shakky, sang pemilik bar sekaligus bartender di sana pun meletakkan dua gelas minuman keras pesanan dua insan manusia yang segera ditenggak langsung oleh gadis bersurai oranye sementara teman lelakinya terlihat hirau sembari menenggak minumannya pelan-pelan.

Bahkan dilihat saja gadis manis tersebut tengah berada di situasi hati yang gundah dan lelaki tersebut tidak perlu bertanya lebih lanjut atau justru dirinya nanti yang akan menjadi samsak akibat suasana hati gadis tersebut yang memburuk.

“Aku keseeeel ! Cowo itu kalo ngga brengsek ya homo!” ledak gadis tersebut mengeluarkan makian-makian andalan para wanita saat mereka baru saja putus cinta atau dipermainkan laki-laki hidung belang yang mereka temui.

“Zorooo~ kenapa sih cowo-cowo kalo ngga brengsek ya homo?!” ujarnya lagi menyeruakan protesnya kepada sang sahabat yang terlihat sama sekali tak menghiraukannya.

Zoro, lelaki tersebut hanya bisa menghela nafas pelan sembari kembali menuangkan minuman keras pada gelas milik gadis tersebut yang telah tandas.

“Kenapa lagi sekarang?” tanyanya tanpa minat, sebenarnya bukan bermaksud tidak ingin mendengarkan cerita sahabatnya namun Zoro sepertinya sudah bisa mengira-ngira penyebab sang gadis di sebelahnya ini patah hati dirundung pilu.

“Kamu tau kan aku habis match di Tinder sama cowo beberapa minggu lalu, Ablasom, Ablasom yang sempet aku ceritain itu... Nah di fotonya tuh dia cakeep banget asli kayak artis Hollywood pas ketemu kemarin zonk banget tau ngga sih?! Bete!”

Zoro masih terus mendengarkan semua keluh kesah sang sahabat yang ia yakini bahwa semua keluhan tersebut bukanlah inti utama ceritanya. Zoro sudah terbiasa berurusan dengan perempuan, jadi ia hafal betul peringai makhluk ciptaan Tuhan satu ini yang sering digadang-gadang sebagai 'ciptaan paling susah dipahami'.

“Tapi ya karena aku anaknya ngga pernah mandang rupa jadinya yaudah kita lanjut jalan, tanpa ilfeel astaga jarang-jarang kan nemu cewe baik kayak aku?! Selama kita cocok yauda ayo! Tapi tau ngga sih pas selesai jalan bisa-bisanya aku dikatain matre!”

Tuh kan... Zoro bilang apa...

Pasti urusannya duit...

Lelaki itu tidak merespon atau pun menanggapi, memilih untuk membuka telinganya lebar-lebar dan mendengar segala macam bentuk umpatan dan makian yang dikeluarkan oleh gadis tersebut. Orang-orang yang melihat mereka mungkin akan menaruh simpati pada Zoro yang begitu tabah meladeni semua cemoohan gadis tersebut, atau bahkan mengira Zoro lah yang sendari tadi dicemooh.

Namun Zoro lebih tau peringai sahabatnya, jika ia menimpali maka dirinya yang akan habis menjadi samsak pukulnya malam ini.

“Gini loooo maaas~ kalo misalnya Anda ngga cakep atau ngga ada bobot bibit bebetnya ya tonjolin dikit kek value lainnya! Orang dia yang nanya mau makan dimana mau dibeliin apa, aku jawab eh malah dikatain matre! Paling ngga kalau di satu aspek kurang di aspek lainnya lebih! Jangan dua-duanya kurang! Pake ngatain cewe lagi! Cupu!” omel gadis tersebut sambil terengah, dengan segera ia pun menenggak kembali minumannya yang langsung diisi kemabali oleh Zoro dengan sigap. Bahkan ia sudah di gelas ke limanya disaat Zoro belum habis menandaskan satu gelas sekali pun. Biasanya lelaki itu belum lima menit sudah membeli botol lainnya.

“Sepertinya suasana hati Nami-chan saat ini sedang buruk— benar kan, Roronoa-kun?”

“Seperti yang kau lihat, Shakky, makanya aku mengajaknya ke sini. Dia dari kemarin sudah marah-marah di sosial medianya,”

“Fufufu, menarik sekali— mau aku ambilkan satu botol lagi? Gratis untuk pelanggan kesayanganku yang sedang patah hati,” ujar Shakky sang pemilik bar yang tentu saja diiyakan oleh Zoro dengan semangat.

