komoyi

just me and my loving komori hours, heavily post sunakomo


“Mori? Lo ngga balik?”

“Eum?” Komori mendongak, mendapati Osamu yang baru saja merapikan barang-barangnya dan memakai jaket bomber miliknya, bersiap untuk pulang.

“Lo duluan aja deh Sam, gue mau nyelesein tugas dulu DKV”

“Oke deh, jangan lupa nge-charge hape buat pesen gojek, kalo lowbatt ngga bisa nyala baru panik kan lo”

Komori terkekeh mendengar omelan Osamu barusan. Rekannya itu sudah mengenalnya cukup baik rupanya. Tau aja kalau dirinya punya kebiasaan run out baterai ponsel yang kemudian bingung sendiri gimana pulangnya.

“Iya iya bawel deh. Dah sana balik, mau ujan juga kayaknya, lo kan paling males keujanan apalagi abis nyuci motor”

“Anjir! Bener juga! Udah mendung ya?! Fak lah gue abis nyuci biti kemarin, yaudah ya Mori, gue balik dulu! Jangan lupa!”

“Iyeee”


Suna mengerenyitkan kedua alisnya dan menyipitkan kedua matanya sembari melirik ke arah seseorang yang baru saja berteduh di gedung fakultasnya itu.

Tubuhnya terlihat basah kuyup, sepertinya lelaki itu lari terburu-buru untuk menghindari hujan yang langsung deras secara tiba-tiba. Ia pun mengambil jarak sedikit di antara mereka.

“Aduh... Tas gue basah ngga yah? Gimana nih poster desain gue— laptop gue—”

Suna masih memperhatikan dari posisinya. Lelaki itu tampaknya tidak begitu mempedulikan kondisi tubuhnya yang sudah basah kuyup dengan tetesan air dari rambut kecokelatannya yang mebunduk itu.

Meskipun tidak bisa melihat dengan jelas wajah lelaki tersebut dari samping. Dari nada bicaranya saja lelaki itu sudah sangat panik dengan barang-barangnya yang kehujanan sampai melupakan dirinya sendiri.

“Hape, hape gue dimana—” ujarnya sembari berjongkok mencari ponselnya.

Wajahnya seketika berubah cerah ketika mendapati benda pipih tersebut di dalamnya. Namun, perubahan ekspresi itu tidak bertahan lama, seketika wajahnya kembali tertekuk masam.

“Yah?! Kok mati?! Gue ngga bisa pesen gocar dong?! Emang bener gue harus dengerin Osamu tadi buat nge-charge hape kan! Gimana dong gue pulang?”

Suna masih sibuk memperhatikan lelaki itu hingga sosok yang sendari tadi mencuri perhatiannya berdiri dari posisi jongkoknya dan menoleh ke arahnya.

Untuk sementara waktu mereka beradu tatap. Entah mengapa Suna merasa familiar dengan lelaki tersebut, sementara lelaki itu tak bisa menyenbunyikan keterkejutannya kala melihat sosoknya.

“Suna... Rintaou?”

Ah, ternyata Komori Motoya, orang yang mengajaknya berkenalan ketika acara makan-makan waktu itu


“Hujannya kayaknya bakalan lama ya? Padahal tadi pas gue makan tahu tek masih panas-panas aja tau-tau deres!”

Suna hanya diam mendengarkan Komori yang sendari tadi mengoceh ngalor-ngidul tidak jelas. Mulai dari dia yang tadi masih ngeluh panas tiba-tiba langsung kehujanan hingga kecerobohannya yang lupa mengisi daya ponsel selularnya padahal sudah diingatkan Osamu tadi sebelum pulang.

Sementara itu di satu sisi Komori hanya bisa cemberut tidak suka sembari memeluk tas ranselnya dan mencuri-curi pandang ke arah Suna.

Cuek banget

“Lo kenapa masih di kampus?” tanyanya kepasa Suna, dengan sedikit harap-harap cemas semoga Suna mengajaknya berbicara.

“Ada urusan sama dosen tadi, lumayan lama. Pas mau balik ke parkiran udah ujan, yaudah deh kejebak disini”

Ayo dong ayo dong tanyain balik!

Ih?! Ngga ditanyain balik dong?!

Komori memanyunkan bibirnya kecewa. Kalau begini ia lebih memilih nerobos hujan kembali ke fakuktasnya dan nge-charge ponselnya di sana. Paling tidak ia ketemu seseorang yang ia kenal untuk diajak berbicara daripada harus bersama Suna Rintarou yang dingin.

Selain itu, ia juga kecewa karena memang Suna tidak ada niatan untuk mengajaknya ngobrol atau apa dan hal tersebut yang membuatnya kesal sendiri tanpa sadar.

Dari posisinya Suna hanya bisa memperhatikan Komori yang seketika diam dengan bibir mengerucut.

Apa dia sedang ngambek? Kenapa?

Entah kenapa melihat tingkah Komori membuat Suna menyunggingkan seutas senyum, sangat tipis sehingga begitu samar untuk dilihat.


Sepuluh menit berlalu dan hujan pun perlahan reda digantikan menjadi rintik-rintik. Komori mengadahkan tangannya, menimang-nimang, sepertinya lebih baik dia menerobos hujan saja lalu mencari tempat untuk men-charge ponselnya.

Ia mengenakan kembali ranselnya dan tepat ketika dirinya hendak melangkahkan kakinya untuk menerobos gerimis Suna memanggil namanya.

“Mau kemana?” Komori menatapnya bingung, “Pulang? Kan ujannya udah reda”

“Tadi lo sendiri yang bilang kan kalau baterai lo lowbatt jadinya ngga bisa pesen gocar”

Komori tidak menjawab tetapi juga tidak ada untungnya juga kan dia berlama-lama di sini? Lagian Suna juga bakalan pulang, mending dia nyari supermarket atau apa buat menghangatkan badan, mengisi daya baik untuk tubuhnya dan ponselnya lalu pulang kan?

“Lo basah kuyup kalo ujan-ujanan lagi yang ada besok sakit. Tunggu sini, gue ambil mobil dulu, gue anter sekalian”

Bentar, otak Komori Motoya nge-bug

Seriusan nih Suna Rintarou bakalan nganterin dia pulang? Seriusan nih dia bakalan pulang bareng Suna Rintarou?

“Oiya, nih ambil almamater gue. Biar lo ngga kedinginan, bentar ya gue ke parkiran dulu, gue titip tas. Lima menitan gue balik”


Decit pintu ruang broadcasting terdemgar ketika Osamu dan Komori masuk ke dalamnya. Tak butuh waktu lama untuk mereka duduk di kursi masing-masing dan mengenakan headphone mereka. Dengan cekatam Komori pun membaca lembaran script siaran yang baru saja di berikan serta memberikan beberapa coretan serta catatan di lembaran kertas tersebut menggunakan penanya.

Komori? Osamu? Udah siap? Kita mau on air nih abis gini


Seperti biasa, Komori melakukan opening greetings untuk menyapa semua pendengar radio kampus di luar sana. Suaranya hangat dan juga ramah sehingga mampu memberikan ciri khas tersendiri.

Perasaan manusia itu ngga terduga. Tau tau ada tanpa permisi, mengisi relung izin dan seketika duduk di singgasana hati. Betul ngga, Sam

Betul banget, kita tuh ngga bisa ngatur perasaan tapi sering kali diatur sama perasaan padahal manusia kan punya yang namanya akal pikiran

Mungkin itu yang disebut bulol kali? Bucin tolol

Keliatan banget ya Komori sering main twitter update banget kalo masalah singkatan anak gaul begini

But anyways, Sam. Saking ngga ketebaknya let's says kita ngga bakalan tau dengan kapan kita suka sama seseorang, siapa orang itu, kenapa, dan dimana

Kayak, ngga terduga aja gitu dan baru tau jawabannya pas sudah sadar atau terbiasa. Bisa aja sekarang kan udah suka sama seseorang tapi ngga sadar atau di satu sisi being denial gitulah

Bener banget Komori dan pas udah sadar pun masih ada aja kendalanya. Kayak buat develop relationship dari perasaan tersevut tuh susah banget

Dan masalah yang cukup sering terjadi adalah ketika kita sudah sadar kalau kita suka sama doi, eh, malah kepentok status hubungan

Dalam tanda kutip “sahabatan”

Yup, bener banget, ini masalah yang cukup sering terjadi. Seperti menfess baru-baru ini dari sender yang bisa dibilang beberapa hari terakhir ini menghebohkan jagat twitter kampus kita

Sebut saja sang inisial k. yang sampai sekarang masih anonim. Doi bilang kalau doi tuh dilema, bukan dilema buah ataupun lagunya Cherrybelle. Tapi dilema, bingung antara ia harus maju dan berjuang untuk perasaannya atau menahan dirinya karena tidak ingin menciptakan jarak di hubungan yang 'persahabatan' dirinya dan sang pujaan hati

Cerita yang sama juga berasal dari salah satu SobatQ yang mau berbagi ceritanya kepada kita semua


Hubungan seseorang itu selalu berkembang secara bertahap, tidak bisa tiba-tiba pacaran ataupun jadian. Semuanya ada proses dan memakan waktu, yang mulanya dulu orang asing pun berkelanan yang kemudian menjadi teman. Hubungan pertemanan yang semakin dekat dan intim pun berubah menjadi sahabat, di beberapa kasus mungkin beruntung bisa menjadi sepasang kekasih karena adanya benih-benih cinta yang muncul dan berakhir mutual.

Tapi bagi sebagian orang kisah mereka kadang tak semulus itu, bahkan cenderung berakhir tragis. Ada yang hanya mampu memendam perasaan mereka dan ada pula yang harus merekalan pertemanan mereka karena memaksakan perasaan serta ekspetasi mereka yang justru mengecewakan

Menyukai seseorang selama empat tahun lamanya, yang notabenya juga merupakan sahabat sendiri bukanlah perkara mudah

Dia adalah seniorku, aku tidak pernah mau mendeskripsikannya karena tentu saja bagaimana caraku memandangnya akan sangat bias dari kacamata merah jambu ini. Tetapi jika boleh, izinkan aku mengatakan bahwa dia adalah orang yang menajubkan, setidaknya di mataku

Kita cukup dekat karena sejak SMA kita berada dalam satu ekskul dan memiliki banyak kesamaan. Rasa kagum yang berubah menjadi nyaman lalu lebih dari itu

Kita bersahabat empat tahun lamanya, mulanya aku mengira dengan hubungan kita saat ini dan banyaknya kesamaan yang kita miliki akan memudahkanku kedepannya. Paling tidak dengan kita yang sekarang aku bisalah berharap

Aku menaruh ekspetasi yang tinggi dan bergantung pada apa yang dimiliki kita saat ini, bahwa kita bisa menjadi dekat dan lebih dari kita yang sekarang

Tetapi aku lupa, yang paling utama bukanlah seberapa lama telah saling mengenal atau seberapa banyak kesamaan yang ada di antara kita. Melainkan, sudahkan perasaan kita mutual satu sama lain?

Mulanya aku kecewa, kecewa karena ekspetasi tersebut hanyalah angan semu namun tanya seketika hadir. Mungkinkah ini sebabnya ada yang namanya 'baper', 'php', dan lain sebagainya

Bukan karena mereka yang memberi, tetapi diri sendiri yang terlalu berharap karena perasaan tersebut tidak lah pernah sama atau mutual?

Ekspetasi yang berakhir pada keegoisan, padahal perasaan tak bisa dipaksakan. Aku pun belajar bahwa yang paling utama bukan mengenai tentang hubungan kedepannya atau disukai kembali

Melainkan tentang bagaimana menghargai perasaan tersebut dan hubungan ada di antara kita saat ini

Jangan salah, aku tetap menyukaimu. Tetapi aku lebih memilih untuk menjaga hubungan kita saat ini, aku tidak ingin ekspetasi dan keegoisanku justru menciptakan jarak di antara kita

Karena aku sudah terlalu nyaman berada di dekatmu


Untuk kamu yang dulunya hanya tempat singgah

Terima kasih karena tidak menyerah

Sekarang kamu bukan hanya persinggahan namun juga rumah


Bagi Suna Rintarou, kehadiran dan peranan Komori Motoya dalam lini kehidupannya layaknya anugerah, berkah terindah dari sang pencipta semesta.

Dari yang sekedar singgah, menjadi rumah

Dari yang sekedar nyaman, menjadi aman


Bagi Suna Rintarou, Komori adalah persinggahan paling nyaman untuk hatinya. Tempatnya mengadu atas semua perasaan gundah, Komori yang akan selalu membentangkan tangan, menyambutnya dengan pelukan hangat.

Sepasang netra kebiruan yang menjadi tempatnya mengadu dikala sendu. Tatapannya selalu meneduhkan dikala hatinya membiru.


Pada mulanya Suna tak pernah mengerti. Fungsi otak manakah yang diambil alih tiap kali seseorang tengah jauh hati. Seolah mekanisme tubuh seseorang sepenuhnya diambil kendali hanya dengan perasaan yang berkecamuk dalam diri.

Ya, awalnya dia ingkar.

Sebelum ia merasakannya sendiri, fungsi otaknya yang perlahan menjadih ringkih dan diambil alih. Hanya karena ia jatuh hati.

Ia tidak pernah mengira, bahwa jatuh cinta akan sedahsyat ini.