Tak butuh waktu lama Shakky pun kembali membawa minuman mereka, wanita dewasa yang masih tampak mewanan di usia empat puluh tahunnya itu pun duduk tepat di hadapan Zoro dan kemudian menyalakan pemantik untuk rokoknya.

“Tidak semua laki-laki seburuk itu Nami-chan, jika memang mereka seburuk itu berarti mereka yang tidak pantas mendapatkanmu,” ujar Shakky menghibur seraya mengedipkan sebelah matanya. Zoro yang mendengarnya pun menganggukkan kepalanya setuju.

“Zoro!” yang dipanggil pun hampir tersedak saat Nami tiba-tiba memanggilnya dengan suaranya yang melengking ditambah dengan tepukkan keras pada lunggungnya. Dirinya meringis tak suka.

“Dengar, kau lihat sahabatmu yang malang ini dipermainkan oleh lelaki tak berguna di luar sana. Kau! Sebagai lelaki harus mengerti perasaan kami para wanita! Jangan jadi lelaki seperti Ablasom yang payah itu!” omelnya, tunggu, kenapa dirinya yang kena? Harusnya di sini kan Nami yang diberi petuah agar lebih jeli dalam memilih teman kencan? Ah tapi sudahlah, jika itu membuat sahabatnya merasa lebih baik maka Zoro tidak maslaah harus memasang kuping sedikit lebih lama untuk mendengar petuah sahabatnya itu meskipun telinganya sudah sangat perih akibat jeritan sahabatnya. Nami sepertinya telah mabuk.

“Shakky-san—”

Pemilik bar tersebut menoleh, kepulan asap rokok keluar dari kedua bibir ranumnya, “Terima kasih telah datang, hati-hati di jalan Roronoa-kun, jaga Nami-chan ya,” ujarnya seraya melambaikan tangannya mengiringi kedua insan yang melangkahkan kaki keluar dari bar dengan Zoro yang membopong tubuh Nami keluar.


Zoro menepuk-tepuk tengkuk gadis bersurai oranye yang tengah berusaha mengeluarkan seluruh sisa makanan dalam tubuhnya. Sepertinya gadis itu meminun terlalu banyak alkohol malam ini hingga bisa berakhir menyedihkan seperti ini.

“Kebiasaan banget kan kalau kayak gini mesti lupa diri,” omel sang lelaki bersurai hijau tersebut. Nami hanya bisa mendengus, dirinya sudha tidak bertenaga lagi untuk meladeni atau bahkan membalas ucapan Zoro barusan.

“Mau dibantuin masuk ngga?” tawar sang sahabat, Nami pun menggeleng sebagai jawaban, lagipula sejak sampai di depan rumah Nami sudah menghubungi Nojiko untuk membantunya mamapah dirinya.

Thanks” ya, jadi tempat curhat sumpah gedek banget sama—”

“Udah ngga usah dibahas mending masuk, bersih-bersih terus makan sup ganggang laut,”

Mereka berdua menoleh saat pintu rumah Nami terbuka, menampilkan seorang gadis muda dengan tato di tangan kanannya yang merambat hingga pertemuan lehernya. Nojiko, saudara seibu angkat Nami.

Gadis itu menyapa Zoro sejenak sebelum memapah Nami dan membawa barang-barangnya, “Nami,” panggil Zoro tepat sebelum kedua bersaudara itu masuk.

“Kalau misalnya laki-laki itu brengsek berarti dia ngga pantes dapetin kamu dan kamu ngga perlu mikirin laki-laki pecundang kayak dia,” ujar Zoro.

Diambang batas kesadarannya, Nami dapat melihat kedua mata Zoro yang menatapnya tajam, tegas, dan penuh keyakinan. Gadis itu pun menyunggingkan seutas senyum kecil.

“Makasi ya Zoro,”


Harusnya Nami tau, harusnya Nami paham. Berteman dengan Luffy selama sepuluh tahun harusnya membuat gadis bersurai oranye itu mengerti betul peringai dari sahabatnya pecinta daging ini dan seharunya Nami ngga bakalan bisa kegocek hanya karena iming-iming Luffy yang mengatakan kalau dia mendapat sebuah promo.

Karena definisi pemahaman promo yang diincar oleh Luffy dan Nami tentu saja seratus persen berbeda.

Nami akan menyukainya apabila promonya dapat membuatnya memperoleh lima baju meskipun hanya membayar satu baju atau ia dapat menghemat uangnya lebih dari lima puluh persen ketika berbelanja.

Sedangkan promo yang dimaksud Luffy tentu saja—

—tidak akan jauh-jauh dari makanan...