Cinta pertamanya tidak berakhir dengan baik. Komori pun menjadi tempatnya tuk mengadu, menumpahkan segala gundah dan juga risau miliknya.

Apakah jatuh cinta memang selalu menyakitkan?

Mulanya Suna mengira Komori akan menertawakannya, mengatainya lemah, atau bahkan mencelanya. Patah hati sekali saja seakan seluruh dunianya menjadi runtuh.

Namun tidak, nyatanya dalam kedua netra biru yang memandangnya itu ia menemukan perlindungan.

Tempatnya berlindung ketika dirinya dirundung pilu.

Jangan mematok ekspetasimu pada suatu hal begitu mudahnya. Di patah hati ke-sembilanpuluhsembilan-mu kau mungkin masih bisa mendapat kesempatan untuk bahagia pada jatuh cintamu yang keseratus

Suna dapat menangkap seutas senyum simpul dari Komori, lengkungan bibir yang mencetak sepasang lesung pipi kecil di kedua sisi wajahnya.

Hanya dengan melihatnya rasa sakit di hatinya pun perlahan meluruh. Dirinya pun melebur dan ikut tersenyum.


Dan ketika dirinya kembali dipenuhi dengan kecamuk asmara yang tumpah ruah. Ketika dalam dirinya begitu berisik dan juga bergemuruh. Komori kembali menjadi tempatnya untuk mengadu.

Komori adalah alasannya untuk kembali mengadu. Mencari perlindungan ketika dilanda biru. Tempatnya bersuka cita ketika persaannya berkecamuk.

Ya, Komori hanyalah tempat untuk singgah, mencari kenyamanan sementara sebelum kembali melangkah.

Namun, Suna tak pernah tau, bahwa Komori melihat Suna lebih dari itu. Komori tidak ingin Suna sekadar singgah tuk sekedar rehat. Komori ingin menjadi tempatnya untuk rumahnya untuk kembali, bukan hanya nyaman namun juga aman.


Suna hanya bisa menghela nafas pelan, dari mendung yang menggantung sendari siang Komori dapat menebak bahwa Suna baru putus cinta.

“Aku putus”

Lagi sahutnya mengoreksi yang kembali dibalas oleh sebuah helaan pelan.

Tanpa banyak bicara Komori bangkit dari duduknya. Menyeduh dua cangkir cokelat panas selama sepuluh menit sebelum kemudian kembali.

Kamu hanya putis cinta, bukan berarti duniamu rutuh seketika

“Tetapi putus cinta tak pernah menghadirkan impresi yang menyenangkan. Sama sekali”

Makanya, jangan pernah mematok ekspetasi jika tidak ingin merasakan sakit

Suna mendengus, “Alibimu, kayak ngga pernah putus cinta” mendengarnya membuat Komori terkekeh pelan, Suna, tau tidak, kamu hanya akan merasakan sakit apabila mengharapkan lebih

Aku tidak pernah merasa sakit karena aku tidak pernah mengharapkan apapun, dari cinta ataupun perasaanku

Ujaran konyol, mana mungkin seseorang tidak pernah berharap ataupun berekspetasi.

“Komori, apa kau pernah menyukai seseorang?”

Tentu saja

Ditatapnya sepasang netra kebiruan itu. Dari teduhnya tersirat sebuah harap namun terlalu samar tuk disadari.

Aku menyukai seseorang, aku ingin menghadirkannya nyaman, aku ingin menjadi rumah

Tetapi aku tau, kamu hanya melihatku sebagai tempat singgah


Komori pernah mengatakan sekali padanya, bahwa mencintai bukanlah tentang balasan. Justru sebaliknya, mencintai adalah perkara memberi, tanpa meminta pamrih.

Menurut kamu, konsep dari mencintai seseorang bagaimana? Dan kenapa kamu bisa merasakan sakit? Bukankah jatuh cinta itu perasaan suka cita?

“Ketertarikan dan ketika kita tertarik dengan seseorang tentu akan diikuti dengan persepsi dan ekspetasi bahwa ketertarikan itu akan dibalaskan. Layaknya gayung bersambut”

Mutual feelings

“Benar sekali, sedangkan menurutmu sendiri apa?”

Hm? Jatuh cinta itu... Memberi dan ketika kamu memberikan sesuatu kamu harus ikhlas, tidak meminta imbalan. Alasan kenapa kamu merasa sakit ketika patah hati karena sendari awal kamu meminta balasan

Suna menautkan kedua alisnya, tidak mengerti, bukankan definisi tersebut dapat dikatakan terlalu naif?

Mulanya Suna tidak paham atas ucapan Komori tersebut. Meskipun begitu ia berusaha untuk mengerti.


Memiliki Komori Motoya adalah anugerah, tempat singgah yang nyatanya rumah, nyaman yang menghadirkan aman. Komori bukanlah sekadar bempatnya berteduh atau berlindung. Komori adalah tempatnya pulang.

Awalnya Suna menganggap Komori naif, bagaimana caranya memandang cinta. Ia tidak memahaminya tetapi ia berusaha mengerti.

Mengerti bagaimana tatapan sepasang netra tersebut selalu sukses membuatnya teduh dikala sendu. Semua pilu yang membiru lebur, larut berganti dengan senyum.

Bagaimana medung yang menggantung seketika tersingsing manakala menatap lengkungan sempurna yang dihiasi lesung dikedua sisi.

Komori yang selalu kukuh meskipun ia seringkali jatuh

Tulus memberi rasa sehingga tak pernah terpuruk oleh asa

Tulus memberi tanpa adanya pamrih

Suna akhirnya mengerti, kenapa ia merasakan sakit. Jatuh cinta bukanlah perkara sulit namun sering kali seseorang salah menyikapi.

Dari Komori, Suna belajar, bahwa seseorang terlalu sibuk mengejar tanpa menyadari bahwa ia telah memiliki tempat bersandar.

Dari Komori, Suna tersadar. Bahwa jatuh cinta adalah perkara mudah. Bukan mengenai balasan yang indah, tetapi perasaan itu yang merupakan anugerah.

Komori tak pernah merasa sakit karena ia memahami. Komori tidak merasa sakit karena ia tak mematok ekspetasi.


Komori, aku lelah mencari, aku lelah pergi

Kalau begitu beristirahatlah

Kalau begitu bolehkah aku pulang? Menjadikanmu rumah paling aman?



“Tau ngga sih kak, gue tuh selalu ngerasa gue bakalan selalu gagal di kencan pertama”

“Hah kenapa tuh?”

“Ya bayangin aja, kak Kita diajak kencan, nonton, terus malah nonton film animasi. Kan bisa gitu ya cari tontonan film yang lain, romance kek, setan kek atau apa gitu”

Kita terkekeh mendengar celetukan Atsumu barusan. Mereka baru saja selesai menonton film animasi milik Disney terbaru, ia kira Atsumu akan mengajaknya berdiskusi singkat terkait jalannya ceritanya eh ternyata malah sambat masalah lain yang menurut Kita cukup konyol.

“Yakin banget kalo bakalan gagal deh,” Atsumu terlihat tidak terima dengan ucapan Kita barusan, dengan bibir mengerucut ia mendecih, “Yaudah deh coba kak Kita pikir sendiri, mau ngga diajak kencan, first date lagi tapi malah diajak nonton film animasi, kek it wasn't expected

“Tapi aku kurang setuju loh, maksud aku kadang yang direncanakan malah berakhir tidak sebaik yang 'impulsif'. Percuma kan direncanakan tapi akhirnya ngga berkesan”

“Jadi kak Kita sendiri ngga masalah kalo misalnya pas kencan pertama diajak nonton film animasi?”

“Emang dari awal aku masalah?”

Mereka berdua saling bertukar pandang satu sama lain untuk seperkian sekon, ujaran Kita barusan seketika membuat Atsumu termangu. Seakan percakapan mereka barusan memang sungguhan terjadi mereka baru saja melakukan kencan pertama.

“Kenapa kita kayak ngomongin dulu pernah kencan pertama atau apa sih jadinya. Awkward banget”

“Kamu lo yang mulai”

Kita sengaja, ucapannya sengaja terdengar seakan menyudutkan Atsumu dan ia berusaha mati-matian untuk tidak terkekeh melihat bibir Atsumu yang semakjn mengkerucut ke depan.

Badan doang bongsor tapi masih ngambekkan

“Dih ngambekan, udah gede malu tau sama tadi anak-anak yang nonton di sinema”

“Ga denger gue pudung sama kak Kita”

“Yaudah deh biar ngga ngambek mau aku traktir makan ngga? Kan tadi nontonnya udah kamu traktir”

Seakan dipancing dengan benda favoritnya Atsumu seketika menoleh ke arah Kita, wajahnya langsung berseri layaknya anak anjing yang dipelihara oleh kakak Iizuna. Menggemaskan.

“Mau! Ah elah kak Kita mah mainnya traktiran gue kan ga bisa ngambek lama-lama yaudah lah ya kuy”

“Mau makan apa?”

“Mekdi!”

“Aku traktir loh ini masa mekdi? Mumpung loh”

“Mekdi paling juara lah kak valid no kecot, emang kak Kita ngga mau juga mekflurinya?”

“Mau juga sih”

“Yaudah mekdi”

Haaah..., Jalan dengan Miya Atsumu memang selalu seperti mengajak adeknya jalan-jalan. Terlepas dari fisiknya yang gede tinggi namun Atsumu masih sering menunjukkan tingkah kekanakkannya tiap kali bersama dengan Kita.

Meskipun mereka hanya nonton dan makan sore (ditambah dengan berbincang singkat seraya memakan es krim) Kita sangat menikmati waktunya hari ini, Atsumu memang lah orang yang menyenangkan untuk diajak menghabiskan waktu luang bersama.


“Oh, Kak Kita jalan beneran sama Atsumu”

“Eh mana-mana”

Dengan segera Osamu berbagi ponselnya dengan Akaashi, menampilkan unggahan beragam inststory milik Atsumu

“Hoo... Gue kira dia tipikal anak yang bakalan nge-share di second akun” celetuk Keiji dan dibalas kekehahan ringan oleh Osamu.

“Ya kali, kayak nyembunyiin ketauan selingkuh atau apa coba”

“Siapa tau kan, menjaga hati orang lain”

“Atsumu mana ada naksir orang, yang ada dia bakalan sujud syukur kali kalo ada yang naksir dia”

“Kasihan amat”


Dan dalam perjalanan pulang Atsumu (yang mengantarkan Kita terlebih dahulu tentunya) lelaki itu tak henti-hentinya berhenti bersin.

“Masuk angin kan ngga pake jaket terus makan es krim”

“Engga kak, kayaknya ada yang ngomongin gue, kayaknya Osamu deh”

Iizuna hanya bisa memandang pesan terakhir yang Kita kirimkan, sahabatnya itu tidak mengiyakan ataupun menyangkalnya namun tersirat jelas bahwa jawabannya adalah iya.

Sendari tadi jemarinya ragu, mengetikkan rentetan kalimat sebagai balasan, menghapusnya, mengetikkannya kembali, kemudian menghapuskannya lagi. Iizuna menghela nafas, mungkin sebaiknya ia tidak membalasnya sama sekali, meskipun hal tersebut tidak saja menghapuskan keresahan yang ada dalam dirinya begitu saja.

Jujur, kali ini Iizuna dapat merasakan perasaan dalam dirinya berkecamuk. Sebut saja harap-harap cemas. Ia mengharapkan, sangat malah, bahwa dirinyanadalah orang yang berhasil menggaet hati sang sahabat. Namun di satu sisi ia mengkhawatirkan, apabila perasaannya yang bertepuk sebelah tangan ini mengetahui bahwa Kita menyukai orang lain akan menciptakan jarak diantara mereka. Iizuna dilema.


Menyukai sahabat sendiri tidaklah pernah mudah, itu pula yang dirasakan oleh Iizuna. Bersahabat baik dengan Shinsuke Kita selama belasan tahun lamanya membuat sesuatu yang lain bernama perasaan turut tumbuh dalam dirinya seiring berjalannya waktu.

Keegoisan dan kerelaan yang terus menerus berseteru dalam dirinya. Di mana ia ingin bisa terus menghabiskan waktunya dan bersama dengan Kita namun di satu sisi ia tidak ingin menghancurkan hubungannya dengan Kita hanya karena perasaan. Apalagi jika ia harus menerima pil pahit bila Kita tidak menyukainya balik, yang bisa menciptakan jarak di antara mereka, sungguh Iizuna tak mau.

Dan ketika Iizuna berada dalam zona abu-abu terkait perasaannya, perasaan Kita, jelas saja hal tersebut menimbulkan harap namun juga cemas di saat yang sama. Bolehkah ia berharap bahwa itu adalah dirinya? Namun bagaimana jika itu bukan dirinya?

Entahlah, Iizuna gundah

Jemarinya bergerak menekan tombol kembali, keluar dari room chat-nya dengan sang sahabat. Ia menghela nafas pelan, ia butuh bercerita, paling tidak untuk menghilangkan kegelisahan dan kecamuk gundah dalam dirinya.


Komori belum memberikan jawaban apa-apa, yang ia lalukan justru melepaskan tautan tangan mereka sembari berkata bahwa ia harus membantu panitia daan evaluasi terlebih dahulu. Suna tidak membahasnya lagi ia justru mengatakan bahwa ia akan menunggu dirinya.