Hwayow Nwamwi swehawrhusnyaw khaw swenang bhukwan akhuw ajhak keshiniw! Inhiw semwuwa akhuw bheliw kharenaw dhapwet prowmow

(Ayo Nami seharusnya kau senanh bikan aku ajak kesini! Ini semua aku beli karena dapet promo!)

Hadeh...

Nami hanya bisa menghela nafas berat sembari menungkan kembali secangkir sake pada cawannya yang telah kosong sembari melihat sahabatnya yang makan dengan lahap daging-daging panggang di hadapan mereka berdua.

Saat ini mereka berdua sedang menikmati sajian beragam olahan daging panggang dari salah satu restoran all you can eat yang baru saja buka di Distrik Water 7 yang tidak terlalu jauh dari kantor mereka berdua.

Jika kalian bertanya bagaimana Nami dan Luffy dapat berakhir di restoran ini dan hanya berdua. Salahkan lelaki perut karet dihadapannya yang tiba-tiba meneleponnya untuk berjalan-jalan karena ia baru saja memperoleh promo.

Denger kata promo tentu saja tidak ada wanita yang tidak terdoga, Nami langsung saja mengiyakannya tanpa cross dan check terlebih dahulu. Seharusnya Nami bisa menebak jika apapun yang berhubungan dengan Luffy meskipun promo sekalipun pasti tidak akan jauh-jauh dari makanan.

Ya sudahlah, kacang sudah jadi rempeyek, mau bagaimana lagi. Toh jarang-jarang pula Luffy mengajaknya makan bahkan membayarinya. Harus ia syukuri fenomena atau bahkan mujizat langka ini.

“Ngomong-ngomong Luffy, kamu kok tiba-tiba tau promo ginian darimana?” tanyanya dengan penasaran. Tentu saja, Luffy adalah tipikal prang terakhir yang mempedulikan promo kemudian diikuti dengan Zoro, jadi aneh saja kalau tiba-tiba Luffy tau ada sebuah restoran yang mengadakan promo makan besar-besaran seperti ini.

“Heem? Akhuw kemwarwen phulwang samwa Zhowrow—uhuk!”

Dengan sigap Nami mengambil air mineral yang juga termasuk bonusan gratis dari promo mereka. Memberikannya kepada Luffy untuk segera diminum sembari menepuk tengkuk belakang lelaki itu, “Makanya kalau mau ngomong ditelen dulu makanannya,” omelnya.

“Fuah!” serunya lega sembari menyeka sudut bibirnya, “Jadi kemarin aku kan nebeng Zoro soalnya abis lembur dan males banget nyetir sendiri, tau kan Zoro tuh tukang nyasar meskipun di mobilnya ada GPS nah setelah satu jam nyasar akhirnya kita bisa balik ke Water Seven meskipun lewat jalan tikus dan nemu tempat ini deh!”

Oh... Jadi begitu...

Mendengar penjelasan Luffy membuat Nami percaya tidak percaya. Ia percaya kalau Zoro itu buta arah, dan sangat percaya kalau Luffy pasti akan merengek meminta makan tiap kali pulang kerja. Yang dia tidak percaya adalah fakta dimana Zoro, orang paling tidak bisa diandalkan dalam menghafal jalan justru satu-satunya diantara mereka yang selalu membawa kendaraan pribadi dan fakta kedua adalah bagaimana bisa dua orang bodoh ini berakhir bersama hanya berdua tanpa pengawasan sahabatnya yang lain... Nami ngga habis pikir.

“Kenapa kamu ngajak aku deh? Kan bisa Sanji atau Usopp atau Zoro,” tanyanya lagi, sebenarnya Nami tidak pernah keberatan pergi hanya berdua dengan Luffy, tapi aneh saja karena biasanya kalau urusan makan-makan Luffy lebih suka mengajak sahabatnya yang lain timbang dirinya karena Nami akan berakhir dengan omelan sepanjang tol Cipularang karena Luffy terlalu rakus.

“Ngomong apa sih? Aku ngajak kamu ya karena aku tau kamu suka promoan. Biar kamu seneng aja,”

Jawaban itu sontak membuat Nami tersenyum simpul. Kadang Nami tidak paham jalan pikir Luffy itu seperti apa. Terlalu aneh untuk bisa ditebak oleh orang awam namun kadang pula terlalu ajaib karena Luffy selalu berusaha menyenangkan hati sahabat-sahabatnya dengan tingkah anehnya.

Luffy, si Aneh bin Ajaib.