Pernyataan Suna yang tiba-tiba, bahkan hanya mebgingatnya saja membuat debar di dadanya berpacu lebih cepat.

Suna bercanda kan? Setahun? Bahkan itu waktu yang cukup lama dibanding interaksi mereka pertama kali. Kenapa dirinya? Sejak kapan? Apa alasannya?

“Motoya, lo ngelamunin apa?”

“Eh? Kiyoomi? Gak, gak apa kok...”

Sakusa mengangkat sebelah alisnya, menyelidik, sepupunya itu memang jago berbohong tetapi tidak kepadanya.

“Biar gue tebak, pasti Suna” satu nama yang seketika sukses mengalihkan seluruh atensi Komori untuk menatapnya, jawaban Sakusa tepat sasaran.

“Bener kan? Emang dia bilang apa?”

Komori menghela nafas pelan, “Dia bilang dia udah suka sama gue dari setahun lalu...”

“Oh? Udah rahasia umum sih itu,”

Komori menatap sepupunya itu tidak percaya. Bagaimana bisa sepupunya mengatakan hal tersebut semudah itu? Apa Sakusa juga sudah tau? Atau dirinya saja yang tidak menyadarinya selama ini?

“Jangan ngeliatin gue begitu, gue juga denger dari anak-anak apalagi lambe lamis'e si kembar. Cuma ya emang gue sering ngeliat Suna pas kita jalan berdua bareng ngeliatin lo sampe bener-bener ikutan noleh sampe lo ilang”

“Tapi kok gue? Maksud gue kenapa gue?”

“Ya kenapa lo ngga nanya ke anaknya?”

Memang selalu seperti ini, setiap Komori bercerita ke Sakusa, sepupunya itu akan sangat memegang teguh kelogisan namun di saat seperti ini terkadang ia butuh pemikiran rasional setelah dibuat bimbang oleh perasaan.

“Lo mending cepet selesein pekerjaan lo, Suna juga nungguin di depan, lagi ngobrol sama si kembar”


“Oh? Udah jadi kalian?”

Itu Atsumu yang bertanya saat mendapati Komori yang baru saja kembali, well hipotesa yang wajar karena saat ini Komori masih mengebakan outer milik Suna dan sepertinya Atsumu menyadarinya.

“Belum kok,” Komori tersenyum kikuk, belum

“Tsum, Sam, gue boleh ngobrol sama Suna ngga?”

Si kembar tersebut saling bertukar pandang satu sama lain sebelum kemudian Osamu mendorong Atsumu. Mengajak kembarannya untuk pergi, memberikan mereka waktu dan ruang sendiri untuk berbicara.


“Gue—aku ada beberapa pertanyaan uh... Kan katanya lo—kamu udah suka aku dari setahun lalu, kenapa? Apa yang kamu liat dari aku?

“Inget ngga dulu pas ospek universitas? Kamu jadi anuraga? Mimpin semua anak kampus kita? i found you as an unique and interesting person

“Tapi itu setahun lalu Suna, gimana kalo ternyata kamu cuma sebatas kagum?”

I love the way you speaks aku suka cara kamu berpendapat, menyeruakan pendapat mewakili semua orang. Well ya gonna admit it at first i was really impressed by you

“Bagiku, kamu menarik”

Kalimat terakhir Suna ia utarakan sembari tersenyum menatapnya, Komori masih tidak mengerti. Suna itu, dia memiliki segalanya yang tidak Komori punya, Suna bahkan sudah melihat sisi buruknya dengan guyonan vulgarnya, tapi kenapa?

“Tapi aku ngga se 'woah' yang kamu bilang Suna, kamu tau sendiri gimana aku bercanda dengan teman-teman aku”

But it's doesnt make you loses your values, Komori. Makanya waktu itu aku sempet ngasih tau kamu, in my eyes you are still the same aku ngga masalah kamu guyon jorok atau apapun itu karena aku percaya values seseorang ngga sebatas hal tersebut. Bahkan pelacur pun memiliki nilainya,”

But i'm worried orang lain beranggapan berbeda dari teman-teman kamu, kamu, atau aku dalam menyikapi guyonan itu. Apalagi melihat tracks record kamu, jurusan kamu juga. Aku ngga pengen karena ucapan buruk bisa bikin values kamu berkurang di mata orang lain meskipun di mataku kamu tetep sama”

“Ah satu lagi, mungkin kamu juga ngajarin aku i can't get everything by only using my money aku gatau cara PDKT aku cuma bisa deket sama kamu karena borong risol, but you get mad at me dan aku rasa aku butuh orang kayak gitu buat aku, yang bisa marahin aku karena selama ini aku terlalu dimanja sih”

Semua itu adalah kalimat terpanjang yang pernah diucapkan Suna. Jika biasanya Komoro bisa mendebat seseorang, mengatakan dia tidak seperti yang dikatakan orang tersebut ucapan Suna entah mengapa sukses membuatnya terdiam seribu bahasa. Sosok Komori yang tak pernah ia duga sebelumnya.

“Suna...maaf..., aku ngga bisa nerima kamu sekarang”

Suna tersenyum, ia mengerti dan menghargainya.

“Ga apa kok, aku paham”

Tapi..., aku mau kenal kamu dulu, kita PDKT dulu mau? Eum... Setahun kelamaan ngga? Buat mengenal satu sama lain?”

Suna menoleh ke arah Komori yang tengah meremas outer miliknya, wajahnya terlihat tersipu malu dengan semburat merah muda.

Sure things


“Suna?!”

Dari hiruk piruk orang ia dapat melihat sosok Komori yang datang menghampirinya. Peluh terlihat menetes membasahi keningnya yang dibiarkan terbuka dengan poni yang terjepit ke atas.

“Hai, sori malah manggil lo pas sibuk-sibuknya” Komori terkekeh, mengibaskan tangannya, mengatakan bukan masalah besar sebelum kemudian menyerahkan selembar tiket kepada lelaki itu, “Nih tiket lo!”

“Lo beneran bisa nonton sama gue kan?” tanya Suna menyelidik, memastikan, “Gue pengen banget bisa nonton sama lo”

Komori tersenyum, “Iya kok gue bisa tapi nyusul lo gapapa kan? Lo masuk duluan aja”


“Loh Suna? Ngapain di sini? Kan gue udah bilang lo masuk duluan aja gausa nungguin gue” tanya Komori mendapati Suna yang masih berdiri di dekat entry gate bukannya memasuki vanue padahal sebentar lagi acara di mulai.

Bukannya menjawab Suna justru membawa tangannya ke dalam genggamannya, mengajaknya untuk mengikutinya.