Senyum terkembang apik di wajah ayu rupawannya, menambah kesan manis pada gadis bersurai lembayung sembari mengangkat sebelah tangannya tinggi-tinggi, memanggil sang pelayan restoran.

Beef shoyu ramennya lima, yang satu topping lainnya diganti daging. Terus tambah ikan bakarnya dua. Buat minumnya kita mau dua botol sake yang besar, black tea, sama satu jus jeruk ya! Oiya, jus jeruknya disaring ya,” jelas gadis manis tersebut dengan lancar tanpa kesalahan sedikit pun. Seolah sangat hafal betul makanan favorit keempat teman lelakinya di luar kepala yang sukses membuat sang pelayan kewalahan menulis semua pesanan mereka, “Ah iya kelupaan! Tolong lima gelas kosong dengan es batu ya!”

“Oy, oy, Nami, kau kejam sekali dengan pelayan itu. Tidak bisakah kau menyamakan pesanannya saja?” protes salah seorang teman lelakinya dengan hidung panjang dan rambung keriting sebahu. Lelaki itu tampak memandangi pelayan yang baru saja pergi setelah menuliskan pesanan mereka dengan kasihan. Sementara gadis yang dipanggil Nami tersebut terlihat acuh tak acuh dengan belas kasihannya.

“Tidak, lebih baik seperti ini daripada kita harus berulang kali memanggilnya karena komplain makanan yang tidak sesuai atau meminta tambahan lainnya. Tidak, tidak, dan tidak. Kalau seperti itu justru akan menambah total biaya nantinya,”

Memang, namanyanya juga perempuan, layaknya ada semacam intuisi yang telah ditanamkan dalam setiap benak alam bawah sadar perempuan dengan segala macam bentuk perhitungan terperinci dan teliti, khususnya menyangkut dengan uang serta untung dan rugi.

“NAMII-SWAAAN~ Kenapa kita harus pergi bersama yang lainnya terutama dengan si rambut lumut ini?! Akan lebih baik kalau kita menghabiskan akhir pekan berdua di salah satu restoran Itali sembari menatap indahnya langit malam perkotaan berdua—uuhh..., Nami-swaaan,” Ujar lelaki bersurai pirang dengan alis khas yang mungkin dimiliki dirinya satu-satunya dengan dramatis sembari mengigit ujung tisu yang entah ia peroleh darimana.

Nami hanya bisa menghela nafas berat sembari menolehkan kepalanya kearahnya. Lelaki bersurai pirang itu mengenakan setelah formal layaknya seseorang yang hendak pergi makan malam mewah.

Sebuah kesalahan ketika ia mengirimkan pesan singkat hanya berbunyi ajakan makan malam kepada lelaki itu karena seharusnya Nami tau (dan ingat) kalau lelaki itu akan mengira ajakannya sebagai kencan mereka berdua apabila ia tidak menambah embel-embel, 'bersama dengan teman-teman lainnya'.

“Sanji-kun, kau harusnya sudah tau jawabannya kalau aku akan selalu menolakmu kan? Lagipula aku sudah bilang tempatnya di mana, seharusnya kau sudah tau kalau kita akan pergi bersama,” ujarnya.

Namun bukannya malah menenangkan atau membuat lelaki bernama Sanji tersebut diam, jawabannya justru membuat lelaki itu semakin histeris. Yah, Nami juga udah mengira akan seperti ini respon yang ia dapat.

“Bahkan kau yang menolak diriku untuk yang ke dua ratus sembilan puluh tujuh kali pun aku tetap menyukaimu Nami-swan,” ujarnya sukses membuat Nami tidak habis pikir.

Kau tidak perlu menghitungnya kan...?

“Kau memang payah Sanji! Sudah! Mending kita main UNO saja sambil menunggu pesanan datang! Shishishishi,”


“Dasar lumut jelek sialan! Berani-beraninya kau duduk bersama Nami-swan tercintaku di kursi depan!”

“Hei, Sanji! Hentikan! Zoro sedang melihat spion belakang untuk mengeluarkan mobilnya! Kau justru menghalanginya! Aku tidak mau mati mudaaaa”

Pria yang bernama Sanji itu terlihat tak peduli, justru semakin meronta di saat Usopp berusaha memenangkannya. Lelaki bernama Zoro yang duduk di kursi kemudi itu sendari tadi ingin sekali menghajar sahabatnya. Namun iktikadnya tersebut harus tertahan karena dirinya perlu berkonsentrasi untuk melajukan mobilnya dan menyetir mundur keluar dari parkiran.