“Duduk dulu yuk, lo keliatannya capek banget” dan hanya dengan satu perhatian kecil sukses membuat Komori tersipu malu.


Mereka sekarang tengah duduk, tak jauh dari pintu masuk vanue. Karena alasan dilarang membawa makanan serta minuman dari luar mau tidak mau mereka menunggu di sini.

Komori bersyukur paling tidak ia dapat beristirahat sejenak. Berterima kasih kepada Suna Rintarou dengan sebungkus roti dan juga air mineral bawaannya, paling tidak perutnya tak perlu merasa kelaparan.

“Tau ngga Suna, ini pertama kalinya gue nonton konser”

Komori mengisi keheningan di antara mereka, memulai bercerita dan Suna hanya diam mendengarkan, tak ada niatan intrupsi sama sekali.

“Gue ngga pernah bayangin gue ada di keramaian sih, karena kadang di tempat ramai dengan suara keras dan sesak tuh bikin gue mual tapi gue juga pengen nonton konser!”

“Gue selalu bayangin kalau semisal gue pergi ke konser, bakalan sama siapa ya gue perginya? Sakusa ngga bisa diajak soalnya dia ga suka keramaian, pacar? Gue ngga pernah punya pacar. Mas Iizuna? Sayangnya selera musik gue beda sama dia”

“Tapi nyatanya gue malah perginya sama lo, orang yang bahkan baru gue kenal beberapa bulan lalu, cuma gegara ngeborong sebungkus risol. Aneh gak sih?”

“Dan anehnya lagi kita juga bukan fans indie”

Komori menjentikkan jemarinya, setuju dengan ujaran Suna barusan. Ia memang mendengarkan beberapa musisi indie tetapi tidak benar-benar yang mengikutinya.

“Ini juga konser pertama gue, gue ngiranya gue bakalan nonton komser pertama tuh konser band idola gue dan buat orang yang nonton sama gue, gue sedang berusaha membuat kesempatan biar bisa nonton sama orang yang pengen gue deketin dari dulu”

Kalimat terakhir Suna ia ucapkan sembari menatap ke arahnya.

Suna bangkit dari posisinya, melepaskan outer kotak-kotak yang ia kenakan sebelum menyampirkannya kepada Komori.

“Masuk yuk? Abis ini mulai”

Komori ikut berdiri, menatap ke arah tangan Suna yang kembali mengenggamnya.

Suna Rintarou dan perasaannya? Sejak kapan ia berdebar dengan sesekrang yang baru dikenalnya beberapa bulan?

Sejak kapan?


Selama malam puncak mereka tidak terlalu banyak berbicara. Hanya mengeluarkan beberapa komentar terkait penampilan para artis. Namun bukan itu masalah utama yang menyebabkan Komori tak bisa fokus, masalahnya ada pada Suna yang sendari tadi tak mau melepaskan genggamannya.

Komori sangat berterima kasih atas pencahayaan redup tata panggung saat ini sehingga Suna tak perlu mendapati dirinya bersemu.

Pikirnya masih terus mencari, sejak kapan, sejak kapan ia merasa seperti ini saat bersama Suna? Ia masih ingat sebelumnya dirinya masih ngomel-ngomel perkara Suna yang terlambat dan membiarkannya membawa sebungkus risol di bawah terik matahari.

Apa sejak saat itu? Ketika ia menyerahkan sebungkus risol pesanan Suna namun ia tidak sadar telah mengantongi sesuatu yang lain bernama perasaan

“Komori, kamu tau ngga sih aku udah suka sama kamu dari setahun lalu”

Komori hanya bisa menatap Suna terkejut dengan tatapan membola. Sejak kapan? Sejak kapan? Sejak kapan hatinya jadi begitu bergemuruh berisik?

“Aku? Kamu?”

Kau buatku tergila-gila Kau pintar buatku rindu Kau buatku tergila-gila Sayangku~

Komori dapat melihat dengan jelas Suna menyanyikan potongan lirik tersebut, menatapnya lekat bersamaan dengan seutas senyum simpul. Genggaman ditangannya mengerat.

Kau menang, menangkan hatiku

sebungkus ; orang sinting


“Suna Rintarou?! Lo sinting ya?!”

Persetan dengan segala tata krama dan juga unggah ungguh untuk menyapa seseorang ketika menelepon. Pasalnya Suna Rintarou bener-bener gila, definisi orang sinting sesungguhnya.

Bagaimana Komori tidak kalang kabut? Suna tiba-tiba mengirimnya sebuah pesan singkat bahwa ia baru saja mengirimkannya uang dengan nominal setara dengan reservasi satu meja beserta makanan dan juga minuman.

Iya kalau minuman dan makanan kelebihan dikit seperti waktu dirinya jualan risol (meskipun ini sudah membuat kepala Komori berdenyut) dirinya sudah bisa memakluminya. Tetapi ini reservasi loh?! Komori heran, apakah orang kebanyakan uang segabut ini untuk menghabiskan uang mereka atau gimana?!

Kenapa emangnya? Gue kan pesen makanan sama minuman sama lo, yaudah gue transfer kan?

“YA TAPI GAUSA RESERVASI MEJA SEGALA SUNA RINTAROU!”

Tapi gue kalo bikin janji makan malem sama orang biasanya harus reservasi dulu Komori

Mendengar jawaban Suna barusan seketika membuat Komori cengo. Ya Tuhan, tabahkanlah Komori meskipun ia ingin sekali menangis rasamya.

“Gini aja, besok gue langsung ke IniKopi buat nyari meja gimana? Gue transfer balik jumlah reservasi mejanya ke lo, kita omongin ini besok ya?”

Seketika jeda mengisi mereka sebelum Suna membalas dengan 'ya' pendek sebagai jawaban dan Komori bisa menangkap kelesuan di sana.


Komori mengalihkan perhatian ketika pintu cafe terbuka, melahirkan suara bunyi denting lonceng yang khas, menampilkan sosok Suna Rintarou dengan setelan gaya casual berupa kaos oblong hitam dan celana jeans berwarna biru langit tang lupa sneakers yang terlihat sudah cukup usang tanda sering dipakai serta jam tangan yang mungkin Komori bisa menebak harganya tidak jauh beda dari UKT kampusnya persemester.

Di meja mereka sudah tersedia beragam pesanan mereka yang memang telah dipesan Komori sebelumnya sehingga Komori tidak perlu repot-repot menunggu.

Dipandangnya laki-laki yang duduk di sebelahnya dengan kikuk. Komori menghela nafas pelan, mungkin ketika ditelpon Komori terlalu keras sehingga Suna merasa canggung sekarang.

“Suna, gue mau minta maaf”

Kalimat tersebut sukses membuat Suna menatap balik ke arahnya, “Gue juga salah karena waktu nelpon langsung maki-maki lo dan bentak lo, maaf banget ya?”

“Ya, gapapa”

Komori tersenyum simpul, membuat Suna yang mau tak mau luluh seketika dan tersenyum tipis ke arahnya. Melihat Suna tersenyum entah kenapa membuat Komori sedikit tersipu.

Tetapi dengan segera Komori menggelengkan kepalanya, ia harus membicarakan ini kepada Suna.

“Suna, gue boleh minta lo berhenti ngga? Berhenti beli jualan danusan gue ya?”

Raut wajah Suna seketika berubah, menjadi datar meskipun tersirat semacam kekecewaan di binar matanya, “Kenapa?”

“Gue bukannya ngga suka kalo dagangan gue dibeli, laris malahan. Tapi gue ngga enaknya sama lo, lo tuh gimana ya bilangnya spend a lots money cuma buat beli danusan gue. Gue ga enak karena apa yang lo kasih ke gue tuh jumlahnya lebih gede dari yang seharusnya gue dapet dari untung jualan gue”

”...tapi, gue pengen bantu lo Komori, makanya gue beli dagangan lo...”

Komori menatap mata Suna dengan seksama, berusaha menyusuri binar tersebut, ia tidak mendapatkan apa-apa selain kejujuran dan ketulusan dari binar matanya, karena sejak awal bertemu Komori tau bahwa Suna memang benar niat membantunya.

“Lo boleh banget bantu gue, lo boleh banget beli dagangan gue, tapi please jangan terlalu berlebihan kayak kemarin ya? Lo ngeborong risol aja dan kelebihannya dua kali lipatnya udah bikin gue ngerasa ngga enak banget”

Aduh Komori merasa tidak enak melihat Suna yang murung, ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

“Gue harus gimana biar bisa bantu lo, Komori?”

Komori sedikit terkejut dengan pertanyaan Suna tersebut. Ia mengambil jeda sejenak untuk berpikir.

“Gue ada ide!”


Sambil memegang erat-erat boks risol jualannya Komori berusaha mengingat-ingat dengan jelas wajah Suna Rintarou yang mungkin terakhir kali ia temui saat ospek universitas satu tahun lalu. Menghiraukan tatapan aneh dari masiswa-mahasiswa yang berlalu lalang, ia berusaha mengingat gambaran sosok Suna Rintarou dari kepingan memorinya yang acap kali buruk tersebut dan juga foto profil twitter Suna.

Rambutnya coklat, koko-koko ganteng sipit, kulitnya putih

Jujur saja, Komori benci menunggu, apalagi jika harus membawa satu boks risoles di bawah terik sinar matahari seperti ini. Salahkan Komori, kenapa dia tidak menunggu di dalam saja, tetapi untuk saat ini Komori tidak tau alasan dibalik mengapa ia memilih berdiri di luar cafetaria seperti ini.

“Komori ya?” ia menoleh kala suara bass asing menyapa indera pendengarannya. Matanya membulat lucu menatap sosok yang menyapanya barusan, siapa lagi kalau bukan Suna Rintarou.

Meskipun tampang lelaki itu tidak berbeda jauh dibanding dengan foto profil dan ingatannya namun anehnya Komori merasa bahwa presensi lelaki itu sangatlah berbeda dari impresinya via pesan singkat.

Kulitnya putih, seperti orang asia timur pada umumnya, matanya tidak terlalu sipit tetapi melihat dari bentuk matanya saja orang-orang sudah bisa menebak bahwa Suna masih memiliki darah 'Cina' di dirinya.

Tubuhnya tinggi, lebih tinggi dari Komori, untuk seukuran laki-laki Suna termasuk kurus tetapi ia berani menjamin kurus tubuh Suja terbentuk oleh otot-otot kecil meskipun bukan hasil nge-gym

“Sori ya lama banget, tadi pak Harahap tiba-tiba ngadain kuis jadinya selesainya agak molor. Lo kok ngga masuk aja?”

“Takutnya lo bingung kalo gue di dalem soalnya kan rame tuh jadinya gue nunggu di luar biar keliatan”

Suna mengangguk paham, jadi itu toh alasannya, “Eh, gue boleh nyoba risolnya ngga?”

Dengan kikuk Komori menawarkannya, membuat Suna terkekeh karena Komori yang berusaha mengambilkan untuknya, “Udah gue aja gapapa, lo ribet begitu”

“Betewe Na, gue mau nanya”

“Nanya apaan?”

“Kenapa dah lo ngeborong risol gue? Gue seneng sih cuma kenapa gitu? Terus kenapa dah loh transfernya dengan jumlah dua kali lipat lebih banyak dari harga aslinya? Maksud gue tuh—”

Suna hanya mengangguk, mendengarkan cerocosan pertanyaan yang terlontar dari mulut Komori. Ia membuka plastik risolnya, memakannya, membiarkan sensasi lumer mayonais memnuhi mulutnya sembari Komori masih terus menanyakan rentetan pertanyaan.

“Buka mulut coba”

“Hah?”

hap

“Gigit terus kunyah”

Seolah dihipnotis oleh sebuah mantra, Komori melakukan apa yang Suna perintahkan. Saat lelaki itu menjauhkan potongan risoles tersebut Suna dapat melihat sisa mayonais di sudut bibir lelaki itu dengan segera ia membersihkannya dengan tangan kirinya.

“Enak kan? Daripada nyerocos mulu—”

Dengan sekali hap Suna menghabiskan risolesnya, membuang plastiknya sebelum kemudian mengambil sekotak risoles dari tangan Komori.

“Ngobrol di dalem aja yuk? Sekalian makan siang mau ngga? My treats soalnya lo udah kerepotan dan nunggu gue lama”

Awalnya Komori mau marah, kesal, ngambek. Tetapi wajahnya seketika berseri mendengar kata traktiran, siapa sih yang ga suka gratisan?


“Tadi pertanyaan lo apa? Kenapa gue ngeborong risol lo? Bukannya udah sempet gue jawab di DM ya?”

“Tapi kan lo kalo mau minta nomor gue bisa kek ngapain DM atau gimana gitu minta si kembar. Lo kan sohibnya mereka”

“Emang lo suka kalo nomor lo di share ke orang lain tapi lonya ngga ngerti? Emang lo suka kalo misalnya ada orang ngga seberapa akrab sama lo nge-DM lo minta nomor?”

“Engga juga sih...”

“Tapi—”

“Kan kalo gue borong dagangan lo, lo ngga perlu repot-repot open BO kan?”

Pertanyaan Suna tersebut seketika membuat pipi Komori memerah, astaga candaan itu entah kenapa jika diucapkan orang lain di luar lingkup 'sirkel'nya terdengar memalukan.

“Jangan kayak gitu Komori, ngga baik”

“Eh?”