Sembari fokus dengan kemudinya Zoro hanya bisa mengguman kesal. Bagaimana bisa seseorang yang menumpang protes dengan sang pemilik mobil hanya sekadar masalah siapa yang duduk di bangku kemudi?! Tidak masuk akal!

Sementara itu Nami terlihat tak peduli sama sekali, gadis bersurai oranye itu justru sibuk memandangi langit malam yang dihiasi gemerlap cahaya lampu-lampu gedung pencakar langit melalui jendela mobil Zoro.

“Oi Nami,” satu-satunya gadis dalam mobil tersebut menoleh saat namanya diserukan oleh teman lelakinya bersurai hitam dan luka di bawah mata kirinya. Lelaki itu mencondongkan badannya dari samping kursi yang Nami duduki.

“Setel lagu dong, bosen dengerin Sanji sama Zoro tengkar mulu,” serunya sembari menyandarkan pipinya pada pinggiran senderan kursi Nami. Idenya tidak buruk juga, itu lebih baik daripada mendengarkan rengekan dari Sanji selama perjalanan pulang.

“Ide bagus, nah Zoro aku pinjem ponselmu ya buat aku sambungin ke bluetooth mobil—”

“—Sanji-kun, kamu mau request lagu apa?”

Usopp dan Luffy pun saling tatap saat Nami menanyakan lagu yang hendak diputar kepada Sanji dan sukeses membuat lelaki itu diam seribu bahasa. Tentu saja Sanji yang begitu cinta mati kepada Nami seketika mleyot dengan mata berbentuk hati dan ujaran pelan 'mellorine' berulang kali.

Usopp dan Luffy yang menyadari perubahan Sanji itu seketika menoleh ke arah Nami dengan tatapan takjub sembari menangkat kedua jempol mereka. Seperti yang diharapkan dari Nami!


I'm the first that I say I'm not perfect And you're the first to say you want the best thing But now I know a perfect way to let you go Give you my last hello, hope it's worth it

Mereka berempat bersenandung bersama ketika lagu “Here's Your Perfect” diputar oleh Nami. Tidak ada satu diantara mereka yang sedang putus cinta tapi entah mengapa lagu ini sukses membuat mereka bersenandung bersama dengan semangat dan begitu menghayati. Khususnya Sanji, kalau kata Zoro, Sanji seperti orang yang diajukan talak sebanyak sepuluh kali karena begitu menghayati.

Dan ini adalah bagian favorit mereka—

And you're the first that say you want the best thing—

“SAY YEAAAAAAH YEAAAH YEAAAAAHH”

Tawa mereka pun seketika lepas mengudara dengan bebasnya bersamaan dengan laju kemudi Zoro pada jalanan kota yang cukup lenggang malam ini kala Luffy menyanyikan killing part lagu tersebut dengan begitu antusias namun justru berakhir keluar dari nada semestinya dan menjadi fals.


Menghabiskan waktu dengan keempat sekawannya adalah rutinitas biasa bagi Nami. Rasanya begitu menyenangkan ketika akhirnya mereka bisa menghabiskan waktu bersama seperti ini.

Jika diibaratkan, Nami layaknya menyempurnakan keempat sekawannya.


“Emang Komori beneran sama Suna? Udah ada kemajuan akhirnya dia?”

Sakusa mengerutkan kedua alisnya, sembari menyesap kembali minuman miliknya ia memandang Iizuna dengan penuh tanya. Fakta tentang Komori yang menyukai Suna memanglah rahasia umum, tetapi kedekatannya dengan lelaki itu? Entahlah, tidak ada yang tau, bahkan bisa dibilang ebih tidak ada progress.

“Omongan dari mana? Motoya ngga ada cerita apa tuh ke gue” jelasnya sembari melipat tangan di depan dadanya dengan nada sedikit menyelidik.

“Bukan omongan sih. Shin bilang aja kalo Suna sama Komori lagi deket aja”

Iizuna itu bukan pembohong yang mahir, setidaknya bagi Sakusa. Meskipun berulang kali berusaha menghindari kontak mata dan terdengar 'normal' ia dapat menangkap kegusaran Iizuna dengan sangat jelas.

Jarang-jarang Iizuna akan mengajaknya mengobrol seperti ini, berdua, di cafetaria kampus. Sakusa sudah bisa menebak bahwa Iizuna memiliki kegelisahan yang hanya ingin dibicarakan berdua saja dengannya.

“Sak, menurut lo mending mana? Digebet atau ngegebet orang?”