Komori menatap balik Suna yang tengah menatapnya dengan melipat tangan di depan dadanya. Jika biasanya Komori bisa langsung nyablak entah kenapa di depan Suna rasanya dia ciut, hanya bisa diam dan mendengarkan.

“Jangan jadiin open BO bahan bercandaan lagi. Iya, lo dan sirkel lo nganggepnya guyon tapi orang lain gimana? Apalagi sampai di share di sosmed, gimana kalo lo beneran di DM sama orang yang intention-nya nyari orang-orang yang open BO? Terus kalau sampai kedengeran orang-orang di luar sirkelmu reputasimu bisa jelek, kamu mau dikenal sebagai 'anak yang hobi open BO' emang? Omongan dan pikiran orang ga ada yang tau, ga ada yang bisa kontrol”

“Suna, lo bawel ya?”

Seketika Suna terdiam, wajahnya terkejut menatap ke arah Komori yang sedang duduk santai sambil menopang dagunya dengan sebelah tangannya.

Sebelum kemudian lelaki itu memperbaiki posisi duduknya, menyuapkan setusuk batagor ke dalam mulutnya.

“Gue ga suka orang yang ngebawelin gue, ngomelin gue soal apa yang gue lakuin—”

“—cuma kalo Suna, kalo lo tuh rasanya beda. Gue ngga ngerasa kesel, gue justru seneng, pengen dengerin lo ngomel, lucu, aneh ngga sih?”

Keheningan pun seketika menjadi akhir dari ucapan Komori tersebut. Suna hanya diam, terpaku menatap Komori yang tengah tersenyum ke arahnya sebelum kemudian memakan kembali batagornya seolah baru saja mengatakan sesuatu yang sepele.

Terlalu cuek untuk Suna Rintarou yang di dalamnya tengah porak poranda

Ia membencinya, ia kira satu tahun diam-diam menyukai Komori Motoya dan baru mengambil tindakan sekarang ia siap menghadapi 'Komori Motoya'

Namun nyatanya, pujaan hatinya selalu membuatnya lemah hanya dengan beberapa potong kalimat

Here's your favorite satu roasted vanilla milk tea less sugar less ice dengan pearl bubble sebagai topping

Kita bertepuk tangan girang, tidak bisa menahan tawanya melihat tingkah ekstra dan juga dramatis yang dilakukan sahabatnya itu.

Bagaimana tidak, saat ini, Iizuna tengah membungkuk, bergaya ala butler saat menyerahkan segelas minuman pesanannya.

Tak mau kalah, Kita pun membalasnya sama dramatisnya bak pangeran-pangeran yang menerima pemberian tawaran bangsawan lain dengan hormat. Mereka terkekeh bersama, tak menghiraukan tatapan heran dari pengunjung lainnya.

“Kamu pesen apa?”

“Tebak dong tebak”

Catatan, Iizuna punya kebiasaan saat Kita bertanya kepadanya ia justru tidak menjawab, malah menyuruh lelaki itu menebaknya.

Mereka tau kalau Kita sudah hafal dirinya luar dalam layaknya Kita mempunyai buku panduan 1001 makanan dan minuman favorit Iizuna. Meskipun begitu ia masih sering meminta Kita menebak, kebiasaan katanya.

Dan ini juga salah satu kebisaan Kita, jika ada yang tau Kugy dari Perahu Kertas dan pose radar neptunus andalannya, saat ini Kita tengah melakukan hal tersebut. Namun bedanya ia menamai posenya sebagai radar banteng partai politik entah mengapa.

“Biar aku tebak, your usual chocolate mousses no sugar less ice, right?”

“Seratus buat Shinsuke”

Kita tersenyum bangga, classic Iizuna sekali gumamnya. Iizuna itu sebenarnya tidak terlalu menyukai minuman manis kecuali es teh. Berkebalikan sekali dengan Kita.

Oleh karena itu, setiap kali mereka ke kedai minuman langgan Kita tersebut, Iizuna akan memesan minuman tanpa gula, mencari-cari nemu yang rasanya mendekati kopi meskipun tidak 11-12.

Dan itu pula awal mula cerita Iizuna bisa bertemu dengan menu andalannya, chocolate mousses no sugar less ice.


Kencan

Jangan bayangkan kencan mereka seperti sepasang kekasih pada umumnya. Dinner, nonton, atau bergandengan tangan. Tidak-tidak seperti itu.

Kencan di sini adalah sebuah kata, menggambarkan rutinitas mereka, hanya berdua, duduk di sudut kedai minuman langganan Kita dan membicarakan banyak hal, dari yang penting hingga tidak.

Kadang mereka juga tidak bernicara, intinya mereka menghabiskan waktu berdua, rehat sejenak, sebatas dan sesederhana itu definisi kencan bagi mereka.

”'Kasa,” Kita memanggil sahabatnya itu, dengan segera Iizuna memasukkan kembali ponselnya, melipat tangannya dan menatap Kita dengan seksama. Dirinya tau, kalau Kita sudah memanggilnya seperti itu pasti ada sesuatu yang ingin dibicarakan.

“Aku tiba-tiba kepikiran, gatau kenapa. Meskipun kita udah berteman belasan tau tapi ternyata ads beberapa hal yang ngga aku tau soal kamu”

Ia menghela nafas pelan, sembari menopang dagunya dengan sebelah tangan, tangan lainnya asik mengaduk-aduk minumannya, pandangannya menerawang.

“Aku gatau kehidupanmu selama SMA, love life-mu mungkin? Bahkan orang yang kamu suka”

“Aku juga gitu kan?”

Jawaban Iizuna tersebut seketika membuyarkan lamunan Kita. Membuatnya kembali menatap lelaki yang tengah tersenyum kearahnya, balik menopang dagunya sendiri.

“Shin, tau ngga sih, kadang aku ngerasa meskipun kita berteman sangat baik ada beberapa hal yang ngga harus diceritakan atau kita ketahui satu sama lain—”

“—bukan bermaksud menyinggung, maaf kalau kamu justru beranggapam sebaliknya... Tapi gimana ya, semakin aku kenal kamu aku ngerti ada beberapa hal yang terlalu sepele jadi lebih baik aku ngga ceritain ke kamu karena kamunya juga tipikal anak yang gampang kepikiran—”

“—alasan aku nyimpen beberapa cerita karena aku ngga mau kamu terbebani begitu pula alasan kenapa aku ngga pernah desak kamu buat cerita. Kamu pasti juga punya alasan sendiri kenapa nyimpen beberapa cerita buat dirimu sendiri”

Kita tersenyum simpul. Bagaimana bisa ia lupa dengan hal sesederhana ini padahal alasan dia juga tidak menceritakan semua masalahnya kepada Iizuna tidak jauh berbeda dengan alasan Iizuna.