Pertanyaan yang cukup mengejutkan tiba-tiba terlontar dari kedua bibir Iizuna. Meskipun terkejut Sakusa hanya menunjukkan reaksi dengan sebelah alis yang terangkat. Posisinya masih sama, duduk dihadapan Iizuna dengan tangan terlipat, berusaha tetap tenang dan menyimak ke seluruhan cerita.

“Kalau kita jadi posisi orang yang ngegebet semua ngga akan jadi masalah kalau orang yang kita suka nyukain kita balik. Tapi beda ceritanya kalau perasaan itu ngga mutual

“Sedangkan kalau diposisi digebet, bakalan susah juga kalau ternyata yang ngegebet kita bukan orang yang kita suka”

“Jadi menurut lo mending ada di posisi mana? Ngegebet atau digebet?” tanya Iizuna sembari memandabgnya tepat di kedua matanya. Mengunci penuh seluruh atensinya, seakan menyuruhnya untuk tetap fokus padanya. Sakusa menghela nafas.

“Itu kak Iizuna tau sendiri, ngga ada kata 'mending' di antara kedua hal tersebut. Kalau emang mau menunggu dan berharap tentu saja bakalan milih digebet tetapi kalau kak Iizuna pengennya berusaha, memperjuangkan baik perasaan kak Iizuna dan orang yang kak Iizuna suka ya ngegebet

“Meskipun ada kemungkinan ditolak?”

“Justru karena sudah memutuskan mau ngegebet anak orang ya harus siap dengan segala penolakan. Namanya juga usaha kan?”

Iizuna menghela nafas pelan, jawaban Sakusa barusan sudah sangat lah jelas. Ia mengerti dan paham betul apa yang dikatakan oleh Sakusa.

Ia juga sudah memutuskan untuk memperjuangkan Kita, karena ia tidak mau hanya berharap, ia mau mewujudkannya. Namun, entah mengapa, di satu sisi dirinya belum siap akan kemungkinan terburuk, akan penolakan yang mungkin akan menjauhkannya dengan Kita. Mungkin, dirinya masih setengah hati untuk memperjuangkan rasanya dan orang yang ia suka.

Mengerti akan perubahan raut wajah seniornya itu Sakusa hanya bisa menghela nafas pelan.

“Kalau kak Iizuna ragu justru itu ngga bakal bawa kak Iizuna kemana-mana, kak Iizuna bakalan terus berada dalam keabu-abuan, ketidak pastian. Kalau kak Iizuna pengin bergerak, ingin kepastian, maka kak Iizuna harus yakin akan setiap kemungkinan terburuk dari pilihan yang kak Iizuna ambil”

Mendengar kalimat yang diucapkan Sakusa barusan, Iizuna hanya bisa meringis. Ia yang ingin maju, ia yang ingin kepastian untuk dirinya, perasaannya, dan hubungannya dengan Kita, justru dirinya sendiri yang tidak mau maju.

Memang, apa yang direncanakan jauh lebih mudah diputuskan daripada mengeksekusinya.

“Makasih ya Sak”

Sakusa hanya mengangguk, sebelah tangannya mengepal kuat, menahan hasrat untuk tidak tiba-tiba mengelus pucuk kepala seniornya itu.

Sakusa tidak bisa berkata lebih, ia cuma bisa menjadi tempat Iizuna berlindung atau berkeluh kesah ketika lelaki itu dilanda gundah, hanya bisa itu.

Sakusa tidak boleh berontak atau pun serakah, karena dirinya sendiri yang memutuskan untuk mengambil pilihan seperti itu.


“Kenapa dah Sunarin wajahnya kecut abis?” tanya Atsumu sambil melirik ke arah sang tersangka yang sedang mengaduk es teh miliknya dengan wajah tertekuk.

Suna mendengus dan bukannya menjawab Osamu justru mengatai temannya itu 'goblok' mengundang kemarahan Suna yang berbuah satu lemparan remah kerupuk ke wajah Osamu.

“Kenapa sih kalian? Pagi-pagi udah ribut aja,” itu Kita, yang baru saja tiba dan kemudian mengambil duduk tepat di sebelah Atsumu. Menoleh ke arah Suna dan Osamu secara bergantian, ia dapat merasakan tensi perang dingin di antara kedua lelaki itu.

“Suna goblok kak, tau Pak Washijo selalu nyuruh mahasiswa pakai almet tiap kelas lah si goblok ini malah sengaja ngga bawa. Habis itu nyalahin gue,”

“Ya elo kok ngga bilang ke gue kalau hari ini kelasnya pak Washijo. Doi kan biasanya cuma hari Selasa”

“Kan waktu itu Mai udah bilang di grup kelas kalau ada kelas pengganti buat minggu ini, gimana sih lo? Makanya ngecek grup jangan main candy crush mulu!”

Kita hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat pertengkaran Suna dan Osamu, haaah, Suna seperti kembaran ketiga dari Miya bersaudara, triplets, sementara itu Atsumu terlihat tidak acuh, dengan cueknya ia justru mencomot batagor milik Suna yang tersisa satu potong.

“BATAGOR GUEEE, TSUMU ANJING,” Atsumu menjulurkan lidahnya mengejek, “Suruh siapa gelut?”

“Emang almamatermu kemana sih Suna kok bisa ketinggalan? Kenapa ngga dicantelin aja di mobil tiap hari kayak biasanya?” tanya yang paling tua, berusaha meredakan suasana.

Suna menghela nafas panjang, sebelum kepalanya bergerak menunjuk seseorang yang baru saja tiba di cafetaria kampus dan terlihat bersin-bersin sambil mengantre pada stand di ujung sana.

“Dipinjem doi kemarin,”


Hatciim!!

“Jorok,”

“YA MAAP NAMANYA JUGA LAGI FLU????”

Sakusa merotasikan bola matanya malas. Sepupunya ini sudah usia dua puluh tahun masih saja bebal, ceroboh, dan tidak peduli akan kesehatannya sendiri. Tetap saja, lihat kan jadinya sakit sendiri.

“Lo nitip apa? Sekalian gue pesenin, buat minum obat nanti juga”

“Teh anget satu”

“Selera lo sepuh”


“Lah? Sejak kapan lo deket sama Komori?” tanya Atsumu, mengikuti kemana arah Suna menunjuk dengan kepalanya.

Suna hanya mengedikkan bahunya tak acuh, “Ngga deket-deket amat kok, dia cuma pinjem almet yauda”, ujarnya membuat satu seringai jahil timbul di wajah Osamu.

“Oohh... Ngga deket-deket amat ya... He'em”

“Apaan sih lo Sam ga jelas amat” ujar Suna ketus, membuat Osamu makin menjadi, “Ngga, ngga apa-apa, kalo lo mau deket sama Komori gapapa banget kok Sun”

Entah mengapa Suna merasa kesal, ia tidak suka dirinya di-roasting seperti ini. Ia harusnya menjadi pihak yang me-roasting. Tunggu saja, Suna telah menyiapkan counter-nya.

“Ngaco, lo sendiri gimana sama Akaashi? Gausa pengalihan isu lu biar ngga dicengin padahal lo sendiri yang lagi mepet anak” balas Suna dengan sarkas membuat Atsumu dengan tiba-tiba menggebrak meja cafetaria, membuat mereka seketika jadi pusat perhatian, “Sam? Anjing??? Serius lo sama Akaashi? Sejak kapan?”

“Loh Tsum? Lo ngga ngerti apa kembaran lo itu tiap hari chat sama Akaashi terus tiap minggu—”

“Naik kereta api SPILL TEROOOOOSSS”

“Sam jawab ish, anjing, gue kira ngga ada rahasia diantara kita”

Sekarang keadaan telah berbalik, 1-0 untuk Suna Rintarou yang membuatnya kemudia tersenyum puas sembari meminum minumannya. Suna dapat melihat Osamu yang menatapnya kesal karena diintrogasi oleh saudara kembarnya sendiri. Suruh siapa ngelawan Suna Rintarou?

Kita hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat keributan teman-temannya itu, oh sungguh hari yang indah untuk beristirahat sebelum memulai kelas selanjutnya.


“Kalo kamu udah di depan kenapa sih pakai acara nyuruh aku buat siap-siap?” gerutu Kita kesal menatap lelaki yang sekarang justru duduk bersantai di uang keluarganya dan tertawa mengejek.

“Aku masih di rumah, tadi pas nyuruh kamu buat siap-siap, ngeluarin mobil, majud dikit sampai”

Mbel

“Beneran!”

Kita masih tidak percaya, sendari tadi bibirnya bergerak-gerak mengejek, untuk membuat Iizuna kesal. Sementara itu, Iizuna tak hentinya berusaha meyakinkan Iizuna bahwa dirinya tidak pernah berbohong.

Padahal sudah sama-sama dua puluh tahun, tetapi kelakuannya masih seperti anak kecil yang meributkan hal-hal sepele, seperti itulah mereka dan itulah rutinitas mereka yang mungkin hanya diketahui satu sama lain.

“Loh Tsukasa?! Aduh anak ganteng lama ngga ketemu! Kamu makin tinggi ya! Makin ganteng”

Lelaki yang sendari tadi dipuji tersebut menerima pelukan hangat mama Kita dengan senang hati. Iizuna sudah seperti anak emas di keluarga Kita, jangan kaget, bahkan mama Kita sendiri terkadang jauh memfavoritkan Iizuna dengan sebutan “anak ganteng”.

“Kalian mau kemana? Kok udah pada rapi-rapi?”

Sang ibunda sibuh berceloteh namjn tak ada satupun kalimat yang Iizuna hiraukan. Atensinya justru terfokus pada Kita yang terlihat mengalihkan pandangannya, wajahnya memberengut tidak suka tanda bahwa dirinya sedang pada mood yang buruk.

“Eh?” Kita menolehkan pandangannya ketika Iizuna menggenggam tangannya, ia dapat mendapati lelaki itu tersenyum sebelum kemudian kembali berbicara kepada sang ibunda. “Mau main sama Shin, tante. Pamit dulu ya tante!”

Melihat Iizuna yang dengan semangat menarik tangan Kita, membawa lelaki itu keluar atau mungkin juga sebagai alibi untuk meloloskan dirinya sendiri. Kedua remaja itu pamit undur diri, hendak berpergian menghabiskan waktu senggang mereka.

Sang ibunda hanya bisa tersenyum dan terkekeh melihat kedua kelakuan remaja tersebut, “dasar anak muda”


“Cemberut terus ih padahal udah diajak keluar” celetuk Iizuna.

Kali ini mereka telah berada di dalam mobil Iizuna, berkeliling kota tanpa tujuan dengan maksud mungkin nantinya menemukan sesuatu yang menarik. Terkesan buang-buang waktu memang, tetapi itulah rutinitas mereka bagaimana untuk melepaskan penat.

“Habisnya mama di rumah kerjaannya bikin mood jelek mulu. Bahas sudah mulai ngerjain skripsi belum? Kira-kira bisa lulus tiga setengah tahun kayak kakak ngga. Kamu juga!”

Iizuna terlihat tidak terima, meskipun hanya bercanda tetapi ia juga ingin tau alasan kenapa dirinya tiba-tiba dilibatkan sebagai alasan mengapa mood seorang Kita Shinsuke memburuk.

“Mama tiap abis puas bahas tugas akhirku selalu bawa-bawa kamu, liat tuh Tsukasa, ini itu ini itu terus pas kamu dateng dipanggil 'anak ganteng'”

“Kamu cemburu ya Shin?”

Mendengar ujaran tersebut membuat Kita mencelos, melihat wajah lelaki yang duduk dibangku penumpang semakin tertekuk itu membuat Iizuna semakin terbahak. Sementara itu Kita terlihat mengomel sendiri, 'apanya yang anak ganteng, kelakuan sama ketawanya aja nyebelin'

“Kamu tuh ya nyebelin, rese'!”

“Kerjaannya bikin aku kesel tiap harinya, usil, iseng. Tapi makasih ya 'Kasa, meskipun begitu kamu selalu jadi orang yang tau kalau aku lagi ngga goodmood dan jadi healer-nya”

Di tengah padatnya lampu lalu lintas, Iizuna hanya bisa diam tertegun mendapati Kita yang tersenyum manis sembari berkata demikian. Ia dapat merasakan panas tubuhnya bergerak menjalar menuju kedua pipinya menghasilkan kedua rona merah muda yang tidak lagi samar. Ia berdeham, berusaha menenangkan degup jantungnya.

“Apaan sih kamu Shin, kan emang sudah biasanya gitu,”

“Hehehe kamu malu ya?”


Meskipun biasanya selalu seperti ini, Iizuna yang selalu menjadi tempat bagi Shinsuke untuk mengadu. Mengadu atas segala penat dan juga risau. Mengadu tentang keseharian dan juga kejengkelan dalam diri

Itulah rutinitas mereka, rutinitas Iizuna untuk Kita

Namun, bolehkah Iizuna berharap? Setitik harap atas ucap akan Kita yang begitu menghargai dan mengapresiasi porsi kehadirannya dalam hidupnya?

Bolehkah Iizuna berharap, bahwa Kita juga merasakan hal yang sama? Bahwa mereka spesial untuk satu sama lain?


Mungkin aku akan mulai berjuang saat ini, untuk memastikan segala harap yang ada dalam diri, dan bersiap atas segala konsekuensi